proposal ta jadi
Post on 22-Oct-2015
33 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, saraf, jantung dan pembuluh darah (Gustiviani,
2006:1857-1859).
Jumlah penduduk dunia yang sakit diabetes melitus cenderung meningkat
dari tahun ke tahun. Hal ini berkaitan dengan jumlah populasi meningkat, pola
hidup, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang (Smeltzer &
Bare, 2002).
Laporan dari WHO (World Health Organization) mengenai studi populasi
diabetes melitus di berbagai negara, memberikan informasi bahwa jumlah
penderita diabetes melitus di Indonesia pada tahun 2000 adalah 8,4 juta orang,
jumlah tersebut menempati urutan ke empat setelah India (31,7 juta), Cina (20,8
juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta). Diperkirakan prevalensi tersebut akan
terus meningkat pada tahun 2030, India (79,4 juta), Cina (42,3 juta), Amerika
Serikat (30,3 juta) dan Indonesia (21,3 juta) (Darmono, 2007:15-29).
2
Berbagai penelitian epidemiologi yang dilakukan di Indonesia menujukkan
prevalensi diabetes melitus berkisar antara 1,5–2,3% pada penduduk usia > 15
tahun, di Manado justru mencapai 6,1%. Di daerah urban Jakarta jumlah tersebut
meningkat dari 1,7% (1982) menjadi 5,7% (1993), demikian pula di Makasar
meningkat dari 1,5% (1981) menjadi 2,9% (1998), namun di daerah rural
ternyata masih rendah seperti di Tasikmalaya prevalensi 1,2% , di Tanah Toraja
0,8%. Hasil penelitian di Semarang tahun 1975 mendapatkan prevalensi 1,46%
(Saputro & Setiawan, 2007).
Menurut data rekam medis RSU. Prof. Dr Margono Soekardjo, penyakit DM
menempati peringkat 6 dari 10 besar urutan penyakit terbanyak rawat jalan yaitu
periode Januari sampai Desember tahun2009 mencapai 6596 orang jumlah
tersebut mengalami kenaikan pada tahun 2008,jumlah rawat jalan mencapai
5370 pasian baik DM yang tergantung insulin maupun yang tidak tergantung
insulin. Dan untuk pasien DM rawat inap pada periode Januari sampai dengan
Desember mencapai 1654 pasien. Populasi pasien DM rawat jalan tahun 2009
RSMS berjumlah 2320 penderita baik DM tipe I maupun DM tipe II. Prevalensi
tahun 2010 untuk bulan Januari sampai Februari mencapai frekuensi kunjungan
1791 orang untuk populasi penderita 943 yaitu untuk DM tergantung insulin 234
orang dan DM yang tidak tergantung insulin mencapai 709 orang (Data Rekam
Medis RSU Prof. Dr. Margono Soekardjo, 2009).
3
Selama ini modalitas yang digunakan pada penatalaksanaan diabetes melitus
terdiri dari; pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya
hidup dengan pengaturan pola makan, meningkatkan aktivitas jasmani, dan
edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes; kedua terapi
farmakologis, yang meliputi pemberian obat antidiabetik oral dan injeksi insulin.
Terapi farmakologis baru ditambahkan apabila dengan terapi nonfarmakologis
selama tiga bulan belum berhasil menurunkan kadar glukosa darah ke kadar
glukosa darah optimal (Yunir & Soebardi, 2006; Suhartono, 2002)
Jika terapi tersebut tidak dilakukan secara rasional dan terkontrol maka dapat
menimbulkan efek samping hipoglikemi. Beberapa obat hipoglikemik oral juga
dapat menimbulkan efek samping yang paling ditakuti yaitu asidosis asam laktat
(Suhartono, 2002).
Pemberian preparat insulin, disamping harganya yang masih mahal, pada
kasus-kasus tertentu dapat menimbulkan reaksi alergi dan lipodistropi (Mycek,
2001).
Banyak penelitian yang mengemukaan bahwa makanan berserat tinggi
mampu menurunkan kolesterol darah dan juga gula darah. Salah satu makanan
yang mempunyai serat yang tinggi adalah rumput laut Eucheuma cottonii. Kadar
serat makanan dari rumput laut Eucheuma Cottonii kering mencapai 65.07 %
yang terdiri dari 39.47 % serat makanan tidak larut air dan 25.57 % serat
makanan larut air sehingga termasuk dalam kelompok bahan berserat makanan
4
tinggi. Berdasarkan tingginya kadar serat makanan tersebut Eucheuma Cottonii,
maka berpotensi untuk dijadikan sebagai makanan fungsional atau makanan
kesehatan (Anderson et al. 1992).
Rumput laut jenis Eucheuma cottonii termasuk dalam golongan alga merah
(Rhodophyceae) yang banyak detemukan di Indonesia terutama di Jawa Timur,
Sulawesi (Tengah, Tenggara, Selatan), Bali, NTT, Maluku, dan Irian (Winarno,
1996). Rumput laut ini dikenal sebagai salah satu penghasil karagenan yang
kadarnya dapat mencapai 61,59% (Suryaningrum, 1988).
Rumput laut Eucheuma cottonii mudah untuk didapatkan dan harganya pun
juga murah apabila dibandingkan dengan terapi farmakologis untuk menurunkan
kadar glukosa darah. Seperti yang kita ketahui, tanaman herbal mempunyai efek
samping lebih sedikit dibandingkan dengan obat-obatan.
Berdasarkan permasalah di atas, maka dilakukan penelitian pemberian
ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii terhadap kadar gula darah tikus putih
(Ratuus norvegicus strain wistar) dengan diabetes yang diharapkan dapat
memberikan informasi dan bukti ilmiah untuk mengembangkan obat baru dari
bahan alam bahari.
5
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah adalah :
a. Bagaimana pengaruh pemberian per oral ekstrak rumput laut Eucheuma cottoni
terhadap kadar gula darah tikus diabetik yang di induksi dengan streptozotosin?
b. Berapa kadar efektif pemberian per oral ekstrak rumput laut Eucheuma
cottonii untuk dapat menurunkan kadar gula darah tikus diabetik?
1.3.TUJUAN PENELITIAN
(1). Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh pemberian per oral rumput laut Eucheuma cottoni
terhadap kadar gula darah tikus diabetik yang di induksi streptozotosin.
(2). Tujuan Khusus
a. Membuktikan bahan rumput laut Eucheuma cottonii yang dapat menurunkan
kadar gula darah tikus diabetik yang di induksi streptootosin.
6
b. Mengetahui kadar efektif pemberian per oral ekstrak rumput laut Eucheuma
cottonii untuk dapat menurunkan kadar gula darah tikus diabetik yang di
induksi streptozotosin
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1.4.1 Manfaat Teoritis
Diharapkan dapat memberikan wawasan dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dari pengaruh pemberian ekstrak rumput laut Eucheuma
cottonii terhadap kadar gula darah.
1.4.2 Manfaat Praktis
(1). Masyarakat
a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat pemberian
per oral ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii terhadap kadar gula
darah.
b. Dapat digunakan sebagai informasi dalam memberikan motivasi
kepada masyarakat guna pengobatan dalam menurunkan kadar gula
darah dengan pemberian per oral ekstrak rumput laut Eucheuma
cottonii.
7
(2). Peneliti
a. Menambah pengalaman dalam bidang penelitian terkait dengan
pemanfaatan rumput laut Eucheuma cottonii.
b. Menambah referensi di bidang pengetahuan kesehatan masyarakat,
khususnya bidang kedokteran.
(3). Instansi Terkait
a. Sebagai bahan referensi tugas akhir bagi Fakultas Kedoktean
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
b. Sebagai point untuk meningkatkan akreditasi Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya melalui penelitian eksperimental
murni.
c. Sebagai tambahan data dasar untuk penelitian lebih lanjut, khususnya
yang berkaitan dengan pengaruh pemberian per oral ekstrak rumput
laut Eucheuma cottonii terhadap kadar gula darah.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DIABETES MELITUS
2.1.1 Definisi
Diabetes melitus adalah suatu sindrom gangguan metabolisme
dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu
difisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologidari insulin
atau keduanya (Greenspa dan Baxter, 2000).
Diabetes melitus adalah suatu penyakit yang kompleks melibatkan
kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak serta
berkembangnya komplikasi kronik pada mata, syaraf dan pembuluh darah
(Long, 1996).
2.1.2 Klasifikasi dan Etiologi
9
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2009,
klasifikasi diabetes melitus adalah sebagai berikut :
A. Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 sering dikatakan sebagai diabetes “Juvenile
onset” atau “Insulin dependent” atau “Ketosis prone”, karena tanpa
insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan
ketoasidosis. Istilah “juvenile onset” sendiri diberikan karena onset
diabetes melitus tipe 1 dapat terjadi mulai dari usia 4 tahun dan
memuncak pada usia 11-13 tahun, selain itu dapat juga terjadi pada
akhir usia 30 atau menjelang 40.
Karakteristik dari diabetes melitus tipe 1 adalah insulin yang
beredar di sirkulasi sangat rendah, kadar glukagon plasma yang
meningkat, dan sel beta pankreas gagal berespons terhadap stimulus
yang semestinya meningkatkan sekresi insulin.
Diabetes melitus tipe 1 sekarang banyak dianggap sebagai
penyakit autoimun. Pemeriksaan histopatologi pankreas menunjukkan
adanya infiltrasi leukosit dan destruksi sel langerhans. Pada 85% pasien
ditemukan antibodi sirkulasi yang menyerangglutamic-acid
decarboxylase (GAD) di sel beta pankreas tersebut. Prevalensi diabetes
10
melitus tipe 1 meningkat pada pasien dengan penyakit autoimun lain,
seperti penyakit grave, tiroiditis hashimoto atau myasthenia gravis.
Sekitar 95% pasien memiliki Human Leukocyte Antigen (HLA) DR3
atau HLA DR4.
Kelainan autoimun ini diduga ada kaitannya dengan agen
infeksius/lingkungan, di mana sistem imun pada orang dengan
kecenderungan genetik tertentu, menyerang molekul sel beta pankreas
yang menyerupai protein virus sehingga terjadi destruksi sel beta dan
defisiensi insulin. Faktor-faktor yang diduga berperan memicu
serangan terhadap sel beta, antara lain virus (mumps, rubella,
coxsackie), toksin kimia, sitotoksin, dan konsumsi susu sapi pada masa
bayi.
Selain akibat autoimun, sebagaian kecil diabetes melitus tipe 1
terjadi akibat proses yang idiopatik. Tidak ditemukan antibodi sel beta
atau aktivitas HLA. Diabetes mellitus tipe 1 yang bersifat idiopatik ini,
sering terjadi akibat faktor keturunan, misalnya pada ras tertentu Afrika
dan Asia.
B. Diabetes Melitus Tipe 2
11
Tidak seperti pada diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2
tidak memiliki hubungan dengan aktivitas HLA, virus atau
autoimunitas dan biasanya pasien mempunyai sel beta yang masih
berfungsi (walau terkadang memerlukan insulin eksogen tetapi tidak
bergantung seumur hidup). Diabetes melitus tipe 2 ini bervariasi mulai
dari yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif, sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin. Pada diabetes melitus tipe 2 resistensi insulin terjadi
pada otot, lemak dan hati serta terdapat respons yang inadekuat pada
sel beta pankreas. Terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas di
plasma, penurunan transpor glukosa di otot, peningkatan produksi
glukosa hati dan peningkatan lipolisis.
Defek yang terjadi pada diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh
gaya hidup yang diabetogenik (asupan kalori yang berlebihan,
aktivitas fisik yang rendah, obesitas) ditambah kecenderungan secara
genetik. Nilai BMI (Body Mass Indeks) yang dapat memicu
terjadinya diabetes melitus tipe 2 adalah berbeda-beda untuk setiap
ras.
C. Diabetes Melitus Tipe Lain
12
- Defek genetik fungsi sel beta
Beberapa bentuk diabetes dihubungkan dengan defek monogen
pada fungsi sel beta, dicirikan dengan onset hiperglikemia pada usia
yang relatif muda (<25 tahun) atau disebut maturity-onset diabetes
of the young (MODY). Terjadi gangguan sekresi insulin namun kerja
insulin di jaringan tetap normal. Saat ini telah diketahui abnormalitas
pada 6 lokus di beberapa kromosom, yang paling sering adalah
mutasi kromosom 12, juga mutasi di kromosom 7p yang mengkode
glukokinase. Selain itu juga telah diidentifikasi kelaian genetik yang
mengakibatkan ketidakmampuan mengubah proinsulin menjadi
insulin.
- Defek genetik kerja insulin
Terdapat mutasi pada reseptor insulin, yang mengakibatkan
hiperinsulinemia, hiperglikemia dan diabetes. Beberapa individu
dengan kelainan ini juga dapat mengalami akantosis nigricans, pada
wanita mengalami virilisasi dan pembesaran ovarium.
- Penyakit eksokrin pankreas
Meliputi pankreasitis, trauma, pankreatektomi, dan carcinoma
pankreas.
13
- Endokrinopati
Beberapa hormon seperti hormon pertumbuhan, kortisol,
glukagon dan epinefrin bekerja mengantagonis aktivitas insulin.
Kelebihan hormon-hormon ini, seperti pada sindroma cushing,
glukagonoma, feokromositoma dapat menyebabkan diabetes.
Umumnya terjadi pada orang yang sebelumnya mengalami defek
sekresi insulin, dan hiperglikemia dapat diperbaiki bila kelebihan
hormon-hormon tersebut dikurangi.
- Karena obat/zat kimia
Beberapa obat dapat mengganggu sekresi dan kerja insulin.
Vacor (racun tikus) dan pentamidin dapat merusak sel beta. Asam
nikotinat dan glukokortikoid mengganggu kerja insulin.
- Infeksi
Virus tertentu dihubungkan dengan kerusakan sel beta, seperti
rubella, coxsackievirus B, CMV, adenovirus, dan mumps.
- Imunologi
14
Ada dua kelainan imunologi yang diketahui, yaitu sindrom
stiffman dan antibodi antiinsulin reseptor. Pada sindrom stiffman
terjadi peninggian kadar autoantibodi GAD di sel beta pankreas.
- Sindroma genetik lain
Down’s syndrome, Klinefelter syndrome, Turner syndrome, dan
lain-lain.
D. Diabetes Kehamilan / Gestasional
Diabetes kehamilan didefinisikan sebagai intoleransi glukosa
dengan onset pada waktu kehamilan. Diabetes jenis ini merupakan
komplikasi pada sekitar 1-14% kehamilan. Biasanya toleransi glukosa
akan kembali normal pada trimester ketiga.
2.1.3 Patofisiologi
Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan
secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses
bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin
(Schteingart, 2005).
Patogenesis diabetes tipe 1 meliputi lima tahap.
Pertama, penderita DM tipe 1 memiliki kerentanan genetik terhadap
penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan biasanya memulai proses ini
pada individu dengan kerentanan genetik. Infeksi virus diyakini
15
merupakan satu mekanisme pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat
terlibat. Tahap ketiga dalam rangkaian proses peradangan pankreas
disebut insulitis. Monosit/makrofag dan limfosit T teraktivasi
menginfiltrasi sel beta pankreas. Tahap keempat adalah perubahan atau
transformasi sel beta sehingga tidak lagi dikenali sel “sendiri” tetapi
dilihat oleh sistem imun sebagai “sel asing”. Tahap kelima adalah
perkembangan respon imun. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan
penampakan diabetes (Foster, 2000).
Manifestasi klinis diabetes mellitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel
beta mengalami kerusakan (Schteingart, 2005). Patogenesis terjadinya
disfungsi sel beta pada diabetes melitus tipe 2 pada dasarnya adalah
peningkatan resistensi insulin di jaringan. Resistensi insulin adalah adalah
turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa
oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh sel
hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya,
artinya terjadi defisiensi insulin relatif insulin. Banyak proses yang dapat
menimbulkan resistensi insulin, diantaranya faktor genetik, berbagai
faktor lingkungan seperti kegemukan, inaktivitas fisik, asupan makanan
yang berlebihan, beberapa macam obat dan juga proses menua (Waspadji,
2002 & Saputro dan Setiawan, 2007).
16
Pada keadaan normal, apabila didapatkan resistensi insulin, maka tubuh
akan merespons dengan meningkatkan produksi insulin untuk
mengembalikan kadar glukosa darah pada keadaan normal. Kalau proses
kompensasi ini menurun, maka kapasitas menyeimbangkan tersebut
kurang sehingga tubuh tidak dapat mengembalikan keseimbangan dan
terjadilah diabetes mellitus (Waspadji, 2002; Saputro & Setiawan, 2007)..
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis diabetes melitus harus didasarkan atas pemeriksaan kadar
glukosa darah, tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria
saja. Dalam menegakkan diagnosis diabetes melitus harus diperhatikan
asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk
diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan glukosa darah
plasma vena. Untuk memastikan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan
glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang
terpercaya . Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai bahan
darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa
darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai.
Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat
dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan
sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala , hasil
17
pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara
konvensional (Perkeni, 2006).
A. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk diabetes
melitus pada penduduk umumnya (mass-screening = pemeriksaan
penyaring) tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal,
rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi
mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring
bersama penyakit lain (general check up), adanya pemeriksaan
penyaring untuk diabetes melitus dalam rangkaian pemeriksaan
tersebut sangat dianjurkan (Perkeni, 2006)
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan
salah satu faktor risiko untuk diabetes melitus, yaitu :
- kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )
- kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27
(kg/m2)}
- tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
- riwayat keluarga diabetes melitus
- riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
- riwayat diabetes melitus pada kehamilan
18
- dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250
mg/dl
- pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT
(Glukosa Darah Puasa Terganggu)
Tabel II. 1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis diabetes melitus (mg/dl)
Bukan diabetes
melitus Belum pasti diabetes
mellitus Diabetes melitus
Kadar glukosa darah sewaktu
plasma vena < 110 110 – 199 ³ 200darah kapiler < 90 90 - 199 ³ 200 Kadar glukosa darah puasa
plasma vena < 110 110 – 125 ³ 126darah kapiler
< 90 90 - 109 ³ 110
Sumber : Perkeni, 2006
B. Langkah-Langkah untuk Menegakkan Diagnosis Diabetes
Melitus
Diagnosis klinis diabetes melitus umumnya akan dipikirkan bila
ada keluhan khas diabetes melitus berupa poliuria, polidipsia,
polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan
pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia pada
19
pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan
khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu lebih dari atau sama
dengan 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa lebih dari atau sama dengan 126 mg/dl juga digunakan untuk
patokan diagnosis diabetes melitus. Untuk kelompok tanpa keluhan
khas diabetes melitus, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru
satu kali saja abnormal , belum cukup kuat untuk menegakkan
diagnosis klinis diabetes melitus. Diperlukan pemastian lebih lanjut
dengan menddapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar
glukosa darah puasa lebih dari atau sama dengan 126 mg/dl, kadar
glukosa darah sewaktu lebih dari atau sama dengan 200 mg/dl pada
hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang
abnormal (Perkeni, 2006)
2.1.5 Komplikasi
Menurut Hikmat Permana, divisi endokrinologi dan metabolisme
departemen penyakit dalam Universitas Padjajaran (2009), hiperglikemia
merupakan peran penting terjadi komplikasi pada diabetes melitus. Pada
keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur polyol, peningkatan
pembentukan protein glikasi non enzimatik serta peningkatanm proses
glikosilasi itu sendiri, yang menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan
20
pada akhirnya menyebabkan komplikasi baik vaskulopati, retinopati,
neuropati ataupun nefropati diabetika. Komplikasi kronis ini berkaitan
dengan gangguan vaskular, yaitu:
A. Komplikasi mikrovaskular
1. Neuropati diabetika
Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil
khususnya kapiler. Komplikasi ini spesifik untuk diabetes melitus.
2. Retinopati diabetika
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala
berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata
yang dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati diabetes dibagi
dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferatif dan
Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal
dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan
retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh
darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina.
3. Nefropati diabetika
Diabetes melitus tipe 2, merupakan penyebab nefropati paling
banyak, sebagai penyebab terjadinya gagal ginjal terminal.
Kerusakan ginjal yang spesifik pada diabetes melitus
mengakibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-
21
molekul besar seperti protein dapat lolos ke dalam kandung kemih.
Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang
progresif. Nefropati diabetika ditandai dengan adanya proteinuri
persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi.
Dengan demikian upaya preventif pada nefropati adalah kontrol
metabolisme dan kontrol tekanan darah.
B. Komplikasi makrovaskular
Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah
besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati
tidak spesifik pada diabetes, namun pada diabetes melitus timbul lebih
cepat, lebih sering terjadi dan lebih serius. Berbagai studi
epidemiologis menunjukkan bahwa angka kematian akibat
penyakit ,kardiovaskular dan penderita diabetes meningkat 4-5 kali
dibandingkan orang normal (Permana H, 2009).
Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya
dengan kontrol kadar gula darah yang balk. Tetapi telah terbukti
secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor
resiko mortalitas kardiovaskular, di mana peninggian kadar insulin
menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. kadar insulin
puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner
sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor
22
aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi
makrovaskular (Permana H, 2009).
1. Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan
suatu faktor risiko penyakit jantung koroner. Ateroskierosis
koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes. Akibat
gangguan pada koroner timbul insufisiensi koroner atau angina
pektoris (nyeri dada paroksismal serti tertindih benda berat
dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga
pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifiras atau emosi dan
akan mereda setelah beristirahat atau mendapat nitrat sublingual.
Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana nyeri
menetap dan lebih hebat dan tidak mereda dengan pembenian
nitrat. Namun gejala-gejala mi dapat tidak timbul pada pendenita
diabetes sehigga perlu perhatian yang lebih teliti.
2. Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua
tersering pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita
stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering timbul dan
dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes.
23
Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri
vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia, berupa:
- Pusing, sinkop
- Hemiplegia: parsial atau total
- Afasia sensorik dan motorik
- Keadaan pseudo-dementia
3. Penyakit pembuluh darah
Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya
aterosklerosis, yang dapat terjadi pada seluruh pembuluh darah.
Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka akan
meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnuya
terjadi payah jantung. Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar
pada diabetes disbanding pada orang normal. Risiko ini akan
meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti
dislipidemia, obes, hipertensi atau merokok. Penyakit pembuluh
darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi pada
penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah
lutut).
Pada diabetes, penyakit pembuluh darah perifer biasanya
terlambat didiagnosis yaitu bila sudah mencapai fase IV. Faktor
neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang disertai infeksi
24
merupakan factor utama terjadinya proses gangrene diabetik. Pada
penderita dengan gangrene dapat mengalami amputasi, sepsis, atau
sebagai faktor pencetus koma, ataupun kematian (Permana H,
2009).
C. Neuropati
Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering
terjadi pada penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM.
Manifestasi klinis dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan
otonom. Proses kejadian neuropati biasanya progresif di mana terjadi
degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau
bahkan baal. Yang terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai
atau lengan (Permana H, 2009).
Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada
struktur syaraf akibat adanya peningkatan jalur polyol, penurunan
pembentukan myoinositol, penurunan Na/K ATP ase, sehingga
menimbulkan kerusakan struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau
atrofi axonal (Permana H, 2009).
2.1.6 Pengelolaan
Pengelolaan diabetes mellitus bertujuan untuk :
1. Jangka pendek : menghilangkan keluhan atau gejala diabetes melitus
dan mempertahankan rasa nyaman dan sehat.
25
2. Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati,
mikroangiopati maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan
morbiditas dan mortilitas diabetes melitus.
3. Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin.
Mengingat mekanisme dasar kelainan diabetes melitus tipe-2 adalah
terdapatnya faktor genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan
insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara untuk
memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi harus tercermin
pada langkah pengelolaan.
3. Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri
dan melakukan promosi perubahan perilaku.
Pilar utama pengelolaan diabetes melitus :
1. Edukasi
2. Perencanaan makan
3. Latihan jasmani
4. Obat-obatan
Pada dasarnya, pengelolaan diabetes melitus dimulai dengan
pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama
beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih
belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru
dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral
26
atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, diabetes melitus
dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat
segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat
digunakan sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter.
Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan
sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu (Perkeni,
2006).
2.1.7 Bahan untuk Induksi Tikus Diabetik
Aloksan
Aloksan (2,4,5,6-tetraoksipirimidin; 5,6-dioksiurasil) merupakan
senyawa hidrofilik dan tidak stabil (Gambar 1). Waktu paro pada suhu
37°C dan pH netral adalah 1,5 menit dan bisa lebih lama pada suhu yang
lebih rendah. Sebagai diabetogenik, aloksan dapat digunakan secara
intravena, intraperitoneal dan subkutan. Dosis intravena yang digunakan
biasanya 65 mg/kg BB, sedangkan intraperitoneal dan subkutan adalah 2-3
kalinya (Szkudelski, 2001; Rees dan Alcolado, 2005).
Aloksan secara cepat dapat mencapat pankreas, aksinya diawali oleh
pengambilan yang cepat oleh sel β Langerhans. Pembentukan oksigen
reaktif merupakan faktor utama pada kerusakan sel tersebut. Pembentukan
oksigen reaktif diawali dengan proses reduksi aloksan dalam sel β
27
Langerhans. Aloksan mempunyai aktivitas tinggi terhadap senyawa
seluler yang mengandung gugus SH, glutation tereduksi (GSH), sistein
dan senyawa sulfhidril terikat protein (misalnya SH-containing enzyme).
Hasil dari proses reduksi aloksan adalah asam dialurat, yang kemudian
mengalami reoksidasi menjadi aloksan, menentukan siklus redoks untuk
membangkitkan radikal superoksida. Reaksi antara aloksan dengan asam
dialurat merupakan proses yang diperantarai oleh radikal aloksan
intermediet (HA˙) dan pembentukan “compound 305”. Radikal
superoksida dapat membebaskan ion ferri dari ferinitin, dan mereduksi
menjadi ion ferro. Selain itu, ion ferri juga dapat direduksi oleh radikal
aloksan. Radikal superoksida mengalami dismutasi menjadi hidrogen
peroksida, berjalan spontan dan kemungkinan dikatalisis oleh superoksida
dismutase. Salah satu target dari oksigen reaktif adalah DNA pulau
Langerhans pankreas. Kerusakan DNA tersebut menstimulasi poly ADP-
ribosylation, proses yang terlibat pada DNA repair. Adanya ion ferro dan
hidrogen peroksida membentuk radikal hidroksi yang sangat reaktif
melalui reaksi fenton (Wilson et al., 1984; Szkudelski, 2001; Walde et al.,
2002).
Faktor lain selain pembentukan oksigen reaktif adalah gangguan pada
homeostatis kalsium intraseluler. Aloksan dapat meningkatkan konsentrasi
ion kalsium bebas sitosolik pada sel β Langerhans pankreas. Efek tersebut
28
diikuti oleh beberapa kejadian : influks kalsium dari cairan ekstraseluler,
mobilisasi kalsium dari simpanannya secara berlebihan, dan eliminasinya
yang terbatas dari sitoplasma. Influks kalsium akibat aloksan tersebut
mengkaibatkan depolarisasi sel β Langerhans, lebih lanjut membuka kanal
kalsium tergantung voltase dan semakin menambah masuknya ion kalsium
ke sel. Pada kondisi tersebut, konsentrasi insulin meningkat sangat cepat,
dan secara signifikan mengakibatkan gangguan pada sensitivitas insulin
perifer dalam waktu singkat. Selain kedua faktor tersebut di atas, aloksan
juga diduga berperan dalam penghambatan glukokinase dalam proses
metabolisme energi (Szkudelski, 2001; Walde et al., 2002).
Streptozotosin
Streptozotosin (STZ) atau 2-deoksi-2-[3-(metil-3-nitrosoureido)-D-
gluko piranose] diperoleh dari Streptomyces achromogenes dapat
digunakan untuk menginduksi baik DM tipe 1 maupun tipe 2 pada hewan
uji. Struktur kimia streptozotosin dapat dilihat pada gambar 2. Dosis yang
digunakan untuk menginduksi DM tipe 1 untuk intravena adalah 40-60
mg/kg, sedangkan dosis intraperitoneal adalah lebih dari 40 mg/kg BB.
STZ juga dapat diberikan secara berulang, untuk menginduksi DM tipe 1
yang diperantarai aktivasi sistem imun. Untuk menginduksi DM tipe 2,
STZ diberikan intravena atau intraperitoneal dengan dosis 100 mg/kg BB
pada tikus yang berumur 2 hari kelahiran, pada 8-10 minggu tikus tersebut
29
mengalami gangguan respon terhadap glukosa dan sensitivitas sel β
terhadap glukosa. Di lain pihak, sel α dan δ tidak dipengaruhi secara
signifikan oleh pemberian streptozotosin pada neonatal tersebut sehingga
tidak membawa dampak pada perubahan glukagon dan somatostatin.
Patofisiologis tersebut identik pada DM tipe II (Bonner-Weir et al., 1981;
Szkudelski, 2001; Jackerott et al., 2006; Tormo et al., 2006).
Gambar 1. Struktur kimia streptozotosin
STZ menembus sel β Langerhans melalui tansporter glukosa GLUT 2.
Aksi STZ intraseluler menghasikan perubahan DNA sel β pankreas.
Alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitrosourea mengakibatkan
kerusakan pada sel β pankreas. STZ merupakan donor NO (nitric oxide)
yang mempunyai kontribusi terhadap kerusakan sel tersebut melalui
peningkatan aktivitas guanilil siklase dan pembentukan cGMP. NO
30
dihasilkan sewaktu STZ mengalami metabolisme dalam sel. Selain itu,
STZ juga mampu membangkitkan oksigen reaktif yang mempunyai peran
tinggi dalam kerusakan sel β pankreas. Pembentukan anion superoksida
karena aksi STZ dalam mitokondria dan peningkatan aktivitas xantin
oksidase. Dalam hal ini, STZ menghambat siklus Krebs dan menurunkan
konsumsi oksigen mitokondria. Produksi ATP mitokondria yang terbatas
selanjutnya mengakibatkan pengurangan secarea drastis nukleotida sel β
pankreas (Akpan et al., 1987; Szkudelski, 2001).
Peningkatan defosforilasi ATP akan memacu peningkatan substrat
untuk enzim xantin oksidase (sel β pankreas mempunyai aktivitas tinggi
terhadap enzim ini), lebih lanjut meningkatkan produksi asam urat. Xantin
oksidase mengkatalisis reaksi pembentukan anion superoksida aktif. Dari
pembangkitan anion superoksida, terbentuk hidrogen peroksida dan
radikal superoksida. NO dan oksigen reaktif tersebut adalah penyebab
utama kerusakan sel β pankreas. Kerusakan DNA akibat STZ dapat
mengaktivasi poli ADP-ribosilasi yang kemudian mengakibatkan
penekanan NAD+ seluler, selanjutnya penurunan jumlah ATP, dan
akhirnya terjadi penghambatan sekresi dan sintesis insulin. Selain itu,
kalsium berlebih yang kemungkinan dapat menginduksi nekrosis, tidak
mempunyai peran yang signifikan pada nekrosis yang diinduksi STZ.
(Akpan et al., 1987; Szkudelski, 2001).
31
2.2 Rumput Laut Eucheuma Cottonii
2.2.1 Deskripsi
Menurut Doty (1985), Eucheuma cottonii merupakan salah satu
jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi
Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk
fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut
Kappaphycus alvarezii. Rumput laut Eucheuma Cottonii merupakan
salah satu jenis rumput laut dari golongan alga merah (Rhodophyceae)
penghasil metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut
karaginan.
2.2.2 Klasifikasi
Gambar 2. Rumput laut Eucheuma cottonii
Klasifikasi Eucheuma cottonii menurut Doty (1985) adalah sebagai
berikut :
32
Kingdom : Plantae
Divisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieracea
Genus : Eucheuma
Species : Eucheuma alvarezii
2.2.3 Ciri fisik
Ciri fisik Eucheuma cottonii adalah mempunyai thallus silindris,
permukaan licin, cartilogeneus. Keadaan warna tidak selalu tetap,
kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah.
Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan.
Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu
penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas
pencahayaan (Aslan, 1998).
Penampakan thalli bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai
kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-
jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai
arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah
basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat
berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh dengan
membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah
datangnya sinar matahari (Atmadja, 1996).
33
2.2.4 Habitat
Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai
terumbu (reef). Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran
air laut yang tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu
karang mati (Aslan, 1998). Eucheuma cottonii diketahui sebagai alga
merah (Rhodophyceae) yang ditemukan di bawah air surut rata-rata
(Romimohtarto dan Juwana, 1999).
2.2.5 Komposisi Nutrisi Rumput Laut
Dari hasil uji laboratorium dari rumput laut yang dikeringkan
dengan proses berbeda yaitu kering asin, kering tawar, dan kering
alkali diperoleh data sebagai berikut :
Tabel II.2 Hasil Uji Laboratorium Kandungan Nutrisi Rumput Laut Kering
No.
Parameter Satuan Hasil Uji Metode Uji
Asin Tawar Alkali
1. Air % 26,77 18,62 21,75 SNI. 01-2891-1992 Butir 5.1
2. Abu % 34,38 15,13 15,77 SNI. 01-2891-1992 Butir 6.1
3. Lemak % 0,51 0,58 0,55 SNI. 01-2891-1992 Butir 8.2
4. Protein % 1,87 2,09 1,71 Kjeldahl
5. Serat Kasar % 0,90 5,29 19,64 SNI. 01-2891-1992 Butir 11
6. Karbohidrat % 35,57 58,29 40,58 Perhitungan
34
7. Energi Kkal/100gr 154,4 246,7 174,1 Perhitungan
8. Karagenan % 23,68 20,97 18,23
Rumput laut kering tawar mempunyai nilai nutrisi pokok
(karbohidrat, lemak, dan, protein) lebih tinggi dari rumput laut kering
asin dan rumput laut kering alkali, yaitu sebesar 58,29 % karbohidrat,
0,58 % lemak, dan 2,09 % protein dan mempunyai kadar air (18,62 %)
dan abu (15,13 %) paling rendah dibandingkan dua produk yang lain.
Selain itu rumput laut kering tawar juga mempunyai nilai energi paling
tinggi (246,7 %) dibanding rumput laut kering asin dan kering alkali.
Hal tersebut dikarenakan dalam proses pengeringannya rumput laut
basah terlebih dahulu dicuci dengan menggunakan air tawar hingga
bau spesifik rumput laut berkurang. Air tawar menyebabkan
kandungan garam dan kotoran yang menyelimuti rumput laut menjadi
hilang. Air tawar mengikat cairan yang terkandung dalam air laut
sehingga selama proses penjemuran kadar air dalam rumput laut cepat
berkurang. Air tawar juga berfungsi sebagai pelapis yang melindungi
rumput laut dalam proses pengeringan berikutnya sehingga rumput laut
basah tersebut menjadi kering tanpa kehilangan nilai nutrisi penting
dari dalam tubuhnya. Oleh karena kandungan nutrisi penting dalam
rumput laut kering tawar paling tinggi sehingga nilai energi yang
terkandung didalamnya juga tinggi. Rumput laut kering tawar ini
35
merupakan hasil olahan rumput laut yang paling sesuai untuk
dikonsumsi sebagai bahan makanan. Rumput laut kering asin
mempunyai kadar abu dan kadar air yang paling tinggi yaitu 34,38 %
kadar abu dan 26,77 % kadar air, sedang kandungan karbohidrat, serat
kasar, lemak, dan energi yang paling rendah dibanding dengan rumput
laut kering tawar dan kering alkali, yaitu 35,57 % karbohidrat, 0,90 %
serat kasar, dan 1, 87 % lemak. Oleh karena kandungan karbohidrat
rumput laut kering asin paling rendah dibanding dengan dua produk
lainnya maka kandungan energi dalam rumput laut kering asin juga
yang paling rendah yaitu 154,4 Kkal/100gr rumput laut. Akan tetapi
rumput laut kering asin ini mempunyai kandungan karagenan yang
paling tinggi, yaitu mencapai sebesar 23,68%. Rumput laut kering asin
lebih cocok digunakan sebagai bahan baku industri tepung karagenan
(Wisnu AR dan Rachmawati Diana).
Rumput laut kering alkali mempunyai kandungan serat kasar
paling tinggi dibandingkan dengan rumput laut kering tawar dan
kering asin, yaitu sebesar 19,64 %. Rumput laut kering alkali
mempunyai kadar protein dan karagenan yang paling rendah, yaitu
1,71 % protein dan 18,23 % karagenan. Meskipun diproses dengan
menggunakan bahan kimia rumput laut kering alkali masih mempunyai
kadar air, karbohidrat, dan energi yang cukup tinggi, yaitu sebesar
21,75 % air, 40,58 % karbohidrat, dan energi 174,1 Kkal/100gr rumput
laut. Rumput laut kering alkali ini biasanya digunakan sebagai bahan
36
baku industri ATC (alkali treated cottonii). ATC tersebut selanjutnya
dapat diproses lebih lanjut sebagai bahan pengikat dan penstabil dalam
industri pakan ternak bagi pasaran Eropa, Amerika, dan Asia Pasifik
(DPK, 2002).
2.2.6 Karaginan
Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri atas ester
kalium,natrium, magnesium dan kalium sulfat dengan galaktosa 3,6
anhidrogalaktosa kopolimer. Karaginan adalah suatu bentuk
polisakarida linear dengan berat molekul di atas 100 kDa (Winarno,
1996).
Winarno (1996) menyatakan bahwa kappa karaginan dihasilkan
dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii, iota karaginan dihasilkan
dari Eucheuma spinosum, sedangkan lambda karaginandari Chondrus
crispus, selanjutmya membagi karaginan menjadi 3 fraksi berdasarkan
unit penyusunnya yaitu kappa, iota dan lambda karaginan.
37
Gambar 3. Struktur kimia kappa karaginan (cPKelco ApS 2004).
Karaginan sangat penting peranannya sebagai stabilizer
(penstabil), thickener (bahan pengentalan), pembentuk gel, pengemulsi
dan lain-lain. Sifat ini banyak dimanfaatkan dalam industri makanan,
obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya
(Winarno 1996). Selain itu juga berfungsi sebagai penstabil,
pensuspensi, pengikat, protective (melindungi kolid), film former
(mengikat suatu bahan), syneresis inhibitor (mencengah terjadinya
pelepasan air) dan flocculating agent (mengikat bahan-bahan
(Anggadireja et al. 1993).
2.2.7 Khasiat Rumput Laut
Dalam dunia kedokteran dan farmasi, Eucheuma sp. digunakan
sebagai bahan obat asma, bronkhitis, TBC, cacingan, sakit perut,
demam, rematik, antihiperkolesterol, sumber iodium, seng, selenium
dan vitamin seperti vitamin B1, B2, B6, B12 dan beta karoten, anti
kanker karena kandungan antioksidannya yang tinggi serta dapat
menurunkan kadar glukosa darah (Nugroho BA dan Purwaningsih E,
2006).
Menurut Kasim (2004) berdasarkan tingginya kadar serat makanan
tersebut maka rumput laut Eucheuma cottonii berpotensi untuk
dijadikan sebagai makanan fungsional atau makanan kesehatan. Hal ini
didasarkan pada banyak penelitian bahwa makanan berenergi tinggi
mampu menurunkan kolesterol darah dan juga gula darah, antara lain
38
psylium (Anderson et al.1992), guar gum , dedak oat (Kashtan, 1992)
dan lain-lain. Kasim (2004) menyatakan bahwa rumput laut Eucheuma
cottonii 5% mampu menurunkan kadar lipid darah tikus wistar yang
hiperkolesterolemik (hiperlipidemik) menjadi normal pada hari ke 18
dan bila konsentrasinya dinaikkan maka penurunannya lebih cepat.
Selain itu, Hardoko (2007) melapor bahwa rumput laut Eucheuma
cottonii juga mampu menurunkan kadar gula darah tikus wistar yang
hiperglicemic diabetic (Dependent Diabetes Mellitus) dengan cepat
yang tergantung pada konsentrasi yang diberikan.
Karagenan merupakan serat makanan pengikat kation (binding of
cations) hal ini akan mempengaruhi proses pemecahan karbohidrat
(disakarida) didalam intestinum yang akhirnya juga akan
mempengaruhi proses penyerapan monosakarida, sehingga dapat
menahan laju peningkatan kadar glukosa darah post-prandial (Nugroho
BA & Purwaningsih E, 2006).
2.2.8 Cara Pembuatan Ekstrak Rumput Laut Eucheuma cottonii
Ekstraksi rumput laut merah dilakukan dengan cara perebusan
dengan menggunakan larutan KOH pada pH 8-9 dengan volume air
perebus sebanyak 40-50 kali berat rumput laut kering. Rumput laut
tersebut dipanaskan pada suhu 90 - 95 °C selama 3-6 jam (Yunizal et
al, 2000). Guiseley et al (1980) melaporkan bahwa untuk mencapai
ekstraksi yang optimal diperlukan waktu sampai 1 hari, sedangkan
39
untuk mempercepat proses ekstraksi dilakukan dengan perebusan
bertekanan selama satu sampai beberapa jam.
Suasana alkalis dapat diperoleh dengan menambahkan larutan
basa misalnya larutan NaOH. Ca(OH)2 atau KOH sehingga pH larutan
mencapai 8-10. Penggunaan alkali mempunyai dua fungsi, yaitu
membantu ekstraksi polisakarida menjadi lebih sempurna dan
mempercepat eliminasi 6-sulfat dari unit monomer menjadi 3.6-
anhidro-D-galaktosa sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel dan
reaktivitas produk terhadap protein (Towle, 1973). Penelitian yang
dilakukan Zulfriady dan Sudjatmiko (1995), menunjukkan bahwa
ekstraksi karaginan menggunakan (KOH) berpengaruh terhadap
kenaikan mutu karaginan yang dihasilkan.
40
BAB III
KONSEP PEMIKIRAN
3.1 Uraian Kerangka Konsep
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, saraf, jantung dan pembuluh darah (Gustiviani,
2006:1857-1859).
Selama ini modalitas yang digunakan pada penatalaksanaan diabetes
melitus terdiri dari; pertama terapi non farmakologis yang meliputi
perubahan gaya hidup dengan pengaturan pola makan, meningkatkan
aktivitas jasmani, dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan
penyakit diabetes; kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat
antidiabetik oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis baru ditambahkan
apabila dengan terapi nonfarmakologis selama tiga bulan belum berhasil
menurunkan kadar glukosa darah ke kadar glukosa darah optimal (Yunir &
Soebardi, 2006)
Pemberian preparat insulin, disamping harganya yang masih mahal, pada
kasus-kasus tertentu dapat menimbulkan reaksi alergi dan lipodistropi
(Mycek, 2001).
41
Hardoko (2007) melapor bahwa rumput laut Eucheuma cottonii juga
mampu menurunkan kadar gula darah tikus wistar yang hiperglicemic
diabetic (Dependent Diabetes Mellitus) dengan cepat yang tergantung pada
konsentrasi yang diberikan.
Rumput laut jenis Eucheuma cottonii dikenal sebagai sebagai salah satu
penghasil karagenan yang kadarnya dapat mencapai 61, 59% (Suryaningrum
et al. 1988). Adapun jenis karagenan yang dihasilkan rumput laut Eucheuma
cottonii terutama adalah kappa karagenan (Aslan, 1991; Winarno, 1996).
Karagenan merupakan serat makanan pengikat kation (binding of cations)
hal ini akan mempengaruhi proses pemecahan karbohidrat (disakarida)
didalam intestinum yang akhirnya juga akan mempengaruhi proses
penyerapan monosakarida, sehingga dapat menahan laju peningkatan kadar
glukosa darah post-prandial dan mengurangi penurunan balik gula darah
yang akan merangsang selera makan (Nugroho BA dan Purwaningsih E,
2006).
42
3.2 Kerangka Konsep
Bagan 1. Kerangka Konsep
Destruksi sel beta pankreas
Sekresi insulin
Glikogenesis
Glikogenolisis
Glukoneogenesis
Absorbsi glukosa ke dalam sel
Kadar glukosa darah tikus wistar
Karagenan
Mempengaruhi proses penyerapan monosakarida, sehingga dapat menahan laju peningkatan kadar glukosa darah post-prandial dan mengurangi penurunan balik gula darah.
Tikus wistar sehat
Tikus wistar di induksi dengan streptozosin
Pengobatan dengan Eucheuma cottonii
Tikus wistar sembuh (kadar gula darah
turun)
Eucheuma cottonii dengan dosis I,
dosis II, dosis III
43
3.3 Hipotesis
Pemberian rumput laut Eucheuma cottonii. dapat menurunkan kadar
glukosa darah tikus putih (Rattus norvegicus strain wistar) yang disuntik
Streptozotosin (STZ).
44
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Jenis rancangan penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan
pendekatan post test only control group design. Tikus putih (Rattus
norvegicus strain wistar) diabetes Streptozotosin (STZ).
R K (-) OK
K (+) OP
P1 OP1
P2 OP2
P3 OP3
Keterangan:
R : Randomisasi
K (-) : Kontrol (tidak diinduksi dengan STZ)
K (+) : Kontrol (diinduksi STZ tetapi tidak diberi diet rumput laut
Eucheuma cottonii)
P1 : Perlakuan STZ + Ekstrak Herbal dosis I
P2 : Perlakuan STZ + Ekstrak Herbal Dosis II
P3 : Perlakuan STZ + Ekstrak Herbal Dosis III
45
O K (-) : Kadar glukosa darah pada K (-)
OK (+) : Kadar glukosa darah pada K (+)
O P1 : Kadar glukosa darah pada P1
O P2 : Kadar glukosa darah pada P2
O P3 : Kadar glukosa darah pada P3
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus strain
wistar).
4.2.2 Sampel
Pada penelitian ini menggunakan 25 sampel
4.2.2.1 Cara Pengambilan Sampel
Sampel penelitian tikus tikus putih (Rattus norvegicus
strain wistar) diperoleh secara consecutive random sampling
dengan kriteria sebagai berikut:
Kriteria inklusi :
1. Tikus wistar jantan
2. Umur 3-4 bulan
3. Berat badan 100-150 gram
4. Kondisi sehat ( aktif dan tidak cacat )
46
Kriteria eksklusi :
1. Tikus mengalami sakit
2. Bobot tikus menurun ( kurang dari 150 gram )
3. Tikus mati dalam masa penelitian
4.2.2.2 Besar sampel
Besar sampel yang digunakan tiga tikus dalam lima
kelompok tikus, dua kelompok kontrol dan tiga kelompok
perlakuan dengan dosis berbeda setiap perlakuan. Dengan
rumus perhitungan sampel menurut Federe :
T (n-1) = 15
Keterangan : T : Jumlah perlakuan
n : Jumlah ulangan/sampel
4 (n-1) = 15
4n – 4 = 15
4n = 19
n = 4,75 / 5 ekor tikus
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di tempat yang akan dijadikan perawatan Hewan
Coba, Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma. Penelitian
berlangsung pada tahun 2012 – 2013.
47
4.4 Variabel
Penelitian ini terdiri dari tiga variabel, yaitu variabel bebas, variabel
terikat, dan variabel kontrol.
4.4.1 Variabel Bebas
Pemberian diet ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii dengan
dosis yang berbeda.
4.4.2 Variabel Terikat
Kadar glukosa darah tikus (Rattus norvegicus strain wistar).
4.4.3 Variabel Kontrol
Kondisi tikus (Rattus norvegicus strain wistar) yang tidak diberi
perlakuan, jenis kelamin, makanan, tempat, berat badan.
4.5 Definisi Operasional
4.5.1 Rumput Laut Eucheuma cottonii
Menurut Doty (1985), Eucheuma cottonii merupakan salah satu
jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi
Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk
fraksi kappa-karaginan. Maka jenis ini secara taksonomi disebut
Kappaphycus alvarezii.Rumput laut Eucheuma Cottonii merupakan
salah satu jenis rumput laut dari golongan alga merah (Rhodophyceae)
penghasil metabolit primer senyawa hidrokoloid yang disebut
karaginan. Pigmen merah dalam rumput laut ini disebabkan oleh
pigmen fikoeritrin dalam jumlah yang banyak dibandingkan pigmen
warna yang lain (Anonymous, 2010).
48
4.5.2 Diabetes Melitus
Diabetes melitus klinis adalah suatu sindroma gangguan
metabolisme dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai
akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektivitas
biologis dari insulin (atau keduanya) (FK UI, 2006).
4.5.3 Tikus (Rattus norvegicus strain wistar)
Merupakan tikus albino spesies Rattus norvegicus. Jenis galur ini
dikembangkan di Institut Wistar pada tahun 1906 untuk digunakan
dalam biologi dan penelitian medis. Jenis Tikus ini galur tikus pertama
yang dikembangkan sebagai model organisme.
Tikus Wistar saat ini menjadi salah satu yang strain tikus paling
populer yang digunakan untuk penelitian laboratorium. ciri tikus ini
adalah mempunyai kepala lebar, telinga panjang, dan memiliki ekor
panjang (tidak melebihi panjang tubuhnya). Galur tikus Sprague
Dawley dan Long-Evans dikembangkan dari tikus galus Wistar. Tikus
Wistar lebih aktif daripada jenis lain seperti tikus Sprague dawley
(Estina, 2010)
4.5.4 Induksi
(1) metode pemikiran yg bertolak dari kaidah (hal-hal atau
peristiwa) khusus untuk menentukan hukum (kaidah) yang umum;
penarikan kesimpulan berdasarkan keadaan yang khusus untuk
diperlakukan secara umum; penentuan kaidah umum berdasarkan
49
kaidah khusus; (2) proses pembangkitan tenaga listrik (elektrik) di
dalam sirkulasi tertutup oleh arus (gerak) magnetik melalui gerak putar
(kamus indonesia).
4.5.5 Streptozotocin (STZ)
Streptozotocin merupakan antibiotic antineoplastik dari
grupnitrosurea, berasal dari Streptomyces achromogenes
ataudihasilkan melalui sintesis. Terutama digunakan dalampengobatan
tumor sel pulau pancreas dan juga tumor endokrinlainnya termasuk
gastrinoma yang disertai dengan sindrom Zollinger-Ellison dan tumor
sel alfa penghasil glucagon daripancreas (Dorland). Injeksi
streptozotocin 60 mg/kg intra vena pada tikus wistardewasa
menyebabkan pancreas membengkak dan padaakhirnya menyebabkan
degenerasi sel B pulau langerhans danmendorong timbulnya diabetes
melitus dalam waktu 2-4 hari (Fatimah, 2010)
4.6 Prosedur Penelitian
4.6.1 Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini berupa data primer,
yaitu kadar glukosa darah tikus (Rattus norvegicus strain wistar)
dengan diabetes melitus.
4.6.2 Kualifikasi dan Jumlah Petugas
Dalam penilitian ini, semua mahasiswa yang meneliti dengan
menggunakan tikus (Rattus norvegicus strain wistar) sebagai obyek
penelitian.
50
4.6.3 Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus (Rattus
norvegicus strain wistar), berjenis kelamin jantan, jumlah tikus (Rattus
norvegicus strain wistar) yang digunakan sebanyak 25 ekor.
4.6.4 Instrumen Penelitian
Bahan baku utama adalah rumput laut kering jenis Eucheuma
cottonii. Bahan yang digunakan untuk ekstraksi karaginan adalah
KOH.
Peralatan yang digunakan adalah kompor, panci, timbangan, filter
press, glucose test, hot plate, blender, pengaduk, thermometer, kertas
ph, ph meter, gelas ukur, dan kertas saring.
4.7 Cara membuat ekstrak rumput laut (Eucheuma Cottonii)
Langkah-langkah pembuatan ekstrak rumput laut (Eucheuma cottonii):
1. Pencucian dan pembersihan dilakukan pada rumput laut yang akan
diekstraksi untuk menghilangkan pasir, garam, kapur, karang, potongan
tali dan rumput laut jenis lainnya yang tidak diinginkan.
2. Ekstraksi pertama : pemasakan dilakukan pada rumput laut yang telah
bersih dalam larutan KOH 8% selama 2 jam pada suhu 80±5 OC.
3. Pencucian hingga pH netral
4. Ekstraksi kedua: pemasakan dalam air dengan perbandingan 40 kali
selama 2 jam pada suhu 90±5 oC.
5. Disaring untuk dipisahkan antara filtrat dengan ekstrak.
51
4.8 Cara Pengambilan Data
Penelitian menggunakan sampel sebanyak 25 ekor tikus wistar. Tikus
tersebut dibagi dalam lima kelompok, sehingga didapatkan jumlah sampel
untuk tiap-tiap kelompok sebanyak 5 ekor. Tikus wistar sebanyak 25 ekor
yang memenuhi kriteria inklusi, diaklimasi di dalam laboratorium. Masing-
masing dikandangkan secara individual, serta diberi makanan dan minuman
selama satu minggu secara ad libitum. Tikus wistar tersebut kemudian dibagi
dalam lima kelompok secara acak sehingga tiap-tiap kelompok terdiri dari 5
ekor tikus. Kemudian kelima kelompok tersebut disuntik STZ dengan dosis 9
mg/kg BB secara intraperitoneal. Perlakuan berbeda diberikan pada masing-
masing kelompok. Tikus wistar kemudian diterminasi pada hari ke – 38.
Sampel dari masing-masing tikus diambil untuk dilakukan pemeriksaan
terhadap kadar glukosa darah dengan glucose test. Hasil tiap kelompok
dibandingkan setelah data semua sampel terkumpul.
52
4.9 Alur Penelitian
Hari Ke
KelompokK (-)
( 5 ekor)
KelompokK (+)
( 5 ekor)
KelompokP1
( 5 ekor)
KelompokP2
( 5 ekor)
KelompokP3
( 5 ekor)
1 s.d. 2
3
4 s.d.
26
27
Bagan 2. Alur penelitian
Keterangan :
: Pemeliharaan ( adaptasi ) diet standar 2 hari ad libitum
: Ditimbang, tidak disuntik STZ 9 mg/kg BB, diet sesui kelompok
: Ditimbang, disuntik STZ 9 mg/kg BB, diet sesuai kelompok
: Diet standar, tidak mendapatkan Eucheuma sp.
: Diet standar + diet Eucheuma cottonii 4 gr/kg BB/hari
: Diet standar + diet Eucheuma cottonii 8 gr/kg BB/hari
: Diet standar + diet Eucheuma cottonii 12 gr/kg BB/hari
25 ekor tikus wistar yang memenuhi kriteriainklusi
Randomisasi
53
: pemeriksaan kadar glukosa darah dan terminasi tikus wistar
4.10 Analisis data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS 16.00 for windows.
Uji hipotesis menggunakan uji parametrik One Way Anova. Ditetapkan true
confidences uji ini adalah 95%, dan p<0,05 maka didapatkan perbedaan
bermakna.
54
BAB VHASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
5.1 Gambaran Umum Derah Penelitian
Penelitian ini berlangsung diruang Laboratorium in Vivo Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya yang beralamat di Jalan Dukuh Kupang XXV / 54
Surabaya Selatan.
Laboratorium In Vivo sendiri di bangun pada tahun 2013 berada
dibelakang tempat parkir dosen bangunan 1 lantai lebar 5 meter dan panjang 6
meter. Laboratorium ini dikelola oleh satu dosen sebagai kepala laboratorium
dan seorang asisten yang membantu para peneliti yang akan melakukan
penelitian tersebut, alat dan bahan di laboratorium tersebut masih kurang
memadai karena pendirian laboratorium belum cukup lama.
5.2 Karakteristik sampel
5.2.1 Sampel Tikus Wistar
Penelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus strain
wistar) dengan jumlah sampel 25 tikus.
Beberapa kriteria inklusi dan eksklusi sampel tikus yang peneliti gunakan
sebagai berikut:
Kriteria inklusi :
Tikus wistar jantan
Umur 2-3 bulan
55
Berat badan 100-150 gram
Kondisi sehat ( aktif dan tidak cacat )
Kriteria eksklusi :
Tikus mengalami sakit
Bobot tikus menurun ( kurang dari 100 gram )
Tikus mati dalam masa penelitian
Setelah sampel diperoleh dengan menggunakan kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi, dimana menggunakan 25 ekor tikus wistar jantan yang
diambil secara random sampling kemudian dibagi kembali menjadi lima
kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan 1
(dosis 1), perlakuan 2 (dosis 2), dan perlakuan 3 (dosis 3) masing-masing
kelompok terdiri lima tikus. Penelitian dilakukan selama 28 hari dan
diperoleh data primer (lampiran 1).
Sebelumnya untuk membuat kadar gula darah tikus tinggi, peneliti
menginduksi streptozotosin 50 mg/KgBB secara intraperitoneal terhadap
tikus kelompok kontrol positif, dosis 1, dosis 2, dan dosis 3.
5.2.2 Ekstrak Rumput Laut
Ekstrak rumput laut yang peneliti gunakan adalah ekstrak dengan dosis
terbagi 3 sesuai kelompok perlakuan 1, pelakuan 2, perlakuan 3. Peneliti
menentukan dosis dari hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.
Kelompok perlakuan 1 : 4 gr/kgBB/hari
Kelompok perlakuan 2 : 8 gr/kgBB/hari
56
Kelompok perlakuan 3 : 12 gr/kgBB/hari
5.3 Analisi Data
Pengaruh pemberian ektrak rumput laut Eucheuma cottonii terhadap kadar
gula darah tikus wistar (rattus novergicus strain wistar) dengan diabetes
melitus dihitung dengan menggunakan uji one way Anova dengan terlebih
dahulu ditabulasi sebagai berikut:
Tabel 5.1 : Kadar Glukosa Darah Tikus Sebelum dan Setelah Perlakuan
Glukosa darah (mg/dl)
Pre Post
Kontrol negative 102,4 85,6
Kontrol positif 438,2 383,6
P1 402 161,2
P2 467,8 173,8
P3 458 114,4
57
Gambar 5.1 : Grafik Rerata Kadar Glukosa Darah Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Hasil uji statistik one way anova dengan menggunakan SPSS versi 16
didapat hasil:
Tabel 5.2 : Anova
Hipotesis :
58
Ho = Tidak ada Pengaruh ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii terhadap
kadar gula darah tikus putih (rattus novergicus strain wistar) dengan
diabetes melitus.
H1 = Ada Pengaruh ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii terhadap kadar
gula darah tikus putih (rattus novergicus strain wistar) dengan
diabetes melitus
Dari tabel diatas menunjukan bahwa F hitung (16,932) > F tabel (4,22)
atau p (0,001) < α (0,001), jadi Ho di tolak dan Hi diterima. Hal ini
menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian ekstrak rumput laut Eucheuma
cottonii terhadap kadar gula darah tikus wistar (rattus novergicus strain
wistar) dengan diabetes melitus. Untuk mengetahui dosis mana yang
berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar glukosa darah dilakukan uji
statistik lanjut menggunakan uji LSD. Berikut hasil uji LSD :
Tabel 5.3 : Hasil Uji LSD
59
Dari hasil Uji LSD disimpulkan, sebagai berikut:
1. Kontrol negatif mempunyai perbedaan yang nyata dengan kontrol positif
dan dosis 2 (taraf signifikansi 0,05).
2. Kontrol positif mempunyai perbedaan yang nyata dengan kontrol
negatif, dosis 1, dosis 2, dan dosis 3 (taraf signifikansi 0,05).
3. Dosis 1 mempunyai perbedaan yang nyata dengan kontrol positif (taraf
signifikansi 0,05).
4. Dosis 2 mempunyai perbedaan nyata dengan kontrol positif dan kontrol
negative (taraf signifikansi 0,05)
5. Dosis 3 mempunyai perbedaan yang nyata dengan kontrol positif.
60
BAB VIPEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Rumput Laut Eucheuma Cottonii
Rumput laut Eucheuma Cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut
dari golongan alga merah (Rhodophyceae) penghasil metabolit primer
senyawa hidrokoloid yang disebut karagenan (Doty, 1985).
Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai
terumbu (reef). Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air
laut yang tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang mati
(Aslan 1998).
Tabel6.1 : Kandungan nutrisi rumput laut tiap 100 gram porsi makanan
Secara kimia rumput laut terdiri dari air (27,8%), protein
(5,4%),karbohidrat (33,3%), lemak (8,6%) serat kasar (3%) dan abu
61
(22,25%). Selain karbohidrat, protein, lemak dan serat, rumput laut juga
mengandung enzim, asam nukleat, asam amino, vitamin (A,B,C,D, E dan K)
dan makro mineral seperti nitrogen, oksigen, kalsium dan selenium serta
mikro mineral seperti zat besi, magnesium dan natrium. Kandungan asam
amino, vitamin dan mineral rumput laut mencapai 10 -20 kali lipat
dibandingkan dengan tanaman darat. Selain itu, mempunyai kandungan
karagenan yang merupakan serat larut air dalam konsentrasi yang cukup
tinggi yaitu sekitar 65,75%. Karagenan adalah senyawa polisakarida yang
tersusun dari unit ȕ-D-galaktosa dan Į-L-galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa
yang dihubungkan oleh ikatan 1,4 glikosiklik dimana setiap unit galaktosa
mengikat gugusan sulfat. Karagenan dapat menurunkan keterdapatan
(availability) glukosa di sirkulasi dengan cara mengahambat penyerapan
glukosa di proksimal usus halus sehingga dapat mengurangi kadar glukosa
post prandial. Dengan demikian, efek hipoglikemik dari karagenan rumput
laut sangat berguna untuk mencegah dan mengelola kondisi metabolik pada
pasien diabetes melitus (Sulistyowati D, 2009).
6.2 Pengaruh Penyuntikan STZ Terhadap Kadar Glukosa Darah
Streptozotosin (STZ) atau 2-deoksi-2-[3-(metil-3-nitrosoureido)-D-gluko
piranose] diperoleh dari Streptomyces achromogenes dapat digunakan untuk
menginduksi baik DM tipe 1 maupun tipe 2 pada hewan uji. STZ menembus
sel β Langerhans melalui tansporter glukosa GLUT 2 (Bonner-Weir et al.,
1981; Szkudelski, 2001; Jackerott et al., 2006; Tormo et al., 2006).
62
Aksi STZ intraseluler menghasikan perubahan DNA sel β pankreas.
Alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitrosourea mengakibatkan kerusakan
pada sel β pancreas. Peningkatan defosforilasi ATP akan memacu
peningkatan substrat untuk enzim xantin oksidase (sel β pankreas mempunyai
aktivitas tinggi terhadap enzim ini), lebih lanjut meningkatkan produksi asam
urat. Xantin oksidase mengkatalisis reaksi pembentukan anion superoksida
aktif. Dari pembangkitan anion superoksida, terbentuk hidrogen peroksida
dan radikal superoksida. NO dan oksigen reaktif tersebut adalah penyebab
utama kerusakan sel β pancreas (Akpan et al., 1987; Szkudelski, 2001).
Pembuktian tikus yang sudah menderita diabetes mellitus dengan adanya
kenaikan kadar glukosa darah di atas batas normal yaitu > 200 mg/dl pasca
induksi STZ. Pasca induksi STZ, hewan coba diduga mengalami diabetes
mellitus tipe 2, karena STZ tidak merusak pankreas secara total darah vena
tikus wistar selama 28 hari dan diduga pankreas masih menghasilkan insulin,
tetapi sel reseptor mengalami resistensi insulin (Sulistyowati D, 2009).
Tabel 6.1 : Kadar Gula Darah Setelah Induksi Insulin Buat Batang
63
Kontrol (+) P1 P2 P30
100
200
300
400
500
600
tikus 1tikus 2tikus 3tikus 4tikus 5
Pada penelitian didapatkan kadar gula darah tikus sebagian besar lebih dari
200 mg/dl. Hal ini menunjukkan bahwa induksi STZ dosis 50 mg/KgBB
mampu untuk menaikkan kadar gula darah tikus putih (rattus novergicus
strain wistar).
5.6 Pengaruh Pemberian Ekstrak Rumput Laut Eucheuma cottonii Terhadap
Kadar Glukosa Darah
Pemberian ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii dengan dosis
4gr/kgBB/hari, 8 gr/kgBB/hari, dan 12 gr/kgBB/hari memiliki rerata kadar
glukosa darah lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol.
Berdasarkan uji One Way Anova, hasil analisis yang telah diolah dengan
Program Statistical Product dan Service Solution ( SPSS ) versi 16.0
didapatkan F hitung sebesar16,932, sementara diketahui bahwa nilai F tabel
untuk α = 1%, db=1 sebesar 4,22. Karena F hitung (16,932) > F tabel (4,22)
atau p (0,001) < α (0,001) maka Ho ditolak dan H1 diterima. Hasil uji statistik
64
ini menunjukkan adanya pengaruh ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii
terhadap kadar gula darah tikus putih (rattus novergicus strain wistar) dengan
diabetes melitus yang diinduksi STZ.
Rumput laut Eucheuma Cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut
dari golongan alga merah (Rhodophyceae) penghasil metabolit primer
senyawa hidrokoloid yang disebut karagenan (Doty, 1985)
Karaginan adalah salah satu jenis serat larut air yang sukar dicerna oleh
enzim manusia dan bersifat sebagai pengikat kation (binding of cations) yang
akan mengubah pH intestinum dengan cara mempengaruhi sekresi asam dan
basa lewat pengaruh hormon dan enzim. Hal ini akan mempengaruhi proses
pemecahan karbohidrat (disakarida) di dalam intestinum yang akhirnya akan
mempengaruhi proses penyerapan monosakarida, sehingga dapat menahan
laju peningkatan kadar glukosa darah setelah makan (post prandial) dan
mengurangi penurunan balik gula darah yang akan merangsang selera makan
(Wirjatmadi B, Adriani M, Purwanti S: 2002).
Selain itu, efek karagenan dalam menurunkan kadar glukosa juga
disebabkan karena kemampuan karagenan dalam menyerap air yang sangat
besar dengan membentuk gel atau larutan kental. Dengan demikian,
penyerapan glukosa ke dalam usus menjadi terhambat. Semua mekanisme ini
sangat berguna bagi pengaturan kadar glukosa darah agar tetap dalam batas
normal setelah mengkonsumsi makanan / minuman yang mengandung glukosa
atau mengandung senyawa yang nantinya dapat dipecah menjadi glukosa.
Ekstrak rumput laut mengandung senyawa karaginan yang mampu
65
mempengaruhi proses pemecahan karbohidrat dan proses penyerapan
monosakarida di dalam intestinum karena bersifat sebagai serat makanan
pengikat kation serta memiliki kemampuan menyerap air dalam jumlah besar
dengan membentuk gel atau larutan kental. Mekanisme ini dapat menahan
laju peningkatan kadar glukosa darah setelah makan sehingga glukosa yang
masuk ke dalam tubuh dapat dikontrol pada kondisi mendekati normal (Windy
Oliviany W, W Catharina Endah, Pratama Gilang Bagus. 2009).
BAB VIIPENUTUP
7.1 Kesimpulan
1). Pemberian ektrak rumput laut Eucheuma cottonii peroral dengan dosis 4
gr/KgBB/hari, 8gr/KgBB/hari, dan 12 gr/KgBB/hari dapat menurunkan
kadar gula darah tikus diabetik yang diinduksi streptozotosin.
2). Kadar efektif ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii untuk menurunkan
gula darah adalah pada dosis 12 gr/kgBB/hari. Pada dosis tersebut terjadi
penurunan kadar gula darah yang lebih tinggi dibandingkan dosis
8gr/KgBB/hari dan 12 gr/KgBB/hari.
66
. 7.2 Saran
1). Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh pemberian
ekstrak rumput laut Eucheuma cottonii terhadap kadar gula darah tikus
diabetik, dengan variasi dosis dan jumlah sampel yang lebih banyak.
2). Adanya pemanfaatan ekstrak rumput laut secara luas oleh masyarakat
sebagai terapi obat herbal efektif untuk menurunkan kadar glukosa darah,
khususnya pada penderita diabetes melitus.
5.2 Persiapan dan Perlakuan Hewan Coba
Pada penelitian ini digunakan 25 ekor tikus jantan tikus (Rattus norvegicus
strain wistar). Tikus percobaan dikelompokkan menjadi 5 kelompok, yaitu
kelompok kontrol negatif yang tidak diinduksi STZ dan tidak diberi diet
ektrak rumput laut, kontrol positif yang diinduksi STZ dan tidak diberi diet
rumput laut, perlakuan satu yang diinduksi STZ dan diberi diet ektrak rumput
laut dosis 4 gr/kg BB/hari, perlakuan dua yang diinduksi STZ dan diberi diet
ektrak rumput laut dosis 8 gr/kg BB/hari, perlakuan tiga yang diinduksi STZ
dan diberi diet ekstrak rumput laut dosis 12 gr/kg BB/hari. Masing-masing
kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Setiap kelompok dipisahkan dalam
kandang yang berbeda. Tahap percobaan meliputi masa adaptasi, injeksi STZ,
pengukuran glukosa dan pemberian terapi ektrak rumput laut Eucheuma
cottonii serta pengukuran kadar glukosa dalam darah. Selanjutnya, tikus
dibunuh dengan cara dislokalisasi.
67
5.3 Pengukuran Kadar Glukosa Darah dan Berat
Pengukuran kadar glukosa darah semua tikus wistar dilakukan pada hari
ke 0 dan 7 dengan glukometer yaitu dengan mengambil 1 tetes darah dari ekor
tikus. Selain pengukuran kadar glukosa darah, penimbangan berat badan juga
dilakukan pada hari ke 0 dan 7 untuk memantau berat badan selama perlakuan
berlangsung.
top related