polip hidung dan pengobatan medis polip hidung
Post on 05-Aug-2015
360 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Polip Hidung dan Pengobatan Medis Polip HidungPosted on February 15, 2012
Polip hidung merupakan massa (benjolan) tidak normal yang menonjol di rongga
hidung, dan umumnya terjadi akibat reaksi dari peradangan yang berkepanjangan.
Polip hidung terjadi karena munculnya jaringan lunak pada rongga hidung yang
berwarna putih atau keabuan. Jaringan ini bisa diamati langsung dengan mata
telanjang setelah lubang hidung diperbesar dengan alat spekulum hidung.
Hal ini bisa disebabkan bagi mereka yang sejak kecil menderita sinusitis, alergi dan
asma. Dan biasanya gejala polip disertai dengan adanya rasa pusing, batuk, dan
pilek serta hidung tersumbat yang biasanya hal ini akan dikeluhkan pada pasien
yang mengalami sinusitis alergi.
Untuk proses penyembuhan penyakit polip memang membutuhkan waktu yang
cukup lama. Terutama penyembuhan dengan obat-obatan, namun akan memakan
waktu yang lebih lama hanya untuk mengecilkan polip, bila dibandingkan dengan
melakukan operasi yang dapat menimbulkan resiko.
Dalam proses penyembuhan dengan obat, dapat diberikan berupa kortikosteroid
topikal dan oral dengan cara meneteskan langsung pada bagian rongga hidung
serta tablet prednisolon yang dapat diminum langsung. Bagi Anda yang mengalami
penyakit polip, sebaiknya konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter mengenai
pemakaian jenis obat yang tepat untuk Anda gunakan, serta dosis yang dianjurkan
oleh dokter.
Mungkin bagi Anda yang takut menghadapi operasi, namun inilah jalan satu-satunya
yang dapat membantu Anda mengurangi kekambuhan. Operasi dapat dilakukan
dengan cara yang paling mutakhir dan praktis yaitu dengan menggunakan
endoskopi (Endoscopic Sinus Surgery).
Agar mengurangi komplikasi dari penyakit polip, lakukan terapi dan berobat secara
teratur ke dokter. Bagi Anda yang terkena polip seperti sinusitis alergi sebaiknya
diterapi agar dapat mengurangi paparan terhadap alergi seperti, debu, cuaca dingin,
makanan, dan lain-lain. Anda harus tetap mewaspadai penyakit polip ini, walaupun
kecil namun bila didiamkan begitu saja di rongga hidung dapat membahayakan
karena terletak di saluran pernafasan dan lebih mudah terinfeksi saluran nafas
akibat kondisi rongga hidung yang tidak normal.
Jaringan lunak yang muncul pada rongga hidung berwarna putih atau keabuan
merupakan akibat awal dari terjadinya polip hidung. Dan hal ini juga akan disertai
dengan hidung tersumbat yang semakin lama semakin berat, serta gangguan
penciuman.
Penyakit polip hidung biasanya menyerang orang dewasa dan kemungkinan
disebabkan karena reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung yang
berlangsung lama. Faktor lain pun memungkinkan penyebab terkenanya polip
hidung yaitu sinusitis yang telah dialami selama bertahun-tahun, iritasi, adanya
sumbatan hidung karena kelainan anatomi dan pembesaran pada konka.
Penyakit polip hidung dapat diatasi dengan menghindari penyebab atau faktor-
faktor yang mendorong terjadinya polip. Untuk polip kecil dapat diatasi dengan
pengobatan secara oral dan menyemprotkan obat semprot pada hindung. Namun,
bila polip besar sudah tidak mungkin untuk diatasi dengan cara pengobatan
semprot, tetapi satu-satunya cara harus dilakukan dengan operasi pengangkatan
polip.Tetapi, bila faktor yang menyebabkan terjadinya polip tidak teratasi dengan baik, maka polip hidung rawan untuk kambuh kembali bahkan berulangkali. Dan agar tidak terjadi kembali hal-hal yang lebih parah lagi, diharapkan bagi Anda yang terkena polip hidung ini dapat menghindari beberapa hal yang menyebabkan alergi sehingga terjadinya polip hidung.
tumor hidung
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. DEFINISI
Tumor hidung merupakan tumor yang berada di rongga yang dibatasi oleh tulang-
tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di
daerah ini sulitdiketahui secara dini.Tumor ganas hidung bagian dalam jarang
terjadi.
Tumor hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yangmengenai hidung dan lesi
yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung luar dan
vestibulum nasi.
Merupakan tersumbatnya perjalananudara melalui nostril oleh deviasi septumnasi,
hipertrofi tulang torbinat / tekananpolip yang dapat mengakibatkanepisode
nasofaringitis infeksi(Brunner &Sudarth, 200
2. ETIOLOGI
Etiologi tumor ganas hidung belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat hasil
industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid,
kromium, minyak isopropyl dan lain-lain
3. PENGKLASIFIKASIAN HIDUNG
1. Tumor Jinak
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip
dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Ada
2 Jenis papiloma,
Pertama eksofitik atau fungiform[1] dan yang kedua endofitik disebut papiloma
inverted. Papiloma[2] inverted ini bersifat sangat invasive,dapat merusak jaringan
sekitarnya. Tumor ini sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi
ganas. Lebih sering dijumpai pada anak laki-laki usia tua. Terapi adalah bedah
radikal misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi media5.
Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa yang
mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus paranasal dan
mendorong bola mata ke anterior.
2. Tumor Ganas
Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul oleh
karsinoma yang berdeferensiasi dan tumor kelenjar.
Sinus maksila adalah yang tersering terkena (65-80%), disusul sinus etmoid (15-
25%), hidung sendiri (24%), sedangkan sinus sphenoid dan frontal jarang
terkena.Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (kurang dari 5%) karena rongga
sinus sangat miskin dengan system limfa kecuali bila tumor sudah menginfiltrasi
jaringan lunak hidung dan pipi yang kaya akan system limfatik.Metastasis jauh juga
jarang ditemukan (kurang dari 10%) dan organ yang sering terkena metastasis jauh
adalah hati dan paru
4. PATOFISIOLOGI
Berbagai jenis tipe tumor berbeda telah dijelaskan terdapat pada rahang atas.
Jenishistologis yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar
80%kasus.Lokasi primer tidak selalu mudah untuk ditentukan dengan sejumlah
sinus berbeda yangsecara umum terlibat seiring waktu munculnya pasien. Mayoritas
(60%) tumor tampaknya berasal dari antrum, 30% muncul dalam rongga hidung, dan
sisa 10% muncul dari etmoid. Tumor primer frontal dan sfenoid sangat jarang
Limfadenopati servikal teraba muncul pada sekitar 15% pasien pada
presentasi.Gambaran kecil ini disebabkan drainase limfatik sinus paranasal ke
nodus retrofaring dandari sana ke rantai servikal dalam bawah. Sebagai akibatnya,
nodus yang terlibat diawaltidak mudah dipalpasi di bagian leher manapun.Tumor
hidungdapat diketahui bersama-samadengan polip nasi dan cenderung untuk timbul
bersama tumor hidung sel skuamosa maligna,lebih sering timbul didinding lateral
hidung dan daapt pula menyebabkan obstruksi saluran pernapasan
hidung,perdarahan intermiten atau keduanya
5. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dini tidak khas, pada stadium lanjut tergantung asal tumor dan arah
perluasannya.
Gejala hidung:
Buntu hidung unilateral dan progresif[3].
1. Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.
2. Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.
3. Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis menunjukkan
kemungkinan keganasan.
4. Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh gangguan ventilasi sinus,
sedangkan rasa nyeri terus-menerus dan progresif umumnya akibat infiltrasi tumor
ganas.
Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang tumor seperti:
a) Pembengkakan pipi
b) Pembengkakan palatum durum
c) Geraham atas goyah, maloklusi gigi
d) Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita.
6. KOMPLIKASI
Tidak dapat bermetasis,tetapi sangat destruktif disekitarnya dapat menyebar
memenuhi nasofaring dan terlihat dari orofaring
7. PEMERIKASAAN FISIK
1) Inspeksi terhadap wajah, mata, pipi, geraham dan palatum: didapatkan
pembengkakan sesuai lokasi pertumbuhan tumor
2) Palpasi, teraba tumor dan pembesaran kelenjar leher
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto polos berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan
perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan dan dibuat suatu
tomogram atau TK. Pemeriksaan MRI dapat membedakan jaringan tumor dengan
jaringan normal tetapi kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi tulang.
9. PENATALAKSANAN
Terbaik untuk tumor ganas adalah kombinasi operasi, radio
terapi,dan kemoterapi.Satu pengobatan saja tidak cukup.Kemoterapi bermanfaat
pada tumor ganasdengan metastase atau yang residif atau jenis yang sangat baik
dengan kemoterapi,misalnya limfoma malignum.Pada tumor jinak dilakukan
ekstirpasi tumor sebersih mungkin. Bila perludilakukan cara pendekatan rinotomi
lateral atau degloving[4].Untuk tumor ganas dilakukan tindakan radikal seperti
maksilektomi, dapat berupamaksilektomi media, total dan radikal. Maksilektomi
biasanya di lakukan misalnya pada tumor yang sudah infiltrasi ke orbita, terdiri dari
pengangkatan maksila secara endblok disertai eksterasi orbita, jika tumor meluas ke
rongga intracranial dilakukan reseksikraniofasial atau kraniotomi, tindakan dilakukan
dalam tim bersama dokter bedah saraf
B. PROSES KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Riwayat kesehatan
1) Keluhan Utama
Pada pasien tumor hidung; Nyeri pada hidung
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mulai merasakan nyeri akibat pembengkakan
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Apakah tumor hidung ini diderita sejak bayi sehingga mempengaruhi dalam
kemampuanbernafas
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Dalam keluarga pasien Tidak ada keluarga yang menderita penyakit pada
sistem penciuman
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan status kesehatan-
sosial-ekonomik, perubahan fungsi-peran, perubahan interaksi sosial, ancaman
kematian, perpisahan dari keluarga
2. Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat efek-
efek radioterapi/kemoterapi.
3. Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan status
metabolik akibat keganasan, efek radioterapi/kemoterapi dan distres emosional.
5. Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek imunosupresi
radioterapi/kemoterapi
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
1) Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan status
kesehatan-sosial-ekonomik, perubahan fungsi-peran, perubahan interaksi sosial,
ancaman kematian, perpisahan dari keluarga.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Orientasikan klien dan orang
terdekat terhadap prosedur rutin
dan aktivitas yang diharapkan.
2. Eksplorasi kecemasan klien dan
berikan umpan balik.
3. Tekankan bahwa kecemasan
adalah masalah yang lazim dialami
oleh banyak orang dalam situasi
klien saat ini.
4. Ijinkan klien ditemani keluarga
(significant others) selama fase
kecemasan dan pertahankan
ketenangan lingkungan.
5. Kolaborasi pemberian obat
sedatif.
6. Pantau dan catat respon verbal
dan non verbal klien yang
menunjukan kecemasan.
1. Informasi yang tepat
tentang situasi yang dihadapi
klien dapat menurunkan
kecemasan/rasa asing terhadap
lingkungan sekitar dan membantu
klien mengantisipasi dan
menerima situasi yang terjadi.
2. Mengidentifikasi faktor
pencetus/pemberat masalah
kecemasan dan menawarkan
solusi yang dapat dilakukan klien.
3. Menunjukkan bahwa
kecemasan adalah wajar dan
tidak hanya dialami oleh klien
satu-satunya dengan harapan
klien dapat memahami dan
menerima keadaanya.
4. Memobilisasi sistem
pendukung, mencegah perasaan
terisolasi dan menurunkan
kecemsan.
5. Menurunkan kecemasan,
memudahkan istirahat.
6. Menilai perkembangan
masalah klien.
2) Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat keganasan,
efek- efek radioterapi/kemoterapi.
INTERVENSI
KEPERAWATANRASIONAL
1. Diskusikan dengan klien dan
keluarga pengaruh diagnosis
dan terapi terhadap kehidupan
pribadi klien dan aktiviats
kerja.
2. Jelaskan efek samping dari
pembedahan, radiasi dan
kemoterapi yang perlu
diantisipasi klien
3. Diskusikan tentang upaya
pemecahan masalah
perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat
berkaitan dengan penyakitnya.
4. Terima kesulitan adaptasi
klien terhadap masalah yang
dihadapinya dan informasikan
kemungkinan perlunya
konseling psikologis
5. Evaluasi support sistem
yang dapat membantu klien
(keluarga, kerabat, organisasi
sosial, tokoh spiritual)
6. Evaluasi gejala
keputusasaan, tidak berdaya,
penolakan terapi dan perasaan
tidak berharga yang
menunjukkan gangguan harga
diri klien.
1. Membantu klien dan keluarga
memahami masalah yang dihadapinya
sebagai langkah awal proses
pemecahan masalah.
2. Efek terapi yang diantisipasi lebih
memudahkan proses adaptasi klien
terhadap masalah yang mungkin
timbul.
3. Perubahan status kesehatan
yang membawa perubahan status
sosial-ekonomi-fungsi-peran
merupakan masalah yang sering
terjadi pada klien keganasan.
4. Menginformasikan alternatif
konseling profesional yang mungkin
dapat ditempuh dalam penyelesaian
masalah klien.
5. Mengidentifikasi sumber-sumber
pendukung yang mungkin dapat
dimanfaatkan dalam meringankan
masalah klien.
6. Menilai perkembangan masalah
klien.
3) Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.
INTERVENSI
KEPERAWATANRASIONAL
1. Lakukan tindakan
kenyamanan dasar (reposisi,
masase punggung) dan
pertahankan aktivitas hiburan
(koran, radio)
2. Ajarkan kepada klien
manajemen penatalaksanaan
nyeri (teknik relaksasi, napas
dalam, visualisasi, bimbingan
imajinasi)
3. Berikan analgetik sesuai
program terapi.
4. Evaluasi keluhan nyeri
(skala, lokasi, frekuensi,
durasi)
1. Meningkatkan relaksasi dan
mengalihkan fokus perhatian klien dari
nyeri.
2. Meningkatkan partisipasi klien
secara aktif dalam pemecahan
masalah dan meningkatkan rasa
kontrol diri/keman-dirian.
3. Analgetik mengurangi respon
nyeri.
4. Menilai perkembangan masalah
klien.
4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan status metabolik
akibat keganasan, efek radioterapi/kemoterapi dan distres emosional.
INTERVENSI
KEPERAWATANRASIONAL
1. Dorong klien untuk
meningkatkan asupan nutrisi
(tinggi kalori tinggi protein) dan
asupan cairan yang adekuat.
2. Kolaborasi dengan tim gizi
untuk menetapkan program
diet pemulihan bagi klien.
3. Berikan obat anti emetik dan
roborans sesuai program
terapi.
1. Asupan nutrisi dan cairan yang
adekuat diperlukan untuk mengimbangi
status hipermetabolik pada klien
dengan keganasan.
2. Kebutuhan nutrisi perlu
diprogramkan secara individual dengan
melibatkan klien dan tim gizi bila
diperlukan.
4. Dampingi klien pada saat
makan, identifikasi keluhan
klien tentang makan yang
disajikan.
5. Timbang berat badan dan
ketebalan lipatan kulit trisep
(ukuran antropometrik lainnya)
sekali seminggu
6. Kaji hasil pemeriksaan
laboratorium (Hb, limfosit total,
transferin serum, albumin
serum)
3. Anti emetik diberikan bila klien
mengalami mual dan roborans
mungkin diperlukan untuk
meningkatkan napsu makan dan
membantu proses metabolisme.
4. Mencegah masalah kekurangan
asupan yang disebabkan oleh diet
yang disajikan.
5. Menilai perkembangan masalah
klien.
6. Menilai perkembangan masalah
klien.
5) Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek imunosupresi
radioterapi/kemoterapi
INTERVENSI
KEPERAWATANRASIONAL
1. Tekankan penting oral
hygiene.
2. Ajarkan teknik mencuci
tangan kepada klien dan
keluarga, tekankan untuk
menghindari mengorek/me-
nyentuh area luka pada rongga
hidung (area operasi).
3. Kaji hasil pemeriksaan
laboratorium yang
1. Infeksi pada cavum nasi dapat
bersumber dari ketidakadekuatan oral
hygiene.
2. Mengajarkan upaya preventif
untuk menghindari infeksi sekunder.
3. Menilai perkembagan imunitas
seluler/ humoral.
4. Antibiotik digunakan untuk
mengatasi infeksi atau diberikan
menunjukkan penurunana
fungsi pertahanan tubuh
(lekosit, eritrosit, trombosit, Hb,
albumin plasma)
4. Berikan antibiotik sesuai
dengan program terapi.
5. Tekankan pentingnya
asupan nutrisi kaya protein
sehubungan dengan
penurunan daya tahan tubuh.
6. Kaji tanda-tanda vital dan
gejala/tanda infeksi pada
seluruh sistem tubuh.
secara profilaksis pada pasien dengan
risiko infeksi.
5. Protein diperlukan sebagai
prekusor pembentukan asam amino
penyusun antibodi.
6. Efek imunosupresif terapi radiasi
dan kemoterapi dapat mempermudah
timbulnya infeksi lokal dan sistemik.
[1] FUNGIFORM:berbentuk seperti cendawan
[2] Papiloma:tumor jaringan epitel yg bersifat jinak yg ditandai dengan tonjolan2
berupa puting
[3] Progresif:terus berlanjut
[4] Degrofing
Definisi
BENDA ASING DI DALAM HIDUNG
Anak kecil seringkali memasukkan benda ke dalam hidungnya. Beberapa benda
mudah dilihat dan dikeluarkan, tetapi benda lainnya bisa terdorong ke dalam
sehingga tidak terlihat dari luar.
Benda yang tersangkut di hidung bagian atas bisa menyebabkan bau tidak enak
atau keluarnya cairan berdarah dari salah satu lubang hidung.
Lama-lama benda yang tersangkut di dalam hidung akan terbungkus oleh garam
mineral dari lendir hidung, sehingga terbentuk suatu benjolan di dalam hidung
(rinolit). Rinolit sulit dikeluarkan karena bentuknya cenderung mengikuti bentuk
hidung bagian dalam. Untuk mengeluarkannya biasanya anak perlu dibius total.
ANGIOFIBROMA JUVENIL
Angiofibroma Juvenil adalah tumor jinak pada hidung bagian belakang atau
tenggorokan bagian atas (nasofaring), yang mengandung pembuluh darah. .
Tumor ini paling sering ditemukan pada anak-anak laki yang sedang mengalami
masa puber.
Tumor ini tidak ganas, tetapi dapat merusak jaringan pada lapisan hidung dan sering
menyebabkan perdarahan hidung (epistaksis, mimisan).
Tumor juga bisa menghalangi saluran pernafasan.
Jika tumbuh membesar, tumor bisa meluas ke jaringan di sekitarnya, kantung mata
atau rongga kranial (rongga yang berisi otak).
Tumor dapat terlihat pada pemeriksaan CT scan atau MRI. Untuk memperkuat
diagnosis bisa dilakukan biopsi mukosa hidung.
Dengan angiografi dapat dilihat pembuluh darah yang menuju ke tumor dan
kemungkinan penyebarannya ke dalam kantung mata atau rongga kranial.
Pengobatan perlu dilakukan jika angiofibroma tumbuh membesar, menghalangi
saluran udara atau menyebabkan epistaksis menahun. Pada beberapa kasus, tidak
perlu dilakukan pengobatan.
Pembedahan dilakukan untuk mengangkat tumor. Pengangkatan tumor seringkali
sulit dilakukan karena tumor terbungkus dan menyusup ke dalam, sehingga setelah
pengangkatan tumor seringkali terjadi kekambuhan.
Embolisasi (penyumbatan arteri dengan suatu bahan) bisa menyebabkan
terbentuknya jaringan parut pada tumor dan menghentikan perdarahan.
Embolisasi dilakukan dengan cara menyuntikkan suatu zat ke dalam pembuluh
darah untuk menyumbat aliran darah yang melaluinya. Embolisasi efektif untuk
mengatasi perdarahan hidung dan tindakan ini bisa diikuti dengan pembedahan
untuk mengangkat tumor.
Jika tumor telah menyebar ke rongga kranial dan tidak dapat diangkat melalui
pembedahan, kadang dilakukan terapi penyinaran.
PAPILOMA JUVENIL
Papiloma Juvenil adalah tumor jinak pada kotak suara (laring).
Papiloma disebabkan oleh virus.
Papiloma bisa ditemukan pada usia 1 tahun.
Papiloma bisa menyebabkan suara serak, kadang cukup berat sehingga anak tidak
dapat berbicara dan bisa menyumbat saluran udara.
Papiloma dapat dilihat dengan bantuan laringoskopi dan untuk memperkuat
diagnosis, dilakukan biopsi.
Papiloma yang ditemukan pada beberapa tempat bisa tumbuh membesar sehingga
perlu dilakukan pembedahan untuk membuka tabung udara (trakea) agar anak bisa
bernafas.
Untuk mengobati papiloma, biasanya dilakukan pembedahan maupun penguapan
dengan laser.
Sering terjadi kekambuhan, tetapi papiloma biasanya menghilang dengan sendirinya
pada masa puber.
PENDAHULUAN
Papilloma inverted pertama kali didokumentasikan oleh Ward pada tahun
1854 yang disebut Schnederian Papilloma. Tumor jinak ini diberi nama untuk
menghormati C. Victor Schneider yang pada tahun 1600 menjelaskan mukosa nasal
memproduksi cairan katar bukan menghasilkan cairan serebrospinal. Papilloma
inverted menggambarkan kelompok lesi tumor jinak yang berasal dari permukaan
mukosa traktus sinonasal. Papiloma inverted ini merupakan tumor jinak epitelial
yang paling banyak ditemukan pada rongga hidung.1,2
Papiloma inverted sering ditemukan pada umur 50-70 tahun, tetapi papiloma
inverted juga pernah ditemukan pada anak usia 8 tahun. Sebagian besar ditemukan
pada laki-laki. Papiloma inverted bersifat unilateral, tetapi bisa juga bilateral. Etiologi
papiloma inverted masih belum diketahui secara pasti, akan tetapi Human Papilloma
Virus danEpstein-Barr Virus telah ditemukan dalam jaringan papiloma inverted.1
Papiloma merupakan tumor jinak epitelial yang paling sering ditemukan didaerah
sinonasal, lebih dari 10% neoplasma yang timbul pada daerah tersebut. Papiloma
terdiri atas tipe inverted, everted dan cylindric.3,7
Angka kekambuhan papiloma inverted cukup tinggi, dapat mencapai 74%
pada eksisi yang tidak adekuat. Kecenderungan untuk menjadi ganas dapat
mencapai angka 53%. Kedua faktor ini telah menjadi perdebatan bagaimana
melakukan penatalaksanaan pada tumor ini. Pendekatan yang paling bisa diterima
adalah melakukan eksisi secara total terhadap lesi papiloma inverted.1
Pendekatan eksisi secara eksternal dapat berupa maksilektomi medial, Rinotomi
lateral atau Midfacial degloving. Akhir-akhir ini pendekatan reseksi secara endoskopi
telah menjadi perhatian karena mempunyai komplikasi yang lebih rendah
dibandingkan pendekatan eksternal.4,5
KEKERAPAN
Papiloma inverted jarang ditemukan, diperkirakan timbul hanya sekitar 10%
didaerah sinonasal. Variasi usia penderita antara 35-60 tahun. Rasio laki-laki dan
perempuan adalah 2:1 sampai 3:1. Sedangkan rasio antara timbulnya papiloma tipe
inverted, everted dan silindrik adalah 3:5:1. Literatur yang berkesinambungan yang
dilakukan oleh Bielamowicz dkk menjelaskan bahwa angka rata-rata penderita
berumur 53 tahun dengan rasio umur 6 sampai 91 tahun. Menurut penelitian tempat
tersering timbulnya papiloma inverted adalah dinding lateral hidung dan jarang
dilaporkan timbul pada daerah vestibulum, septum, dasar nasofaring, sinus spenoid
dan sinus frontal.5
ETIOLOGI
Penyebab pasti papiloma inverted belum diketahui. Beberapa teori telah
diajukan, meliputi alergi, inflamasi kronik dan karsinogen berhubungan dengan
pajanan serta infeksi virus papiloma.8,9
Alergi merupakan penyebab yang sudah agak ditinggalkan, dikarenakan
pasien-pasien penderita papiloma inverted mempunyai riwayat alergi yang negatif,
selain itu papiloma sinonasal biasanya unilateral.8,9
Sinusitis paranasal sering ditemukan pada penderita papiloma inverted dan
ini disebabkan oleh obstruksi tumor dibanding dengan menyebabkan terbentuknya
tumor.8,9
Faktor ekstrinsik yang berhubungan dengan polusi udara dan limbah industri
yang bersifat karsinogenik telah dipertimbangkan sebagai kemungkinan penyebab
timbulnya papiloma inverted.
Beberapa virus telah lama dicurigai sebagai penyebab lesi-lesi neoplastik ini,
dikarenakan virus-virus tersebut telah diketahui mempunyai kecenderungan
membentuk papiloma-papiloma di berbagai organ tubuh. Virus Human Papiloma
(HPV) merupakan epiteliotropik virus yang berimplikasi pada kehamilan dan lesi
malignansi pada traktus anogenital. HPV 11, HPV 6, HPV 16, dan HPV 18 telah
dapat diidentifikasi pada papiloma inverted. Beberapa penelitian dengan
menggunakan teknik hibridasi dan reaksi rantai polimerase memperlihatkan
bahwa HPV 11 dan HPV 6 berhubungan dengan banyak kasus papiloma tipe
fusiform tetapi sangat jarang pada tipe silindrikal dan inverted.6,8,9
DIAGNOSIS DAN EVALUASI
Gejala yang paling sering adalah sumbatan hidung unilateral (64-78%),
diikuti oleh sakit kepala, epistaksis, nyeri wajah, bengkak periorbita, rinore purulent,
sinusitis kronik, alergi, hiposmia, gangguan penglihatan dan meningitis. Beberapa
pasien dapat tanpa gejala. Gejala-gejala ini menyulitkan para klinisi untuk
membedakannya dengan proses inflamasi. Pemeriksaan endoskopik dan CT
Scan hidung dan sinus paranasal merupakan gold standar untuk evaluasi papiloma
inverted.1,6
Konka media dan dinding medial sinus maksila merupakan tempat asal
tumbuhnya papiloma inverted tersering. Pada kasus-kasus jarang tumor ini dapat
terisolasi di sinus spenoid. Keterlibatan sinus-sinus paranasal dapat meningkatkan
angka rekurensi.1
Papiloma sering terjadi unilateral. Terdapat 3 sifat karakteristik klinis dari
tumor tersebut yaitu : 1) cenderung timbul kembali. 2) Tumor mempunyai kapasitas
destruksi pada jaringan dan struktur sekitarnya. 3). Tumor mempunyai
kecenderungan menjadi ganas.7
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan massa polipoid unilateral yang
mengisi kavum nasi dan menyebabkan obstruksi. Secara makroskopis papiloma
inverted terlihat ireguler dan rapuh, jika disentuh mudah berdarah. Warna papiloma
merah keabu-abuan dan mengisi kavum nasi, meluas ke vestibulum juga ke
nasofaring. Septum sering terdesak kearah sisi kontralateral. Proptosis dan
pembengkakan muka kadang timbul sekunder akibat ekspansi lesi tumor.5,7
HISTOPATOLOGI
Papiloma terbagi atas 3 subtipe histologi, yaitu : tipe inverted, tipe fungiform
(everted) dan tipe silindrikal. Pada papiloma inverted didapatkan pola pertumbuhan
endofitik yang hampir selalu ditemukan pada dinding lateral hidung, sedangkan pada
papiloma fungiform mempunyai pola pertumbuhan eksofitik yang sering ditemukan
pada septum nasi. Tipe silindrikal yang merupakan tipe terjarang disebut juga
dengan papiloma onkotik.5,7
Papiloma inverted seringnya terlihat seperti polip, tetapi biasanya lebih keras
dan lebih mengandung komponen vaskular dibanding polip dengan tonjolan yang
jelas yang berbentuk granular seperti buah mulberi. Terdapat variasi warna papiloma
inverted dari merah, merah muda sampai pucat. Secara mikroskopik merupakan
perselubungan penebalan epitelial dengan invasi yang luas dari epitel yang
hiperplasti kedalam dasar dari stroma. Sifat invasi kedalam dasar stroma merupakan
dasar teori asal dari terbentuknya membran Schneiderian.7
Tumor mengisi ruang bawah mukosa yaitu daerah subepitelial dan terus membentuk
hubungan ke permukaan epitelial dan disebut pertumbuhan papiloma inverted.7
Secara histologis gambaran tumor adalah inversi dari epitelial dari epitel
neoplastik kedalam stroma dibawahnya, melebihi proliferasinya kearah luar. Epitel
neoplastik dapat berupa tipe respirator, transisional dan skuamosa dengan maturasi
dan mitosis minimal dan adanya atipia secara umum. Mikrokistik mengandung musin
adakalanya terperangkap dibawah permukaan dan terdapat suatu lapisan dasar
yang memisahkan epitel inverted dari stroma dibawahnya. Epitel neoplastik akan
berinvaginasi dan mengubah bentuk tulang, tetapi tidak menginvasinya jika tidak
terdapat keganasan.7
RADIOLOGI
Pemeriksaan radiologi preoperatif mempunyai peran penting pada
penatalaksanaan papiloma inverted untuk menentukan perluasan penyakit dan
keterlibatan struktur yang berdekatan.10,11
Tomografi komputer potongan aksial dan koronal merupakan pilihan untuk
lesi intranasal. Dengan menggunakan tomografi komputer dapat dibedakan lesi
papilomatous dengan penebalan mukoperiosteal, atau polip. Sekitar 75% pasien
dengan papiloma menunjukkan tanda adanya berbagai macam derajat kerusakan
tulang. Terdapatnya tanda hanya kerusakan tulang saja pada tomografi komputer
bukan merupakan indikasi terjadinya perubahan kearah keganasan dari papiloma
inverted.10,11
Identifikasi tempat asal papiloma inverted sangat penting untuk ekstirpasi
tumor secara komplit. Dengan mengevaluasi karakteristik fokal hiperostosis pada CT
Scanpasien papiloma inverted memungkinkan untuk mendeteksi perkiraan asal
tumor.11
Destruksi tulang secara umum disebabkan tulang mengalami atrofi, karena
tekanan atau pseudoinvasi, melebihi infiltrasi sebenarnya dan tidak diinterpretasikan
sebagai tanda-tanda keganasan. Destruksi dinding medial maksila merupakan hal
yang paling umum ditemukan. Keterlibatan orbita biasanya melalui lamina
papirasea. Sklerosis tulang menggambarkan suatu reaksi hiperplastik dari sinusitis
kronik sering mengiringi tumor ini.10,11
Gambaran pencitraan yang khas untuk papiloma inverted berdasarkan
tempat asal tumor, perubahan struktur dinding lateral hidung dan terutama bentuk
permukaan yang berlobus dan pada MRI berbentuk pola bergaris.11
PENATALAKSANAAN
Terdapat berbagai macam penatalaksanaan pada lesi tumor jinak, mulai dari
terapi medikmentosa, radioterapi dan terapi operasi. Namun dianjurkan hanya terapi
pembedahan.11,15,16
1. Terapi pembedahan
Para klinisi setuju pilihan terapi pada papiloma inverted adalah dengan
pembedahan, tetapi sampai saat ini belum didapatkan sebuah konsensus untuk
menentukan jenis dan sejauh mana intervensi operasi yang terbaik. Terdapat tiga
tujuan operasi papiloma inverted, yaitu 1. Dapat membuka dengan cukup sehingga
dapat mereseksi tumor keseluruhan. 2. Operasi menghasilkan lapangan pandang
yang baik sehingga memudahkan pengawasan pada kavitas pasca operasi. 3.
Meminimalisir deformitas kosmetik dan ketidakmampuan fungsional.
Luasnya jaringan yang terlibat, sifatnya yang lokal agresif dan eksisi yang tidak
lengkap berhubungan dengan tingginya tingkat rekurensi, oleh karena itu reseksi en
blocdengan rinotomi lateral menjadi pendekatan standar.15,16
Pendekatan bedah dalam reseksi papiloma inverted dapat dikategorikan sebagai
berikut :2,15,16
1. Pendekatan endonasal nonendoskopik
2. Pendekatan eksternal terbatas (contohnya Caldwell –Luc)
3. Pendekatan eksternal radikal (contohnya maksilektomi medial via rinotomi lateral
atau pendekatan midfasial degloving)
4. pendekatan endoskopik endonasal.
Gambar 2. midfasial degloving (nicholai et
al 2005)
Gambar 3. Rhinotomi lateral (nicholai et al-2005)
Krouse mengembangkan sistem staging berdasarkan temuan radiologi dan
endoskopi preoperasi. Empat kelompok ini dimaksudkan untuk memprediksi
prognosis, pendekatan operasi dan perluasan tumor. Pembagiannya terdiri
dari :17,18
1. Tumor terbatas pada satu sisi kavum nasi tanpa perluasan ke sinus paranasal.
2. Tumor melibatkan dinding medial sinus maksila, sinus etmoid dan/atau
komplek ostiomeatal
3. Tumor meluas ke superior, inferior, posterior, anterior atau dinding lateral sinus
maksila, sinus frontal atau sinus spenoid
4. Tumor perluasan ke ekstrasinonasal atau tumor berubah ganas.
Sistem ini secara primer berdasarkan lokasi dan perluasan dari papiloma
inverted. Kategori ini sangat menolong pada perencanaan pendekatan bedah.
Papiloma inverted kelompok (1) dapat diangkat secara endoskopik tanpa reseksi
tulang. Papiloma inverted pada kelompok (2) pendekatan masih secara endoskopik
dengan mereseksi stuktur tulang. Pada pasien dengan keterlibatan sinus frontal atau
kelompok (3) endoskopi masih bisa dipakai jika visualisasi memungkinkan,
pendekatan maksilektomi medial bisa digunakan. Pada kelompok (4)
direkomendasikan open surgical untuk mendapatkan maksimal eksposur.17,18
2. Radioterapi
Radioterapi masih dapat digunakan pada pengobatan lanjutan dan adanya
agresifitas biologikal papiloma inverted pada traktus sinonasal atau pada pasien
pasca operasi radikal dengan tingkat morbiditas yang berat. Tetapi terapi ini
umumnya tidak diindikasikan untuk pengobatan pada lesi papiloma yang jinak.
Radioterapi tidak efektif untuk pengobatan papiloma inverted, serta dapat
menyebabkan kemungkinan resiko perubahan kearah keganasan pada lesi jinak
yang lain.
Manajemen endoskopi pada papiloma inverted
Sejak diperkenalkan oleh Messerklinger, Stammberger dan Kennedy,
endoskopi telah banyak mengalami evolusi oleh para Rhinologist untuk melakukan
pendekatan bedah hidung dan sinus paranasal. Setelah lebih dari 20 tahun, saat
sekarang ini penggunaan endoskopi tidak hanya terbatas pada radang sinus
paranasal tetapi juga digunakan untuk terapi pada berbagai patologi sinonasal.19,20
Dengan adanya endoskopik nasal, dengan pencahayaan yang kuat, resolusi
yang tinggi dan sudut visualisasi, bersamaan dengan kemajuan pada Tomografi
komputer dan pencitraan Magnetik Resonansi dapat menuntun kearah identifikasi
yang akurat, penentuan lokasi yang baik, dan keberhasilan reseksi lesi
intranasal.21,22
Pemeriksaan Tomografi komputer dan pencitraan Magnetik resonansi
perioperatif dapat menunjang akurasi penilaian perluasan lesi tumor, selain itu dapat
dengan jelas membedakan tumor dari opasifikasi sekunder dengan sinusitis
obstruksi. Reseksi endoskopik dapat meliputi spenoetmoidektomi total, meatotomi
yang luas, reseksi konka media dan visualisasi sinus frontal.23
Keuntungan pendekatan secara endoskopik transnasal dibanding
maksilektomi medial adalah sangat kecil terbentuknya skar eksternal sehingga
deformitas kosmetik dapat ditiadakan, mengurangi waktu rawat di rumah sakit,
mengurangi kehilangan darah pada saat operasi dan perluasan dari tumor dapat
ditentukan dengan visualisasi secara langsung, sehingga menghasilkan reseksi
secara utuh yang lebih baik.19,23
Manipulasi yang hati-hati terhadap massa tumor dapat menuntun operator
untuk menentukan asal tumor dari dinding lateral hidung. Setelah uncinektomi,
dinding medial sinus maksila dapat diidentifikasi. Jika mukosa antrum terlihat massa
tumor, konka inferior dilepaskan bersama dinding medial sinus maksila sampai ke
dasar hidung.Backbitting dan sitebitting dapat digunakan pada saat ini. Pada tahap
ini seluruh antrum maksila dapat divisualisasi secara lengkap.23,24
Apabila tumor telah meluas ke sinus etmoid dan spenoid, dapat dilakukan
etmoidektomi total dan spenoidektomi. Hal yang sama dilakukan pada sinus frontal
jika mukosanya juga ikut terlibat. Prosedur Caldwell-Luc kadang dibutuhkan untuk
mendapatkan akses keseluruh antrum maksila pada kasus yang melibatkan seluruh
mukosa sinus maksila.
Apabila pada CT Scan terlihat adanya area Hyperostosis, operator disarankan untuk
menggunakan bor diamond untuk menipiskan tulang di area ini. Daerah
hyperostosis ini berhubungan dengan tempat berasal tumor. 24
Pendekatan maksilektomi medial secara endoskopi.
Pada endoskopi maksilektomi medial, reseksi dilakukan pada seluruh dinding lateral
hidung. Campuran lidokain dan epinefrin disuntikkan pada daerah konka media,
dinding meatus inferior dan dinding meatus media dan garis nasomaksila untuk
hemostasis. Batas superior ditentukan setelah reseksi anterior dan posterior etmoid
ke batas sphenoid dan perlengketan konka media ke dinding lateral hidung
dipisahkan. Arteri etmoid di ekspos untuk landmark reseksi yang meluas ke superior.
Pada kasus tumor yang meluas ke fovea atau ke orbita, arteri etmoid dipotong dan
dipisahkan.Konka media di eksisi dari perlengketannya di superior untuk
menghindari cedera lamina kribriformis. Insisi dibuat dari bagian anterior meatus
inferior ke dinding posterior sinus maksila. Batas anterior diperluas dari perlengketan
konka media ke batas anterior dari bagian anterior meatus media termasuk konka
media, procesus unsinatus dan kanalis nasolakrimalis.
Dinding lateral dipisahkan ke medial dan diseksi diangkat dari sinus maksila sampai
ke arteri spenopalatina yang telah diligasi. Tumor kemudian di buang secara en bloc.
Mukosa etmoid posterior yang tersisa di buang untuk batas control. Reseksi dapat
dimodifikasi tergantung dari perluasan tumor.25
Gambar 4. Batas anatomi diseksi endoskopik maksilektomi medial. (sumber: Bailey,
Byron J. 2006)
KOMPLIKASI
Komplikasi setelah pembedahan dengan pendekatan eksternal meliputi
perdarahan pasca operasi, edema periorbita, epifora, diplopia, infeksi dan
bocornyaliquor cerebrospinalis (LCS) segera setelah operasi.26
Komplikasi rinotomi lateral meliputi epifora, dakriosistitis, blefaritis, edema
periorbita, diplopia dan bocornya LCS. Komplikasi lambat yang menetap meliputi
nyeri, fistula nasokutaneus, mukosel sinus frontal, luka parut dan kolaps hidung.26
Komplikasi pendekatan endoskopik meliputi :26,27
A. Komplikasi mayor
1. Kematian
2. Perdarahan intrakranial
3. Kebutaan
4. Diplopia
5. Meningitis
6. Perdarahan masif
7. Hematom orbita
8. Kebocoran LCS
B. Komplikasi minor
1. Sinekia
2. Emfisema orbita
3. Nyeri gigi atau hipestesia
4. Eksaserbasi asma
5. Epifora
6. Hiposmia/anosmia
7. Penurunan visus
REKURENSI
Rasio rekurensi dari lesi-lesi neoplastik ini sangat bervariasi dari 0-78%, hal
ini sangat tergantung pada jenis operasi yang dilakukan dan kesempurnaan reseksi.
Phillips dkk mendapatkan bahwa rasio rekurensi setelah dilakukan rinotomi lateral
dan maksilektomi medial lebih rendah dibanding setelah dilakukan eksisi transnasal
dengan operasi Caldwel-luc (35%) atau hanya dengan eksisi transnasal (58%).
Faktor multisentris juga diduga sebagai penyebab tingginya rasio rekurensi. Lawson
melaporkan kejadian rekurensi berhubungan secara langsung pada metode bedah
eksisi yang terbatas melalui polipektomi intranasal, turbinektomi, Caldwel-luc, atau
etmoidektomi eksternal dengan angka rekurensi 41-78%. Berbeda dengan rinotomi
lateral yang dihubungkan dengan maksilektomi medial menghasilkan angka
rekurensi 6-29%.9
ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILE
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal angiofibroma)
adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis
bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya,
seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah
yang sulit dihentikan. Jinak tetapi merupakan tumor pembuluh darah lokal yang
agresif dari anak atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada perempuan
tetapi sangat jarang.
Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (“Juvenile
nasopharyngealangiofibroma”). Tetapi istilah juvenile ini kurang tepat karena
neoplasma ini terdapat juga pada pasien yang lebih tua.
Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak
antara usia 14-18 tahun4 dan jarang pada usia diatas 25 tahun2. Tumor ini
merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak5 dan 0,05% dari seluruh tumor kepala
dan leher1,2. Dilaporkan insidennya antara 1 : 5.000 – 1 : 60.000 pada pasien THT.
Di RSUP. H. Adam Malik dari Januari 2001 – Nopember 2002 dijumpai 11 kasus
angiofibroma nasofaring.
Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada
Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata
setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada
Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison
(1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada Royal National Throat,
Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di
London dibanding di New York.
Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada nasofaring,
tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher. Sekarang ada
kesepakatan bersama bahwa ini semata-mata penyakit dari laki-laki dan umur rata-
rata yang terkena sekitar 14 tahun (Harrison, 1976). Jaraknya, bagaimanapun
bervariasi antara umur 7 dan 19 tahun (Martin, Ehrlich dan Abela, 1948).
Angiofibroma Nasofaring jarang pada pasien lebih dari 25 tahun.
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan.
Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal. Secara
histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat
ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya
pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau
arteri maksilaris interna.
I.2. Tujuan Penulisan
Mengetahui pengertian Angiofobroma, etiologi, anatomi, patologi, gejala klinis,
diagnostic, komplikasi, diagnose banding, terapi dan prognosis dari Juvenille
Nasofaring Angiofobroma.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) merupakan tumor jinak pembuluh
darah di nasofaring yang secara histologis jinak namun secara klinis bersifat ganas
karena berkemampuan merusak tulang dan meluas ke jaringan di sekitarnya,
misalnya: ke sinus paranasal, pipi, rongga mata atau tengkorak (cranial vault),
sangat mudah berdarah dan sulit dihentikan.
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile angiofibroma,
juvenile nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal cavity tumor, nasal tumor, benign
nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor, angiofibroma
nasofaring belia.
II.2. Anatomi
Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat
dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus,
yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba
eustachii yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu
jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.
4. Koana pada posterior rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan
dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial
glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori.
6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus
petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan
arteri faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus.
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat
bagian lateral atap nasofaring.
8. Ostium dari sinus-sinus sfenoid.
Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar
nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya
muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen
sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi, nasofaring
dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding posterior dari sinus
maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan tumor.
II.3. Epidemiologi
JNA banyak dialami terutama remaja putra berusia 14-18 tahun. Jika remaja putri
didiagnosis JNA, maka sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis
JNA akan terus dipertanyakan. Umumnya JNA terjadi pada dekade kedua
kehidupan, tepatnya pada rentang usia 7-19 tahun. JNA jarang terjadi setelah usia
25 tahun.
Insiden JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT dan dilaporkan 0,5% dari semua
tumor kepala dan leher. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India.
Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada
Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata
setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada
Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison
(1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada Royal National Throat,
Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di
London dibanding di New York.
II.4. Etiologi
Penyebab pastinya belum dapat ditentukan. Namun teori yang paling dapat diterima
adalah bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang
terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat
menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa
remaja (puberty).
Teori lainnya yang diajukan adalah tumor berasal dari embryonal chondrocartilage
yang berada di occipital plate.
Selain itu, ada juga teori tentang respon desmoplastic dari nasopharyngeal
periosteum atau embryonic fibrocartilage antara basiocciput dan basisphenoid.
Teori tentang penyebab dari sel-sel paraganglionik nonkromafin dari cabang terminal
arteri maksilaris juga dipostulasikan.
Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil
mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor
gene p53 sama seperti Her-2/neu oncogene.
Berbagai macam teori banyak dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori
jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah
di dinding posterolateral atap rongga hidung.
Faktor hormonaldikemukakan sebagai penyebabnya. Banyak bukti memperlihatkan
secara langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA),
reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini
secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor seks-hormon muncul pada
angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan
mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan reseptor tersebut. 24
angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi
imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE. Stromal positif
dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24
kasus, 8,3% positif andibodi RP dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil
menetapkan bukti langsung pertama adanya antibodi dari reseptor androgen pada
angiofibroma.
Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi proliferasi
agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau
faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk
inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan
dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi
angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan
pada endotelium kapiler pada semua spesimen angiofibroma nasofaring juvenile.
II.5. Patofisiologi
Menurut Mansfield E (2006), asal mula JNA terletak di sepanjang dinding posterior-
lateral di atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina
dan aspek posterior dari middle turbinate. Histologi janin mengkonfirmasikan luasnya
area jaringan endotel di daerah ini.
Bukannya menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah
menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak
dan menekan melalui perbatasan yang banyak tulangnya.
Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial. Menurut Tewfik TL (2007), tumor
mulai tumbuh di dekat foramen sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali
memiliki dua lobus (bilobed) atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor
mengisi nasofaring dan bagian yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina.
Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya
ke anterior dan inferior menuju ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung
terisi pada satu sisinya, dan septumnya berdeviasi (”bengkok”) ke sisi lainnya.
Pertumbuhan superior langsung menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi
(eroded). Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat “diserbu” atau diinvasi juga jika
tumor berkembang lebih lanjut.
Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding
posterior sinus maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.
Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid)
dapat ter-erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus
optikus jika fissura orbita didesak oleh tumor.
Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi
pada pasien yang lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih
sedikit melibatkan pembuluh darah (less vascular) dan kurang agresif (less
aggressive) jika dibandingkan dengan JNA.
Secara makroskopik, angiofibroma nampak sebagai keras, berlobulasi membengkak
agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari
merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu
dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian
yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau
abu-abu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa
padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi.
Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal dari
endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot halus,
pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi trauma,
menyebabkan perdarahan yang berlimpah.
Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari
sinusoid, jadi batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel,
sementara lainnya terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat
dan seluler. Sel stromal, yang melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas,
mengelilingi pada nukleus stellata dan kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis
tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan karakteristik dari granula kromatin
padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas.
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan merusak struktur
sekitarnya. Dapat meluas kedalam :
a. Cavum nasi menyebabkan obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan
hidung.
b. Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales semua
dapat diserang.
c. Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.
d. Orbita memberikan gejala prodtosis dan deformitas ”face-frog”. Masuk melalui
fissura orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat juga masuk ke
orbita melalui fissura orbitalis superior.
e. Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering.
Ada 2 jalan masuknya :
i. Dengan pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen lacerum.
Tumor berada dilateral dari arteri karotis dan sinus kavernosus.
ii. Melalui sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada dimedial dari arteri karotikus.
II.6. Gejala Klinik
Gejala
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang
paling sering, terutama pada permulaan penyakit.
2. Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna darah
(blood-tinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini, biasanya satu
sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.
6. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga
kranial dan tekanan pada kiasma optik.
7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi (unilateral
rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya sensitivitas terhadap bau
(hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain), tuli (deafness), nyeri telinga
(otalgia), pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk
pipi (deformity of the cheek), dan rhinolalia.
Tanda
1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior;
nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai (sessile)
atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal mass) ini
mencapai 80%.
2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging
palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa mass),
massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya disertai
dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di rongga mata (orbital mass)
ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol (proptosis) sekitar
10-15%.
3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,
pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang merupakan
tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga terdapat penurunan
penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun hal ini jarang terjadi.
II.7. Diagnosis
Penemuan Histologis
Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah
dewasa/matang (mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam
pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan
endothelium, namun mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat
berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan
terjadi perdarahan.
Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.
Biopsi
Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk
biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang
klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal
atau jika gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi
sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai
angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi.
Pemeriksaan Radiologis
FOTO SINAR-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring.
Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral,
yang tergantung pada lokasi tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini dikenal sebagai
“tanda antral” dan terdiri dari tulang Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid,
erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa
infratemporal biasanya terlihat.
MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)
Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama
pada kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial.
ANGIOGRAFI
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada Angiografi
ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris
interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya
penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan sebelumnya
gagal.
II.8. Stadium
Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang
terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging
System mengeluarkan untuk angiofibroma nasofaring, Chandler dan kawan-kawan
merekomendasikan berdasarkan sistem stadium pada usulan sistem untuk kanker
nasofaring oleh AJC :
• Stadium I : Tumor di nasofaring.
• Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.
• Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa
pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.
• Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.
Klasifikasi Menurut Sessions
• Stadium IA – Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.
• Stadium IB – Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring dengan
keterlibatan sedikitnya satu sinus paranasal.
• Stadium IIA – Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary fossa.
• Stadium IIB – Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa erosi
superior dari tulang-tulang orbita.
• Stadium IIIA – Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial
fossa/pterygoid base); perluasan intrakranial minimal.
• Stadium IIIB – Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke
sinus kavernosus.
Klasifikasi Menurut Fisch
• Stadium I – Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa kerusakan
tulang.
• Stadium II – Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus paranasal dengan
kerusakan tulang.
• Stadium III – Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio
parasellar; sisanya di lateral sinus kavernosus.
• Stadium IV – Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik, dan atau
fossa pituitari.
II.9. Diagnosis Banding
1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal,
teratoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma,
karsinoma sel skumous).
2. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal.
3. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita.
4. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).
5. Polip koanal (choanal polyp).
6. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).
7. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).
8. Kordoma (chordoma).
9. Karsinoma (carcinoma).
10. Penyebab lain dari nasal obstruction, (seperti: nasal polyps, antrochoanal polyp,
teratoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma,
squamous cell carcinoma)
11. Penyebab lain dari mimisen (epistaxis), baik sistemik maupun lokal.
12. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan rongga mata (orbital
swellings).
II.10. Penatalaksanaan
A. Terapi Medis
• HORMONAL
Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I
dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak
digunakan secara rutin.
• Flutamide hormonal, suatu nonsteroidal androgen blocker atau testosterone
receptor blocker, efektif untuk mengurangi ukuran tumor pada stadium I dan II
hingga 44%.
• Terapi hormonal dengan diethylstilbestrol (5 mg PO tid untuk 6 minggu) sebelum
eksisi dapat mengurangi vascularity JNA namun terkait dengan efek samping
memiliki sifat kewanitaan (feminizing side effects).
• Doxorubicin dan dacarbazine disiapkan jika JNA berulang atau kambuh.
• Schuon, et.al. (2006) melaporkan analisis immunohistochemical dari mekanisme
pertumbuhan JNA. Mereka berkesimpulan bahwa pertumbuhan dan vaskularisasi
JNA dikendalikan oleh faktor-faktor yang dibebaskan dari stromal fibroblasts. Oleh
karena itu, dihambatnya faktor-faktor ini dapat bermanfaat untuk terapi JNA yang
tidak dapat dioperasi (inoperable).
• RADIOTERAPI
Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi.
Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi
radiasi modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus. Radioterapi stereotaktik
(seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi ke jaringan sekitarnya.
Bagaimanapun, kebanyakan penulis menyiapkan radioterapi untuk penyakit
intrakranial atau kasus rekuren.
• Beberapa center telah melaporkan rata-rata kesembuhan 80% dengan terapi
radiasi.
• Radioterapi stereotactic (yakni: pisau Gamma) mengirimkan dosis radiasi yang
lebih rendah ke jaringan di sekitarnya. Para ahli telah menyediakan radioterapi untuk
penyakit intrakranial atau kasus yang berulang.
• Radioterapi three-dimensional conformal untuk JNA yang luas (extensive) atau
penyebaran hingga intrakranial memberikan suatu alternatif yang baik untuk
radioterapi konvensional berkaitan dengan pengendalian penyakit dan morbiditas
akibat radiasi (radiation morbidity).
• External beam irradiation, paling sering digunakan untuk penyakit intrakranial yang
tidak dapat dibedah (unresectable), atau kambuhan (recurrent). Digunakan dosis
yang bervariasi dari 30-46 Gy. Sisa tumor seringkali muncul dua tahun setelah
terapi. Perhatian utama termasuk kulit sekunder, tulang, jaringan lunak, keganasan
tiroid, dan hambatan perkembangan tulang wajah.
• EMBOLISASI
Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi jaringan
parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan
suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Dengan
embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat diikuti
dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.
B. Terapi Pembedahan
• Beberapa pendekatan yang digunakan tergantung dari lokasi dan perluasan JNA.
• Rute rinotomi lateral, transpalatal, transmaksila, atau sphenoethmoidal digunakan
untuk tumor-tumor yang kecil (Klasifikasi Fisch stadium I atau II).
• Pendekatan fossa infratemporal digunakan ketika tumor telah meluas ke lateral.
• Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa osteotomi LeFort,
memperbaiki akses posterior terhadap tumor.
• Pendekatan translokasi wajah dikombinasikan dengan insisi Weber-Ferguson dan
perluasan koronal untuk kraniotomi frontotemporal dengan midface osteotomies
untuk jalan masuk.
• Pendekatan extended anterior subcranial memudahkan pemotongan tumor
sekaligus (en bloc), dekompresi saraf mata, dan pembukaan sinus kavernosus.
• Intranasal endoscopic surgery dipersiapkan untuk tumor yang terbatas pada
rongga hidung dan sinus paranasal.
II.11. Komplikasi
Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium
IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap struktur
vital, dan transfusi perioperative.
Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding).
Transformasi keganasan (malignant transformation). Kebutaan sementara (transient
blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. Osteoradionecrosis
dan atau kebutaan karena kerusakan saraf mata dapat terjadi dengan radioterapi.
Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-
Ferguson.
II.12. Prognosis
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah: keberadaan
tumor di fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan intrakranial,
suplai makanan dari arteri karotid interna, usia muda, dan ada tidaknya sisa tumor.
Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan
(recurrence). Rata-rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100%
dengan reseksi lengkap dari JNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial.
Rerata kesembuhan 90% berhubungan dengan pembedahan kedua jika terjadi
kekambuhan.
Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma dapat terus menyebar. Dapat
hilang sendiri. Terdapat angka rekurensi yang cukup tinggi setelah operasi, sekitar
6-24 %.
BAB III
KESIMPULAN
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) merupakan tumor jinak pembuluh
darah di nasofaring yang secara histologis jinak namun secara klinis bersifat ganas
karena berkemampuan merusak tulang dan meluas ke jaringan di sekitarnya,
misalnya: ke sinus paranasal, pipi, rongga mata atau tengkorak (cranial vault),
sangat mudah berdarah dan sulit dihentikan.
Tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (“Juvenile
nasopharyngealangiofibroma”). Tetapi istilah juvenile ini kurang tepat karena
neoplasma ini terdapat juga pada pasien yang lebih tua.
Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak
antara usia 14-18 tahun4 dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini
merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak5 dan 0,05% dari seluruh tumor kepala
dan leher.
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan.
Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal. Secara
histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat
ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya
pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau
arteri maksilaris interna.
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah: keberadaan
tumor di fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan intrakranial,
suplai makanan dari arteri karotid interna, usia muda, dan ada tidaknya sisa tumor.
BAB I
PENDAHULUAN
Tumor esofagus merupakan jenis tumor yang paling sering terjadi di dalam
sel yang melewati dinding kerongkongan. Tumor esofagus ada yang bersifat jinak
dan ada yang bersifat ganas. Tumor jinak yang paling sering terdapat pada esofagus
adalah tumor yang berasal dari lapisan otot, yang disebut dengan leiomioma.
Sedangkan tumor yang bersifat ganas sering dikenal dengan kanker esofagus. Jenis
yang paling sering terjadi pada kanker kerongkongan adalahsquamous sel
carcinoma dan adenokarsinoma, Dari kedua tumor tersebut sekitar 95% tumor yang
ada di esofagus adalah tumor yang bersifat ganas.1
Kanker esofagus merupakan jenis kanker yang sering ditemukan di daerah
yang dikenal dengan julukan Asian Esophageal Cancer Belt yang terbentang dari
tepi selatan laut Kaspia di sebelah barat sampai ke utara Cina meliputi Iran, Asia
Tengah, Afganistan, Siberia, dan Mongolia.1,2
Kanker esofagus merupakan peringkat ke enam penyebab kematian yang
disebabkan oleh kanker. Sekitar 80 persen kematian terjadi di negara berkembang
seperti Afrika Selatan dan Cina. Insidens karsinoma esofagus sangat bervariasi
diberbagai negara, banyak ditemukan di China, Jepang, Rusia, Hongkong,
Skandinavia, dan Iran. Di negara-negara barat seperti Amerika dan Inggris jarang
ditemukan karsinoma esofagus. Dilaporkan di China insiden karsinoma esofagus
19,6/100.000 pada laki-laki dan 9,8/100.000 pada wanita, bahkan pada propinsi
Hunan, Shanxi dan Hebey insiden mencapai 100/100.000 penduduk. Sedang Di
Amerika dilaporkan insiden 6/100.000 pada laki-laki dan 1.6/100.000 pada
wanita.1,3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi dan Fisiologi Esofagus
1. Anatomi
Esofagus merupakan sebuah saluran berupa tabung berotot yang
menghubungkan dan menyalurkan makanan dari rongga mulut ke lambung. Dari
perjalanannya dari faring menuju gaster, esofagus melalui tiga kompartemen dan
dibagi berdasarkan kompartemen tersebut, yaitu leher (pars servikalis), sepanjang 5
cm dan berjalan di antara trakea dan kolumna vertebralis. Dada (pars thorakalis),
setinggi manubrium sterni berada di mediastinum posterior mulai di belakang
lengkung aorta dan bronkus cabang utama kiri, lalu membelok ke kanan bawah di
samping kanan depan aorta thorakalis bawah. Abdomen (pars abdominalis), masuk
ke rongga perut melalui hiatus esofagus dari diafragma dan berakhir di kardia
lambung, panjang berkisar 2-4 cm.4
1. Cervikal, dimulai dari bagian bawah kartilago cricoid (settinggi C6) sampai
suprasternal notch
2. Upper Thoracis, dari suprasternal notch sampai carina (setinggi T4-T5)
3. Mid Thoracis, dari bifurcatio trakea sampai esofagus punction
4. Lower Thoracis, 8 cm panjangnya, meliputi abdominal esofagus.
Otot esofagus 1/3 atas adalah otot serat lintang yang berhubungan erat
dengan otot-otot faring, sedangkan 2/3 bawah adalah otot polos (otot sirkular dan
otot longitudinal). Esofagus menyempit pada tiga tempat :
1. Bersifat sfingter (sfingter faringoesofageal), setinggi tulang rawan krikoid pada
batas antara faring dan esofagus (peralihan otot serat lintang -otot polos)
2. Di rongga dada bagian tengah akibat tertekan langsung aort,a dan bronkus
utama kiri, tidak bersifat sfingter
3. Di hiatus esofagus diafragma yaitu tempat hiatus esofagus berakhir di kardia
lambung, murni bersifat sfingter (sfingter gastroesofageal).
Pada orang dewasa, panjang esofagus apabila diukur dari incivus superior
ke otot krikofaringeus sekitar 15-20 cm, ke arkus aorta 20-25 cm, ke v. pulmonalis
inferior, 30-35 cm, dan ke kardioesofagus joint kurang lebih 40-45 cm. Bagian atas
esofagus yang berada di leher dan rongga dada mendapat darah dari a. thiroidea
inferior beberapa cabang dari arteri bronkialis dan beberapa arteri kecil dari aorta.
Esofagus di hiatus esofagus dan rongga perut mendapat darah dari a. phrenica
inferior sinistra dan cabang a. gastrika sinistra.34
Pembuluh vena dimulai sebagai pleksus di submukosal esofagus. Di
esofagus bagian atas dan tengah, aliran vena dari plexus esofagus berjalan melalui
vena esofagus ke v. azigos dan v. hemiazigos untuk kemudian masuk ke vena kava
superior. Di esofagus bagian bawah, semua pembuluh vena masuk ke dalam vena
koronaria, yaitu cabang vena porta sehingga terjadi hubungan langsung antara
sirkulasi vena porta dan sirkulasi vena esofagus bagian bawah melalui vena
lambung tersebut.
Pembuluh limfe esofagus membentuk pleksus di dalam mukosa, submukosa,
lapisan otot dan tunika adventitia. Di bagian sepertiga kranial, pembuluh ini berjalan
seara longitudinal bersama dengan pembuluh limfe dari faring ke kelenjar di leher
sedangkan dari bagian dua per tiga kaudal dialirkan ke kelenjar seliakus, seperti
pembuluh limfe dari lambung. Duktus thorakikus berjalan di depan tulang belakang.
Esofagus dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis. N. vagus bersifat
saraf parasimpatis bagi esofagus, meskipun di bawah leher n. vagus membawa
gabungan saraf simpatis dan parasimpatis. Esofagus pars servikalis dipersarafi oleh
n. laringeus rekuren yang berasal dari n. vagus. Cabang n.vagus dan n. laringeus
rekurens kiri mempersarafi esofagus thorakalis atas. N. vagus kiri dan kanan
berjalinan dengan serabut simpatis membentuk pleksus esofagus. Persarafan
simpatis berasal dari ganglion servikal superior rantai simpatis, n. splanikus mayor,
pleksus aortik thorasikus dan ganglion seliakus.3,4
Secara histologis dinding esofagus terdiri atas 4 lapis, yaitu:
Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan, yaitu :
1. Mukosa
Terbentuk dari epitel berlapis gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring bagian atas,
dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi lambung yang
sangat asam
2. Sub Mukosa
Mengandung sel-sel sekretoris yang menghasilkan mukus yang dapat
mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari
cedera akibat zat kimia.
3. Muskularis
Otot bagian esofagus, merupakan otot rangka. Sedangkan otot pada separuh bagian
bawah merupakan otot polos, bagian yang diantaranya terdiri dari campuran antara
otot rangka dan otot polos.
4. lapisan bagian luar (Serosa)
Terdiri dari jaringan ikat yang jarang menghubungkan esofagus dengan struktur-
struktur yang berdekatan, tidak adanya serosa mengakibatkan penyebaran sel-sel
tumor lebih cepat (bila ada kanker esofagus) dan kemungkinan bocor setelah
operasi lebih besar.
B. Fisiologi
Fungsi dasar esofagus adalah membawa material yang ditelan dari faring ke
lambung. Refluks gastrik ke esofagus dicegah oleh sfingter bawah esofagus dan
masuknya udara ke esofagus pada saat inspirasi dicegah oleh sfingter atas
esofagus, sfingter atas normalnya selalu tertutup akibat kontraksi tonik otot
krikofaringeus.
Ketika makanan mencapai esofagus, makanan akan didorong ke lambung
oleh gerakan peristaltik. Kekuatan kontraksi peristaltik tergantung kepada besarnya
bolus makanan yang masuk ke esofagus. Gerakan peristaltik esofagus terdiri dari
gerakan peristaltik primer dan gerakan peristaltik sekunder. Gerakperistaltik
primer adalah gerak peristaltik yang merupakan lanjutan dari gerakan peristaltik
pada faring yang menyebar ke esofagus. Gerakan ini berlangsung dengan
kecepatan 3-4 cm/ detik, dan membutuhkan waktu 8-9 detik untuk mendorong
makanan ke lambung. Gerakan peristaltik sekunder terjadi oleh adanya makanan
dalam esofagus. Sesudah gerakan peristaltik primer dan masih ada makanan pada
esofagus yang merangsang reseptor regang pada esofagus, maka akan terjadi
gelombang peristaltik sekunder. Gelombang peristaltik sekunder berakhir setelah
semua makanan meninggalkan esofagus. Esofagus dipisahkan dari rongga mulut
oleh sfingter esofagus proksimal atau sfingter atas esofagus (upper esopaheal
spinchter/ UES), dan dipisahkan dengan lambung oleh sfingter esofagus distal atau
sfingter bawah esofagus (lower esophageal spinchter/ LES). Sfingter esofagus
proksimal terdiri dari otot rangka dan diatur oleh n. vagus. Tonus dari otot ini
dipertahankan oleh impuls yang berasal dari neuron post ganglion n. vagus yang
menghasilkan asetilkolin.3,4
Sfingter esofagus distal yang terletal 2-5 cm di atas hubungan antara
esofagus dan lambung merupakan otot polos. Secara anatomis, strukturnya tidak
berbeda dengan esofagus tetapi secara fisiologis berbeda oleh karena dalam
keadaan normal sfingter selalu konstriksi.
Proses menelan dapat di bagi menjadi 3 tahap yaitu :
Faseoral, yang mencetuskan proses menelan
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur
dengan liur akan membentuk bolus makananàmelalui dorsum lidah ke orofaring
akibat kontraksi otot intrinsik lidah. Kontraksi m. levator veli palatini mengakibatkan
rongga pada tekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole dan bagian atas dinding
posterior faring (Passavant’s ridge) terangkatà penutupan nasofaring akibat
kontraksi m. levator veli palatineà kontraksi m. Palatoglosusàismus fausium
tertutupàkontraksi m. palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke
rongga mulut.
Fase faringeal, terjadi secara refleks pada akhir fase oral, membantu jalannya
makanan dari faring kedalam esophagus. Faring dan taring bergerak ke atas oleh
kontraksi m.stilofaring, m. salfingofaring, m.tirohioid dan m. palatofaring. Aditus
laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi m.
ariepiglotika dan m. aritenoid obligesàpenghentian aliran udara ke laring karena
refleks yang menghambat pernapasan (bolus tidak akan masuk ke
sal.nafasàmeluncur ke arah esofagus.
Fase esofageal, fase involunter lain yang mempermudah jalannya makanan dari
esofagus ke lambung. Rangsangan makanan pada akhir fase faringealàrelaksasi m.
krikofaringà introitus esofagus terbuka dan bolus makanan masuk kedalam
esofagus. àsfingter berkontraksi > tonus introitus esofagus saat istirahat,àrefluks
dapat dihindari. Akhir fase esofageal sfingter ini akan terbuka secara refleks ketika
dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke distal.
Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan menutup kembali.
II.2 Tumor Esofagus
Tubuh manusia mengandung ratusan juta sel hidup. Sel-sel tersebut
normalnya tumbuh, memperbanyak diri, dan mati sesuai dengan siklusnya.
Esofagus, seperti jaringan tubuh lainnya, juga terdiri dari se-sel hidup. Pada awal
kehidupan, sel sel esofagus membelah lebih cepat sebagai suatu bagian dalam
proses pertumbuhan. Setelah seseorang menginjak fase dewasa, sebagian besar
sel hanya akan membelah diri untuk menggantikan sel-sel yang telah rusak atau
mati.2
Kanker dimulai saat sel yang menjadi bagian dalam tubuh tumbuh dan
berkembang di luar kendali. Ada banyak jenis kanker, tetapi semua kanker awalnya
terjadi karena adanya pertumbuhan abnormal dari sel-sel tubuh. Pertumbuhan sel
kanker berbeda dengan pertumbuhan sel normal lainnya. Sebagai pengganti sel
yang sebelumnya telah rusak atau mati, sel kanker tumbuh dan terus tumbuh
bahkan membentuk sel baru yang abnormal. Sel kanker juga dapat menyerang
jaringan lain, sesuatu hal dimana sel normal tidak dapat melakukannya. Saat sel
membelah, sel tersebut dikontrol oleh suatu gen yang terdapat di masing-masing
sel, inilah yang dikenal dengan nama DNA. Di sel yang normal, ketika DNA
mengalami kerusakan maka sel akan memperbaiki kerusakan tersebut. akan tetapi
pada sel kanker, kerusakan DNA tidak diperbaiki oleh sel, dan sel tersebut bahkan
tidak mati. Sebagai gantinya sel akan terus tumbuh menghasilkan jutaan, dan
bahkan milyaran sel yang sama seperti dirinya.1,2
Tidak semua tumor adalah kanker. Tumor yang bukan kanker disebut tumor
jinak. Tumor jinak dapat menjadi masalah jika tumor tersebut tumbuh semakin besar
dan menekan organ atau jaringan tubuh yang sehat. Akan tetapi tumor jinak tidak
dapat tumbuh dan menginvasi jaringan lain. Karena tumor jinak tidak dapat
berinvasi, maka tumor tersebut tidak dapat menyebar ke bagian tubuh lain. Tumor
jenis ini tidak mengancam kehidupan.
II.3 Definisi
Tumor esofagus terdiri dari tumor yang bersifat jinak dan tumor yang bersifat
ganas (kanker). Berbagai jenis tumor yang bermassa jinak dapat tumbuh dan
berkembang dari lapisan dinding yang berbeda yang ada di esofagus. Tumor jenis
ini biasanya tanpa gejala dan tumbuh secara lambat, bahkan tumor jinak ini
sering tercatat hanya sebagai temuan insidentil selama radiografi rutin atau
endoskopi. Tumor jinak yang paling sering terdapat pada esofagus adalah tumor
yang berasal dari lapisan otot, yang disebut dengan leiomioma. Karena
tumorberasal dari propria muskularis, tumor tersebut ditutupi oleh
submukosa yang utuh dan mukosa, sehingga sulit
untuk dilakukan biopsi secara endoskopi. Sedangkan tumor yang bersifat ganas
sering dikenal dengan kanker esofagus.1,5
Kanker esofagus adalah karsinoma yang berasal dari epitel berlapis gepeng
yg melapisi lumen esofagus. Kanker esofagus dimulai dari lapisan dalam (mukosa)
dan tumbuh hingga ke submukosa dan lapisan otot. Dari kedua tumor tersebut
hampir 95% tumor yang ada di esofagus adalah tumor yang bersifat ganas.5
II.4 Klasifikasi Tumor
Berdasarkan histopatologinya, kanker esofagus dibagi menjadi 4 jenis, yaitu,
Tumor epitel
Merupakan jenis tumor yang berasal dari lapisan epitel esofagus. Tumor jenis ini
merupakan tumor uang paling sering didapatkan pada esofagus. Tumor epitel dibagi
menjadi squamous cell carcinoma dan adenokarsinoma.5
2. Tumor metastase
3. Limfoma
Jenis tumor yang berasal dari sel kekebalan tubuh yang ada di esofagus
4. Sarcoma
Merupakan jenis tumor yang berasal dari dinding muscular esofagus.
Berdasarkan jenis sel yang melapisi esofagus, maka kanker esofagus dibagi
menjadi epitel berlapis gepeng (squamous cell carcinoma) dan
adenokarsinoma. Squamous cell carcinoma dapat terjadi disepanjang esofagus.
Jenis kanker ini meliputi 95% kejadian kanker esofagus di Amerika Serikat. Kanker
yang terjadi di sel kelenjar disebut adenokarsinoma. Jenis sel ini bukanlah sel yang
biasanya ada dan menjadi bagian di lapisan dalam esofagus. Sebelum menjadi
adenokarsinoma, sel glandular menggantikan posisi sel squamous, dan inilah yang
sering disebut dengan Barrett’s esophagus. Kanker tipe ini sering terjadi di bagian
yang lebih bawah dari esofagus, yang merupakan tempat terbanyak kejadian
adenokarsinoma.5
II.5 Epidemiologi
Kanker esofagus merupakan peringkat ke enam penyebab kematian karena
kanker. Sekitar 80 persen kematian terjadi di negara berkembang seperti Afrika
Selatan dan Cina. Di amerika pada tahun 2000, angka kejadian kasus baru
mencapai angka 12.300 sedangkan angka kematian mencapai 12.100. dalam 25
tahun terakhir ini, terjadi peningkatan kejadian adenokarsinoma esofagus distal yang
cukup signifikan.1,3, 6
Kanker esofagus merupakan jenis kanker yang sering ditemukan di daerah
yang dikenal dengan julukan Asian Esophageal Cancer Belt yang terbentang dari
tepi selatan laut Kaspia di sebelah barat sampai ke utara Cina meliputi Iran, Asia
Tengah, Afganistan, Siberia, dan Mongolia. Selain itu kanker esofagus banyak
terdapat di Finlandia, Islandia, Afrika Tenggara, dan Perancis Barat Laut. Di Amerika
Utara dan Eropa Barat, Kanker esofagus lebih sering terjadi pada orang kulit hitam
dibandingkan dengan orang kulit putih. Squamous Cell carcinomaadalah jenis
kanker yang sering terjadi pada orang kulit hitam, sedangkan adenokarsinoma
sering terjadi pada orang kulit putih. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki beresiko
terkena kanker esophagus 3 hingga 4 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita.
Hal ini terutama dikaitkan dengan tingginya konsumsi alkohol dan rokok pada pria.
Berdasarkan tingkatan usia, usia lebih dari 65 tahun memiliki resiko paling tinggi
untuk menderita kanker esofagus. Sekitar 15% penderita didiagnosa menderita
kenker esofagus pada usia kurang dari 55 tahun.1,2,5
II.6 Faktor Resiko
Penyebab kanker esofagus belum diketahui dengan pasti akan tetapi para
peneliti percaya bahwa beberapa faktor resiko seperti merokok dan alkohol, dapat
menyebabkan kanker esofagus dengan cara merusak DNA sel yang melapisi bagian
dalam esofagus, akibatnya DNA sel tersebut menjadi abnormal. Iritasi yang
berlangsung lama pada dinding esofagus, seperti yang terjadi pada GERD, Barrett’s
esophagus dan akhalasia dapat memicu terjadinya kanker. Beberapa faktor resiko
yang dapat mempertinggi kejadian kanker esofagus diantaranya adalah :
1. Merokok dan konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol dan merokok berkaitan dengan kejadian kanker esofagus. Alkohol
dan rokok dapat menyebabkan iritasi kronik pada mukosa esofagus. Orang yang
merokok 1 bungkus perhari memiliki resiko 2 kali lebih tinggi untuk menderita
adenokarsinoma esofagus dibandingkan dengan yang tidak merokok
2. Obesitas
Orang yang kelebihan berat badan atau obesitas memiliki resiko tinggi untuk
menderita adenokarsinoma esofagus. Hal ini berkaitan dengan peningkatan tekanan
intra abdomen dan refluk esofagus.
3.
Gastro esophageal reflux disease (GERD)
Orang yang menderita GERD, beresiko 2 hingga 16 kali lebih tinggi untuk menderita
adenokarsinoma esofagus dibandingkan dengan orang normal. Resiko bergantung
pada seberapa panjang refluk dan gejala yang terjadi. Sekitar 30 % kejadian kanker
esofagus dikaitkan dengan kejadian GERD.
2.
Barrett’s esophagus
Jika refluk di bagian lower esophagus berlangsung terus menerus dan dalam jangka
waktu yang lama, maka refluk ini akan menyebabkan kerusakan pada dinding
esofagus. Hal ini dapat mengakibatkan sel skuamous yang melapisi esofagus
menjadi nhilang dan digantikan oleh sel glandular. Sel glandular ini biasanya terlihat
seperti sel yang melapisi dinding lambung dan usus halus, dan lebih resisten
terhadap asam lambung. Kondisi ini dinamakan Barrett’s esophagus. Sekitar 10 %
orang dengan gejala GERD menderita Barrett’s esophagus. Semakin lama
seseorang mngalami GERD , maka semakin beresiko untuk menderita Barrett’s
esophagus. Kebanyakan orang yang menderita Barrett’s esophagus memiliki gejala
dada terasa terbakar. Penyakit ini memiliki resiko 30 hingga 125 kali lebih besar
untuk menyebabkan terjadinya kanker esofagus dibandingkan dengan orang
normal. Hal ini dikarenakan sel glandular pada Barrett’s esophagus menjadi
abnormal hingga menjadi displasia, kondisi prekanker.7
4. Diet
Makan makanan yang banyak mengandung buah-buahan dan sayur-sayura,
berkaitan dengan berkurangnya angka kejadian kanker esofagus. Buah-buahan dan
sayur-sayuran mengandung banyak vitamin dan mineral yang membantu dalam
mencegah terjadinya kanker. Sekitar 15 5 kanker esofagus dikaitkan dengan
rendahnya asupan buah-buahan dan sayuran. Makan makanan yang sedikit
mengandung buah-buahan dan sayur-sayuran dapat meningkatkan kejadian kanker
esofagus.
5. Akhalasia
Pada penyakit ini, otot pada bagian bawah esofagus tidak berfungsi dengan baik.
Makanan dan cairan yang yang masu ke dalam lambung menjadi tertahan dan
cenderung berkumpul di esofagus. Akibatnya esofagus mengkompensasi dengan
melakukan dilatasi. Orang dengan akhalasia memiliki resiko untuk mengalami
kanker esofagus 15 kali lebih besar dibandingkan dengan orang normal. Sekitar 6%
(1 dari 20 orang) dari semua kasus akhalasia berkembang menjadi kanker
squamous cell carcinoma. Pada umumnya, kanker terjadi sekitar 17 tahun setelah
pasien didiagnosa akhalasia.
6. Bakteri lambung
Bakteri lambung, helicobacter pylori dapat menyebabkan masalah lambung,
termasuk ulserasi dan beberapa jenis kanker lambung. Infeksi karena nakteri ini
dapat diobati dengan antibiotic dan tambahan obat yang mengurangi asam lambung.
Orang yang mendapat terapi H.Pylori beresiko untuk mengalami kanker esofagus
dibandingkan dengan orang yang tidak mendapatkan terapi. Hal ini dikarenakan
infeksi H.Pylori, menyebabkan lambung memproduksi sedikit asam lambung.
rendahnya kadar asam lambung berdampak apad rendahnya refluks ke esofagus.
Jadi infeksi dapat menyebabkan banyak masalah di lambung, tetapi di lain pihak hal
ini infeksi tersebut membantu melindungi esofagus.
II.7 Manifestasi Klinis
Keterlambatan antara awitan gejala-gejala dini serta waktu ketika pasien
mencari bantuan medis seringkali antara 12-18 bulan, biasanya ditandai dengan lesi
ulseratif esofagus tahap lanjut.
1. Disfagia
Gejala utama dari kanker esofagus adalah masalah menelan, sering dirasakan oleh
penderita seperti ada makanan yang tersangkut di tenggorokan atau dada. Ketika
menelan menjadi sulit, maka penderita biasanya mengganti makanan dan kebiasan
makannya secara tidak sadar. Penderita makan dengann jumlah gigitan yang lebih
sedikit dan mengunyah makanan dengan lebih pelan dan hati-hati. seiring dengan
pertumbuhann kaknker yang semakin besar, penderita mulai makan makanan yang
lebih lembut dengan harapan makanan dapat dengan lebih mudah masuk melewati
esofagus, hingga akhirnya penderita berhenti mengkonsumsi makanan padat dan
mulai mengkonsumsi makanan cair. Akan tetapi, jika kanker tetap terus tumbuh,
bahkan makanan cair pun tidak bisa melewati esophagus. Untuk membantu
makanan melewati esophagus biasanya tubuh mengkompensasi dengan
menghasilkan saliva luarkan Hal ini juga yang menyebabkan orang yang menderita
kanker esofagus sering mengeluh mengeluh banyak mengeluarkan mukus atau
saliva.1,5,8
2. Merasakan benjolan pada tenggorokan dan rasa nyeri saat menelan.
3. Nyeri pada dada,regurgitasi makanan yang tak tercerna dengan bau nafas dan
akhirnya cegukan.
Nyeri dada sering dideskripsikan dengan perasaan tertekan atau terbahkar di dada.
gejala ini sering sekali diartikan dengan gejala yang berkaitan dengan organ lain,
seperti jantung, sehingga sering kali orang tidak menyadari kalau gejala tersebut
adalah salah satu gejala yang sering dikeluhkan pada penderita kanker esofagus.
4. Hemoragi, kehilangan berat badan dan kekuatan secara progresif akibat
kelaparan
Sekitar sebagian dari pasien yang menderita kanker esofagus mengalami
penurunan berat badan. Hal ini terjadi karena masalah menelan sehingga penderita
mendapat masukan makanan yang kurang untuk tubuhnya. Penyebab lain
dikarenakan berkurangnya nafsu makan dan meningkatnya proses metabolisme
kanker yang diderita oleh pasien.1
Pendarahan juga bisa terjadi pada pasien kanker esofagus. Sel tumor mampu
tumbuh keluar aliran darah, menyebabkan terjadinya nekrosis dan ulserasi pada
mukosa dan menghasilkan pendarahan di daerah gastrontestinal. Jika pendarahan
terjadi dalam jumlah yang banyak, maka feses juga bisa berubah menjadi warna
hitam tapi hal ini bukan berarti tanda bahwa kanker esofagus pasti ada.
5. Pada pemeriksaan fisik tampak pasien menjadi kurus karena gangguan
menelan dan anoreksia Jika telah lanjut, terdapat pembesaran kelenjar getah bening
daerah supraklavikula dan aksila, serta hepatomegali.
II. 8 Staging Kanker Esofagus
The American Joint Committee on Cancer Staging 1987 membagi stadium tumor
berdasarkan TNM sistem. T adalah tumor primer, N adalah pembesaran kelenjar
limfe regional dan M adalah metastasis jauh. TNM sistem dapat ditegakkan dari hasil
pemeriksaan klinis, esofagoskopi dan CT scan.9
TUMOR PRIMER (T)
TX Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak ada bukti ada tumor primer
Tis Carcinoma in situ
T1 Invasi ke lamina propia atau submukosa
T2 Invasi ke tunika muskularis propia :
T3 Invasi ke tunika adventitia.
T4 Invasi ke struktur sekitar.
REGIONAL LYMPH NODES (N)
NX Kelenjar getah bening regional tak dapat dinilai
N0 Tidak ada metastasis jauh
N1 Ada metastasis ke KGB regional
METASTASE (M)
MX Metastasis tak dapat dinilai
M0 Tak ada metastasis jauh
M1 Ada metastasis jauh
KLASIFIKASI METASTASE
Tumor pada bgaian bawah esophagus
M1a Metastasis di limfa nodus celiac
M1b Metastasis jauh lainnya
Tumor pada bagian tengah esophagus
M1a Not applicable
M1b Nonregional lymph nodes and/or other distant metastasis
Tumor pada bagian atas esophagus
M1a Metastase ke nodus servikal
M1b Metastase ke tempat lain
STAGE GROUPING
Stage 0 Tis N0 M0
Stage I T1 N0 M0
Stage IIA T2 N0 M0
T3 N0 M0
Stage IIB T1 N1 M0
T2 N1 M0
Stage IIIA T1 N2 M0
T3 N1 M0
Stage IIIB T4 Any N M0
Stage IV Any T Any N M1
Stage IVA Any T Any N M1a
Stage IVB Any T Any N M1b
II. 9 Penegakan Diagnostik
Evaluasi Diagnostik
Diagnosis kanker esofagus dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan
penunjang termasuk didalamnya imaging studies dan endoskopi.
1. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan diantaranya LED meningkat, terdapat
gangguan faal hati dan ginjal, dilihat dari nilai SGOT, SGPT, ureum dan creatinin
yang mengalami peningkatan.
2. Imaging studies
a. Barium swallow
Pada uji ini, cairan yang disebut barium di telan. Barium akan melapisi dinding
esofagus. Ketika dilakukan penyinaran (sinar X), barium akan membentuk esofagus
dengan jelas. Tes ini dapat digunakan untuk melihat apakah ada kelainan pada
permukaan dinding esofagus.
Tes barium biasanya menjadi pilihan utama untuk melihat penyebab disfagia.
Bahkan sebagian kecil tumor, dapat terlihat dengan menggunakan tes ini. Tes
barium tidak dapat digunakan untuk menentukan seberapa jauh kanker telah
bermetastase.9,10
b. CT Scan
CT Scan biasanya tidak digunakan untuk mendiagnosis kanker esofagus, tetapi CT
Scan dapat membantu dalam menentukan penyebaran dari kanker esofagus. CT
Scan dapat menunjukkan lokasi dimana kanker esofagus berada dan dapat
membantu dalam menentukan apakah pembedahan merupakan tatalaksana terbaik
untuk kanker esofagus. Sebelum gambar diambil, pasien diminta untuk minum
cairan kontras, sehingga esofagus dan bagian usus dapat terlihat jelas sehingga
tidak terjadi pembiasan pada daerah sekitarnya.
3. Endoskopi
a. Upper Endoscopy
Endoskopi merupakan uji diagnostic yang paling utama untuk mendiagnosis kanker
esofagus. Dengan bantuan endoskopi, dokter dapat melihat kanker melalui selang
dan melakukan biopsy terhadap jaringan kanker maupun jaringan lain yang ada di
sekitar kanker yang tampak tidak normal. Contoh jaringan yang telah diambil
kemudian dikirim ke laboratorium, dan dengan bantuan mikroskop dapat ditentukan
apakah jaringan tersebut merupakan jaringan yang bersifat ganas (kanker). Jika
kanker esophagus menutupi lumen esophagus, maka lumen tersebut dengan
bantuan alat dan endoskopi dapat dilebarkan sehingga makanan dan cairan dapat
melaluinya.9,10
b. Endoscopic ultrasound
Merupakan jenis endoskopi yang menggunakan gelombang suara untuk melihat
gambar bagian dalam tubuh. Endoskopi jenis ini sangat berguna untuk menentukan
ukuran dari kanker esofagus dan seberapa jauh kanker tersebut telah menyebar ke
jaringan lain. Uji ini tidak memiliki dampak radiasi, sehingga aman untuk digunakan.
Gambar 1. Endoskopi
4. Bronkoskopi dan mediastinokopi
Bronkoskopi biasanya dilakukan, khususnya pada tumor pada sepertiga tengah dan
atas esofagus, untuk menentukan apakah trakea telah terkena dan untuk membantu
dalam menentukan apakah lesi dapat diangkat. Sedangkan mediastinoskopi
digunakan untuk menentukan apakah kanker telah menyebar ke nodus dan struktur
mediastinal lain.
II.10 Penatalaksanaan
Sebelum merencanakan dan memberikan terapi pada karsinoma esofagus,
perlu dilakukan penentuan stadium (staging) dan pengelompokan stadium tumor.
Penentuan tingkatan tumor ini dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan jasmani
yang teliti, dilengkapi dengan pemeriksaan laboratorium. Prosedur dilanjutkan
dengan esofagografi memakai suspensi barium, foto dada, CT Scan dada dan
abdomen. Pada kasus-kasus tertentu perlu dilakukan bronkoskopi, mediastinoskopi,
atau sidik tulang.11
Ada beberapa pilihan yang dapat digunakan untuk terapi kanker esofagus.
Pilihannya adalah pembedahan, terapi radiasi, kemoterapi, atau kombinasi dari
ketiga jenis pilihan. Sebagai contoh, terapi radiasi dan kemoterapi dapat diberikan
sebelum atau setelah operasi. Pilihan terapi bergantung pada beberpah hal,
diantaranya :
Lokasi kanker di dalam kerongkongan
Apakah kanker telah menyerang struktur disekitarnya
Apakah kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening atau organ tubuh
lainnya
gejala dan kondisi kesehatan secara umum
a. Operasi
Ada beberapa jenis operasi untuk kanker kerongkongan.. jenis tergantung
terutama di mana kanker itu berada. Untuk pembedahan harus ditentukan apakah
dapat dioperasi atau tidak berdasarkan keadaan umum pasien secara klinis, tidak
adanya fiksasi tumor ke jaringan sekitar, atau tidak adanya metastasis ke organ
lain. Pembedahan dapat dikombuinasikan dengan terapi lain seperti kemoterapi dan
radioterapi. Pada stadium dini, di mana besar tumor kurang dari 2 cm, dilakukan
pembedahan enbloc esophagectomy. Penderita akan merasakan nyeri pada masa
awal setelah operasi. Namun obat-obatan akan membantu dalam mengurangi rasa
sakit tersebut. Efek samping yang ditimbulkan dari tindakan pembedahan
diantaranya adalah meningkatnya resiko infeksi termasuk pneumoni, pandarahan
setelah pembedahan dan gangguan pernafasan.1,3,11
Esofagektomi
Merupakan tindakan pembedahan untuk mengangkat semua bagian dari esofagus,
termasuk sebagaian kecil dari lambung. Saat esofagus diangkat maka limfa nodus
yang berada dekat dengan esophagus juga terangkat. Bagian atas esofagus sering
dihubungkan dengan bagian lambung yang tersisa, bagian lambung tersebut ditarik
ke arah dada atau leher menjadi bagian baru dari esofagus. Banyaknya esofagus
yang diangkat, bergantung pada staging tumor dan lokasi tumor berada. Jika tumor
terletak di bagian distal esofagus, maka bagian esofagus yang diangkat bisa
mencapai 8 hingga 10 cm dari normal esofagus.4,11
Beberapa metode esofagektomi:
McKeown’s operation
Pendekatan 3 lapangan operasi, meliputi laparotomi, thorakotomi dan Insisi servikal,
dibuat anastomosis antara lambung keesofagus di servikal.
Ivor Lewis operation
Pendekatan 2 lapangan operasi, meliputi laparotomi dan thorakotomi, dilakukan
anastomosis antara lambung dengan oesophagus di thoraks.
Laparoscopy-assisted esophagectomy
Hampir sama dengan transhiatal approach tetapi menggunakan laparoscopic
instruments untuk mobilisasi esophagus intra thoracic.
Open esophagectomy
Esophagus dapat diangkat dengan melakukan insisi melalui abdomen dan torak,
yang dikenal dengan nama esofagektomi transtorakal. Jika insisi dilakukan melalui
abdomen dan leher disebut esofagektomi transhiatal.
Minimally invasive esophagectomy
Esophagus dapat diangkat melalui insisi yang kecil, tindakan ini disebut dengan
esofagektomi invasif minimal. Ahli bedah menggunakan sejenis teleskop yang tipis
melalui insisi. Alat ini akan mempermudah ahli bedah untuk melihat esofagus selam
operasi.
Efek samping tindakan pembedahan
Seperti operasi lainnya, tindakan pembedahan pada esofagus juga memiliki
beberapa resiko. Serangan jantung atau pembentukan bekuan darah di paru dan di
otak dapat terjadi selama proses pembedahan. Komplikasi paru-paru, seperti
pneumoni, kebocoran pada tempat penyambungan esofagus dan lambung, mual
dan muntah, meningkatnya resiko infeksi, striktur esofagus dapat terjadi sebagai
akibat dari tindakan pembedahan
b. Terapi Radiasi
Terapi radiasi (juga disebut radioterapi) menggunakan sinar berenergi tinggi
untuk membunuh sel-sel kanker. Sinar tersebut hanya mempengaruhi sel-sel
kanker, tidak untuk sel-sel disekitarnya. Terapi radiasi dapat digunakan sebelum
atau setelah operasi. Bahkan dapat digunakan sebagai terapi tunggal, pengganti
operasi. Terapi radiasi biasanya dikombinasi dengan kemoterapi untuk mengobati
kanker kerongkongan. Ada dua jenis terapi radiasi dalam pengobatan kanker
kerongkongan.1,3,11
Terapi radiasi eksternal: radiasi berasal dari sebuah mesin besar di luar tubuh.
The machine aims radiation at your cancer. Mesin ini bertujuan radiasi pada kanker
Anda. Perawatan biasanya 5 hari seminggu selama beberapa minggu.
Terapi radiasi internal (brachytherapy): radiasi jenis ini menggunakan
semprotan anestesi untuk daerah kerongkongan sehingga pasien merasa lebih
nyaman sepanjang terapi. Sebuah tabung/selang ditempatkan ke dalam
kerongkongan. Zat radiasi akan keluar melalui tabung tersebut. ketika tabung
diangkat, zat radioaktif juga akan hilang bersamaan dengan keluarnya tabung,
sehingga tidak meninggalkan sisa di dalam tubuh. Untuk jenis terapi radiasi ini,
biasanya pengobatan tidak dilakukan secara kombinasi dengan terapi lainnya.
Efek samping dari terapi radiasi bergantung pada dosis dan tipe radiasi.
Terapi radiasi eksternal yang dilakukan pada daerah dada dan abdomen dapat
menyebabkan radang tenggorokan, atau nyeri pada perut dan usus. Efek samping
lainnya yaitu mual dan muntah. Selain itu, kulit di daerah yang mendapat terapi
dapat menjadi merah, kering, dan nyeri.
Terapi radiasi dapat menyebabkan masalah dalam proses menelan.
Misalnya, kadang-kadang terapi radiasi dapat melukai esofagus dan menyebabkan
kesulitan dalam menelan. Atau, radiasi juga dapat menyebabkan esofagus menjadi
sempit. Oleh karena itu, Sebelum terapi biasanya sebuah tabung plastik dimasukkan
ke dalam esofagus untuk menjaga agar esofagus tetap terbuka.
c. Kemoterapi
Kebanyakan orang dengan kanker kerongkongan mendapatkan kemoterapi.
Kemoterapi menggunakan obat untuk menghancurkan sel-sel kanker. Obat-obat
untuk kanker kerongkongan biasanya diberikan melalui pembuluh darah (intravena).
Kemoterapi biasanya diberikan dalam beberapa siklus. Setiap siklus memiliki masa
perawatan diikuti oleh masa istirahat.11
Regimen yang sering digunakan untuk kemoterapi adalah
5-Fluorouracil
5-Fluorouracil + Cisplatin
ECF (Epirubicin + Cisplatin + 5-Fluorouracil)
IFL (Irinotecan + 5-Fluorouracil + Leucovorin)
TIC (Paclitaxel + Ifosphamide + Carboplatin)
Efek samping tergantung terutama pada obat yang diberikan dan berapa
banyak dosis yang digunakan. Kemoterapi dapat membunuh sel kanker dengan
cepat, akan tetapi obat tersebut juga dapat membahayakan sel-sel normal yang ada
di dalam tubuh yang membelah dengan cepat seperti :
Sel darah: saat kemoterapi menurunkan kadar sel darah yang sehat, maka
seseorang dapat lebih mudah untuk mendapatkan infeksi, mudah memar atau
berdarah, dan merasa sangat lemah dan lelah.
Sel-sel pada akar rambut: Kemoterapi dapat menyebabkan rambut rontok.
Sel yang melapisi saluran pencernaan: Kemoterapi dapat menyebabkan kurang
nafsu makan , mual dan muntah, diare, atau mulut dan bibir luka .
Efek samping lainnya yaitu ruam pada kulit, nyeri pada sendi, rasa baal atau
mati rasa pada tangan dan kaki, gangguan pendengaran dan pembengkakan kaki.
d. Terapi paliatif
Pada stadium lanjut dilakukan tindakan paliatif agar pasien dapat menikmati
makanan peroral
Dilatasi mekanik
Dilatasi mekaniuk digunakan ketika tindakan pembedahan dan radioterapi bersifat
kontraindikasi. Teknik dilatasi ini menggunkan balon dilatators yang dimasukkan ke
esofagus dengan bantuan endoskopi. Karena resiko perforasi esofagus cukup tinggi
pada tindakan ini, maka dilatasi mekanik harus dilakukan secara perlahan dan hati-
hati.1,11
Terapi Yag Laser
Terapi ini cukup efektif untuk mengobati obstruksi yang disebabkan oleh tumor
esofagus. Massa tumor dapat dihancurkan dengan menggunakan laser sehingga
lumen bebas dari massa.
II. 11 Prognosis
Jika terdiagnosis secara dini, secara keseluruhan tumor esofagus memiliki
prognosis yang baik. Sebanyak 70% penderita mengalami metastase pada kelenjar
limfa nodus. Jika tidak ada keterlibatan limfa nodus, maka 50 % pasien dapat
bertahan hidup selama 5 tahun. Jika sudah terjadi metastase, maka hanya 1 dari 8
penderita yang mampu bertahan hingga 5 tahun.1,5,9
BAB III
KESIMPULAN
Esofagus merupakan sebuah saluran berupa tabung berotot yang
menghubungkan dan menyalurkan makanan dari rongga mulut ke lambung. Fungsi
dasar esofagus adalah membawa material yang ditelan dari faring ke lambung. Jika
terdapat gangguan pada daerah ini, maka semua proses tubuh yang melibatkan
esofagus termasuk proses menelan akan mengalami gangguan.
Esofagus, seperti jaringan tubuh lainnya, juga terdiri dari se-sel hidup. Pada
awal kehidupan, sel sel esofagus membelah lebih cepat sebagai suatu bagian dalam
proses pertumbuhan. Setelah seseorang menginjak fase dewasa, sebagian besar
sel hanya akan membelah diri untuk menggantikan sel-sel yang telah rusak atau
mati. Jika sel-sel mulai membelah, tumbuh abnormal dan berkembang secara tidak
terkendali maka sel inilah yang dikatakan sel tumor atau kanker. Sel kanker juga
dapat menyerang jaringan lain, sesuatu hal dimana sel normal tidak dapat
melakukannya.
Tidak semua tumor adalah kanker. Tumor yang bukan kanker disebut tumor
jinak. Tumor jinak dapat menjadi masalah jika tumor tersebut tumbuh semakin besar
dan menekan organ atau jaringan tubuh yang sehat. Akan tetapi tumor jinak tidak
dapat tumbuh dan menginvasi jaringan lain. Karena tumor jinak tidak dapat
berinvasi, maka tumor tersebut tidak dapat menyebar ke bagian tubuh lain. Tumor
jenis ini tidak mengancam kehidupan.
Tumor esofagus terdiri dari tumor yang bersifat jinak dan tumor yang bersifat
ganas (kanker). Tumor jinak yang paling sering terdapat pada esofagus adalah
tumor yang berasal dari lapisan otot, yang disebut dengan leiomioma. Sedangkan
tumor yang bersifat ganas sering dikenal dengan kanker esophagus, terdiri dari
epitel berlapis gepeng (squamous cell carcinoma) dan adenokarsinoma. Dari kedua
tumor tersebut hampir 95% tumor yang ada di esofagus adalah tumor yang bersifat
ganas (kanker).
Penyebab kanker esofagus belum diketahui dengan pasti akan tetapi para
peneliti percaya bahwa beberapa faktor resiko seperti merokok dan alkohol, dapat
menyebabkan kanker esofagus dengan cara merusak DNA sel yang melapisi bagian
dalam esofagus, akibatnya DNA sel tersebut menjadi abnormal. Iritasi yang
berlangsung lama pada dinding esofagus, seperti yang terjadi pada GERD, Barrett’s
esophagus dan akhalasia dapat memicu terjadinya kanker.
Kanker esofagus ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang dialami pasien,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya. Dari gejala
klinis, hal yang paling sering menjadi keluhan pasien adalah disfagia (sulit menelan),
merasakan benjolan pada tenggorokan dan rasa nyeri saat menelan. nyeri pada
dada, regurgitasi makanan yang tak tercerna dengan bau nafas dan akhirnya
cegukan serta perdarahan. Pada pemeriksaan fisik tampak pasien menjadi kurus
karena gangguan menelan dan anoreksia. Jika telah lanjut, terdapat pembesaran
kelenjar getah bening daerah supraklavikula dan aksila, serta hepatomegali. Pada
pemeriksaan darah rutin didapatkan diantaranya LED meningkat, terdapat gangguan
faal hati dan ginjal, dilihat dari nilai SGOT, SGPT, ureum dan creatinin yang
mengalami peningkatan. Dari pemeriksaan penunjang lainnya seperti bubur barium,
dapat terlihat gambaran yang khas pada sebagian besar kasus di mana akan terlihat
tumor dengan permukaan yang erosif dan kasar pada bagian esofagus yang
terkena. Pemeriksaan endoskopi dan biopsi sangat penting untuk mendiagnosis
karsinoma esofagus, terutama untuk membedakan antara karsinoma epidermal dan
adenokarsinoma. Paling tidak diperlukan beberapa biopsi, oleh karena terjadi
penyebaran ke submukosa dan adanya kecenderungan tertutupnya karsinoma
epidermal oleh sel epitel skuamus yang normal.
Ada beberapa pilihan yang dapat digunakan untuk terapi kanker esofagus.
Akan tetapi, sebelum merencanakan dan memberikan terapi pada karsinoma
esofagus, perlu dilakukan penentuan stadium (staging) dan pengelompokan stadium
tumor berdasarkan TNM sistem. T adalah tumor primer, N adalah pembesaran
kelenjar limfe regional dan M adalah metastasis jauh. Pilihan terapi yang dapat
digunakan adalah pembedahan, terapi radiasi, kemoterapi, atau kombinasi dari
ketiga jenis pilihan.
Ada beberapa jenis operasi untuk kanker kerongkongan.. jenis tergantung
terutama di mana kanker itu berada. Pembedahan dapat dikombuinasikan dengan
terapi lain seperti kemoterapi dan radioterapi. Pada stadium dini, di mana
besartumor kurang dari 2 cm, dilakukan pembedahan enbloc esophagectomy. Efek
samping yang ditimbulkan dari tindakan pembedahan diantaranya adalah serangan
jantung atau pembentukan bekuan darah di paru dan di otak dapat terjadi selama
proses pembedahan. Komplikasi paru-paru, seperti pneumoni, kebocoran pada
tempat penyambungan esofagus dan lambung, mual dan muntah, meningkatnya
resiko infeksi, striktur esofagus dapat terjadi sebagai akibat dari tindakan
pembedahan.
Terapi radiasi (juga disebut radioterapi) menggunakan sinar berenergi tinggi
untuk membunuh sel-sel kanker. Terapi radiasi dapat digunakan sebelum atau
setelah operasi. Terapi radiasi biasanya dikombinasi dengan kemoterapi untuk
mengobati kanker kerongkongan. Ada dua jenis terapi radiasi dalam pengobatan
kanker kerongkongan, yaitu terapi radiasi eksternal dan terapi radiasi internal. Efek
samping dari terapi radiasi bergantung pada dosis dan tipe radiasi. Terapi radiasi
eksternal yang dilakukan pada daerah dada dan abdomen dapat menyebabkan
radang tenggorokan, atau nyeri pada perut dan usus. Efek samping lainnya yaitu
mual dan muntah. Selain itu, kulit di daerah yang mendapat terapi dapat menjadi
merah, kering, dan nyeri. Kemoterapi menggunakan obat untuk menghancurkan sel-sel kanker. Obat-obat untuk kanker kerongkongan biasanya diberikan melalui pembuluh darah (intravena). Kemoterapi biasanya diberikan dalam beberapa siklus. Setiap siklus memiliki masa perawatan diikuti oleh masa istirahat. Regimen yang sering digunakan untuk kemoterapi adalah 5-Fluorouracil , 5-Fluorouracil + Cisplatin ,ECF (Epirubicin + Cisplatin + 5-Fluorouracil) , IFL (Irinotecan + 5-Fluorouracil + Leucovorin) dan TIC (Paclitaxel + Ifosphamide + Carboplatin) . Efek samping dari kemoterapi, diantaranya adalah meningkatnya resiko infeksi, mudah memar atau berdarah, dan merasa sangat lemah dan lelah, kurang nafsu makan , mual dan muntah, diare,
atau mulut dan bibir luka, ruam pada kulit, nyeri pada sendi, rasa baal atau mati rasa pada tangan dan kaki, gangguan pendengaran dan pembengkakan kaki.
Jika terdiagnosis secara dini, secara keseluruhan tumor esofagus memiliki prognosis yang baik. Sebanyak 70% penderita mengalami metastase pada kelenjar limfa nodus. Jika tidak ada keterlibatan limfa nodus, maka 50 % pasien dapat bertahan hidup selama 5 tahun. Jika sudah terjadi metastase, maka hanya 1 dari 8 penderita yang mampu bertahan hingga 5 tahun
Tumor telinga
Pengertian
Tumor telinga disebut juga tumor glomus jugularis yang merupakan kumpulan dari jaringan ganglonik dalam tulang temporalis yang berhubungan dengan jugular bulb.
2. Etiologi
ada beberapa penyebab dari tumor glomus, tergantung macamnya :
a. Kondroma
Tumor ini berasal dari sisa notohcordal dan secara dominan ditemukan berhubungan dengan tulang aksila yang bersifat ganas. Tumor ini jarang terjadi.
b. Kondrosarkoma
Kondrosarkoma dari sisa kartilaginosa pada foramen laserum. Kondrosarkoma bersifat ganas dan dapat menimbulkan gejala erosi tulang yang menimbulkan tekanan pada telinga dalam.
c. Manigoima
Tumor ini merupakan tumor yang berasal dari tulang temporalis yang terdapat pada telinga tengah
3. Patologi
Pada pemeriksaan histologi glomus jugulare menunjukan suatu kemiripan dengan glomus jugulare normal. Secara sitologi tumor tersebut tidak terlalu aktif dengan hanya sedikit badan mitosis, dan tumor ini biasanya memiliki kapsulafibrosa yang tipis. Tumor tersebut juga dapat menjadi invasire dan mengakibatkan kerusakan dari tulang dan nervus fascialis didaerah sekitarnya. Tumor ini juga menunjukan kecenderungan untuk melakukan penyebaran secara infiltrative melalui sistem udara dari sel mastoid ( Makek dkk ; 1990 )
3. Klasifikasi
Ada tiga macam tumor glomus jugulare :
1. Kondroma
Kondroma merupakan tumor yang jarang terjadi, tumor ini berasal dari sisa notohcordal dan secara dominan ditemukan berhubungan dengan tulang aksila yang bersifat ganas. Gejala ini yang timbul karena tekanan dari telinga tengah atau nervus kranialis dan rasa nyeri merupakan gejala utama pada tumor ini.
2. Kondrosarkoma
Kondrosarkoma dari apeks perosa mungkin berasal dari sisa kartilaginosa pada foramen laserum. Kondrosarkoma bersifat ganas dan dapat menimbulkan gejala erosi tulang yang menimbulkan tekanan pada telinga dalam atau nervus carnial. Deferensiasi secara histolik dibandingkan dengan kondroma sangat penting karena biasanya tumor ini memiliki prognosis yang lebih tinggi. Tetapi dengan reseksi luas dilanjutkan radiasi post operative. Angka kehidupan 5 tahun adalah 70%.
3. Manigioma
Manigioma merupakan tumor intra carnial jinak yang paling sering ditemukan dan diduga berasal dari Vili Arahnoid. Tumor ini merupakan tumor yang berasal dari tulang temporalis yang terdapat pada telinga tengah.Tumor Epitelium
Satu-satunya tumor epitelium jinak yang ditemukan pada telinga tengah ialah Adenoma dan dikeluarkan dengan kombinasi standar dari pendekatan secara mastoidektomi dengan pemeliharaan pendengaran.
Tumor ganas yang paling sering adalah Skuamous sel-karsinoma. Terapi ini adalah dengan kombinasi dari radioterapi dengan radiasi radikal. Tumor epithelial ganas lainnya adalah adenokarsinoma dan karsinoma adenoid kistik. Keduanya relatif radio resisten dan radikal operasi memberikan kemungkinan angka kesembuhan yang paling baik.
Ada empat tingkatan dari penyebaran glomus jugularis dalam hubungannya dengan klinis:
1) Jenis Kelamin
Glomus tumor lebih dominan terjadi pada wanita dari pada pria dengan perbandingan 6:1. glomus tumor juga terjadi pada usia pertengahan. Walaupun timbulnya angka kejadian sangat jarang tetapi tingkatan kejadian terlihat meningkat pada pasien yang keluarganya menderita tumor glumor dengan pola herediter.
2) Aktivitas Endokrin
Tumor glomus biasanya dianggap sebagai non-chomaffin paraganglioma yang tidak memiliki fungsi endokrin tetapi hal ini dapat menunjukan adanya laporan peningkatan keaktifan dari tumor ( Duke dkk;1964)/
3) Pusat Tumor
Glomus tumor terkadang timbul pada kedua telinga kiri dan kanan/berkonjugasi dengan paraganglioma lainnya. Badan karotis sendiri sering menjadi tempat bagi kedua tumor tersebut.
4) Metastase
Tumor glomus jugulare secara umum dianggap sebagai tumor yang memiliki tingkat keganasan yang rendah,sebagian besar menyebabkan masalah,karena letaknya secara anatomi sangat kompleks dan terletak pada basal tulang tengkorak.
4. Gejala
Gejala yang ditimbulkan glomus jugulare awalnya yang biasa sering terjadi adalah Tinnitus yang berdenyut dan tuli konduktif. Gejala awal ini biasanya mengikuti perkembangan telinga tengah dan lebih sering diabaikan. Adanya suatu masa berwarna kemerahan ( the rising sun behind the drum ) pada pemeriksaaan rutin biasanya jarang ditemukan. Pada 30% kasus didapatkan adanya kelumpuhan otot-otot wajah, hal ini timbul karena akibat perkembangan dari nervus pada foramen ( lubang ) jugularis.Sedangkan gejala yang jarang timbul otalgia dan perdarahan.
5. Penatalaksanaan
a) Terapi tumor glomus dibagi menjadi :
1. Tidak ada terapi secara aktif dan observasi secara berkelanjutan
2. Radioterapi
3. Operasi reseksi
4. Operasi reseksi dengan perencanaan radioterapi adjuvant.
b) Tanpa pengobatan
Tumor glomus tergolong tumor yang memiliki tingkat perkembangan yang lambat dan sejarah perkembangan yang panjang. Biasanya tumor ini terjadi pada usia pertengahan dimana kesehatan orang tersebut pada umumnya baik. Pengobatan terutama diindikasikan untuk melihat harapan hidup pasien.
c) Operatif
Tujuan utama pembedahan adalah reseksi sacara total dari tumor bila memungkinkan dan hal ini ideal dapat dilakukan tanpa meningkatkan kerusakan neurologis dari pasien.
Teknik operatif Ò spector, maisel dan ogura lebih memilih irradiasi preoperative yang mengurangi vaskularisasi dapat memudahkan pembedahan tumor. Ahli bedah lebih sering menggunakan preoperative embolisasi. Tumor glomus timpanicus yang sangat kecil dapat dilakukan pengangkatan dengan timpanotomi sederhana bila semua batas divisualisasikan.
6. Diagnosa
Diagnosa yang dapat ditegakan berdasarkan jenis tumornya :
1. Kondroma
Terapi yang dapat dilakukan adalah reseksi yang luas, namun kadang hal ini sulit dilakukan bahkan oleh ahli bedah berpengalaman sekalipun oleh karena itu diperlukan postoperative radioterapi dengan menggunakan I123 brady therapi maupun radiasi Stereotaktik.
Prognosis tumor tergantung pada tipe histologi dari tumor tersebut. Angka kehidupan rata-rata pasien dengan kondroid kondroma berkisar 16 tahun.
2. Kondrosarkoma
Deferensiasi secara histolik dibandingkan dengan kondroma sangat penting karena biasanya tumor ini memiliki prognosis yang lebih tinggi. Tetapi dengan reseksi luas dilanjutkan radiasi post operative. Angka kehidupan 5 tahun adalah 70%.
3. Manigioma
Tumor ini biasanyarelaif menggunakan radio resisten dan radikal operasi memberikan kemungkinan angka kesembuhan yang paling baik.
Tumor telinga
Tumor Telinga
DIPOSKAN OLEH -DIMAZT PRABOWO-DI 5/03/2011 11:14:00 PM 1 KOMENTAR
Tumor telinga paling banyak ditemukan di daun telinga dengan jenis karsinoma sel skuamosa.
A. Etiologi
Diduga akibat radiasi sinar ultraviolet matahari atau iritasi kronik.
B. Manifestasi Klinis
Nodul yang melekat erat dengan erosi pada permukaan tumor dan pembentukan ulkus ditutupi krusta super isial yang keras dengan pinggir yang tidak rata. Rasa nyeri telinga tidak terlalu hebat, kecuali bila telah mengenai tulang rawan di bawahnya.
Pada liang telinga atau telinga tengah tampak bersamaan infeksi kronik telinga. Permukaan merah, kadang tampak sebagai jaringan granulasi atau polip. Nyeri telinga sangat hebat bila membuka mulut, mengunyah, dan menguap. Kelenjar limfe retroaurikular dan preaurikular membesar.
C. Pemeriksaan Penunjang
Tomografi komputer untuk menunjukkan perluasan tumor. Biopsi jaringan atau jarum halus untuk mengetahui diagnosis pasti.
D. Komplikasi
Penyebaran ke organ vital sekitarnya.
E. Penatalaksanaan
Operasi dengan eksisi luas, bila perlu diseksi leher radikal. Radiasi pascaoperasi sebanyak 6.000 rad. Kemoterapi dengan obat kombinasi metotreksat, sisplatin, dan 5-fluorourasil
top related