raja sufi dari kesultanan banten: sultan abul mafakhir
Post on 16-Oct-2021
15 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul
Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Disusun oleh:
Agus Prasetyo (11140220000035)
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
Raja Sufi dari Kesultanan Banten: Sultan Abul
Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Disusun oleh:
Agus Prasetyo (11140220000035)
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
i
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai Sultan Abul Mafakhir
Mahmud Abdul Kadir. Dalam memimpin Banten, Sultan Abul
Mafakhir berhasil mencapai tahap ‘Raja Sufi’ karena ia mampu
mengembalikan keamanan dan kestabilan di Kesultanan Banten.
Ada tiga Permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini.
Pertama, apa yang dimaksud dengan Raja Sufi. Kedua, siapakah
Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Ketiga, bagaimana ia
berhasil mencapai tahapan Raja Sufi. Untuk menjawab
permasalahan di atas, arah penulisan sejarah dalam skripsi ini akan
bersifat analytical history yang dilakukan dengan library research
serta observasi langsung ke lokasi penelitian. Penelitian ini
menggunakan pendekatan sejarah dengan memanfaatkan teori
kepemimpinan kharismatik Max Weber. Dalam konteks raja-raja
Nusantara, teori tersebut kemudian dirumuskan kembali oleh Merle
C. Ricklefs dan A.C Milner menjadi ‘Raja Sufi’.
Temuan dalam penelitian ini pertama, Raja Sufi adalah
penguasa sempurna yang mampu menjaga kestabilan dan keamanan
wilayah kerajaannya. Konsep Raja Sufi bersumber dari doktrin
insan kamil yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan Abd al-Karim
al-Jili. Kemudian, insan kamil diaktualisasikan dengan lanskap
politik kerajaan Nusantara yang berpusat pada sosok raja. Kedua,
Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir adalah Raja Banten
keempat yang berkuasa di Banten dari tahun 1624-1651 M. Ia
berhasil mengembalikan kedudukan Banten sebagai salah satu
kerajaan besar di Nusantara. Ia memperoleh gelar ‘Sultan’ dari
Mekkah di tahun 1638 M dan mampu menciptakan stabilitas
ekonomi dan politik di Kerajaan Banten. Ketiga, Ia memiliki
ketertarikan terhadap doktrin ‘insan kamil’. Atas dasar ini, ia
memberi perintah untuk menyalin kitab al-Insan al-Kamil karya al-
Jili dan membaca Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali. Selain itu, ia
juga mengirim utusan ke Mekkah untuk meminta fatwa yang
tergambar dalam kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah karya
Muhammad ‘ibn Allan. Ketiga kitab tersebut kemudian membentuk
pribadi Sultan Abul Mafakhir menjadi Raja Sufi.
Kata Kunci: Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir,
Kesultanan Banten, Insan Kamil, Raja Sufi.
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
Subhanau wa Ta’ala. Karena atas segala rahmat, nikmat serta
hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Teriring juga salawat serta salam kepada utusan Allah untuk
memperbaiki akhlak manusia, Nabi Muhammad
Shalallahu’alayhi wa Sallam yang akan menjadi pemberi
syafa’at bagi kita di hari akhir nanti.
Skripsi yang ada di tangan pembaca sekalian adalah
akumulasi dari proses panjang dalam menyelesaikan studi
untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Melalui usaha dan upaya
yang panjang, akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi
dengan judul: RAJA SUFI DARI KESULTANAN
BANTEN: SULTAN ABUL MAFAKHIR MAHMUD
ABDUL KADIR (1596-1651 M).
Di balik proses panjang yang telah penulis lalui untuk
menyelesaikan skripsi ini, ada banyak partisipasi dan
dukungan dari berbagai pihak yang diwujudkan dalam bentuk
moril maupun materiil. Dalam kesempatan yang baik ini,
penulis menghaturkan rasa syukur dan terima kasih atas
segala bantuan, do’a serta kerja sama dalam mewujudkan
penulisan sejarah mengenai Sultan Abul Mafakhir Mahmud
Abdul Kadir. Oleh karena, penulis ingin menyampaikan
terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
iv
1. Kedua orang tua penulis, Bapak Teguh Miranto dan
Ibu Tati Munyanih yang senantiasa memberikan
motivasi dan semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan studi. Keduanya juga menjadi
penyandang dana terbesar dari skripsi yang penulis
tulis ini.
2. Kedua adik penulis, Melysa Anggraini dan Tri Indah
Sari, yang senantiasa menemani serta menghibur
penulis ketika sedang kesulitan dalam menyelesaikan
skripsi ini.
3. Prof. Jajat Burhanuddin, selaku Dosen Pembimbing
Skripsi sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang
dengan sabar menuntun serta membimbing penulis
dalam menyelesaikan skripsi dan studi di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Awalia Rahma selaku Ketua Program Studi
Sejarah dan Peradaban Islam yang senantiasa
mendorong penulis untuk segera menyelesaikan studi
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Tak lupa juga penulis haturkan banyak ucapan
terima kasih kepada Pak Nurhasan dan Ibu Sholikatus
Sa’diyah selaku kepala dan sekretaris prodi Sejarah
dan Peradaban Islam sebelumnya.
v
5. Kepada Prof. Budi Sulistiono dan Prof. Amirul Hadi
sebagai dosen penguji yang telah membedah dan
menguji skripsi penulis. Keduanya telah memberikan
masukan dan saran yang membangun bagi penulis
untuk bisa memperbaiki skripsi ini agar lebih baik
lagi.
6. Kepada seluruh Dosen Sejarah dan Peradaban Islam
(2014-2019) yang telah memberikan banyak ilmu
mengenai Sejarah dan Peradaban Islam. Atas dasar
inilah, penulis semakin banyak belajar dan mendalami
tentang Sejarah dan Peradaban Islam, terlebih lagi
mengenai sejarah Indonesia.
7. Dr. Saidun Derani, dosen dan orang tua luar biasa yang
selalu memberikan nasihat dan masukan kepada
penulis untuk segera menyelesaikan studi. Nasihat dan
masukan dari beliau selalu melekat dalam ingatan
penulis ketika sedang berada di situasi yang sulit.
8. Prof. Mufti Ali, MA dan Drs. Tubagus Najib,
keduanya merupakan ahli tentang sejarah Banten dan
tergabung dalam organisasi Bantenologi di UIN
Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Prof. Mufti dan
Pak Najib beberapa kali memebrikan sumber referensi
penting yang belum penulis ketahui mengenai sejarah
Banten, khususnya yang berhubungan dengan tema
yang penulis kaji.
vi
9. Keluarga besar penulis di Kota Tangerang dan
Kabupaten Batang yang telah memberikan doa dan
dukungan agar penulis lebih cepat lagi dalam
menyelesaikan studi.
10. Destri Andriani yang telah menjadi sahabat yang telah
setia menemani penulis selama menjalankan studi di
UIN Jakarta. dari waktu ke waktu, ia senantiasa
memberikan masukan, kritik dan saran agar penulis
lebih cepat dan baik lagi dalam menyelesaikan studi
dan lebih penting menjalani hidup. Dalam kesempatan
ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas segala doa dan dukungan yang
Destri berikan selama ini. doa dan harapan yang
terbaik juga akan selalu saya berikan padamu. Kamu
yang terdalam dan akan selalu kunanti. Bismillah.
11. SKI A GENT (Adika Setiawan, Muhammad
Aminuddin, Nurrizal Fahmi, M. Reza Kurnia, Haris
Maulana, Ibnul Mubarok) yang bersama mereka,
penulis banyak menghabiskan waktu selama
mengenyam pendidikan di UIN Jakarta.
12. KELUARGA SKI A, Terima kasih atas segala waktu,
kebersamaan dan pembelajaran yang sudah diberikan
oleh teman-teman kelas SKI A yang sangat luar biasa.
vii
13. SALAM 156 (Kautsar, Sirojuddin, Ammar, Futuh,
Najih, Rizky, Fitri, Ata, Loli, Febri, Riri, Shafira).
Satu bulan lamanya penulis menghabiskan waktu
dengan mereka. Semoga semangat kekeluargaan yang
sudah terjalin sebelumnya bisa terus dipertahankan
14. JOMBS DKI (Abdullah Syafi’i, Dany Erlambang,
Teuku Affan, Wijanarko Setyosalam). Banyak momen
penting dan berharga yang sudah penulis lewati dan
jalani dengan grup ini. Terima kasih atas segala
momen seru dan dukungan yang sudah kalian berikan.
15. Inayatul Khasanah, Dicky Prasetya dan Dikiy Hidayat.
Terima kasih atas segala dukungan, do’a dan petunjuk
yang telah diberikan kepada penulis.
16. Seluruh staf dari Perpustakaan Kebudayaan
Kemendikbud, khususnya Bapak Ari yang dengan
sabar melayani kebutuhan buku yang penulis cari di
Perpustakaan Kebudayaan di lt. 6 Gedung A
Kemendikbud.
17. Bapak Thohari, Bapak Indra serta Bapak Frandus.
Terima Kasih atas keramahan yang sudah diberikan
selama kegiatan magang penulis di Puslit Arkenas
tahun 2017.
viii
18. Petugas Perpusnas Lantai 9, Terima kasih atas
bantuannya dalam memudahkan dalam mengakses
manuskrip-manuskrip yang penulis butuhkan.
19. Ka Syahril dan Ka Syarif. Terima kasih atas segala
inspirasi dan contoh baik yang sudah diberikan kepada
penulis selama ini.
20. Keluarga besar FRESH (2017-2018). Mohon maaf
atas segala kelalaian dan keburukan yang penulis
hadirkan selama menjadi anggota FRESH. Terima
kasih juga karena telah banyak memotivasi penulis
lewat postingan-postingan yang menggugah semangat
penulis untuk melanjutkan studi.
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa kekurangan
yang terdapat dalam skripsi ini masih begitu banyak.
Karenanya, penulis mengharapkan kritik serta masukan yang
membangun demi menjadikan skripsi ini lebih sempurna.
Semoga bisa bermanfaat untuk para pembaca
Jakarta, 2 Juli 2019
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................
LEMBAR PENGESAHAN .................................................
ABSTRAK ........................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................ xii
GLOSSARI ...................................................................... xiv
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang .................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .......................................... 12
C. Batasan Masalah ................................................ 14
D. Rumusan Masalah ............................................. 14
E. Tujuan dan Manfaat ........................................... 14
F. Metode Penelitian .............................................. 15
G. Sistematika Penulisan ........................................ 22
BAB II Tinjauan Pustaka
A. Kerangka Teori .................................................. 25
B. Kajian Pustaka ................................................... 27
C. Kerangka Berpikir ............................................. 30
BAB III Ajaran Insan Kamil di Kesultanan Banten Abad
ke-17
A. Doktrin insan kamil dari waktu ke waktu ......... 39
1. Insan kamil dalam pandangan
Ibnu Arabi ................................................. 39
x
2. Insan kamil dalam pandangan
Abd’ al-Karim al-Jili ................................. 42
3. Martabat Lima dan insan kamil menurut
Hamzah Fansuri ........................................ 44
4. Insan kamil dalam pandangan
Nurudin ar-Raniry ..................................... 47
B. Konsep Raja Sufi:Aktualisasi Doktrin insan kamil
di Nusantara ...................................................... 50
C. Ajaran insan kamil di Kesultanan Banten ......... 54
BAB IV Kesultanan Banten di Bawah Kekuasaan Sultan
Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir
(1624-1651 M)
A. Kesultanan Banten sebelum Sultan Abul Mafakhir
Mahmud Abdul Kadir berkuasa ........................ 59
B. Kesultanan Banten di masa Pemerintahan Sultan
Abul Mafakhir (1624-1651 M) .......................... 69
C. Inggris dan Belanda: Kawan di satu sisi dan lawan
di sisi yang lain .................................................. 81
D. Mekkah dan India: Sumber otoritas keagamaan
bagi Kesultanan Banten ..................................... 98
BAB V Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir:
Raja Sufi dari Kesultanan Banten
A. al-Mawahib ar-Rabbaniyyah dan Sultan Abul
Mafakhir Mahmud Abdul Kadir ...................... 107
B. Perjalanan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul
Kadir sebagai Raja Sufi ................................... 115
xi
BAB VI Penutup
A. Kesimpulan ...................................................... 123
B. Saran ................................................................ 128
Daftar Pustaka ................................................................ 130
Lampiran-Lampiran ...................................................... 143
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Suasana di situs Makam Kenari, tempat
dimakamkannya Sultan Abul Mafakhir
Mahmud Abdul Kadir.
Gambar 2: Gapura Bentar (Split Cave) atau Padureksa
yang merupakan pintu masuk di situs Makam
Kenari.
Gambar 3: Beberapa makam yang ada di dalam kompleks
makam Kenari. Nyai Gedhe (Ibunda Sultan
Abul Mafakhir) dan Sultan Abul Ma’ali (Putra
Abul Mafakhir) juga dimakamkan di Kenari.
Gambar 4: Nisan Tipe Banten yang ada di situs makam
Kenari.
Gambar 5: Masjid Kenari yang berada tepat di depan situs
makam Kenari.
Gambar 6: Suasana di dalam Masjid Kenari.
Gambar 7: Mustaka atau Cungkup yang ada di atas Masjid
Kenari.
Gambar 8: Pintu masuk berbentuk kecil yang
menghubungkan selasar masjid dengan ruang
utamanya.
Gambar 9: Sebuah benda yang menyerupai pedang
dzulfiqor, pedang legendaris dalam sejarah
Islam. Tersimpan di dalam Masjid Kenari.
xiii
Gambar 10: Surat Raja Banten kepada Raja Inggris di
tahun 1629 M.
Gambar 11: Koin ‘Kasha’, salah satu mata uang Kerajaan
Banten di abad ke-17.
Gambar 12: Halaman judul manuskrip al-Mawahib ar-
Rabbaniyyah.
Gambar 13: Pertanyaan pertama yang ada pada al-
Mawahib ar-Rabbaniyyah.
Gambar 14: Peta ‘La Rade de Bantam’,
Gambar 15: Ilustrasi pemandangan Kota Banten dari arah
laut di abad ke-17.
Gambar 16: Ilustrasi pasar Banten yang ramai dan penuh di
abad ke-17.
Gambar 17: Ilustrasi Bendera Banten di abad ke-17 oleh
Cornelis Daenkert.
xiv
GLOSSARI
Andamohi Keling : Salah satu penasihat raja yang
berasal dari India. Ia juga lawan
politik dari Pangeran Ranamanggala
dalam peristiwa pailir di tahun 1608.
BKI : Bijdragen tot de Taal-, Land en
Volkekunde
Bulletin of SOAS : Bulletin of the School of Oriental
and African Studies
EIC : East India Company, perusahaan
dagang asal Inggris yang dibentuk
awal abad ke-17.
Fatwa : Jawaban atas pertanyaan yang
berkaitan dengan hukum Islam.
Gula Geseng/Ngemu : Pejabat Istana yang ditugaskan oleh
Sultan Abul Mafakhir untuk
memberikan uang kepada rakyat
yang sedang kesulitan.
Insan Kamil : Doktrin sufistik tentang manusia
Sempurna yang mampu menjadi
bayangan Tuhan di Bumi.
Istifta : Pertanyaan yang diajukan mustafti
untuk meminta fatwa kepada mufti.
JAABE : Journal of Asian Architecture and
Building Engineering
JMBRAS : Journal of the Malayan Branch of
the Royal Asiatic Society
Kelapadua : Pusat penghasil gula paling awal di
Banten.
Koin Kasha : Mata uang kerajaan Banten di masa
Sultan Abul Mafakhir.
Maulana : Sebutan bagi penguasa atau raja yang
diambil dari bahasa Arab.
Martabat Lima : Ajaran Sufistik yang diformulasikan
Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-
Sumatrani terkait dengan lima
xv
tingkatan atau proses pencitraan
Tuhan dalam diri manusia.
Martabat Tujuh : Ajaran sufistik yang diformulasikan
al-Burhanfuri terkait dengan
tujuh tingkatan atau proses
pencitraan Tuhan dalam diri
manusia.
Mufti : Orang yang memberikan fatwa.
Mustafti : Orang yang meminta fatwa.
Mustaka/Cungkup : Ornamen yang berbentuk mahkota
yang biasanya berada di atas masjid.
Nayaka/Santana : Pegawai Kerajaan. Biasanya berasal
dari dalam anggota kerajaan.
Pabaranang : Peristiwa penyerangan pasukan
Banten terhadap blokade kapal
Belanda di tahun 1635 M.
Padureksa : Bangunan berbentuk gapura yang
banyak ditemui pada beberapa
bangunan suci di kawasan Banten
Lama.
Pagerage : Peperangan yang berlangsung antara
Banten dan Cirebon di akhir dekade
1640 M.
Pailir : Perang saudara yang berlangsung di
Banten sekitar tahun
1608 M.
Pangeran : Gelar kerajaan yang sering
digunakan oleh pewaris tahta dan
para bangsawan.
Papungkuran : Bangunan yang ada di tengah danau
Tasikardi dan menjadi tempat Sultan
Abul Mafakhir bertafakkur dan
merenung.
Punggawa : Pegawai Kerajaan. Biasanya berasal
dari luar anggota kerajaan.
Raja Sufi : Penguasa yang memiliki
pengetahuan yang baik terhadap
doktrin sufistik.
Sultan : Penguasa yang memimpin sebuah
xvi
Kesultanan.
Tajalli : Cerminan atau Manifestasi.
Tasikardi : Danau buatan yang terletak di selatan
Surosowan. Biasanya disinggahi oleh
Sultan Abul Mafakhir selepas
berziarah dari makam Ibundanya.
Warga : Dewan Musyawarah di Kesultanan
Banten yang terdiri dari punggawa,
nayaka dan para pejabat Banten
lainnya
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Skripsi ini dimaksudkan untuk menjelaskan salah satu
penguasa yang paling penting di Kesultanan Banten, Sultan
Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Sultan Abul Mafakhir
lahir di tahun 1596 M dengan gelar Pangeran Ratu Ing
Banten1. Ia mulai berkuasa sejak tahun 1624 M hingga tahun
1651 M. Selama menjalankan kekuasaannya di Banten, Sultan
Abul Mafakhir mampu menjaga kemerdekaan Banten. Dalam
naskah Sajarah Banten (selanjutnya disebut Sajarah Banten),
ada banyak peristiwa penting yang berlangsung selama masa
kekuasaan Abul Mafakhir. Pertama, peristiwa pailir di tahun
1608 M, ia digambarkan sebagai perang saudara yang terjadi
antara para pembesar negeri Banten. Kedua, peristiwa
palumaju yang digambarkan sebagai pemberontakan yang
digerakkan oleh seorang tokoh bernama ‘Lumaju’ di tahun
1640-an. Ketiga, pengiriman utusan Banten ke Mekkah di
tahun 1630-an. Keempat, peristiwa pagerage yang
1 Merupakan gelar Abul Mafakhir sebelum mendapatkan gelar
‘Sultan’ dari Syarif Mekkah di tahun 1638 M. Annabel Teh Gallop,
“Seventeenth-Century Indonesian Letters in The Public Record Office”.
Indonesia and The Malay World 31, no.91 (2003): 418.
2
mengisahkan upaya Banten dalam mempertahankan diri atas
serbuan pasukan Cirebon di tahun 1650.2
Dalam naskah yang sama, Sultan Abul Mafakhir
Mahmud Abdul Kadir bahkan dikenal sebagai Sultan Agung
atau ‘penguasa besar’.3 Sosoknya sebagai salah satu ‘Sultan
Agung’ Kesultanan Banten sering kali luput dari perhatian dan
bahkan tertutupi oleh kegemilangan para penerusnya.
Dalam berbagai studi mengenai Sejarah Banten, peran
Sultan Abul Mafakhir memang seakan tertutupi dengan
kegemilangan penerusnya, Sultan Ageng Tirtayasa (ber 1651-
1682 M. Beberapa di antaranya adalah; pembangunan saluran
irigasi, kanal serta ladang selama tahun 1659-1677 M.4 Atas
jasa besarnya dalam membangun berbagai macam pengairan di
Banten, gelar ‘Tirtayasa’ kemudian disematkan pada dirinya.
Selain itu, Banten berhasil menjadi Kesultanan Jawa pertama
yang mampu membentuk kongsi dagang sendiri dan mengirim
kapal-kapal ke Kamboja, Filipina, Vietnam, Siam dan ke
kawasan Asia Timur seperti China, Taiwan serta Jepang di
2 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten (Jakarta:
WWS, 2015). 137-140. 3 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten
(Jakarta: Djambatan, 1984). 199. Lihat juga Ernest Lavisse & Alfred
Rambaud, Histoire Gerneralie: Les Monarchies constitutionnelles. (Paris:
Armand Colin & Co, 1898). 998. 4 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII
(Jakarta: KPG- EFEO, 2008). 205-206.
3
1660’an.5 Namun, kegemilangan Sultan Ageng Tirtayasa
bukan muncul dari ruang yang hampa. Ia muncul dari fondasi
kuat yang telah diletakkan oleh para pendahulunya.
Menurut penulis, salah satu penguasa Banten yang
berhasil menciptakan fondasi yang kokoh adalah Sultan Abul
Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M). Dalam bidang
pertanian, Sultan Abul Mafakhir juga banyak membuka ladang
baru, membangun lumbung serta memformulasikan gula
sebagai komoditas baru di Banten.6 Sedangkan dalam bidang
perniagaan, Sultan Abul Mafakhir menggandeng EIC (East
Indies Company) untuk mengekspor gula ke Batavia dan
beberapa kawasan lain di Nusantara.7 Hasilnya, perekonomian
dan perniagaan Banten menjadi lebih stabil dan kuat dibanding
dengan periode sebelumnya.
Salah satu indikator dari perbaikan ekonomi Banten
masa itu adalah harga lada yang membaik dan diikuti dengan
kemunculan gula sebagai komoditas perdagangan baru di
Banten. Terkait dengan harga lada, data yang dihimpun oleh
Johan Talens menunjukkan, di tahun 1620’an yang merupakan
5 Claude Guillot, Hasan M. Ambary & Jacques Dumarcay, The
Sultanate of Banten (Jakarta: Gramedia Book Publishing Division, 1990).
49-52. 6 Claude Guillot, Lukman Nurhakim and Claudine Salmon, “Les
Sucriers chinois de Kelapadua, Banten, XVIIe siècle. Textes et vestiges”.
Archipel 39 (1990):141-142. 7 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater
(Hilversum: KITLV-Verloren, 1999). 76-77.
4
masa awal pemerintahan Sultan Abul Mafakhir, harga lada
berada di kisaran 1,8 real/bahar. Harga lada kemudian
meningkat di tahun 1630’an menjadi 18,75 real/bahar.
Kenaikan harga lada terus berlangsung hingga akhir masa
kekuasaannya. Di tahun 1640’an dan 1650’an, harga lada
menjadi 20,5 real/bahar dan 22 real/bahar.8 Salah satu faktor
atas kenaikan harga lada Banten adalah kembalinya Inggris ke
pasar Banten di tahun 1628 M. Sultan Abul Mafakhir
mengundang secara khusus orang-orang Inggris yang ada di
Pulau Lagundi untuk membuka kembali loji Inggris di Banten.9
Perdagangan lada menjadi lebih terbuka dengan
kehadiran EIC (East India Company). Kebijakan waliraja
Ranamanggala yang sebelumnya memberi hak khusus bagi
para pedagang keturunan Cina juga dibatalkan oleh Sultan
Abul Mafakhir. Di sisi lain, Sultan Abul Mafakhir juga
berusaha untuk menurunkan jumlah produksi lada. Di tahun
1629, jumlah ekspor lada Banten hanya sekitar 15.000 hingga
16.000 karung. Jumlah tersebut turun drastis dari produksi
tahun 1627 yang mencapai 50.000-60.000 karung dan tahun
1620 yang mencapai 100.000 karung.10 Kemampuan Sultan
Abul Mafakhir dalam emperbaiki demand (permintaan) dan
8 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater. 86. 9 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-
1682)”. Archipel 50, (1995): 105. 10 Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara (Yogyakarta: Ombak, 2016). 401.
5
supply (ketersediaan) agaknya menjadi salah satu faktor
pendorong dari harga lada Banten yang cenderung naik.
Melalui keterlibatan Inggris juga, gula muncul sebagai
komoditas baru di tahun 1620’an. Claude Guillot dalam
penelitiannya menemukan sebuah kontrak kerja yang
disepakati antara orang Cina di Banten dengan loji Inggris,
bahwa semua gula yang dihasilkan oleh para petani hanya
boleh dijual kepada pihak Inggris. Kontrak tersebut
berlangsung antara bulan Februari 1638 sampai Januari 1640.
Dalam kontrak ini, Sultan Abul Mafakhir sendiri berperan
sebagai pengawas agar segala hak dan kewajiban yang
disepakati dalam kontrak tersebut bisa dipenuhi oleh masing-
masing pihak. Gula yang dihasilkan dalam setahun
diperkirakan mencapai 450 pikul atau 2,8 ton gula putih dengan
kualitas bagus.11 Gula yang dibeli Inggris kemudian di ekspor
oleh EIC (East India Company) ke Batavia. Di tahun 1637 M
bahkan gula yang diekspor ke Batavia mencapai 3000 pikul
atau sekitar 20 ton.12
Di tengah kondisi ekonomi Banten yang mulai
membaik, Abul Mafakhir juga mengirim utusan ke Mekkah di
11 Claude Guillot, Lukman Nurhakim dan Claudine Salmon, “Les
Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”: 141. 12 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater.
76-77.
6
tahun 1630-an.13 Utusan Banten kembali pulang di tahun 1638
dengan membawa berbagai hadiah dari Mekkah, di antaranya;
(1) gelar ‘Sultan’, (2) kain penutup ka’bah, (3) kitab al-
Mawahib ar-Rabbaniyyah, (3) jejak kaki Nabi, (4) bendera
Nabi Ibrahim serta beberapa barang lainnya.14 Hasilnya,
Banten berhasil memperoleh otoritas keagamaan yang kuat
untuk mempersatukan negeri dan membentuk ideologi Banten
sebagai sebuah Kerajaan Islam. 15 Lebih jauh lagi, hubungan
Banten dengan Mekkah di tahun itu menjadi role model bagi
penguasa lain, dalam hal ini Raja Mataram untuk melakukan
hal serupa.16
Pengiriman utusan ke Mekkah oleh Sultan Abul
Mafakhir hampir selalu dimaknai sebagai usaha mencari gelar
’Sultan’.17 Padahal, utusan ini dikirim dengan membawa misi
meminta fatwa atas kitab berjudul Marqum, Muntahi dan
13 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 137-140.
Lihat juga Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara (Yogyakarta: Bentang
Pustaka, 2015). 18. 14 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 54-58.
Lihat juga Martin van Bruinessen, “Shari’a court, tarekat and pesantren:
Religious Institutions in Banten Sultanate”. Archipel, 50 (1995): 167. 15 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater.
148-149. 16 Daghregister 1661, 88. Lihat juga De Graaf, Puncak Kekuasaan
Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (Jakarta: Pustaka Grafiti pers,
1986). 272-275. 17 Martin van Bruinessen, “Shari’a court, tarekat and pesantren:
Religious Institutions in Banten Sultanate”: 167. M.C Ricklefs, Mystic
Synthesis in Java (Connecticut: EastBridge, 2006). 159.
7
Wujudiyah18 serta meminta dikirimkan seorang ahli agama ke
Banten.19 Terlebih lagi, fatwa yang berasal dari Mekkah
memiliki pengaruh yang sangat besar di abad ke-17.20 Oleh
sebab itu, usaha mencari fatwa agaknya lebih tepat jika
dibandingkan dengan tujuan mencari ‘gelar’ semata. Selain itu,
di tahun 1640’an Sultan Abul Mafakhir mengirim utusan ke
Nurudin al-Raniri (w. 1658). Utusan ini dikirim ke kampung
halaman Nurudin al-Raniry di India, berselang beberapa tahun
setelah ia kembali dari Aceh.21
Poin penting yang juga perlu ditekankan adalah
ketertarikan Sultan Abul Mafakhir terhadap ilmu tasawuf,
khususnya doktrin insan kamil. Sebagai wujud ketertarikannya,
Sultan Abul Mafakhir menyalin atau setidaknya memberikan
perintah untuk menyalin kitab al-Insan al-Kamil karya Abd’ al-
Karim al-Jili.22 Selain itu, Sultan Abul Mafakhir juga memiliki
ketertarikan terhadap sosok raja yang adil yang terdapat dalam
18 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 53. Lihat
juga Henri Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam Jilid I: 1482-1890
(Jakarta: KPG-EFEO, 2013). 15-17. 19 Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara. 18-19. Lihat juga Titik
Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 340. 20 Nico Kaptein, “The Voice of The ‘Ulama’: Fatwas and Religious
Authority in Indonesia”. Archives de Science sociales des religions 49, no.
125 (2004): 125. 21 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-
Karim al-Jili (Serang: Pusat Penelitian dan Penerbitan LP2M IAIN Sultan
Maulana Hasanuddin Banten, 2015). 3. 22 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-
Karim al-Jili. 197-198.
8
kitab Nasihat al-Mulk karya al-Ghazali (w. 1111 M). Seorang
raja haruslah memiliki sifat yang adil terhadap masyarakatnya.
Karena dengan sifat ini, kesempurnaan seorang Raja dapat
diukur dengan kemampuannya menjaga keamanan dan
kestabilan negeri.23
Dalam hal ini, kitab Taj al-Salatin menguraikan konsep
ideal bagi seorang raja. Dalam hal ini konsep yang
diperkenalkan dalam naskah dengan istilah “adil”, yang
merujuk pada kondisi moral dan kesempurnaan agama. Dalam
Taj al-Salatin, seorang penguasa harus memiliki empat kriteria
untuk menjadi Raja Adil. Kriteria tersebut di antaranya (1)
seorang penguasa harus selalu ingin menuntut ilmu pada
ulama, (2) memperhatikan kondisi rakyatnya, (3)
menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan serta (4)
melindungi rakyatnya dari setiap kejahatan.24 Untuk memenuhi
kriteria tersebut, seorang Raja Sufi juga perlu banyak membaca
karya-karya sufistik. Dalam Sajarah Banten, Sultan Abul
Mafakhir juga memiliki empat kriteria yang sudah disebutkan
sebelumnya. Ia mengirimkan utusan ke Mekkah dan India
untuk menuntut ilmu dan fatwa kepada para ulama. Sultan
Abul Mafakhir juga menunjukkan kepedulian kepada
rakyatnya dengan mengirimkan bantuan kepada rakyatnya
23 Abd. Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di
Kesultanan Buton Pada Abad ke-19 (Jakarta: INIS, 1995). 110-112. 24 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan (Jakarta: Mizan, 2012).
52-53.
9
yang sedang sakit. Selain itu, ia juga banyak membaca kitab
yang membentuk dirinya menjadi seorang Raja Sufi. Beberapa
di antaranya adalah Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali, al-
Insan al-Kamil karya Abd al-Karim al-Jili, al-Lama’an karya
Nurudin ar-Raniry serta al-Muntahi karya Hamzah Fansuri.
Berdasarkan uraian di atas, skripsi ini akan berfokus
kepada masa pemerintahan Sultan Abul Mafakhir yang
membentang sejak 1624 hingga 1651 M. Dari gelar yang
digunakan oleh Abul Mafakhir masa kekuasaannya dapat
dibagi menjadi dua bagian. Pertama, periode Kepangeranan, di
mana gelar yang digunakan adalah ‘pangeran’ dan berlangsung
sejak 1624-1638 M. Kedua, periode Kesultanan, yang
berlangsung sejak 1638-1651 M. Kebijakan pertanian,
perdagangan dan pertahanan lebih dominan selama periode
pertama. Dalam bidang pertanian, Sultan Abul Mafakhir
banyak melakukan pembangunan. Beberapa di antaranya
adalah saluran irigasi serta lumbung yang dibangun antara
tahun 1631-1636 M.25 Dalam bidang perdagangan, Sultan Abul
Mafakhir mengundang ‘kembali’ EIC (East India Company)
untuk mendirikan loji dagang di Banten tahun 1628 M.
Menurut Guillot, kembalinya Inggris ke pasar Banten
merupakan titik krusial dari kegiatan dagang di Banten yang
hancur lebur di masa sebelumnya.26 Sedangkan dalam bilang
25 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 372-373.
Lihat juga Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng”: 106. 26 Claude Guillot, The Sultanate of Banten. 35.
10
pertahanan, Sultan Abul Mafakhir berusaha membangun
aliansi dengan Inggris untuk melawan Belanda. Usaha ini
terdokumentasi melalui dua pucuk surat yang dikirim dari
Banten kepada Raja Inggris di tahun 1629 M dan 1635 M.27
Periode kedua kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir
berlangsung sekitar tahun 1638-1651, yang ditandai dengan
pergantian gelar penguasa Banten dari Pangeran Ratu menjadi
Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Gelar tersebut
didapatkan oleh Abul Mafakhir setelah utusan yang ia kirim ke
Mekkah berhasil kembali ke Banten di tahun 1638 M. Utusan
Banten tersebut membawa dua misi, yaitu untuk meminta
penjelasan atas kitab Makum, Muntahi dan Wujudiyyah serta
meminta seorang ahli agama untuk mencerahkan Banten.28
Selain ke Mekkah, Sultan Abul Mafakhir juga mengirim utusan
ke India di tahun 1640-an. Tujuan dari utusan ini adalah untuk
meminta penjelasan al-Raniry mengenai doktrin wahdatul
wujud Hamzah Fansuri.29
Penelitian mengenai masa kekuasaan Sultan Abul
Mafakhir sejatinya masih sangat mungkin untuk dilakukan.
27 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in
The Public Record Office”:0 418. 28 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 340. Lihat
juga Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam Jilid I: 1482-1890. 15-17. 29 Martin van Bruinessen, “Shari’a court, tarekat and pesantren:
Religious Institutions in Banten Sultanate”: 167-168. Lihat juga Ahmad
Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurudin ar-Raniry
(Jakarta: Rajawali, 1983). 55-56.
11
Mengingat terdapat beberapa bukti sejarah, baik berupa naskah
maupun artefak yang menyediakan informasi penting
mengenai Sultan Abul Mafakhir, di antaranya:
1. Masjid Kenari, sebuah rumah ibadah yang memiliki
gaya arsitektur kuno seperti atap bersusun tiga,
memiliki mustaka di bagian puncak dan ukuran pintu
yang kecil.30 Selain itu, di dalam Masjid Kenari
tersimpan sebuah pedang yang memiliki bentuk seperti
pedang dzulfiqar. Merupakan makna dari penyebaran
Islam di Nusantara.31
2. Tak jauh dari Masjid Kenari terdapat sebuah danau
buatan dengan yang dikenal dengan Tasikardi dan
pulau di tengahnya yang disebut papungkuran. Tempat
ini merupakan tempat istirahat dan bertafakkur bagi
Sultan Abul Mafakhir setelah ia mengunjungi makam
ibundanya di Kenari.32
30 Kees Van Dijk, “Perubahan Kontur Masjid” dalam Masa Lalu dan
Masa Kini: Arsitektur di Indonesia ed. Peter J.M Nas dan Martien Vletten
(Jakarta: Gramedia, 2009). 57-60. 31 Rizqi Maulvi Nur Annisa & Mukhlis Aliyudin, “Fenomena
Dakwah Adat Nyangku” (Makalah dipresentasikan pada Prosiding Seminar
Dakwah 2017: Evaluasi Perkembangan dan Kelembagaan Dakwah,
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Jatinagor, Bandung, 27-29
Oktober 2017). 51. 32 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 362-363.
Lihat juga Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 56.
12
3. Naskah al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an al-As’ila al-
Jawiyyah dan gelar ‘Sultan’, keduanya merupakan
pemberian yang didapatkan dari Mekkah yang masih
mudah dilacak. Sultan Abul Mafakhir sampai saat ini
diketahui sebagai penguasa pertama di tanah Jawa yang
mendapatkan gelar ‘Sultan’ dari Syarif Mekkah di
tahun 1638 M. Sementara itu, naskah al-Mawahib ar-
Rabbaniyyah merupakan kumpulan pertanyaan yang
dilontarkan oleh Sultan Abul Mafakhir dan dijawab
oleh Muhammad bin Allan.
4. Bukti lainnya yang hingga kini dapat dijumpai adalah
mata uang Banten. mata uang ini disebut juga dengan
istilah “Kasha” dengan bentuk berupa koin tembaga
yang memiliki lubang segi enam di tengahnya. Di
permukaan koin, terdapat inskripsi “Pangeran Ratu Ing
Banten”33
B. Identifikasi Masalah
Kesultanan Banten merupakan salah satu kekuatan
politik Islam terbesar di tanah Jawa. Ia berhasil bertahan dari
gempuran Mataram dan desakan Batavia di waktu yang sama.
Dalam peristiwa tersebut, Sultan Abul Mafakhir Mahmud
Abdul Kadir (w.1651 M) menjadi salah satu penguasa Banten
33 Claude Guillot, Lukman Nurhakim dan Claudine Salmon, “Les
Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”: 148-149.
13
yang mampu mempertahankan kemerdekaan Banten. Di bawah
kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir, perniagaan dan
perekonomian Banten juga kembali bangkit. Selain itu,
pencapaian yang tak kalah mentereng adalah pengiriman
utusan ke Mekkah di tahun 1630-an dan India di tahun 1640-
an. Ia bahkan tercatat sebagai penguasa pertama di tanah Jawa
yang mendapatkan gelar ‘Sultan’ dari Syarif Mekkah di tahun
1638 M.34
Di sisi lain, pengiriman utusan atau utusan tersebut
sebaiknya perlu dimaknai sebagai upaya Banten untuk
melibatkan diri dalam dunia Islam yang lebih luas lagi. Di masa
tua, sosok Sultan Abul Mafakhir dikenal sebagai sosok ‘Sultan
Agung’ yang mampu memerintah Banten dengan adil dan
bijaksana. Citranya sebagai Sultan Agung lahir dari proses
pembelajarannya terhadap doktrin sufistik, yaitu; insan kamil
atau Perfect Man. Dalam literatur-literatur yang kemudian
berkembang, sosok raja yang demikian adalah seorang ‘Raja
Sufi’.
Dari kegemilangannya di masa lalu, Sultan Abul
Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M) ternyata masih
belum banyak dikenal oleh masyarakat Banten, terlebih lagi
Indonesia. Sementara itu, dalam bidang akademik, penulis
masih belum menjumpai sebuah karya ilmiah atau tulisan
34 Michael Laffan, Sejarah Isjawalam Nusantara. 18.
14
akademik yang membahas secara detail mengenai Sultan Abul
Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Hal tersebut tentunya
menggambarkan sebuah paradoks: seorang Sultan yang
memiliki peran besar dalam kegiatan politik, ekonomi atau
bahkan keagamaan di Kesultanan Banten ternyata masih belum
banyak dikenal. Selain itu, ia juga menjadi mata rantai penting
dan tak terpisahkan dari kejayaan Banten di masa lalu.
C. Batasan Masalah
Dari permasalahan yang sudah penulis identifikasi
sebelumnya, maka skripsi ini akan difokuskan untuk
membahas sosok Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir
yang hidup pada tahun 1596-1651 M. Dari lintasan waktu
tersebut, pembahasan akan dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, ketika Abul Mafakhir menggunakan gelar ‘Pangeran’
(Kepangeranan) dari tahun 1624-1638 M. Kedua, ketika Abul
Mafakhir menggunakan gelar ‘Sultan’ (Kesultanan) yang
berlangsung dari tahun 1638-1651 M.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan
sebelumnya, maka terdapat tiga masalah yang akan penulis
bahas, di antaranya; apa yang dimaksud dengan Raja Sufi,
Siapakah Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dan
bagaimana ia berkembang menjadi seorang Raja Sufi.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
15
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dibahas
sebelumnya, maka ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari
penulisan skripsi ini. Pertama, menjelaskan mengenai apa yang
dimaksud dengan Raja Sufi. Kedua, menjelaskan sosok Sultan
Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M). Ketiga,
menjelaskan mengenai proses Sultan Abul Mafakhir menjadi
seorang Raja Sufi.
Adapun manfaat yang ingin dihadirkan dalam skripsi
ini adalah untuk memberikan gambaran dan analisis mengenai
Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang berkuasa di
Kesultanan Banten tahun 1624-1651 M. Selain itu, skripsi ini
juga diharapkan untuk memberikan kontribusi akademik yang
dapat menambah khasanah keilmuan dalam penelitian
mengenai Kesultanan Banten.
F. Metode Penelitian
Skripsi ini bersifat analytical history (sejarah analitis).
Analytical history menurut M. Dien Madjid adalah aliran
penulisan sejarah yang memanfaatkan teori dan metodologi. Di
dalamnya terkandung penjelasan mengenai asal mula, sebab-
sebab, kecenderungan maupun perubahan yang berasal dari
suatu peristiwa dan terkait dengan masalah politik, sosial
ataupun kebudayaan.35 Oleh karenanya, metodologi yang
35 M. Dien Madjid & Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah: Sebuah
Pengantar (Jakarta: Prenada Media, 2014). 218.
16
digunakan dalam penelitian ini adalah alur metodologi sejarah
yang terdiri dari heuristik atau pengumpulan sumber, verifikasi
atau kritik sumber, interpretasi atau penafsiran serta yang
terakhir adalah penulisan36.
Dalam proses heuristik, penulis menggunakan teknik
studi kepustakaan (library research) dan observasi
(pengamatan).37 Melalui studi kepustakaan, penulis
menggunakan sumber tertulis seperti manuskrip, buku tertulis
maupun jurnal sebagai sumber kajian. Beberapa manuskrip
yang digunakan dalam penelitian ini adalah naskah al-
Mawahib al-Rabbaniyyah ‘an-As’ila al-Jawiyyah (A 105),
naskah Jauhar al-Haqa’iq (A31) yang tersimpan di
Perpustakaan Nasional RI. Informasi awal mengenai naskah
tersebut penulis dapatkan dari katalog naskah yang disusun
oleh Voerhoeve (1980) dan Behrend (1998). Selain itu,
informasi yang lebih praktis penulis temukan dalam katalog
online Thesaurus of Indonesian Islamic Manuscript (TIIM)
yang diarahkan oleh Oman Fathurahman.38 Sumber penting
lainnya adalah catatan perjalanan dari James Lancaster yang
mengunjungi Banten di tahun 1602 M dan Thomas Best di
36 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2013).69. 37 M. Dien Madjid & Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah: Sebuah
Pengantar. 218. 38https://lektur.kemenag.go.id/naskah/index.php?filterBy=title&titl
e=20080725144141 diakses pada 8 November 2018 pukul 15.36 WIB.
17
tahun 1613-1614 M.39 Keduanya memberikan informasi
penting mengenai keadaan ekonomi Banten sebelum Sultan
Abul Mafakhir berkuasa.
Penulis juga melakukan penelusuran awal melalui
berbagai macam sumber sekunder. Beberapa di antaranya
adalah buku Menyusuri Jejak Kesultanan Banten karya Titik
Pudjiastuti, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten karya
Hoesein Djajadiningrat serta karya Johan Talens yang berjudul
Een feodal samenleving in koloniaal vaarwater. Ketiganya
menyediakan keterangan yang sangat berguna bagi penulis
untuk memahami keadaan politik dan ekonomi Banten sebelum
dan ketika Sultan Abul Mafakhir berkuasa. Selain buku cetak,
penulis juga menghimpun beberapa informasi penting dari
beberapa artikel, di antaranya adalah artikel Shari’a court,
tarekat and pesantren: Religious Institutions in Banten Sultanate
karya Martin van Bruinessen, La Politique Vivriere de Sultan Ageng
(1651-1682) karya Claude Guillot dan Les Sucriers Chinois de
Kelapadua, Banten, XVIIe siecle, Textes en Vestiges yang disusun
Claude Guillot bersama Lukman Nurhakim dan Claudine Lombard-
Salmon. Sebagian besar artikel yang penulis himpun sebagai
sumber skripsi ini diperoleh dari jurnal Archipel yang memang
bisa di unduh dengan koneksi pribadi. Sebagian lainnya penulis
39 Clement Markham (ed.), The Voyages of Sir James Lancaster to
The East Indies digital version (New York: Cambridge University Press,
2010). Sir William Foster, The Voyage of Thomas Best to the East Indies
1613-1614 (London: Hakluyt Society, 1934)
18
unduh dari Jstor yang diakses dari lantai 5 Perpustakaan Utama
UIN Jakarta.
Sementara itu, dengan menggunakan teknik observasi
(pengamatan), penulis menghimpun informasi yang
terkandung dalam sumber bendawi, antara lain: mata uang
‘Kasha’ Banten yang memiliki inskripsi “Pangeran Ratu Ing
Banten” yang kemungkinan besar merujuk pada masa
pemerintahan Sultan Abul Mafakhir. Menurut Bernard Lewis,
inskripsi dari sebuah mata uang dapat memberikan informasi
mengenai raja ataupun penguasa yang memimpin di daerah
tersebut.40 Kini, mata uang “Kasha” berada di Museum
Nasional RI. Selain itu, sumber bendawi lainnya adalah sebuah
pedang bercabang yang ada di Masjid Kenari Banten. Pedang
tersebut diidentifikasi sebagai pedang dzulfiqar yang menjadi
lambang penyebaran agama Islam di Nusantara.41
Tahapan selanjutnya adalah verifikasi atau kritik
sumber. Pada tahapan ini, penulis berusaha menguji keaslian
serta kredibilitas sumber-sumber yang telah berhasil dihimpun
oleh penulis sebelumnya. Pertama, kritik ekstern, di mana
penulis berusaha melakukan kritik atas sumber-sumber primer
lokal, di antaranya adalah naskah al-mawahib al-rabbaniyah
dan Jauhar al-Haqa’iq yang tersimpan di Perpustakaan
40 Bernard Lewis, The Political Language of Islam (Chicago:
University of Chicago Press, 1988). 45-46. 41 Rizqi Maulvi Nur Annisa & Mukhlis Aliyudin, “Fenomena
Dakwah Adat Nyangku”. 51.
19
Nasional. Keduanya masih dalam keadaan yang cukup bagus,
sehingga muncul asumsi bahwa keduanya adalah naskah
‘salinan’. Asumsi ini juga sejalan data yang ditunjukkan oleh
Jajat Burhanuddin, bahwa naskah asli dari al-Mawahib ar-
Rabbaniyyah berada di Perpustakaan Leiden dengan nomor
panggil Cod.Or. 7405(4).42 Meskipun yang digunakan hanya
naskah salinan, penulis beranggapan bahwa unsur primer
melekat pada naskah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional
tersebut tidaklah hilang.43
Naskah dengan judul lengkap al-Mawahib ar-
Rabbaniyyah an al-As’ila al-Jawiyyah.44 ini memiliki sedikit
lubang di beberapa halaman, akan tetapi masih dapat dibaca
dengan jelas. Ukuran naskah dalam satu halaman adalah 31 cm
x 19,7 cm sedangkan teksnya berukuran 24,3 cm x 12 cm.
Dalam setiap halaman, ada 7-9 larik yang disertai dengan
penjelasan bahasa Jawa dengan aksara Arab di setiap barisnya
dengan tinta hitam dan tinta merah pada setiap rubriknya.
Sementara itu, kertas yang digunakan adalah kertas Eropa,
dengan watermark M. Schouten & Co dan countermark IVC
42 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan. 45. Lihat juga P.
Voorhoeve, Handlist of Arabic Manuscripts in The Library of University of
Leiden and Others Collection in the Netherlands Second Edition (The
Hague: Leiden University Press, 1980). 204-205. 43 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1985). 45. 44 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an al-As’ila al-Jawiyyah, 5.
20
(I. Villedary Jo) kemungkinan sebuah singkatan dari45.
Sedangkan garis vertikal (Chain Line) sebesar 2,6 cm antara
garis yang satu dengan yang lainnya dan garis horizontal (Laid
Line) berjumlah 11 buah dalam 1 cm.
Sedangkan dari aspek internalnya, naskah al-Mawahib
ar-Rabbaniyyah terdiri dari sepuluh pertanyaan dan total
jumlah halaman mencapai 157. Sebelum masuk ke bagian
pertanyaan, ada sedikit penjelasan mengenai judul naskah,
identitas Sultan Abul Mafakhir sebagai peminta fatwa:“...Ini
adalah Risalah yang berjudul al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an
al-As’ila al-Jawiyyah.... Pemimpin Islam dan Muslimin... Abul
Mafakhir Abd al-Qadir al-Jawi...”.46 Penulis juga berusaha
membandingkan keterangan dari satu sumber kepada sumber
lainnya. dalam naskah al-Mawahib, penulis melihat bahwa ada
tiga pertanyaan yang merujuk pada kitab Nasihat al-Muluk
karya al-Ghazali. Hasilnya, penulis menemukan bahwa ada
keserasian antara keterangan yang ada pada keduanya. Selain
itu, penulis juga membandingkan keterangan yang terdapat
pada sumber sekunder. Salah satunya adalah buku Banten:
Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII karya Claude Guillot.
Buku ini adalah kumpulan artikel Guillot tentang Banten yang
45 Penjelasan mengenai watermark dan countermark tersebut penulis
dapatkan dari Mpu Tantular, “Serat Lokapali Kawi: An Eighteenth-century
manuscript of the Old Javanese Arjunawijaya” dalam Bernard Arps &
Wilem van der Molen (ed.) Indonesian Development Project, 3 (1994): ix. 46 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 5-6.
21
sudah diterjemahkan dan dihimpun menjadi sebuah buku. Oleh
sebab itu, penulis berusaha membandingkan antara keterangan
yang terdapat di buku dengan artikel asli yang sudah di unduh
dari Archipel. Hasilnya, beberapa kali ditemukan bahwa
keterangan yang ada dari footnote artikel asli ditempatkan pada
bagian utama buku. Selain itu, penempatan gambar juga berada
pada posisi yang berbeda. Dalam sumber sekunder lainnya,
keterangan berbeda juga ditemukan pada umur Abul Mafakhir
setelah Maulana Muhammad mangkat. Hasan M. Ambary
menyatakan bahwa umur Abul Mafakhir saat itu 9 tahun,
sedangkan Djajadiningrat menyebut 5 bulan.
Tahapan berikutnya adalah interpretasi atau penafsiran,
di mana penulis berusaha menguraikan bagaimana Sultan Abul
Mafakhir memimpin Kesultanan Banten dan menguraikan
bagaimana ia bertransformasi menjadi seorang Raja Sufi.
Interpretasi yang digunakan adalah interpretasi analitis dengan
menguraikan fakta-fakta yang telah dihimpun dan menarik
sebuah kesimpulan dari sana, sehingga dapat menjadi
penulisan sejarah yang baik. Dalam melakukan interpretasi,
penulis menggunakan teori pemimpin kharismatik dari Weber
yang dalam konteks kerajaan Jawa dirumuskan oleh Ricklefs
menjadi konsep ‘Raja Sufi’. Berbagai sumber primer maupun
sekunder yang penulis dapatkan dari studi kepustakaan dan
observasi juga digunakan untuk menguatkan analisis
penulisan.
22
Tahapan selanjutnya adalah historiografi yang
merupakan tahapan akhir dari sebuah penulisan sejarah. data
serta fakta sejarah yang sudah dihimpun ke dalam penulisan
sejarah. Berbagai opini, data ataupun fakta yang diperoleh dari
hasil penelitian pustaka maupun pengamatan dituangkan ke
dalam skripsi. Harapannya, skripsi ini mampu melengkapi
penelitian sejarah terdahulu mengenai Kesultanan Banten,
lebih khusus lagi mengenai Sultan Abul Mafakhir Mahmud
Abdul Kadir. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan
dapat dipahami oleh para pembaca.
Dalam skripsi ini, sumber pedoman yang digunakan
adalah Surat Keputusan Rektor tentang Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah Skripsi, Tesis dan Disertasi terbitan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan ditetapkan pada tanggal 14 Juni
2017.47
G. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan, skripsi ini memiliki enam (6) bab
pembahasan, adapun susunan pembahasannya adalah sebagai
berikut:
BAB I Membahas mengenai Pendahuluan yang
terdiri dari latar belakang, identifikasi
masalah, batasan masalah, rumusan masalah,
47 Surat Keputusan Rektor, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
Skripsi, Tesis dan Disertasi (Jakarta: Tanpa Penerbit, 2017)
23
tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian dan juga sistematika penulisan
yang digunakan dalam skripsi ini.
BAB II Membahas Kajian Pustaka yang terdiri dari
landasan teori, tinjauan pustaka serta
kerangka berpikir yang digunakan dalam
skripsi ini.
BAB III Membahas mengenai gambaran umum
mengenai Raja Sufi. Pembahasannya dimulai
dari doktrin insan kamil sebagai sumber
pembentuk Raja Sufi, konsep Raja Sufi di
tanah Melayu dan tanah Jawa serta yang
terakhir mengenai Raja Sufi di Kesultanan
Banten.
BAB IV Membahas mengenai Kesultanan Banten
pada masa Sultan Abul Mafakhir.
Pembahasannya meliputi Kesultanan Banten
sebelum Sultan Abul Mafakhir, masa
pemerintahan Sultan Abul Mafakhir
Mahmud Abdul Kadir, hubungan Banten
dengan Inggris dan Belanda serta pengiriman
utusan Banten ke Mekkah dan India.
BAB V Membahas mengenai Abul Mafakhir sebagai
Raja Sufi. Pembahasannya meliputi kitab al-
24
Mawahib ar-Rabbaniyyah dan
perkembangan Sultan Abul Mafakhir
Mahmud Abdul Kadir dari Raja Jawa
menjadi Raja Sufi dalam urutan peristiwa
yang kronologis.
BAB VI Membahas mengenai kesimpulan serta saran
dan masukan untuk perbaikan penelitian ke
depannya.
25
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
Teori yang sesuai untuk mengulas mengenai masa
kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir adalah teori Weber
tentang Otoritas Karismatik. Dalam otoritas karismatik,
ketaatan absolut dan keyakinan pada kualitas individu seorang
pemimpin lebih ditekankan. Artinya, seorang pemimpin
dituntut memiliki kesempurnaan, baik dalam aspek batiniah
maupun lahirian. Dalam perumpamaan Weber, pemimpin
karismatik muncul dalam dua bentuk figur yang berbeda. Figur
Nabi di satu sisi dan figur panglima perang di sisi lain.1
Kepemimpinan Kharismatik memang lazim ditemui pada
sosok raja-raja Nusantara di abad ke-17 M. Baik raja-raja
Melayu maupun raja-raja Jawa memiliki karisma yang kuat
pengaruhnya.
Karisma yang kuat dari seorang raja sering kali
bersumber pada ajaran moral keagamaan, dalam hal ini adalah
ajaran-ajaran sufistik yang berkembang pesat di Nusantara
abad ke-17-19. Teori mengenai karisma penguasa yang
bersumber pada ajaran sufistik sejatinya sudah dirumuskan
oleh A.C Milner, M.C Ricklefs dan Abd. Rahim Yunus. Dalam
1 Max Weber, Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). 93-94.
26
artikelnya, Milner menyebut bahwa raja-raja Melayu memiliki
ketertarikan yang kuat terhadap doktrin ‘perfect man’ atau
insan kamil.2 Doktrin tersebut menjadi sumber karisma dan
legitimasi dari seorang raja. Sedangkan Ricklefs yang
menjadikan Jawa sebagai fokus kajiannya menemukan bahwa
Ratu Pakubuwana berusaha mendesain pemerintahan
Pakubuwana II yang berlangsung dari tahun 1726-1749 M
sebagai Sufi Warrior King yang berlandaskan pada ketaatan
ajaran sufi agar pemerintahannya menjadi semakin kuat. Usaha
tersebut diwujudkan oleh Ratu Pakubuwana dengan menulis
beberapa kitab yang ditujukan sebagai pegangan Pakubuwana
II dalam menjalankan pemerintahannya.3 Baik di tanah Melayu
maupun Jawa, mengandung keserasian bahwa ajaran insan
kamil mengambil peran penting dalam memperkuat karisma
seorang raja. Melalui doktrin insan kamil, seorang penguasa
dapat dikatakan sempurna manakala ia mampu menjaga
keamanan dan stabilitas negeri yang ia pimpin, sehingga pada
akhirnya ia akan menjadi seorang Raja Sufi.4
Serupa dengan contoh yang disebut di atas, Sultan Abul
Mafakhir juga memiliki ketertarikan terhadap doktrin insan
kamil. Hal tersebut dapat dilihat ketika ia mengeluarkan
2 A.C Milner, “Islam and Malay Kingship”. The Journal of The
Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, no.1 (1981): 54. 3 M.C Ricklefs, Mystic Synthesis in Java (Connecticut: EastBridge,
2006). 103-115. 4 Abd Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di
Kesultanan Buton (Jakarta: INIS, 1995). 112.
27
perintah untuk menyalin kitab al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-
Awakhir wa al-Awa’il karya Abd al-Karim al-Jili dan
memberikan terjemahan bahasa Jawa pada setiap lariknya.5
Dalam hal ini, pembahasan mengenai Sultan Abul Mafakhir
masih relevan dengan rumusan teori ‘Raja Sufi’.
B. Kajian Pustaka
Kajian mengenai Sultan Abul Mafakhir Mahmud
Abdul Kadir merupakan penelitian yang relatif baru. Karena
sepengetahuan penulis, masih belum ada penelitian terdahulu
yang secara khusus membahas Sultan Banten keempat ini.
Meskipun demikian, ada beberapa sumber dalam bentuk buku,
artikel maupun jurnal yang menyinggung tentang sosok Sultan
Abul Mafakhir secara umum. Beberapa yang dijadikan sumber
dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten (1983) yang
merupakan disertasi Hoesein Djajadiningrat yang sudah
dijadikan buku. Buku ini memusatkan kajiannya pada teks
Sajarah Banten dan menjelaskan secara umum mengenai
Kesultanan Banten. Penulis menjadikan buku ini sebagai salah
satu sumber utama karena buku ini mengandung banyak
informasi mengenai Sultan Abul Mafakhir. Korelasinya
5 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-
Karim al-Jili: 13-14. Lihat juga Michael Feener & Michael Laffan, “Sefi
Scent Across the Indian Ocean: Yemeni Hagioghrapy and the Earliest
History of Southeast Asian Islam”. Archipel 70 (2005): 205.
28
dengan kajian penulis adalah buku ini memberikan peran besar
dari Sultan Abul Mafakhir dan sosoknya sebagai ‘Sultan
Agung’ di Banten.
Menyusuri Jejak Kesultanan Banten (2015) merupakan
tesis dari Titik Pudjiastuti yang juga sudah dibukukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Titik Pudjiastuti ini
menggunakan magnum opus yang sama dengan Hoesein
Djajadiningrat, yaitu: teks Sajarah Banten. Meskipun
demikian, buku ini menghadirkan keteraturan yang lebih baik
dibanding buku sebelumnya. Penulis menggunakan buku ini
sebagai sumber pembanding dari buku sebelumnya agar
informasi yang diperoleh dari Sajarah Banten bisa tersaring
dengan baik.
Een Feodale Samenleving in Koloniaal Vaarwater
(1999) karya Johan Talens, mengkaji tentang keadaan
Kesultanan Banten dengan rentang tahun 1600-1750 M. Buku
ini mengkaji tentang bentuk pemerintahan Kesultanan Banten
beserta keadaan ekonominya. Relevansinya dengan penelitian
penulis adalah keadaan ekonomi dan negara yang lebih stabil
di masa Sultan Abul Mafakhir. Selain itu, dalam buku ini juga
disinggung mengenai utusan Banten ke Mekkah yang akhirnya
membentuk citra Banten sebagai sebuah Kerajaan Islam. Buku
ini membantu penulis dalam mengumpulkan informasi
mengenai Kesultanan Banten di masa Sultan Abul Mafakhir,
baik dari aspek perdagangan, pertanian keagamaan.
29
Laporan penelitian yang disusun oleh Mufti Ali dan
kawan-kawan yang berjudul Konsep “Manusia Tuhan”
Menurut Shayk Abd al-Karim al-Jili dalam Naskah al-Insan al-
Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa;il (2015). Fokus dari
kajian ini adalah untuk membedah informasi mengenai naskah
al-Insan al-Kamil yang ditemukan di Banten. Dalam
melakukan penelitian ini, Mufti Ali dan kawan-kawan
menggunakan naskah al-Insan al-Kamil yang tersimpan di
Perpustakaan Leiden. Relevansinya dengan penelitian penulis
adalah perkembangan doktirin ‘Insan Kamil’ yang pernah
berkembang di Banten. Laporan penelitian tersebut menyajikan
informasi penting seperti penyalinan teks al-Insan al-Kamil
ternyata dititahkan oleh Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul
Kadir (1624-1651 M).
Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII (2008)
karya Claude Guillot, sejatinya buku terbitan Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG) ini merupakan kumpulan dari artikel-
artikel Guillot tentang Kesultanan Banten. Guillot memang
penulis yang sangat produktif dalam kajian tentang Banten.
Buku ini banyak menyinggung tentang Sultan Abul Mafakhir,
bahkan dalam salah satu bagiannya, Guillot seolah menantang
para pembaca untuk menulis tentang Sultan Abul Mafakhir.
Relevansinya dalam penelitian ini adalah bahwa kejayaan yang
dialami Banten pada masa Sultan Ageng Tirtayasa merupakan
sebuah keniscayaan dari perkembangan Banten di masa
30
pemerintahan sebelumnya, dalam hal ini pemerintahan Sultan
Abul Mafakhir.
Martin van Bruinessen dalam artikelnya yang berjudul
Shari’a Court, tarekat and pesantren: Religious Institutions in
Banten Sultanate (1995), mengkaji tentang institusi keagamaan
di Kesultanan Banten. Artikel ini menjadi sumber penting
untuk memahami bagaimana otoritas keagamaan muncul di
Kesultanan Banten. Relevansinya dalam penelitian penulis
bahwa Sultan Abul Mafakhir disebut oleh van Bruinessen
mengirim utusan ke Mekkah untuk meminta gelar. Padahal,
dalam Sajarah Banten jelas tercantum bahwa Sultan Abul
Mafakhir mengirim utusan ke Mekkah untuk meminta fatwa
dan seorang ahli agama dari Mekkah agar dikirim ke Banten
untuk menjadi penasihat raja.
Sedangkan posisi dari skripsi ini adalah untuk
melengkapi tulisan-tulisan di atas yang penulis anggap belum
bisa menggambarkan sosok Sultan Abul Mafakhir Mahmud
Abdul Kadir secara utuh. Oleh sebab itu, skripsi ini akan
membahas secara komprehensif mengenai Sultan Abul
Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dari awal ia berkuasa hingga
menjadi seorang Raja Sufi dari Kesultanan Banten.
C. Kerangka Berfikir
Raja Sufi merupakan sebuah konsep atau rumusan teori
tentang seorang raja atau penguasa yang memiliki pengetahuan
31
sufistik. Konsep Raja Sufi sangat cocok untuk digunakan
ketika hendak menggambarkan sosok penguasa Nusantara di
abad 17 dan 18. Hal tersebut tak terlepas dari fakta bahwa
politik kerajaan hampir selalu berpusat pada sosok raja serta
ajaran sufistik yang masif berkembang saat itu. Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, konsep Raja Sufi sangat mudah
ditemui di Nusantara, baik di Kerajaan Melayu seperti Aceh
dan Malaka maupun di Kerajaan Jawa seperti Mataram Islam
dan Banten tentunya.
Konsep Raja Sufi sering kali bersumber pada doktrin
insan kamil. Seorang Raja Sufi mampu menyadari tugasnya
sebagai wakil Tuhan di Bumi, sehingga ia bertanggung jawab
secara lahir dan batin dalam menjaga keamanan dan kestabilan
di negerinya. Beredarnya kitab al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-
Awakhir wa al-Awa’il karya Abd al-Karim al-Jili juga menjadi
pendorong bagi perkembangan doktrin insan kamil di
Nusantara, tak terkecuali di Banten. bahkan, Sultan Abul
Mafakhir juga menaruh minat yang besar pada doktrin insan
kamil. Ketertarikan tersebut diwujudkan oleh Sultan Abul
Mafakhir dengan sebuah perintah untuk menyalin kitab al-
Insan al-Kamil dan memberikan terjemahan bahasa Jawa pada
tiap lariknya.
Ketertarikan terhadap doktrin insan kamil inilah yang
menjadi titik penting dari perkembangan Sultan Abul Mafakhir
sebagai Raja Sufi. Proses perjalanan Abul Mafakhir sebagai
32
Raja Sufi dimulai ketika ia berkuasa di tahun 1624 M. Ketika
itu, ia masih sebagai Raja Jawa biasa yang menggunakan gelar
‘Pangeran’. Penggunaan gelar ‘Pangeran’ oleh Abul Mafakhir
dapat dilihat dari sebuah mata uang Kesultanan Banten yang
beredar di abad ke-17. Mata uang tersebut memuat inskripsi
‘Pangeran Ratu Ing Banten’ yang merujuk pada Abul
Mafakhir. Bukti lainnya dari penggunaan gelar ‘Pangeran’ ada
dalam sebuah stempel/cap (seal) surat yang dikirim Raja
Banten kepada Raja Inggris di tahun 1629 M. Stempel tersebut
memuat informasi mengenai silsilah Raja Banten dari Maulana
Hasanuddin sampai Pangeran Ratu, yang tidak lain adalah Abul
Mafakhir sendiri.
Perjalanan Sultan Abul Mafakhir sebagai Raja Sufi
menemui titik krusialnya pada dekade 1630-an. Abul Mafakhir
secara aktif mulai membaca dan mendalami kitab-kitab yang
memuat doktrin insan kamil dan panduan menjadi raja yang
adil. Hal tersebut dapat terlihat ketika Abul Mafakhir sendiri
memerintahkan kepada punggawa Istana Surosowan untuk
menyalin kitab al-Insan al-Kamil. Tak sampai di situ, ia juga
mengirim utusan ke Mekkah di tahun 1630-an untuk bertanya
kepada Syarif Mekkah untuk menjadi raja yang adil. Sebagian
besar pertanyaan yang diajukan oleh Abul Mafakhir ternyata
didominasi oleh pertanyaan terkait ‘keadilan’ dan bagaimana
ia menjadi raja yang adil. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
oleh Abul Mafakhir dapat dilihat pada kitab al-Mawahib.
33
Utusan Abul Mafakhir kemudian tiba di Banten tahun
1638 M dengan membawa berbagai hadiah, di antaranya; gelar
‘Sultan’, kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an al-As’ila
Jawiyyah, bendera Nabi Ibrahim, tapak kaki Nabi Muhammad
dan beberapa hadiah lainnya. Hadiah-hadiah tersebut
diperlakukan dengan istimewa dan dianggap dapat
menghadirkan berkah. Oleh sebab itu, perayaan diadakan untuk
menyambut hadiah-hadiah tersebut dan diadakan pawai
keliling kota untuk menyebarkan berkahnya ke penjuru kota
Banten. tak bisa dipungkiri bahwa pemberian yang didapatkan
dari Syarif Mekkah membawa berkah tersendiri bagi legitimasi
dan karisma Sultan Abul Mafakhir. Selain itu, keadaan
ekonomi dan politik di Kesultanan Banten mulai membaik dan
stabil.
Akhir dekade 1630-an, penolakan terhadap kaum
wujudiyyah muncul di Aceh. Tokoh sentral dari keluarnya
penolakan ini adalah Nurudin ar-Raniry yang ketika itu
menjabat sebagai Syaikhul Islam di Kerajaan Aceh. Karena
alasan yang belum diketahui pasti, Nurudin pulang ke kampung
halamannya di Ranir, India. Hal tersebut agaknya
menimbulkan rasa penasaran pada diri Sultan Abul Mafakhir
dan pada akhirnya mendorong dirinya untuk mengirim utusan
ke India pada dekade 1640-an. Utusan tersebut dikirim untuk
bertanya kepada Nurudin terkait penolakannya terhadap kaum
wujudiyyah. Pertanyaan tersebut dibalas Nurudin dengan
34
sebuah kitab berjudul Al-Lama’an fi takfir bi khalqi’l-Quran
(Cahaya terang pada mengkafirkan orang yang berkata Qur’an
itu Makhluk). Pengiriman utusan Banten ke Nurudin agaknya
perlu diletakkan pada upaya Sultan Abul Mafakhir
mengantisipasi penolakan serupa muncul di Banten dan lebih
jauh lagi guna menjaga stabilitas dan keamanan di Kesultanan
Banten.
Di tahun 1650, Mataram yang saat itu dipimpin oleh
Amangkurat I berupaya menaklukkan Banten. Ia pun meminta
Cirebon untuk membujuk Banten mengakui Mataram sebagai
pelindungnya. Pertama-tama, Cirebon mengirim beberapa
utusan secara berkala pada dekade 1640-an ke Banten. Upaya
tersebut selalu menemui kegagalan dan penolakan. Akibat
penolakan tersebut, Cirebon merespons dengan mengirim
pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Panjangjiwa. Namun,
pasukan Cirebon berhasil dihalau oleh pasukan Banten. Dalam
naskah Sajarah Banten, peristiwa ini dikenal dengan istilah
peristiwa pagerage.
Sultan Abul Mafakhir yang menolak tunduk kepada
Amangkurat I dan Mataram harus dilihat sebagai upaya
mempertahankan diri dan menjaga stabilitas negeri. Peristiwa
ini juga perlu dilihat sebagai kematangan Sultan Abul Mafakhir
sebagai Raja Sufi, karena ia berani menghadapi serangan
Mataram dengan kekuatan sendiri dan percaya kepada
kekuatan pasukan Banten.
35
Di awal
pemerintahannya
menggunakan gelar
pangeran Ratu Ing
Banten. di tahun
1629. Bekerja sama
dengan Inggris
dalam bidang
ekonomi dan
keamanan negeri
dalam menghadapi
Mataram.
Tahun 1630-an
mulai memiliki
ketertarikan
terhadap doktrin
insan kamil dan
belajar untuk
menjadi raja yang
adil. Membaca
Nasihat al-Muluk
karya al-Ghazali
dan al-Insan al-
Kamil karya al-Jili.
Tahun 1638
memperoleh gelar
‘Sultan’, kitab al-
Mawahib ar-
Rabbaniyyah dan
beberapa hadiah
lainnya dari Syarif
Mekkah yang
membentuk
legitimasi dan
karisma sbg Raja
Sufi.
Tahun 1640-an
mengirim utusan
ke Ranir, India
untuk bertanya
mengenai situasi
yang terjadi di
Aceh dan
berusaha
menghindari hal
serupa terjadi di
Banten.
Tahun 1650,
menolak untuk
tunduk di bawah
kekuasaan Mataram
(Amangkurat I) dan
menghadapinya
dengan kekuatan
sendiri.
MASALAH Apa itu Raja Sufi, Siapa itu Sultan Abul
Mafakhir dan bagaimana ia berkembang
menjadi seorang Raja Sufi
METODOLOGI PENDEKATAN
TEORI Otoritas Karismatik
Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir merupakan
Sultan Banten yang memiliki karisma sebagai ‘Raja Sufi’.
TEMUAN Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir adalah
penguasa Banten yang mampu menjaga keamanan dan
mengembalikan kestabilan di Kesultanan Banten, sehingga
ia telah mencapai tingkat Raja Sufi. Berikut adalah
perkembangannya sebagai Raja Sufi:
Raja Sufi merupakan konsep yang bersumber dari doktrin insan
kamil. Seorang Raja Sufi mampu menyadari tugasnya sebagai
wakil Tuhan di Bumi, sehingga ia bertanggung jawab secara lahir
dan batin dalam menjaga keamanan dan kestabilan di negerinya.
Historis
36
BAB III
AJARAN INSAN KAMIL DI KESULTANAN
BANTEN
Istilah ‘insan kamil’ terdiri dari dua kata, al-Insan yang
berarti manusia dan al-Kamil yang bermakna sempurna.
Singkatnya, doktrin insan kamil adalah doktrin tentang menjadi
manusia yang sempurna. Dalam literatur barat, doktrin insan
kamil lebih dikenal dengan istilah ‘Perfect Man’.1 Konsep insan
kamil mulai dipopulerkan oleh Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) pada
abad ke-13 M dan kemudian mendapatkan perhatian khusus dari
Abd al-Karim al-Jili dalam tulisannya, al-Insan al-Kamil fi
Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il.2 Wacana awal mengenai
insan kamil mengacu pada isyarat dalam QS Al-Kahf ayat 65-68
mengenai ‘hamba yang saleh’, yaitu orang yang sudah mencapai
ma’rifat yang sempurna tentang Tuhan dan telah fana dalam
segala macam sifat-sifat ketuhanan.3 Selain itu, insan kamil juga
1 Nicholson, Studies in Islamic Mysticism (Cambridge: Cambridge
University Press, 1921). 77. Lihat juga A.C. Milner, “Islam and Malay
Kingship”. The Journal of Royal Asiatic Society of Great Britain and
Ireland, no.1 (1981): 54. Lihat juga Mark Woodward, “The ‘Slametan’:
Textual Knowledge and Ritual Performance in Central Javaanse Islam”.
History of Religious 28, no.1 (1988): 59. 2 Masataka Takeshita, Insan Kamil Pandangan Ibnu Arabi
(Surabaya: Risalah Gusti, 2005). 12-83. Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi.
111. 3 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-
Karim al-Jili (Serang: LP2M IAIN Banten, 2015): 187-188.
37
berangkat dari hadis yang menyebut bahwa “Tuhan menciptakan
Adam dalam citra-Nya”.4
Dalam bab ini, penulis berusaha menjelaskan apa yang
dimaksud dengan ‘Raja Sufi’. Untuk mengetahui apa itu Raja
Sufi, penulis berangkat dari doktrin insan kamil karena ia
merupakan fondasi atau dasar dari konsep ‘Raja Sufi’ yang
kharismatik. Oleh sebab itu, perkembangan konsep insan kamil
sejak era Ibnu Arabi dan al-Jili sampai akhirnya tiba di
Nusantara. Oleh karenanya, insan kamil juga disebut sebagai
orang suci yang menyadari kesatuannya dengan Tuhan secara
utuh.5 Di Nusantara, doktrin insan kamil kemudian
dikembangkan untuk memperkokoh legitimasi dan karisma raja.
Melalui hubungan patron-klien antara raja dan ulama,
kemudian konsep ‘Raja Adil’ atau ‘Raja Sufi’ terbentuk di ranah
Melayu.6 Hamzah Fansuri dan Nurudin ar-Raniry adalah dua
tokoh sentral dari pembentukan konsep tersebut.7 Sementara itu
di tanah Jawa, konsep ‘Raja Sufi’ muncul dari lingkaran dalam
keluarga istana. Salah satu contohnya adalah Ratu Pakubuwana
(w. 1732) yang berusaha membentuk sosok Pakubuwana II
sebagai seorang sufi warrior king yang menggunakan ajaran
4 Masataka Takeshita, Insan Kamil Pandangan Ibnu Arabi. 10. 5 A.C. Milner, “Islam and Malay Kingship”: 54. 6 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan (Jakarta: Mizan, 2012).
48-49. 7 A.C. Milner, “Islam and Malay Kingship”: 56.
38
sufistik sebagai dasar pemerintahannya.8 Meskipun demikian,
baik kerajaan-kerajaan di tanah Melayu maupun Jawa sama-
sama menggunakan kitab al-Insan al-Kamil karya Abd al-Karim
al-Jili sebagai sumber referensi dalam membentuk konsep ‘Raja
Sufi’.9
Pada bagian akhir bab ini, penulis berusaha
mengaktualisasikan konsep ‘Raja Sufi’ dengan Sultan Abul
Mafakhir. Kitab al-Insan al-Kamil karya Abd al-Karim al-Jili
juga ditemukan di Banten dan bahkan Sultan Abul Mafakhir
sendiri yang memberikan titah untuk menyalinnya dan
memberikan terjemahan bahasa Jawa.10 Informasi tersebut
menjadi penting karena ia menyimpan indikasi atas ketertarikan
Sultan Abul Mafakhir terhadap doktrin insan kamil yang
menjadi sumber atas konsep ‘Raja Sufi’. Selain itu, teks Jauhar
al-Haqa’iq karya Syamsudin al-Sumatrani juga ditemukan di
Banten. Jauhar al-Haqa’iq sendiri berisi tentang tajalli (Tuhan)
terhadap insan kamil yang berlangsung dalam lima tingkatan.
Hal tersebut juga biasa dikenal dengan ajaran Martabat Lima.
Baik al-Insan al-Kamil maupun Jauhar al-Haqa’iq, keduanya
memberikan gambaran bahwa doktrin insan kamil juga dikenal
di Kesultanan Banten.
8 M.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java. 103-115. 9 Mark Woodward, “The Slametan”: 58-60. Lihat juga A.C. Milner,
“Islam and Malay Kingship”: 56. 10 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-
Karim al-Jili: 13-14.
39
A. Doktrin Insan Kamil dari waktu ke waktu
Ajaran Sufi, khususnya insan kamil memang mendapat
tempat yang khusus dalam politik kerajaan di Nusantara. Baik
hakikatnya sebagai sebuah doktrin, maupun proses tajalli-nya
sudah banyak diuraikan oleh para Ulama Dalam lintasan
sejarah, ada banyak ulama yang berusaha menguraikan konsep
insan kamil. Akan tetapi, dalam subbab hanya akan dijelaskan
empat ulama yang memiliki keterkaitan terhadap kajian skripsi
ini, di antaranya; Ibn ‘Arabi, Abd al-Karim al-Jili, Hamzah
Fansuri dan Nurudin ar-Raniry. Dua nama pertama menjadi
sosok penting dari berkembangnya konsep insan kamil dalam
dunia Islam. Sementara sisanya memiliki peran besar dalam
mengembangkan doktrin insan kamil di Nusantara.
1. Insan Kamil dalam pandangan Ibnu Arabi
Ibnu Arabi lahir tahun 1165 M (560 H) di kota Murcia,
Spanyol dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad bin
Sa'id bin Mardaniah yang merupakan Gubernur Andalusia
Timur. Nama kelahirannya adalah Mukhyid-Din Muhammad
Ibn Ali Ibn Muhammad Ibnu ‘Arabi al-Hatimi al-Tha’i.
Semasa hidup, ia pernah memegang jabatan qadi di kota Seville
dan kemudian mundur untuk mengabdikan diri dalam kegiatan
40
ilmiah, seperti mengajar dan menulis.11 Selain itu, Ibnu ‘Arabi
juga banyak melakukan pengembaraan semasa hidupnya. Di
umur 8 tahun, ia pergi ke Lisbon, di mana ia menerima
pendidikan hukum-hukum Islam dan membaca Qur’an.
Kemudian ia pindah ke kota Seville untuk belajar Hadits,
Hukum dan Theologi Islam. Ia menetap selama 30 tahun dan
banyak belajar mengenai tasawuf di sana. Setelah menetap
cukup lama di Seville, ia berangkat ke Timur untuk
melaksanakan ibadah Haji ke Mekkah. Ia juga mngunjungi
Mesir, Jerussalem dan Aleppo selama berada di Timur.
Pengembaraannya kemudian berakhir di kota Damaskus, di
mana ia menetap sampai meninggal di tahun 1240 M (638 H).12
Ibnu ‘Arabi sendiri merupakan ulama ‘golongan awal’
yang memperkenalkan istilah insan kamil. Ia muncul dengan
konsep tajalli al-Haqq (Manifestasi Tuhan). Secara sederhana,
yang dimaksud tajalli al-Haqq adalah Alam yang menjadi
cermin bagi Tuhan untuk menampakkan diri-Nya. Hal tersebut
bukan terjadi secara langsung, melainkan dalam bentuk yang
tidak langsung. Jadi, apapun yang ada di alam ini merupakan
tajalli (manifestasi) Tuhan, sehingga hanya ada realitas tunggal
atau wujud yang satu.13 Atas dasar inilah kemudian muncul
11 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara: Kontinuitas dan
Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015). 23-25. 12 A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1995). 1-2. Lihat juga Abdul Haq Ansari, “Ibn Arabi: The
Doctrine of Wahdat al-Wujud”, Islamic Studies 38, no.2 (1999): 150-151. 13 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 31-32.
41
konsep ‘insan kamil’ atau manusia sempurna. Menurut Ibnu
Arabi, satu-satunya yang mampu memantulkan semua
kesempurnaan Tuhan adalah insan kamil.14 Singkatnya, tajalli
(Manifestasi) Tuhan yang paling sempurna adalah insan kamil.
Dalam pandangan Ibnu ‘Arabi, Tajalli Tuhan terbagi
menjadi dua bentuk, yaitu tajalli Zati dan tajalli Syuhudi.
Tajalli Zati merupakan tajalli yang hanya terjadi dalam esensi
Tuhan. Di dalamnya terdiri dari martabat Ahadiyah (Wujud
tunggal yang mutlak) dan martabat Wahidiyyah (Citra Tuhan
mulai tercermin dalam sifat-sifat-Nya). Sementara itu, tajalli
Syuhudi merupakan tajalli yang mengambil bentuk alam
semesta. Tingkatan pertama dari tajalli ini adalah al-jism al-
kulli (Jasad Universal) kemudian mengambil bentuk al-syakl
al-kulli (bentuk universal), yang terdiri dari berbagai unsur di
alam seperti air, api, tanah, udara, mineral dan seterusnya.
Sedangkan tajalli yang terakhir adalah insan kamil yang
merupakan manifestasi dari segala nama dan sifat-Nya.15
Konsep insan kamil kemudian terus berkembang dan
dilanjutkan oleh Abd al-Karim al-Jili yang berjudul al-Insan
al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il. Menurut
Nicholson, kitab tersebut ditulis secara khusus untuk
14 A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi. 113-118. 15 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi. 61-62.
42
menjelaskan doktrin insan kamil. Selanjutnya akan dijelaskan
lebih lanjut mengenai pandangan al-Jili tentang insan kamil.
2. Insan Kamil dalam Pandangan Abd Karim al-Jili
Abd al-Karim al-Jili lahir di Baghdad sekitar tahun
1365 M. Nama lengkapnya adalah Abd Karim al-Jili Ibn
Ibrahim Ibn Abd al-Karim Ibn Khalifah Ibn Ahmad Ibn
Mahmud al-Jili.16 Masih belum diketahui secara pasti
mengenai tanggal kematian al-Jili. Nicholson berpendapat
bahwa al-Jili kemungkinan meninggal antara tahun 1406-1417
M.17 Abd Karim al-Jili juga dikenal sebagai penulis yang cukup
produktif. Beberapa tulisannya antara lain: al-Insan al-Kamil,
Maratib al-Wujud wa Bayan Kulli Maujud, Syarh al-Futuhat
al-Makkiyah, Arba’un Mauthinan, Aqidah al-Akbar al-
Muqtabasatmin Ahzab wa Shalawat, Haqiqah al-Haqa’iq. Dari
semua karya yang sudah ia tulis, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat
al-Awakhir wa al-Awa’il adalah karyanya yang paling
monumental.18
Serupa dengan Ibnu Arabi, Abd Karim al-Jili juga
memandang bahwa insan kamil merupakan manifestasi
(tajalli) yang paling sempurna bagi Tuhan. Ia juga sepakat
dengan Ibnu Arabi terkait sosok Nabi Muhammad sebagai
16 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 38. 17 R. Nicholson, Studies in Islamic Mysticism. 81. 18 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi. 38-47 Lihat juga. R. Nicholson,
Studies in Islamic Mysticism. 82.
43
‘insan kamil’ yang paling tinggi derajatnya.19 Namun, proses
manifestasi (tajalli) yang diusung oleh Abd al-Karim al-Jili
lebih tersusun sistematis dan mudah dipahami daripada milik
Ibnu Arabi. Menurut al-Jili ada lima tingkatan berbeda antara
satu dengan yang lain, di antaranya; Martabat uluhiyyah,
ahadiyyah, wahidiyyah, rahmaniyyah dan rububiyyah.20 al-Jili
kemudian membagi proses tajalli tersebut menjadi tiga
kategori. Pertama, kategori al-bidayah (permulaan), asma dan
sifat-sifat Tuhan mulai bisa tercermin dalam diri insan kamil.
Kedua, kategori tawasuth (pertengahan). Pada tingkatan ini,
Tuhan sudah menampakkan sifat-sifat dan namanya ke dalam
fenomena alam semesta. Selain itu, pada tingkatan ini insan
kamil sudah memiliki sebagian pengetahuan tentang hal-hal
gaib. Ketiga, kategori kesempurnaan. Pada tingkatan ini, insan
kamil memiliki pengetahuan rahasia penciptaan takdir, ia juga
telah mampu tampil sebagai cerminan ilahi secara utuh dan
sempurna.
al-Insan al-Kamil karya Abd al-Karim al-Jili nyatanya
memiliki pengaruh yang cukup signifikan di Nusantara. Ia
menjadi sumber rujukan penting bagi para ulama serta digemari
oleh para penguasa, baik di tanah Melayu maupun tanah Jawa.
Meskipun demikian, baik kerajaan-kerajaan di tanah Melayu
19 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 43. 20 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 41-42. R. Nicholson,
Studies in Islamic Mysticism. 84.
44
maupun Jawa.21 Dalam kaitannya dengan kerajaan-kerajaan
Melayu, Hamzah Fansuri dan Nurudin ar-Raniry memiliki peran
penting dalam memformulasikan doktrin insan kamil sebagai
sumber legitimasi dan karisma raja. Selanjutnya, pandangan
Hamzah Fansuri dan Nurudin ar-Raniry mengenai insan kamil
akan dijelaskan lebih lanjut.
3. Martabat Lima dan Insan Kamil menurut Hamzah
Fansuri
Riwayat hidup Hamzah Fansuri juga sudah menarik
perhatian besar dari para sejarawan. Mengenai kelahiran ulama
masyhur ini, ada beberapa versi berbeda. Naquib Al-Attas
berpendapat bahwa ada dua tempat yang paling memungkinkan
sebagai lokasi kelahiran Hamzan Fansuri, diantaranya; Barus
dan Shahr Nawi (Siam). Kedua tempat tersebut juga sering
disebut dalam oleh Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya.22
Sedangkan Brakel berpendapat bahwa letak Shahr Nawi (Syahr
Nu) bukan di Siam, melainkan masih dalam wilayah Kerajaan
Aceh. Lebih jauh ia juga menjelaskan bahwa Syahr Nu bukalah
tempat kelahiran Hamzah Fansuri.23 Baik tempat maupun
tanggal kelahirannya memang menjadi misteri hingga kini.
21 Mark Woodward, “The Slametan”: 58-60. Lihat juga A.C. Milner,
“Islam and Malay Kingship”: 56. 22 Syed Naguib al-Attas, “New Light on The Life of Hamzah
Fansuri”. JMBRAS 40, no.1 (1967): 43-48. 23 L.F Brakel, “The Birth Place of Hamzah Fansuri”. JMBRAS 42,
no.2 (1969): 206-212.
45
Bukan hanya itu, waktu kematian Hamzah Fansuri juga
masih menjadi misteri besar bagi para sejarawan. Sama seperti
sebelumnya, para sejarawan juga berbeda pendapat dalam
menentukan waktu kematian Hamzah Fansuri. Kelompok
pertama (Voorhoeve dan Nieuwenhuyze) menyatakan bahwa
Hamzah Fansuri kemungkinan besar sudah wafat sebelum
tahun 1590 M. Kelompok kedua (Kraemer, Winstedt dan
Hasyimi) berpendapat bahwa Hamzah Fansuri masih hidup
hingga tahun 1630-an. Pendapat ini didasarkan pada sebuah
naskah anonim abad ke-17 (MS SOAS London No. 11646)24
yang diduga memuat ajaran Hamzah Fansuri. Sementara itu,
kelompok ketiga (Naquib al-Attas, Brakel dan Braginsky)
berpendapat bahwa Hamzah Fansuri hidup sekurang-
kurangnya hingga awal abad ke-17.25
Salah satu yang cukup dikenal dari Hamzah Fansuri
adalah konsep ‘Martabat Lima’. Pesona dari konsep ini terasa
kuat di awal abad ke-17. Bahkan, Martabat Lima kemungkinan
sudah dikenali di Banten. Hal tersebut tentu bukan sesuatu
yang tidak mustahil, mengingat beberapa karya Hamzah
Fansuri seperti al-Muntahi dan Syarab al-Asyiqin sudah
24 Lihat uraian A.H Johns, “Malay Sufism:as ilustrated in an
anonymous collection of 17th Century tracts”. JMBRAS 30, no.2 (1957). 25 Abdul Hadi, Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik
terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (Jakarta: Paramadina, 2001). 118-
119.
46
dikenali dan sukses menarik perhatian Sultan Abul Mafakhir.26
Konsep martabat lima tak bisa dilepaskan dari ajaran wahdat
al-wujud (wujudiyyah). Menariknya, ajaran wujudiyyah yang
dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dipengaruhi oleh Ibnu
Arabi dan Abd al-Karim al-Jili.27 Karenanya, konsep martabat
lima maupun ajaran wujudiyyah juga tak bisa dilepaskan dari
doktrin insan kamil.
Meskipun demikian, Hamzah Fansuri memiliki
pandangan tersendiri mengenai proses manifestasi (tajalli)
Tuhan. “Martabat Lima”, yang terdiri dari:
Pertama, martabat la ta’ayun (tidak nyata). Dalam
martabat ini, Tuhan benar-benar berada dalam realitas
yang tidak mampu dipahami oleh manusia karena akal
dan budi dari manusia tidaklah mampu menjangkaunya.
Kedua, martabat ta’ayyun awwal (kenyataan pertama),
yang terdiri dari Ilmu, Wujud, Syuhud dan Nur. dengan
sebab Ilmu maka Alim dan Ma’lum menjadi nyata,
dengan sebab Wujud maka yang mengadakan dan yang
diadakan menjadi nyata, dengan sebab Syuhud maka
yang melihat dan dilihat menjadi nyata, dengan sebab
26 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten (Jakarta:
WWS, 2015). 340. Lihat juga Henri Chambert-Loir, Naik Haji di Masa
Silam Jilid I: 1482-1890 (Jakarta: KPG-EFEO, 2013). 15-17. Lebih lanjut
penjelasan mengenai kitab al-Muntahi, lihat Abdul Hadi, Tasawuf yang
Tertindas. 11. 27 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 116.
47
Nur maka yang menerangi dan yang diterangi menjadi
nyata. Ta’ayyun awwal terdiri dari dua bagian, Ahad
ketika Zat Allah berada dalam keesaannya dan Wahid
ketika Zat Allah sudah menyertakan sifat-Nya.
Ketiga, martabat ta’ayyun Tsani (kenyataan kedua),
martabat ini juga dikenal oleh kaum sufi sebagai a’yan
tsabithah (sesuatu yang pasti).
Keempat, martabat ta’ayyun ketiga, yaitu kenyataan
berupa ruh, ruh insan, ruh hewan dan tumbuhan.
Kelima, martabat ta’ayyun keempat dan kelima, yaitu
segala yang berbentuk fisik dan segala makhluqat.28
Konsep tersebut tidak jauh berbeda dengan konsep
tajalli dari para pendahulunya seperti Ibnu Arabi maupun Abd
al-Karim al-Jili.
4. Insan Kamil dalam pandangan Nurudin ar-Raniry
Nuruddin ar-Raniry lahir dengan di kota Ranir
(Rander), India dengan nama Nuruddin bin Muhammad bin Ali
bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniry al-Quraisyi al-
Syafi’iy. Ia belajar agama di kota kelahirannya ini lalu
melanjutkan belajarnya ke kota Tarim, Arab Selatan. Di tahun
28 Miftah Arifin, Wujudiyyah di Nusantara. 119-120.
48
1621 M, ia berangkat ke Mekkah dan Madinah untuk ziarah ke
makam Nabi dan kemudian kembali ke India.29
Di tahun 1637 M, ia pergi ke Aceh dan menjadi mufti
Kerajaan Aceh yang waktu itu dipimpin oleh Sultan Iskandar
Tsani.30 Nurudin juga sudah pernah berkunjung ke Aceh
sebelumnya, argumen itu didasari dari penguasaan bahasa
Melayu olehnya.31 Namun, ia pergi meninggalkan Aceh dan
kembali ke kota kelahirannya di tahun 1644 M. Kepergiannya
yang tiba-tiba ini agaknya didasari atas kekalahan Nurudin
dalam diskusi keagamaan dengan Saifurrijal, yang merupakan
murid Syamsudin al-Sumatrani.32
Nurudin juga dikenal sebagai ulama yang produktif
menulis, lebih dari 20 kitab telah ia hasilkan. Salah satu karya
monumentalnya adalah Bustan al-Salathin yang selesai di
tahun 1637 M. Menariknya, ia juga menulis sebuah kitab yang
ditujukan untuk menjawab pertanyaan Sultan Abul Mafakhir
(w.1651)33 dari Banten. Kitab tersebut berjudul al-Lama’an fi
29 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh
Nuruddin ar-Raniry. 36. 30 P. Voorhoeve, “Van en Over Nurudin ar-Raniri”. BKI 107, no.4
(1951): 357. 31 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh
Nuruddin ar-Raniry. 38. 32 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh
Nuruddin ar-Raniry. 45-46. 33 Ahmad Daudy agaknya keliru dalam menyebut tahun kematian
Sultan Abul Mafakhir. Ia menyebut tahun 1640 M sebagai waktu kematian
Sultan Abul Mafakhir. Padahal di saat yang bersamaan Daudy juga
49
Takfir man qala bi khalq’l-Qur’an yang ditulis oleh Nurudin
ketika ia berada di Ranir, India. Isi dari kitab ini adalah
sanggahan terhadap ajaran wujudiyyah Hamzah Fansuri.34
Empat belas tahun setelah kembali dari Aceh, Nurudin ar-
Raniri meninggal dunia. Ia meninggal di tanggal 21 September
1658 M (1069 H).35
Menurut Nuruddin ar-Raniry, tajalli Tuhan
berlangsung dalam tiga martabat. Berikut di antaranya:
Martabat Wahidah atau ta’ayyun awwal, yaitu segala
sifat dinamai akan tajalli itu syu’un zat.
Martabat Wahidiyyah atau ta’ayyun tsani, yaitu segala
asma dinamai akan dia tajalli itu a’yan tsabitah
(Hakikat Alam).
Martabat Alam Arwah atau tajalli Syuhudi, yaitu
Zhuhur Haqq Ta’ala dengan Shuwar asma-Nya pada
alam.36
menyebut bahwa kitab tersebut ditulis ketika Nurudin sudah kembali ke
Ranir di tahun 1644. Dari Sajarah Banten juga didapati bahwa Sultan Abul
Mafakhir meninggal di tahun 1651 M dan bukan di tahun 1640 M.. Lihat
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-
Raniry. 56. Bandingkan dengan Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis
Tentang Sajarah Banten (Jakarta: Djambatan, 1983). 209. 34 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh
Nuruddin ar-Raniry. 56. 35 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh
Nuruddin ar-Raniry. 47. 36 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh
Nuruddin ar-Raniry. 97-98.
50
Sementara itu, yang dimaksud dengan insan kamil
dalam konsepsi Nurudin ar-Raniry adalah manusia yang telah
memiliki hakikat Muhammad dalam dirinya. Sejatinya konsep
mengenai insan kamil ini tidak berbeda jauh dengan konsep
yang sudah ditelurkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-
Sumatrani. Bahkan, konsep insan kamil dari ketiganya masih
berada dalam garis Ibnu Arabi. Lebih jauh menurut Nurudin,
nur Muhammad adalah awal dari segala peristiwa (ta’ayyun
awwal) yang menghimpun segala haqa’iq, sehingga segala
nama dan sifat-Nya hanya bertajalli secara sempurna pada nur
Muhammad atau insan kamil, sehingga sampai kepada
simpulan bahwa insan kamil merupakan cermin Allah untuk
melihat kesempurnaan diri-Nya.37
B. Konsep Raja Sufi: Aktualisasi Doktrin Insan Kamil di
Nusantara
Mulai dari Ibnu Arabi hingga Nurudin ar-Raniry
beranggapan bahwa insan kamil adalah tajalli Tuhan yang
paling sempurna. Manifestasi yang paling sempurna dari insan
kamil adalah nur Muhammad, karena ia merupakan awal dari
penciptaan alam semesta. Lalu di bawahnya ada para Nabi dan
kemudian wali ataupun orang suci. Di abad ke-17, konsep
37 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh
Nuruddin ar-Raniry. 184-189.
51
mengenai insan kamil dipandang begitu menarik bagi raja-raja
Nusantara. Konsep tersebut diadopsi dan dimodifikasi agar
dapat memperkuat karisma seorang raja. Di tanah Melayu,
kemudian lahir istilah Raja Adil yang bersumber dari konsep
“insan kamil” dalam konteks politik kerajaan. Sementara itu, di
tanah Jawa, istilah yang lebih dikenal adalah Raja Sufi yang
juga berasal dari konsep insan kamil.38 Keduanya akan
dijelaskan lebih rinci dalam bagian ini.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, doktrin insan
kamil masuk ke Nusantara melalui Aceh. Diawali oleh Hamzah
Fansuri, dilanjutkan oleh Syamsudin al-Sumatrani dan
diperkaya oleh Nurudin ar-Raniri. Ketiganya menempatkan
insan kamil ke dalam lanskap politik Nusantara saat itu yang
berpusat pada kebesaran seorang Raja. Hubungan patron-klien
yang terjalin antara Raja dan Ulama di Aceh rasanya perlu
diketengahkan sebagai sebab terbentuknya konsep Raja Sufi
atau Raja Adil di Aceh, sehingga konsep Raja Sufi juga harus
dipandang sebagai sebuah aktualisasi dan adaptasi dari doktrin
insan kamil yang sudah berkembang masif abad itu.
Dalam kaitannya dengan politik kerajaan di Melayu,
penting kiranya untuk melihat artikel A.C Milner, Islam and
Malay Kingship (1981). Dalam artikel tersebut, Milner secara
khusus menyoroti mengenai doktrin ‘perfect man’ atau ‘insan
38 Jajat Burhanuddin, “Wacana Baru Islam”. Studia Islamika 5, no.2
(1998): 195-196.
52
kamil’ yang banyak menarik perhatian raja-raja Melayu.
Secara sederhana, insan kamil digambarkan sebagai seorang
yang sudah menyadari kesatuannya dengan Tuhan.39 Dalam
kerajaan Melayu, kekuasaan politik (hukumah) seperti
mengatur tata kelola masyarakat merupakan bagian yang
sejajar dengan tugas-tugas kenabian (nubuwah) seperti
membimbing manusia menuju kebaikan.40
Uniknya, Taj al-Salatin yang ditulis sekitar tahun 1603
M juga memuat konsep ideal bagi seorang raja. Dalam hal ini
konsep yang diperkenalkan dalam naskah tersebut adalah
“adil”, yang merujuk pada kondisi moral dan kesempurnaan
agama. Kondisi ini relatif sama dengan doktrin insan kamil
yang menyadari secara utuh kesatuannya dengan Tuhan dan
pada akhirnya mampu berbuat adil. Dari konsep adil tersebut,
kebenaran yang sejati akan terdapat dalam ucapan dan tindakan
para raja. Selain itu, Taj al-Salatin juga mengungkapkan
kriteria yang harus dimiliki oleh seorang Raja Adil. Kriteria
pertama, seorang Raja Adil harus selalu ingin menuntut ilmu
pada ulama, memperhatikan kondisi rakyatnya, menganjurkan
kebaikan dan melarang keburukan serta melindungi rakyatnya
dari setiap kejahatan.41
39 A.C. Milner, “Islam and Malay Kingship”: 54-55. 40 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan. 48-49. 41 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan. 52-53.
53
Sementara itu, konsep yang serupa juga ditemui di
tanah Jawa. Akan tetapi perbedaan yang cukup terlihat adalah
Berbeda dengan kerajaan Aceh dan Melayu yang sarat dengan
hubungan patron-klien. Konsepsi Raja Sufi yang berkembang
di tanah Jawa justru berasal dari dalam lingkaran kerajaan.
Salah satu yang paling fenomenal adalah upaya Ratu
Pakubuwana dalam membentuk ajaran sufistik sebagai dasar
dari kerajaan Pakubuwana II.
Upaya tersebut dilancarkan oleh Ratu Pakubuwana
pada dekade awal abad ke-18. Ia berusaha menyempurnakan
sosok Pakubuwana II sebagai seorang “Raja Sufi” dengan cara
menyodorkan beberapa kitab sufistik seperti Carita Iskandar,
Carita Yusuf, Kitab Usulbiyah serta Suluk Garwa Kencana.
Hebatnya, keempat kitab tersebut ia hasilkan dalam keadaan
buta. Sosok Ratu Pakubuwana yang menjadi sosok penting dari
pengembangan konsep Raja Sufi di Jawa.42
Carita Iskandar dan Carita Yusuf adalah tulisan ulang
yang berkisah mengenai petualangan, kepahlawanan serta
kesalehan seorang pemimpin. Sementara itu, Kitab Usulbiyah
mengandung otoritas yang lebih jelas lagi di dalamnya,
sehingga disebut di dalamnya bahwa “seorang Kafir akan
menjadi Muslim jika membacanya”. Yang terakhir adalah
Suluk Garwa Kencana, di sinilah penguasa ideal digambarkan
sebagai seorang yang taat kepada ajaran sufi dan tidak
42 M.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java. 103-115.
54
meninggalkan tradisi Jawa. Seorang penguasa kemudian harus
mengabaikan kesenangan pribadi dan menjadi Raja Sufi.43
al-Insan al-Kamil juga menjadi kitab yang cukup
dikenal di Banten. Bahkan, Sultan Abul Mafakhir yang
memerintahkan untuk menyalin kitab tersebut. Hal tersebut
didukung dengan fakta bahwa kitab al-Insan al-Kamil yang
tertua ditemukan di Banten. Kini, naskah itu tersimpan di
Perpustakaan Leiden, Belanda.44 Mengenai insan kamil di
Kesultanan Banten akan dijelaskan pada subbab selanjutnya.
C. Insan Kamil di Kesultanan Banten
Dalam kaitannya dengan Kesultanan Banten,
setidaknya ada dua teks yang menggambarkan tentang ajaran
‘Martabat Lima’ dan insan kamil. Keduanya adalah teks
Jauhar al-Haqa’iq dan al-Insan al-Kamil. Naskah pertama
adalah karya Syamsudin al-Sumatrani yang kemudian disalin
ulang oleh Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani di abad ke
18 M dengan otoritas yang diberikan oleh Sultan Abu Nasr
Muhammad Arifuddin Zainulasyiqin.45 Naskah Jauhar al-
43 M.C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java. 103-115. 44 Michael Feener & Michael Laffan, “Sefi Scent Across the Indian
Ocean: Yemeni Hagioghrapy and the Earliest History of Southeast Asian
Islam”. Archipel 70 (2005): 205. Lihat juga Mufti Ali dkk, Konsep
“Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-Karim al-Jili. 13-14. 45 Jauhar al-Haqa’iq, 235-236.
55
Haqa’iq sendiri dalam keadaan baik. Kemungkinan naskah ini
ditulis pada abad ke-18. Pada halaman kelima terdapat
informasi mengenai judul naskah yang ditandai dengan tinta
berwarna merah.46 Kini, teks Jauhar al-Haqa’iq tersimpan di
Perpustakaan Nasional dengan nomor panggil A 31.
Menariknya, dari keterangan yang diberikan oleh Mufti
Ali, naskah Jauhar al-Haqa’iq memuat ringkasan tanya-jawab
antara Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (w.1651
M) dengan Nurudin ar-Raniri.47 Dialog ini sendiri berlangsung
di tahun 1640’an. Kemungkinan, maksud dan tujuan Abul
Mafakhir mengirimkan pertanyaan adalah untuk
mengklarifikasi dengan apa yang terjadi di Aceh. sendiri
merupakan seorang ulama terkemuka di Aceh yang menjabat
sebagai Syaikhul Islam pada paruh pertama abad ke-17.
Kemudian ia pergi dari Aceh dan kembali ke India. Surat yang
dikirimkan oleh Abul Mafakhir juga kemungkinan diterima
oleh ar-Raniri setelah ia berada di India.
Teks Jauhar al-Haqa’iq terdiri dari tiga bagian. Bagian
pertama hampir dapat dipastikan mengandung ajaran ‘Martabat
Lima’ yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri
dan dilanjutkan oleh Syamsudin al-Sumatrani. Kelima
martabat tersebut terdiri dari martabat Ahadiyah, Wahdat,
46 Jauhar al-Haqaiq, 5 47 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-
Karim al-Jili. 3.
56
Wahidiyyah, ta’ayyun Ruh serta ta’ayyun makhluqi.48 Uraian
tersebut merupakan indikasi awal bahwa ajaran Martabat Lima
mendapat ruang yang cukup aus di Kesultanan Banten. terlebih
lagi, ketertarikan Sultan Abul Mafakhir terhadap karya-karya
Hamzah Fansuri seperti al-Muntahi menjadi indikasi tambahan
bahwa ajaran Martabat Lima memang cukup dikenal di Banten.
Bagian kedua membicarakan mengenai tingkatan
penciptaan manusia.49 Allah pertama-tama menciptakan nur
yang kemungkinan adalah nur dari Nabi Muhammad. Nur
tersebut berasal dari Nur milik Allah ta’ala. kemudian Ia
menciptakan para nabi dari cahaya tersebut.50 Dari sinilah
gambaran ‘insan kamil’ menurut ar-Raniry, bahwa seorang
insan kamil atau Manusia Sempurna adalah ia yang telah
memiliki nur Muhammad atau hakikat Muhammad dalam
dirinya.
Dalam naskah yang sama juga disebutkan mengenai
tingkatan dari qalbu. Pertama hati yang mati, yang dimiliki
oleh orang kafir dan jiwa yang dipimpin syaithon. Kedua hati
yang rusak, yaitu hati orang-orang fasik, yang memiliki nafsu
hewan dan syaithon, dan ia adalah orang yang cacat. Ketiga hati
pendusta, yaitu hati orang munafik. Keempat hati yang selamat,
yaitu hati orang mukmin yang sholeh dan meyakini dengan
48 Jauhar al-Haqaiq, 7-9. 49 Jauhar al-Haqa’iq, 192. 50 Jauhar al-Haqa’iq, 193-195.
57
mantap Nabi Muhammad. Kelima hati yang terarah, yaitu hati
orang-orang mukmin yang sempurna, dan mereka adalah ahlul
thariqoh. Keenam hati yang abstrak, adalah hati orang mukmin
yang sempurna, dan mereka adalah orang yang benar. Ketujuh
hati ketuhanan, yaitu hati orang-orang mukmin yang sudah
menyatu dengan Allah, dan mereka adalah ahlul ma’rifat.51
Ketertarikan Sultan Abul Mafakhir terhadap konsep
insan kamil juga terindikasi dari temuan Mufti Ali dik terhadap
naskah al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il
karya Abd al-Karim al-Jili yang sudah diberikan tambahan
larik bahasa Jawa. Naskah ini berada di Perpustakaan Leiden,
Belanda dengan nomor panggil Cod.Or 7197a.
Naskah al-Insan al-Kamil sering dimaknai sebagai
karya Abul Mafakhir. Namun, dalam penelitian yang lebih
mutakhir diketahui bahwa Abul Mafakhir hanya memberika
otoritas untuk menyalin dan memberikan terjemahan bahasa
jawa dalam naskah tersebut.52 Yang dimaksud insan kamil
secara harfiah diartikan sebagai “Manusia Sempurna”.
Sedangkan dalam konsep al-Raniri, insan kamil adalah
manusia yang memiliki nur Muhammad dalam dirinya. Oleh
sebab itu, dalam insan kamil terkandung segala hakikat wujud
yang paling lengkap, sehingga ia dapat berperan sebagai
51 Jauhar al-Haqa’iq, 284-289. Lihat juga Harun Nasution, Filsafat
dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). 75-78. 52 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-
Karim al-Jili. 13-14.
58
cermin-Nya yang lengkap lagi sempurna. Lewat insan kamil,
maka lahirlah segala sifat jamal dan jalal-Nya di muka bumi
ini, seperti adil, ihsan, kasih sayang, keagungan serta
keperkasaan.53
53 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh
Nurudin ar-Raniry. 184-189.
59
BAB IV
KESULTANAN BANTEN DI BAWAH
KEKUASAAN SULTAN ABUL MAFAKHIR
(1624-1651 M)
A. Kesultanan Banten Sebelum Sultan Abul Mafakhir
Mahmud Abdul Kadir berkuasa.
Kerajaan Banten berdiri sejak tahun 1525 M ditandai
dengan di taklukannya Wahanten Girang oleh Sunan Gunung
Djati dan Maulana Hasanuddin. Karena posisinya yang sangat
strategis, Banten mulai berkembang menjadi salah satu
kekuatan penting di Nusantara. Letaknya yang berada di antara
dua selat membuatnya terhubung dengan jaringan perdagangan
global. Sejak saat itu, Banten berhasil mempertahankan
kemerdekaan yang bebas dari segala intervensi, setidaknya
sampai tahun 1682 M. Periode ini disebut oleh Guillot sebagai
‘Periode kemerdekaan Banten’.1
Selama periode ini, Banten dipimpin oleh lima Raja, di
antaranya Maulana Hasanuddin yang berkuasa sejak tahun
1527-1570 M, Maulana Yusuf yang berkuasa sejak 1570-1580
M, Maulana Muhammad yang berkuasa sejak 1594-1596,
Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang berkuasa
1 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-
1682)”. Archipel 50, (1995): 109.
60
sejak tahun 1624-1651 M dan Sultan Ageng Tirtayasa yang
berkuasa sejak tahun 1651-1682 M. Selain itu, ada lima
waliraja yang menggantikan tugas raja sementara waktu.
Mereka adalah Patih Mangkubumi (1596-1602 M), adik
Mangkubumi yang segera dipecat karena sikapnya yang kurang
tegas, Nyi Gede Wanagiri, waliraja keempat adalah seorang
mangkubumi yang menikahi Nyi Gede Wanagiri, Waliraja
yang terakhir adalah Pangeran Arya Ranamanggala (1608-
1624 M).2
Maulana Hasanuddin (1527-1570 M) menjadi raja
Banten setelah berhasil menaklukkan Banten Girang.3 Setelah
menetap beberapa waktu, Hasanuddin mendapat arahan dari
sang ayah untuk memindahkan Ibu Kota Banten ke kawasan
pesisir dan terciptalah Surosowan.4 Pemindahan ibukota ke
Banten sering kali dikaitkan dengan ‘unsur magis’,
bahwasanya sebuah ibukota yang telah ditaklukkan tidak boleh
lagi ditinggali.5 Meskipun demikian, posisi Surosowan di masa
itu memang sangat strategis, karena ia berada di jalur
perdagangan global. Akibatnya, Banten kemudian
2 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten
(Jakarta: Djambatan, 1983): 214-215. Lihat juga Titik Pudjiastuti,
Menyusuri Jejak Kesultanan Banten (Jakarta: WWS, 2015). 303-307. 3 Claude Guillot, “Banten in 1678”. Indonesia no.57 (1993): 90. 4 Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia III
Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008). 67. 5 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota
Muslim di Indonesia (Kudus: Menara Kudus, 2000). 52.
61
mengokohkan diri sebagai salah satu kota-pelabuhan penting di
Nusantara.
Poin penting yang juga perlu dilihat dari Maulana
Hasanuddin adalah kunjungannya ke Mekkah dan Madinah.
Bersama sang ayah, Sunan Gunung Djati, Hasanuddin
melaksanakan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama
di sana. Dari proses inilah, Hasanuddin ‘diduga kuat’ telah
berafiliasi dengan beberapa tarekat, seperti Qadiriyyah,
Syatharriyyah maupun Naqshabandiyyah dan membawanya ke
Banten.6 Gelar ‘Maulana’ yang disematkan kepada Hasanuddin
merupakan hasil dari Peran besarnya dalam menyebarkan dan
memperkuat agama Islam di Banten.7 Maulana Hasanuddin
wafat di tahun 1570 M. Setelah meninggal, ia mendapat gelar
Pangeran Sabangkinkin, merujuk pada tempat bersemayamnya
yang dekat dengan Masjid.8
Kekuasaan Banten kemudian diteruskan oleh Maulana
Yusuf (1570-1580 M). Pemerintahannya berjalan kurang lebih
sepuluh tahun. Meskipun tergolong singkat, ia berhasil
meneruskan pembangunan yang sudah dilakukan oleh Maulana
Hasanuddin (w. 1570 M). Dalam Sajarah Banten, dikisahkan
6 Gabriel Facal, “Religious Specificities in the Early Sultanate of
Banten” dalam Indo-Islamika 4, no. 1 (2014): 102-103 7 Hasan Muarif Ambary, “Agama dan Masyarakat Banten” dalam Sri
Sutjiatiningsih, Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra: Kumpulan Makalah
Diskusi (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997). 49 8 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten..
160.
62
bahwa Maulana Yusuf memiliki kekuatan jasmani yang luar
biasa. Oleh sebab itu, ia mampu membangun berbagai
infrastruktur di Kesultanan Banten. Mulai dari pembangunan
benteng kota, membuka ladang persawahan baru sampai kanal
air dan bendungan di Kota Surosowan.9 Selain itu, Ia juga
memimpin langsung penyerangan aliansi Banten-Cirebon
terhadap Kerajaan Pakuan-Pajajaran di tahun 1579 M.10
Setahun setelah menaklukkan Pajajaran, Maulana Yusuf wafat
dan dimakamkan di kawasan Pakalangan yang terletak di luar
kota Banten. Setelah mangkat, ia digelari Pangeran Pasarean,
yang juga merujuk pada tempat pemakamannya.11
Penguasa selanjutnya adalah Muhammad Nasruddin
atau Maulana Muhammad (1594-1596 M). Ia mulai memegang
kuasa di tahun 1594 M, ketika usianya sekitar 23 tahun. Adanya
jarak antara akhir kekuasaan Maulana Yusuf dengan
berkuasanya Maulana Muhammad bukannya tanpa sebab.
Sepeninggal Maulana Yusuf, ada dilema yang terjadi karena
sang pewaris tahta masih berumur 9 tahun, usia yang relatif
muda untuk memimpin sebuah kerajaan. Oleh sebab itu, sistem
kewalirajaan dibentuk dan kekuasaan Banten untuk sementara
dipegang oleh Patih Mangkubumi sebagai waliraja pertama
9 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 288. 10 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten.
36-38. 11 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten.
162-163.
63
sejak 1580 M dan kekuasaan Banten akan dikembalikan
kepada Maulana Muhammad ketika yang bersangkutan telah
siap dan cukup dewasa untuk memimpin.
Usaha untuk menerapkan sistem ini pun tidaklah
mudah. Karena Pangeran Jepara—adik kandung dari Maulana
Yusuf yang dibesarkan oleh Ratu Kalinyamat—datang ke
Banten untuk mengisi kekosongan di Banten. ambisi untuk
berkuasa di Banten tergambar dari besarnya jumlah pasukan
yang ia bawa. Karena statusnya yang masih anggota kerajaan
Banten, ia disambut baik oleh para punggawa dan mantri.
Bahkan Mangkubumi juga menawarkan tahta Banten
kepadanya. Tentu saja tawaran ini disambut baik oleh Pangeran
Jepara. Akan tetapi langkah Pangeran Jepara kemudian
dikandaskan oleh Ki Ali Surasaji atau Kiyai Dukuh. Awalnya,
Kyai Dukuh bertemu dengan Mangkubumi dan para pembesar
negeri untuk membicarakan tahta Banten seharusnya
diserahkan kepada Maulana Muhammad, bukan Pangeran
Jepara. Usul dari Kyai Dukuh kemudian disetujui oleh
Mangkubumi sehingga dibuatlah sistem kewalirajaan.12
Akhirnya keputusan telah dibuat dan Mangkubumi
yang sebelumnya mendukung Pangeran Jepara kemudian
berbalik menentang. Pertempuran antara antara pasukan
Banten dan pasukan Jepara tak terhindarkan lagi. Meskipun
12 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten.
39-41.
64
demikian, pasukan Jepara kemudian dapat diusir keluar Banten
dan Pangeran Muhammad yang masih belia itu diangkat
menjadi penguasa Banten, dengan catatan Pemerintahan
Banten dipegang oleh waliraja untuk sementara waktu. Untuk
itu, Mangkubumi ditunjuk sebagai waliraja pertama di
Banten.13 Kegagalan Pangeran Jepara untuk mengambil alih
kekuasaan di Banten merupakan sebuah indikasi dari
kedaulatan Banten terhadap sisa-sisa kekuasaan Demak di
Jawa Tengah.14
Atas jasanya yang besar, Kyai Dukuh diberikan gelar
‘Pangeran Kasunyatan’ sebagai gelar kehormatan. Gelar ini
diberikan oleh Maulana Muhammad ketika ia berkuasa.15
Posisi Pangeran Kasunyatan menjadi sangat vital di Kerajaan
Banten dengan gelar baru tersebut. Selain mengurusi kegiatan
keagamaan di Istana, ia juga memiliki kewenangan dalam
persoalan politik.16 Maulana Muhammad dikenal juga sebagai
penguasa yang sering kali mewakafkan kitab. Selain itu, ia juga
membangun pawestren atau pawadonan di serambi Masjid
Agung, sebagai tempat shalat bagi kaum wanita.
13 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 290-297. 14 De Graaf & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa
(Jakarta: Grafiti, 2003). 139. 15 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 289. 16 Ayang Utriza Yakin, “The Transliteration and Translation of the
Leiden Manuscript Cod. Or. 5626 On The Sijill of The Qadi of Banten 1754-
1756 CE”. Heritage of Nusantara 5, no.1 (2016): 25-26.
65
Kekuasaan Maulana Muhammad berjalan sangat
singkat, ia gugur dalam sebuah ekspedisi ke Palembang.
Mangkatnya Maulana Muhammad menghadirkan banyak
kesedihan bagi masyarakat Banten. Setelah mangkat, ia
digelari Prabu Seda Ing Palembang yang berarti merujuk pada
lokasi kematiannya.17. Selain itu, kepergiannya juga
memunculkan dilema baru karena Pangeran Ratu sebagai
pewaris tahta yang sah masih berumur 9 bulan.18 Oleh sebab
itu, sistem kewalirajaan kembali diaktifkan sebelum Pangeran
Ratu (1596-1651 M)19 berkuasa.
Ada banyak waliraja yang menjabat selama periode ini.
seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, ada lima waliraja
yang silih berganti memegang kekuasaan. Akan tetapi, hanya
ada satu yang sangat termasyhur, yaitu Pangeran
Ranamanggala. Naiknya Ranamanggala sebagai waliraja juga
diiringi dengan sebuah peristiwa penting dalam Kesultanan
Banten. Peristiwa tersebut dikenal dengan Peristiwa Pailir.
Peristiwa ini secara harfiah berarti peristiwa di hilir. Bermula
dari terbunuhnya waliraja keempat oleh Dipati Yudanegara di
17 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 297-302.
Lihat juga Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah
Banten. 43. 18 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee:
guerres civiles a Banten 1580-1609”. Archipel 43 (1992): 57. 19 Pangeran Ratu adalah gelar Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir
semasa Muda, setidaknya sampai tahun 1638 M di mana ia mendapatkan
gelar ‘Sultan’ dari Mekkah. Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara
(Yogyakarta: Bentang Pustaka). 18.
66
bulan Oktober 1608 M. Berselang satu hari setelah
pembunuhan tersebut, Ranamanggala menggantikannya
sebagai waliraja. Para punggawa yang merasa dirugikan
kemudian memunculkan Pangeran Kulon sebagai waliraja
tandingan bagi Ranamanggala.
Atas dasar perseteruan inilah, Banten terbagi menjadi
dua kubu. Pertama kubu aliansi Pangeran Kulon dan
Andamohi Keling yang sering diistilahkan sebagai kubu
‘Orang Kaya’. Kedua kubu yang dipimpin oleh Pangeran Arya
Ranamanggala yang mewakili golongan bangsawan atau
‘santana’.20 Perseteruan antara keduanya dalam mengambil
posisi waliraja sudah berlangsung sejak 1602 M dan terus
meruncing hingga tahun meletusnya perang pailir 1608 M.21
Untuk mengakhiri pertempuran ini, maka ditunjuklah Pangeran
Jakarta sebagai mediator. Akhirnya, disepakati bahwa
Pangeran Kulon dan Andamohi Keling dibawa ke Jakarta
bersama dengan para pengikutnya yang menentang waliraja
20 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee:
guerres civiles a Banten 1580-1609”: 61. Lihat juga Kathirithamby-Wells,
“Forces of Regional and State Integration in the Western Archipelago”.
Journal of Southeast Asian Studies 18, no.1 (1987): 34-35. 21 Lebih jauh mengenai peristiwa pailir, lihat Titik Pudjiastuti,
Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 302-312.
67
Ranamanggala. Sekitar 7000 orang dipindahkan ke Jakarta
untuk memulihkan keamanan Kota Banten.22
Ranamanggala sendiri digambarkan oleh para
pedagang Eropa sebagai waliraja Banten yang tiran. Hal
tersebut tidak dilatarbelakangi oleh beberapa kebijakan
Ranamanggala yang cenderung merugikan pihak Eropa, baik
VOC (Veerenidge Oost-Indische Compagnie) maupun EIC
(East India Company). Kebijakan pertama adalah penghapusan
lada. Kebijakan ini diterapkan Ranamanggala setelah
disepakati bahwa lada yang membawa banyak peperangan ke
Banten. Sehingga, kebijakan pembabatan lada dipilih
Ranamanggala agar keadaan Banten menjadi lebih stabil.23
Kebijakan kedua yang memukul para pedagang Eropa adalah
kenaikan pajak ekspor. Tak tanggung-tanggung, tarif yang
dinaikkan mencapai 8%. Sementara itu, para pedagang Cina
hanya dikenai pajak ekspor sebesar 5%.24
22 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII
(Jakarta: KPG, 2008). 118-128. Lihat juga Hoesein Djajadiningrat,
Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 172-179. 23 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee:
guerres civiles a Banten 1580-1609”: 68. Lebih jauh mengenai beberapa
peperangan orang Eropa di Banten, lihat Lihat Bernard H.M Vlekke,
Nusantara: Sejarah Indonesia (Jakarta: KPG, 2016). 104-105. Lihat juga
D.G.E Hall, Sejarah Asia Tenggara (Surabaya: Usaha Nasional, 1988).
242-254. 24 Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016). 400-404.
68
Atas dasar inilah, J.P Coen menjuluki Ranamanggala
sebagai ‘musuh besar’.25 Coen yang memang dikenal memiliki
sifat temperamen bahkan menyebut Ranamanggala sebagai
penguasa yang paling buruk dan perampas hak-hak orang
lain.26 Sementara itu, orang Inggris mengambil langkah yang
lebih konkret dengan memindahkan kantor dagangnya dari
Banten ke Jayakarta. Keputusan ini diambil setelah EIC terus
menerus mengalami kerugian.27
Meskipun memiliki sikap yang keras, Pangeran
Ranamanggala juga memiliki sisi ‘religius’. Schrieke
mengungkapkan bahwa para penulis awal Belanda
menyematkan kata “Priest” kepada Ranamanggala. Keadaan
ini menyiratkan pemahaman awal yang lemah tentang istilah
agama lokal di Banten. Selain itu, kondisi ini juga memberikan
gambaran informasi mengenai ilmu agama yang dikuasai oleh
Ranamanggala. Schrieke bahkan menyebut Ranamanggala
pernah menunaikan ibadah haji ke Mekkah bersama Pangeran
25 J.W Ijzerman, Cornelis Buijsero te Bantam 1616-1618 (‘S
Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1923). 34-37. Hubungan waliraja
Ranamanggala dan Gubernur Jenderal J.P Coen mulai diperbaiki tahun
1619 M. Lihat M.C Ricklefs, “Banten and the Dutch in 1619: Six Early
‘pasar malay’ Letters. Bulletin of SOAS 39, no.1 (1976): 132-134. 26 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee:
guerres civiles a Banten 1580-1609”: 67. 27 Sir William Foster, The Voyage of Thomas Best to the East Indies
1613-1614 (London: Hakluyt Society, 1934). 268-270.
69
Ratu.28 Terlepas dari hal tersebut, kaum bangsawan sejatinya
memiliki akses yang cukup besar untuk memperoleh ilmu
agama di masa itu.29 Sehingga tak mengherankan apabila
Ranamanggala ataupun kaum bangsawan yang lain di
Kesultanan Banten memiliki pemahaman agama yang lebih
baik dibanding orang kebanyakan. Di tahun 1624 M, tahta
Banten kemudian diserahkan oleh Pangeran Ranamanggala
kepada Pangeran Ratu (1624-1651 M). Dua tahun berselang,
Pangeran Ranamanggala mangkat dan menyerahkan kekuasaan
Banten seutuhnya kepada Pangeran Ratu.
B. Kesultanan Banten di masa pemerintahan Sultan
Abul Mafakhir (1624-1651 M)
Pangeran Ratu ing Surosowan (1596-1651 M) adalah
Raja Banten keempat yang secara efektif memimpin Banten
sejak tahun 1624 M. Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, pemerintahan Banten dijalankan oleh seorang
waliraja untuk sementara waktu.30 Sistem Waliraja sendiri
bukan sesuatu yang baru di Banten. Sistem serupa pernah
diterapkan sebelum Maulana Muhammad berkuasa sejak tahun
28 B.J.O Schrieke, Indonesian Sociological Studies: Ruler and Realm
in Early Java book II (The Hague: Van Hoeve, 1959). 242-245. 29 de Graaf, “Titels en Namen Van Javaanse Vorsten en Groten Uit
de 16e en 17e Eeuw”. BKI 109 no.1 (1953): 67-69. 30 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten.
163-164. Lihat juga Claude Guillot dkk, The Sultanate of Banten (Jakarta:
Gramedia, 1990). 26.
70
1594-1596 M.31 Dalam sebuah dokumen dari British Library,
terdapat sebuah cap segel kerajaan Banten yang berbentuk
bulat dan berdiameter 55 mm.32 Di dalamnya tertulis sebuah
inskripsi yang berbunyi: “Ngalamat Pangeran Ratu Ingkang
pandara ngadi Surasowan kang putra Pangeran Sedangrana
kang putu Pangeran Pasareyan kang buyut Pangeran Ing
Sabakingking Ing Surasowan”.33 Dari keterangan tersebut,
tergambar jelas bahwa Pangeran Ratu adalah raja keempat dari
Kerajaan Banten.
Masa kekuasaan Pangeran Ratu atau kemudian dikenal
dengan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir34
membentang selama 27 tahun (1624-1651 M). Di awal
kepemimpinannya, Banten sedang berada dalam kondisi yang
terpuruk. Polarisasi masyarakat Banten akibat peristiwa Pailir
yang berlangsung sekitar tahun 1608 M. Merosotnya jumlah
penduduk Banten akibat wabah penyakit pes di tahun 1625 M.
31 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten.
39-41. Lihat juga Ayang Utriza Yakin, “The Transliteration and Translation
of The Leiden Manuscript”: 26. 32 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in
The Public Record Office”. Indonesia and The Malay World 31, no.91
(2003): 418-421. Lihat juga Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang,
Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2007). 16-18. 33 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in
The Public Record Office”: 420. 34 Gelar Pangeran Ratu digunakan di tahun 1624-1638 M. Sedangkan
gelar ‘Sultan’ digunakan sejak tahun 1638 M, setelah utusan Banten pulang
dari Mekkah.
71
Wabah ini disebut-sebut menewaskan sepertiga penduduk
Banten.35 Selain itu, perdagangan Banten yang masih lesu
akibat kebijakan Ranamanggala yang kontraproduktif menjadi
masalah lain yang harus dihadapi oleh Pangeran Ratu di awal
pemerintahannya adalah wabah penyakit pes yang
menewaskan sepertiga penduduk Banten di tahun 1625 M.
Akibatnya, jumlah penduduk Banten menjadi semakin
tergerus. Masalah yang muncul kemudian adalah sumber daya
manusia yang semakin langka. Dalam perhitungan Guillot,
penduduk Banten tak lebih dari 50.000 jiwa di tahun 1630 M.
Padahal populasi Banten di akhir abad ke-16 menyentuh angka
80.000 hingga 100.000 jiwa.36
Di tahun 1628 M. Pangeran Ratu kembali mengundang
Inggris untuk membuka kembali kantor dagangnya di Banten.
Undangan ini diterima dengan tangan terbuka oleh Henry
Hawley (President of East India Company 1625-1628 M).
Agaknya, datang ke Banten dinilai lebih baik dibanding
kembali ke Jakarta. Empat tahun sebelumnya, Hawley memilih
keluar dari Batavia dan mendirikan kantor dagang di Pulau
Lagundi yang ada di Selat Sunda. Keputusan ini diambil oleh
Hawley berselang setahun setelah sengketa yang terjadi antara
35 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-
1682)”. Archipel 50, (1995): 97. 36 Claude Guillot, Banten; Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII.
202-203.
72
Inggris dan Belanda.37 Setelah pindah ke Banten, Inggris
menjadi mitra dagang strategis sekaligus sekutu utama bagi
Banten.
Kedatangan Inggris juga menjadi titik balik dari
keterpurukan Banten. Salah satunya adalah dengan
memunculkan komoditas perdagangan yang baru. Alih-alih
memaksa masyarakat menanam lada, Banten lebih baik
mengembangkan potensi yang ada. Dalam hal ini, gula
merupakan potensi besar yang dikembangkan oleh Inggris.
Masyarakat lebih memilih padi dan tebu daripada lada untuk
dibudidayakan.38 Dalam Sajarah Banten, dua kebijakan
pangan yang diambil oleh Pangeran Ratu adalah pembukaan
lahan dan pembangunan lumbung.39 Boleh jadi, seserangan
yang dimaksud oleh Pangeran Ratu adalah lahan pertanian tebu
yang sudah disiapkan sebelumnya. Di tahun 1629-1631 M,
sumber Inggris mencatat bahwa Banten tengah membangun
saluran irigasi yang ditujukan untuk lahan yang cukup luas.40
Hubungan yang sudah dijalin dengan Inggris kemudian
berkembang dari hubungan dagang menjadi persekutuan . Di
37 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-
1682)”: 105. Lihat juga D.G.E Hall, Sejarah Asia Tenggara. 242-254. 38 Claude Guillot, Lukman Nurhakim dan Claudine Salmon, “Les
Sucriers chinois de Kelapadua, Banten, XVIIe siècle. Textes et vestiges”.
Archipel 39 (1990): 141-142 39 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 372-373. 40 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-
1682)”: 106.
73
tahun 1629 M, Pangeran Ratu mengirim surat kepada Raja
Inggris. Dalam surat tersebut, Pangeran Ratu menyampaikan
kegembiraannya atas orang-orang Inggris yang kembali
membuka kantor dagang di Banten. ia juga meminta bantuan
senjata beserta bubuk mesiu untuk mempertebal persenjataan
Banten.41 Maklum saja, pasukan Mataram yang datang dengan
ambisi menyatukan tanah Jawa menjadi kekhawatiran besar
bagi Banten.42 Di tahun 1628 M, mereka bahkan sudah
mengepung Batavia. Pengepungan tersebut merupakan tanda
bahaya bagi Banten, karena mereka sudah sampai di pintu
depan Banten. Meskipun demikian, menurut Guillot,
pengepungan terhadap Batavia atau Jayakarta oleh Mataram
tak ubahnya sebagai pengepungan terhadap wilayah Banten,
lebih jauh lagi sebagai upaya Mataram menguasai Pulau
Jawa.43
Sikap Banten yang bersahabat terhadap Inggris sangat
bertolak belakang dengan sikap mereka terhadap Belanda. Di
tahun 1633 M, Batavia menuduh Banten mendalangi beberapa
aksi perompakan dan perampokan di laut Jawa. Sebagai aksi
balasan, Batavia mengirimkan ekspedisi militer ke wilayah
Banten seperti Lampung, Tanahara dan Anyer. Aksi balasan ini
41 Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat
Sultan Banten. 16-19. Lihat juga Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-
Century Indonesian Letters in The Public Record Office”: 420-421. 42 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu
Banten (Serang: Proyek Pembangunan Masjid Agung Serang, 1990). 71-72. 43 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban. 187
74
juga dilanjutkan dengan serangkaian blokade atas pelabuhan
Banten. Banten yang tak terima dengan blokade Batavia
kemudian membakarnya. Dalam Sajarah Banten, pembakaran
blokade atau lebih tepatnya kapal Barungut dikenal dengan
peristiwa pabaranang.44 Peristiwa pabaranang terjadi di awal
bulan Januari 1634 M yang terbagi dalam dua sesi. Pertama,
malam hari di tanggal 4 dan 5 Januari dan upaya kedua
dilancarkan pada malam 10 dan 11 Januari.45
Pada tahun 1635 M, Belanda menyerang kapal Banten
yang mengangkut cengkeh dari Ambon. Atas kejadian ini,
hubungan antara Banten dan Batavia jadi semakin meruncing.
Bagi Banten, serangan tersebut merupakan ajakan perang
secara terbuka dari Belanda. Pangeran Anom46 yang baru
diangkat menjadi wakil dari sang ayah kemudian mengirimkan
surat kepada Raja Charles di Inggris. Boleh jadi, diplomasi
dengan Inggris merupakan kebijakan pertama yang diambil
oleh Pangeran Anom sebagai seorang penguasa. Sementara itu,
maksud dan tujuannya permintaan Banten agar Inggris
membantu Banten dalam menghadapi serangan Batavia.
Namun, apabila Inggris tidak bersedia untuk membantu,
Banten hanya akan meminta bantuan senjata meriam beserta
44 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 139. 45 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 189. 46 Claude Guillot dkk, The Sultanate of Banten. 35.
75
peluru dan bubuk mesiunya.47 Permintaan tersebut agaknya
hampir serupa dengan surat yang dikirim tahun 1629 M oleh
Pangeran Ratu.
Situasi ini kemudian berubah seiring dengan
dijajakinya kesepakatan damai dengan Belanda di tahun 1636
M. Akan tetapi, kesepakatan damai antara keduanya baru
terjadi tiga tahun kemudian.48 Setelah menjajaki kesepakatan
damai, Banten kemudian mulai fokus mengembangkan
perdagangannya. Masih di tahun 1636 M, himbauan
pemerintah untuk menanam kembali lada menjadi semakin
masif disuarakan ke berbagai penjuru negeri. Beberapa tahun
kemudian, himbauan pemerintah yang cenderung ‘memaksa’
ternyata menimbulkan berbagai resistensi. Bengkulu,
Lampung dan Silebar menolak tunduk di bawah pemerintah
pusat. Terkait dengan lada, ketiganya lebih memilih menjual
langsung daripada menyetornya kepada pemerintah pusat.
Menurut Guillot, resistensi terhadap himbauan penanaman lada
oleh pemerintah Banten bukan saja berasal dari wilayah
Sumatera, melainkan juga memicu peristiwa palumaju yang
berlangsung di Banten. Dalam Sajarah Banten, peristiwa
47 Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat
Sultan Banten. 21-23. 48 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 189.
76
palumaju yang terjadi sekitar tahun 1638/39 M nampaknya
lebih bersifat personal daripada terkait dengan lada.49
Bagaimanapun juga, langkah penyelesaian yang
diambil Banten selalu sama, yaitu mengirim pasukan dalam
jumlah besar ke lokasi yang dianggap memberontak. Dari
berbagai resistensi yang muncul, boleh jadi himbauan yang
diberikan oleh pemerintah belum mampu diserap oleh
masyarakat Banten.50 Saat itu, masyarakat Banten lebih
berminat menanam padi dan tebu daripada lada. Sekitar tahun
1635-1636 M, Pangeran Ratu memerintahkan jajarannya untuk
membangun lumbung padi besar di darparagi, guna
menampung produksi padi negara.51 Sementara itu, komoditas
gula Banten yang sudah ada sejak tahun 1620’an sudah
mencapai tahap industri yang berpusat di Kelapadua (sekitar 7
kilometer ke arah selatan Surosowan) sejak tahun tahun
1637’an.52
Masa damai juga digunakan Banten untuk mengirim
utusan ke beberapa negara sahabat. Dua di antaranya adalah
yang dikirim ke Mekkah dan Ranir, India. menariknya,
49 Djajadiningrat, tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 199. Lihat
juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 373-383. 50 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-
1682)”: 106-107. 51 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 59.
Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-1682)”. 87. 52 Claude Guillot, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”:141-
142.
77
keduanya lebih bersifat ‘mencari ilmu’ serta otoritas agama
daripada sekedar mencari gelar. Sekitar tahun 1636 M,
Pangeran Ratu mengutus Lebe Panji, Demang Tisnajaya dan
Demang Wangsaraja ke Mekkah. Utusan Banten yang
dipimpin oleh Lebe Panji ini membawa berbagai hadiah serta
beberapa pertanyaan titipan dari Pangeran Ratu untuk Syarif
Mekkah (Syarif Zayd Ibn Muhsin yang memerintah antara
tahun 1631-1666 M). Dalam Sajarah Banten, pertanyaan yang
dimaksud terkait dengan permintaan tafsir atas kitab berjudul
Marqum, Muntahi dan Wahdatul Wujud yang diduga kuat
merupakan karya Hamzah Fansuri (w. 1607 M).53 Dalam
sumber yang lebih mutakhir, diketahui bahwa Pangeran Ratu
juga meminta penjelasan atas kitab Nasihat al-Muluk karya al-
Ghazali (w. 1111 M).54 Pangeran Ratu juga secara khusus
meminta Syarif Zayd mengirimkan seorang ahli fiqih untuk
mencerahkan Banten.55
Utusan tersebut kembali di tahun 1638 M. Dalam
Sajarah Banten, utusan yang berhasil kembali ke negeri Banten
hanya Demang Tisnajaya dan Demang Wangsaraja, sedangkan
Lebe Panji meninggal di tanah Mekkah.56 sekembalinya ke
53 Henri Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam Jilid I: 1482-1890
(Jakarta: KPG-EFEO, 2013). 15-17. 54 Oman Fathurahman, Ithaf ad-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi
Muslim Nusantara (Jakarta: Mizan, 2012). 49. Lihat juga Jajat
Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan (Jakarta: Mizan, 2012). 45-47. 55 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 340. 56 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 53.
78
Banten, Tisnajaya dan Wangsaraj dikukuhkan sebagai ‘Haji’
serta disambut dengan perayaan luar biasa. Pesta besar-besaran
diadakan oleh Pangeran Ratu untuk menyambut keduanya.
Seluruh pembesar negeri, punggawa bahkan seluruh rakyat
dilibatkan dalam perayaan ini. Berbagai macam ‘oleh-oleh’
yang dibawa dari Mekkah juga dipamerkan di hadapan seluruh
rakyat Banten dalam momen tersebut. Mulai dari jejak kaki
Nabi Muhammad, bendera kebesaran Nabi Ibrahim, kitab al-
Mawahib ar-Rabbaniyyah karangan Ibnu Ngalam
(Muhammad bin Allan) serta gelar ‘Sultan’ bagi Pangeran Ratu
(Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir) dan Pangeran
Anom (Sultan Abul Ma’ali Ahmad).57 Sejak saat itu, gelar
Pangeran Ratu kemudian ditanggalkan dan diganti dengan
gelar Sultan.
Selain ke Mekkah, Sultan Abul Mafakhir juga
mengirim utusannya ke Nurudin al-Raniry yang berada di
Ranir, India Selatan.58 Utusan Banten dikirim sekitar tahun
1640 M dan sepertinya memiliki keterkaitan dengan konflik
yang terjadi di Aceh beberapa tahun sebelumnya antara
57 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 340. Lihat
juga Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara (Jakarta: Kencana, 2013). 48-49. 58 Martin van Bruinessen, “Shari’a court, tarekat and pesantren:
Religious Institutions in Banten Sultanate”: 167-168. Lihat juga Ahmad
Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurudin ar-Raniry
(Jakarta: Rajawali, 1983). 55-56.
79
Nurudin al-Raniry dengan simpatisan Hamzah Fansuri.59 Di
satu sisi, al-Raniry mengusung gagasan keislaman yang
berorientasi kepada syariat islam. Sementara itu, sisi yang lain
mengusung gagasan yang dikenal sebagai wahdatul wujud. Hal
tersebut sepertinya mendorong rasa penasaran bagi Sultan Abul
Mafakhir. Masih belum diketahui isi dari pertanyaan Sultan
Banten, akan tetapi untuk menjawab pertanyaan dari Banten,
al-Raniry menelurkan sebuah karya diberi judul Al-Lama’an fi
takfir bi khalqi’l-Quran (Cahaya terang pada mengkafirkan
orang yang berkata Qur’an itu Makhluk). Naskah tersebut
menguraikan sanggahan dan kritik dari Nurudin al-Raniry atas
ajaran Hamzah Fansuri.60 Menurut Mufti Ali, ringkasan dari
naskah ini juga terangkum dalam naskah Jauhar al-Haqaiq.61
Di tahun 1637, Mataram meminta Cirebon untuk
membujuk orang Banten untuk mempersembahkan baktinya
kepada Mataram.62 Beberapa utusan dari Cirebon datang ke
Banten. Mulai dari utusan biasa hingga pembesar negeri
Cirebon datang ke Banten untuk membujuk Sultan Abul
Mafakhir mengakui Mataram sebagai penguasa Jawa. Salah
59 Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara. 18. 60 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh
Nurudin ar-Raniry. 55-56. 61 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-
Karim al-Jili dalam Naskah al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa
al-Awa’il (1) Salinan dari Banten 1893 M (Serang: Pusat Penelitian dan
Penerbitan LP2M IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2015). 3. 62 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 202
80
satu pembesar negeri Cirebon yang datang untuk membujuk
Sultan Banten adalah Pangeran Martasari. Seluruh utusan
Cirebon yang datang ke Banten diperlakukan dengan layak dan
pantas. Akan tetapi Sultan Abul Mafakhir menolak tunduk di
bawah kekuasaan Mataram. Ia hanya tunduk di bawah kuasa
Syarif Zahd dari Mekkah yang telah memberikannya gelar
‘Sultan’.63
Dekade 1640’an aroma peperangan semakin pekat
tercium. Sultan Abul Mafakhir mengirim utusan ke Mataram
untuk menjalin kerja sama. Akan tetapi, utusan Banten
mendapat perlakuan yang kurang baik. Pengalaman yang
meresahkan dari utusan Banten ini dijadikan sebagai dasar
untuk mempersiapkan diri menahan serangan Mataram yang
bisa datang kapan saja. Sultan Abul Mafakhir dan Sultan Abul
Ma’ali memerintahkan untuk membuat beberapa kapal untuk
membentuk pertahanan. Serangan yang dinanti akhirnya tiba
juga. Serangan yang diinisiasi oleh koalisi Mataram dan
Cirebon berlangsung di tahun 1650. Serangan ini Bermula dari
kegagalan Cirebon membujuk Banten untuk tunduk di bawah
kekuasaan Mataram. Hal tersebut memantik amarah Pangeran
Cirebon. Amarah tersebut kemudian berwujud pengiriman
pasukan perang Cirebon ke Banten. Pasukan tersebut terdiri
dari 60 kapal yang dipimpin oleh Pangeran Panjangjiwa. Untuk
‘menyambut’ pasukan Cirebon, Sultan Abul Mafakhir
63 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 405.
81
mengirim 50 kapal yang dipimpin oleh Lurah Astrasusila
beserta Demang Narapaksa dan Demang Wirapaksa.64 Pasukan
Cirebon dapat dikalahkan oleh Banten, akan tetapi
kemenangan ini tercoreng oleh kebengisan dari Astrasusila dan
pasukannya. Ia membantai orang-orang Cirebon yang sudah
tidak berdaya. Atas tindakannya ini, Sultan Agung marah dan
mencabut hadiah yang sebelumnya dijanjikan.
Berselang satu tahun dari peristiwa pagerage, Sultan
Abul Mafakhir mangkat. Raja Banten yang berhasil
mengangkat Banten dari keterpurukan meninggal di usianya
yang ke 55 tahun.65 Ia mangkat di tahun 1651 M dan disebelah
anaknya, Sultan Abul Ma’ali dan ibundanya, Nyai Gedhe
Wanagiri di Komplek Makam Kenari.66 Sultan Abul Mafakhir
dikenang dalam sejarah Banten sebagai seorang penguasa yang
adil dan agung. Di bawah kekuasaannya, Banten berhasil
64 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 205-207.
Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 407. 65 Dalam Sajarah Banten, disebutkan bahwa Sultan Abul Mafakhir
Mahmud Abdul Kadir mangkat di usia 58 tahun. Hal ini berarti Sultan Abul
Mafakhir yang lahir di tahun 1596 M meninggal di tahun 1654 M.
Sedangkan menurut Hoesein Djajadiningrat yang merujuk pada laporan
Belanda, Sultan Abul Mafakhir mangkat di usia ke-55. Hal ini berarti ia
meninggal di tahun 1651 M atau setahun setelah peristiwa pagerage. Uraian
lebih lanjut lihat Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 417.
Sebagai pembanding lihat juga Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang
Sajarah Banten. 205. 66 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 56. Lihat
juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 362-363.
82
mempertahankan kemerdekaannya, baik dalam bidang politik
maupun ekonomi.
C. Inggris dan Belanda: Kawan di satu sisi dan Lawan
di sisi yang lain.
Hubungan Banten dengan dunia luar sudah seperti dua
sisi mata pisau. Menguntungkan di satu sisi, akan tetapi juga
merugikan di sisi yang lain. Selama 29 tahun Pangeran Ratu—
kemudian kita kenal dengan Sultan Abul Mafrakhir sejak tahun
1638—berkuasa, ia banyak berhubungan dengan para
pedagang yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Dari
berbagai macam negeri yang berhubungan dengan Banten, dua
negara yang sangat dominan adalah Belanda dan Inggris.
Pangeran Ratu pun menggunakan pendekatan yang berbeda
dalam berhubungan dengan keduanya. Hubungan dengan
Belanda lebih bersifat antagonis, Banten dan Belanda
nampaknya lebih sering berperang daripada bermitra.
Sementara itu, hubungan Banten dan Inggris bersifat
protagonis, keduanya memiliki hubungan yang baik dan saling
bermitra. Bagaimanapun juga, hubungan Banten dengan
keduanya menggambarkan dinamika yang menarik selama
Pangeran Ratu (1596-1651 M) berkuasa.
Hubungan Banten dan Belanda yang kurang harmonis
di masa kepemimpinan Pangeran Ratu ternyata tidak muncul
83
dari ruang hampa. hubungan keduanya yang saling bersitegang
sudah dimulai sejak kedatangan Belanda di tahun 1598 M. Hal
tersebut dipicu oleh sikap Cornelis de Houtman yang
menyinggung masyarakat Banten dengan sikap arogan dan
kesombongannya.67 Hubungan keduanya menjadi semakin
keruh setelah waliraja Ranamanggala (1608-1624 M)
mengeluarkan kebijakan baru terkait dengan perdagangan lada
di tahun 1616 M. Ia menggandeng para pedagang Cina dalam
menjalankan kebijakan tersebut. Koalisi antara pemerintah
Banten dan saudagar Cina ini jelas mengundang kecurigaan
dari pihak Belanda.68
Harga lada di awal tahun 1618 M berkisar di harga 10
real per pikul (2 karung). Pada bulan April di tahun yang sama,
harga lada Banten turun ke posisi 6 sampai 6 ½ real per pikul.
Penurunan harga lada ini disebabkan oleh sentimen negatif
yang diciptakan oleh Coen. Ia mengancam akan melucuti
muatan lada dari jung-jung Cina yang mengambil lada dari
Banten. Empat bulan kemudian, lada Banten kembali menguat
di harga 9,6 real per pikul. Merapatnya jung-jung yang datang
langsung dari Cina di pelabuhan Banten menjadi sebuah
sentimen positif bagi komoditas unggulan Banten. Satu bulan
kemudian, Belanda kembali mengancam akan melucuti jung-
67 D.G.E Hall, Sejarah Asia Tenggara. 242-254. 68 J.W Ijzerman, Cornelis Buijsero te Bantam 1616-1618. 34-37.
84
jung Cina. Hal tersebut kembali berimbas pada harga lada yang
kembali turun ke harga 6-6 ½ real per pikul. 69
Dekade kedua abad XVII juga menjadi momentum
krusial bagi perdagangan bebas di Banten. Di tahun 1608,
usaha untuk mengendalikan fluktuasi harga lada adalah dengan
menaikkan tarif bea cukai, baik impor maupun ekspor. Tarif
yang dikenakan untuk pedagang Eropa adalah 8% sedangkan
untuk pedagang Cina sebesar 5%.70 Kebijakan ini
memunculkan gejolak di antara para pedagang Eropa. Wacana
untuk meninggalkan Banten pun menyeruak ke permukaan.
Atas kebijakannya yang hampir selalu merugikan Belanda,
Coen bahkan menyebut waliraja Ranamanggala sebagai
penguasa zalim yang sangat sewenang-wenang.71
Keadaan inilah yang sepertinya merugikan kedua
pihak. Di akhir 1619 M, kedua belah pihak menjajaki
kesepakatan damai. Tanggal 21 November, Coen menyatakan
keinginannya untuk berdamai dengan Banten. keinginan ini
diterima dengan tangan terbuka oleh waliraja Ranamanggala
dan Pangeran Ratu. Tanggal 7 Desember, Tiga surat balasan
69 Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara. 404. Lihat juga Johan Talens, Een Feodale Samenleving in
Koloniaal Vaarwater (Hilversum: Verloren-KITLV, 1999). 64-66. 70 Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara. 402 71 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee”: 67-
68.
85
dari Banten kemudian tiba di Batavia, salah satu surat balasan
tersebut ditulis oleh waliraja Ranamanggala:
Surat Pangeran Arya Ranamanyqggala, datang akan Kapitan,
adapon Kapitan suruhan sarta dengen surat, mangataken mahu bardame,
saparti awal zaman dahulu, adapon Kapitan jika ati betul, saparti zaman
Kapitan WIiter, dan zamdn Kapitan Jam Bul, bahik, apa salahnya,
Pangeran Ratu pon suka, sakarang aru biru pon, orang Walanda juga yang
dahulu, bukan sabab Pangeran Ratu yang salah,,72
Dua hari berselang, Coen mengirim surat balasan ke
Banten. Dalam laporannya terhadap Heeren XVII, Coen
menyebut bahwa kesepakatan dengan Banten sudah tercapai
terkait dengan pencegahan praktek ‘monopoli’ di pasar Banten,
baik para pedagang Cina maupun pedagang lainnya. Pihak
Banten juga menyebut bahwa apabila ada kecurangan dari
pihak Belanda, keadaan damai akan berubah menjadi ‘perang’.
Sedangkan dalam penggalan salah satu surat Banten yang
sampai di Batavia tanggal 22 Desember, dikatakan bahwa
“...jangan ada kuciwa, barangkali ada kuciwa, bukan badame
namanya, manyakiti juga namanya...”. Berbeda dengan Coen,
dalam surat yang dikirim Ranamanggala itu tidak ada kata
‘perang’, melainkan ‘menyakiti’. 73
72 M.C Ricklefs, “Banten and the Dutch in 1619”. Bulletin of SOAS
39, no.1 (1976): 131-133. 73 Menurut Ricklefs, ada dua kemungkinan yang perlu diperhatikan
dalam memahami kata ‘perang’ yang disampaikan oleh Coen. Pertama,
penerjemah di Batavia keliru dalam memahami surat yang dikirim dari
Banten. Kedua, J.P Coen dengan sengaja menyesatkan Heeren XVII. Lihat
M.C Ricklefs, “Banten and the Dutch in 1619”: 133-135.
86
Proses perdamaian ini berlangsung antiklimaks bagi
kedua pihak. Perdamaian yang dicita-citakan tak pernah terjadi.
Di tahun 1624 M, waliraja Ranamanggala kembali
menyerahkan tahta kepada Pangeran Ratu yang ketika itu
berumur 28 tahun. Pihak Inggris menyiratkan bahwa bahwa
para saudagar Cina kemungkinan menekan Ranamanggala
untuk mundur dari jabatannya.74 Kemungkinan hal ini didasari
oleh keputusan Ranamanggala yang mencabut hak ‘monopoli’
lada bagi pedagang Cina, seperti yang diinginkan oleh Coen
sebelumnya.
Meskipun kepemimpinan Banten telah dialihkan
kepada Pangeran Ratu, konflik yang terjadi antara Banten dan
Belanda tak pernah surut. Tahun 1630’an menjadi titik nadir
dari hubungan keduanya. Di tahun 1633 M, Batavia mencurigai
Banten berada di balik serangkaian aksi perampokan yang
merugikan Belanda. Ekspedisi militer yang dikirim oleh
Batavia ke wilayah Lampung, Tanahara dan Anyer merupakan
respons dari kejadian ini. Tidak sampai di situ, pihak Belanda
juga melakukan blokade atas pelabuhan Banten.75 Dalam
Sajarah Banten, blokade yang dilakukan oleh Batavia tak
pernah menyurutkan semangat orang-orang Banten.
Perlawanan masyarakat Banten atas kejadian ini terekam
74 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee”: 68.
Lihat juga Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng (1651-
1682)”: 105. 75 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 189.
87
melalui Peristiwa Pabaranang. Secara harfiah, pabaranang
berarti ‘api pembakar’, dengan menggunakan sampah yang
dikumpulkan dalam sebuah perahu dan diletakkan dekat kapal-
kapal blokade Belanda. Pada malam hari, perahu tersebut
dibakar dan apinya juga menyambar ke kapal blokade
Belanda.76
Siasat ini sukses meredam blokade Belanda yang
digambarkan dengan sebuah kapal bernama ‘Barungut’.
Peristiwa ini digambarkan dalam Sajarah Banten sebagai
sebuah permainan belaka. Meskipun demikian, aksi ini
sepertinya benar-benar berlangsung pada awal Januari 1634 M.
Serangan yang dirancang oleh Wangsadipa ini terbagi menjadi
dua serangan. Serangan pertama terjadi di malam keempat dan
kelima Januari dan serangan kedua dilancarkan beberapa hari
kemudian, sekitar tanggal 10 dan 11 Januari 1634 M.77 Situasi
perang ini juga sampai ke kawasan timur Nusantara. Pangeran
Anom menyebut bahwa para pedagang Banten yang mencari
cengkeh di Ambon mendapat serangan dari orang-orang
Belanda.78 Bagaimanapun juga, Perseteruan antara keduanya
mereda di tahun 1636 M dan benar-benar berdamai tiga tahun
76 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 139. Lihat
juga Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 52. 77 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 189.
Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 336-337. 78 Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat
Sultan Banten. 21-23. Lihat juga Annabel Teh-Gallop, “Seventeenth-
century Indonesian Letters in the Public Record Office”: 421-423.
88
berselang. Perjanjian damai yang disepakati oleh keduanya
berlangsung di bulan Maret 1639 M.79
Berbeda dengan Belanda, hubungan Banten dengan
Inggris lebih bersahabat daripada negara Eropa lainnya. Tahun
1628 M Pangeran Ratu mengundang Inggris ke Banten, bahkan
ia mengizinkan Inggris membuka kembali kantor dagangnya di
Banten.80 Sambutan hangat dari penguasa Banten terhadap
perwakilan Inggris bukan sekali ini saja terjadi. Tahun 1602 M,
James Lancaster disambut dengan hangat oleh penguasa
Banten. ia juga diberikan izin untuk membuka kantor dagang
di Banten.81
Meskipun begitu, Inggris dan Banten tidak selalu
harmonis. Sama halnya dengan pihak Belanda, Inggris juga
menentang keras kebijakan waliraja Ranamanggala. Seperti
yang disebutkan sebelumnya, kebijakan yang dimaksud adalah
kenaikan bea cukai dan upaya penghapusan lada. Tanggal 24
Juni 1614, Thomas Best mendorong Inggris untuk
memindahkan lojinya keluar dari Banten. Kerugian yang terus
menerus diderita EIC (East India Company) menjadi alasan
79 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 189. 80 Claude Guillot dkk, The Sultanate of Banten. 34. 81 Clement Markham (ed.), The Voyages of Sir James Lancaster to
The East Indies digital version (New York: Cambridge University Press,
2010). 99-102.
89
utama dari Best.82 Keadaan ini dikonfirmasi tahun 1630’an
oleh kepala loji Inggris untuk Banten, G. Willoughby.
“When the Dutch and English fell out with Bantam and left their
there residence, then the King (Pangeran Gede) [i.e Pangeran
Ranamanggala] did assemble all His nobles and Great personnages
to Counsell and examine the cause of Bantam troubles by Dutch and
English warring therewith. In the counsell it was found that the
pepper and consequently the trade of Bantam was the cause of these
warrs, which if destroyed, then the warrs would cease and the
country be thereby in peace the which advice was the put in practice
namely the pepper trees all cut downe and destroyed with express
order for neither planting nor gathering of pepper to kill all trade of
Bantam”83
Dalam laporannya yang dimuat dalam India Office Record, ia
menyampaikan bahwa kebijakan penghapusan lada yang
diambil oleh waliraja Ranamanggala melalui proses
musyawarah yang melibatkan banyak pembesar negeri.
Terlepas dari proses kebijakan yang dilalui, Inggris dan
Belanda akhirnya meninggalkan Banten dan memicu
penurunan harga lada.
Inggris meninggalkan Batavia dan mendirikan kantor
dagang baru di Pulau Lagundi, Selat Sunda. Kantor dagang
yang didirikan tahun 1623 M ini selalu mengalami kerugian
dari tahun ke tahun. Sementara itu, kekuasaan di Banten sudah
beralih kepada Pangeran Ratu (1624-1651 M). Berbeda dengan
82 Sir William Foster, The Voyage of Thomas Best to the East Indies
1613-1614 (London: Hakluyt Society, 1934). 268-270. 83 Claude Guillot, “Libre Enterprise Contre economie dirigee”: 68.
90
Ranamanggala, penguasa yang baru memiliki pandangan yang
cukup terbuka dengan orang asing. Oleh sebab itu, di tahun
1628 M Pangeran Ratu mengundang Inggris ke Banten untuk
membangkitkan kembali jaringan perdagangan yang dahulu
sudah terbentuk, langkah pertamanya adalah dengan
memberikan izin kepada Inggris untuk membuka kantor
dagang di Banten.84
Sejak saat itu, Inggris bertransformasi dari mitra
dagang reguler menjadi sekutu utama Banten. Di tahun 1628
M, Pangeran Ratu mengirimkan surat kepada Raja Inggris
beserta beberapa barang bawaan yang terdiri dari sebuah belati
dengan pegangan emas, tombak yang dilapisi emas serta 500
pikul lada. Seserahan tersebut dikirimkan ke Inggris
menggunakan kapal yang diberi nama ‘Morris’ dan dibawa
langsung oleh Kapitan Mur Nindri Halli, yang kemudian
diketahui sebagai Henry Hawley (President OF East India
Company sejak tahun 1625-1628). Harapan dari Pangeran Ratu
adalah bantuan senjata dari Inggris guna mempersiapkan diri
atas serangan Mataram yang dirasa semakin dekat. Ia juga
merasa senang atas kembalinya para pedagang Inggris ke
Banten.85
84 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng”: 105. 85 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in
The Public Record Office”: 418-120. Lihat juga Titik Pudjiastuti, Perang,
Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten. 16-19. Latar belakang
91
Ini surat dimulai dengan nama Allah subhanahu wa-ta‘ala yang maha
tinggi dan maha besar dan mengasihani hambanya dunia akhirat. Adapun
kemudian dari itu ini surat Raja Bantten datang kepada Raja Inggeris
yang terbawa oleh Ratnar Bik. Mengatakan perri ihwal Raja Bantten
memberi khabar kepada Raja Inggeris hal orang Wolanda yang ada di
Jayakarta dikeppung oleh orang Mataram tatkala itulah gedung Inggeris
direbahkannya oleh orang Wolanda. Sebermula segala orang Inggeris
yang ada di Jayakarta itu pun sekarang semuhanya ada di negeri Banten,
terlalu sukacitta Raja Bantten oleh segala saudagar Inggeris pulang
seperti dahulu kala. Sebermula dahulu Raja Banten membawakan surat
dan lada seribu timbang dan kerris dan tombak, yang membawa dia
Kapitan Mur Nindri Halli. Raja Banten minta dikirim bedil dan punglu dan ubat. Jikalau Raja Inggeris suka, Kapitan Mur Nindri Halli
disuruhnya kiranya ke Bantten segera-segeri, karena Raja Banten sangat
harap akan datangnya Kapitan Mur Nindri Halli datang ke Bantten. Ini
kiriman Raja Bantten khasa dua kayuh dan rambuti dua kayuh.86
Akan tetapi, Raja Inggris tidak bisa mengirimkan
senjata dan bubuk mesiu seperti yang diinginkan oleh Pangeran
Ratu. Kapal yang membawa berbagai hadiah itu mengalami
bencana di perairan Belanda dan ditemukan dalam keadaan
rusak di dekat Pulau Scilly, barat daya Inggris. Dari bencana
tersebut, yang tersisa hanya surat dari Pangeran Ratu.
Sedangkan berbagai macam barang seserahan yang dikirim
bersama Morris sudah menghilang dari kapal. Sementara itu,
Henry Hawley yang bertugas membawa semua seserahan dari
Pangeran Ratu ditemukan meninggal dalam perjalanan ke
Inggris. Atas dasar inilah, Raja Charles I tidak bisa
memberikan apa-apa kecuali ucapan terima kasih yang tulus.
Untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, Raja Charles I
serangan Mataram lihat de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik
Ekspansi Sultan Agung. 150-157. 86 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in
The Public Record Office”: 419-420.
92
mengirimkan surat balasan kepada Pangeran Ratu di Banten.
Surat tersebut dikirim tanggal 29 Maret 1629 M.87
“… he [the King of Banten] had sent his Majesty a memorial and a
princely token of his goodwill; the ship Morris being unfortunately cast
away his Majesty has not yet enjoyed the fruit of his desires, yet returns no
less hearty thanks …”
Beruntung bagi Banten, serangan Mataram di tahun 1628 tidak
pernah sampai ke Banten.
Permintaan serupa juga dikirimkan oleh Pangeran
Anom (mem. 1635-1650 M, kemudian menjadi Sultan Abul
Ma’ali Ahmad di tahun 1638) yang diangkat menjadi wakil
Raja Banten di tahun 1635 M.88 Di awal surat, Pangeran Anom
mengabarkan kepada Raja Inggris bahwa Banten dan Belanda
sedang dalam keadaan perang. Peperangan ini disebabkan oleh
pihak Belanda yang menyerang pedagang Banten yang baru
kembali dari Ambon. Selain itu, gudang Inggris yang ada di
Jayakarta juga menjadi sasaran Belanda. Oleh sebab itu,
Pangeran Anom mengabarkan situasi terkini sekaligus
meminta bantuan kepada Raja Charles I agar membantu Banten
menaklukkan Belanda. Akan tetapi, jika Inggris tidak ingin
membantu Banten, Pangeran Anom hanya meminta dikirimkan
senjata dan amunisi untuk berperang. Ia juga menjanjikan
sebuah gedung di Jayakarta apabila Banten berhasil merebut
87 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in
The Public Record Office”: 418-420. 88 Claude Guillot dkk, The Sultanate of Banten. 35.
93
kembali Jayakarta dari tangan Belanda. Untuk melengkapi
suratnya, Pangeran Anom juga mengirimkan dua ekor burung
Kasuari, sebuah belati dan juga tombak.
“Ini surat daripada Pangeran Anum yang mempunyai perintah negeri
Bantten datang kepada Raja Inggeris. Adapun [kami] Pangeran Anum
berkirim surat kepada Raja Inggeris memberi khabar akan Raja Inggeris
akan hal Raja Banten sekarang berparang dengan orang Wolanda.
Bermula sebab berparang d[engan] Wolanda, bahwa orang Banten
datang beniaga daripada negeri Ambon memuat cengkih, m.a—p k.ng.ny
oleh Wolanda, akan sekarang tiadalah berputusan bertembak-tembakan
antara Ban[ten] [dengan?] Wolanda, dan rakiyyat Raja Inggeris pun
yang bergeddung di negeri Banten sama turut di—oleh Wolanda. Karena
inilah Pangeran Anum minta bantu kepada Raja Inggeris hendak
mengalahkan Wolanda yang ada di negeri Jayakatera; jika alah
Wolanda yang ada di negeri Jayakaterra ambillah oleh Raja Inggeris.
Jika orang Inggeris tiada berani mengalahkan Wolanda yang ada di
negeri Jayakatera, Pangeran Anum minta tolong kepada Raja Inggeris
beddil dan ubat lan punglu saja juga. Insha’Allah jika Raja Inggeris
membantu senjata dengan selengkapnya kepada Pangeran Anum, dapat
Raja Banten—akan gedung dalam negeri Jayakatera itu; adapun jika
alah negeri Jayakattera itu seolah-[olah] Raja Inggeris juga mengalahkan
diya. Adapun kiriman Pangeran Anum akan Raja Ing[ger]is suari dua
ekor dan kerris bertatah sebilah dan tombak sepucuk, jangan di[aibkan]
k—n berkenalan juga adanya.”89
Surat yang sampai ke Inggris di bulan April 1635 ini
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Sainsbury
di tahun 1907.90 Bagaimanapun, perang antara Banten dan
Batavia mulai masuk ke fase perdamaian di tahun 1635 M
hingga akhirnya benar-benar berdamai di tahun 1639 M. Di sisi
89 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in
The Public Record Office”: 422-423. 90 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in
The Public Record Office”: 421.
94
yang lain, surat ini juga memberikan gambaran mengenai cara
Banten bergaul dengan dunia Internasional.
Muncul dan berkembangnya komoditas gula di pasar
Banten juga masih terkait dengan hubungan Banten dan
Inggris. Dalam catatan India Office Record (IOR) tahun 1630
digambarkan sebuah pembangunan irigasi baru yang terdiri
dari bendungan dan kanal-kanal pengairan. Selain
pembangunan irigasi yang cukup masif, catatan tersebut juga
mengindikasikan bahwa masyarakat Banten sudah beralih dari
budi daya lada menjadi beras dan gula. Meskipun pemerintah
Banten sudah menghimbau penanaman lada yang masif.
Bahkan, di tahun 1636 pemerintah ‘memaksa dengan
sewenang-wenang’ penanaman lada. Menurut Guillot,
pemaksaan ini berujung pemberontakan yang silih berganti
sejak 1636 hingga 1641’an.
“The people relinquish the planting of pepper for rice and sugar canes... It
is almost incredible what watercouses they have cutand what a goody
conpass of ground they have these yeares past manured for those
purposes...” 91
Keduanya muncul akibat satu momen yang sama,
menurunnya perdagangan lada di Banten. Beras agaknya
dibudidayakan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari
masyarakat Banten. Dalam Sajarah Banten Pupuh XLVI,
Pangeran Ratu Abdul Kadir mengumumkan dua kebijakan
91 Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng”: 106.
95
pangan Banten di hadapan para punggawa, yaitu pembukaan
lahan pertanian baru dan pembangunan lumbung besar di
darparagi.92 Sementara itu, komoditas gula di Banten sudah
mulai muncul di tahun 1620’an. Bahkan, hadir dan
berkembangnya komoditas gula tak bisa dilepaskan dari
pengaruh Inggris.93
Antara tahun 1638 sampai 1640 M, produksi gula
Banten memasuki fase yang lebih tinggi lagi. Sebuah kontrak
produksi yang paling awal antara produsen gula yang terdiri
dari delapan penghasil dan enam keluarga di Kelapadua dengan
pihak Inggris berlangsung di teken. Kontrak ini berlangsung
sejak bulan Februari 1638 hingga 25 Januari 1640 dan kontrak
kedua di bulan Agustus 1640 M dengan pihak produsen yang
sama.94 Dalam kedua kontrak tersebut dijelaskan bahwa
seluruh produksi gula yang dihasilkan oleh enam keluarga di
Kelapadua hanya dijual kepada Inggris saja. Untuk menjamin
keamanan dan kenyamanan, Sultan Abul Mafakhir (1626-1651
M)—sebelumnya Pangeran Ratu—menjadi pengawas dari
kontrak produksi ini.95
92 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 372-373.
Lihat juga Claude Guillot, “La politique vivrière de Sultan Ageng”: 87. 93 Claude Guillot dkk, The Sultanate of Banten. 35. 94 Claude Guillot, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”:154. 95 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater.
76.
96
Cukup sulit untuk menghitung jumlah produksi yang
ada dalam dua kontrak produksi di atas. Akan tetapi, dari
catatan Inggris diperoleh keterangan bahwa gula yang
dihasilkan selama kontrak pertama diperkirakan sekitar
100.000 tebu setiap tahunnya. Secara keseluruhan, produksi
tebu yang dihasilkan oleh enam keluarga di Kelapadua berkisar
di angka 600.000 tebu setiap tahun. Kedelapan penghasil gula
kemudian memproduksi 100.000 tebu menjadi 450 pikul atau
setara dengan 2,8 ton gula dengan kualitas yang bagus.96 Dari
perhitungan tersebut, para penghasil gula di Kelapadua akan
menghasilkan 2700 pikul setiap tahunnya dan 8100 pikul
sampai tahun 1640 M. Produksi yang tentu cukup luar biasa di
masa itu.
Produksi gula Banten yang begitu besar kemudian
disalurkan oleh EIC (East India Company) ke berbagai pasar
Nusantara, salah satunya adalah Batavia. Di tahun 1637, EIC
mengirim sekitar 3000 pikul gula ke pasar Batavia.97 Meskipun
ekspor ini dilakukan satu tahun sebelum kontrak produksi
dijalankan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa EIC
kembali melakukan hal serupa di tahun yang berikutnya. Gula
Banten juga dijual di pasar lokal oleh para pedagang Inggris.98
96 Claude Guillot, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”: 141. 97 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater.
77. 98 Heriyanti Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten
1522-1684 (Depok: FIB UI-Komunitas Bambu, 2007). 145-146.
97
Selain itu, hasil produksi gula juga digunakan untuk konsumsi
pribadi Sultan Banten, maupun pihak Inggris. Mr. Gerrald
Pinson (President of East India Company) juga merasa tidak
keberatan apabila Sultan Abul Mafakhir membutuhkan gula
untuk keperluan pribadinya.99
Harga yang diperlukan untuk satu pikul gula Banten
adalah 6 Real Spanyol. Sedangkan di Batavia harganya bisa
mencapai 7,5 Real Spanyol. Menurut Talens, harga gula
Banten di masa itu hampir serupa dengan harga lada.100 Secara
keseluruhan, transaksi yang ada dalam kontrak pertama ini
berada di kisaran 21600 sampai 27000 real Spanyol. Sebuah
transaksi yang tentunya cukup besar ketika itu. Oleh sebab itu,
Untuk melindungi pihak-pihak yang bertransaksi, kedua
kontrak tersebut disertai jaminan dan diawasi langsung oleh
Sultan Abul Mafakhir.101 Salah satu jaminan yang diberikan
adalah penyerahan harta benda apabila sang penghasil gula
tidak mampu memenuhi kewajibannya.102
Keduanya juga memiliki pengaruh yang besar di pasar
Banten. Belanda misalnya, memiliki pengaruh yang cukup kuat
dalam perdagangan lada. Ancaman J.P Coen untuk merampok
99 Claude Guillot, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”: 141. 100 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater.
76. 101 Johan Talens, Een feodale samenleving in koloniaal vaarwater.
76-77. 102 Claude Guillot, “Les Sucriers chinois de Kelapadua, Banten”:
141.
98
jung-jung Cina yang memuat lada dari Banten nyatanya
mempengaruhi harga lada di pasaran Banten. Belum lagi
blokade yang dilancarkan berjilid-jilid. Sedangkan Inggris
membawa angin perubahan baru di pasaran Banten, yaitu gula.
Komoditas gula lahir dari kerja sama yang dilakukan antara
Inggris, orang-orang Cina dan Istana. Di tahun 1629-1631,
lahan besar disiapkan khusus untuk menanam tebu. Di masa
kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir, Belanda dan Inggris
menjadi mitra yang sangat dekat dengan Banten. meskipun
demikian, Belanda menempati posisi yang antagonis
sedangkan Inggris sudah seperti sekutu utama. Belanda
mengintervensi harga lada, sedangkan Inggris menghasilkan
komoditas gula di Banten.
D. Mekkah dan India: Sumber otoritas keagamaan
bagi Kesultanan Banten.
Sepertiga akhir dari hidup dan kekuasaannya di Banten,
Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M)
senantiasa aktif mengirim utusan ke berbagai negeri dengan
tujuan memperdalam ilmu agama dan berusaha sebisa mungkin
membawanya ke Banten. Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, Sultan Abul Mafakhir mengirimkan beberapa
utusan ke Mekkah di tahun 1636 M dan India tahun 1640’an.
Hubungan Banten dengan Mekkah, khususnya kawasan Timur
99
Tengah dan India tidaklah muncul dari ruang hampa, ketiganya
sudah saling bertalian sejak awal berdirinya Kerajaan Banten.
Hubungan antara Banten dan Mekkah sebagai pusat
keislaman dunia sudah dimulai oleh Raja pertama Banten,
Maulana Hasanuddin. Setelah tujuh tahun menetap di Banten,
Hasanuddin berangkat ke Mekkah bersama sang ayah,
Maulana Makhdum (Sunan Gunung Djati). Selain menunaikan
ibadah haji, mereka juga memperdalam ilmu agama.103
menurut Gabriel Facal, keduanya berafiliasi dengan beberapa
tarekat seperti Naqshabandiyyah, Syathariyyah, Qadiriyyah
serta Syadiliyah.104 Di tahun 1644, Syekh Yusuf al-Maqasari
(1626-1699 M) memasukkan tarekat Khalwatiyah ke Banten.
Ramainya tarekat yang ada di Banten juga agaknya berkaitan
juga dengan status Banten sebagai salah satu pintu masuk Islam
di Jawa Barat.105
Dalam Sajarah Banten, beberapa sosok ulama yang
berasal dari Timur Tengah kerap kali memegang posisi penting
di Kerajaan Banten. Salah satunya adalah Molana Judah, ia
disebut sebagai sosok yang keramat dan raja dari Jeddah.
Molana Judah ikut ambil bagian dalam Serangan Banten
103 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten.. 272. Lihat
juga Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 123. 104 Gabriel Facal, “Religious Specificities in the Early Sultanate of
Banten”: 102-103. 105 Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya Bagian II (Jakarta:
Gramedia, 2005). 136-138.
100
terhadap Pajajaran pasukan Maulana Yusup ke Pajajaran di
sekitaran tahun 1579 M.106 Sosok lainnya yang tak kalah
penting adalah Ki Ali Surasaji atau Kiyai Dukuh, seorang
ulama berpengaruh yang berasal dari Madinah. Sebelum tiba di
Banten, Ki Ali Surasaji menjadi guru agama di lingkungan
bangsawan Minangkabau. Kondisi serupa juga terjadi ketika ia
berada di Banten. Ki Ali merupakan guru agama bagi Maulana
Yusuf, Maulana Muhammad, bahkan Sultan Abul Mafakhir
Mahmud Abdul Kadir.107
Peran penting lainnya yang dilakoni oleh Kiyai Dukuh
adalah upayanya dalam menjaga tahta Banten untuk Maulana
Muhammad. Muncul sebuah dilema ketika Maulana Yusuf
wafat dan Maulana Muhammad sebagai pewaris tahta yang sah
masih berusia 9 tahun. Pangeran Jepara108 yang mendengar
kabar ini kemudian datang ke Banten. Beberapa pembesar
negeri mendukung Pangeran Jepara untuk menjadi penguasa
Banten. akan tetapi, hal tersebut tak mendapat persetujuan dari
106 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 153.
Lihat juga De Graaf & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa
(Jakarta: Grafiti, 2003). 139. 107 Ayang Utriza Yakin, ““The Transliteration and Translation of
The Leiden Manuscript”: 25-26. Lihat juga Djajadiningrat, Tinjauan Kritis
Tentang Sajarah Banten. 163. 108 Pangeran Japara merupakan orang yang sama dengan Pangeran
Arya. Ia menjadi anak ketiga dari Maulana Hasanuddin setelah Ratu
Pambayun dan Pangeran Yusuf. Sejak kecil, Pangeran Arya dititipkan dan
dirawat oleh Ratu Japara. Oleh karenanya, ia lebih dikenal dengan nama
Pangeran Japara. Lihat Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah
Banten. 36.
101
Kiyai Dukuh. Ia kemudian mendorong Mangkubumi dan
beberapa pembesar negeri untuk mengembalikan Maulana
Muhammad di tahta Banten. Kemudian disepakati bahwa
Pangeran Jepara harus pergi dari Banten dan di saat yang
bersamaan, Maulana Muhammad kembali dinobatkan sebagai
penguasa Banten yang sah.109
Untuk menyiasati keadaan Banten tanpa pemimpin,
kemudian Mangkubumi ditunjuk sebagai orang yang
bertanggung jawab atas pemerintahan Banten untuk sementara.
Ketika Maulana Muhammad sudah dianggap dewasa dan
mampu untuk bertanggung jawab atas tahtanya, maka
pemerintahan akan diserahkan kembali kepadanya. Sistem ini
kemudian dikenal dengan istilah ‘Waliraja’. Maulana
Muhammad kemudian berkuasa menjelang akhir abad ke-16.
Ia juga memberikan gelar Pangeran Kasunyatan kepada Kiyai
Dukuh. Gelar tersebut diberikan karena jasanya yang
melindungi tahta Maulana Muhammad dari ancaman Pangeran
Jepara.110 Pangeran Kasunyatan juga diberikan posisi penting
dalam kerajaan Banten, ia menjadi wali apabila Maulana
Muhammad dan Mangkubumi sedang tidak berada di
Surosowan. Menurut Utriza Yakin, gelar tersebut memiliki
otoritas yang kuat dalam politik. Sehingga ia melengkapi
109 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 39-41.
Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 290-297. 110 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 163.
Lihat juga Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 289.
102
otoritas agama yang sudah dipegang oleh Kiyai Dukuh atau
Pangeran Kasunyatan.111
Molana Judah dan Pangeran Kasunyatan merupakan
figur ulama yang punya pengaruh besar di masa Maulana
Yusuf dan Maulana Muhammad. Keduanya pun berasal dari
kawasan Timur Tengah yang menjadi pusat keislaman masa
itu. Sekitar tahun 1630’an, Pangeran Ratu (1596-1651 M)
mengirim utusan ke Mekkah yang salah satu misinya adalah
meminta tafsir dari beberapa karangan Hamzah Fansuri serta
membawa pulang ulama dari Mekkah agar dapat mencerahkan
Banten.112 Dalam Sajarah Banten, utusan Banten terdiri yang
dari Lebe Panji, Demang Tisnajaya dan Demang Wangsaraja
berlayar dari Banten ke Maladewa, lalu ke wilayah yang
disebut Keling atau Koromandel sampai kemudian tiba di
Surat, di mana mereka menunggu kapal yang mengangkut
Jemaah Haji. Dari India mereka berlabuh di Jeddah dan
melanjutkan perjalanan darat menuju Mekkah.113 Di tahun
111 Ayang Utriza Yakin, ““The Transliteration and Translation of
The Leiden Manuscript”: 25-26. Lihat juga, Djajadiningrat, Tinjauan Kritis
Tentang Sajarah Banten. 39-43. 112 Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara. 18-19. Lihat juga
Voorhoeve, “Van en over Nurudin ar-Raniri”: 358. Lihat juga Oman
Fathurahman, Ithaf ad-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim
Nusantara. 49. 113 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 341-342.
Lihat juga Djajadningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sarajah Banten. 193-
194. Lihat juga Daghregister 1640-1641, 357-358.
103
1641 M, Mataram juga menggunakan rute serupa untuk
meminta gelar ‘Sultan’ dari Mekkah.114
Meskipun demikian, keberangkatan utusan Banten ke
Mekkah seringkali dimaknai sebagai sebuah upaya
mendapatkan gelar ‘Sultan’.115 Agaknya, memperdalam ilmu
agama lebih bisa dikedepankan daripada hanya mencari gelar
saja. Terlebih lagi, Pangeran Ratu memiliki ketertarikan yang
cukup besar terhadap ajaran sufi.116 Selain beberapa karya
Hamzah Fansuri, Pangeran Ratu juga membaca Nasihat al-
Mulk karya al-Ghazali.117 Selain itu, ada al-Insan al-Kamil
karya ‘Abd al-Karim al-Jilli. Menurut Mufti Ali, Sultan Abul
Mafakhir melakukan penyalinan atas naskah ini.118 Wawacan
Seh atau Hikayat Seh karya al-Yafi’i agaknya menjadi salah
satu yang dibaca juga olehnya. Ketertarikannya terhadap ilmu
agama, khususnya tasawuf memang menjadi nilai lebih dari
penguasa Banten keempat ini.
Hikayat Seh sendiri merupakan terjemahan bahasa
Jawa (dengan dialek Banten-Cirebon) dari karya Abdallah b.
114 Daghregister 1661, 88. Lihat juga H.J De Graaf, Puncak
Kekuasaan Mataram.. 272-275. 115 Martin van Bruinessen, “Shari’a court, tarekat and pesantren”:
167. M.C Ricklefs, Mystic Synthesis in Java (Connecticut: EastBridge,
2006). 159. 116 M.C Ricklefs, Mystic Synthesis in Java. 50. 117 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan. 45-47. Lihat juga
Henri Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam Jilid I: 1482-1890. 15. 118 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd
al-Karim al-Jili. 197-199.
104
As’ad al-Yafi’i (1298-1367 M) yang berjudul Khulasat al-
Mafakhir. kitab ini berisi tentang kisah Shaykh ‘Abd al-Qadir
al-Jilani. Terlepas dari bahan bacaan Abul Mafakhir yang
begitu luas, peran al-Yafi’i dengan Khulasat al-Mafakhir
menjadi sangat besar bagi penyebaran tarekat Qadiriyah di
Nusantara. Laffan pun menyebut bahwa nama Abul Mafakhir
Mahmud Abdul Kadir yang diberikan dari Mekkah merupakan
penghormatan bagi dua tokoh penting tarekat Qadiriyah di
Nusantara, al-Jilani dan al-Yafi’i.119
Utusan Banten kembali di tahun 1638 M dengan
membawa berbagai macam hadiah yang dibawa dari Mekkah,
di antaranya adalah gelar Sultan bagi Pangeran Ratu (Sultan
Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir, w.1651 M) dan
Pangeran Anom (Sultan Abul Ma’ali Ahmad, w. 1649 M), kain
penutup ka’bah, kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah karya
Muhammad bin Allan, bendera berwarna kuning yang
dikatakan berasal dari Nabi Ibrahim, tapak kaki Nabi dan
berbagai barang lainnya.120
119 Michael Feener & Michael Laffan, “Sufi Scents Across the Indian
Ocean: Yemeni Hagiography and the Earliest History of Southeast Asian
Islam”. Archipel, 70 (2005): 202-206. Lihat juga van Bruinessen, “Shaykh
‘Abd al-Qadir al-Jilani and the Qadiriyya in Indonesia”. Journal of the
History of Sufism, 1-2 (2000): 369-371. 120 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 56. Titik
Pudiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 361-362. Lihat juga
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara. 48-49.
105
Permintaan tafsir yang diminta oleh Abul Mafakhir
agaknya serupa dengan permintaan fatwa. Fatwa sendiri
merupakan sebuah pendapat atau sudut pandang dalam
persoalan hukum slam tertentu yang dikeluarkan oleh seorang
ahli. Sebuah fatwa biasanya berbentuk tanya-jawab, di mana
sebuah pertanyaan akan diikuti dengan jawabannya. Orang
yang mengeluarkan fatwa disebut dengan mufti, sedangkan
yang meminta fatwa adalah mustafti. Pertanyaan dari mustafti
biasanya disebut dengan istifta. Sebuah ‘fatwa’ biasanya
tersusun dari beberapa cerita ataupun ide yang berbeda guna
menjawab pertanyaan dari mustafti. Di sisi yang lain, istifta
sendiri akan merefleksikan keadaan sosial, politik maupun
keagamaan dari seorang mustafti.121 Oleh sebab itu, menurut
Kaptein, istifta lebih menarik daripada fatwa itu sendiri.
Format tersebut juga ditemukan dalam naskah al-
Mawahib al-Rabbaniyyah, yang dibawa pulang dari Mekkah
oleh utusan Banten. Format yang hampir sama juga ditemui
dalam naskah Jauhar al-Haqaiq. Naskah tersebut merupakan
ringkasan dari tanya jawab antara Sultan Abul Mafakhir
dengan Nurudin al-Raniry (w. 1658 M).122 Tanya jawab antara
keduanya terjadi sekitar tahun 1645 M, setelah kepulangan
Nurudin ke Ranir (Rander), India. Agaknya, Sultan Banten
121 Nico Kaptein & Michael Laffan, “Theme Issue: Fatwas in
Indonesia” Islamic Law and Society 12, no.1 (2005): 1. 122 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd
al-Karim al-Jili. 3.
106
berusaha bertanya mengenai perbedaan pendapat antara al-
Raniry dengan pengikut Hamzah Fansuri dan Samsudin al-
Sumatrani di Aceh.123 Mendapat surat dari Sultan Banten, al-
Raniry menulis kitab yang diberi judul al-Lama’an fi takfir
man qala bi khalqi’l-Qur’an (Cahaya terang pada
mengkafirkan orang yang berkata Qaur’an itu makhluk). Isi
dari naskah tersebut adalah sanggahan dan kritik dari Nurudin
al-Raniry atas ajaran wujudiyyah yang dikembangkan oleh
Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani.124
Dari uraian di atas, ada beberapa poin penting yang
menggambarkan sosok dari Sultan Abul Mafakhir Mahmud
Abdul Kadir (1596-1651 M). mengirim utusan ke Mekkah
bukanlah usaha dalam mencari gelar semata. Melainkan sebuah
usaha mencari fatwa, dan lebih jauh lagi mencari otoritas
agama.
123 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh
Nurudin ar-Raniry. 39-47. Lihat juga Voorhoeve, “Van en over Nurudin ar-
Raniri”: 354-360. 124 Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh
Nurudin ar-Raniry. 55-56.
107
BAB V
SULTAN ABUL MAFAKHIR MAHMUD
ABDUL KADIR: RAJA SUFI DARI
KESULTANAN BANTEN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai perkembangan
Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1598-1651 M)
dari seorang Raja Jawa menjadi Raja Sufi. Penulis akan
berusaha menguraikan secara kronologis perjalanan Sultan
Abul Mafakhir dari Raja Jawa yang menggunakan gelar
‘Pangeran’ sampai menjadi seorang Raja Sufi. Sebelum masuk
ke pembahasan tersebut, penulis terlebih dulu menjelaskan
posisi al-Mawahib ar-Rabbaniyyah sebagai sumber kekuatan
dan pedoman bagi Sultan Abul Mafakhir dalam merespons
kondisi real politik di Kesultanan Banten.
A. Al-Mawahib ar-Rabbaniyyah dan Sultan Abul
Mafakhir Mahmud Abdul Kadir.
Seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, ada
beberapa warisan (legacy) yang ditinggalkan oleh Sultan Abul
Mafakhir untuk para penerusnya. Salah satunya adalah usaha
mengirimkan utusan ke luar negeri. Dalam hal ini, yang paling
menyita perhatian adalah utusan yang dikirimkan ke Mekkah.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, langkah serupa
juga dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Meskipun
108
demikian, ada perbedaan besar antara keduanya dari tujuan
pengiriman utusan Banten. Dalam Sajarah Banten, Sultan
Ageng Tirtayasa mengirim utusan ke Mekkah dengan tujuan
memberitakan kepada Sultan Mekkah bahwa kakeknya telah
mengkat dan meminta nama ataupun gelar yang pantas penerus
Kesultanan Banten.1 Sedangkan dalam sumber yang sama,
tujuan dari Sultan Abul Mafakhir adalah untuk meminta fatwa
atas kitab Hamzah Fansuri serta meminta seorang ahli fiqih
untuk menerangi Banten.2
Salah satu hadiah penting yang dibawa pulang oleh
utusan Banten adalah kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah yang
dibawa ke Banten tahun 1638 M. Sejauh penelusuran penulis,
naskah al-Mawahib hanya ada dua bundel di dunia ini.
Pertama, tersimpan di Perpustakaan Leiden dengan nomor
panggil Cod. Or. 7405 (4) yang merupakan naskah asli. Kedua,
tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
dengan nomor panggil A 105 sebagai naskah salinannya.3
Dari susunannya ini, al-Mawahib agaknya memiliki ciri
sebagai kitab fatwa. Dalam hal ini, ada empat aspek yang
1 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 207. 2 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 53-56. 3 P. Voorhoeve, Handlist of Arabic Manuscripts in The Library of
University of Leiden and Others Collection. 204-205. Behrend T.E (ed.).
Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid IV Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia. Lihat juga
https://lektur.kemenag.go.id/naskah/index.php?filterBy=title&title=20080
725144141 diakses pada 8 November 2018 Pukul 15.36 WIB.
109
setidaknya harus dipenuhi, yaitu: Mustafti (orang yang
meminta fatwa), Istifta (pertanyaan), Mufti (Ulama yang
menjawab pertanyaan) dan fatwa (jawaban).4 al-Mawahib
sendiri tersusun atas sepuluh Istifta. Menurut Kaptein, Istifta
atau pertanyaan yang ada pada sebuah kitab permintaan fatwa
menyimpan informasi menarik terkait keadaan sosial, politik
bahkan aspek peribadatan.5 Lebih jauh lagi, al-mawahib juga
menjadi sumber penting dari kontak intelektual yang
berlangsung antara Muslim Nusantara dengan Mekkah sebagai
pusat keislaman dunia.6 Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, al-Mawahib tersusun atas sepuluh pertanyaan,
diantaranya:
Pertama, pertanyaan pertama berkutat mengenai
balasan serta larangan bagi para penguasa yang melanggar
batasan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Dalam al-Mawahib
disebutkan:
“Berkata Rasulullah SAW: datanglah kepada penguasa di hari kiamat.
Maka berkata Allah yang Tinggi, ‘Anda adalah gembala dari mahluk saya
dan ketabahan? Kerajaan di bumi kemudian berkata salah satu dari mereka
memukul/menghukum hamba-hamba saya di atas yang telah ditentukan
kepada mereka. Maka berkata, wahai Tuhan kami, sesungguhnya mereka
adalah musuh-Mu dan mereka telah melanggar(perintah?)-Mu. Maka
berkata, seharusnya kemarahan(hukuman)mu? Tidak mendahului
kemarahan-Ku. Kemudian dia berkata, saya menghukum hamba-hamba
4 Nico Kaptein & Michael Laffan, “Theme Issue: Fatwas in
Indonesia”: 1. 5 Nico Kaptein & Michael Laffan, “Theme Issue: Fatwas in
Indonesia”: 6-7. 1 6 Oman Fathurahman, Ithaf ad-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi
Muslim Nusantara (Jakarta: Mizan, 2012): 49.
110
saya kurang dari batas yang sudah diperintahkan?(ditentukan). Maka
berkata, wahai Tuhanku kasihilah mereka ... dari Nasihat al-Muluk, Imam
Ghazali berkata”.7
Kedua, pertanyaan mengenai bagaimana keadilan harus
ditegakkan oleh seorang penguasa. Dalam pertanyaan ini,
Sultan Banten mengutip sebuah kisah yang ada di dalam
naskah Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali (1111 M) yang
berkisah tentang seorang Gubernur Iraq bernama Ziyad ibn
abihi. Dalam al-Mawahib disebutkan:
“Hikayat ini tentang Abi Sufyan dan anaknya, Ziyad bin ayahnya yang lahir
di hari Jahiliyyah ... ketika Abu Sufyan memerintah di (Dinasti?)
Mu’awiyyah ... Ketika Ziyad menjadi penguasa (Gubernur) Iraq, orang
Iraq dikenal sebagai kaum yang berbuat kerusakan dan suka mencuri. Di
atas mimbar selepas sholat berjama’ah, Ziyad berkhutbah, kemudian
berkata: setelah khutbah ini, demi Allah, barangsiapa keluar rumah setelah
Isya akan dipenggal kepalanya, Ziyad bersaksi kepada yg ghaib. Kemudian
memerintahkan untuk mengawasi selama tiga malam. Kemudian pada
malam keempat, Ziyad ikut serta menyisir wilayah Iraq bersama para
penjaganya. Kemudian ia menemukan seorang laki-laki Arab yang..... dari
Nasihat al-Muluk, Imam Ghazali berkata”.8
Ketiga, masih merujuk pada Nasihat al-Muluk, Sultan
Banten bertanya tentang posisi ‘adil’ dalam sebuah kerajaan.
Dalam melontarkan pertanyaan ini, Sultan Abul Mafakhir
mengutip pernyataan Ulama yang secara tersirat menyebut,
‘ketika keadilan dapat ditegakkan di sebuah negeri, maka
kesejahteraan akan mengikuti. Lebih jauh lagi menjadikan
7 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 6-8.
8 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 52-55. Lihat juga F.R.C Bagley &
H.D Isaacs. Ghazali Book of Counsel for Kings. (London: Oxford
University Press, 1964). 78-79.
111
agama di negeri tersebut dapat berdiri tegak. Dalam al-
Mawahib disebutkan:
“Raja-Raja kuno itu adalah inspirasi mereka, dan upaya mereka dalam
membangun wilayah mereka ... seorang ulama shahih berkata,
“sesungguhnya agama (berdiri?) dengan kerajaan, dan kerajaan (berdiri?)
dengan pasukan, dan pasukan (berdiri?) dengan harta, dan harta (berdiri?)
dengan kesejahteraan negeri, dan kesejahteraan negeri (berdiri?) dengan
keadilan ... dari Nasihat al-Muluk”.9
Keempat, dalam pertanyaan ini, Sultan Abul Mafakhir
bertanya mengenai cara bagi seorang penguasa untuk berbuat
adil tanpa harus melebihi batasan. singkatnya, pertanyaan
keempat ini merupakan lanjutan dari pertanyaan sebelumnya.
Dalam al-Mawahib disebutkan:
“Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa para penguasa yang melebihi
batas atau membatas-batasi batas Tuhan akan disiksa. Dalam Nasihat al-
Muluk, berkata sang periwayat. Kabarkanlah bahwa orang terdahulu dan
orang yang terpercaya bahwa dari kebijakan sulthon. Maka sulthon
menjawab kebijakan politik dengan politik yang adil. Sesungguhnya
Sulthon adalah wakil Allah di Bumi. Maka bagaimana wahai tuan kami,
batasan-batasan dari syari’ah dan batasan-batasan dalam politik. Dan
bagaimana dengan menemukan keadilannya?...”.10
Kelima, pertanyaan ini serupa dengan pertanyaan
keempat yang menjadi sambungan atau lanjutan dari
pertanyaan-pertanyaan terdahulu. Sultan Abul Mafakhir
bertanya bagaimana sebuah ‘keadilan’ dapat membawa
9 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 75-76. 10 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 84-85.
112
kemakmuran untuk sebuah negeri. Dalam al-Mawahib
disebutkan:
“Ulama dan ahli hukum berkata, sesungguhnya agama berdiri dengan
kerajaan, dan kerajaan berdiri dengan pasukan, dan pasukan berdiri
dengan harta, dan harta berdiri dengan kesejahteraan negeri, dan
kesejahteraan negeri berdiri dengan keadilan. Dan jika dikatakan bahwa
pasukan/tentara berdiri dengan harta, maka harta manakah yang
dimaksud? Apakah harta yang berasal dari kerajaan ataukan harta yang
dimiliki oleh para tentara? Dan jika dikatakan bahwa harta yang berasal
dari kerajaan, maka dari harta yang mana? Dan jika dikatakan harta yang
berasal dari kesejahteraan negeri, harta mana yang bisa membuat negeri
makmur? Dan jika dikatakan bahwa kemakmuran negeri berasal dari
keadilan, keadilan yang bagaimana yang mampu memakmurkan negeri” 11
Keenam, pertanyaan mengenai batasan bagi seorang
Sultan dalam memberi dan mengambil sesuatu.
“dalam nasihat disebutkan bahwa seorang Sulltan dalam mengambil
sesuatu dari rakyatnya dan memberikan sesuatu juga bagi rakyatnya.
Maka, bagaimana batasan dalam mengambil dan memberi itu?”. 12
Ketujuh, merupakan pertanyaan yang menyinggung
aspek ibadah, di mana Sultan Banten meminta berkah dan
diajarkan sebuah do’a setelah shalat. Dalam al-Mawahib
disebutkan:
“saya meminta berkat dari anda untuk mengajarkan sholat dan apa yang
dibaca dan apa yang disebut dalam hati. Dan ajarkan do’a yang dibaca
setelahnya dan doa ‘mutayassir’ dalam lisan.” 13
11 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 105-107. 12 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 113-114. 13 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 120.
113
Kedelapan, pertanyaan mengenai tanah wakaf, dalam
hal ini Sultan Abul Mafakhir bertanya apakah diperbolehkan
bagi seorang penguasa memberikan tanah kepada tentara dan
keturunannya? Lebih jauh lagi Sultan Abul Mafakhir juga
bertanya, apakah diperbolehkan untuk seorang penguasa
mengambil alih tanah yang sebelumnya telah
diwakafkan/dihibahkan oleh penguasa terdahulu. Dalam al-
Mawahib disebutkan:
‘apakah diperbolehkan bagi seorang sultan untuk memberikan tanah
kepada para tentara dan ahli warisnya. Jika anda mengatakan boleh, maka
bagaimana seorang sultan yang setelah sultan yang memberikan tanah
tersebut mengambil alih lagi tanah yang sudah diberikan di awal tadi”.14
Kesembilan, pertanyaan terkait dengan pajak tanah
terhadap orang kafir dan pajak dagang terhadap para pedagang
muslim.15 Kesepuluh, pertanyaan kesepuluh terdiri dari tiga
pertanyaan agaknya menyinggung tentang ajaran
wujudiyyah.16
Dari sepuluh pertanyaan (ifta) yang ditanyakan oleh
Sultan Banten, lebih dari setengahnya membicarakan mengenai
‘keadilan’. Hal tersebut tidak terlepas dari Sultan Banten yang
merujuk pada kitab Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali. Dari
14 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 136-137. 15 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 141-143. 16 al-Mawahib ar-Rabbaniyyah, 148-151.
114
keterangan tersebut, muncul indikasi bahwa kitab Nasihat al-
Muluk memang sudah dikenal di Nusantara, khususnya
Kesultanan Banten. Lebih jauh lagi, Sultan Banten agaknya
berusaha untuk memahami lebih jauh teks Nasihat al-Muluk.
Pada akhirnya mengintegrasikan konsep ‘adil’ yang ada di
dalamnya dengan situasi politik di kerajaan Banten.17 Dalam
hal ini, lahirnya naskah al-Mawahib ar-Rabbaniyyah juga tak
bisa dilepaskan dari alasan di atas. al-Mawahib lahir mengikuti
gerak zaman di abad ke-17, di mana teks-teks sastra
didedikasikan sebagai nasihat kepada para raja.18 Maka tak
mengherankan apabila kitab Nasihat al-Muluk muncul sebagai
referensi penting bagi raja-raja Nusantara, salah satunya
Banten.
Bagi Sultan Abul Mafakhir, al-Mawahib merupakan
sumber referensi untuk mengambil keputusan politik. Konsep
‘adil’ yang dipelajarinya dalam naskah tersebut juga menjadi
pegangan baginya dalam memutus perkara hukum. Di
masanya, Sultan Abul Mafakhir juga berperan sebagai hakim
tertinggi di Kesultanan Banten. Contoh realpolitik terjadi
selama dekade 1640-an, ketika itu Sultan Abul Mafakhir
dihadapkan pada dua pilihan sulit; menyerah pada Mataram
yang saat itu sangat kuat atau melawan Mataram demi
kemerdekaan Banten yang utuh. Abul Mafakhir kemudian
17 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan. 47. 18 G.E Marrison, “Persian Influences in Malay Life (1280-1650)”.
JMBRAS 28, no.1 (1955): 61.
115
memilih pilihan kedua. Menariknya, alih-alih tunduk kepada
Mataram, ia hanya mau tunduk dan mengakui Syarif Mekkah.
Sultan Abul Mafakhir menyebut bahwa Syarif Mekkah yang
memberkati Banten dan bukannya Mataram. oleh sebab itu, ia
lebih memilih Syarif Mekkah sebagai patronnya.19
B. Perjalanan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul
Kadir sebagai Raja Sufi
Seperti yang dicantumkan sebelumnya, Sultan Abul
Mafakhir berkuasa sejak 1624 sampai 1651 M atau hampir lima
abad yang lalu. Meskipun demikian, sosok Sultan Abul
Mafakhir masih abadi hingga kini. Setidaknya hal tersebut
tercermin dalam berbagai temuan sejarah yang memiliki
korelasi dengan Sultan Abul Mafakhir. Beberapa di antaranya
bahkan merefleksikan perjalanan spiritualnya sebagai Raja
Sufi. Salah satu indikator dari perjalanan tersebut adalah gelar
yang digunakan olehnya.
Dari beberapa sumber sejarah yang tersedia seperti surat
dan mata uang, diketahui bahwa Raja Banten keempat ini lebih
aktif menggunakan gelar ‘Pangeran’. Gelar tersebut digunakan
sejak ia berkuasa di tahun 1624 sampai tahun 1638 M. Periode
ini penulis kategorikan sebagai era ‘Kepangeranan’. Gelar
19 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 405-406.
Lebih jauh mengenai pertempuran antara Cirebon dan Banten, lihat bab IV
skripsi ini.
116
Pangeran kemudian diganti dengan ‘Sultan’ setelah ia
mendapatkannya dari Syarif Mekkah di tahun 1638 M.
Kemudian, sejarah mencatat bahwa Abul Mafakhir
menggunakan gelar ‘Sultan’ sampai akhir hayatnya. Dari tahun
1638 hingga 1651 M penulis sebut dengan era ‘Kesultanan’.
Baik periode Kepangeranan ataupun Kesultanan memiliki
signifikansi yang penting untuk dijelaskan dalam bab ini.
Meskipun memiliki beberapa perbedaan, keduanya menjadi
sebuah proses yang tak terpisahkan dari sosok Sultan Abul
Mafakhir yang berkembang sebagai Raja Sufi.
Sejauh penelusuran penulis, ada dua sumber penting
yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan periode
‘Kepangeranan’. Pertama, sumber artefaktual berupa mata
uang Kesultanan Banten yang berasal dari masa kepemimpinan
Sultan Abul Mafakhir. Kedua, sumber tertulis berupa surat-
surat yang dikirimkan oleh Sultan Abul Mafakhir kepada Raja
Charles dari Kerajaan Inggris.
Kesultanan Banten pernah mengeluarkan sebuah mata
uang koin dengan yang disebut sebagai koin ‘Kasha’. Di atas
permukaannya, tertulis inskripsi “Pangeran Ratu Ing Banten”
yang merujuk pada gelar Abul Mafakhir.20 Dalam laporan
penelitian Banten di tahun 1976, koin ‘kasha’ dikategorikan
20 Claude Guillot, Lukman Nurhakim dan Claudine Salmon, “Les
Sucriers chinois de Kelapadua, Banten, XVIIe siècle. Textes et vestiges”.
Archipel 39 (1990): 149.
117
sebagai koin bulat dengan lubang segi enam di tengahnya. Koin
‘kasha’ terbuat dari tembaga dengan diameter keseluruhan
mencapai 2,6 cm dan diameter lubang 1,5 cm.21
Mengingat bahwa temuan mata uang sering kali
dikategorikan sebagai artefak bertanggal mutlak.22 Maknanya,
di dalam mata uang kuno, tersimpan informasi kuat mengenai
siapa yang menerbitkan dan kapan ia diterbitkan.23 Dalam hal
ini, poin penting yang ingin ditekankan pada mata uang ‘kasha’
adalah penggunaan gelar ‘Pangeran Ratu’ yang merujuk pada
awal kepemimpinannya Sultan Abul Mafakhir di Banten. Kini,
mata uang ‘kasha’ Kesultanan Banten dapat dijumpai di
Gedung Arca lantai 2 (Dua) Museum Nasional Republik
Indonesia. Selain itu, koin serupa juga dapat dijumpai pada
Museum Kepurbakalaan Banten.
Gelar ‘Pangeran Ratu Ing Banten’ juga tercantum pada
stempel surat Raja Banten kepada Raja Inggris di tahun 1628
M.24 Stempel tersebut berbentuk bulat dengan outline ganda
dan berdiameter 55 mm. Muncul dugaan yang kuat bahwa
21 Mundardjito, Hasan Muarif Ambary & Hasan Djafar, Laporan
Penelitian Arkeologi Banten 1976. 47-48. 22 Mundardjito, Hasan Muarif Ambary & Hasan Djafar, Laporan
Penelitian Arkeologi Banten 1976 Cet. II (Jakarta: Puslit Arkenas, 1986).
47. 23 Bernard Lewis, The Political Language of Islam (Chicago:
University of Chicago Press, 1988). 45-46. 24Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in
The Public Record Office”. Indonesia and The Malay World 31, no.91
(2003): 418-419.
118
stempel tersebut merupakan stempel resmi Kerajaan Banten
saat itu. Hal tersebut didasari pada keterangan stempel tersebut
yang memuat informasi tentang silsilah raja-raja Banten.25
Informasi yang terdapat surat Raja Banten ini sekaligus
menguatkan keterangan dari koin ‘kasha’, karena surat tersebut
berangka tahun 1628 M atau sekitar 4 tahun sejak Abul
Mafakhir memegang tahta.
Dekade 1630-an menjadi periode krusial dalam
perjalanan spiritual Sultan Abul Mafakhir sebagai Raja Sufi.
Setidaknya ada dua peristiwa penting yang terjadi pada periode
krusial ini. Pertama, adanya perintah yang dikeluarkan oleh
Sultan Abul Mafakhir untuk menyalin tulisan Abd al-Karim al-
Jili yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa
al-Awa’il dan memberikan terjemahan bahasa Jawa dalam
setiap lariknya.26 Sejatinya masih belum diketahui secara pasti
waktu penyalinan kitab al-Insan al-Kamil, namun muncul
dugaan kuat bahwa kitab tersebut disalin pada dekade 1630-an.
Kedua, peristiwa penting lainnya adalah pengiriman
utusan Banten ke Mekkah di awal 1630-an. Dalam Sajarah
Banten, utusan ini terdiri dari tiga orang, yaitu; Lebe Panji
sebagai ketua serta Demang Tisnajaya dan Demang
Wangsaraja. Ketiganya diberikan tugas untuk menyampaikan
25 Annabel Teh Gallop, “Seventeenth-Century Indonesian Letters in
The Public Record Office”: 420. 26 Mufti Ali dkk, Konsep “Manusia Tuhan” Menurut Shaykh Abd al-
Karim al-Jili: 13-14.
119
surat yang berisi sepuluh pertanyaan Abul Mafakhir dan
membawa pulang seorang ahli agama untuk menjadi Ulama
Kesultanan.27 Utusan Banten berhasil kembali di tahun 1638 M
dengan membawa berbagai hadiah dari Mekkah, di antaranya;
gelar Sultan untuk Abul Mafakhir, kitab al-Mawahib ar-
Rabaniyyah, bendera Nabi Ibrahim, tapak kaki Nabi
Muhammad, sepotong kiswah dan seterusnya.28 Kepulangan
para utusan ini disambut dengan meriah dan seluruh
masyarakat Banten dikumpulkan untuk menyambutnya.
Hadiah-hadiah yang diperoleh dari Mekkah juga dianggap
mempunya berkah tersendiri, sehingga hadiah-hadiah tersebut
diarak keliling kota Banten dengan tujuan berkah tersebut bisa
tersebar ke penjuru negeri. 29
Kedua peristiwa tersebut mencerminkan ketertarikan
Sultan Abul Mafakhir yang lebih dalam mengenai ajaran Islam,
doktrin insan kamil dan ‘menjadi raja yang adil’. Hal tersebut
dapat dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam
naskah al-Mawahib ar-Rabbaniyyah. Dari sepuluh pertanyaan
yang diajukan, enam di antaranya terkait dengan ‘keadilan’ dan
bagaimana menjadi raja yang adil. Uniknya lagi, ia mengutip
27 Michael Laffan, Sejarah Islam Nusantara. 18-19. Lihat juga Titik
Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 341-342. Lihat juga
Djajadningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sarajah Banten. 193-194. 28 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara. 48-49. 29 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 56. Titik
Pudiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 361-362.
120
beberapa keterangan yang ada pada kitab Nasihat al-Muluk
karya al-Ghazali (w.1111).
Pada dekade 1640-an, Sultan Abul Mafakhir mengirim
utusan ke Nurudin ar-Raniry yang saat itu berada di India.
Masih belum diketahui secara pasti mengenai pertanyaan
Sultan Banten, namun kuat dugaan bahwa ia bertanya
mengenai kebijakan Nurudin yang menolak bahkan memusuhi
kaum wujudiyyah di Aceh. Untuk menjawab surat dari Sultan
Banten, Nurudin menulis sebuah kitab yang diberi judul Al-
Lama’an fi takfir bi khalqi’l-Quran (Cahaya terang pada
mengkafirkan orang yang berkata Qur’an itu Makhluk).
Naskah tersebut menguraikan sanggahan dan kritik dari
Nurudin al-Raniry atas ajaran Hamzah Fansuri.30 Utusan
Banten yang dikirim ke Nurudin agaknya perlu diletakkan pada
konteks ‘menjaga stabilitas dan keamanan Banten’. Sultan
Abul Mafakhir menaruh perhatian pada konflik keagamaan
yang terjadi di Aceh dan mungkin terbesit kekhawatiran di
benaknya bahwa konflik serupa akan terjadi di Banten. Oleh
sebab itu, utusan ke India ini perlu dilihat sebagai upaya Sultan
Abul Mafakhir menjaga stabilitas dan keamanan di Banten.
Di penghujung dekade 1640-an sosok Sultan Abul
Mafakhir menjadi semakin matang. Hal tersebut nampak dari
30 Penjelasan lebih jauh mengenai Nurudin ar-Raniry, lihat Ahmad
Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurudin ar-Raniry. 55-
56.
121
cara Sultan Abul Mafakhir menghadapi Mataram. Meskipun
penguasa Mataram sudah beralih dari Sultan Agung Mataram
kepada Amangkurat I, namun usaha untuk menaklukkan
Banten dan ‘menyatukan Jawa’ masih belum sirna. Di tahun
1637 M, Amangkurat I meminta Cirebon untuk membujuk
Sultan Banten mempersembahkan baktinya dan tunduk kepada
Mataram.31 Sejak saat itu, Cirebon secara aktif dan berkala
mengirim utusan ke Banten. utusan yang dikirim pun beragam,
dari utusan biasa hingga pembesar negeri datang secara
bergantian ke Banten untuk membujuk Sultan Abul Mafakhir
mengakui Mataram.
Salah satu pembesar negeri Cirebon yang datang untuk
membujuk Sultan Banten adalah Pangeran Martasari.
Matangnya sikap Sultan Abul Mafakhir juga terlihat ketika ia
memperlakukan utusan Cirebon yang datang ke Banten dengan
perlakuan yang layak dan pantas. Meskipun diminta untuk
tunduk, namun Sultan Abul Mafakhir tetap memandang
Cirebon sebagai saudara kandung Banten yang harus
diperlakukan dengan baik. Terkait dengan keinginan Mataram,
Sultan Abul Mafakhir kemudian membicarakannya di depan
dewan kesultanan dan secara tegas menolak untuk memenuhi
keinginan Mataram. Baginya, Banten tidak perlu tunduk
kepada Mataram, karena yang memberikan berkah kepada
Banten adalah Syarif Mekkah. Oleh sebab itu, Sultan Abul
31 Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. 202
122
Mafakhir hanya mengakui Syarif Mekkah sebagai rajanya dan
tidak ada orang lain yang harus ia akui. Ia juga menyebut lebih
baik lebih baik hancur lebur dalam perang daripada mengirim
bakti kepada Mataram.32 Kelanjutan dari peristiwa ini adalah
perang pagerage.
Sultan Abul Mafakhir yang menolak tunduk kepada
Amangkurat I dan Mataram harus dilihat sebagai upaya
mempertahankan diri dan menjaga stabilitas negeri. Peristiwa
ini juga perlu dilihat sebagai kematangan Sultan Abul Mafakhir
sebagai Raja Sufi, karena ia berani menghadapi serangan
Mataram dengan kekuatan sendiri dan percaya kepada
kekuatan pasukannya. Kondisinya cukup jauh berbeda dari
tahun 1629 M ketika Mataram mengepung Batavia. Saat itu,
Abul Mafakhir meminta bantuan kepada Inggris dan tidak
berdiri di atas usahanya sendiri.
Hasilnya, Banten berhasil mempertahankan diri dari
serangan Mataram dan Cirebon. Di sanalah posisinya sebagai
Raja Sufi menjadi semakin kokoh. Karena ia mampu menejaga
stabilitas dan keamanan Banten dari ancaman pihak luar.
32 Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. 405.
123
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Raja Sufi merupakan seorang penguasa yang telah
memiliki kesadaran utuh atas kesatuannya dengan Tuhan. Oleh
sebab itu, seorang Raja Sufi diyakini mampu berbuat adil
karena ia memahami dan menyadari tugasnya sebagai wakil
Tuhan di Bumi. Keadilan yang mampu ia tegakkan kemudian
akan berimplikasi pada stabilitas dan keamanan negeri yang ia
pimpin. Untuk bisa mencapai tingkatan Raja Sufi, sang
penguasa harus mampu memahami dan mempelajari ajaran-
ajaran Islam, khususnya ajaran sufistik. Dalam hal ini, kitab al-
Insan al-Kamil karya Abd al-Karim al-Jili merupakan salah
satu pembentuk sosok Raja Sufi di Nusantara, konsep
mengenai Raja Sufi lahir dari doktrin insan kamil atau “perfect
man” yang ada di kitab al-Insan al-Kamil.
Doktrin insan kamil diaktualisasikan dan dibentuk oleh
para ulama kerajaan untuk menyokong legitimasi dan karisma
sang penguasa. Di tanah Melayu, muncul konsep ‘Raja Adil’
yang menggambarkan kesempurnaan seorang Raja sebagai
penguasa yang adil. Konsep tersebut muncul dari hubungan
patron-klien antara Raja dan Ulama. Sementara itu, di tanah
Jawa muncul konsep Sufi Warrior King digunakan untuk
menggambarkan penguasa Jawa yang menjalankan
124
pemerintahannya berdasarkan ajaran-ajaran sufistik.
Menariknya, istilah tersebut muncul dari dalam lingkaran
keluarga Raja. Di Banten sendiri, salah satu penguasa yang
layak dikategorikan sebagai ‘Raja Sufi’ adalah Sultan Abul
Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M).
Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M)
merupakan Raja Banten keempat yang berkuasa dari tahun
1624 hingga 1651 M. Ia menjadi penguasa Jawa pertama yang
memperoleh gelar ‘Sultan’ dari Syarif Mekkah di tahun 1638
M dan menggunakannya sejak saat itu sampai akhir hayatnya.
Sebelum mendapatkan gelar Sultan, ia menggunakan gelar
‘Pangeran Ratu Ing Banten’ sejak tahun 1624-1638 M. Oleh
sebab itu, periode kekuasaan Abul Mafakhir Mahmud Abdul
Kadir dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, ketika ia
menggunakan gelar ‘Pangeran’ (Kepangeranan) sejak 1624-
1638 M. Penggunaan gelar ‘Pangeran’ kemudian diperkuat
dengan bukti mata uang ‘kasha’ Kesultanan Banten yang
kemungkinan beredar di abad ke-17 dan surat Raja Banten
kepada Raja Inggris tahun 1629 M. Kedua, sejak ia
memperoleh gelar ‘Sultan’ (Kesultanan) dari Syarif Mekkah di
tahun 1638 dan digunakan hingga akhir hayatnya. Hal tersebut
juga diperkuat dengan keterangan yang ada Pada bagian
pengantar manuskrip al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an al-As’ila
al-Jawiyya, di mana tercantum nama Sultan Abul Mafakhir
Abdul Kadir.
125
Keduanya secara tidak langsung mencerminkan proses
perjalanan spiritual Abul Mafakhir dari seorang Raja Jawa
menjadi Raja Sufi. Proses itu dapat dilihat dari titik awal
sebagai Raja Jawa sebagai ‘Pangeran’ dan pada titik lainnya ia
menggunakan gelar ‘Sultan’ yang lebih bercitrakan Islam. Oleh
sebab itu, titik awal dari perjalanan spiritual Abul Mafakhir
adalah ketika ia menggunakan gelar ‘Pangeran’ di masa awal
pemerintahannya. Hal tersebut dapat diketahui dari
cap/stempel surat Kerajaan Banten yang dikirim kepada Raja
Inggris di tahun 1629 M. Lebih jauh lagi, surat itu ditujukan
untuk memberi kabar kepada Raja Inggris bahwa Mataram
yang dipimpin oleh Sultan Agung1 sudah mengepung Batavia,
sehingga ia ingin meminta bantuan persenjataan dalam
mengantisipasi pasukan Mataram yang sudah berada di
halaman depan Banten. Namun, bantuan Inggris tak pernah
datang dan serangan Mataram pun tak pernah benar-benar
sampai ke Banten. Gelar ‘Pangeran Ratu Ing Banten’ juga
tertera pada sebuah koin yang diduga kuat berasal dari periode
pemerintahan Sultan Abul Mafakhir di Banten.
Perjalanan Sultan Abul Mafakhir sebagai Raja Sufi
menemui titik krusialnya pada dekade 1630-an. Abul Mafakhir
secara aktif mulai membaca dan mendalami kitab-kitab yang
memuat doktrin insan kamil dan panduan menjadi raja yang
1 Perlu ditekankan di sini bahwa gelar ‘Sultan’ baru diperoleh dari
Mekkah dan digunakan sejak tahun 1641 M. Lihat M.C Ricklefs, Mystic
Synthesis in Java. 34.
126
adil. Hal tersebut dapat terlihat ketika Abul Mafakhir sendiri
memerintahkan kepada punggawa Istana Surosowan untuk
menyalin kitab al-Insan al-Kamil. Tak sampai di situ, ia juga
mengirim utusan ke Mekkah di tahun 1630-an untuk bertanya
kepada Syarif Mekkah untuk menjadi raja yang adil. Sebagian
besar pertanyaan yang diajukan oleh Abul Mafakhir ternyata
didominasi oleh pertanyaan terkait ‘keadilan’ dan bagaimana
ia menjadi raja yang adil. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
oleh Abul Mafakhir dapat dilihat pada kitab al-Mawahib.
Menariknya, Abul Mafakhir sering kali mengutip keterangan
al-Ghazali yang ada di dalam kitab Nasihat al-Muluk. Hal
tersebut mencerminkan
Utusan Abul Mafakhir kemudian tiba di Banten tahun
1638 M dengan membawa berbagai hadiah, di antaranya; gelar
‘Sultan’, kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah an al-As’ila
Jawiyyah, bendera Nabi Ibrahim, tapak kaki Nabi Muhammad
dan beberapa hadiah lainnya. Hadiah-hadiah tersebut
diperlakukan dengan istimewa dan dianggap dapat
menghadirkan berkah. Oleh sebab itu, perayaan diadakan untuk
menyambut hadiah-hadiah tersebut dan diadakan pawai
keliling kota untuk menyebarkan berkahnya ke penjuru kota
Banten. tak bisa dipungkiri bahwa pemberian yang didapatkan
dari Syarif Mekkah membawa berkah tersendiri bagi legitimasi
dan karisma Sultan Abul Mafakhir. Selain itu, keadaan
127
ekonomi dan politik di Kesultanan Banten mulai membaik dan
stabil.
Akhir dekade 1630-an, penolakan terhadap kaum
wujudiyyah muncul di Aceh. Tokoh sentral dari keluarnya
penolakan ini adalah Nurudin ar-Raniry yang ketika itu
menjabat sebagai Syaikhul Islam di Kerajaan Aceh. Karena
alasan yang belum diketahui pasti, Nurudin pulang ke kampung
halamannya di Ranir, India. Hal tersebut agaknya
menimbulkan rasa penasaran pada diri Sultan Abul Mafakhir
dan pada akhirnya mendorong dirinya untuk mengirim utusan
ke India pada dekade 1640-an. Utusan tersebut dikirim untuk
bertanya kepada Nurudin terkait penolakannya terhadap kaum
wujudiyyah. Pertanyaan tersebut dibalas Nurudin dengan
sebuah kitab berjudul Al-Lama’an fi takfir bi khalqi’l-Quran
(Cahaya terang pada mengkafirkan orang yang berkata Qur’an
itu Makhluk). Pengiriman utusan Banten ke Nurudin agaknya
perlu diletakkan pada upaya Sultan Abul Mafakhir
mengantisipasi penolakan serupa muncul di Banten dan lebih
jauh lagi guna menjaga stabilitas dan keamanan di Kesultanan
Banten.
Di tahun 1650, Mataram yang saat itu dipimpin oleh
Amangkurat I berupaya menaklukkan Banten. Ia pun meminta
Cirebon untuk membujuk Banten mengakui Mataram sebagai
pelindungnya. Pertama-tama, Cirebon mengirim beberapa
utusan secara berkala pada dekade 1640-an ke Banten. Upaya
128
tersebut selalu menemui kegagalan dan penolakan. Akibat
penolakan tersebut, Cirebon merespons dengan mengirim
pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Panjangjiwa. Namun,
pasukan Cirebon berhasil dihalau oleh pasukan Banten. Dalam
naskah Sajarah Banten, peristiwa ini dikenal dengan istilah
peristiwa pagerage
Sultan Abul Mafakhir yang menolak tunduk kepada
Amangkurat I dan Mataram harus dilihat sebagai upaya
mempertahankan diri dan menjaga stabilitas negeri. Peristiwa
ini juga perlu dilihat sebagai kematangan Sultan Abul Mafakhir
sebagai Raja Sufi, karena ia berani menghadapi serangan
Mataram dengan kekuatan sendiri dan percaya kepada
kekuatan pasukan Banten.
B. Saran
Penelitian mengenai masa kepemimpinan Sultan Abul
Mafakhir Mahmud Abdul Kadir ini sejatinya masih memiliki
banyak kekurangan. Keterbatasan biaya dan waktu menjadi
alasan dari banyaknya kekurangan dalam penelitian ini.
Meskipun demikian, besar harapan penulis agar penelitian ini
dapat memberikan sudut pandang baru atas sejarah Kesultanan
Banten yang seolah terfokus pada Sultan Ageng Tirtayasa.
Lebih jauh lagi, penulis juga berharap agar kajian ini mampu
meningkatkan perhatian dan kepekaan para pembaca serta
129
masyarakat luas terhadap Sultan Abul Mafakhir dan situs
Kenari beserta danau Tasikardi yang menjadi bagian tak
terpisahkan dari sejarah Kesultanan Banten. Akhir kata, penulis
juga ingin memberikan beberapa saran kepada para peneliti,
penggiat maupun para pemangku kebijakan, di antaranya:
1. Melakukan kajian yang lebih komprehensif lagi
mengenai Sultan Abul Mafakhir. Seperti kajian
arkeologis terhadap peninggalan yang ada di situs
Kenari maupun kajian mengenai pemikiran Sultan
Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dengan
menggunakan sumber-sumber, baik primer maupun
sekunder yang terkait dengan Sultan Abul Mafakhir
Mahmud Abdul Kadir.
2. Memberikan perhatian lebih, baik moril maupun
materiil yang lebih besar terhadap peninggalan-
peninggalan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul
Kadir, salah satunya adalah situs Kenari. Hal tersebut
sangatlah penting, agar nilai-nilai sejarah yang ada di
situs tersebut dapat terjaga dalam waktu yang lama.
top related