soft bicameralisme dan deviasi politik hukum benny sumardiana, s.h.,m.h
Post on 26-Jul-2015
89 Views
Preview:
TRANSCRIPT
IRONI SOFT BICAMERALISME DAN DEVIASI POLITIK HUKUMNYA DI INDONESIA
Oleh : Benny Sumardiana, S.H., M.H.1
A. PendahuluanUndang-Undang Dasar sebagai bagian dari konstitusi yang tertulis
merupakan hukum yang fundamental bagi suatu negara. Ia merupakan
kerangka patokan dan landasan bagi kehidupan kenegaraan, landasan
bagaimana organ-organ kelembagaan negara dibentuk, landasan apa saja
kewenangan sekaligus bagaimana hubungan antara satu lembaga dengan
lembaga lainnya, serta landasan yang memberikan jaminan perlindungan Hak
Asasi Manusia bagi warga negaranya. Ia menjadi patokan terhadap
pembangunan negara dalam berbagai aspeknya. UUD NRI 1945 merupakan
konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan seluruh rakyat
Indonesia.2 Keberlakuan UUD 1945 berlandaskan pada legitimasi kedaulatan
rakyat sehingga UUD 1945 merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Berubahnya konstitusi akan menyebabkan berubahnya sistem
penyelenggaraan negara secara mendasar, oleh karena itu, hasil-hasil
perubahan UUD 1945 berimplikasi terhadap seluruh lapangan kehidupan
berbangsa dan bernegara, apalagi jika perubahan tersebut meliputi hampir
keseluruhan materi UUD 1945. Perubahan UUD 45 yang sampai saat ini
telah dilakukan sebanyak empat kali membawa dampak besar bagi
berjalannya reformasi dan restrukturisasi sistem ketatanegaraan Indonesia.
Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat
kali mengalami perubahan materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir
ketentuan.3
1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang2 Lahirnya faham konstitusionalisme dilandasi oleh filsafat rasionalisme abad 17 yang dari para pemikirnya lahirlah konsepsi teori perjanjian masyarakat terutama oleh Lock dan JJ Rousseau. Diadakannya sidang BPUPKI maupun PPKI yang komposisi keanggotaannya dianggap mewakili berbagai suku bangsa di Indonesia merupakan perwujudan dari teori prjanjian masyarakat.3 Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003, hal. 1.
1
1
Beberapa hal yang hendak dirubah dari UUD 45 adalah bertujuan
untuk menyempurnakan aturan dasar ketatanegaraan, menguatkan sistem
demokrasi yang berbasiskan kedaulatan rakyat, menguatkan jaminan dan
perlindungan Hak Asasi Manusia, mewujudkan pemisahan kekuasaan yang
bersendikan pada sistem chech and balances, mewujudkan jaminan
kesejahteraan Sosial, dan menguatkan eksistensi dan fungsi negara negara
hukum, dan lain sebagainya. Dari beberapa tujuan itulah UUD 45 hendak
dirubah, guna mewujudkan tatanan kehidupan kenegaraan yang lebih.
Salah satu perubahan penting sebagai hasil dari amandemen ketiga
UUD 45 adalah dibentuknya sebuah lembaga negara baru yang bernama
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sejak perubahan itu, maka sistem
perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah dari sistem unikameral ke
sitem bikameral.4 Dalam proses pembahasan pada tahap perubahan ketiga
tersebut, berkembang kuat pandangan tentang perlunya lembaga yang
merupakan perwujudan kepentingan daerah, atau territorial/local
representation, yang tujuannya untuk menjaga keseimbangan antar-daerah
dan antara pusat dengan daerah secara adil dan serasi. Gagasan dasar
pembentukan DPD adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi
daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah
dalam proses pengambilan keputusan politik untuk soal-soal yang terutama
berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.5
Keinginan untuk menghadirkan lembaga negara baru tersebut
memang tidaklah mengada-ada. Fungsi representasi territorial yang selama
33 tahun lebih pada masa orde baru yang dijalankan oleh Fraksi Utusan
Daerah dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak berjalan dengan baik,
karena kepentingan yang dibawa selalu bercorak satu warna dengan partai
pemerintah.
Harapan terhadap keberadaan lembaga perwakilan daerah ini begitu
4 Perlu disampaikan bahwa sebenarnya terdapat tiga kamar dalam parlemen Indonesia, yaitu: Kamar DPR, DPD dan MPR, sehingga oleh karenanya dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara yang mengadopsi parlemen tiga kamar.5 Ginanjar Kartasasmita,DPD dalam Struktur Ketatanegaraan RI, Makalah, diunduh dari www.dpd.go.id
2
2
tinggi. Eksistensinya membawa harapan baru, dalam rangka membawa
aspirasi daerah pada tataran nasional, mengimbangi kepentingan-kepentingan
yang dibawa oleh partai politik. Konkritnya, bahwa sistem check and
balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia hendaknya dapat
dilembagakan secara kuat dalam parlemen. Namum demikian patut disadari,
bahwa minimnya kewenangan yang dimiliki DPD menjadikan lembaga ini
tidak hanya lemah, akan tetapi mandul, tuna kuasa, atau dalam bahasa yang
lebih kasar, tidak memiliki pekerjaan rutin.
Bertolak dari sedikit gambaran diatas, mjaka tulisan ini hendak
mengelaborasi lebih dalam mengenai bagaimana ironi peran soft
bicameralisme di Indonesia ditinjau dari aspek teoritis dan normatif.
B. Pembahasan1. Fungsi Parlemen
Cabang kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan yang
pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat. Keberadaanya dalam
sistem ketatanegaraan merupakan wujud percerminan kehendak
masyarakat yang diwakilinya, sehingga persetujuan atau penolakan dalam
pembahasan suatu UU, juga dianggap sebagai persetujuan atau penolakan
rakyat.
Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh para wakil rakyat
melalui parlemen, yaitu (i) pengaturan yang dapat mengurangi hak dan
kebebasan warga negara, (ii) pengaturan yang dapat membebani harta
kekayaan warga negara, dan (iii) pengaturan mengenai pengeluaran-
pengeluaran oleh penyelenggara negara.6
Secara umum terdapat tiga fungsi yang dimiliki oleh parlemen7,
diberbagai negara, yaitu:
a) Fungsi legislasi
Fungsi legislatif merupakan fungsi dari parlemen untuk
6 Jimly Assidiqie, 2005, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Konpres, Jakarta, hal.32 7 Parlemen disini diartikan secara luas, tidak hanya DPR, House of Representatif atau nama lainnya, melainkan juga senat
3
3
membentuk produk hukum yang berfifat mengatur (regelende functie),
ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan
yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang
mengikat dan membatasi. Norma hokum inilah yang di Indonesia
dinamakan Undang-Undang, Law atau Legislatif Act di Amerika
Serikat, Wet di Netherlan, Gezet di Jerman, atau nama lainnya.
Tercakup dalam pengertian fungsi legislasi adalah:8
a) Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);
b) Pembahasan rancangan undang-undang (law making
process);
c) Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law
enactment approval);
d) Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas
perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-
dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision
making on international agreement and treaties or other legal
binding documents).
b) Fungsi Pengawasan
Fungsi kontrol/fungsi pengawasan ini dilatarbelakangi bahwa
kekuasaan dalam negara selalu memeilki kedenderungan untuk
menindas, korup maupun tindakan-tindakan yang bersifat
menyalahgunakan wewenang maupun sewenang-wenang. Untuk
memimimalisasi hal tersebut, maka parlemen sebagai representasi dari
rakyat dikonstruksikan sebagai pengawas pemerintah guna melindungi
kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Lagi pula, sesuai asal kata
parlemen, yang berasal dari bahasa Prancsi,”parle (bicara),
menunjukkan bahwa fungsi pengawasan ini menjadi sangat sentral
disamping fungsi legislasi.
Oleh karena itu, lembaga perwakilan rakyat diberikan
kewenangan untuk melakukan kontrol dalam tiga hal itu, yaitu (i)
8 Jimly A, ibid. Hal. 32
4
4
kontrol atas pemerintahan (control of executive), (ii) kontrol atas
pengeluaran (control of expenditure), dan (iii) kontrol atas
pemungutan pajak (control of taxation).
Bahkan, secara teoritis, jika dirinci, fungsi-fungsi kontrol
atau pengawasan oleh parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat
dapat pula dibedakan sebagai berikut:9
a)Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of
policy making);
b)Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control
of policy executing);
c)Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja ne- gara
(control of budgeting);
d)Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan be- lanja
negara (control of budget implementation);
e)Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of
government performances);
f) Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat public
(control of political appointment of public officials)
dalam bentuk persetujuan atau penolakan, atau pun
dalam bentuk pemberian pertimbangan oleh DPR.
c) Fungsi Representasi
Disamping kedua hal tersebut diatas, parlemen juga
memiliki fungsi mewakili. Fungsi parlemen sebagai lembaga
perwakilan rakyat yang paling pokok sebenarnya adalah fungsi
representasi atau perwakilan itu sendiri. Lembaga perwakilan tanpa
representasi tentulah tidak bermakna sama sekali.
Dalam kaitannya dengan fungsi keterwakilan, maka terdapat
perbedaan pengertian mengenai fungsi representasi ini. Fungsi
representasi bisa berupa representation in presence maupun
representation in ideas. Pengertian pertama merupakan representasi
yang bersifat formal, yaitu keterwakilan yang dipandang dari segi
9 Jimly A, ibid. Hal. 33
5
5
kehadiran fisik. Artinya dengan kehadiran wakil rakyat dalam
pengambilan keputusan diparlemen itu dudah menunjukkan aspek
legalitas dan legitimasinya, dengan tanpa mempertimbangkan, apaklah
harus terdapat kesesuaian ide atau tidak antara wakil rakyat dan yang
diwakilnya. Sedangkan, pengertian keterwakilan yang kedua bersifat
substantif, yaitu perwakilan atas dasar aspirasi atau idea, artinya
dianggap mewakili, jika mewakili aspirasi, ide ataupun kepentingan
rakyat.
Di Indonesia sendiri sesuai dengan Pasal 20A UUD 45,
terdapat tiga fungsi yang diemban oleh DPR, yaitu: fungsi legislasi,
fungsi pengawasan dan fungsi anggaran. Fungsi-fungsi tersebut juga
nampak dalam kewengangan yang diberikan pada DPD sebagaimana
Pasal 22D UUD 45, meskipun dari rumusan pasal tersebut
menempatkan DPD bukan sebagai primary organ, melainkan hanya
sebagai organ penunjang DPR dalam melakdanakan fungsinya. Dalam
hal ini sebenarnya fungsi representasi sudah tercakup secara implisit
dalam fungsi-fungsi yang lain, sehingga meskipun tidak tertulis fungsi
representasi bagi DPR dalam UUD 45, akan tetapi secara subtansial
sebenarnya telah terlembagakan dari fungsi yang lain. Namun
demikian, sebenarnya perumusan dalam UUD bahwa DPR memeiliki
fungsi representasi kiranya lebih tepat, dari pada perumusan fungsi
anggaran. Mengapa ?, karena sebenarnya fungsi anggaran telah
terlembagan dalam fungsi legislasi itu sendiri (kaitannya dengan UU
APBN, maupun UU PAN) maupun dalam fungsi pengawasan yang
mengawasi pelaksanaan dari APBN tersebut.
Dalam rangka pelembagaan fungsi representasi itu, dikenal
pula adanya tiga sistem perwakilan yang diprak- tikkan di berbagai
negara demokrasi. Ketiga fungsi itu adalah:
a) Sistem perwakilan politik (political representation), lembaga
perwakilan demikian terlembagakan dalam Dewan Perwakilan
Rakyat, atau nama lainnya yang dipilih dari calon Parpol dalam
6
6
Pemilu, guna mewakili dan memperjuangkan kepentingan rakyat
dalam frame work nasional;
b) Sistem perwakilan territorial (territorial atau regional
representation), system keterwakilan ini terlembagakan dalam
DPD, Senat, Utusan Daerah, atau nama lainnya, yang dapat dipilih
melaui Pemilu, diangkat atau ditunjuk oleh Pemerintahan Daerah,
atau Negara bagian yang diwakilinya, guna memperjuangkan
kepentingan daerah, antar daerah dalam formulasi kebijakan dan
pelaksanaannya di tingkat nasional;
c) Sistem perwakilan fungsional (functional representation), sistem
perwakilan fungsional menghasilkan wakil-wakil golongan
fungsional (functional representatives), kebanyakan keanggotaanya
diangkat atau ditunjuk dari golongan-golongan yang diwakilinya,
misalnya Utusan Golongan dalam MPR, ataupun Senat Eirann’ di
Irlandia yang dipilih dari perwakilan fungsional.
Pilihan sistem perwakilan pada suatu negara akan
menentukan bentuk dan struktur pelembagaan perwakilan itu di
setiap negara. Pilihan sistem perwakilan itu selalu tercermin dalam
struktur kelembagaan parlemen yang dianut di suatu negara. Pada
umumnya, di setiap negara, dianut salah satu atau paling banyak dua
dari ketiga sistem tersebut secara bersamaan. Dalam hal negara
yang bersangkutan menganut salah satu dari ketiganya, maka
pelembagaannya tercermin dalam struktur parlemen satu kamar.
Artinya, struktur lembaga perwakilan rakyat yang dipraktikkan
oleh negara itu mestilah parlemen satu kamar (unicameral
parliament). Jika sistem yang dianut itu mencakup dua fungsi, maka
kedua fungsi itu selalu dilembagakan dalam struktur parlemen dua
kamar (bicameral parliament).
2. Tinjauan Tentang Sistem Unikameralisme dan Bicameralisme
7
7
a. Monokamral
Di depan telah dijelaskan bahwa pilihan teradap sistem
perwakilan tertentu akan menjadikan corak struktur parlemennya. Dalam
hal negara yang bersangkutan menganut salah satu dari ketiga sistem,
maka pelembagaannya tercermin dalam struktur parlemen satu kamar.
Artinya, struktur lembaga perwakilan rakyat yang dipraktikkan oleh
negara itu mestilah parlemen satu kamar (unicameral parliament).
Disebut sebagai lembaga perwakilan satu kamar karena di dalam
institusi parlemen suatu negara hanya terdiri dari satu kamar, atau satu
jenis perwakilan. Umumnya di negara-negara demokrasi sistem parlemen
satu kamar ini hanya mencerminkan keterwakilan politik yang mewakili
rakyat dari partai politik yang dipilih dalam pemilu. Corak parlemen ini
biasanya dianut oleh Negara Kesatuan dan berbentuk republik. Artinya
homogenitas kepentingan di tingkat nasional juga memberikan pengaruh
bagi pilihan satu sistem dan corak parlemen monokameralnya.
Ketika pertama kali didirikan, struktur parlemen Indonesia
diidealkan berkama tunggal, akan tetapi dengan variasi yang diakaitkan
dengan kedaulatan rakyat yang dibayangkan dapat diorganisasikan secara
total dalam suatu organ bernama Majelis Permusyawartan Rakyat.10
b. Bicameral
Sistem bikameral adalah wujud institusional dari lembaga
perwakilan atau parlemen sebuah Negara yang terdiri atas dua kamar
(majelis). Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang
berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut majelis pertama
atau majelis rendah, dan dikenal juga sebagai House of Representatives.
Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain
(bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis
tinggi dan di sebagaian besar negara (60%) disebut sebagai Senate11
10 Jimly A, 2005, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, UII Press, Jogjakarta, hal.15711 Catatan: Kecuali Negeri Belanda yang sebutan untuk majelis pertama (erste kamer) adalah majelis tinggi, sedangkan majelis kedua (tweede kamer) adalah majelis rendah. Diberbagai negara majelis tinggi ini diberi nama yang khas seperti House of Lords (Inggris), Dewan Negara
8
8
(dengan berbagai variasinya seperti sénat, senato, senado, senatuil).
Kecuali dalam periode yang pendek pada masa RIS di tahun
1950, Indonesia selalu menganut sistem unikameral. Maka keberadaan
majelis kedua dalam sistem perwakilan tidak mudah dapat dicerna dan
dipahami oleh masyarakat termasuk banyak para elit politik dan kaum
intelektual di Indonesia. Seperti pemilihan presiden langsung, juga Pilkada
langsung, yang pada awalnya banyak yang menentang dan meragukan
apakah cocok untuk diterapkan di Indonesia, demikian juga dengan DPD.
Banyak yang mempertanyakan apakah lembaga perwakilan seperti DPD
cocok untuk negara kesatuan seperti Indonesia, bukankah sistem seperti itu
hanya cocok untuk negara federal?
Ada juga yang merasa khawatir bahwa proses pembuatan
undang-undang bisa menjadi terhambat kalau harus melibatkan dua
lembaga perwakilan. Karena selama ini kita tidak menganut sistem
bikameral tentu jawabannya tidak bisa kita peroleh dari pengalaman
kita sendiri. Jawaban yang paling mendekati dan obyektif adalah dengan
mempelajari bagaimana selama ini sistem itu diterapkan di negara-negara
lain.
Adalah sebuah kenyataan bahwa sebagian besar (dua pertiga)
negara di dunia memang menganut sistem unikameral. Dari survei
terakhir International Parliamentary Union (IPU), Parlemen di 122 negara
adalah unikameral dan di 61 negara bikameral (ditambah Indonesia
menjadi 62). Sebagian besar negara di dunia yang bersifat kesatuan
menganut sistem unikameral, sedangkan semua negara federal menganut
sistem bikameral. Maka Indonesia sebagai negara demokrasi baru, yang
besar penduduknya dan besar wilayahnya adalah yang terakhir memilih
sistem bikameral. Sebagai contoh lain adalah Prancis. Sebagai Negara
kesatuan ia menganut system bicameral, dimana dalam Pasal 24
Konstitusinya membagi parlemen menjadi dua kamar, yaiu Nasional
Assembly dan Senat.
(Malaysia), National Council (Afrika Selatan), Bundesrat (Jerman), Rajya Sabha (india), Sanggi-in (Jepang).
9
9
Sistem parlemen bikameral dimulai di Inggris pada abad ke 14,
dan sejak itu diterapkan di negara-negara daratan Eropa serta di Amerika.
Sistem bikameral di negaranegara yang disebut “dunia pertama” itu
berlatar belakang sejarah dan tradisi yang panjang. Sedangkan di wilayah
lain tumbuh bersama dengan konstitusi yang lahir dengan kemerdekaan
atau yang lahir bersama reformasi setelah perubahan sistem pemerintahan
menjadi demokrasi.
c. Teoritisasi Keuntungan Sistem Bicameral
Selain lahir dari tradisi dan sejarah yang panjang,
diterapkannya bikameralisme dalam sistem perwakilan diberbagai
negara pada umumnya didasarkan atas dua pertimbangan :
Pertama adalah perlunya Comperhensif Representation, perlunya
perwakilan yang lebih luas dari pada hanya atas dasar jumlah penduduk.
Dalam hal ini yang paling utama adalah pertimbangan keterwakilan
wilayah. Maka acapkali dikatakan bahwa majelis rendah
mencerminkan dimensi popular (penduduk) sedangkan majelis
tinggi mencerminkan dimensi teritorial . Namun ada pula negara yang
menerapkan azas keterwakilan berdasarkan keturunan, dan
kelompok sosial, seperti agama, budaya dan bahasa, kelompok
ekonomi, serta kelompok minoritas, yang dalam sistem yang
menganut satu majelis, kepentingan-kepentingan tersebut dapat
tenggelam karena tidak cukup terwakili.
Kedua adalah adanya Double check System, perlu adanya sistem
yang menjamin bahwa keputusan-keputusan politik yang penting,
dibahas secara berlapis sehingga berbagai kepentingan dipertimbangkan
secara masak dan mendalam. UU yang telah disepakati di Majelis Rendah
yang syarat dengan kepentingan politk dalam Parpol, dikoreksi kembali
oleh Majelis Tinggi dengan pertimbangan kepentingan yang lain. Dengan
begitu diharapkan akan terjadi keseimbangan kepentingan dalam suatu
undang-undang.
Menurut pendapat para ahli, sistem bikameral mencerminkan
10
10
prinsip checks and balances bukan hanya antar cabang-cabang
kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) tapi juga di dalam
cabang legislatif itu sendiri. Dengan demikian maka sistem bikameral
dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas maupun tirani
minoritas.
Masalah yang seringkali ditampilkan sebagai penolakan terhadap
sistem bikameral, adalah efisiensi dalam proses legislasi; karena harus
melalui dua kamar, maka banyak anggapan bahwa sistem bikameral
akan menganggu atau menghambat kelancaran pembuatan undang-
undang. Sejak awal memang banyak yang sudah mempersoalkan
manfaat yang dapat diperoleh dari adanya dua sistem seperti tersebut di
atas dibanding dengan “ongkos yang harus dibayar” dalam bentuk
kecepatan proses pembuatan undang- undang.
3. Soft Bicameralisme yang Terdeviasi
a. MPR dan Struktur Parlemen Tiga Kamar
Sebenarnya dalam UUD terlembagakan tiga kamar parlemen,
sehingga dapat dikatakan bahwa parlemen di Indonesia menganut
trikameral, namun secara fungsi tidaklah dapat dikatakan menganut
trikameralisme. Konsekuensi terlembaganya parlemen tiga kamar ini
nampak dari rumusan Pasal 2 ayat (1) UUD 45, sebagai berikut:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat , dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih
melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-
undang.****)”
Rumusan Pasal tersebut menunjukkan bahwa MPR merupakan
lembaga tersendiri, bukan majelis join sesion antara DPR dan DPD.
Bahwa keanggotaanya berasal dari DPR dan DPD adalah benar, namun
keanggotaan tersebut lahir karena ia adalah anggota DPR dan DPD secara
pribadi anggota. Jika keanggotaan MPR berasal dari DPR dan DPD secara
kelembagaan maka berulah dapat dikatakan bahwa MPR secara
11
11
kelembagaan tidak ada, melainkan hanya sebagai join session. Hal ini juga
yang terjadi di Amerika Serikat, bahwa Kongres AS merupakan sidang
join session antara DPR dan Senat.
Namun demikian pembahsan disini tidak akan mengelaborasi
kelembagaan MPR tersebut, melainkan hanya menampilkan secara sekilas
bahwa sebenarnya gagasan strong bicameralisme dalam amandemen UUD
45 menjadi bergeser, menjadi trikameral dan pilihan soft bicameralime
dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan dan
anggaran.
b. Deviasi Soft Bicameralisme dan Minimnya Fungsi DPD
Semula, reformasi struktur parlemen Indonesia yang disarankan
oleh banyak kalangan ahli hukum dan politik supaya dikembangkan
menurut sistem bikameral yang kuat (strong bicameralism) dalam arti
kedua kamar dilengkapi dengan kewenangan yang sama-sama kuat dan
saling mengimbangi satu sama lain. Untuk itu, masing-masing kamar
diusulkan, dilengkapi dengan hak veto. Usulan semacam ini berkaitan erat
dengan sifat kebijakan otonomi daerah yang cenderung sangat luas dan
hampir mendekati pengertian sistem federal.12 Hal itu dianggap sesuai
dengan kecenderungan umum di dunia, di mana negara-negara federal
yang memiliki parlemen dua kamar selalu mengembangkan
tradisi strong bicameralism, sedangkan di lingkungan negara-negara
kesatuan bikameralisme yang dipraktekkan adalah soft bicameralism.
Kebijakan otonomi daerah di Indonesia di masa depan dinilai oleh
sebagian besar ilmuwan politik dan hukum cenderung bersifat
federalistis dan karena itu lebih tepat mengembangkan struk- tur
parlemen yang bersifat strong bicameralism.
Namun demikian, Perubahan Ketiga UUD 945 hasil
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000
justru meng- adopsi gagasan parlemen bicameral yang bersifat
soft. Kedua kamar dewan perwakilan tersebut tidak dilengkapi
dengan kewenangan yang sama kuat. Yang lebih kuat tetap
12 Jimly A. 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Konpres, Jakarta.
12
12
Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan kewenangan Dewan
Perwakilan Daerah hanya bersifat tambahan dan terbatas pada hal-
hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.
Dalam Pasal 22D ayat (1), (2) dan ( 3), dinyatakan:13
1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada DPR rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan peme- karan serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan Undang- Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabun- gan daerah; pengelolaan sumber daya alam, sumber daya eko- nomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan dan belanja negara, dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pem- bentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti
Konstruksi Pasal demikian sekilas menunjukkan bahwa
struktur parlemen Indonesia berdasarkan hasil Perubahan Ketiga
UUD 945 tersebut bersifat soft bicameralism atau bikameralisme
yang sederhana. Namum demikian, jika diperhatikan dengan
seksama, seperti telah diuraikan sebelumnya, struktur partai
Indonesia pasca Perubahan Keempat UUD 945 sama sekali tidak
dapat disebut sebagai sistem bikameral. Hal ini terjadi karena 14
Pertama, ternyata bahwa DPD sama sekali tidak diberi kewenangan legislatif, meskipun hanya sederhana sekalipun. DPD hanya memberikan saran atau pertimbangan, dan sama sekali tidak berwenang mengambil keputusan apa-apa di bidang legislatif. Kedua, Pasal 2 ayat (1) UUD 945 menyatakan, “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”, tidak sep-
13 UUD NRI Tahun 1945 Perubahan Ke-tiga14 Jimly A, ibid hal.50
13
13
erti Kongres Amerika Serikat yang dikatakan terdiri atas DPR dan Senat, atau Staten Generaal Belanda yang terdiri atas Eerste Kamer dan Tweede Kamer. Ketiga, ternyata lembaga MPR juga mempunyai kewenangan-kewenangan dan Pimpinan tersendiri. Dari kedua hal itu, maka MPR dapat disebut sebagai institusi tersendiri, sehingga struktur parlemen Indonesia seperti saya kemukakan di atas dapat disebut sebagai parlemen tiga kamar (trikameralisme).
Sebenarnya deviasi mengenai “ketidak ikutsertaan DPD dalam
pelaksanaan fungsi legislasi yang bersifat khusus dalam penentuan putusan
pada sidang paripurna terhadap pembahsan UU, tidak dibatasi apakah Ia
boleh mengikuti atau tidak. Pasal 22D UUD 45 ayat (1) tidak memberikan
batsan bahwa DPD hanya boleh mengikuti pada sidang pertama, dan tidak
memiliki hak untuk terlibat dalam proses penentuan pendapat pada tahap
persidangan kedua. Jadi bukan dalam UUD 45, melainkah dalam UU
SUSDUK-lah terdapat salah satu deviasi dari sistem bicameralisme yang
mengebiri fungsi legislasi DPD yang bersifat khusus itu. Meskipun
demikian untuk kewenangan-kewenagan lain memang telah dibatasi secara
kaku oleh UUD, sehingga jika menginginkan penguatan fungsi-fungsi
bicameralisme DPD tidak terdapat jalan lain kecuali Amandemen UUD
45.
c. Pemberdayaan DPD Menuju Bicameralisme yang Mapan
Untuk meningkatkan efektivitas dan pemberdayaan DPD
dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis sebenarnya terdapat dua
jalan, yaitu jalan amandemen UUD menuju bicameralisme yang kuat, dan
jalan perubahan UU SUSDUK yang bertujuan mempertahankan soft
bicameralisme dengan pengutan fungsi legislasi khusus. Menurut Ginanjar
Karta Sasmita, dalam upaya meningkatkan efektifitas dan pemberdayaan
DPD, terdapat beberapa prinsip yang kiranya perlu menjadi pegangan:15
a) Dalam bidang legislasi kedudukan DPD tidak perlu sepenuhnya setara atau sama luasnya dengan DPR;
b) Kewenangan legislatif DPD cukup terbatas pada bidang-bidang yang
15 Ginanjar Kartasasmita,DPD dalam Struktur Ketatanegaraan RI, Makalah, diunduh dari www.dpd.go.id
14
14
sekarang sudah tercantum dalam UUD, dan itupun tetap bersama (share) dengan DPR (tidak mengambil alih).
c) Kewenangan legislasi DPD tersebut dapat dirumuskan dengan berbagai cara, seperti yang telah berlaku di negara-negara lain, mulai dari hak menolak (veto), mengembalikan ke DPR atau hanya menunda.
d) Namun dalam hal kewenangan pengawasan (oversight) DPD harus memiliki kekuatan hukum yang sama dengan DPR, agar supaya pengawasan tersebut bisa efektif. Untuk menghindari terjadinya duplikasi dengan DPR dapat diatur pembagian kewenangan dan tanggung jawab pengawasan antara kedua lembaga tersebut. Misalnya, pengawasan DPD lebih terfokus di daerah dan DPR di pusat.
Dengan kewenagan yang demikian, secara teoritis fungsi check
and balances sebagaimana dianut di Indonesia dapat menjadi lebih
mantap, dan secara praktis dapat dikatakan ongkos politik yang harus
dikeluarkan oleh calon anggota DPD dapat terbayarkan karena dapat ikut
serta dalam penyelenggaran fungsi-fungsi parlemen secara maksimal.
C. Penutup1. Sistem bicameral memberikan dampak positif bagi pemantapan sistem
check and balances, dimana setiap produk legislasi yang dihasilkan oleh
parlemen akan lebih memenuhi berbagai kepentingan karena melalui double
check di dua kamar parlemen;
2. Sistem bikameral yang diterapkan di Indonesia termasuk kategori
lemah, bahkan dapa t d ika takan semu berdasarkan kewenangan legislasi
yang dimilikinya, bahkan terdapat deviasi antara teoritisasi dan ketentuan
normatif sebagaimana diatur dalam UU SUSDUK.
3. jalan yang dapat ditempuh guna pemberdayaan DPD dapat dilakukan
melaui dua jalur, yaitu jalur perubahan/penggantian UU SUSDUK yang
memberikan penguatan fungsi legislasi khusus dengan tetap mempertahankan
soft bicameralisme, dan jalur amandemen konstitusi menuju bicameralisme yang
kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Jimly Asshiddiqie, , 2003, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Disampaikan dalam Simposium yang
15
15
dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM.
------, 2005, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Konpres,Jakarta,
------. 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Konpres, Jakarta
------, 2005, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, UII Press, Jogjakarta,
Ginanjar Kartasasmita,DPD dalam Struktur Ketatanegaraan RI, Makalah, diunduh dari www.dpd.go.id
Mahfud MD, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen, LP3ES, Jakarta.
16
16
top related