tabel 5.3. hasil scoring nilai penting hewan berdasarkan...
Post on 22-Oct-2019
24 Views
Preview:
TRANSCRIPT
62
Tabel 5.3. Hasil scoring nilai penting hewan berdasarkan persepsi masyarakat
Jenis hewan Skor nilai penting hewan
Jenis hewan Skor nilai penting hewan
Jenis hewan Skor nilai penting hewan
Jenis hewan Skor nilai penting hewan
Jenis hewan Skor nilai penting hewan
Unggas Mamalia Reptil Hewan tanah Lain-lain
Ayam Hutan 104 Kijang (menjangan) 76 Bunglon 15 Cacing 108 Serangga
Burung 98 Landak 65 Kadal 13 Semut 36 Lebah 57
Burung Cendet/pentet 67 Kera ekor panjang/abu-abu 62 Ular 12 Gangsir 30 Ulat 49
Burung kutilang 48 Luak 50 Ular weling 7 Rayap 22 Kupu 28
Burung Derkuku 23 Tikus tanah 50 Klarab (cicak terbang)
6 Embuk (larva serangga)
19 Belalang 22
Burung tengkek 14 Tupai (Bajing) 49 Biawak (Nyambik) 1 Kelabang 16 Nyamuk 10
Burung prenjak/ciblek 12 Kelelawar (Codot) 25 Ular bumi 1 Orong-orong 15 Gayas
(semacam ulat) 4
Burung Trocok 12 Garangan 24 Ular cabe 1 Jangkrik 13 Serangga (umum) *
4
Burung gereja 11 Trenggiling 24 Ular gadong/ gadung
1 Siput 4 Capung 3
Burung Hantu 9 Babi Hutan 22 Ular hijau 1 Kalajengking /tunggeng
2 Lalat 2
Burung Gagak 7 Budeng/lutung jawa 14 Ular kobra 1 Kecoak 2 Amfibi
Burung Merpati 6 Lutung 13 Katak 12
Burung Elang 5 Musang 12 Annelida
Burung ganggung 5 Macan Rembah 8 Pacet (Panjet) 4
Burung Jalak 5 Lisang (sejenis musang) 3
burung puyuh 5 Kelelawar (Kalong) 2
63
Lanjutan Tabel 5.3.
Jenis hewan Skor nilai penting
hewan
Jenis hewan Skor nilai penting
hewan
Jenis hewan Skor nilai penting
hewan
Jenis hewan Skor nilai penting
hewan
Jenis hewan Skor nilai penting
hewan
Unggas Mamalia Reptil Hewan tanah Lain-lain
Burung trengganis 5 Clurut (tikus kasturi/musk
shrew) 1
Burung jali 4 Slentek 1
Burung Pipit 4 Tupai Besar/ jelaran/jelarang 1
Burung Tugung 4
Burung perkutut 3
Rangkok 3
Elang Jawa (Badol) 2
Slenker 2
Betet 1
64
Pengaruh perbedaan umur responden terhadap pengenalan
jenis hewan
Analisa pengaruh perbedaan umur responden terhadap jenis
hewan yang dikenali di lahan dilakukan untuk mengetahui
kedekatan para petani dari berbagai generasi terhadap kebun
agroforestrinya. Untuk itu, responden dikelompokkan menjadi 3
kelas umur yaitu < 28 tahun, 28 – 48 tahun, dan > 48 tahun
(Tabel 5.4).
Tabel 5.4. Jenis hewan yang disebutkan oleh responden menurut kelompok umur
Jenis hewan yang disebutkan oleh
semua kelompok umur
Jenis hewan yang disebutkan
oleh 2 kelompok umur
Jenis hewan yang disebutkan oleh
satu kelompok umur
Ayam Hutan Burung Elang Betet
Babi Hutan Burung gereja Biawak (Nyambik)
Belalang Burung Hantu Burung Gagak
Budeng/lutung jawa Burung Merpati Burung ganggung
Bunglon Burung prenjak/ciblek Burung Jalak
Burung Cendet/pentet burung puyuh Burung jali
Burung Derkuku Burung tengkek Burung perkutut
Burung kutilang Burung trengganis Burung Pipit
Cacing Burung Trocok Burung Tugung
Embuk (larva serangga) Capung Clurut (tikus kasturi/musk shrew)
Gangsir Elang Jawa (Badol) Gayas (semacam ulat)
Garangan Kalajengking/tunggeng Kecoak
Jangkrik Kelabang Kelelawar (Kalong)
Kadal Lalat Klarab (cicak terbang)
Katak Lebah Kupu
Kelelawar (Codot) Lutung Lisang (sejenis musang)
Kera ekor panjang/abu-abu Macan Rembah Pacet (Panjet)
Kijang (menjangan) Musang Rangkok
Landak Serangga Slenker
Luak Siput Slentek
Nyamuk Tupai Besar/ jelaran/jelarang
Orong-orong Ular bumi
Rayap Ular cabe
Semut Ular gadong/gadung
Tikus tanah Ular hijau
Trenggiling Ular kobra
Tupai (Bajing) Ular weling
Ulat
[Responden kelompok umur
28 - 48 tahun memiliki intensitas yang lebih tinggi di lahan Agroforestri dibandingkan respoden yang
lebih muda atau lebih tua ]
65
Hasil analisa menunjukkan bahwa 37 % jenis hewan yang ada di DAS Konto adalah hewan yang umum
dijumpai dan dikenal dengan baik oleh seluruh kelompok umur. Sedangkan ada 36 % hewan yang jenisnya
tidak umum, sehingga hanya disebutkan oleh satu kelompok umur tertentu saja. Kelompok umur antara
28-48 tahun mampu mengidentifikasi 67 jenis hewan (89.3%) dari 75 jenis hewan yang ada. Sedangkan
kelompok umur < 28 th dan > 48 th berturut-turut mengidentifikasi 41 (55%) dan 43 (57%) jenis hewan
dari 75 jenis yang ada di DAS Konto. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok umur 28-48 tahun memiliki
intensitas yang lebih tinggi di lahan agroforestri dibandingkan 2 kelompok umur yang lain.
Ancaman kepunahan hewan di lahan agroforestri
Dari 75 jenis hewan yang berhasil diidentifikasi bersama masyarakat ada 10 jenis hewan yang termasuk
dalam daftar hewan yang dilindungi baik oleh CITES, PP No. 7 1999, dan UU No. 5 1990. Hewan hewan
tersebut adalah burung elang ular bido (Spilornis cheela), ‗badol‘ atau ‗bondol‘/elang Jawa (Spizaetus
bartelsi), rangkong (Aceros undulatus ), kalong (Pteropus giganteus), kera ekor panjang (Macaca
fascicularis), kijang (Cervus unicolor), lutung (Trachypithecus auratus), macan rembah, (Felis
bengalensis) dan tupai besar/jelarang (Ratufa bicolor) (Gambar 5.11).
Ancaman kepunahan hewan pada lahan-lahan agroforestri akan terus meningkat di masa mendatang
melalui 5 kemungkinan yaitu:
1. Ketersediaan pakan yang semakin terbatas. Keragaman tanaman yang ditanam di bawah tegakan
milik Perhutani sangat terbatas, umumnya hanya tanaman sayuran dan tanaman pangan saja,
sehingga ketersediaan makanan bagi hewan sedikit,
2. Penggunaan bahan-bahan kimia pemberantas hama/gulma yang terus meningkat. Kegiatan
penyemprotan hama dan penyakit dengan pestisida berdampak pada matinya spesies tertentu,
3. Kegiatan perburuan. Perburuan yang dilakukan masyarakat terhadap hewan-hewan yang
dianggap merugikan karena adanya kekhawatiran masyarakat terhadap keberadaan hewan tersebut
akan menggangu tanaman sayur dan pangan yang ditanam, misalnya babi hutan dan ayam alas.
4. Ketersediaan pasar. Hewan tersebut banyak yang diburu karena bernilai jual tinggi seperti ayam
alas, elang, jalak, dll.
5. Fragmentasi habitat. Areal untuk arena bermain maupun bereproduksi menjadi semakin sempit
sehingga lama kelamaan hewan tersebut punah karena tidak bisa bereproduksi di habitat yang
semakin sempit.
66
Gambar 5.11. Sepuluh jenis hewan yang diidentifikasi oleh responden di DAS Konto termasuk dalam daftar
hewan yang dilindungi
5.3.6. Pemasaran hasil agroforestri
Hasil agroforestri dari daerah Ngantang sebagian besar dijual
langsung kepada tengkulak yang langsung datang ke kebun
agroforestri. Hanya sebagian kecil saja yang dipasarkan
langsung. Hasil panen yang langsung dijual ke tengkulak yaitu
kopi, durian dan sebagian pisang. Bila pisang tidak dipanen
dalam jumlah besar maka petani akan memasarkan sendiri hasil
kebunnya ke pasar. Alasan para petani agroforestri lebih senang
memasarkan hasil kebunnya ke tengkulak, karena cara itu lebih
mudah dan praktis sehingga petani tidak perlu mengeluarkan
biaya transportasi pengangkutan hasil panen ke pasar. Selain itu
harga jual dipasar dan di tengkulak sama, sehingga bagi petani
lebih menguntungkan menjual langsung pada tengkulak. Dengan
harga yang kadang-kadang tidak menentu, menurut petani
menjual pada tengkulak dapat menghindarkan mereka dari
kerugian karena berani membayar hasil panen dengan tunai dan
berani berspekulasi dengan harga beli borongan.
[Hasil panen Agroforestri
seperti kopi, durian dan pisang biasanya dijual langsung ke tengkulak. Alasannya, karena mudah, praktis dan biaya transportasi
ke pasar lebih murah.]
67
5.3.7. Peran berbagai stake holder dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati di DAS Konto
Di tingkat kecamatan ada 2 kelompok stake holder yang cukup penting di Ngantang maupun Pujon yaitu
pemerintah daerah dan LSM. Pemerintah daerah yang cukup berpengaruh adalah Dishutbun, Distan,
Perhutani, Tahura R Soerjo. Sedangkan untuk LSM yang terkait den kegiatan konservasi adalah
Paramitra. Stake holder yang ada di tingkat desa meliputi pemerintah desa dan aparatnya, petani,
tengkulak, penyuluh pertanian.
Pemerintah
Pemerintah memiliki peran penting melalui kebijakan dan penegakan hukum dalam konservasi
keanekaragaman hayati. Namun kendalanya adalah kekurang-sinergisan antar institusi pemerintahan di
lapangan. Hal itu bisa menjadi ancaman bagi kegiatan untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati di
DAS Konto. Beberapa contoh yang paling jelas adalah di wilayah Tawangsari Pujon. Dinas kehutanan dan
perkebunan mendorong masyarakat untuk menanam pohonan buah-buahan di lahan-lahan yang miring.
Pada saat yang sama dinas pertanian melalui para penyuluhnya mendorong para petani untuk memperluas
budidaya sayuran. Selain konflik kepentingan antara dinas kehutanan dan perkebunan serta dinas
pertanian, juga sempat ada kekurang-harmonisan hubungan antara Tahura R. Soerjo dan Perhutani karena
ketidakjelasan batas peta wilayah kerja kedua instansi tersebut di Pujon.Konflik antar instansi ini sempat
memicu ketegangan di masyarakat yang juga menjadi terpecah dalam 2 kubu. Pertentangan ini
mengakibatkan kerusakan sebagian hutan sengkeran yang oleh masyarakat pada awalnya sudah disepakati
untuk tidak dibuka untuk menjaga kelestarian sumber air pada tahun 2008.
Pemerintah daerah propinsi melalui Perda Jatim No. 4 rahun 2003 tentang pengelolaan hutan di Jawa timur
yang di dalamnya terdapat pengaturan tentang pelarangan perburuan satwa yang dilindungi sudah
memberikan jaminan hukum dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati di dan tata cara pemanfaatan
sumber daya hayati di hutan-hutan yang ada di Jawa Timur. Meskipun demikian, kepedulian pemerintah
lokal (desa) dalam menjaga keanekaragaman hayati untuk hewan dan tumbuhan masih rendah di DAS
Konto. Hal ini ditunjukkan dengan belum ada upaya yang secara khusus dilakukan oleh desa untuk
mengkonservasi hewan dari hutan yang secara nyata memperdagangkan hewan yang dilindungi, tidak
diterapkannya sangsi bagi pihak-pihak, masih tingginya aktivitas perburuan hewan hutan di DAS Konto.
Tidak jarang ada oknum-oknum desa sendiri yang juga terlibat dalam aktivitas perdagangan satwa-satwa
langka tersebut.
Akibat masih lemahnya penegakan hukum maka para penadah hewan liar juga bebas beraktivitas. Mereka
membeli setiap hewan hutan yang ditangkap oleh para petani yang kebetulan menemukannya di lahan
mereka, atau dari para pemburu yang secara khusus memang memasuki hutan untuk menangkap hewan-
hewan hutan. Di desa Sumberagung trenggiling dijual kepada penadah dengan harga Rp 200.000,00 per
ekornya. Sedangkan di Desa Simo juga ada warga yang sudah dikenal sebagai pemburu hewan-hewan
hutan yang aktivitasnya meliputi wilayah hutan lindung Perhutani hinggan ke lereng Kelud. Hasil
tangkapannya ini kemudian dijual di pasar hewan di Kandangan, Jombang dan di pasar burung Splendid,
Malang (Gambar 5.12). Sementara itu di wilayah Tawangsari Pujon juga ada aktivitas pemburuan rusa
serta kera ekor panjang untuk konsumsi masyarakat.
68
Gambar 5.12. Pasar Burung kota Malang merupakan salah satu tujuan para penadah hewan liar untuk
memasarkan dagangannya
LSM
Peran LSM dalam upaya mengkonservasi keanekaragaman hayati perlu diperhitungkan untuk
mengendalikan kerusakan hutan yang lebih besar lagi dan menahan laju kehilangan plasma nutfah dari
hutan. Beberapa LSM yang kegiatannya mencakup konservasi di wilayah DAS Konto adalah Paramitra
dan Pro Fauna. Paramitra terutama bekerja berkaitan dengan konservasi lahan dan mata air dengan
memberdayakan masyarakat sekitar sedangkan Pro Fauna adalah LSM yang aktif dalam berbagai kegiatan
perlindungan satwa di kota Malang dan sekitarnya. Profauna bergerak dalam kampanye perlindungan
satwa, pendidikan, investigasi, penyelamatan satwa dan pengamatan satwa liar (Wild Animal Watching).
Untuk kegiatan penyelamatan satwa maka ProFauna membentuk PPS Petungsewu yang bergerak dalam
hal penangkaran hewan-hewan liar untuk dikembalikan ke habitat aslinya. Informasi dari Pro Fauna
melalui web sitenya di www.profauna.org menyebutkan bahwa di wilayah Tahura R Soerjo, yang secara
administratif sebagian juga meliputi Ngantang dan Pujon, masih dijumpai 180 jenis burung (pengamatan
tahun 2002), lutung jawa (Trachypitecus auratus), jelarang (Ratufa bicolor), serta berbagai hewan hutan
lainnya.
Perhutani
Harapan untuk upaya pelestarian kelestarian hayati untuk tumbuhan muncul dengan mulai diterimanya
agroforestri dibeberapa wilayah yang sebelumnya merupakan daerah-daerah yang rawan konflik di DAS
Konto terutama di Pujon. Meskipun demikian hambatan-hambatan juga ada yang muncul dari masyarakat
desa maupun pemerintah lokal karena ketidaktahuan mereka terhadap manfaat kelestarian hayati bagi
generasi mendatang, ketidakjelasan peraturan pemerintah setempat dalam pengelolaan lahan Perhutani,
desakan kebutuhan ekonomi yang mendorong mereka untuk mengeksploitasi hutan dan keengganan untuk
mengganti tanaman sayur dengan pepohonan.
Meskipun demikian untuk konservasi tumbuhan ada sedikit titik cerah dengan adanya kesepakatan antara
Perhutani dan masyarakat di Pujon yang mengizinkan penanaman kopi arabika dan pohon buah-buahan di
bawah tegakan pohon utama. Hal ini tidak lepas dari peran Perhutani yang saat ini sudah lebih terbuka
dalam menerima aspirasi masyarakat yang tinggal di perbatasan areal mereka. Dengan mengizinkan petani
untuk menanam kopi dan buah-buahan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani sekitar hutan
dan mengurangi tekanan untuk mengkonversi hutan.
69
Petani
Petani merupakan bagian yang sangat penting dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati. Kegagalan
berbagai program konservasi keanekaragaman hayati di pujon sebagian juga disebabkan karena tidak
melibatkan peran masyarakat petani yang tinggal berbatasan dengan hutan. Kegiatan konservasi macam
apapun tidak akan sustainable bila masyarakat sekitar hutan masih miskin. Namun saat ini sudah dibentuk
kelompok-kelompok petani hutan dan Perhutani sudah melibatkan mereka dalam diskusi-diskusi untuk
memudahkan menjaring aspirasi dari para petani seperti yang kemudian diterapkan dalam bentuk PHBM
plus. Di Ngantang kegiatan konservasi berlangsung lebih lancar karena Perhutani di wilayah Ngantang
sudah lebih dulu menyepakati pemberian izin bagi para petani untuk menanam pohon buah-buahan dan
kopi di bawah tegakan pohon utama.
70
6. Agro-biodiversitas dalam sistem Agroforestri: cacing tanah
Ringkasan
Cacing tanah merupakan pertanda tanah subur! Artinya tanah gembur, mudah diolah dan banyak
humusnya. Hal tersebut sudah banyak dikenal petani di DAS Konto, namun peran cacing tanah yang bisa
membuat terowongan dalam tanah masih belum banyak diketahui petani, karena sulit dilihat dengan mata.
Berdasarkan hasil inventarisasi cacing tanah di musim penghujan pada lima SPL di Ngantang ditemukan
12 spesies cacing tanah dari 3 famili yaitu Megascolicidae, Lumbricidae dan Moniligastridae. Jumlah
temuan spesies tertinggi diperoleh di kebun kopi multistrata (KM) dan kopi naungan pinus (PP) masing-
masing sebanyak 7 spesies. Pada hutan terganggu (HT) hanya ditemukan 4 spesies sama dengan jumlah
temuan yang diperoleh di kopi naungan Gliricidia (KG). Sedang jumlah temuan terendah (3 spesies)
terdapat di hutan bambu. Adanya alih guna lahan hutan menjadi kebun kopi dan hutan tanaman pinus
menyebabkan 2 spesies cacing tanah (jenis epigeic) tidak dijumpai lagi yaitu Polypheretima elongate dan
Metaphire californica. Bila hutan dialih fungsikan menjadi kebun bambu maka seluruh spesies cacing
yang ada di hutan tidak ditemukan lagi, digantikan oleh spesies Pheretima minima, Eiseniella tetraeda
f.typica (savigny). Sama halnya dengan yang dijumpai di Sumberjaya, spesies Pontoscolex ditemukan
pada semua jenis SPL yang diamati.
6.1. Pendahuluan
Cacing tanah merupakan salah satu ecosystem engineer yang berperan penting dalam berbagai macam
proses fisika, kimia dan biologi tanah (Lavelle and Spain, 2001; Tapia-coral et al., 2006). keberadaannya
di alam sangat dibatasi oleh kadar air tanah, karakteristik tanah, curah hujan, tipe penggunaan lahan,
penambahan bahan kimia pada tanah dan temperatur tanah (Pashanasi et al., 1996; Lavelle and Spain,
2001; Hairiah et al., 2004).
Penelitian di Sumberjaya menunjukkan bahwa perubahan fungsi hutan menjadi tanaman budidaya
meningkatkan kelimpahan cacing tanah hingga 50 % pada lahan kopi multistrata. Namun peningkatan
populasi ini tidak diikuti dengan peningkatan biomasa cacing tanah. Biomasa cacing tanah di lahan-lahan
budidaya turun hingga setengah dari biomasa cacing tanah yang hidup di hutan (± 3.5 g/individu). Sedang
Wibowo (1999) melaporkan bahwa penurunan masukan seresah dari sekitar 11 Mg ha-1
th-1 (di hutan)
menjadi 9 Mg ha-1
th-1
pada sistem budidaya pagar telah menyebabkan jenis cacing Metapheretima
carolinensis hilang. Sedangkan pada sistem budidaya tanaman jagung dengan input bahan organik rendah
3 Mg ha-1
th-1 maka jumlah spesies cacing yang hilang meningkat menjadi 2 yaitu Metapheretima
carolinensis dan Dichogaster crawi (kelompok endogeic). Paska alih guna lahan hutan, populasi cacing
tanah asli yang hilang tersebut akan digantikan posisinya oleh cacing tanah eksotis yang mampu
membentuk koloni dalam kondisi ekosistem yang baru.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui diversitas dan kerapatan populasi cacing tanah yang ada pada
berbagai sistem penggunaan lahan di DAS Konto.
71
6.2. Metode
Data untuk diversitas cacing tanah merupakan hasil review dari kegiatan penelitian yang didanai oleh
Proyek Hibah Insentif Riset Dasar (HIRD) yang didanai oleh Kementrian Riset dan Teknologi pada tahun
2007-2008. Namun demikian, identifikasi taksonomi contoh-contoh cacing tanah yang telah diperoleh
pada kegiatan tersebut hingga saat ini masih belum selesai dilakukan.
Lokasi
Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada 5 (lima) sistem penggunaan lahan yang telah ditentukan
sebelumnya oleh peneliti terdahulu, yaitu hutan terganggu (HT), hutan bambu (HB), pertanaman
pinus+rumput gajah (PP), kopi multistrata (KM) dan kopi naungan Gliricidia (KG). Pada masing-masing
sistem penggunaan lahan dilakukan pengambilan contoh cacing tanah dengan 3 ulangan.
Variabel Pengukuran
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka variabel pengukuran yang telah dilakukan di lapangan dan di
laboratorium adalah variabel cacing tanah yaitu identifikasi jenis, kerapatan populasi (K), biomassa (B).
Pengambilan Contoh dan Identifikasi Cacing Tanah
Pengambilan contoh cacing dilakukan dengan menggunakan prosedur monolit tanah berukuran 25 cm x 25
cm x 10 cm (metode Anderson and Ingram dalam Swift and Bigrell, 2001). Setiap lahan diambil 5 titik
contoh (Gambar 6.1) yang diambil pada garis tengah sub-plot yang ditentukan (40 m x 5 m).
Pengambilan contoh cacing tanah dilakukan pada empat kedalaman yaitu (1) lapisan seresah di permukaan
tanah, (2) lapisan tanah mineral kedalaman 0- 10 cm, (3) 10- 20 cm, dan (4) 20- 30 cm. Cacing tanah
diambil pada waktu pagi hari dengan batasan waktu antara pukul 06.00-10.00 WIB. Contoh cacing tanah
diambil secara manual (hand sorting), dan diperlakukan sebagai berikut:
Cacing dimasukkan ke dalam nampan berisi air untuk menghilangkan tanah yang menempel pada
tubuhnya. Cacing yang telah bersih dimasukkan ke dalam nampan yang berisi alkohol 70% untuk
relaksasi, selanjutnya cacing dimasukkan dalam formalin 4% selama beberapa detik hingga tubuhnya
kaku. Terakhir cacing tanah siap dimasukkan dalam botol film yang berisi alkohol 70% dan sudah diberi
label.
Bersamaan dengan pengambilan cacing tanah, dilakukan pengukuran suhu tanah dan pengambilan contoh
tanah untuk analsis pH tanah, C organik dan kadar air tanah. Penempatan bingkai monolit dan cara
pengambilan contoh cacing tanah dapat dilihat pada Gambar 6.1 dan 6.2.
72
1 m
1 m
25
cm
25 cm
40 m
5 m
: tempat pengambilan kascing
: bingkai monolit cacing
Keterangan:
Gambar 6.1. Penampang Horizontal Posisi Pengambilan Contoh Cacing Tanah.
Gambar 6.2. Penampang vertikal posisi monolit.
Identifikasi Jenis Cacing Tanah
Identifikasi contoh cacing tanah yang diperoleh dilakukan di laboratorium menurut penciri morfologi
tubuhnya (Lampiran 6.1). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya di Sumberjaya (Lampung Barat),
bahwa jenis cacing exotic penggali tanah (endogeic) Pontoscolex curethrurus mendominasi di semua jenis
lahan pertanian, maka pada penelitian ini contoh cacing yang diperoleh hanya dibedakan ke dalam 2
kelompok saja yaitu Pontoscolex curethrurus dan non-Pontoscolex curethrurus. Cara identifikasi
didasarkan pada penciri eksternal tubuh cacing. Cacing tanah Pontoscolex curethrurus memiliki struktur
quincunx (seta berbentuk seperti buah nanas) yang terlihat jelas pada bagian ekor, tipe klitelium sadle
shape, dan warna tubuh merah muda sampai merah.
Sedang contoh cacing non-Pontoscolex diidentifikasi berdasarkan pada penciri eksternal tubuh cacing.
Selanjutnya penciri eksternal ini dicocokkan dengan berbagai kunci taksonomi cacing tanah yang ada.
Selain diklasifikasikan secara taksonomi, contoh cacing yang diperoleh juga diklasifikasikan secara
ekologi berdasarkan warna tubuh dan kedalaman dimana cacing tersebut ditemukan. Secara ekologi cacing
dibedakan menjadi 3 kelompok: Cacing permukaan (epigeic), tinggal di lapisan organic, warna tubuh
gelap, berukuran kecil, berfungsi sebagai decomposer bahan organik. Cacing dalam (anecic), jenis cacing
ini aktif memindahkan dan memakan seresah dari permukaan tanah dan bergerak ke dalam tanah,
berpigmen dan berukuran lebih besar dari pada cacing permukaan. Cacing sangat dalam (endogeic),
73
tinggal dan makan di dalam tanah, berwarna pucat dan ukuran relative lebih besar dari pada ke dua
kelompok yang lain, pemakan bahan organik dan liat. Namun sayangnya identifikasi cacing non-
Pontoscolex ini masih belum lengkap, sehingga hasilnya masih belum dapat dilaporkan hingga saat ini.
Penetapan Kepadatan Populasi, Biomassa dan Estimasi Berat per ekor Cacing Tanah Pontoscolex
Pengukuran kepadatan populasi (K) ditentukan berdasarkan jumlah individu yang ditemukan per monolith
ukuran 25 cm x 25 cm, selanjutnya ditimbang beratnya/. biomassa (B) cacing tanah. Untuk mengetahui
rata-rata berat cacing per ekor, dilakukan penghitungan nisbah atau perbandingan antara biomassa dengan
kepadatan populasi (B:K) (g/ekor).
6.3. Hasil
6.3.1. Diversitas cacing tanah di DAS Konto
Berdasarkan hasil survey cacing tanah di musim penghujan pada lima SPL di Ngantang (HIRD/UB, 2008)
ditemukan 12 spesies cacing tanah dari 3 famili yaitu Megascolicidae, Lumbricidae dan Moniligastridae
(Tabel 6.1). Jumlah temuan spesies tertinggi diperoleh di kebun kopi multistrata (KM) dan kopi naungan
pinus (PP) masing-masing sebanyak 7 spesies. Pada hutan terganggu (HT) hanya ditemukan 4 spesies
sama dengan jumlah temuan yang diperoleh di kopi naungan Gliricidia (KG). Sedang jumlah temuan
terendah (3 spesies) terdapat di hutan bambu. Adanya alih guna lahan hutan menjadi kebun kopi dan hutan
tanaman pinus menyebabkan 2 spesies cacing tanah (jenis epigeic) tidak dijumpai lagi yaitu
Polypheretima elongate dan Metaphire californica. Bila hutan dialih fungsikan menjadi kebun bambu
maka seluruh spesies cacing yang ada di hutan tidak ditemukan lagi, digantikan oleh spesies Pheretima
minima, Eiseniella tetraeda f.typica (savigny). Sama halnya dengan yang dijumpai di Sumberjaya, spesies
Pontoscolex ditemukan pada semua jenis SPL yang diamati. Gambar penciri dari masing-masing spesies
disajikan dalam Lampiran 6.1.
Daerah Ngantang merupakan daerah bergunung, dimana erosi merupakan masalah yang paling umum
dijumpai. Erosi akan berkurang bila tingkat aliran permukaan rendah. Pada umumnya tingkat aliran
permukaan rendah bila infiltrasi air tanah besar karena porositas tanah yang juga besar. Dalam kaitannya
dengan upaya meningkatkan infiltrasi air tanah, mempertahankan kerapatan populasi cacing penggali
tanah penting untuk dilakukan (Hairiah et al., 2006). Dengan demikian, penelitian yang telah dilakukan di
DAS Konto pada tahun 2008 lebih difokuskan khusus kepada cacing penggali tanah yang paling umum
dijumpai pada lahan-lahan pertanian yaitu Pontoscolex . Untuk selanjutnya data-data yang dilaporkan
pada bab berikut ini khusus berhubungan dengan peran cacing Pontoscolex.
74
Tabel 6.1. Jenis cacing tanah yang ditemukan di DAS Konto
Famili Spesies Cacing Grup
ekologi
HT HB KM PP KG
1 Megascolecidae Peryonix excavatus Epigeik
Polypheretima
elongata
Metaphire californica Epigeik
Pheretima minima
(Hoerst)
Endogeik
Pheretima california
Dichogaster bolaui Endogeik
Dichogaster reinckei Endogeik
Amynthas gracilis
2 Moniligastridae Drawida barwelli Anesik
3 Lumbricidae Eiseniella tetraeda
f.typica (savigny)
Lumbricus rubellus
Pontoscolex Endogeik
Jumlah spesies: 4 3 7 7 4
Keterangan : HT (hutan terganggu), HB (hutan bambu), PP (pertanaman pinus + rumput gajah), KM (kopi multistrata), KG (kopi naungan Gliricidia).
6.3.2. Kondisi Pontoscolex pada berbagai sistem penggunaan lahan
Kondisi penggunaan lahan yang berbeda berpengaruh terhadap kepadatan populasi dan biomasa cacing
tanah yang ditemukan. Hasil pengukuran terhadap kepadatan populasi (K), biomassa (B), nisbah
(biomassa : kepadatan populasi) cacing tanah disajikan pada Tabel 6.2.
Tabel 6.2. Kepadatan populasi (K), biomassa (B) dan nisbah (B:K) cacing tanah Pontoscolex pada kedalaman
0- 30 cm pada berbagai sistem penggunaan lahan
SPL Populasi (K)
(ekor m-2
)
Biomassa (B)
(g m-2
)
Nisbah (B : K)
(g/ekor)
HT 107.4 bc 45.60 b 0.36 b
HB 70.00 ab 21.50 a 0.18 a
PP 138.3 c 43.70 b 0.23 a
KM 66.50 a 28.30 a 0.18 a
KG 84.30 ab 28.20 a 0.15 a
BNT 38.84 14.78 0.09
Keterangan : HT (hutan terganggu), HB (hutan bambu), PP (pertanaman pinus + rumput gajah), KM (kopi multistrata), KG (kopi naungan Gliricidia). Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaaan yang nyata (p<0.05).
75
a. Kepadatan Populasi (K)
Perbedaan sistem penggunaan lahan (SPL) berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kepadatan populasi
cacing tanah. Interaksi antara penggunaan lahan dengan kedalaman tanah tidak berpengaruh nyata
(p>0.05), sedangkan kedalaman tanah berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kepadatan populasi cacing
tanah. Populasi cacing tanah tertinggi ditemukan di hutan pertanaman pinus yang tidak berbeda nyata
(p>0.05) dengan populasi cacing di hutan terganggu, populasi rata-rata sekitar 123 ekor m-2. Kopi
multistrata memiliki kepadatan populasi cacing tanah paling rendah dan tidak berbeda nyata (p>0.05)
dengan hutan bambu dan kopi naungan Gliricidia dengan rata- rata 74 ekor m-2. Kepadatan populasi
cacing tanah semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman tanah. Rata- rata kepadatan populasi
cacing tanah pada kedalaman 0-10 cm adalah sekitar 178 ekor m-2, pada kedalaman 10-20 cm populasi
berkurang hingga 50% lebih rendah dari pada yang di lapisan atas (88 ekor m-2
). Sedang di lapisan 20-30
cm populasi hanya sekitar 8% dari populasi di lapisan 0-10 cm (15 ekor m-2).
b. Biomasa (B)
Perbedaan SPL juga berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap biomasa cacing tanah. Interaksi antara SPL
dengan kedalaman tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05), sedangkan kedalaman tanah
berpengaruh secara nyata (p<0.05) terhadap biomassa cacing tanah. Biomasa cacing tanah yang ditemukan
di hutan pinus tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan biomasa cacing yang ditemukan di hutan alami
terganggu, dengan rata-rata biomasa sekitar 45 g m-2. Kopi multistrata, kopi naungan Gliricidia dan hutan
bambu memiliki biomassa cacing tanah yang tidak berbeda nyata (p>0.05) yaitu sekitar 26 g m-2.
Biomassa cacing tanah semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman tanah. Rata- rata biomassa
cacing tanah pada masing- masing kedalaman adalah 63 g m-2 (0-10 cm), 32 g m
-2 (10-20 cm) dan 4.8 g m
-
2 (20-30 cm).
c. Nisbah Biomassa (B) : Kepadatan Populasi (K) Cacing Tanah
Berat masa per individu cacing dapat didekati dengan menghitung nisbah antara total biomasa cacing (g m-
2) dengan total populasi (ekor m
-2). Hutan terganggu memiliki nisbah B:K cacing tanah paling tinggi yaitu
0.36 g/ekor, sedangkan hutan pinus, kopi multistrata, kopi naungan Gliricidia dan hutan bambu memiliki
nisbah B:K cacing yang tidak berbeda nyata (p>0.05) yaitu sekitar 0.18 g/ekor. Nisbah B:K cacing tanah
semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman tanah. Rata- rata nisbah B:K cacing tanah pada
masing- masing kedalaman adalah 0.35 g/ekor (0-10 cm), 0.25 g/ekor (10-20 cm) dan 0.05 g/ekor (20-30
cm).
6. 4. Pembahasan
Perbedaan pengelolaan antar lahan umumnya menyebabkan perbedaan kondisi biologi tanah, karena
adanya perbedaan jenis dan kerapatan tanaman yang ditanam. Akibatnya jumlah dan jenis masukan bahan
organik kedalam tanah juga berbeda, yang selanjutnya diikuti oleh perubahan keragaman dan keragaman
komunitas organisma dalam tanah (Susilo et al., 2005).
Alih guna hutan menjadi lahan pertanian baik monokultur maupun polikultur menyebabkan tanah menjadi
lebih padat, sehingga limpasan permukaan dan erosi menjadi masalah utama, sehingga kualitas air sungai
menurun. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu di Sumberjaya, Lampung Barat, bahwa tingginya
limpasan permukaan pada lahan berlereng terjadi karena menurunnya jumlah infiltrasi air tanah sebagai
akibat menurunnya jumlah pori makro tanah (Suprayogo et al., 2004). Besarnya ukuran (biomasa) cacing
76
penggali tanah pada lahan pertanian merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat porositas tanah
(Hairiah et al., 2006). Besarnya biomasa cacing tanah berhubungan erat dengan ketebalan lapisan seresah
(masukan seresah). Hasil pengukuran beberapa parameter fisika tanah di DAS Kalikonto (pada lokasi yang
sama dengan pengambilan contoh cacing tanah) dapat dilihat pada Tabel 6.3.
Tingginya pori makro pada hutan terganggu adalah dipengaruhi oleh kerapatan dan biomasa cacing
penggali tanah yang ditemukan pada lahan tersebut. Cacing merupakan makrofauna tanah yang aktif dan
tinggal di dalam tanah, setiap pergerakannya akan meninggalkan lubang- lubang yang dapat meningkatkan
porositas tanah, ukuran pori dan variabilitas dari porositas (Curry, 1998). Dari hasil pengamatan (Tabel
6.2) menunjukkan bahwa pada umumnya hutan alami walaupun telah terganggu diperoleh tingkat
kerapatan populasi dan biomasa paling tinggi dari pada lahan pertanian dan hutan bambu.
Tabel 6.3. Masukan seresah per tahun dan Sifat-sifat Fisik Tanah yang dipengaruhinya (Sumber data: HIRD,
2008)
Jenis pengukuran HT HB PP KM KG
Masukan seresah (Mg ha-1
th-1
)* 9.42 10.93 5.08 5.76 4.06
Ketebalan seresah (cm)* 4.59 4.39 1.98 1.05 0.58
C-Organik (%)** 1.92 1.39 1.54 1.58 0.87
DMR (mm) 4.67 4.22 4.04 2.96 1.77
Pori Makro (%) 9.87 7.18 4.82 4.94 5.54
KHJ (cm.jam-1
) 90.4 54.5 57.6 34 50
Infiltrasi Awal (cm.jam-1
) 301 267 223 142 119
Infiltrasi Konstan (cm.jam-1
) 50.2 60.8 39.9 30.9 29.3
Keterangan: HT (hutan terganggu), HB (hutan bambu), PP (pertanaman pinus + rumput gajah), KM (kopi multistrata), KG (kopi naungan gliricidia). *Sumber data dari Hairiah et al., (2008), ** Wahyudi (2008).
Tingkat kepadatan populasi, ukuran dan aktivitas cacing penggali tanah dapat mengubah kondisi atau sifat
tanah. Dalam jumlah yang tinggi cacing tanah dapat mempengaruhi struktur dan porositas tanah (Edwards
and Shipitalo dalam Curry, 1998). Semakin tinggi populasi cacing penggali tanah maka lubang- lubang
yang dihasilkan selama pergerakannya juga semakin tinggi, dan pori makro tanah bertambah banyak.
Selain itu dengan berat dan ukuran cacing yang relatif besar maka lubang yang dihasilkan juga akan besar,
sehingga akan memudahkan aliran air ke dalam tanah (infiltrasi). Ditambahkan oleh Roth and Joschko
dalam Coleman and Crossley (1996), tingginya lubang yang dibentuk oleh cacing tanah membantu
drainase air dan meningkatkan aerasi serta menurunkan aliran permukaan tanah.
Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa pori makro vertikal berhubungan sangat erat dan nyata dengan
kepadatan populasi (K) cacing tanah (r= 0.50**), biomassa (B) (r= 0.55**) dengan nisbah (B:K) (r=
0.60**). Dari Gambar 6.3 dapat dilihat bahwa sekitar 25 %, 30 %, 37 %, variasi data pori makro vertikal
dipengaruhi oleh kepadatan populasi, biomassa, nisbah (B:K) cacing tanah. Pada umumnya semakin
meningkat kepadatan populasi, biomassa, nisbah (B:K), panjang dan diameter tubuh cacing tanah akan
dikuti dengan peningkatan jumlah pori makro tanah.
Pengaruh tingginya kepadatan populasi dan ukuran cacing penggali tanah terhadap pembentukan pori
makro kurang begitu jelas pada hutan pinus. Dari Tabel 6.2. menunjukkan bahwa hutan pinus memiliki
kepadatan populasi dan ukuran cacing penggali tanah yang sama dengan hutan terganggu, tetapi jumlah
pori makro yang dihasilkan lebih kecil dan sama dengan lahan pertanian (Tabel 6.3). Hal ini diduga karena
pada hutan pinus aktivitas cacing dalam mencari makanan lebih rendah karena akar- akar rumput gajah
77
mampu memberikan suplai makanan yang tinggi. Akibat rendahnya pergerakan cacing dalam tanah maka
lubang- lubang yang dihasilkan sedikit, dan penambahan pori makro sangat rendah.
Gambar 6.3. Hubungan Jumlah pori makro vertikal tanah dengan kepadatan populasi (A), biomasa (B) dan
nisbah B/K atau Biomasa:Kepadatan populasi (C)
y = 0.0274x + 3.9143R² = 0.25
0
5
10
15
20
0 200 400 600
Po
ri M
akro
Ve
rtik
al,
%
Kepadatan Populasi Cacing Tanah, ekor m-2
y = 0.0866x + 3.5705R² = 0.3021
02468
101214161820
0 50 100 150
Po
ri M
akro
Ve
rtik
al,
%
Biomassa Cacing Tanah, g m-2
y = 17.644x + 2.6228R² = 0.3665
02468
101214161820
0 0.5 1
Po
ri M
akro
Ve
rtik
al,
%
Nisbah (B:P) Cacing Tanah, g/ekor
(A)
(B)
(C)
78
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin banyak keragaman pohon penaung dalam sistem
agroforestri berbasis kopi lebih dapat merawat pori makro tanah dan komunitas cacing tanah bila
dibandingkan dengan sistem kopi naungan Gliricidia. Hal tersebut dapat dijelaskan antara lain karena: (1)
tutupan tajuk multi strata dan seresah di permukaan tanah akan melindungi tanah dari tetesan air hujan
secara langsung sehingga melindungi pori makro tanah dan menciptakan iklim mikro yang sesuai bagi
komunitas biota tanah (Van Noordwijk et al., 2004a,b); (2) masukan seresah beraneka kualitas dapat
berfungsi sebagai sumber energi dan C bagi biota tanah dan memasok bahan organik tanah; dan (3) sistem
perakaran dengan berbagai lapisan kedalaman akan berfungsi sebagai jangkar dan pencengkeram tanah,
sekaligus sebagai jaring penyelamat hara (Suprayoga et al., 2004; Hairiah et al., 2006b). Oleh karena itu
strategi pengelolaan lahan bekas hutan untuk mempertahankan pori makro dan komunitas cacing tanah
sebaiknya dilakukan dengan meningkatkan diversitas pohon, seperti pada sistem agroforestri multi strata.
Kearifan dalam pemilihan jenis pohon yang tepat sangatlah diperlukan.
6.5. Kesimpulan
Di DAS Konto ditemukan 12 spesies cacing tanah dari 3 famili yaitu Megascolicidae, Lumbricidae dan
Moniligastridae, dengan jumlah temuan spesies tertinggi (7 spesies) diperoleh di kebun kopi multistrata
(KM) dan kopi naungan pinus (PP) yang ditumpangsarikan dengan rumput gajah. Jumlah spesies terendah
(3 spesies) diperoleh pada hutan bambu. Bila hutan sudah sangat terganggu jumlah spesies yang
ditemukan sama dengan jumlah yang diperoleh di kopi naungan Gliricidia (KG). Adanya alih guna lahan
hutan menjadi kebun kopi dan hutan tanaman pinus menyebabkan 2 spesies cacing tanah (jenis epigeic)
tidak dijumpai lagi yaitu Polypheretima elongate dan Metaphire californica. Bila hutan dialih fungsikan
menjadi kebun bambu maka seluruh spesies cacing yang ada di hutan tidak ditemukan lagi, digantikan
oleh spesies Pheretima minima, Eiseniella tetraeda f.typica (savigny). Sama halnya dengan yang dijumpai
di Sumberjaya, spesies Pontoscolex ditemukan pada semua jenis SPL yang diamati.
Tingginya tingkat kepadatan populasi (K), biomassa (B), dan ukuran tubuh cacing penggali tanah
Pontoscolex (nisbah (B:K), g/ekor) dikuti oleh peningkatan jumlah pori makro tanah. Sekitar 40% variasi
pori makro tanah di DAS Konto ini berhubungan dengan ukuran cacing tanah. Faktor lain yang
mempengaruhi pori makro tanah seperti kerapatan akar masih perlu diteliti lebih lanjut.
79
7. Agrobiodiversitas dalam Sistem Agroforestri: Rayap (TULSEA-UB, 2009)
Ringkasan
Tidak semua rayap adalah hama tanaman! Rayap pemakan tanah adalah kelompok ecosystem engineer
bisa merupakan indikator dari kondisi tanah subur dengan kandungan humus tinggi. Sedang rayap
pemakan kayu sebagian besar berpotensi sebagai hama tanaman. Rayap pemakan tanah lebih sensitif
terhadap perubahan kondisi lingkungan dari pada rayap pemakan kayu.
Di DAS Konto kelimpahan rayap pemakan kayu lebih besar (sekitar 55% dari kelimpahan total) dibanding
dengan rayap pemakan tanah di setiap sistem penggunaan lahan (SPL), sedang pada lahan tanaman
semusim hampir tidak ditemukan rayap. Kelimpahan rayap pemakan kayu sangat berbeda nyata antar
SPL, tetapi kelimpahan rayap pemakan tanah sama antar SPL. Kelimpahan rayap pemakan kayu terbesar
di perkebunan pinus (rata-rata 1350 temuan/ha) dua kali lipat lebih tinggi dari pada jumlah yang
ditemukan di hutan terganggu dan hutan bambu (rata-rata 700 dan 650 temuan / ha). Rayap pemakan kayu
yang berpotensi untuk menjadi hama di lahan budidaya seperti Odontotermes grandiceps dan
Macrotermes gilvus bisa ditemukan di semua SPL di DAS Konto.
Meskipun rayap pemakan kayu memiliki proporsi yang lebih besar bila dibandingkan dengan rayap
pemakan tanah, namun keberadaannya belum menjadi hama yang penting bagi petani di lahan kopi
multistrata karena tingkat kompetisinya juga masih cukup tinggi dengan spesies rayap yang lain. Hal
tersebut ditunjukkan dengan nilai proporsi rayap dominan terendah (0.20). Namun pada perkebunan
damar, nilai proporsi rayap dominan tertinggi yaitu 63% (didominansi oleh rayap Odontotermes
grandiceps).
Rayap pemakan lumut kerak (lichen) seperti Hospitalitermes hospitalis atau pemakan seresah seperti
Longipeditermes longipes merupakan indikator lingkungan yang masih menguntungkan, karena
kelembaban yang tinggi sudah tidak bisa ditemukan lagi di hutan alami wilayah DAS Konto. Kedua
spesies tersebut masih ditemukan di hutan-hutan alami Sumberjaya (Lampung Barat) maupun Jambi.
7.1. Pendahuluan
Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan terjadinya perubahan iklim mikro, karena
jenis tanaman yang ditanam berubah sehingga berpengaruh terhadap tingkat penutupan tanah. Selain itu,
jenis tanaman yang ditanam berbeda maka jumlah dan jenis masukan bahan organik (BO) ke dalam tanah
juga akan berbeda dan akhirnya akan mengubah status bahan organik tanah (BOT). Berubahnya kualitas
masukan bahan organik mempengaruhi populasi "soil engineers", salah satunya adalah rayap (Abensperg-
Traun and De Boer, 1990; Burghouts et al., 1992 dalam Basu et al., 1996). Jones et al. (2003),
melaporkan bahwa bahan organik ‗kualitas‘ rendah (kandungan C, lignin dan polifenolik tinggi) lebih
disukai oleh rayap. Bahan organik kualitas rendah biasanya lebih didominasi bahan organik berkayu,
seperti tonggak kayu, cabang dan ranting (Purwanto, 2004). Perubahan yang terjadi pada komunitas rayap
meliputi perubahan dalam hal keragaman spesies, komposisi spesies, biomassa dan kerapatannya (Basu et
al, 1996).
Berdasarkan laporan kegiatan CSM-BGBD di Sumberjaya (Aini, 2004), menunjukkan bahwa total spesies
rayap yang berhasil ditemukan adalah 39 spesies, dimana 22 spesies dari jumlah tersebut ditemukan pada
80
lahan hutan alami yang belum mengalami banyak gangguan (kurang intensif); dan 15 spesies rayap yang
ditemukan tersebut diklasifikasikan sebagai rayap yang eksklusif. Semakin intensif penggunaan lahan,
semakin berkurang diversitas rayap yang ditemukan. Pada lahan pertanian, populasi rayap yang ditemukan
lebih didominasi oleh rayap pemakan kayu yang berpotensi besar menjadi hama, sedangkan diversitas
spesies rayap pemakan tanah semakin berkurang. Basu et al. (1996), menyatakan bahwa kelimpahan dan
biomassa rayap pemakan tanah berhubungan erat dengan kandungan N dan BOT.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari diversitas rayap yang ada di berbagai lahan agroforestri
yang ada di kawasan DAS Konto.
7.2. Metode
Inventarisasi diversitas rayap dilakukan pada beberapa tahap yaitu penetapan plot pengambilan contoh
rayap, identifikasi di laboratorium dan analisis serta interpretasi data.
7.2.1. Lokasi
Rayap di DAS Konto diamati pada sistem penggunaan lahan hutan terganggu, agroforestri kopi
multistrata, agroforestri sederhana (kopi naungan glirisidia), perkebunan bambu, perkebunan pinus,
perkebunan mahoni, perkebunan damar, rumput gajah monokultur dan tanaman semusim. Pada masing-
masing sistem penggunaan lahan tersebut pengukuran diulang sebanyak 5 kali pada plot yang berbeda.
7.2.2. Pengambilan contoh rayap
Metoda transek semi kuantitatif merupakan pengembangan dari metode standar transek 100 meteran yang
sudah dimodifikasi (Jones et al. 2003; BGBD, 2004). Posisi transek semi kuantitatif ditentukan 8 m dari
titik pengambilan contoh makrofauna dengan menggunakan metoda monolith (Gambar 7.1). Transek
pengamatan dibuat berukuran 20 m x 2 m, dibagi menjadi 4 sub-petak. Pada masing-masing sub-petak
diambil 6 monolit tanah berukuran 12 cm x 12 cm x 10 cm. Contoh rayap dari setiap monolit diambil
secara manual dalam waktu 5 menit.
Guna memaksimalkan jumlah jenis yang ditemukan, contoh rayap juga diambil dari micro-sites, misalnya
pada tunggul dan batang pohon mati, sela-sela akar tanaman, diantara seresah, batang pohon hingga
setinggi 1.3 m. Panjang waktu pengambilan contoh adalah 15 menit. Contoh rayap yang diperoleh
selanjutnya disimpan dalam botol kaca berisi etanol 70 %, diidentifikasi dibawah mikroskop dengan
pembesaran 40 x 10. Identifikasi rayap dilakukan pada kasta prajurit hingga tingkat spesies berdasarkan
karakteristik morfologi tipe kepala dan mandibel (Tho, 1992; Thapa, 1981).
81
Gambar 7.1. Posisi pengambilan contoh nematoda dan rayap
7.2.3. Analisis Data
Di dalam mempelajari diversitas organism tanah ada 4 nilai yang harus ditetapkan, yaitu: (1) Nilai
dominasi spesies, (2) Kelimpahan suatu spesies, (3) Diversitas spesies, (4) Diversitas maksimum, (5)
Distribusi spesies dalam suatu area.
Nilai dominasi spesies
Dominasi spesies dihitung berdasarkan nisbah jumlah temuan spesies X terhadap total spesies yang
ditemukan di suatu wilayah (pi).
Spesies yang memiliki nilai pi tertinggi adalah spesies yang mendominasi suatu kawasan. Untuk suatu
kawasan, dominasi suatu spesies rayap dapat dihitung dengan jalan menghitung nilai pi dari spesies A dari
berbagai SPL dalam suatu kawasan, dengan perhitungan sebagai berikut:
Dimana:
pi = proporsi spesies A terhadap total genus yang ditemukan
Kelimpahan rayap
Kelimpahan rayap merupakan kelimpahan relatif (KR) yaitu frekuensi temuan rayap jenis X pada semua
transek pengamatan dalam satu kawasan (Swift dan Bignell, 2001). Jadi temuan ini bersifat semi
kuantitatif yang berbeda dengan kelimpahan mutlak (jumlah temuan individu per luasan tertentu).
KR = n
F
pi = Jumlah temuan spesies A
Total temuan
82
Dimana:
KR = kelimpahan relatif (jumlah temuan per SPL)
F = frekuensi temuan = jumlah sub petak tempat ditemukannya rayap X
N = jumlah ulangan yaitu jumlah transek pengambilan contoh rayap per SPL. Dalam hal ini ada 5
ulangan (n = 5).
Diversitas rayap
Diversitas rayap pada setiap SPL dinilai berdasarkan beberapa ukuran diversitas meliputi
Indeks Diversitas Shannon-Wiener, Diversitas maksimum, Indeks Diversitas Simpson dan
Ekuitabilitas (Krebs, 1985).
Indeks diversitas Shannon-Wiener digunakan untuk mengkaji komponen kekayaan atau variasi
dari keragaman jenis yang berkaitan dengan kestabilan lingkungan.
Indeks Diversitas Simpson digunakan untuk mengukur kemungkinan dua individu yang secara
acak diambil dari sebuah contoh sebagai spesies yang berbeda. Selang kisaran nilainya adalah
antara 0-1 dimana semakin besar nilai menunjukkan keragaman yang semakin tinggi.
Ekuitabilitas (E) merupakan indeks untuk mengukur distribusi spesies dimana nilai yang semakin
tinggi menunjukkan distribusi masing-masing spesies pada ekosistem yang diamati semakin
merata (Suin, 1989).
Rumus perhitungan yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Indeks diversitas Shannon Wiener, H =
b. Index Diversitas Simpsons, D = 1-
c. Dimana:
d. pi= Proporsi spesies i terhadap total spesies
e. S= jumlah jenis spesies
f. Ekuitabilitas, E=
g. Hmax=
h. Hmax= H bila semua spesies terdistribusi merata
7.2.4. Analisis statistika
Tabulasi data, penghitungan diversitas, proporsi dan kelimpahan relatif dan pembuatan grafik dilakukan
dengan menggunakan software Ms. Excell. Perhitungan nilai korelasi, regresi dan uji t berpasangan
dilakukan dengan menggunakan software SPSS 11.0 dan Genstat Discovery 3.
83
7.3. Hasil
7.3.1. Diversitas rayap
Kegiatan pengambilan contoh rayap sudah dilakukan pada bulan Februari hingga Maret 2009. Aktivitas
pengambilan contoh rayap di lapangan dapat dilihat pada Gambar 7.2 dan 7.3.
Gambar 7.2. Menyeberangi sungai untuk mencapai hutan (A) Rayap pada tunggul pohon (B) pemilihan rayap dari monolit tanah (C dan D), rayap yang berhasil ditemukan dimasukkan dalam botol berisi alkohol 70%
Gambar 7.3. Pengambilan dan pelabelan contoh rayap di lapangan (A dan B), Ethanol 70% dalam botol
semprot digunakan untuk membasahi spesimen selama pengamatan (C) Vial berisi spesimen dari lapangan
yang sudah diawetkan dalam ethanol 70% (D), alat-alat yang dibutuhkan untuk identifikasi seperti cawan petri,
pinset, kuas (E)
84
Hasil inventarisasi rayap ditunjukkan pada Tabel 7.1 Rayap ditemukan pada 8 dari 9 sistem penggunaan
lahan (SPL) yang diamati di DAS Konto. Total spesies rayap yang ditemukan adalah 19 spesies dari
berbagai kelompok fungsional mulai dari pemakan kayu hingga pemakan tanah. Hasil analisa
menggunakan anova menunjukkan bahwa perbedaan SPL berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap
diversitas rayap total, berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap rayap pemakan tanah maupun rayap pemakan
kayu. Uji lanjut dengan BNT 5% terhadap total spesies rayap menunjukkan bahwa total spesies SPL hutan
bambu, hutan terganggu, kopi multistrata, perkebunan mahoni dan rumput gajah berbeda nyata (p<0.05)
dengan tanaman semusim (TS) dimana di SPL ini tidak ditemukan rayap sama sekali. Sedangkan uji lanjut
pada spesies rayap pemakan tanah menunjukkan bahwa hutan bambu (HB), hutan terganggu (HT) dan
rumput gajah (RG) berbeda nyata (p<0.05) dengan SPL tanaman semusim (TS) dan perkebunan pinus
(PP). Uji lanjut pada diversitas rayap pemakan kayu menunjukkan bahwa diversitas di seluruh SPL
berbasis kayu dan rumput gajah berbeda nyata dengan SPL tanaman semusim (TS).
Hutan bambu memiliki jumlah jenis rayap yang paling tinggi ( 13 spesies rayap) bila dibandingkan dengan
SPL yang lain. Satu-satunya sistem penggunaan lahan yang jumlah temuan rayapnya nol adalah sistem
tanaman semusim (TS). Tidak ditemukannya rayap pada lahan tanaman semusim mengindikasikan bahwa
SPL tersebut sudah sangat intensif pengelolaannya. Pengelolaan pada lahan yang ditanami tanaman
hortikultura seperti kubis, terung, sawi, kentang dan cabe berlangsung cukup intensif, yang ditunjukkan
oleh adanya pencangkulan tanah, pemupukan dan penyemprotan insektisida secara berkala. Pemupukan
dilakukan setiap bulan selama masa tanam dengan menambahkan pupuk organik (mesh) , ZA, SP-36, dan
urea. Untuk menghindari serangan jamur dan hama setiap minggu maka dilakukan penyemprotan
campuran antara fungisida, insektisida dan pelekat. Fungisida dan insektisida tersebut diberikan pada saat
tanaman mulai berumur 1 bulan sampai panen. Gulma yang ada di lahan dicabuti. Bila ada gulma yang
bisa dijadikan pakan ternak maka diambil untuk pakan. Namun bila gulmanya tidak cocok untuk pakan
ternak maka akan dikumpulkan ditepi lahan, ada yang dibiarkan begitu saja tapi ada juga yang memilih
untuk membakarnya.
Semua spesies rayap yang ditemukan di hutan terganggu (HT) masih dapat ditemui di SPL yang lain
kecuali pada lahan tanaman semusim (TS). Keluarga Capritermes yang meliputi spesies-spesies rayap
pemakan tanah bercampur humus (Pericapritermes spp.) juga masih dapat dijumpai di lahan budidaya.
Kemampuan lahan budidaya berbasis pohon dalam mengkonservasi kelompok spesies rayap tersebut
merupakan indikator kualitas tanah di lahan-lahan budidaya berbasis pohon masih cukup baik dan
memiliki kandungan humus yang masih cukup tinggi. Bahkan spesies P. Semarangi dan P. buitenzorgi
yang sudah hilang pada saat hutan mengalami gangguan oleh manusia, spesies tersebut masih dapat
bertahan di hutan bambu (HB), kopi naungan glirisidia (KG) dan di lahan rumput gajah (RG).
Dari seluruh spesies tersebut, rayap pemakan kayu seperti Odontotermes grandiceps dan Macrotermes
gilvus adalah spesies yang bisa ditemukan di semua sistem penggunaan lahan di DAS Konto. Hal tersebut
menandakan kemampuan Odontotermes grandiceps dan Macrotermes gilvus dalam beradaptasi dengan
kondisi lingkungan yang berbeda sangat tinggi dan berpotensi untuk menjadi hama di lahan budidaya.
Sementara itu spesies Pericapritermes semarangi, Oriensubulitermes sp.A, Bulbitermes constrictoides
danSchedorhinotermes tarakanensis adalah spesies-spesies rayap yang penyebarannya terkonsentrasi pada
satu SPL tertentu saja di DAS Konto. Beberapa species rayap yang dijumpai di DAS Konto disajikan
dalam Gambar 7.4 dan rayap pemakan lumut kerak Hospitalitermes hospitalis (Gambar 7.5) yang menjadi
indikator bahwa tingkat kelembaban cukup tinggi (tutupan lahan masih cukup rapat) seperti yang dijumpai
di hutan di Sumberjaya, ternyata di DAS Konto species tersebut tidak ditemukan (Aini et al., 2006).
85
Tabel 7.1. Diversitas rayap pada berbagai sistem penggunaan lahan di DAS Konto
No. Nama spesies Kelompok
fungsional
Diversitas Rayap pada Berbagai SPL
HT HB KM KG PM PP PD RG TS
1 Pericapritermec latignatus III 1) 1) 1)3) 1) 1) 1)
2 Pericapritermec dolichocephalus III 1) 1) 1) 1) 1) 1)
3 Pericapritermec sp C III 1) 1) 1)3) 1)
4 Pericapritermes semarangi III 1)
5 Pericapritermes buitenzorgi III 1) 1)
6 Oriensubulitermes sp A III 3)
7 Macrotermes gilvus II/fungi 1)3) 1)2) 1)3) 1)2)3) 1)3) 1)3) 1) 1)
8 Subulioiditermes emersoni III 1) 1)3) 1)2)3) 1) 1)2)3) 1)3) 1)
9 Odontotermes grandiceps II/fungi 1)3) 1)3) 1)3) 1)3) 1) 1)2) 1)3) 1)
10 Odontotermes provides II/fungi 1) 1)
11 Odontotermes javanicus II/fungi 1)3) 1)3) 1) 1) 1) 1)
12 Microtermes pakistanicus II/fungi 1)3) 1)3) 1)2)3) 1)2) 1) 1) 1)
13 Microtermes obesi II/fungi 3) 1)
14 Bulbitermes germanus II 3) 1) 1) 1) 1) 1)
15 Bulbitermes constrictiformis II 1) 1)2)3) 1)
16 Bulbitermes constrictoides II 1)
17 Schedorhinotermes mediobscurus I 1)3) 1)3)
18 Schedorhinotermes javanicus I 3) 1)2)3)
19 Schedorhinotermes tarakenensis I 1)
Jumlah 11 13 9 5 10 12 5 10 0
Catatan: SPL: HT=hutan terganggu, HB=hutan bambu, KM=kopi multistrata, KG=kopi glirisida, PM=perkebunan mahoni, PP=perkebunan pinus, PD=perkebunan damar, RG=rumput gajah, TS=tanaman semusim; Pengambilan spesimen: 1= spesimen diambil dari monolit tanah dalam transek, 2= spesimen diambil dari microsite dalam transek, 3=spesimen diambil dari observasi independen di luar transek; Grup fungsional, I=
pemakan kayu, seresah dan rumput (rayap tingkat rendah), II= pemakan kayu, seresah dan rumput (rayap tingkat tinggi), III = rayap pemakan tanah berhumus tinggi atau kayu yang sudah terdekomposisi lanjut, IV= rayap pemakan tanah dengan sedikit bahan organik (Donovan, 2001 dalam Gathorne-Hardy et al., 2002)
86
Gambar 7.4. Beberapa species rayap yang dijumpai di beberapa sistem penggunaan lahan di DAS Konto
87
Gambar 7.4 (lanjutan). Beberapa species rayap yang dijumpai di beberapa sistem penggunaan lahan di DAS
Konto
88
Gambar 7.5. Rayap pemakan lumut Hospitalitermes hospitalis indikator tutupan lahan cukup rapat.
SPL hutan bambu (HB) memiliki Indeks Diversitas Shannon-Wiener (H) paling tinggi (3.36) dibanding
yang lain (Tabel 7.2). Hal itu menunjukkan bahwa hutan bambu memiliki kekayaan spesies yang lebih
tinggi dan merupakan SPL yang paling stabil dibanding yang lain. Bila seluruh spesies tersebut memiliki
populasi yang jumlahnya merata (hampir sama) maka akan tercapai nilai Hmax yaitu 3.58. Nilai H dari
berbagai SPL yang diamati lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai Hmax. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa proporsi spesies rayap pada setiap SPL tidak merata, ada spesies yang ditemukan
dalam jumlah besar ada pula yang ditemukan dalam jumlah kecil.
Dari Tabel 7.2 juga diketahui bahwa SPL yang memiliki Indeks Simpson tertinggi adalah hutan
bambu(HB) (0.91) dan yang terendah adalah pada perkebunan damar (0.56). Hal yang menarik untuk
dicermati adalah untuk SPL rumput gajah (RG) dan hutan terganggu (HT) yang memiliki nilai D sama
(0.85) namun nilai H untuk SPL rumput gajah (RG) (2.90) lebih besar bila dibandingkan dengan hutan
terganggu (HT) (2.86). Indeks diversitas Shannon-Wiener yang lebih besar pada rumput gajah
menunjukkan bahwa SPL rumput gajah (RG) memiliki kondisi ekosistem yang lebih stabil dibandingkan
dengan SPL hutan terganggu(HT).
Ekuitabilitas dihitung berdasarkan indeks diversitas shannon-wiener (H) dan indeks diversitas maksimum
(Hmax). Ekuitabilitas menggambarkan bagaimana distribusi setiap spesies pada masing-masing sistem
penggunaan lahan. Equitabilitas hutan bambu (HB) dan kopi naungan glirisidia (KG) paling tinggi (0.94)
bila dibandingkan SPL lain. Meskipun jumlah spesies pada perkebunan pinus (PP) sama dengan jumlah
spesies yang ditemukan pada hutan bambu (HB) yaitu 12 spesies namun indeks ekuitabilitasnya lebih
rendah daripada hutan bambu (0.91). Hal ini disebabkan karena pada perkebunan pinus (PP) ada salah satu
spesies yang memiliki frekuensi temuan sangat tinggi sedangkan spesies yang lainnya frekuensi
89
ditemukannya lebih rendah. Sementara itu pada hutan bambu (HB) variasi frekuensi temuan antar
spesiesnya relatif lebih merata.
Tabel 7.2. Jumlah jenis rayap (menurut kelompok makannya) yang ditemukan, Indeks diversitas Shannon-
Wiener (H), total jumlah jenis (S) indeks diversitas maksimum (Hmax), ekuitabilitas (E) dan indeks Simpson
(D).
No SPL
Jenis
pemakan
tanah (T)
Jenis
pemakan
kayu (K)
Nisbah
T/K H S Hmax E D
1 HT 3 6 0.50 2.89 9 3.17 0.91 0.85
2 HB 4 8 0.50 3.36 12 3.58 0.94 0.91
3 KM 3 6 0.50 2.96 9 3.17 0.94 0.86
4 KG 1 4 0.25 2.19 5 2.32 0.94 0.76
5 PM 3 6 0.50 2.54 9 3.17 0.80 0.77
6 PP 1 11 0.09 3.28 12 3.58 0.91 0.88
7 PD 1 3 0.33 1.55 4 2.00 0.77 0.56
8 RG 4 5 0.80 2.90 9 3.17 0.92 0.85
9 TS 0 0 0 * * * * *
Keterangan: HT=hutan terganggu, HB=hutan bambu, KM=kopi multistrata, KG=kopi glirisida, PM=perkebunan mahoni, PP=perkebunan pinus,
PD=perkebunan damar, RG=rumput gajah, TS=tanaman semusim; * hasilnya tidak dapat diukur karena tidak ada temuan rayap di SPL tersebut.
7.3.2. Kelimpahan Relatif Rayap
Kelimpahan relatif rayap pada berbagai SPL dapat dilihat pada Gambar 7.2. Perubahan penggunaan lahan
secara nyata (p< 0.05) telah mempengaruhi kelimpahan rayap. Uji lanjut dengan BNT (menunjukkan
bahwa pengaruh SPL tersebut nyata pada SPL hutan terganggu (HT), hutan bambu (HB), kopi multistrata
(KM), perkebunan mahoni (PM) dan perkebunan pinus (PP) bila dibandingkan dengan SPL tanaman
semusim. Kelimpahan rayap tertinggi terdapat pada perkebunan mahoni (PP; 1750 temuan ha-1) diikuti
oleh perkebunan mahoni (PM; 1350 temuan ha-1), hutan terganggu (HT; 1300 temuan ha
-1), hutan bambu
dan kopi multistrata (HB dan KM; 1250 temuan ha-1), rumput gajah (RG; 1000 temuan ha
-1), kopi naungan
glirisidia (KG; 600 temuan ha-1) dan yang terendah adalah pada perkebunan damar (PD; 400 temuan ha
-1).
Berdasarkan kelompok fungsional grupnya, rayap pemakan kayu lebih melimpah dibanding dengan rayap
pemakan tanah pada setiap sistem penggunaan lahan (Tabel 7.2 dan Gambar 7.6). Perubahan SPL
berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kelimpahan rayap pemakan kayu dan berpengaruh tidak
nyata terhadap kelimpahan rayap pemakan tanah. Kelimpahan rayap pemakan kayu berbeda nyata antar
SPL, dimana kelimpahan rayap pemakan kayu pada perkebunan pinus lebih tinggi (rata-rata 1350
temuan/ha) dan berbeda nyata (p< 0.05) dengan kelimpahan rayap pemakan kayu pada hutan terganggu
(HT) dan hutan bambu (HB) (rata-rata 700 dan 650 temuan / ha) dan ketiganya berbeda nyata (P<0.05)
dengan tanaman semusim (TS). Kelimpahan rayap di DAS Konto didominasi oleh rayap-rayap pemakan
kayu (Gambar 7.7). Persentase kelimpahan rayap pemakan kayu tersebut 55 % dari kelimpahan total.
Tingginya persentase rayap pemakan kayu tersebut perlu diwaspadai karena berpotensi untuk menjadikan
rayap pemakan kayu ini sebagai hama bagi perkebunan di DAS Konto.
90
Gambar 7.6. Kelimpahan rayap di DAS Konto berdasarkan kelompok fungsionalnya dalam ekosistem
(Keterangan: HT=hutan terganggu, HB=hutan bambu, KM=kopi multistrata, KG=kopi glirisida,
PM=perkebunan mahoni, PP=perkebunan pinus, PD=perkebunan damar, RG=rumput gajah, TS=tanaman
semusim)
Gambar 7.7. Persentase rayap pemakan kayu dan rayap pemakan tanah
Proporsi adalah perbandingan antara kelimpahan suatu spesies tertentu terhadap kelimpahan total spesies
yang ada dalam suatu komunitas. Proporsi memberikan nilai rendah untuk spesies dengan kelimpahan
yang rendah dan nilai tinggi untuk spesies yang kelimpahannya tinggi. Hasil analisa proporsi spesies pada
setiap SPL memberikan informasi tentang spesies rayap yang kelimpahannya dominan disetiap sistem
penggunaan lahan (Tabel 7.3.).
0
500
1000
1500
2000
HT HB KM KG PM PP PD RG TS
Keli
mp
ah
an
, te
mu
an
per
ha
Sistem Penggunaan Lahan
Kelimpahan Rayap pemakan Tanah, temuan/haKelimpahan Rayap pemakan Kayu, temuan/ha
44.9%
55.1%
Rayap pemakan tanah, %
Rayap pemakan kayu, %
91
Tabel 7.3. Spesies rayap dominan dan proporsinya dalam sistem penggunaan lahan
No SPL Spesies rayap dominan Proporsi rayap
dominan
1 HT Pericapritermes dolichocephalus 0.23
2 HB Pericapritermes latignathus 0.15
3 KM Subulioiditermes emersoni, Microtermes pakistanicus 0.20
4 KG Macrotermes gilvus 0.33
5 PM Subulioiditermes emersoni 0.39
6 PP Schedorhinotermes javanicus 0.23
7 PD Odontotermes grandiceps 0.63
8 RG Pericapritermes sp C 0.25
9 TS 0 0
Keterangan: HT=hutan terganggu, HB=hutan bambu, KM=kopi multistrata, KG=kopi glirisida, PM=perkebunan mahoni, PP=perkebunan pinus,
PD=perkebunan damar, RG=rumput gajah, TS=tanaman semusim
Hutan terganggu (HT), hutan bambu (HB) dan rumput gajah (RG) didominasi oleh keluarga Capritermes
grup yang merupakan spesies rayap dari kelompok fungsional pemakan tanah dan bahan organik dalam
jumlah tinggi. Nilai proporsi rayap dominan pada hutan bambu (HB) adalah yang paling rendah bila
dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan yang lain. Hal ini menandakan ekosistem hutan bambu
lebih stabil dibandingkan dengan ekosistem lain di DAS Konto. Sementara itu lahan budidaya berbasis
pohon didominasi oleh rayap pemakan kayu. Diantara berbagai sistem budidaya berbasis pohon, nilai
proporsi rayap dominan pada kopi multistrata (KM)(0.20) adalah yang paling rendah bila dibandingkan
dengan sistem budidaya berbasis pohon yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa diantara berbagai
sistem budidaya berbasis pohon yang ada di DAS Konto, sistem kopi multistrata adalah sistem budidaya
yang relatif aman terhadap serangan rayap karena tingkat dominasi salah satu spesies rayap dalam
ekosistem itu relatif rendah. Sementara itu sistem budidaya pohon yang paling rentan terhadap
kemungkinan perubahan fungsi ekologis rayap dari ecosistem engineer menjadi pest adalah perkebunan
damar (PD).
Dominasi spesies rayap dari keseluruhan sistem penggunaan lahan dihitung dari proporsi masing-masing
spesies relatif terhadap total spesies ditunjukkan pada Gambar 7.8. Subulioditermes emersoni merupakan
spesies rayap pemakan tanah yang proporsinya paling tinggi yaitu 15 % diikuti oleh Odontotermes
grandiceps 14%, Pericapritermes dolicephalus 11% dan Macrotermes gilvus 10%. Tiga jenis spesies
rayap yang disebutkan terakhir merupakan rayap pemakan kayu. Macrotermes gilvus merupakan rayap
yang mengindikasikan adanya aktivitas manusia di wilayah tersebut.
92
Gambar 7.8. Dominasi 5spesies rayap dari keseluruhan SPL dihitung dari proporsi masing-masing spesies
relatif terhadap total spesies yang ditemukan
7.3.3. Tingkat kemiripan antar SPL
Tingkat kemiripan antar SPL berdasar kesamaan jumlah temuan spesies rayap ditunjukkan pada Gambar
7.6. SPL tanaman semusim (TS) tidak dimasukkan dalam analisis karena jelas berbeda dengan SPL lain
ditandai dengan tidak ditemukannya satu spesies rayap-pun pada SPL TS sehingga hanya 8 SPL yang
dianalisis lebih lanjut. Berdasarkan analisis cluster similarity, SPL di Kali Konto yang menjadi habitat
rayap dapat dikelompokkan ke dalam 7 kelompok/klaster. Pinus memiliki tingkat kemiripan yang terendah
dengan SPL yang lain (54%). HT, HB, RG, PD memiliki tingkat kemiripan hingga 64.7% dengan SPL
PM, KG, KM, KG dan KM merupakan satu klaster dengan tingkat kemiripan hingga 82.3%. Sementara
itu klaster lain yang juga memiliki tingkat kemiripan tinggi adalah HT dan HB dengan tingkat kemiripan
76. 4 %.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Pericaprite
rmes la
tignath
us
Pericaprite
rmec d
olic
hocephalu
s
Pericaprite
rmec s
p C
Pericaprite
rmes s
em
ara
ngi
Pericaprite
rmes b
uitenzo
rgi
Odonto
term
es g
randic
eps
Macro
term
es g
ilvus
Subulio
iditerm
es e
mers
oni
Odonto
term
es p
rodiv
es
Odonto
term
es ja
vanic
us
Mic
rote
rmes p
akis
tanic
us
Bulb
iterm
es g
erm
anus
Schedorh
inote
rmes …
Bulb
iterm
es c
onstr
ictifo
rmis
Schedorh
inote
rmes javanic
us
Schedorh
inote
rmes tara
kenensis
Mic
rote
rmes o
besi
Bulb
iterm
es c
ontr
icto
ides
Pro
po
rsi r
aya
p, %
Spesies Rayap
93
Gambar 7.9. Diagram tingkat kesamaan antar sistem penggunaan lahan berdasarkan jumlah temuan rayap
(Keterangan: HT=hutan terganggu, HB=hutan bambu, KM=kopi multistrata, KG=kopi Glirisida,
PM=perkebunan mahoni, PP=perkebunan pinus, PD=perkebunan damar, RG=rumput gajah, TS=tanaman
semusim)
7.3.4. Interaksi rayap dengan faktor lingkungan
Uji korelasi dan regresi antara rayap dengan parameter iklim mikro dan vegetasi ditunjukkan pada Tabel
7.4 dan Gambar 7.10. Diversitas rayap total berkorelasi sangat erat dengan perubahan kadar air tanah ( r =
0.60, p>thit = 0.001, r2 = 0.46) namun tren serupa juga diikuti oleh diversitas rayap pemakan kayu ( r =
0.53, p>thit = 0.005, r2 = 0.61). Sedangkan diversitas rayap pemakan tanah berkorelasi erat dengan kadar air
tanah (r= 0.47, p>thit = 0.01, r2 =0.31). Parameter vegetasi yang berkorelasi dengan diversitas rayap adalah
biomasa seresah. Biomasa seresah adalah parameter vegetasi yang berkorelasi sangat nyata (r= 0.38, p>thit
= 0.01, r2= 0.47) terhadap diversitas rayap pemakan tanah. Korelasi yang erat ini diduga berkaitan dengan
ketersediaan bahan organik sebagai bahan makanan dan kadar air tanah.
Nilai koefisien determinasi (r2) mencerminkan persentase data yang mengikuti pola persamaan Y.
Meskipun nilai korelasi antara diversitas rayap total berkorelasi sangat erat dengan kadar air dan diversitas
rayap pemakan tanah berkorelasi erat dan sangat erat dengan kadar air tanah dan biomasa seresah, namun
nilai koefiesien determinasinya (r2) < 50 %. Hal ini mencerminkan bahwa ada parameter lain yang juga
berkorelasi dengan diversitas rayap yang belum terukur dalam kegiatan ini.
Biomasa pohon berkorelasi erat dengan kelimpahan rayap total (r = 0.37, p>thit = 0.012, r2= 0.5) dan rayap
pemakan kayu (r = 0.3, p>thit = 0.024, r2= 0.5). Sedangkan kadar air tanah berkorelasi erat dengan
kelimpahan rayap total (r= 0,48, p>thit = 0.01, r2= 0.4) dan rayap pemakan tanah ( r = 0.46, p>thit =0.02, r
2=
0.4) (Tabel 7.5 dan Gambar 7.11). Korelasi rayap pemakan kayu dengan biomasa pohon berkaitan dengan
kebutuhan rayap pemakan kayu dengan ketersediaan makanan. Sedangkan korelasi yang erat antara rayap
pemakan tanah dengan kadar air tanah berkaitan dengan kondisi habitat yang kondusif bagi rayap pemakan
tanah. Gathorne-Hardy et al., 2002 mengemukakan bahwa rayap dari kelompok fungsional III tersebut
sebagian besar habitatnya adalah tanah dengan jalan membangun gundukan maupun dengan membuat
sarang di dalam tanah. Hanya sebagian kecil dari kelompok rayap pemakan tanah ini yang membuat
sarang pada kayu mati.
94
y = -0.0027x2 + 0.2702x - 5.4085R² = 0.2155
0
1
2
3
4
5
20 30 40 50 60Div
ers
ita
s R
aya
p P
em
akan
T
an
ah
, Sp
esi
es
Rerata Kadar Air Tanah, %
y = -0.0029x2 + 0.3114x - 6.4048R² = 0.7591
0
1
2
3
4
5
20 30 40 50 60Div
ers
itas
Ray
ap
Pem
akan
K
ayu
, Sp
esie
s
Rerata Kadar Air Tanah, %
C
y = -0.0056x2 + 0.5816x - 11.813R² = 0.46480
1
2
3
4
5
20 30 40 50 60Div
ers
itas
Ray
ap P
emak
an
Tan
ah d
an K
ayu
, Sp
esi
es
Rerata Kadar Air Tanah, %
A
y = -0.0012x2 + 0.2307x - 4.11R² = 0.4658
0
1
2
3
4
5
20 30 40 50 60Div
ers
itas
Ray
ap P
emak
an
Tan
ah, S
pes
ies
Biomasa seresah, Mg Ha-1
Tabel 7.4. Korelasi antara rayap dengan parameter iklim mikro dan vegetasi
Diversitas rayap
Biomasa
Pohon, Mg ha-1
Diversitas pohon, spesies
Kadar Air 0-10cm, %
Suhu Tanah 0-10 cm,
0C
Suhu Udara,
0C
Biomassa Vegetasi
Bawah, Mg ha-1
Seresah, Mg ha-1
Kayu Mati/ Tunggul, Mg ha-1
Nekromassa, Mg ha-1
Rayap Pemakan tanah
Korelasi 0.262 0.041 0.469(*) 0.269 0.371 0.048 0.384(**) -0.020 0.277
Prob>thit 0.082 0.788 0.014 0.175 0.057 0.753 0.009 0.897 0.065
Rayap Pemakan kayu
Korelasi 0.181 0.271 0.528(**) -0.198 -0.231 -0.055 -0.087 0.143 0.037
Prob>thit 0.235 0.071 0.005 0.322 0.247 0.718 0.572 0.348 0.810
Total rayap Korelasi 0.266 0.201 0.601(**) 0.015 0.048 -0.009 0.159 0.083 0.180
Prob>thit 0.078 0.186 0.001 0.943 0.813 0.952 0.297 0.589 0.237
Keterangan : * Korelasi nyata pada taraf 0.05 (2-arah), ** Korelasi nyata pada taraf 0.01 (2-arah).
Gambar 7.10. Regresi antara diversitas rayap total (A), diversitas rayap pemakan tanah (B) dan rayap pemakan
kayu (C) dengan kadar air tanah dan regresi antara diversitas rayap pemakan tanah dengan biomasa seresah (D)
B
D
95
y = 240.27ln(x) - 99.294R² = 0.5
0
500
1000
1500
2000
0 100 200 300 400
Ke
limp
ahan
ray
ap p
em
akan
ta
na
h d
an
kay
u, t
em
ua
n h
a-1
Biomasa Pohon, Mg ha-1
y = 177.46ln(x) - 114.81R² = 0.5
0
500
1000
1500
2000
0 100 200 300 400
Ke
limp
ah
an
ra
yap
pe
mak
an
kayu
, te
mu
an
ha-1
Biomasa pohon, Mg ha-1
y = -0.3023x2 + 43.087x - 972.88R² = 0.4
0
500
1000
1500
2000
20 30 40 50 60
Kel
imp
ahan
raya
p p
emak
an
tan
ah, t
emu
an h
a-1
Kadar Air Tanah 0-10 cm, %
y = -2.9685x2 + 286.83x - 5702.8R² = 0.4
0
500
1000
1500
2000
20 30 40 50 60
Ke
limp
ahan
raya
p p
emak
an
tan
ah d
an k
ayu
, tem
uan
ha
-1
Kadar Air Tanah 0-10 cm, %
Tabel 7.5. Korelasi antara kelimpahan rayap dengan faktor lingkungan
Kelimpahan relatif, temuan
Biomasa Pohon, Mg
ha-1
Diversitas pohon, Mg
ha-1
Kadar Air Tanah 0-10cm, %
Suhu
Tanah 0-10 cm,
0C
Suhu Udara,
0C
Biomassa
Vegetasi Bawah, Mg
ha-1
Seresah, Mg ha-
1
Kayu Mati/ Tunggul, Mg ha-
1
Nekromassa,
Mg ha-1
Rayap
Pemakan tanah
Korelasi 0.262 0.087 0.464(*) 0.255 0.308 0.002 0.234 -0.015 0.167
Prob>thit 0.082 0.568 0.015 0.200 0.118 0.990 0.122 0.925 0.272
Rayap
Pemakan kayu
Korelasi 0.34(*) 0.224 0.362 -0.184 -0.121 -0.163 -0.115 0.117 -0.004
Prob>thit 0.024 0.138 0.063 0.358 0.549 0.284 0.451 0.444 0.981
Total
spesies rayap
Korelasi 0.372(*) 0.210 0.480(*) -0.038 0.034 -0.123 0.017 0.083 0.072
Prob>thit 0.012 0.167 0.011 0.850 0.867 0.419 0.914 0.590 0.640
Keterangan: * Korelasi nyata pada taraf 0.05 (2-arah), ** Korelasi nyata pada taraf 0.01 (2-arah).
Gambar 7.11. Regresi antara biomasa pohon dengan rayap pemakan kayu (A) dan rayap pemakan tanah dan
kayu (B), kadar air tanah 0-10 cm dengan kelimpahan rayap pemakan tanah (C) dan kelimpahan rayap pemakan
tanah dan kayu (D).
7.4. Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjang hasil yang diperoleh di Sumberjaya, Lampung Barat maupun di Jambi
pada hutan alami dan kebun karet campur maupun kopi yang mengindikasikan bahwa perubahan hutan
menjadi sistem penggunaan lain dapat merubah komposisi spesies dan kelimpahan rayap ( Aini et al.,
2006, Eggleton et al., 1997, Eggleton et al. 1999, Jones et al., 2003). Bila dibandingkan dengan ke dua
A B
C D
96
lokasi tersebut dimana di Sumberjaya ditemukan 39 spesies dan di Jambi ditemukan sebanyak 54 spesies
rayap, maka kondisi hutan yang ada di DAS Konto sudah sangat terganggu. Gathorne-Hardy et al., 2002,
Jones et al., 2003, dan Aini 2006 juga mengemukakan bahwa perubahan sistem penggunan lahan
mempengaruhi diversitas rayap. Salah satu alasannya adalah sistem budidaya lahan yang monokultur
cenderung memiliki struktur ekosistem yang sederhana dan tidak beragam sehingga tidak bisa mendukung
peningkatan diversitas rayap. Pencangkulan dan penggunaan insektisida membuat kondisi lingkungan
menjadi kurang kondusif bagi rayap. Diversitas rayap di hutan bambu yang lebih tinggi dibandingkan
dengan sistem penggunaan lahan lain membuktikan bahwa hutan bambu yang keberadaannya merupakan
hutan ‗sengkeran‘ yang dikeramatkan masyarakat untuk melindungi sumber mata air tersebut memiliki
kondisi lingkungan yang sangat kondusif bagi rayap.
Rayap pemakan tanah bisa dijadikan sebagai indikator dari kesehatan lingkungan (Gathone-Hardy et al.,
2002). Ada 7 spesies rayap pemakan tanah yang masih bisa ditemukan di lahan budidaya berbasis kayu
merupakan informasi penting yang menandakan bahwa kondisi iklim mikro pada lahan budidaya berbasis
kayu saat ini masih mampu mengkonservasi kelompok rayap pemakan tanah yang dikenal sensitif
terhadap perubahan lingkungan. Meskipun demikian, rayap pemakan lumut kerak (lichen) seperti
Hospitalitermes hospitalis atau pemakan seresah seperti Longipeditermes longipes yang masih ditemukan
di hutan-hutan Sumberjaya, Lampung Barat maupun Jambi sudah tidak bisa ditemukan lagi di wilayah
DAS Konto.
Eggleton et al., 1997 mengemukakan bahwa setelah alih guna hutan, spesies-spesies rayap asli hutan tidak
serta merta mati kemudian hilang dari sistem penggunaan lahan yang baru. Mereka mungkin masih bisa
ditemukan pada ekosistem yang baru tersebut selama masa transisi yang kurang lebih berlangsung hingga
3 tahun. Spesies-spesies ini masih mungkin ditemukan pada micro-site seperti bagian tanah yang tertimbun
kayu sisa tebangan hutan atau pada tumpukan-tumpukan seresah yang tidak dibawa keluar dari lahan.
Keberadaannya setelah masa transisi ini tergantung pada tipe sistem penggunaan lahan yang baru. Rata-
rata umur lahan yang menjadi lokasi penelitian adalah > 4 tahun, maka lahan-lahan tersebut sudah
melewati masa transisi (Eggleton et al., 1997). Dengan demikian keberadaan spesies rayap pemakan tanah
pada lahan budidaya berbasis pohon mengindikasikan bahwa ekosistem yang baru sudah mulai pulih dari
ketidakstabilan paska alih guna lahan. Namun apakah spesies-spesies yang telah terlanjur hilang akan bisa
dijumpai lagi setelah ekosistem baru yang terbentuk paska alih guna lahan? Hal tersebut masih merupakan
tanda tanya besar dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Jones and Prasetyo 2002 dalam Gathorne-Hardy et al., 2002,
penurunan biomasa pohon berkorelasi erat dengan penurunan kelimpahan rayap pemakan kayu. Pada
kondisi seperti rayap memiliki mekanisme pengaturan ukuran populasi dalam bentuk kanibalisme terhadap
sesama jenisnya (Nandika 2003). Karakter rayap tersebut menjelaskan keeratan korelasi antara rayap
pemakan kayu dengan biomasa pohon. Dengan demikian kelimpahan rayap pemakan kayu paska alih guna
hutan menjadi lahan budidaya berbasis pohon tidak mengalami penurunan, bahkan pada beberapa sistem
penggunaan lahan kelimpahannya justru meningkat. Sejalan dengan itu Gillot et al., 1995 menjelaskan
bahwa populasi rayap pemakan kayu pada perkebunan karet yang dikembangkan paska alih guna hutan
tidak terlalu terpengaruh oleh perubahan lingkungan karena masih ada sisa tebangan pohon dan seresah
yang bisa menjadi sumber makanannya. Selain itu berkurangnya penutupan kanopi paska pembukaan
hutan segera dapat digantikan oleh penutupan dari cover crop dan seredah permukaan yang mengakibatkan
perubahan iklim mikro menjadi tidak terlalu ekstrim bagi rayap.
Meskipun rayap pemakan kayu memiliki proporsi yang lebih besar bila dibandingkan dengan rayap
pemakan kayu, namun keberadaannya belum menjadi hama yang penting bagi petani di lahan kopi
97
multistrata karena tingkat kompetisinya juga masih cukup tinggi dengan spesies rayap yang lain. Bahkan
rayap pemakan tanah juga masih punya peran yang cukup penting di sistem kopi multistrata (KM). Namun
pada sistem budidaya kayu komponen penyusunnya lebih sederhana, rayap pemakan kayu mulai
menunjukkan peran yang penting dan potensinya menjadi hama juga meningkat misalnya saja pada
perkebunan damar (PD) dimana proporsi Odontotermes grandiceps sangat dominan (63% dari total
kelimpahan rayap pada sistem PD).
7.5. Kesimpulan
Alih guna lahan hutan telah merubah komposisi diversitas rayap di DAS Konto. Namun pada sistem
budidaya pohon yang meliputi kopi multistrata (KM), kopi naungan Gliricidia (KG), perkebunan mahoni
(PM), perkebunan pinus (PP) dan perkebunan damar (PD) serta sistem budidaya rumput gajah masih
mampu mengkonservasi rayap pemakan tanah yang bisa menjadi indikator bagi kesehatan tanah.
Keberadaan rayap pemakan tanah selain menunjukkan kondisi iklim mikro yang perubahannya masih
dapat ditolerir oleh rayap pemakan tanah juga menjadi tanda bagi kandungan bahan organik yang masih
cukup tinggi di lahan budidaya. Namun pada sistem budidaya tanaman semusim tidak ada rayap yang bisa
bertahan hidup karena pengelolaannya yang sudah sangat intensif.
98
8. Agrobiodiversitas dalam Sistem Agroforestri: Nematoda (TULSEA-UB, 2009)
Ringkasan
Nematoda sulit dilihat dengan mata biasa! Pada umumnya petani kopi tidak mengetahui ada potensi
terjadinya serangan hama nematode di kebunnya. Dari hasil studi di DAS Kalikonto ini, diketahui bahwa
alih guna hutan menjadi lahan pertanian mengubah komposisi komunitas nematoda. Keragaman
nematoda paling tinggi ditemukan di hutan terganggu (HT) sebanyak 44 genus, di SPL kopi multistrata
ditemukan 36 genus, pada perkebunan mahoni ada 33 genus dan keragaman nematode terendah hanya 26
genus terdapat di perkebunan damar. Studi biodiversitas nematoda ini akan bermanfaat bagi petani bila
luarannya berupa informasi nematoda yang berpotensi sebagai hama pada lahan kopi dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya, sehingga pencegahan sebarannya dapat dilakukan sedini mungkin.
Pada lahan-lahan pertanian berbasis pepohonan komposisi nematoda parasit relatif terhadap nematoda
hidup bebas (Np:Nfp) meningkat bila dibandingkan dengan di hutan, kecuali pada lahan kopi dengan
naungan Gliricidia menunjukkan nilai Np:Nfp terendah (sekitar 51%). Pada lahan yang ditanami rumput
gajah secara monokultur menyebabkan komunitas nematoda didominasi oleh nematoda parasit (sekitar
81%). Dalam studi ini, nematoda parasit tumbuhan yang ditemukan pada seluruh SPL ada 8 genus, yaitu
Xiphinema, Longidorus, Criconemella, Tylenchus, Helicotylenchus, Radopholus, Pratylenchus,
Ditylenchus, dan Hoplolaimus. Lahan hutan, walaupun telah terganggu masih dapat mepertahankan
nematoda hidup bebas seperti nematoda pemakan bakteri, nematoda predator, dan nematoda omnivora
dalam komposisi yang cukup tinggi, sementara SPL rumput gajah tidak dapat mempertahankannya.
8.1. Pendahuluan
Perubahan biodiversitas dan tutupan vegetasi diatas tanah berdampak terhadap biodiversitas di dalam
tanah, karena komposisi dan jenis seresah juga berubah. Seresah yang ada di permukaan dan di dalam
tanah merupakan sumber energi bagi berbagai macam hewan dan tumbuhan yang hidup didalam tanah
(Hairiah et al., 2003). Salah satu fauna yang terpengaruh oleh adanya perubahan tutupan lahan adalah
nematoda (Swibawa et al., 2006).
Perubahan kuantitas dan kualitas seresah pasca alih guna lahan juga akan mempengaruhi kelimpahan
mikroba perombak bahan organik dan musuh alami nematoda. Salah satu musuh alami nematoda adalah
jamur penjerat, yang berpotensi menekan kelimpahan nematoda parasit tumbuhan. Menurut Swibawa
(2009) mikroba perombak bahan organik merupakan sumber makanan bagi nematoda free-living (non-
parasit tumbuhan) sehingga meningkatkan keragaman komunitas nematoda yang dapat mencegah
dominasi nematoda parasit tumbuhan akibat adanya kompetisi terhadap ruang.
Selain mengakibatkan perubahan komposisi kualitas dan kuantitas seresah, alih guna lahan juga
mendorong perubahan iklim mikro (suhu dan kadar air). Iklim mikro, terutama kelembaban tanah
merupakan salah satu faktor penting bagi aktivitas nematoda (Lee and Atkinson, 1997). Kelembaban tanah
penting bagi nematoda karena hewan ini menggunakan film air di partikel tanah untuk bergerak.
Nematoda menyukai tanah yang berporositas tinggi dan kadar air tanah kapasitas lapang (Wallace, 1971).
Berdasarkan jenis makanannya, nematoda ada yang memakan bakteri jamur (termasuk yeasts), alga,
protozoa dan invertebrata yang berukuran kecil (termasuk nematoda lainnya). Nematoda memiliki peran
99
positif dan negatif bagi kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan seperti dua mata uang logam. Nematoda
memainkan peranan penting dalam dekomposisi, siklus hara dan mengatur kesuburan tanah melalui aliran
energi serta perubahan dan pemanfaatan hara (Coleman et al., 1984; Sharma and Sharma, 1995; Sharma
and Sharma-in press). Contoh nematoda yang bermanfaat bagi tanah adalah nematoda enthomopathogenic.
Nematoda enthomopathogenic merupakan jenis nematoda yang bekerja sama dengan bakteri, mengurangi
populasi hama serangga dalam agroekosistem (Kaya and Gaugler, 1993). Sebagian besar nematoda
entomopathogenic adalah kelompok pemakan bakteri. Bakteri yang dimakan nematoda dapat berkembang
biak dalam tubuh serangga dan menyebabkan kematian pada serangga hama tersebut.
Penelitian tentang nematoda ini perlu dilakukan karena nematoda merupakan salah satu indikator penting
dari kesehatan lingkungan dimana semakin tinggi keragaman nematoda diharapkan akan semakin
mengurangi dominasi nematoda yang merugikan dan meningkatkan peran nemtoda yang menguntungkan.
Namun disisi lain informasi tentang diversitas nematoda di DAS Konto masih belum ada sehingga
penelitian ini perlu untuk dilakukan.
Tujuan
Tujuan dari penelitian iini adalah untuk mengukur diversitas nematoda pada berbagai sistem agroforestri di
DAS Konto dibandingkan terhadap hutan.
8.2. Metode
Tahapan untuk penelitian nematoda adalah pemilihan lokasi pengambilan contoh tanah (soil cores),
pengambilan contoh tanah, ekstraksi, identifikasi nematoda dan analisis serta interpretasi data.
8.2.1. Lokasi
Nematoda di DAS Konto diamati dari sistem penggunaan lahan (SPL) hutan terganggu, agroforestri kopi
multistrata, agroforestri sederhana, perkebunan bambu, perkebunan pinus, perkebunan mahoni,
perkebunan damar dan rumput gajah monokultur. Pada masing-masing sistem penggunaan lahan tersebut
pengukuran diulang sebanyak 5 kali pada plot yang berbeda.
8.2.2. Pelaksanaan
Kegiatan penetapan titik pengambilan contoh tanah untuk ekstraksi nematoda sudah dilakukan pada bulan
Februari hingga Maret 2009. Kegiatan penetapan plot dan pengambilan contoh tanah dapat dilihat pada
Gambar 8. 1.
100
Gambar 8.1. Diskusi mahasiswa dengan pembimbing di lapangan untuk menetapkan posisi pengambilan contoh tanah untuk isolasi nematoda (A), pengambilan contoh tanah (B dan C) dan pelatihan identifikasi
nematode oleh Dr. Gede Swibawa menurut standard identifikasi yang dipakai oleh Proyek BGBD (D).
8.2.3. Pengambilan Contoh Tanah (Soil Cores)
Posisi pengambilan contoh tanah dilakukan pada 12 sub-titik sampel yang berposisi pada dua lingkaran
yaitu lingkaran kecil (radius 3 m) dan lingkaran besar (radius 6 m) dari titik sampel yaitu monolit (Gambar
7.1). Sebelum dilakukan penggalian tanah, seresah permukaan dari atas permukaan tanah. Tanah dari
keduabelas sub-titik sampel ini dikomposit kemudian diambil sebanyak 500 g kemudian ditampung dalam
kantong plastik untuk diproses lebih lanjut di laboratorium. Sampel tanah diupayakan terhindar dari
penguapan dan terkena sinar matahari langsung.
8.2.4. Ekstraksi dan Penghitungan Nematoda
Nematoda diekstraksi dari 300 cc tanah menggunakan metode penyaringan dan sentrifugasi dengan larutan
gula (Gafur and Swibawa, 2004). Tahapan ekstraksi nematoda dari tanah disajikan pada Gambar 8.2.
Larutan gula dibuat dengan cara 500 g gula pasir dilarutkan dalam air sehingga larutan menjadi 1 liter.
Nematoda hasil ekstraksi dimatikan menggunakan air panas 60oC dan difiksasi menggunakan larutan
Golden X (8 bagian formalin + 2 bagian gliserin + 90 bagian aquades) sehingga suspensi mengandung 3%
formalin. Suspensi nematoda kemudian dibuat menjadi volume 15 ml. Nematoda yang telah difiksasi
kemudian dihitung di bawah mikroskop bedah stereo pada perbesaran 40 kali. Penghitungan dilakukan
terhadap 3 ml suspensi yang diletakkan pada cawan petri berdiameter 5 cm dan bergaris (0,5 cm x 0,5 cm).
101
Populasi (total individu) nematoda adalah rata-rata dari 3 kali penghitungan yang dikalikan 5 dalam
individu/300 cc tanah.
Gambar 8.2. Langkah-langkah ekstraksi nematoda dari dalam tanah.
Gambar 8.3. Penanganan contoh nematode di laboratorium dan identifikasi nematode oleh mahasiswa Jurusan
Tanah-UB dan Has den Bosch (Belanda).
8.2.5. Identifikasi Nematoda
Dari setiap contoh, 100 nematoda diambil secara acak menggunakan kait nematoda untuk dibuat menjadi
preparat semi permanen. Nematoda diletakkan pada gelas objek berukuran 2 cm x 6 cm dan ditutup
102
dengan gelas penutup. Nematoda diidentifikasi di bawah mikroskop majemuk pada perbesaran 100 - 400
kali. Nematoda dikelompokkan menjadi nematoda parasit tumbuhan dan nematoda nir-parasit tumbuhan
(Goodey 1963; Mai and Lion, 1975; Siddiqi, 1986). Kelimpahan relatif kelompok makan nematoda
ditetapkan dari 100 nematoda contoh yang diamati, dinyatakan dalam persen.
8.2.6. Parameter yang diamati
Parameter yang diamati dalam pengukuran biodiversitas nematoda adalah sebagai berikut:
1. Populasi
2. Kelompok fungsional (nematoda nir-parasit tumbuhan dan nematoda parasit tumbuhan)
8.2.7. Penghitungan Keragaman Komunitas Nematoda
Selain menggunakan indikator kelimpahan nematoda, kondisi sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian
diukur pula menggunakan indeks keragaman nematoda. Sama halnya dengan perhitungan yang dilakukan
untuk penghitungan keragaman rayap, digunakan dua indeks keragaman nematoda yang digunakan yaitu
indeks keragaman Shannon-Wiener (H‘) dan indeks keragaman Simpson‘s (H2), dipakai untuk mengukur
keragaman (richness) dan distribusi (evenness).
Indeks keragaman Shannon-Wiener dihitung dengan formula sebagai berikut:
Indeks keragaman Simpson (D) dihitung dengan formula sebagai berikut:
D = - ln ( pi2 )
dimana pi = proporsi genus ke i, dan s adalah jumlah genus yang ditemukan.
Menurut Ludwig and Reinold (1988) indeks keragaman Shannon dan Simpson‘s mengandung pengertian
kekayaan dan kegenapan jenis. Indeks keragaman Shannon mengukur keragaman organisme berdasarkan
jenis yang langka (rare species) sehingga bila nilai indeks ini tinggi maka keragaman jenis (genus)
nematoda tinggi (Krebs, 1985). Sedangkan indeks keragaman Simpson‘s lebih mengukur jenis biota yang
umum (common species), artinya bila nilai keragaman ini rendah maka terdapat suatu jenis (genus)
nematoda yang dominan (Pillou, 1977).
Untuk mengetahui genus nematoda mana yang berperan paling penting dalam suatu SPL maka dilakukan
perhitungan indeks nilai penting (INP). Rumus perhitungan INP adalah:
INP= KR + FR
Dimana:
KR = kelimpahan relatif = Ki/∑Ki....n
Ki = kelimpahan genus nematoda ke-i
Ki....n = kelimpahan genus nematoda total dari semua genus dalam 1 SPL
FR = frekuensi relatif = Fi / ∑Fi.....n
∑Fi...n = frekuensi temuan genus total dalam 1 SPL
103
8.2.8. Analisis Data
Data hasil pengamatan ditabulasi dan dianalisis menggunakan Ms. Excell. Analisa lebih lanjut dilakukan
menggunakan Minitab 13.
8.3. Hasil
8.3.1. Keragaman Nematoda
Dari hasil ekstraksi contoh tanah yang diambil pada sembilan SPL di Ngantang dan Pujon, Kabupaten
Malang, ditemukan paling sedikit 74 genus nematoda yang termasuk ke dalam 8 ordo nematoda. Genus
yang paling banyak ditemukan adalah dari ordo Tylenchida, kemudian diikuti oleh genus dari ordo
Rhabditida. Ordo Chromodorida dan Triplonchida masing-masing hanya mengandung 1 genus (Tabel
8.1).
Tabel 8.1. Nama ordo dan jumlah genus nematoda yang ditemukan di DAS Konto
No. Ordo Jumlah Genus
1 Aphelenchida 2
2 Araeolaimida 5
3 Chromodorida 1
4 Dorylaimida 19
5 Mononchida 9
6 Rhabditida 13
7 Triplonchida 1
8 Tylenchida 24
Total 74
Berdasarkan jumlah genus yang ditemukan, keragaman nematoda paling tinggi ditemukan di hutan
terganggu (HT) sebanyak 44 genus. Pada SPL kopi multistrata ditemukan 36 genus, pada perkebunan
mahoni ada 33 genus. Keragaman nematode terendah hanya 26 genus, terdapat di perkebunan damar
(Tabel 8.1).
Selain berdasarkan jumlah genus, keragaman nematoda dapat juga dinilai dengan menghitung nilai indeks
keragaman menurut Simpsons dan Shannon. Nilai indeks keragaman Simpsons pada berbagai SPL di DAS
Kali Konto berkisar antara 1.57 – 2.68 dan indeks keragaman Shannon 2.29 – 3.03. Berdasarkan kedua
indeks keragaman tersebut, SPL hutan terganggu memiliki keragaman nematoda tertinggi, yang
ditunjukkan dengan indeks keragaman Simpson 2.68 dan indeks Shannon 3.03. SPL kopi multistrata dan
padang rumput gajah memiliki indeks Simpsons yang rendah yaitu masing-masing 1.81 dan 1.57 dan
indeks keragaman Shannon masing-masing 2.48 dan 2.29 (Tabel 8.2). Rendahnya nilai Index Shimpsons
ini berarti bahwa pada lahan tersebut terdapat genus nematoda yang dominan, atau kelimpahan genus
nematoda tersebut jauh lebih tinggi dari pada kelimpahan genus lainnya. SPL lainnya memiliki indeks
keragaman Simpsons > 2.0 dan indeks keragaman Shannon > 2.5 kecuali SPL perkebunan damar (PD)
yang memiliki indeks keragaman Shannon hanya 2.49 (Tabel 8.2).
104
Melalui perhitungan indeks nilai penting dapat dilihat bahwa SPL yang merupakan lahan budidaya
didominasi oleh nematoda pemakan tanaman yang juga merupakan hama yaitu Helicotylenchus (0.28-
0.48) (Tabel 8.2; Lampiran 8.2). Sementara itu nematoda yang berperan penting di hutan terganggu adalah
Dorylaimus (0.17) yang merupakan nematoda omnivora sedangkan pada hutan bambu nematoda yang
punya indeks nilai penting paling tinggi adalah Aphanolaimus (0.18) yang merupakan nematoda pemakan
bakteri.
Tabel 8.2. Kelimpahan dan keragaman nematoda pada berbagai sistem penggunaan lahan di DAS Konto
No. SPL
Kelimpahan absolut
(individu/300 cc tanah)
Keragaman (Jumlah
genus yang ditemukan)
Indeks Keragaman
(Shannon)
Indeks Keragaman
(Simpsons)
Genus dengan INP
tertinggi INP
1 HT 719.67 44 3.03 2.68 Dorylaimus 0.17
2 HB 516.67 31 2.80 2.54 Aphanolaimus 0.18
3 KM 552.67 36 2.48 1.81 Helicotylenchus 0.40
4 KG 410.67 24 2.53 2.06 Helicotylenchus 0.35
5 PM 909.67 33 2.67 2.25 Helicotylenchus 0.28
6 PP 724.33 31 2.54 2.01 Helicotylenchus 0.36
7 PD 488.33 26 2.49 2.01 Helicotylenchus 0.32
8 RG 346.33 32 2.29 1.57 Helicotylenchus 0.48
9 TS 434.33 32 2.62 2.05 Helicotylenchus 0.36
(Keterangan: HT= hutan terganggu, HB = hutan bambu, KM= kopi multistrata, KG=kopi bernaungan Gliricidia, PM = perkebunan mahoni (PM),
PP= perkebunan pinus, PD= perkebunan damar, RG= padang rumput gajah, dan TS= tanaman semusim
Meskipun perhitungan dengan nilai penting per genus menunjukkan bahwa genus dengan INP tertinggi
pada SPL hutan bambu dan hutan terganggu bukan merupakan nematoda pemakan tumbuhan namun
perhitungan persentase kelimpahan Pada hutan terganggu persentase antara nematoda non parasit dan
parasit tidak berbeda nyata berdasarkan nilai standar error. Sedangkan pada hutan bambu perbedaan antara
nematoda non parasit dan parasit nyata dimana persentase kelimpahan nematoda parasit total lebih tinggi
dari pada persentase nematoda non parasit total. Hal ini menunjukkan bahwa pada hutan bambu, karena
sistemnya adalah monokultur, genus-genus nematoda pemakan tanaman berpotensi menjadi ancaman
untuk bambu. Meskipun demikian, kerusakan bambu akibat serangan nematoda masih belum pernah
dilaporkan di wilayah DAS Konto (Gambar 8.4).
105
Gambar 8.4. Persentase kelimpahan total antara nematoda pemakan tanaman (parasit tanaman) dan nematoda
non pemakan tanaman (non parasit tanaman) pada berbagai SPL
8.3.2. Kelimpahan Nematoda
Kelimpahan nematoda yang diukur dalam penelitian ini meliputi kelimpahan absolut yaitu total individu
seluruh genus yang ditemukan dalam 300 cc tanah dan kelimpahan relatif masing-masing genus nematoda.
Kelimpahan relatif genus nematoda adalah proporsi kelimpahan genus terhadap seluruh individu yang
ditemukan. Kelimpahan relatif dapat mengindikasikan dominansi suatu genus nematoda. Hasil analisa
anova menunjukkan bahwa SPL mempengaruhi kelimpahan nematoda di berbagai SPL di Ngantang
secara signifikan (p < 0.001) dimana dengan uji lanjut BNT dapat diketahui bahwa SPL kopi naungan
glirisidia (KG) dan rumput gajah (RG) memiliki populasi nematoda yang lebih rendah dan sangat berbeda
nyata dengan perkebunan mahoni (PM). Sedangkan SPL hutan bambu (HB), hutan terganggu (HT), kopi
multistrata (KM), perkebunan pinus (PP), perkebunan dadap (PD) dan tanaman semusim (TS) memiliki
populasi nematoda yang tidak berbeda nyata satu sama lain, dan juga tidak berbeda nyata dengan SPL kopi
naungan glirisidia (KG), rumput gajah (RG) dan perkebunan mahoni (PM).
Untuk tujuan evaluasi kesehatan tanah-tanah Pertanian, informasi keragaman nematoda menurut jenis
makanannya akan lebih bermanfaat dari pada informasi kelimpahan per genus nematode. Berdasarkan
kelompok makanannya genus nematoda yang ditemukan di DAS Konto dapat dikelompokkan menjadi 6
kelompok: nematoda parasit tumbuhan (plant feeders) 30 genus, nematoda pemakan jamur (fungal
feeders) 2 genus, nematoda pemakan bakteri (bacterial feeders) 18 genus, nematoda predator (predator) 9
genus, nematoda omnivora (omnivora) 12 genus dan nematoda pemakan alga (algal feeders) 1 genus
(Lampiran 8.1).
Nematoda parasit tumbuhan yang ditemukan pada seluruh SPL ada 8 genus, yaitu Xiphinema, Longidorus,
Criconemella, Tylenchus, Helicotylenchus, Radopholus, Pratylenchus, Ditylenchus, dan Hoplolaimus.
Pratylenchus yaitu genus nematoda yang sering dilaporkan menyerang kopi, dengan kelimpahan relative
yang diperoleh pada SPL Kopi Multistrata, RG (rumput gajah), PM (Perkebunan Mahoni), dan PP
(Perkebunan Pinus) berkisar antara 10-16%.
Dari semua genus nematoda yang ditemukan pada seluruh SPL, hanya beberapa yang memiliki
kelimpahan relatif yang cukup tinggi. Xiphinema yang memiliki kelimpahan relatif sekitar 8 – 10%
ditemukan pada SPL hutan terganggu, kopi multistrata, perkenunan mahoni dan hutan bambu.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
HT HB KM KG PM PP PD RG TS
Per
sen
tase
kel
imp
ahan
to
tal
ne
mat
od
a, %
Sistem Penggunaan Lahan
Parasit tanaman (%)
Non parasit tanaman (%)
106
Criconemella dengan kelimpahan relatifnya 6-17% terdapat pada SPL hutan terganggu, rumput gajah,
perkebunan mahoni, perkebunan pinus, perkebunan dadap, dan tanaman semusim. Kelimpahan relatif
Helicotylenchus memiliki kelimpahan relatif yang tinggi pada semua SPL, namun yang kelimpahan
relatifnya mencapai 30-41% hanya terdapat pada kopi multistrata, rumput gajah, perkebunan pinus, dan
tanaman semusim.
Dari Gambar 8.6 dapat diketahui bahwa pada semua SPL yang diamati komunitas nematoda didominasi
oleh nematoda parasit tumbuhan. Pada SPL rumput gajah monokultur, komposisi nematoda parasit
terhadap nematoda hidup bebas (Np:Nfp) mencapai 81%.
Gambar 8.5. Komposisi kelompok makan komunitas nematoda pada setiap sistem penggunaan lahan.
(Keterangan: A = hutan terganggu (HT), B= hutan bambu (HB), C= kopi multistrata (KM), D= kopi bernaungan
Gliricidia (KG), E= perkebunan mahoni (PM), F= perkebunan pinus (PP), G= perkebunan damar (PD), H=
padang rumput gajah (RG), dan I= tanaman semusim (TS)
Sedangkan pada SPL kopi naungan Gliricidia nisbah Np:Nfp terendah (58%) dari pada SPL Lainnya.
Nisbah Np:Nfp pada SPL hutan alami terganggu dan hutan bambu rata-rata sekitar 61%; sedang Np:Nfp
yang diperoleh di SPL kopi multistrata, perkebunan pinus, mahoni dan damar serta SPL tanaman semusim
rata-rata 70%. Gambar 8.6 adalah genus-genus nematoda yang ditemukan di DAS Konto.
107
Gambar 8.6. Beberapa gambar nematode yang umum ditemukan dan berpotensi sebagai hama tanaman di DAS
Konto
108
Gambar 8.6 (lanjutan). Beberapa gambar nematode yang umum ditemukan dan berpotensi sebagai hama
tanaman di DAS Konto
109
Gambar 8.6 (lanjutan). Beberapa gambar nematode yang umum ditemukan dan berpotensi sebagai hama
tanaman di DAS Konto
8.3.3. Kemiripan antar sistem penggunaan lahan
Dari hasil analisis klaster (similaritas) SPL, diketahui bahwa genus nematoda yang ditemukan di DAS
Konto dapat dikelompokkan menjadi 8 klaster. hutan terganggu (HT) dan hutan bambu merupakan satu
klaster dengan tingkat kemiripan 81% (Gambar 8.7). Kemiripan SPL hutan bambu dan hutan terganggu
inilah yang menyebabkan genus nematoda yang berperan penting di kedua klaster ini juga berbeda dari
SPL budidaya dimana pada SPL budidaya genus nematoda terpentingnya adalah Helycotylenchus yang
merupakan hama tanaman pertanian. Klaster tersebut memiliki tingkat kemiripan sekitar 76% dengan SPL
lainnya. Perkebunan mahoni (PM) dan perkebunan damar (PD) merupakan klaster lain yang memiliki
tingkat kemiripan sekitar 91% dengan SPL selain HT dan HB. SPL kopi multistrata (KM) dan
perkebunan pinus (PP) satu klaster dengan tingkat kemiripan yang tinggi yaitu 98%.
110
Gambar 8.7. Dendrogram kemiripan (similaritas) sistem penggunaan lahan (SPL) berdasarkan genus
nematoda. (HT = hutan terganggu, HB = hutan bambu, KM = kopi multistrata, KG = kopi bernaungan
Gliricidia, PM = perkebunan mahoni, PP = perkebunan pinus, PD = perkebunan damar, RG = padang rumput
gajah, TS = tanaman semusim).
8.3.4. Pengaruh lingkungan terhadap nematoda
Dari berbagai faktor lingkungan yang dikorelasikan dengan nematoda seperti diversitas pohon, biomasa
vegetasi bawah, biomasa seresah, nekromasa dan persentase penutupan kanopi, ketebalan seresah, suhu
tanah, kadar air, suhu udara, BI, pH, Corg/Cref, pasir,sebu,liat, dan porositas total hanya diversitas pohon,
suhu udara, biomasa vegetasi bawah dan Corg/Cref yang berkorelasi dengan diversitas dan populasi
nematoda. Hasil uji korelasi dan hasil analisa regresi antara nematoda dan parameter lingkungan yang
hasilnya nyata ditunjukkan pada Tabel 8.3 dan Gambar 8.8. Populasi total nematoda berkorelasi sangat
nyata dengan suhu udara (r = -0.8, p>thit = 0.01, r2 = 0.67) dan biomasa vegetasi bawah (r = - 0.72, p>thit =
0.03, r2 = 0.53). Populasi nematoda non hama berkorelasi sangat erat dengan parameter suhu udara (r = -
0.83, p>thit = 0.01, r2 = 0.7) dan berkorelasi erat dengan biomasa vegetasi bawah ( r= -0.67, p>thit = 0.05, r
2
= 0.51). Populasi nematoda hama berkorelasi sangat erat dengan suhu udara (r = - 0.8, p>thit = 0.01, r2 =
0.61) dan berkorelasi erat dengan biomasa vegetasi bawah ( r = - 0.72, p>thit = 0.03, r2 = 0.53). Sedangkan
diversitas nematoda total berkorelasi erat dengan diversitas pohon (r = 0.79, p>thit = 0.01, r2 = 0.73) dan
Corg/Cref tanah (r = 0.95, p>thit = 0.01, r2 = 0.93). Sementara itu, diversitas nematoda non hama di DAS
Konto berkorelasi sangat erat dengan diversitas pohon (r = 0.79, p>thit = 0.01, r2 = 0.65) dan berkorelasi
erat dengan Corg/Cref tanah (r = 0.95, p>thit = 0.02, r2 = 0.88).
111
Tabel 8.3. Tabel korelasi antara populasi dan diversitas nematoda terhadap diversitas pohon, suhu udara,
biomasa vegetasi bawah dan Corg/Cref tanah di DAS Konto
Keterangan: * Korelasi nyata pada taraf 0.05 (2-arah), ** Korelasi nyata pada taraf 0.01 (2-arah).
8.4 Pembahasan
Penelitian ini menunjukkan bahwa untuk menghindari dominasi nematoda yang berpotensi menjadi hama
maka yang penting adalah dengan meningkatkan diversitas pohon agar diversitas nematoda non hama
meningkatkan. Selain itu untuk meningkatkan diversitas nematoda non hama maka perlu dilakukan upaya
untuk meningkatkan kandungan Corg/Cref pada tanah. Dari hasil ini maka agroforestri merupakan alternatif
yang baik untuk menekan nematoda parasit tanaman dibanding sistem budidaya tanaman tahunan yang
lain. Kopi naungan glirisidia memiliki kelimpahan nematoda yang lebih rendah dibandingkan dengan
sistem kopi multistrata karena tanaman glirisidia mengahsilkan senyawa tanin yang tidak disukai oleh
nematoda. Meskipun kopi multistrata memiliki diversitas pohon yang lebih tinggi namun kelimpahan
nematodanya tinggi juga disebabkan karena adanya pohon-pohon yang menjadi inang nematoda yang juga
ditanam di lahan budidaya seperti misalnya pisang. Oleh karena itu pemilihan jebis pohon yang akan
ditanam di dlam sistem agroforestri perlu mempertimbangkan apakah jenis tersebut merupakan inang dari
nematoda yang menjadi hama tanaman atau tidak.
Diversitas dan populasi
nematoda
Diversitas
pohon
Suhu
udara, ᵒC
Biomasa vegetasi bawah
ton ha-1
Corg/Cref
Populasi nematoda
hama
Korelasi 0.39 -0.8 ** -0.72* -0.65
Prob>thit 0.31 0.01 0.03 0.24
Populasi nematoda
non hama
Korelasi 0.58 -0.83** -0.67* -0.37
Prob>thit 0.10 0.01 0.05 0.54
Populasi nematoda
total
Korelasi 0.51 -0.84** -0.71* -0.51
Prob>thit 0.16 0.01 0.03 0.38
Spesies total
nematoda
Korelasi 0.79* 0.28 -0.44 0.95*
Prob>thit 0.01 0.46 0.23 0.01
Spesies hama Korelasi 0.40 0.50 -0.18 0.75
Prob>thit 0.28 0.17 0.64 0.14
Spesies non hama Korelasi 0.79** 0.09 -0.47 0.95*
Prob>thit 0.01 0.81 0.20 0.02
112
y = 7E+07e-0.531x
R² = 0.70060
200
400
600
800
1000
1200
21.0 22.0 23.0 24.0 25.0 26.0
Po
pu
lasi
nem
ato
da
no
n h
ama,
in
div
idu
/30
0 c
c ta
nah
Suhu udara, ᵒC
y = 2E+06e-0.337x
R² = 0.66710
200
400
600
800
1000
1200
21.0 22.0 23.0 24.0 25.0 26.0
Po
pu
lasi
to
tal n
emat
od
a,
ind
ivid
u/3
00
cc
tan
ah
Suhu udara, ᵒC
y = 81833e-0.23x
R² = 0.60860
200
400
600
800
1000
1200
21.0 22.0 23.0 24.0 25.0 26.0
Po
pu
lasi
nem
ato
da
ham
a,
ind
ivid
u/3
00
cc
tan
ah
Suhu udara, ᵒCy = 6.205x2 - 120.25x + 873.45
R² = 0.5272
0100200300400500600700800900
1000
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Po
pu
laas
i to
tal n
emat
od
a,
in
div
idu
/30
0 c
c ta
nah
Biomasa vegetasi bawah, Mg ha-1
y = 5.2689x2 - 87.494x + 425.01R² = 0.509
0100200300400500600700800900
100011001200
0 5 10 15
Po
pu
lasi
ne
mat
od
a n
on
ham
a,
ind
ivid
u/3
00
cc
tan
ah
Biomasa vegetasi bawah, Mg ha-1
y = 0.9361x2 - 32.751x + 448.45R² = 0.5294
0100200300400500600700800900
100011001200
0 5 10 15
Po
pu
lasi
ne
mat
od
a h
ama,
in
div
idu
/30
0 c
c ta
nah
Biomasa vegetasi bawah, Mg ha-1
y = 0.041x2 - 0.7422x + 31.414
R² = 0.7325
05
101520253035404550
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112Div
ersi
tas
tota
l nem
ato
da,
Sp
esie
s
Diversitas pohon, Spesies
y = 0.0124x2 - 0.0132x + 15.599
R² = 0.6527
05
101520253035404550
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
Div
ersi
tas
nem
ato
da
no
n
ham
a,
Spes
ies
Diversitas pohon, Spesies
y = 54.68x2 - 14.655x + 23.654R² = 0.936105
101520253035404550
0.00.10.20.30.40.50.60.70.80.91.0
Div
ersi
tas
tota
l nem
ato
da,
Sp
esie
s
Corg/Cref
y = 11.176x2 + 17.335x + 5.831
R² = 0.8844
05
101520253035404550
0.00.10.20.30.40.50.60.70.80.91.0
Div
ersi
tas
nem
ato
da
no
n
ham
a,
Spes
ies
Corg/Cref
Gambar 8.8 Regresi antara populasi nematoda total terhadap suhu udara (A) dan, biomasa vegetasi bawah (D); nematoda non hama terhadap suhu udara (B) dan biomasa
vegetasi bawah (E) serata populasi nematoda hama dengan suhu udara (C) dan (biomasa vegetasi bawah (F); diversitas total nematoda terhadap diversitas pohon (G) dan
Corg/Cref (I) serta antara diversitas nematoda non hama dengan dengan diversitas pohon (H) dan Corg/Cref (J).
A B C
D E F
G H I J
113
8.5 Kesimpulan
Adanya alih guna hutan menjadi lahan pertanian mengubah komposisi komunitas nematoda. Pada lahan-
lahan pertanian komposisi nematoda parasit relatif terhadap nematoda hidup bebas meningkat, kecuali
pada lahan kopi dengan naungan Gliricidia. Pada lahan yang ditanami rumput gajah saja menyebabkan
komunitas nematode di DAS Konto didominasi nematoda parasit. Lahan hutan, walaupun telah
terganggu masih dapat mepertahankan nematoda hidup bebas seperti nematoda pemakan bakteri,
nematoda predator, dan nematoda omnivora dalam komposisi yang cukup tinggi, sementara SPL rumput
gajah tidak dapat mempertahankannya. Parameter lingkungan yang berkorelasi erat dengan populasi dan
diversitas nematoda adalah suhu udara, biomasa vegetasi bawah, diversitas pohon, dan kadar Corg/Cref.
Untuk memperkecil dampak kerusakan karena populasi hama nematoda maka pilihan sistem budidaya
yang lebih tepat adalah yang agroforestri.
114
9. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kaji cepat di tingkat masyarakat dan pengukuran lapangan beberapa komponen
biodiversitas tanah di DAS Konto, maka dapat disimpulkan bahwa Agroforestri kopi multistrata berpotensi
cukup besar untuk konservasi biodiversitas. Agroforestri dapat menjadi penyangga fauna dan flora yang
tumbuh di hutan alami, asalkan didukung oleh komitmen yang tinggi dari masyarakat pinggiran hutan
yang tentu saja membutuhkan dukungan pemerintah lokal yang sejalan dengan tujuan konservarsi
biodiversitas. Penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk membuktikan fungsi agroforestri kopi
multistrata dalam mempertahankan biodiversitas flora dan fauna. Upaya untuk mendapatkan ‗pembeli‘
jasa lingkungan di tingkat masyarakat masih sangat diperlukan untuk mempertahankan enthusiasme
masyarakat dalam melindungi daerahnya. Ringkasan dari kaji cepat RABA di DAS Konto ini disajikan
dalam Gambar 9.1.
Agroforestri kopi multistrata merupakan sumber
pendapatan yang cukup menguntungkan bagi petani
Agroforestri kopi multistrata dapat mengurangi erosi dan
melindungi sumber mata air yang sangat dibutuhkah oleh
masyarakat di sekitarnya dan PLTA Selorejo
Agroforestri kopi multistrata dapat menyimpan karbon rata-
rata 55-60 ton/ha selama kurang lebih 30 tahun
Agroforestri dengan tingkat keragaman pohon yang
ditanam tinggi dapat menjadi daerah penyangga bagi fauna
dan flora hutan. Selain itu, dapat mempertahankan
diversitas hewan-hewan tanah yang menguntungkan
seperti cacing tanah, menekan populasi hewan yang
berpotensi menjadi hama seperti rayap dan nematoda.
Dukungan kebijakan PERHUTANI yang
mengijinkan masyarakat menanam pohon
buah-buahan di hutan lindung
Pengembangan ecotourism
Manfaat (Value)
Peluang (Opportunity)
Kepercayaan (Trust)
Ancaman (Threath)
Masyarakat cukup terbuka untuk bernegosiasi dengan pihak
luar
Luasan hutan alami yang tertinggal semakin
menurun, sekitar 20% dari total luasan DAS
Konto (23.500 ha), luas penggunaan lahan
yang lebih intensif dengan pola tanam
monokultur (sayuran) terus meningkat.
Pembangunan pasar hortikultura (Agribisnis) di
kecamatan Pujon, mendorong petani untuk
beralih ke sistem sayuran monokultur
Gambar 9.1. Ringkasan kondisi Agroforestri kopi multistrata sabagai tawaran untuk konservasi biodiversitas
115
Daftar Pustaka
Aini, F.K., Susilo, F. X., Yanuwiadi, B., dan Hairiah, K. 2006. Meningkatnya sebaran haman rayap
Odontotermes spp. Setelah alih guna hutan menjadi agroforestri berbasis kopi: efek perubahan
iklim mikro dan ketersediaan makanan terhadap kerapatan populasi. Agrivita, 28 (3): 221-237.
Burgess, P. J. 1999. Effects of agroforestry on farm biodiversity in the UK. Scottish Forestry 53(1):
24-27.
Butler, R. A. 1999. Hunting for Sustainability in Tropical Forests . Robinson, J. and Bennett, E., Eds.,
Columbia University Press, New York.
Coleman et al., 1984
Curry, J. P. 1998. Factor Affecting Earthworm Abundance in Soils. Earthworm Ecology. Boca Raton. St. Lucie Press.Coleman and Crossley 1996
Dewi, W.S., Yanuwiyadi, B., Suprayogo, D., Hairiah, K. 2007. Dampak Alih Guna Hutan Menjadi
lahan Pertanian: Perubahan Diversitas Cacing Tanah dan Fungsinya dalam Mempertahankan Pori Makro Tanah. Disertasi S3. Universitas Brawijaya, Malang
Eggleton, P., Homathevi, R., Jeeva, D., Jones, D. T., Davies, R.G., Maryati, M. 1997. The species richness and composition of termites (Isoptera) in Primary and regenerating lowland Dipterocarp
forest in Sabah, East Malaysia. Ecotropica, 3: 119-128.
Eggleton, P., Homathevi, R., Jones, D.T., MacDonald, J. A., Jeeva, D., Bignell, D. E., Davies, R. G.
and Maryati, M. 1999. Termite assemblages, forest disturbance, and greenhouse gas fluxes in
Sabah, East Malaysia. Phil. Trans. R. Soc. London. B. 354: 1791-1802.
Gafur, A. and I G. Swibawa. 2004. Methods in Nematodes and Soil Microbe Research for
Belowground Biodiversity Assessment in F.X Susilo, A. Gafur, M. Utomo, R. Evizal, S. Murwani,
I G. Swibawa (eds.), Conservation and Sustainable Management of Below-Ground Biodiversity in Indonesia, Universitas Lampung. p. 117-123.
Gathorne-Hardy, F.J., Jones, D.T. , Syaukani.. 2002. A regional perspective on the effects of human disturbance on the termites of Sundaland. Biodiversity and Conservation 11: 1991-2006.
Gillot, C., Lavelle, P., Blanchart, E., Keli, J., Kouassi, P., and Guillaume, G. 1995. Biological activity of soil under rubber plantation in Cȏ te d‘Ivoire. Acta Zool. Fennica, 196: 186-189.
Goodey, J.B. 1963. Soil and freshwater nematodes. Mathuen & Co Ltd., London., John Wiley &
Sons, INC, New York. 544 p.
Hairiah K.; Sulistyani, H.; Suprayogo, D.; Widianto; Purnomosidhi P.; Widodo R.H., and van
Noordwijk, M. 2006a. Litter layer residence time in forest and coffee agroforestry systems in Sumberjaya, West Lampung. Forest Ecology and Management 224: 45-57.
Hairiah, K., Rahayu, S., Berlian. 2006b. Layanan lingkungan agroforestri berbasis kopi: Cadangan karbon dalam biomasa pohon dan bahan organik tanah (studi kasus dari Sumberjaya, Lampung
Barat). AGRIVITA 28 (3): 298-309.
Hairiah, K.; Suprayogo, D.; Widianto; Berlian; Suhara, E.; Mardiastuning, A.; Widodo, R. H., Prayogo, C. dan
Rahayu, S. 2004a. Alih Guna Lahan Hutan menjadi Lahan Agroforestri Berbasis Kopi: Ketebalan seresah,
populasi cacing tanah dan makroporositas tanah. AGRIVITA 26 (1): 68 – 80.
Hedlund, K., Griffiths, B., Christensen, S., Scheu, S., Setälä, H., Tscharntke, T., Verhoef, H. 2004.
Trophic interaction in changing landscapes: responses of soil food webs. Basic and Applied
Ecology 5 : 495—503.
http://en.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Researching_with_Wikipedia (diakses tanggal 18 September
2008)
http://news.mongabay.com/2008/0520-interview_dirzo.html (diakses tanggal 17 September 2008)
http://www.indonesiamatters.com/1252/rainforest-deforestation. (diakses tanggal 17 September 2008)
116
Jones D. T., Susilo, F. X., Bignell, D. E., Hardiwinoto, S., Gillison, A. N., and Eggleton, P. 2003.
Termite assemblage collapse along a land-use intensification gradient in lowland central Sumatra, Indonesia. Journal of Applied Ecology, 40, 380-391.
Kaya, H. K., and R. Gaugler 1993. Entomopathogenic nematodes. Ann. Rev. Entomol. 38: 181-206
Krebs, C. J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution Abundance. 3th. Harper &
Row, Publishers, Inc., New York.
Lavelle, P. and Spain, A.V. 2001. Soil Ecology. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht, Boston,
London.
Lee and Atkinson, 1997
Leemhuis, 2005
Mai, W.F. and Lyon, H.H. 1975. Pictorial key to genera of plant-parasitic nematodes. Comstock
Publishing Associates, Cornell University Press.
Nandika, D. Rismayadi, Y., Diba, F. 2003. Rayap: Biologi dan Pengendaliannya. Muhammadiyah
University Press, Surakarta.
Ong et al., 2004
Pashanasi, B., Lavelle, P., Allegre, J., and Charpentier, F. 1996. Effect of endogeic earthworm Pontoscolex corethrurus on Soil chemical characteristics agroecosystem and plant growth in a low-
input tropical. Soil Bid. Biochern,28 (6): 801-810.
Rhee et al., 2004
Rossi, Jean-Pierre and Blanchart, E. 2005. Seasonal and land-use induced variations of soil
macrofauna composition in the Western Ghats, southern India. Soil Biology & Biochemistry, 37 :1093–1104.
Schoeneberger, 1992
Sharma and Sharma, 1995
Sharma and Sharma-in press
Sheil, D., Puri, R. K., Basuki, I., van Heist, M., Wan, M., Liswanti, N., Rukmiyati, Sardjono, M. A.,
Samsoedin, I., Sidiyasa, K., Chrisandini, Permana, E., Angi, E. M., Gatzweiler, F., Johnson,B., Wijaya, A. 2004. Mengeksplorasi keanekaragaman hayati, lingkungan dan pandangan masyarakat
lokal mengenai berbagai landskap hutan. CIFOR, Bogor.
Siddiqi, M.R. 1986. Tylenchida parasites of plant and insect. Commonwealth Institute of
Parasitology, St. Albans United Kingdom. 645 p.
Sodhi, N. S. Lian, P. K., Brook, B. W., Ng, P. K. L. 2004. Southeast Asian biodiversity:an impending
disaster. Trends in Ecology and Evolution,19 (12): 654-660.
Suprayogo, D., Widianto, Purnomosidhi, P., Widodo, R.H., Rusiana, F., Aini, Z.Z., Khasanah, N. dan
Kusuma., Z. 2004. Degradasi sifat fisik tanah sebagai akibat alih fungsi lahan hutan menjadi
sistem kopi monokultur: Kajian perubahan makroporositas tanah. Agrivita 26 (1) : 61-68.
Susilo et al., 2005
Swibawa (2009)
Swibawa, I. G., Aeny, T. N., Mashyuda, I., Susilo, F. X., Hairiah, K. 2006. Alih guna lahan hutan
menjadi lahan pertanian: Keragaman dan kelimpahan nematoda. Agrivita, 28 (3): 252-266.
Swift, M.J. and Bignell, D. 2000. Standard Methods for Assessment of Soil Biodiversity and Land
Use Practice. Alternatives to Slash and Burn Project.
Tapia-Coral SC, Luizão FJ, Barros E, Pashanasi B, Del Castillo D. 2006. Effect of Pontoscolex
corethrurus Müller, 1857 (Oligochaeta: Glossoscolecidae) Inoculation on Litter Weight Loss and
Soil Nitrogen in Mesocosms in the Peruvian Amazon. Caribbean Journal of Science 42:410-418
Thapa, R.S. 1981. Termites of Sabah. Sabah Forest Record, 12: 1-374
117
Tho, Y.P. 1992. Termites of Peninsular Malaysia. In: Kirton, L.G., ed. Malayan Forest Records, No.
36: 224 pp. Forest Research Institute Malaysia, Kepong.
Tomich, T. P., Cattaneo, Chater, S., Geist, H. J., Gockowski, J., Kaimowitz, Lambin, E. L., Lewis, J.,
Ndoye, O., Palm, C. A., Stolle, F., Sunderlin, W. D., Valentine, J. F., Van Noordwijk, M. and Vosti, S. A. 2005. Balancing agricultural development and environmental objectives: Assessing
tradeoffs in the humid tropics. In: Palm, C. A., Vosti, S. A., Sanchez, P. A. and Ericsen, P. J.
(Eds.) Slash- and- burn agriculture. The search for alternatives.
Van Noordwijk et al., 2004a,b
Van Noordwijk, M. and Swift, M.J. 1999. Belowground biodiversity and sustainability of complex agroecosystems. In: Gafur, A., Susilo, F.X., Utomo, M., and van Noordwijk, M. (Eds.).
Proceedings of a Workshop on Management of Agrobiodiversity in Indonesia for Sustainable Land
Use and Global Environmental Benefits. UNILA/PUSLIBANGTAN, Bogor, 19-20 August 1999. p 8- 28.
van Noordwijk, M., Subekti, R., Kurniatun, H.,Wulan, Y.C., Farida, A. and Verbist, B. 2002. Carbon
stock assessment for a forest-tocoffee conversion landscape in Sumber-Jaya (Lampung, Indonesia): from allometric equations to land use change analysis. Science in China (Series C), 45:
75-86,
Van Noorwijk, M.; Agus, F.; Suprayogo, D.; Hairiah, K.; Pasya, G.; Verbist, B. and Farida. 2004.
Role of Agroforestry in Maintenance of Hydrological Functions in Cactment Areas. In: Agus, F.;
Farida and van Noorwijk, M. (Eds). Hydrological Impacts of Forest, Agro forestry and Upland Cropping as basis for Rewarding environmental Service providers in Indonesia. Proceedings of
workshop in Padang/Singkarak, West Sumatra, Indonesia. 25-28 February 2004. ICRAF-SEA,
Bogor, Indonesia. Pp. 21-35.
Wallace, 1971
118
Lampiran
Lampiran 3.1 Kuesioner Deskripsi Desa Dan Kondisi Umum Wilayah
Metode: wawancara dengan pemuka masyarakat
Pertanyaan:
1. Sejak kapan desa dibuka untuk pemukiman? Dari mana saja asal para penduduk desa?
2. Berapakah luas desa?
3. Sebutkan batas-batas wilayah desa
4. Berapa luas lahan hutan, agroforestri, kebun monokultur, areal tanaman semusim, sawah, dan
pemukiman?
5. Berapa jumlah penduduk desa?
6. Sebutkan suku-suku yang terdapat di desa urut mulai dari yang paling besar proporsinya!
7. Apakah ada rencana untuk pengalihan fungsi lahan di desa?
a. Bila tidak, apa alasannya?
b. Bila ya, digunakan untuk apa dan berapa luasannya?
8. Apakah ada pembukaan areal hutan untuk pertanian 2 tahun terakhir ini? Bila ya, digunakan untuk
apa dan siapa yang membuka (penduduk desa setempat/ dari luar desa)
9. Apakah ada perubahan luasan hutan yang dikelola Perhutani yang dimanfaatkan masyarakat di
desa?
a. Bertambah, digunakan untuk?
b. Berkurang digunakan untuk?
c. Tidak ada perubahan
10. Apakah ada peraturan di desa tentang pemanfaatan lahan?
a. Bila ada sebutkan! Siapa yang membuat peraturan tersebut?
b. Apa ada sangsi bila tidak mematuhi peraturan tersebut? Bila ya, sebutkan sangsinya dan
siapa yang akan memberi sangsi
11. Apa ada tempat tertentu yang secara adat atau kesepakatan masyarakat dilindungi? Bila ya,
sebutkan!
12. Mengapa tempat tersebut dilindungi?
119
Lampiran 3.2 Kuesioner tentang nilai penting agroforestri
Metode: wawancara berkelompok dengan orang masyarakat petani dari 3 kelompok umur ( <28 tahhun,
28-48 tahun, > 48 tahun)
Pertanyan:
1. Menurut Bapak/Ibu bagaimanakah kegunaan agroforestri pada
a. 30 tahun yang lalu,
b. saat ini, dan
c. 30 tahun ke depan?
(1=sangat tidak penting, 2=tidak penting, 3=cukup penting, 4=sangat penting)
2. Seberapa penting kegunaan menurut kategori guna seperti yang tersebut di bawah ini (1=sangat
tidak penting, 2=tidak penting, 3=cukup penting, 4=sangat penting):
Kategori guna 30 tahun lalu Sekarang 30 tahun yang
akan datang Jumlah
Seluruh kegunaan
Makanan
Obat-obatan
Konstruksi ringan
Konstruksi berat
Peralatan/perkakas
Kayu bakar
Anyaman
Hiasan/adat/ritual
desa
Benda yang bisa
dijual
Rekreasi
Masa depan
Jumlah total
120
Lampiran 3.3 Kuesioner pengetahuan masyarakat tentang penggunaan lahan
Wawancara informan kunci Target: 3-5 orang
Responden Tanggal,d/m/y Dimasukkan oleh
Desa Penulis Diperiksa oleh
Diperiksa oleh Pewawancara Nama file
Ditulis di bagian
belakang
Y T Halaman dari Asli/salinan? A S Sudah
dicopy?
Petunjuk: Interview
Penggunaan/pengelolaan lahan
1 Apa sebutan yang bapak ibu berikan untuk macam-macam-
macam tanah/lahan disekitar tempat tinggal ibu dan bapak? Berdasarkan apa pemberian nama tersebut?
2 Menurut ibu dan bapak penggunaan lahn seperti apa
sebenarnya yang paling cocok untuk lahan-lahan tersebut?
3 Bagaimana cara pengelolaan lahan tersebut?
4 Berat/ringankah pengelolaan lahan tersebut? Bila berat apa usaha yang bapak/ibu lakukan untuk membuat jd lebih ringan?
5 1) Seberapa suburkah tanah ibu/bapak?
2) Pernyataan tersebut didasarkan pada apa? (hasil panen, warna tanah, vegetasi dsb?)
3) Jika tidak subur bgaimana cara mengatasinya?
Sangat subur, subur, sedang, tidak subur
6 Apakah bapak dan ibu mengetahui dimana lokasi yang subur di sekitar daerah ini? Bila ya, dimanakah itu?
B. Peran agroforestri
1 Apakah masih ada hasil hutan yang bisa dimanfaatkan
Bapak/ibu? Bila ada sebutkan
2 Tumbuhan hutan apa saja yang juga masih dapat ditemui di kebun ibu/bapak? Apakah keberadaan tumbuhan tersebut
menguntungkan/merugikan? Jelaskan
3 Binatang hutan apa sajakah yang masih dapat dijumpai di
kebun bapak/ibu ? Apakah keberadaan binatang tersebut menguntungkan/merugikan? Jelaskan
4 Apabila ada tumbuhan/ binatang yang merugikan apa saja
upaya bapak dan ibu untuk mengatasinya?
5 Tumbuhan apa saja yang dapat bapak/ibu manfaatkan dari
kebun?
6 Binatang dalam kebun apa saja yang menguntung bagi ibu/bapak?
7 Binatang dalam tanah apa saja yang ibu/bapak ketahui?Keberadaannya menguntungkan/merugikan?
Jelaskan!
8 Apakah ibu/bapak mengenal rayap/cacing tanah? Bila ya, apakah mereka binatang yang menguntungkan/merugikan?
Bila merugikan apa yang ibu/bapak lakukan untuk mengatasinya?Jelaskan!
9 Seberapa sering ibu/bapak menjumpai cacing tanah/rayap di kebun?
10 Hasil kebun apa sajakah yang biasanya ibu dan bapak
peroleh?
11 Apakah hasil kebun itu diperoleh sekaligus pada waktu
bersamaan ataukah ada waktu-waktu khusus untuk memanen?Jelaskan
12 Apakah hasil kebun agroforestri ibu dan bapak dapat
mencukupi kebutuhan sehari-hari ibu dan bapak sekeluarga? Bila tidak dari sumber apa saja ibu dan bapak mencukupi kebutuhan sehari-hari?
13 Kemana biasanya ibu dan bapak menjual hasil kebun?
14 Apakah buah-buahan di kebun ada yang pembuahannya
tergantung pada hewan tertentu
121
Lampiran 3.4. Kuesioner nilai penting tumbuhan di dalam agroforestri
SURVEI RUMAH TANGGA Target:
Responden Tanggal,d/m/y Dimasukkan oleh
Desa Penulis Diperiksa oleh
Diperiksa oleh Pewawancara Nama file
Ditulis di bagian belakang
Y T Halaman dari Asli/salinan? A S Sudah dicopy?
Petunjuk: Interview
Tumbuhan
Nama lokal
Mudah/
tidak ditemu
kan
Bagian yang dimanfaatkan Umur, th
Nilai penting
D B Bh Btg
A Klt Getah
L 1 2 2-5 5-10 >10
122
Lampiran 3.5 Interview dengan kelompok rumah tangga
SURVEI RUMAH TANGGA Target: 10 KK/desa
Responden Tanggal,d/m/y Dimasukkan oleh
Desa Penulis Diperiksa oleh
Diperiksa oleh Pewawancara Nama file
Ditulis di bagian
belakang
Y T Halaman dari Asli/salinan? A S Sudah
dicopy?
Petunjuk: Interview
A. Bahaya/Ancaman kegiatan manusia terhadap hutan
1 Menurut bapak/ibu kegiatan manusia apa saja yang dapat mengganggu kelestarian dari fungsi dan manfaat hutan bagi
masyarakat lokal? Mengapa?
2 Tolong bapak/ibu urutkan berdasarkan tingkat bahayanya
3 Disamping bahaya/ancaman apakah ada pula keuntungan/manfaat dari aktivitas manusia tersebut? Jelaskan!
B. Persepsi masyarakat tentang bahaya
1 Ancaman apa saja yang menurut ibu/bapak sangat membahayakan desa ini? (misalnya bencana alam, kelaparan,
banjir, penyakit menular, peraturan pemerintah yang selalu berubah dll)
2 Tolong urutkan ancaman yang sudah anda sebutkan
3 Apa yang bapak/ibu lakukan untuk mencegah atau mengurangi bahaya tersebut?
4 Bila bapak/ibu diberitahu bahwa bencana tersebut akan datang segera, apa yang Bapak/Ibu lakukan?
C. Tabu dan pantangan
1 Apakah di kalangan masyarakat di sini masih ada pantangan,
kepercayaan, atau norma adat yang berlaku khususnya dalam menggunakan tumbuhan, binatang, dan memanfaatkan hasil hutan lainnya? Jika ya jelaskan!
2 Apakah ada pantangan, kepercayaan, atau aturan adat khusus yang diberlakukan sehubungan dengan pembukaan lahan dan hutan atau tentang pemanfaatannya?
D. Aspirasi masyarakat
1 Apakah kehidupan Bapak/Ibu sekarang lebih baik daripada
lima/sepuluh tahun yang lalu? Mengapa
2 Apakah hasil kebun dapat membantu perekonomian keluaraga. Jelaskan!
3 Apa yang bapak/ibu harapkan terhadap anak-anak/generasi muda yang akan datang?
4 Apa yang bapak/ibu perkirakan pada desa bapak/ibu beberapa bulan/tahun yang akan datang?
5 Seandainya hutan berkurang/hilang apa yang akan bapak/ibu lakukan? Apakah ada upaya agar hutan tidak hilang?
6 Apakah ada jenis tanaman atau binatang yang dianggap penting
untuk perlindungan dan fungsi hutan? Jika ada apa saja dan mengapa?
7 Jika ingin belajar/mengetahui tentang hutan(tumbuhan, binatang dan lokasi-lokasi tertentu) siapa orang-orang desa yang banyak memiliki pengetahuan tersebut?
123
Lampiran 4.1. Luasan sistem penggunaan lahan (SPL) yang ditemukan di DAS Konto Hulu antara tahun 1990-2005
SPL Luas , Ha
Persentase
luasan SPL relatif terhadap
luas total
Luas , ha
Persentase luasan SPL
relatif terhadap luas
total
Penurunan luasan, ha
Persentase
perubahan relatif
terhadap
tahun 1990, %
1990 2005
Hutan Terganggu 7269.9 30.5 4852.3 20.4 2417.7 33.3
Agroforestri 2356.8 9.9 2067.9 8.7 288.9 12.3
Perkebunan 5983.3 25.1 5346.7 22.5 636.6 10.6
Tanaman Semusim 4317.7 18.1 10569.2 44.4 -6251.5 -144.8
Semak Belukar 714.2 3.0 168.6 0.7 545.7 76.4
Pemukiman 166.5 0.7 196.7 0.8 -30.2 -18.2
Tubuh Air 258.9 1.1 222.8 0.9 36.1 13.9
Tidak ada data
(tertutup awan) 1540.4 6.5 23.4 0.1 1517.0 98.5
Tidak ada data
(Bayangan) 1202.3 5.0 362.5 1.5 839.8 69.8
Grand total 23,810.13 100.00 23,810.13 100.00
124
Lampiran 5.1. Nilai penting pohon pada berbagai sistem agroforestri di DAS Kali Konto
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Total Skor Nilai Penting
1 Kopi robusta Coffea canephora var. robusta 233
2 Alpukat Persea americana 186
3 Durian Durio zibethinus 178
4 Mahoni Swietania mahogany 128
5 Pinus Pinus mercusii 109
6 Surian Toona sureni 107
7 Nangka Artocarpus heterophyllus 106
8 Sengon Paraserianthes falcataria 95
9 Kelapa Cocos nucifera 85
10 Kakao Theobroma cacao 82
11 Waru Hibiscus tiliaceus 72
12 Bambu Bamboosa arundinacea 71
13 Damar Agathis alba 67
14 Mindi Melia azedarach 67
15 Galitus Eucalyptus globulus 56
16 Cengkeh Eugenia aromatica 54
17 Apel Malus silveltris 45
18 Dadap Erythrina subumbrans 41
19 Petai Parkia speciosa 40
20 Rambutan Nephelium lappaceum 36
21 Langsep Lansium domesticum 34
22 Jambu Air Syzigium Aqueum 29
23 Jati Tectona grandis 28
24 Jeruk manis Citrus onshiu 27
25 Lamtoro Leucaena leucocepala 22
26 Mangga Mangifera indica 22
27 Salam Eugenia polyantha 21
28 Anggrong Trema orientalis 20
29 Sepang Antidesma velutinosum 15
30 Cokoh baros/Manglid Mangelieta glauca 14
31 Duku Lansium domesticum 13
32 Manggis Garcinia mangostana 13
33 Nyampuh Litsea glutinosa 13
34 Emponan Milletia sp 12
35 Kaliandra Calliandra calothyrsus 11
36 Jati Kertas Gmelina orborea 10
37 Jawa Khaya sinegalensis L 10
38 Jeruk purut Citrus hystrix 10
39 Maesopsis Maesopsis eminii 10
40 Tutup Omalanthus sp. 10
125
41 Bimo Artocarpus spp 9
42 Pasang Quercus lineata 9
43 Jengkol Pithecellobium jiringa 8
44 Lengkeng Dimocarpus longan 8
45 Sonokeling Dalbergia latifolia 8
46 Andewi Cichorium endivia 7
47 Belimbing Averrhoa carambola 7
48 Jabon Anthocephalus cadamba 7
49 Kupukethek(kapok ketek/kepuh) Sterculia foetida 7
50 Jambu biji Psidium guajava 6
51 Krangean Litsea cubeba 6
52 Melinjo Gnetum gnemon 6
53 Randu Ceiba petandra 6
54 Cemara gunung Casuarina junghuhniana 5
55 Jeruk nipis Citrus aurantifolia 5
56 Johar Senna siamea 5
57 Pinang Areca pinnata 5
58 Wadang Pterospermum spp. 5
59 Bulu Hopea cf. ferruginea Parijs 4
60 Kemiri Aleurites moluccana 4
61 Keningar Cinnamomum verum 4
62 Sapen Pometia tomentosa 4
63 Beringin Ficus benyamina 3
64 Geragasan/ Tengkaras Ficus elastica Roxb 3
65 Sirsat Anona muricata 3
66 Sukun Artocarpus communis 3
67 Turi Sesbania grandiflora 3
68 Bendo Artocarpus elasticus 2
69 Getasan/ rawa-rawa pipit Buchanania arborescens 2
70 Glirisidia Gliricidia sepium 2
71 Palem Areca catechu 2
72 Rotan Calamus javensis 2
73 Salak Salacca zalacca 2
74 Sembung Blumea balsamifera.L 2
75 Akasia Accasia mangium 1
76 Cembirit Ervatamia divaricata 1
77 Sintok Persea sintok 1
126
Lampiran 5.2 Nilai penting tumbuhan Non Kayu di lahan agroforestri bagi petani
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Jumlah
1 Pisang Musa paradisiaca 161
2 Jagung Zea mays 114
3 Cabe Capsicum frutescens 76
4 Ketela pohon Manihot esculenta 76
5 Wortel Daucus carota 75
6 Kobis Brassica oleracia 73
7 Sawi Brassica spp 56
8 Talas Colocasia esculenta 56
9 Pepaya Carica papaya 49
10 Kentang Solanum tuberosum 43
11 Ketela rambat Ipomoea batatas 43
12 Jahe Zingiber officinale 40
13 Tomat Solanum lycopersicum 38
14 Kacang koro/ karabenguk Mucuna pruriens 32
15 Bawang prei Allium fistulosum L 31
16 Bawang Merah Allium ascalonicum L 30
17 Rumput gajah Penisetum purpureum 30
18 Kunyit Curcuma longa 23
19 Labu siam Sechium edule 19
20 Suweg Amorphopalus companulatus 16
21 Lada Piper nigrum 11
22 Brokoli Brassica oleracea var italica 10
23 Kacang tanah Arachis hypogaea 9
24 Sirih Piper betle 9
25 Alang-alang Imperata cylindrica 8
26 Laos Alpinia galangal 8
27 Brungkul (White broccoli) Brassica oleracea Botrytis cymosa 7
28 Tebu Saccharum officinarum L 7
29 Uwi Dioscorea alata 7
30 Selada air Nasturtium officinale 6
31 Gadung Dioscorea hispida 5
32 Buncis Phaseolus vulgaris 4
33 Ganyong Canna edulis 4
34 Puring Codiaeum variegatum 4
35 Serai Cymbopogon sp. 4
36 Vanili Vanilla planifolia 4
37 Keladi Caladium sp. 3
38 Labu Cucurbita moschata 3
39 Terong Solanum melongena 3
40 Lobak Raphanus sativus 2
127
Lampiran 5.3. Tingkat kemudahan temuan tumbuhan dalam sistem agroforestri
No. Nama Lokal Nama Ilmiah
Total Skor
Mudah Tidaknya
Pohon
ditemukan di DAS Konto
Persentase kemudahan temuan di
Ngantang,%
Persentase kemudahan temuan di
Pujon, %
1 Alpukat Persea americana 100 83.8 85.4
2 Kopi robusta Coffea canephora var. robusta 96 91.9 65.9
3 Durian Durio zibethinus 83 100.0 34.1
4 Nangka Artocarpus heterophyllus 60 75.7 29.3
5 Mahoni Swietania mahogany 58 81.1 9.8
6 Sengon Paraserianthes falcataria 49 75.7 2.4
7 Surian Toona sureni 49 27.0 53.7
8 Pinus Pinus mercusii 48 18.9 63.4
9 Kakao Theobroma cacao 44 62.2 2.4
10 Kelapa Cocos nucifera 42 59.5 12.2
11 Bambu Bamboosa arundinacea 41 40.5 24.4
12 Waru Hibiscus tiliaceus 40 45.9 12.2
13 Mindi Melia azedarach 33 40.5 9.8
14 Galitus Eucalyptus globulus 33 0.0 51.2
15 Cengkeh Eugenia aromatica 29 40.5 4.9
16 Dadap Erythrina subumbrans 27 43.2 4.9
17 Petai Parkia speciosa 26 43.2 2.4
18 Langsep Lansium domesticum 23 37.8 0.0
19 Rambutan Nephelium lappaceum 23 37.8 4.9
20 Damar Agathis alba 22 8.1 39.0
21 Jeruk manis Citrus onshiu 18 10.8 14.6
22 Apel Malus silveltris 16 5.4 24.4
23 Jambu Air Syzigium Aqueum 16 5.4 24.4
24 Lamtoro Leucaena leucocepala 15 21.6 9.8
25 Jati Tectona grandis 13 18.9 0.0
26 Mangga Mangifera indica 12 8.1 12.2
27 Salam Eugenia polyantha 10 13.5 0.0
28 Jengkol Pithecellobium jiringa 9 18.9 0.0
29 Lengkeng Dimocarpus longan 6 0.0 7.3
30 Melinjo Gnetum gnemon 6 2.7 4.9
31 Sepang Antidesma velutinosum 6 8.1 0.0
32 Duku Lansium domesticum 6 8.1 2.4
33 Anggrong Trema orientalis 6 2.7 9.8
34 Manggis Garcinia mangostana 5 5.4 2.4
35 Sonokeling Dalbergia latifolia 5 8.1 0.0
36 Cokoh baros/Manglid Mangelieta glauca 5 10.8 0.0
37 Belimbing Averrhoa carambola 4 2.7 2.4
38 Jabon Anthocephalus cadamba 4 0.0 4.9
39 Jati Kertas Gmelina orborea 4 5.4 0.0
128
40 Jawa Khaya sinegalensis L 4 5.4 0.0
41 Jeruk nipis Citrus aurantifolia 4 5.4 0.0
42 Jeruk purut Citrus hystrix 4 5.4 0.0
43 Krangean Litsea cubeba 4 0.0 4.9
44 Pinang Areca pinnata 4 5.4 0.0
45 Randu Ceiba petandra 4 2.7 2.4
46 Salak Salacca zalacca 4 5.4 0.0
47 Sukun Artocarpus communis 4 5.4 0.0
48 Tutup Omalanthus sp. 4 5.4 0.0
49 Glirisidia Gliricidia sepium 4 8.1 0.0
50 Kaliandra Calliandra calothyrsus 4 0.0 7.3
51 Maesopsis Maesopsis eminii 4 2.7 4.9
52 Pasang Quercus lineata 4 0.0 7.3
53 Kupukethek(kapok ketek/kepuh)
Sterculia foetida 3 0.0 4.9
54 Muris/Sirsat Anona muricata 3 5.4 0.0
55 Emponan Milletia sp 3 0.0 7.3
56 Nyampuh Litsea glutinosa 3 2.7 4.9
57 Akasia Accasia mangium 2 0.0 2.4
58 Bendo Artocarpus elasticus 2 2.7 0.0
59 Kemiri Aleurites moluccana 2 0.0 2.4
60 Keningar Cinnamomum verum 2 0.0 2.4
61 Palem Areca catechu 2 2.7 0.0
62 Sintok Persea sintok 2 0.0 2.4
63 Turi Sesbania grandiflora 2 2.7 0.0
64 Wadang Pterospermum spp. 2 2.7 0.0
65 Andewi Cichorium endivia 2 0.0 4.9
66 Bimo Artocarpus spp 2 0.0 4.9
67 Jambu biji Psidium guajava 2 0.0 4.9
68 Beringin Ficus benyamina 1 0.0 2.4
69 Bulu Hopea cf. ferruginea Parijs 1 0.0 2.4
70 Cemara gunung Casuarina junghuhniana 1 2.7 0.0
71 Cembirit Ervatamia divaricata 1 2.7 0.0
72 Geragasan/ Tengkaras Ficus elastica Roxb 1 0.0 2.4
73 Getasan/ rawa-rawa pipit Buchanania arborescens 1 0.0 2.4
74 Johar Senna siamea 1 0.0 2.4
75 Rotan Calamus javensis 1 0.0 2.4
76 Sapen Pometia tomentosa 1 2.7 0.0
77 Sembung Blumea balsamifera.L 1 0.0 2.4
129
Lampiran 5.4 Nilai guna berbagai tumbuhan dalam sistem agroforestri bagi petani
No Nama latin Nama Pohon
Manfaat yang diambil
Buah Kayu/
Batang Bunga Akar Getah Daun
1 Coffea canephora var. robusta Kopi robusta +
2 Persea americana Alpukat + +
3 Durio zibethinus Durian + +
4 Swietania mahogany Mahoni +
5 Pinus mercusii Pinus + +
6 Toona sureni Surian +
7 Artocarpus heterophyllus Nangka + +
8 Paraserianthes falcataria Sengon + +
9 Cocos nucifera Kelapa + +
10 Theobroma cacao Kakao +
11 Hibiscus tiliaceus Waru + +
12 Bamboosa arundinacea Bambu +
13 Agathis alba Damar +
14 Melia azedarach Mindi +
15 Eucalyptus globulus Galitus +
16 Eugenia aromatica Cengkeh +
17 Malus silveltris Apel +
18 Erythrina subumbrans Dadap + +
19 Parkia speciosa Petai + +
20 Nephelium lappaceum Rambutan +
21 Lansium domesticum Langsep +
22 Syzigium Aqueum Jambu Air +
23 Tectona grandis Jati +
24 Citrus onshiu Jeruk manis +
25 Leucaena leucocepala Lamtoro + + +
26 Mangifera indica Mangga +
130
27 Eugenia polyantha Salam + +
28 Trema orientalis Anggrong + +
29 Antidesma velutinosum Sepang + +
30 Mangelieta glauca Cokoh baros/Manglid + +
31 Lansium domesticum Duku + +
32 Garcinia mangostana Manggis +
33 Litsea glutinosa Nyampuh +
34 Milletia sp Emponan + + +
35 Calliandra calothyrsus Kaliandra + +
36 Gmelina orborea Jati Kertas + + +
37 Khaya sinegalensis L Jawa +
38 Citrus hystrix Jeruk purut + +
39 Maesopsis eminii Maesopsis +
40 Omalanthus sp. Tutup + +
41 Artocarpus spp Bimo +
42 Quercus lineata Pasang +
43 Pithecellobium jiringa Jengkol + +
44 Dimocarpus longan Lengkeng +
45 Dalbergia latifolia Sonokeling +
46 Cichorium endivia Andewi +
47 Averrhoa carambola Belimbing + +
48 Anthocephalus cadamba Jabon +
49 Sterculia foetida Kupukethek(kapok ketek/kepuh) +
50 Psidium guajava Jambu biji + + + +
51 Litsea cubeba Krangean +
52 Gnetum gnemon Melinjo + +
53 Ceiba petandra Randu +
54 Casuarina junghuhniana Cemara gunung +
55 Citrus aurantifolia Jeruk nipis + +
56 Senna siamea Johar + +
131
57 Areca pinnata Pinang +
58 Pterospermum spp. Wadang +
59 Hopea cf. ferruginea Parijs Bulu + +
60 Aleurites moluccana Kemiri + +
61 Cinnamomum verum Keningar +
62 Pometia tomentosa Sapen +
63 Ficus benyamina Beringin +
64 Ficus elastica Roxb Geragasan/ Tengkaras + +
65 Anona muricata Sirsat +
66 Artocarpus communis Sukun + +
67 Sesbania grandiflora Turi + +
68 Artocarpus elasticus Bendo +
69 Buchanania arborescens Getasan/ rawa-rawa pipit + + +
70 Gliricidia sepium Glirisidia + + + + +
71 Areca catechu Palem +
72 Calamus javensis Rotan + +
73 Salacca zalacca Salak +
74 Blumea balsamifera.L Sembung + +
75 Accasia mangium Akasia +
76 Ervatamia divaricata Cembirit +
77 Persea sintok Sintok +
78 Antidesma velutinosum Gipang +
79 Dribalanops spp Kapur +
132
Lampiran 5.5 Jenis-jenis pohon hutan yng masih dapat dijumpai di lahan agroforestri (data ground check, sampling lapangan dan PRA)
No. Nama Lokal Nama Ilmiah
1 Ande-Ande Antidesma sp.
2 Andewi Cichorium endivia
3 Anggrong Trema orientalis
4 Badut Planchonella nitida Dub
5 Bendo Artocarpus elasticus
6 Berasan Cyperus elatus L.
7 Beringin Ficus benyamina
8 Bimo Artocarpus spp
9 Bulu Hopea cf. ferruginea Parijs
10 Cangcaratan Nauclea subdita Merr
11 Cembirit Ervatamia divaricata
12 Cokoh baros/ manglid Mangelieta glauca
13 Emponan Milletia sp
14 Eprek Ficus retusa
15 Gedangan Aegiceras corniculatum
16 Gempur Batu Ruellia napifera zoll
17 Gendis Clinacanthus nutans lindau
18 Geragasan/ Tengkaras Ficus elastica Roxb
19 Getasan/ rawa-rawa pipit Buchanania arborescens
20 Gintungan Bischofia javanica
21 Gondang Ficus fariegata
22 Jawa Khaya sinegalensis L
23 Kayu Pasat Baccaurea cf. Javanica
24 Kayu Truh Ficus sp.
25 Kayu Tutup Omalanthus sp.
26 Kemado Dyera costulata Hook
27 Keruing Dipterocarpus spp.
28 Krangean Litsea cubeba
29 Kupukethek(kapok ketek/kepuh) Sterculia foetida
30 Lamer Glochidion sp.
31 Mojo Aegle marmelos
32 Nyampuh Litsea glutinosa
33 Nyatoh/ Sito Palaquium spp
34 Pasang Quercus lineata
35 Piji Pinanga coronata
36 Rotan Calamus javensis
37 Salam Keker Eugenia aperculata
38 Sapen Pometia tomentosa
39 Saratan Flacortia inermis
40 Sembung Blumea balsamifera.L
41 Sepang Antidesma velutinosum
42 Sintok Persea sintok
43 Sonokembang Pterocarpus indicus
44 Trasak Vatica sp.
45 Trawas Litsea odorifera
46 Tritih Celtis tetandra
47 Wadang Pterospermum spp.
48 Walek Lar Mallotus paniculatus
49 Waru Gunung Hibiscus Sp.
133
Lampiran 5.6 Persentase pohon disebutkan oleh responden di Ngantang dan Pujon melalui PRA
No. Nama Lokal Nama Ilmiah
Persentase disebutkan oleh
respondendi Ngantang
Persentase disebutkan oleh
respondendi Pujon
1 Durian Durio zibethinus 100.0 34.1
2 Kopi robusta Coffea canephora var. robusta 91.9 65.9
3 Alpukat Persea americana 83.8 85.4
4 Mahoni Swietania mahogany 81.1 9.8
5 Nangka Artocarpus heterophyllus 75.7 29.3
6 Sengon Paraserianthes falcataria 75.7 2.4
7 Kakao Theobroma cacao 62.2 2.4
8 Kelapa Cocos nucifera 59.5 12.2
9 Waru Hibiscus tiliaceus 45.9 12.2
10 Dadap Erythrina subumbrans 43.2 4.9
11 Petai Parkia speciosa 43.2 2.4
12 Bambu Bamboosa arundinacea 40.5 24.4
13 Mindi Melia azedarach 40.5 9.8
14 Cengkeh Eugenia aromatica 40.5 4.9
15 Rambutan Nephelium lappaceum 37.8 4.9
16 Langsep Lansium domesticum 37.8 0.0
17 Surian Toona sureni 27.0 53.7
18 Lamtoro Leucaena leucocepala 21.6 9.8
19 Pinus Pinus mercusii 18.9 63.4
20 Jati Tectona grandis 18.9 0.0
21 Jengkol Pithecellobium jiringa 18.9 0.0
22 Salam Eugenia polyantha 13.5 0.0
23 Jeruk manis Citrus onshiu 10.8 14.6
24 Cokoh baros/ manglid Mangelieta glauca 10.8 0.0
25 Damar Agathis alba 8.1 39.0
26 Mangga Mangifera indica 8.1 12.2
27 Sepang Antidesma velutinosum 8.1 0.0
28 Duku Lansium domesticum 8.1 2.4
29 Sonokeling Dalbergia latifolia 8.1 0.0
30 Glirisidia Gliricidia sepium 8.1 0.0
31 Apel Malus silveltris 5.4 24.4
32 Jambu Air Syzigium Aqueum 5.4 24.4
33 Manggis Garcinia mangostana 5.4 2.4
34 Jati Kertas Gmelina orborea 5.4 0.0
35 Jawa Khaya sinegalensis L 5.4 0.0
36 Jeruk purut Citrus hystrix 5.4 0.0
37 Tutup Omalanthus sp. 5.4 0.0
134
38 Jeruk nipis Citrus aurantifolia 5.4 0.0
39 Pinang Areca pinnata 5.4 0.0
40 Sirsat Anona muricata 5.4 0.0
41 Sukun Artocarpus communis 5.4 0.0
42 Salak Salacca zalacca 5.4 0.0
43 Anggrong Trema orientalis 2.7 9.8
44 Nyampuh Litsea glutinosa 2.7 4.9
45 Maesopsis Maesopsis eminii 2.7 4.9
46 Belimbing Averrhoa carambola 2.7 2.4
47 Melinjo Gnetum gnemon 2.7 4.9
48 Randu Ceiba petandra 2.7 2.4
49 Cemara gunung Casuarina junghuhniana 2.7 0.0
50 Wadang Pterospermum spp. 2.7 0.0
51 Sapen Pometia tomentosa 2.7 0.0
52 Turi Sesbania grandiflora 2.7 0.0
53 Bendo Artocarpus elasticus 2.7 0.0
54 Palem Areca catechu 2.7 0.0
55 Cembirit Ervatamia divaricata 2.7 0.0
56 Galitus Eucalyptus globulus 0.0 51.2
57 Emponan Milletia sp 0.0 7.3
58 Kaliandra Calliandra calothyrsus 0.0 7.3
59 Bimo Artocarpus spp 0.0 4.9
60 Pasang Quercus lineata 0.0 7.3
61 Lengkeng Dimocarpus longan 0.0 7.3
62 Andewi Cichorium endivia 0.0 4.9
63 Jabon Anthocephalus cadamba 0.0 4.9
64 Kupukethek(kapok
ketek/kepuh)
Sterculia foetida 0.0 4.9
65 Jambu biji Psidium guajava 0.0 4.9
66 Krangean Litsea cubeba 0.0 4.9
67 Johar Senna siamea 0.0 2.4
68 Bulu Hopea cf. ferruginea Parijs 0.0 2.4
69 Kemiri Aleurites moluccana 0.0 2.4
70 Keningar Cinnamomum verum 0.0 2.4
71 Beringin Ficus benyamina 0.0 2.4
72 Geragasan/ Tengkaras Ficus elastica Roxb 0.0 2.4
73 Getasan/ rawa-rawa pipit Buchanania arborescens 0.0 2.4
74 Rotan Calamus javensis 0.0 2.4
75 Sembung Blumea balsamifera.L 0.0 2.4
76 Akasia Accasia mangium 0.0 2.4
77 Sintok Persea sintok 0.0 2.4
135
Lampiran 5.7 Kemampuan masing-masing kelompok umur responden dalam mengidentifikasi jenis pohon di dalam sistem agroforestri
No.
Jenis pohon yang
diidentifikasi oleh semua kelompok
umur
Jenis pohon yang diidentifikasi oleh dua kelompok umur
Jenis pohon yang diidentifikasi oleh satu kelompok umur
1 Alpukat Belimbing Galitus
2 Anggrong Bimo Akasia
3 Apel Cokoh baros/ Manglid Andewi
4 Bambu Damar Bendo
5 Cengkeh Duku Beringin
6 Dadap Jati Bulu
7 Durian Jengkol Cemara gunung
8 Glirisidia Kaliandra Cembirit
9 Jambu Air Krangean Emponan
10 Jeruk manis Kupukethek(kapok ketek/kepuh) Geragasan/ Tengkaras
11 Kakao Lamtoro Getasan/ rawa-rawa pipit
12 Kelapa Lengkeng Jabon
13 Kopi robusta Manggis Jambu biji
14 Langsep Melinjo Jati Kertas
15 Mahoni Pasang Jawa
16 Mangga Petai Jeruk nipis
17 Mindi Randu Jeruk purut
18 Nangka Salam Johar
19 Nyampuh Sepang Kemiri
20 Pinus Sirsat Keningar
21 Rambutan Sonokeling Maesopsis
22 Sengon Palem
23 Surian Pinang
24 Waru Rotan
25 Salak
26 Sapen
27 Sembung
28 Sintok
29 Sukun
30 Turi
31 Tutup
32 Wadang
136
Lampiran 6.1 Hasil Pengamatan Cacing Tanah di Ngantang (Plot HIRD-UB, 2008) dan foto-foto spesimen
Identifikasi jenis cacing tanah
http://www.icewatch.ca/english/wormwatch/programs/inv2.html
137
Peryonix exacavatus Famili : Megascolicidae
Tipe setae Perisetin
Prostomium Epilobus
Klitellum 13-17 ; annular
Pori Jantan 18
Pori betina 14
Bentuk ekor circular
Warna tubuh dorsal coklat
Warna tubuh ventral putih
Jumlah segmen total 92
Tempat HT
Polypheretima elongata Famili : Megascolicidae
Tipe setae Perisetin
Prostomium epilobus
Klitellum 14-16 ; annular
Pori Jantan 18
Pori betina 15
Bentuk ekor circular
Warna tubuh dorsal Coklat muda
Warna tubuh ventral Coklat muda
Jumlah segmen total 89
Tempat HT
Metaphire californica Famili : Megascolicidae
Tipe setae Perisetin
Prostomium epilobus
Klitellum 14-16
Pori Jantan 18 ; spermathecal pores 7/8
Pori betina 15
Bentuk ekor circular
Warna tubuh dorsal Putih kecoklatan
Warna tubuh ventral Putih kecoklatan
Jumlah segmen total 92
Tempat HT
138
Gambar penciri cacing tanah Metaphire sp.1 ditemukan di hutan terganggu dan di lahan Agroforestri
naungan Gliricidia di Sumberjaya (Foto oleh : Dewi)
Pheretima minima (Hoerst) Famili : Megascolicidae
Tipe setae Perisetin
Prostomium epilobus
Klitellum 13-14 ; annular
Pori Jantan 17
Pori betina 14
Spermathecal 22-23
Bentuk ekor circular
Warna tubuh dorsal hitam
Warna tubuh ventral putih
Jumlah segmen total 122
Tempat HB
Eiseniella tetraeda f.typica (savigny) Famili : Lumbricidae
Tipe setae Lumbrisin renggang
Prostomium epilobus
Klitellum 17-18
Pori Jantan 22
Pori betina 17
Bentuk ekor circular
Warna tubuh dorsal hitam
Warna tubuh ventral putih
Jumlah segmen total 112
Tempat HB
139
Peryonix excavatus Famili : Megascolicidae
Tipe setae Perisetin
Prostomium epilobus
Klitellum 14-16 ; annular
Pori Jantan 17
Pori betina 15
Bentuk ekor circular
Warna tubuh dorsal Hitam
Warna tubuh ventral Putih
Jumlah segmen total 99
Tempat KM
Pheretima californica (Kinberg) Famili : Megascolicidae
Tipe setae Perisetin
Prostomium epilobus
Klitellum 12-13 ; annular
Pori Jantan 14
Pori betina 11
Bentuk ekor circular
Warna tubuh dorsal hitam
Warna tubuh ventral putih
Jumlah segmen total 102
Tempat KM
Dichogaster bolaui Famili : Megascolicidae
Tipe setae Lumbrisin
Prostomium epilobus
Klitellum 12-19 ; annular
Pori Jantan 23
Pori betina 13
Spermathecal 11
Bentuk ekor circular
Warna tubuh dorsal coklat
Warna tubuh ventral coklat
Jumlah segmen total 178
Tempat KM
top related