referat sgb
Post on 27-Dec-2015
103 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindroma Guillain-Barre (SGB) adalah suatu sindroma klinis dari kelemahan
akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh
penyakit sistemis. Penyakit ini merupakan suatu kelainan sistem kekebalan tubuh
manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan
karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya
progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom,
maupun susunan saraf pusat.
Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini seringkali mencemaskan penderita dan
keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan
dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa
yang baik.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua
umur. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan
penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak
insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia
dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling
tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras
didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic,
1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia
mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra
menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir
sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-
laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun.1
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Guillain-Barre syndrome
1
diduga disebabkan oleh infeksi virus, tetapi akhir-akhir ini terungkap bahwa virus
bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang adalah suatu kelainan
imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated
process. Pada umumnya sindrom ini didahului oleh penyakit influenza atau
infeksi saluran pernafasan atas atau saluran pencernaaan. Penyebab infeksi pada
umumnya adalah kelompok virus dari kelompok herpes. Sindrom ini dapat
didahului pula oleh vaksinasi, gangguan endokrin, anastesi, tindakan operasi, dan
sebagainya (Harsono, 1996). Guillain-Barre Syndrome berhubungan dengan
respon system imun terhadap benda asing (seperti agen infeksius atau vaksin)
tetapi targetnya yaitu pada jaringan saraf inang. Target yang diserang sistem imun
menjadi gangliosida, yaitu komplek glikosfingolipid yang ada dalam jumlah yang
banyak pada jaringan saraf manusia, terutama nodus ranvier. Pada banyak kasus,
infeksi sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer dan
serabut spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan medula spinalis dan
medula oblongata.Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. 2
Salah satu terapi yang sering digunakan pada SGB adalah plasmaferesis.
Plasmaferesis ini dapat digunakan baik untuk SGB maupun miastenia gravis
untuk menyingkirkan antibodi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien
dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bahan-bahan abnormal
dibersihkan atau plasma diganti dengan yang normal atau dengan pengganti
koloidal. Banyak pusat pelayanan kesehatan mulai melakukan penggantian plasma
ini jika didapati keadaan pasien memburuk dan akan kemungkinan tidak akan
dapat pulang kerumah dalam 2 minggu.1
Meskipun penyebabnya belum diktahui, namun diagnosanya dapat
ditegakkan sedini mungkin. Setidaknya hal ini dapat mencegah akibat yang sangat
fatal.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SEJARAHPada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry
pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending
paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan
SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl
menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan
serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut
sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan
Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan
diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan CSS, juga adanya
kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa.
Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.15
2.2 Sindroma Gullian Barre
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan
tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri
dengankarekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnyaprogresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,
otonom,maupun susunan saraf pusat. SGB merupakan Polineuropati akut, bersifat
simetris dan ascenden, yang,biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang sampai 8
minggu setelah suatu infeksi akut.
• SGB merupakan Polineuropati pasca infeksi yang menyebabkan terjadinya
demielinisasi saraf motorik kadang juga mengenai saraf sensorik.
• SGB adalah polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau
subakut, mungkin terjadi spontan atau sesudah suatu infeksi
SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :
Polineuritis akut pasca infeksi
3
Polineuritis akut toksik
Polineuritis febril
Poliradikulopati,dan
Acute Ascending Paralysis7
2.1.1. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insiden terjadinya GBS berkisar antara 0,4-2,0
per 100.000 penduduk. GBS merupakan a non sesasonal disesae dimana resiko
terjadinya adalah sama di seluruh dunia pada pada semua iklim. Perkecualiannya
adalah di Cina, dimana predileksi GBS berhubungan dengan Campylobacter
jejuni, cenderung terjadi pada musim panas.
GBS dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras.
Insiden kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6-1,9 per 100.000 penduduk.
Insiden ini meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. GBS merupakan
penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat. Angka kematian berkisar
antara 5 – 10 %. Penyebab kematian tersering adalah gagal jantung dan gagal
napas. GBS. Antara 5 – 10 % sembuh dengan cacat yang permanen.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak.
Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah
dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan
wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa
perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun.
Sepuluh studi melaporkan kejadian pada anak-anak (0-15 tahun), dan
menemukan kejadian tahunan menjadi antara 0,34, dan 1.34/100 000.
Kebanyakan penelitian menyelidiki populasi di Eropa dan Amerika Utara dan
melaporkan angka kejadian serupa tahunan , yaitu antara 0,84 dan 1.91/100, 000.
Rata-rata pertahun 1-3/100.000 populasi dan perempuan lebih sering terkena
daripada laki-laki dengan perbandingan rasio perempuan : laki-laki = 1,5 : 1
untuk semua usia. Penurunan insiden selama waktu antara tahun 1980-an dan
1990-an ditemukan. Sampai dengan70% dari kasus Sindroma Guillain Barre
disebabkan oleh infeksi anteseden. Inflamasi akut demielinasi
4
poliradikuloneuropati (AIDP) adalah bentuk paling umum di negara-negara barat
dan berkontribusi 85% sampai 90% kasus. Kondisi ini terjadi pada semua umur,
meskipun jarang pada masa bayi. Usia termuda dan tertua dilaporkan adalah,
masing masing 2 bulan dan 95 tahun. Usia rata onset adalah sekitar 40 tahun,
dengan kemungkinan dominasi laki-laki.
Sindroma Guillain Barre adalah penyebab paling umum dari acute flaccid
paralysis, pada anak - anak. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) sering
didapatkan di daerah Jepang dan Cina, terutama pada orang muda. Hal ini terjadi
lebih sering selama musim panas, sporadis AMAN seluruh dunia mempengaruh
10% sampai 20% pasien dengan Sindroma Guillain Barre .16
2.1.2. Klasifikasi
1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang
lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran
cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut
saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.
2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid
meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis
motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan
paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana
didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi
‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang
dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.
3. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat
pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas.
5
Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan
minggu atau bulan
4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih
dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.
5. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi
dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya
hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan
salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.17,18
2.1.3. Etiologi
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan
bukan merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter.
Penyakit ini merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh
kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini :
• Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV), enterovirus,
Human Immunodefficiency Virus (HIV).
• Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.
• Pasca pembedahan dan Vaksinasi.
• 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.16
2.1.4. Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran
pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf
tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ketiga atau
keempat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung mielin pada
hari kelima, terlihat beberapa limfosit pada hari kesembilan dan makrofag pada
hari kesebelas, poliferasi sel schwan pada hari ketigabelas. Perubahan pada
6
mielin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari
keenampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Kerusakan
mielin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan
selubung mielin dari sel schwan dan akson17
2.1.5. Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell
mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya.
Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam
sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan
mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem
imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai
penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada
kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada
degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting
antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.
7
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-
T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer.
Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses
demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.18
8
9
2.1.6. Gejala Klinis
1. Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris
secara natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum
tungkai atas. Otot- otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih
distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan
otot pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut
dan berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar
dari kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.
2. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf kranial
III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk
sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias,
Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan
wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena.
Varian Miller-Fisher dari SGB adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan
defisit saraf kranial.
3. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori
cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati
rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului
kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses
menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau
pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal
dapat hadir.
4. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89% pasien
melaporkan nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu selama
perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung,
pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini
sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut. Gejala dysesthetic diamati ada
10
dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias
sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan
sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas atas.
Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri
lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan SGB adalah sebagai
berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi
imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).
5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan
parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat
mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi
paroksimal, Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin,
karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan.
6. Pernapasan
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau
orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut;
Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel. Kegagalan
ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga
sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.
Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
- Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan
pada LP serial;
- jumlah sel CSS < 10 MN/mm3; Varian ( tidak ada peningkatan protein
CSS setelah 1 minggu gejala dan Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 ).
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnose adalah perlambatan
konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang
60% dari normal.8
2.1.7. Patofisiologi
11
Guillain-Barre syndrome berhubungan dengan respon system imun
terhadap benda asing (seperti agen infeksius atau vaksin) tetapi targetnya yaitu
pada jaringan syaraf inang. Target yang diserang system imun menjadi
gangliosida, yaitu komplek glikosfingolipid yang ada dalam jumlah yang banyak
pada jaringan saraf manusia, terutama nodus ranvier. Misalnya, gangliosida
GM1, yang mempengaruhi sebanyak 20 – 50% kasus, khususnya pada orang
yang didahului infeksi Campylobacter jejuni. Contoh yang lain adalah
gangliosida GQ1b, yang merupakan target varian sindrom miller fisher
(Goldman, 2007)
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, Fase progresif dimulai dari onset
penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai
maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang
melebihi 8 minggu. Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana
kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama
2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu. Fase
rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang
berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini
berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.
Gb. 3. Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya kelumpuhan
bervariasi antara berbagai penderita SGB.
12
GBS paling banyak terjadi pada pasien yang sebelumnya mengalami infeksi
(pernafasan atau gastrointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan
penurunan neurologic. Pada beberapa dapat terjadi setelah vaksinasi atau
pembedahan. Juga dapat pula disebabkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun,
dan beberapa proses lain, atau sebuah kombinasi proses. Salah satu hipotesis
mengatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autimun yang menyerang
myelin syaraf perifer. Bagian proksimal syaraf cenderung paling sering terserang
dan akar dalam ruang subarachnoid biasanya terpengaruh. Autopsy yang didapat
memperlihatkan beberapa infiltrasi limfositik yang secara khusus menetap di
dalam akar saraf spinal.
Infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain
memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen
tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses
pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa
teori mengenai pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan
bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh
mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi
tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri
berkurang.
Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin. Bahkan
kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin
disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan
myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di
invasi oleh antigen tersebut. Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel
saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan
kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih
sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh.12,13,18
13
14
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g/dl )
tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut
sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam
pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein
biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS
pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3
(albuminocytologic dissociation).
2. Pemeriksaan EMG
Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan
terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada
akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.
3. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira
pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran
cauda equina yang bertambah besar.
2.1.9. Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of
Neurological and Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)
Diagnosa Guillain-Barre syndrome terutama ditegakkan secara klinis.
Guillain-Barre syndrome ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang
disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga
minggu setelah mengalami demam dan gangguan sensorik dan motorik perifer.
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute
of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
1.Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis (Gejala utama):
a. Terjadinya kelemahan yang progresif pada satu atau lebih
ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataxia
b. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
15
2. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
a. Ciri-ciri klinis:
1. Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
2. Relatif simetris.
3. Gejala gangguan sensibilitas ringan.
4. Gejala saraf kranial ±50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5%
kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak
lain.
5. Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,
dapat memanjang sampai beberapa bulan..
6. Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dan gejala vasomotor.
7. Tidak ada demam saat onset gejala neurologist.
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong
diagnosa:
1. Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial.
2. Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3.
3. Varian:
Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
1. Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.
2. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal
16
d. Gejala yang menyingkirkan diagnosis
1. Kelemahan yang sifatnya asimetri
2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata11,15
2.1.10. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan
atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,
trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan
kontraktur pada sendi.8
95% pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75% diantaranya
sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural
tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien. Kelainan ini juga dapat
menyebabkan kematian. Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang
20% penderita meninggal oleh karena kegagalan pernafasan. Sekarang ini
kematian berkisar antara 2-10 %, dengan penyebab kematian oleh karena
kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru.
Sebagian besar penderita (60-80 %) sembuh secara sempurna dalam waktu enam
bulan. Sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan dengan kelainan
motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki.9
Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali
timbul. 3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan
beberapa tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy.13
2.1.11. Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
Ascending paralysis, terjadi dalam 3 minggu pertama.
Belakangan ini, frekuensi pada anak-anak lebih sering dibanding orang dewasa
pada sindrom ini. Kelemahan pada umumnya diawali pada ektremitas bagian
17
bawah dan menjalar cepat ke arah ektremitas bagian atas kadang sampai ke
wajah. Pada beberapa anak terkadang tidak bisa berjalan. Kelemahan juga dapat
terjadi pada otot-otot pernapasan dan pada beberapa anak memerlukan alat bantu
pernafasan dikarenakan kesulitan bernafas.
Areflexia
Merupakan salah satu tanda Sindrom Guillain-Barré. Sebagian dari refleks
proksimal mungkin timbul sepanjang awal tahap penyakit.
Kelainan saraf otonom
Terjadi pada sistem saraf parasimpatis dan simpatis, manifestasi klinis meliputi :
hipotensi orthostatik, disfungsi pupil, kesulitan menggerakan mata dan wajah,
kesulitan berbicara, kesulitan mengunyah dan menelan, penurunan tekanan darah,
kelainan berkeringat dan sinus takikardi serta kesulitan mengontrol kencing dan
buang air besar.
1. Ataxia.
2. Kelainan pada nervus kranial
Mati rasa, perasaan geli dan gatal dan biang keringat18.
2.1.12. Terapi
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama
secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala,
mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki
prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk
terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus
segera di rawat di rumah sakit untuk mendapatkan bantuan pernafasan,
pengobatan dan fisioterapi. Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah:
1. Sistem pernapasan
Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB.
Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu
18
dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan (ventilator)
bila vital capacity turun dibawah 50%.
2. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru.
Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah
penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk
melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
3. Imunoterapi
Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.
a. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang
paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya
gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam
waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.
b. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping atau komplikasi lebih ringan.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis
0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari.17
2.1.13. Diagnosis Banding
• Poliomielitis
Pada poliomyelitis ditemukan kelumpuhan disertai demam, tidak ditemukan
gangguan sensorik, kelumpuhan yang tidak simetris, dan Cairan cerebrospinal
pada fase awal tidak normal dan didapatkan peningkatan jumlah sel.
• Myositis Akut
19
Pada miositis akut ditemukan kelumpuhan akut biasanya proksimal, didapatkan
kenaikan kadar CK (Creatine Kinase), dan pada Cairan serebrospinal normal.
• Myastenia gravis (didapatkan infiltrate pada motor end plate, lelumpuhan tidak
bersifat ascending)
•CIPD (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradical Neuropathy)
didapatkan progresifitas penyakit lebih lama dan lambat. Juga ditemukan adanya
kekambuhan kelumpuhan atau pada akhir minggu keempat tidak ada perbaikan15.
2.2. Plasmaferesis
Plasmaferesis berasal dari kata plasma dan aphairesis, yang berarti
memisahkan plasma. Beberapa penulis membedakan antara plasmaferesis dan
plasma exchange. Plasma exchange dipakai untuk tindakan yang lebih ekstensif
dengan jumlah yang besar. Plasmaferesis adalah istilah umum dan dapat dipakai
untuk pemisahan plasma dalam jumlah kecil maupun besar3. Plasmaferesis mula-
mula diperkenalkan pada awal abad ini oleh Fleig dan Abel dkk. Pada saat itu
hanya sedikit yang menaruh minat untuk pemakaian klinis, sebab pemisahan
plasma secara manual adalah tidak praktis dan membuang waktu. Pada tahun
1960 Schwab dan Fahey melaporkan bahwa plasmaferesis berguna bagi penderita
makroglobulinemia Waldenstrom dan penderita hiperviskositas.
Sejak saat itu, plasmaferesis manual merupakan bagian dari pengobatan
standard untuk kelainan tersebut4. Namun demikian, hanya sedikit sekali
penelitian tentang terapi plasmaferesis yang disertai dengan kelompok kelola. Hal
ini disebabkan karena : a.insidens penyakit yang mungkin dapat diobati dengan
plasmaferesis umumnya tidak tinggi. b.kesulitan untuk melaksanakan
plasmaferesis palsu pada kelompok kelolao). Kern ungkinan
mekanismekerjaplasmaferesis adalah menghilangkan autoantibodi, alloantibodi,
komplcks imun, protein monoklonal, toksin atau menambah faktor yang spesifik
dalam plasma4,5. Jadi plasmaferesis hanya boleh dilakukan bila terdapat bukti
bahwa penyakit tersebut adalah akibat faktor yang abnormal dalam plasma atau
akibat kurangnya faktor yang normal terdapat dalam plasma4.
2.2.1. Teknik Pelaksanaan Plasmaferesis
20
Plasmaferesis dapat dilakukan dengan beberapa cara :
1. Secara manual Plasmaferesis dalam jumlah yang sedikit (misalnya sampai
kira-kira 500 ml) dapat dilakukan secara manual. Darah vena dikeluarkan
ke dalam kantung yang berisi antikoagulan. Setelah kantung penuh atau
sudah tercapai jumlah yang diinginkan, aliran darah diputuskan dan
penderita diberi larutan NaCl 0,9% agar aliran pada vena tetap terbuka.
Darah dalam kantung diputar dalam centrifuge, plasmanya dibuang dan
komponen lain dikembalikan ke penderita4,6.
2. Dengan menggunakan cell separator. Prinsip kerja cell separator dapat
berupa continuous flow centrifugation (CFC) atau intermittent flow
centrifugation (IFC). Pada CFC proses pengambilan darah, pemisahan
komponen dan pengembalian komponen berjalan secara kontinyu, sedang-
kan pada IFC proses tersebut berjalan secara bergantian. Saat ini sedang
dikembangkan cell separator yang menggunakan teknik membrane
filtration. Dengan cara ini, plasma mengalir melalui membran yang akan
menyaring komponen spesifik yang ada di dalam plasma6.
2.2.2 Cairan Pengganti
Federal and American Association of Blood Bank memberi pedoman
bahwa plasmaferesis sejumlah 1000 ml/minggu dapat dilakukan tanpa cairan
pengganti yang mengandung protein pada donor dengan ukuran badan rata-rata,
tetapi dengan tetap memantau kadar protein serum donor tersebut. Terapi plasma-
feresis tentu berbeda dengan plasmaferesis pada donor, tetapi setidak-tidaknya
pedoman ini dapat dipakai sebagai pegangan Cermin Dunia Kedokteran No. 76,
1992 34 pada penderita dengan keadaan gizi yang baik. Biasanya juga dianjurkan
diit tinggi protein bila bukan merupakan kontra-indikasi3. Fresh frozen plasma,
albumin atau derivat plasma lain dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan koloid
sebagai pengganti plasma penderita. Pemakaian plasma sebagai cairan pengganti,
penting pada penyakit-penyakit akibat kekurangan suatu faktor dalam plasma
misalnya thrombotic thrombocytopenic purpura4. Pada penyakit-penyakit dengan
komponen plasma yang patogen, penentuan jenis cairan pengganti juga penting;
21
misal-nya clearance kompleks imun dapat ditingkatkan dengan memberikan
cairan pengganti yang mengandung komplemen, meskipun ada penulis lain yang
menganjurkan pemberian cairan yang tidak mengandung komplemen4. Pada
umumnya tidak diperlukan elektrolit pengganti baik pada plasmaferesis dengan
jumlah kecil maupun dengan jumlah besar3. Jadi dapat disimpulkan bahwa sampai
saat ini belum ditemukan cairan pengganti yang optimal dan mungkin tidak akan
pernah ditemukan karena hal ini sangat individual3.
2.2.3. Efek Samping Plasmaferesis
Setiap plasmaferesis menimbulkan kerusakan vena yang dapat bersifat
ringan maupun berat3. Setiap penderita dapat mengalami serangan vasovagal yang
disebabkan oleh hipovo-lemia dan diperberat oleh stres psikis3,4. Keseimbangan
cairan harus diperhatikan untuk menghindari hipo atau hipervolemia3. Penderita-
penderita yang memiliki gangguan fungsi hepar cenderung untuk mengalami
keracunan sitrat3,4.Hal ini ter-utama terjadi bila menggunakan cairan pengganti
yang mengandung sitrat misalnya plasma3. Telah dilaporkan juga penurunan
jumlah trombosit dan faktor-faktor pembekuan5,7,8. Penurunan jumlah trombosit
se-lain akibat plasmaferesis,juga diakibatkan oleh pemakaian obat-obat sitostatika
yang diberikan bersamaan dengan plasmaferesis untuk mencegah rebound
phenomena7. Penderita yang memiliki kelainan kadar elektrolit mem-punyai risiko
untuk mengalami aritmia jantung3,4. Beberapa penulis melaporkan tidak ada
perubahan kadar elektrolit akibat plasmaferesis7, tetapi penulis lain menyatakan
bahwa terjadi ketidak seimbangan elektrolit8.
Reaksi urtikaria atau kadang-kadang anafilaksis dapat timbul pada
penderita yang memakai plasma sebagai cairan pengganti4,10. Risiko timbulnya
hepatitis juga meningkat bila dipakai plasma4,5,10.Suatu kendala lain yang
membatasi penggunaan plasma-feresis adalah tingginya biaya9.
2.2.4. Komplikasi terapi plasmapheresis
22
Meskipun plasmapheresis sangat membantu dalam kondisi medis tertentu,
seperti terapi lainnya, ada risiko potensial dan komplikasi. Penyisipan kateter
intravena agak besar dapat menyebabkan perdarahan, paru tusukan (tergantung
pada lokasi penyisipan kateter), dan, jika kateter dibiarkan terlalu lama, maka bisa
terinfeksi.
Selain menempatkan kateter, prosedur itu sendiri memiliki komplikasi.
Ketika darah pasien berada di luar tubuh melewati mesin plasmapheresis, darah
memiliki kecenderungan untuk membeku. Untuk mengurangi kecenderungan,
dalam satu protokol yang umum, sitrat diinfuskan sementara darah berjalan
melalui sirkuit. Sitrat mengikat kalsium dalam darah, kalsium yang penting bagi
darah untuk membeku. Sitrat sangat efektif dalam mencegah darah dari
pembekuan, namun penggunaannya dapat mengakibatkan mengancam jiwa
tingkat kalsium yang rendah. Hal ini dapat dideteksi dengan menggunakan tanda
Chvostek atau tanda trousseau's. Untuk mencegah komplikasi ini, kalsium
diinfuskan intravena saat pasien mengalami plasmapheresis tersebut; di samping
itu, kalsium suplementasi melalui mulut juga dapat diberikan.
Komplikasi lainnya termasuk:6
Potensi paparan produk darah, dengan risiko reaksi transfusi atau transfusi
penyakit menular
Penekanan sistem kekebalan tubuh pasien
Perdarahan atau hematoma dari penempatan jarum
2.2.5. Terapi Plasmaferesis pada Sindroma Gullien Barre
Penatalaksanaan pasien SGB seringkali sangat rumit dan pengobatan
medis dan perawatan yang baik sangat mempengaruhi keluaran (outcome).
Dalam fase dini yang masih progresif, harus dilakukan observasi yang seksama
dan perawatan di rumah sakit adalah wajib, juga pada kasus-kasus yang enteng. 11,12
Karena terjadi perbaikan spontan pada kebanyakan kasus, maka
penatalaksanaan terutama ditujukan pada perawatan yang baik dan menghindari
23
komplikasi infeksi sekunder, namun penatalaksanaan tetap rumit dan
melelahkan.11,13
Walaupun dalam kepustakaan disebutkan, bahwa hanya 2 jenis terapi
(plasmaferesis dan Imunoglobulin) yang secara spesifik dapat mempengaruhi
jalannya penyakit, namun terdapat tindakan-tindakan lain yang membantu untuk
mencegah terjadinya komplikasi yang sering menyertai penyakit ini.Pengobatan
medikamentosa pada saat ini terutama ditujukan pada imunomodulasi. Menurut
petunjuk guideline dari American Academy of Neurology (AAN), maka
pengobatan SGB yang dimulai secara dini dalam waktu 2 – 4 minggu setelah
gejala pertama timbul, dapat mempercepat waktu penyembuhan. 11 Hanya
plasmaferesis (plasma exchange therapy) dan imunoglobulin intravena (IVIg 7s)
yang terbukti efektif. Kedua modalitas pengobatan ini telah terbukti dapat
memperpendek waktu penyembuhan sampai 50 % , namun harganya mahal dan
ada kesukaran dalam cara memberi dan efektivitas ke 2 regimen pengobatan itu
hampir sama dan komparabel.12
Walaupun terbukti menurunkan beratnya penyakit dan memperpendek
waktu adanya gejala, namun outcome jangka panjang belum jelas dipengaruhi
oleh obat-obatan ini. Plasmaferesis (PE) secara historis dan case control studies
terbukti menurunkan beratnya penyakit dan gejala-gejalanya dan memperpendek
durasi SGB, namun efeknya biasanya tidak segera dan tidak dramatis. PE
seringkali digunakan pada anak2 dan pada sindroma Miller Fisher; suatu varian
SGB, namun belum ada bukti definitif mengenai efektivitas PE pada ke 2
penyakit ini, namun telah dipakai secara luas. PE sebaiknya diberikan secepat
mungkin pada penderita SGB yang tidak dapat berjalan tanpa bantuan (unable to
walk unassisted). Plasmaferesis adalah suatu metode untuk memisahkan
komponen darah dengan menggunakan mesin sehingga plasma dipisahkan dari sel
darah merahnya, lalu plasma dibuang dan sel darah merahnya dicampurkan
dengan larutan koloid pengganti yaitu albumin 4 % dalam larutan salin, lalu
dimasukkan kembali kedalam tubuh. 13,14
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
24
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.
Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu
pertama).11
Plasma yang akan diganti dalam 4-5x PE yang dilakukan dalam jangka
waktu 7 – 10 hari seluruhnya adalah kira-kira 250 cc/kgbb. Harus dipakai suatu
alat dengan pengaliran yang terus-menerus (continuous flow machine), dan cairan
pengganti plasma yang dipakai adalah albumin 5%. Pelaksanaan PE yang lebih
intensif, misalnya setiap hari tidak dianjurkan, PE biasanya aman dan ditoleransi
dengan baik. Untuk melakukan PE dipilih vena perifer yang baik dan bisa juga
dilakukan didaerah subklavia.11,14
Komplikasi yang bisa timbul adalah instabilitas otonom, hiperkalsemia
dan perdarahan karena faktor pembekuan ikut dihilangkan dan infeksi.14
Sebuah garis pedoman baru dari American Academy of Neurology
merekomendasikan menggunakan kurs tukar plasma untuk mengobati orang
dengan relaps parah di multiple sclerosis (MS) dan penyakit terkait, serta mereka
dengan beberapa jenis gangguan saraf yang dikenal sebagai neuropati. pedoman
ini diterbitkan dalam, 2011, cetak edisi 18 Januari Neurology ®, jurnal medis dari
American Academy of Neurology. Pertukaran plasma, secara resmi dikenal
sebagai plasmapheresis, adalah proses mengambil darah keluar dari tubuh,
menghapus konstituen dalam plasma darah itu dianggap berbahaya, dan kemudian
transfusi sisa darah (sel darah terutama merah) dicampur dengan plasma
penggantian kembali ke tubuh. Pedoman ini merekomendasikan dokter
mempertimbangkan untuk menggunakan penggantian plasma sebagai pengobatan
sekunder untuk flare parah dalam kekambuhan bentuk MS dan penyakit terkait.
Perlakuan tidak ditemukan efektif untuk bentuk sekunder progresif progresif dan
kronis MS. Menurut pedoman, dokter harus menawarkan pertukaran plasma untuk
pengobatan bentuk parah sindrom Guillain-Barre dan untuk pengobatan sementara
polineuropati demielinasi peradangan kronis. Plasma tukar juga dapat
dipertimbangkan untuk pengobatan beberapa jenis lain neuropati inflamasi.
25
Menurut pedoman pemimpin penulis Irene Cortese, MD, ahli saraf dengan
National Institute of Health di Bethesda, Md, dan anggota American Academy of
Neurology jenis gangguan neurologis yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh
salah menyebabkan kerusakan sistem saraf. Pertukaran plasma membantu karena
menghilangkan faktor dalam plasma diduga berperan dalam gangguan ini. Para
penulis pedoman juga melihat penggunaan pertukaran plasma untuk gangguan
neurologis lainnya, termasuk myasthenia gravis dan pediatrik gangguan
neuropsikiatri autoimun (panda), tapi tidak ada cukup bukti untuk menentukan
apakah itu adalah pengobatan yang efektif.15
BAB III
KESIMPULAN
26
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan
tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri
dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,
otonom, maupun susunan saraf pusat. SGB merupakan Polineuropati akut,
bersifat simetris dan ascenden, yang,biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang
sampai 8 minggu setelah suatu infeksi akut.
Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa
terjadi paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan dan wajah.
Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan
dikenal sebagai Landry’s Paralisis ascending. Pertama dideskripsikan oleh
Landry, 1859 menyebutnya sebagai suatu penyakit akut, ascending dan paralysis
motorik dengan gagal napas.
Gejala klinis SGB berupa kelemahan, gangguan saraf kranial, perubahan
sensorik, nyeri, perubahan otonom, gangguan pernafasan. Sampai saat ini belum
ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis.
Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi,
mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penderita pada
stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-
tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di rawat di rumah sakit
untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi
Pemeriksaan penunjang untuk Sindroma Guillain-Barre adalah
pemeriksaan LCS, EMG dan MRI. Penyakit ini memiliki prognosis yang baik.
Komplikasi yang dapat menyebabkan kematian adalah gagal nafas dan aritmia.
Plasmaferesis telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya paralisa dan
mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif untuk
melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Sebanyak 95 %
pasien dengan SGB dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya sembuh total.
Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural tremor masih
mungkin terjadi pada sebagian pasien. Plasmaferesis dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy.
27
Selain itu, pasien dengan SGB atau miastenia gravis yang menerima
plasmaferesi, berisiko terhadap potensial komplikasi karena prosedur tersebut.
Infeksi mungkin terjadi pada tempat akses vaskuler. Hipovolemia dapat
mengakibatkan hipotensi. Takikardia, pening, dan diaphoresis. Hipokalemia dan
hipokalasemia dapat mengarah pada disritmia jantung. Pasien dapat mengalami
sirkumolar temporer dan paresis ekstremitas distal, kedutan otot dan mual serta
muntah yang berhubungan dengan pemberian plasma sitrat. Pengamatan dengan
cermat pengkajian penting untuk mencegah masalah-masalah ini.
Oleh itu, sebagai dokter kita harus mempertimbangan indikasi dan
kontraindikasi penatalaksanaan plasmaferesis pada penderita SGB. Menurut
American Academy of Neurologi plasmaferesis belum juga terbukti pengobatan
paling efektif pada SGB.
Daftar Pustaka
28
1. Japardi, Iskandar. Sindrom Guillain Barre. http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf . FK USU.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.Sindrom Guillain Barre. In: Harsono, editor. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2008; p.307-8.
3. Huestis DW, Thomas SF. Presently available plasmapheresis technics. In: Berkman EM, Umlas J. Therapeutic Hemapheresis.
4. .A technical workshop. Washington DC: American Association of Blood Banks. 1980; pp 1-12. 2.Shumak KH, Rock GA. Therapeutic plasma exchange. N Eng J Med 1984; 310: 76271.
5. Moschella SL. Topic of Current Interest in Dermatology. In: Moschella SL, Hurley HJ. Dermatology. 2nd ed, Philadelphia: WB Saunders Co. 1985. pp 21078:
6. McCullough J, Chopek M. Therapeutic plasma exchange. Lab Med 1981; 12: 63442.
7. Auerbach R, Bystryn JC. Plasmapheresis and immunosuppressive therapy. Effect on levels of intercellular antibodies in pemphigus vulgaris. Arch Dermatol 1979; 115: 728-30.
8. Bysuyn JC. Plasmapheresis therapy of pemphigus. Arch Dermatol 1988; 124: 1702-4.
9. King MEE, Breslow JL, Lees RS. Plasma-exchange therapy of homo- zygous familial hyperchelesterolemia. N Engl J Med 1980; 302: 1457-9
10. Roujeau JC et al. Plasma exchange in pemphigus. Arch Dermatol 1983; 119: 215-21.
11. Parry GJ. Diagnosis of-Guillain-Barre Syndrome. In. Parry GJ. Guillain-Barr Syndrome. Thieme Medical Publishers Inc, New York. 1993 : 113-129.
29
12. Adams RD. Victor MR. Guillain Barre Syndrome. Diseases of the PeripheryNerves. In Principles of Neurology. Chapter 46. Mcgraw-Hill. New York. 1991 Page 1312-1318.
13. Johnson Richard T. Viral Infctions Of the Nervous Sistem. Raven Pres, Nev York. 1984: 174
14. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Sindroma Guillain-Barre : Neurologi Klinis Dasar, Cetakan ke 8. Dian Rakyat, Jakarta, 2000 :42, 87,176,421.
15. Guillain-Barré Syndrome. Available from:http://www.medicinenet.com/guillainbarre_syndrome/article.htm.
16. Overview of Guillain-Barre Syndrome. http:// www.mayoclinic.com /health/guillain-barre- syndrome /DS00413/ DSECTION.
17. Munandar A. Laporan Kasus Sindroma Guillan-Barre dan Tifus abdominalis.Unit Neurologi RS Husada Jakarta. Available from : URL : http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14SindormGuillainBarre93.pdf/14SindromGuillainBarre93.html.
18. Newswanger Dana L., Warren Charles R., Guillain-Barre Syndrome, http://www.americanfamilyphysician.com.
30
top related