preskes efusi pleura
Post on 25-Dec-2015
37 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
SEORANG LAKI-LAKI USIA 64 TAHUN DENGAN EFUSI
PLEURA DEXTRA ET CAUSA KEGANASAN PRIMER
DI PARU DD METASTASIS DI PARU
Oleh :
Hanifah Astrid E. G99131041
Nimas Ayu Suri P. G99131057
Pratiwi Prasetya P. G99131064
Irene Yunita P. G99131043
Bobbi Juni Saputra G99131024
Pembimbing :
Dr. Reviono, dr. Sp.P (K)
KEPANITERAAN KLINIK SMF / BAGIAN ILMU PENYAKIT PARU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan dalam rongga
pleura dan merupakan masalah umum dalam medis.
Akumulasi ini dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme
termasuk peningkatan permeabilitas membran pleura,
peningkatan tekanan kapiler paru, penurunan tekanan
negatif intrapleural, penurunan tekanan onkotik, dan
terhambatnya aliran limfatik (Maskell dan Burland, 2003). Efusi
pleura merupakan indikator dari suatu proses penyakit yang
mendasari penyakit yang dari paru, pleura, atau ektraparu
dapat bersifat akut atau kronis Meskipun spektrum etiologi
efusi pleura luas, efusi pleura paling sering disebabkan oleh
gagal jantung kongestif, pneumonia, keganasan, atau emboli
paru(Rubins, 2012).
Rongga pleura dalam keadaan normal berisi sekitar 10 –
20 ml cairan yang berfungsi sebagai pelicin agar paru dapat
bergerak dengan leluasa saat bernapas. Akumulasi cairan
melebihi volume normal dan menimbulkan gangguan jika
cairan yang diproduksi oleh pleura parietal dan viseral tidak
mampu diserap oleh pembuluh limfe dan pembuluh darah
mikropleura viseral atau sebaliknya yaitu apabila produksi
cairan melebihi kemampuan penyerapan. Akumulasi cairan
pleura melebihi normal dapat disebabkan oleh beberapa
kelainan, antara lain infeksi dan kasus keganasan di paru atau
organ luar paru (Syaruddin et al., 2003).
Efusi pleura terdapat diklasifikasikan dalam 2 kategori
yaitu berdasarkan karakteristik cairan pleura yaitu transudat
dan eksudat. Beberapa hasil penelitian menyebutkan 42-77%
efusi pleura eksudativa disebabkan proses keganasan (Sato,
2006). Gagal jantung kongestif merupakan penyebab dari
hampir 50 persen dari semua pleura efusi. Keganasan,
pneumonia, dan emboli paru adalah tiga penyebab utama dari
efusi pleura (Light, 2002).
Efusi pleura dapat terjadi sebagai komplikasi dari
berbagai penyakit. Pendekatan yang tepat terhadap pasien
efusi pleura memerlukan pengetahuan insidens dan
prevalens efusi pleura. Distribusi penyakit penyebab efusi
pleura tergantung pada studi populasi. Penelitian yang
pernah dilakukan di rumah sakit Persahabatan, dari 229
kasus efusi pleura pada bulan Juli 1994-Juni 1997, keganasan
merupakan penyebab utama diikuti oleh tuberkulosis,
empiema toraks dan kelainan ekstra pulmoner. Penyakit
jantung kongestif dan sirosis hepatis merupakan penyebab
tersering efusi transudatif sedangkan keganasan dan
tuberkulosis (TB) merupakan penyebab tersering efusi
eksudatif. Mengetahui karakteristik efusi pleura merupakan
hal penting untuk dapat menegakkan penyebab efusi pleura
sehingga efusi pleura dapat ditatalaksana dengan baik. Efusi
pleura terbanyak bersifat eksudat dan disebabkan oleh
malignansi dan tuberkulosis. Karakteristik efusi eksudatif
adalah unilateral, melibatkan hemitoraks kanan dan bersifat
masif. Karakteristik efusi transudatif adalah bilateral,
melibatkan hemitoraks kanan dan bersifat tidak masif
(Khairani et al., 2012).
Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 1984 efusi
pleura menduduki peringkat ke tiga dari 10 penyakit
terbanyak di bangsal. Di Indonesia tubekulosis merupkan
penyebab utama efusi pleura, disusul oleh keganasan.
Dengan distribusi terbanyak pada wanita daripada pria. Umur
terbanyak dengan kejadian efusi pleura pada tuberkulosis
adalah 21-30 tahun (Alsagaff dan Mukty, 2009).
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui dan
mempelajari tentang efusi pleura, sehingga diharapkan
apabila didapatkan kasus tentang efusi pleura maka dokter
muda mampu menegakkan diagnosis dan memberikan
penatalaksanaan secara tepat, benar dan akurat.
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 64 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Tukang Bangunan
Alamat : Jumantono Karanganyar
Tanggal masuk : 4 Februari 2015
Tanggal pemeriksaan : 4 Februari 2015
No. CM : 01289196
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Sesak Nafas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan dari BKPM Pati. Pasien datang dengan keluhan
sesak sejak 4 bulan SMRS, sesak dirasakan tambah memberat namun tidak
dipengaruhi oleh aktivitas dan cuaca. Pasien juga mengeluh batuk sejak 4
bulan terakhir. Batuk berdahak dengan dahak warna putih, darah (-). Batuk
tidak bertambah berat. Pasien juga mengeluh punggung kanan dan kaki kanan
nyeri yang dirasakan terus-menerus. Demam (-), mual (-), muntah (-), sumer-
sumer (-). BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pasien juga mengeluh penurunan
berat badan dari 56kg menjadi 50kg dalam 1 bulan terakhir.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat mondok :
a. Bulan desember 2014, pasien dirawat di RS Sari Asih 8 hari (ada
cairan di paru, dilakukan pungsi 2 kali, keluar cairan yang pertama
2000 cc, yang kedua 1500 cc
b. Bulan Januari 2015 mondok di BKPM Pati 3 hari dilakukan pungsi 2
kali (7000 cc)
2. Riwayat keluhan serupa : disangkal
3. Riwayat OAT/ Riwayat TB : disangkal
4. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat hipertensi : disangkal
6. Riwayat jantung : disangkal
7. Riwayat alergi : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat keluhan serupa : disangkal
2. Riwayat TB : disangkal
3. Riwayat DM : disangkal
4. Riwayat hipertensi : disangkal
5. Riwayat alergi : disangkal
E. Riwayat Sosial-ekonomi
1. Riwayat merokok : Pasien merokok 9 batang per hari selama ± 20
tahun terakhir.
2. Riwayat alkohol : disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK :
A. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
B. Kesadaran : Compos mentis
C. Vital sign :
1. Tensi : 130/80 mmHg
2. Nadi : 104 x/menit
3. Respirasi : 28 x/menit
4. Suhu : 36,50C
5. Saturasi : 98%
D. Kepala
1. Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
2. Hidung : Nafas cuping hidung (-)
3. Mulut : Sianosis (-)
4. Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP tidak
meningkat
E. Thorax
a. Cor
:
a. Pulmo :
Anterior
Posterior
Inspeksi : IC di SIC 5, 2 jari lateral linea mid
clavicula sinistra.
Palpasi : Pulsasi parasternal (-)
Pulsasi epigastrica (-)
Perkusi : Batas kanan atas SIC 2 LSD
Batas kiri atas SIC 2 LPSS
Batas kanan bawah SIC 4 LSD
Batas kiri bawah SIC 5 LAA
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II intensitas normal,
reguler, bising (-)
Inspeksi : Pengembangan dada ka < ki
Palpasi : Fremitus raba ka < ki
Perkusi : Redup SIC I ↓/sonor
Auskultasi
:
Suara Dasar Vesikuler (-)/ Suara Dasar Vesikuler (+),
RBK (-/-), Wheezing (-/-)
Inspeksi : Pengembangan dada ka < ki
Palpasi : Fremitus raba ka < ki
Perkusi : Redup SIC I ↓/sonor
Auskultasi
:
Suara Dasar Vesikuler (-)/ Suara Dasar Vesikuler (+),
RBK (-/-), Wheezing (-/-)
b. Abdomen : Supel, Nyeti tekan (-), Hepar dan lien tidak teraba
c. Ekstremitas :
Akral Dingin Oedema
- - - -
- - + +
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan 4 Februari 2015
Laboratorium darah 4 Februari 2015
Darahrutin
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
8.5 gr/dl
27 %
13.6 x 103 /ul
302 x 103 / ul
3.18 x 106 /ul
Golongan darah AB
Kimia Klinik
GDS
SGOT
SGPT
Albumin
Ureum
151
25 u/L
15 u/L
2,7 g/dl
0,7 mg/dl
Elektrolit
Natrium darah
Kalium darah
Chlorida darah
135 mmol/L
3,3 mmol/L
104 mmol/L
Serologi
HbSAg Negatif
Analisa Gas darah
Analisa gas darah 4 Februari 2015
Kimia klinik
PH
BE
PCO2
PO2
Hematokrit
HCO3
Total CO2
7,37
10,4 mmol/L
61 mmHg ↑
115 mmHg
46%
31,3 mmol/L ↑
37,3 mmol/L
Kesan : Asidosis respiratorik terkompensasi sempurna dengan
gagal napas hiperkapnik
2. Foto Thoraks (4 Februari 2015):
Gambar 1.1. Rontgen Thorax
Cor : batas kanan jantung tertutup perselubungan CTR
tidak vailid dinilai
Pulmo : tak tampak infiltrate di lapang pau kiri dan apeks
kanan, corakan bronkovaskuler normal pada lapang paru kiri
Sinus costophrenicus kanan anterior posterior terutup
perselubungan, kiri anterior posterior tumpul
Retrosternal dan retrocardiac space sebagian tertutup
perselubungan
Hemidiafragma kanan tertutup perselubungan, kiri normal
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan : Efusi pleura bilateral (kanan lebih berat,
kemungkinan adanya masa belum dapat disingkirkan
V. ASSESMENT
Efusi Pleura dextra et causa Keganasan Primer di Paru DD metastasis di
Paru
VI. PLANNING
1. Sitologi Cairan Pleura
2. Sitologi Sputum
3. CT-Scan Thoraks dengan kontras
4. Bronkoskopi
5. USG Abdomen
VII. TERAPI
1. O2 k/p
2. Diet TKTP 1700 kkal + ekstra putih telur
3. IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
4. Asam mefenamat 3 x 500 mg
5. KSR 2 x 1
6. NAC 3 x 200mg
7. Transfusi PRC
VIII. Evaluasi WSD
Telah dilakukan WSD dan dikeluarkan cairan : 1500 ml warna
serohemoragik, dihentikan/diklem
Evaluasi WSD :
1. Produksi cairan selang terisi penuh
2. Emfisema subkutis (-)
3. Bubble (-)
4. Undulasi (-)
IX. Prognosis
1. Ad functionam : dubia ad bonam
2. Ad vitam : dubia ad bonam
3. Ad sanationam : dubia ad bonam
FOLLOW UP PASIEN
Tanggal Keluhan/KU/VS Pemeriksaan / Diagnosis Terapi
05/02/15
KU : tampak sakit
sedang, cm
VS :
HR=86x/menit,
RR=26x/menit,
Pulmo:
Inspeksi :
Pengembangan dada ka < ki
Palpasi :
Fremitus raba ka < ki
Perkusi :
redup SIC I ↓/sonor
Terapi:
O2 k/p
Diet TKTP 1700 kkal + ekstra
putih telur
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Asam mefenamat 3 x 500 mg
KSR 2 x 1
NAC 3 x 200mg
TD=110/70mmHg
T=36,80C
Auskultasi :
SDV (-)/SDV (+), Wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (-/-)
Dx:
Efusi Pleura dextra et causa
Keganasan Primer di Paru DD
metastasis di Paru
Plan:
Koreksi DR3
06/02/15
KU : tampak sakit
sedang, cm
VS :
HR=107x/menit,
RR=26x/menit,
TD=120/80 mmHg
T=36,80C
Pulmo:
Inspeksi :
Pengembangan dada ka < ki
Palpasi :
Fremitus raba ka < ki
Perkusi :
redup SIC I ↓/sonor
Auskultasi :
SDV (-)/SDV (+), Wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (-/-)
Dx:
Efusi Pleura dextra et causa Keganasan Primer di Paru DD metastasis di Paru
Terapi:
O2 k/pDiet TKTP 1700 kkal + ekstra putih telur IVFD NaCl 0,9% 20 tpm Asam mefenamat 3 x 500 mgKSR 2 x 1NAC 3 x 200mg
07/02/15
KU : tampak sakit
sedang, cm
VS :
HR=98x/menit,
RR=24x/menit,
TD=120/80 mmHg
T=36,80C
Pulmo :
Inspeksi :
Pengembangan dada ka < ki
Palpasi :
Fremitus raba ka < ki
Perkusi :
redup SIC I ↓/sonor
Auskultasi :
SDV (-)/SDV (+), Wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (-/-)
Dx:
Efusi Pleura dextra et causa
Keganasan Primer di Paru DD
metastasis di Paru
Terapi:
O2 k/pDiet TKTP 1700 kkal + ekstra putih telur IVFD NaCl 0,9% 20 tpm Asam mefenamat 3 x 500 mgKSR 2 x 1NAC 3 x 200mg
Plan:
Cek hasil sitologi sputum +
sitologi ACP
Cek DR3 Post Transfusi
Evakuasi cairan 1500 cc
08/02/15
KU : tampak sakit
sedang, cm
VS :
HR=88x/menit,
RR=24x/menit,
TD=120/80 mmHg
T=36,80C
Pulmo :
Inspeksi :
Pengembangan dada ka < ki
Palpasi :
Fremitus raba ka < ki
Perkusi :
redup SIC I ↓/sonor
Auskultasi :
SDV (-)/SDV (+), Wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (-/-)
Dx:
Efusi Pleura dextra et causa
Keganasan Primer di Paru DD
metastasis di Paru
Terapi:
O2 k/pDiet TKTP 1700 kkal + ekstra putih telur IVFD NaCl 0,9% 20 tpm Asam mefenamat 3 x 500 mgKSR 2 x 1NAC 3 x 200mg
Evaluasi WSD :
Cairan ± 1000 cc
Buble (-)
Undulasi (-)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Efusi pleura adalah akumulasi abnormal cairan dalam
rongga pleura yang dihasilkan dari produksi cairan yang
berlebihan atau penurunan penyerapan (Rubins, 2012)
B. Etiologi
Ruang pleura yang normal mengandung sekitar 1 ml
cairan, mewakili keseimbangan antara tekanan hidrostatik
dan onkotik di pembuluh pleura visceral dan parietal dan
drainase limfatik. Efusi pleura terjadi dari terganggunya
keseimbangan ini.
1. Perubahan permeabilitas dari membran pleura (misalnya,
radang, keganasan, emboli paru)
2. Penurunan tekanan onkotik intravaskular (misalnya,
hipoalbuminemia, sirosis)
3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan vaskuler
(misalnya, trauma, keganasan, peradangan, infeksi, infark
paru, obat hipersensitivitas, uremia, pankreatitis).
4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi
sistemik dan /atau paru (misalnya, gagal jantung
kongestif, sindrom vena kava superior).
5. Pengurangan tekanan dalam rongga pleura, mencegah
ekspansi paru penuh (misalnya, atelektasis yang luas,
mesothelioma)
6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan, termasuk
obstruksi duktus toraks atau pecah (misalnya, keganasan,
trauma)
7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi melintasi
diafragma melalui limfatik atau cacat struktural (misalnya,
sirosis, dialisis peritoneal) (Rubins, 2012)
C.Jenis Cairan Pada Efusi Pleura
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan sebagai transudat
atau eksudat, berdasarkan mekanisme pembentukan cairan
dan kimia cairan pleura. Transudat hasil dari
ketidakseimbangan dalam tekanan onkotik dan tekanan
hidrostatik, sedangkan eksudat adalah hasil dari peradangan
pleura atau penurunan drainase limfatik. Dalam beberapa
kasus, cairan pleura mungkin memiliki kombinasi karakteristik
transudat dan eksudatif (Rubins, 2012). Untuk membedakan
transudat dan eksudat jika memenuhi dua dari tiga kriteria
Light, yaitu: :
a. Ratio kadar protein cairan efusi pleura/ kadar protein serum
>0.5
b. Ratio kadar LDH cairan efusi pleura/ kadar LDH serum <0.6
c. Kadar LDH cairan efusi pleura <2/3 batas atas nilai normal
kadar LDH serum
Jika angka tersebut terlampaui, efusi pleura termasuk jenis
eksudat.ketika efusi pleura telah didiagnosis eksudat melalui
kriteria diatas, namun klinis dianggap transudat, perbedaan
konsentrasi albumin antaea serum dan efusi >1.2 mg/dl dapat
menunjukkan cairan efusi bersifat transudat (Sato, 2006).
Tabel 1. Etiologi Efusi Pleura
Eksudat TransudatEfusi ParapneumoniaNeoplasma
Gagal jantung kiri Sirosis hatiHipoalbuminPeritonial Dialisis
Emboli paruArthritis ReumatikEfusi jinak yang disebabkan oleh asbestosPankreatitisSindrom infark miokardPenyakit autoimunPost operasi bypass arteri koronaria
Sindrom nefrotik Emboli paruHipotiroidStenosis mitral
Abses hepaticUremia ChylothoraksInfeksi lainnyaPengaruh obatRadioterapiRuptur esophageal
PerikarditisSindrom meigUrinothoraksObstruksi vena kava superior
(McGrath dan Anderson, 2011)
D. Penyebab dan Patofisiologi Efusi Pleura
Normalnya cairan pleura masuk ke dalam rongga pleura
dari dinding dada (pleura parietalis) dan mengalir
meninggalkan rongga pleura menembus pleura viseralis
untuk masuk ke dalam aliran limfe. Tekanan hidrostatik di
kapiler sistemik (dinding dada) besarnya 30 cm H2O.
Tekanan negatif di dalam rongga pleura adalah -5 cm H2O,
(30 cm dikurangi -5 cm = 35 cm). Tekanan osmotik koloid di
kapiler sistemik (dinding dada) besarnya 34 cm H2O.
Tekanan osmotik koloid di rongga pleura adalah 8 cm H2O.
Perbedaan tekanan osmotik koloid antara kapiler sistemik
dengan tekanan osmotik koloid di ronggan pleura = 26 cm
H2O. Cairan cenderung mengalir dari daerah bertekanan
osmotik rendah ke arah daerah bertekanan osmotik tinggi.
Berdasarkan perbedaan tekanan osmotik, seharusnya cairan
di dalam rongga pleura cenderung mengalir dari rongga
pleura ke dinding dada, akan tetapi karena tekanan
hidrostatik dari dinding dada ke arah rongga pleura lebih
besar, yaitu 35 cm H2O cairan dari dinding dada akan masuk
ke dalam rongga pleura (Djojodibroto, 2009).
1. Efusi Pleura karena Kelainan Intra Abdominal
Efusi pleura dapat terjadi secara steril karena reaksi
infeksi dan peradangan yang terpat dibawah diafragma
seperti pankreas atau ekstraserbasi akut pankreatitis
kronik, abses ginjal, abses hati, abses limpa.
Biasanya efusi terjadi pada pleura kiri tapi dapat juga
bilateral. Mekanismenya adalah karena berpindahnya
cairan yang mengandung enzim pankreas ke rongga pleura
melalui saluran getah bening. Efusi ini bersifat eksudat
serosa tapi kadang-kadang bisa hemoragik. Kadang
amilase dalam efusi lebih tinggi daripada dalam serum.
Efusi juga sering setelah 48-72 jam pasca operasi
abdomen seperti splenektomi, operasi terhadap obstruksi
intestinal atau pasca operasi atelektasis. Biasanya terjadi
unilateral dan jumlah efusi tidak banyak (lebih jelas terlihat
pada foto lateral dekubitus). Cairan biasanya bersifat
enksudat dan mengumpul pada sisi operasi, efusi pleura
operasi biasanya bersifat maligna dan kebanyakan akan
sembuh secara spontan.
Sirosis hati. Kebanyakan efusi pleura terjadi bersamaan
dengan asites. Secara khas terdapat kesamaan antara
cairan pleura dan asites, karena terdapat hubungan
fungsional antara rongga pleura dan rongga abdomen
melalui saluran getah bening atau celah jaringan otot
diafragma. Biasanya efusi menempati pleura kanan dan
efusi bisa juga terjadi bilateral.
Dialisis peritoneal. Efusi pleura dapat terjadi selama dan
sesudah dilakukannya dialisis peritoneal. Hal ini dapat
terjadi karena perpindahan cairan melalui celah diafragma,
yang dibuktikan dengan komposisi yang sama antara
cairan pleura dan cairan dialisat.
2. Efusi Pleura karena Gangguan Sirkulasi
Gangguan Kardiovaskular. Payah jantung adalah sebab
terbnayak timbulnya efusi pleura. Penyebab lain:
perikarditis kontritiva dan sinrom vena kava superior.
Patogenesisnya adalah terjadinya peningktan tekanan vena
sistemik dan tekanan kapiler pulmonal akan menurunkan
kapasitas reabsorbsi pembuluh darah subpleura dan aliran
getah bening juga akan menurun sehingga filtrasi cairan ke
rongga pleura dan paru-paru meningkat. Tekanan
hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada
dapat juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral,.
Emboli Pulmonal. Efusi dapat terjadi pada sisi paru yang
terkena emboli pulmonal. Keadaan in dapat disertai
dengan infark paru atau tanpa infark.
3. Tuberkulosis
Di banyak daerah di dunia, tuberkulosis menjadi
penyebab paling umum dari efusi pleura. Pecahnya
subpleural fokus caseous ke dalam rongga pleura
memungkinkan protein TB untuk memasuki ruang pleura
dan menghasilkan reaksi hipersensitivitas yang
bertanggung jawab untuk sebagian besar manifestasi
klinis. Efusi pleura yang menyebabkan pleuritis
tuberkulosis bermanifestasi sebagai penyakit akut sama
dengan manifestasi dari pneumonia bakteri akut. Hal ini
biasanya unilateral dan dapat dari berbagai ukuran. Cairan
pleura dalam TB adalah selalu eksudat dengan lebih dari
50% limfosit dalam hitungan diferensial sel darah putih dan
jarang mengandung lebih dari 5% sel mesotelial (Yataco
dan Dweik, 2005).
4. Efusi Pleura Neoplasma
Neoplasma primer ataupun sekunder (metastasis) dapat
menyerang pleura dan umumnya menyebabkan efusi
pleura. keluhan yang paling banyak ditemukan adalah
nyeri dada dan sesak. Gejala lainnya yaitu akumulasi
cairannya kembali dengan cepat walaupun dilakukan
torakosentesis berkali-kali.
Efusi bersifat eksudat, tapi sebagian kecil bisa
transudat. Warna efusi bisa sero-santokrom ataupun
hemoragik (terdapt lebih dari 10.000 sel eritrosit per cc). Di
dalam cairan ditemukan sel-sel limfosit (yang dominan)
dan banyak sel mesotelial. Jenis-jenis neoplasma dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan sitologi terhadapp cairan
efusi atau biopsi pleura parietalis.
Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi pleura
pada neoplasma yakni:
a. Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatkan
permeabilitas pleura terhadap air dan protein.
b. Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya
aliran pembuluh darah vena dan getah bening,
sehingga rongga pleura gagal dalam memindahkan
cairan dan protein.
c. Adanya tumor membuat infeksi lebih mudah terjadi dan
selanjutnya timbul hipoproteinemia.
Efusi pleura terhadap neoplasma biasanya unilateral,
tetapi bisa juga bilateral karena obstruksi saluran getah
bening, adanya metastasis dapat mengakibatkan
pengaliran cairan dari rongga pleura via diafragma.
Keadaan efusi dapat bersifat maligna (Halim, 2009).
E. Manifestasi Klinis
Gejala tergantung pada jumlah cairan dan penyebab
yang mendasari. Banyak pasien tidak memiliki gejala pada
saat efusi pleura ditemukan. Gejala termasuk nyeri dada
pleuritik, dispnea, dan batuk kering (nonproduktif) (Yataco
dan Dweik, 2005). Adanya edema pada kaki atau trombosis
vena dapat mengakibatkan efusi pleura yang berhubungan
dengan emboli paru. Riwayat penyakit serta pemeriksaan
fisik sangat penting dalam mendiagnosis efusi pleura.
Beberapa aspek pemeriksaan fisik seperti pemeriksaan dada
biasanya redup pada perkusi, tidak adanya fremitus, dan
vesikuler berkurang atau bahkan hilang. Distensi JVP , adanya
gallop bunyi jantung atau edema perifer menunjukkan gagal
jantung kongestif, dan ventrikel kanan atau tromboflebitis
menunjukkan terjadinya emboli paru. Adanya limfadenopati
atau hepatosplenomegali menunjukkan penyakit neoplastik,
dan ascites menunjukkan adanya kelainan hati. Karena
kondisi selain efusi pleura mungkin menghasilkan gambaran
radiologis yang sama, pencitraan alternatif penelitian sering
diperlukan untukadanya efusi pleura. Pemeriksaan penunjang
dengan ultrasonographic atau Foto thoraks lateral dekubitus
paling sering digunakan, namun computed tomografi (CT-
scan) dada memungkinkan pencitraan yang mendasari
parenkim paru-paru atau mediastinum (Light, 2002).
G. Pemeriksaan fisik 1. Biasanya ada gejala dari penyakit dasarnya.
2. Bila sesak napasnya yang menonjol, kemungkinan besar
karena proses keganasan.
3. Efusi berbentuk kantong (pocketed) pada fisura
interlobaris tidak memberi gejala-gejala. Begitu pula bila
efusinya berada di atas diafragma.
4. Pada perkusi, suara ketok terdengar redup sesuai dengan
luasnya efusi pada auskultasi suara napas berkurang atau
menghilang.
5. Resonansi vocal berkurang (Mukty et al., 1994).
6. Jika jumlah cairan pleura < 300 mL, cairan ini belum
menimbulkan gejala pada pemeriksaan fisik.
7. Jika jumlah cairan pleura telah mencapai 500 mL, baru
dapat ditemukan gejala berupa gerak dada yang
melambat atau terbatas saat inspirasi pada sisi yang
mengandung akumulasi cairan. Fremitus taktil juga
berkurang pada dasar paru posterior. Suara perkusi
menjadi pekak dan suara napas pada auskultasi terdengar
melemah walaupun sifatnya masih vesikuler.
8. Jika akumulasi cairan melebihi 1000 mL, sering terjadi
atelektasis pada paru bagian bawah. Ekspansi dada saat
inspirasi pada bagian yang mengandung timbunan cairan
menjadi terbatas sedangkan sela iga melebar dan
menggembung. Pada auskultasi di atas batas cairan,
sering didapatkan suara bronkovesikuler yang dalam,
sebab suara ini ditransmisiskan oleh jaringan paru yang
menagalami atelektasis. Pada daerah ini juga dapat
ditemukan fremitus vokal dan egofoni yang bertambah
jelas.
9. Jika akumulasi cairan melebihi 2000 mL, cairan ini dapat
menyebabkan seluruh paru menjadi kolaps kecuali bagian
apeks. Sela iga semakin melebar, gerak dada pada
inspirasi sangat terbatas, suara napas, fremitus taktil
maupun fremitus vocal sulit didengar karena sangat
lemah. Selain itu terjadi pergeseran mediastinum ke arah
ipsilateral dan penurunan letak diafragma (Djojodibroto D.,
2009).
H. Pemeriksaan penunjang 1. Foto toraks
Cairan yang kurang dari 300 cc, pada fluoroskopi
maupun foto toraks PA tidak tampak. Mungkin kelainan
yang tampak hanya berupa penumpulan sinus
kostofrenikus. Pada efusi pleura subpulmonal, meskipun
cairan pleura lebih dari 300 cc, sinus kostofrenikus tidak
tampak tumpul tetapi diafragma kelihatan meninggi.
Untuk memastikan dapat dilakukan foto dada lateral dari
sisi yang sakit. Foto toraks PA dan posisi lateral dekubitus
pada sisi yang sakit seringkali memberi hasil yang
memuaskan bila cairan pleura sedikit, atau cairan
subpulmonal yaitu tampak garis batas cairan yang sejajar
dengan kolumna vertebralis atau berupa garis horizontal
(Alsagaff dan Mukty, 2009).
Gambar 1. Foto thoraks dan computed tomography
scan yang menunjukkan adanya efusi
pleura pada sisi kanan (McGrath dan
Anderson 2011).
Gambar 2.Efusi pleura masif (Rubins, 2012)
2. Pemeriksaan Mikroskopis dan sitologi
Jika didapatkan sel darah putih sebanyak >1000/mL,
hal ini mengarahkan diagnosis kepada eksudat. Jika sel
darah putih > 20.000/mL, keadaan ini menunjukan
empiema. Neutrofil menunjukan kemungkinan adanya
pneumonia, infark paru, tuberkulosis paru fase awal atau
pancreatitis. Limfosit dalam jumlah banyak mengarahkan
kepada tuberculosis, limfoma atau keganasan. Jika pada
torakosintesis didapatkan banyak eosinofil, tuberculosis
dapat disingkirkan (Djojodibroto D., 2009).
3. Pemeriksaan biokima
a. Protein > 3 g/dl eksudat
b. Protein < 3 g/dl transudat
c. Glukosa < normal “rheumatoid pleural effusion”,
kemungkinan lain karena keganasan atau purulen.
d. Kolesterol menunjukan proses kronis atau mungkin
karena rheumatoid
e. Amilase pancreatitis atau karsinoma pankreas
(Mukty et al., 1994).
Tabel 2.Pemeriksaan Biokimia
TesBiokimia DiagnosisKadar kolesterolKadar trigliserida
Kilothoraks
Kadar hematokrit Hemothoraks jika kadar hematokrit > 50%
Kadar amilase Pankreatitis atau ruptur esofagus
Kadar NT-proBNP Gagal jantung jika meningkat
Kadar kreatinin Urinothoraks jika kadar kreatinin cairan > kadar kreatinin serum
PCR Tuberkulosis atau infeksi streptococcus pneumoniae
Tumor marker Karsinoma mamaeKarsinoma ParuOvariaum, endometrium dan kanker payudara
4. Pemeriksaan bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang
dapat mengandung mikroorsganisme, apalagi bila
cairanya purulen (menunjukan empiema). Efusi yang
purulen dapat mengandung kuman-kuman yang aerob
atau anaerob. Jenis kuman yang sering ditemukan dalam
cairan pleura adalah : Pneumokokokus, E.coli, klebsiela,
pseudomonas, enterobacter (Halim H., 2009).
I. Diagnosis banding
1. Tumor paru
2. Schwarte atau penebalan pleura
3. Atelektasis lobus bawah
4. Diafragma letak tinggi (Alsagaff dan Mukty, 2009).
5. Konsolidasi paru karena pneumonia
6. Fibrosis pleura (Mukty et al., 1994).
J. Diagnosis Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara mengambil cairan
dari rongga pleura dengan cara pungsi pleura atau
torakosintesis atau pleural tapping. Pungsi pleura dilakukan
dengan cara menusukkan jarum pungsi atau abbocath di
antara dua iga. Cairan yang terdapat di dalam rongga pleura
secara umum disebut efusi pleura. Efusi pleura berupa nanah
disebut empiema, jika berupa darah disebut hematotoraks,
jika berisi cairan kilus disebut kilotoraks. Penyebab efusi
pleura tidak hanya berupa kelainan di daerah toraks tetapi
juga dapat karena kelainan di daerah lain (ekstratoraks) atau
sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik (Djojodibroto D.,
2009).
K. Penatalaksanaan1. Aspirasi cairan pleura dilakukan untuk mengurangi rasa
tidak enak atau “discomfort” dan sesak napas. Dianjurkan
melakukan aspirasi sedikit demi sedikit. Cairan yang
dikeluarkan antara 500-1000 cc. bila pengambilan terlalu
banyak dan cepat dapat menyebabkan edema paru.
2. Lebih sering dilakukan pleurodesis pada proses keganasan
atau pada efusi pleura yang sering kambuh. Dengan
menggunakan 500 mg serbuk tetrasiklin yang dilarutkan
didalam 50 cc garam faali. Penderita digoyang-goyangkan
supaya rata, kemudian cairan dikeluarkan setelah diklem
selama 24 jam atau diberi serbuk sodium atau talk. Nyeri
yang terjadi karena pemeberian obat di atas dapat diatasi
dengan analgetika.
3. Pemberian steroid ditambahkan dengan OAT dapat
menyerap efusi pleura yang disebabkan oleh TB paru
secara cepat dan mengurangi fibrosis (Mukty et al., 1994).
4. Efusi pleura transudat
Cairan tidak begitu banyak. Terapinya yaitu:
a. Bila disebabkan oleh tekanan hidrostatik yang
meningkat, pemberian diuretika dapat menolong.
b. Bila disebabkan oleh tekanan osmotik yang
menurun sebaiknya diberikan protein.
c. Bahan sklerosing dapat dipertimbangkan bila ada
reakumulasi cairan berulang dengan tujuan
melekatkan pleura viseralis dan parietalis.
5. Efusi pleura eksudat
Efusi yang terjadi setelah keradangan paru
(pneumonia). Paling sering disebabkan oleh pneumonia.
Umumnya cairan dapat diresorbsi setelah pemberian
terapi yang adekuat untuk penyakit dasarnya. Bila terjadi
empiema, perlu pemasangan kateter toraks dengan WSD.
Bila terjadi fibrosis, tindakan yang paling mungkin hanya
dekortikasi (jaringan fibrotik yang menempel pada pleura
diambil /dikupas).
6. Efusi pleura maligna
Pengobatan ditujuakan pada penyebab utama atau
pada penyakit primer dengan cara radiasi atau
kemoterapi. Bila efusi terus berulang, dilakukan
pemasangan kateter toraks dengan WSD.
7. Kilotoraks
Cairan pleura berupa kilus yang terjadi karena
kebocoran akibat penyumbatan saluaran limfe duktus
torasikus di rongga dada. Tindakan yang dilakukan
bersifat konsevatif : torakosintesis 2-3 kali. Bila tidak
berhasil, dipasang kateter toraks dengan WSD. Tindakan
yang paling baik ialah melakukan opersai reparasi
terhadap duktus torasikus yang robek (Alsagaff dan
Mukty, 2009).
Thoracosintesis
Setiap efusi pleura yang cukup besar menyebabkan
gejala pernafasan berat harus dikeringkan terlepas dari
penyebabnya. Mengurangi gejala adalah tujuan utama
terapi drainase pada pasien. Satu-satunya kontraindikasi
absolut terhadap thoracentesis infeksi kutan aktif pada
tempat tusukan. Beberapa kontraindikasi relatif termasuk
diatesis pendarahan yang parah, antikoagulasi sistemik,
dan volume cairan yang kecil. Kemungkinan komplikasi
dari prosedur ini termasuk perdarahan (karena tusukan
pada pembuluh atau parenkim paru), pneumotoraks,
infeksi (infeksi jaringan lunak atau empiema), laserasi
organ intra-abdomen, hipotensi, dan paru edema (Yataco
dan Dweik, 2005).
Indikasi untuk thoracentesis adalah adanya efusi
pleura klinis yang signifikan (lebih dari 10 mm pada
ultrasonografi atau foto lateral decubitus). Jika pasien
datang dengan gagal jantung kongestif dan efusi bilateral
dengan ukuran yang sama, afebris, dan tidak memiliki
nyeri dada, percobaan diuresis dapat dilakukan. Sejak
lebih dari 80 persen pasien dengan efusi pleura
disebabkan oleh gagal jantung kongestif memiliki
bilateral efusi pleura, thoracentesis diindikasikan jika
efusi adalah unilateral. Jika efusi tetap selama lebih dari
tiga hari, thoracentesis dapat diterapkan (Light, 2002).
Pleurodesis
Pleurodesis adalah penyatuan pleura viseralis
dengan parietalis baik secara kimiawi, mineral ataupun
mekanik, secara permanen untuk mencegah akumulasi
cairan maupun udara dalam rongga pleura. Secara
umum, tujuan dilakukannya pleurodesis adalah untuk
mencegah berulangnya efusi berulang (terutama bila
terjadi dengan cepat), menghindari torakosintesis
berikutnya dan menghindari diperlukannya insersi chest
tube berulang, serta menghindari morbiditas yang
berkaitan dengan efusi pleura atau pneumotoraks
berulang (trapped lung, atelektasis, pneumonia,
insufisiensi respirasi, tension pneumothoraks). Efusi
pleura maligna merupakan indikasi paling utama pada
pleurodesis. Beberapa keadaan yang dapat dianggap
sebagai kontraindikasi relatif pleurodesis meliputi:
1. Pasien dengan perkiraan kesintasan < 3 bulan.
2. Tidak ada gejala yang ditimbulkan oleh efusi pleura.
3. Pasien tertentu yang masih mungkin membaik
dengan terapi sistemik (kanker mammae, dll).
4. Pasien yang menolak dirawat di rumah sakit atau
keberatan terhadap rasa tidak nyaman di dada
karena slang torakostomi.
5. Pasien dengan re-ekspansi paru yang tidak
sempurna setelah pengeluaran semua cairan pleura
(trapped lung) (Amin dan Masna, 2007).
L. Prognosis
Biasanya sembuh setelah diberi pengobatan adekuat
terhadap penyakit dasar. Empiema mungkin timbul akibat
infeksi paru seperti pneumonia (Mukty et al., 1994).
Prognosis efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologi yang
mendasari kondisi ini. Morbiditas dan mortalitas efusi pleura
berhubungan langsung dengan penyebabnya, stadium
penyakit, dan temuan biokimia dalam cairan pleura.
Pada efusi pleura ganas dikaitkan dengan prognosis
yang sangat buruk (Alsagaff dan Mukty, 2009), dengan
kelangsungan hidup rata-rata 4 bulan dan berarti
kelangsungan hidup kurang dari 1 tahun. Yang paling umum
keganasan terkait pada pria adalah kanker paru-paru, dan
keganasan yang paling umum pada wanita adalah kanker
payudara. Efusi dari kanker yang lebih responsif terhadap
kemoterapi, seperti limfoma atau kanker payudara, lebih
dihubungkan dengan kelangsungan hidup berkepanjangan,
dibandingkan dengan kanker paru-paru atau mesothelioma.
Temuan seluler dan biokimia dalam cairan juga dapat
menjadi indikator prognosis. Misalnya, pH cairan pleura lebih
rendah sering dikaitkan dengan beban tumor lebih tinggi dan
prognosis yang buruk (Rubins, 2012).
M.Komplikasi
1. Empiema
2. Schwarte
3. Kegagalan pernapasan (Alsagaff dan Mukty, 2009).
N. Pencegahan
Lakukan pengobatan yang adekuat pada penyakit-penyakit
dasarnya yang dapat menimbulkan efusi pleura. Merujuk
penderita ke rumah sakit yang lebih lengkap bila diagnosis
kausal ditegakkan. Tindakan yang dapat dilakukan untuk
menentukan dan mengobati penyakit dasarnya misalnya,
biopsi pleura, bronkoskopi, torakotomi, dan torakoskopi
(Alsagaff dan Mukty, 2009).
BAB IV
DISKUSI
Pasien merupakan rujukan dari BKPM Pati. Pasien datang dengan keluhan
sesak sejak 4 bulan SMRS, sesak dirasakan tambah memberat namun tidak
dipengaruhi oleh aktivitas dan cuaca. Pasien juga mengeluh batuk sejak 4
bulan terakhir. Batuk berdahak dengan dahak warna putih, darah (-). Batuk
tidak bertambah berat. Pasien juga mengeluh punggung kanan dan kaki kanan
nyeri yang dirasakan terus-menerus. Demam (-), mual (-), muntah (-), sumer-
sumer (-). BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pasien juga mengeluh penurunan
berat badan dari 56kg menjadi 50kg dalam 1 bulan terakhir.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah dan tampak
sakit sedang, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 104x/menit, respiration rate
28x/menit, suhu 36,5 ° C, saturasi 98%. Untuk pemeriksaan paru
pengembangan dinding dada kanan < kiri, fremitus raba kanan < kiri, perkusi
pada paru kanan terdengar redup pada SIC I ↓ sedangkan pada paru kiri sonor,
pada auskultasi pada paru kanan suara dasar vesikuler (-) sedangkan pada paru
kiri suara dasar vesikuler (+), RBK (-/-), Wheezing (-/-).
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 4 Februari 2015 didapatkan
penurunan hemoglobin 8.5 gr/dl, penurunan hematokrit 27 %, penurunan
anthal eritrosit 3.18 x 106 /ul, peningkatan anthal leukosit 13.6 x 103 /ul,
penurunan SGOT 25 u/L, penurunan albumin 2,7 g/dl sedangkan anthal
trombosit, SGPT, natrium darah, kalium darah, chloride darah dalam batas
normal. Pada pemeriksaan radiologi foto thorax PA lateral tanggal 4 Februari
2015 didapatkan hasil efusi pleura bilateral (kanan lebih berat, kemungkinan
adanya masa belum dapat disingkirkan.
Pada anamnesis didapatkan sesak nafas. Sesak nafas
timbul karena terkumpulnya cairan pada rongga pleura yang
menekan parenkim paru. Pasien juga mengalami penurunan
berat badan dari 56 kg mejadi 50 kg. Selain itu, pasien juga
mengalami batuk selama 4 bulan terakhir. Oleh karena itu
kemungkinan penyakit kronis seperti Tuberculosis belum
dapat disingkirkan.
Sedangkan pada pemeriksaan fisik thorax didapatkan
pengembangan dada kanan lebih tertinggal dari pada dada
kiri. Menandakan adanya kelainan pada dada kanan. Dapat
pula terjadi kelainan pada kedua paru namun sisi kanan lebih
parah dari pada sisi kiri. Pada palpasi didapatkan fremitus
raba kanan lebih menurun dari pada sisi kiri. Fremitus raba
menendakan getaran yang dialirkan melalui dada yang
kemudian ditangkap oleh kedua tangan. Apabila fremitus raba
menurun menandakan adanya gangguan dalam
penghantaran getaran dalam rongga dada. Gangguan
pengahantaran getaran dapat terjadi karena adanya cairan
atau massa dalam rongga dada. Pada perkusi didapatkan
adanya suara redup pada paru kanan pada SIC I ↓. Hal ini
mempertegas adanya massa atau cairan dalam rongga dada
bagian kanan. Sedangkan pada auskultasi didapatkan suara
dasar vesikuler pada paru kanan menghilang. Pada paru kiri
suara dasar vesikuler masih didapatkan, serta tidak
didapatkan suara tambahan.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal didapatkan penurunan hemoglobin
8.5 gr/dl, penurunan hematokrit 27 %, penurunan anthal eritrosit 3.18 x 106 /ul
menandakan suatu proses kronis seperti keganasasan.
Penurunan anthal leukosit 13.6 x 103 /ul dapat menujukkan tidak terdapat
infeksi. Tidak adanya infeksi juga dapat dilihat dari tidak terdapat gejala
sistemik infeksi seperti demam.
Adanya hipoalbuminemia juga akan mengakibatkan terjadinya
peningkatan pembentukan cairan pleura dan berkurangnya reabsorbsi, hal
tersebut berdasarkan adanya penurunan pada tekanan onkontik intravaskuler
(tekanan osmotic yang dilakukan oleh protein).
Pada pemeriksaan radiologi foto thorax PA lateral tanggal 4 Februari 2015
didapatkan hasil efusi pleura bilateral (kanan lebih berat, kemungkinan adanya
masa belum dapat disingkirkan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara mengambil cairan
dari rongga pleura dengan cara pungsi pleura atau
torakosintesis atau pleural tapping. Pungsi pleura dilakukan
dengan cara menusukkan jarum pungsi atau abbocath di
antara dua iga. Sedangkan pada pasien ini sudah dilakukan pungsi
pleura di IGD, keluar cairan serohemoragic sebanyak 3cc,
kemudian dilakukan WSD dan dikeluarkan cairan : 1500 ml warna
serohemoragik, dihentikan/diklem (Eksudat).
Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Eksudat
disebabkan oleh infeksi, TB, pneumonia dan sebagainya, tumor, infark paru,
radiasi, penyakit kolagen.
Pada pasien ini mendapatkan terapi O2 k/p karena pasien sesak sehingga
dapat meningkatkan saturasi oksigen. Diet TKTP 1700 kkal + ekstra putih telur
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan memperbaiki keadaan
hipoalbuminemia pasien. NAC 3 x 200mg untuk mengeluarkan dahak dan
sebagai antioksidan. Transfusi PRC untuk mengoreksi keadaan anemia.
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff H. dan Mukty A., 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya: Airlangga University Press. Pp. 143-154.
Amin Z., dan Masna I. A. K., 2007. Indikasi dan Prosedur
Pleurodesis. Majalah Kedokteran Indononesia. Volume:
57.Nomor: 4.pp 129-133.
Djojodibroto D., 2009. Respirologi. Jakarta: EGC pp 175-181.
Halim H., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta : Internal Publishing. Pp. 2331.
Jeffrey Rubins J., 2012. Pleural Effusion. Diakses dari
www.emedicine.medscape.com pada tanggal 24 Juli 2013. Pp
1-3
Khairani R., Syahruddin S., Partakusuma L.C., 2012.Karakteristik
Efusi Pleura di Rumah Sakit Persahabatan. Jurnal Respirasi
Indonesia. 32:155-159.
Light W.L., 2002. Pleural Effusion. N Engl J Med. 346: 1971.
Maskell N, Medford A., 2005. Review Pleural Effusion. Postgrad
Med J. 81:702-710.
Maskell N.A, Burland R.J.A., 2008. BTS Guidelines for The
Investigation of a Unilateral Pleural Effusion in Aadults.
Thorax. 58:ii6-ii7.
McGrath E.E., Anderson P.B., 2011. Diagnosis of Pleural Effusiom:
a Systemic Approach. American Journal of Critical Care. 20:
120-130.
Mukty A., Widjaja A., Margono B. P., et al., 1994. Pedoman
Diagnosis Dan Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Dokter
Soetomo 1994. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga pp. 111-114
Sato T., 2006. Different Diagnosis of Pleural Effusion. Japan
Medical Association.49:315-316.
Syahruddin E., Hudoyo A., Arief N., Efusi Pleura Ganas Pada
Kanker ParuJurnal Respirasi Indonesia. 32:142.
Yataco J.C., Dweik R.A., 2005. Pleural effusions: Evaluation and
Management. Cleveland Clinic Journal of Medicine.72:855.
top related