reasonable outcome of avulsed permanent upper incisor
Post on 02-Dec-2021
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
Reasonable Outcome of Avulsed Permanent Upper Incisor
after Seven Years Follow-Up Period
( Case Report )
Disusun Oleh:
drg. L. Cinthia Hutomo, Sp. Ort
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI
DAN PROFESI DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga student project dengan judul “Reasonable Outcome of Avulsed
Permanent Upper Incisor after Seven Years Follow-Up Period : a Case Report ”
ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Harapan kami semoga laporan kasus ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Pada makalah ini penulis masih banyak
kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Denpasar, 15 Juni 2019
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................ Error! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS .................................................................................. 4
2.1 Deskripsi Kasus ....................................................................................... 4
2.2 Perawatan ................................................................................................ 6
BAB III DISKUSI ................................................................................................ 10
BAB IV KAITAN TEORI ................................................................................... 13
4.1 Definisi .................................................................................................... 13
4.2 Etiologi .................................................................................................... 13
4.3 Diagnosis ................................................................................................ 17
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 20
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 20
5.2 Saran ....................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Radiografi Periapikal 2 hari setelah gigi 11 avulsi………………….. 5
Gambar 2. Radiografi Periapikal 2 minggu setelah gigi 11 avulsi…..…............... 6
Gambar 3. Radiografi Periapikal 3 bulan setelah gigi 11 avulsi…………............ 6
Gambar 4. Radiografi Periapikal pada saat kontrol 7 tahun………..……..……... 9
Gambar 5. Radiografi Panoramik pada saat kontrol 7 tahun……………………. 9
Gambar 6. Observasi Klinis setelah 7 tahun…………………………………… 10
1
BAB I
PENDAHULUAN
Prevalensi avulsi pada gigi permanen terjadi berkisar antara 0,5 hingga 3%
dari semua cedera gigi dan merupakan jenis trauma gigi yang relatif jarang terjadi.
Puncak dari cedera gigi terjadi antara usia 8 dan 11 tahun, kondisi ini diakibatkan
karena periode ini merupakan periode aktif pergantian gigi. Lepasnya gigi dari
soketnya dapat menyebabkan banyak cedera pada struktur sekitarnya seperti
ligamen periodontal, neurovaskular, sementum akar, tulang alveolar serta gingiva.
Segera setelah gigi mengalami avulsi, baik sel pulpa dan periodontal ligament
(PDL) mulai menderita cedera iskemik karena pengeringan, bakteri dan iritasi
kimia. Faktor-faktor negatif ini menyebabkan hilangnya vitalitas pada PDL dan
dehidrasi sel-sel pulpa, yang sangat berperan untuk kelangsungan hidup gigi.
Perawatan gigi avulsi cukup rumit dan prognosisnya tidak baik sehubungan
dengan kerusakan parahnya gigi dan struktur pendukungnya. Selain itu,
keberhasilan perawatan gigi avulse ditentukan juga oleh status gigi avulsi, tingkat
pematangan akar, lamanya gigi di luar serta kondisi penyimpanan gigi avulsi
sebelum reimplantasi, metode perawatan yang dipilih, jenis dan durasi splinting.
Komplikasi avulsi gigi dapat terjadi setelah beberapa bulan atau bahkan bertahun-
tahun dan yang paling umum adalah nekrosis pulpa, obliterasi saluran pulpa,
resorpsi akar karena inflamasi, dan ankylosis. Oleh karena itu, perawatan gigi
avulsi sangat sulit dan komplikasi lebih lanjut sering terjadi, tetapi
mempertahankan gigi dan tulang di sekitarnya selama beberapa tahun dapat
dianggap sebagai metode perawatan yang tepat bagi pasien.
2
Ankilosis dentoalveolar adalah komplikasi yang sering terjadi setelah
reimplantasi gigi avulsi. Mempertimbangkan hasil penelitian sebelumnya,
prevalensi ankilosis berkisar antara 57% dan 80% pada gigi avulsi dan replantasi.
Ankylosis digambarkan sebagai melekatnya sementum gigi ke tulang alveolar,
dengan penghapusan ligament periodontal. Kondisi ini cukup serius karena proses
remodeling tulang alveolar dan gigi yang berdekatan dapat terpengaruh setelah
trauma. Meskipun ankylosis pada orang dewasa dapat berhasil ditangani dengan
menerapkan terapi atau implantasi prostodontik, tetapi bila proses pertumbuhan
belum selesai, gigi yang mengalami ankylosis akan menjadi masalah baik bagi
pasien maupun dokter gigi. Ketika avulsi terjadi selama masa pra-remaja atau
masa remaja, ankylosis mengganggu perkembangan dentoalveolar dan sering
mengarah pada resorpsi akar yang berlanjut dan gangguan perkembangan alveolar
ridge. Dalam beberapa kasus, karena gigi yang terkena tidak dapat melanjutkan
proses erupsi alami, sehingga mengakibatkan infra-posisi gigi hingga mengalami
mengurangi estetika. Pada pasien yang sedang dalam tahap pertumbuhan, masalah
ini dapat menjadi serius, oleh karena itu diperlukan terapi ortodontik atau
prostetik. Perawatan prostodontik sendiri dapat memperbaiki keadaan gigi, tetapi
tidak benar-benar memperbaiki posisi gigi yang salah sehingga terapi ortodontik
dapat dilibatkan. Prosedur yang baru dikembangkan yang disebut peregangan
tulang ortodontik telah efektif dalam merelokasi gigi yang mengalami ankylosed.
Prosedur ini dapat menjadi solusi potensial sebelum pencabutan gigi.
Penelitian ini bertujuan untuk melaporkan kasus perawatan gigi insisivus
kanan rahang atas dengan apeks terbuka yang mengalami avulsi dan dilakukan
replantasi. Tujuan dari perawatan ini adalah untuk mengembalikan fungsi normal
3
gigi, warna dan kontur gingiva dan untuk mempertahankan fungsi gigi yang
memadai, misalnya, kemampuan untuk menggigit tanpa rasa sakit. Meskipun
terdapat komplikasi yang berkembang seperti nekrosis pulpa, resorpsi akar terkait
infeksi dan infra-oklusi, kelangsungan hidup gigi alami jangka panjang,
mempertahankan integritas dan kesejahteraan fisiologis, emosional dan sosial
pasien tercapai.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Deskripsi Kasus
Seorang pasien berusia 10 tahun datang ke klinik dokter gigi karena
mengalami trauma gigi pada 6 Februari 2011. Trauma terjadi di taman
bermain saat teman pasien tidak sengaja melempar batu bata, yang
menyebabkan gigi pasien mengalami avulsi. Pasien datang ke klinik gigi
dalam waktu satu jam. Diagnosis yang diputuskan adalah avulsi pada gigi 11
dan adanya luka pada bibir atas. Gigi yang mengalami avulsi disimpan
dalam kondisi kering dan tidak berkontak dengan tanah. Pasien dalam
kondisi umum yang baik dan tidak ada kontraindikasi untuk dilakukan
reimplantasi. Setelah pemberian anastesi lokal (Lidocaine 2% - 1.5 ml), gigi
direimplantasi dan difiksasi dengan rigid metal splint dengan bantuan
tekanan jari. Gigi yang mengalami disposisi displinting dengan Erich-arch
bar (rigid splinting) dan dilakukan penjahitan pada luka di bibir.
Dua hari kemudian (8 Februari, 2011) pasien datang ke klinik untuk
untuk perawatan lebih lanjut. Pemeriksaan klinis menunjukan gejala seperti:
membengkaknya bibir atas yang menyebabkan rasa sakit saat palpasi. Gigi
12, 11 dan 21 displinting oleh rigid metal splint, permukaan gigi dilapisi
oleh plak lunak (pasien tidak menyikat gigi setelah trauma). Gambaran
radiografi periapikal menunjukan apeks akar gigi yang terbuka dan ruang
pulpa yang lebar.
Pasien kemudian diberikan instruksi terkait kebersihan rongga mulut dan
pola makan, dimana instruksi tersebut terdiri dari : diet makanan lunak
5
selama 2 minggu, sikat gigi dengan bulu halus setiap selesai makan, kumur
dengan chlorhexidine (0,1%) dua kali sehari selama seminggu. Pasien juga
di resepkan antibiotik sistemik (Amoxicillin, 500 mg secara oral 2 kali
sehari selama 7 hari). Selain itu, pasien disarankan untuk tidak melakukan
olahraga yang melibatkan kontak fisik.
Setelah dua minggu, pemeriksaan kontrol menunjukan tidak ada
keluhan, mobilitas pada gigi 11 bersifat fisiologis, splint dilepas dan tes
dingi menunjukkan hasil positif. Tidak ada perubahan patologis baik secara
klinis maupun radiografi seperti resorpsi eksternal. Kunjungan berikutnya
dijadwalkan pada satu bulan berikutnya, namun pasien datang dua minggu
kemudian. Pasien tidak memiliki keluhan, dimana pemeriksaan klinis
menunjukan sensitivitas pada gigi 11 setelah dilakukan perkusi horizontal
dan vertikal. Pemeriksaan radiografi standar menunjukan inflammatory
external resorption pada permukaan lateral akar gigi.
Gambar 1. Dua hari setelah gigi 11 avulsi. radiografi periapikal
menunjukkan gigi 12, 11, dan 21 displinting, terlihat apeks yang lebar pada
gigi 11 dan 21
6
Gambar 2. Dua minggu setelah trauma. radiografi menunjukkan resorpsi
eksternal yang sedang dan lesi periapical gigi 11
Gambar 3. Tiga bulan setelah avulsi. radiografi menunjukkan resorpsi
eksternal yang berat dan lesi periapikal pada gigi 11
2.2 Perawatan
Preparasi kavitas dilakukan dengan round bur dilanjutkan dengan irigasi.
Jaringan pulpa nekrotik diekstirpasi dari saluran akar. Panjang kerja diukur
dengan alat apex locator dan K-file ukuran 60 (Maillefer Instruments SA,
Ballaiques, Swiss). Tahap irigasi dilakukan dengan larutan NaOCl. Saluran
7
akar kemudian dikeringkan dengan paper point dan diisi dengan CaOH
sebagai medikamen intrakanal (Calcipast, Cerkamed) menggunakan jarum
lentulo (Dentsply, Maillefer, Tusla, OK, Amerika Serikat). Kavitas
kemudian ditutup dengan bahan IRM (Dentsply, Konstanz, Jerman).
Prosedur ini diulang setiap dua minggu selama sekitar dua bulan, lalu sekali
setiap dua bulan setelah obturasi. Metode apeksifikasi menggunakan CaOH
menjadi pilihan karena terbukti berhasil secara klinis untuk menutup bagian
apikal gigi dan digunakan secara luas (M, 2005). Semua gejala klinis seperti
mobilitas gigi, sensitivitas saat uji perkusi, pembengkakan jaringan sekitar
berhasil di eliminasi.
Saluran akar diobturasi menggunakan sealer berbahan dasar ZnO
Eugenol (Caryosan, Spofa Denta) dan gutta-percha points (MGP #80).
Kavitas diisi dengan liner “Adhesor Fine” (Spofa Dental, Jicin, Republik
Ceko) dan bahan composite “Gradia” (shade A2, A3; GC, Tokyo,
Jepang).Saat kontrol setelah 3 tahun, ditemukan adanya pocket gingiva dan
“pemendekan” mahkota gigi 11. Bedasarkan saran dari spesialis
periodonsia, prosedur oral hygiene berhasil diterapkan. Satu bulan
kemudian, terjadi perbaikan pada gingiva, pendarahan kualitas sedang
didapati saat probing pada daerah distal gigi 11. Mahkota yang mengalami
pemendekan diperbaiki dengan bahan composite “Charisma” (shade A2 dan
OL; Heraeus-Kulzer).
Hasil observasi klinis terakhir (enam tahun setelah trauma) menemukan
posisi infrklusil dari gigi 11, diskolorasi mahkota, tidak ada mobilitas gigi,
serta gigi tidak sensitif terhadap perkusi dan palpasi. Ankylosis pada gigi
8
dapat terlihat baik melalui hasil radiografi panoramik maupun periapikal
(Gambar 4 – 6).
Gambar 4: Kontrol setelah tujuh tahun. Hasil radiografi tidak menunjukkan
adanya resorpsi, terlihat posisi infraoklusal dari gigi 11.
Gambar 5: Kontrol setelah tujuh tahun. Hasil radiografi panoramik menunjukkan
posisi infraoklusal dari gigi 11.
9
Gambar 6: Hasil observasi klinis menunjukkan adanya diskolorisasi dan posisi
infraoklusal dari gigi 11, tujuh tahun setelah trauma.
10
BAB III
DISKUSI
Gigi yang mengalami trauma harus segera direimplantasi setelah avulsi.
Bahkan setelah reimplantasi dilakukan dengan segera, hanya 73% kasus memiliki
jaringan desmodontal normal setelah penyembuhan selesai karena dry time
ekstraoral maksimum adalah lima menit. Selain itu, dalam kasus 10 menit
extraoral dry time, penyembuhan optimal yang teramati hanya 50%
(Bendoraitiene, Zemgulyte, & Borisovaite, 2018).
Keberhasilan perawatan jangka panjang secara langsung terkait dengan
periode ekstraoral gigi avulsi dan hasil terbaik dicapai ketika periode ini kurang
dari 20 menit. Ketika reimplantasi tidak memungkinkan dilakukan segera setelah
kecelakaan, gigi tersebut harus disimpan dalam media penyimpanan fisiologis
seperti Hank's Balanced Salt Solution (HBSS), saliva, saline dan susu. Setelah
reimplantasi, dianjurkan untuk melakukan splinting pada gigi tersebut
menggunakan semi rigid splint selama 7-10 hari. Pada beberapa kasus,
berdasarkan situasi klinis, gigi seharusnya displinting dalam jangka waktu yang
lebih lama. Imobilisasi rigid pada gigi yang avulsi merupakan kontraindikasi.
Pada kasus ini, beberapa faktor seperti waktu diluar rongga mulut yang lama,
media penyimpanan gigi avulsi yang kering, dan splinting yang rigid membuat
prognosis menjadi buruk (Bendoraitiene et al., 2018).
Perawatan endodontik pada gigi dengan perkembangan akar belum sempurna
seharusnya dilakukan untuk mencegah kemungkinan komplikasi. Pada gigi yang
masih imatur, ketika apeks masih terbuka, revaskularisasi pulpa mungkin saja
11
terjadi, tetapi kunjungan follow-up harus dijadwalkan setiap bulan selama tiga
bulan pertama (Bendoraitiene et al., 2018)
Dalam analisis akhir, pulpa, jaringan periodontal dan tulang alveolar terlibat
dalam proses penyembuhan setelah reimplantasi gigi avulsi. Berdasarkan pada
berbagai faktor, modalitas penyembuhan yang dapat terjadi adalah sebagai
berikut:pulpa yang masih bertahan, nekrosis pulpa, atau obliserasi pulpa. Faktor
stimulasi yang paling umum untuk resorpsi akar adalah pulpa yang nekrotik dan
terinfeksi. Kelangsungan hidup gigi secara langsung tergantung pada tahap
perkembangan akar pada saat reimplantasi. Menurut penelitian yang
membandingkan tingkat kelangsungan hidup gigi dengan apeks terbuka dan
tertutup setelah cedera avulsi, gigi permanen yang belum matang dengan apeks
terbuka menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih rendah dibandingkan
dengan gigi dengan apeks tertutup. Dalam kasus klinis ini, kondisinya dapat
memburuk karena pasien tidak datang untuk kontrol dan hanya datang ketika
muncul gejala klinis. Pada beberapa kasus ketika muncul gejala inflamasi klinis
dan radiologis, terapi endodontik harus dilakukan dan penutupan apeks harus
dilakukan dengan kalsium hidroksida, MTA atau bahan lain [22,25]. Dalam hal
ini, perawatan endodontik dengan kalsium hidroksida mencegah proses resorpsi
dan saluran akar diobturasi dengan gutta-percha (Bendoraitiene et al., 2018).
Tidak hanya resorpsi inflamasi yang dapat berkembang, tetapi juga resorpsi
permukaan dan resorpsi penggantian (resorpsi akar terkait ankilosis) dapat terjadi
pada kasus trauma. Resorpsi pengganti berkembang setelah kematian sel-sel
ligamen periodontal yang mungkin disebabkan oleh pengeringan atau kompresi
sel-sel ligamen. Secara signifikan, lebih banyak gigi dengan periode splinting> 10
12
hari menunjukkan resorpsi pengganti dibandingkan dengan gigi dengan periode
splinting maksimum 10 hari (Bendoraitiene et al., 2018).
Pada kasus ini banyak faktor klinis, seperti periode kering extraalveolar 60
menit, gigi dengan apeks terbuka, usia pasien yang masih muda, kebersihan mulut
yang buruk, rigid metal splint selama dua hari setelah avulsi, memberikan peran
penting dalam prognosis hasil jangka panjang dan menunjukkan kemungkinan
komplikasi yang tinggi. Meskipun demikian, gigi asli diselamatkan dan
memberikan hasil estetika yang moderat. Selain itu, ini berfungsi sebagai
pemelihara ruang, tulang dan gingiva, memuaskan kebutuhan estetika pasien dan
melakukan fungsi fisiologis sampai prosedur implantasi diperlukan atau akan
dimungkinkan (Bendoraitiene et al., 2018).
13
BAB IV
KAITAN TEORI
4.1 Definisi
Ankylosis gigi secara histologis adalah menyatunya sementum/dentin
gigi dengan tulang sehingga menyebabkan hilangnya ligamen periodontal di
lokasi tersebut (Ducommun et al., 2018). Ankylosis gigi umumnya dideteksi
melalui observasi klinis misal adanya gigi yang infraoklusi, uji perkusi, dan
tidak adanya mobilitas gigi (Loriato et al., 2009).
4.2 Etiologi
Dalam kasus replantasi gigi yang mengalami avulsi, ankilosis
merupakan salah satu komplikasi yang paling sering terjadi dengan
prevalensi diantara 57% hingga 80% (Bendoraitiene, 2018). Ankilosis pada
gigi setelah replantasi disebabkan oleh (Alruwaithi, 2017) :
1. Luksasi atau ekstraksi yang bersifat traumatik
2. Replantasi gigi yang mengalami avulsi
3. Infeksi pada jaringan periapikal
4. Iritasi secara termal atau kimiawi pada jaringan periodontal
Sedangkan beberapa faktor resiko penyebab dari ankilosis pada gigi
yang direplantasi adalah sebagai berikut :
1. Ekstraksi gigi yang bersifat traumatik (Avulsi)
Terjadinya avulsi sendiri dapat meningkatkan terjadinya ankilosis
pada gigi yang direplantasi. Ekstraksi gigi yang traumatik dapat
14
menyebabkan kerusakan pada jaringan disekitar akar gigi seperti
ligamen periodontal, jaringan neurovaskular, sementum, tulang
alveolar, dan gingiva (Bendoraitiene dkk, 2017). jaringan-jaringan
tersebut kemudian akan mengalami kerusakan iskemik yang dilanjutkan
dengan meluruhnya sel akibat kurangnya suplai darah, dehidrasi,
bahkan kontaminasi bakteri (Tezel dkk, 2013).
Faktor utama yang mencegah terjadinya resorpsi akar adalah
sementum, yang dilapisi oleh sel sementoblas (Krug dkk, 2018). Pada
saat terjadi avulsi, lapisan ini mengalami kerusakan sehingga osteoklas
dari tulang alveolar dapat berikatan langsung dengan akar gigi, sel
osteoklas akan menginvasi akar gigi dan meresorpsi jaringan keras gigi,
kemudian diikuti dengan pembentukan tulang baru oleh sel osteoblas
(Krug dkk, 2018).
Pada kasus dijelaskan bahwa pasien datang ke departemen
kegawatdaruratan setelah mengalami trauma, dimana pasien dilempari
dengan batu bata secara tidak sengaja oleh temannya, gigi 11 pasien
mengalami avulsi setelah kejadian tersebut diikuti dengan luka pada
bibir atas. Ekstraksi gigi yang bersifat traumatik tersebut dapat
meningkatkan terjadinya ankilosis setelah direplantasi karena potensi
kerusakan pada jaringan periodontal, sel sementum, dan pulpa.
2. Waktu ekstraoral gigi yang mengalami avulsi
Waktu ekstraoral maksimal dari gigi yang mengalami avulsi adalah
60 menit (Krug dkk, 2018), akan tetapi waktu optimal untuk melakukan
replantasi adalah 5 menit setelah terjadinya avulsi (Tezel dkk, 2013).
15
Jika gigi berada diluar soket lebih dari waktu maksimal, sel ligamen
periodontal dan sel sementoblas dari gigi tersebut akan mati, yang
kemudian dapat memicu terjadinya ankilosis dan resorpsi pada akar gigi
saat direplantasi (Maslamani dkk, 2016). Dalam prakteknya, gigi avulsi
yang sudah mengalami waktu ekstraoral yang melebihi 60 menit harus
tetap direplantasi pada soketnya, prosedur ini disebut dengan delayed
replantation, akan tetapi ankilosis tidak dapat dihindari jika prosedur
ini dilakukan. (Maslamani dkk, 2016).
Jika dikaitkan dengan kajian teori yang sudah dijelaskan, pasien
datang kurang lebih 60 menit yang merupakan waktu ekstraoral
maksimal dari gigi yang mengalami avulsi (Krug dkk, 2018), dijelaskan
pula pada kajian teori, waktu optimal dari dilakukannya prosedur
replantasi gigi avulsi adalah 5 menit setelah kejadian. Kemungkinan
viabilitas dari gigi tersebut sudah kurang baik dan dapat menjadi salah
satu faktor pemicu terjadinya ankilosis setelah replantasi gigi avulsi
(Maslamani dkk, 2016).
3. Media penyimpanan gigi yang mengalami avulsi
Jika gigi yang mengalami avulsi tidak dapat diimplantasi dengan
segera, gigi dapat disimpan dalam media penyimpanan fisiologis seperti
Hank’s Balanced Salt Solution (HBSS), saliva, saline, dan susu (Khinda
dkk, 2017). Tujuan dari penyimpanan dengan medium ini adalah untuk
meningkatkan ketahanan hidup dari ligamen periodontal, sementum,
dan pulpa. Medium penyimpanan ini membantu keberlangsungan hidup
jaringan dengan mencegah keringnya jaringan dan kontaminasi oleh
16
bakteri serta menjaga daya hidup dari jaringan. Tanpa medium
penyimpanan yang tepat, sel disekitar akar gigi akan mengalami
nekrosis dan memperburuk prognosis dari gigi yang mengalami avulsi.
Pada kasus, dijelaskan pasien menyimpan giginya dalam kondisi
kering tanpa medium penyimpanan yang direkomendasikan seperti di
atas. Tanpa medium penyimpanan fisioligis, gigi tersebut akan rentan
mengalami dehidrasi dan kontaminasi oleh bakteri sehingga
menurunkan viabilitas dari gigi tersebut.
4. Kondisi gigi yang mengalami avulsi
Gigi avulsi yang mengalami infeksi hingga ke saluran akar juga
dapat mengurangi prognosis dari prosedur replantasi gigi. Pada gigi
yang mengalami infeksi saluran akar, toksin dari bakteri dapat
menembus menuju ligamen periodontal melalui tubuli dentin dan
menyebabkan kerusakan pada sel ligamen periodontal. Sel ligamen
periodontal kemudian akan mengalami nekrosis dan dapat mempercepat
proses ankilosis dan resorpsi eksternal pada akar gigi (Krug dkk, 2018).
Pada kasus, tidak terdapat kondisi patologis pada gigi yang
mengalami avulsi. Kondisi gigi saat avulsi adalah sehat dan tidak
terdapat kelainan, sehingga baik bagi prognosis gigi avulsi yang
direplantasi.
5. Tahap pembentukan akar gigi yang mengalami avulsi
Tahap pembentukan akar memiliki pengaruh yang penting dalam
prognosis gigi avulsi. Sebuah studi menunjukan bahwa gigi dengan
akar yang belum terbentuk sempurna (apeks akar terbuka) memiliki
17
prognosis yang lebih buruk dibandingkan gigi dengan pembentukan
akar yang sempurna (Petrovic dkk, 2010). Hal ini disebabkan karena
gigi dengan apeks akar yang terbuka lebih rentan mengalami
kontaminasi oleh bakteri dibandingkan gigi dengan apeks yang tertutup
(Belladonna dkk, 2012), infeksi pada jaringan periapikal sendiri
merupakan salah satu penyebab dari ankylosis (Alruwaithi, 2017).
Pada kasus dijelaskan bahwa gigi pasien yang mengalami avulsi
memiliki apeks akar yang terbuka dan ruang pulpa yang lebar, dimana
pembentukan akar dari gigi tersebut belum sempurna. Penulis sendiri
menyatakan bahwa apeks akar yang terbuka pada gigi pasien yang
mengalami avulsi dapat menjadi salah satu faktor terjadinya ankylosis
setelah implantasi (Bendoraitiene dkk, 2017). jika dikaitkan dengan
teori yang disampaikan sebelumnya, gigi dengan apeks akar yang
terbuka memiliki prognosis yang buruk setelah direplantasi (Petrovic
dkk, 2010).
4.3 Diagnosis
Diagnosis ankilosis gigi dapat ditegakkan setelah observasi secara klinis
dan radiografis. Gigi yang mengalami ankilosis terlihat lebih pendek jika
dibandingkan dengan gigi sebelahnya saat observasi klinis. Mobilitas gigi
yang minim serta posisi infraoklusi dengan tepi gingiva yang lebih tinggi
dapat juga terlihat. Saat dilakukan perkusi terdengar suara yang keras
sementara gigi normal akan menghasilkan suara yang lebih lembut. Tes
18
perkusi pada gigi menggunakan gagang kaca mulut merupakan metode
diagnosis yang paling sederhana namun akurat.
Secara radiografis, terlihat hilangnya ligament periodontal dan
menyatunya akar dengan tulang. Diagnosis gigi yang mengalami ankilosis
menggunakan radiografi seringkali sulit karena daerah yang mengalami
ankilosis berukuran kecil dan dapat saja tidak terlihat pada hasil radiografi
dua dimensi. Hasil radiografis tiga dimensi, seperti CBCT dapat
memberikan gambaran yang lebih jelas, namun teknologi ini belum banyak
digunakan. Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa dibutuhkan
minimal 20% dari penyatuan tulang dan akar gigi sebelum terjadi hambatan
pada mobilitas gigi dan timbulnya suara khas saat perkusi. Ankilosis gigi
seringkali terjadi pada bagian labial dan lingual dari akar gigi sehingga sulit
terlihat saat tahap awal. Seringkali terdapat lekukan pada tulang alveolar
yang mengarah ke gigi yang mengalami ankilosis.
Indikasi paling kuat perihal terjadinya ankilosis adalah ketidakmampuan
gigi untuk berpindah dengan pertumbuhan dental alveolar vertikal normal
atau saat dikenakan gaya ortodontik. Hal ini mengakibatkan gigi tersebut
terlihat infraoklusi. Meskipun demikian, tampilan infraoklusi dari gigi yang
mengalami ankylosis dapat salah didiagnosis akibat adanya gigi geligi
lainnya yang baru erupsi.
Tidak mudah untuk menentukan apakah ankilosis dapat terjadi setelah
adanya trauma pada gigi karena pada beberapa kasus ankylosis baru terjadi
belasan tahun kemudian. Ankylosis gigi dapat mempengaruhi
perkembangan oklusal pada anak-anak yang masih masa pertumbuhan. Oleh
19
karena itu, deteksi dini dan perawatan yang efektif adalah langkah yang
diperlukan untuk mencegah gangguan pada erupsi gigi dan timbulnya
maloklusi. Meskipun demikian, deteksi dini dari ankilosis tetap tidak akan
mengubah hasil yaitu kehilangan gigi akibat terjadinya resorpsi. Deteksi dini
dapat membantu dokter gigi untuk mengantisipasi terjadinya infraoklusi
selama masa pertumbuhan si pasien. Jika pasien masih dalam masa
pertumbuhan, maka diagnosis dini dapat membantu menentukan waktu
perawatan yang sesuai agar dapat mengurangi risiko morbiditas dan
menghasilkan prognosis yang lebih baik (Andersson et al., 2008).
Pada kasus di atas pemeriksaan yang dilakukan untuk menunjang
diagnosa terjadinya ankylosis adalah dengan pemeriksaan klinis da
radiografi. Hasil pemeriksaan klinis menunjukkan adanya posisi infraoklusal
gigi 11 dan tidak adanya mobilitas gigi. Radiografi yang digunakan pada
kasus adalah panoramik dan periapikal dan hasilnya menunjukkan adanya
gambaran ankilosis.
20
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Ankilosis merupakan adalah kondisi dimana terjadi penyatuan antara
sementum dan dentin dengan tulang sehingga menyebabkan hilangnya
ligamen periodontal pada lokasi tersebut. Ankylosis sendiri merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi setelah replantasi gigi yang mengalami
avulsi.
Terdapat banyak faktor yang meningkatkan resiko terjadinya ankilosis
pada gigi avulsi yang direplantasi seperti kondisi jaringan disekitar akar gigi,
waktu ekstraoral dari gigi yang mengalami avulsi, medium penyimpanan
gigi yang mengalami avulsi, kondisi gigi yang mengalami avulsi, dan tahap
pembentukan akar dari gigi yang mengalami avulsi. Semua faktor resiko
tersebut saling berkaitan terhadap viabilitas sel dan jaringan disekitar akar
gigi.
Ankylosis dapat ditangani dengan berbagai metode perawatan, dimana
metode tersebut terdiri dari ekstraksi gigi yang mengalami ankilosis secara
dini, menggunakan orthodontic space closure, intentional replantation,
osteotomi dento-osseus gigi tunggal, dan dekoronisasi yang dimana setiap
perawatan memiliki indikasi, kekurangan dan kelebihannya masing-masing.
5.2 Saran
Ankylosis setelah replantasi gigi yang mengalami avulsi memiliki
tingkat kejadian yang tinggi, alangka baiknya dokter gigi atau tenaga
21
kesehatan lainnya dapat mengedukasi masyarakat umum untuk
meningkatkan pengetahuan mengenai avulsi gigi, khususnya dalam tindakan
pertama setelah mengalami kejadian avulsi gigi. Dengan meningkatnya
pengetahuan akan tindakan pertama yang harus dilakukan setelah gigi
mengalami avulsi, diharapkan kejadian ankylosis dapat menurun.
22
DAFTAR PUSTAKA
Alruwaithi, M., Jumah, A. dan Alsadoon, S. (2017) “Tooth Ankylosis And its
Orthodontic Implication,” IOSR Journal of Dental and Medical Sciences,
16(2), hal. 108–112. doi: 10.9790/0853-160201108112.
Andersson, L. et al. (2008) “Tooth ankylosis,” International Journal of Oral
Surgery, 13(5), hal. 423–431. doi: 10.1016/s0300-9785(84)80069-1.
Bendoraitiene, E., Zemgulyte, S., & Borisovaite, M. (2018). Reasonable Outcome
of Avulsed Permanent Upper Incisor after Seven Years Follow-Up Period: a
Case Report. Journal of Oral and Maxillofacial Research, 8(4), 4–10.
https://doi.org/10.5037/jomr.2017.8406
Ducommun, F. et al. (2018) “Diagnosis of tooth ankylosis using panoramic views,
cone beam computed tomography, and histological data: A retrospective
observational case series study,” European Journal of Orthodontics, 40(3),
hal. 231–238. doi: 10.1093/ejo/cjx063.
Hadi, A., Marius, C., Avi, S., Mariel, W., & Galit, B.-B. (2018). Ankylosed
permanent teeth: incidence, etiology and guidelines for clinical management.
Medical and Dental Research, 1(1), 1–11.
https://doi.org/10.15761/mdr.1000101
Loriato, L. B. et al. (2009) “Late diagnosis of dentoalveolar ankylosis: Impact on
effectiveness and efficiency of orthodontic treatment,” American Journal of
Orthodontics and Dentofacial Orthopedics, 135(6), hal. 799–808. doi:
10.1016/j.ajodo.2007.04.040.
Sapir, S., & Shapira, J. (2008). Decoronation for the management of an ankylosed
top related