perubahan fisiologis domba garut model … filepembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun...
Post on 03-Mar-2019
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERUBAHAN FISIOLOGIS DOMBA GARUT MODEL
OSTEOARTRITIS SETELAH TERAPI HUMAN WHARTON JELLY
MESENCHYMAL STEM CELL
HAMDIKA YENDRI PUTRA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan Fisiologis
Domba Garut Model Osteoarthritis Setelah Terapi Human Wharton Jelly
Mesenchymal Stem Cell adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2018
Hamdika Yendri Putra
B04140113
ABSTRAK
HAMDIKA YENDRI PUTRA. Perubahan Fisiologis Domba Garut Model
Osteoartritis Setelah Terapi Human Warthon Jelly Mesenchymal Stem Cell.
Dibimbing oleh ARIEF BOEDIONO dan RETNO WULANSARI
Penyakit osteoartritis merupakan penyakit degeneratif yang umum diderita
manusia pada usia 40-60 tahun. Saat ini, pengobatan penyakit osteoartritis hanya
berupa mengurangi rasa nyeri, pembedahan, dan alat bantu gerak. Stem cell
dikembangkan menjadi alternatif pengobatan osteoartritis dengan tujuan
memperbaharui sel-sel tulang rawan yang rusak. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efek pemberian sediaan human Warthon Jelly Mesenchymal Stem Cell
(hWJ-MSC) terhadap respon fisiologis domba Garut model osteoartritis. Dua
Belas ekor domba Garut betina dengan berat badan 35 - 40 kg dijadikan model
osteoartritis dengan melakukan menisektomi. Kemudian hewan model
diinjeksikan hWJ-MSC secara intra atrikular. Parameter yang diamati dalam
penelitian ini adalah frekuensi jantung, freuensi denyut nadi, frekuensi napas, dan
suhu rektal. Hasil penelitian menunjukan terdapat perubahan respon fisiologis
domba Garut sebagai hewan model osteoartritis setelah terapi hWJ-MSC.
Keywords: Osteoartritis, Perubahan Fisiologis, Domba Garut, Stem Cell
ABSTRACT
HAMDIKA YENDRI PUTRA. Physiological Changes of Garut Lamb in
Osteoarthritis Model After Human Warthon Jelly Mesenchymal Stem Cell
Therapy. Supervised by ARIEF BOEDIONO and RETNO WULANSARI
Osteoarthritis disease is a common degenerative disease suffered by humans at the
age of 40-60 years. Currently, the treatment of osteoarthritis disease only in the
form of reducing pain, surgery, and motion aids. Stem cells developed into an
alternative treatment of osteoarthritis with the aim of renewing damaged cartilage
cells. This study aims to determine the effects of administration of human
Warthon Jelly Mesenchymal Stem Cell (hWJ-MSC) on physiological response of
Garut lamb on osteoarthritis model. Twelve Garut lamb with 35-40 kg body
weight were modeled osteoarthritis by performing menisectomy. Then the animal
model was injected with hWJ-MSC intra-atricular. Parameters observed in this
study were heart frequency, pulse frequency, breath frequency, and rectal
temperature. The results showed that there was a change of physiological response
of Garut lamb as animal model of osteoarthritis after hWJ-MSC therapy.
Keywords: Garut lamb, Osteoarthritis, Physiological respons, Stem Cell
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokterah Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
PERUBAHAN FISIOLOGIS DOMBA GARUT MODEL
OSTEOARTRITIS SETELAH TERAPI HUMAN WHARTON
JELLY MESENCHYMAL STEM CELL
HAMDIKA YENDRI PUTRA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas segala
rahmat-Nya sehingga proposal penelitian ini dapat diselesaikan. Perubahan
Fisiologis Domba Garut Model Osteoartritis Setelah Terapi Human Wharthon
Jelly Mesenchymal Stem Cell. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi syarat
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Veri Senopel dan Ibu
Yenita Fitriani selaku orangtua penulis yang senantiasa memberikan doa, nasihat,
dukungan dan kasih sayangnya selama penulis menyusun tugas akhir ini.
Prof. Drh. Arief Boediono, PhD. PAVet(K) dan Drh. Retno Wulansari, M.Si.
PhD selaku pembimbing tugas akhir yang selalu memberikan masukan dan saran
dalam penulisan tugas akhir ini
Dr. Drh. Aulia Andi Mustika, M.Si. dan Dr. Drh. Andriyanto, M.Si. sekalu
pengelola Unit Pengelola Hewan Laboratorium (UPHL), Bapak Angga yang telah
membantu selama penulis melaksanakan penelitian
Afifah Nurhasanah sebagai teman sekelompok penelitian, Sahabat-sahabat
Rio Bayu Pratama, Rahmi Khalida, Addiena Syahvina, Ilham Ramadhan, Diana
Novitasari yang telah membantu penulis dalam memberikan semangat, dukungan
moral dan material dalam penyusunan tugas akhir ini
Bintang Mustika Buwana dan keluarga yang selalu memberikan doa,
dukungan dan kasih sayangnya untuk penulis.
Bogor, Februari 2018
Hamdika Yendri Putra
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitan 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
METODE 5
Waktu dan tempat 5
Prosedur Penelitian 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Frekuensi Jantung 8
Frekuensi Pulsus 10
Frekuensi Pernapasan 11
Suhu 13
SIMPULAN DAN SARAN 15
Simpulan 15
Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 16
RIWAYAT HIDUP 20
DAFTAR GAMBAR
1 Pengukuran frekuensi jantung 6
2 Pengukuran frekuensi denyut nadi 7
3 Pengukuran frekuensi napas 7
4 Pengukuran suhu 7
5 Jadwal penelitian 8
6 Grafik frekuensi jantung domba selama pasca operasi dan pra injeksi 9
7 Grafik frekuensi jantung domba selama masa persembuhan 9
8 Grafik frekuensi pulsus domba selama pasca operasi dan pra injeksi 11
9 Grafik frekuensi pulsus domba selama masa persembuhan 11
10 Grafik frekuensi napas domba selama pasca operasi dan pra injeksi 12
11 Grafik frekuensi napas domba selama masa persembuhan 12
12 Grafik suhu domba selama pasca operasi dan pra injeksi 14
13 Grafik suhu domba selama masa persembuhan 14
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degeneratif yang umum ditemui di
Indonesia. Penyakit ini menyebabkan gangguan pergerakan sendi dan nyeri serta
bersifat kronis karena dapat menyebabkan inflamasi yang berkelanjutan sehingga
menyebabkan disabilitas pada penderita (Heidari et al. 2012). Osteoartitis dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kerusakan tulang rawan sendi, usia dan
penyebab lain. Semakin bertambah usia maka semakin besar kemungkinan untuk
terkena OA. Hal tersebut terjadi karena tulang rawan sendi kehilangan
kemampuan regenerasi secara gradual. Egloff et al. (2012) menyatakan diantara
seluruh sendi, lutut adalah yang paling rentan mengalami osteoartritis karena
fungsinya sebagai penahan berat tubuh. Seiring dengan bertambahnya usia
harapan hidup, WHO memprediksi pada tahun 2025 populasi usia lanjut di
Indonesia akan meningkat 41.4% daripada tahun 1990.
Prevalensi OA lutut yang tampak secara radiologis di Indonesia mecapai
15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita yang berumur 40-60 tahun (Grottle et al.
2008). Menurut Kellgren dan Lawrence dalam Koentjoro (2010) prevalensi OA
lutut pada wanita sebesar 40,7%. Penelitian pada klinik RSHS Bandung tahun
2007 dan 2010 menunjukkan hasil OA merupakan 74,48% dari total kasus
reumatik pada 2007. Sebanyak 69% dari kasus OA adalah wanita dengan OA lutut.
Pratiwi (2015) menyatakan pada keadaan menopause meningkatkan risiko
terjadinya osteoartritis karena terjadinya penumpukan lemak terutama pada sendi
bagian bawah sehingga menyebabkan peningkatan beban pada sendi.
Saat ini, American Academy of Orthopedic Surgeon (AAOS) (2013)
merekomendasikan 2 pilihan terapi osoteoartritis yaitu fisik dan penggunaan obat
anti inflamasi non-steroid. Osteoarthritis Research Society International (OARSI)
menambahkan terapi fisik dapat berupa alat bantu gerak (tongkat ataupun walker)
(Mc Alindon et al. 2014). Terapi non-operatif yang banyak digunakan adalah
injeksi intra artikular asam hyaluronat. Asam hyaluronat saat ini banyak
digunakan sebagai sediaan untuk mempercepat penyembuhan luka (De Caridi et
al. 2016). Injeksi tunggal asam hyaluronat tidak memberikan hasil yang maksimal
sehingga diperlukan kombinasi dengan bahan lain untuk memberikan hasil yang
maksimal (De Caridi et al. 2016).
Saat ini telah banyak dilakukan penelitian menggunakan sel punca sebagai
alternatif penyembuhan penyakit osteoartritis. Sel punca yang digunakan adalah
sel punca mesenkimal. Sel punca mesenkimal yang berasal dari sumsum tulang
digunakan untuk mengatasi defek pada tulang rawan sendi yang memberikan hasil
positif dengan luaran klinis yang sama dengan implantasi kondrosit (Nejadnik et
al. 2010). Terdapat kekurangan pada tahap persiapan sel punca yang berasal dari
sumsum tulang belakang yaitu jumlah sel yang tidak memadai serta kegagalan
dalam mencapai potensi kondrogenik secara in vitro (Nejadnik et al. 2010). Oleh
karena itu, penelitian berkembang ke arah sel punca alogenik. Sel punca alogenik
merupakan sel punca yang berasal dari donor (Heldman et al. 2011). Sel punca alogenik yang saat ini banyak diteliti adalah human Wharton Jelly Mesenchymal
Stem Cell (hWJ-MSC). Sel punca ini bersumber dari jaringan tali pusat manusia.
2
Sifat hipoimunogenik menjadikan sel punca ini sebagai alternatif dalam
pengobatan OA secara injeksi intra atrikular. (Nejadnik et al. 2010).
Tujuan Penelitian
Mengetahui pengaruh pemberian terapi human Wharthon Jelly
Mesenchymal Stem Cells terhadap gambaran klinis domba Garut yang dibuat
model osteoartritis.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang
pengaruh terapi human Wharthon Jelly Mesenchymal Stem Cells terhadap
gambaran klinis domba Garut degan indikasi osteoartritis.
TINJAUAN PUSTAKA
Domba Garut (Ovis aries)
Domba Garut merupakan bangsa domba yang terdapat di Indonesia yang
memiliki produktivitas tinggi dan lebih baik dibandingkan dengan domba lokal
yang tersebar di Jawa Barat. Proses terbentuknya domba Garut sementara ini
diyakini berawal dari persilangan tiga bangsa domba, yaitu domba Merino, domba
Kaapstad, dan domba lokal dari wilayah Garut, sehingga dalam perkembangannya
dikenal dengan nama domba Garut (Heryadi et al. 2002). Terdapat 2 tipe domba
Garut yaitu tipe pedaging dan tipe tangkas (Mansjoer et al. 2017). Heriyadi et al.
(2002) menyatakan ciri-ciri domba Garut adalah bobot badan mencapai 30-40 kg
pada betina dan 60-80 kg pada jantan, tidak terdapatnya tanduk pada domba
betina, rambut yang banyak serta daun telinga yang kecil dan kokoh.
Domba merupakan salah satu spesies yang cocok untuk pengujian
implantasi tulang (Ravaglioli et al.1996). Menurut Martini et al. (1998) terjadi
peningkatan penggunaan hewan coba domba dalam periode 1990-2001.
Peningkatan ini berkaitan dengan isu-isu etis dan persepsi publik terhadap
penggunaan hewan kesayangan untuk penelitian medis. Penggunaan domba
sebagai hewan coba dalam penelitian otropedik adalah karena domba memiliki
kepadatan tulang dan struktur sendi yang mirip dengan manusia, mudah dalam
pengamatan patologis tulang, serta mudah dalam melakukan handling dan
tindakan (Gregory et al. 2012)
Osteoartritis
Osteoartritis adalah penyakit pada sendi yang ditandai dengan adanya inflamasi meskipun sebenarnya penderita tidak mengalami inflamasi atau hanya
3
mengalami inflamasi ringan (Koentjoro 2010).Penyakit ini ditandai dengan
adanya kelainan bentuk, struktur, ukuran pada tulang rawan (kartilago). Kejadian
OA pada tulang rawan akan menyebabkan rusaknya bantalan sendi sehingga
tulang bergesekan satu sama lain dan menimbulkan rasa nyeri dan kekakuan pada
gerakan sendi (Nur 2009). Nyeri merupakan gejala khas pada sendi yang
mengalami osteoartritis. Rasa nyeri semakin terasa berat saat melakukan aktivitas
dan ringa saat instirahat (Romaneli et al. 2016). Pada manusia, osteoartritis
banyak ditemukan pada orang yang berusia diatas 45 tahun. Pada usia diatas 55
tahun, prevalensi osteoartritis lebih banyak pada wanita dibandingkan pria. Hal ini
disebabkan karena bentuk pinggul wanita yang lebar dan menyebabkan tekanan
pada sendi lutut. Osteoartritis juga sering ditemukan pada orang yang kelebihan
berat badan dan orang yang memiliki kerja berlebihan pada sendi (Nur 2009).
Berdasarkan gambaran radiografi, terdapat empat kelainan utama pada
osteoahtritis yaitu penyempitan rongga sendi, pengerasan tulang rawan sendi,
pembentukan kista dibawah tulang rawan sendi dan pembentukan osteofit. Sendi
yang umum terkena osteoartritis adalah sendi lutut (Nur 2009). Faktor yang
menyebabkan osteoartritis lutut adalah usia, jenis kelamin, ras, etnik, genetik,
kebiasaan merokok, konsumsi vitamin D, obesitas, osteoporosis, diabetes melitus,
kelainan anatomis, riwayat trauma lutut, aktivitas fisik (Wahyuningsih 2009).
Peningkatan kejadian osteoartritis meningkat selama menopause akibat hormonal
(Sheikh 2013).
Wharton Jelly Mesenchymal Stem cells
Stem cells terdiri atas suku kata (stem = batang; celsl = sel) adalah awal
mula dari pembentukan berbagai sel penyusun keseluruhan tubuh manusia. Dalam
bahasa indonesia stem cells disebut sel punca. Menurut Danny et al. (2010) sel
punca merupakan sel yang menjadi awal pembentukan 200 jenis sel yang
menyusun tubuh.
Mesenchymal stem cells (MSC) adalah sel yang dapat berdiferensiasi
menjadi jaringan mesenkimal seperti tulang, kartilago, lemak, otot, sum-sum
tulang, tendon, ligamentum, dan jaringan ikat. Mesenchymal stem cells dapat
diisolasi dari sum-sum tulang, jaringan adiposa, umbilical cord blood, plasenta,
synovium, periosteum, dan otot (Yiying et al. 2012).
Wharton Jelly Mesenchymal Stem Cells (WJMSC) adalah stem cells (sel
punca) yang didapat dari jaringan matriks tali pusat. Karakteristik sel Wharton
Jelly mirip dengan sel punca yang berasal dari sumsum tulang (La Rocca et. al.
2013). Wharton Jelly sebagai sumber dari sel punca lebih mudah didapat serta
mengandung populasi sel multipoten yang tinggi (Hass et. al. 2011).
Pemeriksaan Fisik (Physical Examination)
Pemeriksaan klinis adalah tindakan mengumpulkan informasi dari pasien berupa riwayat, anamnesa dan informasi lainnya yang digunakan untuk
menegakkan diagnosa. Pemeriksaan klinis dilakukan dengan urut dimulai dari
pemeriksaan kepala, badan, ekstremitas dan terstruktur agar tidak ada bagian yang
tertinggal (Elizabeth et al. 2011). Pemeriksaan klinis mendasar yang dilakukan
berupa inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pemeriksaan lain yang dapat
4
dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan lain (Elizabeth et al.
2011).
Frekuensi Jantung adalah laju jantung berdetak dalam satu menit Kelly
(1974). Frekuensi jantung domba normal menurut Smith dan Mankoewidjojo
(1988) adalah 70-80 kali tiap menit. Menurut Riebold et al. (1995) frekuensi
jantung normal 80-150 kali per menit. Peningkatan denyut jantung disebut
takikardia dan penurunan denyut jantung disebut bradikardia.
Adisuwirdjo (2001) menyatakan faktor yang memengaruhi denyut jantung
adalah (1) aktivitas tinggi dapat memengaruhi denyut jantung, (2) ion kalsium
memicu sistol dan diastol, (3) kadar CO2 dapat menaikkan frekuensi dan
kontraksi denyut jantung, (4) asetilkolin mengurangi frekuensi jantung, (5)
adrenalin dapat meningkatkan frekuensi jantung, (6) atropin dan nikotin, (7)
morphin dapat melemahkan denyut jantung, (8) suhu tubuh semakin tinggi maka
denyut jantung akan meningkat, (9) Usia muda memiliki denyut jantung lebih
cepat, (10) bobot badan yang semakin besar maka frekuensi jantung juga semakin
besar.
Suhu Tubuh hewan terbagi menjadi dua golongan yaitu poikiloterm dan
homoioterm. Hewan homoioterm, suhu tubuh merupakan keseimbangan antara
panas yang diterima dan yang dikeluarkan tubuh. Sedangkan hewan poikiloterm,
suhu tubuh lingkungan lebih rendah daripada suhu dalam tubuh.
Pengukuran suhu tubuh dapat diamati melalui suhu rektal karena suhu
rektal dapat menggambarkan suhu tubuh ruminansia. Suhu rektal pada pagi hari
lebih rendah daripada siang hari (Edey 1983). Kelembaban dapat mempengaruhi
mekanisme pengaturan suhu tubuh, pengeluaran panas dengan cara berkeringat
ataupun melalui respirasi yang meningkat. Pengaturan suhu tubuh diatur oleh
mekanisme persyarafan umpan balik. Pengaturan suhu tubuh terletak di
hipotalamus yang disebut termostat atau reseptor panas dingin (Guyton dan Hall
1997).
Frekuensi napas Bernapas (respirasi) adalah tindakan membawa udara
kedalam dan mengeluarkan udara dari paru-paru. Respirasi meliputi semua proses
fisik, dan kimia ketika hewan melakukan pertukaran gas dengan lingkungan di
sekitarnya khususnya gas O2 dan CO2 (Widjajakusuma dan Sikar 1986). Menurut
Guyton dan Hall (1997) tujuan utama dari bernafas adalah menyediakan oksigen
bagi jaringan dan membuang karbondioksida. Salah satu proses pernapasan adalah
ventilasi yang berarti keluar masuknya udara antara atmosfer dan alveoli.
Pengamatan pernapasan pada hewan dapat dilakukan dengan meletakan
tangan pada flank bawah. Selain itu perhitungan frekuensi napas juga dapat
dilakukan dengan mengamati bagian nostril, serta auskultasi pada toraks.Riebold
et al. (1995) menyatakan frekuensi napas normal pada domba adalah 20-40 kali
per menit. Sistem pernapasan diatur pada sistem syaraf pusat yaitu medula
oblongata (Kelly 1974). Frekuensi napas tergantung ukuran tubuh, usia, aktivitas.
Respirasi dapat dijadikan indikator penyesuaian diri dengan lingkungan. Ketika
suhu lingkungan meningkat maka respon fisiologis panting (terengah-engah) dan
sweating (berkeringat) akan muncul (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
McDowell (1972) menyatakan peningkatan respirasi menunjukkan meningkatnya
mekanisme tubuh untuk mempertahankan keseimbangan fisiologik dalam tubuh
hewan.
5
Frekuensi Denyut Nadi adalah frekuensi denyut jantung yang dapat
dipalpasi di permukaan kulit pada tempat-tempat tertentu. Volume darah pada
setiap kali jantung memompa akan dialirkan ke pembuluh darah dengan adanya
elastisitas aorta untuk mengembang. Setelah darah masuk ke aorta maka aorta
akan mengecil kembali dengan demikian darah selanjutnya akan mengalir ke
pembuluh darah. Oleh sebab itu frekuensi pulsus sangat tergantung kepada denyut
jantung.
Arteri yang digunakan untuk mengukur pulsus adalah arteri yang berada
dibawah kulit dan memiliki ukuran yang cukup besar sehingga denyutan dapat
dirasakan. Pada ruminansia kecil, pulsus dapat diraba pada arteri femoralis di
bagian paha. Kualitas pulsus dapat diperiksa dengan memberikan tekanan yang
semakin tinggi terhadap gelombang pulsus dengan jari yang lebih dekat kearah
jantung. Kondisi fisiologis pulsus bersifat kuat.Pulsus yang melemah dapat terjadi
akibat kelemahan jantung dan volume darah menurun. Peningkatan pulsus terjadi
akibat hipertrofi jantung. Ritme pulsus dalam keadaan fisiologis bersifat regular
kecuali anjing dan kucing bersifat irregular. Pulsus normal pada domba adalah 70-
90 kali per menit.
Perubahan pada pulsus disebabkan oleh penyakit jantung muskuler atau
valvuler, juga dapat disebabkan oleh kualitas pembuluh darah akibat gangguan
vasomotor (Widodo et al. 2011). Perubahan tersebut dapat mempengaruhi
frekuensi, ritme, denyut pulsus. Faktor predisposisi yang mempengaruhi frekuensi
pulsus yaitu jenis hewan, ukuran tubuh, umur hewan, kondisi, jenis kelamin,
kebuntingan, melahirkan, laktasi, terkejut, aktivitas, posisi, aktivitas mencerna
pakan, suhu udara sekitar (Widodo et al. 2011)
METODE
Waktu dan Tempat
Pengamatan dan pengambilan data dilakukan dari tanggal 5 November
2016 hingga 22 Januari 2017. Penelitian dilakukan di kandang domba Unit
Pengelolaan Hewan Laboratorium (UPHL) Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan hewan coba dan telah
mendapat persetujuan dari komisi etik hewan Institut Pertanian Bogor (No: 8-
2016 RSHP FKH IPB).
Prosedur Penelitian
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba Garut
(Ovis aries) berjumlah 12 ekor berjenis kelamin betina dengan kondisi sehat dan
berusia 4 tahun dengan bobot badan 35-40 kg. Sebelum dilakukan penelitian,
terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi selama dua minggu dengan pemberian
pakan 60% hijauan dan 40% konsentrat pada pagi dan sore hari. Air minum
disediakan ad libitum serta pemberian anthelmenik.
Pembuatan model osteoatritis dilakukan dengan metode menisektomi total
meniskus lateral. Prosedur operasi dilakukan berdasarkan penelitian Beveridge et
6
al. (2011) yang telah dimodifikasi, pemberian atropine 0,06 mg/kg BB secara
subkutan sebagai premedikasi dan anastesi menggunakan kombinasi ketamine 11
mg/kg BB dan xylazine 0,22 mg/kg BB secara intramuskular. Prosedur bedah
dilakukan dengan menyayat kulit mulai dari proksimal os patella sepanjang 5 cm
sampai proksimal os tibia. Jaringan subkutan di sayat, bagian lateral dari m.
vastus lateralis dan kapsula sendi disayat. Meniskus lateral diambil dengan
melakukan pemotong jaringan ikat cranial dan caudal. Setelah meniskus lateral
diambil, daerah operasi dibilas dengan NaCl fisiologis dan selanjutnya lapisan
subkutan dan kulit di jahit dan dilakukan pemberian antiseptik dan perban pada
bagian yang dioperasi. Sendi femorotibialis kaki kiri dibiarkan tanpa perlakuan
(contralateral non invasive).
Hewan coba dikelompokkan berdasarkan perlakuan yang diberikan dalam
penelitian ini. Grup kontrol adalah kelompok yang terdiri atas 3 ekor domba
yang diinjeksi Phosphate Buffered Saline (PBS) intra artikular pada sendi lutut
yang dilakukan menisektomi. Kelompok P1 terdiri atas 3 ekor domba yang
diinjeksi hWJ-MSC intra artikular pada sendi lutut yang dilakukan menisektomi.
Kelompok P2 terdiri dari 3 ekor domba yang diinjeksi dengan hWJ-MSC dengan
tambahan suspensi asam hyaluronat (hylan G-F 20; Synvisc®
) secara intra
artrikular pada sendi lutut yang dilakukan menisektomi. Kelompok P3 terdiri
dari 3 ekor domba yang diinjeksi dengan asam hyaluronat (hylan G-F 20;
Synvisc®) secara intra artrikular pada sendi lutut yang dilakukan menisektomi.
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah frekuensi jantung,
frekuensi denyut nadi (pulsus), frekuensi napas, dan suhu. Pengukuran denyut
jantung dilakukan dengan menggunakan stetoskop. Metode yang digunakan
adalah auskultasi pada bagian thoraks sebelah kiri. selama 1 menit (Gambar 1) .
Gambar 1 Pengukuran denyut jantung
Pengukuran frekuensi napas dilakukan dengan menghitung jumlah
pernapasan abdominal pada bagian abdomen hewan. Perhitungan dilakukan
selama 1 menit (Gambar 2). Pengukuran denyut nadi dilakukan pada arteri
femoralis di bagian medial kaki belakang. Pengukuran dilakukan dengan palpasi
pada medial kaki belakang untuk menemukan denyutan a. femoralis. Setelah
ditemukan, denyutan dihitung selama satu menit ( Gambar 3).
7
Gambar 2 Pengukuran denyut nadi
Gambar 3 Pengukuran frekuensi napas
Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer digital yang
dimasukkan kedalam rektum dan ditunggu hingga 2-3 menit (Gambar 4).
Pengukuran dilakukan setiap hari selama penelitian.
Gambar 4 Pengukuran suhu
8
Data yang telah diperoleh dipindahkan kedalam bentuk tabel dengan
aplikasi Microsoft excel 2010. Interpretasi data dilakukan dengan pembacaan
grafik secara deskriptif. Data yang diperoleh diurut berdasarkan tahapan
penelitian mulai. Pasca operasi, Pra injeksi, Injeksi 1, Injeksi 2, Injeksi 3 (Gambar
5).
Gambar 5 Jadwal Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian mengenai osteoartritis telah berkembang dan banyak dilakukan
dengan menggunakan hewan sebagai model (Kuyinu et al. 2016). Hewan yang
digunakan adalah hewan kecil, hewan besar, dan primata. Penggunaan hewan
kecil dilakukan untuk mengamati patofisiologi, patogenesa suatu penyakit karena
pada hewan kecil pengamatan dapat dilakukan dengan cepat dan mudah (Pelletier
et al. 2010). Hewan kecil juga digunakan sebagai model dalam mengamati efek
terapeutik obat terhadap penyakit. Hewan besar digunakan sebagai model dalam
penelitian karena anatomi ukuran tulang/sendi mirip dengan manusia. Salah satu
hewan besar yang digunakan seagai hewan model adalah domba. Domba sebagai
model dalam penelitian dengan menggunakan perlakuan secara in vitro (Potes et
al. 2008). Keuntungan penggunaan domba sebagai hewan model memudahkan
adalah dalam pengamatan biomekanis, biokimia, histologi tulang karena adanya
kesamaan berat, ukuran tulang dan struktur persendian serta proses re-modeling
tulang (Newman et al. 1995).
Respon fisiologis yang diukur dalam penelitian ini adalah frekuensi napas,
jantung, pulsus dan suhu tubuh Indikator tersebut umum digunakan dalam
mengetahui respon fisiologis seekor hewan terhadap perlakuan yang diberikan.
Hasil evaluasi menunjukkan adanya fluktuasi pada parameter yang diamati. Hal
ini menunjukkana adanaya respon fisiologis hewan terhadap perlakuan yang
diberikan. Kondisi tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Davendra dan Burns
(1994) bahwa secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan
yang menggangu fisiologis normal.
Frekuensi Jantung
Hasil pengamatan frekuensi jantung hewan coba disajikan dalam bentuk
grafik pada Gambar 6 dan 7.
9
Berdasarkan Gambar 6 terdapat adanya peningkatan frekuensi jantung pada
pasca operasi kemudian cenderung menurun hingga masa pra injeksi. Pada
Gambar 7 denyut jantung cenderung fluktuatif selama masa persembuhan. Pola
yang sama pada parameter suhu adalah adanya peningkatan denyut jantung
setelah dilakuan injeksi kemudian denyut jantung menurun. Rataan denyut
jantung pada kelompok kontrol adalah 85 ± 5,7 kali/menit, kelompok P1 adalah
85 ± 5,7 kali/menit, kelompok P2 81 ± 6,8 kali/menit dan kelompok P3 adalah 82
± 5,8 kali/menit selama masa persembuhan. Hasil penelitian menunjukan nilai
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Hari
Kontrol
P1
P2
P3
50
60
70
80
90
100
110
1 8 15 22 29 36 43
Hari
Kontrol
P1
P2
P3
Gambar 7 Grafik frekuensi jantung domba selama masa
persembuhan
Injeksi 2
Gambar 6 Grafik frekuensi jantung domba selama pasca operasi dan pra injeksi
Pasca operasi
Pra injeksi
Injeksi 1 Injeksi 3
10
frekuensi jantung masih dalam kisaran normal. Frandson (1992) menyatakan
bahwa denyut jantung domba di daerah tropis berkisar 60 – 120 kali/menit.
Terjadinya peningkatan denyut jantung dapat disebabkan karena faktor eksternal
dan internal individu. Cruz et al. (2015) menyatakan peningkatan frekuensi
jantung merupakan salah satu mekanisme ternak dalam mempertahankan suhu
tubuhnya. Hal ini sejalan dengan penelitian Isnaeni (2006) yang menyatakan ritme
denyut jantung dikendalikan oleh syaraf, hormon, perubahan saturasi oksigen dan
karbondioksida serta panas lingkungan sehingga mempengaruhi termoregulasi
tubuh.
Frekuensi Pulsus
Berdasarkan Gambar 8 frekuensi pulsus domba mengalami peningkatan
setelah dilakukan menisektomi. Peningkatan ini menunjukan menisektomi yang
dilakukan memberikan pengaruh terhadap pulsus domba. Frekuensi pulsus domba
cenderung menurun pada masa pra injeksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
domba mulai beradaptasi dengan kondisi fisiologis yang baru. Selama masa
persembuhan yang ditunjukan pada Gambar 9 frekuensi pulsus domba mengalami
fluktuasi. Pola yang ditemukan adalah meningkatnya frekuensi pulsus domba
selama tiga hari setelah penyuntikan kemudian cenderung menurun pada hari ke
empat.
Denyut nadi (pulsus) domba dalam penelitian ini berfluktuasi pada semua
perlakuan. Tetapi peningkatan yang terjadi tidak signifikan sehingga masih dalam
kisaran rata-rata normal pulsus domba daerah tropis yaitu 70-135 kali/menit
(Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Peningkatan pulsus disebabkan karena
perubahan suhu lingkungan. Selain itu, peningkatan pulsus merupakan efek dari
meningkatnya denyut jantung. Sayu et al. (2016) menyatakan pada kondisi normal,
frekuensi pulsus dan frekuensi jantung selalu sinkron. Ketika terjadi kondisi
kelemahan ventrikular, frekuensi pulsus akan lebih rendah dari frekuensi jantung.
Adanya fluktuasi berupa peningkatan dan penurunan nilai pada grafik data
persembuhan dalam tiap parameter bukanlah sebuah kondisi yang patologis
karena peningkatan dan penurunan pulsus dapat disebabkan karena perubahan
suhu, jenis kelamin, musim, temperatur tubuh, jenis, spesies (Kelly 1984).
11
Frekuensi Pernapasan
Hasil pengukuran frekuensi napas domba selama penelitian disajikan
dalam Gambar 10 dan 11.
40
50
60
70
80
90
100
110
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Kontrol
P1
P2
P3
50
60
70
80
90
100
110
120
1 8 15 22 29 36 43
Hari
Kontrol
P1
P2
P3
Gambar 9 Grafik pulsus domba selama masa persembuhan
Gambar 8 Grafik pulsus domba selama pasca operasi dan pra injeksi
Pasca Operasi Pra injeksi
Injeksi 2 Injeksi 3
Injeksi 1
12
Frekuensi pernapasan domba cenderung mengalami fluktuasi selama
dilaksanakannya penelitian. Gambar 10 menunjukkan grafik frekuensi pernapasan
pada pasca operasi hingga prainjeksi mengalami penurunan sebesar 28 % pada
kelompok kontrol, 4.8 % pada kelompok P1, 5.3 % pada kelompk P2 dan 20%
pada kelompok P3. Hal ini disebabkan karena pengaruh operasi menisektomi yang
dilakukan. Gambar 11 menunjukkan grafik frekuensi napas domba selama masa
persembuhan. Frekuensi pernapasan domba cenderung fluktuatif selama masa
persembuhan dengan rataan frekuensi napas kelompok kontrol 44 ± 6,8 kali/menit,
kelompok P1 sebesar 48 ± 8,4 kali/menit, kelompok P2 sebesar 38 ± 5,6
kali/menit dan kelompok P3 sebesar 34 ± 4,4 kali/menit. Secara rata-rata,
0
20
40
60
80
100
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Hari
Kontrol
P1
P2
P3
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
1 8 15 22 29 36 43
Hari
Kontrol
P1
P2
P3
Gambar 11 Grafik frekuensi napas domba selama masa
persembuhan
Gambar 10 Grafik frekuensi napas domba selama pascaoperasi dan pra injeksi
Injeksi 1 Injeksi 2
Injeksi 3
13
frekuensi respirasi pada hasil penelitian lebih tinggi daripada kisaran normal yang
dilaporkan Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu 15-25 kali/menit.
Peningkatan frekuensi napas juga disebabkan karena keadaan domba yang stres
akibat proses handling dalam pengambilan data menyebabkan hewan exited.
Pernyataan tersebut didukung dengan pernyatan Kelly (1974) yang menyatakan
faktor yang meningkatkan frekuensi napas adalah exited, setelah exercise, dan
hewan obesitas.
Peningkatan frekuensi napas berpengaruh pada kadar oksigen yang masuk
kedalam tubuh. Pada kondisi luka, oksigen merupakan salah satu faktor yang
mempercepat persembuhan luka (Rudy et. al. 2017). Peningkatan frekuensi napas
berpengaruh pada kadar oksigen yang masuk kedalam tubuh. Pada kondisi luka,
oksigen merupakan salah satu faktor yang mempercepat persembuhan luka (Rudy
et al. 2017). Kadar oksigen yang menigkat dalam tubuh menyebabkan
peningkatan difusi oksigen ke jaringan yang selanjutnya akan meningkatkan
metabolisme enzimatik intrasel sehingga aktivitas penyembuhan luka
berlansgsung dengan cepat (Cianci et al. 2013). Peningkatan frekuensi napas yang
lebih tinggi dari normal dianggap bukan suatu hal yang patologis karena kenaikan
yang bersifat merata dalam semua sebaran data.
Suhu
Pengamatan suhu rektal domba selama masa persembuhan disajikan dalam
Gambar 12 dan 13. Data yang disajikan pada Gambar 12 merupakan gambaran
suhu rektal domba pada masa pasca operasi dan pra injeksi. Pada tahap ini domba
diberikan perlakuan berjalan sejauh 150 meter. Hal ini ditujukan untuk mengamati
terbentuknya osteoatritis pada hewan model. Berdasarkan hasil pengamatan,
adanya peningkatan suhu dari keadaan awal kemudian suhu tubuh cenderung
menurun pada setiap perlakuan selama masa pasca operasi hingga prainjeksi.
Rataan suhu tubuh domba pada perlakuan kontrol menurun sebesar 0,2 %.
Penurunan suhu tubuh juga dialami domba P1 sebesar 0,7 %. Sedangkan rataan
suhu domba P2 meningkat sebesar 0,25 %. tetapi rataan suhu domba pada P3
mengalami penurunan sebesar 0,25 %.
Berdasarkan data pada Gambar 13 terjadi fluktuasi suhu pada setiap
perlakuan selama masa persembuhan dengan kecenderungan adanya peningkatan
suhu tubuh. Rataan suhu tubuh domba kontrol cenderung tetap sebesar 38,8 ± 0,1 oC. Pada domba P1 rataan suhu tubuh domba meningkat dari 38,7 ± 0,1
oC
menjadi 38,9 ± 0,2 oC. Rataan suhu tubuh domba P2 meningkat dari 38,9 ± 0,3
oC
menjadi 39,1 ± 0,3 oC dan P3 juga mengalami peningkatan rataan dari 38,5 ± 0.05
oC menjadi 38,9 ± 0,05
oC. Secara keseluruhan, pada semua perlakuan suhu rektal
domba masih dalam rentang normal. Suhu rektal domba di daerah tropis menurut
Smith dan Mangkoewidjojo (1988) adalah 38,2 – 40,0oC. Hal ini sejalan dengan
yang dilaporkan Peter et al. (2002) suhu rektal pada domba berkisar 38,5 – 40,0oC
dengan rata-rata 39oC.
14
37.5
38
38.5
39
39.5
40
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Hari
Kontrol
P1
P2
P3
38
38.2
38.4
38.6
38.8
39
39.2
39.4
39.6
39.8
40
1 8 15 22 29 36 43
Hari
Kontrol
P1
P2
P3
Gambar 12 Grafik suhu domba selama pasca operasi dan pra injeksi
Pasca operasi Pra injeksi
Gambar 13 Grafik suhu domba selama masa persembuhan
Injeksi 1
Injeksi 2
Injeksi 3
15
Fluktuasi yang diamati dalam grafik merupakan pengaruh dari faktor
lingkungan berupa suhu lingkungan dan waktu pengambilan data. Selain itu,
peningkatan suhu tubuh hewan menandakan terjadinya peradangan pada tubuh
serta terjadinya mekanisme pertahanan tubuh untuk kembali pada kondisi normal
(homeostasis) (Sharon et al. 2015). Peradangan disebabkan oleh benda asing yang
masuk dari luar kedalam tubuh. Pada penelitian ini benda asing yang dimasukkan
adalah sediaan pada tiap perlakuan yang dapat menginduksi terjadinya peradangan
pada hewan model. Ciri-ciri peradangan adalah panas, bengkak, nyeri, kemerahan,
kelainan fungsi. Steiner et al. (2008) menyatakan bahwa suhu tubuh adalah
parameter yang dipengaruhi ketika terjadi peradangan.
Secara fisiologis, seluruh parameter yang diamati pada masa pasca
menisektomi mengalami peningkatan dari keadaan awal. Hal ini mengindikasikan
terjadinya perubahan fisiologis pada tubuh hewan akibat menisektomi. Kondisi ini
sesuai dengan pernyataan Sharon et al. (2015) yang menyatakan bahwa hewan
akan menjaga kondisi tubuh dalam keadaan seimbang (homeostasis). Selama
masa persembuhan, parameter fisiologis hewan mengalami peningkatan dan
penurunan dari kondisi awal. Hal ini merupakan pengaruh dari menisektomi yang
dilakukan serta pengaruh pemberian sediaan Phospate buffer saline (PBS), asam
hyaluronan, human Wharton Jelly Mesenchymal Stem Cell (hWJ-MSC) dan
campuran asam hyaluronan dengan hWJ-MSC yang diuji pada penelitian ini.
Menurut Sharon et al. (2015) tubuh akan merespon benda asing yang masuk
kedalam tubuh berupa mekanisme peradangan atau reaksi imunitas. Reaksi
peradangan dapat diketahui dengan adanya perubahan parameter fisiologis
individu yaitu suhu tubuh (Sharon et al. 2015). Selain itu, reaksi peradangan juga
dapat diketahui dengan mengamati perubahan sel darah putih pada individu
(Pierce dan Larson 2005).
Berdasarkan hasil penelitian, peradangan setelah injeksi 3 menurun pada
hari ketiga hal ini disebabkan karena sifat imunomodulator yang dimiliki sel
punca mesenkimal (Arno et al. 2014). Sel punca mesenkimal dapat mensekresi
proangiogenik dan faktor pendukung persembuhan luka yaitu transforming
growth factor beta (TGF-β), vascular endothelial growth factor (VEGF),
interleukin-6 (IL-6) dan IL-8 (Arno et al. 2014). Selain itu, efek imunohypogenic
dari sel punca mesenkimal menyebabkan sel ini mudah diterima oleh tubuh dan
tidak menginduksi pembentukan tumor (Bongso dan Fong 2012). Berdasarkan
data hasil penelitian, terdapat perubahan fisiologis hewan model tetapi hal tersebut
tidak dianggap sebagai kondisi patologis karena perubahan yang berfluktuasi
tersebut masih dalam rentang nilai normal. Fluktuasi yang terjadi hanya
menggambarkan perlakuan yang diberikan memberikan efek terhadap hewan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian injeksi sediaan Phospate buffer saline (PBS) pada grup kontrol,
sediaan human Wharton Jelly Mesenchymal Stem Cells (hWJ-MSC) pada
kelompok P1 dan campuran sediaan hWJ-MSC + asam hyaluronan pada
16
kelompok P2 dan sediaan asam hyaluronan pada kelompok P3 secara intra
artikular memberikan pengaruh terhadap kondisi fisiologis domba model
osteoatritis. Pengaruh yang ditimbulkan berupa kenaikan dan penurunan nilai
pada setiap parameter yang diamati. Tetapi, perubahan tersebut tidak dianggap
sebagai suatu kondisi yang patologis karena perubahan nilai masih dalam rentang
normal hewan domba.
Saran
Perlu dilakukan analisis lanjutan dengan menggunakan analisis statistika
untuk mengetahui sediaan yang memberikan efek yang nyata terhadap perubahan
respon fisiologis hewan model osteoarthritis.
DAFTAR PUSTAKA
AAOS. 2013. Tretment of osteoarthritis of knee. Evindence ased guideline 2 nd
edition. Adopted by American Academy of Orthopaedic Surgeons Board
of Directors
Adisuwirdjo, D. 2001. Buku Ajar Dasar Fisiologi Ternak. Purwokerto (ID).
Fakultas Peternakan Unsoed.
Arno AI, Amini-Nik S, Bli PH, Al-Shehab M, Belo C, Herer E, et al. 2014.
Human Wharton‟s jelly mesenchymal stem cells promote skin wound
healing through paracrine signaling. Stem cell research & therapy. 5(1):
28–41.
Beveridge JE, Shrive NG, dan Frank CB. 2011. Meniscectomy causes significant in vivo kinematic changes and mechanically induced focal chondral lesions in a sheep model. Journal of Orthopaedic Research. 29: 1397-1405.
Bongso A. dan Fong C. 2012. The therapeutic potential, challenges and future
clinical directions of stem cells from the Wharton‟ s Jelly of the Human
Umbilical Cord. Stem Cell Reviews and Reports. 9(2): 226-240.
Cianci P, Slade JB, Sato RM, Faulkner J. 2013. Adjunctive hyperbaric oxygen
therapy in the treament of thermal burns. Undersea Hyperb Med.
40(1):89-108
Cruz MU, Lopez-baca MA, Vicente R, Mehia A, Alvarez FD, Correa-Calderon A,
Meza-Herrera CA & Mellado M, Guerra-Liera JE, Avendano-Reyes L.
2015. Effect of seasonal ambient heat stress (spring vs. summer) on
physiological and metabolic variables in hair sheep lacated in an arid
region. Int J Biometeorol. 60 (8):1279-86
Danny H, Harry M, Ferry S, Arief B,Tono D, Boenjamin S.2010. STEM CELL
Dasar Teori & Aplikasi Klinis. Jakarta (ID): Erlangga
Davendra C, Burn M. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Bandung
(ID):ITB Pr
17
De Caridi G, Massara M, Acri I, Zavettieri S, Grande R, Butrico L, et al. 2016.
Trophic effect of polynucleotides and hyaluronic acid in the healing of
venous ulcers of the lower limbs : A clinical study. Int WOund J.
13(5):754-8
Edey. T. N. 1983. The Genetic pool of sheep and goats. Dalam: Goat and Sheep
Production in The Tropics. ELBS. Longman Group Ltd, Essex.
Egloff C, Hugle T, Valderrabano V. 2012. Biomechanics and pathomechanisms of
osteoarthritis. Swiss Med Wkly. 142:1-14
Elizabeth A., Kenneth K., James W., 2011. Clinical Examination and
Practical Skills. London (UK) : Oxford University Press
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Yogyakarta (ID): Gadjah
Mada University Pr.
Guyton AC & Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-9. Diterjemahkan
oleh dr. Irawati Setiawan, dr. LMA. Ken Ariata Tengadi, dr. Alex
Santoso.Jakarta : EGC
Gregory MH, Capito N, Kuroki K, Stoker AM, Cook JL, dan Sherman SL. 2012.
A review of translational animal models for knee osteoartritis. Arthritis. 14
(12): 1-14.
Grotle M, Hagen KB, Natvig B, Dahl F, Kvien T K. (2008). Prevalence and
burden of osteoarthritis: results from a population survey in Norway. The
Journal of rheumatology. 35(4). 677-684.
Hass R, Kasper C., Bohm S., Jacobs R. 2011. Different Populations and Sources
of Human Mesenchymal Stem Cells (MSC): A Comparison of Adult and
Neonatal Tissue-Derivd MSC. Cell Commun Signal. 9(1):12
Heidari B. 2011. Knee osteoarthritis prevalence, risk factors, pathogenesis, and
features : part 1. Casp j Intern Med.2 (2) : 205-12
Heldman AW, Zambrano JP, Hare JM. 2011. Cell therapy for heart dissease. J Am
Coll Cardiol. 57:4668
Heryadi D, Anang A, Setiadi R, Ismeth, Budinuryanto DC, Hasan H, Elly A,
Hadist I, Pangetsti D, Darusman U. 2002. Standarisasi Mutu Bibit Domba
Garut. Bandung (ID): UNPAD Pr
Isnaeni W. 2006.Fisiologi Hewan. Yogyakarta (ID): Kansius
Kelly WR, 1974. Veterinary Clinical Diagnosis.Second Edition. London (UK).
Bailliera Tindall.
Koentjoro, SL. 2010. Hubungan antara Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan
Derajat Osteoarthritis Lutut Menurut Kellgren dan Lawrence.
Semarang.Universitas Diponegoro.
Kuyinu EL, Ganesh N, Lakshmi SN, Cato TL. 2016. Animal models of
osteoarhtitis : classification, updates, and measurements of outcomes. J.
Orthopedic Surgery and Research. 11(19):1-27
La Rocca G., Lo Iacono M., Corsello T., Corrao S., Farina F., Anzalone R. 2013.
Human Wharton Jelly Mesenchymal Stem Cells Maintain the Expression
of Key Immunomodulatory Molecules when Subjected to Osteogenic,
Adipogenic and Chondrogenic Differentiation in vitro: New Perspective
for Cellular Theraphy. Curr Stem Cell Res Ther.8(1):100-113
Martini. 1998. Fundamental of Anatomy and Physiology 4th ed. New Jersey
(US). Prentice Hall International Inc.
18
Mansjoer SS, Kertanugraha T, Sumantri C. 2007. Estimasi jarak genetik antar
domba Garut tipe tangkas dan tipe pedaging. Media
Peternakan.30(2):129- 138
Mc Alindon TE, Bannuru RR, Sullivan MC, Arden NK, Berenbaum F, Bierma-
Zenistra SM.2014. OARSI guidelines for the non-surgical management of
knee osteoarthritis. Osteoarthr Cartil.22(3):363-88
McDowell, R.E. 1972. Improvement of livestock production in warm climates.
San Fransisco (US): W. E.Freeman and Company.
Nejadnik H, Hui JH, Feng Choong EP, Tai BC, Lee EH.2010. Autologous bone
marrow-derived mesenchymal stem cells versus autologous chondrocyte
implantation : an observational cohort study. Am J SPorts Med.36 (6) :
1110-6
Newman N, Turner AS, Wark JD. 1995. The potential of sheep for the study of
osteopenia : current status and comparison with other animal models. J.
Bone. 16 : 277-284
Nur M. 2009. Pengaruh Peningkatan Kualitas Hidup Penderita Osteoarthritis
terhadap Perkembangan Industri Olahraga. Jember (ID) .Universitas
Jember.
Pearce AI, RG Richards, S Milz, E Schneider, SG Pearce. 2007. Animal models
for implant biomaterial research in bone: A review. European Cells and
Materials Vol. 13. 2007 (pages 1-10).
Pelletier J, Boileau C, Altman RD, Martel. 2010. Experimental models of
osteoarthtritis : usefulness in the development os dissease-modifying
osteoartritis drugs/agents. J. Therapy.7 (6) : 21-34
Peter G, Jackson, Peter D.C.2002.Clinical Examination of Farm Animals. London
(UK) : Blackwell Science Ltd.
Pierce CN, Larson DF. 2005. Inflammatory cytokine inhibition of erythropoiesis
in patients implanted with a mechanical circulatory assist device. Perfusion.
20:83-90.
Potes JC, Joana CR, Fernando CS, Carlos R, Antonio SC, Jose AS. 2008. The
Sheep as an ANimal Model in Orthopedic Research. J.Experimental
Phatology and Health Sciences. 2 (1) : 29-32
Pratiwi Al. 2015. Diagnosis and treatment osteoarthritis. J.Majority. 4(4): 10-17
Ravaglioli A, Krajewski A, Celotti GC, Piancastelli A, Bacchini B,
Montanari L, Zama G, Piombi L. 1996. Mineral evolution of bone.
Biomaterials 17:617-622.
Riebold TW, Geiser DR, Goble DO: Clinical Techniques for Food Animal
Anesthesia. In Riebold TW, Geiser DR, Goble DO, editors: Large Animal
Anestheisa: Principles and Techniques, ed 2, Ames, IA, 1995, Iowa State
University Press:.
Romanelli D, Uribe J, Watanabe DS, Mandelbaum BR. 2016. Articular Cartilage
Injuries. The American Orthopedic Society for Sports Medicine.
Rudy HS, Mendy H, Jan TN,Meilany FD. 2017. Pengaruh terapi oksigen
hiperbarik terhadap penyembuhan luka pada luka bakar derajat dua dalam
pada hewan coba kelinci. J. Biomed. 9(1): 30-37
Sayu SP, Nyoman SI, Wayan B. 2016. Status presen pedet sapi bali.Buletin
Veteriner Udayana: 8(1): 36-43
19
Sharon SE, Elizabeth AR, Daniel TF. 2015. Fever and the thermal regulation of
immunity: the immune system feels the heat. Nat Rev Immunol. 15(6):
335- 349.
Sheikh, S.I., Khanam, A. 2013. Osteoarthritis in post menopausal women. World
Journal of Pharmaceutical Sciences.
Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta (ID): Universitas Indonesia
Pr.
Steiner MJ, DeCamp LR, Byerley JS, Doshi N. (2008). Use of antiemetic agents
in acute gastroenteritis: a systematic review and meta-analysis. Arch
Pediatr Adolesc Med. 162 (9): 858–65
Wahyunisngsih, N.A.S. 2009. Hubungan Obesitas dengan Osteoarthritis Lutut
pada Lansia di Kelurahan Puncang Sawit. Malang (ID): Universitas
Sebelas Maret
Widjajakusuma,R.danS.H.S.Sikar.1986. Fisiologi Hewan. Cetakan ke 1.
Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor,Bogor.
Widodo S, Dondin S, Chusnul C, Agus W, Retno W, Agus L. 2011. Diagnostik
Klinik Hewan Kecil. Bogor (ID): IPB Press
Yiying Q, Gang F. Wiqi Y. 2012. Mesenchymal stem cell-based Treatment
for Cartilage Defect in Osteoarthritis. Mol Biol Rep (39) 5683-5689.
20
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Maret 1997 di Pekanbaru, Riau Penulis
merupakan anak pertama dari Bapak Veri Senopel dan Ibu Yenita Fitriani.
Pendidikan sekolah dasar diselesaikan di SDN 001 Sukajadi pada tahun 2008,
pendidikan sekolah menengah pertama diselesaikan di SMPN 4 Pekanbaru pada
tahun 2011 dan pendidikan seklah menengah atas diselesaikan di SMAN 5
Pekanbaru pada tahun 2014. Penulis melanjutkan studi di program sarjana
Fakultas kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2013.Penulis
mendapatkan beasiswa dari pemerintah Provinsi Riau dalam bentuk BUD
(Beasiswa Utusan Daerah) selama menempuh pendidikan sarjana. Penulis aktif
dalam organisasi dan kepanitiaan yaitu Ketua IPB goes to Riau(Euphoriau) 2015,
Ketua pelaksana Malam Inaugurasi FKH 51 tahun 2015, Kepala Departemen
Kajian Strategis dan Advokasi Badan Eksekutif Mahasiswa FKH IPB 2016,
Wakil Ketua Himpunan Minat Profesi Ruminansia 2017, Divisi Event Organizer
UKM MAX!! 2014-2016. Ketua Pelaksana Intravena 53 2017, Ketua pelaksana
IPB One Health Day 2017, serta asisten praktikum mata kuliah Histologi I.
top related