referat mata
Post on 24-Jul-2015
709 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk
pada retina (makula lutea atau bintik kuning). Pada kelainan refraksi terjadi
ketidak seimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan
yang kabur. Pada mata normal kornea dan lensa membelokkan sinar pada titik
fokus yang tepat pada sentral retina. Keadaan ini memerlukan susunan kornea dan
lensa yang sesuai dengan panjangnya bola mata. Pada kelainan refraksi sinar tidak
dibiaskan tepat pada bintik kuning, akan tetapi dapat di depan atau di belakang
bintik kuning dan malahan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan
refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia, astigmat, dan presbiopi
(Vaughn,2000).
Hipermetropia adalah keadaan mata yang tidak berakomodasi
memfokuskan bayangan di belakang retina. Hipermetropia terjadi jika kekuatan
yang tidak sesuai antara panjang bola mata dan kekuatan pembiasan kornea dan
lensa lemah sehingga titik fokus sinar terletak di belakang retina. Hal ini dapat
disebabkan oleh penurunan panjang sumbu bola mata (hipermetropia aksial),
penurunan indeks bias refraktif (hipermetropia refraktif), seperti afakia (tidak
mempunyai lensa) (Ilyas,1993).
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hyperopia atau rabun dekat.
Pasien dengan hipermetropia mendapat kesukaran untuk melihat dekat akibat dan
1
akan bertambah berat dengan bertambahnya umur yang diakibatkan melemahnya
otot siliar untuk akomodasi dan berkurangnya kekenyalan lensa (Vaughn,2000).
Berdasarkan penelitian retrospektif yang dilakukan klinik mata pediatrik di
Rumah Sakit Mayo, Lahore pada pasien yang datang pada bulan Mei 2004 sampai
dengan April 2005 didapatkan kelainan refraksi yang terjadi adalah Hipermetropi
sebanyak 82%, Miopi sebanyak 11%, dan Astigmatisma sebanyak 7%
(Bile,2007).
Berdasarkan rekam medis di poli mata RSUD Jombang, dilaporkan bahwa
jumlah kasus kelainan refraksi khususnya hipermetropi pada tahun 2001 sebanyak
26 kasus, pada tahun 2002 sebanyak 73 kasus, pada tahun 2003 sebanyak 34
kasus, pada tahun 2004 sebanyak 48 kasus, pada tahun 2006 sebanyak 51 kasus,
dan pada tahun 2007 sebanyak 58 kasus.
Tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,
fisiologi penglihatan normal dan hipermetropia, etiologi, klasifikasi, dan
bagaimana mendiagnosa, bagaimana melakukan terapi dengan cepat dan tepat,
mencegah komplikasi, sehingga pemahaman dan pengetahuan penyakit ini sangat
diperlukan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI
Hipermetropia adalah keadaan mata yang tidak berakomodasi
memfokuskan bayangan di belakang retina. Hipermetropia terjadi jika kekuatan
yang tidak sesuai antara panjang bola mata dan kekuatan pembiasan kornea dan
lensa lemah sehingga titik fokus sinar terletak di belakang retina. Hal ini dapat
disebabkan oleh penurunan panjang sumbu bola mata (hipermetropia aksial),
penurunan indeks bias refraktif (hipermetropia refraktif), seperti afakia (tidak
mempunyai lensa) (Ilyas,1993).
FISIOLOGI PENGLIHATAN
Mata dapat dianggap sebagai kamera yang mempunyai kemampuan
menghasilkan bayangan yang di biaskan melalui media refraksi yaitu kornea,
akuos humor, sistem diafragma yang dapat berubah-ubah (pupil), lensa, dan
korpus vitreus sehingga menghasilkan bayangan terbalik yang diterima retina
yang dapat disamakan dengan film. Susunan lensa mata terdiri atas empat
perbatasan refraksi: (1) perbatasan antara permukaan anterior kornea dan udara,
(2) perbatasan antara permukaan posterior kornea dan udara, (3) perbatasan antara
humor aqueous dan permukaan anterior lensa kristalinaa, dan (4) perbatasan
antara permukaan posterior lensa dan humor vitreous. Masing-masing memiliki
indek bias yang berbeda-beda, indek bias udara adalah 1, kornea 1.38, humor
aqueous 1.33, lensa kristalinaa (rata-rata) 1.40, dan humor vitreous 1.34.
Selanjutnya bayangan tersebut akan diteruskan oleh saraf optic (N II) menuju
3
korteks serebri (pusat penglihatan) dan tampak sebagai bayangan tegak
(Guyton,1997).
Pada keadaan normal(Emetropia) cahaya berasal dari jarak tak berhingga
atau jauh akan terfokus pada retina, demikian pula bila benda jauh tersebut
didekatkan, hal ini terjadi akibat adanya daya akomodasi lensa yang
memfokuskan bayangan pada retina. Jika berakomodasi, maka benda pada jarak
yang berbeda-beda akan terfokus pada retina. Akomodasi adalah kemampuan
lensa di dalam mata untuk mencembung yang terjadi akibat kontraksi otot siliar.
Akibat akomodasi, daya pembiasan lensa yang mencembung bertambah kuat.
Kekuatan akan meningkat sesuai dengan kebutuhan, makin dekat benda makin
kuat mata harus berakomodasi. Refleks akomodasi akan bangkit bila mata melihat
kabur dan pada waktu melihat dekat. Bila benda terletak jauh bayangan akan
terletak pada retina. Bila benda tersebut didekatkan maka bayangan akan bergeser
ke belakang retina. Akibat benda ini didekatkan, penglihatan menjadi kabur, maka
mata akan berakomodasi dengan mencembungkan lensa. Kekuatan akomodasi
ditentukan dengan satuan Dioptri (D), lensa 1 D mempunyai titik fokus pada jarak
1 meter (Montgomery,2006).
4
Penglihatan binokular yang normal adalah penglihatan maksimal yang
dicapai seseorang pada penglihatan dengan kedua mata dan bayangan yang
diterima setajam-tajamnya dapat diolah oleh susunan syaraf pusat menjadi satu
bayangan tunggal ( fusi ) dan berderajat tinggi.( stereoskopis ). Oleh karena
terpisahnya kedua mata lebih dari 2 inci di dalam bidang horisontal, maka kedua
bayangan retina yang terbentuk menjadi sedikit berbeda. Hal ini menyebabkan
disparitas bayangan retina yang akan memberi data penting untuk persepsi
kedalaman penglihatan binokular. Agar terjadi penglihatan binokular yang
normal, maka diperlukan persyaratan sebagai berikut : fungsi tiap mata harus baik
dimana bayangan benda jatuh tepat pada masing-masing bintik kuningnya. Tidak
terdapat aniseikonia. Fungsi dan kerja sama yang baik dari seluruh otot penggerak
bola mata, dan susunan syaraf pusat mempunyai kemampuan untuk mensitesa
kedua bayangan yang terbentuk tersebut menjadi bayangan tunggal
(Guyton,1997).
Bila terjadi sedikit saja penyimpangan di atas,akan terjadi penurunan
kualitas penglihatan binokular .Sebagai salah satu syarat utama untuk terjadinya
penglihatan binokular , tajam penglihatan harus baik yaitu ( 5/5 ) dengan atau
tanpa koreksi. Apabila terjadi gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi,
dimana bayangan jatuh tidak tepat di bintik kuning akan terjadi gangguan
penglihatan binocular (Guyton,1997).
5
KELAINAN REFRAKSI
Kelainan refraksi adalah keadaan tidak seimbangnya pembiasan pada
media refraksi sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak
dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan tidak
terletak pada satu titik focus (Guyton,1997).
Ametropia adalah suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi sehingga
pada mata yang dalam keadaan istirahat memberikan fokus yang tidak terletak
pada retina. Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk kelainan miopia (rabun
jauh), hipermetropia (rabun dekat), dan astigmat (Ilyas,1993).
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hyperopia atau rabun dekat.
Pasien dengan hipermetropia mendapat kesukaran untuk melihat dekat akibat dan
akan bertambah berat dengan bertambahnya umur yang diakibatkan melemahnya
otot siliar untuk akomodasi dan berkurangnya kekenyalan lensa (Vaughn,2000).
EPIDEMIOLOGI
Hipermetropia merupakan anomali perkembangan dan secara praktis
semua mata adalah hipermetropia pada saat lahir. 80% hingga 90% mata didapati
hipermetropia pada 5 tahun pertama kehidupan. Pada usia 16 tahun, sekitar 48%
mata didapati tetap hipermetropik. Pada masa remaja, derajat hipermetropia akan
berkurang karena panjang axial mata bertambah sehingga periode pertumbuhan
berhenti. Pada masa itu, hipermetropia yang menetap akan menjadi relatif konstan
sehingga munculnya presbiopia. Pada studi yang dilakukan di Amerika, 1 dari 8
anak (12,8%) antara usia 5 hingga 17 tahun hiperopia, studi yang dilakukan di
Polandia mendapati 1 dari 5 anak (21%) antara usia 6 hingga 18 tahun hiperopia,
studi di Australi mendapati 4 dari 10 anak (38,4%) antara usia 4 hingga 12 tahun
6
hiperopia, studi di Brazil mendapati 7 dari 10 anak (71%) dalam satu kota
hiperopia (Tielsch,1990).
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi terjadinya kelainan refraksi hipermetropi adalah panjang
axial (diameter bola mata) mata hipermetropia lebih kurang dari panjang axial
mata normal, berkurangnya konveksitas dari kornea atau kurvatura lensa,
berkurangnya indeks refraktif, dan perubahan posisi lensa (Hartstein,1971).
KLASIFIKASI
Klasifikasi hipermetropia berdasarkan gejala klinis, derajat beratnya
hipermetropia, dan status akomodasi mata. Berdasarkan gejala klinis,
hipermetropia dibagi menjadi tiga yaitu hipermetropia simpleks yang disebabkan
oleh variasi biologi normal, etiologinya bisa axial atau refraktif, hipermetropia
patologik disebabkan oleh anatomi okular yang abnormal karena maldevelopment,
penyakit okular, atau trauma, hipermetropia fungsional disebabkan oleh paralisis
dari proses akomodasi. Berdasarkan derajat beratnya, hipermeropia juga dibagi
menjadi tiga yaitu hipermetropia ringan, kesalahan refraksi +2.00 D atau kurang,
hipermetropia sedang, kesalahan refraksi antara +2.25 D hingga +5.00 D,
hipermetropia berat, kesalahan refraksi +5.25 D atau lebih tinggi. Berdasarkan
status akomodasi mata, hipermetropia dibagi menjadi empat yaitu (a)
Hipermetropia laten, sebagian dari keseluruhan dari kelainan refraksi mata
hipermetropia yang dikoreksi secara lengkap oleh proses akomodasi mata, hanya
bisa dideteksi dengan menggunakan sikloplegia, lebih muda seseorang yang
hipermetropia, lebih laten hipermetropia yang dimilikinya. (b) Hipermetropia
Manifes, hipermetropia yang dideteksi lewat pemeriksaan refraksi rutin tanpa
7
menggunakan sikloplegia, bisa diukur derajatnya berdasarkan jumlah dioptri lensa
positif yang digunakan dalam pemeriksaan subjektif. (c) Hipermetropia Fakultatif,
hipermetropia yang bisa diukur dan dikoreksi dengan menggunakan lensa positif,
tapi bisa juga dikoreksi oleh proses akomodasi pasien tanpa menggunakan lensa,
semua hipermetropia laten adalah hipermetropia fakultatif, akan tetapi pasien
dengan hipermetropia laten akan menolak pemakaian lensa positif karena akan
mengaburkan penglihatannya, pasien dengan hipermetropia fakultatif bisa melihat
dengan jelas tanpa lensa positif tapi juga bisa melihat dengan jelas dengan
menggunakan lensa positif. (d) Hipermetropia Absolut, tidak bisa dikoreksi
dengan proses akomodasi, penglihatan subnormal, penglihatan jarak jauh juga
bisa menjadi kabur terutama pada usia lanjut (Hugh,2001).
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Gejala-gejala dan Tanda-tanda hipermetropia adalah penglihatan dekat
kabur, penglihatan jauh pada usia lanjut juga bisa kabur, asthenopia akomodatif
(sakit kepala, lakrimasi, fotofobia, kelelahan mata), strabismus pada anak-anak
yang mengalami hipermetropia berat, gejala biasanya berhubungan dengan
penggunaan mata untuk penglihatan dekat (cth : membaca, menulis, melukis), dan
biasanya hilang jika kerjaan itu dihindari, mata dan kelopak mata bisa menjadi
merah dan bengkak secara kronis, mata terasa berat bila ingin mulai membaca,
dan biasanya tertidur beberapa saat setelah mulai membaca walaupun tidak lelah,
bisa terjadi ambliopia (Vaughn,2000)
DIAGNOSA
1. Anamnesa gejala-gejala dan tanda-tanda hipermetropia.
2. Pemeriksaan Oftalmologi
8
(a) Visus – tergantung usia dan proses akomodasi dengan menggunakan Snellen
Chart. (b) Refraksi – retinoskopi merupakan alat yang paling banyak digunakan
untuk pengukuran objektif hipermetropia. Prosedurnya termasuk statik
retinoskopi, refraksi subjektif, dan autorefraksi. (c) Motilitas okular, penglihatan
binokular, dan akomodasi – termasuk pemeriksaan duksi dan versi, tes tutup dan
tes tutup-buka, tes Hirschberg, amplitud dan fasilitas akomodasi, dan steoreopsis.
(d) Penilaian kesehatan okular dan skrining kesehatan umum – untuk
mendiagnosa penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan hiperopia. Pemeriksaan
ini termasuk reflek cahaya pupil, tes konfrontasi, penglihatan warna, tekanan
intraokular, dan pemeriksaan menyeluruh tentang kesehatan segmen anterior dan
posterior dari mata dan adnexanya. Biasanya pemeriksaan dengan
ophthalmoskopi indirect diperlukan untuk mengevaluasi segmen media dan
posterior (Sloane,1979).
PENATALAKSANAAN
Sejak usia 5 atau 6 tahun, koreksi tidak dilakukan terutama tidak
munculnya gejala-gejala dan penglihatan normal pada setiap mata. Dari usia 6
atau 7 tahun hingga remaja dan berlanjut hingga waktu presbiopia, hipermetropia
dikoreksi dengan lensa positif yang terkuat. Bisa memakai kaca mata atau lensa
kontak.
9
Pada pemakaian lensa kontak harus melalui standar medis dan
pemeriksaan secara medis. Karena resiko pemakaian lensa kontak cukup tinggi.
Orthokeratology adalah cara pencocokan dari beberapa seri lensa kontak, lebih
dari satu minggu atau bulan, untuk membuat kornea menjadi datar. Kekakuan
lensa kontak yang digunakan sesuai dengan standar. Pembedahan refraktif juga
bisa dilakukan untuk membaiki hipermetropia dengan membentuk semula
kurvatura kornea. Metode pembedahan refraktif termasuk Laser-assisted in-situ
keratomileusis (LASIK) sama tujuannya dengan operasi yang lainnya yaitu
mengurangi kelengkungan daripada kornea hanya saja berbeda dalam tehnis, yaitu
lebih sempurna dengan menggunakan tehnis laser secara mutlak., Laser-assisted
subepithelial keratectomy (LASEK), Photorefractive keratectomy (PRK) upaya
untuk mengurangi kelengkungan kornea dengan cara memotong permukaan depan
kornea. Hal ini dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut Excimer Laser.,
Conductive keratoplasty (CK) (Ilyas,1997).
KOMPLIKASI
Komplikasi dari kelainan refraksi hipermetropi antara lain strabismus,
mengurangi kualitas hidup, dan kelelahan mata (Ilyas,1997).
10
RINGKASAN
1. Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada
retina (makula lutea atau bintik kuning). Pada kelainan refraksi terjadi ketidak
seimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang
kabur.
2. Hipermetropia adalah keadaan mata yang tidak berakomodasi memfokuskan
bayangan di belakang retina. Hipermetropia terjadi jika kekuatan yang tidak
sesuai antara panjang bola mata dan kekuatan pembiasan kornea dan lensa
lemah sehingga titik fokus sinar terletak di belakang retina.
3. Berdasarkan rekam medis di poli mata RSUD Jombang, dilaporkan bahwa
jumlah kasus kelainan refraksi khususnya hipermetropi pada tahun 2001
sebanyak 26 kasus, pada tahun 2002 sebanyak 73 kasus, pada tahun 2003
sebanyak 34 kasus, pada tahun 2004 sebanyak 48 kasus, pada tahun 2006
sebanyak 51 kasus, dan pada tahun 2007 sebanyak 58 kasus.
4. Mata dianggap sebagai kamera yang mempunyai kemampuan menghasilkan
bayangan yang di biaskan melalui media refraksi yaitu kornea, akuos humor,
pupil, lensa, dan korpus vitreus menghasilkan bayangan yang diterima retina.
5. Hipermetropia merupakan anomali perkembangan dan secara praktis semua
mata adalah hipermetropia pada saat lahir. 80% hingga 90% mata didapati
hipermetropia pada 5 tahun pertama kehidupan.
6. Patofisiologi terjadinya kelainan refraksi hipermetropi adalah panjang axial
mata hipermetropia lebih kurang dari panjang axial mata normal,
berkurangnya konveksitas dari kornea atau kurvatura lensa, berkurangnya
indeks refraktif, dan perubahan posisi lensa.
7. Klasifikasi hipermetropia berdasarkan gejala klinis, derajat beratnya
hipermetropia, dan status akomodasi mata.
8. Gejala-gejala dan Tanda-tanda hipermetropia adalah penglihatan dekat kabur,
penglihatan jauh pada usia lanjut juga bisa kabur, asthenopia akomodatif,
strabismus pada anak-anak hipermetropia berat.
9. Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan
ofthalmologi.
10. Penatalaksaan dapat menggunakan kacamata, lensa kontak dan pembedahan.
11. Komplikasi dari kelainan refraksi hipermetropi antara lain strabismus,
mengurangi kualitas hidup, dan kelelahan mata
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophtalmology. Basic & Clinical Science Course 2003-2004. Section 3 – Optics, Refraction, and Contact Lenses.
Hartstein J. Review of Refraction. St. Louis : The CV Mosby Company;1971.p.16-45.
Guyton, Arthur C, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, editor, Irawati setiawan, Edisi 9, Jakarta : EGC, 1997
Hugh RT, Jill EK. World blindness: a 21st century perspective, Br J Ophthalmol. 2001; 85: 261-6.
Ilyas, sidarta, Ilmu Penyakit Mata, Cetakan ke-6, Penerbit Abadi Tegal, Jakarta,1993 ; 245 ; 72-73
Montgomery TM. Anatomy, Physiology & Pathology of the Human Eye. 2006.
Tielsch JM, Sommer A, Witt K. Blindness and visual Impairment in an American Urban Population, Arch Ophthalmol. 1990; 108: 286-90.
Sloane Albert E., George E. Gracia. Manual of Reraction, 3rd edition. Little, Brown and Company. USA. 1979.
Vaughan, DG. Asbury, T. Riodan-Eva, P. Kelainan refraksi. dalam : Oftalmologi
Umum, ed. Suyono Joko, edisi 14, Jakarta, Widya Medika, 2000
top related