sistem administrasi keuangan daerah ii · pdf filemata ajar sistem administrasi keuangan...
Post on 06-Feb-2018
247 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DIKLAT PEMBENTUKAN AUDITOR AHLI SAKD II
KODE MA : 1.241
SISTEM
ADMINISTRASI
KEUANGAN DAERAH II
2007 PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENGAWASAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
EDISI KEENAM
ISBN 979-95661-4-2 (no. jilid lengkap) ISBN 979-95661-6-9 (jilid 2)
Judul Modul : Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Penyusun : Drs. Sunarto & Drs. Soedarsono DP, M.M.
Perevisi I : Djedje Abdul Aziz, S.H. & Drs. Sigit Edi Surono
Perevisi II : Drs. Bistok Manurung
Perevisi III : Budiman Slamet, Ak., M.Si. Perevisi IV : Budiman Slamet, Ak., M.Si.
Perevisi V
Pereviu
:
:
Fatchudin, S.E., Ak.
Linda Ellen Theresia, S.E., Ak., M.B.A.
Editor : Daissy Erdianthy, S.E., Ak., M.Ak.
Dikeluarkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP dalam rangka Diklat Sertifikasi JFA Tingkat Pembentukan Auditor
Anggota Tim
Edisi Pertama : Tahun 1998
Edisi Kedua (Revisi Pertama) : Tahun 2000
Edisi Ketiga (Revisi Kedua) : Tahun 2002
Edisi Keempat (Revisi Ketiga) : Tahun 2004
Edisi Kelima (Revisi Keempat) Edisi Keenam (Revisi Kelima)
: :
Tahun 2006 Tahun 2007
Dilarang keras mengutip, menjiplak, atau menggandakan sebagian atau seluruh isi modul ini, serta memperjualbelikan tanpa izin tertulis
dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP
Pusdiklat Pengawasan BPKP Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
ISBN 979-95661-4-2 (no. jilid lengkap) ISBN 979-95661-6-9 (jilid 2)
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 ii
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………….………………………...…………………….… i
Daftar Isi…………………….……………………….....……………………... ii
BAB I Pendahuluan...............….......………….……………………… 1
A. Latar Belakang ……..........................…..……..………… 1
B. Tujuan Pemelajaran Umum……...…..………....…...…… 2
C. Tujuan Pemelajaran Khusus…….....………….....……… 2
D. Deskripsi Singkat Struktur Modul.................................... 3
E. Metodologi Pemelajaran................................................. 3
BAB II Keuangan Daerah…………….…………….………..…….…... 5
A. Pengertian Keuangan Daerah……….……..……….….... 5
B. Hubungan antara Keuangan Daerah dengan Keuangan
Negara…......................................................................... 6
C. Pengelola Keuangan Daerah……….............…………… 8
D. Latihan……………………………….......…………….…… 17
BAB III Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD )…… 19
A. Pengertian………….………………………………...…... 19
B. Fungsi-Fungsi Anggaran Daerah. ……….....…………… 20
C. Prinsip-Prinsip Anggaran Daerah…...……….…......…. 21
D. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah …. 23
E. Latihan ………..............………………………………....… 25
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 iv
BAB IV Penyusunan APBD……….………......………………………. 27
A. Siklus Anggaran....................…..………………………… 27
B. Penyusunan Rancangan APBD………………….....…… 28
C. Latihan...……............……………………………………… 46
BAB V Penerimaan Daerah............................................................. 49
A. Pendapatan Asli Daerah................................................. 51
B. Dana Perimbangan......................................................... 77
C. Penerimaan Daerah Lainnya yang Sah......................... 88
D. Penerimaan Pembiayaan................................................ 89
E. Latihan............................................................................ 96
BAB VI Pengeluaran Daerah............................................................ 98
A. Belanja Daerah............................................................... 98
B. Pengeluaran Pembiayaan Daerah.................................. 107
C. Latihan............................................................................ 109
BAB VII Pelaksanaan, Penatausahaan, Pelaporan dan Pertanggungjawaban APBD……………….….…..….…..…. 111
A. Pelaksanaan APBD…………...…….………….…………. 111
B. Penatausahaan Keuangan Daerah……………….......… 118
C. Akuntansi Keuangan Daerah………….….…………….... 124
D. Pelaporan dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan
APBD.............................................................................. 126
E. Latihan...........……........…………………………………… 130
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 v
BAB VIII Penggantian Kerugian Negara/Daerah.............................. 132
A. Umum............................................................................. 132
B. Dasar-Dasar Pengertian yang Digunakan.....……… 135
C. Tata Cara Penyelesaian Kerugian Keuangan Daerah.... 139
D. Tuntutan Perbendaharaan.............................................. 140
E. Tuntutan Ganti Rugi (TGR)............................................. 146
F. Daluwarsa TP/TGR......................................................... 151
G. Penghapusan.................................................................. 152
H. Pembebasan................................................................... 153
I. Penyetoran...................................................................... 153
J. Pelaporan........................................................................ 154
K. Lain-lain.......................................................................... 154
L. Majelis Pertimbangan Tuntutan Perbendaharaan dan
Tuntutan Ganti Rugi Keuangan dan Barang
Daerah............................................................................ 154
M. Teknis dan Prosedur Penyelesaian TP/TGR Keuangan
dan Barang Daerah Melalui Majelis Pertimbangan
TP/TGR (Misalnya untuk Tingkat Provinsi).................... 156
N. Latihan...............…………………………………………… 158
Daftar Pustaka…..……..…………………………...………………………... 160
Daftar Istilah/Singkatan.......................................................................... 163
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sesuai dengan keputusan Kepala BPKP Nomor: KEP-06.04.00-847/K/
1998 tanggal 11 Nopember 1998 tentang Pola Pendidikan Dan Pelatihan
Auditor Bagi Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah, Modul Sistem
Administrasi Keuangan Daerah II (disingkat SAKD II) merupakan salah
satu kurikulum/mata ajar dalam rangka diklat pembentukan auditor ahli.
Diklat pembentukan auditor ahli adalah diklat untuk menjaring calon auditor
yang berlatar belakang pendidikan minimal sarjana (S1 atau D-IV) dengan
kualifikasi yang ditentukan oleh instansi pembina atau yang sederajat yang
status ijazahnya telah disamakan oleh Departemen Pendidikan Nasional
RI. Setelah lulus dari pendidikan dan pelatihan ini, diharapkan mereka
mampu untuk melaksanakan tugasnya sebagai anggota tim.
Mata ajar SAKD II merupakan kelompok mata ajar inti, dengan lama
pelatihan (jamlat) sebesar 30 jamlat. Mata ajar sistem administrasi
keuangan negara II (SAKN II) dipergunakan/diajarkan bagi calon auditor
pada unit pengawasan pusat, sedangkan SAKD II diajarkan bagi calon
auditor pada unit pengawasan daerah.
Untuk calon auditor BPKP dan Inspektorat Jenderal Departemen Dalam
Negeri RI, kedua mata ajaran tersebut (SAKN II dan SAKD II) diberikan,
akan tetapi mata ajar SAKD II sebagai mata ajar yang tidak diujikan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 2
B. TUJUAN PEMELAJARAN UMUM
Modul ini disusun untuk memenuhi materi pelajaran pada diklat
pembentukan auditor ahli di lingkungan aparat pengawasan Intern
pemerintah (APIP). Seorang auditor ahli harus memahami sistem
administrasi keuangan yang diaudit.
Tujuan Pemelajaran Umum (TPU) modul ini adalah agar peserta diklat
mampu memahami SAKD dalam rangka pengawasan keuangan daerah.
Hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah akan terwujudnya
akuntabilitas dan good governance di lingkungan instansi pemerintah.
Instansi pengawasan internal pemerintah mempunyai andil yang cukup
besar demi terwujudnya kedua hal tersebut.
C. TUJUAN PEMELAJARAN KHUSUS
Setelah mengikuti pelatihan ini, peserta diklat diharapkan mampu
1. menjelaskan pengertian keuangan daerah, hubungan keuangan
daerah dengan ke uangan pusat, serta pengurusan keuangan
daerah;
2. menjelaskan pengertian APBD, fungsi dan prinsip anggaran daerah,
struktur APBD, sumber-sumber penerimaan daerah, belanja daerah,
serta pembiayaan daerah;
3. memahami siklus anggaran, khususnya proses penyusunan APBD,
mulai dari penyusunan rancangan hingga penetapan APBD;
4. memahami pengertian, unsur-unsur dan prosedur penerimaan
daerah;
5. menjelaskan pengertian pengeluaran daerah, berupa belanja daerah
dan pengeluaran pembiayaan daerah;
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 3
6. memahami proses pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan per-
tanggungjawaban APBD; dan
7. menjelaskan pengertian penggantian kerugian negara/daerah.
Dengan pemahaman itu, maka setiap peserta pelatihan diharapkan
mampu melakukan pengawasan keuangan daerah.
D. DESKRIPSI SINGKAT MODUL
Diklat ini membekali peserta untuk memahami pengertian dan konsep
tentang SAKD dengan materi pembahasan sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab II : Keuangan Daerah
Bab III : Anggaran Pendapan dan Belanja Daerah (APBD)
Bab IV : Penyusunan APBD
Bab V : Penerimaan Daerah
Bab VI : Pengeluaran Daerah
Bab VII : Pelaksanaan, Penatausahaan, Pelaporan, dan
Pertanggungjawaban APBD
Bab VIII : Penggantian Kerugian Negara/Daerah
Pada masing-masing bab akan disajikan dasar teori, latihan soal dan
kasus yang harus dijawab oleh para peserta baik secara perseorangan
maupun kelompok.
E. METODOLOGI PEMELAJARAN
Peserta diklat diharapkan mampu memahami secara optimal substansi
yang terdapat dalam modul ini, untuk itu diperlukan proses belajar
mengajar dengan pendekatan andragogi.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 4
Untuk mencapai tujuan pemelajaran di atas, maka metode pemelajaran
yang akan digunakan adalah ceramah, diskusi dan pemecahan kasus.
Selain membahas soal latihan yang ada pada modul ini, para widyaiswara
/instruktur diharapkan juga memberikan bahan-bahan pelatihan yang dapat
menambah wawasan para peserta. Penggunaan referensi tambahan juga
diperlukan guna menambah wawasan para peserta diklat.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 5
BAB II
KEUANGAN DAERAH
A. PENGERTIAN KEUANGAN DAERAH
Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan
pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut :
Berdasarkan pengertian tersebut unsur pokok keuangan daerah terdiri
atas:
- Hak Daerah yang dapat dinilai
- Kewajiban Daerah dengan uang
- Kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut.
Hak daerah dalam rangka keuangan daerah adalah segala hak yang
melekat pada daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
digunakan dalam usaha pemerintah daerah mengisi kas daerah.
“Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat
dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang
dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban tersebut”.
Pada akhir pemelajaran ini peserta mampu menjelaskan pengertian keuangan daerah, hubungan keuangan daerah dengan keuangan pusat, serta pengurusan keuangan daerah dalam rangka mem bantu pelaksanaan tugasnya sebagai auditor.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 6
Hak daerah tersebut meliputi antara lain :
1. Hak menarik pajak daerah (UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34
Tahun 2000).
2. Hak untuk menarik retribusi/iuran daerah (UU No. 18 Tahun 1997 jo
UU No. 34 tahun 2000).
3. Hak mengadakan pinjaman (UU No. 33 tahun 2004 ).
4. Hak untuk memperoleh dana perimbangan dari pusat (UU No. 33
tahun 2004).
Kewajiban daerah juga merupakan bagian pelaksanaan tugas-tugas
Pemerintahan pusat sesuai pembukaan UUD 1945 yaitu:
1. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia,
2. memajukan kesejahteraan umum,
3. mencerdaskan kehidupan bangsa,
4. ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
B. HUBUNGAN ANTARA KEUANGAN DAERAH DENGAN KEUANGAN NEGARA
Pasal 1 UUD 1945 menetapkan negara Indonesia adalah negara kesatuan
yang berbentuk republik. Selanjutnya dalam pasal 18 UUD 1945 beserta
penjelasannya menyatakan bahwa daerah Indonesia terbagi dalan daerah
yang bersifat otonom atau bersifat daerah administrasi.
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional
dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber-
sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 7
demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN). Penyelenggaraan pemerintahan daerah juga merupakan
subsistem dari pemerintahan negara sehingga antara keuangan daerah
dengan keuangan negara akan mempunyai hubungan yang erat dan saling
mempengaruhi.
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara
proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan
pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintahan daerah
dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah
dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.
Setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat
kepada daerah dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi disertai
dengan pengalihan sumber daya manusia dan sarana serta pengalokasian
anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan penyerahan dan
pelimpahan kewenangan tersebut. Sedangkan penugasan dari pemerintah
pusat kepada daerah dalam rangka tugas pembantuan disertai
pengalokasian anggaran.
Dari ketiga jenis pelimpahan wewenang tersebut, hanya pelimpahan
wewenang dalam rangka pelaksanaan desentralisasi saja yang merupakan
sumber keuangan daerah melalui alokasi dana perimbangan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan alokasi dana
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka
dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak merupakan sumber
penerimaan APBD dan diadministrasikan serta dipertanggungjawabkan
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 8
secara terpisah dari administrasi keuangan dalam pembiayaan
pelaksanaan desentralisasi.
C. PENGELOLA KEUANGAN DAERAH
Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan
pengelola keuangan daerah. Kepala daerah selaku kepala pemerintah
daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan
mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang
dipisahkan. Kepala daerah perlu menetapkan pejabat-pejabat tertentu dan
para bendahara untuk melaksanakan pengelolaan keuangan daerah. Para
pengelola keuangan daerah tersebut adalah:
1. Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah (Koordinator PKD).
2. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD).
3. Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang (PPA/PB).
4. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).
5. Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD).
6. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran.
Berikut ini adalah uraian tentang tugas-tugas para pejabat pengelola
keuangan daerah tersebut.
1. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah
Kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang
kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah
daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah mempunyai
kewenangan:
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 9
a. menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan anggaran pendapatan
dan belanja daerah (APBD);
b. menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah;
c. menetapkan kuasa pengguna anggaran/pengguna barang;
d. menetapkan bendahara penerimaan dan/atau bendahara
pengeluaran;
e. menetapkan pejabat yang bertugas memungut penerimaan
daerah;
f. menetapkan pejabat yang bertugas mengelola utang dan piutang
daerah;
g. menetapkan pejabat yang bertugas mengelola barang milik
daerah; dan
h. menetapkan pejabat yang bertugas menguji tagihan dan
memerintahkan pembayaran.
Kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya kepada:
a. Sekretaris Daerah selaku Koordinator Pengelola Keuangan
Daerah (KPKD)
b. Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD)
selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD).
c. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pejabat
pengguna anggaran/pengguna barang.
Pelimpahan tersebut ditetapkan dengan keputusan kepala daerah
berdasarkan prinsip pemisahan kewenangan antara yang
memerintahkan, menguji, dan yang menerima atau mengeluarkan
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 10
uang, yang merupakan unsur penting dalam sistem pengendalian
intern.
2. Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah
Sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah
membantu kepala daerah menyusun kebijakan dan
mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah
termasuk pengelolaan keuangan daerah. Sekretaris Daerah selaku
koordinator pengelolaan keuangan daerah mempunyai tugas
koordinasi di bidang:
a. penyusunan dan pelaksanaan kebijakan APBD;
b. penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan barang
daerah;
c. penyusunan rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD;
d. penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD,
perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD;
e. tugas-tugas pejabat perencana daerah, pejabat pengelola
keuangan daerah, dan pejabat pengawas keuangan daerah; dan
f. penyusunan laporan keuangan daerah dalam rangka
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Selain mempunyai tugas koordinasi, sekretaris daerah mempunyai
tugas:
a. memimpin TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah),
b. menyiapkan pedoman pelaksanaan APBD,
c. menyiapkan pedoman pengelolaan barang daerah,
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 11
d. memberikan persetujuan pengesahan dokumen pelaksanaan
anggaran (DPA-SKPD)/dokumen perubahan pelaksanaan
anggaran (DPPA), dan
e. melaksanakan tugas-tugas koordinasi pengelolaan keuangan
daerah lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala
daerah.
Koordinator pengelolaan keuangan daerah bertanggung jawab atas
pelaksanaan tugas-tugas tersebut kepada kepala daerah.
3. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
Kepala SKPKD selaku PPKD mempunyai tugas:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan
daerah,
b. menyusun rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD,
c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah
ditetapkan dengan peraturan daerah,
d. melaksanakan fungsi bendahara umum daerah (BUD),
e. menyusun laporan keuangan daerah dalam rangka
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, dan
f. melaksanakan tugas lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan
oleh kepala daerah.
PPKD dalam melaksanakan fungsinya selaku BUD berwenang:
a. menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD;
b. mengesahkan DPA-SKPD/DPPA-SKPD;
c. melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 12
d. memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan
pengeluar-an kas daerah;
e. melaksanakan pemungutan pajak daerah;
f. menetapkan Surat Penyediaan Dana (SPD);
g. menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian pinjaman atas
nama pemerintah daerah;
h. melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
i. menyajikan informasi keuangan daerah; dan
j. melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta
penghapusan barang milik daerah.
PPKD selaku BUD menunjuk pejabat di lingkungan satuan kerja
pengelola keuangan daerah selaku kuasa bendahara umum daerah
(Kuasa BUD). PPKD mempertanggungjawabkan pelaksanaan
tugasnya kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.
Penunjukan kuasa BUD oleh PPKD ditetapkan dengan keputusan
kepala daerah. Kuasa BUD mempunyai tugas:
a. menyiapkan anggaran kas;
b. menyiapkan SPD;
c. menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D);
d. menyimpan seluruh bukti asli kepemilikan kekayaan daerah;
e. memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh
bank dan/atau lembaga keuangan lainnya yang ditunjuk;
f. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam
pelaksanaan APBD;
g. menyimpan uang daerah;
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 13
h. melaksanakan penempatan uang daerah dan
mengelola/menatausahakan investasi daerah;
i. melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat
pengguna anggaran atas beban rekening kas umum daerah;
j. melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah
daerah;
k. melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; dan
l. melakukan penagihan piutang daerah.
Kuasa BUD bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada
BUD.
PPKD dapat melimpahkan kepada pejabat lainnya dilingkungan
SKPKD untuk melaksanakan tugas-tugas sebagai berikut:
a. menyusun rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD;
b. mengendalikan pelaksanaan APBD;
c. memungut pajak daerah;
d. menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas
nama pemerintah daerah;
e. melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
f. menyajikan informasi keuangan daerah; dan
g. melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta
penghapusan barang milik daerah.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 14
4. Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
Kepala SKPD selaku Pejabat Pengguna Anggaran /Pengguna Barang
(PPA/PB) mempunyai tugas:
a. menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD);
b. menyusun Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD);
c. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban
anggaran belanja;
d. melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya;
e. menguji tagihan dan memerintahkan pembayaran;
f. memungut penerimaan bukan pajak;
g. mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam
batas anggaran yang telah ditetapkan;
h. menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM);
i. mengelola utang dan piutang yang menjadi tanggung jawab SKPD
yang dipimpinnya;
j. mengelola barang milik daerah/kekayaan daerah yang menjadi
tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya;
k. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang
dipimpinnya;
l. mengawasi pelaksanaan anggaran SKPD yang dipimpinnya; dan
m. melaksanakan tugas-tugas pengguna anggaran/pengguna barang
lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.
Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab
atas pelaksanaan tugasnya kepada kepala daerah melalui sekretaris
daerah.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 15
PPA/PB dalam melaksanakan tugas-tugasnya dapat melimpahkan
sebagian kewenangannya kepada kepala unit kerja pada SKPD
selaku KPA/KPB (Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Barang). Pelimpahan sebagian kewenangan tersebut berdasarkan
pertimbangan tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang
yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi dan/atau rentang
kendali dan pertimbangan objektif lainnya. Pelimpahan sebagian
kewenangan tersebut ditetapkan oleh kepala daerah atas usul kepala
SKPD. Kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang
mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas-tugasnya kepada
pengguna anggaran/ pengguna barang.
5. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan SKPD
PPA/PB dan KPA/KPB dalam melaksanakan program dan kegiatan
menunjuk pejabat pada unit kerja SKPD selaku Pejabat Pelaksana
Teknis Kegiatan (PPTK). Penunjukan pejabat tersebut berdasarkan
pertimbangan kompetensi jabatan, anggaran kegiatan, beban kerja,
lokasi, dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya.
PPTK bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada
pengguna anggaran/pengguna barang atau kuasa pengguna
anggaran/kuasa pengguna barang yang telah menunjuknya. Tugas-
tugas tersebut adalah:
a. mengendalikan pelaksanaan kegiatan;
b. melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan; dan
c. menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran
pelaksanaan kegiatan, yang mencakup dokumen administrasi
kegiatan maupun dokumen administrasi yang terkait dengan
persyaratan pembayaran yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 16
6. Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD
Kepala SKPD menetapkan pejabat yang melaksanakan fungsi tata
usaha keuangan pada SKPD sebagai Pejabat Penatausaha
Keuangan SKPD (PPK-SKPD) yang mempunyai tugas:
a. meneliti kelengkapan Surat Permintaan Pembayaran Langsung
(SPP-LS) pengadaan barang dan jasa yang disampaikan oleh
bendahara pengeluaran dan diketahui/ disetujui oleh PPTK;
b. meneliti kelengkapan Surat Permintaan Pembayaran Uang
Persediaan (SPP-UP), Surat Permintaan Pembayaran Ganti Uang
Persediaan (SPP-GU), Surat Permintaan Pembayaran Tambah
Uang Persediaan (SPP-TU) dan SPP-LS gaji dan tunjangan PNS
serta penghasilan lainnya yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan perundangundangan yang diajukan oleh bendahara
pengeluaran;
c. melakukan verifikasi SPP;
d. menyiapkan SPM;
e. melakukan verifikasi harian atas penerimaan;
f. melaksanakan akuntansi SKPD; dan
g. menyiapkan laporan keuangan SKPD.
PPK-SKPD tidak boleh merangkap sebagai pejabat yang bertugas
melakukan pemungutan penerimaan negara/daerah, bendahara,
dan/atau PPTK.
7. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran
Kepala daerah atas usul PPKD menetapkan bendahara penerimaan
dan bendahara pengeluaran untuk melaksanakan tugas
kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pada SKPD.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 17
Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran tersebut adalah
pejabat fungsional. Bendahara penerimaan dan bendahara
pengeluaran baik secara langsung maupun tidak langsung dilarang
melakukan kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan dan
penjualan jasa atau bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/
pekerjaan/penjualan, serta membuka rekening/giro pos atau
menyimpan uang pada suatu bank atau lembaga keuangan lainnya
atas nama pribadi.
Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran dalam
melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh bendahara penerimaan
pembantu dan/atau bendahara pengeluaran pembantu.
Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran secara
fungsional ber-tanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada
PPKD selaku BUD.
D. LATIHAN
1. Semua hak di bawah ini adalah hak yang dilakukan dalam rangka
keuangan daerah kecuali :
a. Hak menarik pajak daerah.
b. Hak untuk mengadakan pinjaman daerah.
c. Hak untuk memperoleh dana perimbangan dari pusat.
d. Hak untuk memperoleh bagian laba dari perusahaan daerah.
2. Pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah adalah :
a. Gubernur/Bupati/Walikota
b. Sekretaris Daerah.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 18
c. Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah.
d. Kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah
3. Persyaratan dan pembinaan karir bendahara diatur oleh :
a. Pengguna Anggaran/Pengguna barang.
b. Bendahara Umum Daerah.
c. Kepala Daerah .
d. Bendahara Umum Negara.
4. Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang berwenang antara lain :
a. Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran.
b. Mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran.
c. Melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah.
d. Melaksanakan pemungutan pajak daerah.
5. Bendahara Umum Daerah berwenang antara lain:
a. Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan.
b. Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak,
c. Melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah,
d. Menggunakan barang milik daerah.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 19
BAB III
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD)
A. PENGERTIAN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD
adalah suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 17 Tahun 2003 pasal 1
butir 8 tentang Keuangan Negara).
Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah harus dicatat dan
dikelola dalam APBD. Penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut
adalah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas desentralisasi. Sedangkan
penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan dengan pelaksanaan
dekonsentrasi atau tugas pembantuan tidak dicatat dalam APBD.
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun
anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan
daerah dan semua belanja daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua
penerimaan daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan
dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang
membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan
sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD
Pada akhir pemelajaran ini peserta dapat menjelaskan pengertian APBD, fungsi dan prinsip anggaran daerah, struktur APBD, sumber-sumber penerimaan daerah, belanja daerah, serta pembiayaan daerah dalam rangka membantu pelaksanaan tugasnya sebagai auditor.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 20
merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi
dasar pula bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan
keuangan daerah.
Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN yaitu mulai 1
Januari dan berakhir tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan.
Sehingga pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan keuangan daerah
dapat dilaksanakan berdasarkan kerangka waktu tersebut.
APBD disusun dengan pendekatan kinerja yaitu suatu sistem anggaran
yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari
perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Jumlah pendapatan
yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara
rasional yang dapat tercapai untuk setiap sumber pendapatan. Pendapatan
dapat direalisasikan melebihi jumlah anggaran yang telah ditetapkan.
Berkaitan dengan belanja, jumlah belanja yang dianggarkan merupakan
batas tertinggi untuk setiap jenis belanja. Jadi, realisasi belanja tidak boleh
melebihi jumlah anggaran belanja yang telah ditetapkan. Penganggaran
pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya
penerimaan dalam jumlah yang cukup. Setiap pejabat dilarang melakukan
tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBD apabila tidak
tersedia atau tidak cukup tersedia anggaran untuk membiayai pengeluaran
tersebut.
B. FUNGSI-FUNGSI ANGGARAN DAERAH
Berbagai fungsi APBN/APBD sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat
(4) UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, yaitu :
1. Fungsi Otorisasi
APBD merupakan dasar untuk melaksanakan pendapatan dan
belanja pada tahun yang bersangkutan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 21
2. Fungsi Perencanaan
APBD merupakan pedoman bagi manajemen dalam merencanakan
kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
3. Fungsi Pengawasan
APBD menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan
penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan.
4. Fungsi Alokasi
APBD diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan
sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas
perekonomian.
5. Fungsi Distribusi
APBD harus mengandung arti/ memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan
6. Fungsi Stabilisasi
APBD harus mengandung arti atau harus menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental
perekonomian.
C. PRINSIP-PRINSIP ANGGARAN DAERAH
Prinsip-prinsip dasar (azas) yang berlaku di bidang pengelolaan APBD
yang berlaku juga dalam pengelolaan anggaran negara/daerah
sebagaimana bunyi penjelasan dalam Undang Undang No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang perbendaharaan negara, yaitu:
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 22
1. Kesatuan
Azas ini menghendaki agar semua pendapatan dan belanja
negara/daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran.
2. Universalitas
Azas ini mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan
secara utuh dalam dokumen anggaran.
3. Tahunan
Azas ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun
tertentu.
4. Spesialitas
Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci
secara jelas peruntukannya.
5. Akrual
Azas ini menghendaki anggaran suau tahun anggaran dibebani untuk
pengeluaran yang seharusnya dibayar, atau menguntungkan
anggaran untuk penerimaan yang seharusnya diterima, walaupun
sebenarnya belum dibayar atau belum diterima pada kas.
6. Kas
Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani pada
saat terjadi pengeluaran/ penerimaan uang dari/ ke kas daerah.
Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja
berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 13, 14, 15
dan 16 dalam UU Nomor 17 Tahun 2003, dilaksanakan selambat-
lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran
pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan
pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 23
D. STRUKTUR ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:
1. Pendapatan Daerah
2. Belanja Daerah
3. Pembiayaan
Selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut surplus
anggaran, tapi apabila terjadi selisih kurang maka hal itu disebut defisit
anggaran. Jumlah pembiayaan sama dengan jumlah surplus atau jumlah
defisit anggaran.
1. Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui
Rekening Kas Umum Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar,
yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak
perlu dibayar kembali oleh Daerah. Pendapatan daerah terdiri atas:
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD);
b. Dana perimbangan; dan
c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2. Belanja Daerah
Komponen berikutnya dari APBD adalah belanja daerah. Belanja
daerah meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah
yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban
daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh
pembayarannya kembali oleh Daerah. Belanja daerah dipergunakan
dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 24
wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan
perundang-undangan.
3. Pembiayaan Daerah
Pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar
kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada
tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun
anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah tersebut terdiri dari
penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
Penerimaan pembiayaan mencakup:
a. SiLPA tahun anggaran sebelumnya;
b. pencairan dana cadangan;
c. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;
d. penerimaan pinjaman; dan
e. penerimaan kembali pemberian pinjaman.
Pengeluaran pembiayaan mencakup:
a. pembentukan dana cadangan;
b. penyertaan modal pemerintah daerah;
c. pembayaran pokok utang; dan
d. pemberian pinjaman.
Pembiayaan neto merupakan selisih lebih penerimaan pembiayaan
terhadap pengeluaran pembiayaan. Jumlah pembiayaan neto harus
dapat menutup defisit anggaran.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 25
E. LATIHAN
1. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari :
a. Pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan.
b. Pendapatan daerah, pengeluaran daerah dan pembiayaan.
c. Penerimaan daerah, pengeluaran daerah dan pembiayaan.
d. Penerimaan daerah, belanja daerah dan pembiayaan.
2. Selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut :
a. Kelebihan anggaran.
b. Surplus anggaran.
c. Selisih lebih anggaran.
d. Pembiayaan anggaran.
3. Sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan
desentralisasi adalah seperti disebut di bawah ini, kecuali :
a. Pendapatan asli daerah.
b. Dana perimbangan.
c. Pinjaman daerah.
d. Penerimaan pajak dan retribusi daerah.
4. Belanja pegawai dan belanja barang dan jasa adalah belanja yang
diklasifikasikan berdasarkan :
a. Fungsi.
b. Jenis.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 26
c. Urusan pemerintahan
d. Program dan kegiatan
5. Pembentukan dana cadangan termasuk dalam komponen :
a. Pendapatan
b. Belanja
c. Penerimaan pembiayaan
d. Pengeluaran pembiayaan
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 27
BAB IV
PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
A. SIKLUS ANGGARAN
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1
(satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan
tanggal 31 Desember. APBD disusun sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.
Dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah melaksanakan
kegiatan keuangan dalam siklus pengelolaan anggaran yang secara garis
besar terdiri dari:
1. Penyusunan dan Penetapan APBD;
2. Pelaksanaan dan Penatausahaan APBD;
3. Pelaporan dan Pertanggungjawaban APBD.
Penyusunan APBD berpedoman kepada rencana kerja pemerintah daerah
dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk
tercapainya tujuan bernegara. APBD, perubahan APBD, dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan
peraturan daerah. Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran
harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam
jumlah yang cukup. Pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah yang
Pada akhir pemelajaran ini peserta dapat memahami siklus anggaran, khususnya proses penyusunan APBD, mulai dari penyusunan rancangan hingga penetapan APBD.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 28
dianggarkan dalam APBD harus berdasarkan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan dan dianggarkan secara bruto dalam APBD.
B. PENYUSUNAN RANCANGAN APBD
Pemerintah Daerah perlu menyusun APBD untuk menjamin kecukupan
dana dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya. Karena itu, perlu
diperhatikan kesesuaian antara kewenangan pemerintahan dan sumber
pendanaannya. Pengaturan kesesuaian kewenangan dengan
pendanaannya adalah sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah didanai dari dan atas beban APBD.
2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat di daerah didanai dari dan atas beban APBN.
3. Penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi yang penugasannya
dilimpahkan kepada kabupaten/kota dan/atau desa, didanai dari dan
atas beban APBD provinsi.
4. Penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota yang
penugasannya dilimpahkan kepada desa, didanai dari dan atas beban
APBD kabupaten/kota.
Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah baik dalam
bentuk uang, barang dan/atau jasa pada tahun anggaran yang berkenaan
harus dianggarkan dalam APBD. Penganggaran penerimaan dan
pengeluaran APBD harus memiliki dasar hukum penganggaran. Anggaran
belanja daerah diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban
pemerintahan daerah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 29
1. Rencana Kerja Pemerintahan Daerah
Penyusunan APBD berpedoman kepada rencana kerja pemerintah
daerah. Karena itu kegiatan pertama dalam penyusunan APBD
adalah penyusunan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD).
Pemerintah daerah menyusun RKPD yang merupakan penjabaran
dari rencana pembangunan jangka menengah Dderah (RPJMD)
dengan menggunakan bahan dari renja SKPD untuk jangka waktu 1
(satu) tahun yang mengacu kepada rencana kerja pemerintah pusat.
RKPD tersebut memuat rancangan kerangka ekonomi daerah,
prioritas pembangunan dan kewajiban daerah, rencana kerja yang
terukur dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh
pemerintah, pemerintah daerah maupun ditempuh dengan
mendorong partisipasi masyarakat. Secara khusus, kewajiban daerah
mempertimbangkan prestasi capaian standar pelayanan minimal yang
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. RKPD
disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
Penyusunan RKPD diselesaikan paling lambat akhir bulan Mei
sebelum tahun anggaran berkenaan. RKPD ditetapkan dengan
peraturan kepala daerah.
2. Kebijakan Umum APBD
Setelah rencana kerja pemerintah daerah ditetapkan, pemerintah
daerah perlu menyusun kebijakan umum APBD (KUA) serta prioritas
dan plafon anggaran sementara (PPAS) yang menjadi acuan bagi
satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dalam menyusun rencana
kerja dan anggaran (RKA) SKPD.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 30
Kepala daerah menyusun rancangan KUA berdasarkan RKPD dan
pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan menteri dalam negeri
setiap tahun. Pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan menteri
dalam negeri tersebut memuat antara lain:
a. pokok-pokok kebijakan yang memuat sinkronisasi kebijakan
pemerintah dengan pemerintah daerah;
b. prinsip dan kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran
berkenaan;
c. teknis penyusunan APBD; dan
d. hal-hal khusus lainnya.
Rancangan KUA memuat target pencapaian kinerja yang terukur dari
program-program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah
untuk setiap urusan pemerintahan daerah yang disertai dengan
proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan
penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi yang
mendasarinya. Program-program diselaraskan dengan prioritas
pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sedangkan
asumsi yang mendasari adalah pertimbangan atas perkembangan
ekonomi makro dan perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Dalam menyusun rancangan KUA, kepala daerah dibantu oleh tim
anggaran pemerintah daerah (TAPD) yang dipimpin oleh sekretaris
daerah. Rancangan KUA yang telah disusun, disampaikan oleh
sekretaris daerah selaku koordinator pengelola keuangan daerah
kepada kepala daerah, paling lambat pada awal bulan Juni.
Rancangan KUA disampaikan kepala daerah kepada DPRD paling
lambat pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan untuk
dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 31
berikutnya. Pembahasan dilakukan oleh TAPD bersama panitia
anggaran DPRD. Rancangan KUA yang telah dibahas selanjutnya
disepakati menjadi KUA paling lambat minggu pertama bulan Juli
tahun anggaran berjalan.
3. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara
Selanjutnya berdasarkan KUA yang telah disepakati, pemerintah
daerah menyusun rancangan prioritas dan plafon anggaran
sementara (PPAS). Rancangan PPAS tersebut disusun dengan
tahapan sebagai berikut:
a. menentukan skala prioritas untuk urusan wajib dan urusan pilihan;
b. menentukan urutan program untuk masing-masing urusan; dan
c. menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing
program.
Kepala daerah menyampaikan rancangan PPAS yang telah disusun
kepada DPRD untuk dibahas paling lambat minggu kedua bulan Juli
tahun anggaran berjalan. Pembahasan dilakukan oleh TAPD bersama
panitia anggaran DPRD. Rancangan PPAS yang telah dibahas
selanjutnya disepakati menjadi PPA paling lambat akhir bulan Juli
tahun anggaran berjalan.
KUA serta PPA yang telah disepakati, masing-masing dituangkan ke
dalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama antara kepala
daerah dengan pimpinan DPRD. Dalam hal kepala daerah
berhalangan, yang bersangkutan dapat menunjuk pejabat yang diberi
wewenang untuk menandatangani nota kepakatan KUA dan PPA.
Dalam hal kepala daerah berhalangan tetap, penandatanganan nota
kepakatan KUA dan PPA dilakukan oleh penjabat yang ditunjuk oleh
pejabat yang berwenang.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 32
4. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD
Berdasarkan nota kesepakatan yang berisi KUA dan PPAS, TAPD
menyiapkan rancangan surat edaran kepala daerah tentang pedoman
penyusunan RKA SKPD sebagai acuan kepala SKPD dalam
menyusun RKA-SKPD. Rancangan surat edaran kepala daerah
tentang pedoman penyusunan RKA-SKPD mencakup:
a. PPA yang dialokasikan untuk setiap program SKPD berikut
rencana pendapatan dan pembiayaan;
b. sinkronisasi program dan kegiatan antar SKPD dengan kinerja
SKPD berkenaan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang
ditetapkan;
c. batas waktu penyampaian RKA-SKPD kepada PPKD;
d. hal-hal lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dari SKPD
terkait dengan prinsip-prinsip peningkatan efisiensi, efektifitas,
tranparansi dan akuntabilitas penyusunan anggaran dalam rangka
pencapaian prestasi kerja; dan
e. dokumen sebagai lampiran meliputi KUA, PPA, kode rekening
APBD, format RKASKPD, analisis standar belanja dan standar
satuan harga.
Surat edaran kepala daerah perihal pedoman penyusunan RKA-
SKPD diterbitkan paling lambat awal bulan Agustus tahun anggaran
berjalan. Berdasarkan pedoman tersebut, kepala SKPD menyusun
RKA-SKPD.
RKA-SKPD disusun melalui pendekatan kerangka pengeluaran
jangka menengah daerah, penganggaran terpadu dan penganggaran
berdasarkan prestasi kerja. Pendekatan kerangka pengeluaran jangka
menengah daerah dilaksanakan dengan menyusun prakiraan maju.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 33
Prakiraan maju tersebut berisi perkiraan kebutuhan anggaran untuk
program dan kegiatan yang direncanakan dalam tahun anggaran
berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan.
Pendekatan penganggaran terpadu dilakukan dengan memadukan
seluruh proses perencanaan dan penganggaran pendapatan, belanja,
dan pembiayaan di lingkungan SKPD untuk menghasilkan dokumen
rencana kerja dan anggaran.
Pendekatan penganggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan
dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan
keluaran yang diharapkan dari kegiatan dan hasil serta manfaat yang
diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran
tersebut.
Untuk terlaksananya penyusunan RKA-SKPD berdasarkan
pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah,
penganggaran terpadu dan penganggaran berdasarkan prestasi kerja,
dan terciptanya kesinambungan RKA-SKPD, kepala SKPD
mengevaluasi hasil pelaksanaan program dan kegiatan 2 (dua) tahun
anggaran sebelumnya sampai dengan semester pertama tahun
anggaran berjalan. Evaluasi tersebut bertujuan menilai program dan
kegiatan yang belum dapat dilaksanakan dan/atau belum diselesaikan
tahun-tahun sebelumnya untuk dilaksanakan dan/atau diselesaikan
pada tahun yang direncanakan atau 1 (satu) tahun berikutnya dari
tahun yang direncanakan. Dalam hal suatu program dan kegiatan
merupakan tahun terakhir untuk pencapaian prestasi kerja yang
ditetapkan, kebutuhan dananya harus dianggarkan pada tahun yang
direncanakan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 34
Penyusunan RKA-SKPD berdasarkan prestasi kerja memperhatikan:
a. Indikator Kinerja
Indikator kinerja adalah ukuran keberhasilan yang akan dicapai
dari program dan kegiatan yang direncanakan.
b. Capaian Atau Target Kinerja
Capaian kinerja merupakan ukuran prestasi kerja yang akan
dicapai yang berwujud kualitas, kuantitas, efisiensi dan efektifitas
pelaksanaan dari setiap program dan kegiatan.
c. Analisis Standar Belanja
Analisis standar belanja merupakan penilaian kewajaran atas
beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu
kegiatan.
d. Standar Satuan Harga
Standar satuan harga merupakan harga satuan setiap unit
barang/jasa yang berlaku disuatu daerah yang ditetapkan dengan
keputusan kepala daerah.
e. Standar Pelayanan Minimal
Standar pelayanan minimal merupakan tolok ukur kinerja dalam
menentukan capaian jenis dan mutu pelayanan dasar yang
merupakan urusan wajib daerah.
RKA-SKPD memuat rencana pendapatan, rencana belanja untuk
masing-masing program dan kegiatan, serta rencana pembiayaan
untuk tahun yang direncanakan dirinci sampai dengan rincian objek
pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta prakiraan maju untuk
tahun berikutnya. RKA-SKPD juga memuat informasi tentang urusan
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 35
pemerintah daerah , organisasi, standar biaya, prestasi kerja yang
akan dicapai dari program dan kegiatan.
RKA-SKPD yang telah disusun oleh SKPD disampaikan kepada
PPKD untuk dibahas lebih lanjut oleh TAPD.
5. Penyiapan Raperda APBD
Selanjutnya, berdasarkan RKA-SKPD yang telah disusun oleh SKPD
dilakukan pembahasan penyusunan Raperda oleh TAPD.
Pembahasan oleh TAPD dilakukan untuk menelaah kesesuaian
antara RKA-SKPD dengan KUA, PPA, prakiraan maju yang telah
disetujui tahun anggaran sebelumnya, dan dokumen perencanaan
lainnya, serta capaian kinerja, indikator kinerja, kelompok sasaran
kegiatan, standar analisis belanja, standar satuan harga, standar
pelayanan minimal, serta sinkronisasi program dan kegiatan antar
SKPD.
Dalam hal hasil pembahasan RKA-SKPD terdapat ketidaksesuaian,
kepala SKPD melakukan penyempurnaan. RKA-SKPD yang telah
disempurnakan oleh kepala SKPD disampaikan kepada PPKD
sebagai bahan penyusunan rancangan peraturan daerah tentang
APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran
APBD.
Rancangan peraturan daerah tentang APBD dilengkapi dengan
lampiran yang terdiri dari:
a. ringkasan APBD;
b. ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan
organisasi;
c. rincian APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi,
pendapatan, belanja dan pembiayaan;
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 36
d. rekapitulasi belanja menurut urusan pemerintahan daerah,
organisasi, program dan kegiatan;
e. rekapitulasi belanja daerah untuk keselarasan dan keterpaduan
urusan pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka
pengelolaan keuangan negara;
f. daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
g. daftar piutang daerah;
h. daftar penyertaan modal (investasi) daerah;
i. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
j. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset lain-lain;
k. daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum
diselesaikan dan dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini;
l. daftar dana cadangan daerah; dan
m. daftar pinjaman daerah.
Bersamaan dengan penyusunan rancangan perda APBD, disusun
rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.
Rancangan peraturan kepala daerah tersebut dilengkapi dengan
lampiran yang terdiri dari:
a. ringkasan penjabaran APBD;
b. penjabaran APBD menurut urusan pemerintahan daerah,
organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek, rincian
obyek pendapatan, belanja dan pembiayaan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 37
Rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD wajib
memuat penjelasan sebagai berikut:
a. untuk pendapatan mencakup dasar hukum, target/volume yang
direncana-kan, tarif pungutan/harga;
b. untuk belanja mencakup dasar hukum, satuan volume/tolok ukur,
harga satuan, lokasi kegiatan dan sumber pendanaan kegiatan;
c. untuk pembiayaan mencakup dasar hukum, sasaran, sumber
penerimaan pembiayaan dan tujuan pengeluaran pembiayaan.
Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh
PPKD disampaikan kepada kepala daerah. Selanjutnya rancangan
peraturan daerah tentang APBD sebelum disampaikan kepada DPRD
disosialisasikan kepada masyarakat. Sosialisasi rancangan peraturan
daerah tentang APBD tersebut bersifat memberikan informasi
mengenai hak dan kewajiban pemerintah daerah serta masyarakat
dalam pelaksanaan APBD tahun anggaran yang direncanakan.
Penyebarluasan rancangan peraturan daerah tentang APBD
dilaksanakan oleh sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan
keuangan daerah.
6. Penyampaian dan Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
tentang APBD
Kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang
APBD beserta lampirannya kepada DPRD paling lambat pada minggu
pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya dari tahun yang
direncanakan untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pengambilan
keputusan bersama DPRD dan kepala daerah terhadap rancangan
peraturan daerah tentang APBD dilakukan paling lama 1 (satu) bulan
sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 38
Penyampaian rancangan peraturan daerah tersebut disertai dengan
nota keuangan. Penetapan agenda pembahasan rancangan
peraturan daerah tentang APBD untuk mendapatkan persetujuan
bersama, disesuaikan dengan tata tertib DPRD masing-masing
daerah. Pembahasan rancangan peraturan daerah tersebut
berpedoman pada KUA, serta PPA yang telah disepakati bersama
antara pemerintah daerah dan DPRD. Dalam hal DPRD memerlukan
tambahan penjelasan terkait dengan pembahasan program dan
kegiatan tertentu, dapat meminta RKA-SKPD berkenaan kepada
kepala daerah.
Apabila DPRD sampai batas waktu 1 bulan sebelum tahun anggaran
berkenaan, tidak menetapkan persetujuan bersama dengan kepala
daerah terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD, maka
kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar
angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai
keperluan setiap bulan. Pengeluaran setinggi-tingginya untuk
keperluan setiap bulan tersebut, diprioritaskan untuk belanja yang
bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib. Belanja yang
bersifat mengikat merupakan belanja yang dibutuhkan secara terus
menerus dan harus dialokasikan oleh pemerintah daerah dengan
jumlah yang cukup untuk keperluan setiap bulan dalam tahun
anggaran yang bersangkutan, seperti belanja pegawai, belanja
barang dan jasa. Sedangkan belanja yang bersifat wajib adalah
belanja untuk terjaminnya kelangsungan pemenuhan pendanaan
pelayanan dasar masyarakat antara lain pendidikan dan kesehatan
dan/atau melaksanakan kewajiban kepada fihak ketiga.
Atas dasar persetujuan bersama, kepala daerah menyiapkan
rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 39
Rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD
tersebut dilengkapi dengan lampiran yang terdiri dari :
a. ringkasan APBD;
b. ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan
organisasi;
c. rincian APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi,
program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek, rincian obyek
pendapatan, belanja dan pembiayaan;
d. rekapitulasi belanja menurut urusan pemerintahan daerah,
organisasi, program dan kegiatan;
e. rekapitulasi belanja daerah untuk keselarasan dan keterpaduan
urusan pemerintahan daerah dan fungsi pengelolaan keuangan
negara;
f. daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
g. daftar piutang daerah;
h. daftar penyertaan modal (investasi) daerah;
i. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
j. daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset lain-lain;
k. daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum
diselesaikan dan dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini;
l. daftar dana cadangan daerah; dan
m. daftar pinjaman daerah.
Dalam hal kepala daerah dan/atau pimpinan DPRD berhalangan
tetap, maka pejabat yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang selaku penjabat/pelaksana tugas kepala daerah dan/atau
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 40
selaku pimpinan sementara DPRD yang menandatangani persetujuan
bersama.
Rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD dapat
dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari mendagri bagi
provinsi dan gubernur bagi kabupaten/kota. Sedangkan pengesahan
rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD ditetapkan dengan
keputusan mendagri bagi provinsi dan keputusan gubernur bagi
kabupaten/kota.
Penyampaian rancangan peraturan kepala daerah untuk memperoleh
pengesahan paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak
DPRD tidak menetapkan keputusan bersama dengan kepala daerah
terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD.
Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari kerja
mendagri/gubernur tidak mengesahkan rancangan peraturan kepala
daerah tentang APBD, kepala daerah menetapkan rancangan
peraturan kepala daerah dimaksud menjadi peraturan kepala daerah.
Khusus untuk pengeluaran, diatur bahwa pelampauan batas tertinggi
dari jumlah pengeluaran, hanya diperkenankan apabila ada kebijakan
pemerintah untuk kenaikan gaji dan tunjangan PNS serta penyediaan
dana pendamping atas program dan kegiatan yang ditetapkan oleh
pemerintah serta bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah yang
ditetapkan dalam undang-undang.
7. Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan
Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD
Rancangan peraturan daerah provinsi tentang APBD yang telah
disetujui bersama DPRD dan rancangan peraturan gubernur tentang
penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh gubernur paling lama 3
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 41
(tiga) hari kerja disampaikan terlebih dahulu kepada Menteri Dalam
Negeri untuk dievaluasi.
Penyampaian rancangan disertai dengan:
a. persetujuan bersama antara pemerintah daerah dan DPRD
terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD;
b. KUA dan PPA yang disepakati antara kepala daerah dan pimpinan
DPRD;
c. risalah sidang jalannya pembahasan terhadap rancangan
peraturan daerah tentang APBD; dan
d. nota keuangan dan pidato kepala daerah perihal penyampaian
pengantar nota keuangan pada sidang DPRD.
Evaluasi bertujuan untuk tercapainya keserasian antara kebijakan
daerah dan kebijakan nasional, keserasian antara kepentingan publik
dan kepentingan aparatur serta untuk meneliti sejauh mana APBD
provinsi tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan
yang lebih tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya yang ditetapkan
oleh provinsi bersangkutan. Untuk efektivitas pelaksanaan evaluasi,
menteri dalam negeri dapat mengundang pejabat pemerintah daerah
provinsi yang terkait.
Hasil evaluasi dituangkan dalam keputusan menteri dalam negeri dan
disampaikan kepada gubernur paling lama 15 (lima betas) hari kerja
terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud. Apabila menteri
dalam negeri menyatakan hasil evaluasi atas rancangan peraturan
daerah tentang APBD dan rancangan peraturan gubemur tentang
penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, gubernur
menetapkan rancangan dimaksud menjadi peraturan daerah dan
peraturan gubernur.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 42
Dalam hal mendagri menyatakan bahwa hasil evaluasi rancangan
peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur
tentang penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum
dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, gubemur
bersama DPRD menyempurnakan paling lama 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak
ditindaklanjuti oleh gubernur dan DPRD, dan gubernur tetap
menetapkan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan
rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD menjadi
peraturan daerah dan peraturan gubernur, menteri dalam negeri
membatalkan peraturan daerah dan peraturan gubernur dimaksud
sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.
Pembatalan peraturan daerah dan peraturan gubernur serta
pernyataan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya ditetapkan
dengan peraturan menteri dalam negeri.
Sementara itu, rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang
APBD yang telah disetujui bersama DPRD dan rancangan peraturan
bupati/walikota tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh
bupati/walikota paling lama 3 (tiga) hari kerja disampaikan kepada
gubernur untuk dievaluasi. Pelaksanaan dan ketentuan evaluasi
adalah sebagaimana halnya evaluasi oleh menteri dalam negeri untuk
rancangan APBD provinsi.
Pembatalan peraturan daerah dan peraturan bupati/walikota dan
pernyataan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya ditetapkan
dengan peraturan gubernur. Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah
pembatalan, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan
peraturan daerah dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah
mencabut peraturan daerah dimaksud. Pencabutan peraturan daerah
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 43
tersebut dilakukan dengan peraturan daerah tentang pencabutan
peraturan daerah tentang APBD.
Pelaksanaan pengeluaran atas pagu APBD tahun sebelumnya,
ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. Penyempurnaan hasil
evaluasi dilakukan kepala daerah bersama dengan panitia anggaran
DPRD. Hasil penyempurnaan ditetapkan oleh pimpinan DPRD.
Keputusan pimpinan DPRD dijadikan dasar penetapan peraturan
daerah tentang APBD.
Keputusan pimpinan DPRD bersifat final dan dilaporkan pada sidang
paripurna berikutnya. Sidang paripurna berikutnya yakni setelah
sidang paripurna pengambilan keputusan bersama terhadap
rancangan peraturan daerah tentang APBD.
Keputusan pimpinan DPRD disampaikan kepada menteri dalam
negeri bagi APBD provinsi dan kepada gubernur bagi APBD
kabupaten/kota paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah keputusan
tersebut ditetapkan. Dalam hal pimpinan DPRD berhalangan tetap,
maka pejabat yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang selaku pimpinan sementara DPRD yang menandatangani
keputusan pimpinan DPRD.
Gubernur menyampaikan hasil evaluasi yang dilakukan atas
rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang APBD dan
rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD
kepada menteri dalam negeri.
8. Penetapan Peraturan Daerah tentang APBD dan Peraturan Kepala
Daerah tentang Penjabaran APBD Rancangan peraturan daerah
tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang
penjabaran APBD yang telah dievaluasi ditetapkan oleh kepala
daerah menjadi peraturan daerah tentang APBD dan peraturan
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 44
kepala daerah tentang penjabaran APBD. Penetapan rancangan
peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang
penjabaran APBD tersebut dilakukan paling lambat tanggal 31
Desember tahun anggaran sebelumnya.
Dalam hal kepala daerah berhalangan tetap, maka pejabat yang
ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang selaku
penjabat/pelaksana tugas kepala daerah yang menetapkan peraturan
daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang
penjabaran APBD.
Kepala daerah menyampaikan peraturan daerah tentang APBD dan
peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD kepada mendagri
bagi provinsi dan gubernur bagi kabupaten/kota paling lama 7 (tujuh)
hari kerja setelah ditetapkan.
9. Perubahan APBD
Penyesuaian APBD sesuai dengan perkembangan dan/atau
perubahan keadaan, dibahas bersama DPRD dengan pemerintah
daerah dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan APBD tahun
anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi:
a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran
anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis
belanja;
c. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran Iebih tahun
sebelumnya harus digunakan dalam tahun berjalan;
d. keadaan darurat; dan
e. keadaan luar biasa.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 45
Dalam keadaan darurat, pemerintah daerah dapat melakukan
pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya
diusulkan dalam rancangan perubahan APBD, dan/atau disampaikan
dalam laporan realisasi anggaran. Keadaan darurat tersebut
sekurang-kurangnya memenuhi kriteria berikut ini:
a. bukan merupakan kegiatan normal dari aktivitas pemerintah
daerah dan tidak dapat diprediksikan sebelumnya;
b. tidak diharapkan terjadi secara berulang;
c. berada di luar kendali dan pengaruh pemerintah daerah; dan
d. memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam rangka
pemulihan yang disebabkan oleh keadaan darurat.
Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa. Keadaan luar
biasa tersebut adalah keadaan yang menyebabkan estimasi
penerimaan dan/atau pengeluaran dalam APBD mengalami kenaikan
atau penurunan lebih besar dari 50%.
Pelaksanaan pengeluaran atas pendanaan keadaan darurat dan/atau
keadaan luar biasa ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
Realisasi pengeluaran atas pendanaan keadaan darurat dan/atau
keadaan luar biasa tersebut dicantumkan dalam rancangan peraturan
daerah tentang pertanggung-jawaban pelaksanaan APBD.
Pemerintah daerah mengajukan rancangan peraturan daerah tentang
perubahan APBD tahun anggaran yang bersangkutan untuk
mendapatkan persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang
bersangkutan berakhir. Persetujuan DPRD terhadap rancangan
peraturan daerah tersebut selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum
berakhirnya tahun anggaran.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 46
Proses evaluasi dan penetapan rancangan peraturan daerah tentang
perubahan APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang
penjabaran perubahan APBD menjadi peraturan daerah dan
peraturan kepala daerah berlaku ketentuan seperti halnya evaluasi
dan penetapan rancangan APBD. Apabila hasil evaluasi tersebut tidak
ditindaklanjuti oleh kepala daerah dan DPRD, dan kepala daerah
tetap menetapkan rancangan peraturan daerah tentang perubahan
APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran
perubahan APBD, peraturan daerah dan peraturan kepala daerah
dimaksud dibatalkan dan sekaligus menyatakan berlakunya pagu
APBD tahun berjalan termasuk untuk pendanaan keadaan darurat.
Pembatalan peraturan daerah tentang perubahan APBD provinsi dan
peraturan gubernur tentang penjabaran perubahan APBD dilakukan
oleh menteri dalam negeri. Pembatalan peraturan daerah tentang
perubahan APBD kabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota
tentang penjabaran perubahan APBD dilakukan oleh gubernur.
Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan tentang pembatalan,
Kepala daerah wajib memberhentikan pelaksanaan peraturan daerah
tentang perubahan APBD dan selanjutnya kepala daerah bersama
DPRD mencabut peraturan daerah dimaksud. Pencabutan peraturan
daerah tersebut dilakukan dengan peraturan daerah tentang
pencabutan peraturan daerah tentang perubahan APBD.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 47
C. LATIHAN
1. Jumlah pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah dianggarkan
dalam APBD secara:
a. Insidentil
b. Periodik
c. Bruto
d. Netto
2. Selanjutnya berdasarkan KUA yang telah disepakati, pemerintah
daerah menyusun rancangan lebih pendapatan daerah terhadap
belanja daerah disebut:
a. RPJMD
b. PPAS
c. DPA-SKPD
d. RKPD
3. Penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan
untuk melaksanakan suatu kegiatan disebut:
a. Indikator Kinerja
b. Standar Pelayanan Minimal
c. standar satuan harga
d. analisis standar belanja
4. RKA-SKPD yang telah disusun oleh SKPD disampaikan kepada
PPKD untuk dibahas lebih lanjut oleh:
a. Tim Anggaran Pemerintah Daerah
b. Sekretaris Daerah
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 48
c. Panitia Anggaran DPRD
d. Kepala Daerah
5. Pembatalan peraturan daerah tentang perubahan APBD provinsi dan
peraturan gubernur tentang penjabaran perubahan APBD dilakukan
oleh:
a. DPRD Provinsi
b. Dirjen Otonomi Daerah
c. Menteri Dalam Negeri
d. Presiden
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 49
BAB V
PENERIMAAN DAERAH
Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan
Undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah menetapkan bahwa penerimaan daerah dalam
pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan.
Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas
umum daerah yang menambah ekuitas dana lancar dan merupakan hak
pemerintah daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali
oleh daerah.
Pada hakekatnya pendapatan daerah secara langsung diperoleh dari
mekanisme pajak dan retribusi daerah atau pungutan lainnya yang dibebankan
kepada masyarakat. Keadilan atau kewajaran dalam perpajakan terkait dengan
prinsip kewajaran horisontal dan kewajaran vertikal. Prinsip kewajaran
horisontal mempersyaratkan bahwa masyarakat dalam posisi yang sama harus
diperlakukan sama. Sedangkan prinsip kewajaran vertikal dilandasi pada
konsep kemampuan wajib pajak/retribusi untuk membayar, artinya bagi
masyarakat berkemampuan membayar tinggi akan dibebankan pajak/retribusi
yang tinggi pula. Sudah barang tentu untuk menyeimbangkan kedua prinsip
tersebut pemerintah daerah dapat menerapkan kebijakan diskriminasi tarif yang
rasional untuk menghilangkan rasa ketidakadilan. Selain itu dalam konteks
belanja, pemerintah daerah harus mengalokasikan belanja daerah secara adil
dan merata agar secara relatif dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat
Pada akhir pemelajaran ini peserta mampu memahami pengertian, unsur-unsur dan prosedur penerimaan daerah dalam rangka membantu pelaksanaan tugasnya sebagai auditor.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 50
tanpa diskriminasi, khususnya dalam pengelolaan pelayanan umum.
Sehubungan dengan hal itu, pendapatan daerah yang dianggar-kan dalam
APBD merupakan perkiraan terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk
setiap sumber pendapatan. Pendapatan daerah bersumber dari:
A. Pendapatan asli daerah (PAD), yaitu pendapatan yang diperoleh dan
dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan meliputi:
1. pajak daerah
2. retribusi daerah, termasuk hasil jasa pelayanan badan layanan umum
daerah
3. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, antara lain
bagian laba BUMN/BUMD, hasil kerja sama dengan pihak ketiga
4. PAD lain-lain yang sah.
B. Dana perimbangan; bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
ke pemerintah daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksana-an desentralisasi:
1. dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak
2. dana alokasi umum
3. dana alokasi khusus.
C. Pendapatan daerah lainnya yang sah:
1. hibah
2. dana darurat
3. dana bagi hasil dari provinsi dan pemerintah daerah lainnya
4. dana penyesuaian dan otonomi khusus
5. bantuan keuangan dari provinsi atau pemerintah daerah lainnya.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 51
D. Penerimaan pembiayaan daerah berasal dari:
1. sisa lebih perhitungan anggaran daerah tahun anggaran sebelumnya
(SILPA)
2. pencairan dana cadangan
3. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
4. penerimaan pinjaman daerah
5. penerimaan kembali pemberian pinjaman
6. penerimaan piutang daerah
7. penerimaan kembali penyertaan modal (investasi) daerah
A. Pendapatan Asli Daerah
1. Pajak dan Retribusi Daerah
Dewasa ini pajak dan retribusi daerah terdiri atas berbagai jenis yang
berhubungan dengan berbagai sendi kehidupan masyarakat. Masing-
masing jenis pajak dan retribusi daerah pada suatu provinsi/
kabupaten/kota memiliki subjek, objek, tarif dan berbagai ketentuan
pengenaan tersendiri yang mungkin berbeda dengan daerah lainnya.
Hal itu ditopang oleh semangat otonomi daerah yang memungkinkan
setiap provinsi/kabupaten/kota meng-atur daerahnya sendiri termasuk
dalam mengelola pajak dan retribusi daerah.
Opini masyarakat menunjukkan pemungutan pajak daerah seringkali
disamakan dengan retribusi daerah, karena mereka beranggapan
bahwa keduanya merupakan kewajiban pembayaran kepada
pemerintah daerah. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar,
karena terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara pajak dan
retribusi daerah. Pajak dan retribusi daerah yang dipungut oleh
pemerintah daerah merupakan penarikan sumber daya ekonomi
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 52
(umumnya dalam bentuk uang) kepada masyarakat guna membiayai
tugas-tugas pemerintahan dalam melayani kepentingan masyarakat.
Penarikan pungutan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat
harus memenuhi syarat: harus ditetapkan dengan peraturan daerah,
dapat dipaksakan, mempunyai kepastian hukum dan ada jaminan
kejujuran/integritas para pengelolanya.
Setiap jenis penerimaan daerah yang diberlakukan di Indonesia harus
berdasarkan hukum yang kuat guna menjamin kelancaran pengenaan
dan pemungutannya. Dasar hukum pemungutan tersebut antara lain:
- Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Dan
Retribusi Daerah yang berlaku sejak diundangkan tanggal 23 Mei
1997.
- Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 yang berlaku sejak
diundangkan tanggal 20 Desember 2000.
- Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah
- Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pusat Dan Pemerintah Daerah
- Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1997 tentang Pajak
Daerah yang berlaku sejak diundangkan tanggal 4 Juli 1997.
- Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2001 tentang Pajak
Daerah yang berlaku sejak diundangkan tanggal 13 September
2001.
- Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2001 tentang Retribusi
Daerah yang berlaku sejak diundangkan tanggal 13 september
2001.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 53
- Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah.
- Keputusan presiden, keputusan menteri dalam negeri, keputusan
menteri keuangan, peraturan daerah provinsi/kabupaten/kota di
bidang pajak dan retribusi daerah.
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 yang
diubah dengan Permendagri Nomor 59 tahun 2007 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 tahun 2006 tentang
Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Daerah Tahun 2007.
a. Pajak Daerah
1) Pengertian Pajak Daerah
Secara umum pajak adalah pemungutan dana dari masyarakat
oleh pemerintah berdasarkan undang-undang yang dapat
dipaksakan dan terutang bagi wajib bayar tanpa men-dapat
prestasi langsung serta hasilnya dipergunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan
definisi tersebut dapat disimpulkan ciri-ciri yang melekat pada
pengertian pajak sebagai berikut:
a) Pajak dipungut oleh pemerintah baik pusat maupun daerah
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
b) Penerimaan pajak merupakan pendapatan pemerintah yang
harus dimasukkan ke dalam kas negara/daerah.
c) Tidak terdapat hubungan langsung antara jumlah
pembayaran pajak dengan kontra prestasi secara individu,
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 54
akan tetapi kontra prestasi secara umum dimanifestasikan
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah.
d) Pajak dipungut/dikenakan karena suatu keadaan, kejadian,
dan perbuatan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
e) Pajak bersifat memaksa, artinya bagi mereka yang tidak
memenuhi kewajiban perpajakan dapat dikenakan sanksi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2) Pemungutan Pajak Daerah
a) Jenis Pajak Daerah
Pembagian jenis pajak di Indonesia ditinjau dari lembaga
pemungutnya dibedakan ke dalam pajak pusat dan pajak
daerah. Pajak daerah menurut UU No. 34 tahun 2000
terbagi menjadi pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota.
(1) Pajak Provinsi:
Jenis pajak provinsi beserta tarif setinggi-tingginya
yang dapat ditetapkan:
(a) Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak
Kendaraan di atas Air (PKA): 5%
(b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor/Kendaraan
di atas Air (BBN-KB/KA): 10%
(c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-
KB): 5%
(d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah dan Air Permukaan (P3ABT/AP):20%.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 55
Tarif pajak tersebut ditetapkan dan diberlakukan
seragam di seluruh Indonesia dan pelaksanaannya
diatur dengan peraturan pemerintah. Hasil penerimaan
pajak provinsi sebagian diperuntukkan bagi
kabupaten/kota di wilayah provinsi terkait dengan
ketentuan perimbangan sebagai berikut:
(a) PKB/KA dan BBN-KB/KA:
• maksimum 70%: bagian pemerintah provinsi
• minimum 30%: bagian pemerintah kab./kota
(b) PBB-KB dan P3ABT/AP:
• maksimum 30%: bagian pemerintah provinsi
• minimum 70%: bagian pemerintah kab./kota.
(2) Pajak Kabupaten/Kota
Jenis pajak kabupaten/kota beserta tarif setinggi-
tingginya yang dapat ditetapkan:
(a) Pajak Hotel (PH): 10%
(b) Pajak Restoran (PR): 10%
(c) Pajak Hiburan (PHi): 35%
(d) Pajak Reklame (PRek): 25%
(e) Pajak Penerangan Jalan (PPJ): 10%
(f) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C:
20%
(g) Pajak Parkir: 20%.
Hasil penerimaan pajak kabupaten/kota sebagian
diperuntukkan bagi seluruh desa/kelurahan di wilayah
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 56
kab/kota paling sedikit 10% (sepuluh persen) yang
ditetapkan dengan peraturan daerah setelah
memperhatikan aspek dan potensi antar desa.
Pemerintah provinsi dapat memberikan salah satu
atau beberapa jenis pajak yang menjadi wewenangnya
kepada pemerintah kab/kota yang potensi pendapatan
asli daerahnya kurang memadai. Khusus pemerintah
provinsi yang tidak terbagi ke dalam daerah
kabupten/kota seperti DKI Jakarta, jenis pajak daerah
yang dipungut merupakan gabungan pajak provinsi
dan pajak kabupaten/kota.
UU No. 34 tahun 2000 memberi peluang kepada
pemerintah kab/kota untuk memungut pajak daerah
selain ketujuh jenis pajak daerah yang telah
ditetapkan. Penetapan jenis pajak lainnya tersebut
harus benar-benar bersifat spesifik dan memiliki
potensi yang cukup besar di daerah yang
bersangkutan. Hal itu dimaksudkan untuk memberi
keleluasaan kepada pemerintah kab/kota dalam
mengantisipasi kemungkinan perkembangan
perekonomian daerah di masa depan, asal tetap
memperhatikan kesederhanaan jenis pajak, aspirasi
masyarakat, dan memenuhi kriteria sebagai berikut:
(a) Bersifat pajak, bukan retribusi
(b) Objek pajak terletak di wilayah kabupaten/kota
yang ber-sangkutan, memiliki mobilitas cukup
rendah, dan hanya me-layani masyarakat
kabupaten/kota tersebut
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 57
(c) Objek dan dasar pengenaan pajak tidak
bertentangan dengan ke-pentingan umum dan
memperhatikan aspek ketenteraman, kestabilan
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan
(d) Objek pajak bukan merupakan objek pajak
provinsi dan pusat
(e) Potensi pajak memadai, artinya diperkirakan
sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi
daerah
(f) Tidak memberi dampak ekonomi yang negatif
(g) Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan
masyarakat
(h) Menjaga kelestarian lingkungan.
b) Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah
Pelaksanaan pajak daerah diatur berdasarkan ketentuan
sebagai berikut:
(1) Pajak ditetapkan dengan peraturan daerah (perda).
(2) Peraturan daerah tentang pajak tidak dapat berlaku
surut.
(3) Peraturan daerah tentang pajak sekurang-kurangnya
mengatur ketentuan mengenai:
(a) nama, objek, dan subjek pajak;
(b) dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan
pajak;
(c) wilayah pemungutan;
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 58
(d) masa pajak;
(e) penetapan;
(f) tata cara pembayaran dan penagihan;
(g) sanksi administrasi; dan
(h) tanggal mulai berlakunya.
(4) Peraturan daerah tentang pajak dapat mengatur
ketentuan mengenai:
(a) pemberian pengurangan, keringanan, dan
pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok
pajak dan/atau sanksi-nya;
(b) tata cara penghapusan piutang pajak yang
kadaluwarsa; dan
(c) asas timbal balik.
c) Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah
(1) Pungutan pajak daerah tidak dapat diborongkan
dan seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak
dapat diserahkan kepada pihak ketiga.
(2) Pajak dipungut berdasarkan penetapan kepala daerah
atau dibayar sendiri oleh wajib pajak (self
assessment).
(3) Wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajak
yang dipungut dengan menggunakan Surat
Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen lain
yang dipersamakan.
(4) Wajib pajak memenuhi kewajiban pajak yang
dibayar sendiri dengan menggunakan Surat
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 59
Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) dan
atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
Tambahan (SKPDKBT).
(5) Terhadap wajib pajak yang kurang dipungut atau
kurang bayar dapat diterbitkan Surat Tagihan Pajak
Daerah (STPD), Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan dan Putusan Banding sebagai
dasar pemungutan dan penyetoran pajak.
(6) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah
terutangnya pajak,
(a) Kepala daerah dapat menerbitkan:
(a.1) SKPDKB apabila
- berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain pajak terutang tidak
atau kurang dibayar;
- SPTPD tidak disampaikan kepada
kepala daerah dalam jangka waktu
tertentu dan setelah wajib pajak ditegur
secara tertulis;
- wajib pajak tidak memiliki SPTPD,
maka pajak terutang dihitung secara
jabatan.
(a.2) Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang
Bayar Tambahan (SKPDKBT) apabila
ditemukan data baru dan atau data yang
semula belum terungkap yang
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 60
menyebabkan penambahan jumlah pajak
yang terutang.
(a.3) Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil
(SKPDN) apabila jumlah pajak terutang
sama besarnya dengan jumlah kredit pajak
atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak.
(b) Jumlah kekurangan pajak yang terutang
dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang
Bayar (SKPDKB) dikenakan sanksi administrasi
berupa bunga 2% sebulan dihitung dari pajak
yang kurang atau sanksi administrasi berupa
biaya ini dihitung dari pajak yang kurang atau
terlambat dibayar paling lama 24 bulan.
(c) Sanksi administrasi di atas dihitung sejak saat
terutang-nya pajak sampai dengan terbitnya
SKPDKB.
(d) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam
SKPDKB yang disebabkan wajib pajak tidak
mengisi SPTPD yang seharusnya, dikenakan
sanksi administrasi berupa kenaikan pajak 25%
dari pokok pajak terutang ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan
dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat
dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.
(7) Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) diterbitkan kepala
daerah dalam hal terjadi:
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 61
(a) Pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang
dibayar
(b) Berdasarkan penelitian SPTPD terdapat
kekurangan pembayar-an akibat salah tulis atau
salah hitung
(c) Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa
bunga dan atau denda. Jatuh tempo pembayaran
kekurangan pajak berdasarkan STPD ditambah
sanksi administrasi berupa bunga paling lama 15
bulan sejak saat ter-utangnya pajak
(d) SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah
jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi
administrasi sebesar 2% sebulan dan ditagih
melalui STPD
d) Tata Cara Pembayaran dan Penagihan
(1) Kepala daerah menetapkan tanggal jatuh tempo
pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang
paling lama 30 hari setelah saat terutangnya pajak
(2) SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan
Keputusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah harus dilunasi dalam
jangka waktu paling lama satu bulan sejak tanggal
diterbitkan.
(3) Kepala daerah atas permohonan wajib pajak setelah
memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat
memberikan persetujuan kepada wajib pajak untuk
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 62
mengangsur atau menunda pembayaran pajak dengan
dikenakan bunga sebesar 2 % sebulan.
(4) Tata cara pembayaran/penyetoran, tempat
pembayaran, angsuran, dan penundaan pajak diatur
dengan keputusan kepala daerah.
(5) Pajak yang terutang berdasarkan SKPD, SKPDKB,
SKPDKBT, STPD, surat keputusan pembetulan, surat
keberatan dan putusan banding yang tidak atau
kurang dibayar oleh wajib pajak pada waktunya dapat
ditagih dengan paksa.
e) Pengajuan Keberatan dan Banding
(1) Pengajuan Keberatan
(a) Wajib pajak dapat mengajukan keberatan
kepada gubernur/ bupati/walikota atau pejabat
yang ditunjuk atas suatu:
(a. 1) SKPD;
(a. 2) SKPDKB;
(a. 3) SKPDKBT;
(a. 4) SKPDLB;
(a. 5) SKPDN; dan
(a. 6) Pemotongan atau pemungutan oleh pihak
ketiga berdasarkan peraturan perundang-
undangan pajak daerah yang berlaku.
(b) Keberatan diajukan secara tertulis disertai
alasan-alasan yang jelas. Dalam hal wajib pajak
mengajukan keberatan atas ketetapan pajak
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 63
secara jabatan, maka wajib pajak harus dapat
membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak
tersebut.
(c) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu
paling lama tiga bulan sejak tanggal surat,
tanggal pemotongan, atau tanggal pemungutan,
kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan
bukti bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi
karena keadaan di luar kekuasaannya.
(d) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban
membayar pajak dan pelaksanaan penagihan
pajak sesuai ketentuan yang berlaku.
(e) Kepala daerah dalam jangka waktu paling lama
dua belas bulan sejak tanggal surat keberatan
diterima harus memberi keputusan atas
keberatan yang diajukan. Apabila dalam batas
waktu tersebut di atas telah lewat dan kepala
daerah tidak memberi keputusan, maka
keberatan yang diajukan tersebut dianggap
dikabulkan.
(f) Keputusan kepala daerah atas keberatan dapat
berupa menerima seluruhnya, menerima
sebagian, menolak, atau menambah besarnya
pajak terutang.
(2) Pengajuan Banding
(a) Wajib pajak dapat mengajukan permohonan
banding hanya kepada Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak terhadap keberatannya.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 64
Keputusan mengenai diterima atau tidaknya
keberatan ditetapkan oleh kepala daerah.
(b) Permohonan banding diajukan secara tertulis
disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka
waktu tiga bulan sejak keputusan diterima dan
dilampiri dengan salinan dari surat keputusan
tersebut.
(c) Pengajuan permohonan banding tidak menunda
kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak.
(d) Apabila pengajuan keberatan atau
permohonan banding dikabulkan sebagian
atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran
pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan
bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu
paling lama 24 bulan. Imbalan bunga dihitung
sejak bulan pelunasan sampai dengan
diterbitkannya surat ketetapan pajak daerah lebih
bayar (SKPDLB).
f) Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan, Ketetapan, dan
Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administrasi
(1) Kepala daerah karena jabatan atau atas
permohonan wajib pajak dapat membetulkan SKPD,
SKPDKB, SKPDKBT atau STPD yang dalam
penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan
hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah
(2) Keputusan kepala daerah dapat berupa:
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 65
(a) pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan
pajak yang terutang dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan
karena kesalahannya,
(b) pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
yang keliru.
(3) Tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi dan pengurangan atau pembatalan
ketetapan pajak diatur dengan keputusan kepala
daerah.
b. Retribusi Daerah
1) Pengertian Retribusi
Retribusi adalah pembayaran wajib oleh rakyat atas jasa
tertentu yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada
penduduknya secara perorangan. Jasa adalah upaya
pelayanan oleh pemerintah daerah yang menyebabkan barang,
fasilitas, atau kemanfaatan lainnya dan dapat dinikmati oleh
orang pribadi atau badan. Jasa tersebut bersifat langsung,
artinya hanya mereka yang membayar retribusi yang dapat
menikmati balas jasa (kontra prestasi) dari pemerintah daerah.
Sebagai contoh, setiap orang yang ingin memperoleh jasa
pelayanan kesehatan di rumah sakit umum daerah (RSUD)
atau puskesmas harus membayar retribusi sesuai dengan
perda. Meskipun demikian tidak ada paksaan secara yuridis
kepada setiap orang untuk membayar retribusi, karena mereka
bebas untuk memilih jasa pelayanan kesehatan yang
diinginkannya. Pada retribusi pelayanan kesehatan yang ada
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 66
hanyalah paksaan secara ekonomis, yaitu hanya pasien yang
membayar retribusi yang berhak mendapat jasa pelayanan
kesehatan dari RSUD atau puskesmas.
Dewasa ini yang berwenang untuk memungut retribusi
hanyalah pemerintah daerah. Beberapa ciri yang melekat pada
retribusi daerah:
a) Retribusi merupakan pungutan berdasarkan undang-
undang dan perda
b) Hasil penerimaan retribusi harus masuk ke kas daerah
c) Setiap orang yang membayar retribusi memperoleh kontra
prestasi langsung dari pemerintah daerah berupa jasa
pelayanan
d) Utang retribusi timbul apabila jasa pelayanan pemerintah
daerah dinikmati oleh orang pribadi atau badan
e) Sanksi ekonomis, yaitu apabila orang pribadi atau badan
tidak membayar retribusi, maka mereka tidak akan
memperoleh jasa layanan yang disediakan oleh pemerintah
daerah.
2) Jenis Retribusi
Retribusi daerah menurut UU nomor 34 tahun 2000 dan PP
nomor 66 tahun 2001 dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a) Retribusi jasa umum, yaitu retribusi atas jasa pelayanan
yang disediakan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan
dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang
pribadi atau badan. Adapun jenis-jenis retribusi jasa umum
terdiri atas retribusi:
(1) pelayanan kesehatan
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 67
(2) pelayanan sampah/kebersihan
(3) penggantian biaya cetak KTP (Kartu Tanda Penduduk)
dan akte catatan sipil
(4) pelayanan pemakaman/pengabuan mayat
(5) pelayanan parkir di tepi jalan umum
(6) pelayanan pasar
(7) pengujian kendaraan bermotor
(8) pemeriksaan alat pemadam kebakaran
(9) penggantia biaya cetak peta
(10) pengujian kapal perikanan.
b) Retribusi jasa usaha, yaitu retribusi yang dikenakan atas
jasa pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah
dengan meng-anut prinsip komersial, artinya retribusi
semacam ini dapat disediakan oleh pihak swasta. Retribusi
jasa usaha terdiri atas retribusi:
(1) pemakaian kekayaan daerah
(2) pasar grosir atau pertokoan
(3) tempat pelelangan
(4) terminal
(5) tempat khusus parkir
(6) tempat penginapan/pesanggrahan/vila
(7) penyedotan kakus
(8) rumah potong hewan (RPH)
(9) pelayanan pelabuhan kapal
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 68
(10) tempat rekreasi dan olah raga
(11) penyeberangan di atas air
(12) pengolahan limbah cair
(13) penjualan produk usaha daerah.
c) Retribusi perizinan tertentu, yaitu retribusi yang dikenakan
atas pemberian izin dari pemerintah daerah kepada orang
pribadi atau badan yang melakukan aktivitas tertentu.
Pemberian izin tersebut dimaksudkan untuk pembinaan,
pengaturan, pemanfaatan ruang publik, penggunaan
sumber daya alam, barang, sarana dan pra-sarana, atau
fasilitas tertentu yang dapat melindungi kepentingan umum
dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis retribusi
perizinan tertentu antara lain meliputi retribusi:
(1) Izin mendirikan bangunan (IMB)
(2) Izin tempat penjualan minuman beralkohol
(3) Izin tempat penjualan obat (toko obat)
(4) Izin gangguan (HO = Hoereg Ordonantie)
(5) Izin usaha perdagangan (SIUP)
(6) Izin tempat usaha (SITU)
(7) Izin trayek.
3) Pemungutan Retribusi Daerah
a) Prinsip dan Sasaran Dalam Penetapan Tarif
(1) Untuk retribusi jasa umum ditetapkan berdasarkan
kebijakan daerah dengan mempertimbangkan biaya
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 69
penyediaan jasa terkait, kemampuan masyarakat, dan
aspek keadilan.
(2) Untuk retribusi jasa usaha ditetapkan berdasarkan
pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
(3) Untuk retribusi perizinan tertentu ditetapkan berdasar-
kan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh
biaya penyelenggaraan pemberian izin tersebut.
b) Peraturan Daerah Tentang Retribusi
Pelaksanaan retribusi daerah diatur didasarkan pada
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
(1) Retribusi ditetapkan dengan peraturan daerah.
(2) Peraturan daerah tentang retribusi tidak dapat berlaku
surut.
(3) Peraturan daerah tentang retribusi sekurang-kurangnya
mengatur ketentuan mengenai:
(a) nama, objek, dan subjek retribusi;
(b) golongan retribusi;
(c) cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang
bersangkutan;
(d) prinsip yang dianut dalam penetapan struktur
dan besarnya tarif retribusi;
(e) struktur dan besarnya tarif retribusi;
(f) wilayah pemungutan;
(g) tata cara pemungutan;
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 70
(h) sanksi administrasi;
(i) tata cara penagihan; dan
(j) tanggal mulai berlakunya.
(4) Peraturan daerah tentang retribusi mencakup ketentuan
mengenai:
(a) masa retribusi;
(b) pemberian keringanan, pengurangan, dan pem-
bebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok retribusi
dan/atau sanksinya;
(c) tata cara penghapusan piutang retribusi yang
kadaluwarsa.
(5) Peraturan daerah untuk jenis-jenis retribusi tertentu
harus terlebih disosialisasikan kepada masyarakat
sebelum ditetapkan.
(6) Dalam rangka pengawasan, peraturan daerah yang
dibuat disampaikan kepada pemerintah paling lama lima
belas hari setelah ditetapkan.
(7) Dalam hal peraturan daerah yang dibuat bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan per-
undang-undangan yang lebih tinggi, pemerintah dapat
membatalkan peraturan daerah tersebut.
(8) Pembatalan peraturan daerah dilakukan paling lama
satu bulan sejak diterimanya peraturan daerah
dimaksud
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 71
c) Tarif Retribusi
Besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan:
(1) Tingkat Penggunaan Jasa
Tingkat penggunaan jasa dapat dinyatakan sebagai
kuantitas penggunaan jasa yang digunakan sebagai
dasar alokasi beban biaya yang dipikul daerah untuk
penyelenggaraan jasa yang bersangkutan, misalnya :
berapa kali masuk tempat rekreasi, berapa kali/berapa
jam parkir kendaraan dan sebagainya.
Dalam hal lain, tingkat penggunaan jasa mungkin perlu
ditaksir berdasarkan rumus. Dalam hal izin bangunan
misalnya, tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir
dengan rumus yang didasarkan atas luas tanah, luas
lantai bangunan, jumlah tingkat bangunan dan
rencana penggunaan bangunan.
(2) Besarnya Tarif Retribusi
Tarif retribusi ditetapkan berdasarkan nilai rupiah atau
persentase tertentu sehingga dapat diketahui berapa
besarnya retribusi yang terutang.
Tarif dapat ditetapkan seragam atau dapat diadakan
perbedaan dalam golongan tarifnya sesuai dengan
prinsip dan sasaran tarif tertentu, misalnya
pembedaan retribusi mengunjungi tempat rekreasi
antara golongan anak-anak dengan orang dewasa,
retribusi parkir antara sepeda motor dan mobil,
retribusi sampah antara industri dan rumah tangga,
dan sebagainya. Besarnya tarif dapat dinyatakan
dalam rupiah per unit tingkat penggunaan jasa.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 72
d) Tata Cara Pemungutan Retribusi Daerah
(1) Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan
seluruhnya atau proses kegiatan pemungutan retribusi
tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga
(2) Dalam hal wajib retribusi tertentu tidak membayar
tepat waktu atau kurang membayar, maka dikenakan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan
dari retribusi yang terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD.
e) Pengajuan Keberatan
(1) Wajib retribusi dapat mengajukan keberatan hanya
kepada kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk atas
SKRD atau dokumen lain yang dipermasalahkan.
(2) Keberatan harus diajukan secara tertulis disertai
alasan-alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling
lama 2 (dua) bulan sejak tanggal SKRD diterbitkan,
kecuali apabila wajib retribusi dapat menunjukkan
bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena
keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban
membayar retribusi dan pelaksanaan penagihan
retribusi.
(5) Kepala daerah dalam jangka waktu paling lama enam
bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, harus
memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
Apabila dalam batas waktu tersebut telah dilewati dan
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 73
kepala daerah tidak memberi suatu keputusan, maka
keberatan yang diajukan tersebut dianggap
dikabulkan.
(6) Keputusan kepala daerah atas keberatan dapat
berupa menerima seluruhnya, menerima sebagian,
menolak, atau menambah besarnya retribusi yang
terutang.
f) Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah
Apabila terjadi kelebihan pembayaran pajak daerah dan
retribusi daerah, maka:
(1) Atas kelebihan pembayaran pajak daerah atau
retribusi daerah, wajib pajak dan wajib retribusi dapat
mengajukan permohonan pengembalian kepada
kepala daerah.
(2) Kepala daerah dalam jangka waktu paling lama dua
belas bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan
pembayaran pajak harus memberikan keputusan.
(3) Kepala daerah dalam jangka waktu paling lama enam
bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan
pembayaran retribusi harus sudah dapat memberikan
keputusan mengenai hal tersebut.
(4) Apabila jangka waktu di atas telah terlampaui dan
kepala daerah tidak memberikan suatu keputusan,
maka permohonan pengembalian pembayaran pajak
atau retribusi dianggap dikabulkan dan
SKPDLB/SKRDLB harus diterbit-kan dalam jangka
waktu paling lama satu bulan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 74
(5) Apabila wajib pajak atau wajib retribusi mempunyai
utang pajak atau utang retribusi lainnya, maka atas
kelebihan pembayaran pajak atau retribusi, langsung
diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang
pajak atau utang retribusi tersebut.
(6) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau
retribusi dilakukan dalam jangka waktu paling lama
dua bulan sejak diterbitkan SKPDLB atau SKRDLB.
(7) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak
atau retribusi dilakukan setelah lewat jangka waktu
dua bulan, maka kepala daerah memberikan imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas
kelebihan pembayaran kelebihan pembayaran pajak
atau retribusi.
(8) Tata cara pengembalian pembayaran pajak atau
retribusi diatur dengan peraturan daerah.
g) Daluwarsa Penagihan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak dan retribusi
daerah daluwarsa setelah melampaui jangka waktu
lima tahun sejak saat terutang pajak dan retribusi,
kecuali bila wajib pajak/retribusi melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan/retribusi daerah.
(2) Daluwarsa penagihan tersebut di atas
tertangguhkan, apabila diterbitkan surat teguran dan
surat paksa atau ada pengakuan utang pajak/retribusi
dari wajib pajak/retribusi baik langsung maupun tidak
langsung.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 75
Pedoman tata cara penghapusan piutang pajak dan
retribusi daerah yang daluwarsa diatur dengan
peraturan pemerintah.
2. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Salah satu sumber pendapatan asli daerah adalah hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan yang terdiri atas bagian laba
BUMD dan hasil kerja sama dengan pihak ketiga. Jumlah rencana
PAD yang dianggarkan dari pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan harus mencerminkan rasionalitas dibandingkan dengan
nilai kekayaan daerah yang dipisahkan dan ditetapkan sebagai
penyertaan modal (investasi).
Upaya peningkatan penerimaan laba/dividen atas penyertaan modal
atau investasi daerah lainnya yang dapat ditempuh melalui
inventarisasi, penataan, dan evaluasi nilai kekayaan daerah yang
dipisahkan baik dalam bentuk uang maupun barang sebagai
penyertaan modal (investasi). Selain itu pendayagunaan kekayaan
daerah yang belum dipisahkan dan belum dimanfaatkan untuk
dikelola atau dikerjasamakan dengan pihak ketiga sehingga
menghasilkan pendapatan daerah.
Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah dirinci menurut objek
pendapatan yang mencakup:
a. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
daerah/BUMD
b. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
negara/BUMN
c. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta
atau kelompok usaha masyarakat.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 76
3. PAD Lain-lain yang Sah
PAD bertujuan memberi kewenangan kepada pemerintah daerah
untuk menandai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi
daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Isi ayat (1) huruf d pasal 6
UU No. 33 tahun 2004 tentang PAD lain-lain yang sah antara lain
meliputi:
a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan
b. jasa giro
c. pendapatan bunga
d. penerimaan atas tuntutan kerugian daerah
e. penerimaan komisi, rabat, potongan atau bentuk lain sebagai
akibat penjualan, tukar menukar, hibah, asuransi dan pengadaan
barang/jasa oleh daerah
f. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
g. pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan
h. pendapatan denda pajak
i. pendapatan denda retribusi
j. pendapatan hasil eksekusi atas jaminan
k. pendapatan dari pengembalian
l. fasilitas sosial dan fasilitas umum
m. pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
n. pendapatan dari BLUD.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 77
B. Dana Perimbangan
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari
APBN, yang terdiri atas:
1. dana bagi hasil (DBH) pajak dan bukan pajak;
2. dana alokasi umum (DAU); dan
3. dana alokasi khusus (DAK).
Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam
mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan
sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk
mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah. Ketiga
komponen dana perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari
pemerintah serta merupakan satu kesatuan yang utuh.
1. Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase
tertentu. Pengaturan DBH dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 merupakan penyelarasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Peng-hasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Dalam
Undang-Undang ini dimuat peng-aturan mengenai bagi hasil
penerimaan pajak penghasilan (PPh) pasal 25/29 wajib pajak orang
pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21, serta sektor pertambangan
panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 78
27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Selain itu, dana reboisasi yang
semula termasuk bagian dari DAK dialihkan menjadi DBH.
Bagi hasil pajak dan bukan pajak meliputi: bagian daerah dari
penerimaan pajak bumi dan bangunan, dan penerimaan dari sumber
daya alam.
a. Bagian Daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Penerimaan negara dari PBB dibagi dengan imbangan 10%
(sepuluh persen) untuk pemerintah pusat dan 90% (sembilan
puluh persen) untuk daerah. Bagian daerah dari PBB selanjutnya
dibagi dengan rincian sebagai berikut:
1) 16,2% (enam belas koma dua persen) untuk daerah provinsi
yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas daerah
provinsi.
2) 64,8% (enam puluh empat koma delapan persen) untuk
daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disetor ke
rekening Kas daerah kabupaten/kota.
3) 9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan.
4) 10% (sepuluh persen) bagian pemerintah dari penerimaan PBB
dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten/kota yang
didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun berjalan,
dengan imbangan sebagai berikut:
a) 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata
kepada seluruh kabupaten/kota.
b) 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif
kepada kabupaten/kota yang realisasi penerimaan PBB
tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana
penerimaan sektor tertentu.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 79
b. Bagian Daerah dari Pajak Penghasilan
1) Bagian daerah dari penerimaan PPh pasal 25/29 dan PPh
Pasal 21 adalah sebesar 20%
2) Bagian daerah dari dana bagi hasil dari penerimaan PPh pasal
25 dan pasal 29 di atas, dibagi dengan imbangan 60% untuk
kabupaten/kota dan 40% untuk provinsi.
3) Penyaluran dana bagi hasil sebagaimana maksud di atas,
dilaksanakan secara triwulan.
c. Bagian Daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
1) Penerimaan negara dari bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan (BPHTB) dibagi dengan imbangan 20% untuk
pemerintah pusat dan 80% untuk daerah.
2) Bagian daerah dari BPHTB dibagi dengan rincian sebagai
berikut:
a) 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan
disalurkan ke rekening kas daerah provinsi.
b) 64% untuk daerah kabupaten/kota penghasil dan disalurkan
ke rekening kas daerah kabupaten/kota.
c) 20% bagian pemerintah pusat dari penerimaan BPHTB
dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk
kabupaten/kota di seluruh Indonesia berdasarkan realisasi
penerimaan BPHTB tahun anggaran berjalan dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 80
d. Bagian Daerah dari Penerimaan Sumber Daya Alam
1) Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan,
sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi: 20%
untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah.
2) Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan:
a) penerimaan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH);
b) penerimaan provisi sumber daya hutan (PSDH).
3) Bagian daerah dari penerimaan negara IHPH dibagi:
a) 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan.
b) 64% untuk daerah kabupaten/kota penghasil.
4) Bagian daerah dari penerimaan negara PSDH dibagi:
a) 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan.
b) 32% untuk daerah kabupaten/kota penghasil.
c) 32% untuk daerah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi
yang bersangkutan.
5) Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor
pertambangan umum, terdiri dari
a) Penerimaan iuran tetap (land rent), yaitu seluruh pe-
nerimaan iuran yang diterima negara sebagai imbalan atas
kesempatan penyelidikan umum, eksplorasi atau eksploitasi
pada suatu wilayah kuasa pertambangan.
b) Penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty)
yaitu iuran produksi yang diterima negara dalam hal
pemegang kuasa pertambangan eksplorasi mendapat hasil
berupa bahan galian yang tergali atas kesempatan
eksplorasi yang diberikan kepadanya serta hasil yang
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 81
diperoleh dari usaha pertambangan eksploitasi (royalty)
satu atau lebih bahan galian.
6) Bagian daerah dari penerimaan negara iuran tetap (land rent)
dibagi dengan rincian:
a) 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan;
b) 32% untuk daerah kabupaten/kota penghasil;
c) 32% untuk daerah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi
yang bersangkutan yang dibagi dengan porsi yang sama.
7) Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor perikanan:
a) penerimaan pungutan pengusahaan perikanan; dan
b) penerimaan pungutan hasil perikanan.
8) Bagian daerah dari penerimaan negara di sektor perikanan
dibagikan dengan porsi yang sama besar kepada kabupaten/
kota di seluruh Indonesia.
9) Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor per-
tambangan minyak dan gas alam yang dibagikan ke daerah
adalah penerimaan negara dari sumber daya alam sektor
pertambangan dan gas alam dari wilayah daerah terkait
setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya.
10) Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi dan gas
alam terdiri atas:
a) Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi
dengan imbangan 84,5% untuk pemerintah pusat dan
15,5% untuk pemerintah daerah.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 82
b) Penerimaan negara dari pertambangan gas alam dibagi
dengan imbangan 69,5% untuk pemerintah pusat dan
30,5% untuk pemerintah daerah.
11) Bagian daerah dari pertambangan minyak bumi dibagi dengan
rincian sebagai berikut:
a) 3% untuk provinsi yang bersangkutan;
b) 6% untuk kabupaen/kota penghasil; dan
c) 6% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang ber-
sangkutan yang dibagikan dengan porsi yang sama besar.
12) Bagian daerah dari pertambangan gas alam dibagi dengan
rincian sebagai berikut:
a) 6% untuk provinsi yang bersangkutan;
b) 12% untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c) 12% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang ber-
sangkutan yang dibagikan dengan porsi yang sama besar.
13) Dana bagi hasil pertambangan minyak dan gas bumi sebesar
0,5% (setengah persen) digunakan untuk menambah anggaran
pendidikan dasar, yaitu:
a) 0,1% dibagi ke provinsi yang bersangkutan;
b) 0.2% dibagi ke kabupaten/kota penghasil; dan
c) 0,2% dibagi ke seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut.
2. Dana Alokasi Umum (DAU)
DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah
untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. DAU dialokasikan untuk daerah provinsi
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 83
dan daerah kabupaten/kota. Tujuan dari pemberian dana alokasi
umum adalah pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah,
luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat
pendapatan. Termasuk dalam pengertian tersebut adalah jaminan
kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam
rangka penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat.
Besarnya DAU untuk setiap tahun anggaran ditetapkan sebesar 26%
dari penerimaan dalam negeri yang berasal dari pajak dan bukan
pajak pada APBN setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang
dibagihasilkan kepada daerah. Selanjutnya DAU dialokasikan ke
daerah dengan imbangan provinsi sebesar 10% (sepuluh persen) dan
kabupaten/kota 90% (sembilan puluh persen).
Sebagai contoh, besarnya DAU untuk tahun anggaran tertentu
ditetapkan sebesar 26% (dua puluh enam persen) setelah dikurangi
alokasi bagi hasil.
Misalnya:
Jumlah penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak dalam APBN
sebesar Rp 260 trilyun dan jumlah alokasi bagi hasil adalah Rp 30
trilyun maka:
- Jumlah DAU untuk seluruh provinsi dan kabupaten/kota adalah:
26% x (Rp 260 trilyun – Rp 30 trilyun) = Rp 59,8 trilyun
- Jumlah DAU untuk seluruh provinsi adalah:
10% x Rp 59,8 trilyun = Rp 5,98 trilyun
- Jumlah DAU untuk seluruh kabupaten/kota adalah:
90% x Rp 59,8 trilyun = Rp 53,82 trilyun
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 84
Sesuai dengan PP nomor 84 Tahun 2001, dana alokasi umum baik
untuk daerah provinsi maupun untuk daerah kabupaten /kota dapat
dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
DAU untuk suatu
=Jumlah dana
X Bobot daerah ybs
daerah tertentu alokasi umum untuk
daerah
Jumlah bobot dari
seluruh daerah
Bobot daerah yang bersangkutan ditetapkan berdasarkan dua faktor:
• kebutuhan wilayah otonomi daerah (kebutuhan fiskal daerah)
• potensi ekonomi daerah (kapasitas fiskal daerah)
Rumusan kebutuhan wilayah otonomi daerah adalah:
Kebutuhan
Wilayah Otonomi
Daerah
=
Pengeluaran
Daerah
Rata-rata
X
α1 Indeks Penduduk +
α2 Indeks Luas Wilayah +
α3 Indeks Kemiskinan Relatif +
α4 Indeks Harga
Bobot α1, α2, α3, α4 ditentukan melalui perhitungan ekonometri
(regresi sederhana) atau secara proporsional. Rincian lebih lanjut
akan dijelaskan di bawah ini.
Rumusan pengeluaran daerah rata-rata adalah sebagai berikut:
Pengeluaran daerah = Jumlah pengeluaran seluruh daerah
rata-rata Jumlah daerah
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 85
Rumusan beberapa indeks adalah sebagai berikut:
Indeks Penduduk (α1) = Populasi daerah i
Rata-rata populasi daerah secara nasional
Indeks Luas Daerah (α2) = Luas daerah i
Rata-rata luas daerah nasional
Indeks Kemiskinan Relatif (α3) = Jumlah penduduk miskin daerah i
Rata-rata jumlah penduduk miskin daerah
Indeks Harga (α4) = Indeks konstruksi daerah i
Rata-rata indeks konstruksi daerah
Potensi Ekonomi Daerah dihitung berdasarkan rumus:
Potensi Ekonomi Daerah = PAD + PBB + BPHTB + BHSDA + PPh
PAD : Pendapatan Asli Daerah
PBB : Pajak Bumi dan Bangunan
BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
BHSDA : Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam
PPh : Pajak Penghasilan
Tata cara penyaluran DAU adalah seperti di bawah ini:
Setiap awal tahun anggaran, Direktur Jenderal Anggaran Departemen
Keuangan menebitkan daftar alokasi DAU (DA–DAU) yang berlaku
sebagai SKO. Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan dokumen
tersebut kepada gubernur/bupati /walikota serta KPKN.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 86
Selanjutnya masing-masing kepala daerah mengajukan SPM kepada
KPKN setempat dalam waktu enam hari kerja sebelum tanggal satu
bulan berikutnya sebesar 1/12 (satu per dua belas) dari pagu DAU
dengan dilampiri bukti penerimaan.
Atas dasar SPM yang diajukan, KPKN menerbitkan SP2D-LS atas
nama gubernur/bupati/walikota pada rekening kas umum daerah.
3. Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana alokasi khusus berasal dari APBN yang dialokasikan kepada
daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus/tertentu yaitu
• kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan
menggunakan rumus alokasi khusus,
• kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas potensi
nasional.
Dana tersebut dialokasikan kepada daerah tertentu berdasarkan
usulan dari daerah. Untuk membiayai kebutuhan khusus yang
bersumber dari DAK diperlukan dana pendamping yang bersumber
dari APBD dengan jumlah sekurang-kurangnya 10%.
Untuk pembiayaan program/kegiatan reboisasi, tidak dipersyaratkan
adanya dana pendamping. Terhadap penerimaan negara yang
berasal dari dana reboisasi, disisihkan sebesar 40% (empat puluh
persen) dan diberikan kepada “daerah penghasil” sebagai bagian dari
DAK untuk membiayai kegiatan reboisasi/penghijauan di daerah
penghasil.
Sektor/program/kegiatan yang tidak dapat dibiayai dari DAK adalah:
biaya-biaya administrasi, penyiapan proyek fisik, penelitian, pelatihan,
perjalanan dinas, dan lain-lain biaya umum sejenis. Sesuai pasal 42
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 87
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004, ketentuan lebih lanjut
mengenai DAK akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Secara ringkas rincian pembagian antara pemerintah pusat dan
daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan
Pemerintah Daerah ditetapkan sebagai berikut:
No. Sumber Penerimaan Pusat Daerah
1. Pajak Bumi dan Bangunan 10% 90%
2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan
20% 80%
3. Sumber Daya Alam Sektor Kehutanan,
Sektor Pertambangan Umum dan
Sektor Perikanan
20% 80%
4. Pertambangan Minyak Bumi yang
berasal dari Wilayah Daerah setelah
dikurangi komponen pajak dan
pungutan lainnya
84,5% 15,5%
5. Pertambangan dan Gas Bumi yang
berasal dari Wilayah Daerah setelah
dikurangi komponen pajak dan
pungutan lainnya.
69,5% 30,5%
6. Dana Alokasi Umum. - provinsi 10%
kab/kota 90%
7. Dana Alokasi Khusus (yang berasal
dari dana reboisasi)
60% 40%
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 88
4. Bagi Hasil dari Provinsi
Bagi hasil dari pemerintah daerah provinsi untuk kabupaten/kota di
wilayahnya, pada dasarnya merupakan hasil pajak provinsi, yang
sebagian dibagikan ke kabupaten/kota menurut aturan dalam perda
provinsi yang bersangkutan, berupa:
a. pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air;
b. bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air;
c. pajak bahan bakar kendaraan bermotor; dan
d. pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air
permukaan.
C. Pendapatan Daerah Lainnya yang Sah
1. Dana darurat yang diterima dari pemerintah dan bantuan uang dan
barang dari badan/lembaga tertentu untuk menanggulangi bencana
alam yang disalurkan melalui pemerintah daerah.
2. Hibah yang diterima baik berupa uang, barang dan/atau jasa yang
dianggarkan dalam APBD harus berdasarkan naskah perjanjian hibah
daerah dan mendapat persetujuan DPRD.
3. Sumbangan yang diterima dari organisasi/lembaga tertentu
perorangan atau pihak ketiga, yang tidak berkonsekuensi
pengeluaran maupun pengurangan kewajiban pihak ketiga/pemberi
sumbangan diatur dalam peraturan daerah.
4. Pendapatan lain-lain yang ditetapkan pemerintah pusat termasuk
dana penyesuaian dan dana otonomi khusus.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 89
D. Penerimaan Pembiayaan
Pembiayaan (financing) menurut PSAP (Pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintah) Nomor 2, adalah “seluruh transaksi keuangan pemerintah,
baik penerimaan maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau akan
diterima kembali, yang dalam penganggaran pemerintah terutama
dimaksudkan untuk menutup defisit dan atau memanfaatkan surplus
anggaran.”
Penerimaan pembiayaan antara lain berasal dari pinjaman dan hasil
divestasi. Sementara pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan
untuk pembiayaan kembali pokok pinjaman, pemberian pinjaman kepada
entitas lain, serta penyertaan modal oleh pemerintah daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah,
mengklasifikasikan pinjaman daerah dalam bentuk:
a. pinjaman jangka pendek;
b. pinjaman jangka menengah; dan
c. pinjaman jangka panjang.
Pinjaman jangka pendek merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu
kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban
pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga dan
biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang
bersangkutan. Pinjaman ini hanya dipergunakan untuk menutup
kekurangan arus kas pada tahun anggaran yang bersangkutan.
Pinjaman jangka menengah merupakan pinjaman daerah dalam jangka
waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali
pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga dan biaya lain harus dalam
jangka waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan kepala daerah yang
bersangkutan. Pinjaman ini dipergunakan untuk membiayai penyediaan
layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 90
Pinjaman jangka panjang merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu
lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali
pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga dan biaya lain harus pada
tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian
pinjaman tersebut. Pinjaman ini dipergunakan untuk membiayai proyek
investasi yang menghasilkan penerimaan.
Penerimaan pembiayaan menurut ketentuan dalam PP No. 58 Tahun
2005, terdiri atas:
- sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya;
- pencairan dana cadangan;
- hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;
- penerimaan pinjaman daerah;
- penerimaan kembali pemberian pinjaman; dan
- Penerimaan piutang daerah.
1. Sisa lebih Perhitungan Anggaran Tahun Sebelumnya (SILPA)
SILPA mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan
penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain
pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan,
penghematan belanja, kewajiban pihak III yang sampai dengan akhir
tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.
2. Pencairan Dana Cadangan
Pencairan dana cadangan digunakan untuk menganggarkan
pencairan dana cadangan dari rekening dana cadangan ke rekening
kas umum daerah dalam tahun anggaran berkenaan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 91
3. Hasil Penjualan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan
Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, digunakan antara
lain untuk menganggarkan hasil penjualan perusahaan milik
daerah/BUMD dan penjualan aset milik pemerintah daerah yang
dikerjasamakan dengan pihak III, atau hasil divestasi penyertaan
modal pemerintah daerah.
4. Penerimaan Pinjaman Daerah
a. Sumber Pinjaman Daerah
Pinjaman dapat berasal dari dalam negeri atau luar negeri.
Pinjaman dalam negeri dapat diperoleh dari pemerintah pusat,
lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank,
masyarakat dan sumber lainnya. Sedangkan pinjaman dari luar
negeri dapat berupa pinjaman bilateral atau pinjaman multilateral.
Pinjaman daerah dapat dibedakan menjadi pinjaman jangka
panjang dan pinjaman jangka pendek. Pinjaman jangka panjang
hanya dapat digunakan untuk membiayai pembangunan
prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan
penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta
memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Pinjaman
jangka panjang tidak dapat digunakan untuk membiayai belanja
administrasi umum serta belanja operasional dan pemeliharaan.
Selain itu daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang guna
pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah.
b. Persyaratan Pinjaman Daerah
1) Untuk pinjaman jangka panjang harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 92
a) Jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib
dibayar tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum
APBD tahun sebelumnya.
b) Berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran
daerah tahunan selama jangka waktu pinjaman, debt
service coverage ratio (DSCR) paling sedikit 2,5 .
c) Jumlah maksimum pinjaman jangka panjang adalah 1/6
(satu per enam) dari jumlah belanja APBD tahun
anggaran yang berjalan.
2) Untuk pinjaman jangka pendek harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a) Pinjaman jangka pendek dilakukan dengan memper-
timbangkan kecukupan penerimaan daerah untuk mem-
bayar kembali pinjaman tersebut pada waktunya.
b) Pelunasan pinjaman jangka pendek wajib diselesaikan
dalam tahun anggaran yang berjalan.
3) Berdasarkan pertimbangan kepentingan nasional, menteri
keuangan dapat menetapkan pengendalian lebih lanjut atas
pinjaman daerah.
c. Batas Maksimum Jangka Waktu Pinjaman Daerah
1) Batas maksimum jangka waktu pinjaman jangka panjang
disesuaikan dengan umur ekonomis aset yang dibiayai dari
pinjaman tersebut.
2) Batas maksimum masa tenggang disesuaikan dengan masa
konstruksi proyek.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 93
3) Jangka waktu pinjaman jangka panjang sudah termasuk
masa tenggang.
4) Jangka waktu pinjaman dan masa tenggang untuk pinjaman
jangka panjang yang bersumber dari dalam negeri ditetapkan
daerah dengan persetujuan DPRD, sedang yang bersumber
dari luar negeri disesuaikan dengan persyaratan pinjaman
luar negeri yang bersangkutan.
d. Larangan Penjaminan
1) Daerah dilarang membuat perjanjian yang menjamin
pinjaman pihak lain dan mengakibatkan beban atas
keuangan daerah.
2) Barang milik Daerah yang digunakan untuk melayani
kepentingan umum tidak dapat dijadikan jaminan dalam
mem-peroleh pinjaman daerah.
e. Prosedur Pinjaman Daerah
1) Setiap pinjaman daerah dilakukan setelah mendapatkan
persetujuan dari DPRD.
2) Berdasarkan persetujuan DPRD, daerah mengajukan
pinjaman kepada calon pemberi pinjaman.
3) Setiap pinjaman daerah dituangkan dalam surat perjanjian
pinjaman antara daerah yang bersangkutan dengan pemberi
pinjaman. Surat perjanjian tersebut ditandatangani oleh
kepala daerah (atas nama daerah) dan pemberi pinjaman,
selanjutnya diumumkan dalam lembaran daerah.
4) Pinjaman daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan
melalui pemerintah pusat.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 94
5) Untuk memperoleh pinjaman daerah yang bersumber dari
luar negeri, daerah mengajukan usulan pinjaman kepada
pemerintah pusat disertai surat persetujuan DPRD, studi
kelayakan, dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan.
Selanjutnya pemerintah pusat melakukan evaluasi dari
berbagai aspek untuk menilai dapat tidaknya usulan tersebut
disetujui.
6) Apabila pemerintah pusat menyetujui, selanjutnya pemerintah
daerah mengadakan perundingan dengan calon pemberi
pinjaman yang hasilnya dilaporkan untuk mendapatkan per-
setujuan pemerintah pusat.
7) Untuk memperoleh pinjaman yang berasal dari pemerintah
pusat, daerah mengajukan usul kepada menteri keuangan
didukung surat persetujuan DPRD, studi kelayakan, dan
dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk dievaluasi.
Perjanjian pinjaman ini ditandatangani oleh menteri keuangan
dan kepala daerah.
f. Pembayaran Kembali Pinjaman Daerah
1) Semua pembayaran yang menjadi kewajiban daerah atas
pinjaman daerah yang jatuh tempo merupakan prioritas dan
dianggarkan dalam pengeluaran APBD.
2) Dalam hal daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran
atas pinjaman daerah dari pemerintah pusat, maka
pemerintah pusat memperhitungkan kewajiban tersebut
dengan DAU kepada daerah yang bersangkutan.
3) Dalam hal daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran
atas pinjaman daerah yang bersumber dari luar negeri, maka
kewajiban tersebut diselesaikan sesuai perjanjian pinjaman.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 95
g. Pembukuan dan Pelaporan
1) Semua penerimaan dan kewajiban dalam rangka pinjaman
daerah dicantumkan dalam APBD dan dibukukan sesuai
dengan standar akuntansi keuangan pemerintah daerah.
2) Keterangan tentang semua pinjaman jangka panjang dituang-
kan dalam lampiran dokumen APBD.
3) Kepala daerah melaporkan kepada DPRD secara berkala
dengan tembusan kepada menteri keuangan tentang per-
kembangan jumlah pinjaman daerah dan tentang pelaksanaan
pemenuhan kewajiban pinjaman yang telah jatuh tempo.
5. Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman
Penerimaan kembali pemberian pinjaman digunakan untuk meng-
anggarkan posisi penerimaan kembali pinjaman yang diberikan
kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah lainnya.
6. Penerimaan Piutang Daerah
Penerimaan piutang digunakan untuk menganggarkan penerimaan
yang bersumber dari pelunasan piutang pihak ketiga, seperti
penerimaan piutang daerah dari pendapatan daerah, pemerintah,
pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan
bukan bank, dan penerimaan piutang lainnya.
7. Penerimaan Kembali Penyertaan Modal (Investasi) Daerah
Penerimaan kembali penyertaan modal (investasi) daerah digunakan
untuk menganggarkan penerimaan yang bersumber dari penyertaan
modal yang bersumber dari penyertaan modal yang diterima kembali.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 96
E. LATIHAN
1. Pajak provinsi yang tari tertingginya 10% adalah
a. PKB
b. BBN-KB/KA
c. PBB-KB
d. P3ABT/AP
2. SPTPD tidak disampaikan oleh WPD kepada kepala daerah dalam
jangka waktu tertentu dan setelah WPD ditegur secara tertulis, maka
kepala daerah akan menerbitkan:
a. SKPDKB
b. SKPDN
c. SKPD
d. SKPDKBT
3. Salah satu penerimaan daerah adalah dana bagi hasil pajak dari
BPHTB dengan komposisi :
a. Pemerintah pusat 25%; pemerintah daerah 75%
b. Pemerintah pusat 10%; pemerintah daerah 9%; biaya pungut 9%
c. Pemerintah pusat 20%; pemerintah provinsi 32%; pemerintah
kab./kota 48%
d. Pemerintah provinsi 16%; pemerintah kab./kopta 84%
4. Pinjaman daerah yanghanya dipergunakan untuk menutup
kekurangan arus kas pada tahun anggaran yang bersangkutan:
a. Pinjaman jangka panjang
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 97
b. Pinjaman jangka menengah
c. Pinjaman jangka pendek
d. Pinjaman pihak ketiga
5. Jumlah penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak dalam APBN
tahun 2008 sebesar Rp 550 trilyun dan jumlah alokasi bagi hasil
adalah Rp 50 trilyun, maka jumlah DAU seluruh kabupaten/kota di
Indonesia:
e. Rp 13 trilyun
a. Rp 117 trilyun
b. Rp 130 trilyun
c. Rp 260 trilyun
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 98
BAB VI
PENGELUARAN DAERAH
Ketentuan dalam pasal 18 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, menyebutkan:
(1) Pengeluaran daerah terdiri dari belanja daerah dan pengeluaran
pembiayaan daerah.
(2) Belanja daerah merupakan perkiraan beban pengeluaran daerah yang
dialokasikan secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh
seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi, khususnya dalam
pemberian pelayanan umum.
(3) Pengeluaran pembiayaan adalah semua pengeluaran yang akan diterima
kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan, maupun pada
tahun-tahun anggaran berikutnya.
Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran/belanja daerah, harus
didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang
cukup.
A. BELANJA DAERAH
Berdasarkan Pasal 24 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, belanja daerah
dapat dirinci menurut
- urusan pemerintahan daerah;
- organisasi;
- program dan kegiatan;
Setelah mempelajari bab ini diharapkan peserta diklat mampu menjelaskan pengertian pengeluaran daerah, berupa belanja daerah dan pengeluaran pembiayaan daerah.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 99
- kelompok;
- jenis; dan
- objek dan rincian objek belanja.
1. Urusan Pemerintahan Daerah
Belanja daerah yang dipergunakan untuk mendanai pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau
kabupaten/kota, terdiri dari:
- urusan wajib;
- urusan pilihan; dan
- urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu
dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah
daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan
ketentuan perundang-undangan.
Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk
melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam
upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk
peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial
dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan
sosial.
Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat diwujudkan melalui
prestasi kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Klasifikasi belanja menurut urusan wajib, mencakup:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 100
c. pekerjaan umum;
d. perumahan rakyat;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perhubungan;
h. lingkungan hidup;
i. pertanahan;
j. kependudukan dan catatan sipil;
k. pemberdayaan perempuan;
l. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
m. sosial;
n. tenaga kerja;
o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
p. penanaman modal;
q. kebudayaan;
r. pemuda dan olah raga;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan
persandian;
u. ketahanan pangan;
v. pemberdayaan masyarakat dan desa;
w. statistik;
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 101
x. kearsipan;
y. komunikasi dan informatika; dan
z. Perpustakaan
Klasifikasi belanja menurut urusan pilihan, terdiri atas:
a. pertanian;
b. kehutanan;
c. energi dan sumber daya mineral;
d. pariwisata;
e. kelautan dan perikanan;
f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.
Belanja menurut urusan pemerintahan yang penanganannya dalam
bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara
pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah
yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan, dijabarkan
dalam bentuk program dan kegiatan yang diklasifikasikan menurut
urusan wajib dan urusan pilihan.
2. Organisasi
Klasifikasi belanja menurut organisasi, disesuaikan dengan susunan
organisasi pada masing-masing pemerintah daerah. Contoh klasifikasi
ini dapat dilihat pada gambar 3.2 pada Bab III.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 102
3. Klasifikasi Program dan Kegiatan
Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan, disesuaikan
dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
(Lihat Lampiran A.VII Permendagri 13/2006).
4. Klasifikasi Kelompok
Klasifikasi belanja menurut kelompok dirinci dalam kelompok belanja
langsung dan kelompok belanja tidak langsung.
a. Belanja Langsung
Belanja langsung adalah belanja yang dipengaruhi secara
langsung oleh adanya program dan kegiatan yang direncanakan.
Jenis belanja langsung dapat berupa belanja pegawai/personalia,
barang/jasa, pemeliharaan, dan perjalanan dinas.
Keberadaan belanja tersebut merupakan konsekuensi karena
adanya program dan kegiatan dan mempunyai karakter bahwa
masukan (alokasi belanja) dapat diukur dan diperbandingkan
dengan keluarannya.
Belanja langsung dibagi menurut jenis belanja, yaitu:
1) belanja pegawai;
2) belanja barang & jasa; dan
3) belanja modal.
b. Belanja Tidak Langsung
Belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak dipengaruhi
secara langsung terhadap adanya program/kegiatan. Belanja ini
meliputi belanja pegawai, barang/jasa, pemeliharaan, dan
perjalanan dinas.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 103
Keberadaan anggaran belanja ini bukan merupakan konsekuensi
ada atau tidaknya program/kegiatan. Belanja ini digunakan secara
periodik (umumnya bulanan) dalam rangka koordinasi penye-
lenggaraan tugas pemerintahan yang bersifat umum, dan
digunakan secara bersama-sama dalam pelaksanaan program/
kegiatan.
Dalam perhitungan ASB (Analisa Standar Belanja), belanja tidak
langsung harus dialokasikan pada setiap program/kegiatan tahun
anggaran yang bersangkutan. Program/kegiatan yang
memperoleh alokasi belanja tidak langsung adalah program atau
kegiatan non investasi.
ASB merupakan hasil penjumlahan belanja langsung setiap
program/kegiatan dengan belanja tidak langsung yang
dialokasikan pada program/kegiatan tersebut, yang selanjutnya
digunakan sebagai standar untuk menilai program/kegiatan unit
kerja.
Belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja terdiri atas:
1) belanja pegawai;
2) bunga;
3) subsidi;
4) hibah;
5) bantuan sosial;
6) belanja bagi hasil;
7) bantuan keuangan; dan
8) belanja tidak terduga.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 104
5. Klasifikasi Jenis Belanja
Pada lampiran IV PP 24 tahun 2004 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP), belanja diklasifikasikan menurut ekonomi (jenis
belanja, organisasi, dan fungsi).
Klasifikasi ekonomi adalah pengelompokan belanja yang didasarkan
pada jenis belanja untuk melaksanakan suatu aktivitas.
Klasifikasi ekonomi pemerintah pusat terdiri dari: belanja pegawai,
belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial,
dan belanja lain-lain.
Sedangkan klasifikasi ekonomi untuk pemerintah daerah, terdiri dari ;
belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi,
hibah, bantuan sosial, dan belanja tak terduga.
Contoh klasifikasi belanja menurut jenis belanja adalah sebagai
berikut:
Belanja Operasi
- Belanja Pegawai XXX
- Belanja Barang XXX
- Bunga XXX
- Subsidi XXX
- Hibah XXX
- Bantuan Sosial XXX
Belanja Modal
- Belanja Aset Tetap XXX
- Belanja Aset Lainnya XXX
Belanja Lain-lain/Tak Terduga XXX
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 105
a. Belanja Operasi
Belanja operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan
sehari-hari pemerintah pusat/daerah yang memberi manfaat
jangka pendek.
Belanja operasi antara lain meliputi belanja pegawai, belanja
barang & jasa non investasi, belanja pemeliharaan, pembayaran
bunga hutang, belanja subsidi, dan belanja bantuan sosial.
b. Belanja Modal
Sesuai definisi dalam pernyataan SAP Nomor 2, yang dimaksud
dengan Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk
perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih
dari satu periode akuntansi.
Belanja Modal meliputi antara lain; belanja modal untuk perolehan
tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan aset tidak berwujud.
c. Belanja Tidak Tersangka
Sesuai definisi dalam pernyataan SAP Nomor 2, yang dimaksud
dengan belanja tidak tersangka adalah pengeluaran anggaran
untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan
berulang.
Yang termasuk belanja tidak tersangka antara lain: penang-
gulangan bencana alam, bencana sosial, atau pengeluaran
lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan
kewenangan pemerintahan daerah.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 106
Yang dimaksud dengan pengeluaran lainnya yang sangat
diperlukan adalah:
1) Pengeluaran yang sangat dibutuhkan bagi penyediaan sarana
dan prasarana yang langsung berkaitan dengan pelayanan
masyarakat, yang anggarannya tidak tersedia dalam tahun
anggaran yang bersangkutan.
2) Pengembalian atas kelebihan penerimaan yang terjadi dalam
tahun-tahun anggaran yang lalu (yang telah ditutup) dengan
didukung bukti-bukti yang sah.
Klasifikasi belanja menurut fungsi adalah klasifikasi yang
didasarkan pada sebelas fungsi utama pemerintah pusat/daerah
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Klasifikasi ini
digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan
keuangan negara/daerah, yang terdiri dari:
01 pelayanan umum ; XXX
02 pertahanan; XXX
03 ketertiban dan ketenteraman; XXX
04 ekonomi; XXX
05 lingkungan hidup; XXX
06 perumahan dan fasilitas umum; XXX
07 kesehatan; XXX
08 keluarga berencana; XXX
09 pariwisata dan budaya; XXX
10 pendidikan; dan XXX
11 perlindungan sosial. XXX
(Sumber : Lampiran A.VI Permendagri 13/ 2006)
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 107
B. PENGELUARAN PEMBIAYAAN DAERAH
Pengeluaran pembiayaan daerah terdiri dari pembentukan dana cadangan,
penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah, pembayaran pokok
utang, dan pemberian pinjaman daerah.
1. Pembentukan Dana Cadangan
Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna mendanai
kegiatan yang penyediaan dananya tidak dapat sekaligus/sepenuhnya
dibebankan dalam tahun anggaran. Pembentukan dana cadangan
tersebut ditetapkan dengan peraturan daerah.
Rancangan perda tentang pembentukan dana cadangan, dibahas
bersama dengan pembahasan rancangan perda APBD. Dana
cadangan dapat bersumber dari penyisihan atas penerimaan daerah,
kecuali dari dana alokasi khusus, pinjaman daerah dan penerimaan
lain yang penggunaannya dibatasi untuk pengeluaran tertentu
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dana cadangan ditempatkan pada rekening tersendiri. Penerimaan
hasil bunga/dividen rekening dana cadangan dan penempatan dalam
portofolio dicantumkan sebagai penambahan dana cadangan
berkenaan dalam daftar dana cadangan pada lampiran raperda
tentang APBD.
2. Investasi Pemerintah Daerah
Investasi/penyertaan modal pemerintah daerah digunakan untuk
menganggarkan kekayaan pemerintah daerah yang diinvestasikan
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Investasi jangka pendek merupakan investasi yang dapat segera
diperjualbelikan/dicairkan, yang ditujukan dalam rangka manajemen
kas dan berisiko rendah serta dimiliki selama kurang dari duabelas
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 108
bulan. Investasi ini mencakup: deposito berjangka antara tiga sampai
dengan dua belas bulan, pembelian surat utang negara (SUN),
sertifikat bank indonesia (SBI), dan surat perbendaharaan negara
(SPN).
Sedangkan yang dimaksudkan dengan investasi jangka panjang,
adalah investasi yang dimiliki lebih dari duabelas bulan. Investasi
jangka panjang dikelompokan dalam investasi permanen dan
investasi non permanen.
Investasi permanen adalah investasi jangka panjang dengan tujuan
untuk dimiliki secara berkelanjutan tanpa ada niat untuk diperjual-
belikan atau ditarik kembali. Misalnya: kerjasama daerah dengan
pihak ketiga dalam bentuk penggunausahaan/pemanfaatan aset
daerah, penyertaan modal daerah pada BUMD dan/atau badan usaha
lainnya.
Investasi non permanen adalah investasi jangka panjang yang
bertujuan untuk dimiliki secara tidak berkelanjutan atau ada niat untuk
diperjualbelikan atau ditarik kembali. Misalnya: pembelian obligasi
atau surat utang jangka panjang, dana bantuan bergulir dari
pemerintah daerah kepada kelompok masyarakat, pemberian fasilitas
pendanaan kepada usaha mikro dan menengah.
Investasi pemerintah daerah dapat dianggarkan apabila jumlah yang
akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan
dalam peraturan daerah tentang penyertaan modal dengan
berpedoman pada peraturan menteri dalam negeri.
3. Pembayaran Pokok Utang
Pembayaran pokok utang digunakan untuk menganggarkan
pembayaran kewajiban atas pokok utang yang dihitung berdasarkan
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 109
perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang.
4. Pemberian Pinjaman Daerah
Pemberian pinjaman digunakan untuk menganggarkan pinjaman yang
diberikan kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah
lainnya
C. LATIHAN
1. Karakteristik belanja daerah yang dialokasikan dalam APBD
khususnya terkait dengan pelayanan umum harus mengedepankan:
a. adil, merata, dan tidak diskriminatif
b. proporsional, efisien, dan efektif
c. ekonomis, efisien, dan efektif
d. cukup, proporsional, dan merata.
2. Sesuai dengan ketentuan permendagri No. 13 tahun 2006 yang
direvisi dengan permendagri No. 59 tahun 2007, belanja tidak
langsung meliputi:
a. belanja barang/jasa
b. belanja pegawai
c. belanja pegawai, dan belanja pemeliharaan
d. belanja pegawai, dan belanja perjalanan dinas
3. Pembelian SUN, SBI dan SPN oleh pemerintah daerah termasuk
investasi:
a. jangka pendek
b. jangka menengah
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 110
c. permanen
d. non permanen
4. Pembangunan kembali 5 unit gedung baru SD di Kec. Sibolangit
bernilai Rp. 950 juta tidak tersedia dalam APBD TA 2008, sebagai
ganti 5 unit gedung SD yang roboh karena bencana tanah longsor
dikategorikan dalam:
a. Belanja modal
b. Belanja barang/jasa
c. Belanja investasi
d. Belanja tidak tersangka
5. Penyisihan dana cadangan oleh pemerintah daerah dapat bersumber
pada:
a. DAK
b. pinjaman daerah
c. hasil penjualan SUD
d. bagian laba BUMD
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 111
BAB VII
PELAKSANAAN, PENATAUSAHAAN, PELAPORAN DAN
PERTANGGUNGJAWABAN APBD
A. PELAKSANAAN APBD
Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka
pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD.
Pelaksanaan APBD meliputi pelaksanaan anggaran pendapatan, belanja,
dan pembiayaan. Penjelasan berikut ini didasarkan pada Peraturan
Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan ini telah disusun pedoman pelaksanaannya yaitu Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Pengeluaran dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat, yang selanjutnya
diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam
laporan realisasi anggaran. Kriteria keadaan darurat ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan anggaran oleh kepala SKPD dilaksanakan setelah dokumen
pelaksanaan anggaran SKPD (DPA-SKPD) ditetapkan oleh PPKD dengan
persetujuan sekretaris daerah. Proses penetapan DPA-SKPD adalah
sebagai berikut:
Pada akhir pemelajaran ini peserta mampu memahami proses pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban APBD.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 112
1. PPKD paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah peraturan daerah tentang
APBD ditetapkan, memberitahukan kepada semua kepala SKPD agar
menyusun rancangan DPA-SKPD.
2. Rancangan DPA-SKPD merinci sasaran yang hendak dicapai,
program, kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai
sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap SKPD serta
pendapatan yang diperkirakan.
3. Kepala SKPD menyerahkan rancangan DPA-SKPD kepada PPKD
paling lama 6 (enam) hari kerja setelah pemberitahuan.
4. TAPD melakukan verifikasi rancangan DPA-SKPD bersama-sama
dengan kepala SKPD paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak
ditetapkannya peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.
5. Berdasarkan hasil verifikasi, PPKD mengesahkan rancangan DPA-
SKPD dengan persetujuan sekretaris daerah.
6. DPA-SKPD yang telah disahkan disampaikan kepada kepala SKPD,
satuan kerja pengawasan daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
disahkan.
Setelah DPA-SKPD ditetapkan, kepala SKPD melaksanakan kegiatan-
kegiatan SKPD berdasarkan dokumen tersebut.
1. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Daerah
Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima
pendapatan daerah wajib melaksanakan pemungutan dan/atau
penerimaan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan. Penerimaan SKPD dilarang digunakan
langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh
peraturan perundang-undangan. Penerimaan SKPD berupa uang
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 113
atau cek harus disetor ke rekening kas umum daerah paling lama 1
(satu) hari kerja oleh bendahara penerimaan dengan didukung oleh
bukti yang lengkap.
Semua penerimaan daerah dilakukan melalui rekening kas umum
daerah. SKPD dilarang melakukan pungutan selain dari yang
ditetapkan dalam peraturan daerah. SKPD yang mempunyai tugas
memungut dan/atau menerima dan/atau kegiatannya berdampak
pada penerimaan daerah wajib mengintensifkan pemungutan dan
penerimaan tersebut.
Komisi, rabat, potongan atau penerimaan lain dengan nama dan
dalam bentuk apa pun yang dapat dinilai dengan uang, baik secara
langsung sebagai akibat dari penjualan, tukar-menukar, hibah,
asuransi dan/atau pengadaan barang dan jasa termasuk penerimaan
bunga, jasa giro atau penerimaan lain sebagai akibat penyimpanan
dana anggaran pada bank serta penerimaan dari hasil pemanfaatan
barang daerah atas kegiatan lainnya merupakan pendapatan daerah.
Semua penerimaan daerah apabila berbentuk uang harus segera
disetor ke kas umum daerah dan berbentuk barang menjadi milik/aset
daerah yang dicatat sebagai inventaris daerah.
Pengembalian atas kelebihan pajak, retribusi, pengembalian tuntutan
ganti rugi dan sejenisnya dilakukan dengan membebankan pada
rekening penerimaan yang bersangkutan untuk pengembalian
penerimaan yang terjadi dalam tahun yang sama. Untuk
pengembalian kelebihan penerimaan yang terjadi pada tahun-tahun
sebelumnya dibebankan pada rekening belanja tidak terduga.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 114
2. Pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah
Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas
tertinggi untuk setiap pengeluaran belanja. Pengeluaran tidak dapat
dibebankan pada anggaran belanja jika untuk pengeluaran tersebut
tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD. Setiap SKPD
dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk
tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD. Pengeluaran
belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak mewah, efektif,
efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah
mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih. Pengeluaran
kas yang mengakibatkan beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum
rancangan peraturan daerah tentang APBD ditetapkan dan
ditempatkan dalam lembaran daerah. Pengeluaran kas tersebut tidak
termasuk belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat
wajib.
Pembayaran atas beban APBD dapat dilakukan berdasarkan surat
penyediaan dana (SPD), atau dokumen pelaksanaan anggaran SKPD
(DPA-SKPD), atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD.
Khusus untuk biaya pegawai diatur bahwa gaji pegawai negeri sipil
daerah dibebankan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat
memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil
daerah berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan
memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan memperoleh
persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dalam pelaksanaan pembayaran yang terhutang pajak, bendahara
pengeluaran sebagai wajib pungut pajak penghasilan (PPh) dan pajak
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 115
lainnya, wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak
yang dipungutnya ke rekening kas negara pada bank pemerintah atau
bank lain yang ditetapkan menteri keuangan sebagai bank persepsi
atau pos giro dalam jangka waktu sesuai ketentuan perundang-
undangan.
Pelaksanaan pengeluaran atas beban APBD dilakukan berdasarkan
SPM yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna
anggaran. Selanjutnya pembayaran dilakukan dengan penerbitan
SP2D oleh kuasa BUD. Karena itu, kuasa BUD berkewajiban untuk:
a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh
pengguna anggaran;
b. menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBD yang
tercantum dalam perintah pembayaran;
c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;
d. memerintahkan pencairan dana sebagai dasar pengeluaran
daerah; dan
e. menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran yang
diterbitkan oleh pengguna anggaran tidak memenuhi persyaratan
yang ditetapkan.
Perlu menjadi perhatian bahwa penerbitan SPM tidak boleh dilakukan
sebelum barang dan/atau jasa diterima kecuali ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan. Setelah tahun anggaran berakhir,
kepala SKPD selaku pengguna anggaran dilarang menerbitkan SPM
yang membebani tahun anggaran berkenaan.
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas SKPD, kepada pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran dapat diberikan uang
persediaan yang dikelola oleh bendahara pengeluaran. Bendahara
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 116
pengeluaran melaksanakan pembayaran dari uang persediaan yang
dikelolanya setelah:
a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh
pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran;
b. menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam
perintah pembayaran; dan
c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan.
Bendahara pengeluaran wajib menolak perintah bayar dari pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran apabila kelengkapan dokumen,
kebenaran perhitungan dan ketersediaan dana tidak terpenuhi.
Bendahara pengeluaran wajib melakukan hal tersebut karena dia
bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran yang
dilaksanakannya.
Kepala daerah dapat memberikan izin pembukaan rekening untuk
keperluan pelaksanaan pengeluaran di lingkungan SKPD.
3. Pelaksanaan Anggaran Pembiayaan Daerah
Pengelolaan anggaran pembiayaan daerah dilakukan oleh pejabat
pengelola keuangan daerah (PPKD). Semua penerimaan dan
pengeluaraan pembiayaan daerah dilakukan melalui rekening kas
umum daerah.
Untuk pencairan dana cadangan, pemindahbukuan dari rekening
dana cadangan ke rekening kas umum daerah dilakukan berdasarkan
rencana pelaksanaan kegiatan, setelah jumlah dana cadangan yang
ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang pembentukan dana
cadangan yang berkenaan mencukupi. Pemindahbukuan tersebut
paling tinggi sejumlah pagu dana cadangan yang akan digunakan
untuk mendanai pelaksanaan kegiatan dalam tahun anggaran
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 117
berkenaan sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan daerah
tentang pembentukan dana cadangan. Pemindahbukuan dari
rekening dana cadangan ke rekening kas umum daerah tersebut
dilakukan dengan surat perintah pemindahbukuan oleh kuasa BUD
atas persetujuan PPKD.
Penjualan kekayaan milik daerah yang dipisahkan dilakukan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan. Pencatatan penerimaan
atas penjualan kekayaan daerah didasarkan pada bukti penerimaan
yang sah.
Penerimaan pinjaman daerah didasarkan pada jumlah pinjaman yang
akan diterima dalam tahun anggaran yang bersangkutan sesuai
dengan yang ditetapkan dalam perjanjian pinjaman berkenaan.
Penerimaan pinjaman dalam bentuk mata uang asing dibukukan
dalam nilai rupiah. Penerimaan kembali pemberian pinjaman daerah
didasarkan pada perjanjian pemberian pinjaman daerah sebelumnya,
untuk kesesuaian pengembalian pokok pinjaman dan kewajiban
lainnya yang menjadi tanggungan pihak peminjam.
Pelaksanaan pengeluaran pembiayaan mencakup pelaksanaan
pembentukan dana cadangan, penyertaan modal, pembayaran pokok
utang, dan pemberian pinjaman daerah.
Jumlah pendapatan daerah yang disisihkan untuk pembentukan dana
cadangan dalam tahun anggaran bersangkutan sesuai dengan jumlah
yang ditetapkan dalam peraturan daerah. Pemindahbukuan jumlah
pendapatan daerah yang disisihkan yang ditransfer dari rekening kas
umum daerah ke rekening dana cadangan dilakukan dengan surat
perintah pemindahbukuan oleh kuasa BUD atas persetujuan PPKD.
Penyertaan modal pemerintah daerah dapat dilaksanakan apabila
jumlah yang akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan telah
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 118
ditetapkan dalam peraturan daerah tentang penyertaan modal daerah
berkenaan.
Pembayaran pokok utang didasarkan pada jumlah yang harus
dibayarkan sesuai dengan perjanjian pinjaman dan pelaksanaannya
merupakan prioritas utama dari seluruh kewajiban pemerintah daerah
yang harus diselesaikan dalam tahun anggaran yang berkenaan.
Pemberian pinjaman daerah kepada pihak lain berdasarkan
keputusan kepala daerah atas persetujuan DPRD.
Pelaksanaan pengeluaran pembiayaan penyertaan modal pemerintah
daerah, pembayaran pokok utang dan pemberian pinjaman daerah
tersebut dilakukan berdasarkan SPM yang diterbitkan oleh PPKD.
Dalam rangka pelaksanaan pengeluaran pembiayaan, kuasa BUD
berkewajiban untuk:
a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran/pemindah bukuan
yang diterbitkan oleh PPKD;
b. menguji kebenaran perhitungan pengeluaran pembiayaan yang
tercantum dalam perintah pembayaran;
c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan; dan
d. menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran atas
pengeluaran pembiayaan tidak memenuhi persyaratan yang
ditetapkan.
B. PENATAUSAHAAN KEUANGAN DAERAH
Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, bendahara penerimaan,
bendahara pengeluaran dan orang atau badan yang menerima atau
menguasai uang/barang/kekayaan daerah wajib menyelenggarakan
penatausahaan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pejabat
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 119
yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan
dengan surat bukti yang menjadi dasar penerimaan dan/atau pengeluaran
atas pelaksanaan APBD bertanggung jawab terhadap kebenaran material
dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.
1. Penatausahaan Penerimaan
Penerimaan daerah disetor ke rekening kas umum daerah pada bank
pemerintah yang ditunjuk dan dianggap sah setelah kuasa BUD
menerima nota kredit. Penerimaan daerah yang disetor tersebut
dilakukan dengan cara:
a. disetor langsung ke bank oleh pihak ketiga;
b. disetor melalui bank lain, badan, lembaga keuangan dan/atau
kantor pos oleh pihak ketiga; dan disetor melalui bendahara
penerimaan oleh pihak ketiga.
Bendahara penerimaan wajib menyelenggarakan penatausahaan
terhadap seluruh penerimaan dan penyetoran atas penerimaan yang
menjadi tanggung jawabnya. Bendahara penerimaan pada SKPD
wajib mempertanggungjawabkan secara administratif atas
pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan
menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan kepada
pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui PPK-SKPD
paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Disamping
pertanggungjawaban secara administratif, bendahara penerimaan
pada SKPD wajib mempertanggung jawabkan secara fungsional atas
pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan
menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan kepada
PPKD selaku BUD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Selanjutnya PPKD selaku BUD melakukan verifikasi, evaluasi dan
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 120
analisis atas laporan pertanggungjawaban bendahara penerimaan
pada SKPD.
2. Penatausahaan Pengeluaran
Kepala SKPD berdasarkan rancangan DPA-SKPD menyusun
rancangan anggaran kas SKPD. Rancangan anggaran kas SKPD
tersebut disampaikan kepada PPKD selaku BUD bersamaan dengan
rancangan DPA-SKPD. Pembahasan rancangan anggaran kas SKPD
dilaksanakan bersamaan dengan pembahasan DPA-SKPD.
Setelah DPA-SKPD ditetapkan, PPKD selaku BUD menyusun
anggaran kas pemerintah daerah guna mengatur ketersediaan dana
yang cukup untuk mendanai pengeluaran-pengeluaran sesuai dengan
rencana penarikan dana yang tercantum dalam DPA-SKPD yang
telah disahkan. Anggaran kas tersebut memuat perkiraan arus kas
masuk yang bersumber dari penerimaan dan perkiraan arus kas
keluar yang digunakan guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam
setiap periode.
a. Penyediaan Dana
Setelah penetapan anggaran kas, PPKD dalam rangka
manajemen kas menerbitkan surat penyediaan dana (SPD). SPD
atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD merupakan
dasar pengeluaran kas atas beban APBD. Permintaan
pembayaran hanya dapat dilaksanakan, jika SPD telah diterbitkan.
b. Permintaan Pembayaran
Berdasarkan SPD, bendahara pengeluaran mengajukan surat
permintaan pembayaran (SPP) kepada pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran melalui pejabat pengelola keuangan SKPD
(PPK-SKPD). Ada 4 jenis SPP yaitu:
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 121
1) Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan (SPP-UP).
2) Surat Permintaan Pembayaran Ganti Uang Persediaan (SPP-
GU).
3) Surat Permintaan Pembayaran Tambahan Uang Persediaan
(SPP TU).
4) Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS).
Penerbitan dan pengajuan dokumen SPP-UP dilakukan oleh
bendahara pengeluaran untuk memperoleh persetujuan dari
pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui PPK-
SKPD dalam rangka pengisian uang persediaan. Penerbitan dan
pengajuan dokumen SPP-GU dilakukan untuk memperoleh
persetujuan dari pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran
melalui PPK-SKPD dalam rangka mengganti uang persediaan.
Sedangkan penerbitan dan pengajuan dokumen SPP-TU
dilakukan oleh bendahara pengeluaran untuk memperoleh
persetujuan dari pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran
melalui PPK-SKPD dalam rangka tambahan uang persediaan.
Pengajuan dokumen SPP-UP, SPP-GU dan SPP-TU tersebut
digunakan dalam rangka pelaksanaan pengeluaran SKPD yang
harus dipertanggungjawabkan.
Penerbitan dan pengajuan dokumen SPP-LS untuk pembayaran
gaji dan tunjangan serta penghasilan lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dilakukan oleh bendahara
pengeluaran guna memperoleh persetujuan pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui PPK-SKPD.
Prosedur pengajuan dan penerbitan SPM-LS dimulai dengan
penyiapan dokumen SPP-LS untuk pengadaan barang dan jasa
oleh pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) untuk disampaikan
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 122
kepada bendahara pengeluaran dalam rangka pengajuan
permintaan pembayaran. Selanjutnya, Bendahara pengeluaran
mengajukan SPP-LS kepada pengguna anggaran setelah
ditandatangani oleh PPTK guna memperoleh persetujuan
pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui PPK-
SKPD.
Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran meneliti
kelengkapan dokumen SPP-UP, SPP-GU, SPP-TU, dan SPP-LS
yang diajukan oleh bendahara pengeluaran sebelum menerbitkan
surat perintah pembayaran (SPP).
c. Perintah Membayar
Setelah meneliti SPP, pengguna anggaran/kuasa pengguna
anggaran harus menyatakan apakan dokumen SPP telah lengkap
dan sah. Dalam hal dokumen SPP dinyatakan lengkap dan sah,
pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran menerbitkan surat
perintah membayar (SPM). Penerbitan SPM paling lama 2 (dua)
hari kerja terhitung sejak diterimanya dokumen SPP. Jika
dokumen SPP dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak sah,
pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran menolak
menerbitkan SPM. Penolakan penerbitan SPM paling lama 1
(satu) hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan SPP.
SPM yang telah diterbitkan diajukan kepada kuasa BUD untuk
penerbitan SP2D.
Setelah tahun anggaran berakhir, pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran dilarang menerbitkan SPM yang membebani
tahun anggaran berkenaan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 123
d. Pencairan Dana
Kuasa BUD meneliti kelengkapan dokumen SPM yang diajukan
oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran agar
pengeluaran yang diajukan tidak melampaui pagu dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan
perundangundangan. Jika dokumen SPM dinyatakan lengkap,
kuasa BUD menerbitkan surat perintah pencairan dana (SP2D).
Penerbitan SP2D paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak
diterimanya pengajuan SPM. Jika dokumen SPM dinyatakan tidak
lengkap, kuasa BUD menolak menerbitkan SP2D. Penolakan
penerbitan SP2D paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak
diterimanya pengajuan SPM.
Kuasa BUD menyerahkan SP2D yang diterbitkan untuk keperluan
uang persediaan/ganti uang persediaan/tambahan uang
persediaan kepada pengguna anggaran/kuasa penggguna
anggaran. Sedangkan untuk pembayaran langsung, Kuasa BUD
menyerahkan SP2D yang diterbitkan kepada pihak ketiga.
e. Pertanggungjawaban Penggunaan Dana
Bendahara pengeluaran secara administratif wajib
mempertanggung jawabkan penggunaan uang persediaan/ganti
uang persediaan/tambah uang persediaan kepada kepala SKPD
melalui PPK-SKPD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Hal
ini dilaksanakan dengan menutup Buku Kas Umum setiap bulan
dengan sepengetahuan dan persetujuan pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran. Selanjutnya bendahara
pengeluaran menyusun laporan pertanggungjawaban penggunaan
uang persediaan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 124
Dalam hal laporan pertanggungjawaban telah sesuai, pengguna
anggaran menerbitkan surat pengesahan laporan
pertanggungjawaban. Untuk tertib laporan pertanggungjawaban
pada akhir tahun anggaran, pertanggungjawaban pengeluaran
dana bulan Desember disampaikan paling lambat tanggal 31
Desember.
Selain pertanggungjawaban secara administratif, bendahara
pengeluaran pada SKPD juga wajib mempertanggungjawabkan
secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung
jawabnya dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban
pengeluaran kepada PPKD selaku BUD paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya. Penyampaian pertanggungjawaban tersebut
dilaksanakan setelah diterbitkan surat pengesahan
pertanggungjawaban pengeluaran oleh pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran.
C. AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH
Untuk melakukan penyusunan laporan keuangan, pemerintah daerah
menyusun sistem akuntansi pemerintah daerah yang mengacu kepada
standar akuntansi pemerintahan. Sistem akuntansi pemerintah daerah
dilaksanakan oleh satuan kerja pengelola keuangan daerah (SKPKD)
sebagai entitas pelaporan dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD)
sebagai entitas akuntansi.
Sistem akuntansi pemerintahan daerah meliputi serangkaian prosedur
mulai dari proses pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai
dengan pelaporan keuangan dalam rangka pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD yang dapat dilakukan secara manual atau
menggunakan aplikasi komputer. Proses tersebut didokumentasikan dalam
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 125
bentuk buku jurnal dan buku besar, dan apabila diperlukan ditambah
dengan buku besar pembantu.
Sistem akuntansi pemerintahan daerah sekurang-kurangnya meliputi:
1. prosedur akuntansi penerimaan kas;
2. prosedur akuntansi pengeluaran kas;
3. prosedur akuntansi aset tetap/barang milik daerah; dan
4. prosedur akuntansi selain kas.
Sistem akuntansi pemerintahan daerah disusun dengan berpedoman pada
prinsip pengendalian intern sesuai dengan peraturan pemerintah yang
mengatur tentang pengendalian internal dan peraturan pemerintah tentang
standar akuntansi pemerintahan. Sistem akuntansi pemerintahan daerah
dilaksanakan oleh PPKD. Sistem akuntansi SKPD dilaksanakan oleh PPK-
SKPD. PPK-SKPD mengkoordinasikan pelaksanaan sistem dan prosedur
penatausahaan bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran.
Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas pelaporan
menyusun laporan keuangan yang meliputi:
1. laporan realisasi anggaran;
2. neraca;
3. laporan arus kas; dan
4. catatan atas laporan keuangan.
Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas akuntansi
menyusun laporan keuangan yang meliputi:
1. laporan realisasi anggaran;
2. neraca; dan
3. catatan atas laporan keuangan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 126
D. PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN APBD
1. Laporan Realisasi Semester Pertama Anggaran Pendapatan dan
Belanja
Kepala SKPD menyusun laporan realisasi semester pertama
anggaran pendapatan dan belanja SKPD sebagai hasil pelaksanaan
anggaran yang menjadi tanggung jawabnya. Laporan tersebut disertai
dengan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
Laporan disiapkan oleh PPK-SKPD dan disampaikan kepada pejabat
pengguna anggaran untuk ditetapkan sebagai laporan realisasi
semester pertama anggaran pendapatan dan belanja SKPD serta
prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya paling lama 7 (tujuh) hari
kerja setelah semester pertama tahun anggaran berkenaan berakhir.
Pejabat pengguna anggaran menyampaikan laporan tersebut kepada
PPKD sebagai dasar penyusunan laporan realisasi semester pertama
APBD paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah semester pertama
tahun anggaran berkenaan berakhir. Selanjutnya PPKD menyusun
laporan realisasi semester pertama APBD dengan cara
menggabungkan seluruh laporan realisasi semester pertama
anggaran pendapatan dan belanja SKPD paling lambat minggu kedua
bulan Juli dan disampaikan kepada sekretaris daerah.
Laporan realisasi semester pertama APBD dan prognosis untuk 6
(enam) bulan berikutnya disampaikan kepada kepala daerah paling
lambat minggu ketiga bulan Juli tahun anggaran berkenaan untuk
ditetapkan sebagai laporan realisasi semester pertama APBD dan
prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya. Selanjutnya laporan
realisasi semester pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam)
bulan berikutnya disampaikan kepada DPRD paling lambat akhir
bulan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 127
2. Laporan Tahunan
PPK-SKPD menyiapkan laporan keuangan SKPD tahun anggaran
berkenaan dan disampaikan kepada kepala SKPD untuk ditetapkan
sebagai laporan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran SKPD.
Laporan keuangan tersebut disampaikan kepada PPKD sebagai
dasar penyusunan laporan keuangan pemerintah daerah. Laporan
keuangan SKPD disampaikan kepada kepala daerah melalui PPKD
paling lambat 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan
keuangan tersebut disusun oleh pejabat pengguna anggaran sebagai
hasil pelaksanaan anggaran yang berada di SKPD yang menjadi
tanggung jawabnya. Laporan keuangan SKPD tersebut terdiri dari:
laporan realisasi anggaran; neraca; dan catatan atas laporan
keuangan. Laporan keuangan SKPD dilampiri dengan surat
pernyataan kepala SKPD bahwa pengelolaan APBD yang menjadi
tanggung jawabnya telah diselenggarakan berdasarkan sistem
pengendalian intern yang memadai dan standar akuntansi
pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
PPKD menyusun laporan keuangan pemerintah daerah dengan cara
menggabungkan laporan-laporan keuangan SKPD paling lambat 3
(tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran berkenaan. Laporan
keuangan pemerintah daerah disampaikan kepada kepala daerah
melalui sekretaris daerah dalam rangka memenuhi
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Laporan keuangan tersebut
terdiri dari: laporan realisasi anggaran; neraca; laporan arus kas; dan
catatan atas laporan keuangan. Laporan keuangan pemerintah
daerah dilampiri dengan surat pernyataan kepala daerah yang
menyatakan pengelolaan APBD yang menjadi tanggung jawabnya
telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang
memadai, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 128
Laporan keuangan disampaikan oleh kepala daerah kepada BPK
untuk diaudit paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran
berakhir. Setelah disampaikan laporan hasil audit, kepala daerah
memberikan tanggapan dan melakukan penyesuaian terhadap
laporan keuangan pemerintah daerah berdasarkan hasil pemeriksaan
BPK.
3. Penetapan Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD paling
lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Rancangan
peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
memuat laporan keuangan yang meliputi laporan realisasi anggaran,
neraca, laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan, serta
dilampiri dengan laporan kinerja yang telah diperiksa BPK dan ikhtisar
laporan keuangan badan usaha milik daerah/perusahaan daerah.
Persetujuan bersama terhadap rancangan peraturan daerah tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD oleh DPRD paling lama 1
(satu) bulan terhitung sejak rancangan peraturan daerah diterima.
4. Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang
Penjabaran Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Rancangan peraturan daerah provinsi tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD yang telah disetujui bersama DPRD dan
rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebelum ditetapkan oleh
gubernur paling lama 3 (tiga) hari kerja disampaikan terlebih dahulu
kepada menteri dalam negeri untuk dievaluasi. Hasil evaluasi
disampaikan oleh menteri dalam negeri kepada gubernur paling lama
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 129
15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan
dimaksud.
Apabila menteri dalam negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan
peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sudah sesuai dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, gubernur menetapkan rancangan peraturan daerah dan
rancangan peraturan gubernur menjadi peraturan daerah dan
peraturan gubernur.
Rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang telah disetujui
bersama DPRD dan rancangan peraturan bupati/walikota tentang
penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebelum
ditetapkan oleh bupati/walikota paling lama 3 (tiga) hari kerja
disampaikan kepada gubernur untuk dievaluasi. Hasil evaluasi
disampaikan oleh gubernur kepada bupati/walikota paling lama 15
(lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan
peraturan daerah kabupaten/kota dan rancangan peraturan
bupati/walikota tentang penjabaran pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD.
Apabila gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan peraturan
daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan
rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sudah sesuai dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, bupati/walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi
peraturan daerah dan peraturan bupati/walikota.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 130
E. LATIHAN
1. Pelaksanaan anggaran oleh kepala SKPD dilaksanakan setelah
dokumen pelaksanaan anggaran SKPD (DPA-SKPD) ditetapkan oleh
PPKD dengan persetujuan:
a. Sekretaris Daerah.
b. Kepala Daerah.
c. Tim Anggaran Pemerintah Daerah.
d. DPRD.
2. Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening
kas umum daerah oleh bendahara penerimaan paling lama:
a. 1 (satu) hari kerja.
b. 3 (tiga) hari kerja.
c. 5 (lima) hari kerja.
d. 7 (tujuh) hari kerja.
3. Jumlah anggaran belanja daerah merupakan:
a. Prakiraan realisasi belanja.
b. Plafon realisasi belanja.
c. Rencana nilai fisik kegiatan.
d. Rencana nilai kontrak pengadaan barang/jasa.
4. Penerbitan SPM atas SPP yang telah lengkap dan sah dilakukan
oleh:
a. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan.
b. Bendahara Pengeluaran.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 131
c. Kuasa Pengguna Anggaran.
d. Kuasa Bendahara Umum Daerah.
5. Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas
akuntansi menyusun laporan keuangan yang meliputi :
a. Laporan Semesteran dan Tahunan Pelaksanaan APBD.
b. Laporan Perhitungan Anggaran dan Nota Keuangan.
c. Neraca, LRA, LAK dan Catatan atas Laporan Keuangan.
d. Neraca, LRA, dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 132
BAB VIII
PENGGANTIAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH
A. UMUM
Ketentuan mengenai penyelesaian maupun pengenaan ganti kerugian
negara/daerah diatur dalam Bab IX Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang
Keuangan Negara, Bab XI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, serta dalam Bab V Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara.
1. Penyelesaian Kerugian Daerah
Penyelesaian kerugian daerah adalah sebagai berikut:
a. Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan
melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera
diselesaikan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b. Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain
yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan
kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung
merugikan negara, wajib menggantikan kerugian tersebut.
c. Setiap pimpinan kementrian negara/lembaga/kepala satuan kerja
perangkat daerah (SKPD) dapat segera melakukan tuntutan ganti
rugi setelah mengetahui bahwa dalam kementrian
Setelah mempelajari bab ini diharapkan peserta diklat mampu menjelaskan pengertian penggantian kerugian negara/daerah.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 133
negara/lembaga/SKPD yang bersangkutan terjadi kerugian akibat
perbuatan dari pihak manapun.
d. Setiap kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung
atau oleh kepala SKPD kepada gubernur/bupati/walikota dan
diberitahukan kepada BPK selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
setelah kerugian daerah itu diketahui.
e. Segera setelah kerugian daerah diketahui, kepada bendahara,
pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-
nyata melanggar hukum dapat segera dimintakan surat
pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian
tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti
kerugian daerah dimaksud.
f. Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak (SKTJM) tidak
mungkin diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian
kerugian daerah, maka gubernur/bupati/walikota yang
bersangkutan segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan
penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan.
g. Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap bendahara ditetapkan
oleh BPK. Apabila dalam pemeriksaan kerugian daerah ditemukan
unsur pidana, maka BPK menindaklanjutinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
h. Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai
negeri bukan bendahara, atau pejabat lain ditetapkan oleh
menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota. Tatacara
tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur dengan peraturan
pemerintah.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 134
i. Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain
yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah
dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.
2. Pengenaan Ganti Kerugian Negara/Daerah
Pengenaan ganti kerugian daerah terhadap bendahara adalah
sebagai berikut :
a. BPK menerbitkan surat keputusan penetapan batas waktu
pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas/barang
yang terjadi, setelah mengetahui ada kekurangan kas/barang
dalam persediaan yang merugikan keuangan daerah,
b. Bendahara dapat mengajukan keberatan atau pembelaan diri
kepada BPK dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah
menerima surat keputusan tersebut di atas.
c. Apabila bendahara tidak mengajukan keberatan atau pembelaan
ditolak, BPK menetapkan surat keputusan pembebanan
penggantian kerugian daerah kepada bendahara yang
bersangkutan,
d. Gubernur/bupati/walikota melaporkan penyelesaian kerugian
daerah kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari
setelah diketahuinya kerugian daerah dimaksud.
Tatacara tuntutan ganti kerugian negara/daerah maupun pengenaan
ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan
bendahara, atau pejabat lain diatur dengan peraturan pemerintah
yang merupakan petunjuk pelaksanaan ketiga paket undang-undang
di atas. Ketentuan tersebut diharapkan dapat digunakan oleh pihak-
pihak yang terkait dalam menangani dan menyelesaikan kerugian
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 135
negara/daerah yang semakin hari semakin bertambah besar,
sehingga dapat diantisipasi terjadinya kerugian daerah, dicegah
penyelesaian kerugian daerah yang berlarut-larut, serta dipercepat
proses pemulihan kerugian daerah maupun diperkecil terjadinya
kerugian daerah.
BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian daerah
terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada
kementerian/lembaga/pemerintah daerah.
Perlu dikemukakan di sini, sambil menunggu terbitnya peraturan
pemerintah sebagai petunjuk pelaksanaan ketiga ketentuan di atas,
dalam modul ini (subbab C sampai dengan subbab M) masih
digunakan ketentuan lama yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Ganti Rugi dan Tuntutan
Perbendaharaan Keuangan dan Barang Daerah.
B. DASAR-DASAR PENGERTIAN YANG DIGUNAKAN
1. Pengertian Merugikan
Merugikan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan norma-norma yang harus dilaksanakan dalam
pergaulan masyarakat dan bernegara, terhadap pribadi atau badan
dan harta benda orang lain.
2. Pengertian Kerugian Daerah
Pengertian kerugian negara/daerah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi adalah berkurangnya kekayaan negara/daerah yang
disebabkan oleh suatu tindakan melawan hukum, penyalahgunaan
wewenang/kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang
karena jabatan atau kedudukan, kelalaian seseorang dan atau
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 136
disebabkan oleh keadaan di luar kemampuan manusia (force
majeure).
3. Sifat dan Bentuk Kerugian Daerah
a. Ditinjau dari pelakunya
1) Bendahara, yang melakukan perbuatan :
a) Tidak melakukan pencatatan dan penyetoran atas
penerimaan uang/barang,
b) Tidak melakukan pencatatan atas penerimaan/
pengeluaran uang/barang,
c) Membayar/memberi/mengeluarkan uang/barang kepada
pihak yang tidak berhak dan/atau secara tidak sah,
d) Tidak membuat pertanggungjawaban keuangan/
pengurusan barang,
e) Menerima dan menyimpan uang palsu,
f) Korupsi, penyelewengan, penggelapan,
g) Kecurian, penodongan, perampokan dan/atau kolusi,
h) Pertanggungjawaban atau laporan yang tidak sesuai
dengan kenyataan,
i) Penyalahgunaan wewenang/jabatan,
j) Tidak melakukan tugas yang menjadi tanggung jawabnya
(wajib pungut pajak),
2) Pegawai negeri bukan bendahara yang melakukan perbuatan:
a) Korupsi, penyelewengan, penggelapan.
b) Penyalahgunaan wewenang dan jabatan.
c) Pencurian dan penipuan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 137
d) Merusak, menghilangkan barang inventaris milik daerah.
e) Menaikkan harga, merubah kualitas/mutu.
f) Meninggalkan tugas dan atau pekerjaan setelah selesai
melaksanakan tugas belajar.
g) Meninggalkan tugas belajar sebelum selesai batas waktu
yang telah ditentukan.
3) Pihak ketiga, karena melakukan perbuatan :
a) Tidak menepati janji/kontrak (wanprestasi).
b) Pengiriman barang yang mengalami kerusakan karena
kesalahannya.
c) Penipuan, penggelapan dan perbuatan lainnya yang
secara langsung atau tidak langsung menimbulkan
kerugian bagi daerah.
b. Ditinjau dari sebabnya
1) Perbuatan manusia yang disebabkan karena :
a) Kesengajaan.
b) Kelalaian, kealpaan, kesalahan.
c) Di luar kemampuan si pelaku.
2) Karena kejadian alam :
a) Bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir
dan kebakaran.
b) Proses alamiah seperti membusuk, mencair, menyusut,
menguap, menguraikan dan dimakan rayap.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 138
c. Ditinjau dari waktu terjadinya kerugian daerah
Tinjauan dari waktu di sini dimaksudkan untuk memastikan
apakah suatu peristiwa kerugian negara/daerah masih dapat
dilakukan penuntutannya atau tidak, baik terhadap bendahara,
pegawai negeri bukan bendahara, atau pihak ketiga.
Dalam hal tuntutan ganti rugi, perlu diperhatikan ketentuan
daluwarsa sebagai berikut :
1) 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut, atau
2) 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan
penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan.
3) Dalam hal bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau
pejabat lain yang dikenai tuntutan ganti rugi daerah berada
dalam pengampuan, melarikan diri atau meninggal dunia,
penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada
pengampu/yang memperoleh hak/ahli warisnya. Tanggung
jawab pengampu/ahli warisnya untuk membayar ganti rugi
daerah menjadi hapus, apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun
sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan,
atau yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberitahu oleh
pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian daerah.
Setelah lewat batas-batas waktu daluwarsa tersebut di atas, tidak
dapat lagi dilakukan tuntutan ganti rugi. Oleh karena itu mengingat
batas waktu daluwarsa yang relatif singkat, maka setiap ada
kerugian negara/daerah wajib segera dilakukan pemrosesan
tuntutan ganti rugi.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 139
C. TATA CARA PENYELESAIAN KERUGIAN KEUANGAN DAERAH
1. Melalui Upaya Damai
Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui upaya damai
dilakukan apabila penggantian kerugian keuangan daerah dilakukan
secara tunai sekaligus dan angsuran dalam jangka waktu selambat-
lambatnya 2 (dua) tahun dengan menandatangani surat keterangan
tanggung jawab mutlak (SKTJM).
2. Melalui Tuntutan Perbendaharaan
Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui proses tuntutan
perbendaharaan dilakukan apabila upaya damai yang dilakukan
secara tunai sekaligus atau angsuran tidak berhasil.
Proses penuntutannya merupakan kewenangan kepala daerah
melalui majelis pertimbangan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan
ganti rugi keuangan dan barang daerah (Majelis Pertimbangan).
Apabila pembebanan perbendaharaan telah diterbitkan, kepala
daerah melakukan eksekusi keputusan dimaksud dan membantu
proses pelaksanaan penyelesaiannya.
3. Melalui Tuntutan Ganti Rugi
Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui proses tuntutan
ganti rugi dilakukan apabila upaya damai yang dilakukan secara tunai
sekaligus atau angsuran tidak berhasil. Proses penuntutannya
menjadi wewenang kepala daerah melalui majelis pertimbangan.
Tuntutan ganti rugi baru dapat dilakukan apabila :
a. Adanya perbuatan melanggar hukum, kesalahan atau kelalaian
pegawai negeri termasuk melalaikan kewajibannya yang
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 140
berhubungan dengan pelaksanaan fungsi atau status dalam
jabatannya,
b. Pegawai negeri yang bersangkutan dalam melakukan perbuatan
melanggar hukum/kesalahan itu tidak berkedudukan sebagai
bendahara,
c. Pemerintah daerah baik secara langsung maupun tidak langsung
telah dirugikan oleh perbuatan melanggar hukum/kelalaian itu.
Apabila pembebanan ganti rugi telah diterbitkan, kepala daerah
melakukan eksekusi keputusan dimaksud dan membantu proses
pelaksanaan penyelesaiannya.
4. Melalui Cara Lain
Apabila pelaku kerugian daerah ternyata ingkar janji (wanprestasi),
maka daerah dapat melakukan dengan cara tagihan secara paksa
melalui badan/instansi penagih yang berwenang setelah diputuskan
kepala daerah bahwa tagihan akan/telah macet.
D. TUNTUTAN PERBENDAHARAAN (TP)
Tuntutan perbendaharaan adalah suatu tata cara perhitungan terhadap
bendahara, jika dalam pengurusannya terdapat kekurangan
perbendaharaan dan kepada bendahara yang bersangkutan diharuskan
mengganti kerugian.
Tuntutan ini berlaku untuk bendahara yang dalam hal ini adalah seseorang
yang ditugaskan untuk menerima, menyimpan dan membayar atau
menyerahkan uang daerah, surat-surat berharga dan barang milik daerah,
serta bertanggung-jawab kepada kepala daerah. Yang merupakan objek
dari penuntutan ini adalah adanya kekurangan perbendaharaan yang pada
dasarnya merupakan selisih kurang antara saldo buku kas dengan saldo
fisik kas.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 141
1. Penyelesaian Tuntutan Perbendaharaan
Dalam hal ini dapat diselesaikan melalui 4 (empat) cara, yaitu: upaya
damai, tuntutan perbendaharaan biasa, tuntutan perbendaharaan
khusus, dan pencatatan.
a. Upaya Damai
1) Penyelesaian tuntutan perbendaharaan sedapat mungkin
dilakukan dengan upaya damai oleh bendahara/ahli
waris/pengampu, baik melalui pembayaran sekaligus (tunai)
atau angsuran. Pelaksanaan upaya damai ini dilakukan oleh
badan pengawas daerah (Bawasda). Dalam hal penyelesaian
kerugian daerah dilaksanakan melalui cara mengangsur, maka
terlebih dahulu harus dibuat surat keterangan tanggung jawab
mutlak (SKTJM).
2) Apabila pembayaran dilakukan secara angsuran, maka dapat
dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 2 (dua)
tahun sejak ditanda tanganinya SKTJM dan harus disertai
jaminan barang yang nilainya cukup.
3) Pembayaran angsuran yang dilakukan melalui pemotongan
gaji/penghasilan harus dilengkapi dengan surat kuasa
pemotongan, jaminan barang beserta surat kuasa pemilikan
yang sah, dan surat kuasa untuk menjual.
4) Apabila bendahara tidak dapat melaksanakan pembayaran
angsuran dalam waktu yang ditetapkan dalam SKTJM, maka
barang jaminan pembayaran angsuran dapat dijual sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
5) Apabila terdapat kekurangan dari hasil penjualan barang
jaminan seperti yang dimaksud di atas, maka kekurangan
tersebut tetap menjadi kewajiban bendahara yang
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 142
bersangkutan. Sebaliknya apabila terdapat kelebihan dari hasil
penjualan barang jaminan, maka akan dikembalikan kepada
bendahara yang bersangkutan.
6) Pelaksanaan keputusan tuntutan perbendaharaan (eksekusi)
dilakukan oleh majelis pertimbangan.
b. Tuntutan Perbendaharaan Biasa
1) Dilakukan atas dasar perhitungan yang diberikan oleh
Bendahara yang bersangkutan kepada kepala daerah.
2) Bendahara bertanggung jawab atas kekurangan
perbendaharaan yang terjadi dalam pengurusannya, kecuali
apabila ia dapat memberikan pembuktian bahwa ia bebas dari
kesalahan atau kelalaian atas kekurangan perbendaharaan
tersebut.
3) Apabila dalam pemeriksaan oleh bawasda terhadap bendahara
terbukti bahwa kekurangan perbendaharaan tersebut dilakukan
oleh beberapa pegawai atau atasan langsung, maka kepada
yang bersangkutan dikenakan tanggung jawab renteng sesuai
dengan bobot keterlibatan dan tanggung jawabnya, urutan
inisiatif dan kelalaian atau kesalahannya.
4) Proses tuntutan perbendaharaan dimulai dengan suatu
pemberitahuan tertulis dari kepala daerah kepada pihak yang
akan dituntut, dengan menyebutkan :
a) Identitas pelaku.
b) Jumlah kekurangan perbendaharaan yang diderita oleh
daerah yang harus diganti.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 143
c) Sebab-sebab serta alasan penuntutan dilakukan.
d) Tenggang waktu 14 (empat belas) hari yang diberikan untuk
mengajukan keberatan/pembelaan diri.
5) Apabila bendahara tidak mengajukan keberatan/pembelaan diri
sampai dengan batas waktu yang ditetapkan atau telah
mengajukan pembelaan diri tetapi tidak dapat membuktikan
bahwa ia bebas sama sekali dari kesalahan/kelalaian, maka
kepala daerah menetapkan surat keputusan pembebanan.
6) Berdasarkan surat keputusan pembebanan kepala daerah,
bagi bendahara yang telah mengajukan keberatan tertulis akan
tetapi kepala daerah tetap berpendapat bahwa yang
bersangkutan salah/lalai dan dengan demikian tetap
membebankan penggantian kekurangan perbendaharaan
kepadanya, dapat mengajukan permohonan banding kepada
pejabat yang berwenang selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari setelah diterima surat keputusan pembebanan oleh yang
bersangkutan.
7) Keputusan kepala daerah mengenai pembebanan kekurangan
perbendaharaan mempunyai kekuatan hukum yang
pelaksanaannya dapat dilakukan dengan cara pemotongan gaji
dan penghasilan lainnya. Pelaksanaan pemotongan gaji dan
penghasilan lainnya dapat dilakukan dengan cara mengangsur
dan dilunasi selambat-lambatnya dalam 2 (dua) tahun.
8) Keputusan pembebanan tetap dilaksanakan, meskipun yang
bersangkutan naik banding.
9) Keputusan tingkat banding dari pejabat yang berwenang dapat
berupa memperkuat atau membatalkan surat keputusan
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 144
pembebanan atau merubah besarnya jumlah kerugian yang
harus dibayar oleh bendahara.
c. Tuntutan Perbendaharaan Khusus
1) Apabila seorang bendahara meninggal dunia, melarikan diri
atau berada di bawah pengampuan dan lalai membuat
perhitungan setelah ditegur 3 (tiga) kali berturut-turut, maka
pada kesempatan pertama atasan langsung atas nama kepala
daerah melakukan tindakan pengamanan untuk menjamin
kepentingan daerah berupa :
a) Buku kas dan semua buku bendahara diberi garis penutup
b) Semua uang, surat dan barang berharga, surat-surat bukti
maupun buku-buku disimpan/dimasukkan ke dalam lemari
besi dan disegel. Tindakan-tindakan di atas harus
dituangkan dalam berita acara penyegelan dan disaksikan
oleh ahli waris (bagi yang meninggal dunia), keluarga dekat
(bagi yang melarikan diri) atau pengampu/kurator (dalam
hal bendahara berada di bawah pengampuan).
2) Atas dasar laporan atasan langsung, kepala daerah menunjuk
pegawai (atas saran majelis pertimbangan) yang ditugaskan
untuk membuat perhitungan ex-officio. Biaya pembuatan
perhitungan ex-officio dibebankan kepada bendahara yang
bersangkutan, ahli waris atau pengampunya. Besarnya biaya
pembuatan perhitungan ex-officio ditetapkan oleh kepala
daerah.
3) Hasil perhitungan ex-officio satu eksemplar diberikan kepada
pengampu atau ahli waris atau bendahara yang tidak membuat
perhitungan dan dalam batas waktu 14 (empat belas) hari
diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 145
4) Tata cara tuntutan perbendaharaan khusus yang
dipertanggungawabkan terhadap ahli waris (bagi bendahara
yang meninggal dunia), keluarga terdekat (bagi bendahara
yang melarikan diri), pengampu (bagi bendahara yang di
bawah perwalian), atau bendahara yang tidak membuat
perhitungan, apabila terjadi kekurangan perbendaharaan
mengikuti ketentuan-ketentuan sebagaimana yang berlaku
pada tuntutan perbendaharaan biasa.
d. Pencatatan
1) Kepala daerah menerbitkan surat keputusan pencatatan jika
proses tuntutan perbendaharaan belum dapat dilaksanakan
karena:
a) bendaharawan meninggal dunia tanpa ada ahli waris yang
diketahui
b) ada ahli waris tetapi tidak dapat dimintakan
pertanggungjawabannya
c) bendaharawan melarikan diri dan tidak diketahui alamatnya
2) Dengan diterbitkannya surat keputusan pencatatan, kasus
yang bersangkutan dikeluarkan dari administrasi pembukuan.
3) Pencatatan yang telah dilakukan sewaktu-waktu dapat ditagih
apabila :
a) yang bersangkutan diketahui alamatnya
b) ahli waris dapat dimintakan pertanggungjawabannya
c) upaya penyetoran ke kas daerah berhasil ditarik dari kas
negara
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 146
E. TUNTUTAN GANTI RUGI (TGR)
Tuntutan ganti rugi adalah suatu proses tuntutan terhadap pegawai dalam
kedudukannya bukan sebagai bendahara, dengan tujuan menuntut
penggantian kerugian disebabkan oleh perbuatannya melanggar hukum
dan/atau melalaikan kewajibannya atau tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana mestinya sehingga baik secara langsung maupun tidak
langsung daerah menderita kerugian.
Yang termasuk dalam klasifikasi pegawai disini adalah :
1. Pegawai daerah
2. Pegawai negeri/pegawai daerah yang diperbantukan/dipekerjakan
3. Pegawai perusahaan daerah
4. Pekerja daerah
5. ABRI/purnawirawan ABRI yang dikaryakan/dipekerjakan pada daerah
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan TGR ini
adalah sebagai berikut :
1. Penyelesaian Tuntutan Ganti Rugi
Dalam hal ini dapat diselesaikan melalui 3 (tiga) cara, yaitu upaya
damai, tuntutan ganti rugi biasa, dan pencatatan.
a. Upaya Damai
1) Penyelesaian kerugian daerah sedapat mungkin dilakukan
dengan upaya damai oleh pegawai/ahli waris baik dengan
pembayaran sekaligus (tunai) atau angsuran. Pelaksanaan
upaya damai ini dilakukan oleh badan pengawas daerah.
2) Dalam keadaan terpaksa yang bersangkutan dapat melakukan
dengan cara angsuran selambat-lambatnya selama 2 (dua)
tahun sejak ditandatanganinya surat keterangan tanggung
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 147
jawab mutlak (SKTJM) dan harus disertai jaminan barang yang
nilainya cukup.
3) Pembayaran angsuran yang dilakukan melalui pemotongan
gaji/penghasilan harus dilengkapi dengan surat kuasa
pemotongan, jaminan barang beserta surat kuasa pemilikan
yang sah, dan surat kuasa untuk menjual
4) Apabila pegawai tidak dapat melaksanakan pembayaran
angsuran dalam waktu yang ditetapkan dalam SKTJM, maka
barang jaminan pembayaran angsuran dapat dijual sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
5) Apabila terdapat kekurangan dari hasil penjualan barang
jaminan seperti yang dimaksud di atas, maka kekurangan
tersebut tetap menjadi kewajiban pegawai yang bersangkutan.
Sebaliknya apabila terdapat kelebihan dari hasil penjualan
barang jaminan, maka akan dikembalikan kepada pegawai
yang bersangkutan.
6) Pelaksanaan keputusan tuntutan ganti rugi (eksekusi)
dilakukan oleh majelis pertimbangan.
b. Tuntutan Ganti Rugi Biasa
1) Kerugian daerah yang dituntut dengan TGR adalah diakibatkan
oleh perbuatan melanggar hukum atau perbuatan melalaikan
kewajiban atau tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
mestinya yang dipersalahkan kepadanya, serta ada
hubungannya dengan pelaksanaan fungsi ataupun dengan
status jabatannya baik langsung maupun tidak langsung.
2) TGR dilakukan atas dasar pada kenyataan yang sebenarnya
dari hasil pengumpulan bahan-bahan bukti dan penelitian
bawasda terhadap pegawai yang bersangkutan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 148
3) Semua pegawai daerah bukan bendahara atau ahli warisnya,
apabila merugikan daerah wajib dikenakan TGR.
4) Pelaksanaan TGR sebagai akibat perbuatan melanggar hukum
atau melalaikan kewajiban yang dipersalahkan kepadanya
dan/atau tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya
diserahkan penyelesaiannya melalui tim majelis pertimbangan.
5) Proses tuntutan ganti rugi dimulai dengan suatu
pemberitahuan tertulis dari kepala daerah kepada pegawai
negeri yang bersangkutan, dengan menyebutkan :
a) Identitas pelaku
b) Jumlah kerugian yang diderita daerah yang harus diganti
c) Sebab-sebab serta alasan penuntutan dilakukan
d) Tenggang waktu yang diberikan untuk mengajukan
pembelaan diri selama 14 (empat belas) hari, terhitung
sejak diterimanya pemberitahuan oleh pegawai yang
bersangkutan.
6) Apabila pegawai yang diharuskan mengganti kerugian dalam
waktu 14 (empat belas) hari tidak mengajukan
keberatan/pembelaan diri atau atau telah mengajukan
pembelaan diri tetapi tidak dapat membebaskannya sama
sekali dari kesalahan/kelalaian, kepala daerah menetapkan
surat keputusan pembebanan.
7) Berdasarkan surat keputusan pembebanan, kepala daerah
melaksanakan penagihan atas pembayaran ganti rugi kepada
yang bersangkutan.
8) Keputusan pembebanan ganti rugi tersebut pelaksanaannya
dapat dilakukan dengan cara memotong gaji dan penghasilan
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 149
lainnya yang bersangkutan, memberi izin untuk mengangsur
dan melunasinya selambat-lambatnya selama 2 (dua) tahun,
dan apabila dianggap perlu dapat meminta bantuan kepada
yang berwajib untuk dilakukan penagihan dengan paksa.
2) Permohonan banding kepada pejabat yang berwenang dapat
diajukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterima surat keputusan pembebanan oleh yang
bersangkutan.
3) Keputusan tingkat banding dari pejabat yang berwenang dapat
berupa memperkuat atau membatalkan surat keputusan
pembebanan, atau menambah/mengurangi besarnya jumlah
kerugian yang harus dibayar oleh yang bersangkutan.
4) Apabila permohonan banding diterima, kepala daerah
menerbitkan surat keputusan tentang peninjauan kembali.
c. Pencatatan
1) Pegawai negeri yang meninggal dunia tanpa ahli waris atau
melarikan diri tidak diketahui alamatnya, dalam pencatatan
wajib dikenakan TGR berdasarkan keputusan kepala daerah
tentang pencatatan TGR setelah mendapat pertimbangan
majelis.
2) Bagi pegawai yang melarikan diri, TGR tetap dilakukan
terhadap ahli warisnya dengan memperhatikan harta
peninggalan yang dihasilkan dari perbuatan yang
menyebabkan kerugian daerah tersebut.
3) Dengan diterbitkannya surat keputusan pencatatan, kasus
yang bersangkutan dikeluarkan dari administrasi pembukuan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 150
4) Pencatatan yang telah dilakukan sewaktu-waktu dapat ditagih
apabila yang bersangkutan diketahui alamatnya.
d. Penyelesaian Kerugian Barang Daerah
1) Pegawai yang bertanggung jawab atas terjadinya kehilangan
barang daerah (bergerak/tidak bergerak) dapat melakukan
penggantian dalam bentuk uang atau barang yang sesuai
dengan cara penggantian kerugian yang telah ditetapkan
sesuai ketentuan yang berlaku.
2) Penggantian kerugian dalam bentuk barang dilakukan khusus
terhadap barang bergerak berupa kendaraan bermotor roda 4
(empat) dan roda 2 (dua) yang umur pembeliannya 1 sampai 3
tahun.
3) Penggantian kerugian dalam bentuk uang dapat dilakukan
terhadap barang tidak bergerak atau yang bergerak selain
yang dimaksudkan di atas dengan cara tunai atau angsuran
selama 2 (dua) tahun.
4) Nilai taksiran jumlah harga benda yang akan diganti rugi dalam
bentuk uang maupun barang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 151
F. DALUWARSA TP/TGR
1. Tuntutan Perbendaharaan (TP)
a. TP Biasa dinyatakan daluwarsa (lewat waktu) apabila baru
diketahui setelah lewat 30 (tiga puluh) tahun sejak kekurangan
kas/barang tersebut diketahui, dalam kasus dimaksud tidak
dilakukan upaya-upaya damai.
b. TP khusus terhadap ahli waris atau yang berhak lainnya
dinyatakan daluwarsa (lewat waktu) apabila jangka waktu 3 (tiga)
tahun telah berakhir setelah :
1) Meninggalnya bendahara tanpa adanya pemberitahuan.
2) Jangka waktu untuk mengajukan keberatan berakhir,
sedangkan surat keputusan pembebanan tidak pernah
ditetapkan.
2. Tuntutan Ganti Rugi Biasa
TGR dinyatakan daluwarsa setelah lewat 5 (lima) tahun sejak akhir
tahun kerugian daerah diketahui atau setelah 8 (delapan) tahun sejak
akhir tahun dimana kerugian tersebut terjadi/perbuatan tersebut
dilakukan.
Contoh :
a. Apabila perbuatan/kelalaian dilakukan dalam tahun 1990 dan
diketahui dalam tahun 1991, maka kerugian keuangan daerah
tersebut mengalami daluwarsa 5 tahun sesudah tahun 1991 atau
akhir tahun anggaran 1996/1997. Tetapi apabila baru diketahui
dalam tahun 1994 maka kerugian daerah tersebut mengalami
daluwarsa 8 tahun sesudah tahun 1990 atau akhir tahun anggaran
1998/1999 dan bukan 5 tahun sesudah tahun anggaran 1994/1995
atau akhir tahun anggaran 1999/2000. Selanjutnya apabila
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 152
kerugian daerah akibat dari perbuatan/kelalaian berturut-turut,
waktu 8 tahun tersebut dimulai pada akhir tahun
perbuatan/kelalaian yang terakhir dilakukan. Dalam menentukan
besarnya kerugian daerah dihitung kerugian daerah yang terjadi 8
(delapan) tahun sebelum tahun penggantian kerugian daerah
dibebankan.
b. Apabila perbuatan/kelalaian dilakukan berturut-turut sejak tahun
1985 sampai dengan tahun 1995, maka kerugian daerah tersebut
akan daluwarsa 8 tahun sesudah 1995 atau tahun 2003. Apabila
pembebanan ganti rugi dilakukan dalam tahun 1998 maka jumlah
ganti rugi hanya terbatas sampai jumlah kerugian yang timbul
sejak tahun 1990 saja, sedangkan kerugian tahun 1985 sampai
dengan 1989 tidak diperhitungkan.
G. PENGHAPUSAN
Apabila bendahara/pegawai ataupun ahli waris/keluarga terdekat/
pengampu yang berdasarkan keputusan kepala daerah diwajibkan
mengganti kerugian tidak mampu membayar ganti rugi, maka yang
bersangkutan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada
kepala daerah untuk penghapusan atas kewajibannya. Berdasarkan
permohonan tersebut kepala daerah memerintahkan majelis
pertimbangan untuk melakukan penelitian. Apabila ternyata yang
bersangkutan memang tidak mampu, maka setelah mendapatkan
persetujuan dari DPRD selanjutnya kepala daerah dengan surat keputusan
dapat menghapuskan TP/TGR baik sebagian ataupun seluruhnya.
Penghapusan yang telah dilakukan dapat ditagih kembali apabila
dikemudian hari terbukti bahwa bendahara/pegawai/ahli waris yang
bersangkutan ternyata mampu.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 153
Surat keputusan penghapusan baru dapat dilaksanakan setelah
memperoleh pengesahan dari menteri dalam negeri.
Berdasarkan pertimbangan efisiensi, maka kerugian daerah yang
bernilai sampai dengan Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dapat
diproses penghapusannya bersamaan dengan penetapan peraturan
daerah tentang Perhitungan APBD tahun anggaran yang berkenaan.
H. PEMBEBASAN
Dalam hal bendahara atau pegawai bukan bendahara meninggal dunia
tanpa ahli waris atau tidak layak untuk ditagih, yang berdasarkan surat
keputusan kepala daerah diwajibkan mengganti kerugian daerah, maka
majelis pertimbangan memohon secara tertulis kepada kepala daerah yang
bersangkutan untuk membebaskan sebagian/seluruh kewajiban yang
harus dipenuhi, dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari
DPRD dan menteri dalam negeri.
I. PENYETORAN
Penyetoran/pengembalian secara tunai/sekaligus atau melalui angsuran
atas kekurangan perbendaharaan/kerugian daerah atau hasil penjualan
barang jaminan/kebendaan harus melalui kas daerah atau
dinas/lembaga/satuan kerja daerah yang ditunjuk oleh pemerintah daerah.
Dalam kasus kerugian daerah dimana penyelesaiannya diserahkan melalui
pengadilan, kepala daerah berupaya agar putusan pengadilan menyatakan
bahwa barang yang dirampas diserahkan kepada daerah dan selanjutnya
hasil penjualannya disetorkan ke kas daerah.
Khusus penyetoran kerugian daerah yang berasal dari badan usaha milik
daerah (BUMD), setelah diterima kas daerah segera dipindahbukukan ke
rekening BUMD yang bersangkutan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 154
J. PELAPORAN
Bupati/walikota wajib melaporkan perkembangan pelaksanaan
penyelesaian kerugian daerah kepada gubernur setiap semester.
Selanjutnya gubernur wajib melaporkan perkembangan pelaksanaan
penyelesaian kerugian daerah untuk tingkat provinsi/kabupaten/kota yang
berada di wilayahnya setiap semester kepada menteri dalam negeri cq.
direktur jenderal pemerintahan umum dan otonomi daerah untuk dijadikan
bahan pemantauan.
K. LAIN-LAIN
Apabila bendahara atau pegawai bukan bendahara berdasarkan laporan
dan pemeriksaan terbukti telah merugikan daerah, maka kepala daerah
dapat melakukan hukuman disiplin berupa pembebasan yang
bersangkutan dari jabatannya dan segera menunjuk pejabat sementara
untuk melakukan kegiatannya.
Kerugian daerah yang tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah daerah
dapat diserahkan penyelesaiannya melalui badan peradilan dengan
mengajukan gugatan perdata. Apabila proses melalui badan peradilan ini
tidak terselesaikan, maka permasalahan ini dikembalikan kepada daerah
dan penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cara pencatatan atau
penghentian/penghapusan.
Keputusan pengadilan untuk menghukum atau membebaskan yang
bersangkutan dari tindak pidana, tidak menggugurkan hak daerah untuk
tetap melaksanakan TP/TGR.
L. MAJELIS PERTIMBANGAN TUNTUTAN PERBENDAHARAAN DAN TUNTUTAN GANTI RUGI KEUANGAN DAN BARANG DAERAH
Untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan
penyimpangan pengelolaan keuangan daerah maka dibentuklah majelis
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 155
pertimbangan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi keuangan dan
barang daerah. Majelis pertimbangan ini pada dasarnya adalah para
pejabat yang ex-officio ditunjuk dan ditetapkan oleh kepala daerah yang
bertugas membantu kepala daerah dalam penyelesaian kerugian daerah.
Adapun susunan majelis pertimbangan adalah sebagai berikut :
1. Tingkat Provinsi
Ketua : Sekwilda
Wakil Ketua I : Kepala Bawasda Provinsi
Wakil Ketua II : Asisten Administrasi dan Umum
Sekretaris : Kepala Biro Keuangan
Anggota : a. Kepala Biro Perlengkapan
b. Kepala Biro Hukum
c. Kepala Biro Kepegawaian
2. Tingkat Kabupaten/Kota
Ketua : Sekwilda
Wakil Ketua I : Kepala Bawasda Kabupaten/Kota
Wakil Ketua II : Asisten Sekwilda Bidang Keuangan, Barang
dan Kepegawaian
Sekretaris : Kepala Bagian Keuangan
Anggota : a. Kepala Bagian Perlengkapan
b. Kepala Bagian Hukum
c. Kepala Bagian Kepegawaian
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 156
Tugas pokok dari majelis pertimbangan yang ditetapkan adalah sebagai
berikut:
1. Mengumpulkan, menatausahakan, menganalisis dan mengevaluasi
kasus TP/TGR yang diterima.
2. Memproses dan melaksanakan eksekusi TP/TGR.
3. Memberikan pendapat, saran dan pertimbangan kepada kepala
daerah pada setiap kasus yang menyangkut TP/TGR termasuk
pembebanan, banding, pencatatan, pembebasan, penghapusan,
hukuman disiplin, penyerahan melalui badan peradilan. Penyelesaian
kerugian daerah apabila terjadi hambatan dan penagihan melalui
instansi terkait.
4. Menyiapkan laporan kepala daerah mengenai perkembangan
penyelesaian kasus kerugian daerah secara periodik kepada menteri
dalam negeri cq. direktur jenderal PUOD, tembusan kepada BPK,
sekretariat jenderal dan inspektorat jenderal departemen dalam
negeri.
M. TEKNIS DAN PROSEDUR PENYELESAIAN TP/TGR KEUANGAN DAN BARANG DAERAH MELALUI MAJELIS PERTIMBANGAN TP/TGR (MISALNYA UNTUK TINGKAT PROVINSI)
1. Laporan kasus kerugian daerah dilaporkan oleh kepala unit/satuan
kerja yang bersangkutan kepada majelis melalui kepala sekretariat.
2. Anggota sekretariat majelis melakukan :
a. Penelitian kelengkapan berkas laporan dan pencatatan serta
penomoran berkas laporan oleh staf administrasi.
b. Pembahasan laporan oleh tim pembahas yang dipimpin oleh
ketua tim pembahas yang ditunjuk oleh kepala sekretariat.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 157
3. Kepala sekretariat menyampaikan laporan kepada sekretaris majelis.
4. Sekretaris majelis meneliti/menganalisis berkas laporan hasil
pembahasan dan selanjutnya menyampaikan berkas laporan kepada
majelis.
5. Majelis melaksanakan pemeriksaan berkas perkara dan pengambilan
keputusan dalam proses tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti
rugi yang dipimpin oleh ketua majelis :
a. Keputusan majelis ditandatangani oleh ketua, wakil ketua,
sekretaris dan seluruh anggota majelis.
b. Keputusan majelis disertai konsep surat keputusan gubernur
kepala daerah disampaikan oleh majelis kepada gubernur kepala
daerah.
6. Gubernur/kepala daerah menganalisis keputusan majelis dan
menandatangani surat keputusan untuk selanjutnya diserahkan
kepada majelis.
7. Majelis menyampaikan surat keputusan gubernur/kepala daerah
kepada bendahara/pegawai yang bersangkutan melalui kepala
sekretariat.
8. Kepala sekretariat menyampaikan (setelah terlebih dahulu dicatat
dalam (buku register) surat keputusan gubernur/kepala daerah
kepada bendahara/pegawai yang bersangkutan melalui kepala
unit/satuan kerja.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 158
N. LATIHAN
1. Apabila terjadi kerugian terhadap aset daerah, langkah pertamanya
adalah:
a. Tuntutan ganti rugi.
b. Tuntutan perbendaharaan.
c. Upaya damai.
d. Tuntutan ganti rugi khusus.
2. Apabila seorang kasir melarikan diri, maka dilakukan proses :
a. Tuntutan perbendaharaan khusus.
b. Tuntutan hukuman jabatan.
c. Tuntutan ganti rugi.
d. Tuntutan khusus.
3. Apabila TGR tidak dapat dijalankan dan diberikan “pembebasan”, hal
tersebut terlebih dahulu disetujui oleh :
a. presiden.
b. gubernur dan bupati/walikota.
c. DPRD dan mendagri.
d. gubernur dan mendagri.
4. Apabila ternyata pegawai daerah terbukti bersalah dan merugikan
keuangan daerah, maka kepala daerah dapat melakukan :
a. Hukuman percobaan.
b. Hukuman disiplin.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 159
c. Hukuman kurungan.
d. Hukuman denda.
5. Dalam hal daerah telah menetapkan “penghapusan” terhadap
penggantian kerugian maka daerah :
a. Masih dapat menagih kembali.
b. Tidak dapat menagih kembali.
c. Dapat menagih lagi sebesar 50% dari nilai kerugian daerah.
d. Dapat menagih kembali berdasarkan persetujuan DPRD.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 160
DAFTAR PUSTAKA
1. Gade, Muhammad. 1998. Akuntansi Pemerintahan. Edisi Revisi. Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
2. Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 1997 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1997.
3. Kansil CST, Prof. Drs., S.H.dan Kansil Christine S.T., S.H., M.H. 2001,
Kitab Undang-Undang Otonomi Daerah 1999 – 2001; Kitab 2. Jakarta:
PT Pradnya Paramita.
4. Modul-Modul Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
5. Modul Sistem Administrasi Keuangan Daerah II , Edisi Keempat, 2004.
6. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan
Pinjaman dan/atau Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.
7. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah.
8. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan
Kinerja Instansi Pemerintah.
9. Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan
Piutang Negara/Daerah.
10. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum.
11. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan.
12. Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah.
13. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 161
14. Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi
Keuangan Daerah.
15. Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah kepada Daerah.
16. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan
Pertanggung Jawaban Keuangan Daerah.
17. Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan
Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
18. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah
Kumulatif APBN dan APBD.
19. Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
20. Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
21. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah.
22. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
23. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Ganti
Rugi dan Tuntutan Perbendaharaan Keuangan dan Barang Daerah.
24. Soediyono, Prof. DR. MBA. 1989. Ekonomi Makro, Pengantar Analisis
Pendapatan Nasional. Edisi ke-5. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
25. Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
26. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
27. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.
28. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 162
29. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
30. Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
31. Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang
No. 18 Tahun 1997.
32. Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak.
33. Undang-Undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa.
34. Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 163
DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN
1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, dan/atau walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4. Daerah Otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang
termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan
hak dan kewajiban daerah tersebut.
6. Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
7. APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 164
bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan
peraturan daerah.
8. Peraturan Daerah adalah peraturan yang dibentuk oleh DPRD dengan
persetujuan bersama kepala daerah, termasuk Qanun yang berlaku di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan peraturan daerah provinsi
(perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua.
9. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi
daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota.
10. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah adalah kepala
daerah yang karena jabatannya mempunyai kewenangan
menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan daerah.
11. PPKD (Pejabat Pengelola Keuangan Daerah) adalah kepala satuan kerja
pengelola keuangan daerah yang mempunyai tugas melaksanakan
pengelolaan APBD dan bertindak sebagai bendahara umum daerah.
12. BUD (Bendahara Umum Daerah) adalah PPKD yang bertindak dalam
kapasitas sebagai bendahara umum daerah.
13. Kuasa BUD adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan tugas
bendahara umum daerah.
14. SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) adalah perangkat daerah pada
pemerintah daerah selaku pengguna anggaran/barang.
15. Unit Kerja adalah bagian SKPD yang melaksanakan satu atau beberapa
program.
16. PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) adalah pejabat pada unit
kerja SKPD yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu
program sesuai dengan bidang tugasnya.
17. PPK-SKPD (Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD) adalah pejabat
yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada SKPD.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 165
18. Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan
penggunaan anggaran untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi SKPD
yang dipimpinnya.
19. Kuasa Pengguna Anggaran adalah pejabat yang diberi kuasa untuk
melaksanakan sebagian kewenangan pengguna anggaran dalam
melaksanakan sebagian tugas dan fungsi SKPD.
20. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan
barang milik daerah.
21. Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang
ditentukan oleh kepala daerah untuk menampung seluruh penerimaan
daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah.
22. Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan uang
daerah yang ditentukan oleh kepala daerah untuk menampung seluruh
penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank
yang ditetapkan.
23. Bendahara Penerimaan adalah pejabat fungsional yang ditunjuk untuk
menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan
mempertanggungjawabkan uang pendapatan daerah dalam rangka
pelaksanaan APBD pada SKPD.
24. Bendahara Pengeluaran adalah pejabat fungsional yang ditunjuk
menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan
mempertanggung jawabkan uang untuk keperluan belanja daerah dalam
rangka pelaksanaan APBD pada SKPD.
25. Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau
lebih entitas akuntansi, yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa
laporan keuangan.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 166
26. Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran/
pengguna barang dan oleh karenanya wajib menyelenggarakan akuntansi
dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada entitas
pelaporan.
27. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
28. Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
29. Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih.
30. Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih.
31. Surplus Anggaran Daerah adalah selisih lebih antara pendapatan daerah
dan belanja daerah.
32. Defisit Anggaran Daerah adalah selisih kurang antara pendapatan
daerah dan belanja daerah.
33. Pembiayaan Daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar
kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada
tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran
berikutnya.
34. SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) adalah selisih lebih realisasi
penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran.
35. SiKPA (Sisa Kurang Perhitungan Anggaran) adalah selisih kurang
realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode
anggaran.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 167
36. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah
menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari
pihak lain sehingga daerah dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
37. Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah adalah pendekatan
penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan
terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu
tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat
keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan
dalam prakiraan maju.
38. Prakiraan Maju (forward estimate) adalah perhitungan kebutuhan dana
untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna
memastikan kesinambungan program dan kegiatan yang telah disetujui
dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya.
39. Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah
dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan
kualitas yang terukur.
40. Penganggaran Terpadu (unified budgeting) adalah penyusunan
rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk
seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintahan yang
didasarkan pada prinsip pencapaian efisiensi alokasi dana.
41. Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan dibidang tertentu yang
dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
42. Program adalah penjabaran kebijakan SKPD dalam bentuk upaya yang
berisi satu atau lebih kegiatan dengan menggunakan sumber daya yang
disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi SKPD.
43. Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau
lebih unit kerja pada SKPD sebagai bagian dari pencapaian sasaran
terukur pada suatu program dan terdiri dari sekumpulan tindakan
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 168
pengerahan sumber daya baik yang berupa personal (sumber daya
manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau
kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut
sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam
bentuk barang/jasa.
44. Sasaran (target) adalah hasil yang diharapkan dari suatu program atau
keluaran yang diharapkan dari suatu kegiatan.
45. Keluaran (output) adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan
yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan
program dan kebijakan.
46. Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya
keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program.
47. RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) adalah
dokumen perencanaan untuk periode lima tahun.
48. RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) adalah dokumen
perencanaan daerah untuk periode satu tahun.
49. TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) adalah tim yang dibentuk
dengan keputusan kepala daerah dan dipimpin oleh sekretaris daerah
yang mempunyai tugas menyiapkan serta melaksanakan kebijakan kepala
daerah dalam rangka penyusunan APBD yang anggotanya terdiri pejabat
perencana daerah, PPKD, dan pejabat lainnya sesuai dengan kebutuhan.
50. RKA-SKPD (Rencana Kerja dan Anggaran SKPD) adalah dokumen
perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan SKPD
serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya.
51. KUA (Kebijakan Umum APBD) adalah dokumen yang memuat kebijakan
bidang pendapatan,belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang
mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 169
52. PPAS (Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara) merupakan program
prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada
SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan RKA-
SKPD.
53. DPA-SKPD (Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD) merupakan
dokumen yang memuat pendapatan dan belanja setiap SKPD yang
digunakan sebagai dasar pelaksanaan oleh pengguna anggaran.
54. SPP (Surat Permintaan Pembayaran) adalah dokumen yang diterbitkan
oleh pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan/
bendahara pengeluaran untuk mengajukan permintaan pembayaran.
55. Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) adalah dokumen yang digunakan
sebagai dasar pencairan dana yang diterbitkan oleh BUD berdasarkan
SPM.
56. Surat Perintah Membayar (SPM) adalah dokumen yang digunakan/
diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk
penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD.
57. SPM-LS (Surat Perintah Membayar Langsung) adalah dokumen yang
diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk
penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD kepada pihak
ketiga.
58. UP (Uang Persediaan) adalah sejumlah uang tunai yang disediakan untuk
satuan kerja dalam melaksanakan kegiatan operasional sehari-hari.
59. SPM-UP (Surat Perintah Membayar Uang Persediaan) adalah dokumen
yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk
penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD yang dipergunakan
sebagai uang persediaan untuk mendanai kegiatan operasional kantor
sehari-hari.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 170
60. SPM-GU (Surat Perintah Membayar Ganti Uang Persediaan) adalah
dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna
anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD
yang dananya dipergunakan untuk mengganti uang persediaan yang telah
dibelanjakan.
61. SPM-TU (Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan) adalah dokumen yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-
SKPD, karena kebutuhan dananya melebihi dari jumlah batas pagu uang
persediaan yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan.
62. Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada
pemerintah daerah dan/atau hak pemerintah daerah yang dapat dinilai
dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan atau akibat lainnya yang sah.
63. Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh
atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
64. Utang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar pemerintah daerah
dan/atau kewajiban pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang
berdasarkan peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau berdasarkan
sebab lainnya yang sah.
65. Dana Cadangan adalah dana yang disisihkan untuk menampung
kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi
dalam satu tahun anggaran.
66. Sistem Pengendalian Intern Keuangan Daerah merupakan suatu proses
yang berkesinambungan yang dilakukan oleh lembaga/badan/unit yang
mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengendalian melalui audit dan
evaluasi, untuk menjamin agar pelaksanaan kebijakan pengelolaan
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 171
keuangan daerah sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-
undangan.
67. Kerugian Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang
yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum
baik sengaja maupun lalai.
68. BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) adalah SKPD/unit kerja pada
SKPD di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa
yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam
melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas.
69. SPD (Surat Penyediaan Dana) adalah dokumen yang menyatakan
tersedianya dana untuk melaksanakan kegiatan sebagai dasar penerbitan
SPP.
70. Investasi adalah penggunaan aset untuk memperoleh manfaat ekonomis
seperti bunga, dividen, royalti, manfaat sosial dan/atau manfaat lainnya
sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka
pelayanan kepada masyarakat.
71. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) adalah surat yang oleh
wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau
pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta
dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan Daerah.
72. SKPD (Surat Ketetapan Pajak Daerah) adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak.
73. SKPDN (Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil) adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II
Pusdiklatwas BPKP – 2007 172
74. SKPDKB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar) adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah
kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
75. SKPDLB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar) adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau
tidak seharusnya terutang.
76. SSPD (Surat Setoran Pajak Daerah) adalah surat yang oleh wajib pajak
digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang
terutang ke kas daerah atau ke tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
kepala daerah.
77. SKPDKBT (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah
pajak yang telah ditetapkan.
78. STPD (Surat Tagihan Pajak Daerah) adalah surat untuk melakukan
tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
79. SKRD (Surat Ketetapan Retribusi Daerah) adalah surat ketetapan
retribusi yang menentukan besarnya pokok retribusi.
80. SKRDLB (Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar) adalah surat
ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran
retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang
terutang atau tidak seharusnya terutang.
top related