restrukturisasi kronologi al-qur’an: menelusuri …
Post on 02-Oct-2021
24 Views
Preview:
TRANSCRIPT
534
RESTRUKTURISASI KRONOLOGI AL-QUR’AN: MENELUSURI WACANA
PENANGGALAN AL-QUR’AN DALAM TRADISI KESARJANAAN BARAT
Yusuf Hanafi
Universitas Negeri Malang
Yusufhanafi.fs@um.ac.id
Abstrak: Kebutuhan akan upaya penanggalan (relokasi) kronologi al-Qur‟an
menjadi sangat mendesak untuk memahami evolusi gagasan al-Qur‟an. Upaya ini
dibutuhkan, terutama sebagai pijakan dasar bagi tafsir tematik (tafsir mawdu’iy).
Sekalipun asumsi dasar tetap dipertahankan bahwa al-Qur‟an turun bukan sebagai
kitab ilmiah, tetapi upaya relokasi kronologi ini sangat membantu untuk memahami
berbagai tema yang terdapat dalam al-Qur‟an. Berbagai aransemen kronologis yang
dikemukakan para sarjana—baik Muslim maupun Barat—memiliki kelemahan
tertentu. Fakta ini mengimplikasikan kebutuhan akan sistem kronologi yang baru.
Sistem kronologi ideal semestinya didasarkan atas: pertama, unit wahyu orisinal
adalah bagian-bagian pendek al-Qur‟an yang dapat berupa potongan ayat, ayat,
rangkaian ayat, atau surat-surat pendek. Kedua, dalam menetapkan penanggalan
suatu unit wahyu orisinal, perkembangan misi kenabian Muhammad SAW dan
komunitas Muslim pada masa pewahyuan al-Qur‟an mesti menjadi rujukan historis
yang pasti, sehingga penanggalannya dapat ditetapkan secara lebih tepat.
Penyusunan kronologi al-Qur‟an yang dicita-citakan itu membutuhkan upaya-upaya
kesarjanaan yang serius dan memakan waktu lama, terlebih lagi untuk kepentingan
tafsir-tafsir tematik. Tulisan ini hadir untuk tujuan tersebut.
Kata Kunci: Kronologi Al-Qur‟an, penanggalan Al-Qur‟an, tradisi
kesarjanaan Barat.
Pendahuluan
Al-Qur‟an turun secara bertahap (Q.S. 25 [al-Furqan]:32-33) dalam rentang
masa kenabian Muhammad SAW, bukan pada masyarakat yang hampa budaya (Shihab,
1992: 34), tetapi turun dalam konteks kesejarahan Arabia yang konkret. Al-Qur‟an
tampil sebagai rekaman respons Ilahi atas situasi-situasi kemanusiaan, keagamaan,
keyakinan, weltanschaung, dan adat istiadat—walaupun lebih banyak tampil dalam
konteks Arabia pra dan masa al-Qur‟an—yang tercermin dalam perkembangan tema
atau misi kenabian Muhammad SAW dalam urutan kronologisnya (Rahman, 1991: xiii).
Berbagai doktrin utama dan peraturan untuk kehidupan pribadi dan kolektif
kaum Muslim—yang tidak tersusun secara sistematis dalam al-Qur‟an—diperkenalkan
secara gradual selaras dengan perkembangan komunitas Muslim. Oleh karena itu,
memahami konteks kesejarahan al-Qur‟an dalam urutan kronologisnya, merupakan
suatu keharusan (Amal dkk, 1989: 87).
Al-Qur‟an yang terbukukan dalam mushaf Uthmani tidaklah tersusun dalam
urutan pewahyuan. Oleh karena itu, sejak abad-abad pertama Islam, para sarjana
Muslim telah menyadari pentingnya pengetahuan tentang penanggalan atau susunan
kronologis bagian-bagian al-Qur‟an dalam rangka memahami pesan seutuhnya dari
kitab suci tersebut (al-Suyuti, t.t.: 58; al-Zarqani, 1988: 357-377; al-Qaththan, 1973:
118-145; al-Shalih, 1988: 74-89). Al-Zarkashi dan al-Suyuti, misalnya, mengatakan
bahwa tanpa dibekali pengetahuan kronologi yang memadai, seseorang tidak berhak
berbicara tentang al-Qur‟an. Oleh karena itu, muncul beragam jenis literatur yang
mengkaji persoalan asbab al-nuzul (sebab-sebab pewahyuan), Makkiyah wa Madaniyah
535
(ayat-ayat yang turun pada periode Makkah dan Madinah), dan nasikh-mansukh (teori
revisi al-Qur‟an).
Selama abad-abad pertama Islam, upaya penanggalan al-Qur‟an dilakukan oleh
para sarjana Muslim, setidaknya dengan tiga cara. Pertama, upaya mengaitkan sejumlah
bagian al-Qur‟an dengan kisah-kisah yang muncul dalam upaya merekonstruksi
kehidupan Nabi, khususnya dalam periode Makkah sebelum hijrah. Misalnya, Q.S. 17
[al-Isra‟] dan 53 [al-Najm]:1-18 dikaitkan dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi
SAW. Adapun Q.S. 94 [Alam Nashrah] dikaitkan dengan peristiwa supranatural
pembelahan dada Nabi dan penyucian hatinya. Demikian pula Q.S. 96 [al-„Alaq] dan 74
[al-Mudaththir] dihubungkan dengan kisah pewahyuan pertama.
Kedua, mengaitkan beberapa bagian al-Qur‟an lainnya dengan peristiwa-
peristiwa tertentu dalam komunitas Muslim. Misalnya, permulaan Q.S. 19 [Maryam]
dikatakan telah dibacakan oleh Ja‟far bin Abi Talib kepada Raja Najashi di Abisina
sewaktu pengikut-pengikut Nabi berhijrah ke sana sekitar tahun 615 M untuk
menghindari penyiksaan Arab-Quraish. Sementara salinan Q.S. 20 [Thaha], misalnya,
diriwayatkan turut berperan dalam peristiwa masuk Islamnya „Umar bin Khattab.
Ketiga, mengidentifikasi dan menjelaskan berbagai peristiwa yang disinggung oleh al-
Qur‟an secara tersamar. Mereka, misalnya, menjelaskan bahwa orang buta yang
disinggung dalam Q.S. 80 [„Abasa] adalah „Abd Allah bin Umm Maktum. Demikian
pula mereka mengidentifikasi Aus bin Samit sebagai orang yang terlibat perceraian
seperti tercantum dalam Q.S. 58 [al-Mujadilah] (Amal dkk, 1989: 88).
Dari sinilah kemudian umat Islam menformulasikan sebuah disiplin ilmu yang
dikenal dengan asbab al-nuzul. Karya standar pertama di bidang ini ditulis al-Wahidi
(w. 1075 M) dengan judul Asbab al-Nuzul (al-Wahidi, 1984). Namun, seperti dikatakan
oleh W. Montgomery Watt bahwa bahan-bahan tradisional ini memiliki beberapa
kelemahan mendasar. Pertama, ia tidak lengkap dan hanya menentukan sebab-sebab
pewahyuan untuk sejumlah bagian al-Qur‟an yang relatif sedikit. Kedua, kebanyakan
sebab pewahyuan merupakan peristiwa-peristiwa yang tidak begitu penting dan tidak
diketahui secara akurat kapan terjadinya, seperti kisah „Abd Allah bin Umm Maktum di
atas. Ketiga, terdapat banyak inkonsistensi dalam bahan-bahan tradisional ini, misalnya
menyangkut variasi kisah pewahyuan pertama (Watt, 1991: 108-109).
Lebih jauh, menurut Amal dan Syamsu Rizal, sistem periodisasi Makkiyah-
Madaniyah juga tidak memadai sebagai basis kajian-kajian tematis-kronologis al-
Qur‟an yang lebih menitikberatkan sistem penanggalan pada perkembangan atau
peralihan tema sebagai unit wahyu orisinil (Amal dkk, 1989: 93). Namun demikian,
menurut Watt, penanggalan tradisional dari kalangan Muslim tetap memiliki nilai
kontribusi sendiri sebagai pijakan bagi semua karya masa mendatang. Menurutnya,
sejauh penanggalan tersebut konsisten, penanggalan tersebut dapat memberikan
gambaran mengenai kronologi al-Qur‟an. Pada sisi lain, Watt memberikan penekanan
bahwa penanggalan modern dari sarjana belakangan harus memiliki relevansi dengan
penanggalan tradisional, sekalipun dalam beberapa hal masih debatable (Amal dkk,
1989: 89).
Makalah sederhana ini akan menelusuri wacana kronologi al-Qur‟an yang
berkembang dalam tradisi kesarjanaan Barat sebagai penyempurnaan atas sistem
penanggalan tradisional di kalangan sarjana Muslim.
536
Kemusykilan Penyusunan Kronologi Al-Qur’an
Dari sudut pandang penanggalan, ayat-ayat al-Qur‟an dapat dibagi menjadi dua
bagian. Pertama, ayat-ayat yang tidak jelas penanggalannya, dan kedua, ayat-ayat al-
Qur‟an yang berisi sejumlah rujukan historis yang dapat diberi penanggalan. Dalam
kategori yang kedua, ayat-ayat yang berasal dari periode Makkah sangat sedikit yang
dapat diberi penanggalan. Contohnya, Q.S. 30 [al-Rum]:2-5, yang menyebutkan
kekalahan Byzantium dari Persia, barangkali merujuk pada peristiwa jatuhnya kota
Jerussalem ke tangan Persia pada tahun 614 M. Demikian pula Q.S. 105 [al-Fil] yang
diyakini merujuk pada suatu ekspedisi militer terhadap Makkah pada pertengahan abad
ke-6 (Amal dkk, 1989: 89).
Ayat-ayat yang dapat menemukan rujukan-rujukan historis banyak yang berasal
dari periode Madinah. Ayat-ayat pada periode ini dapat diberi penanggalan yang lebih
tepat berdasarkan sumber-sumber lain. Contohnya, Perang Badar (624 M) dan Perang
Hunain (630 M) disebut dalam Q.S. 3 [al-Maidah]:123 dan 9 [al-Taubah]:25 secara
berturut-turut. Perubahan kiblat dari Jerussalem ke Makkah di penghujung tahun 623 M
atau awal 624 M dibahas dalam Q.S. 2 [al-Baqarah]:142-150. Penetapan ibadah haji dan
ritus-ritusnya di sekitar Perang Badar dibicarakan dalam Q.S. 2 [al-Baqarah]:158-159
dan 5 [al-Maidah]:95 (Amal dkk, 1989: 89).
Demikian pula berbagai peristiwa disinggung, meskipun tidak diidentifikasi,
misalnya Perang Uhud pada tahun 625 M dalam Q.S. 3 [Ali Imran]:155-174;
pengusiran suku Yahudi Bani Nadhir tahun 625 M dalam Q.S. 59 [al-Hashr]:2-5;
Perang Parit (Khandaq) tahun 627 M dalam Q.S. 33 [al-Ahzab]:9-27; ekspedisi ke
Khaybar tahun 628 M dalam Q.S. 48 (al-Fath):15-19; ekspedisi ke Tabuk tahun 630 M
dalam Q.S. 9 [al-Taubah]:29-35; dan lain-lain. Keseluruhan rujukan historis dalam
konteks Madinah digunakan sebagai titik awal sistem penanggalan al-Qur‟an dalam
kesarjanaan Muslim. Belakangan, para sarjana Barat juga memanfaatkannya untuk
sistem penanggalan mereka.
Usaha-usaha memberi penanggalan al-Qur‟an juga terbentur pada beberapa
kemusykilan. Pertama, asumsi tentang “orisinalitas” surat atau keyakinan tentang
tawqifi-nya susunan ayat—bahkan susunan surat. Konsekuensinya, sebagian umat Islam
meyakini bahwa susunan ayat—dan surat—tersebut tidak boleh diubah, sekalipun untuk
kebutuhan pemahaman atau penafsiran al-Qur‟an. Kedua, ada doktrin nasikh-mansukh
yang memapankan sistem kronologi tertentu; ketiga, terdapat banyak perbedaan dalam
sistem penanggalan di kalangan sarjana Muslim; dan keempat, upaya penanggalan al-
Qur‟an, terutama dalam kasus modern, sedikit sekali—untuk menghindari kata tidak
sama sekali—memerhatikan bahan-bahan tradisional termasuk literatur hadith, sirah
asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, serta kitab-kitab tafsir bi al-ma’thur—yang
menyediakan suatu basis yang kokoh untuk penanggalan surat-surat al-Qur‟an
(Rusmana, 2006: 295-300).
Di kalangan Muslim terdapat banyak variasi tentang daftar susunan kronologi
surat (tartib al-suwar) al-Qur‟an, sebagaimana terlihat pada penanggalan yang
dinisbahkan kepada Ali bin Abi Talib, Ubay bin Ka‟ab, „Abd Allah bin Mas‟ud, Ibn
„Abbas, Ja‟far bin Sadiq, Qatadah bin Diamah, Muhammad bin Bashir, dan lainnya (al-
Zanjani, 1993: 83-105). Misalnya, al-Baydawi menyebutkan sejumlah 17 surat yang
diperselisihkan penanggalannya, yaitu Q.S. 8 [al-Anfal], 47 [Muhammad], 55 [al-
Rahman], 57 [al-Hadid], 61 [al-Saff], 64 [al-Taghabun], 87 [al-Mutaffifin], 95 [al-Tin],
97 [al-Qadr], 98 [al-Bayyinah], 99 [al-Zalzalah], 100 [al-„Adiyat], 102 [al-Takathur],
107 [al-Ma‟un], 112 [al-Ikhlas], 113 (al-Falaq], dan 114 [al-Nas] (Amal dkk, 1989: 89).
537
Sementara daftar yang diberikan al-Suyuti dalam al-Itqan juga menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan pendapat dalam pengklasifikasian enam surat lainnya, yaitu
Q.S. 49 [al-Hujurat], 62 [al-Jumu‟ah], 63 [al-Munafiqun], 77 [al-Mursalat], 89 [al-Fajr],
dan 92 [al-Layl] (al-Suyuthi, t.t.: 6-12), sedangkan Ibn Hashr menyebutkan bahwa
jumlah surat yang disepakati turunnya di Makkah berjumlah 82 surat dan 20 surat di
Madinah (Amal dkk, 1989: 89).
Susunan kronologis surat-surat al-Qur‟an yang selama ini banyak digunakan
adalah susunan surat yang dinisbatkan kepada Ibn „Abbas dan diterima secara luas
sebagai ortodoksi. Dalam susunan ini, surat-surat yang berasal dari periode Makkah
berjumlah 85 surat dan dari periode Madinah 28 surat. Belakangan, dengan sedikit
perubahan, para penyunting al-Qur‟an edisi Mesir—demikian pula dalam terjemahan
resmi al-Qur‟an di Indonesia edisi Depag—mengadopsi aransemen kronologis Ibn
„Abbas dan menetapkan 86 surat berasal dari masa sebelum hijrah dan sisanya
diklasifikasikan sebagai surat-surat Madaniyah. Deskripsi kategorisasi Makkiyah dan
Madaniyyah ini tercantum dalam setiap mukaddimah surat. Sebagai contoh dalam edisi
Mesir tercantum dalam mukaddimah Q.S. 73 [al-Muzammil] bahwa surat tersebut
berasal dari periode Makkah, kecuali ayat 10-12 yang turun pada periode Madinah.
Surat ini memiliki 20 ayat dan diturunkan sesudah Q.S. al-Qalam.
Sistem penanggalan Makkiyah-Madaniyyah yang selama ini ada di kalangan
Muslim—bahkan di kalangan Islamolog—didasarkan pada tiga asumsi dasar: (1) surat-
surat al-Quran yang ada sekarang ini merupakan unit-unit wahyu orisinal; (2)
memungkinkan untuk menetapkan tatanan kronologisnya; dan (c) bahan-bahan
tradisional—termasuk literatur hadith, sirah asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, serta
kitab-kitab tafsir bi al-ma’thur—menyediakan suatu basis yang kokoh untuk
penanggalan surat-surat al-Qur‟an (Rusmana, 2006: 301-303).
Wacana Kronologi Al-Qur’an di Barat
Kajian kronologi al-Qur‟an di kalangan sarjana Muslim kemudian mencapai titik
kulminasi stagnasi. Argumentasi konseptual sistem kronologi al-Qur‟an senantiasa
dirujukkan pada literatur asbab al-nuzul, Makkiyah wa Madaniyah, dan atau nasikh-
mansukh, walaupun keduanya jelas tidak memberi informasi kesejarahan yang
komprehensif. Lebih jauh, kedua disiplin ilmu tersebut tidak memadai untuk
menginterpretasi dan merekonstruksi kesejarahan al-Qur‟an sebagai basis doktrinal dari
kesejarahan kenabian Muhammad SAW. Dalam kerangka memahami konteks
kesejarahan al-Qur‟an dan misi kenabian Muhammad SAW inilah, sarjana-sarjana Barat
antusias untuk berkontribusi dalam meletakkan paradigma sistem penanggalan
(kronologi) al-Qur‟an, meski terkadang tidak mampu melepaskan diri dari cengkeraman
bias subyektivitas ideologinya.
Ketika kajian-kajian kronologi al-Qur‟an di dunia Islam menapaki titik lesunya,
perkembangan sebaliknya malah terjadi di dunia akademis Barat. Sejak pertengahan
abad ke-19, tradisi kesarjanaan Barat dalam bidang-garap kronologi al-Qur‟an mulai
terlihat. Upaya penanggalan al-Qur‟an ini dilakukan dengan memperhatikan bukti-bukti
internal, yakni rujukan-rujukan historis di dalam al-Qur‟an, khususnya selama periode
Madinah dari karir kenabian Muhammad SAW. Perhatian juga dipusatkan pada
pertimbangan gaya al-Qur‟an, perbendaharaan katanya, dan sebagainya. Singkatnya, al-
Qur‟an telah menjadi sasaran penelitian yang cermat selaras dengan metode kritik sastra
serta kritik historis modern (Watt, 1991: 109). Hasil pergumulan ini adalah munculnya
berbagai sistem penanggalan al-Qur‟an.
538
Penyusunan Kronologi Al-Qur’an dengan Pendekatan Surat
Kronologi al-Qur’an Gustave Weil
Dalam studi-studi kronologi al-Qur‟an di Barat, Gustave Weil dianggap sebagai
pelopornya. Ia dianggap sebagai peletak dasar sistem penanggalan empat periode, yang
banyak mendapat pengakuan para sarjana dibanding sistem penanggalan lainnya (Amal
dkk, 1989: 93). Weil menerima asumsi para sarjana Muslim bahwa surat-surat al-
Qur‟an merupakan unit-unit wahyu orisinal. Oleh karena itu, dapat disusun dalam suatu
tatanan kronologis berdasarkan bahan-bahan tradisional. Ia mengemukakan tiga kriteria
untuk penyusunan kronologi al-Qur‟an: (1) rujukan-rujukan kepada peristiwa-peristiwa
historis yang diketahui dari sumber lainnya; (2) karakter wahyu sebagai refleksi
perubahan situasi dan peran Muhammad; (3) penampakan atau bentuk lahiriah wahyu
(Amal dkk, 1989: 93).
Weil juga memberikan kontribusi yang bernilai lewat pembabakan surat-surat
Makkiyah ke dalam tiga kelompok, dan dengan demikian keseluruhan surat dalam al-
Qur‟an membentuk empat periode periode pewahyuan: (1) Makkah awal, yaitu dari
turunnya wahyu pertama hingga masa hijrah ke Abisina (tahun 615 M); (2) Makkah
pertengahan, yaitu dari akhir periode pertama hingga saat kembalinya Nabi Muhammad
SAW dari Thaif (tahun 620 M); (3) Makkah akhir, yaitu dari akhir periode kedua
hingga peristiwa hijrah (September 622 M); dan (4) periode Madinah (al-Shalih, 1983:
177).
Dengan mengemukakan asumsi mengenai deteorisasi gaya secara progresif,
Weil meletakkan dalam periode pertama surat-surat yang dipandangnya memiliki gaya
puitis yang agung, bersama surat-surat lain yang memiliki tema dan gaya umum senada
(al-Shalih, 1983: 177). Weil menetapkan 45 surat untuk periode Makkah awal ini
dengan susunan kronologis surat-surat sebagai berikut: Q.S. 96, 74, 73, 106, 111, 53,
81, 87, 42, 89, 43, 44, 103, 100, 108, 102, 107, 109, 105, 113, 114, 94, 112, 80, 97, 91,
85, 90, 95, 101, 75, 104, 77, 86, 70, 78, 79, 82, 84, 56, 78, 52, 83, dan 99 (al-Shalih,
1983: 177).
Weil menetapkan 20 surat untuk periode Makkah pertengahan dengan susunan
kronologis surat-suratnya sebagai berikut: Q.S. 1, 51, 36, 50, 54, 44, 19, 20, 21, 23, 25,
26, 67, 37, 38, 93, 71, 55, dan 76. Adapun karakteristik surat periode Makkah akhir itu
lebih panjang lagi dan lebih berbentuk prosa. Weil bahkan mengemukakan bahwa
kekuatan puitis yang menjadi kekhasan surat-surat periode sebelumnya telah
menghilang dalam periode ketiga ini. Wahyu-wahyu sering mengambil bentuk khutbah
atau pidato. Penggunaan kata sifat al-Rahman sebagai nama diri tidak dipergunakan
lagi. Selain itu, kisah-kisah kenabian dan pengazaban dikisahkan kembali secara lebih
terinci. Weil menetapkan 26 surat dari periode ini yang secara kronologis sebagai
berikut: Q.S. 7, 72, 35, 27, 28, 17, 10, 11, 12, 6, 31, 34, 39, 40, 32, 42, 45, 46, 18, 16,
14, 41, 30, 29, 13, dan 64. Sedangkan untuk periode Madinah, Weil menetapkan 23
surat yang secara kronologis adalah Q.S. 2, 98, 62, 95, 22, 4, 8, 47, 57, 3, 59, 24, 63, 33,
110, 61, 60, 58, 49, 46, 9, dan 5 (al-Shalih, 1983: 177).
Dalam penanggalan ini, terlihat suatu kombinasi antara sistem penanggalan
tradisional Islam dan standar baru penanggalan Weil yang didasarkan pada hal-hal yang
bertalian dengan bentuk serta gaya al-Qur‟an. Penanggalan yang mirip dengan
penanggalan tradisional Islam terletak pada 34 surat pertama dari periode Makkah awal
yang dikemukakan Weil, dengan beberapa variasi. Kemudian Weil mengakhiri periode
pertama ini dengan 11 surat yang memiliki gaya puitis senada, yang belakangan diberi
penanggalan oleh para sarjana Muslim. Sistem penanggalan empat periode yang
539
diajukan Weil dapat disebut sebagai suatu variasi Barat dalam sistem penanggalan
tradisional Islam (al-Shalih, 1983: 96-97).
Asumsi yang dipinjam Gustav Weil dari para sarjana Muslim, tiga kriteria, dan
sistem penanggalan empat periodenya, belakangan diadopsi oleh Theodore Noldeke dan
Schwally dalam magnum opus mereka, Gescfdchte des Qordns. Langkah Noldeke-
Schwally ini diikuti pula oleh Regis Blachere seperti tercermin dalam karyanya,
Introduction au Coran (1947) dan Le Coran: Traduction selon un Essai de
Raelassement des Sourates (tiga jilid, 1947-1951). Tetapi pengadopsian ini dilakukan
dengan beberapa modifikasi.
Kronologi al-Qur’an Noldeke-Schwally
Setelah Weil, studi kronologi al-Qur‟an di Barat benar-benar mendapatkan
momentumnya dengan kehadiran karya Theodore Noldeke dan Freidrich Schwally
dalam magnum opus mereka, Gescfdchte des Qordns. Noldeke sepenuhnya menerima
asumsi Weil bahwa surat-surat merupakan satuan unit wahyu orisinal. Noldeke
mengasumsikan suatu perubahan gaya al-Qur‟an yang progresif dari bagian-bagian
puitis yang agung pada masa awal kepada wahyu-wahyu yang berwujud prosa panjang
pada masa belakangan.
Lebih jauh, Noldeke memberikan penekanan tertentu sehubungan dengan
karakteristik surat-surat al-Qur‟an dalam setiap periodenya. Ia, misalnya, menegaskan
nama diri al-Rahman diperkenalkan pada periode Makkah tengah dan berakhir pada
periode Makkah ketiga. Ia juga menekankan adanya perubahan dalam perbendaharaan
kata, tetapi bentuknya mirip, dalam surat-surat Makkah akhir dan Madinah (Amal dkk,
1989: 110-111). Susunan selengkapnya rancangan kronologi al-Qur‟an yang
dikemukakan Noldeke-Schwally adalah sebagai berikut.
Pertama, surat-surat periode Makkah awal cenderung pendek-pendek. Ayat-
ayatnya juga pendek, bahasanya berima, penuh metafora, dan sering muncul diawali
dengan huruf qasam. Surat-surat yang turun pada periode ini adalah Q.S. 96, 74 (kecuali
31 ayat terakhir), 111, 106, 108, 104, 107, 102 (kecuali 3 ayat terakhir), 105, 92, 90, 94,
93, 97, 86, 91, 80, 68 (kecuali 17 ayat terakhir), 87, 95, 85 (kecuali ayat 8-11), 73
(kecuali 20 ayat Madaniyah), 101, 99, 82, 81, 103 (kecuali ayat 23, 26-32), 84 (kecuali
25 ayat terakhir), 100, 79 (kecuali ayat 27-46), 56, 70, 55 (kecuali ayat 8-9 terakhir),
112, 109, 113, 114, dan 1 (Amal dkk, 1989: 110-111).
Kedua, dalam periode Makkah tengah terdapat suatu transisi dari entusiasme
agung periode pertama kepada ketenangan periode ketiga. Pengajaran fundamental
didukung dan dijelaskan dengan sejumlah ilustrasi dari alam dan sejarah. Juga terdapat
bahasan beberapa butir doktrinal. Secara khusus, penekanan diletakkan pada tanda-
tanda kemahakuasaan Tuhan, baik atas alam maupun peristiwa-peristiwa yang dialami
nabi-nabi terdahulu. Peristiwa yang dialami para nabi terdahulu itu dilukiskan dalam
suatu cara yang menunjukkan relevansinya dengan hal-hal yang terjadi pada diri
Muhammad SAW dan para pengikutnya. Dalam gaya bahasanya, periode ini ditandai
dengan cara-cara penuturan baru, sumpah-sumpah jarang digunakan. Surat-surat makin
bertambah panjang dan sering memiliki pra wacana-pra wacana formal, seperti “Inilah
wahyu dari Allah.. .” Bagian-bagian al-Qur‟an sering diawali ungkapan qul
(katakanlah), sebagai suatu perintah kepada Muhammad SAW. Tuhan sering ditunjuk
sebagai al-Rahman (Yang Maha Pengasih). Surat-surat yang diturunkan pada periode
ini adalah Q.S. 54, 37, 71, 76, 44, 50, 20, 26, 25, 19, 38, 36, 43, 72, 67, 23, 21, 25, 17,
27, dan 18 (Rusmana, 2006: 306-308).
540
Ketiga, adalah periode Makkah akhir. Dalam periode ini, penggunaan al-
Rah{ma>n sebagai nama diri Tuhan telah berakhir, tetapi karakteristik-karakteristik
periode kedua lainnya semakin ditingkatkan. Kisah-kisah kenabian sering diulang
dengan sedikit variasi tekanan. Surat-surat yang turun pada periode ini adalah Q.S. 32,
41, 45, 16 (kecuali 41 ayat terakhir dan ayat 110-124 Madaniyah), 30, 11, 14 (kecuali
ayat 38-41 Madaniyah, dan ayat 46 serta 69), 31 (kecuali ayat 12-19), 42, 10, 34, 35, 7
(kecuali ayat 157-158), 46, 6, dan 13 (Rusmana, 2006: 306-308).
Keempat, surat-surat pada periode Madinah tidak memperlihatkan perubahan
gaya, melainkan perubahan pokok bahasan. Pada masa ini, kenabian Muhammad SAW
telah diakui oleh masyarakat. Oleh karena itu, susunan kronologisnya ditentukan oleh
pokok bahasan wahyu-wahyu yang merefleksikan “kekuasaan politik” Muhammad,
hukum, dan aturan bermasyarakat. Tema-tema dan istilah-istilah kunci yang baru juga
turut membedakan surat-surat periode ini dari beberapa surat periode Makkah akhir.
Dalam periode Madinah ini, masyarakat sering yang dituju oleh wahyu. Beberapa
peristiwa di masa ini disebutkan dan maknanya dibuat jelas. Surat-surat yang turun pada
periode ini adalah Q.S. 2 (kecuali bagian akhir yang berisi sejumlah ayat Makkiyah),
98, 64, 62, 8, 47, 3 (kecuali beberapa bagian belakangan), 61, 57, 4, 65, 59, 33, 63, 24,
58, 22 (kecuali 1-24, 22-57, 61-66, 68-76 yang kesemuanya itu adalah Makkiyah), 48,
64, 60, 110, 49, dan 5 (kecuali beberapa bagian yang lebih awal) (Rusmana, 2006: 309).
Menurut Watt, kronologi Noldeke-Schwally ini memiliki kelemahan yang
senada dengan rancangan Weil, yaitu terlalu sering memperlakukan surat-surat sebagai
unit orisinal wahyu, sebagaimana yang terjadi dalam penanggalan kesarjanaan Muslim.
Lebih lanjut, Noldeke tampaknya telah melakukan kekeliruan ketika mengasumsikan
penggunaan al-Rahman sebagai nama diri Tuhan terbatas pada beberapa Tahun. Tidak
ada bukti pendukung tentang pembatasan penggunaan nama al-Rahman ini sehingga
secara jelas dihentikan. Bahkan, al-Rahman terus digunakan dalam ungkapan pembuka
setiap surat, yakni bismillah al-rahman al-rahim. Bukti lain, orang Makkah yang
mengajukan keberatan terhadap penggunaannya sebagai pembuka rancangan awal
perjanjian Hudaibiyah (tahun 628 M) tampaknya memandang al-Rahman al-rahim
sebagai nama-nama diri Tuhan. Meskipun demikian sebagai suatu rekonstruksi awal
terhadap kronologi al-Qur‟an, rancangan Noldeke sangat bermanfaat. Rancangan ini
pada umumnya diterima dan paling banyak dimanfaatkan dalam kajian-kajian al-Qur‟an
(Amal dkk, 1989: 98).
Sehubungan dengan gaya al-Qur‟an, adalah benar bahwa terjadi perubahan dari
tahun ke tahun masa kenabian Muhammad SAW, namun tidak mesti diasumsikan
bahwa perubahan gaya al-Qur‟an merupakan suatu gerak maju yang konsisten ke satu
arah, misalnya ke arah ayat-ayat atau surat-surat yang lebih panjang. Gaya al-Qur‟an
dari masa yang sama mungkin saja beragam selaras dengan tujuan-tujuannya, seperti
yang diungkapkan oleh al-Qur‟an sendiri.
Kronologi al-Qur’an Sir William Muir
Bersamaan dengan Noldeke, Sir William Muir mengajukan sebuah esai
mengenai sistem kronologi al-Qur‟an yang dilampirkan dalam karyanya Life of
Mahomet (empat jilid, 1858-1861 M). Esai ini kemudian direvisi dan disertakan dalam
karya lain, yaitu The Coran, its Composition and Teaching, and its Testimony it bears to
the Holy Scriptures (1878 M). William Muir mengajukan aransemen surat-surat al-
Qur‟an dalam enam periode, yaitu lima periode Makkah (93 surat) dan satu periode
Madinah (21 surat) (al-Shalih, t.t.: 176).
541
Periode Makkah pertama terdiri dari 18 surat pendek, yaitu Q.S. 103, 100, 99,
91, 106, 1, 101, 95, 102, 104, 82, 92, 105, 89, 90, 93, 94, dan 108. Muir menyebut surat-
surat ini sebagai surat-surat rapsodi dan tidak satu pun yang berbentuk pesan dari
Tuhan. Surat-surat ini diberi penanggalan sebelum pengangkatan Muhammad sebagai
Nabi.
Periode kedua memiliki empat surat, yang semuanya membahas pembukaan
tugas kenabian Muhammad sekitar tahun 610 M. Surat-surat periode ini adalah Q.S. 96
(al-„Alaq), 112 (al-Ikhlas), 74 (al-Mudaththir), dan 111 (al-Lahab). Muir menetapkan
titik peralihan untuk periode selanjutnya yang hampir mirip dengan titik peralihan
dalam sistem penanggalan empat periode. Titik peralihan untuk periode kedua dan
ketiga adalah permulaan tugas kenabian.
Periode ketiga adalah periode permulaan tugas kenabian (tahun 613 M) hingga
masa hijrah ke Abisina. Surat-surat yang turun pada periode ini adalah Q.S. 87, 97, 88,
80, 81, 84, 86, 110, 85, 83, 78, 77, 76, 75, 70, 109, 107, 55, dan 56.
Periode keempat adalah periode pasca hijrah ke Abisina hingga ‘Am al-Huzn
(Tahun Kesedihan). Surat-surat yang turun pada periode ini adalah Q.S. 67, 53, 32, 39,
73, 79, 54, 34, 31, 69, 68, 41, 71, 50, 45, 44, 37, 30, 26, 25, dan 51.
Periode kelima dimulai dari momentum ‘Am al-Huzn hingga peristiwa hijrah.
Surat-surat yang turun pada periode ini adalah Q.S. 46, 72, 35, 36, 19, 18, 27, 42, 40,
38, 25, 20, 43, 12, 10, 14, 6, 64, 28, 23, 22, 21, 17, 16, 13, 29, 7, 113, dan 114.
Periode terakhir adalah periode Madinah. Surat-surat yang diturunkan para
periode ini adalah Q.S. 2, 47, 57, 8, 58, 98, 62, 59, 24, 58, 48, 61, 3, 5, 33, 60, 64, 49,
dan 9 (Amal dkk, 1989: 99).
Dalam banyak hal, rancangan Muir tidak jauh berbeda dari penanggalan Weil
dan Noldeke. Oleh karena itu, kritisisme yang diajukan terhadap sistem penanggalan
Weil dan Noldeke berlaku sepenuhnya terhadap aransemen Muir ini.
Penyusunan Kronologi al-Qur’an dengan Pendekatan Ayat dan Tema
Kronologi al-Qur’an Hartwig Hirscfeld
Memasuki abad ke-20, Hartwig Hirscfeld mengintrodusir sistem penanggalan
kronologi al-Qur‟an dalam New Research into the Composition and Exegesis of the
Quran (London, 1920). Karya ini dianggap sebagai tren baru kajian kronologi al-Qur‟an
dikarenakan aransemen kronologis al-Qur‟an yang diajukannya didasarkan atas karakter
atau fungsi bagian-bagian individual al-Qur‟an sebagai wahyu orisinal, bukan surat-
suratnya (Rusmana, 2006: 315-316).
Setelah “proklamasi pertama” melalui Q.S. 106 (al-„Alaq):1-5, aransemen
Hirchfeld juga memiliki enam periode periwayatan, 5 periode Makkiyah dan 1 periode
Madaniyah. Dalam periode Makkiyah, wahyu-wahyu diklasifikasikan sebagai: (1)
konfirmatori (Q.S. 87, 68 [ayat 1-33], 92, 69 [40-52], dan lain-lain; (2) deklamatori
(Q.S. 81, 82, 84, dan lain-lain); (3) naratif (Q.S. 68 [ayat 34-52], 51, 26 [1-220], 54, dan
lain-lain; (4) deskriptif (Q.S. 79 [ayat 27-46], 71, 55, dan lain-lain; (5) legislatif (Q.S. 6
[ ayat 1-73], 93 [ayat 9-11], 25 [ayat 53, 63-72], dan lain-lain. Adapun wahyu-wahyu
Madaniyah dikelompokkan bersama, tetapi dibahas secara terpisah seperti wahyu-
wahyu setelah hijrah hingga Perang Badar, firman-firman yang bertalian dengan politik,
wahyu-wahyu tentang masalah domestik Muhammad SAW, dan persiapan haji ke
Makkah (Rusmana, 2006: 315-316).
542
Aransemen kronologis al-Qur‟an yang dikemukakan Hirschfeld tidak begitu
diterima di kalangan para pengkaji kronologi al-Qur‟an. Selain itu, sistem kronologinya
juga memiliki sejumlah cacat yang jelas. Namun demikian upaya yang dilakukan
Hirschfeld tersebut memiliki nilai strategis, minimal dalam dua hal. Pertama, upaya
penerapan analisis sastra terhadap al-Qur‟an; dan kedua, pengakuannya terhadap
kenyataan bahwa dalam upaya memberi penanggalan al-Qur‟an, pembaca diharuskan
berurusan dengan bagian-bagian (periskopes) individual al-Qur‟an sebagai unit-unit
wahyu orisinal, ketimbang surat-surat. Belakangan asumsi Hirschfeld—terutama
tentang bagian-bagian al-Qur‟an sebagai unit-unit wahyu orisinal—menjadi dasar bagi
elaborasi identifikasi dan penanggalan unit-unit wahyu orisinal yang dilakukan oleh
Richard Bell.
Kronologi al-Qur’an Richard Bell
Kajian terbaru mengenai kronologi al-Qur‟an dari sarjana Barat
direpresentasikan dalam karya-karya Richard Bell. Kajian utamanya mengenai al-
Qur‟an terdapat dalam The Quran Translated with a Critical Rearrangement of the
Suras (dua jilid, masing-masing terbit pada tahun 1937 dan 1939), meskipun dalam
suatu bentuk yang tidak lengkap. Beberapa kekurangannya diperbaiki oleh artikel-
artikelnya dan sebagian oleh karyanya, Introduction to the Quran, yang terbit pada
tahun 1953. Belakangan buku terakhir ini direvisi oleh W. Montgomery Watt dalam
Bell’s Introduction to the Koran (1960) (al-Shalih, t.t.: 177).
Sejalan dengan Hirschfeld, Bell memandang unit-unit wahyu orisinal adalah
bagian-bagian pendek al-Qur‟an. Selanjutnya ia berpendapat bahwa sebagian besar
pekerjaan pengoleksian unit-unit wahyu ini ke dalam surat-surat dilakukan sendiri oleh
Muhammad SAW di bawah inspirasi Ilahi. Dalam proses ini serta pada waktu-waktu
lainnya, Muhammad SAW—juga di bawah inspirasi Ilahi—telah merevisi bagian-
bagian al-Qur‟an (Watt, 1991: 113).
Seperti lazimnya para sarjana Muslim dan Barat lainnya, Bell menerima
kerangka kronologis yang lazim tentang kehidupan Nabi sebagaimana terdapat dalam
Sirah Ibn Hisham (w. 833). Yang diterima Bell, terutama sekali adalah kronologi
periode Madinah, dari hijrah (tahun 622) sampai wafat Nabi SAW (623), karena data
periode Makkah amat minim dan tidak pasti. Ketika bagian-bagian al-Qur‟an dapat
dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa seperti Perang Badar, Perang Uhud, atau Fath
Makkah, maka bagian-bagian tersebut dapat diberi penanggalan agak tepat. Kerangka
kronologis ini dapat pula ditambahkan kepada rangkaian gagasan dalam al-Qur‟an.
Bell juga memandang bahwa gaya al-Qur‟an hingga taraf tertentu memiliki
kriteria penanggalan relatif. Dalam hal ini, Bell sepakat dengan Noldeke bahwa ayat-
ayat yang pendek dan padat serta rima yang disengaja biasanya berasal dari tahap yang
lebih awal ketimbang ayat-ayat yang tidak berurutan dan rima yang dibentuk secara
mekanis dengan akhiran-akhiran gramatikal. Richard Bell memang tidak mengajukan
suatu sistem penanggalan yang baku, tetapi secara provisional menyimpulkan bahwa
komposisi al-Qur‟an terbagi dalam tiga periode utama.
Pertama, periode awal darinya hanya tersisa beberapa “bagian pertanda” (yakni
bagian yang hanya memuat kata ayat dalam berbagai pengertiannya) dan perintah untuk
menyembah Tuhan. Kedua, periode al-Qur‟an yang mencakup bagian periode Makkah
dan satu atau dua tahun pertama setelah hijrah, dan tugas Muhammad adalah
menghasilkan Quran, suatu kumpulan pelajaran peribadatan (liturgis), dan ketiga,
adalah periode kitab bermula pada penghujung tahun kedua hijrah, ketika Muhammad
543
SAW mulai memproduksi suatu kitab suci tertulis. Menurut Bell, al-Qur‟an yang ada di
tangan kaum Muslim dewasa ini tidak mesti dibagi ke dalam tiga periode tersebut,
karena sejumlah “bagian pertanda” telah dijalin ke dalam bagian pelajaran peribadatan
dari periode al-Qur‟an dan kumpulan bahan-bahan oral ini juga telah direvisi untuk
membentuk bagian al-kitab (periode ketiga) (Amal dkk, 1989: 103).
Suatu survei terhadap capaian-capaian Bell memperlihatkan bahwa ia hanya
memandang kurang dari duapuluh surat sebagai surat-surat dari periode Makkah, yaitu
Q.S. 50, 53, 54, 69, 75, 79, 80, 82, 86, 88, 89, 91, 93, 99, 104, dan 113. Akan tetapi
keseluruhan surat ini, bagi Bell, berisi bahan-bahan dari masa-masa yang berbeda
sepanjang periode Makkah. Tentang surat-surat pendek lainnya, beberapa di antaranya
dipandang merupakan surat-surat yang utuh (Q.S. 102, 105, 112, dan 94) yang berasal
dari periode Madinah. Sementara lebih dari separoh jumlah surat dipandang Bell
memiliki bahan-bahan, baik dari masa sebelum maupun setelah hijrah.
Upaya Bell merekonstruksi kronologi bagian-bagian al-Qur‟an tetap diwarnai
oleh asumsinya tentang perevisian al-Qur‟an yang dilakukan secara konstan oleh
Muhammad SAW. Bell memang berhasil menetapkan beberapa bagian wahyu dari
periode Madinah secara agak tepat, namun untuk sebagian besarnya ia sering
mengajukan kesimpulan-kesimpulan yang sangat umum, khususnya untuk bahan-bahan
dari periode Makkah. Dalam upaya penanggalannya, misalnya, dapat ditemukan
ungkapan-ungkapan seperti “dari masa awal direvisi di Makkah”, “Makkah dengan
tambahan-tambahan dari periode Madinah”, dan lainnya.
Lebih jauh, asumsi tentang perevisian selain membuat pekerjaan memberi
penanggalan al-Qur‟an menjadi sangat rumit, juga secara jelas tidak dapat diterima oleh
kaum Muslim sekalipun perevisian tersebut dilakukan di bawah inspirasi Ilahi. Watt
mengatakan bahwa selama tigapuluh tahun sejak kemunculan translation Bell, tampak
jelas bahwa Bell tidak berhasil memecahkan seluruh masalah. Namun ia telah
memberikan kontribusi dengan meminta para sarjana memusatkan perhatian pada
kompleksitas fenomena penanggalan al-Qur‟an (Amal dkk, 1989: 144).
Kronologi al-Qur’an Alternatif versi Watt
Menurut W. Montgomery Watt, kesarjanaan Muslim memandang al-Qur‟an
sebagai kalam Allah yang abadi dan sering tidak menerima “adanya perkembangan
gagasan dalam al-Qur‟an.” Padahal, adanya dinamika gagasan dalam pewahyuan al-
Qur‟an sebenarnya tersirat dalam doktrin nasikh-mansukh, asbab al-nuzul, Makkiyah
wa Madaniyah, dan lain-lain. Namun tidaklah mudah untuk membangun suatu
rangkaian gagasan al-Qur‟an ini dan sering memicu perbedaan pendapat di antara para
sarjana (Amal dkk, 1989: 115).
Upaya penanggalan yang dilakukan Watt lebih bertumpu pada upaya
merekonstruksi gagasan-gagasan pokok al-Qur‟an. Atau dengan ungkapan lain, bagi
Watt, rangkaian gagasan al-Qur‟an merupakan petunjuk untuk melakukan kronologi.
Kajian fraselogi dapat menolong karena kata-kata dan perubahan ungkapan terkait
dengan pengenalan suatu stressing (penekanan) baru dalam doktrin. Namun,
penggunaan suatu kata atau ungkapan cenderung berlanjut secara tetap dan dalam
contoh penggunaannya yang belakangan, kata atau ungkapan tersebut tidak mesti
menunjukkan penekanan khusus.
Berdasarkan hasil temuan Noldeke dan Bell, Watt berpendapat bahwa gagasan-
gagasan dominan wahyu-wahyu al-Qur‟an bertumpu pada butir-butir berikut. Pertama,
Tuhan itu Mahakuasa dan juga Mahakasih atau cenderung baik kepada manusia; seluruh
544
yang baik dalam kehidupan manusia disebabkan oleh-Nya dan juga oleh kehidupan itu
sendiri. Kedua, Tuhan akan mengadili manusia di Hari Akhirat dan menetapkan mereka
masuk surga atau masuk neraka selaras dengan perbuatan mereka dalam kehidupan
dunia ini. Ketiga, manusia harus mengakui ketergantungannya kepada Tuhan dan
memperlihatkan rasa syukur kepada-Nya dan menyembah-Nya. Keempat, pengakuan
manusia akan ketergantungannya kepada Tuhan juga harus terjelma dalam sikapnya
terhadap kekayaan—yakni tidak pelit dengan menimbunnya, tetapi bermurah hati
kepada orang yang membutuhkannya. Kelima, Muhammad memiliki pekerjaan khusus
untuk menyampaikan pengetahuan tentang kebenaran-kebenaran kepada orang-orang di
sekitarnya (Amal dkk, 1989: 166).
Simpulan
Kebutuhan akan upaya penanggalan atau relokasi kronologi al-Qur‟an menjadi
sangat mendesak untuk memahami evolusi gagasan al-Qur‟an. Selain itu, upaya ini
dibutuhkan terutama sebagai pijakan dasar bagi tafsir tematik (tafsir mawdu’iy).
Sekalipun asumsi dasar tetap dipertahankan bahwa al-Qur‟an turun bukan sebagai kitab
ilmiah, tetapi upaya relokasi kronologi ini sangat membantu untuk memahami berbagai
tema yang terdapat dalam al-Qur‟an.
Menurut Amal dan Syamsu Rizal, berbagai aransemen kronologis yang
dikemukakan para sarjana—baik Muslim maupun Barat—memiliki kelemahan tertentu.
Aransemen-aransemen kronologi yang didasarkan pada asumsi surat sebagai unit wahyu
orisinal tentu saja memiliki sejumlah kelemahan, terutama karena dalam satu surat
mungkin saja ayat-ayatnya turun tidak secara sekaligus. Bahan-bahan tradisional,
seperti hadis, asbab al-nuzul, Makkiyah wa Madaniyah, nasikh-mansukh, dan lain-lain
banyak memperlihatkan bagian-bagian individual al-Qur‟an: bagian ayat, ayat, beberapa
ayat, dan sejumlah kecil surat pendek—sebagai wahyu orisinal. Dengan demikian,
asumsi yang dikemukakan Hirschfeld dan Bell tentang bagian-bagian individual al-
Qur‟an sebagai unit wahyu dapat dibenarkan.
Penelusuran di atas juga mengimplikasikan kebutuhan akan sistem kronologi
yang baru. Sistem kronologi ideal, menurut Amal dan Syamsu Rizal, semestinya
didasarkan atas beberapa asumsi berikut. Pertama, unit wahyu orisinal adalah bagian-
bagian pendek al-Qur‟an yang dapat berupa potongan ayat, ayat, rangkaian ayat, atau
surat-surat pendek. Untuk mengidentifikasi unit wahyu orisinal ini, gagasan atau tema,
gaya al-Qur‟an, serta bahan-bahan tradisional dapat dijadikan pegangan.
Kedua, dalam menetapkan penanggalan suatu unit wahyu orisinal,
perkembangan misi kenabian Muhammad SAW dan komunitas Muslim pada masa
pewahyuan al-Qur‟an mesti menjadi rujukan historis yang pasti, sehingga
penanggalannya dapat ditetapkan secara lebih tepat, misalnya Q.S. 30 (al-Rum):2-5
berisi tentang kekalahan Byzantium dari Persia, Q.S. 3 (Ali „Imran):121-129 tentang
Perang Badar, Q.S. 9 (al-Taubah):25-27 tentang Perang Hunain, dan lain-lain.
Jika unit wahyu berisi suatu tema yang hanya muncul pada periode tertentu,
penanggalannya mungkin dapat ditetapkan, seperti tema jihad yang hanya muncul pada
periode Madinah. Demikian pula jika unit wahyu berisi suatu tema yang muncul dalam
periode tertentu, penanggalannya juga dapat dilakukan, seperti tema Anshar dan
Muhajirin yang hanya muncul setelah Nabi dan para pengikutnya yang berasal dari
Makkah hijrah ke Madinah. Di samping itu, bahan-bahan tradisional juga dapat
memberikan petunjuk di dalam penanggalan unit-unit wahyu tertentu. Dengan
545
demikian, tugas berat dalam penyusunan kronologi al-Qur‟an berpangkal dari
pembacaan ulang terhadap sejarah kehidupan Nabi dan komunitas Muslim era kenabian.
Penyusunan kronologi al-Qur‟an yang dicita-citakan itu membutuhkan upaya-
upaya kesarjanaan yang serius dan memakan waktu lama, terlebih lagi untuk
kepentingan tafsir-tafsir tematik. Untuk sementara, capaian-capaian yang ditorehkan di
bidang kronologi al-Qur‟an dapat dimanfaatkan sebagai pijakan kasar dalam studi-studi
al-Qur‟an dan tafsir. Para pengkaji al-Qur‟an diharapkan tidak bertumpu pada satu
penanggalan saja, melainkan mampu memanfaatkan keseluruhan sistem kronologi
secara optimal. Perhatian terhadap konteks sastra al-Qur‟an serta perkembangan misi
kenabian Muhammad SAW dan komunitas Muslim pada periode pewahyuan akan
memberi arah bagi pengkaji dalam menetapkan rangkaian kronologi untuk studi lanjut
berdasarkan sistem-sistem penanggalan yang ada.
Daftar Pustaka
Al-Salih, Subhi. 1988. Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Dar al-„Asriyyah, 1988.
Al-Suyuti, Jalal al-Din. t.t. Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Qattan, Manna‟ Khalil. 1973. Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an. Jakarta: Dinamika
Barakah Utama.
Al-Zanjani, Abu „Abd Allah. 1993. Wawasan Baru Tarikh al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Al-Zarqani, Abd al-„Adhim. 1988. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-
Fikr.
Al-Wahidi, Abu al-Hasan „Ali. 1984. Asbab Nuzul al-Qur’an. Kairo: Dar al-Qiblah.
Amal, Taufik Adnan dan Panggabean, Syamsu Rizal. 1989. Tafsir Kontekstual.
Bandung: Mizan.
Rahman, Fazlur. 1991. Tema Pokok al-Qur’an, diterjemahkan oleh Anas Mahyudin dari
Major Themes of the Quran. Bandung: Penerbit Pustaka.
Rusmana, Dadan. 2006. Al-Quran dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat. Bandung:
Pustaka Setia.
Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Watt, W. Montgomery. 1991. Bell’s Introduction to The Koran. Edinburg: Edinburg
University Press.
top related