pertanggungjawaban korporasi pada kasus pt. lapindo
Post on 03-Nov-2021
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA
KASUS PT. LAPINDO BRANTAS MENURUT
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi Perbandingan
Madzhab Hukum Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.)
Oleh :
TEDI SUDARNA
NIM: 1110043200006
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1436/ 2015
iv
ABSTRAK
TEDI SUDARNA,.” PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT.
LAPINDO BRANTAS MENURUT PERSFEKTIF HUKUM ISLAM” Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum, konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syari’ah dan
Hukum, Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakrta, 1436H/2015M.
Skripsi ini merupakan upaya untuk menjelaskan mengenai pertanggungjawaban
Korporasi (badan hukum) dalam hal ini adalah kasus PT. LAPINDO BRANTAS. Terhadap
Negara, terlebih kepada masyarakat yang terkena akibat dari Korporasi tersebut. Menurut Asas
strick libiality company, perusahaan yang merugikan atau tidak, berkewajiban memulihkan
kondisi pencemaran tanpa harus menunggu sanksi dari pemerintah , sesuai dengan pasal
lingkungan hidup. Namun dalam hal ini, PT. Lapindo sampai sekarang masih belum
melunasi/memulihkan akibat pencemaran yang ditimbulkan dari pekerjaan perusahaan tersebut.
Oleh sebab itu presiden mengeluarkan keputusan No 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional
Penanggulangan Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 14 tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Nomor 40
Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 Tentang
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian terhadap
efektivitas pelaksanaan suatu peraturan, terutama dalam hukum Islam tentang kerusakan alam
dan Asas strick libiality company. Dengan pendekatan kualitatif yaitu bersumber pada data
skunder dan primer dengan pengumpulan data melalui study pustaka (library research).
Sedangkan analisis data dilakukan analisis kualitatif. Yaitu upaya yang dilakukan secara
bersamaan dengan pengumpulan data, memilihnya menjadi satuan yang sistematis dan
sempurna, menemukan apa yang penting dan apa yang dapat dipelajari, memutuskan apa yang
dapat dibaca dan mudah difahami serta menginformasikannya kepada pembaca.
Tujuan dari penelitian ini agar pembaca dapat memahami bahwa perusahaan secara
mutlak memiliki kewajiban memulihkan kondisi atau ganti rugi terhadap pencemaran tanpa
harus menunggu sanksi dari pemerintah.
Kata kunci: Kewajiban pemulihan dan ganti rugi atas pencemaran
Pembimbing: Fahmi Muhamad Ahmadi, M.Si dan Maulana Hasanudin, SH, MH
v
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan penulisdan skripsi
ini. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah
membimbing manusia menuju jalan yang penuh dengan ridha Allah Swt.
Skripsi ini berjudul “Pertanggungjawaban Korporasi Pada Kasus PT. Lapindo
Brantas Menurut Perspektif Hukum Islam“, ditulis sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.), pada Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi
Perbandingan Mazhab Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulisan skripsi ini terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karenanya,
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar,MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. DR. Khamami Zada,MA dan Siti Hanna,S,Ag,Lc,MA, Ketua dan Sekretaris Program
Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.
3. Fahmi Muhammad Ahmadi,M.Si Dosen pembimbing dan Maulana Hasanudin,SH,MH
serta seluruh dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membimbing dan mendidik
Penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Segenap Dosen dan Staff Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Secara Khusus skripsi ini Penulis persembahkan kepada kedua orang tua Penulis yang
tercinta, Ayahanda H. Duyeh Heryanto dan Ibunda HJ. Alimah sebagai ungkapan
terimakasih yang tiada terhingga yang telah membesarkan dan mendidik Penulis dengan
vi
penuh cinta dan kasih sayang. Serta memberikan semangat kepada Penulis dan juga
memberikan doa, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
6. Kepada sahabat Penulis Perbandingan Hukum angkatan 2010 Aidz, Wiwin, Rafika, Fani,
Winda, Ilyas, Dhani, Laka, Muzi, Bambang, Ridwan, Sandi, Ade, Rianzani, Apri, Dayat,
lusi, Rani, Sofa, Fajrin, Berli, Amel, Ipul, Anjo, Ucup, Fathur, Bagas, Fathin, dan Rudi,
serta teman-temanku semua yang menjadi guru, teman diskusi, seperjuangan dalam
penulisan skripsi, semoga persahabatan ini selalu dalam RidhoNYA dan apa yang dicita-
citakan akan tercapai. amin
Penulis berdo’a semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi catatan
pahala di sisi Allah Swt. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
Oleh karena itu kritik dan saran membangun demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini
sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat adanya. Amin,
Jakarta, 06 April2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR HALAMAN.......................................................................................i
SURAT PENGESAHAN.....................................................................................ii
ABSTRAK.............................................................................................................iii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iv
DAFTAR ISI.........................................................................................................v
BAB I P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Perumusan Masalah .................................................................. 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 10
D. Metode Penelitian ..................................................................... 11
E. Sistematika Penulisan ............................................................... 15
BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM
HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Bentuk dan Pelaku Kejahatan Korporasi .................................. 16
1. Tinjauan Terhadap Kejahatan Korporasi ............................. 16
2. Bentuk-bentuk Kejahatan Korporasi ................................... 20
3. Unsur-unsur Kejahatan Korporasi ....................................... 21
4. Pelaku Kejahatan Korporasi ................................................ 23
B. Kejahatan Korporasi Dalam Hukum Lingkungan Dan
Sanksi-sanksi Kejahatan Korporasi .......................................... 31
1. Kejahatan korporasi Dalam Hukum Lingkungan ................ 31
2. Sanksi-Sanksi Kejahatan Korporasi ..................................... 32
viii
BAB III KASUS LUMPUR LAPINDO
A. Kronologis terjadinya bencana lumpur Lapindo ...................... 36
1. Lokasi .................................................................................. 36
2. Perkiraan Penyebab Kejadian .............................................. 38
3. Dampak Lingkungan Luapan Lumpur ................................. 41
B. Posisi Lumpur Lapindo dalam Hukum Positif .......................... 42
C. Keputusan Presiden Mengenai Bencana Lapindo ..................... 47
BAB IV ANALISIS KASUS LUMPUR LAPINDO DALAM
PERSPEKTIF HUKUM KORPORASI DAN HUKUM
ISLAM
A. Analisis Hukum Korporasi Terhadap Kasus Lumpur Lapindo... 52
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Kasus Lumpur Lapindo .......... 62
1. Konsep Pertanggungjawaban bisnis Dalam Islam.................. 62
2. Konsep Ekonomi Islam tentang Pemeliharaan Lingkungan....74
3. Analisis Kasus Lumpur Lapindo Menurut Hukum Islam....... 78
BAB V P E N U T U P
A. Kesimpulan ................................................................................ 95
B. Saran-saran ................................................................................ 97
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 98
1
BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan yang pesat dari kegiatan pembangunan, terutama industri
modern seringkali membawa akibat timbulnya risiko, atau dampak yang sangat
besar terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Secara konsep
kebijakan pembangunan sudah memasukkan faktor kelestarian lingkungan sebagai
hal yang mutlak untuk dipertimbangkan, namun dalam implementasinya terjadi
kekeliruan orientasi kebijakan yang tercermin melalui berbagai peraturan yang
terkait dengan sumber daya alam. Peraturan dibuat cenderung mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya alam tanpa perlindungan yang memadai, sehingga
membuka ruang yang sebesar-besarnya bagi pemilik modal untuk melakukan
exploitasi sumber daya alam tersebut.1
Perkembangan korporasi di Indonesia dalam waktu singkat menjadi sangat
cepat dan pesat karena sifatnya yang sangat ekspansif menjangkau seluruh
wilayah bisnis yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dengan subur dan
mendatangkan keuntungan. Hal lain ditandai juga dengan peranan oleh
pemerintah melalui peraturan-peraturan yang memberikan kemudahan berusaha
dan fasilitas lainnya. Korporasi sebagai pelaku kejahatan dan tindak pidana
lingkungan hidup sebagai sebuah delik harus dilihat dalam kerangka
pembangunan yang berkesinambungan.
1
Koesnadi Hardjasoemantri, Pentingnya Payung Hukum dan Pelibatan Masyarakat
dalam Buku Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam, 2005, h. XVI.
1
2
Korporasi sebagai sebuah institusi yang memiliki struktur unik dan
dilengkapi dengan seperangkat ketentuan yang mengatur tindakan personalia di
dalamnya, sebagai suatu lembaga yang keberadaan dan kapasitasnya untuk
berbuat sesuatu ditentukan oleh hukum, namun seringkali melanggar hukum.
berbagai cara dilakukan agar korporasi lolos dari jeratan hukum, Korporasi saat
ini adalah sebagai subyek hukum, yang hanya menjalankan kegiatan ekonomi
tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum yang dimana
hukum tersebut digunakan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan keadilan sosial.2.
Korporasi seringkali digunakan para ahli hukum pidana dan kriminologi
untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum perdata disebut sebagai badan
hukum atau dalam bahasa Belanda disebut rechtspersoon atau dalam bahasa
Inggris dengan istilah legal person atau legal body. Apa yang dinamakan “badan
hukum”, sebenarnya tidak lain sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan
menunjuk kepada adanya suatu badan, dimana terhadap badan ini diberi status
sebagai subyek hukum, oleh karena itu subyek hukum manusia (natuurlijk
persoon). “Namun lembaga badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan
hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu yang harus
dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi
manusia yang terhimpun di dalamnya”.3
2Setiyadi, Mas Wigrantoro Roes. Kecelakaan atau Kelalaian Korporasi, http://maswigrs.
wordpress.com/2007/04/11/kecelakaan-atau-kejahatan-korporasi, diakses 12 September 2014 3
Setiyono, H. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang : Averroes Press, 2002), h. 2-4
3
Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum
tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas
hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam
kaidah hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau
badan hukum merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual
beli, dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat
menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para
pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggung
jawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti
bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggota-
anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada.
Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi
sebagai pribadi (corporatecriminal liability) merupakan hal yang masih
mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa
suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta
memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana.4
Kejahatan korporasi dalam pengertian gramatikal merupakan pelanggaran
atau tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi. Pengertian lain mengenai
kejahatan korporasi juga dikemukakan dalam Black’s Law Dictionary, Any
criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of
activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping),
4Nasution, Bismar. Kejahatan Korproasi dan Pertanggungjawabannya, http://bismarnasty.
files.wordpress.com/2007/06/kejahatan-korporasi-dan pertanggungjawabannya. pdf. diakses
tanggal 12 September 2014
4
often referred to as “white collar crime”. Bahwa kejahatan korporasi merupakan
tindak pidana yang dilakukan oleh dan karenanya dapat dibebankan pada suatu
korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan
harga, pembuangan limbah), dan kejahatan ini sering juga disebut sebagai
“kejahatan kerah putih”.
Suatu tindak pidana dapat teridentifikasi dengan timbulnya kerugian
(harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau
criminal liability. Terkait dengan kejahatan korporasi, maka timbul pertanyaan
mengenai bagaimana pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability
mengingat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang
dianggap sebagai subyek hukum pidana hanya orang perseorangan atau
naturlijkee person. Selain daripada itu, KUHP juga masih menganut asas sociates
delinquere non potest, dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat
melakukan tindak pidana. Jika seandainya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan
untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian, maka
harus diberikan sanksi, terlepas siapa yang akan bertanggungjawab, apakah
pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurus korporasi tersebut.
Dalam KUHP memang hanya ditetapkan bahwa yang menjadi subyek
tindak pidana adalah orang perseorangan. Meskipun seharusnya pembuat undang-
undang dalam merumuskan delik juga harus memperhitungkan bahwa
manusia juga melakukan suatu tindakan di dalam atau melalui organisasi yang
dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum
administrasi), muncul sebagai satu kesatuan dan oleh karena itu diakui serta
5
mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. berdasarkan KUHP,
pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi
jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Sehingga, KUHP saat ini tidak
dapat menjadi landasan untuk memperoleh pertanggungjawaban pidana dari
sebuah korporasi, karena hanya dimungkinkan pertanggungjawabannya oleh
pengurus korporasi.
Meskipun saat ini KUHP tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek
hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi
mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU
No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi. Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai
undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda mengenai arti
“korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan,
perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, sebagaimana
undang-undang yang disebutkan dibawah ini :
1. UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi;
2. UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan; dan
3. UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.21 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dan lain-lain.
4. UU No. 5 Tahun 1999.5
Di Indonesia sendiri, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan
korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan
5Kosparmono Irsan, “Kejahatan Korporasi; BAB IV”, Jakarta 2007
6
Hidup. Hal ini dapat dilihat berdasarkan isi Pasal 46 Bab IX mengenai
ketentuan pidana yang mengadopsi doktrin vicarious liability.
Terhadap hal-hal diatas baik dalam sistem hukum common law maupun
civil law, memang sangat sulit untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan
tertentu serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent atau guilty mind) dari
suatu entitas abstrak seperti korporasi. Indonesia sendiri, meskipun undang-
undang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan
criminal liability terhadap korporasi, namun Pengadilan mempergunakan
peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus
kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat
sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan kejahatan korporasi.
Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden bagi
lingkungan peradilan di Indonesia.6
Tidak adanya peraturan yang jelas terhadap para pemilik modal
menimbulkan adanya eksploitasi besar-besaran terhadap alam. Dampak dari
eksploitasi alam secara besar-besaran sebagai akibat kekeliruan implementasi
kebijakan pembangunan tersebut mulai dirasakan rakyat Indonesia beberapa tahun
belakangan ini. Berbagai peristiwa yang melibatkan korporasi terjadi silih
berganti. Pencemaran Teluk Buyat, “Lumpur Lapindo” di Sidoarjo merupakan
beberapa kasus pencemaran/pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh
korporasi .
6
“Kejahatan korporasi”: http://www.tanyahukum. com/perusahaan/114/kejahatan-
korporasi/, Diakses tanggal 12 September 2014
7
Tragedi Lumpur Lapindo dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini
menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal
persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat
volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari
(setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya,
semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar
maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur: genangan hingga setinggi 6
meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa;
rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; area pertanian dan
perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang
menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak
berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi;
rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon);
terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap
aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini
merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.7
Dampak dari luapan lumpur yang bersumber dari sumur di Desa
Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur
sejak 27 Mei 2006 ini telah mengakibatkan timbunan lumpur bercampur
gas sebanyak 7 juta meter kubik atau setara dengan jarak 7.000 kilometer, dan
jumlah ini akan terus bertambah bila penanganan terhadap semburan lumpur tidak
secara serius ditangani. Lumpur gas panas Lapindo selain mengakibatkan
7
Wikipedia Indonesia, Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006, Diakses tanggal 12
September 2014
8
kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata mencapai 60 derajat celcius juga bisa
mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal disekitar
semburan lumpur. Lingkungan fisik yang dimaksud diatas adalah untuk
membedakan lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup buatannya, dimana
dalam kasus ini mengalami gangguan Daud Silalahi menganggap bahwa
kerusakan lingkungan tersebut sebagai awal krisis lingkungan karena manusia
sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya.8
Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam
berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya
0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit
dan kanker.4 Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah
(hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.9
Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial
banjir lumpur tidak bisa dipandang sederhana. Setelah lebih dari 100 hari tidak
menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah,
terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian,
dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Konflik
sosial antar warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, berbagai keresahan
mulai muncul dengan adanya konspirasi penyuapan oleh Lapindo, Rebutan truk
pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur
setelah skenario penanganan teknis kebocoran (menggunakan snubbing unit)
8
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia. (Bandung. Penerbit Alumni. 1996). H. 9 9Kompas, 19 Juni 2006
9
dan (pembuatan relief well) mengalami kegagalan horisontal. Berdasarkan hal
tersebut, timbulnya kerugian masyarakat, menimbulkan pertanyaan, “Apakah
dalam kasus luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. ini telah terjadi tindak
pidana kejahatan korporasi?”. Untuk mendapatkan jawabannya maka dilakukan
sebuah studi penelitian hukum normatif-kualitatif dan hasilnya menunjukkan
bahwa dilihat dari aturan-aturan hukum yang berlaku, Lapindo Brantas Inc. telah
melakukan pelanggaran hukum tindak pidana kejahatan korporasi.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dan pengkajian lebih mendalam terkait dengan kejahatan korporasi secara khusus
yang berkaitan dengan lumpur lapindo. Hasil riset atas tema tersebut selanjutnya
akan dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul: “Pertanggungjawaban
Korporasi Pada Kasus PT.Lapindo Brantas Menurut Perspektif Hukum
Islam”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan tersebut maka rumusan masalah dalam
penelitin ini penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pertanggungjawaban korporasi dalam menghadapi gugatan strict
liability pada kasus lumpur lapindo?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap kejahatan korporasi dalam kasus
lumpur lapindo?
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan
manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan
tujuan penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui praktek pertanggungjawaban korporasi dalam
menghadapi gugatan strict liability pada kasus lumpur lapindo
b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap kejahatan korporasi
dalam kasus lumpur lapindo
2. Manfaat Penelitian
Tiap penelitian harus mempunyai kegunaan bagi pemecahan
masalah yang diteliti. Untuk itu suatu penelitian setidaknya mampu
memberikan manfaat praktis pada kehidupan masyarakat. Kegunaan
penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yakni dari
segi teoritis dan segi praktis. Dengan adanya penelitian ini penulis sangat
berharapakan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Manfaat Akademis
1) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam
perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek dilapangan.
2) Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi
peneliti.
11
3) Menambah literatu bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat
digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
1) Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas.
2) Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan
bagi penulis, khususnya tentang hukum lingkungan hidup
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan penulis adalah
pendekatan normatif. yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah
metode penelitian hukum normatif suatu perbuatan hukum yang terjadi
sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku atau tidak.10
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai
berikut :
a. Sumber primer, adalah Perundang-undangan yang berkaitan langsung
dengan masalah yang sedang dikaji, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) KUHP
2) UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi.
3) Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.
10
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),
h. 6.
12
4) Putusan Presiden Terhadap Penyelesaian Lumpur Lapindo.
5) Kitab Fiqih Jinayat.
b. Sumber sekunder, adalah data-data yang mendukung obyek yang akan
diteliti, berupa buku-buku, majalah, koran, buletin atau tulisan-tulisan
lain yang berhubungan dengan masalah yang sedang dikaji.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu
dengan menggunakan teknik studi kasus. Adapun metode analisis data yang
digunakan adalah content analysis atau analisis isi. Adapun langkah-
langkahnya adalah sebagai berikut:
a. Mengumpulkan data yang berhubungan dengan terjadinya luapan lumpur
Lapindo.
b. Mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
tindak pidana korporasi.
c. Menganalisis terhadap kasus lumpur Lapindo dengan mengkonfirmasikan
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun tehnik analisa dari penulisan ini adalah content analysis atau
analisa isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri
berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para
tokoh yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya
dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis, dan dianalisa
isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan
13
memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam
mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.11
Dengan menggunakan analisis isi yang mencakup prosedur ilmiah
berupa obyektifitas, sistematis, dan generalisasi. Maka, arah pembahasan
skripsi ini untuk menginterpretasikan, menganalisis isi buku (sebagai
landasan teoritis) dikaitkan dengan masalah-masalah kecerdasan spiritual
dan pendidikan yang masih aktual untuk dibahas, yang selanjutnya
dipaparkan secara objektif dan sistematis.
Melihat banyaknya teknik yang dapat dipakai dalam pengkajian
suatu ilmu, maka penulis akan menggunakan beberapa teknik yang yang
dianggap perlu dan relevan dengan pembahasan ini, antara lain :
a. Teknik Dokumentasi
Teknik dokumentasi yaitu mencari data mengenai variable yang
berupa catatan, transkip, buku-buku, dokumen, peraturan-peraturan,
notulen rapat, longer, majalah, catatan harian, agenda, dan sebagainya.
Teknik dokumentasi ini digunakan untuk mendapatkan data berupa
tulisan yang sehubungan dengan obyek penelitian yang akan di bahas
dalam penelitian. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data yang
menyangkut pembahasan yang penulis kaji atau teliti.
b. Teknik Deskriptif
Teknik deskriptif ini digunakan untuk memecahkan serta
menjawab persoalan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang,
11
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),
h. 163.
14
dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan, klasifikasi,
analisa data, memuat kesimpulan dan laporan, dengan tujuan membuat
penggambaran tentang suatu keadaan secara obyektif dalam deskripsi
situasi untuk dibahasakan secara rinci.
c. Teknik Deduksi
Teknik ini merupakan akar pembahasan yang berangkat dari
realitas yang bersifat umum kepada sebuah pemaknaan yang bersifat
khusus.12
Teknik ini digunakan untuk menguraikan suatu hipotesis atau
asumsi yang bersifat umum kemudian digeneralisasikan pada asumsi
baru atau antitesis yang bersifat khusus.
d. Teknik Induksi
Teknik ini merupakan alur pembahasan yang berangkat dari
realita-realita yang bersifat khusus atau peristiwa-peristiwa yang konkret
kemudian dari realita- realita yang konkret itu ditarik secara general yang
bersifat umum. Berpikir induktif, adalah berpikir yang berangkat dari
fakta-fakta atau peristiwa yang bersifat khusus dan kongkrit, kemudian
ditarik pada generalisasi yang bersifat umum (general interpretatif).
Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan standar acuan
BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, Tahun 2015.
12
Sutrisno Hadi, Metode Research I (Yogyakarta: Andi Offset, 2007), h. 42.
15
E. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penyusuna skripsi ini, penulisan membaginya kepada
lima bab, yang garis besarnya penulis gambarkan sebagai berikut :
Bab Pertama merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab pertama ini adalah sebagai
pengantar. Adapun isi penelitian seluruhnya tertuang dalam bab II, III, IV. Inti
dari penelitian seluruhnya tertuang dalam bab V, berisi kesimpulan dan saran.
Bab Kedua merupakan Landasan Teori yang mencakup Pengertian
Korporasi, Tanggungjawab Pelaku Kejahatan Korporasi, Unsur dan bentuk
Kejahatan Korporasi, Kejahatan Korporasi Dalam Hukum Lingkungan dan
Sanksi-sanksi Kejahatan Korporasi.
Bab Tiga Merupakan bab yang membahas masalah Hukum Positif Kasus
Lumpur Lapindo yang memaparkan tentang kronologis terjadinya bencana lumpur
Lapindo dan posisinya dalam Hukum Positif, serta inti yang membahas putusan
presiden terhadap bencana nasional.
Bab Empat Merupakan Analisis Hukum Korporasi Terhadap Kasus
Lumpur Lapindo, dan Analisis Hukum Islam Terhadap Kasus Lumpur Lapindo.
Bab Lima merupakan Bab terakhir yang berisi simpulan dan saran-saran.
Bab ini memberikan simpulan dari hasil pembahsan pada bab-bab sebelumnya,
serta saran-saran yang sekiranya dapat di jadikan suatu pertimbangan dan
konstribusi pemikiran.
16
BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM
HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Bentuk dan Pelaku Kejahatan Korporasi
1. Tinjauan Terhadap Kejahatan Korporasi
Definisi tentang kejahatan atau dalam bahasa Inggris yang biasa
disebut crime atau offence ataupun misdrijf dalam bahasa Belanda, menurut
Subekti diartikan sebagai: “Tindak pidana yang tergolong berat, KUHP
membagi tindak pidana dalam kejahatan dan pelanggaran yang masing-
masing terdapat dalam Buku II dan Buku III KUHP.” Secara khusus KUHP
tidak memberikan ketentuan/syarat-syarat untuk membedakan kejahatan
dengan pelanggaran. Kedua jenis tindak pidana tersebut hanya berbeda dari
pemberian ancaman serta sanksi yang dijatuhkan terhadap keduanya, karena
kejahatan pada umumnya sanksi yang dijatuhkan lebih berat di bandingkan
sanksi pelanggaran.1
Definisi kejahatan yang diartikan dalam kamus Black’s Law, adalah
sebagai setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang melanggar
kewajiban-kewajibannya terhadap suatu komunitas, dan atas pelanggaran-
pelanggaran tersebut, hukum telah menentukan bahwa pelaku harus
mempertangungjawabkannya kepada publik.2 definisi pelanggaran (breach)
menurut Black’s Law adalah pelanggaran suatu hukum, hak, kewajiban,
1Mustafa Abdullah & Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Ghalia
Indonesia, 2003), h. 29. 2Henry Campbel Black, Black’s Law Dictionery (New York: Barron’s Educational Series
Inc, 1990), h. 370.
17
ikatan, tugas, baik dengan penambahan atau penghapusan. Terjadi ketika
suatu pihak dalam kontrak gagal untuk melaksanakan ketentuan, janji atau
kondisi dalam kontrak.3 Namun bila pelanggaran tersebut menimbulkan
konsekuensi pidana yang dilekatkan pada pelanggaran itu, maka
pelanggaran tersebut merupakan perbuatan pidana.4
Dalam pengertian yang diartikan dalam Black’s Law mengenai
pengertian kejahatan diatas dapat ditarik sebuah analisis, bahwa apabila
seseorang melakukan kejahatan, berarti ia telah melanggar norma dalam
sebuah komunitas maka diwajibkan kepada si terdakwa tersebut untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada publik tanpa ada pilihan
bagi dirinya mau ataupun tidak mau melaksanakan pertanggungjawaban
tersebut. Sehingga sanksi yang dijatuhkan dalam kejahatan adalah
merupakan hukuman paksa. Sedangkan kejahatan menurut Giffis
didefinisikan sebagai suatu kesalahan yang oleh pemerintah telah ditetapkan
merugikan publik dan dapat dituntut karena suatu tindakan kriminal.5
Untuk dapat dituntut karena perbuatan pidana maka korporasi harus
telah jelas melakukan kesalahan. Menurut Andi Hamzah kesalahan dalam
arti luas meliputi: sengaja, kelalaian, serta dapat dipertanggungjawabkan.
Dimana ketiga-tiganya merupakan unsur subyektif syarat pemidanaan.6
3Henry Campbel, . Black’s Law Dictionary, (New York: Barron’s Educational Series
Inc, 1990), h. 188. 4Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, ,
2006), h. 26. 5Steven H Giffis, Dictionary of Legal Terms, Third Edition, (New York: Barron’s
Educational Series Inc, 1998), h. 53. 6
Andy Hamzah, Pengantar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985),h. 24.
18
Pada dasarnya, banyak pelanggaran dan kejahatan yang sering
dilakukan korporasi di bidang lingkungan, namun penyelesaiannya tidak
mencapai sasaran dan tujuan sesuai yang diharapkan baik oleh masyarakat
yang terkena dampak khususnya maupun masyarakat luas pada umumnya.
Hal ini mungkin disebabkan karena kesadaran hukum masyarakat kita yang
masih rendah, sehingga terkadang kelompok masyarakat itu sendiri pun
terlambat atau tidak sadar bahwa lingkungan sekitarnya telah tercemar oleh
korporasi yang melakukan kegiatan industri atau sebagainya. Untuk
mengetahui lebih lanjut tentang kejahatan yang dilakukan oleh korporasi,
maka akan di bahas pengertian korporasi dari sisi hukum.
Kita lazim mendengar kata korporasi untuk menyebut sebuah badan
hukum, ini di jumpai dalam hukum perdata. Dalam bahasa Belanda, disebut
rechtpersoon dan legal entity atau corporation dalam bahasa Inggris. Dalam
Black’s Law Dictionary korporasi diterjemahkan sebagai suatu manusia
buatan (artificial person) atau badan hukum yang diciptakan oleh atau dalam
kewenangan hukum dari suatu negara.7 Di Indonesia, badan hukum dikenal
dengan nama perseroan terbatas (PT). I.G. Ray Wijaya mengatakan
korporasi adalah suatu badan hukum yang mampu bertindak melakukan
perbuatan hukum melalui wakilnya. Oleh karena itu korporasi atau
perseroan juga merupakan subyek hukum, yaitu subyek hukum mandiri.
Korporasi bisa mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan hukum.8
7Henry Campbel, . Black’s Law Dictionary, (New York: Barron’s Educational Series Inc,
1990),h. 340. 8I.G. Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Megapoin, 2000), h. 7.
19
Terkait atas apa yang diterjemahkan oleh I.G. Ray Wijaya, Sutan
Remy Sjahdeini mengatakan bahwa “asas hukum korporasi menentukan
bahwa pengurus adalah organ organisasi, kalbu pengurus adalah kalbu
korporasi, dan jasmani pengurus adalah jasmani korporasi”.9 Analisa dari
pendapat 2 pakar ini adalah bahwa korporasi adalah manusia buatan yang
memiliki organ, kalbu serta jasmani. Jadi sudah seharusnya korporasi
mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum.
Menurut Sahetapy, perumusan tindak pidana korporasi sampai saat
ini masih merupakan suatu dilema, sama dilemanya dengan konsep white
collar crime yang diperkenalkan pertama kali oleh Sutherland yang
memunculkan setumpuk istilah dengan makna dalam konteks yang berbeda
namun dalam ruang lingkup yang sama pula.10
Corporate crime
didefinisikan sebagai suatu tindak kejahatan yang dilakukan dan dapat
dituntutkan kepada suatu korporasi sebagai akibat dari aktivitas pejabat atau
karyawannya.11
Marshall B. Clinhard mengatakan bahwa kejahatan
korporasi adalah kejahatan terorganisasi yang terjadi dalam konteks yang
sangat kompleks dan bervariasi yang merupakan hubungan struktural dan
hubungan antara dewan direksi, eksekutif, dan manajer di satu sisi dan
induk korporasi, divisi korporasi dan subsidiary-subsidiarinya di sisi lain.12
9Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporas, (Jakarta: Grafiti Pers, ,
2006), h. 22. 10
J.E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, (Bandung: Eresco, 1994), h. 25. 11
Henry Campbel, . Black’s Law Dictionary, (New York: Barron’s Educational Series Inc,
1990), h. 339 12
Henry Campbel, . Black’s Law Dictionary, (New York: Barron’s Educational Series Inc,
1990),h. 28.
20
Pengertian lain mengenai kejahatan korporasi adalah suatu bentuk
kejahatan (crime) dalam bentuk white collar crime, yang merupakan
perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau
badan hukum, baik melalui pengurus atau yang mendapatkan otorisasi
olehnya, meskipun badan hukum tersebut tidak pernah mempunyai niat
jahat (mens rea).13
Menurut Indriyanto Seno Adji korporasi (corporate crime), Sebagai
pelanggaran-pelanggaran dimana pelaku-pelakunya mengalami perubahan
dari “orang” meluas pada “badan hukum” (korporasi) yang sering
mempunyai kedudukan sosial ekonomi tinggi dan terhormat, serta
perbuatannya dilakukan tanpa adanya kekerasan fisik, Bahkan sering kali
didasari suatu alasan kegiatan perekonomian yang sah (“legitimate
economic activities”), sehingga kejahatan ini sering dikatakan bagian dari
“Kejahatan Ekonomi” (“economic crime”). Orientasi kejahatan korporasi
diarahkan pada skala “bisnis besar” dan bukan “Bisnis Sekala Kecil”.14
2. Bentuk-bentuk Kejahatan Korporasi
Menurut Hatrik yang mengutip pendapat Steven Box, bentuk-bentuk
kejahatan korporasi adalah bentuk-bentuk pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh korporasi dalam usaha mencapai tujuan korporasi untuk
memperoleh profit.15
Pada dasarnya tidak terdapat pembagian-pembagian
13
Munir Fuady, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004), h. 27. 14
Indriyanto Seno Adji, Arah Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Kantor Pengacara dan
KonsultanHukum Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, 2001), h. 73. 15
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 8.
21
secara khusus yang dihasilkan oleh para pakar hukum dalam menghasilkan
bentuk-bentuk kejahatan korporasi, namun yang paling sering terjadi dan
korporasi dituntut dalam hal melakukannya adalah :
a. Kejahatan terhadap konsumen, dengan cara memberikan informasi yang
menyesatkan yang hampir sama dengan tindak pidana penipuan dimana
korporasi sebagai pelakunya memberikan informasi yang menyesatkan
kepada publik agar publik melakukan suatu tindakan atau tidak
melakukan tindakan sehingga memberikan keuntungan bagi si pelaku.
b. Kejahatan terhadap lingkungan hidup adalah dengan cara masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen lain ke
dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya
turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak
c. dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
d. Kejahatan pasar modal, yaitu dengan cara memperdagangkan orang
dalam (insider trading) yaitu pihak yang memanfaatkan informasi yang
bersifat material yang belum tersedia bagi publik yang memperoleh
keuntungan dari perdagangan efek yang didasarkan adanya suatu
informasi orang dalam yang belum terbuka untuk umum.
3. Unsur-unsur Kejahatan Korporasi
Menurut Sutan Remy Sjahdeini,16
korporasi dapat dibebankan
pertanggungjawaban pidana apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
16
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, ,
2006) h. 118.
22
a. Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personel
korporasi yang memiliki posisi sebagai direksi dari korporasi.
b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan
korporasi.
c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah
dalam rangka tugasnya dalam korporasi.
d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat
bagi korporasi.
e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau
pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban.
Maka dari itu unsur-unsur tersebut harus terpenuhi agar
pertanggungjawaban tindak pidana korporasi dapat dibebankan kepada
direksi yang memiliki wewenang dalam nenentukan atau memutuskan
kebijakan korporasi.
Dalam UUPLH, faktor utama terjadinya sengketa lingkungan adalah
apabila terjadi pencemaran/perusakan seperti yang tercantum dalam Pasal 1
angka 12 dan Pasal 1 angka 14 UUPLH.
Menurut pengertian Pasal 1 angka 12 dalam UU tersebut, terdapat
hal-hal yang dapat ditemukan sebagai unsur-unsur perbuatan pencemaran
lingkungan hidup, unsur-unsur itu adalah :
a. Masuk atau dimasukkannya.
Hal ini adalah komponen asing dari luar yang masuk kedalam
lingkungan yang berakibat kepada perusakan dan pencemaran.
23
b. Kegiatan manusia.
Pencemaran lingkungan lebih besar terjadi karena adanya
kegiatan manusia yang mengekploitasi dan mengeksplorasi lingkungan
dengan tidak mengindahkan peraturan-peraturan pengelolaan lingkungan
hidup.
c. Turunnya kualitas lingkungan.
Pencemaran yang terjadi telah menyebabkan turunnya kualitas
atau mutu lingkungan tersebut.17
Sedangkan mengenai perbuatan
perusakan lingkungan dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 angka 14,
bahwa : “Segala perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat baik
fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak
berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan”.
4. Pelaku Kejahatan Korporasi
Dalam sistem pidana Indonesia, suatu perbuatan merupakan tindak
pidana atau perilaku melanggar hukum pidana hanyalah apabila suatu
ketentuan pidana yang telah menentukan bahwa perbuatan itu merupakan
tindak pidana. Hal ini berkenaan dengan berlakunya asas legalitas
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan aturan pidana
dalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan telah ada.”
17
Hyronimus Rihti, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, (Yogyakarta:
Universitas AtmaJaya, 2006), h. 8.
24
Ketentuan ini memberi jaminan bahwa seseorang tidak dapat
dituntut berdasarkan ketentuan undang-undang secara berlaku surut.
Ketentuan ini juga didukung semangatnya dalam Undang-undang No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas legalitas itu dapat juga
dijumpai dalam Pasal 6 ayat (1) UU tersebut, yang berbunyi : “Tidak
seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain yang ditentukan
oleh undang-undang.”18
Jadi berdasarkan penjelasan diatas yang dimaksud dengan tindak
pidana adalah prilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika
prilaku tersebut dilakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan
perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak
melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.
Barda Nawawi Arief,19
mengutip dari Nico Keijzer, menuliskan
tentang kondisi-kondisi yang akan meletakan korporasi sebagai pelaku
sebuah tindak pidana, menurut beberapa aturan hukum di beberapa negara
seperti dalam :
a. American Model Penal Code (MPC) – section 2.07.(1) :
1) Apabila maksud pembuat UU untuk mengenakan pertanggungjawaban
pada korporasi nampak dengan jelas dan perbuatan itu dilakukan oleh
agen korporasi yang bertindak atas nama korporasi dalam ruang
lingkup jabatan/tugas atau pekerjaannya; atau
18
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, ,
2006) h. 26. 19
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), h. 131.
25
2) Apabila tindak pidana itu merupakan suatu pengabaian/pelanggaran
kewajiban khusus yang dibebankan kepada korporasi oleh UU, atau
3) Apabila dilakukannya tindak pidana itu dibenarkan/disahkan, diminta,
diperintahkan, dilaksanakan, atau dibiarkan/ditolerir secara sembrono
oleh dewan direksi atau oleh agen pimpinan puncak yang bertindak
atas nama korporasi dalam batas-batas ruang lingkup
tugas/pekerjaannya.
b. Dutch Case Law (Yurisprudensi Belanda) :
1) Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan UU yang secara
khusus ditujukan bagi korporasi, misal korporasi tidak memenuhi
syarat-syarat dari suatu izin yang telah diberikan kepadanya. Dengan
demikian, korporasi tidak dipandang telah melakukan tindak pidana
dalam hal ketentuan UU secara khusus ditujukan kepada individu.
2) Apabila tindak pidana itu berhubungan dengan bidang usaha korporasi
yang bersangkutan. Misal pencemaran beberapa hari yang ditimbulkan
dari saluran kotoran (the sewage drain) suatu perusahaan/pabrik
kimia.
Pendapat-pendapat diatas menerangkan bahwa seiring dengan
kemajuan perundang-undangan, para penegak hukum pun mencari kaidah-
kaidah baru dalam rangka penegakan hukum tersebut di segala aspek.
Dimana di masa kini, korporasi disebutkan pula dapat dibebani
pertanggungjawaban dan dapat dijadikan sebagai pelaku kejahatan. Maka
dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, ada 3 sistem kedudukan
26
korporasi sebagai pembuat dan pertanggungjawaban korporasi dalam
hukum pidana, yaitu : (1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan
penguruslah yang bertanggungjawab, (2) Korporasi sebagai pembuat dan
pengurus yang bertanggungjawab, (3) Korporasi sebagai pembuat dan yang
bertanggungjawab.20
Berikut ini penjelasannya :
a. Pengurus Korporasi Sebagai Pembuat dan Pengurus yang
Bertanggungjawab
Sistem pertanggungjawaban ini adalah sistem yang dianut oleh
KUHP. KUHP mempunyai pendirian bahwa korporasi tidak dapat
dibebani pertanggungjawaban pidana dikarenakan korporasi tidak
memiliki kalbu dan tidak pula memiliki guilty mind, pengurus
korporasilah yang memiliki kalbu sebagai naturlijk persoon yang dapat
melakukan kejahatan, maka pengurus korporasi yang bisa diberi
pertanggungjawaban pidana. Pendirian KUHP ini termaktub dalam Pasal
59 KUHP. Ketentuan yang menunjuk bahwa tindak pidana hanya
dilakukan oleh manusia adalah Pasal 53 jo Pasal 55 KUHP dan Pasal 372
jo Pasal 374 KUHP, dimana Pasal 53 berbunyi :
1) Percobaan melakukan kejahatan dapat dipidana, apabila maksud akan
melakukan kejahatan itu sudah nyata, dengan adanya permulaan
membuat kejahatan itu dan perbuatan itu tidak diselesaikan hanyalah
oleh sebab hal yang tidak tergantung kepada kehendaknya sendiri.
20
Reksodiputro B Mardjono, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak
Pidana Korporasi, (Semarang: FH UNDIP, 1989), h. 9.
27
2) Maksimum pidana pokok yang diancamkan atas kejahatan itu
dikurangi sepertiganya dalam hal percobaan.
3) Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara yang selama-lamanya
lima belas tahun.
4) Untuk kejahatan yang telah diselesaikan dan percobaan melakukan
kejahatan itu, sama saja pidana tambahannya.
b. Korporasi sebagai Pembuat dan Pengurus yang Bertanggungjawab
Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan pengakuan yang
timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana
dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi), akan
tetapi tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan usaha
(korporasi) tersebut. Secara perlahan-lahan tanggungjawab pidana
tersebut beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang
memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan
memimpin secara sesungguhnya. Dalam sistem pertanggungjawaban ini
korporasi dapat menjadi pembuat tindak pidana, akan tetapi yang
bertanggungjawab adalah para anggota pengurus, asal saja dinyatakan
dengan tegas dalam peraturan itu. Sistem pertanggungjawaban yang
kedua ini sejalan dengan sistem pertanggungjawaban yang pertama
namun perbedaannya disini adalah bahwa hal korporasi sebagai badan
usaha yang dapat dijadikan pelaku kejahatan telah dapat diterima, namun
28
dalam hal korporasi melakukan kejahatan, tidak mungkin tanpa kehendak
dari pengurusnya.
Munir Fuady, menjelaskan mengenai tanggungjawab direksi
dalam hukum perseroan yang berkenaan dengan pelaksanaan fiduciary
duty. Menurut Munir Fuady, pada prinsipnya ada 2 (dua) fungsi utama
dari direksi suatu perseroan, yaitu :21
1) Fungsi manajemen, dalam arti direksi melakukan tugas memimpin
perusahaan.
2) Fungsi representasi, dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam
dan luar pengadilan. Prinsip mewakili perusahaan di luar pengadilan
memyebabkan perseroan sebagai badan hukum akan terikat dengan
transaksi atau kontrak-kontrak yang dibuat oleh direksi atas nama dan
kepentingan perseroan.
c. Korporasi sebagai Pembuat dan yang Bertanggungjawab
Sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini merupakan
permulaanadanya tanggungjawab yang langsung dari korporasi. Dalam
sistem inidibuka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta
pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Hal-hal yang dapat
dipakaisebagai alasan-alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan
sekaligus yang bertanggungjawab adalah sebagai berikut :
Pertama, karena dalam berbagai tindak pidana ekonomi atau
fiscal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita
21
Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law& Eksistensinya Dalam
Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), h. 10.
29
masyarakat dapat sedemikian besarnya sehingga tidak akan mungkin
seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan pada pengurus saja. Kedua,
dengan hanya memidana pengurusnya saja, tidak atau belum ada jaminan
bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana lagi.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, terdapat sistem
pertanggungjawaban yang keempat setelah terdapat tiga sistem diatas
yang dianut dalam pertanggungjawaban korporasi. Sistem yang ke-4 itu
adalah : “Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana,
dan keduanya pula harus memikul pertanggungjawaban pidana”.22
Di Belanda sendiri dengan diubahnya Pasal 15 ayat (1) Wet
Delicten 1950 menjadi Undang-undang tanggal 23 tahun 1976 Stb 377
yang disahkan tanggal 1 September 1976 telah membawa perubahan
terhadap sifat dapat dipidananya korporasi sebagimana diatur dalam
sistem hukum pidana Belanda.
Meskipun dalam KUHP Indonesia yang sampai sekarng ini masih
dipakai yang masih merupakan warisan pemerintahan Belanda, namun
RUU KUHP yang baru sudah meletakkan pengertian tentang korporasi
yaitu dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 50 yang mana korporasi dapat
dijadikan sebagai pelaku kejahatan dan dapat pula dibebani
pertangungjawaban. Dari beberapa pasal-pasal dalam RUU KUHP yang
mana menjelaskan tentang keberadaan korporasi dapat dijadikan pelaku
tindak pidana, dapat disimpulkan sebagai berikut :
22
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, ,
2006) h. 59.
30
1) Bahwa secara prinsip dalam RUU KUHP tersebut telah diterima
konsep korporasi sebagai badan hukum yang dapat dijadikan subjek
dalam hukum pidana;
2) Tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan kepada badan
hukum adalah semua perbuatan yang termasuk tindak pidana yang
dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional
(functioneel daders) dalam badan hukum yang melakukan perbuatan
itu dalam lingkungan usaha dari badan hukum sesuai dengan anggaran
dasarnya;
3) Tidak semua peraturan perundang-undangan dapat diterapkan atas
badan hukum, misalnya tidak mungkin menerapkan sanksi pidana
penjara atau pidana mati atas badan hukum.
Bila dilihat dari rumusan beberapa pasal tentang korporasi dalam
RUU KUHP diatas, diharapkan di masa mendatang kejahatan-kejahatan
oleh korporasi sudah dapat diambil tindakan oleh pemerintah maupun
oleh badan yang berwenang.
31
B. Kejahatan Korporasi Dalam Hukum Lingkungan Dan Sanksi-sanksi
Kejahatan Korporasi
1. Kejahatan korporasi Dalam Hukum Lingkungan
Emil Salim,23
mengamati masalah lingkungan dengan mengaitkannya
kepada 2 hal yang dapat menggoncangkan keseimbangan lingkungan hidup,
pertama adalah perkembangan teknologi yang berhasil diwujudkan oleh akal
dan otak manusia. Revolusi industri adalah awal dari keberlanjutan
penemuan teknologi berupa mesin uap, dan hingga akhirnya manusia dapat
mendaratkan kakinya di bulan hingga masa kini. Kedua adalah ledakan
populasi penduduk. Selama pertambahan penduduk berada dalam batas
kewajaran, maka pertambahan ini tidak mengganggu terlalu banyak
keseimbangan lingkungan, tetapi seperti yang diketahui saat ini,
perkembangan teknologi pula yang menjadikan ledakan penduduk.
Pertambahan ini tentu saja akan menambah unsur kehidupan yang lain,
seperti misalnya permintaan akan air minum, bahan makanan, lahan tempat
tinggal, bahan bakar serta pada akhirnya adalah penciptaan limbah rumah
tangga dalam jumlah yang sangat besar pula.
Dalam rangka mempertahankan kestabilan lingkungan, kita
mempunyai Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UULH). Untuk itu diperlukan alat untuk dijadikan
batas-batas sebagai rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar oleh manusia
23
M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Linkungan Hidup, (Bandung: Mandar Maju,
2000), h. 4.
32
sebagai subjek yang mengekplorasi dan eksploitasi lingkungan untuk
pemenuhan kebutuhan hidupnya.
2. Sanksi-Sanksi Kejahatan Korporasi
Sanksi pidana menurut KUHP didasarkan pada Pasal 10 KUHP yang
berbunyi :
a. Pidana pokok, berupa: 1) Pidana mati; 2) Pidana penjara; 3) Pidana
kurungan; 4) Denda; 5) Pidana tutupan (UU No. 20/1946)
b. Pidana tambahan, berupa : 1) Pencabutan beberapa hak tertentu; 2)
Perampasan beberapa barang yang tertentu; 3) Pengumuman putusan
hakim.
Sanksi-sanksi pidana yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP diatas
nampaknya hanya dapat dikenakan kepada manusia saja sebagai pelaku
kejahatan. Munir Fuady24
mengungkapkan dewasa ini berkembang model
hukuman pidana nonkonvesional yang dianggap cocok untuk perseroan
yang melakukan kejahatan korporat. Model-model tersebut adalah:
a. Hukuman Percobaan (Probation).
Dalam hukuman ini, korporasi dihukum dalam jangka waktu
tertentu dan diawasi.
b. Denda Equitas (Equity Fine)
Korporasi yang dijatuhi pertanggungjawaban pidana berupa
denda adalah denda yang disetor kepada pemerintah adalah merupakan
saham-saham perusahaan tersebut yang diberikan kepada pemerintah.
24
Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law& Eksistensinya Dalam
Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), h.29.
33
c. Pengalihan Menjadi Hukuman Individu
d. Hukuman Tambahan
Seperti pencabutan izin dan larangan melakukan kegiatan tertentu
atau kegiatan di bidang lain.
e. Hukuman Pelayanan Masyarakat (community service)
Hukuman ini efektif bagi corporate crime yang telah membawa
dampak negatif bagi masyarakat, sehingga masyarakat tersebut mendapat
semacam ganti rugi dari hasil pelaksanaan hukuman tersebut.
f. Kewenangan Yuridis Pihak Luar Perusahaan
Pihak luar yang berwenang terhadap korporasi yang dibebankan
pertanggungjawaban pidana dalam rangka hukuman ini dapat mengambil
kewenangan untuk masuk dan mengatur perusahaan yang terkena sanksi
tersebut. Misalnya BAPEPAM untuk perusahaan terbuka atau otoritas
keuangan untuk perusahaan perbankan.
g. Kewajiban Membeli Saham
Hukuman ini adalah kewajiban membeli saham dengan
mengambil dana dari victim compesation funds yang diambil untuk
membeli saham-saham pihak pemegang saham dengan harga pasar,
sehingga dia tidak dirugikan oleh ulah perusahaan tersebut.
Sanksi menurut UU Darurat Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun
1995 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi, yang termuat dalam Pasal 15 ayat (1) undang-undang tersebut
berbunyi :
34
“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama
suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau
yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana dan
tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum
perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang
memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu,
maupun terhadap kedua-duanya”.
Menurut M. Hamdan,25
upaya penaggulangan pada hakikatnya juga
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat yang dapat
ditempuh dengan 2 jalur, yaitu :
a. Jalur penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal law
application).
b. Jalur nonpenal, yaitu dengan cara :
1) Pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment), termasuk di
dalamnya penerapan sanksi administrative dan sanksi perdata.
2) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pembinaan lewat media massa.
Dalam UUPLH pada Pasal 47 telah diatur pula, selain ketentuan
pidana yang akan dibebankan kepada pelaku kejahatan korporasi
lingkungan, dalam pasal ini pula pelaku tindak pidana lingkungan hidup
dapat dikenakan sanksi tata tertib berupa :
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
b. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
c. perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
d. mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau
25
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada,
1997), h. 80.
35
e. meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
f. menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga)
tahun.
Sanksi-sanksi yang ada dalam peraturan perundang-undang kita
yang terkait dengan lingkungan dirasakan sudah cukup, namun alangkah
disayangkan apabila penerapan sanksi-sanksi tersebut tidak didukung oleh
penegakan hukum oleh aparat yang berwenang terhadap undang-undang itu
sendiri.
36
BAB III
KASUS LUMPUR LAPINDO
A. Kronologis terjadinya bencana lumpur Lapindo
Banjir lumpur panas Lapindo di Sidoarjo adalah peristiwa menyemburnya
lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Desa Renokenongo,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang terjadi sejak tanggal
27 Mei 2006. Semburan lumpur panas telah mengakibatkan tergenangnya
kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di
sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
1. Lokasi
Lokasi semburan lumpur panas berada di Kecamatan Porong, bagian
selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 kilometer sebelah selatan Kota Sidoarjo.
Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan di
sebelah selatan.
Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar 100
Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas
sebagai pelaksana teknis blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini,
semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang
dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri
punya dua teori yang berhubungan dengan asal semburan. Pertama, semburan
lumpur berhubungan dengan kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur
"kebetulan" terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum
diketahui.
36
37
Gambar 1. Lokasi Sumur Banjar Panji
Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur
Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 Maret 2015
Gambar 2. Lokasi Sumur Banjar Panji-1
Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur
Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 Maret 2015
Lokasi tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya
merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari
lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-
38
Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur
kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi.
2. Perkiraan Penyebab Kejadian
Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada
awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT
Medici Citra Nusantara. Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga
kedalaman 8500 kaki (2590 meter) sampai mencapai formasi Kujung (batu
gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing) yang
ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi
circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida
formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi
Kujung.
Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30
inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner)
16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press
Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari
kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing
9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara
formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).
39
Gambar 3. Posisi Cashing Prognosis VS Realisasi Sumur Banjar Panji-11
Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur
Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 Maret 2015
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan
pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka
membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona
Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka
membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Mereka
merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping
formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama melakukan pengeboran
mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih
berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari
formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat diatasi
dengan pompa lumpur.
Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu
gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal
1 Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur
Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 21 Desember 2014
40
mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat
porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan
lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi
Klitik) atau circulation loss sehingga kehilangan/kehabisan lumpur di
permukaan.
Akibat dari habisnya lumpur, maka lumpur formasi Pucangan berusaha
menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit
sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan,
perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup dan segera
dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan
mematikan kick.
Gambar 4. Underground Blow Out Pada Sumur Banjar Panji-1
Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur
Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 maret 2015
Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah
terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di
permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan
41
kondisi geologis tanah tidak stabil dan kemungkinan banyak terdapat rekahan
alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat
melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan
BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha
mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi dan
berhasil keluar. Hal ini yang menjadi dugaan kenapa surface blowout terjadi di
berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.
Gambar 5. Hipotesa Mekanisme Semburan Lumpur Panas Lapindo2
Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur
Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 Maret 2015
3. Dampak Lingkungan Luapan Lumpur
Dampak atau efek dari semburan lumpur panas dari pengeboran pada
Sumur Banjar Panji-1 secara umum dapat dilihat dari dua hal yaitu adanya
tumpahan atau luberan material cair berupa lumpur dalam volume yang sangat
2 Yunus Daud, Standar Baku Pengeboran dan Masalah Human Error : Antisipasi
Teknologi, Diskusi Publik Tragedi Lumpur Panas Sidoarjo. Diskusi Publik Tragedi Lumpur Panas
Sidoarjo, 2006. Diakses tanggal 21 Desember 2014
42
besar maupun adanya dugaan kandungan yang terdapat dalam material cair
tersebut.
a. Dampak Terhadap Tanah
Uji lebih lanjut terhadap tanah yang terkena dampak dari luberan
lumpur menunjukkan hasil yang berbeda dari uji laboratorium yang telah
dilakukan. Hal ini diduga dalam perjalanan di atas permukaan tanah atau di
dalam udara terbuka lumpur mengalami perubahan efek menjadi zat yang
toxic setelah mengalami kontaminasi atau bersenyawa dengan media lain
yang berada di sekitar wilayah bencana tersebut. Tanah bekas terkena
lumpur bisa ditanami akan tetapi jika tanaman tersebut akan dikonsumsi
oleh manusia akan berisiko bagi kesehatan.3
b. Dampak Sosial Ekonomi
Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi
masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
Lumpur panas Lapindo selain mengakibatkan kerusakan lingkungan, juga
bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal di
sekitar semburan lumpur.4
B. Posisi Lumpur Lapindo dalam Hukum Positif
Seiring dengan sering terjadinya kasus kerusakan lingkungan sebagai
akibat dari proses pembangunan, studi tentang ekologi pembangunan semakin
3 Lily Pudjiastuti., Tanah Bekas Lumpur Lapindo Tak Bisa Ditanami, Hasil Riset ITS,
Kamis (27/7/2006), diakses pada tanggal 21 Desember 2014 4
Richard J. Davies, Birth of a Mud Volcano : East Java, 29 May 2007. Dalam
http://hotmudflow.wordpress.com/ diakses tanggal 21 Desember 2014
43
berkembang pesat. Pembangunan adalah upaya-upaya yang diarahkan untuk
memperoleh taraf hidup yang lebih baik. Upaya-upaya untuk kesejahteraan atau
taraf hidup yang lebih baik merupakan hak semua orang dimana pun berada.
Khususnya di negara-negara berkembang, pembangunan merupakan pilihan
penting dilakukan guna terciptanya kesejahteraan penduduknya. Dengan demikian
pembangunan merupakan sarana bagi pencapaian taraf kesejahteraan manusia.
Dan pembangunan ini yang kemudian tidak terlepas dari adanya dampak yang
merugikan, terutama kepada lingkungan.
Menurut Prof .Moeljatno,5
sebuah tindak pidana ada setelah adanya
perbuatan dan sebuah keadaan yang menyertai perbuatan tersebut. Dalam kita
melihat kejadian di Kec. Porong Sidoarjo ini, yang melakukan sebuah perbuatan
adalah Lapindo Brantas, dimana perbuatan tersebut adalah melakukan kegiatan
eksploitasi dan eksplorasi migas yang berada di Blok Brantas, meskipun
berdasarkan fakta yang ada proses pengeboran (drilling) tersebut kemudian di sub
kontrakan oleh Lapindo Brantas Inc kepada PT. Medici Citra Nusa, namun
Lapindo Brantas dalam hal ini tidak dapat melepaskan pengawasannya terhadap
proses tersebut mengingat Lapindo Brantas adalah sebagai pemegang hak
terhadap eksploitasi dan eksplorasi di blok tersebut. Unsur diatas merupakan
pembuktian telah terpenuhinya terjadinya sebuah tindak pidana oleh manusia.
Namun menurut Sutan Remy Sjahdeini,6 adanya keharusan terpenuhinya
unsur terdapatnya perbuatan dan unsur terdapatnya kesalahan tidak mesti dari satu
orang, hal ini berarti orang yang melakukan perbuatan tidak harus memiliki
5 Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 185.
6 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, ,
2006), h. 74.
44
kesalahan yang menjadi dasar perbuatan itu, asalkan dalam melakukan perbuatan
yang dimaksud tersebut adalah menjalankan perintah atau suruhan orang lain yang
memiliki kalbu yang menghendaki kesalahan tersebut oleh orang yang disuruh.
Dengan adanya gabungan tersebut antara perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
yang tidak memiliki kesalahan (tidak memiliki sikap kalbu yang salah) dan
kesalahan yang dimiliki oleh orang yang memerintahkan atau menyuruh
perbuatan itu dilakukan, maka secara gabungan terpenuhilah unsur-unsur
(perbuatan dan kesalahan) yang diperlukan bagi pembebanan pertanggungjawaban
pidana oleh korporasi.
Dalam hal ini, Lapindo Brantas sebagai sebuah korporasi yang tidak
memiliki kesalahan dapat juga dijatuhi pembebanan pertanggungjawaban pidana
setelah adanya penggabungan ini, karena faktor kesalahan tersebut dapat diambil
dari manusia sebagai yang menjalankan operasional korporasi tersebut. Jadi, baik
Lapindo Brantas serta pengurusnya dapat dijatuhi pembebanan
pertanggunjawaban pidana seperti yang termuat dalam setiap pasal yang terdapat
dalam Bab IX UUPLH No. 23 Tahun 1997.
Seharusnya pihak Lapindo Brantas menghiraukan pendapat para ahli
geologi ini, mengingat bukan hanya sekali ini saja, masyarakat Jawa Timur
mengalami perusakan dan pencemaran lingkungan oleh korporasi, ada terdapat
beberapa kasus lainnya seperti :7
1. Pada tahun 2000 terjadi kebocoran petrokimia.
7 Informasi dari WALHI Jawa Timur, 2006 dalam Kumpulan Analisis Bencana Lumpur
Lapindo, h. 12.
45
2. Pada tahun 2001 terjadi kebocoran sektor migas di kecamatan Suko, Tuban
milik Devon Canada dan Petrochina. Kadar hidro sulfidanya waktu itu cukup
tinggi sehingga menyebabkan 26 orang dirawat di rumah sakit.
Beberapa kasus diatas, seharusnya dapat menjadikan Lapindo Brantas
belajar mengenai menjaga lingkungan yang dieksplorasi dan eksploitasinya.
Berarti apabila dalam kasus ini terdapat unsur kelalaian atau culpa, hal tersebut
dapat dijadikan pemberatan pidana, ditambah pula telah terjadinya ribuan korban
diakibatkan kelalaian ini, maka Lapindo Brantas dapat dikenakan juga sanksi yang
terdapat dalam Pasal 42 Bab IX UUPLH, yang berisi :
(1) Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup,
diancam pidana…….dst;
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam pidana…..dst.
Melihat kepada UUPLH, Lapindo Brantas dalam kegiatannya di Blok
Brantas telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam definisi melakukan
perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup di Blok Brantas dan
lingkungan sekitarnya yang sampai saat ini telah mencakup lebih dari 10 desa
yang hilang tertutup oleh lumpur beserta prasarana dan sarananya.
Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 1 angka 12 mengenai definisi
tentang pencemaran adalah :
1. Masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen
lainnya kedalam lingkungan hidup, dalam hal ini telah terlihat, kelalaian
ataupun kesengajaan yang diakibatkan oleh Lapindo Brantas Inc dalam
kegiatannya telah menyebabkan menyemburnya sejenis lumpur bercampur gas
46
yang didalamnya terdapat kandungan logam berat (Hg) yang mencapai 2,565
mg/liter Hg, yang telah melampaui baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg, dan
kandungan Fenol yang didapat dari sampel lumpur, zat ini berbahaya terhadap
kulit dan kontak langsung dengan kulit dapat menyebabkan kulit seperti
terbakar dan gatal-gatal dan bila zat ini masuk kedalam makanan bisa
menyebabkan sel darah merah pecah, jantung berdebar dan gangguan ginjal.
2. Dilakukan oleh kegiatan manusia, masuk atau dimasukkannya zat-zat serta
komponen tersebut yang jelas tidak dengan sendirinya, Lapindo Brantas telah
melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di daerah tersebut.
3. Menimbulkan penurunan kualitas lingkungan sampai pada tingkat tertentu
yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukannya, luberan lumpur sampai saat ini telah mengenangi setidaknya 10
desa, 20.000 warga harus diungsikan ke pengungsian dengan fasilitas yang
seadanya, sumber air (sumur dan sungai) tidak dapat digunakan lagi karena
telah tercampur dengan lumpur, lahan pertanian tidak dapat digunakan lagi,
lahan industri berupa pabrik-pabrik tidak dapat beroperasi lagi dan setidaknya
terdapat 3000 buruh serta karyawan harus kehilangan pekerjaannya karena
pabrik-pabrik tersebut berhenti beroperasi, dan saat ini terganggunya proses
distribusi barang dan transportasi dengan tertutupnya jalan tol Surabaya-
Gempol.
Melihat fakta-fakta di lapangan serta bila dihubungkan dengan unsur-
unsur terjadinya kejahatan lingkungan oleh korporasi, dimana dalam hal ini
korporasi tersebut adalah Lapindo Brantas Inc sebagai pemegang kuasa
47
pertambangan ekplorasi dan eksplotasi migas di Blok Brantas Kec. Porong
Sidoarjo dari BP Migas, maka penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa unsur-
unsur tersebut telah terpenuhi, baik melalui unsur kesengajaan atau pun kelalaian.
Kedua unsur tersebut dapat digunakan untuk menjerat korporasi kedalam
pembebanan tanggungjawab pidana. Dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup juga terdapat pasal yang menerangkan apabila
dilakukan karena kelalaian korporasi tersebut dapat juga dijadikan pelaku dalam
kejahatan lingkungan hidup.
C. Keputusan Presiden Mengenai Bencana Lapindo
Dalam menangani kasus Bencana Lapindo, Pemerintah telah
mengeluarkan beberapa peraturan. Peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Tim
Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Adapun inti dari
keputusan ini adalah:
a. Membentuk Tim Nasional Penganggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo,
yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Tim Nasional.
b. Tim Nasional mempunyai tugas untuk mengambil langkah-langkah
operasional secara terpadu dalam rangka penanggulangan semburan lumpur
di Sidoarjo yang meliputi : a. penutupan semburan lumpur; b. penanganan
luapan lumpur; c. penanganan masalah sosial.
48
c. Biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Tim Nasional dibebankan
pada anggaran PT. Lapindo Brantas.
2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Adapun inti dari keputusan ini adalah :
a. Pasal 1
(1) Dengan Peraturan Presiden ini dibentuk Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo yang selanjutnya disebut Badan Penanggulangan.
(2) Badan Penanggulangan bertugas menangani upaya penanggulangan
semburan lumpur, menangani luapan lumpur, menangani masalah sosial
dan infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan
memperhatikan risiko lingkungan yang terkecil.
b. Pasal 14
Biaya administrasi Badan Penanggulangan didanai dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) .
c. Pasal 15
(1) Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo
Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan
lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan
peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti
kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang
disahkan oleh Pemerintah.
(2) Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan
dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4
Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan dimuka dan
sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah
2 (dua) tahun habis.
(3) Biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak
tanggal 22 Maret 2007, setelah ditandatanganinya Peraturan Presiden
ini, dibebankan pada APBN
(4) –
(5)
49
(6) Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur terrnasuk di
dalamnya penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong
dibebankan kepada PT Lapindo Brantas.
(7) Biaya untuk upaya penanganan masalah infrastruktur termasuk
infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan
kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah.
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 Tentang Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Adapun inti dari keputusan ini adalah :
a. Pasal 15
(1) Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo
Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan
lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan
Peta Area Terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti
kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang
disahkan oleh Pemerintah.
(2) Pembayaran secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk
dalam Peta Area Terdampak tanggal 4 Desember 2006, 20% (dua puluh
per seratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat
sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis.
(3) Dihapus.
(4) –
(5) Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, termasuk di
dalamnya penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong,
dibebankan kepada PT Lapindo Brantas. (6) Biaya upaya penanganan
masalah infrastruktur, termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan
lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya
yang sah.” Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 3 (tiga) pasal,
yakni Pasal 15 A, Pasal 15 B, dan Pasal 15 C yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15 A
Biaya penanganan masalah sosial kemasyarakatan di luar Peta Area
Terdampak tanggal 22 Maret 2007 dibebankan pada APBN.
50
Pasal 15 B
(1) Wilayah penanganan luapan lumpur di luar Peta Area Terdampak
tanggal 22 Maret 2007 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 A adalah
di Desa Besuki, Desa Pejarakan, dan Desa Kedungcangkring,
Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, dengan batas-batas sebagai
berikut :
sebelah utara : tanggul batas Peta Area Terdampak
sebelah timur : jalan tol ruas Porong – Gempol
sebelah selatan : Kali Porong
sebelah barat : batas Desa Pejarakan dengan Desa Mindi
(2) –
(3) Dalam rangka pengananan masalah sosial kemasyarakatan di wilayah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pembelian tanah dan
bangunan di wilayah tersebut dengan akta jual beli bukti kepemilikan
tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh
Pemerintah.
(4) Jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat khusus sehingga
tidaK berlaku ketentuan dasar perhitungan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun
2006.
(5) Pembayaran penanganan masalah sosial kemasyarakatan di wilayah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap dengan
skema 20% (dua puluh per seratus) pada Tahun Anggaran 2008 dan
sisanya mengikuti tahapan setelah dilakukannya pelunasan oleh PT
Lapindo Brantas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).
(6) Dana penanganan masalah sosial kemasyarakatan yang berupa bantuan
sosial dan pembelian tanah dan bangunan diterimakan kepada
masyarakat di 3 (tiga) desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
besarannya dimusyawarahkan dengan mempertimbangkan rasa keadilan
oleh Badan Pelaksana BPLS dengan mengacu pada besaran yang
dibayarkan oleh PT Lapindo Brantas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.
(7) Tata laksana pembayaran penanganan masalah sosial kemasyarakatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diatur lebih lanjut
oleh Kepala Badan Pelaksana BPLS.
51
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 Tentang
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Adapun inti dari keputusan ini
adalah :
Pasal 9
d. melakukan penanganan luapan lumpur ke Kali Porong
Pasal 15
(5) Dihapus.
(6) Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, pengaliran lumpur ke
Kali Porong, penanganan infrastruktur, termasuk infrastruktur
penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan
sumber dana lainnya yang sah.
(7) Biaya tindakan mitigasi yang dilakukan oleh Badan Pelaksana BPLS
untuk melindungi keselamatan masyarakat dan infrastruktur dibebankan
kepada APBN
52
BAB IV
ANALISI KASUS LUMPUR LAPINDO DALAM PERSPEKTIF
HUKUM KORPORASI DAN HUKUM ISLAM
A. Analisis Hukum Korporasi Terhadap Kasus Lumpur Lapindo
Melihat fakta-fakta dilapangan serta bila dihubungkan dengan unsur-unsur
terjadinya kejahatan lingkungan oleh korporasi, dimana dalam hal ini korporasi
tersebut adalah Lapindo Brantas Inc sebagai pemegang kuasa pertambangan
ekplorasi dan eksplotasi migas di Blok Brantas Kec. Porong Sidoarjo dari BP
Migas, maka penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa unsur-unsur tersebut
telah terpenuhi, baik melalui unsur kesengajaan atau pun kelalaian. Kedua unsur
tersebut dapat digunakan untuk menjerat korporasi kedalam pembebanan
tanggungjawab pidana. Dalam UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup juga terdapat pasal yang menerangkan apabila dilakukan
karena kelalaian korporasi tersebut dapat juga dijadikan pelaku dalam kejahatan
lingkungan hidup.
Perbuatan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas di blok
Brantas yang telah terjadi selama beberapa periode eksplotasi ini telah membuat
Lapindo Brantas menjadi tersangka utama dalam dugaan adanya pelanggaran
terhadap UUPLH sekaligus penerapan sanksi pidana terhadap sangkaan terjadinya
kejahatan korporasi oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini menyebab dari
semburan lumpur tersebut masih diselidiki oleh pihak yang berwenang, namun
korban serta lingkungan yang rusak terus bertambah besar dan luas jumlahnya,
53
tanpa ada yang tahu kapan lumpur tersebut akan berhenti menenggelamkan Kec.
Porong dan sekitarnya. yang sangat jelas terlihat saat ini adalah Lapindo
Brantas/EMP sebagai pemegang hak eksploitasi dan eksplorasi dari BP Migas
telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan,
dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 hal ini telah melanggar Pasal 41 hingga Pasal
45 undangundang tersebut. Namun tentunya dalam hal Lapindo, jika nantinya
tidak dapat ditemukan bahwa penyebab menyemburnya lumpur yang telah
mengakibatkan bencana ini merupakan kealpaan atau kesengajaan dalam kegiatan
pengeboran sudah tentu Lapindo sebagai korporasi tidak dapat dijatuhi hukuman.
Dan hal ini akan membuat masyarakat yang mencari keadilan akan terkoyak.
Menurut Fredrik J. Pinakunary dalam tulisannya di Harian Koran Kompas,
penerapan sistem tanggung jawab pidana mutlak dapat langsung menempatkan
Lapindo sebagai pelaku kejahatan korporasi lingkungan.1
Berbeda dari sistem tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan
adanya unsur kesengajaan atau kealpaan dalam pembuktian sebuah perbuatan
pidana, dalam sistem tanggung jawab pidana mutlak, hanya dibutuhkan
pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa, yang artinya adalah dalam melakukan
perbuatan tersebut, terdakwa telah mengetahui atau menyadari potensi hasil dari
perbuatannya dapat merugikan pihak lain, maka keadaan ini telah cukup untuk
menuntut pertanggungjawaban pidana kepadanya. Hal ini tentu saja dapat
dilakukan oleh hakim sebagai living interpretator yang dapat menangkap
semangat keadilan yang hidup ditengahtengah masyarakat dan hakim juga dapat
1Fredrik.J. Pinakunary, Advocates pada Lubis, Santosa & Maulana Law Offices, Lapindo
dan Pidana Mutlak, Koran Kompas, Des 2006
54
mematahkan kekakuan normatif prosedural undang-undang karena seiring dengan
perkembangan hukum dan beradabnya negara-negara di seluruh dunia, hakim
tidak lagi sekedar hanya mulut atau corong undang-undang
Melihat kenyataan yang terjadi di lapangan saat ini, mustahil bahwa
Lapindo sendiri tidak menyadari bahwa lingkungan sekitar daerah penggalian
migas adalah merupakan pemukiman penduduk dan pabrik-pabrik kecil milik
warga. Polisi sendiri, telah memeriksa setidaknya 6 orang tersangka yang berasal
dari karyawan Lapindo sendiri dan karyawan dari PT. Medici Citra Nusa sebagai
pemegang sub kontrak Drilling (pengeboran) dari pihak Lapindo, pihak
berwenang mengatakan, para tersangka untuk saat ini diancam dengan Pasal 188
KUHP dan Pasal 41 dan Pasal 42 ayat 1e dan 2e UUPLH No.23 Tahun 1997126.
Adapun isi dari Pasal 188 KUHP adalah sebagai berikut :
”Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau
banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah, jika karena timbul bahaya umum bagi barang, jika karenanya
timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya mengakibatkan
matinya orang.”
Bahwa kasus luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. Merupakan tindak
pidana kejahatan korporasi, karena :
1. Penyebab luapan lumpur diakibatkan karena kesalahan dan kelalaian Lapindo
Brantas Inc. Dalam melakukan pengeboran. Dan juga karena telah melanggar
peraturan mengenai tata ruang dan peraturan lingkungan hidup.
2. Dampak yang diakibatkan adanya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas
yang dilakukan di Blok Brantas oleh Lapindo Brantas Inc. Telah
mengakibatkan terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan di sekitar
55
wilayah Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur. Dampak
kerusakan tersebut telah mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik, lumpuhnya
sektor ekonomi pertanian dan industri, kerugian social dan budaya masyarakat,
serta penurunan kualitas kehidupan masyarakat terdampak seperti yang selama
ini kita lihat.
Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability)
tidak diatur dalam hukum pidana umum (KUHP), melainkan tersebar dalam
hukum pidana khusus. Tidak dikenalnya prinsip pertanggungjawaban korporasi
dalam KUHP ini dikarenakan subjek tindak pidana yang dikenal dalam KUHP
adalah orang dalam konotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon). Di
samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest
dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Dengan
demikian, pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum (rechspersoonlijkheid) tidak
berlaku dalam bidang hukum pidana.2
Pentingnya pertanggungjawaban pidana korporasi dapat merujuk kepada
pendapat Elliot dan Quinn. Pertama, tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi,
perusahaan-perusahaan bukan mustahil menghindarkan diri dari peraturan pidana
dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang
merupakan kesalahan perusahaan. Kedua, dalam beberapa kasus, demi tujuan
prosedural, lebih mudah untuk menuntut perusahaan daripada para pegawainya.
Ketiga, dalam hal tindak pidana serius, sebuah perusahaan lebih memiliki
kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai
2
Rusmana. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Perikanan,
http://www.solusihukum.com/artikel/artikel45.php, diakses tanggal 21 Desember 2014
56
tersebut. Keempat, ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat
mendorong para pemegang saham untuk mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan
di mana mereka telah menanamkan investasinya. Kelima, apabila sebuah
perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang
ilegal,seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana
yang telah dilakukan bukannya pegawai perusahaan saja. Keenam,
pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan untuk
menekan pegawainya, baik secara langsung atau tidak langsung,agar para pegawai
itu mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan usaha yang ilegal. Ketujuh,
publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan itu
dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan
ilegal,di mana hal ini tidak mungkin terjadi bila yang dituntut itu adalah
pegawainya.3
Mengenai sifat pertanggungjawaban korporasi (badan hukum) dalam
hukum pidana terdapat beberapa cara atau sistem perumusan yang ditempuh oleh
pembuat undang-undang, yaitu:
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurusnyalah yang
bertanggungjawab. Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat (pelaku)
dan penguruslah bertanggungjawab. kepada pengurus dibebankan kewajiban-
kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan tersebut sebenarnya
merupakan kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi
kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat
4
Raspati, Lucky. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, http://raspati.blogspot.com
/2007/06/pertanggungjawaban-pidana-korporasi.html, dipublikasikan tanggal 29 Juni 2007,
Diakses tanggal 21 Desember 2014
57
suatu alasan yang menghapuskan pidana. Dasar pemikirannya yaitu korporasi
itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran,
melainkan selalu penguruslah yang melakukan tindak pidana itu, dan
karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.
2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab
Dalam hal korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan pengurus yang
bertanggungjawab, dipandang dilakukan oleh korporasi yaitu apa yang
dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan
anggaran dasamya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak
pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum
tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah
onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab pidana,
terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu.
3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab
motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu
sendiri. Ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana temyata
tidak cukup karena badan hukum menerima keuntungan dan masyarakat sangat
menderita kerugian atas tindak terlarang tersebut.4
4 Alvi Syahrin. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau
Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003), h.
8-9
58
Menurut Muladi5 bahwa berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi
dan memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta pemikiran
yang berkembang maupun kecendrungan internasional, maka
pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hendaknya
memperhatikan hal-hal :
1. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan
hukum seperti organisasi dan sebagainya;
2. Korporasi dapat bersifat privat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat
publik (public entity);
3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam
bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employess) dan
korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi-
punishment provision);
4. Terdapat kesalahan manajemen dalam korporasi dan terjadi apa yang
dinamakan breach of a statutory or regulatory provision;
5. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang
yang bertanggungjawab di dalam badan hukum tersebut berhasil
diidentifikasikan, dituntut dan dipidana;
Dalam Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan
denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada
Pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak
5Muladi. “Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam kaitannya Dengan
UU No. 23 Tahun 1997”, Makalah, Seminar Kajian dan Sosialisasi UU No. 23 Tahun 1997,
Semarang : Fakultas Hukum UNDIP, 1998
59
pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap
mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan
tersebut.6
Mas Achmad Santosa mengatakan, kejahatan korporasi sebagaimana
diatur dalam Pasal 45 dan 46 UU No.23/1997 merupakan rumusan kejahatan
korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda. Jadi korporasi sebagai legal
persoon, dapat dipidana berdasarkan UU No.23/1997. Menurutnya,
pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual
leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan
hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik
atau nyatanya, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu
perusahaan.7
Untuk menentukan siapa-siapa yang bertanggungjawab di antara pengurus
suatu badan hukum yang harus memikul beban pertanggungjawaban pidana
tersebut, harus ditelusuri segi dokumen AMDAL, Izin (lisensi) dan pembagian
tugas pekerjaan dalam jabatan jabatan yang terdapat pada badan hukum
(korporasi) yang bersangkutan. Penelusurab dan dokumen-dokumen tersebut akan
menghasilkan data, informasi dan fakta dampak negatif yang ditimbulkan oleh
kegiatan usaha yang bersangkutan dan sejauhmana pemantauan dan pengendalian
yang telah dilakukan terhadap dampak tersebut. Dari dokumen-dokumen tersebut
dapat diketahui pula, bagaimana hak dan kewajiban pengurus-pengurus
6
http://hukumonline.com/detail.asp?id=11222&cl=Fokus, 2008, Diakses tanggal 21
Desember 2014 7
http://hukumonline.com/detail.asp?id=11222&cl=Fokus, 2008, Diakses tanggal 21
Desember 2014
60
perusahaan tersebut, untuk memantau, mencegah dan mengendalikan dampak
negatif kegiatan perusahaan. Sehingga dari penelusuran itu, akan nyata pula
apakah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tersebut terjadi karena
kesengajaan atau karena kelalaian.8
Memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPLH yang menetapkan bahwa
kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup" dan
"berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai
pengelolaan lingkungan hidup. Ketentuan Pasal 46 UUPLH, menjadikan konsep
pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan
kepada badan hukum dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang
bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan
kepada para pemegang saham maupun para komisaris) secara bersama-sama,
dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya
pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.9
Korporasi dapat mengurangi resiko tanggung jawab lingkungan dari
operasi/kegiatannya sehari-hari, dengan cara :
1. memelihara hubungan kerjasama yang baik dengan badan (instansi) yang
melakukan pengawasan lingkungan. Pejabat (instansi) yang melakukan
pengawasan lingkungan bisanya memberikan kesempatan bagi korporasi untuk
memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukannya.
8
M. Husein Harun. Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan Penegakan
Hukumnya, (Jakarta: Bumi Aksara,1993), h. 180-181 9 Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau
Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003) h.
17-18
61
2. melakukan perbaikan sesegera mungkin terhadap perberitahuan pelanggaran
yang dilakuakn dan perbaikan tersebut didokumentasikan dengan baik.
3. mencari nasehat hukum sebelum merespon pemeriksaan oleh pejabat (instansi)
yang melakukan pengawasan lingkungan, agar dapat merespon secara tepat
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pejabat (instansi) tersebut.10
Direktur perusahaan tidak dapat melepaskan dirinya dari
pertanggungjawaban pidana dalam hal perusahaan yang dipimpinnya mencemari
dan atau merusak lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi dari ketentuan
Pasal 97 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang
menyatakan bahwa direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan.
Dalam melakukan tugas dan kewajibannya direksi harus melakukan kepengurusan
perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan, dan wajib dijalankan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”.11
Dari ketentuan pasal tersebut jelas terlihat adanya duty of care (tugas
mempedulikan) dari direksi terhadap perusahaan. Dalam hal ini duty of care
adalah antara lain :
1. direktur mempunyai kewajiban untuk pengelolaan perusahaan dengan itikad
baik good faith) dimana direktur tersebut harus melakukan upaya yang terbaik
dalam pengelolaan perusahaan sesuai dengan kehati-hatian (care) sebagaimana
orang biasa yang harus berhati-hati;
10
Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau
Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003) h.
17-18 11
Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002), h.
425
62
2. kewajiban atas standar kehati-hatian ditentukan oleh kewajiban seorang
direktur ssuai dengan penyelidikan yang rasional.12
Kegagalan untuk melaksanakan duty of care tersebut dengan sendirinya
merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apakah
perbuatan tersebut sebenernya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia, oleh
karena pemegang kepercayaan diharuskan untuk menerapkan standar perilaku
yang lebih tinggi dan dapat diminta pertanggungjawabannya berdasarkan doktrin
constructive fraud untuk pelanggaran fiduciary duty.13
Dengan demikian direktur tidak dapat melepaskan diri dari
pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan. Hal ini disebabkan direksi memiliki “kemampuan” dan “kewajiban”
untuk mengawasi kegiatan korporasi termasuk kewajiban untuk melakukan
pelestarian fungsi lingkungan hidup.14
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Kasus Lumpur Lapindo.
1. Konsep Pertanggungjawaban Bisnis Dalam Islam
Tanggung jawab dalam bahasa Arab semakna dengan kata (مسؤلية)
yaitu pertanggungjawaban, (ضبخ) yaitu pertanggungan.15
12
Alvi Syahrin. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau
Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003) h.
21 13
Alvi Syahrin. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau
Kerusakan Lingkungan Hidup Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003), h.
21 14
Alvi Syahrin. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau
Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003) h.
21 15
Asod M. Alkalali, Kamus Indonesia Arab, (Jakarta, Bulan Bintang, 1987), h. 544.
63
Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa) boleh
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya.16
Menurut pengertian dari beberapa pakar bahwa tanggung jawab
mempunyai arti sebagai berikut:
a. K. Bertens, memberikan definisi sebagai berikut: “Bertanggung jawab
berarti dapat menjawab, bila ditanyai tentang perbuatan-perbuatan yang
dilakukan. Orang yang bertanggung jawab dapat diminta penjelasan
tentang tingkah lakunya dan bukan saja ia bisa menjawab melainkan ia
harus menjawab. Tanggung jawab berarti bahwa orang tidak boleh
mengelak, bila diminta penjelasan tentang perbuatannya. Jawaban itu
harus diberikan kepada diri sendiri, masyarakat dan Tuhan”.17
b. Peter Pratley, memberikan definisi sebagai berikut:“Tanggung jawab
pribadi adalah bahwa seseorang hanya bertanggung jawab untuk hal-hal
yang ia betul-betul rencanakan dan lakukan, tidak untuk apa yang terjadi
sesudahnya. Jadi seseorang hanya bertanggung jawab untuk tujuannya
dan apa yang dia lakukan, tetapi tidak untuk kejadian yang terkait serta
kejahatan dan kerusakan berikutnya. Apa yang terjadi sesudahnya tidak
pernah hanya disebabkan oleh satu pelaku, tetapi dianggap sebagai akibat
dari hubungan yang rumit antara beberapa unsur, sarana dan keadaan”.18
16
Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta : Balai
Pustaka , 1994), h. 104. 17
K. Bertens, Etika, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 125. 18
Peter Pratley, The Essens of Business Ethics, Telah Diterjemahkan oleh Gunawan
Prasetio, Etika Bisnis, (Yogyakarta : Penerbit Andi Kerja sama dengan Simon & Schuster (Asia),
1997), h. 104.
64
c. Drs. O. P. Simarangkir, mendefinisikan sebagai berikut:“Tanggung
jawab adalah kewajiban menaggung atau memikul segala-galanya yang
menjadi tugas, dengan segala akibat dari tindakan yang baik maupun
yang buruk. Dalam hal tindakan atau perbuatan yang baik, maka
tanggung jawab berarti menjalankan kewajiban atau perbuatan-perbuatan
itu dengan baik. Dalam hal ini tindakan atau perbuatan yang buruk maka
tanggung jawab berarti wajib memikul akibat tindakan atau perbuatan
yang buruk itu”.19
d. Syed Nawab Haider Naqvi, beliau mendefinisikan sebagai berikut:
“Pertangungjawaban merupakan suatu prinsip dinamis yang berhubungan
dengan perilaku manusia. Manusia harus berkembang untuk mencapai
kesempurnaan, dan seseorang tak perlu harus terikat dengan masa
lampaunya ataupun terkurung dalam batas-batas masanya”.20
e. Rafik Issa Beckun, seperti dikutip Muhammad, R. Lukman Fauroni,
mendefinisikan sebagai berikut: “Konsepsi tanggung jawab dalam Islam
mempunyai sifat berlapis ganda dan terfokus baik pada tingkat mikro
(individual) maupun tingkat makro (organisasi dan sosial) yang keduanya
harus dilakukan secara bersamasama.”21
19
O.P. Simorangkir, Etika Bisnis Jabatan dan Perbankan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003),
h. 150. 20
Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics An Islamic Synthesis, Diterjemahkan
oleh Husain Anis dan Asep Nikmat, (Bandung : Mizan, 1985), h. 87. 21
Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, (Yogyakarta
: Salemba Diniyah, 2002), h. 17.
65
Dari pengertian beberapa pakar tersebut, dapat dibedakan sebagai
berikut :
a. K. Bertens, memberikan kriteria tanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukan. Jawaban itu diberikan kepada diri sendiri, masyarakat, dan
Tuhan.
b. Peter pratley, memberikan kriteria tanggung jawab pribadi yaitu
seseorang bertanggung jawab atas sesuatu yang direncanakan dan
dilakukan.
c. Drs. O.P Simorangkir, memberikan kriteria tanggung jawab yaitu
kewajiban menanggung tugas dengan segala akibat yang baik maupun
yang buruk.
d. Syed Nawab Haider Naqvi, memberikan kriteria tanggung jawab yaitu
perbuatan yang berhubungan dengan perilaku manusia.
e. Rafik Issa Beekun, memberikan kriteria tanggung jawab mikro maupun
makro yang harus dilaksanakan secara bersama-sama.
Bila ditelusuri dalam Al-Qur‟an maupun Hadits dasar hukum
mengenai tanggung jawab bisnis secara tekstual tidak ditemukan akan tetapi
jika ditelusuri lebih jauh dari segi kontekstual maka secara tersirat terdapat
di dalamnya.
Adapun dasar hukum tanggung jawab bisnis, di antaranya sebagai
berikut:
66
a. Prinsip Kesatuan
Kesatuan di sini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan
dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek
kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi
suatu keseluruhan yang homogen serta mementingkan konsep konsistensi
dan keteraturan yang menyeluruh.22
Produsen tidak akan berlaku serakah
karena pada hakekatnya harta yang dimilikinya, merupakan amanat.
Dalam bidang ekonomi dan bisnis amanat merupaka niat atau itikad yang
perlu diperhatikan, baik dalam mengelola sumber-sumber alam dan
manusia secara makro, maupun dalam mengemudikan suatu perusahaan.
Banyak ayat atau hadits yang menunjukkan demikian antara lain firman
Allah dalam Al-Qur‟an :
طشح ي ق انقبطش ان انج انسبء اد ي نهبط حت انش ص
انحشث رنك عبو ال يخ س م ان انخ خ انفض ب انزت يتبع انحبح انذ
آة ان ذ حس ع الل Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan ) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingininya, yaitu : wanita-wanita, anak-anak,
harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan
binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat
kembali yang baik (surga).23
(Q.S. Ali Imran:14)
Diperhiaskan bagi manusia kesukaan kepada barang yang
diingini. Di sini telah terdapat tiga kata. Pertama, Zuyyina, artinya
diperhiaskan. Maksudnya segala barang yang diingini itu ada baiknya
dan ada buruknya, tetapi apabila keinginan telah timbul yang kelihatan
22
Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis,h. 11 23
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, Jakarta : 1971), h. 77
67
hanyalah baiknya saja dan lupa akan buruknya. Kata kedua ialah Hubb,
artinya kesukaan atau kecintaan. Kata ketiga ialah Syahwat, yaitu
keinginan-keinginan yang menimbulkan selera yang menarik nafsu untuk
memilikinya. Maka disebutkan di sini enam macam hal yang manusia
sangat menyukainya, karena ingin mempunyai dan menguasainya,
sehingga yang nampak oleh manusia hanyalah keuntungan saja tanpa
mempedulikan kesusahannya.
Manusia semuanya mempunyai keinginan terhadap harta.
Keinginan terhadap harta tidaklah terbatas padahal hidup itu terbatas.
Kalau manusia tidak membatasi seleranya sampai mati dia tidak akan
merasa puas dengan yang ada. Sehingga manusia menumpahkan seluruh
tujuan hidup untuk itu sehingga lupa akan yang lebih penting. Oleh sebab
itu Allah memberi peringatan dengan lanjutan ayat yang demikian itulah
perhiasan hidup di dunia. Tegasnya bahwasannya semua itu hanyalah
perhiasan hidup di dunia niscaya usianya akan habis untuk itu, sedangkan
perhiasan untuk di akhirat kelak dia tidak sedia. Padahal di belakang
hidup yang sekarang ini ada lagi hidup yang akan dihadapi, yakni
kehidupan akhirat. Allah menegaskan namun di sisi Allah ada (lagi)
sebaik-baik tempat kembali. Di ujung ayat diterangkan bahwa ada lagi
yang lebih penting sebab selama hidup di dunia kita pasti kembali kepada
Allah.24
24
Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD
1999). h. 719-725.
68
Dalam kehidupan didunia, seseorang mempunyai tanggung jawab
pada dirinya, keluarga, masyarakat dan negara. Bahkan
bertanggungjawab kepada agamanya. Tanggung jawab ini digariskan
oleh Allah dan dipertanggungjawabkan pula kepada-Nya. Karena itu niat
bekerja atau berusaha harus didasarkan karena Allah. Bila niat ditujukan
karena Allah, maka akan memiliki dimensi ibadah, yang tentunya akan
mendapatkan imbalan pahala dari Allah, di samping imbalan material
karena usahanya.25
Dengan prinsip ini, maka pengusaha muslim selalu memantapkan
itikad baiknya dalam melakukan usaha dagangnya. Tujuan dan cita-
citanya bukanlah sekedar memperoleh laba yang menggembirakan,
melainkan tertuju pula kepada suatu harapan yang lebih mulia. Usahanya
itu karena Allah. apabila ia memperoleh laba, maka keuntungannya itu
akan digunakan pada jalur yang diridhai Allah sebagai sarana taqarrub
kepada-Nya. Itikad baiknya itulah yang membawa dia kepada
keberkahan usahanya.26
b. Prinsip Keseimbangan (keadilan)
Keseimbangan atau keadilan menggambarkan dimensi horizontal
ajaran Islam yang berhubungan dengan keseluruhan harmoni pada alam
semesta. Sifat keseimbangan atau keadilan bukan hanya sekedar
25
Rusydi , “Etos Kerja dan Etika Usaha Perspektif Al-Qur‟an “, dalam Firdaus Effendi
(eds.) Nilai dan Makna Kerja dalam Islam, (Jakarta : Nuansa Madani, 1999), h. 101 26
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 429
69
karakteristik alami. Melainkan merupakan karakteristik dinamis yang
harus diperjuangkan oleh setiap muslim dalam kehidupannya.27
Perilaku keseimbangan dan keadilan dalam bisnis secara tegas
dijelaskan dalam konteks bisnis klasik agar pengusaha muslim
menyempurnakan takaran bila menakar dan menimbang dengan neraca
yang benar, karena hal itu merupakan perilaku yang terbaik dan
membawa akibat yang baik. Sebagaimana dalam firman Allah dalam Al-
Qur‟an :
ل تؤ أحس ش ستقى رنك خ صا ثبنقسطبط ان م إرا كهتى فا انك أ
Artinya: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan
timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”28
(Q.S Al-Israa : 35)
Ditegaskan di dalam ayat ini supaya seorang mu‟min hendaklah
secara jujur menggunakan timbangan. Jangan ada tipu, jangan sampai
merugikan. Itulah yang baik sebab dengan begitu ada rasa tenteram pada
kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli. Keuntungan yang
didapat ialah dengan kejujuran. Dan kejujuran itulah inti kekayaan yang
sejati yang membawa kemakmuran. Ahli ekonomi modern pun sampai
kepada kesimpulan bahwa yang baik itu ialah yang tegak di atas
kejujuran. Sebaik-baik kesudahan adalah kemakmuran yang merata,
27
Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, h . 12. 28
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 429
70
itulah tujuan masyarakat yang dikehendaki Islam. Ekonomi Islam dapat
tercapai dengan sebenarnya kalau didasarkan atas kejujuran.29
Pada struktur ekonomi dan bisnis, agar kualitas keseimbangan
dapat mengendalikan semua tindakan manusia maka adanya prinsip
keseimbangan menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi dan bisnis
dalam genggaman segelintir orang. Sebagaimana firman Allah dalam
Al-Qur‟an :
نز انقشث سل نهش م انقش فهه أ ي عه سسن يب أفبء الل
دنخ ث ل ك جم ك انس اث سبك ان انتبي يب كى الغبء ي
شذذ الل إ اتقا الل تا فب يب بكى ع سل فخز ءاتبكى انش
انعقبة
Artinya : “Apa saja harta rampasan (fa‟i) yang diberikan Allah kepada
Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah
untuk Allah, Rasul, Kerabat Rasul, orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan
Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-
Nya.30
(Q.S. Al-Hasyr : 7)
Mengapa harta itu dibagi demikian rupa, supaya dia jangan hanya
beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu. Telah menjadi
kebiasaan di zaman jahiliyah jika terjadi peperangan dan musuh dapat
dikalahkan maka yang pertama berhak atas harta benda itu hanyalah para
pemimpin saja. Adapun para prajurit hanya diberi sekedar belas kasihan
29
Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 4056-4057 30
Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h.916
71
dari pemimpin yang telah kaya. Janganlah yang kaya bertambah kaya dan
yang miskin hanya menyaksikan kekayaan orang yang sudah kaya.31
c. Prinsip Kehendak Bebas/Ikhtiyar
Prinsip kehendak bebas memberikan keleluasaan untuk membuat
transaksi sesuai dengan daya dan kemampuan yang dimilikinya. Namun
bukan bebas dalam pengertian sebebas-bebasnya, karena hal ini
berhubungan dengan pertanggungjawaban. Dengan adanya konsep
kehendak bebas yang bertanggungjawab, secara logis menuntut suatu
keadilan dan selalu berupaya mempertahankan kualitas keseimbangan
dalam masyarakat bisnis maupun masyarakat lain.32
Kebebasan di sini dalam pengertian bahwa secara sadar dan tanpa
adanya paksaan pada pelaku bisnis mengoptimalkan upaya-upaya
bisnisnya. pada konteks ini karena berada dalam kesadaran maka
membuat suatu transaksi atau perjanjian bisnis yang dibuatnya, maka ia
harus dapat memenuhi semua janji-janji tersebut sebagaimana firman
Allah dalam al-Qur‟an :
ذ فا ثبنع أ حت جهغ أشذ أحس ل تقشثا يبل انتى إل ثبنت يسئل إ ذ كب انع
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali
dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai dia dewasa
dan penuhilah janji sesungguhnya janji itu pasti akan diminta
pertanggungjawabannya.” (Al-Israa : 34). 33
31
Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 7257 32
Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, h. 125 33
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 429
72
Di ujung ayat ini diperingatkan bahwa hidup manusia didunia ini
selalu terikat dengan janji-janji. Maka janganlah mudah membuat janji,
kalau janji itu tidak akan terpenuhi. Di dalam janji terkandung amanat.
Dan Tuhan pun memberikan didikan untuk memenuhi janji itu pada
kehidupan sehari-hari. Kalau kita telah biasa memenuhi janji dengan
Allah niscaya kita biasa memenuhi janji dengan sesama manusia. Di
ujung ayat ditegaskan bahwa setiap perjanjian itu akan ditanya, artinya
akan dipertanggungjawabkan.34
Suatu transaksi atau perjanjian bisnis walaupun secara nyata
berhubungan dengan sesama tetapi pada hakekatnya merupakan
perjanjian dengan masyarakat, negara dan bahkan Allah. Inilah salah satu
makna prinsip kebebasan dan pertanggungjawaban.
d. Prinsip Kebenaran, Kebajikan dan Kejujuran.
Dari sikap kebenaran, kebajikan dan kejujuran, maka suatu bisnis
secara otomatis akan melahirkan persaudaraan. Kemitraan antara pihak
yang berkepentingan dalam bisnis yang saling menguntungkan, tanpa
adanya kerugian dan penyesalan sedikitpun. Bukan melahirkan situasi
dan kondisi permusuhan dan perselisihan yang diwarnai dengan
kecurangan. Dengan demikian kebenaran, kebajikan dan kejujuran dalam
semua proses bisnis akan dilakukan secara transparan dan tidak ada
rekayasa.35
34
Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 4055.
35
Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, h .21
73
Dengan prinsip kebenaran ini, maka etika bisnis Islam sangat
menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian
salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerja sama, atau perjanjian
dalam bisnis. Al-Qur‟an menegaskan agar dalam bisnis tidak dilakukan
dengan cara-cara yang mengandung kebathilan, kerusakan, dan
kedhaliman, sebaliknya harus dilakukan dengan kesadaran dan
kesukarelaan.36
Suatu kaidah yang merupakan sumber dalam pelaksanaan hukum
mengenai pertanggungjawaban perdata dan penuntutan terhadap
pelanggaran, merupakan suatu dasar bagi kaidah umum yang sudah tetap
sebagai suatu pokok dari pokok-pokok syari‟at Islam yang telah diakui
oleh semua golongan.37
Kaidah tersebut adalah :
ل ضشس ل ضشسArtinya: “Tidak dibolehkan timbulnya kerusakan (kerugian) dan tidak
boleh pula adanya perusakan.”
انضشسضال Artinya: “Kerugian harus ditiadakan.”
انضشس يشفع ثقذس اليكب Artinya: “Kerugian harus ditolak semaksimal mungkin.”
انضشس انحبضش تحم نذفع انضشس انعبو Artinya:“Kerugian bagi orang-orang tertentu boleh dilakukan demi
untuk menghindarkan kerugian bagi umum.”
36
Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, h. 22 37
Mahmud Sjaltout, Al-Islam Aqidah wa Syari‟ah, diterjemahkan oleh H. Bustami A.
Gani, Djohar Bahry L.I.S, “Islam Sebagai Akidah dan Syari‟ah”, Jilid IV, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1970), h. 95
74
Kaidah-kaidah ini mempunyai pengaruh besar dalam
pelaksanaanprinsip-prinsip pertanggungjawaban mengenai sesuatu
kerusakan ataukerugian, di samping besar pula pengaruhnya dalam
menolakpertanggungjwaban.
2. Konsep Ekonomi Islam tentang Pemeliharaan Lingkungan
Seyyed Hossein Nasr mengkritik budaya materialisme yang melekat
dalam perilaku ekonomi negara-negara maju. Menurutnya, peniadaan
sakralitas dalam era modern merupakan salah satu faktor utama terjadinya
krisis ekologi dan proses dehumanisasi yang menyertainya seperti yang
diderita oleh manusia dewasa ini.38
Secara artikulatif, Nasr membongkar
akar-akar budaya modernitas yang dianggapnya sebagai penyebab
tercerabutnya pandangan tradisional religius terhadap alam semesta, yakni
alam sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan.39
Berbeda dari wacana dan corak kritik terhadap modernitas yang
akhir-akhir ini banyak dilontarkan oleh berbagai kelompok studi yang sering
kali terlepas atau terhenti pada aspek kognitif-konseptual, kritik dan koreksi
yang dilontarkan oleh kelompok agama-agama, menurut Amin Abdullah,
mempunyai dimensi praktis. Konsepsi yang ditawarkan oleh agama
biasanya lebih menitikberatkan kepada dimensi praktis (tingkah manusia).40
Lebih jauh, menurutnya, Al-Qur‟an lebih banyak ditujukan kepada manusia
dan tingkah lakunya, dan bukan ditujukan kepada Tuhan. Kritik dan koreksi
38
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Second, (Lahore: Suhail Academy Press.
1988), h. 6. 39
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Second, h. 75. 40
M. Amin Abdullah, “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif Islam,” dalam
Khazanah, Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005, h.116
75
terhadap rasio modernitas yang dihubungkan secara langsung dengan
bimbingan tingkah laku yang bersifat praktis-imperatif merupakan ciri kritik
kelompok agama-agama terhadap teori dan budaya modernitas. Dengan kata
lain, keterkaitan antara dimensi intelektual dan praktikal, antara teori dan
praktis, seharusnya lebih mewarnai corak pemikiran keagamaan. Upaya
untuk menyatukan pemikiran dan perbuatan merupakan problem yang
begitu mendasar dalam diskursus filsafat kontemporer.41
Etika dalam Islam tidaklah didasari oleh nilai-nilai yang terpisah,
dimana setiap nilai, seperti kejujuran dan kebenaran, berdiri terisolasi dari
yang lain. Namun, nilai dalam Islam adalah bagian dari cara hidup yang
komprehensif dan total, yang memberikan petunjuk dan kontrol dari
kegiatan manusia. Kejujuran adalah nilai etis, seperti juga menjaga
kehidupan, menjaga lingkungan, dan memelihara perkembangan di dalam
yang diperintahkan oleh Allah. Ketika Aisyah, istri Nabi Muhammad
ditanya mengenai etika nabi, dia menjawab: “Etika Nabi adalah seluruh Al-
Qur‟an”. Al-Qur‟an tidak mengandung nilai-nilai etika yang terpisah-pisah;
sebaliknya, ia mengandung instruksi untuk cara hidup yang menyeluruh
sebagai worldview. Di dalamnya terdapat prinsip-prinsip politik, sosial dan
ekonomi berdampingan dengan instruksi untuk perlindungan alam.
Dalam Islam, hubungan antara individu dengan lingkungan
dibangun oleh persepsi moral tertentu. Ini berangkat dari penciptaan
manusia dan peran yang diberikan oleh Allah kepada mereka di atas bumi
41
M. Amin Abdullah, “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama: Tinjauan Pertautan
antara “Teori” dan “Praxis”, dalam Al-Jami‟ah, No. 46, 1991, h. 91-92.
76
(Khalifat Allah fi al-‟Ardl). Dari awal manusia memang tidak dapat
dipisahkan dari alam. Bahkan ditegaskan bahwa ”…Allah telah membuat
kamu tumbuh dari bumi, dan kemudian mengembalikan kamu kepadanya,
dan dia akan membuat lagi yang baru. Dan Allah telah membuat bumi
sangat luas sehingga kamu dapat berjalan di atasnya.” (71:17-20). Dengan
demikian, bumi dan komponen-komponennya yang beraneka ragam
diciptakan oleh Allah di mana manusia adalah bagian penting dari
ciptaanNya tersebut.
Peran manusia tidak hanya untuk menikmati, menggunakan dan
memanfaatkan lingkungan, namun juga dituntut untuk menjaga keselarasan
alam yang telah diciptakan oleh Allah. Dalam hal ini, keselarasan tersebut
terdiskripsikan dalam al-Qur‟an: ”Bukankah Dia yang telah membuat bumi
tempat yang stabil, dan menempatkan sungai-sungai di atasnya, dan
menempatkan gunung-gunung di atasnya, dan telah menempatkan pemisah
antara dua lautan? Adakah Tuhan selain Allah? Tidak, tetapi kebanyakan
mereka tidak tahu!” (27:61)
Menurut Quraish Shihab, etika pengelolaan lingkungan dalam Islam
adalah mencari keselarasan dengan alam, sehingga manusia tidak hanya
memikirkan kepentingan diri sendiri, namun menjaga lingkungan dari
kerusakan. Setiap kerusakan lingkungan haruslah dilihat sebagai perusakan
terhadap diri. Sikap ini, kata Shihab, berbeda dengan sikap sebagian
teknokrat yang memandang alam sebagai alat untuk mencapai tujuan
77
konsumtif.42
Secara praksis, tuntutan moral Islam untuk menjaga
keselarasan alam adalah larangan berperilaku serakah dan menyia-nyiakan
(tabdzir).
Sebagai ciptaan yang lebih rendah daripada manusia, alam ini
disediakan oleh Tuhan bagi kepentingan manusia untuk kesejahteraan
hidupnya, baik yang bersifat spiritual maupun yang bersifat material. Al-
Qur‟an menggambarkan: ”Dialah yang telah membuat bumi patuh
kepadamu, maka berjalanlah dan makanlah dari yang tersedia” (67:15);
Bumi juga dilukiskan sebagai tempat yang menerima: ”Kami tidak membuat
bumi melainkan sebagai tempat bagi yang hidup maupun yang mati”
(77:25-26). Bahkan lebih penting lagi, yakni sebagai pemenuhan kebutuhan
manusia yang bersifat spiritual, bumi dianggap sebagai sesuatu yang suci
dan tempat untuk beribadat kepada Allah. Nabi Muhammad berkata: ”Bumi
dibuat untukku (dan umat Islam) sebagai tempat sembahyang dan untuk
mensucikan.” Ini artinya bahwa bumi pada dasarnya adalah tempat yang
suci, bahkan tanah (debu) dapat digunakan untuk bersuci (ketika tidak ada
air).
Manusia harus mengamati alam raya ini dengan penuh apresiasi,
baik dalam kaitannya dengan keseluruhannya yang utuh maupun dalam
kaitannya dengan bagiannya yang tertentu, semuanya sebagai ”manifestasi”
Tuhan (perkataan Arab ‟alam memang bermakna asal ”manifestasi”), guna
menghayati keagungan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai dasar peningkatan
42
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Jakarta: Mizan, 2005), h. 296-7
78
kesejahteraan spiritualitas. Dengan memperhatikan alam itu, terutama gejala
spesifiknya, manusia dapat menemukan patokan dalam usaha
memanfaatkannya (sebagai dasar kesejahteraan material, melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi). Dengan prinsip ini, manusia dapat mengemban
tugas membangun dunia ini dan memeliharanya sesuai dengan hukum-
hukumnya yang berlaku dalam keseluruhannya secara utuh (tidak hanya
dalam bagiannya secara parsial semata), demi usaha mencapai kualitas
hidup yang lebih tinggi. Di sinilah letak relevansi keimanan untuk wawasan
lingkungan, atau environmentalism.
3. Analisis Kasus Lumpur Lapindo Menurut Hukum Islam
Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam sudut Syari‟at Islam
adalah pembebasan seseorang dengan hasil akibat perbuatan atau tidak
perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia
mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatan itu.
Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas tiga hal : pertama
adanya perbuatan yang dilarang, kedua dikerjakan dengan kemauan sendiri,
ketiga pembuatnya mengetahi akibat perbuatannya tersebut.43
Dengan adanya syarat-syarat tersebut, maka kita dapat mengetahui
bahwa yang dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana hanya
manusia, yaitu manusia yang berakal pikiran, dewasa dan berkemauan
sendiri. Oleh karena itu tidak ada pertanggungjawaban bagi kanak-kanak,
43
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006) cet ke-2,
h. 119
79
orang gila, orang dungu, orang yang sudah hilang kemauannya dan orang
yang dipaksa atau terpaksa.44
Adanya perbuatan yang dilarang berdasarkan adanya peraturan yang
kita kenal dengan asas legalitas dalam Hukum Pidana Islam dapat kita
ketahui dari salah satu kaidah dalam Islam yaitu :
حكى لفعبل انعقلء قجم سد انصل Artinya: ”Sebelum ada nash, maka tidak ada hukum bagi perbuatan orang-
orang yang berakal sehat”.45
Pengertian dari kaidah ini bahwa perbuatan orang-orang yang cakap
(mukallaf) tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilarang, selama
belum ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan ia mempunyai kebebasan
untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya sehingga ada nash
yang melarangnya.
Pengertian kaidah tersebut diatas identik dengan kaidah lain
berbunyi:
الصم ف الشبء الإثبحخ إل انذنم عه تحشArtinya :”Pada dasarnya semua perkara dibolehkan sehingga ada dalil yan
menunjukkan keharamannya”46
Kaidah tersebut mempunyai pengertian bahwa semua sifat dan
perbuatan tidak diperbolehkan dengan kebolehan asli, artinya bukan oleh
kebolehan yang dinyatakan oleh syara‟. Dengan demikian selama tidak ada
nash yang melarangnya maka tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan
44
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006) cet ke-2,
h. 119 45
Abdul Qadir Audah, „At Tasyri‟ Al Jina‟iy Al Islamiy, Juz I, (Beirut: Daar Al-Kitab, t.t,),
h. 115 atau Lihat : Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam –Fikih
Jinayah- (Jakarta, Media Grafika, 2006) Cet ke-2 h. 29 46
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 30
80
dan sikap tidak berbuat tersebut. Kita dapat melihat hal ini dari kaidah lain
yang berbunyi :
ل كهف ششعب إل ي كب قبدسا عه فى دنم انتكهف أل نى كهف ث ل
نهكهف يعهو ن عهبحه عه ايتثبنكهف ششعب إل ثفعم يك يقذس
Artinya: ”Menurut syara‟ seseorang tidak dapat diberi pembebanan (taklif)
kecuali apabila ia mampu memahami dalil dalil taklif dan cakap
untuk mengerjakannya. Dan menurut syara‟ pula seseorang tidak
dibebanitaklif kecuali dengan pekerjaan yang mungkin
dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui oleh mukallaf dengan
pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk melakukan perbuatan
tersebut”.47
Kaidah ini menyatakan tentang syarat-syarat yang harus terdapat
pada pelaku dalam kedudukannya sebagai orang yang bertanggung jawab
dan pada perbuatan yang diperintahkan, adapun syarat untuk pelaku
mukallaf itu ada dua macam : pertama pelaku sanggup memahami nash-
nash syara‟ yang berisi hukum taklifi; kedua pelaku orang yang pantas
dimintai pertanggungjawaban dan dijatuhi hukuman Sedangkan syarat untuk
perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam : pertamaPerbuatan itu
mungkin dikerjakan, kedua, perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni
ada dalam jangkauan kemampuan mukallaf, baik untuk mengerjakannya
maupun untuk meninggalkannya, ketiga perbuatan tersebut diketahui
mukalaf dengan sempurna.48
Asas legalitas yang didasarkan kaidah tersebut diatas bersumberkan
dari Al-Qu‟ran. Beberapa diantaranya dapat kita temukan pada Surat Al-
47
Abdul Qadir Audah, „At Tasyri‟ Al Jina‟iy Al Islamiy, (Beirut: Daar Al-Kitab, t.t,) h.
116 48
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam h. 31 atau lihat : Ahmad Hanafi,
Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006) cet ke-2, h. 48
81
Israa‟ ayat 15, Surat Al-Baqarah ayat 286, dan dalam konteks pencurian
pada Surat Al-Maidah ayat 38. Surat Al-Israa‟ ayat 15
يب كب يع حت جعج سسل ث زArtinya: ”Dan kami tidak menghukum manusia sebelum kami mengutus
seorang rasul”. (QS. Al-Israa‟ : 15)
ى ءابتب ب سسل ته عه هك انقش حت جعج ف أي سثك ي يب كب
Artinya: ”Dan tidaklah tuhanmu menghancurkan kota-kota sebelum
diamengutus di ibukotanya, seorang rasul yang membacakan ayat-
ayat kami”. (QS. Al-Qashash: 59)
Dari ayat tersebut Ibnu Katsir, Thabari, al-Qurthubi, al-Maraghi, dan
Ali As-Shabuni menyimpulkan bahwa hukuman Allah hanya berlaku manakala
sudah didahului argumentasi yang telah ditetapkan dan disampaikan oleh para
rasul-Nya. Ini sebagai landasan normative bahwa hukum Allah semata-mata
keadilan bagi manusia sendiri. Dan setiap orang akan menerima sanksi hukum
akibat perbuatannya sendiri.49
Berdasarkan pesan inti ayat ini, para pakar hukum Islam (fuqaha),
menetapkan asas hukum pidana Islam yang berbunyi: la jarimata wala
'uqubata qabla wurudi an- nash (tidak ada suatu tindak pidana dan tidak ada
sanksi hukum selama belum ada ketentuan teks hukumnya).
Konsekuensi asas legalitas ini adalah bahwa tiada suatu perbuatan boleh
dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh
suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat
menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah
49
Muhammad Ali As-Shabuni, Shafwah At-Tafasir (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), jld. 2, h.
440-441
82
dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana. Dengan demikian, pada
dasarnya asas legalitas hukum Islam bukan berdasarkan akal manusia, tetapi dari
ketentuan Tuhan.
Asas legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan jenishudud
dengan sanksi hukum yang pasti. Asas ini juga diterapkan bagi kejahatan
qishash dan diyat dengan diletakkannya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai.
Karena itu, asas ini diyakini penuh berlaku untuk kedua kategori kejahatan
tersebut.
Dalam pandangan Nagaty Sanad, profesor hukum pidana dari Mesir,
asas legalitas dalam hukum Islam yang berlaku bagi kejahatan ta'zir merupakan
asas yang paling fleksibel, dibandingkan dengan asas lainnya.Hukum Islam
di samping menerapkan asas legalitas ini, juga melindungi kepentingan dua
kategori sebelumnya: ia menyeimbangan antara hak-hak individu, keluarga
dan masyarakat melalui kategorisasi kejahatan dan sanksinya.50
Sejak semula syariat Islam sudah mengenal badan hukum. Hal ini
terbukti dari kenyataan bahwa para fuqaha mengenalkan baitul mal
(perbendaharaan negara) sebagai “badan” (jihat) yakni badan hukum
(syaksunma‟nawi), Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa para fuqaha
mengenalkan baitul mal (perbendaharaan negara) demikian juga dengan
sekolahan-sekolahan dan rumah sakit-rumah sakit. Badan-badan ini
dianggap mempunyai hak-hak milik dan mengadakan tindakan-tindakan
tertentu terhadapnya. Akan tetapi badan-badan tersebut tidak dapat di bebani
50
Nagaty Sanad, The Theory of Crime and Criminal Responsibility in Islamic Law Saria
(Chicago: Office of International Criminal Justice, 1991), h. 41
83
pertanggungjawaban pidana, karena pertanggungjawaban ini didasarkan atas
adanya pengetahuan terhadap pilihan, sedangkan kedua perkara ini tidak
terdapat pada badan-badan hukum. Akan tetapi kalau terjadi perbuatan-
perbuatan yang dilarang dan yang keluar dari orang-orang yang betindak
atas nama badan hukum tersebut, maka orang-orang itulah yang
bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya.51
Hukum Islam dalam teori serta penerapannya cukup
sederhana.Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum
Islam dekat sekali dengan doktrin strictliabilityatau
liabilitywithoutfault(pertanggungan tanpa kesalahan). Dengan kata lain
hukum Islam tidak mementingkan faktor kesalahan (Guiltymind) baik
berupa kesengajaan (dolus) maupun kelalaian (culpa) dalam menjatuhi
hukuman pidana. Istilah dalam bahasa Indonesia yang digunakan adalah
pertanggungjawaban mutlak.52
Pertanggungjawaban pidana berdasarkan teori strict liability melihat
bahwa dalam membebani pertanggungjawaban bagi pelaku tidak perlu
adanya unsur kesalahan. Dalam hal ini, unsur kesalahan dapat dilihat dari
ada ada tidaknya unsur kesengajaan atau kelalaian didalamnya. Unsur
kesalahan dalam Islam dilihat dari ada tidaknya niatan dari pelaku tindak
pidana tersebut, seperti dalam hadis Nabi s.a.w:
51
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006) cet ke-2,
h. 119-120. 52
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers,
2006), h, h.27
84
إب العبل ثبنبد إب نكم ايشء يب 53
Ada tiga teori yang menjelaskan mengenai kesengajaan dan
kekeliruan. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :
a. Teori Imam Malik
Teori ini memisahkan antara jarimah sengaja dan jarimah tidak
sengaja. Pada kedua keadaan ini pembuat bertanggungjawab atas akibat
yang terjadi. Pemisahan terhadap jarimah ini tidak terletak pada
perbuatan materiil itu sendiri yang dikerjakan pembuatnya, melainkan
terletak pada niatan pembuat saat melakukan perbuatannya.54
Jika si pembuat mempunyai niatan hendak melawan hukum
(menyalahi syari‟at) maka perbuatannya dianggap sengaja dan apabila
tidak mempunyai niatan maka tidak dianggap sengaja. Apabila perbuatan
si pembuat mengakibatkan kematian, maka ia bertanggungjawab atas
kematiannya dan jika berakibat hilangnya anggota badan atau
kegunaannya maka bertanggungjawab pula atas demikian.
Menurut Imam Malik, pembuat jarimah harus bertanggungjawab
atas perbuatannya yang disengaja, baik itu sendiri dikehendaki (dicari)
atau tidak, diniatkan sebelumnya atau tidak, baik akibat-akibat tersebut
sangat mungkin terjadinya atau jarang-jarang terjadi.55
53
Imam Al-Bukhary, hadis no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689 dan 6953, Imam Muslim
no. 3530 54
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967),
hlm 168 55
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 169
85
b. Teori Hanafi
Dasar pemisahan jarimah menurut mazhab Hanafi antara jarimah
sengaja dan jarimah tidak sengaja terletak pada niatan si pembuat.
Apabila pada perbuatanya mengandung unsur sengaja melawan hukum
maka perbuatan tersebut disebut jarimah sengaja. Jika unsur sengaja
melawan hukum tidak ada maka bukan jarimah tidak sengaja.
Pada jarimah selain pembunuhan, para fuqaha hanya
mensyaratkan kasad umum, yaitu di mana pembuat dengan sengaja
melakukan suatu perbuatan di mana ia mengetahui bahwa perbuatan
tersebut dilarang. Apabila kasad tersebut ada maka pembuat
bertaanggungjawab atas akibat dari perbuatannya, baik dikehendaki atau
tidak, baik sangat besar kemungkinannya terjadi atau jauh
kemungkinannya terjadi.56
c. Teori Imam Syafi‟i
Pendapat ini memisahkan antara jarimah sengaja dengan jarimah
semi sengaja. Pembuat dianggap melakukan jarimah sengaja, selama ia
dengan sengaja mengadakan perbuatannya dan menghendaki pula
hilangnya nyawa korban. Akan tetapi, jika dengan sengaja melakukan
perbuatannya dengan tidak menghendaki hilangnya nyawa si korban,
tetapi terjadi hilangnya nyawa korban meskipun perbuatnnya tidak
56
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 170
86
membawa kematian, maka perbuatan tersebut termasuk jarimah semi
sengaja.57
Pada dasarnya unsur semi sengaja terdiri dari unsur, kesengajaan
dan kelalaian (al-khata‟), karena pembuat dengan sengaja melakukan
perbuatan tetapi tidak menghendaki akibat-akibatnya dan karena akibat
pada perbuatan semi sengaja tidak ditimbulkan dari perbuatan itu. Dapat
diartikan juga bahwa si pembuat melakukan perbuatan tersebut, tetapi dia
lalai dalam memperhitungkan akibat dari perbuatnya.
Pertanggungjawaban dari perbuatan semi sengaja ini adalah si pembuat
bertanggungjawab atas akibat-akibat yang dikehendaki dengan
perbuatanya. Disamping itu,juga bertanggungjawab atas akibat yang
ditimbulkan oleh perbuatannya meskipun tidak dikehendaki.
Dalam hukum pidana Islam pertanggungjawaban terhadap korporasi
dibebankan kepada orang-orang yang bertindak atas nama badan hukum.
Pertanggungjawaban dilihat dari tiga unsur yaitu, kemampuan
bertanggungjawab, kesalahan, dan unsur pemaaf. Untuk menentukan adanya
kesalahan dilihat dari ada tidaknya unsur kesengajaan atau kelalaian. Unsur-
unsur tersebut dapat dikaitkan dengan asas strict liability. Selain itu, tindak
pidana korporasi hanya dapat dilakukan dengan penyertaan. Artinya bahwa
korporasi tidak dapat melakukan tindakan dengan sendiri tetapi ada
seseorang yang turut berbuat jarimah (al-istirak fi al-jarimah). Sehingga
dalam penentuan pertanggungjawabannya didasari pada adnya perbuatan
57
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 171
87
yang dapat menghapuskan pidana. Dalam hal ini adalah karena perintah
jabatan, daya paksa dan ancaman.
Islam telah mengatur mengenai perlindungan terhadap korban tindak
pidana (jarimah). Perlindungan tersebut berdasarkan prinsip al- maqasid as-
syari‟ahyang mengutamakan kemaslahatan yang terdiri dari lima hal, yaitu
hifz al-Din, hifz al-Nafs, hifz al-Mal, hifz al-„Aql, hifz al-Nasl.
Kasus semburuan lumpur Lapindo erat kaitannya dengan kerusakan
lingkungan hiudp. Persoalan lingkungan hidup dalam khazanah ilmu fiqh
tidak dibahas dan dikaji secara khusus dalam bab tersendiri sebagaimana
masalah puasa, zakat, sholat, haji, pernikahan, warisan, jual beli, hutang
pihutang, karena ketika fiqh dirumuskan pada abad dua hijirah, lingkungan
hidup belum menjadi masalah yang menarik perhatian para ahli hukum
Islam dan tidak ada pengrusakan lingkungan yang mengancam kehidupan
manusia.
Kerusakan lingkungan hidup terjadi setelah alam dieksploitasi
terutama untuk kepentingan industrialisasi. Setelah lingkungan hidup telah
menjadi masalah yang serius hingga mengancam kelangsungan kehidupan
manusia, maka perlu dikaji ulang prinsip, norma , nilai dan ketentuan
hukum dari khazanah fiqh yang ada relevansinya dengan persoalan
lingkungan hidup. Fiqh adalah penjabaran nilai-nilai ajaran Islam yang
berlandaskan al-Qur‟an dan al-Hadits yang merupakan hasil ijtihad para ahli
hukum Islam dengan menyesuaikan perkembangan,
kebutuhan,kemaslahatan umat dan lingkungannya dalam ruang dan waktu
88
yang melingkupinya.Dengan kata lain, fiqh sebagai hukum Islam yang
ijtihadi.
Oleh sebab itu, fiqh bersifat tatawur (berkembang) sesuai dengan
kapasitas daya nalar manusia dan perkembangan zaman. Tujuan hukum
Islam ditetapkan hidup manusia agar dapat mencapai kemaslahatan atau
kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrowi. Berdasar tujuan ini, ilmu fiqh
(hukum Islam) secara garis besar memuat ketentuan hukum menjadi empat
bidang Pertama. Bidang ibadah yaitu bagian yang mengatur hubungan
antara manusia selaku makhluk dengan Allah Swt sebagai khaliknya
(hubungan transedensi-hukum ibadah). Kedua, bidang Mu‟amalat, bagian
yang mengatur hubungan manusia sesamanya dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (hukum Muamalat). Ketiga,
bidang Munakahat, bagian yang mengatur hubungan manusia sesama lawan
jenis dalam lingkungan keluarga (hukum Pernikahan). Keempat, bidang
Jinayat, bagian yang mengatur keamanan manusia dalam suatu tertib
pergaulan yang menjamin keselamatan dan ketentramannya dalam
kehidupan (hukum pidana).
Empat bidang hukum tersebut merupakan bidang-bidang pokok
kehidupan manusia dalam rangka mewujudkan suatu lingkungan kehidupan
yang bersih, sehat, sejahtera, aman, damai, bahagia lahir batin, dunia dan
akhirat. Inilah ruh dari ajaran Islam yang merupakan rahmat dan kasih
sayang Allah terhadap hamba-Nya dan tujuan risalah yang dibawa oleh Nabi
Saw. Persoalan lingkungan hidup bukan sekedar masalah sampah,
89
pencemaran, pengrusakan hutan, atau pelestarian alam dan sejenisnya,
melainkan bagian dari pandangan hidup itu sendiri. Sebab dalam
kenyataannya, berbicara mengenai persoalan lingkungan hidup merupakan
kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan oleh pendewaan terhadap
teknologi yang berlebihan dalam waktu lama telah mengakibatkan
kemiskinan dan keterbelakangan yang disebabkan oleh struktur yang tidak
adil sebagai akibat kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi semata. Dengan kata lain, masalah lingkungan hidup
bersumber dari pandangan hidup dan sikap manusia yang egosentris dalam
melihat dirinya dan alam sekitarnya dengan seluruh aspek kehidupannya.
Norma-norma fiqh yang merupakan penjabaran dari nilai-nilai Al-Qur‟an
dan Al-Hadits sebagaimana yang telah diutarakan dimuka, sudah seharusnya
dapat memberikan dorongan atau motivasi terhadap upaya pengembangan
wawasan lingkungan hidup atau lebih tepatnya pembangunan yang
berwawasan lingkungan hidup.
Persoalan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab manusia dan
merupakan amanat yang diembannya untuk memelihara dan melindungi
alam yang dianugrahkan oleh Sang Pencipta sebagai tempat tinggal manusia
dalam menjalani hidup di bumi ini. Manusia beriman dituntut untuk
mengfungsikan imannya dengan meyakini bahwa pemeliharaan
(penyelamatan dan pelestarian) lingkungan hidup adalah juga bagian dari
iman itu sendiri. Dalam kaitan ini, manusia dengan segenap kelebihan dan
kelengkapan yang dianugrahkan Allah Swt kepadanya telah ditunjuk
90
sebagai Khalifah di muka bumi ini. Khalifah mengandung arti sebagai
pemelihara atau tegasnya telah ditunjuk dan diberi mandat sebagai
pemegang amanah Allah Swt untuk menjaga, memelihara dan
memperdayakan alam semesta, bukan menaklukkan dan mengeksploitasi.
Sebaliknya, jika hubungan antara unsur-unsur tersebut renggang dan
rapuh, maka kondisi kehidupan akan memburuk yang berakibat terjadi
penderitaan dan penindasan manusia sesama manusia atau dengan
eksploitasi alam yang tidak terkendalikan, yang semua ini akan membawa
kehancuran alam dan pada akhirnya kehancuran kehidupan manusia sendiri.
Good Corporate Governance (GCG)secara singkat dapat
diartikansebagai seperangkat sistem yang mengatur danmengendalikan
perusahaan untuk menciptakannilai tambah (value added) bagi para
pemangkukepentingan. Adapun prinsip-prinsip dari GCG adalah :
a. Transparancy (Keterbukaan)
Adalah keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang
material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan. Dalam kasus kejadian Lumpur lapindo tidak ada
keterbukaan yang dilakukan oleh pihak PT. Lapindo Brantas dimana
mereka melakukan pengeboran dengan sesuka hati tanpa pernah
memperhatikan apa dampak yang terjadi dan timbul bila pengeboran
terus dilakukan karena korporasi hanya mengejar keuntungan semata
tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat.
91
b. Accountability (Akuntabilitas)
Dalam hal ini kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban organisasi sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif. terjadi pada kasus luapan lumpur lapindo
adalah hingga saat ini belum ada realisasi secara menyeluruh tentang
tanggung jawab yang harus diberikan PT. Lapindo Berantas kepada
masyarakat. Karena, hinga saat ini belum ada bantuan yang berarti yang
diberikan PT. Lapindo Brantas baik bantuan pendidikan, kesehatan,
fasilitas sarana dan prasarana yang baik bagi masyarakat sekitar tetapi
bahkan saat ini justru masyarakat yang dirugikan karena kasus luapan
lumpur tersebut.
c. Responsibility (Pertanggungjawaban)
Yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip
korporasi. Dalam kasus luapan lumpur Lapindo yang terjadi adalah PT.
Lapindo Brantas melakukan pengelolaan perusahaan tidak sesuai dengan
apa yang diajarkan dalam undang-undang karena, korporasi telah
mengambil hak-hak dari masyarakat porong Sidoarjo serta tidak
dilakukannya upaya pencegahan bencana sehingga terjadi human eror
dari korporasi yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut.
d. Fairness (Kewajaran atau Keadilan)
Maksudnya keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak
stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan
92
perundang-undangan yang berlaku. Dalam kasus Lapindo tidak ada
kejujuran serta keadilan kepada masyarakat karena, PT.Lapindo Brantas
rela menggunakan segala macam cara untuk memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya tanpa memperhatikan hal apa atau damapak yang
mungkin timbul karena hal tersebut.
Konsep tentang Good Corporate Governance secara universal sangat
erat kaitannya dengan ajaran agama-agama yang ada. Prinsip Good
Corporate Governance ternyata selaras dengan ajaran agama Islam.
Meskipun Islam selalu memperkenalkan etika yang baik, moral yang kuat,
integritas, serta kejujuran, tidaklah mudah untuk menggabungkan nilai-nilai
etika seperti itu menjadi Good Corporate Governance yang islami.
Akibatnya, dalam prakteknya, sebagian besar dari perusahaan „Islam‟
menggunakan standar tata kelola perusahaan konvensional yang mungkin
tidak konsisten dengan nilai-nilai Islam. Adapun prinsip-prinsip GCG dalam
kasus PT. Lapindo Brantas adalah :
a. Shiddiq (Benar)
Artinya bahwa seharusnya PT, Lapindo Brantas harus melakukan
kegiatan unsahanya dengan baik dan benar serta menjunjung hak-hak
dari masyarakat. Tetapi yang terjadi adalah kasus eksploitasi sebesar-
besarnya tanpa memperhatikan dampak terhadap.
b. Amanah (Dapat Dipercaya)
Sesuai Kejadian yang terjadi ternyata PT lapindo berantas tidak
amanah karena kegiatan pengeboran yang dilakukan tidak sesuai dengan
93
amdal yang telah disepakati oleh pemerintah dan perusahaan dimana
seharusnya perusahaan melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan
sehingga kegiatan eksploitasi yang dilakukan itu tidak berdampak buruk
terhadap lingkungan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya karena tidak
dikelolana lingkungan yang baik maka terjadi bencana kepada
masyarakat.
c. Tablig (Menyampaikan)
Dalam kasus ini Pihak PT. Lapindo Brantas tidak terbuka untuk
menyampaikan kegiatan yang akan mereka kerjakan, yaitu melakukan
pengeboran lebih dalam lagi, karena seharusnya pengeboran itu tidak
boleh terus dilakukan karena akan menyebabkan masalah terhadap
lingkungan tetapi karena keserakahan oleh pihak korporasi maka
kegiatan itu tetap dilakukan dan menyembunyikan kegitan pengeboran
itu.
d. Fathonah (Cerdas)
Kegiatan pengeboran yang dilakukan PT lapindo Brantas tidaklah
cerdas, karena mereka melakukan pengeboran tanpa memasang pipa
selubung bor sehingga menyebabkan terjadi luapan lumpur, serta
korporasi juga tidak cerdas dalam mengambil keputusan untuk tetap
melakukan pengeboran tanpa menyadari bahawa kegiatan yang terus
dilakuakan akan menyebabkan bencana bagi masyarakat porong sidoarjo.
Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social
Responsibility adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya perusahaan
94
adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan,
pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek
operasional perusahaan.
95
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan uaraian pada bab-bab sebelumnya, dapatlah dismpulkan hal-
hal sebagai berikut:
1. Bahwa kasus luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. Merupakan tindak
pidana kejahatan korporasi, disebabkan hal-hal sebagai berikut :
a. Penyebab luapan lumpur diakibatkan karena kesalahan dan kelalaian
Lapindo Brantas Inc. Dalam melakukan pengeboran. Dan juga karena telah
melanggar peraturan mengenai tata ruang dan peraturan lingkungan hidup,
dan
b. Dampak yang diakibatkan adanya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
Migas yang dilakukan di Blok Brantas oleh Lapindo Brantas Inc. telah
mengakibatkan terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan di
sekitar wilayah Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa
Timur. Dampak kerusakan tersebut telah mengakibatkan rusaknya
lingkungan fisik, lumpuhnya sektor ekonomi pertanian dan industri,
kerugian social dan budaya masyarakat, serta penurunan kualitas
kehidupan masyarakat terdampak. Oleh karenanya, apabila dalam kasus ini
terdapat unsur kelalaian atau culpa, hal tersebut dapat dijadikan
pemberatan pidana, ditambah pula telah terjadinya ribuan korban
96
diakibatkan kelalaian ini, maka Lapindo Brantas dapat dikenakan juga
sanksi yang terdapat dalam Pasal 42 Bab IX UUPLH.
c. Berdasarkan Undang-undang Lingkungan Hidup, dalam Asas strick
liability company bahwa perusahaan yang telah melakukan pencemaran
atau telah terindikasi melakukan pencemaran baik disengaja maupun tidak
yang merugikan ataupun tidak merugikan berkewajiban untuk memulihkan
kondisi akibat pencemaran tersebut tanpa harus menunggu gugatan dari
masyarakat ataupun sanksi dari pemerintah.
2. Dalam hukum pidana Islam pertanggungjawaban terhadap korporasi
dibebankan kepada orang-orang yang bertindak atas nama badan hukum.
Pertanggungjawaban dilihat dari tiga unsur yaitu, kemampuan
bertanggungjawab, kesalahan, dan unsur pemaaf. Untuk menentukan adanya
kesalahan dilihat dari ada tidaknya unsur kesengajaan atau kelalaian. Unsur-
unsur tersebut dapat dikaitkan dengan asas strict liability. Selain itu, tindak
pidana korporasi hanya dapat dilakukan dengan penyertaan. Artinya bahwa
korporasi tidak dapat melakukan tindakan dengan sendiri tetapi ada seseorang
yang turut berbuat jarimah (al-istirak fi al-jarimah). Sehingga dalam
penentuan pertanggungjawabannya didasari pada adnya perbuatan yang dapat
menghapuskan pidana. Dalam hal ini adalah karena perintah jabatan, daya
paksa dan ancaman. Islam telah mengatur mengenai perlindungan terhadap
korban tindak pidana (jarimah). Perlindungan tersebut berdasarkan prinsip al-
maqasid as-syari’ah yang mengutamakan kemaslahatan yang terdiri dari lima
hal, yaitu hifz al-Din, hifz al-Nafs, hifz al-Mal, hifz al-‘Aql, hifz al-Nasl.
97
Sedangkan bentuk perlindungan bagi korban jarimah, Islam menentukannya
dengan melihat jenis jarimah yang dilakukan. Dalam hal ini, TPLH
merupakan jarimah ta’zir, sehingga hukuman yang diberikan adalah dengan
hukuman ta’zir. Pertanggungjawaban bagi pelaku terhadap korban dalam
jarimah ta’zir adalah dengan memberikan denda dan tindakan pemulihan.
Pertanggungjawaban korporasi terhadap korban dalam hukum Pidana Islam
sejalan dengan konsep pertanggungjawaban dalam UUPPLH tahun 2009.
Sehingga Dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana sebagai
bentuk perlindungan dalam UUPPLH juga sejalan dengan tujuan hukum
Islam, yaitu menjaga kemaslahatan manusia.
B. Saran-saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan melalui penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Penting untuk melakukan upaya rehabilitasi dari kerusakan lingkunganyang
terjadi dan juga mengembalikan harkat dan martabat masyarakat korban luapan
lumpur Lapindo Brantas Inc. sehingga kasus ini juga bisa dijadikan
pembelajaran bagi kehidupan berbangsa dan bernegarauntuk melindungi warga
Negara dan kepentingan ekonomi, sosial danlingkungan hidupnya.
2. Kasus lumpur panas di Kec. Porong Sidoarjo Jawa Timur ini harus diselesaikan
secara tuntas, dengan melakukan analisis kajian secara detail serta melibatkan
seluruh komponen atau pihak-pihak terkait yang memiliki hubungan baik
langsung atau tidak langsung dengan terjadinya kerusakan lingkungan.
98
DAFTAR PUSTAKA
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia. (Bandung. Penerbit Alumni. 1996)
Fuady, Munir, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law & Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti.(Bandung.Inc. New York,
2002).
Hadad, Ismid, Pembaharuan Proses Lahirnya Kebijakan Publik dalam Hamdan,
M., Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, (Bandung:
Penerbit Mandar Maju, 2000).
Hamzah Hatrik, Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi DalamHukum
Pidana Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).
“Kejahatan korporasi”: http://www.tanyahukum. com/perusahaan/114/kejahatan-
korporasi/
Koesnadi Hardjasoemantri, Pentingnya Payung Hukum dan Pelibatan
Masyarakat dalam Buku Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber
Daya Alam, 2005
Kompas, 19 Juni 2006
Kosparmono Irsan, “Kejahatan Korporasi; BAB IV”, Jakarta 2007
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya,
2001)
Nasution, Bismar. Kejahatan Korproasi dan Pertanggungjawabannya,
http://bismarnasty.files. wordpress.com/2007/06/kejahatan-korporasi-
dan-pertanggungjawabannya.pdf
Setiyadi, Mas Wigrantoro Roes. Kecelakaan atau Kelalaian Korporasi,
http://maswigrs. wordpress.com/2007/04/11/kecelakaan-atau-
kejahatan-korporasi,
Setiyono, H. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang : Averroes Press,
2002)
Sutrisno Hadi, Metode Research I (Yogyakarta: Andi Offset, 2007)
Wikipedia Indonesia, Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006
99
Abdullah, Mustafa & Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit
Ghalia Indonesia, 2003)
Adji, Indriyanto Seno, Arah Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Kantor Pengacara
dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, 2001)
Arief, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002)
As-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwah At-Tafasir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)
Audah, Abdul Qadir, „At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz I, (Beirut: Daar Al-
Kitab, t.t,)
Muslich, Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam –
Fikih Jinayah- (Jakarta, Media Grafika, 2006)
Campbel, Henry, Black’s Law Dictionary, (New York: Barron‟s Educational
Series Inc, 1990)
Fuady, Munir, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2004)
Fuady, Munir, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law& Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002)
Giffis, Steven H, Dictionary of Legal Terms, Third Edition, (New York: Barron‟s
Educational Series Inc, 1998)
Hadi, Sutrisno, Metode Research I (Yogyakarta: Andi Offset, 2007)
Hamdan, F.M., Tindak Pidana Pencemaran Linkungan Hidup, (Bandung: Mandar
Maju, 2000)
Hamzah, Andy, Pengantar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985)
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006)
Harun, M. Husein. Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan Penegakan
Hukumnya, (Jakarta: Bumi Aksara,1993)
Hatrik, Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)
100
Mardjono, Reksodiputro B, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam
Tindak Pidana Korporasi, (Semarang: FH UNDIP, 1989)
Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993)
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya,
2001)
Muladi dan Prayitno Dwidja. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum
Pidana, (Bandung: Sekolah Tinggi Hukum, 1991)
Rihti, Hyronimus, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup,
(Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2006)
RUU KUHP pada Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan, Departeman
Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2004
Sahetapy, J.E., Kejahatan Korporasi, (Bandung: Eresco, 1994)
Sanad, Nagaty, The Theory of Crime and Criminal Responsibility in Islamic Law
Saria (Chicago: Office of International Criminal Justice, 1991)
Setiyono, H. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang : Averroes Press,
2002)
Silalahi, Daud, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia. (Bandung. Penerbit Alumni. 1996).
Sjahdeini, Sutan Remy, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti
Pers, , 2006)
Soejono, Dirjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal, di
Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1999)
Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan
Atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru
Besar, (Medan : USU, 2003)
Widjaya, I. G. Ray, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Megapoin, 2000)
Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002) O.P. Simorangkir, Etika Bisnis Jabatan dan Perbankan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003) Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics An Islamic Synthesis, Diterjemahkan oleh
Husain Anis dan Asep Nikmat, (Bandung : Mizan, 1985)
101
Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis, (Yogyakarta : Salemba
Diniyah, 2002)
Rusydi , “Etos Kerja dan Etika Usaha Perspektif Al-Qur’an “, dalam Firdaus Effendi (eds.) Nilai
dan Makna Kerja dalam Islam, (Jakarta : Nuansa Madani, 1999)
Mahmud Sjaltout, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, diterjemahkan oleh H. Bustami A. Gani, Djohar
Bahry L.I.S, “Islam Sebagai Akidah dan Syari‟ah”, Jilid IV, (Jakarta : Bulan Bintang,
1970)
M. Amin Abdullah, “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif Islam,” dalam Khazanah,
Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 2005) Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006)
Abdul Qadir Audah, „At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz I, (Beirut: Daar Al-Kitab, t.t,)
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam h. 31 atau lihat : Ahmad Hanafi, Asas-Asas
Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006)
Muhammad Ali As-Shabuni, Shafwah At-Tafasir (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967)
102
SUMBER INTERNET
http://hotmudflow.wordpress.com/
http://hotmudflow.wordpress.com/2007/04/23/menghitung-kerugian-bencana-
lumpurlapindo/#
http://hukumonline.com/detail.asp?id=11222&cl=Fokus,
http://www.tanyahukum. com/perusahaan/114/kejahatan-korporasi/
Informasi dari WALHI Jawa Timur, 2006 dalam Kumpulan Analisis Bencana
Lumpur Lapindo
http://www.mediacenter.or.id/article/5/tahun/2008/bulan/01/tanggal/23/id/3141/
Komnas HAM: Telah Terjadi Ecocide Pada Semburan Lumpur Lapindo
http://bismarnasty. files.wordpress.com/2007/06/kejahatan-korporasi-dan pertang
gung-jawabannya. pdf. Kejahatan Korproasi dan Pertanggung-
jawabannya,
http://raspati.blogspot.com /2007/06/pertanggungjawaban-pidana-korporasi.html,
dipublikasikan tanggal 29 Juni 2007,
http://www.solusihukum.com/artikel/artikel45.php, Pertanggungjawaban Korpo-
rasi Dalam Tindak Pidana Perikanan
http://maswigrs. wordpress.com/2007/04/11/kecelakaan-atau-kejahatan-korpora-
si, Kecelakaan atau Kelalaian Korporasi
Wikimedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia, Bajir Lumpur
Panas Sidoarjo, 2006.
top related