pseudo education
Post on 21-Dec-2015
269 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PSEUDO EDUCATION
PSEUDO-EDUCATION DALAM SEHARI-HARI
1. Memahami dimensi manusia dan potensinya.
A. SIIFAT HAKIKAT MANUSIA
Sifat hakikat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat
antropologi.Hal ini menjadi kaharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekadar soal
praktek melainkan praktek yang berlandaskan dan bertujuan.Sedangkan landasamn dan
tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya filosofis normatif.Bersifat filosofis karena untuk
mendapatkan landasan yang kukuh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar,
sistematis, dan universal tentang diri hakiki manusia.Bersifat normative karena
pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuhkembangkan sifat hakikat manusia
tersebut sabagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan. Uraian
selanjutnya akan membahas pengertian sifat hakikat manusia dan wujud sifat hakikat
manusia.
I. Pengertian Sifat Hakikat Manusia
Sifat hakikat menusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara principal
(jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan.Meskipun antara manusia
dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dillihat dari segi biologisnya.
Bentuknya (misalnya orang hutan), bertulang belakang seperti manusia, berjalan
tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan dan menyusui anaknya, pemakan
segala, dan adanya persamaan metabolisme dengan manusia.Bahkan beberapa filosof
seperti Socrates menamakan manusia itu Zoon Politicon (hewan yang bermasyarakat),
Max Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke Tier (hewan yang sakit)
(Drikarkara, 1992:138) yang selalu gelisah dan bermasalah.
Kenyataan dan pernyataan ini dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira
bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan yang
dengan melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaannya, misalnya dengan air
karena perubahan temperatur lalu menjadi es batu. Seolah – olah dengan kemahiran
rekayasa pendidikan orang hutan dapat dijadikan manusia.Upaya menusia untuk
mendapatkan keterangan bahwa hewan tidak identik dengan manusia telah
ditemukan.Charles Darwin (dengan teori evolusinya) telah berjuang untuk menemukan
bahwa manusia berasal dari primat atau kera, tetapi ternyata gagal. Ada misteri yang
dianggap menyembatani proses perubahan dari primat ke manusia yang tidak sanggup
diungkapkan yang disebut The Missing Link yaitu suatu mata rantai yang putus. Jelasnya
tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk
ubah dari primat atau kera melalui proses evolusi.
II. Wujud Sifat Hakikat Manusia
Pada bagian ini akan dipaparkan wujud sifat hakikat manusia (yang tidak dimiliki
oleh hewan) yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme, dengan maksud menjadi
masukan dalam konsep pendidikan, yaitu:
a. kemampuan menyadari diri;
b. kemampuan bereksistansi;
c. pemilikan kata hati;
d. moral;
e. kemampuan bertanggung jawab;
f. rasa kebebasan (kemrdekaan);
g. kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak;
h. kemampuan menghayati kebahagiaan.
a. kemampuan menyadari diri;
Kaum rasionalisme menunjuk kunci perbedaan menusia dengan hewan pada adnya
kemampuan menyadari drii yang dimilki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan
menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya
(akunya) memiliki cir khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapt
membedakan drinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan dengan non-aku
(lingkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan, lebih dari itu
manusia dapat membuat jarka (distansi) dengan lingkungannya, baik berupa pribadi
maupun nonpribadi/benda. Orang lain merupakan pribadi-pribadi di sekitar, adapun
pohon, batu, cuaca, dan sebagainya merupakan lingkangan nonpribadi.
Kemampuan membuat jarka dengan lingkungannya berarah ganda yaitu arah keluar
dan arah kedalam.
Dengan arah keluar, aku memandang dan menjadikan lingkungan sebagai objek dan
aku memanipulasi ke dalam lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya.Puncak aktivitas
yang mengarah keluar ini dapat dipandang sebagai gejala egoisme.Dengan arah ke dalam,
aku memberi status keapada lingkungan (dalam hal ini kamu, dia, mereka) sebagai subjek
yang berhadapan dengan aku sbagai objek, yang isinya adalh pengabdian, pengorbanan,
tenggang rasa, dan sebagainya. Dengan kata lain aku keluar dari dirinya dan
menempatkan sebagai sesuatu yang terpuji. Di dalam proses pendidikan, kecenderungan
dua arah tersebut perlu dikembangkan secara berimbang. Pengembangan arah keluar
merupakan pembinaan aspek sosialitas, sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti
pembinaan aspek individualitas manusia.
Yang lebih istimewa ialah bahwa manusia dikaruniai kemampuan untuk membuat
jarak (distansi) diri akunya sendiri.Sungguh merupakan suatu anugerah yang luar biasa,
yang menempatkan posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk
menyempurnakan diri.Aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan berperan sebagai
subjek kemudian memandang dirinya sendiri sebagai objek.Untuk melihat kelebihan-
kelebihan yang dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang terdapat pada dirinya.Pada
saat demikian seorang aku dapat berperan ganda (sebagai subjek dan sekaligus sebagai
objek), suatuaktivitas yang tidak mudah untuk dilakukan.Bukankah pada suatu ketika
manusia dapat berperan sebagai polisi, hakim, atau pendidik atas dirinya, sebagai
pesakitan, terdakwa atau si terdidik. Lazim dikatakan bahwa peran yang paling besar
ialah menghadapi musuh yang ada did lam diri sendiri. Inilah manifestasi dari puncak
kakrakteristik manusia yang menjadikannya lebih unggul dari hewan. Drijarkar
(Drijarkara: 138) menyebut kamampuan tersbeut dengan istilah “meng-Aku” yaitu
kemampuan mengeksplorasi potensi-potensi yang ada pada aku, dan memahami potensi-
potensi tersebut sebagai kekuatan yang dapat dikembangkan sehingan aku dapat
berkembang kearah kesempurnaan diri. Kenyataan seperti ini mempunyai implikasi
pedagogis, yaitu keharusan pendidikan utnutk menumbuhkembangkan kemampuan
meng-aku pada peserta didik. Dengan kata lain pendidikan diri sendiri yang oleh
Langeveld disebut self forming perlu mendapat perhatia.
b. kemampuan bereksistansi
Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku dengan objek,
lalu melihat objek itu sebagai sesuatu.Berarti manusia itu dapat menembus atau
menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya.Kemampuan
menerobos itu bukan saja dalam kaitanya soal ruang, melainkan juga dengan waktu.
Dengan demikian manusia tidak terbelenggu oleh tempat atau ruang ini(disini) dan
waktu ini (sekarang), tapi dapat menembus ke”sana” dan ke ”masa depan” ataupun “masa
lampau”.kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan
bereksistensi. Justru karena manusia memiliki kemampuan bereksistensi inilah maka
pada manusia terdapat unsure kebebasan. Dengan kata lain, adanya manusia bukan “ber-
ada” seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, melainkan “meng-ada” dimuka bumi
(drijarkara,192:61-63). Jika seandinya pada diri manusia ini tidak terdapat kebebasan,
maka manusia itu tidak lebih dari hanya sekedar “esensi” belaka, artinya hanya sekedar
“ber-ada “ dan tidak pernah “meng-ada” atau “ber-eksistensi”. Adanya kemampuan
bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk human darihewan
selaku makhluk infrahuman, dimana hewan menjadi onderdil dari lingkungan, sedangkan
manusia menjadi manager terhadap lingkungannya .
Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar
belajar dari pengalamanya, belajar mengantisiasi suatu keadaan dan peristiwa, belajar
melihat prospek masa depan dari sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi kretif
sejak dari masa kanak-kanak.
c. Kata hati (Conscience of man)
Kata hati atau conscience of man juga sering disebut dengan istilah hait nurani,
lubuk hati, suara hati, pelita hati, dan sebagainya. Conscience ialah “ pengertian yang ikut
serta” atau “pengertian yang mengikut perbuatan”. Manusia memiliki pengertian yang
menyertai tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan
mengerti juga akibatnya (baik atau buruk) bagi manusia.
Dengan sebutan “pelita hati” atau “hati nurani” menunjukkan bahwa kata hati itu
adalah kemampuan pada diri manusia yang member penerangan tentang baik buruknya
perbuatannya sebagai manusia.
Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil
keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah ataupun kemampuan dlam
mengambil keputusan tersebut hanya dari sudut pandangan tertentu (misalnya sudut
kepentingan diri), dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam.Jadi, criteria
baik/benar dan buruk/salah harus dikaitkan dengan baik/benar dan buruk/salah bagi
manusia sebagai manusia.Drijarkara menyebutnya dengan baik yang integral.Sering
dalam mengambil keputusan orang mengalamikesulitan terutama jika harus mengambil
keputusan antara yang baik dengan yang kurang baik, atau antara yang buruk dengan yan
glebih buruk. Sulitnya, karena orang dihadapkan kepada sejumlah pilihan, untuk dapat
memilih alternatif mana yang terbaik harus berhadapan dengan kriteria serta kemampuan
analisis yang peru didukung oleh kecerdasan akal budi.
Orang yang memiliki kecerdasan akal budi sehingga mampu menganalisis dan
mampu membedakan yang baik/benar dengan yang buruk/salah bagi manusia sebagai
manusia disebut tajam kata hatinya.
Dapat disimpulkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan membuat keputusan
tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam
kaitan dengan moral (perbuatan), kata hati nerupakan “petunjuk bagi
moral/perbuatan”.Usha untuk mengubah kata hati yang tumpul menjadi kata hati yang
tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan forming).Realisasinya dapat ditempuh
dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi.Tujuannya agar orang memiliki
keberanian moral (berbuat) yang didasari oleh kata hati yang tajam.
d. Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka
yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalh perbuatan itu sendiri.
Di sini tampak bahwa masih ada jarak antara kata hati dengan moral.Artinya
seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum otomatis perbuatannya
merupakan realisasi dari kata hatinya itu.Untuk memjembatani jarak yang mengantarai
keduannya masih ada aspek yang diperlukan yaitu kemampuan.Bukankah banyak orang
yang memiliki kecerdasan akal tetapi tidak cukup memiliki moral (keberanian
berbuat).Itulah sebabnya maka pendidikan moral juga sering disebut pendidikan
kemauan, yang oleh M.J. Langeveld dinamakan De opvoedeling omizichzelfs wil.Tentu
saja yang dimaksud adalah kemauan yang sesuaidengan tuntutan kodrat manusia.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral yang sinkron dengan kata hati
yang tajam yaitu yang benar-benar baik bagi manusia sebagai manusia merupakan moral
yang baik atau moral yang tinggi (luhur).Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron dengan
kata hati yang tajam ataupun merupakan realisasi dari kata hati yang tumpul disebut
moral yang buruk atau moral yang rendah (asor) atau lazim dikatakan tidak bermoral.
Seseorang dikatakan bermoral tinggi karena ia menyatukan diri dengan nilai-nilai tinggi,
serta segenap perbuatannya merupakan peragaan dari nilai-nilai yang tinggi tersebut.
Etika biasanya dibedakan dari etiket.Jika moral (etika) menunjuk kepada perbuatan
yang baik/benar ataukah yang salah, yang berparikemanusiaan atau yang jahat, maka
etiket hanya dengan soal sopan santun.Karena moral bertalian erat dengan keputusan kata
hati, yang dalam hal ini berarti bertalian erayt dengan nilai-nilai, maka sesungguhnya
moral itu adalah nilai-nilai kemanusiaan.
e. Tanggung jawab
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan manuntut jawab,
merupakan pertanda dari sifat orangyang bertanggungjawab.Wujud bertanggungjawab
bermacam-macam.Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada
masyarakat, dan tanggung jawab kepada tuhan.Tanggung jawab terhadap diri sendiri
berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang
mendalam.Bertanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan norma-
norma sosial.Bentuk tuntutanya berupa sanksi-sanksi sosial seperti cemoohan
masyarakat, hukuman penjara, dan lain-lain.Bertanggung jawab kepada tuhan berarti
menanggung tuntutan norma-norma agama, misalnya perasaan berdosa, dan terkutuk.
Di sini tampak betapa eratnya hubungan antara kata hati, moral, dan tanggung
jawab.Kata hati memberi pedoman, moral melakukan, dan tanggung jawab merupakan
kesediaan menerima konsekuensi dari perbuatan.
Eratnya hubungan antara ketiganya itu juga terlihat dalam hal bahwa kadar
kesediaan bertanggung jawab itu tinggi apabila perbuatan sinkron dengan kata hati (yang
dimaksud kata hati yang tajam). Itulah sebabnya orang yang melakukan sesuatu karena
paksaan (bertentangan dengan kata hati) sering tidak bersedia untuk memikul tanggung
jawab atas akibat dari apa yang telah dilakukanya.
Dengan demikian, tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk
menentukan bahwa sesuatu perbuatansesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa
hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan, sehingga sanksi apa pun yang dituntutkan
(oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh norma-norma agama), diterima dengan penuh
kesadaran dan kerelaan. Dari uraian ini menjadi jelas betapa pentingnya pendidikan
moral bagi peserta didik baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
f. Rasa Kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatanya saling
bertentangan yaitu “rasa bebas” dan “ssuai dengan tuntutan kodrat mausia “ yang berarti
ada ikatan.
Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung dalam
keterikatan.Artinya bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan kodrat
manusia. Orang hanya mungkinmes=rasakan sdanya kebebasamn batin apabila ikatan-
ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan menjiwai segenap perbuatanya.
Dengan kata lain, ikatamn luar(yang membelenggu) telah berubah menjadi ikatan dalam
(yang menggerakkan). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa merdeka tidak sama
dengan berbuat bebas tanpa ikatan. Perbuatan bebas membabi buta tanpa memperhatikan
petunjuk kata hati, sebenarnya hanya merupakan kebebasan semu.Sebab hanyan
kelihatanya bebas, tetapi sebenarnya justru tidak bebas, karena perbuatan seperti itu
segera disusul dengan sanksi-sanksinya. Dengan kata lain kebebasan dimikian itu segera
akan diburu oleh ikatan-ikatan yang berupa sanksi-sanksi yang justru mengundang
kegelisahan. Itulah sebabnya seorang pembunuh yang habis membunuhn (perbuatan
bebas tanpa ikatan) biasanya berupayamati-matian menyembu nyikan diri (rasa tidak
merdeka).Disini terlihat bbahwa kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral.
Seseorang mengalami rasa medeka apabila segenap perbuatanya (moralnya) sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh kata hatinya------yaitu kata hati yang sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia,------karena perbuatan seperti itu tidak sulit atau siap sedia untuk
dipertanggung jawabkan dan tidak akan sedikitpun menimbulkan kekhawatiran (rasa
ketidakmerdekaan) implikasi pedagogisnya adalah sama dengan pendidikan moral yaitu
mengusahakan agar peserta didik dibiasakan menginternalisasikan nilai-nilai, aturan-
aturan kedalam dirinya, sehingga dirasakan sebagai miliknya. Dengan demikian aturan-
aturan itu tidak lagi dirasakan sebagai sesuat yang merintangi gerak hidupnya.
g. Kewajiban dan Hak
kewajiban dan hak adalah dua macan gejala yang timbul sebagai manifestasi dari
manusia sebagai makhluk social. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak
ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka
tentu ada pihaklain yang berkewajiiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pda saat itu
belum dipenuhi). Sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihak lain yang masih
kosong. Artinya meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang
mengetahuinya (misalnya hak memperoleh perlindungan hukum).Dan meskipun sudah
diketahui atau tidak, belum tentu orang mau mempergunakannya (misalnya hak cuti
tahunan).Namun terlepas dari persoalan apakah hak itu diketahui atau tidak, digunakan
atau tidak, dibalik itu tetap ada pihak yang berkewajiban untuk bersiap sedia
memenuhinya.
Dalam realitas hidup sehari-hari, umumnya hak di asosiasikan dengan sesuatu yang
menyenangkan, sedangkan kewajiban dipandang sebagai suatu beban.Benarkah
kewajiban menjadi beban manusia? Ternyata bukan beban melainkan suatu keniscayaan
(drijarkara,1978:24-27). Artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia dan mau
dipandang sebagai manusia, maka kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Sebab
jika mengelakkannya maka ia berarti mengingkari kemanusianya (yaitu sebagai
kenyataan makhluk social). Karena itu seseorang yang semakin menyatu dengan
kewajiban, nilai, dan martabat kemanusiaanya semakin tinggi di mata masyarakat.
Dengan kata lain, melaksanakan “kewajiban” itu adalah suatu keluhuran. Alangkah
luhurnya seorang guru yang melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya guru yang
melaksanakan kewajiban sebaiik-baiknya sebagai guru (tanpa pamrih). Seorang prajurit
yang melaksanakan tugas (kewajiban) sepenuhnya di medan perang adalah suatu
perbuatan luhur. Adanya keluhuran dari melaksanakan kewajiban itu menjadi lebih jelas
lagi apabila dipertentangkan dengan situasi yang sebaliknya, yaitu mengingkari janji,
melalaikan tugas, mengambil hak orang lain, dan sejenisnya.
Melaksankan kewjiban berarti terikat kepada kewjiban, tetapi anehnya—yang
sesungguhnya bukan keanehan – manusia memilihnya, mengapa?Sebabnya adalah bukan
karena melaksankan kewajiban berarti meluhurkan diri sebagai manusia.Atau merasa
baru manusia bila menaati kewajiban.Dengan demikian baru merasa lega, bebas atau
merdeka.
Dilihat dari segi ini, wajib bukanlah “ikatan”, melainkan suatu keniscayaan. Karena
wajib adalah keniscayaan, maka terhadap apa yang diwajibkan manusia menjadi tidak
merdeka. Mau atau tidak harus menerimanya.Tetapi terhadap keniscayaan itu sendiri
menusia bisa taat dan bisa juga melanggar. Is merdeka untuk memilihnya dengan
konsekuensi jika taat akan meningkat martabatnya sebagai manusia, dan jika melanggar
akan merosot martabatnya sebagai manusia.
Sudah barang tentu realisasi hak dan kewajiban dalam prakteknya bersifat relative,
disesuaikan dengan situasi dan kondisi.Sebab tak ada kewajiban untuk melaksanakan hal
yang mustahil (yang berada di luar sikon dan kemampuan). Kita sama mengetahui,
misalnya bagaimana realisasi hak asasi manusia atas pendidikan dan wajib belajar di
negara-negara yang sedang berkembang pada umumnya. Jadi, meskipun setiap
wargapunya hak untuk menikmati pendidikan, tetapi jika fasilitas pendidikan yang
tersedia belum memadai maka orang harus menerima keadaan realisasinya sesuai dengan
sikon.Hak yang secara asasi dimiliki oleh setiap insane serta sesuai dengan tuntutan
kodrat manusia disebut hak asasi manusia.
Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan.
Dalam hubungan ini mungkin dapat dikatakan bahwa keadila terwujud bila hak sejalan
dengan kewajiban. Karena pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh
situasi dan kondisi, yang berarti tidak seluruh hak dapat terpenuhi dan tidak segenap
kewajiban dapat sepenuhnya dilakukan, maka hak asasi manusia harus diartikan sebagai
cita-cita, aspirasi-aspirasi atau harapa-harapan yang berfungsi untuk memberi arah pada
segenap usaha menciptakan keadilan.
Kemampuan menghayati kewajiban sebagai keniscayaan tidaklah lahir dengan
sendirinya, tetapi bertumbuh melalui suatu proses. Usaha menumbuhkembangkan rasa
wajib sehingga dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan
disiplin.
Jika ada orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan disiplin dan tanggung
jawab belum sepantasnya diberikan kepada anak-anak sejak masih balita adalah
keliru.Benih-benih kedisiplinan dan rasa tanggung jawab seharusnya sudah mulai
ditumbuhkembangkan sejak dini, bahkan sejak anak masih dalam keranjang ayunan,
melalui latihan kebiasaan (habit forming) khususnya mengenai hal-hal yang nantinya
bersifat rutin dan dibutuhkan di dalam kehidupan. Disiplin diri mernurut Selo
Soemardjan (wawancara TVRI, Desember 1990) meliputi empat aspek, yaitu:
a. Disiplin rasional, yang bila terjadi pelanggaran menimbulkan rasa salah.
b. Disiplin social, jika dilanggar menimbulkan rasa malu.
c. Disiplin afektif, jika dilanggar menimbulkan rasa gelisah.
d. Disiplin agama, jika terjadi pelanggaran menimbulkan rasa berdosa.
Keempat macam disiplin tersebut perlu ditanamkan pada peserta didik dengan
disiplin agama titik tumpu.
h. kemampuan menghayati kebahagiaan
Kebahagiaan adalah suatu istilahyang lahir dari kehidupan manusia.Penghayatan
hidup yang disebut “kebahagiaan” ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi
tidak sulit untuk dirasakan.Dapat diduga, bahwa hampir setiap orang pernah menngalami
rasa bahagia.Untuk menjabarkan arti istilah kebahagiaan sehingga cukup jelas dipahami
serta memuaska semua pihak sesungguhnya tidak mudah. Ambillah missal tentang
sebutan: senang, gembira, bahagia, dan sejumlah istilah lain yang mirip dengan itu.
Sebagian orang mungkin menganggap bahwa seseorang yang sedang mengalami rasa
senang atau gembira itulah sedang mengalaami kebahagiaan.
Sebagian lagi menganggap bahwa rasa senang hanya merupakan aspek dari
kebahagiaan, sebab kebahagiaan sifatnya lebih permanent daripada perasaan senang yang
sifatnya lebih temporer. Dengan kata lain, kebahagiaan lebih merupakan integarsi atau
rentetan dari sejumlah kesenangan. Malah mungkin ada yang lebih jauh lagi berpendapat
bahwa kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya sebagai himpunan dari pengalaman-
pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebuh dari itu, merupakan integrasi dari
segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan, dan sejenisnya dengan pengalaman-
pangalaman oahit dan penderitaan. Proses integrasi dari kesemuanya itu (yang
menyenangkan maupun yang pahit) menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang
disebut “bahagia”.
Peliknya persoalan mungkin juga disebabkan oleh karena kebahagiaan itu lebih
dapat dirasakan daripada dipikirkan.Pada saat orang menghayati kebahagiaan, aspek rasa
lebih berperan daripada aspek nalar.Oleh karena itu dikatan bahwa kebahagiaan itu
sifatnya irasional. Padahal kebahagiaan karena aspek-aspek kepribadiaan yang lain
seperti akal pikiran juga ikut berperan.
Bukankan seseorang hanya mungkin menghayati kebahagiaan jika ia mengerti
tentang suatu yang sesuatu yang menjadi objek rasa bahagia itu? Juga orang yang sedang
terganggu pikiran atau tidak beres kesadarannya tidak akan sanggup menghayati
kebahagiaan. Di sini jelas bahwa penghayatan terhadap kebahagiaan itu juga didukung
oleh aspek nalar di samping aspek rasa.
Kepelikan lain lagi yang mungkin timbul ialah apabila kebahagiaan itu dipandang
sebagai suatu kondia atau keadaan (yaitu kondisi emosi yang positif) di samping sebagai
suatu proses. Di muka telah dijelaskan bahwa kebahagiaan itu merupakan suatu integrasi
pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dengan yang pahit antara perasaan dan
penalaran. Sekarang pengertian integrasi mencakup perpaduan proses dan hasilnya,
sehingga persoalan menjadi lebih pelik lagi.
Rangkaian kejadian yang di dalamnya tercemin kebahagiaan, misalnya seseorang
yang telah lulus dan mendapat gelar sarjana dengan predikat kelulusan yang baik, karena
mencapai IPK:3.8 (kebahagiaan). Setelah itu dengan masa menunggu sekitar satahun
(penderitaan) dapat diterima pada sebuah perusahaan kimia dengan gaji yang sangat
menggemmbirakan (kebahagiaan). Setelah dua tahun dinas ia mendapatkan kecelakaan
(penderitaan), karena mukanya terkena uap kimia yang menjdikan mukanya rusak
matanya buta (azab).
Sebuah kesimpulan yang dapat ditarik dari apa yang telah dipaparkan tentang
kebahagiaan ialah bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaanya sendiri
secara factual (lulus sebagai sarjana, mendapat pekerjaan dan seterusnya) ataupun pada
rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya tetapi terletak pada
kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-
hal tersebut di dalam rangkaian atau ikatan tiga hal yaitu : usaha, norma-norma, dan
takdir.
Yang dimaksud dengan usaha adalah perjuangan yang terus- menerus untuk
mengatasi masalah hidup.Hidup dengan menghadapi masalah itulah realitas hidup.Karena
itu masalah hidup harus dihadapi.Masalah hidup adalah sesuatu yang realitas, objektif,
bukan sesuatu yang dibuat-buat.Orang mengalami kebahagiaan bila bersedia menyerah
kepada objektivitas (Drijarkara).Kebahagiaan juga sesuatu yang realitis buakn dibuat-
buat. Orang yang menderita tidak dapat mengatakan kepada orang lain bahwa ia bahagia,
atau menunjukkan sikap atau lagak seolah-olah bahagia.
Selanjutnya usaha tersebut harus bertumpu pada norma-norma/ kaidah-
kaidah.Kebaagiaan adalah hidup yang tenteram.Hidup tenteram terlaksana dalam hidup
tanpa ada tekanan.Itulah hidup merdeka.Di muka sudah dijelaskan bahwa merdeka dalam
arti yang sebenarnya, bukan merdeka dalam arti bebas liar tanpa kendali yang justru
mengundang keonaran dan akhirnya tekanan-tekanan. Seseorang akan hanya merasa
merdeka dalam arti yang sebenarnya bila tidak merasakan adanya belenggu ikatan-ikatan,
paksaan-paksan dari aturan-aturan (norma-norma), yakni apabila ia telah menyatukan diri
dengan norma-norma kehidupan sehingga kehidupannya dan segenap sepak terjangnya
merupakan pancaran (personifikasi) dari norma-norma. Jadi kebahagiaan dicapai dengan
penyatuan diri dengan norma-norma (kaidah-kaidah hidup).Dilihat dari segi ini tampak
pula bahwa kebahagiaan bersifat individual karena derajat kebahagiaan sangat tergantung
kepada orang seorang.Kebahagiaan juga mengandung sisi social, karena norma-norma /
kaidah kaidah hidup selalu bersifat social.
Kemudian takdir-takdir merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dalam proses
terjadinya kebahagiaan. Komponen takdir ini erat berralian dengan komponen usaha.
Pepatah yang menyatakan “Manusia berusaha, Tuhan menyudahi”, harus diartikan
bahwa istilah takdir baru boleh disebut sesudah orang melakasanakan usaha samapi batas
kemampuan, kemudian hasilnya – sepadan atau tidak dengan yang diinginkan – diterima
dengan pasrah serta penuh kesyukuran. Kebahagiaan hanya dapat diraih oleh mereka
yang mampu bersyukur.Untuk itu kemampuan menghayati sangat diperlukan.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan
peningkatannya. Ada dua hal yang dapat dikembangkan, yaitu :kemampuan berusahadan
kemampuan menghayati hasil uasah dalam kaintanya dengan takdir.Dengan demikian
pendidikan mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk mencapaikebahagiaan,
utamanya pendidikan keagamaan.
Manusia adalah makhluk yang serba terhubung, dengan masyarakat,
lingkungannya, dirinya sendiri, dan Tuhan. Beerling mengemukakan sinyalemen
heinemannbahwa abad 20 manusia mengalami krisis total. Disebut demikian karena yang
dilanda krisis bukan hanya segi-segi tertentu dari kehidupan seperti krisis ekonomi, krisis
energi, dan sebagainya, melinkan yang krisis adalah menusianya sendiri (Beerling,
1951:43).
Dalam krisis total manusia mengalami krisis hubungan dengan masyarakat,
dengan lingkungan, dnegan dirinya sendiri, dan denganThuannya. Tidak ada pengenalan
dan pemahaman yang saksama terhadap dengan apa atau siapa ia berhubungan. Tidak ada
kemesraan hubungan dengan apa atau siapa ia berhubungan. Inilah bencana yang
melanda manusia sehingga manusia semakin jauh dari kebahagiaan.Kebahagiaan hanya
dapat dicapai apabila manusia meningkatkan kualitas hubungannya sebagai makhluk
yang memiliki kondisi serba terhubungdan dnegan memahami kelebihan dan
kekurangan-kekurangan diri sendiri.Kelebihannya alam menusia dapat memanfaatkannya
(mngeksplorasi) sembari peduli terhadap pelestarian dan pengembangannya.Terhadap
Tuhan manusia harus memahami ajaran-Nya serta mengamalkannya.
Dalam hungan ini, pendidikan mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk
menghantar peserta didik mencapai kebahagiaan, yaitu dengan jalan membantu mereka
meningkatkan kualitas hubungannya dengan dirinya, lingkungannya, dan Tuhannya.
Manusia yang menghayati kebahagiaan adalah pribadi manusia dengan segenap
keadaan dan kemampuannya. Manusia menhayati kebahagiaan apabila jiwanya bersih
dan stabil, jujur, bertanggung jawab, mempunyai pandangan hidup dan keyakinan hidup
dan keyakinan hidup yang kukuh dan bertekad untuk merealisasikan dengan cara yang
realities, demikian pandangan Max Scheler (Drijarkara, 1978:137-140).
Di samping itu, kepribadiaan harus serasi dan berimbang.Antara segenap aspek
kepribadian terdapat peirmbangan yang selaras.Begitu juga antara kemampuan rohani
dan jasmani, antara cipta, rasa, dan karsa, antara cita-cita dengan kemampuan
mencapainya, antara kemampuan berikhtiar dengan kesediaan menerima hasilnya.Jiwa
yang bersih stabil suasana hidup penuh kedamaian.Pendidikan dapat dimanipulasikan
untuk membina terbentuknya kepribadian yang demikian.
B. DIMENSI-DIMENSI HAKIKAT MANUSIA serta Potensi, Keunikan, dan Dinamikanya
Pada butir A telah diuraikan sifat hakikat manusia. Pada bagian ini sifat hakikat
tersebut akan dibahas lagi dimensi-dimensinya atau dititik dari sisi lain. Ada 4 macam
dimensi yang akan dibahas, yaitu:
1. Dimensi Keindividualan
2. Dimensi Kesosialan
3. Dimensi Kesusilaan
4. Dimensi Keberagaman
1. Dimensi Keindividualan
Lysen mengartikan individu sebagai “orang-seorang”, sesuatu yang merupakan
suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan
sebagai pribadi.(Lysen, individu dan Masyarakat:4). Setiap anak manusia yang dilahirkan
telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbedan dari yang lain, atau menjadi (seperti)
dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi.Demikian kata M.J.
Langeveld (seorang pakar pendidikan yang tersohor di negeri Belanda) yang mengatakan
bahwa setiap orang memiliki individualitas (M.J. langeveld, 1955:54). Bahkan dua anak
kembar yang berasal dari satu telur pun yang lazim dikatakan seperti pinang dibelah dua,
serupa dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa tetapi tidak sama, apalagi
identic. Hal ini berlaku baik pada sifat-sifat fisiknya maupun hidup kejiwaannya
(kerohaniannya). Dikatakan bahwa setiap individu bersifat unik (tidak ada tara dan
bandingannya). Secara fisik mungkin bentuk muka sama tetapi terdapat perbedaan
mengenai matanya. Secara kerohanian mungkin kapasitas intelegensinya sama, etapi
kecenderungan dan perhatiannya terhadap sesuatu berbeda. Karena adanya individualitas
itu penting setiap orang memiliki kehendak, perasaan cita-cita, kecenderungan, semangat,
dan daya tahan yang berbeda. Dalam hidup sehari-hari dua orang murid sekelas yang
mempunyai nama sama tidak pernah bersedia untuk disamakan satu sama lain. Pendek
kata, masing-masing ingin mempertahankan kekhasannya sendiri.Gambaran tersebut
telah ditemukan oleh Francis Galton seorang ahli biologi dan matematika inggris, dari
hasil penelitiannya terhadap banyak pasangan kembar satu telur.Ternyata tidak sepasan
pun yang identik.
Kecenderungan akan perbadaan ini sudah mulai tumbuh sejak seorang anak
menolak ajakan ibunya pada masa kanak-kanak. Perkembangan lebih lanjut menunjukkan
bahwa setiap orang memiliki sikap dan pilihan sendiri yang dipertanggungjawabkan
sendiri, tanpa mengharapkan bantuan orang lain untuk ikut mempertanggungjawabkan.
Kesanggupan untuk memikul tanggung jawab sendiri merupakan ciri yang sangat
esensial dari adanya individualitas pada diri manusia. M.j. langeveld menyatakan bahwa
setiap anak memiliki dorongan untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun di sisi lain
pada anak terdapat rasa tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain (pendidik) yang
dapat dijadikan tempat bergantung untuk memberi perlindungan dan bimbingan. Sifat-
sifat sebagaimana digambarkan di atas yang secara potensial telah dimiliki sejak lahir
perlu ditumbuhkembangkan melalui pendidikan, benih-benih individualitas yang sangat
berharga itu yang memungkinkan terbenutknya suatu kepribadian unik akan tetap tinggal
laten. Dengan kata lain kepribadian seseorang tidak akan terbentuk dengan semestinya
sehingga seseorang tidak memiliki warna kepribadiaan yang khas sebagai miliknya. Jika
terjadi hal yang demikian, seseorang tidak memiliki kepribaidan yang otonom dan orang
seperti ini tidak akan memiliki pendirian serta mudah dibawa oleh arus masa. Padahal
fungsi utama pendidikan adalah membantu peserta didik untuk membentuk
kepribadiannya, atau menemukan kediriannya sendiri.Pola pendidikan yang bersifat
demokratis dipandang sosok untuk mendorong bertumbuhnya dan berkembangnya
potensi individualitasnya potensi individualitas sebagaimana dimaksud.Pola pendidikan
yang menghambat perkembangan individualitas (misalnya yang bersifat otoriter) dalam
hubungan ini disebut pendidikan yang petalogis.Dalam pengembangan individualitas
melalui pendidikan tidak dibenarkan jika pendidik memaksakan keinginannya kepada
subjek didik. Tugas pendidik hanya menunjukkan jalan dan mendorong subjek didik
bagaimana cara memperoleh sesuatu dalam mengembangkan diri dengan berpedoman
pada prinsip ing ngarso sungtulodo, ing madya mengun karso, tut wuri handayani.
2. Dimensi Kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas. Demikian kata M.J. Langeveld
(M.J. Langeveld,1955:54). Pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap anak dikaruniai
benih kemungkinan untuk bergaul.Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang
pada hakikatnya di dalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima itu
dipandang sebagai kunci sukses pergaulan.Adanya dorongan untuk menerima dan
memberi itu sudah menggejala mulai pada masa bayi.Seorang bayi sudah dapat
menyambut atau menerima belaiam ibunya dengan rasa senang. Kemudian sebagai
balasan ia dapat memberikan senyuman kepada lingkungannya, khususnya pada ibunya.
Kelak jika sudah dewasa dan menduduki status atau pekerjaan tertentu, dorongan
menerima dan memberi itu berubah menjadi kesadaran akan hak yang harus diterima dan
kewajiban yang harus dilaksanakan untuk kepentingan pihak lain sebagai realisasi dari
memberi.
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan
untuk bergaul.Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu
dengan sesamanya.Betapa kuatnya dorongan tersebut sehingga bila dipenjarakan
merupakan hukuman yang paling berat dirasakan oleh manusia, karena dengan
diasingkan di dalam penjara berarti diputuskannya dorongan bergaul tersebut secara
mutlak.Masih banyak contoh-contoh lain yang menunjukkan betapa dorongan sosialitas
tersebut demikian kuat. Tanpa orang menyadari sebenarnya ada alas an yang cukup kuat.
Bukankah tidak ada orang yang dapat hidup tanpa bantuan orang lain? Kenyataan ini
tidak hanya berlaku pada bayi yang belum berdaya. Bantuan dari orang lain itu tetap
diperlukan pada masa anak, remaja, setelah dewasa, bahkan sampai kepada sisa-sisa usia
dalam kehidupan seseorang. Immanuel Kant seorang filosof tersohor bangsa jerman
menyatakan : manusia hanya menjadi manusia jika berada di antara manusia. Kiranya
tidak usah dipersoalkan bahwa tidak ada seorang manusia pun yang dapat hidup seorang
diri lengkap dengan sifat hakikatnya kemanusiaannya di tempat terasing yang
terisolir.Mengapa demikian?Sebabnya, orang hanya dapat mengembangkan
individualitasnya di dalan pergaulan social.Seseorang dapat mengembangkan
kegemarannya, sikapnya, cita-citanya di dalam interaksi dengan sesamanya. Seseorang
berkesempatan untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi sifat-sifat yang dikagumi
dari orang lain untuk dimilikinya, serta menolak sifat-sifat yang tidak dicocokinya.
Hanya di dalam berinteraksi dengan sesamanya dalam saling menerima dan memberi,
seseorang menyadari dan menghayati kemanusiaannya. Banyak bukti yang menunjukkan
bahwa anak manusia tidak akan menjadi manusia bila tidak berada di antara manusia,
antara lain cerita tentang manusia terpencil yaitu anak-anak yang diketemukan oleh
seorang pandita bangsa india yaitu Mr. Singh, dalam sebuah gua waktu ia berburu. Yang
besarberumur 8 tahun dan yang kecil berumur 1 ½ tahu . Yang kecil (amala) kemudian
meninggal, tetapi yang besar (kamala) mencapai usia 17 tahun pada waktu ditangkap dan
memperlihatkan segala tingkah laku seekor serigala (Mayor Polak, 1959:21).
3. dimensi kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih
tinggi.Akan tetapi, di dalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukp hanya berbuat
yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu mmisalnya terkandung kejahatan
terselubung.Karena itu maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan
arti menjadi kebaikan yang lebih.Dalam bahsa ilmiah sering digunakan dua macam istilah
yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan
etika (persoalan kebaikan).Kedua hal tersebut biasanya dikaitkan dengan persoalan hak
dan kewajiban seperti telah disinggung pada A.2 d).orang yang berbuat jahat berarti
melanggar hak orang lain dan dikatakan tidak beretika atau tidak bermoral. Sedangkan
tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika yang dilanggar ada orang lain
yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan
ketidaksenangan orang lain.
Sehubungan dengan hal tersebut ada dua pendapat, yaitu
a. Golongan yang menganggap bahwa kesusilaan mencakuo kedua-duanya.
Etiket tidak usah dibedakan dari arti etika karena sama-sama dibutuhkan
dalam kehidupan. Kedua-duanya bertalian erat.
b. Golongan yang memandang bahwa etiket peril dibedakan dari etika, karena
masing-masing mengandung kondisi yang tidak selamanya selalu sejalan.
Orang yang sopam belum tentu baik, dalam artitidak merugikan orang lain.
Sebaliknya orang yang baik belum tentu halus dalam pergaulan hidup, sedang
etika merupakan isinya. Kesopanan dan kebaikan masing-masing diperlukan
demi keberhasilan hidup dalam masyarakat.
Di dalam uraian ini kesusilaan diartikan mencakup etika dan etiket.Persoalan
kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai.Pada hakikatnya manusia memiliki
kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga
dikatakan manusia itu adalah makhluk susila.Drijarkara mengartikan manusia susila
sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai
tersebut dalam perbuatan.(Drijarkara, 1978:36-39).Niali-nilai merupakan sesuatu yang
dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna kabaikan, keluhuran,
kemuliaan dan sebagainya, sehingga dapat diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup.
Dilihat asalnya dari mana nilai-nilai itu diproduk dibedakan atas tiga macam, yaitu: Nilai
otonom yang bersifat individual (kebaikan menurut kelompok), dan nilai heteronom yang
bersifat kolektif (kebaikan dari kelompok) dan nilai keagamaan yaitu nilai yang berasal
dari tuhan. Meskipun nilai otonom dan heteronom itu diperlukan, karena orang atau
masyarakat hidup lekat dengan lingkungan tertentu yang memiliki sikon berbeda-beda,
namun keduanya harus bertumpu pada nilai theonom. Karena yang terakhir ini
merupakan sumber dari segenap nilai yang lain. Tuhan adalah alpha dan omega (pemula
dan tujuan terakhir).
Pemahaman dan Pelaksanaan Nilai
Selanjutnya, dalam kenyataan hidup ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai,
yaitu kesadaran dan pemahaman terhadap nilai dan kesanggupan melaksanakan
nilai.Idealnya keduanya harus sinkron.Artinya untuk dapat melakukan yang semestinya
harus dilakukan, terlebih dahulu orang harus mengetahui, menyadari, dan memahami
nilai-nilai.Dan apabila nilai sudah dipahami semestinya dilakukan.Tetap kenyataanya
tidak selalu demikian.Dalam praktek kehidupan sehari-hari banyak orang memahaminilai
bahkan mungkin mengetahuhi banyak hal, juga memiliki wawasa keilmuan yang cukup
luas, tetapi ternyata kurang atau tidak susila.Jadi, tidak secara otomatis orang yang telah
memahami nilai pasti melaksanakanya.Kejadian seperti ini sangat wajar, karena
memahami adalah kemampuan penalaran (kognitif), sedangkan bersedia melaksanakan
adalah sikap (kemampuan afektif), yang masing-masingmemiki kondisi yang
berbeda.Antara keduanya terdapat jarak yang perlu dijembatani.Dari memahami perlu
meyakini, untuk berikutnya menuju ke penginternalisasian (penyaturagaan) nilai-nilai
kemudian kemauan atau kesediaan untuk melaksanakan nilai-niali, baru sampai kepada
melakukanya.
Jangankan antara memahami dan melaksanakan yang rentanganya begitu jauh,
antara niat (kesediaan untuk melaksanakan)dengan perbuatan kesenjangan. Sering niat
baik sudah menggebu-gebu tetapi tidak sampai berkelanjutan pada perbuatan. Lazimnya
penilaian masyarakat terhadap kualitas kesusilaan seseorang tertuju kepada apa yang
dibuatnya dan tidak semata-mata pada apa yang diniatkannya, sehingga niat buruk yang
belum terlakukan (jika diketahui) sering masih dimaafkan.
Berdasarkan uraian tersebut maka pendidikan kesusilaan meliputi rentangan yang
luas penggarapanya, mulai dari ranah kognitif yaitu dari mengetahui sampai kepada
menginternalisasi nilai smpai kepada ranah afektif dari meyakini, meniati smpai kepada
siap sedia untuk melakukan.Meskipun demikian, tekananya seharusnya diletakkanpada
ranah afektif.Konsekuensinya adalah sering memakan waktu panjang dalam
pemrosesanya, berkesinambungan, dan memerlukan kesabaran serta ketekunan dari pihak
pendidik. Dimuka telah disinggung bahwa kesusilaan bertalian erat dengan kesadaran
akan kewajiban dan hak. Adanya perimbangan yang selaras antara melaksanakan
kewajiban dengan tntutan terhadap hak (to give and to take) didalam kehidupan
menggambarkan kesusilaan yang sehat.Didalam dunia pendidikan yang intinya adalah
peayanan, berlaku hokum “saya akan memberikan lebih daripada yang saya terima”.
Implikasi pedagogisnya ialah bahwa pendidikan kesusilaan berarti menanamkan
kesadaran dan kesediaan melakuka kewajiban disamping menerima hak pada peserta
didik.Pada masyarakat kita, emahaman terhadap hak (secara objektif rasional) masih
perlu ditanamkan tanpa mengabaikan kesadaran dan kesediaan melaksanakan kewajiban.
Hal penting, sebab kepincangan antara keduanya bagaimanapun juga akan mengganggu
suasana hidup yang sehat.
4. Dimensi Keberagaman
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religious. Sejak dahulu kala, sebelum
manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa diluar alam yang dapat dijangkau
dengan perantaraan alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang
menguasai idup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri
kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos.Misalnya untuk meminta sesuatu
dari kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan bermacam-macam upacara, menyediakan
sesajen-sesajen, dan memberikan korban-korban.Sikap dan kebiasaan yang membudaya
pada nenek moyang kita seperti itu dipandang sebagai embrio dari kehidupan manusia
dalam beragama.
Kemudian setelah ada agama maka manusia mulai menganutnya.Beragama
merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga
memerlukan tempat bertopang.Manusia memerlukan agama demi keselamatan
hidupnya.Dpat dikatakan bahwa agma menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat
menghayati agama mela.ui proses pendidikan agama. Ph.kohnstamm berpendapat bahwa
pendidikan agama seyogyanya menjadi tugas orang tua didalam keluarga, karena
pendidikan agama adalah persoalan efektif dan kata hati.Pesan-pesan agama harus
tersalur dari hati ke hati.Terpancar dari ketulusan serta kesungguhan hati orang tua dan
menembus ke anak.Dalam hal ini orang tualah yang paling cocok sebagai pendidik
karena ada hubungan darah dengan anak. Disini pendidikan agama yang diberikan secara
masal kurang sesuai (M.Thayeb,1972:14-15). Pendapat kohnstamm ini mengandung
kebenaran dilihat dari segi kualitas hubungan antara pendidik dengan peserta
didik.Disamping itu, juga penanaman sikap dan kebiasaan dalam beragana dimulai sedini
mungkin, eskipun masih terbatas pada latihan kebiasaan (habit formation).Tetap untuk
pengembangan pengkajian lebih lanjut tentunya tidak dapat diserahkan hanya kepada
orang tua.Untuk itu pengkajian agama secara masal dapat dimanfaatkan misalnya
pendidkan agama di sekolah.
Pemarintah dengan belandaskan pada GBHN memasukkan pendidikan agama
kedalam kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi (pelita
V).Disini perlu ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama melalui mata pelajaran
agama ditingkatkan, namun tetap harus disadari bahwa pendidikan agama bukan semata-
mata pelajaran agama yang hanya memberikan pengatahuan tentang agama.Jadi segi-segi
efektif harus diutamakan.
Disamping itu mengembangkan kerukunan hidup diantara sesama umat beragama
dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapat perhatian
(GBHN, Hal.134 butir a. 1).Kiranya tidak cukup jika pendidikan agama hanya ditempuh
melalaui pendidikan formal.Kegiatan didalam pendidikan non-formal dan informal dapat
dimanfaatkan untuk keperluan tersebut.
2. Gejala-gejala pendidikan dari berbagai segi kehidupan.
3. Pendidikan dan pengembangan jati diri.
Jati diri adalah merupakan gambaran yang dimiliki manusia mengenai pribadi dan
kemampuannya.Sudarmaji mengutip seorang sarjana antropologi Amerika Ralph
Linton tentang kepribadian menyatakan bahwa kepribadian itu secara primair adalah
suatu konfigurasi dari respon-respon yang dikembangkan oleh individu sebagai hasil dari
pengalamannya.Sebaliknya pengalaman itu adalah sebagai akibat dari hubungan timbal
balik dengan lingkungannya. Selanjutnya kutipan Sudarmaji (9173, 36) teori Alpert
Gordon W. Ph.D menunjukkan bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam
individu sebagai sistim psykofisis yang menentukan caranya yang khas dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, yang dimaksudkan adalah :
1. pernyataan organisasi dinamis, menekankan kenyataan bahwa kepribadian itu selalu
berkembang dan berubah, walaupun dalam pada itu ada organisasi sistem yang
meningkat dan berhubungan dengan komponen kepribadian.
2. Istilah psykofisis menunjukkan bahwa kepribadian bukanlah pula ekslusif (semata-mata)
neural, organisasi kepribadian melingkupi kerja tubuh dan jiwa (tak terpisah-pisahkan)
dalam kesatuan pribadi.
3. Istilah menentukan menunjukkan bahwa peranan aktif tenden-tenden determinasi yang
memungkinkan peranan aktif dalam tingkah laku individu. Kepribadian adalah sesuatu
kepribadian terletak dibelakang perbuatan khusus dan didalam individu. Dari apa yang
dikemukakan diatas itu nyata bagi Allport kepribadian bukanlah hanya susunan si
pengamat, bukan pula sesuatu yang ada selama ada orang lain yang bereaksi terhadapnya.
Jauh dari itu kepribadian mempunyai eksistensi riel termasuk juga seni neural dan
fisiologisnya.
4. Satu unsur lain yang penting dalam defenisi diatas adalah kata khas (unik) yang
menunjukkan tekanan utama yang diberikan oleh Allport
5. Dengan menyatakan menyesuaikan diri dengan lingkungan Allport menunjuk keyakinan
bahwa kepribadian meng-antarai individu dengan lingkungan fisis dan psykologisnya.
Jadi kepribadian adalah suatu yang mempunyai fungsi atau arti adaptasi dan menentukan,
Teori-teori kepribadian itu memang teoritis sekali, untuk seniman kreatif yang
sekedar ingin memahami, bahwa kerja yang berkepribadian dan dianggap baik itu yang
bagaimana ?. Jadi kepribadian yang kuat dalam proses interaksi antar pribadi (diri)
dengan lingkungannya tidak terlepas dari pengaruh, akan tetapi keterpengaruhannya
mempunyai ciri yang khas, sehingga dapat dengan mudah dibedakan antara kepribadian
yang satu dengan yang lainnya.
Dalam seni rupa banyak bentuk, sapuan kuas, dalam memilih tema dan
sebagainya.Primadi (1978) mengatakan bahwa didalam citra manusia memiliki tiga
kemampuan utama yaitu kemampuan fisik, kemampuan kreatif dan kemampuan rasio,
hanya berbeda dalam perimbangannya pada tiap manusia, karena tak ada duanya manusia
yang sama (persis).
Ketiga kemampuan tersebut adalah sebagai rusuk utama, dan perasaan gerak
imajinasi sebagai rusuk-rusuk alas (dasar) berpikir merenung, belajar yang menjadikan
satu kebulatan, suatu keseluruhan, suatu totalitas integrasi dari semua rusuk utama dan
rusuk dasar.
Tiap tindak manusia kecuali pada hakekatnya sedikit banyak merupakan integrasi
kerja sama dari rusuk-rusuk, terutama kemampuan kreatif, kemampuan fisik dan
kemampuan rasio. Jadi kemampuan utama dan rusuk dasar tidak dapat berdiri sendiri-
sendiri tanpa adanya keterkaitan dengan yang lain, yang akan menghasilkan kata hati
(intuisi ) yang bersifat individual dalam mempengaruhi aktifitas kegiatan dan
berpengaruh dalam pengalaman manusia sebagai pencerminan kepribadian, kemampuan
dan pengalaman.
Kedalaman intuitif intuisi dari integrasi keseimbangan tadi sering kita namakan
sebagai proses kreatif (kreasi). Dalam kaitannya dengan kreativitas dalam penciptaan
karya seni, sangat ditentukan oleh sifat-sifat pribadi seniman baik mengenai kepekaan
indrawinya terhadap alam maupun perasaan yang mendalam tentang yang baik dan
indaah dan kemampuan membentuk perasaan dan baham menjadi suatu karya seni
sebagai perwujudan jati diri.
4. Manusia : zoon politicon dan homo educable.
Aristoteles(384-322 sebelum masehi), seorang ahli fikir yunani menyatakan
dalam ajaranya, bahwa manusia adalah ZOON POLITICON, artinya pada dasarnya
manusia adalah makhluk yang ingin selalu bergaul dengan berkumpul dengan manusia,
jadi makhluk yang bermasyarakat .dari sifat suka bergaul dan bermasyarakat itulah
manusia dikenal sebagai makhluk sosial.
Aristoteles mendefinisikan manusia. Aristoteles, seorang filosof Yunani, terkenal
dengan gagasannya tentang manusia sebagai makhluk sosial; makhluk yang hidup
bersama manusia yang lain; makhluk yang ada dan berelasi dengan manusia lain. Bahwa
manusia itu makhluk sosial tidak hanya bermaksud menegaskan ide tentang kewajiban
manusia untuk bersosialisasi dengan sesamanya, melainkan ide tentang makhluk sosial
terutama bermaksud menunjuk langsung pada kesempurnaan identitas dan jati diri
manusia.Mengapa demikian?Sosialitas adalah kodrat manusia.Manusia tidak bisa hidup
sendirian. Manusia memerlukan manusia lain. Secara kodrati, manusia adalah makhluk
yang memiliki kecenderungan untuk hidup dalam kebersamaan dengan yang lain untuk
belajar hidup sebagai manusia. Manusia adalah makhluk yang mencari kesempurnaan
dirinya dalam tata hidup bersama. Manusia lahir, tumbuh dan menjadi insan dewasa
karena dan bersama manusia lain. Maka definisi manusia sebagai makhluk sosial secara
langsung bermaksud menegaskan bahwa hanya dalam lingkup tata hidup bersama
kesempurnaan manusia akan menemukan kepenuhannya. Hidup dan perkembangan
manusia, bahkan apa yang disebut dengan makna dan nilai kehidupan manusia hanya
mungkin terjadi dalam konteks kebersamaan dengan manusia lain. Makna dan nilai hidup
akan tertuang secara nyata apabila manusia mengamini dan mengakui eksistensi
sesamanya. Juga pemekaran sebuah kepribadian akan mencapai kepenuhannya jika
manusia mampu menerima kehadiran sesamanya.
Apa yang menjadi tujuan hidup bersama? Tujuannya adalah good life.Hidup
bersama ada secara natural karena masing-masing pribadi menghendakinya. Masing-
masing pribadi menghendakinya karena sadar bahwa kesempurnaan dirinya hanya
tercapai melalui kebersamaanya dengan manusia yang lain. Hidup bersama dengan
demikian bukan pertama-tama sebuah “gerombolan” tanpa tujuan, melainkan sebuah
kesatuan dan sistem yang terarah kepada kesempurnaan dan keutuhan masing-masing
individu.Hidup bersama ada pertama-tama untuk memenuhi kehendak dan tujuan setiap
pribadi manusia untuk menyempurnakan dirinya.Inilah yang dimaksud good life, yaitu
teraktualisasinya kesempurnaan hidup masing-masing manusia dalam konteks hidup
bersama.
Dalam pemikiran Aristoteles, manusia sebagai pribadi sungguh-sungguh
merupakan elemen yang sangat penting dan fundamental bagi tata hidup
bersama.Konsekuensi logis dari penegasan ini adalah bahwa setiap manusia harus
memiliki komitmen untuk memperhatikan sesamanya dan berupaya untuk memusatkan
diri pada mereka. Disposisi altruistis ini terutama dapat tercetus dari ketulusan dan
dedikasi setiap individu dalam memotivasi diri sendiri dan orang lain untuk secara terus
menerus mengupayakan hidup yang sempurna dan hidup yang selalu terarah pada apa
yang baik bagi sesamanya.
5. Outcome pendidikan : insan paripurna.
IQ, EQ, SQ, dan TI: MEMBENTUK INDIVIDU PARIPURNA
Konsep inteligensi telah lama mendominasi dan berpengaruh pada praksis dunia
pendidikan setelah dikaitkan dengan kemungkinan sukses tidaknya seseorang dalam
mengarungi bahtera kehidupan. Dari konsepsi ini, kemudian muncul apa yang disebut
dengan indeks inteligensi, intelligence quotient (IQ). Kerena dalam penilaiannya
mengikutkan faktor usia (cronological age), maka skor tes IQ dihitung dengan formula:
usia mental (mental age) dibagi usia kronologis dikalikan 100.
Nilai IQ telah lama dimitoskan dalam dunia pendidikan. Sebagaian besar orang
percaya bahwa IQ yang tinggi akan menjamin keberhasilan seseorang, baik di sekolah
maupun di dunia kehidupan nyata setelah menyelesaikan sekolah nanti.
Tidak dapat disangsikan lagi, bahwa awal abad ke-20, IQ menjadi isu besar dalam
dunia pendidikan.IQ merupakan ukuran kemampuan seseorang dalam mengingat serta
memecahkan persoalan dengan menggunakan pertimbangan logis, metodis, dan
strategis.Pertengahan tahun 90-an, Daniel Goleman mempopulerkan temuan para
neurosaintis dan psikolog tentang Emotional Intelligence (EQ). Dengan kecerdasan
emosional (EQ) membuat kita mengerti perasaan orang lain (other people’s feelings),
memberikan rasa empati, haru, motivasi, dan kemampuan untuk bisa merespon secara
tepat terhadap kebahagiaan dan kesedihan. Di samping itu, dikembangkannya EQ
merupakan sebuah kritik terhadap konsep lama yang mengatakan bahwa prestasi
merupakan hasil IQ.Padahal IQ tidak memadai untuk menjelaskan peristiwa yang
merupakan sebuah prestasi. Menurut penelitian di negara Barat, IQ hanya mampu
menyumbang 20% dari sebuah prestasi, sedangkan penelitian di Indonesia IQ
menyumbang 30%, selebihnya ditentukan EQ. Karena tinggi rendahnya EQ seseorang
dipengaruhi berbagai elemen, antara lain emotional awareness, self motivation, managing
self, managing emotion, dan social communication.
Sekitar awal Februari 2000, muncul sebuah buku karya Danah Zohar dan Ian
Marshall, SQ: Spiritual Quotient, The Ultimate Intelligence (Bloomsbury, 2000), yang
mempromosikan Spiritual Quotient, kemampuan untuk meraih nilai-nilai, pengalaman,
dan kenikmatan spiritual dalam kehidupan. SQ merupakan intelligence yang mampu
menampilkan sifat kreatif, memecahkan problem makna, dan menempatkan tindakan
pada meaning-giving context.Ia dapat memberikan nilai terhadap sesuatu dan mengatur
situasi (allowing human to guide the situation).
Pemikiran Zohar dan Marshall didukung hasil-hasil penelitian ilmiah dari para
peminat problem spiritualitas. Tercatat empat hasil penemuan pendukung konsep EQ
Zohar dan Marshall. Hasil penelitian Prof. VS Ramachandran, seorang neurolog dan
direktur di The Centre for Brain and Cognition Universitas Californio San Diego tahun
1977 menunjukkan adanya ‘God Spot’ (G-Spot) pada otak manusia. Hasil penelitian
Wolf Singer tahun 1990-an tentang adanya ‘Problem Ikatan’, Rodolfo Llinas
mengembangkan hasil penelian Singer pertengahan tahun 1990-an dengan menggunakan
teknologi MEG (Magneto Anchepalographic), serta penemuan Terrance Deacon,
neurolog dan antropolog biologi Havard (The Symbolic Species, 1997) tentang bahasa
sebagai representasi simbolik akan makna.
SQ dapat menimbulkan a sense of ‘something beyond’, melahirkan a sense of
‘some-thing more’ yang akan selalu menganugerahkan nilai tambah dan makna lebih di
mana pun kita berada. Orang yang memiliki SQ tinggi akan menjadi part of solution,
bukan part of the problem. Dapat dikatakan, SQ bisa menjadikan manusia sebagai
makhluk yang komplit atau insan kamil secara intelektual, emosional, dan
spiritual.Karena berbagai fungsi dan peran strategisnya itulah maka SQ disebut sebagai
the ultimate intelligence.
Fritjof Capra mensinyalir terjadinya pendulum balik (the turning point) terhadap
spiritualitas pada akhir abad ini, maka wujud spiritualitas itu kini masih berupa baju atau
kulit.Masyarakat belum sepenuhnya keluar dari weltanschaung modernisme.Oleh sebab
itu pemikiran tentang SQ merupakan rembesan dari nilai-nilai modernisme yang sekuler.
Modernitas dan sekularisme merupakan sebuah paradigma pemikiran Zohar dan
Marshall, bahkan berkali-kali ia mengatakan SQ has no necessary connection to religion.
Karena kecerdasan spiritual yang datang dari Barat ini lebuh menekankan pada makna
spiritual sebagai potensi khusus dalam jasad tanpa mengaitkan secara jelas dengan
kekuasaan dan kekuatan Tuhan.Mereka membedah kecerdasan spiritual dengan pusat
utamanya pada kekuatan otak manusia. Spiritual is not a religin. Inilah pemikiran yang
berkembang sejak zaman renaissance sebagai sebuah protes terhadap agama yang sering
menjadi simbol kekerasan dan permusuhan.Sikap ini bagaikan mereka berputar-putar di
seputar rumah Layla (Sang Kekasih), namun tak mau masuk dan bertanya dengannya.
TQ: TRANSCENDENTAL INTELLIGENCE
Menggunakan IQ, EQ, serta SQ sebagai pendekatan dalam penyelenggarakan
pendidikan sangat memungkinkan. Namun ketiga model pengembangan kecerdasan
tersebut belumlah cukup membentuk manusia cerdas, karena ternyata masih
menggunakan model paradigma pemikiran Barat, yang masih sekuler akibat modernisasi.
Kurang puas dengan model pembinaan pendidikan yang hanya menekankan
faktor intelektual, emosional, serta spiritualitas, maka pada pertengahan tahun 2001,
muncul buku KH Toto Tasmara Kecerdasan Ruhaniah, Transcendental Intelligence
(Gema Insani Press, 2001). Kehadiran buku ini seolah memberikan koreksi total terhadap
agenda pendidikan yang hanya menekankan aspek-aspek intelektual, emosional serta
aspek spiritualitas semata tanpa memperhatikan keagamaan formal seseorang.
Kemunculan buku KH Toto Tasmara tidak hanya sekadar mengintegrasikan
model pembinaan kecerdasan yang sudah ada dan telah lama dikenal masyarakat
luas.Namun TI atau Kecerdasan Ruhaniah mempunyai tesis lebih esensial, yang berusaha
membentuk kepribadian yang bertanggung jawab, profesional dan berakhlak.Karena
kecerdasan ruhaniah bertumpu pada ajaran mahabbah lillah, rasa cinta kepada Allah
sebagai kebenaran tertinggi, the ultimate truth.Cinta yang dimaksud adalah keinginan
untuk memberi dan tidak berpamrih untuk memperoleh imbalan (atau secara
ikhlash).Cinta bukan suatu komoditas, tetapi sebagai kepedulian yang sangat kuat
terhadap moral keagamaan dan kemanusiaan.Karena pesan-pesan yang disampaikan
dalam kecerdasan ruhaniah adalah dengan menggali intisari al-Quran dan al-Hadits.
Dengan kata lain, kecerdasan ruhaniah merupakan esensi dari seluruh kecerdasan yang
ada. Atau kesadaran spiritual plus.
Hasil penelitian Michael Persinger, seorang neuropsikolog dari Kanada dan Prof.
VS Ramachandran, seorang neurolog dari Universitas California menunjukkan adanya
‘God Spot’ (G-Spot) pada otak manusia. ‘G-Spot’ merupakan benda yang bersifat built-in
pada otak dan given pada kodrat insan.Ia berada di antara neural connections (hubungan
antar syaraf) yang terletak di temporal lobes pada otak manusia.
Temporal lobes yang menjadi tempat pada ‘G-Spot’ merupakan piranti otak yang
mampu mengenali berbagai fantasi mistis, out-of-the-body experiences. Peggy Ann
Wright telah melakukan penelitian mengenai hubungan antara proses meningginya
aktivitas temporal lobes dengan pengalaman shamanistik (shamanistic exsperiences).
Wright menunjukkan bahwa nyanyian atau alunan musik yang dipakai pada upacara
ritual mampu membangkitkan gairah dan menaikkan temporal lobes serta berbagai
jaringan yang berhubungan dengan limbic system (pusat memori dan emosi di otak
manusia). Ramachandran menyimpulkan: There may be dedicated neural machinery in
the temporal lobes (of quite normal people) concern with religion. The phenomenon of
religious belief may be ‘hard-wide’ in the brain. Jelas, ketiga ilmuwan berpendapat
bahwa ‘G-Spot’ memainkan peran esensial terjadinya pengalaman abnormal, atau
‘extraordinary.’
Teori tentang ‘G-Spot’, dalam agama Islam, barangkali bisa diperbandingkan
dengan kesaksian, pengakuan keilahian, atau perjanjian suci Tuhan dengan manusia di
Lauh al-Mahfudz ketika terjadi proses penciptaan manusia. ‘Alastu birabbikum?’
(bukankah Aku ini Tuhanmu?) tanya Allah, ‘Qaalu: Balaa syahidna (manusia berkata:
Ya, kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami).’ Apa indikasi kebenaran
terjadinya perjanjian itu, sehingga manusia bisa dituntut bila melanggarnya? Mungkin
penemuan ‘G-Spot’ ini adalah di antara jawabannya, karena ‘G-Spot’ menujukkan
keberadaan Allah.
Esensi ‘G-Spot’ berada pada potensi imajinasi kreatif, sehingga dengan
memberikan kejelasan arah kepada imajinasi kreatif ini maka kecerdasan ruhaniah
terbentuk. Seorang muslim yang cerdas secara ruhaniah adalah mereka yang
menampakkan sosok pribadi sebagai profesional berkahlak mulia, mereka memiliki life-
skill tinggi dalam mengarungi heterogenitas kehidupan, mereka mampu mengisi
kehidupan dengan penuh cinta kasih, dan menjadikan kehidupan penuh bertaburan
makna.
TQ: MEMBENTUK INSAN KAMIL
Pendidikan di Indonesia sekarang masih berorientasi pada pragmatisme,
diarahkan pada kepentingan penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas.Dengan
sumber daya manusia berkualitas, pembangunan dapat dilaksanakan secara akseleratif.
Sehingga konsepsi pendidikan belum mampu menyentuh dimensi kemanusiaan yang
paling human.Teori human capital yang dikembangkan Theodore W. Schultz
menyiratkan kesesuaian dengan realitas kondisi bangsa Indonesia.Teori ini bertolak dari
asumsi, bahwa manusia merupakan bentuk kapital sebagaimana bentuk-bentuk kapital
lainnya.
Keberhasilan pendidikan menurut teori human capital, diukur dari seberapa besar
rate of return pendidikan terhadap pembangunan ekonomi. Di sini pendidikan merupakan
sebuah proses kapitalisasi, di mana out-put-nya bisa terserap dalam industri dan pasaran
kerja, yang menuntut kemampuan penguasaan ketrampilan yang tinggi. Dengan konsepsi
pendidikan seperti ini, dengan sendirinya aspek humanistik dalam pendidikan menjadi
terabaikan.
Berbeda dengan Paulo Freire, yang secara filosofis memberikan dasar pemikiran
tentang pentingnya pendidikan sebagai penyadaran (awareness).Pentingnya penyadaran
ini karena manusia dalam dunia tidak sekadar hidup (to live), tetapi mengada atau
bereksistensi.Existencial-being, human-being, spiritual-being sampai pada religious-
being.Manusia bereksistensi berarti mampu berkomunikasi dengan dunia obyektif
sehingga memiliki kemampuan kritis.Dengan penjelasan ini Freire ingin memberikan
suatu afirmasi filosofis, bahwa manusia pada hakikatnya mampu melakukan transendensi
dengan semua realitas yang melingkupinya.Menurut eksistensialis Jerman, Karl Jaspers
sebagai ‘Yang mengelilingi segala sesuatu yang mengelilingi kita’ (‘das Umgreifende
alles Umgreifenden’).
Ali Syariati dalam buku Man and Islam (1982) melihat atribut yang melekat
dalam diri manusia, seperti kesadaran diri, kemauan bebas, dan kreativitas.Ketiga
dimensi fundamental inilah, manusia sering diistilahkan dengan insan, yang kemudian
dipertentangkan dengan konsep basyar, yaitu konsepsi manusia dalam wujudnya yang
bersifat fisiologis.
Kecerdasan ruhaniah mempunyai karakterisik utama, yaitu membuka kepada ide-
ide dan pencarian kebenaran.TI mengoptimalkan pembentukan al-insan al-kamil,
manusia paripurna. Memposisikan manusia yang diciptakan dalam keadaan fithrah yang
suci dan bernaluri hanifiyyah, kecenderungan alami untuk mencari dan memihak kepada
yang suci, sebagai seorang pencari kebenaran yang tulus dan murni (hanief), serta
seorang yang berhasrat untuk selalu pasrah kepada Kebenaran, yaitu Tuhan (QS Ali
Imron: 67). Tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual semata, emosional, spiritual
saja, namun yang paling penting adalah dimilikinya kecerdasan ruhaniah (Transcendental
Quotient).
Jadi sikap mencari Kebenaran secara tulus dan murni (hanifiyyah), adalah sikap
keagamaan yang benar, yang menjanjikan kebahagiaan sejati, dan tidak hanya spiritualis
ala Zohar-Marshall, yaitu menghibur secara semu, palsu, dan bersifat sementara. Karena
Nabi Muhammad pun telah menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-
hanifiyyat al-samhah, yaitu semangat mencari Kebenaran yang lapang dada, demokratis,
toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.
Erich Fromm, selaku psikoanalisis, memandang bahwa kesehatan jiwa bergantung
kepada sikap pemihakan kepada Kebenaran secara tulus, tanpa pembelengguan diri, dan
kepada semangat cinta sesama manusia, hal ini akan terasa sulit terjadi jika tidak
didasarkan atas kepercayaan akan adanya Yang Mahakasih. Cinta kepada Kebenaran
adalah juga cinta kepada Yang Maha Cinta, dengan sikap yang meluber kepada cinta
sesama manusia.Karena itulah, dalam sebuah al-Hadits, pernah Nabi Muhammad SAW
menegur ‘Utsman ibn Mazh’un karena telah menelantarkan diri sendiri dan
keluarganya.Sebab jika seseorang mempunyai hubungan cinta dari Tuhan (habl min al-
Lah) maka ia harus pula mempunyai hubungan dari sesama manusia (habl min an-nas).
Dua nilai hidup yang akan menjamin keselamatan manusia (QS Ali Imran: 112).
Cinta merupakan semangat regenerasi dari alam semesta yang mengungkapkan
misteri demi misteri kehidupan yang cenderung mempertuhankan akal dan nalar.Cinta
adalah kekuatan yang membuat pribadi seseprang makin semarak dan makin
konstan.Cinta mengangkat insan ke ketinggian sejati.Ia membuat manusia semakin
manusiawi.
Cinta juga merupakan fenomena kreatif yang melahirkan intensitas kesadaran
yang mengamankan keabadian manusia.Ia memadatkan emosi manusia danmembantu
mewujudkan ambisi-ambisi kehidupan yang luhur dan mulia. Makin dapal impak cinta
makin besar pula pemenuhan tujuan dalam kehidupan.Cinta mengilhami manusia untuk
menguasai alam semesta.Ia membuat manusia mampu bergerak untuk maju dan berbuat.
Dengan berpijak kepada konsepsi kecerdasan ruhaniah (TI), semua aspek
kecerdasan dibawahnya, pikiran, emosi, dan sipirtual bisa berkembang dengan
baik.Sebab TI mendasari konsepsinya dengan menggali sumber dari al-Quran dan al-
Hadits dalam membentuk insan kamil (fully function person).
DAFTAR PUSTAKA
Tirtarahardja, umar.dan La Sulo,S.L..2005.Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
top related