plh baru
Post on 06-Jul-2015
533 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Nama : LUTHFIA ZAUMA
NIM : 6411410106
Rombel :
TEORI LINGKUNGAN
I. ANTROPOSENTRISME ( Shallow Environtmental Ethics)
Antroposentrisme adalah teori lingkungan yang memandang manusia
sebagai pusat dari alam semesta. Mengaggap bahwa manusia manusia dan
kepentingannya sebagai nilai tertinggi, sehingga mengatakan bahwa nilai dan
prinsip moral hanya berlaku bagi manusia sehingga etika hanya berlaku bagi
manusia. Kewajiban dan tanggung jawab manusia terhadap alam merupakan
perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap sesama manusia, bukan
terhadap alam itu sendiri.
Etika ini bersifat intrumentalistik artinya pola hubungan manusia dengan
alam yaitu alam sebagai alat kepentingan manusia. Manusia peduli terhadap alam,
demi menjamin kebutuhan hidup manusia sehingga jika alam itu tidak berguna bagi
kepentingan hidup manusia maka akan diabaikan saja. Disebut sebagai etika
teologis karena mendasarkan pertimbangan moral pada akibat dari tindakan
tersebut bagi kepentingan manusia. Suatu kebijakan dan tindakan yang baik dalam
kaitan dengan lingkungan hidup akan dinilai baik kalau mempunyai dampak yang
menguntungkan bagi kepentingan manusia.
Etika ini juga bersifat egoistis karena hanya mengutamakan kepentingan
manusia, karena kepentingan mahkluk hidup lain mendapat pertimbangan moral
tetap saja demi kepentingan manusia, maka dianggap sebagai etika lingkunan yang
dangkal dan sempit (shallow environmental ethics).
Krisis lingkungan dianggap terjadi karena perilaku manusia yang
dipengaruhi cara pandang antroposentris. Cara pandang ini menyebabkan pola
perilaku manusia yang eksploitatif, dekstruktif dan tidak perduli terhadap alam.
Apa saja boleh dilakukan manusia terhadap alam sejauh tidak erugikan kepentingan
manusia. Kepentingan manusia dalam hal bersifat jangka pendek.
1. Argumen Antroposentris
Historis pemikiran antroposentris :
a. Teori Kristen
o Kitab Kejadian 1: 26-28
Penafsiran akan ayat ini adalah Allah memberi wewenang penuh kepada
manusia untuk mengeksploitasi alam demi kepentingan manusia.
o Kejadian Pasal 2: 9
Ketidakpatuhan manusia terhadap Allah melainkan memutuskan sendiri
mana yang baik atau tidak baik dilakukan. Kaitannya dengan alam semesta
menganggap yang baik adalah yang menunjang kehidupannya sebagai
manusia sehingga dipelihara, dan yang jahat adalah yang mengancam
kehidupan manusia sehingga harus dibasmi.
Terjadinya krisis lingkungan karena manusia mengintervensi lingkungan demi
kepentingannya.
b. The Great Chain of Being
Fokus utama terhadap Rantai Kehidupan ( The Great Chain of Being) dimana semua
kehidupan di bumi membentuk dan berada dalam sebuah rantai kesempurnaan
kehidupan, mulai dari yang paling sederhana sampai pada Maha Sempurna, yaitu
Allah. Setiap ciptaan lebih rendah dimaksudkan untuk kepentingan ciptaan yang
lebih tinggi. Hal itu dianggap sah karena demikianlah kodrat kehidupan dan tujuan
penciptaan.
c. The Free and Rational Being
Manusia lebih tinggi dan terhormat dibandingkan dengan mahkluk ciptaan lain
karena manusia adalah satu-satunya mahkluk bebas dan rasional, oleh karena itu
Tuhan menciptakan dan menyediakan segala sesuatu di bumi demi kepentingan
manusia. Manusia mampu mengkomunikasikan isi pikirannya dengan sesama
manusia melalui bahasa. Manusia diperbolehkan menggunakan mahkluk non-
rasional lainnya untuk mencapai tujuan hidup manusia, yaitu mencapai suatu
tatanan dunia yang rasional.
Perspektif serta pemahaman antroposentris oleh WH. Murdy dan F. Frase Darling
merupakan pembelaan akan teori ini. Murdy menyatakan bahwa semua mahkluk di
dunia ini ada dan hidup sebagai tujuan pada dirinya sendiri, sehingga hal yang
wajar dan alamiah kalau manusia menganggap dirinya lebih tinggi dari mahkluk
lain. Demi mencapai tujuannya manusia harus menilai tinggi alam, karena
kelangsungan hidup dan kesejahteraan hidup manusia tergantung dari kualitas,
keutuhan dan stabilitas ekosistem seluruhnya. Permasalahannya adalah tujuan-
tujuan yang berlebihan yang berada di luar batas toleransi ekosistem itu sendiri. Jadi
menurut Murdy krisis lingkungan disebabkan oleh penedekatan antroposentris
yang berlebihan.
Menurut Darling, pendekatan antroposentrisme tidak salah karena dengan
menempatkan manusia pada posisi lebih terhormat, manusia dituntut untuk
bertanggung jawab khusus terhadap seluruh isi alam semesta. Yang salah adalah
penerapan antroposentrisme yang hanya melihat superioritas posisi manusia yang
berkuasa atas alam secara sewenang-wenang.
2. Etika Intrumentalistik
Beberapa posisi dan argumen moral yang dapat menjadi pegangan bagi
manusia dalam hubungannya dengan lingkungan.
Prudential and Instrumental Argument
Prudential Argument menekankan bahwa kelangsungan hidup dan kesejahteraan
manusia tergantung dari kualitas dan kelestarian lingkungan.
Argumen Instrumental adalah penggunaan nilai tertentu pada alam dan segala
isinya, yakni sebatas nilai instrumental. Dengan argumen ini, manusia
mengembangkan sikap hormat trhadap alam.
Teologi Kristen
Dalam kisah penciptaan, manusia diciptakan secitra dengan Allah, sehingga
manusia sebagai wakil Allah mempunyai tanggung jawab moral khusus, bahkan
sangat berat, untuk menjaga dan melestarikan alam ciptaanNya.
Pembelaan atas teori antroposentris adalah :
Validitas argumennya sulit dibantah sehingga yang salah bukan
antroposentrime itu sendiri tetapi antroposentrisme yang berlebihan.
Antroposentrisme menawarkan etika lingkungan yang mempunyai daya
tarik kuat untuk mendorong manusia menjaga lingkungan.
Kelemahan dari teori etika antroposentrisme :
Mengabaikan masalah-masalah lingkungan yang tdak langsung menyentuh
kepentingan manusia.
Kepentingan manusia selalu berubah-ubah dan berbeda-beda kadarnya.
II. BIOSENTRISME (Intermediate Environmental Ethics)
Ciri-ciri Teori Etika Biosentrisme
Biocentric, menganggap setiap kehidupan dan mahkluk hidup mempunyai nilai
dan berharga pada dirinya sendiri. Mendasarkan moralitas keluhuran kehidupan,
baik pada manusia ataupun makhluk hidup lainnya. Karena bernilai pada
dirinya sendiri, kehidupan harus dilindungi. Untuk itu, dibutuhkan etika sebagai
penuntun manusia dalam bertindak melindungi dan menjaga kehidupan.
1. Teori Lingkungan yang Berpusat pada Kehidupan (Life-Centered Theory of
Environment)
Intinya adalah manusia mempunyai kewajiban moral terhadap alam yang
bersumber dan berdasarkan pada pertimbangan bahwa, kehidupan adalah sesuatu
yang bernilai. Etika ini diidasarkan pada hubungan yang khas anatara alam dan
manusia, dan nilai yang ada pada alam itu sendiri.
Menurut Paul Taylor, biosentrisme didasarkan pada empat keyakinan yaitu:
Manusia adalah anggota komunitas kehidupan di bumi, sama halnya dengan
makhuk lain.
Spesies manusia, dan spesies lain adalah bagian dari sistem yang saling
tergantung.
Semua organisme adalah pusat kehidupan yang mempunyai tujuan sendiri.
Pemikiran-pemikiran tersebut melahirkan pemahamn baru akan manusia yaitu :
Manusia hanya makhluk biologis yang sama dengan makhluk biologis lain.
Manusia mendiami bumi yang sama dengan makhluk lain
Manusia merupakan bagian dari keseluruhan, bukan pusat dari alam semesta.
Perlu adanya pembedaan antara pelaku moral dan subjek moral untuk lebih
memahami teori ini. Pelaku Moral adalah makhluk yang memiliki kemampuan
bertindak secara moral (berupa akal budi, kebebasan dan kemauan), sehingga
berkewajiban dan bertanggungjawab atas tindakannya (accountable being). Subjek
Moral adalah makhluk yang bisa diperlakukan secara baik atau buruk, dan pelaku
moral berkewajiban dan bertanggungjawab terhadapnya, yang menurut teori ini
adalah semua organisme hidup dan kelompok organisme tertentu. Intinya adalah
semua pelaku moral adalah subjek moral, tetapi tidak semua subjek moral adalah
pelaku moral.
Kewajiban utama manusia sebagai pelaku moral adalah menghormati dan
menghargai alam (respect for nature) yang dapat diwujudkan dalam kewajiban-
kewajiban :
Tidak melakukan sesuatu yang merugikan alam dan isinya (Nonmaleficence atau
Noharm )
Tidak mencampuri (Non-Interference)
Tidak membatasi dan menghambat kebebasan organisme berkembang dan
hidup secara leluasa di alam sesuai hakikatnya
Membiarkan organisme berkembang sesuai hakikatnya
Kesetiaan (terhadap binatang tertentu untuk bijaga dan dibiarkan hidup di alam
bebas
Kewajiban restitutif dan keadilan retributif
2. Etika Bumi (Land Ethic) oleh Aldo Leopold
Terdiri dari dua prinsip yaitu :
a. “A thing is right when it tends to preserve the integrity, stability and beauty og the
biotic community. It is wrong when it tends otherwise”
Segala sesuatu di alam semesta ini (semacam suatu komunitas biotis)
mempunyai nilai pada dirinya sendiri, terlepas dari apakah berkaitan dengan
dan menunjang kehidupan manusia atau tidak.
b. Gagasan memperluas pemberlakuan etika
Komunitas moral yang dikenal dalam kehidupan manusia diperluas
mencakup alam semesta secara keseluruhan. Perluasan tersebut mencakup
perlakuan manusia terhadap alam dan segala isinya, serta sampai kepada
kemungkinan evolusioner dan keniscayaan ekologis. Merupakan suatu
holisme karena yang jadi fokus utama adalah bumi, komunitas biotis dan
bukan individu spesies atau makhluk hidup di dalamnya. Ada semacam
piramida yang disebut piramida bumi yang merupakan suatu rantai yang
kompleks seakan tdak teratur, tetapi stsebuabilitas sistem tersebut
membuktikan bahwa rantai makanan merupakan struktur yang sangat rapi.
3. Anti-Spesiesme
Teori ini menuntut perlakuan yang sama bagi semua makhluk hidup, karena
alasan semuanya mempunyai kehidupan. Keberlakuan prinsip moral perlakuan
yang sama (equal treatment). Anti-spesiesme membela kepentingan dan
kelangsungan hidup spesies yang ada di bumi. Dasar pertmbangan teori ini adalah
aspek sentience, yaitu kemampuan untuk merasakan sakit, sedih, gembira dan
seterusnya.
Inti dari teori biosentris adalah dan seluruh kehidupan di dalamnya, diberi
bobot dan pertimbangan moral yang sama.
III. EKOSENTRISME (Deep Eernvirontmental Ethics)
Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme.
Oleh karenanya teori ini sering disamakan begitu saja karena terdapat banyak
kesamaan. Yaitu pada penekanannya atas pendobrakan cara pandang
antroposentrisme yang membatasi pemberlakuan etika hanya pada komunitas
manusia. Keduanya memperluas pemberlakuan etika untuk komunitas yang lebih
luas. Pada biosentrisme, konsep etika dibatasi pada komunitas yang hidup (biotis),
seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika
diperluas untuk komunitas ekosistem seluruhnya (biotis dan a-biotis).
Biosentrisme dan ekosentrisme, memandang manusia tidak hanya sebagai
makhluk sosial (zoon politikon). Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai
makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek
yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan
saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai
intrinsik semua makhluk dan memandang manusia tak lebih dari salah satu bagian
dalam jaringan kehidupan.
Bagaimanapun keseluruhan organisme kehidupan di alam ini layak dan
harus dijaga. Holocaust ekologis telah membawa dampak pada setiap dimensi
kehidupan ini. Ekosentrisme tidak menempatkan seluruh unsur di alam ini dalam
kedudukan yang hierarkis dan atau sub-ordinasi. Melainkan sebuah kesatuan
organis yang saling bergantung satu sama lain.
1. Deep Ecology
Salah satu bentuk etika ekosentrisme ini adalah etika lingkungan yang
sekarang ini dikenal sebagai Deep Ecology. Sebagai istilah, Deep Ecology pertama kali
diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, pada 1973, di mana
prinsip moral yang dikembangkan adalah menyangkut seluruh komunitas ekologis.
Istilah Deep Ecology sendiri digunakan untuk menjelaskan kepedulian
manusia terhadap lingkungannya. Kepedulian yang ditujukan dengan membuat
pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendalam dan mendasar, ketika dia akan
melakukan suatu tindakan. Kesadaran ekologis yang mendalam adalah kesadaran
spiritual atau religius, karena ketika konsep tentang jiwa manusia dimengerti
sebagai pola kesadaran di mana individu merasakan suatu rasa memiliki, dari rasa
keberhubungan, kepada kosmos sebagai suatu keseluruhan, maka jelaslah bahwa
kesadaran ekologis bersifat spiritual dalam esensinya yang terdalam. Oleh karena
itu pandangan baru realitas yang didasarkan pada kesadaran ekologis yang
mendalam konsisten dengan apa yang disebut filsafat abadi yang berasal dari
tradisi-tradisi spiritual, baik spiritualitas para mistikus Kristen, Budhis atau filsafat
dan kosmologis yang mendasari tradisi-tradisi Amerika Pribumi.
Ada dua hal yang sama sekali baru dalam Deep Ecology. Pertama, manusia
dan kepentingannya bukan ukuran bagi segala sesuatu yang lain. Deep Ecology
memusatkan perhatian kepada seluruh spesies, termasuk spesies bukan manusia. Ia
juga tidak memusatkan pada kepentingan jangka pendek, tetapi jangka panjang.
Maka dari itu, prinsip etis-moral yang dikembangkan Deep Ecology menyangkut
seluruh kepentingan komunitas ekologis.
Kedua, Deep Ecology dirancang sebagai etika praktis. Artinya, prinsip-prinsip
moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkrit. Etika
baru ini menyangkut suatu gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari
sekedar sesuatu yang amat instrumental dan ekspansionis. Deep Ecology
merupakan gerakan nyata yang didasarkan pada perubahan paradigma secara
revolusioner, yaitu perubahan cara pandang, nilai dan perilaku atau gaya hidup.
Perspektif Deep Ecology menekankan pada kepentingan dan kelestarian
lingkungan alam. Pandangan ini berdasar etika lingkungan yang kritikal dan
mendudukkan lingkungan tidak saja sebagai objek moral, tetapi subjek moral.
Sehingga harus diperlakukan sederajat dengan manusia. Pengakuan lingkungan
sebagai moral subjek, membawa dampak penegakkan prinsip-prinsip keadilan
dalam konteks hubungan antara manusia dan lingkungan sebagai sesama moral
subjek. Termasuk di sini isu animal rights. Deep Ecology memandang proses
pembangunan harus sejak awal melihat implikasinya terhadap lingkungan. Karena
setiap proses pembangunan akan melibatkan perubahan dan pemanfaatan
lingkungan dan sumber daya alam.
Dapat disimpulkan bahwa Deep Ecology timbul karena meningkatnya
kesadaran manusia terhadap kaitan dirinya dengan lingkungan sekitarnya.
Kesadaran tersebut timbul karena manusia mulai menyadari akibat dari berbagai
kerusakan yang dilakukan oleh dirinya terhadap lingkungan sekitarnya. Kesadaran
yang sama kemudian mendorong berkembangnya konsep pembangunan
berkelanjutan. Pada konsep ini manusia harus memperhatikan daya dukung alam
dalam memenuhi kebutuhannya.
2. Prinsip-prinsip Gerakan Lingkungan
a. Biospheric egalitarianism-in principle, yaitu pengakuan semua organisme dan
makhluk hidup adalah anggota berstatus sama dari suatu keseluruhan terkait
sehingga bermartabat sama.
b. Non-antroposentrisme, yaitu manusia merupakan bagian dari alam, bukan di
atas atau terpisah dari alam.
c. Realisasi diri (self-realization), realisasi diri manusia sebagai ecological self yaitu
pemenuhan dan perwujudan semua kemampuannya yang beraneka ragam
sebagai makhluk ekologis.
d. Pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kompleksitas
ekologis dalam suatu hubungan simbiosis.
e. Perlu perubahan politik menuju ecopolitics, yaitu mencapai suatu keberlanjutan
ekologi secara luas yang berjangkauan jauh ke depan.
3. Sikap DE terhadapa Beberapa Isu Lingkungan
a. Isu Pencemaran
Prioritas DE adalah mengatasi sebab utama yang paling dalam dari
pencemaran, dan bukan sekedar dampak superfisial dan jangka pendek.
b. Isu Sumber daya Alam
Alam dan kekayaan yang terkandung didalamnya tidak direduksi dan dilihat
semata-semata dari segi nilai dan fungsi ekonomis, tetapi juga nilai dan
fungsi sosial, budaya, spiritual dan religius, medis dan biologis.
c. Isu Jumlah Penduduk
Pengurangan penduduk adalah yang menjadi prioritas utama.
d. Isu Keberagaman Budaya dan Teknologi Tepat Guna
DE berusaha melindungi keberagaman budaya dari invansi masyarakat
industri maju, karena keberagaman budaya dilihat sebagai analog dan
berkaitan dengan keragaman dan kekayaan bentuk-bentuk kehidupan.
e. Pendidikan dan Penelitian Ilmiah
Prioritas sialihkan dari ”ilmu-ilmu keras ” ke ”ilmu-ilmu lunak”, khususnya
enhetahuan budaya, filsafat dan etika serta penggalian kearifan tradisional
untuk memperkaya wawasan masyarkat modern.
top related