referat gagal jantung sahid
Post on 31-Jan-2016
224 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Referat Gagal Jantung
Disusun oleh :
Sahid Adi Kusumo Negoro
1102011252
Pembimbing :
dr. Agung Fabian C, Sp.JP FIHA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR REBO
UNIVERSITAS YARSI
(Periode 12 Oktober – 19 Desember 2015)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit gagal jantung kongestif merupakan masalah yang menjadi
perhatian didunia saat ini, gagal jantung kongestif merupakan salah satu penyebab
kematian tertinggi di dunia. Pola makan, kebiasaan merokok, gaya hidup tidak
sehat bahkan tingkat ekonomi dan pendidikan menjadi beberapa penyebab dari
penyakit ini. Data dari organisasi kesehatan dunia / WHO (2013) menyebutkan
17,3 juta orang meninggal akibat penyakit kardiovaskular pada tahun 2008,
mewakili 30% dari semua kematian global. Dari kematian ini, diperkirakan 7,3
juta disebabkan oleh penyakit jantung. Negara berpenghasilan rendah dan
menengah yang tidak proporsional terpengaruh: lebih dari 80% kematian penyakit
kardiovaskular terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah dan terjadi
hampir sama pada pria dan wanita.
Menurut data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011), penyakit
jantung dan pembuluh darah telah menjadi salah satu masalah penting kesehatan
masyarakat dan merupakan penyebab kematian yang utama. Sedangkan
berdasarkan Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas 2007, menunjukkan bahwa
prevalensi penyakit jantung secara 1 2 nasional adalah 7,2%. Penyakit jantung
iskemik mempunyai proporsi sebesar 5,1% dari seluruh penyakit penyebab
kematian di Indonesia, dan penyakit jantung mempunyai angka proporsi 4,6% dari
seluruh kematian. Dari data yang didapatkan tersebut maka dapat diambil
kesimpulan bahwa gagal jantung menempati peringkat atas prevalensi penyakit
yang menimbulkan kematian pada penderitanya dan merupakan masalah
kesehatan nasional maupun internasional yang perlu diatasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Gagal Jantung
2.1 Definisi
Gagal jantung adalah suatu sindrom pada pasien yang memiliki beberapa
gejala dan tanda diantaranya seperti sesak nafas, edema pada ekstremitas,
kelelahan, peningkatan tekanan vena jugularis, dan lain lain dikarenakan adanya
abnormalitas pada structural atau fungsional jantung. Diagnosis gagal jantung
terkadang sulit ditegakkan karena gejala gagal jantung mirip dengan gejala pada
penyakit jantung yang lain (ECS, 2012).
Gagal jantung kongestif (CHF) merupakan perkembangan dalam jangka
panjang gagal jantung kiri yang diikuti gagal jantung kanan demikian juga
sebaliknya yang terjadi secara bersamaan (Rilantono, 2004)
Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau
sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload.
Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien (Santoso, 2007).
Gagal jantung didefinisikan sebagai suatu sindroma klinis kompleks yang
menghasilkan berbagai macam kelainan struktural ataupun fungsional pada
pengisian atau pengosongan ventrikel (ACC/AHA, 2013).
2.2. Klasifikasi
1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik :
Gagal Jantung sistolik dan diastolik terjadi secara tumpang tindih dan sulit
dibedakan dari pemeriksaan fisik, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat
dibedakan dengan echocardiography. Gagal jantung sistolik adalah
ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung
menurun dan menyebabkan kelemahan, kemampuan aktivitas fisik menurun
dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung diastolik adalah gangguan
relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik
didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3
macam gangguan fungsi diastolik: gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe
restriktif.
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi,
kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan pada
penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia,
kehamilan, fistula A – V, beri-beri, dan Penyakit Paget. Secara praktis, kedua
kelainan ini tidak dapat dibedakan.
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea. Gagal
jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti
pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga
terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali,
dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung
terjadi pada miokard ke-2 ventrikel, maka retensi cairan pada gagal jantung
yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun
secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema
perifer. Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau
kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer
sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.
Menurut ACC/AHA
(Tingkatan gagal jantung
berdasarkan struktur dan
kerusakan otot jantung)
Menurut NYHA
(Tingkatan berdasarkan gejala dan aktifitas
fisik)
Stadium A
Memiliki resiko tinggi untuk
berkembang menjadi gagal
jantung, namun tidak ada
gangguan struktural atau
fungsional jantung, tidak terdapat
tanda atau gejala.
Kelas I
Tidak terdapat batasan dalam melakukan
aktifitas fisik sehari – hari biasa. Seperti
berjalan, naik tangga, dan sebagainya.
Stadium B
Mengalami penyakit struktur
jantung yang berhubungan
dengan perkembangan gagal
jantung, namun tidak terdapat
tanda atau gejala.
Kelas II
Terdapat gejala ringan (sesak nafas
ringan/angina).terdapat keterbatasan ringan
dalam aktivitas fisik sehari-hari.
Stadium C
Gagal jantung yang simptomatik
berhubungan dengan penyakit
structural jantung yang
mendasari
Kelas III
Terdapat keterbatasan aktivitas fisik sehari-
hari karena adanya gejala gagal jantung pada
tingkatan yang lebih ringan. Misalnya dengan
berjalan 20-100 m. pasien hanya merasa
ringan saat beristirahat.
Stadium D
Penyakit jantung structural lanjut
serta gejala gagal jantung yang
sangat bermakna saat istirahat
walaupun sudah mendapat terapi
medis maksimal (refrakter)
Kelas IV
Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa
keluhan. Terdapat gejala saat istirahat.
Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas
2.3. Etiologi dan Faktor Resiko
Faktor resiko CHF menurut AHA 2012:
1. Hipertensi
2. Diabetes Melitus
3. Sindroma metabolik
4. Penyakit aterosklerosis
2.4 Patogenesis
Gagal jantung didasari oleh suatu beban/penyakit miokard (underlying
HD/index of events) yang mengakibatkan remodeling struktural, lalu diperberat
oleh progresivitas beban/penyakit tersebut dan menghasilkan sindrom klinis yang
disebut gagal jantung.
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal
jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan
ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi
volume sekuncup, dan meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan
meningkatnya EDV ventrikel, terjadi peningkatan tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri (LVEDP). Derajat peningkatan tekanan bergantung pada kelenturan
ventrikel. Dengan meningkatnya LVEDP, terjadi pula peningkatan tekanan atrium
kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung pada saat diastol.
Peningkatan LAP diteruskan ke belakang ke dalam pembuluh darah paru-paru,
meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-paru. Jika tekanan hidrostatik
anyaman kapiler paru-paru meningkat melebihi tekanan onkotik pembuluh darah
maka akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial. Apabila kecepatannya
melebihi kecepatan drainase limfatik maka akan timbul edema interstisial. Bila
terjadi peningkatan tekanan lebih lanjut, cairan akan merembes ke alveoli
sehingga menimbulkan edema paru.
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis tekanan
vena paru. Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel
kanan. Serangkaian kejadian pada jantung kiri juga akan terjadi pada jantung
kanan yang akhirnya akan mengakibatkan edema dan kongesti sistemik.
Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat diperberat
oleh regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis secara
bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi anulus katup
AV, atau perubahan orientasi otot papillaris dan korda tendinae akibat dilatasi
ruang.
Remodeling struktral ini dipicu dan diperberat oleh berbagai mekanisme
kompensasi sehingga fungsi jantung terpelihara relatif normal, (gagal jantung
asimptomatik). Sindroma gagal jantung yang asimptomatik akan tampak bila
timbul faktor presipitasi seperti infeksi, aritmia, infark jantung, anemia,
hipertiroid, kehamilan, aktivitas berlebihan, emosi atau konsumsi garam berlebih,
emboli paru, hipertensi, miokarditis, infeksi virus, demam reumatik, dan
endokarditis infektif. Gagal jantung simptomatika akan tampak kalau terjadi
kerusakan miokard akibat progresivitas penyakit yang mendasarinya.
2.5. Diagnosis
Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung yaitu
dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea Edema ekstremitas (biasanya pada
pergelangan kaki bilateral)
Distensi vena pada leher Batuk pada malam hari
Peningkatan tekanan vena jugularis Dyspnea d’ effort
Kardiomegali pada pemeriksaan radiologi
thorax
Hepatomegali
Ronkhi paru Efusi pleura
Edema paru akut Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Gallop Takikardi (>120x/menit)
Refluks hepatojugular
Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG digunakan untuk mengetahui irama jantung, etiologi gagal
jantung akut, kondisi jantung seperti sindroma koroner akut, dan hipertrofi
rongga jantung. Aritmia jantung dinilai dengan EKG 12 sadapan dapat
dilakukan pemanangan EKG monitor kontinu diruang CVCU (Sudoyo, 2010).
Foto Thorax dan pencitraan lain
Ro thorax dilakukan untuk evaluasi kelainan tambahan paru (infeksi, tanda
kongesti) maupun jantung (bentuk dan ukuran) dan kongesti paru. Juga
diperlukan untuk konfirmasi dignosis, dan tindak lanjut untuk evaluasi adanya
perbaikan atau perburukan. CT scan dan scintigrafi toraks dilakukan untuk
mengetahui emboli paru atau penyakit paru lainnya serta Ekokardiografi
Transesofageal dan MRI untuk menyingkirkan diseksi aorta di centre yang
memiliki fasilitas (Sudoyo, 2010).
Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, urea, kreatinin, gula darah, albumin,
enzim hati dan INR merupakan pemeriksaan awal pada HF. Analisa gas darah
arteri (Astrup) diperiksa pada semua pasien dengan GJA yang berat.
Pemeriksaan non infasif seperti oksimetri dapat menggantikan data Astrup
terutama pada pasien yang sulit diakses arteri.(Sudoyo, 2010).
Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan untuk evaluasi perubahan fungsi dan
struktur jantung pada gagal jantung akut pada seperti pada sindrom koroner
akut. Hal penting yang dinilai dengan ekokardiografi : fungsi ventrikel kiri dan
kanan, keadaan katup, perikard, komplikasi mekanik dari infark miokard dan
adanya massa dijantung (jarang), tekanan arteri pulmonal, dan curah jantung.
Pemeriksaan ini dilakukan bila pasien stabil untuk transfer (Sudoyo, 2010).
Treadmill test
Treadmill test memiliki kemampuan terbatas dalam diagnosisi gagal jantung,
meskipun demikian seseorang dengan kapasitas fisik maksimal pada
pemeriksaan treadmill dan tidak dalam terapi gagal jantung dapat disingkirkan
dalam diagnosis gagal jantung. Aplikasi utama pemeriksaan treadmill pada
gagal jantung adalah untuk menilai fungsi, kemajuan terapi dan stratifikasi
prognosis (Sudoyo, 2010).
2.7. Tatalaksana
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan
secara non farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung
baik akut maupun kronik ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki
prognosis, meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi
serta beratnya kondisi.
a. Non Farmakalogi :
Anjuran umum :
1. Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
2. Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti
biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa
dilakukan.
Tindakan Umum :
1. Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan
dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal
jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
2. Hentikan rokok
3. Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang
lainnya.
4. Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30
menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban
70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan
sedang).
5. Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.
b. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE, Antagonis Angiotensin
II, diuretik, Antagonis aldosteron, β-blocker, vasodilator lain, digoksin, obat
inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia.
1. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling
sedikit diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat digunakan loop
diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik, dosis diuretik dapat
dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dengan
tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari
dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang
sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.
2. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivitas neurohormonal,
dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.
Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu
sampai dosis yang efektif.
3. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE. Pemberian
dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan
kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan
sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta
yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metaprolol. Biasa digunakan
bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik.
4. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada intoleransi
terhadap ACE ihibitor.
5. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung
disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial,
digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.
6. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan
emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi
ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi atrial
kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis dan Trancient Ischemic
Attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
7. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau
aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali
pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia klas III terutama
amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan
untuk terapi aritmia atrial dan tidak dapat digunakan untuk mencegah
kematian mendadak.
8. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis
untuk mengobati angina atau hipertensi pada gagal jantung.
Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana
memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab,
perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi
jaringan. Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang dapat dilakukan.
Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin
serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base excess menunjukkan
perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat
metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Pemberian loop
diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan venodilatasi yang akan
memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik juga
meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh
prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus
dihindari bila memungkinkan.
Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam
penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan,
nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan
preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis pemberian 2 – 3
mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload
serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta
gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada
dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner.
Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan antara
dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya
adalah teleransi terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga
pemberiannya hanya 16 – 24 jam.
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan
pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai
krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan
gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 – 0,5 μg/kg/menit.
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator.
Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel.
Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal, dapat
menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar epinefrin,
aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena menurunkan tekanan
pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke
volume karena berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg
dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01 μg/kg/menit.
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang
disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator
digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 – 100
mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor
merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat
meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi
jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg.
Pemberian dopamin 2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 – 5 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor
adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada
pemberian 5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta
yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin
akan merangsang reseptor adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya
tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis
umumnya 2 – 3 μg/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis
2,5 – 15 μg/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis
yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 – 20 μg/kg/mnt.
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian cyclic-AMP menjadi
AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang sering
digunakan dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan
untuk terapi penderia gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat
terapi penyekat beta yang memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone
intravena 25 μg/kg bolus 10 – 20 menit kemudian infus 0,375 – 075 μg/kg/mnt.
Dosis enoximone 0,25– 0,75 μg/kg bolus kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt.
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang
disertai syok kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita dengan
syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau terjadi
penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit.Obat yang biasa
digunakan adalah epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu
dengan dosis 0,05 – 0,5 μg/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1
μg/kg/mnt.
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang menyebabkan
terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah
penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila penderita datang dengan
hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan
afterload. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat seperti loop
diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside intravena maupun natagonis kalsium
intravena(nicardipine). Loop diuretik diberkan pada penderita dengan tanda
kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk menurunkan preload dan afterload,
meningkatkan aliran darah koroner. Nicardipine diberikan pada penderita dengan
disfungsi diastolik dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal ginjal,diterapi
sesuai penyakit dasar. Aritmia jantungharus diterapi.
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra aorta,
pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator, ventricular
assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung
berat atau syok kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan,
disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu
jantung bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan mempertahankan
sinkronisasi atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan
bradikardia yang simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable
cardioverter device bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia
ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan
sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik yang
tidak respon terhadap terapi terutama inotropik.
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association. 2013. 2013 ACCF/AHA Guideline for the
Management of Heart Failure: A Report of the American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
Dallas: AHA Journal
European Society of Cardiology. 2012. ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2012. European Heart Journal
Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung, 2015. PERKI
Rilantono LI, Baraas Faisal, Karo SK, Roebiono PS. 2004. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Sudoyo AW, et al.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing
top related