prosiding webinar - penguatan mekanisme anti-slapp dalam
Post on 25-Nov-2021
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PROSIDINGWEBINAR “PENGUATAN MEKANISME ANTI-SLAPP DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA”
PROSIDINGWEBINAR “PENGUATAN MEKANISME ANTI-SLAPP DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA”
Hari, tanggal : Senin, 30 Agustus 2021Pukul : 13.00 - 16.00
Pengantar Diskusi : Raynaldo G. SembiringModerator : Marsya M. Handayani
Narasumber: Laode Muhammad Syarif, S., LL.M., Ph.D.Prof. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.DI Gusti Agung Wardana, S.H., LL.M., Ph.D.Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum.
PROSIDING WEBINAR PENGUATAN MEKANISME ANTI-SLAPP DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA
Diterbitkan oleh:
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
Jl. Dempo II No. 21, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 12120, Indonesia
Phone: (62-21) 7262740, 7233390 | Fax: (62-21) 7269331
www.icel.or.id | info@icel.or.id
Isi dari publikasi ini adalah tanggung jawab penuh dari ICEL.
Pengutipan, pengalihbahasaan dan perbanyakan (copy) isi buku ini demi pembaharuan hukum
diperkenankan dengan menyebut sumbernya.
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| iii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
LATAR BELAKANG v
PENGANTAR DISKUSI ix
HASIL PEMAPARAN 1
01. LAODE MUHAMMAD SYARIF, S., LL.M,. Ph.D. 1
1.1 Rangkuman Pembahasan 1
1.2 Pembahasan 2
02. PROF. ANDRI GUNAWAN WIBISANA, S.H., LL.M., Ph.D. 7
2.1 Rangkuman Pembahasan 7
2.2 Pembahasan 8
03. I GUSTI AGUNG WARDANA S.H., LL.M., Ph.D. 15
3.1 Rangkuman Pembahasan 15
3.2 Pembahasan 15
04. PROF. DR. HARTIWININGSIH, S.H., M.Hum. 23
4.1 Rangkuman Pembahasan 23
4.2 Pembahasan 23
DISKUSI PEMAPARAN 31
ICEL – Indonesian Center for Environmental Law
iv |
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Cover Presentasi Laode M. Syarif 1
Gambar 2. Principle 10 Rio Declaration 3
Gambar 3. Principle 20 dan Principle 22 Rio Declaration 4
Gambar 4. UN Position of Environment and Human Rights 5
Gambar 5. Cover Presentasi Prof. Andri G. Wibisana 7
Gambar 6. Manual on Human Rights and the Environment (Council of Europe) 9
Gambar 7. Pembagian Hak menurut Sumud Atapattu & Andrea Schapper 10
Gambar 8. Pembagian Hak terkait Lingkungan 11
Gambar 9. Framework Principles on Human Rights and the Environment 11
Gambar 10. Laporan Margaret Sekaggaya Environmental Human Rights Defenders 12
Gambar 11. Beberapa SLAPP di Indonesia 14
Gambar 12. Cover Presentasi Prof. Hartiwiningsih 23
Gambar 13. Kerangka Hukum Perlindungan SLAPP 24
Gambar 14. Kerangka Hukum Anti-SLAPP di Beberapa Negara 25
Gambar 15. Dasar Hukum Penggalian Keadilan bagi Hakim 27
Gambar 16. Catatan mengenai Pembaruan UU 32/2009 27
Gambar 17. Usulan Pembaruan KUHAP (1) 28
Gambar 18. Usulan Pembaruan KUHAP (2) 28
Gambar 19. Usulan Perumusan Perma 29
Gambar 20. Usulan Perumusan Peraturan Internal Polri 29
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| v
LATAR BELAKANG INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW (ICEL)
Partisipasi publik merupakan salah satu pilar utama dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang baik.1 Lebih lanjut, partisipasi publik merupakan
bagian dari hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang berupa hak prosedural.2 Saat
ini, seseorang yang mempromosikan dan melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) yang
berhubungan dengan kenikmatan dari lingkungan hidup yang aman, bersih, sehat dan
berkelanjutan diakui sebagai pembela hak asasi manusia atas lingkungan atau
Environmental Human Rights Defender (EHRD) oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).3
Sayangnya, peran EHRD ini memiliki berbagai risiko (serangan fisik, digital, psikologis,
ekonomi, hukum) yang dapat mengganggu baik perlindungan dan pengelolaan
lingkungan maupun promosi dan perlindungan hak atas lingkungan hidup.
Lebih lanjut, adopsi Deklarasi tentang Pembela HAM 1998 telah menjadi tonggak dalam
pengembangan upaya untuk mengakui dan melindungi hak individu, kelompok, dan
komunitas untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak asasi manusia.4 Berbagai
tingkat pemerintahan dan berbagai aktor baik internasional maupun nasional telah
mengembangkan mekanisme dan peraturan perlindungan terhadap pembela Hak Asasi
Manusia.
Di Indonesia sendiri, pembelaan terhadap HAM dijamin dalam Pasal 28C ayat (2) UUD
1945. Partisipasi dalam pembelaan terhadap HAM juga dijamin dalam pasal 100
Undang-Undang No. 39 tahun 1999. Kemudian, perlindungan terhadap pembela HAM
secara umum di Indonesia diatur dalam Peraturan Komisi Nasional HAM No. 5 tahun
2015 tentang Prosedur Perlindungan Terhadap Pembela HAM. Secara khusus, pasal 66
Undang-Undang No. 32 tahun 2009 memberikan perlindungan hukum bagi pembela
HAM atas lingkungan dari serangan hukum, berupa tuntutan pidana ataupun gugatan
perdata. Serangan hukum ini dikenal sebagai Strategic Litigation Against Public
Participation (SLAPP) dan mekanisme perlindungannya dikenal sebagai anti-SLAPP.5
1 Prinsip 10 Deklarasi Rio
2 Jona Razzaque, ‘Information, Participation and Access to Justice’ dalam Shawkat Alam et al (eds)
3 Routledge Handbook of International Environmental Law (London: Taylor & Francis, 2012) hlm.137.
4 UN general assembly A/RES/53/144, 8 March 1999.
5 Anti SLAPP berkembang sejak tahun 1988 yang berangkat dari hasil observasi Pring dan Canan terhadap sejumlah kasus di Amerika dimana terdapat fenomena serangan hukum terhadap masyarakat sipil yang menyuarakan hak politiknya. Lihat George W. Pring, “SLAPPs: Strategic Lawsuits Against Public Participation”, 7 Pace Envtl.L.Rev.3, 1989, hlm. 1.
ICEL – Indonesian Center for Environmental Law
vi |
Sayangnya, mekanisme anti-SLAPP ini belum memiliki hukum acara yang komprehensif.
Mekanisme ini baru diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No.
36/KMA/SK/II/2013 (SK KMA 36/2013) tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan
Perkara Lingkungan Hidup.6
Lebih lanjut, fenomena SLAPP patut dikhawatirkan karena dapat membungkam dan
menurunkan kebebasan sipil dalam menyampaikan pendapat dan berpartisipasi dalam
proses pemerintahan yang menyangkut kepentingan publik.7 Hal ini karena SLAPP
merupakan pengalihan forum, dari forum publik menjadi forum hukum dan pengalihan
konflik dari konflik kepentingan publik menjadi konflik privat. Selain itu, SLAPP
berdampak pada masyarakat baik secara moneter, waktu, dan psikologis, serta kasus
kepentingan publik yang utama.8 Di samping itu, pembela HAM atas lingkungan
mendapatkan ancaman dalam bentuk lainnya, seperti serangan fisik maupun digital
yang belum termasuk dalam mekanisme anti-SLAPP. Terlebih, sekarang ini fungsi
partisipasi publik direduksi secara sistematis dalam hukum yang berlaku.9
Di sisi lain, kasus-kasus pelanggaran hak dan hukum ataupun serangan terhadap
pembela HAM atas lingkungan merupakan fenomena gunung es. Hal ini karena kasus-
kasus yang sampai pada putusan pengadilan dan terpublikasikan hanyalah puncak
gunung es yang terlihat. Banyak kasus-kasus yang tidak terpublikasikan yang disebabkan
oleh berbagai faktor. Sepanjang tahun 2020, Komnas HAM mencatat sebanyak 11 aduan
terkait kriminalisasi yang berasal dari individu, organisasi masyarakat sipil, lembaga
bantuan hukum, dan sebagainya. Sementara, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil untuk
Pembela HAM mencatat angka yang lebih tinggi, yakni 116 kasus selama periode
Januari-Oktober 2020.10 Sedangkan, ICEL mengidentifikasi ada 5 SLAPP yang telah
diputus, 2 kasus perdata dan 3 kasus pidana. Namun, dari 5 putusan tersebut11 hanya 2
6 SK KMA 36/2013 mengartikan Anti SLAPP sebagai perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup, gugatan SLAPP dapat berupa gugatan balik (gugatan rekonvensi), gugatan biasa atau berupa pelaporan telah melakukan tindak pidana bagi pejuang lingkungan hidup (misalnya, dianggap telah melakukan perbuatan “penghinaan” sebagaimana diatur dalam KUHP.
7 Pamela Shapiro, “SLAPPs: Intent or Content? Op. Cit., hlm. 16.
8 Penelope Canan and George W. Pring, “Studying Strategic Lawsuits against Public Participation: Mixing Quantitative and Qualitative Approaches” Law & Society Review, Vol. 22, No.2, 1988, hlm. 390.
9 ICEL, “Setelah UU Cipta Kerja: Meninjau Esensi Partisipasi Publik Dalam Amdal,” ICEL, 2020, hlm. 1.
10Ady Thea, “Catatan Minus Terhadap Perlindungan Pembela HAM,” https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5fcfb19c80b68/catatan-minus-terhadap-perlindungan-pembela- ham, diakses pada 9 April 2021.
11 Willy Suhartono melawan H. Rudy (Putusan PN: 177/Pdt.G/2013/ PN.Mlg dan MA: 2263 K/Pdt/2015), PT Bumi Konawe Abadi melawan Daeng Kadir dan Abdul Samad (Putusan No: 16/Pdt.G/2013/PN.Unh, 104/PDT/2014/PT.KDI, 1934K/Pdt/2015), Kriminalisasi Heru Budiawan/Budi Pego, Kriminalisasi Sawin,
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| vii
putusan yang mengimplementasikan anti-SLAPP dengan baik, yakni putusan PT Bumi
Konawe Abadi melawan Daeng Kadir dan Abdul Samad12 dan putusan lepas kriminalisasi
Robandi dkk.13 Adapula, kasus yang tidak jadi masuk ke pengadilan karena gugatan
dicabut, seperti gugatan PT Jatim Jaya Perkasa melawan Bambang Hero dan Nur Alam
melawan Basuki Wasis pada tahun 2018. Kasus-kasus yang disebutkan ini hanyalah
sebagai kecil dari yang sebenarnya terjadi, angka pasti SLAPP (kriminalisasi dan gugatan),
intimidasi ataupun bentuk pengekangan lainnya terhadap masyarakat dan pembela HAM
yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat diyakini masih lebih
banyak yang tidak tercatat. Tentunya situasi ini harus dipandang sebagai alarm bagi
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Lebih jauh lagi, maraknya serangan hukum terhadap pejuang HAM atas lingkungan ini
diduga karena masih adanya kelemahan dalam norma substantif dan prosedural Anti-
SLAPP. Sebagai contoh, penjelasan pasal 66 UU 32/2009 membatasi pemberian
perlindungan bagi masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat hanya kepada masyarakat yang telah menempuh proses persidangan. Padahal,
pelanggaran hak untuk berperan serta dapat terjadi juga kepada masyarakat yang
memperjuangkan hak atas lingkungan hidupnya tanpa menempuh proses persidangan.
Celah hukum lainnya terdapat dalam SK KMA 36/2013 yang memberikan ruang
penggunaan dalil Anti-SLAPP pada tahap pembelaan dalam perkara pidana dan harus
diputuskan dalam putusan sela. Hal ini problematis karena 1) pengajuan Anti-SLAPP
dalam tahap pembelaan sudah memasuki pokok perkara, sehingga tidak dapat diputus
terlebih dahulu dalam putusan sela; 2) penggunaan putusan sela terkendala hukum
acara, karena Anti-SLAPP bukanlah objek yang dapat diputus dalam putusan sela
menurut HIR, RBg, dan KUHAP.
Namun demikian, pada bulan Mei 2021, Pengadilan Tinggi Bangka Belitung berhasil
mengaplikasikan Anti-SLAPP dengan melepaskan 6 warga Kelurahan Kenangan,
Kecamatan Sungailiat, Bangka Belitung yang dikriminalisasi ketika melakukan partisipasi
publik atas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam putusan dengan
nomor perkara 21/Pid/2021/PT BBL. Putusan ini merupakan tonggak sejarah
kemenangan masyarakat pertama melawan SLAPP di ranah pidana, tidak hanya karena
menghentikan SLAPP tetapi juga memberikan pemulihan hak kepada korban SLAPP. Oleh
karena itu, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengadakan webinar yang
bekerja sama dengan Asosiasi Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (APHLI) untuk
mengarusutamakan mekanisme Anti-SLAPP dalam perlindungan HAM atas lingkungan
Nanto, Sukma (Putusan PN: 397/Pid.Sus/2018/PN.Idm), Kriminalisasi Robandi dkk (Putusan No: 454/Pid.B/2020/PN.Sgl, dan PT: 21/PID/2021/PT.BBL)
12 Putusan dengan nomor Pekara: 16/Pdt.G/2013/PN.Unh, 104/PDT/2014/PT.KDI, 1934K/Pdt/2015.
13 Putusan dengan nomor Pekara: 454/Pid.B/2020/PN.Sgl, dan PT: 21/PID/2021/PT.BBL.
ICEL – Indonesian Center for Environmental Law
viii |
melalui kajian dan suara akademisi. Webinar ini diselenggarakan pada Senin, 30 Agustus
2021 pukul 13.00-16.15 WIB dengan empat orang narasumber yang merupakan
pengajar hukum lingkungan.
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| ix
PENGANTAR DISKUSI Oleh: Raynaldo G. Sembiring - Direktur Eksekutif ICEL
Kegiatan Webinar “Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP dalam Sistem Hukum Indonesia”
merupakan kegiatan yang terlaksana atas dukungan dari Kemitraan Bagi Pembaruan
Tata Kelola Pemerintahan, dan juga bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum
Lingkungan Indonesia (APHLI) yang sejak beberapa lama mendiskusikan dan
merumuskan bagaimana kira-kira arah perkembangan perlindungan bagi pejuang
lingkungan kedepannya.
Diskusi mengenai Strategic Lawsuit Against Public Participation tidak hanya menyangkut
pejuang lingkungan saja tetapi juga menyangkut perlindungan terhadap kebebasan
berekspresi kita. Perlindungan terhadap partisipasi publik kita yang merupakan fondasi-
fondasi dasar bagi demokrasi lingkungan dan fondasi dasar dari hak-hak akses yang
ada di dalam Deklarasi Rio. Secara garis besar, hal ini menyangkut perlindungan hukum
untuk mendorong adanya pembaharuan hukum lingkungan yang lebih baik, dan
gambaran lebih besarnya lagi adalah perlindungan demokrasi Indonesia yang lebih baik
kedepannya.
SLAPP bukan hanya berbicara mengenai aktivis lingkungan saja tetapi juga berbicara
mengenai semua masyarakat Indonesia yang ingin menggunakan haknya yang telah
dijamin oleh Konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam beberapa kali
pekerjaan atau advokasi terhadap Anti-SLAPP yang sudah kita lakukan selama ini, sudah
banyak perkembangan yang terjadi. Mungkin Indonesia - di Asia Tenggara, selain Filipina
- termasuk Negara yang sudah cukup maju, dimana pengaturan SLAPP telah
diakomodasi di dalam:
• Undang-Undang;
• Pedoman yang dikeluarkan Mahkamah Agung, dan beberapa instansi penegak
hukum yang sedang mencoba mengakomodasi; dan
• Putusan Pengadilan terutama dalam konteks Peradilan Pidana yang sudah
mengakomodasi Anti-SLAPP dan memberikan perlindungan hukum bagi korban
dalam hal ini Pejuang Lingkungan.
SLAPP merupakan fenomena yang sangat mengkhawatirkan. Fenomena ini berkembang
sangat pesat di negara utara dalam konteks Keperdataan. Hal ini dikarenakan karena
SLAPP pada saat itu berkembang melalui gugatan-gugatan yang sifatnya sangat
fenomenal dan sangat fantastis angka-angkanya. Kemudian fenomena SLAPP juga
masuk ke Selatan di Asia Tenggara, dan paling marak kasus ini terjadi konteks Pidana.
Apabila kita melihat konteks di Filipina, Indonesia maupun negara-negara lainnya
ICEL – Indonesian Center for Environmental Law
x |
banyak sekali mekanisme-mekanisme upaya paksa, penangkapan atau proses-proses
hukum yang tidak layak yang digunakan untuk menghentikan atau membungkam
kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, atau partisipasi publik. Hal ini
menegaskan jika Anti SLAPP memiliki urgensi besar terutama dalam konteks hukum
Pidana dan tentu juga dalam konteks hukum Perdata.
Meskipun sudah banyak sekali masukan dan perkembangan penting yang dalam
perkembangan regulasi Anti-SLAPP, tetapi yang paling mendasar adalah bagaimana
memanfaatkan mekanisme yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana,
sehingga dapat dilakukan penghentian perkara baik sejak tahap yang paling hulu, yaitu
sejak tahap Penyidikan, Penuntutan. Tentunya kita tidak ingin SLAPP sampai masuk ke
dalam tahap Pengadilan, tetapi jika hal tersebut terjadi maka diharapkan juga bisa
diselesaikan di Pengadilan. Penting juga untuk memanfaatkan aturan-aturan atau norma-
norma yang sudah ada di dalam KUHP kita, dan ini penting untuk didiskusikan, misalnya
Anti-SLAPP dimasukkan atau dielaborasi dalam konteks dasar penghapus Pidana atau
tidak.
Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana memastikan agar Anti-SLAPP ini dapat
diperjuangkan oleh Pemerintah. Karena saat ini baru sektor Yudisial yang telah
mengakomodasi Anti-SLAPP, seperti Mahkamah Agung yang sudah memiliki pedoman
dan praktik baik dalam putusan, begitu juga di Kejaksaan sudah ada diskusi mengenai
hal tersebut. Pada dasarnya Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan memiliki agenda besar untuk mulai melindungi dan meningkatkan partisipasi
publik. Kita ketahui, jika sudah sejak lama terdapat Rancangan Peraturan Menteri tentang
Anti-SLAPP yang sampai sekarang kita masih menunggu bagaimana agar Rancangan
Peraturan Menteri ini bisa segera diundangkan. Walaupun kita sama-sama tahu banyak
aspek prosedural yang perlu diperkuat yang tidak bisa dilakukan hanya melalui
Rancangan Peraturan Menteri saja. Tetapi setidak-tidaknya, Rancangan Peraturan Menteri
ini bisa menjadi satu indikasi atau acuan awal bagi sektor-sektor atau Penegak Hukum
lainnya. Tentunya terdapat harapan besar agar Pemerintah melalui berbagai macam
institusi termasuk institusi di bidang Lingkungan Hidup untuk bisa terus melanjutkan
pembahasan - dan yang kami tahu masih terus dikerjakan - dan segera disahkan agar
instrumen ini bisa menjadi fondasi bagi perlindungan Partisipasi Publik dan perlindungan
Demokrasi Lingkungan di Indonesia.
I HASIL PEMAPARAN
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 1
01. Laode Muhammad Syarif, S., LL.M,. Ph.D. Direktur Eksekutif Kemitraan & Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
1.1 RANGKUMAN PEMBAHASAN
Topik: Anti SLAPP Dalam Hukum Lingkungan Nasional
• Perkembangan hukum lingkungan, sudah dilakukan dari tahun 70-an dan
berkembang setiap 10 tahun sekali. Dari yang awalnya menggunakan perspektif
yang sangat patriarkis menggunakan terminologi He/Man, kemudian mulai
berkembang menjadi lebih universal, yang kemudian juga mengakui adanya peran
perempuan hingga kaum-kaum minoritas lainnya.
• Pejuang lingkungan hidup/ environmental human rights defenders sudah diakui
oleh PBB. Dalam hal ini PBB menegaskan jika pejuang lingkungan hidup adalah
individu baik kelompok maupun secara personal yang melakukan perlindungan
dan mempromosikan lingkungan hidup dengan cara-cara yang damai sehingga
tidak dapat diserang baik intimidasi ataupun secara hukum.
Gambar 1. Cover Presentasi Laode M. Syarif
Pemaparan 01: Laode Muhammad Syarif, S., LL.M., Ph.D.
2 |
1.2 PEMBAHASAN
SOFT-LAW INTERNATIONAL INSTRUMENTS
Hak atas lingkungan bukanlah suatu hal yang baru, karena pada dasarnya hak atas
lingkungan sudah diakui sejak deklarasi 1972 yakni di dalam Declaration on the Human
Environment. Hal penting yang dikatakan di dalam pembukaan deklarasi ini adalah “both
aspects of man’s environment, the natural and the man-made are essential to his well-
being and the enjoyment of basic human right to life itself.” Salah satu hal yang perlu
disoroti dari deklarasi ini adalah nuansa antroposentris yang tercermin dari mulai judul
deklarasi ini, yaitu: “Declaration on the Human Environment”, yakni menggunakan frasa
“lingkungan manusia”. Hal ini memberi kesan seakan-akan spesies ataupun biodiversity
lain hanya merupakan pelengkap saja. Tetapi secara garis besar dokumen ini sebagai
dokumen awal sudah menyoroti “Perlindungan dan peningkatan lingkungan manusia”
adalah isu yang mempunyai dampak terhadap well-being manusia itu sendiri.
Selanjutnya apabila kita melihat Stockholm Declaration dinyatakan pula bahwa: “Man has
fundamental right to freedom ---”. Nuansa di dalam dokumen ini masih banyak
membicarakan laki-laki karena menggunakan pronouns “He” tidak ada “She”, bukan
“Human” tetapi “Man”. Namun secara umum, Deklarasi ini sudah memikirkan generasi
yang akan datang sebagaimana disebutkan di dalam ayat 2: “kita harus menjaga
lingkungan untuk generasi yang akan datang melalui planning yang sangat baik/teliti
(careful planning)”.
Selanjutnya 10 tahun kemudian - menarik jika kita mempelajari hukum lingkungan
Internasional, selalu 10 tahun. Berselang setelah 10 tahun di Stockholm, terdapat
pertemuan yang bernama 1982 World Charter for Nature. Pertemuan ini didukung oleh
34 Negara dari developing countries dan menghasilkan “World Charter for Nature 1982”.
Berbeda dengan Stockholm, kalimat-kalimat di dalam World Charter for Nature lebih
banyak memberikan obligation, responsibility, kepada warga negara dan orang.
Di dalam mukadimahnya dikatakan jika: “mankind sebagai bagian integral dari alam
yang hidupnya sangat tergantung dari fungsi yang tidak uninterrupted untuk supply ke
depan”. Di dalam dokumen ini bahasa yang digunakan tampak lebih gender inclusive.
Disebutkan jika Hak untuk berpartisipasi sudah ada di situ. Bahkan di Principle yang ke
24 disebutkan “each person” bukan lagi “each state”. Jadi kita semua ini orang-orang
memiliki hak untuk melakukan sesuai dengan ketentuan dalam charter ini baik secara
sendiri-sendiri maupun secara berkelompok untuk berpartisipasi di dalam “participation
in political process”. Sehingga Pemerintah tidak boleh dibiarkan menjadi satu-satunya
aktor yang berperan - tetapi each person - harus berpartisipasi dalam proses politik untuk
memastikan tujuan Charter ini tercapai.
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 3
Setelah itu 10 tahun kemudian, di tahun 1992 terdapat Rio Declaration. Berkaitan dengan
partisipasi terdapat di dalam Principle 10 yang sebagai berikut:
Gambar 2. Principle 10 Rio Declaration
Deklarasi ini mengatakan bahwa “At the national level, each individual shall have
appropriate access to information concerning the environment that is held by public
authorities, including information on hazardous materials and activities in their
communities, and the opportunity to participate in decision-making process”. Yaitu
“informasi yang berhubungan dengan bahan-bahan berbahaya atau aktivitas di dalam
komunitas mereka, dan hak untuk berpartisipasi dalam decision making process”. Bahkan
di dalam Prinsip 20 disebutkan terdapat penekanan jika Perempuan memiliki peran yang
vital dalam environmental development, dan selanjutnya di dalam Prinsip 22 Deklarasi ini
disebutkan pula mengenai peran dan partisipasi dari Indigenous Community. Berikut
merupakan isi dari Prinsip 20 dan 22:
Pemaparan 01: Laode Muhammad Syarif, S., LL.M., Ph.D.
4 |
Gambar 3. Principle 20 dan Principle 22 Rio Declaration
Berselang 10 tahun kemudian, di tahun 2002 terdapat Johannesburg Declaration.
Dimana Prinsip 26 deklarasi ini menegaskan bahwa “we recognize sustainable
development requires a long term perspective and broad-based participation in policy
formulation.”
HARD LAW INTERNATIONAL INSTRUMENTS
Apa yang sebelumnya dijelaskan merupakan instrumen yang bersifat soft law, dimana
kesemuanya berbentuk Deklarasi. Tetapi selanjutnya kata-kata yang tertuang di dalam
soft law tersebut diakui bahkan masuk di dalam konvensi-konvensi, misalnya pada UN
Convention on Biodiversity 1992. Indonesia sendiri sudah menandatangani instrumen ini.
Hal yang paling penting apabila dikaitkan dengan salah satu materi muatan Undang-
Undang Cipta Kerja misalnya adalah Pasal 14 di atas. Pasal tersebut mengatakan jika :
“introduce appropriate procedures requiring environmental impact assessment”, dimana
setiap yang berhubungan dengan analisis mengenai dampak lingkungan itu, harus
“allow for public participation”. Jadi kita harus dibolehkan atau dimintakan untuk
partisipasi publik. Bahkan, Pasal 6 UN Framework Convention on Climate Change
menyebutkan bahwa “ (ii) public access to information on climate change and its effect;
(iii) public participation in addressing climate change and its effect”. Dalam hal partisipasi
ini, negara harus mempromosikan bukan menghalangi. Sehingga kritik yang menyoroti
kinerja buruk pemerintah berkaitan dengan lingkungan tidak boleh dibungkam dengan
SLAPP.
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 5
Posisi PBB terhadap environment and human rights dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 4. UN Position of Environment and Human Rights
PBB menegaskan jika: “environmental human rights defender adalah orang-orang atau
grup orang yang dalam kapasitas personal maupun profesional melakukan - dengan
peaceful - melindungi dan mempromosikan human rights yang berhubungan dengan
lingkungan”. Sehingga di dalam dokumen ini dikatakan jika terhadap orang-orang atau
grup tersebut tidak boleh ada serangan, penyiksaan, intimidasi dan pembunuhan
terhadap pembela lingkungan. PBB mengadvokasikan setiap negara, atau aktor non
negara, termasuk dunia usaha untuk melindungi hak-hak lingkungan dan legal standing
masyarakat. Negara harus mendukung pula responsible management of natural
resources. Secara umum PBB Meminta kepada Pemerintah dan Perusahaan akuntabilitas
ketika ada Environmental Defenders yang diserang atau bahkan dibunuh.
Terakhir, Arhus Convention menjelaskan tiga pilar penting:
1. Akses Terhadap Informasi
2. Partisipasi Publik
3. Access To Justice
Hal-hal inilah yang harus didorong oleh Pemerintah Republik Indonesia jika Pemerintah
benar-benar ingin melindungi lingkungannya.
Pemaparan 01: Laode Muhammad Syarif, S., LL.M., Ph.D.
6 |
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 7
02. Prof. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D. Guru Besar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
2.1. RANGKUMAN PEMBAHASAN
Topik: HAM Atas Lingkungan dan Pembelaan HAM
• Kerusakan lingkungan hidup akan terjadi lebih parah di dalam konteks negara
yang perwujudan HAM nya belum sempurna.
• Terdapat banyak hak-hak asasi manusia yang terkait dengan lingkungan hidup
sebagaimana di highlight oleh John Knox. Oleh sebab itu negara mempunyai
kewajiban untuk memastikan lingkungan yang aman, bersih, sehat, dan
berkelanjutan untuk memenuhi kenikmatan HAM secara penuh.
• Telah terdapat banyak prinsip-prinsip yang mengakui perlindungan atas
Environmental Human Rights Defender baik dari PBB, UNEP, yang kemudian secara
konkrit diturunkan ke dalam prinsip-prinsip serta kewajiban negara untuk tidak
melanggar hak dari para pejuang HAM. Selain itu terdapat pula prinsip dimana
negara harus bertindak dengan layak untuk mencegah, menginvestigasi, dan
mengadili pelanggaran HAM yang terjadi.
• Dalam konteks Indonesia pelaksanaannya belum maksimal walaupun sudah
diakui perlindungan atas lingkungan hidup baik secara konstitusional maupun di
dalam undang-undang lingkungan hidup sendiri.
Gambar 5. Cover Presentasi Prof. Andri G. Wibisana
Pemaparan 02: Prof. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.
8 |
2.2 PEMBAHASAN
Hubungan keterkaitan antara isu Hak Asasi Manusia (HAM) dengan lingkungan adalah
kerusakan lingkungan menjadi lebih buruk ketika terjadi di Negara yang penghormatan
terhadap HAM-nya buruk. Perusakan lingkungan juga dianggap sebagai pelanggaran
HAM dan biasanya diikuti dengan pelanggaran HAM lainnya. Sehingga, pada satu sisi
perlindungan lingkungan dapat dianggap sebagai sebuah alat bagi terwujudnya
perlindungan HAM. Sedangkan di sisi lain, perlindungan HAM dapat menjadi cara yang
efektif untuk mewujudkan perlindungan lingkungan. Maka dari itu dapat disimpulkan jika
hubungan antara perlindungan lingkungan dan HAM bersifat Resiprokal.
Pada diskusi sebelumnya, telah dijelaskan mengenai Stockholm tahun 1972 dan ini
memang merupakan cikal awal pembicaraan mengenai HAM dalam hubungannya
dengan lingkungan hidup. Pada perkembangannya setelahnya terdapat pula usulan-
usulan, yang salah satunya dikemukakan oleh Rene Cassin. Cassin mengemukakan
bahwa perlindungan HAM bisa diperluas, dimana pada saat itu HAM hanya berkutat
pada Hak Politik atau Ekonomi, Sosial, Budaya. Perlindungan HAM ini diperluas sehingga
memasukkan “right to a healthful and decent environment”.
Kemudian berkembang pula usulan seperti yang diusulkan oleh Melissa Thorme yang
mengusulkan Hak Atas Lingkungan sebagai HAM Generasi Ketiga. Tujuannya adalah
dengan diakuinya HAM generasi ketiga - hak atas lingkungan - itu mendapat jaminan
perlindungan lingkungan dan adanya kewajiban untuk melindungi lingkungan secara
global, baik generasi sekarang ataupun yang akan mendatang. Hal ini juga diusulkan
oleh Steve Turner yang mengatakan jika dimasukkannya hak atas lingkungan sebagai
HAM akan memungkinkan perlindungan lingkungan di posisi yang sama. Sehingga
memainkan Trump Effect, yaitu membuat kepentingan lingkungan sejajar dengan hak
lainnya dan akan mengalahkan kepentingan lain yang belum dianggap sebagai hak
asasi manusia.
Namun ada banyak kritik terhadap hal ini, diantaranya adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Dinah Shelton, yaitu:
• Ditambahkannya jenis hak baru dikhawatirkan akan mengganggu pelaksanaan
hak lain yang sudah diakui sebagai HAM
• Hak atas lingkungan yang baik sulit terlaksana, karena sulit untuk menentukan
standar minimum secara universal. Karena dalam hal ini akan ada standar untuk
menentukan kualitas lingkungan hidup yang baik yang sehat itu seperti apa.
Karena kita kesulitan menentukan itu, maka dianggap akan sulit untuk
dilaksanakan
• Antroposentris. Dalam hal ini, hak asasi manusia bagaimanapun juga bersifat
antroposentris karena cakupannya adalah hak dari manusia.
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 9
Terlepas dari kritik-kritik itu, usulan-usulan tentang hak lingkungan sebagai HAM itu
berkembang di seluruh dunia. Bahkan apabila mengutip tulisan dari David Boyd, terdapat
ratusan negara yang sudah mengadopsi hak atas lingkungan yang baik di dalam
konstitusinya, sebagai hak konstitusional atau hak asasi manusia (termasuk Indonesia).
Terdapat beberapa pandangan yang melihat jika kita tidak perlu untuk memfokuskan
pada hak atas lingkungan sebagai hak sendiri yang terpisah. Pandangan semacam ini
bukan berarti tidak ada jaminan bagi seseorang atau bagi kita untuk memperjuangkan
lingkungan hidup yang baik. Karena Lingkungan hidup yang baik bisa diperjuangkan
dan dipertahankan melalui existing, yaitu hak-hak yang sudah ada baik di hak sipil politik
maupun ECOSOC.
Khusus di Eropa, European Convention on Human Rights tidak memiliki pasal yang khusus
mengenai lingkungan hidup. Tetapi apakah isu lingkungan hidup menjadi tidak bisa
dibawa di pengadilan HAM Eropa? Ternyata tidak. Terdapat beberapa putusan yang
menggunakan hak-hak yang sudah ada. Berikut merupakan bentuk-bentuk hak yang
dapat dipakai:
Gambar 6. Manual on Human Rights and the Environment (Council of Europe)
Penggunaan hak-hak tersebut justru diadopsi di dalam banyak putusan terkait lingkungan
di Eropa. Terdapat beberapa contoh diantaranya yang paling terkenal adalah Lopez
Ostra V. Spain Judgement of December 9, 1994, Case No. 41/1993/436/515.
Pada dasarnya beberapa HAM yang telah ada memang dapat dipakai dalam konteks
lingkungan hidup. Tetapi persoalannya adalah di dalam beberapa kasus di Eropa,
penggugat haruslah individu yang benar-benar terdampak atas pelanggaran HAM, hal
ini dikarenakan tidak adanya actio popularis di dalam European Convention on Human
Pemaparan 02: Prof. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.
10 |
Rights. Dalam beberapa kasus, ketika beberapa organisasi mengajukan keberatan dan
gugatan tersebut berkaitan dengan lingkungan hidup, dimana ia sendiri tidak terkena
dampak justru berakhir ditolak oleh pengadilan.
Untuk dapat mengetahui letak hak atas lingkungan, kita dapat melihat Pembagian Hak
yang juga dikemukakan oleh Sumudu Atapattu & Andrea Schapper. Ia membagi hak
menjadi 2 yaitu hak substantif dan hak prosedural sebagai berikut:
Gambar 7. Pembagian Hak menurut Sumud Atapattu & Andrea Schapper
Khusus untuk Right To A Health Environment , David Boyd (yang merupakan Special
Rapporteur UNHCR), di dalam laporannya membagi Right To A Health Environment ke
dalam:
• Substantive Elements
• Procedural Elements
Kita juga dapat melihat Pembagian Hak paling baru sebagaimana dikemukakan oleh
Pierre-Marie Dupuy dan Jorge Vinuales, dimana ia membagi rights to environment
menjadi:
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 11
Gambar 8. Pembagian Hak terkait Lingkungan menurut Pierre-Marie Dupuy dan Jorge Vinuales.
Lalu bagaimana hubungannya pembagian hak yang telah dikemukakan oleh beberapa
ahli sebelumnya dengan Human Rights Defender? Ulasan mengenai kaitan antara
pembagian hak dan Human Rights Defender diantaranya dapat merujuk pada Special
Rapporteurs oleh John Knox, mengenai “Framework Principles on Human Rights and the
environment”. Berikut merupakan beberapa kutipan mengenai beberapa prinsip yang
relevan:
Gambar 9. Framework Principles on Human Rights and the Environment
Pemaparan 02: Prof. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.
12 |
Terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan, yakni sebagai berikut:
• Framework Principle 1 dan Framework Principle 2, mengindikasikan 2 hal:
1. Lingkungan yang bersih merupakan hal yang penting (necessary) bagi
terpenuhinya hak asasi manusia secara utuh.
2. Terpenuhinya hak asasi manusia termasuk kebebasan untuk menyatakan
pendapat, berkumpul, memperoleh pendidikan, dan berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan merupakan hal yang vital.
• Framework Principle 4 menyatakan jika negara harus menyediakan lingkungan
yang aman dan memungkinkan bagi individu atau kelompok masyarakat untuk
bekerja dalam konteks hak asasi manusia dan lingkungan hidup, sehingga mereka
dapat beroperasi bebas dari ancaman intimidasi dan kekerasan.
• Framework Principle 5 menyatakan negara harus melindungi kebebasan
berpendapat, berkumpul dan dalam hubungannya dengan lingkungan. Dalam
komentarnya John Knox mengatakan jika negara harus menjamin hak-hak tersebut
dilindungi. Apakah ketika mereka dalam konteks prosedur pengambilan keputusan
ataupun di luar itu, keduanya harus dilindungi. Juga tanpa melihat pendapat
masyarakat/orang itu merupakan pendapat yang mendukung atau oposisi dari
proyek yang dilakukan oleh negara.
Kemudian hal ini memiliki keterkaitan dengan Environmental Human Rights Defender,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Margaret Sekaggaya di dalam laporannya sebagai
berikut:
Gambar 10. Laporan Margaret Sekaggaya mengenai Environmental Human Rights Defenders.
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 13
Dalam laporan tersebut Sekaggaya mengemukakan jika:
1. Human Rights Defender secara keseluruhan memiliki kebebasan untuk menentang
proyek-proyek pembangunan dan juga bebas dari restriksi. Jika terdapat restriksi
yang dilakukan, hal itu harus berdasarkan dengan undang-undang yang berlaku.
2. Negara memiliki kewajiban untuk tidak melakukan pelanggaran hak dari para
pejuang HAM. Di sisi lain mereka juga harus bertindak dengan layak untuk
mencegah, menginvestigasi dan mengadili pelaku pelanggaran HAM sesuai
dengan apa yang disebutkan di dalam Human Rights Defenders. Kemudian
negaralah yang memikul tanggung jawab utama untuk melindungi individu
termasuk Human Rights Defenders.
Berkaitan dengan Environmental Human Rights Defender, pada tahun 2010 disepakati
Bali Guidelines for the Development of National Legislation on Access to Information, Public
Participation in Decision-making and Access to Justice in Environmental Matters.
Penjelasan dari UNEP di tahun 2015 khusus untuk guideline nomor 9 menggaris bawahi
perlindungan terhadap Environmental Human Rights Defenders. Guideline nomor 9
mengatakan bahwa: negara harus sebisa mungkin melakukan upaya untuk mencari
partisipasi publik secara aktif dalam cara yang transparan dan konsultatif. Untuk
menjamin bahwa pandangan dari masyarakat akan diberikan kesempatan untuk
mengutarakan pendapat mereka.
Dalam konteks Indonesia sendiri, Hak atas Lingkungan Hidup merupakan hak
konstitusional. Hak ini dijamin di dalam konstitusi. Undang-Undang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) juga menjelaskan jika lingkungan hidup yang
baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional. Kemudian perwujudan dari
hak atas lingkungan yang merupakan hak asasi dan hak konstitusional diwujudkan pula
di dalam pasal 65 UU PPLH.
Pasal yang paling penting apabila kita mendiskusikan mengenai SLAPP adalah, pasal 66
yang menyebutkan jika: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.
Tetapi pada pelaksanaannya, perlindungan yang sudah dimuat di dalam hukum
internasional ataupun nasional lumpuh pada praktiknya. Hal ini dapat terlihat dari
preseden beberapa kasus yang terjadi sebagai berikut:
Pemaparan 02: Prof. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.
14 |
Gambar 11. Beberapa SLAPP di Indonesia.
Secara keseluruhan dapat dikatakan jika tuduhan-tuduhan terhadap pejuang lingkungan
sebagaimana contoh di atas bersifat trivial. Tetapi, hal tersebut tetap saja merupakan
ancaman yang menunjukkan jika seseorang bisa dipidana karena ia menolak
pembangunan yang merusak lingkungan. Sehingga dapat disimpulkan jika perlindungan
terhadap hak atas lingkungan hidup dan juga terhadap pejuang lingkungan dalam
tataran pelaksanaannya belum tentu sama baiknya dengan norma. Oleh sebab itu
dibutuhkan peraturan/pedoman pelaksanaan jaminan EHRD.
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 15
03. I Gusti Agung Wardana S.H., LL.M., Ph.D. Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
3.1 RANGKUMAN PEMBAHASAN
• Penyerangan, intimidasi, dan pembungkaman terhadap pembela lingkungan
dalam kepustakaan hukum lingkungan populer dikenal sebagai SLAPP
sebagaimana diperkenalkan oleh Pring dan Canan. Pring dan Cannan dalam
bukunya membatasi karakteristik SLAPP sebagai civil complaint atau counterclaim.
• Penggunaan istilah SLAPP dan intimidasi hukum digunakan oleh Pemateri secara
bergantian. Sebagaimana gagasan Pemateri yang menawarkan untuk mengganti
frasa “lawsuit” yang berkarakter private menjadi frasa “litigation” sehingga
membuka kemungkinan bahwa penyerangan terhadap pembela lingkungan itu
bisa dilakukan oleh entitas private maupun entitas publik yang dalam hal ini adalah
negara baik menggunakan Perdata, Pidana maupun Administratif. Hal inilah yang
merupakan kelemahan dari Pasal 66 UUPLH, karena tidak mencakup administratif.
• 95% dari SLAPP atau legal intimidation yang dilakukan di Indonesia menggunakan
prosedur Pidana, 5% lainnya melalui prosedur perdata.
3.2 PEMBAHASAN
Penyerangan, intimidasi, dan pembungkaman terhadap pembela dalam kepustakaan
hukum lingkungan populer dikenal sebagai SLAPP, sebagaimana diperkenalkan oleh
Pring dan Canan. Pring dan Canan dalam bukunya membatasi karakteristik SLAPP
sebagai civil complaint atau counter claim. Artinya intimidasi hukum tersebut berada di
ranah Perdata, sebagaimana terjadi di Amerika Serikat pada saat itu. Istilah melawan
partisipasi publik itu mereka gunakan karena penyerangan terhadap pembela lingkungan
bertentangan dengan apa yang disebut dengan petition clause sebagaimana diakui di
dalam konstitusi Amerika Serikat. Dimana warga negara punya hak konstitusional untuk
berpartisipasi dalam kehidupan politik negara dan bahkan mengajukan petisi kepada
Pemerintah. Exercise terhadap hak untuk mengajukan petisi ini dibungkam (bisa
menggunakan defamation atau libel) maka tindakan pembungkaman ini oleh Pring dan
Canan dikonstruksikan sebagai SLAPP.
Selanjutnya ada pula karya Fiona Donson yang mencoba melihat secara komparatif
intimidasi hukum di Amerika Serikat, karena dia ada di Inggris. Ia memilih untuk
menggunakan istilah legal intimidation bukan SLAPP. Hal ini dikarenakan bagi Donson,
di Kanada dan di Inggris, pembela lingkungan yang melakukan advokasi isu lingkungan
untuk kepentingan publik tidaklah menggunakan petition clause sebagai landasan
Pemaparan 03: I Gusti Agung Wardana, S.H., LL.M., Ph.D.
16 |
haknya. Dikarenakan petition clause sendiri tidak diakui dalam konstitusi Kanada dan
Inggris. Namun ia menggunakan basis hak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
menyatakan pendapat dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini tentu
memiliki karakter berbeda dengan petition clause sebagaimana konsepsi SLAPP yang
digunakan awalnya oleh Pring dan Canan. Karena perbedaan basis inilah Donson
mencoba memperluas jangkauan SLAPP yang awalnya berbasis petition clause menjadi
legal intimidation untuk memasukkan intimidasi atas kebebasan berekspresi dan
menyatakan pendapat. Akan tetapi bentuk penyerangan terhadap pembela lingkungan
yang masuk ke dalam intimidasi hukum masih sama sebagaimana bentuk intimidasi
hukum yang diperkenalkan melalui SLAPP oleh Pring dan Canan, yakni melalui ranah
Perdata.
Dalam konteks geografi karya Pring dan Canan serta Donson, berfokus pada intimidasi
hukum di negara-negara utara atau negara-negara maju. Nikhil Dutta kemudian
mencoba untuk melihat fenomena SLAPP di negara berkembang. Ia mempertahankan
istilah SLAPP namun memperluas bentuk intimidasinya dengan memasukkan prosedur
pidana khususnya defamation atau pencemaran nama baik. Karena defamation bisa
menggunakan prosedur Pidana di beberapa negara misalkan India. Walaupun dia
memperluas cakupannya ke unsur Pidana ia membatasi khusus kepada Pidana yang
memiliki nuansa private disitu dan itu dilakukan oleh Private Entity bukan oleh negara.
Karena ia ingin mempertegas jika SLAPP ini bukan merupakan intimidasi atau represi oleh
negara. Persamaan dari ketiga karya tersebut adalah mereka melihat intimidasi hukum
dimana entitas penyerangnya adalah entitas Privat yang terganggu oleh kerja-kerja
advokasi yang dilakukan oleh pembela lingkungan. Hal inilah yang perlu direfleksikan
apakah tepat atau tidak di Indonesia.
Dalam hal ini Pemateri menggunakan istilah SLAPP dan intimidasi hukum ini secara
bergantian dikarenakan sebagaimana di salah satu tulisan Pemateri yang menawarkan
untuk mengganti frasa “lawsuit” yang berkarakter private menjadi frasa ‘litigation’
sehingga membuka kemungkinan bahwa penyerangan terhadap pembela lingkungan itu
bisa dilakukan oleh entitas private maupun entitas publik yang dalam hal ini adalah
negara baik menggunakan Perdata, Pidana maupun Administratif. Hal inilah yang
menjadi kelemahan dari Pasal 66, karena tidak mencakup administratif. Padahal apabila
kita mempelajari SLAPP yang terjadi di negara lain seperti Filipina, prosedur administratif
juga digunakan untuk menyerang pembela lingkungan, misalnya dilakukan dengan
melakukan red-tagging terhadap organisasi pembela lingkungan dalam bentuk tuduhan
sebagai organisasi yang berafiliasi kepada terorisme, separatisme, dll dan ini bisa
berakibat pada pencabutan badan hukum organisasi tersebut.
Perluasan makna ini menjadi penting karena represi negara bisa mengambil banyak
bentuk, salah satunya represi negara ini menggunakan prosedur hukum. Ini bisa kita
maknai sebagai SLAPP. Pejuang lingkungan dalam hal ini mengacu pada setiap orang
yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 17
Berkaitan dengan metodologi, pemaparan yang dikemukakan oleh Pemateri berangkat
dari data berupa 55 kasus yang saya kategorikan sebagai intimidasi terhadap pembela
lingkungan atau SLAPP dalam arti luas. Kasus yang saya gunakan terjadi dalam rentang
waktu 2011-2021. Alasan penggunaan 2011 sebagai baseline adalah dikarenakan saya
ingin melihat intimidasi hukum setelah berlakunya UUPPLH. Dari Kasus-kasus tersebut
Pemateri mencoba untuk melakukan telaahan, yakni sebagai berikut:
1. Prosedur Pembungkaman Yang Dilakukan
2. Geografi Kasus
3. Sektor
4. Jenis Kejahatan Yang Dituduhkan
5. Hasil
55 Kasus ini tentu tidak merepresentasikan seluruh SLAPP di Indonesia. Hal ini
dikarenakan mungkin kasusnya tidak terekspos ke media dan internet, atau tidak
terungkap.
ANATOMI INTIMIDASI HUKUM (SLAPP) DI INDONESIA SEPANJANG TAHUN 2011-2021
Apabila dicermati, berkaitan dengan prosedur Pemateri menemukank beberapa catatan
sebagai berikut:
• 95% dari SLAPP atau legal intimidation yang dilakukan di Indonesia menggunakan
prosedur Pidana.
• Hanya 5% yang menggunakan prosedur Perdata di Indonesia. Mungkin ada lebih,
namun karena keterbatasan data, saya hanya bisa mengidentifikasi 5% saja yang
menggunakan Perdata.
• Khusus untuk prosedur Perdata yang saya cermati seluruhnya menggunakan Pasal
1365 KUH Perdata sebagai dasar hukum untuk mengganti rugi atas advokasi
kerja-kerja Pembela Lingkungan. Hasilnya sebagian besar ditolak oleh hakim
karena lemahnya hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian. Namun
ada juga gugatan yang dicabut oleh penggugat sendiri setelah melalui proses
mediasi dan tekanan publik, misalnya dalam kasus PT Jatim Jaya Perkasa.
• Hasil SLAPP dengan prosedur Perdata nampaknya berbanding lurus dengan
temuan Pring dan Cannan di Amerika Serikat dan Donson di Kanada. Dimana 80%
SLAPP di Amerika ditolak dan di Kanada hampir seluruh gugatan SLAPP di Kanada
menurut Donson ditolak karena tidak memiliki substantive merit.
Pemaparan 03: I Gusti Agung Wardana, S.H., LL.M., Ph.D.
18 |
Sebaran Geografi SLAPP di Indonesia cukup merata di beberapa region, dimana SLAPP
di Jawa paling banyak terungkap di Media. Sedangkan kasus yang terjadi di daerah
Maluku dan di Papua tidak ditemukan datanya. Terdapat beberapa faktor yang mungkin
memengaruhi hal ini, diantaranya adalah hal ini bisa saja memilik kaitan dengan
pembatasan arus informasi dengan kondisi HAM yang terjadi di wilayah tersebut.
Berkaitan dengan sektor terjadinya SLAPP, Pemateri menemukan jika sektor kehutanan
dan perkebunan masih menjadi yang paling banyak terjadinya intimidasi hukum,
mencapai 40% dari kasus yang diteliti oleh Pemateri.
Adapun beberapa tindakan yang dituduhkan kepada pembela lingkungan hidup ialah,
sebagai berikut; ada pembela lingkungan yang dijerat mengenai tuduhan memberikan
ancaman terhadap keamanan negara, penghinaan terhadap simbol negara, kejahatan
terhadap kepentingan dan ketertiban umum, kejahatan terhadap kemerdekaan orang,
pencurian, pemerasan, pengancaman, kejahatan terhadap pertambangan, ITE,
kejahatan terhadap kerusakan barang, hingga kejahatan mengenai migrasi; contohnya
dalam kasus seorang jurnalis Mongabay yang dideportasi karena melakukan reportase
mengenai isu-isu agraria di Indonesia. Yang menarik adalah kejahatan terhadap
ketertiban umum menjadi kejahatan yang dituduhkan kepada pembela lingkungan. Hal
ini terjadi ketika pejuang lingkungan sebagian besar melakukan pembelaan lingkungan
dengan cara protes. Demonstrasi, blokade, maupun aksi-aksi langsung. Bentuk-bentuk
ini sangat rentan untuk disusupi dan diinfiltrasi oleh pihak-pihak tertentu yang kemudian
memicu terjadinya kebakaran misalnya. Hal ini menunjukan bahwa pembelaan terhadap
lingkungan terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan cenderung ditempuh
dengan aksi-aksi ekstra legal, yang kemudian ditafsirkan oleh aparat penegak hukum
sebagai partisipasi atau aksi yang tidak dilindungi oleh UU PPLH. Dalam penjelasan Pasal
66 UU PPLH, terdapat frasa “secara hukum”, yang ditafsirkan secara sempit, jadi
menimbulkan kesan bagi para aparat penegak hukum bahwa apabila terdapat keberatan
terhadap aktivitas lingkungan hidup, dapat ditempuh secara hukum. Sehingga aksi-aksi
demonstrasi, blokade, tidak dianggap dilindungi dalam UU PPLH.
Dari proses prosedur pidana yang digunakan, 70% kasus intimidasi hukum yang
menggunakan prosedur pidana diputus bersalah; mulai dari pidana penjara 7 bulan
sampai 4 tahun. Penjara paling berat cenderung dijatuhkan pada tindak pidana yang
termasuk sebagai tindakan yang mengancam keamanan dan ideologi negara. Dalam
beberapa kasus, memang penasihat hukum terdakwa misalnya dalam kasus tiga (3)
warga Alas Kumbuh yang dituduh menghadang kendaraan tambang yang didakwa
dengan Pasal 162 UU Minerba, mengajukan pembelaan menggunakan Pasal 66 UU
PPLH, anti-SLAPP. Namun sayangnya Hakim sama sekali tidak mengindahkan. Kemudian
terdapat sebanyak 11% kasus yang dinyatakan dilepas di mana salah satunya
menggunakan argumen mengenai anti-SLAPP, yakni kasus yang menimpa warga
Kenanga, Bangka Belitung.
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 19
Selain itu, terdapat pula sebanyak 10 kasus yang di-pending, kasus yang kemudian
menggantung status tersangka tanpa kejelasan. Kemudian, hal ini perlu dilihat sebagai
suatu strategi yang merupakan bentuk-bentuk intimidasi yang terus terjadi, untuk
“menyerang” psikologis tersangka, dan bisa digunakan sewaktu-waktu oleh Penyidik
apabila yang bersangkutan masih menggunakan langkah-langkah advokasi; jadi jika
nanti dibutuhkan dipakai lagi. Di sini lah bentuk intimidasinya terus terjadi, terdapat
chilling effect yang terus terjadi sebagai dampaknya.
Ada pula dua tersangka pembela lingkungan yang meninggal dunia di dalam tahanan.
Kemudian ada sebanyak 6% kasus yang masih dalam proses termasuk yang terbaru,
terjadi di Pekalongan karena dua warga dituduhkan melakukan pencemaran.
Terdapat beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari temuan tersebut. Pertama, hakim
perdata dapat menolak gugatan mengenai SLAPP; biasanya dikarenakan kedua belah
pihak adalah entitas privat. Sehingga, Hakim lebih bebas dan tidak berada di bawah
tekanan dan dapat lebih leluasa menggunakan ketentuan Anti-SLAPP.
Kedua, dalam SLAPP yang menggunakan prosedur hukum pidana, peranan alat negara
terlihat lebih dominan hal ini dibuktikan dengan tuduhan kejahatan dilakukan mengenai
hal-hal yang menyangkut keamanan negara dan mengganggu ketertiban umum, serta
ideologi negara. Jika dibandingkan dengan kejahatan terhadap barang dan orang.
Kejahatan yang dianggap termasuk dalam kejahatan terhadap keamanan negara dan
ketertiban umum, simbol dan ideologi negara, merupakan kejahatan yang menjadi
domain bagi APH untuk kemudian melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat, atau
dapat dikatakan juga bahwa APH melakukan monopoli tafsir mengenai ancaman
terhadap ideologi dan ancaman mengenai keamanan negara dan ketertiban umum.
Artinya, SLAPP di Indonesia merupakan intimidasi hukum dimana terlihat bahwa negara
menjadi aktor utama, mungkin ini yang dalam istilah Jawa biasa disebut dengan, “nabok
nyilih tangan” yang berarti menabok dengan tangan orang lain, dimana korporasi yang
merasa dirugikan dengan kerja-kerja advokasi pembela lingkungan kemudian
“meminjam” tangan negara untuk membalas dan membungkam advokasi.
Masih berkaitan dengan poin yang kedua tadi, kejahatan terhadap keamanan dan
ketertiban negara, cenderung diputus lebih berat dari kejahatan lain. Hal ini mungkin
disebabkan bahwa kejahatan ini memiliki dimensi politis. Contohnya dalam kasus Budi
Pego, Majelis Hakim kemudian menambah pidana penjara Budi Pego menjadi 4 tahun.
Terakhir, adanya budaya-budaya hukum di kalangan Hakim dalam melakukan
penalaran hukum dalam membuat putusan. Dalam SLAPP di ranah pidana, Hakim
cenderung melakukan isolasi dari permasalahan pokoknya, yang sebenarnya menjadi
penyebab. Penalaran yang memiliki isolasi ini kemudian menyebabkan tidak
diuraikannya permasalahan pokok dengan penyebabnya. Misalnya, demonstrasi yang
berujung perusakan yang seharusnya dilihat sebagai excess dari tersumbatnya saluran
Pemaparan 03: I Gusti Agung Wardana, S.H., LL.M., Ph.D.
20 |
demokrasi, yang mana sistem politik representatif tidak menyalurkan aspirasi masyarakat
yang menjadi korban pencemaran dan kerusakan lingkungan, alhasil karena
tersumbatnya saluran informasi dan demokrasi, maka masyarakat yang menjadi korban
menggunakan saluran yang mereka anggap mampu bisa didengarkan oleh kekuasaan.
Ini kemudian mengingatkan kita pada kutipan Martin Luther King Jr. bahwa “riot is the
language of the unheard” atau “kerusuhan adalah bahasa dari suara yang tidak
terdengar.” Mereka memilih cara-cara mereka untuk didengarkan, mereka tidak memiliki
jalan lain selain menggunakan cara-cara yang mereka anggap bisa didengarkan.
Berangkat dari temuan tersebut, saya mencoba menawarkan beberapa hal mengenai
Anti-SLAPP di Indonesia. Pertama, tentunya mengenai penguatan konseptual yang belum
dilakukan di Indonesia, yang secara khusus membahas mengenai pendekatan apa yang
kita gunakan untuk mengatur mekanisme Anti-SLAPP. Secara literatur, ada dua
pendekatan yang bisa digunakan; pertama, pendekatan subjektif yang menekankan
pada pihak yang ditarget; kedua, pendekatan substantif, dimana perlu dilihat apakah
substansi terkait memiliki substantive merits.
Menurut saya, di Indonesia, pendekatan substantif lebih mudah dilakukan karena dapat
mendeteksi secara dini dugaan adanya SLAPP. Apabila korbannya adalah pembela
lingkungan atau korban kerusakan atau pencemaran lingkungan, maka sudah bisa
dikategorikan SLAPP tanpa harus memeriksa lagi merit dari kasus.
Sementara, pendekatan konseptual memerlukan pendefinisian komprehensif apa yang
disebut dengan legitimate exercise of crime atau dalam penjelasan Pasal 66 apa itu cara
hukum. Sehingga, ini bisa menjadi pelajaran bagi aparat penegak hukum agar tidak
salah menafsirkan hukum, untuk memastikan apakah pelaksanaan hukum sesuai dengan
koridor hukum atau tidak.
Kemudian, pertanyaan mengenai legitimate exercise of crime sering diajukan kepada
pengadilan untuk mempertanyakan apakah pejuang lingkungan telah melakukan kerja-
kerja advokasi sesuai dengan koridor hukum atau tidak? Yang kemudian akan menjadi
penentu apakah mereka akan dilindungi dengan ketentuan Anti-SLAPP atau tidak.
Contohnya, dalam meminta pendapat ahli dalam SLAPP di Banyuwangi, terdapat
beberapa pertanyaan Hakim dan JPU seperti: “Apakah penghadangan truk dapat
dikatakan sebagai partisipasi publik dalam pengelolaan lingkungan?” Inilah yang
kemudian perlu menjadi diskusi, apakah yang termasuk partisipasi publik dan dilindungi
dalam perkara lingkungan, mana yang SLAPP dan bukan. Jadi, praktiknya bisa semakin
dipersempit di lapangan untuk mengatasi APH yang cenderung konservatif.
Kemudian, penguatan institusional diperlukan adanya sistem deteksi dini. Misalnya
kelembagaan yang menilai apakah suatu perkara merupakan SLAPP atau bukan, tanpa
harus menunggu perkara masuk ke pengadilan. Apabila kita menunggu sampai SLAPP
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 21
masuk ke pengadilan, maka chilling effect sudah semakin terasa bagi korban, karena
proses pengadilan yang sangat panjang yang dirasakan oleh korban. Posisi korban SLAPP
yang lemah mengakibatkan terhambatnya kerja-kerja advokasi. Kemudian, tawaran
Pasal 95 UU PPLH menjadi sangat penting, di mana POLRI harusnya bisa berkomunikasi
dengan KLHK. Di sini KLHK sebagai “jantung” dapat menilai apakah suatu perkara perlu
masuk ke pengadilan atau tidak.
Ketiga, penguatan Internal Legal Culture, pentingnya penggunaan doktrin conditio sine
qua non, untuk mengembalikan suatu permasalahan ke pokoknya dengan melihat
adanya sebab akibat. Sehingga, transformasi isu tidak terjadi.
Terakhir, mekanisme yang bisa men-discourage pelaku SLAPP harus dipikirkan oleh
Pemerintah. Misalnya, dengan disinsentif korporasi atau negara apabila menggugat
pembela lingkungan, maka biaya yang dikeluarkan selama proses peradilan ditanggung
oleh aktor SLAPP-nya. Dari cerita semua penguatan tersebut, terdapat satu faktor krusial
yang mempengaruhi, yaitu kondisi struktural. Kondisi struktural menjadi penting untuk
didorong agar negara menjadi lebih demokratis. Kondisi struktural ini yang kemudian
menjadi hal penting untuk terus diperbaiki.
Pemaparan 03: I Gusti Agung Wardana, S.H., LL.M., Ph.D.
22 |
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 23
04. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
4.1. RANGKUMAN PEMBAHASAN
• Masalah SLAPP atau gugatan strategis terhadap partisipasi publik sebenarnya
sudah menjadi persoalan bangsa-bangsa di dunia.
• Indonesia sudah mengatur mengenai hak atas lingkungan hidup dalam konstitusi
Indonesia dan dalam UU No. 32 Tahun 2009, khususnya dalam Pasal 65 ayat (1).
Hanya persoalannya adalah, apabila kita melihat dari sisi substansi memang
masih diperlukan koreksi, karena peraturan yang digunakan masih sangat
minimalis, harapannya hakim-hakim tidak terbelenggu dengan hukum yang
tertulis.
• Mengenai perlindungan untuk SLAPP, untuk sekarang kan RKUHAP sudah ada
dalam proses legislasi, tapi paling tidak kita bisa memberikan masukan mengenai
adanya hukum acara yang sifatnya lex specialis di luar KUHAP.
• Salah satu faktor terus terjadinya SLAPP adalah karena penegak hukum yang
kurang memahami bagaimana seharusnya hukum lingkungan diterapkan.
4.2 PEMBAHASAN
Gambar 12. Cover Presentasi Prof. Hartiwiningsih.
Pemaparan 04: Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum.
24 |
Berkaitan dengan masalah pidana, sebetulnya kalau kita melihat masalah lingkungan
secara umum, ini bukan merupakan masalah negara kita saja, khususnya mengenai
SLAPP, yang sebelumnya sudah dijelaskan secara gamblang oleh para pembicara.
Masalah SLAPP atau gugatan strategis terhadap partisipasi publik sebenarnya sudah
menjadi persoalan bangsa-bangsa di dunia. Termasuk Amerika dan negara-negara di
Asia Tenggara: Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Sesuai dengan pengertiannya, tujuan
dari SLAPP ini adalah untuk membungkam atau menghilangkan partisipasi masyarakat
melalui proses peradilan. Kalau kita melihat dari sisi pengaturan, kesadaran penting akan
Anti-SLAPP baik yang bersifat global telah dituangkan dalam berbagai konvensi
internasional.
Gambar 13. Kerangka Hukum Perlindungan SLAPP.
Dapat dilihat dari instrumen internasional misalnya di kovenan HAM, antara lain
mengenai Hak Sipil dan Politik sektor lingkungan. Jenis-jenis pengaturan yang sudah
dimiliki di negara-negara dunia, demikian juga di Indonesia, sudah banyak yang
mengatur mengenai SLAPP. Meskipun peraturannya berbeda-beda di berbagai negara,
seperti di Filipina, hanya diatur mengenai isu lingkungan hidup dalam prosedur oleh
Mahkamah Agung-nya. Filipina mendefinisikan SLAPP sebagai gugatan dapat diajukan
dengan maksud untuk melecehkan, menyusahkan dengan tidak semestinya, dan juga
menghentikan segala upaya hukum, dan sebagainya. Jadi, di Filipina ini sudah memiliki
peraturan yang baik terkait SLAPP, namun memang baru dalam kasus lingkungan saja.
Demikian juga di Thailand, sudah ada pengaturan meskipun tidak spesifik mengatur
mengenai SLAPP, hanya diatur dalam salah satu pasal dalam KUHAP nya. Indonesia juga
telah mengatur Anti-SLAPP dalam Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 dan SKK MA No. 36.
Jadi sebetulnya dari sisi pengaturan, kita sudah memiliki, meskipun kalau secara
evaluatif, sudah disebutkan oleh IGAM tadi, bahwa kasus-kasus terbanyak di Indonesia
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 25
tidak dituntut oleh pihak swasta melainkan APH. Ini kemudian mengarahkan pejuang
lingkungan hidup untuk diputuskan bersalah. Yang artinya kita juga perlu mencari
penyebabnya mengapa demikian.
Gambar 14. Kerangka Hukum Anti-SLAPP di Beberapa Negara.
Berkaitan dengan pengaturan yang sudah ada meskipun masih sangat sumir, tetapi
memang ternyata dalam kenyataannya, SLAPP ini terus berkembang, mengutip penelitian
IGAM dari sebanyak 50 kasus yang berkaitan dengan SLAPP, hanya 5% yang diselesaikan
secara perdata, sedangkan 95% lainnya diselesaikan secara pidana. Ini perlu kita kaji
lebih jauh.
Kalau kita lihat dari sisi perundang-undangan, dari sisi produk hukum yang tertinggi,
Indonesia sudah mengatur mengenai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
dalam konstitusi Indonesia Pasal 28H ayat (1) dan dalam UU No. 32 Tahun 2009,
khususnya dalam Pasal 65 ayat (1). Hanya persoalannya adalah, apabila kita melihat
dari sisi substansi memang masih diperlukan koreksi, karena peraturan yang kita miliki
masih sangat minimalis, sehingga penegak hukum yang berdasarkan beberapa
penelitian hukum masih sangat positivistik hanya menjadi corong undang-undang dalam
praktiknya, Hakim jarang sekali bisa menemukan hukum.
Padahal kalau kita lihat, Hakim sudah diberikan peluang untuk menemukan hukum, studi
perbandingan tidak hanya menegakkan apa yang tertulis dalam peraturan perundang-
undangan; memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum tidak tertulis atau hukum
yang hidup di masyarakat.
Kemudian, yang ditemukan ialah para APH tidak fokus, atau pemahaman mereka
terhadap lingkungan tidak baik. Padahal dalam ketentuan, apabila hakim akan
Pemaparan 04: Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum.
26 |
menangani kasus lingkungan, maka mereka harus memiliki sertifikasi atau sudah
mendapatkan pelatihan mengenai lingkungan hidup. Jadi kadang-kadang fokusnya
adalah kasus lingkungan, tapi yang difokuskan atau diajukan oleh APH bukan hukum
lingkungannya, tetapi tindakan lain. Misalnya kasus di Mataram, mengenai perusakan
atap pabrik.
Mengapa sih, SLAPP harus diselesaikan sedini mungkin. Persoalannya, penegak hukum
kita tidak memperhatikan bahwa yang paling penting adalah pemulihan dari kerusakan
yang sudah terjadi dan bagaimana mengganti kerugian yang telah terjadi, itulah urgensi
adanya Anti-SLAPP.
SLAPP pada umumnya bukan isu lingkungannya yang menjadi objek oleh aparat penegak
hukum, tapi objeknya adalah pejuang lingkungan hidup itu sendiri. Nah jadi, memang
menurut saya di sini salah satu faktornya adalah penegak hukum yang kurang memahami
bagaimana seharusnya hukum lingkungan diterapkan.
Nah di sini saya mencoba memberikan masukan terkait dengan usulan yang barangkali
bisa menjadi bahan diskusi dalam reformulasi atau pembaharuan dalam RUU KUHAP.
Saat ini RKUHAP sudah ada, meskipun belum proses, jadi paling tidak kita bisa
memberikan masukan mengenai SLAPP ini. Sebagai contoh, kita membuka peluang untuk
adanya hukum acara yang sifatnya lex specialis di luar KUHAP. Menurut saya, mengenai
SLAPP ini tidak perlu secara spesifik diatur dalam KUHAP, namun lebih baik dalam
peraturan sektoral. Untuk mengisi kekosongan hukum, memang sebaiknya diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung. Kita pun saat ini sudah memiliki SK KMA No. 36 untuk
menjadi pedoman bagi pengguna hukum, namun memang tatarannya masih berbentuk
keputusan, kalau bentuknya masih keputusan, ruang lingkup perilakunya masih sangat
terbatas, yaitu secara intern. Kemudian, dalam Perma perlu ditegaskan bahwa SLAPP
bukan merupakan ranah pidana dan tidak bisa diproses oleh ranah pidana.
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 27
Gambar 15. Dasar Hukum Penggalian Keadilan bagi Hakim.
Hakim sudah diberikan peluang untuk mengikuti, melakukan studi komparasi, tidak
hanya terbatas apa yang tertulis dalam undang-undang. Sehingga harapannya, hakim
tidak terbelenggu dengan aturan-aturan yang tertulis. Di sini di katakan pada UU
Kekuasaan Kehakiman, bahwa hakim harus bisa menemukan hukum, di sini membuka
peluang untuk menciptakan hukum yang dinamis sesuai bagaimana hidup dalam
masyarakat. Hakim diberikan keleluasaan untuk memberikan definisi yang ekstensif.
Gambar 16. Catatan mengenai Pembaruan UU 32/2009.
Pemaparan 04: Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum.
28 |
Gambar 17. Usulan Pembaruan KUHAP (1)
Gambar 18. Usulan Pembaruan KUHAP (2)
Dalam saat penyidikan, POLRI dapat bekerja sama dengan Perguruan Tinggi untuk
mendiskusikan apakah suatu kegiatan masuk ke dalam tindakan SLAPP atau bukan, yang
mengatur bahwa POLRI harus secara seksama menangani SLAPP. Nah tentu, POLRI dan
PPNS perlu memahami SLAPP sejak tahap penyelidikan atau penyidikan. Sehingga,
masyarakat atau pejuang lingkungan ini yang tadi sudah di bawah ke proses penyelidikan
bisa didampingi secara baik. Bahkan kalau kita melihat Belanda dan Perancis, di sana
dalam tahap penyidikan oleh POLRI sudah didampingi oleh hakim pemeriksaan
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 29
pendahuluan, hakim memiliki peran yang besar dalam mendampingi masyarakat untuk
menghindari adanya kewenangan yang luar biasa.
Gambar 19. Usulan Perumusan Perma
Gambar 20. Usulan Perumusan Peraturan Internal Polri
Pemaparan 04: Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum.
30 |
II DISKUSI PEMAPARAN
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 33
DISKUSI PEMAPARAN
A. Bagaimanakah prosedur anti-SLAPP baik dalam perdata dan pidana nanti?
• Prof. Hartiwiningsih:
Jadi memang, menurut pendapat saya SLAPP ini harus disaring sejak awal;
menerima masakan yang sudah hampir jadi. Tapi yang menyiapkannya di ranah
penyelidikan dan penyidikan, menurut saya di sini adalah POLRI sebagai garda
terdepan, harus dibantu, tentu harus dipersiapkan sumber daya yang bagus untuk
SLAPP. Kemudian dibantu dengan ahli, dan kalau kita melakukan studi komparasi,
di tahap penyelidikan, sudah ada hakim komisaris, yang mengawasi tindakan-
tindakan yang sewenang-wenang terhadap tersangka. Sehingga kasus yang masuk
ke peradilan, sudah fix. Karena kalau saat ini kita melakukan analisis dari kasus yang
ada, APH tidak cenderung melihat adanya latar belakang terjadinya suatu tindakan
yang diduga sebagai bentuk tindakan kriminal, contohnya kasus di Mataram,
misalnya ada pelemparan batu oleh warga, itu adalah bentuk frustrasi yang
dirasakan warga dari adanya aktivitas lingkungan yang merugikan. Di tahap proses
awal inilah yang perlu digodok secara matang, sehingga tidak terjadi lagi kesalahan.
Di situ lah peran hakim komisaris, ahli, dan POLRI; orang-orang yang sudah ditatar,
bukan yang tidak paham mengenai lingkungan. Kemudian mengenai pidana
tambahan, hasil penelitian dari mahasiswa doktor kami di UNS, dan dia melakukan
identifikasi terhadap 300 kasus, yang kemudian hanya ada 30 kasus yang bisa
diidentifikasi menggunakan pidana tambahan; namun dari sisa kasus lainnya tidak
ada putusan perdatanya, itulah hasil temuan kami.
• I Gusti Agung Wardana:
Saya masih melihat ruang-ruang di UU PPLH, nah bagaimana prosedurnya, tentu
saja, dalam bayangan saya yang perlu pematangan lebih lanjut, bahwa betul yang
disampaikan bahwa perlu ada identifikasi dari awal, dari proses penyelidikan dan
penyidikan. Nah di sinilah konsepsi mengenai anti-SLAPP perlu dilakukan secara
sistematis, dengan cara pendekatan substantif, hal ini lebih mudah. Kemudian,
dilakukan koordinasi antara penyidik dan KLHK. Di level kementerian sendiri, perlu
dibentuk analisis kasus SLAPP, hasil dari analisis ini digunakan kemudian untuk
menentukan bentuk tindakannya. Keterkaitannya dengan kasus perdata, betul sekali
yang terjadi, hakim cenderung mengisolasi kasus dengan tidak menghubungkan
dengan latar belakang adanya kasus pencemaran dan kerusakan.
Diskusi Pemaparan
34 |
B. Jika sudah banyak konvensi internasional yang menjamin partisipasi publik,
mengapa SLAPP yang mereduksi partisipasi publik terus terjadi?
• Laode Muhammad Syarif:
UU PPLH bahkan sebenarnya sudah mengakui, tapi mengapa masih banyak SLAPP?
Ya mungkin inilah kutukan kita di Indonesia, pemerintah kita tidak pernah serius,
kalau sudah diatur dalam konstitusi, seharusnya APH sudah langsung bertindak,
tanpa perlu juklak juknis, seharusnya bisa. Ada pertanyaan yang banyak dari Ibu
Nani misalnya, pengadilan tidak bisa menolak, tapi kalau sudah sampe di
pengadilan, hakim di Indonesia itu jauh lebih bebas dari hakim di negara common
law, hakim Indonesia hakim Belanda itu bebas untuk menggali kebenaran materiil,
beda sekali dengan yang adversarial. Secara praktik bisa dilakukan, yang penting
niat. Yang berikutnya lagi adalah Pak Marsudi yang sekaligus juga ditanyakan oleh
Ibu Nani, di UU kita, harus dilakukan secara hukum, jadi apakah protes itu? Protes
itu kan diakui juga, tapi apakah boleh anarki? Itulah tugas para hakim yang bisa
menggali kasus-kasus di pengadilan. Kemudian Pak Marsudi pertanyaannya,
“bagaimana kalau ada udang di balik batu?” Saya pikir itu bisa juga diselidiki kalau
sudah sampai di pengadilan. Memang, baik itu di Eropa, Amerika, diharapkan
SLAPP ini harus semua diselesaikan di pengadilan, nah itu biayanya bisa mahal sekali
karena sangat lama prosesnya.
Jadi memang, ini seharusnya diatur dimana ya yang pas? Menurut saya, harusnya
bisa diatur dalam peraturan pemerintah, supaya bisa dipakai crossed field, karena
SLAPP tidak selalu kasus LH, bisa jadi kasus lain. Saya tidak punya harapan 30 tahun
lagi pemerintah mau melakukan itu. Tapi saya ingat, di KPK tidak ada satu kasus
pun yang ditangani oleh KPK dalam kasus pidana korporasi untuk isu LH. Itu baik
sekali, diikuti oleh polisi, jaksa, jadi saya advokasikan kalau bisa hari ini, untuk MA
ditingkatkan menjadi Peraturan MA, agar semua yang berurusan dengan SLAPP
dapat ditangani dengan baik.
• Peserta:
Apakah SLAPP bisa disamakan dengan alasan pemaaf pidana? Menurut saya tidak,
karena alasan pemaaf pidana bisa terjadi kalau suatu tindak pidana sudah terbukti
terjadi. Sedangkan SLAPP ini adalah kriminalisasi.
Tidak hanya anarkis atau melawan hukum, tapi juga diteliti apakah mereka
melakukan penyerangan karena dipekerjakan oleh pihak perusahaan?
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 35
• Laode Muhammad Syarif:
Menurut saya ini layak untuk diteliti di pengadilan, sama seperti jawaban saya untuk
Pak Marsudi.
• Prof. Andri Gunawan Wibisana:
Kalau menurut saya pemahaman aparat yang cenderung mengikuti apa yang
dikehendaki oleh orang yang punya kepentingan, sementara menurut saya
pengadilan ini kan di akhir, menurut saya kita perlu membedakan perdata dan
pidana. Kemudian, banyak juga perspektif yang legalistik, padahal sebenarnya
SLAPP ini kan, apabila ada seseorang yang berdalil bahwa hak dia telah terlanggar,
karena ini bukan hanya mencocokkan dengan pasal yang didakwakan, jadi tidak
hanya soal layak atau bukan. Jadi, kalau ditolak SLAPP-nya, harus ada argumennya.
Dari pencerdasan tadi sebenarnya ada penjelasan, persoalan ini adalah persoalan
politik awalnya, ada orang-orang yang protes mempertahankan haknya, diubah
menjadi persoalan sekedar pribadi, dengan menghubungkan persoalan hukum
pribadi dia gitu. Nah, bagaimana cara alternatif yang bisa kita ajukan adalah
membongkar itu, jadi masalah yang tadinya hanya masalah politik, jadi masalah
legal. Jadi, orang-orang hukum yang terlibat di sini, maka aparat punya kewajiban
untuk benar-benar melihat itu, di sinilah perlu dilihat lagi bahwa ini bukan persoalan
hukum. Pertama, ada hubungannya dengan apa yang dilakukan oleh tergugat atau
terdakwa pada kasus awalnya, jadi coba gali itunya, betul ga ini ada kasus tambang
yang mendahului, legitimate tidak mereka protes. Kalau dalam SLAPP menurut Pring
adalah isu personalnya, misalnya Budi Pego, seolah-olah yang protes sendirian,
padahal ada masyarakat di belakangnya. Mengambil satu pihak untuk
dikriminalisasi atas kepentingan publik adalah salah satu tanda SLAPP. Mungkin
kalau udah masuk pengadilan, pengadilan harus memutus sedini mungkin, menurut
saya di putusan sela. Nah, bagaimana persoalannya jika ini di kejaksaan, kepolisian,
ada perkara digantung. Tentu saja SKK MA tidak bisa menjangkau itu. Perlu tentunya
ada peraturan yang mengatur terkait itu. Bagaimana supaya penjelasan Pasal 66
menjangkau kepolisian, coba kita bayangkan bahwa apa yang dibayangkan oleh
masyarakat adalah mempertahankan lingkungan, mungkin kita bisa membahas
mengenai “penegakan hukum” oleh masyarakat, yang kemudian tunduk kepada
putusan MA. Sehingga maksud saya adalah, kalau ada tuduhan SLAPP, apakah
orang bisa mengajukan itu ke KLHK? Jadi, buat saya, landasan hukum KLHK bisa
menjangkau kepolisian, dengan alasan itu, agak sulit untuk mengatur peraturan
yang bisa menjangkau kejaksaan dan kepolisian. Filter untuk menentukan SLAPP
atau bukan, bisa belajar dari Pring dan Canan adalah dengan melihat latar
belakangnya. Jadi bukan hanya itu, yang muncul ke permukaan, APH harus mau
melihat itu.
Diskusi Pemaparan
36 |
C. Apakah cukup memperkuat pejuang LH saja karena pada sisi lain banyak juga kasus
yang digunakan untuk kriminalisasi masyarakat seperti UU ITE dan KUHP?
• Laode Muhammad Syarif:
Dari beberapa kasus tadi, menurut saya kita bisa mencari cara yang tepat apa.
Apakah ada mekanisme menggugat balik pejabat publik akibat dia melakukan
kriminalisasi silencing the people. Saya pikir bisa kita diskusikan lebih jauh.
• I Gusti Agung Wardana:
Memang betul kriminalisasi yang dilakukan itu sangat beragam ya, bisa di KUHP
dan UU ITE. Kemudian UU Minerba juga seperti itu, frasa “menghalang-halangi”
sangat bermasalah. Apakah cukup solusinya hanya di ranah lingkungan? Menurut
saya tidak, perundang-undangan dalam sektor lingkungan tidak memadai, UU ITE
banyak sekali yang menjadi korban; kemudian bagaimana kita juga harus
mengubah UU Minerba kita, UU Perkebunan untuk membungkam, jadi ada
pekerjaan di sektor-sektor itu. Menurut saya tawaran Bang Andri kemudian menjadi
tawaran yang feasible, dengan asumsi mengenai koordinasi dengan KLHK, saya
juga cukup skeptis apakah KLHK bisa menjangkau, tapi menurut saya segala upaya
perlu kita lakukan. Itu yang bisa saya sampaikan.
D. Bagaimana keterkaitan politik hukum saat ini dengan SLAPP yang tinggi?
• I Gusti Agung Wardana:
Kenaikan kasus disebabkan karena adanya kebijakan ekstraktif yang mereduksi
ruang-ruang hidup masyarakat. Ini termanifestasi dengan digunakannya hukum
pidana untuk membungkam. Hal ini yang perlu dilakukan untuk melihat lebih jauh.
Kemudian mengenai SLAPP Back, penguatan ini menjadi penting, untuk men-
discourage perusahaan atau publik yang menggugat pembela lingkungan, maka
perusahaan yang menjadi penggugat ini yang perlu mempertimbangkan ulang. Itu
salah satu tawaran, tentu saja ada juga mekanisme SLAPP Back untuk meminta
kompensasi, ini juga bisa termasuk ke dalam upaya untuk men-discourage SLAPP
oleh perusahaan.
Prosiding Webinar:
Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia
| 37
E. Apakah pasal 66 frasanya tidak dapat diputus secara pidana? Apakah SLAPP bisa
dikatakan sebagai alasan pemaaf, pembenar, atau bagaimana?
• Prof. Hartiwiningsih:
Dalam alasan pembenar seorang yang melakukan perbuatan melawan hukum,
namun karena keadaan tertentu menjadi dibenarkan, misalnya pembelaan darurat,
melaksanakan perintah undang-undang dari kuasa yang sah. Kemudian, untuk
alasan pemaaf, juga berkaitan dengan orang yang melakukan perbuatannya,
misalnya tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban; pembelaan terpaksa yang
melampaui batas. Mungkin kalau daya paksa, konsepnya begitu. Untuk alasan
pembenar, bisa masuk ke dalam melaksanakan perintah UU, jadi mereka
melakukan pembelaan dari adanya tindakan yang merusak lingkungan
sebagaimana yang dilindungi dalam undang-undang.
Indonesian Centerfor Environmental Law
Indonesian Centerfor Environmental Law@ICEL_indo@icel_indoicel.or.id
PROSIDINGWEBINAR “URGENSI PENERAPAN ANTI-SLAPP DALAM PENANGANAN PERKARA LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA”
Hari, tanggal : Jumat, 22 April 2021Pukul : 08.30 - 11.45
Pembukaan : Raynaldo G. SembiringModerator : Grita Anindarini
Keynote Speakers: Prof. Dr. H. Takdir Rahmadi, S.H., LL.MDr. Rasio Ridho Sani, M.Com
Narasumber:Prof. George (Rock) PringDr. Mas Achmad Santosa
Penanggap:Nani Indrawati, S.H., M. HumNarendra Jatna, S.H., LL.M
top related