referat hib nomer
Post on 12-Dec-2015
273 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Haemophilus influenzae merupakan bakteri gram negatif dalam darah
untuk pertumbuhan. Haemophilus influenzae terdiri dari 2 jenis, yang
berkapsul dan yang tidak berkapsul. Tipe yang tidak berkapsul membentuk
koloni rough (R) yang umumnya tidak ganas dan hanya menyebabkan infeksi
ringan. Tipe ini sering diasosiasikan dengan penyakit saluran nafas kronik
terutama pada orang dewasa. Sementara tipe yang berkapsul membentuk
koloni S, dibagi dalam 6 subtipe dari a sampai f. Haemophilus influenzae tipe
B (HiB) adalah tipe yang paling ganas.
Haemophyllus influenza tipe B (HIB) merupakan salah satu penyebab
terbanyak Meningitis (radang selaput otak dan sumsum tulang belakang),
dimana 90% infeksi ini menyerang anak-anak kurang dari 5 tahun terutama
anak yang berusia kurang dari 2 tahun. Sebanyak 55% anak-anak yang
terinfeksi HIB akan menderita meningitis, sisanya menderita pneumonia
(radang paru-paru), epiglostitis (radang saluran pernafasan yang dapat
mengakibatkan tertutupnya jalan nafas), dan artritis (radang sendi). Seseorang
yang menderita HIB dapat mengalami kecacatan yang serius, kebutaan, tuli,
dan kerusakan saraf yang berujung pada retardasi mental. Angka kecacatan ini
mencapai 15%-30% dari seluruh kasus yang dapat bertahan hidup.
Masalah infeksi HIB ini menjadi semakin serius karena meskipun
mendapat pengobatan yang maksimal dengan antibiotik, sekitar 3%-6% anak-
anak meninggal dunia, bahkan di Amerika diperkirakan 40% bakteri HIB
resisten (tahan) terhadap antibiotik. Oleh karena itu, badan kesehatan dunia
WHO mengambil langkah pencegahan dengan menetapkan pemberian vaksin
HIB. Sejak vaksin ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1998, kasus HIB
menurun mencapai 97%, yaitu dari 526 menjadi 17 kasus.Di Indonesia, vaksin
HIB ini termasuk program imunisasi yang dianjurkan dan diharapkan dalam 1
1
sampai 2 tahun yang akan datang dapat termasuk dalam program imunisasi
yang diwajibkan.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memberikan informasi ilmiah
menganai Haemophilus influenzae tipe B meliputi morfologi, tanda dan gejala
infeksi komplikasi dari infeksi serta imunisasi
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Haemophilus influenzae tipe B
Haemophilus influenzae tipe B (HiB) adalah bakteri yang hanya
menyerang manusia. HiB dahulunya adalah bakteri patogen tersering yang
menyebabkan meningitis. Pada tahun 1978, HiB dianggap menyebabkan 46%
meningitis bakterialis (10.000 kasus) di Amerika Serikat. Selain itu, HiB juga
menyebabkan penyakit invasif lain seperti selulitis buccal dan periorbital,
pneumonia, artritis, epiglottitis dan pericarditis.1
Bakteri ini teridentifikasi secara tidak sengaja oleh Pfeiffer pada tahun
1892. Pfeiffer menemukan HiB sebagai agen penyebab kematian pasien
ketika pandemi (wabah) influenza yang teridentifikasi dari sputum pasien
yang meninggal. Pada tahun 1930, Margaret Pittman menggambarkan bahwa
terdapat 6 serotipe (a sampai f) HiB berkapsul berdasarkan perbedaan
antigenik kapsular polisakaridanya. Pada tahun 1950, kloramfenikol
menunjukkan adanya penurunan mortalitas akibat infeksi dari HiB.1
Pada tahun 1970, Schneerson menemukan komponen polyribosyl-
ribotyl phosphate (PRP) sebagai kapsul HiB dan digunakan sebagai
imunogen vaksin. Pada tahun 1980an, PRP yang dikonjugasi diperkenalkan
untuk digunakan sebagai vaksin. Pada tahun 1987, vaksin HiB diperkenalkan
dan vaksinasi ini berjaya menurunkan insidens penyakit yang disebabkan HiB
pada anak-anak di bawah 5 tahun sebanyak 97% di Amerika Serikat. Namun,
insidens penyakit pada seorang yang berusia 5 tahun dan ke atas masih belum
berubah (menetap 0.4 per 100.000).1
B. Morfologi Haemophilus influenzae tipe b
HiB termasuk bakteri gram negatif berbentuk coccabacillus, tidak dapat
bergerak yang memerlukan faktor X (hematin – suatu derivat hemoglobin
yang termostabil) dan faktor V (nicotinamide adenine dinucleotide[NAD])
3
untuk pertumbuhan. Faktor X dapat diperoleh dari darah sedangkan faktor V
dapat diperoleh dari ekstrak ragi dan juga dihasilkan oleh beberapa kuman
tertentu seperti S.aureus. Spesies Haemophilus pada umumnya peka terhadap
pendinginan, pengeringan dan beberapa disinfektan. Pada suhu 55oC, bakteri
akan mati dalam 30 menit. HiB adalah salah satu bakteri berkapsul yang
dianggap virulen dan menyebabkan penyakit-penyakit invasif. HiB
mempunyai kapsul polisakarida yang terdiri daripada polimer 5 unit carbon
sugar, ribose dan ribitol phosphate (Polyribosylribitol phosphate – PRP).
Terdapat juga fimbriae pada membrane luar yang dapat membantu HiB
melekat pada sel epitel.2,3
Gambar 1: Haemophillus influenzae tipe B
C. Epidemiologi
Sebelum ditemukan vaksin yang efektif untuk H.influenza, bakteri ini
menyebabkan penyakit-penyakit yang invasif pada anak-anak. Berdasarkan
distribusi umur; 90% terjadi pada anak-anak di bawah 5 tahun (balita) dan
mayoritasnya adalah pada anak-anak berusia di bawah 2 tahun. Rata-rata per
tahun kasus penyakit invasif disebabkan HiB adalah 64-129 kasus per
100.000 anak balita. Sedangkan kasus penyakit invasif yang disebabkan
4
H.influenza berkapsul serotipe lain adalah 0.7 per 100.000 anak balita. Di
negara berkembang, H.influenza tidak berkapsul dapat menyebabkan banyak
penyakit invasif pada neonatus, anak-anak immunocompromised dan
penderita sickle cell disease, asplenia.1
Sebenarnya, 60-90% dapat ditemukan H.influenzae yang tidak
berkapsul sebagai flora normal respirasi anak-anak. Sebelum penemuan
vaksin, HiB dapat diisolasikan dari faring 2-5% anak-anak sekolah yang
sehat. Insidens penyakit akibat HiB berkurang sebanyak 99% pada permulaan
vaksin. Pada tahun 1989-1997 insidens penyakit invasif HiB pada anak balita
berkurang sebanyak 99% yaitu dari 34 ke 0.4 kasus per 100.000 anak. Pada
infant yang tidak mendapat vaksin, risiko rekuren juga meningkat. Sebelum
mulainya terapi antimikroba, biasanya terjadi kolonisasi di nasofaring pada
kebanyakan anak dengan penyakit invasif HiB, dan 25-40% mungkin tetap
berkolonisasi pada 24 jam pertama terapi.1
D. Patogenesis
HiB hanya ditemukan pada manusia. Penyebarannya melalui udara
pernafasan dan percikan air ludah yang mengandung HiB. Bakteri ini dapat
ditemukan pada saluran nafas (hidung dan tenggorok) orang yang sehat
ataupun pada seseorang yang pernah menderita infeksi HiB. HiB dapat
bertahan dalam saluran napas untuk waktu yang lama (asymptomatic carrier),
sehingga meningkatkan kesempatan untuk transmisi. Uji hewan menunjukkan
bahwa, minoritas terjadinya penyakit adalah bila, bakteri ini menginvasi
melalui mukosa ke dalam darah difasilitasi oleh kerusakan mukosa (infeksi
virus, trauma, dan sebagainya) atau peningkatan jumlah organisme di
mukosa. Setelah penetrasi ke dalam aliran darah, HiB dilindungi dari
fagositosis oleh kapsul (antifagositosis dan serum resistance) dan
berkembang biak sementara menyebar ke meninges, epiglotis, atau
5
permukaan sinovial. Pasien mungkin menunjukkan gejala setelah terjadi
bakteremia.1,2
E. Manifestasi klinis
Berikut adalah penjabaran mengenai penyakit-penyakit yang diakibatkan
oleh Haemophilus influenzae tipe b.
Gambar 2. Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh HiB
1. Meningitis
Gejala klinis meningitis adalah demam, kaku kuduk and fotofobia.
Namun pada balita, gejala ini mungkin susah untuk diperiksa, jadi gejala
yang mungkin ada gejala tidak spesifik seperti letargi, tidak mau minum
dan iritabilitas. 2 – 5 % meningitis HiB boleh menjadi fatal walaupun telah
diberikan terapi yang tepat. Komplikasi jangka panjang meningitis HiB
adalah retardasi mental, cerebral palsy, hilang pendengaran dan kelainan
kejang.2
Diagnosis meningitis sendiri didapatkan dari isolasi HiB dari
daerah tubuh yang steril (lumbal punksi). Bakteremia HiB selalu
didiagnosis dengan isolasi HiB dari darah. Namun, metode ini tidak selalu
berhasil sekiranya seorang anak sudah diberikan antibiotik sebelum klinis
meningitis muncul. Kultur HiB dari cairan serebrospinal dapat dilakukan
untuk mendiagnosa penyakit akibat HiB. Jika riwayat klinis sesuai dengan
6
meningitis dan ada perubahan cairan serebrospinal (CSF) yaitu rendah
gula, tinggi protein, dan peningkatan jumlah neutrofil, disertai tes
aglutinasi lateks CSF yang positif untuk HiB, kemungkinan bahwa anak
tersebut menderita meningitis HiB adalah besar. Jika hasil tes aglutinasi
lateks CSF negatif, pasien ini harus dianggap tidak menderita HiB
meningitis walaupun hasil tes antigen urin positif. 1,2
Terapi antimikroba harus diberikan parenteral selama 7-14 hari
untuk kasus-kasus yang tidak rumit. Sefotaksim, seftriakson, ampisilin,
kloramfenikol dan semua diperkirakan melintasi blood-brain barrier
selama peradangan akut pada konsentrasi yang cukup untuk membuat
mereka efektif untuk meningitis H. influenzae. Kloramfenikol juga
diberikan secara oral untuk menyelesaikan rejimen terapi untuk
meningitis.2
2. Selulitis
Selulitis adalah infeksi pada kulit yang dapat terjadi di muka, kepala
atau leher. Selulitis bukal terjadi terutama pada anak-anak kurang dari usia
18 bulan dan mungkin berhubungan dengan pemberian susu botol. Hal ini
dapat muncul dalam semalam pada anak yang sehat. Ini sering memiliki
violaceous hue atau dapat muncul erysipeloid. HiB sering dapat dibiakkan
dari darah atau aspirasi dari pipi. Harus dipertimbangkan juga apakah anak
mungki memiliki fokus lain dari infeksi, terutama jika kultur darah positif.
Penyebab bakteri lain juga perlu dipertimbangkan, terutama pada anak
yang lebih tua atau jika ada abrasi wajah terkait.
Diagnosis positif untuk HiB seringkali sulit pada pasien dengan
selulitis karena dokter sering enggan untuk aspirasi dari jaringan yang
meradang. Jika kultur darah positif untuk HiB atau jika gambaran klinis
kompatibel dengan diagnosis ini dan uji lateks urine positif untuk HiB,
diagnosis dapat dianggap benar. Sekiranya tidak ada hasil yang positif,
7
adalah lebih baik untuk mengobati dengan antibiotik yang juga efektif
untuk infeksi S. aureus. 1,2
Terapi pada selulitis biasanya antimikroba parenteral yang
diindikasikan sehingga pasien afebris. Setelah itu, antimikroba oral yang
sesuai bisa diberikan. Terapi biasanya sekitar 7-10 hari.1
Gambar 3: Selulitis
Beberapa center di Amerika menjadikan selulitis orbita menjadi
keadaan darurat medis. Penyakit ini merupakan komplikasi lanjutan dari
sinusitis etmoid. Gejala pada selulitis orbita adalah proptosis mata,
keterbatasan gerakan mata, gangguan penglihatan, kemosis dan rasa nyeri
ketika mata digerakkan. Penyakit ini perlu dibedakan dari "preseptal," atau
periorbital selulitis yang merupakan selulitis dari kelopak mata. Preseptal
selulitis sering disertai dengan demam, edema dan panas di kelopak mata,
dan integumen yang utuh. Perbedaan orbitan dan preseptal selulitis lebih
baik dilakukan dengan CT Scan.1,2
3. Epiglottitis
Epiglottitis adalah infeksi dan inflamasi pada epiglottis yaitu
jaringan di tenggorokan yang melindungi dan memproteksi laring ketika
menelan. Pasien dengan epiglottitis sering menunjukkan gelaja-gejala
seperti soft stridor, demam yang tinggi, disfagia dan drooling. Pada
penanganan yang tidak tepat tepat, epiglotis yang edema bisa
8
menyebabkan risiko terjadinya obstruksi jalan nafas. 95% kasus
epiglottitis yang terjadi sebelum adanya vaksin adalah disebabkan HiB.
Epiglottitis sering terjadi pada anak berusia 2 hingga 7 tahun. Terapi
antimikroba terhadap HiB harus diberikan secara parenteral tetapi hanya
setelah jalan napas dijamin, dan terapi harus dilanjutkan sampai pasien
dapat mengambil cairan per oral. Durasi terapi antimikroba biasanya
adalah 7 hari. 2,5
4. Pneumonia
Pneumonia juga adalah salah satu mansfestasi dari penyakit invasif
HiB. Gejala klinis dari pneumonia akibat HiB dan akibat mikroorganisme
lain tidak dapat dibedakan (Demam + Batuk + Sesak). Anak yang diduga
menderita pneumonia HiB yang berusia kurang dari 12 bulan harus
menerima terapi antimikroba parenteral pada awalnya karena peningkatan
risiko untuk bakteremia dan komplikasi pada mereka adalah tinggi. Anak
yang lebih besar yang kurang parah dapat ditangani dengan antimikroba
oral. Terapi dilanjutkan selama 7-10 hari dari gabungan terapi parenteral-
oral. Kultur darah positif atau hasil positif dari tes aglutinasi lateks dari
cairan pleura mungkin konfirmasi, tetapi tes ini mungkin tidak
memberikan hasil positif jika dilakukan 1,2
5. Septic Arthritis
Septic arthritis adalah infeksi yang sering terjadi pada sendi-sendi
yang besar seperti lutut, pinggul, pergelangan kaki, dan siku, yang
terpengaruh paling umum. Biasnya saptic arthritis hanya terjadi pada satu
sendi, namum 6% kasus melibatkan beberapa sendi. Tanda-tanda dan
gejala dari septic arthritis karena H. influenzae tidak bisa dibedakan dari
arthritis yang disebabkan oleh bakteri lain.
ika aspirasi dilakukan pada penyakit septic arthritis, hal ini dapat
digunakan mengkonfirmasi bakteri penyebab infeksi, tetapi jika tidak
dilakukan maka dokter harus bergantung pada hasil kultur darah dan/atau
9
tes urine lateks. Jika anak sudah menerima antibiotik oral, kemungkinan
terjadi jika kultur negatif juga harus dipertimbangkan.1,2
Septic arthritis harus diobati dengan antimikroba yang tepat
diberikan parenteral selama setidaknya 5-7 hari. Jika respon klinis
memuaskan, sisa pengobatan antimikroba dapat diberikan secara oral.
Terapi biasanya diberikan selama 3 minggu untuk septic arthritis, tapi
dapat dilanjutkan di luar 3 minggu yaitu sehingga protein C-reaktif
normal.2
6. Perikarditis
Perikarditis adalah infeksi pada peradangan perikardium parietal,
perikardium viseral, atau kedua-duanya. H.influenzaeI jarang sekali
menyebabkan bakterial perikarditis. Anak-anak yang terinfeksi sering
sekali menunjukkan gejala-gejala infeksi saluran pernafasan atas. Selain
itu, dapat ditemukan juga demam, distres pernafasan dan takikardia.
Perikarditis selalu membutuhkan drainase, dan, jika drainase
dilakukan pada awal perjalanan penyakit, kultur akan positif untuk HiB
dari cairan atau darah. Namun, jika anak telah diberikan antibiotik dan
kultur yang negatif, tes aglutinasi lateks yang positif untuk HIB dari cairan
perikardial atau urin akan berguna.1,2
Antimikroba harus diberikan secara parenteral dengan mengikuti
regimen pengobatan meningitis. Pericardiektomi dapat dilakukan untuk
drainase bahan purulen dan sekaligus mencegah terjadinya tamponade dan
constrictive perikarditis.2
7. Bakteremia
Bakteremia akibat HiB biasanya disertai gejala demam tanpa fokus
infeksi yang jelas. Demam biasnya tinggi dari 39oC dan adanya
leukositosis ((≥15,000 cells/μL). 25% anak-anak dengan bakteremia HiB
dapat berkembang menjadi meningitis sekiranya tidak diobati. Kultur
10
darah harus dilakukan sekiranya si anak diduga menderita bakteremia HiB.
Anak haruslah dirawat inap dan diberikan antimikroba parenteral.2
F. Diagnosis
Pewarnaan Gram dan kultur merupakan tes pilihan untuk diagnosis.
Pada pewarnaan gram, akan terlihat bakteri gram negatif, berbentuk
coccobacillus. Namun, pengobatan antibiotik sebelumnya sering membuat
kultur darah steril. Kultur CSF kurang terpengaruh oleh penggunaan
antibiotik oral. Selain itu, penyakit dengan infeksi lokal (arthritis dan
epiglotitis) memiliki tingkat bakteremia yang lebih rendah, dan kultur positif
mungkin terlewatkan jika volume darah tidak memadai diambil untuk
kultur.1,4
11
Gambar 4: Perwarnaan Gram Haemophillus influenzae tipe B
HiB tumbuh pada agar coklat yang membentuk koloni mengkilap dan
mukoid. Kultur HiB di agar darah akan membentuk fenomena satelit (satellite
phenomenon) sekiranya terdapat Staphylococcus aureus di agar darah.
Staphylococcus aureus akan melisis sel darah merah dan memberikan NAD
untuk pertumbuhan Haemophillus. Tes yang lebih sensitif untuk menguji
kebutuhan faktor X adalah dengan menguji kemampuan H. influenzae untuk
mengkonversi delta aminolevulinic acid kepada porfirin. Tes lain seperti
produksi indole dari triptofan dan deteksi β-galaktosidase (uji ONPG) juga
berguna dalam membedakan H. influenzae dari spesies Haemophilus
lainnya.1-4
12
Gambar 5: Kultur HiB di agar coklat.
Metode lain untuk membantu untuk mendiagnosis HiB adalah dengan
mendeteksi antigen terutamanya ketika organisme telah dibuat nonviable oleh
antibiotik. Yang paling populer dan sensitif adalah tes aglutinasi partikel
lateks (Latex particle agglutination test), yang menggunakan antibodi anti-
PRP pada partikel latex yang mengaglutinasi sekiranya antigen PRP ada di
spesimen tersebut. Kadang-kadang false positive bagi HiB dapat terjadi akibat
reaktivitas silang dengan Escherichia coli, Streptococcus pneumoniae, S.
aureus, Neisseria meningitidis. Oleh itu, tes lateks positif disertai dengan
adanya manisfestasi klinis amatlah berguna untu1k mendiagnosis penyakit
akibat HiB.1,2
G. Pengobatan
Manifestasi klinis dan pengobatan semua penyakit H.influenzae invasif
adalah sama walaupun berbeda serotipe. Terapi antibiotik awal infeksi invasif
akibat HiB harus diberikan secara parenteral dengan menggunakan
antimicrobial agent yang efektif dalam mensterilisasi semua fokus infeksi dan
efektif terhadap strain yang resisten ampisilin. Sefalosporin broad spektrum,
seperti sefotaksim atau seftriakson boleh digunakan sebagai agen antimikroba
awal ketika HiB dianggap sebagai bakteri penyebab. Hal ini karena antibiotik
ini mempunyai efek samping yang kurang dan mudah untuk diadministrasi.4
Selain itu, dapat digunakan kombinasi kloramfenikol dengan ampisilin.
Ampisilin adalah drug of choice untuk terapi infeksi yang disebabkan oleh
bakteri ini. Setelah uji sensitivitas dilakukan, antimikroba yang tepat dapat
dipilih untuk melengkapi terapi. Jika hasil tes menunjukkan bakteri ini resisten
terhadap ampisilin, sefalosporin broad spektrum seperti sefotaksim atau
seftriakson boleh digunakan; diberikan sekali sehari sekiranya pasien dirawat
jalan. Antimikroba oral juga kadang-kadang digunakan untuk melengkapi
terapi selain dari terapi parenteral. Jika organisme rentan terhadap ampisilin,
amoksisilin merupakan obat pilihan. Sebuah sefalosporin oral-generasi ketiga
13
(misalnya, cefixime, cefpodoxime) atau amoksisilin-klavulanat dapat
digunakan sekiranya bakteri resisten terhadap ampisilin. Jangka waktu terapi
biasanya adalah sekitar 10 hari.2,4
H. Pencegahan
1. Imunisasi
Vaksin HiB merupakan vaksin yang tidak aktif, dibuat dari kapsul
Haemophillus influenzae tipe B yang disebut polyribosbitol phosphat (PRP).
Awalnya vaksin ini dibuat secara murni tanpa penambahan apa pun. Namun
ternyata vaksin ini kurang efektif pada anak yang berusia kurang dari 18
bulan. Respon terhadap vaksin hanyalah dari T-independent antigen dan
tidak ada penambahan antibodi walaupun diberikan booster. Hanya sedikit
produksi IgM dan produksi IgG juga minimal sehingga perlu diberikan
penambahan komponen bakteri lain.4,5,8,9
Komponen bakteri lain yang digunakan adalah protein bakteri penyebab
tetanus (PRP-T) dan protein dari Neisseria meningitidis (PRP-OMP) yang
juga merupakan bakteri penyebab meningitis. Penambahan komponen
bakteri lain ini disebut proses konjugasi di mana terjadinya proses ikatan
kimia antara polisakarida (antigen tidak efektif) dengan protein carrier yang
lebih efektif. Jadi, polisakarida yang T-independent akan berubah menjadi
T-dependent antigen. Pemberian vaksin HiB yang dikonjugasi membuatkan
respon booster lebih baik dan produksi IgG lebih dominan. Vaksin Hib ini
hanya melindungi terhadap infeksi Haemophillus influenzae tipe B, tidak
pada infeksi meningitis yang disebabkan oleh organisme lainnya. 6,7,10
Vaksin HiB diberikan melalui suntikan ke dalam otot (pada anak
biasanya di daerah paha atas dan untuk orang dewasa diberikan di otot
lengan). Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml sebanyak 3 kali dengan jarak
pemberian selama 2 bulan dan dilakukan pemberian ulangan 1 tahun setelah
14
pemberian terakhir. Jadwal pemberian yang dianjurkan adalah usia 2-4-6
bulan dengan ulangan (booster) pada usia 15-18 bulan.4,6,7,10
Indikasi pemberian vaksin HiB adalah:5,11,12
a) Pada anak berusia 2, 4 dan 6 bulan dan ulangan (booster) pada usia 15 –
18 bulan
b) Anak berusia kurang 2 tahun yang mempunyai penyakit invasif HiB
harus diberikan vaksin setelah 1 bulan. Anak berusia di atas 2 tahun
yang immunocompetent dengan penyakit invasif HiB tidak perlu
diimunisasi karena respon imun akan terbentuk sendiri.
c) Individu yang mempunyai risiko tinggi terkena penyakit invasif HiB
seperti asplenia, hiposplenism, immunocompromised harus di
imunisasi. Pada yang berusia di atas 1 tahun akan diberikan 2 dosis
vaksin HiB dengan jarak pemberian 2 bulan.
d) Anak dan dewasa yang akan menjalani operasi splenektomi boleh
diberikan vaksin 2 minggu sebelumnya.
e) Anak yang berusia 1 – 10 tahun yang belum pernah diberikan vaksin
HiB boleh divaksin sebanyak 1 kali.
Perbedaan jumlah pemberian vaksin berdasakan jenis vaksin yang
digunakan. Jika vaksin yang digunakan adalah jenis PRP-OMP, maka
vaksin ini cukup diberikan sebanyak 2 kali. Sementara, untuk vaksin PRP-T
diberikan sebanyak 3 kali seperti jadwal imunisasi yang dianjurkan.
Kekebalan tubuh akan mulai terbentuk setelah pemberian suntuikan yang
pertama dengan vaksin jenis PRP-OMP dan setelah 2 kali suntikan dengan
vaksin jenis PRP-T. Kekebalan yang terbentuk bertahan lebih lama untuk
vaksin jenis PRP-T jika dibandingkan dengan vaksin PRP-OMP. 7,11
Anak-anak berusia di atas 6 bulan yang belum mendapat vaksin
diberikan 2 kali suntikan, sedangkan bagi anak di atas usia 1 tahun cukup
mendapat 1 kali suntikan saja tanpa perlu pemberian ulangan. Vaksin HiB
dapat diberikan bersamaan dengan vaksin lainnya, namun lokasi
15
penyuntikan harus berbeda. Dari segi kepraktisan pemberian vaksin, saat ini
telah tersedia vaksin campuran antara HiB dengan Hepatitis B dan DPT
(Difteri, pertusis dan tetanus). 7,9
Sekiranya anak kurang dari 1 tahun telah terinfeksi, anak tersebut
masih belum menjadi kebal. Tetapi jika anak berusia lebih 1 tahun, maka
kekebalan tubuh akan terbentuk. Walaupun demikian, vaksinasi sebaiknya
tetap diberikan. Dengan pemberian vaksin ini diharapkan 95% anak-anak
terlindungi dari infeksi HiB setelah dosis kedua atau ketiga. Anak usia di
atas 12 tahun hingga orang dewasa perlu memperoleh vaksin HiB bila
mereka mengalami penurunan imunitas, misalnya pada keadaan berikut:
spelenektomi, transplantasi sumsum tulang, proses keganasan/kanker dan
HIV.7,10
Vaksin HiB yang tersedia di Indonesia adalah Tetract-HiB dan
ACT-HIB (Sanofi Pasteur), Hiberix dan Infanrix-Hib (GlaxoSmithKline),
Pedvax-Hib (Merck Sharp & Dohme). Setelah pemberian vaksin HiB, 5-
30% anak yang memperoleh vaksinasi bisa mengalami demam, kemerahan
dan nyeri pada tempat suntikan selama 1-3 hari. Vaksin HiB tidak
direkomendasikan bila seseorang sedang demam, mengalami infeksi akut
dan orang dengan riwayat alergi yang mengancam jiwa. Vaksin HiB
haruslah disimpan di kulkas pada suhu 2 oC -8oC. Mulai tahun 2013,
Kemenkes RI menegaskan akan memulai kebijakan perkenalan imunisasi
baru, yang disebut juga pentavalen (DPT-HB-Hib). Vaksin kombinasi
antara DPT, Hepatitis B, dan Hib ini ditengarai lebih unggul jika
dibandingkan program imunisasi sebelumnya yang diberikan satu persatu
pada anak. 5,6,7,9,10
2. Kemoprofilaksis
Anak-anak tidak divaksinasi yang berusia kurang dari 48 bulan yang
dalam kontak dekat akan meningkatkan risiko untuk terjadinya infeksi
invasif. Risiko penyakit sekunder berbanding terbalik dengan usia (untuk
16
anak-anak berusia di atas 3 bulan). Oleh karena banyak anak-anak sekarang
dilindungi terhadap H. influenzae tipe b dengan imunisasi sebelumnya,
kebutuhan untuk kemoprofilaksis telah sangat menurun.4,6,7
Tujuan dari kemoprofilaksis adalah untuk mencegah anak yang
rentan dari memperoleh HiB dari kontak dengan menghilangkan kolonisasi
dalam kontak yang dekat. Profilaksis rifampisin diindikasikan untuk semua
anggota kelompok yang ada riwayat kontak, termasuk pasien, jika satu atau
lebih anak-anak yang berusia kurang 48 bulan tidak diimunisasi lengkap.4,7
Untuk kemoprofilaksis, anak-anak harus diberikan rifampisin oral
(Dosis: Usia 0-1 bulan adalah 10 mg/kg/dosis; Usia di atas 1 bulan,
20mg/kg/dosis, tidak melebihi 600mg/dosis), sekali setiap hari selama 4 hari
berturut-turut. Dosis dewasa adalah 600 mg sekali sehari. Hal ini tidak
dianjurkan untuk wanita hamil, karena efek pada janin tidak diketahui.
Rifampin menyebabkan cairan tubuh (misalnya, urin, air liur, air mata)
oranye kemerahan.4,5
I. Komplikasi
H.influenzae dapat menyerang beberapa organ di luar saraf misalnya
mata (endophtalmitis), infeksi lidah (glossitis), infeksi kelenjar tiroid
(tiroiditis), infeksi dan kerusakan fungsi jantung, nanah di dalam paru-paru,
nanah dan infeksi rongga perut dan pernanahan di otak. Bila epiglottis
terinfeksi, pasien dapat mengalami sumbatan jalan nafas yang berujung pada
kematian. Kerusakan otak yang permanen dapat menyisakan gejala kejang
atau epilepsi atau retardasi mental.7
17
18
BAB III
KESIMPULAN
Haemophillus influenzae tipe B atau HiB adalah salah satu bakteri
Haemophillus influenzae berkapsul serotipe B yang dapat menyebabkan penyakit
pada manusia. Penyebaran bakteri ini adalah melalui udara pernafasan dan
percikan air ludah. HiB dapat menyebabkan penyakit-penyakit invasif seperti
meningitis, epiglottitis, pneumonia, cellulitis, artritis dan sebagainya. Gold standar
untuk mendiagnosis penyakit invasif akibat HiB adalah kultur dari cairan tubuh
yang terinfeksi (cairan serebrospinal, darah, hasil aspirasi dari fokus infeksi dan
lain-lain lagi). HiB tumbuh di agar coklat karena bakteri ini membutuhkan faktor
X (hemin) dan faktor V (nicotinamide adenine dinucleotide [NAD]). Golongan
sefalosporin generasi ketiga seperti Sefotaksim dan seftriakson atau kombinasi
kloramfenikol dan ampicillin boleh diberikan sebagai terapi. Untuk pencegahan,
disarankan untuk dilakukan imunisasi pada anak-anak usia 2-4-6 bulan dengan
ulangan (booster) pada usia 15-18 bulan.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Clements DA. Chapter 14: Haemophilus influenzae type B in Krugman’s
infection diseases in children. 11th Ed. USA: Mosby Inc; 2004
2. Daum RS. Haemophilus influenzae in Nelson textbook of pediatrics.
Elsevier; 2003.p.904-8
3. Karsinah [et al]. Haemophilus dalam Buku ajar mikrobiologi kedokteran.
Jakarta: Binarupa Aksara;1994.h.180-4
4. Haemophilus influenzae type B. Centers for Disease Control and
Prevention. February 2013. Available from:
http://www.cdc.gov/vaccines/vpd-vac/hib/downloads/dis-hib-color-
office.pdf 6
5. Haemophilus influenzae in Red Book: 2012 Report of the Committee on
Infectious Diseases. 29th ed. American Academy of Pediatrics (2012). Elk
Grove Village, IL: 2012.
6. Chapter 4: Haemophilus influenzae type B in Imunisation. Health Service
Executive (HSE) National Immunisation Office.p.43-8. Available from:
www.immunisation.ie/en/Downloads/NIACGuidelines/PDFFile_17406_e
n.pd
7. Cahyono JBSB. Vaksinasi, cara ampuh cegah penyakit infeksi.
Yogyakarta. Penerbit Kanisius; 2010. h.149-54
8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Dalam : Pedoman Imunisasi Di Indonesia.
Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SR, Kartasasmita CB, Penyunting.
Edisi ke-2,IDAI : Balai Penerbit, 2005. h. 1-256.
20
9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Pediatri Pencegahan. Dalam :
Hassan R, Alatas H, Latief A, Penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Balai Penerbit, 2006. h. 18-22.
10. Wahab Samik A. Praktek–praktek imunisasi. Dalam : Bart JK,
Penyunting. Nelson Ilmu kesehatan Anak. Edisi ke-15, 2000.h.1248.
11. Decker MD, Edwards KM. Haemophilus influenza type b vaccines:
history, choice and comparisons. The Pediatrics Infectious Disease Jour.
2008. Vol 17;9. H. 113-6.
12. Eskola J. Analysis of Haemophilus influenza type b conjugate and
Diptheria Tetanus-Pertusis combination vaccines. The Journal of
Infectious Diseases. 2006. Vol 174. h. 302-5.
21
top related