bab ii sistem pertanggungjawaban pidana korporasi

67
37 BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI A. Ruang Lingkup Kejahatan Korporasi 1. Defenisi Kejahatan Korporasi Istilah kejahatan korporasi digunakan dalam berbagai konteks maupun penamaan. J.E. Sahetapy memberikan catatan penting bahwa istilah kejahatan korporasi (corporate crime) seringkali digunakan untuk menggambarkan konsep white-collar crime, organizational crime, organized crime, georganiseerde misdaad, groepscriminaliteit, misdaad onderneming, crimes of bussiness (bussiness crime), syndicate crime. 84 David O. Friedrichs sebagaimana dikutip dalam Mahrus Ali mendefenisikan kejahatan korporasi 85 sebagai: offences committed by corporate officials for their corporation or offences of the corporation itself , yang berarti: tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi untuk kepentingan korporasi atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi itu sendiri. 86 84 J. E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Cetakan Kedua, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2002), hlm. 1. Menurut Sahetapy, berbagai nama, makna dan ruang lingkup apa pun yang hendak diberikan bertalian dengan corporate crime atau kejahatan korporasi, pada dasar dan sifat, kejahatan korporasi bukanlah suatu barang baru; yang baru adalah kemasan, bentuk, serta perwujudannya. 85 Bandingkan dengan Gary Slapper dan Steve Tombs, Corporate Crime, (London, Great Britain: Longman, 1999), hlm. 16. Mengenai defenisi kejahatan korporasi itu sendiri Friedrichs menyatakan bahwa mengenai defenisi kejahatan korporasi yang tidak dapat diterima oleh semua orang, melahirkan suatu kewajiban bagi para sarjana menentukan bagaimana mereka berniat menggunakan defenisi-defenisi yang ada, sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan dan dengan penyajian yang diharapkan. 86 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 9. Universitas Sumatera Utara

Upload: tranthuan

Post on 12-Jan-2017

232 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

37

BAB II

SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

A. Ruang Lingkup Kejahatan Korporasi

1. Defenisi Kejahatan Korporasi

Istilah kejahatan korporasi digunakan dalam berbagai konteks maupun

penamaan. J.E. Sahetapy memberikan catatan penting bahwa istilah kejahatan

korporasi (corporate crime) seringkali digunakan untuk menggambarkan konsep

white-collar crime, organizational crime, organized crime, georganiseerde

misdaad, groepscriminaliteit, misdaad onderneming, crimes of bussiness

(bussiness crime), syndicate crime.84

David O. Friedrichs sebagaimana dikutip dalam Mahrus Ali

mendefenisikan kejahatan korporasi85 sebagai: offences committed by corporate

officials for their corporation or offences of the corporation itself, yang berarti:

tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi untuk kepentingan

korporasi atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi itu sendiri.86

84

J. E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Cetakan Kedua, (Bandung: PT. Refika Aditama,

2002), hlm. 1. Menurut Sahetapy, berbagai nama, makna dan ruang lingkup apa pun yang hendak

diberikan bertalian dengan corporate crime atau kejahatan korporasi, pada dasar dan sifat,

kejahatan korporasi bukanlah suatu barang baru; yang baru adalah kemasan, bentuk, serta

perwujudannya. 85

Bandingkan dengan Gary Slapper dan Steve Tombs, Corporate Crime, (London, Great

Britain: Longman, 1999), hlm. 16. Mengenai defenisi kejahatan korporasi itu sendiri Friedrichs

menyatakan bahwa mengenai defenisi kejahatan korporasi yang tidak dapat diterima oleh semua

orang, melahirkan suatu kewajiban bagi para sarjana menentukan bagaimana mereka berniat

menggunakan defenisi-defenisi yang ada, sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan dan dengan

penyajian yang diharapkan. 86

Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2013), hlm. 9.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

38

Marshaal B. Clinaard dan Peter C. Yeager sebagaimana dikutip dalam

Setiyono memberikan pengertian kejahatan korporasi sebagai: any act committed

by corporation that is punished by the state, regardless of whether it is punished

under administrative, civil, or criminal law, yang artinya: setiap tindakan yang

dilakukan oleh korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, entah di bawah

hukum administrasi negara, hukum perdata maupun hukum pidana.87

Gary Slapper dan Steve Tombs merangkum pendapat beberapa ahli seperti

Kramer, Box, Schrager and Short, serta Clinard dan Yeager, kemudian

mendefenisikan kejahatan korporasi (corporate crime) sebagai:

criminal acts (of omission or comission) which are the result of deliberate

decision making (or culpable negligence) of those who occupy structural positions

within the organization as corporate executives or managers. These decisionas

are organizationally based – made in accordance with the normative goals

(primarily corporate profit), standard operating procedures, cultural norms of

organizations – and are intended to benefit the corporation itself. 88 (perbuatan

pidana, baik yang berbentuk delik omisi maupun delik komisi, yang merupakan

hasil dari keputusan yang disengaja atau kelalaian dari orang-orang yang

menempati jabatan struktural dalam organisasi sebagai pihak eksekutif atau

manajer dari perusahaan. Keputusan ini dibuat secara terorganisir berdasarkan

tujuan normatif organisasi yakni keuntungan korporasi itu sendiri)

Terlihat melalui berbagai pengertian di atas bahwa ciri khas yang dapat

ditemui dari kejahatan korporasi adalah bahwa ia dilakukan oleh korporasi atau

pengurusnya (baik pemilik, manager, atau karyawan) untuk kepentingan korporasi

itu sendiri, dan secara langsung maupun tidak langsung telah mendatangkan

87

Setiyono, Kejahatan Korporasi, Cetakan Ketiga, (Malang: Bayumedia Publishing,

2005), hlm. 20. 88

Gary Slapper dan Steve Tombs, op.cit, hlm. 16.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

39

kerugian terhadap para stakeholder, yang menurut Etty Utju R.K. dengan

mengutip pendapat Muladi, terdiri atas:89

a. Negara (state), sebagai akibat kejahatan korporasi, seperti informasi palsu

terhadap instansi pemerintah, korupsi, tindak pidana ekonomi, tindak pidana

subversi, dan lain-lain.

b. Masyarakat (public), sebagai akibat pencemaran dan perusakan lingkungan

hidup, penggelapan, penghindaran pajak, dan lain-lain.

c. Konsumen (consumers), sebagai akibat advertensi yang menyesatkan,

menciptakan hasil produksi yang beracun dan berbahaya, dan lain-lain.

d. Karyawan (employees), sebagai akibat kejahatan korporasi berupa lingkungan

kerja yang tidak sehat dan tidak aman, pengekangan hak untuk membentuk

organisasi buruh, tidak dipenuhinya upah minimum dan lain-lain.

e. Pemegang saham (shareholders/investor), sebagai akibat penipuan dan

pemalsuan akuntansi, dan lain-lain.

f. Perusahaan saingan (competitors), sebagai akibat kejahatan spionase industri

yang melanggar.

Konsepsi ini membuat istilah kejahatan korporasi (corporate crime) sama

sekali berbeda dengan crime against corporation dan criminal corporation.

Konsep crime against corporation atau yang biasa disebut kejahatan jabatan atau

kejahatan terhadap korporasi, merupakan kejahatan di mana pelaku kejahatan

tersebut melakukan kejahatan yang ditujukan kepada korporasi.90 Pelaku

89

Etty Utju R. Koesoemahatmadja, Hukum Korporasi Penegakan Hukum terhadap

Pelaku Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2011),

hlm. 6. 90

H.G. Van de Bunt dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 11.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

40

kejahatan ini tak hanya terbatas karyawan dari badan hukum atau korporasi yang

bersangkutan, tapi juga masyarakat secara luas bisa menjadi pelaku kejahatan

korporasi jenis ini. Sedangkan criminal corporation merupakan padanan lain

kejahatan sindikat. Ia diartikan sebagai korporasi yang sengaja dibentuk dan

dikendalikan untuk melakukan kejahatan, dengan kata lain kedudukan korporasi

hanyalah sebagai sarana melakukan kejahatan.91

2. Karakteristik Kejahatan Korporasi

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa kejahatan korporasi

menimbulkan kerugian lebih besar jika dibandingkan dengan kejahatan individual

atau sering disebut juga sebagai kejahatan konvensional/tradisional. Hal ini

diakibatkan oleh karakteristik kejahatan korporasi itu sendiri, antara lain:92

a. Kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh

kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian profesional

dan sistem organisasi yang kompleks;

b. Kejahatan tersebut sangat kompleks (complexity) karena selalu berkaitan

dengan kebohongan, penipuan dan pencurian serta seringkali berkaitan dengan

sebuah yang ilmiah, teknologis, finansial, legal, terorganisasikan, dan

melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun-tahun;

c. Terjadinya penyebaran tanggung jawab (diffusion of resposibility), yang

semakin luas akibat kompleksitas organisasi;

91

Ibid., hlm 13. 92

Setiyono, Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum

Pidana Indonesia, (Malang: Averros Press, 2002), hlm. 54-55.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

41

d. Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimization), seperti polusi

dan penipuan;

e. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and prosecution),

sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak

hukum dengan pelaku kejahatan.

f. Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law) yang sering menimbulkan

kerugian dalam penegakan hukum; dan

g. Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Dalam hal perbuatannya tidak

melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi apa yang dilakukan memang

merupakan perbuatan yang ilegal.

Dalam konteks tindak pidana pembakaran lahan perkebunan, karakteristik

ini cenderung lebih relevan jika meninjau konsep kejahatan korporasi sebagai

white collar crime atau kejahatan kerah putih.93

Istilah kejahatan kerah putih itu

sendiri telah dikenalkan sejak puluhan tahun yang lalu oleh Edwin Sutherland.

Sutherland mengemukakan kejahatan korporasi sebagai: “...any person of higher

socioeconomics status who commits a legal violation in the course of his or her

occupation”94, yang dapat diartikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh

seseorang yang memiliki kehormatan dan status sosial yang tinggi dalam

93

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 26 & 36. Selain sebagai white collar crime, kejahatan

korporasi juga identik dengan transnational crime dan organized crime. Transnational crime

menggambarkan kejahatan yang tidak hanya terjadi di internasional dan kejahatan lintas negara

yang mencakup dua saja, tetapi juga kejahatan yang memiliki sifat harus melintasi perbatasan

sebagai sebuah bagian dari tindak kejahatan. Sedangkan organized crime lebih merujuk pada

adanya kejahatan terorganisir dan aktivisnya seperti perdagangan narkoba, pencucian uang,

perdagangan senjata ilegal, penipuan, dan kegiatan ilegal lainnyayang memberi ancaman terhadap

stabilitas global. 94

J.E. Sahetapy, op.cit, hlm. 11.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

42

menjalankan jabatannya. Artinya, defenisi ini mengambil fokus pada dua hal,

yakni pelaku kejahatan dan status sosial tinggi yang dimilikinya.

Kekhususan kejahatan kerah putih adalah pada wilayah kerjanya yang

meliputi bidang keuangan dan industri, di mana kerugian yang ditimbulkan dari

kejahatan tersebut tidak begitu nyata, kesalahan pelaku tidak begitu jelas, dan

perbuatan pelaku tidak bertentangan dengan moral. Hal ini tentu bertentangan

dengan konsep kejahatan jalanan (street crimes) yang dengan mudah dapat

diidentifikasi, seperti pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, perampokan,

atau pencurian. Kejahatan jalanan umumnya juga melibatkan penggunaan

ancaman dan penggunaan kekerasan secara fisik terhadap korban atau pencurian

dengan menggunakan kekerasan serta kejahatan-kejahatan lain yang berhubungan

dengan hal itu.95

Lebih lanjut Simpson mengemukakan ada tiga hal yang patut dicermati

dalam kejahatan korporasi. Pertama, bahwa perbuatan ilegal yang dilakukan

korporasi dan agennya berbeda dengan yang dilakukan mereka yang memiliki

status ekonomi yang lebih rendah, yang semakin menunjukkan perbedaan

kejahatan korporasi dengan kejahatan konvensional lainnya. Kedua, baik

korporasi dan representasinya dikenali sebagai pelaku. Ketiga, motivasi utama

dari suatu kejahatan korporasi adalah bukan untuk kepentingan individu, namun

untuk kepentingan korporasi. Oleh karena itu untuk menjaga keuntungan,

mengatur suatu pasar, menurunkan biaya perusahaan, atau untuk menyingkirkan

95

Lisa H. Nicholson, “The Culture of Under-Enforcement: Buried Treasure, Sarbanes-

Oxley and the Corporate Pirate”, DePaul Business & Commercial Law Journal, 2007,

http://via.library.depaul.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1174&context=bclj, diakses pada tanggal

6 April 2016, hlm. 330.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

43

saingan dalam dunia usaha, korporasi mungkin saja mencemari lingkungan,

melakukan penipuan dan manipulasi, menciptakan kondisi kerja yang berbahaya

dan lainnya. Kebijakan managerial untuk melakukan tindakan terlarang tersebut

dapat dibantu dengan norma dalam korporasi dan subkultur korporasi.96

3. Dimensi Kejahatan Korporasi

Dimensi kejahatan korporasi di Indonesia terus berkembang seiring

dengan perkembangan perekonomian nasional dan internasional. Berbagai jenis

kejahatan korporasi semakin menonjol sebagai dampak dari era globalisasi seperti

kecenderungan berkembangnya persaingan usaha yang tidak sehat (unfair

competition) yang mengarah pada perkembangan praktek monopoli, oligopoli,

konsentrasi industri, market limitation, misrepresenting products,97

price fixing

(memainkan harga barang secara tidak sah), false advertising (penipuan iklan)

yang sering terjadi di bidang farmasi (obat-obatan), dan enviromental crime

(kejahatan lingkungan hidup),98 serta kejahatan perbankan seperti: cyber crime

dan money laundering.99 Dimensi-dimensi tersebut perlu diklasifikasi menjadi

beberapa bentuk, Dimensi ini terpolakan dalam bentuk-bentuk seperti:100

a. Defrauding stockholders

96

Sally S. Simpson, Corporate Crime, Law, and Social Control, (United Kingdom:

Cambridge University Press, 2002), http://catdir.loc.gov/catdir/samples/cam031/2001025804.pdf,

diakses pada tanggal 6 April 2016, hlm. 7. 97

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 16. 98

Soedjono Dirdjosisworo, Respons Terhadap Kejahatan: Introduksi Hukum

Penanggulangan Kejahatan (Introduction to The Law of Crime Prevention), (Bandung: Sekolah

Tinggi Ilmu Hukum Bandung Press, 2002), hlm. 65. 99

Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 5. 100

Suparman Marzuki, “Dimensi „Kejahatan Korporasi‟ dan reaksi sosial”, Jurnal

Hukum, Vol. 1 No. 2, 1994, hlm. 10.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

44

Dimaksudkan tidak melaporkan dengan sebenarnya keuntungan yang

diperoleh sehingga menimbulkan penipuan terhadap para pemegang saham.

Dimensi ini terkait erat dengan pemegang saham perusahaan yang diberi

informasi secara tidak benar tentang berapa besar jumlah keuntungan yang

diperoleh dari hasil usaha perusahaan.101

b. Defrauding the public

Dapat diartikan sebagai penipuan terhadap masyarakat terjelma dalam

bentuk persekongkolan penentuan harga dan produk yang tidak representatif.

Wujud lainnya juga dapat dilihat dalam penipuan informasi layanan (iklan)

tentang suatu produk dari perusahaan tertentu.

c. Defrauding the government

Merupakan tindakan penipuan oleh suatu korporasi yang ditujukan

langsung kepada pemerintah. Tindakan ini dilakukan untuk menghindari

kewajiban membayar pajak sesuai dengan pendapatan atau keuntungan korporasi

yang sesungguhnya. Tidak sedikit perusahaan-perusahaan besar yang bergerak

dalam bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak mempunyai daftar

pembukuan lebih dari satu. Hal ini dimaksudkan untuk mengelabuhi pemerintah

agar tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk membayar pajak.102

d. Endangering the public welfare

Adalah dimensi kejahatan korporasi yang mengarah pada membahayakan

kesejahteraan umum. Misalnya, korporasi menimbulkan polusi industri yang

membahayakan lingkungan di sekitarnya.

101

Hanafi, op.cit, hlm.5. 102

Ibid., hlm. 6.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

45

e. Endangering employees

Yaitu tidak memedulikan keselamatan kerja. Tindakan semacam ini sering

dilakukan oleh beberapa perusahaan dengan cara mengeksploitasi tenaga kerja

tanpa diiringi dengan perhatian yang cukup besar terhadap keselamatan mereka,

sehingga banyak dari mereka yang mengalami kecelakaan karena sarana dan

prasarana produksi perusahaan tidak memenuhi standar keselamatan kerja.

f. Illegal intervention in the public process

Melakukan intervensi yang melanggar hukun terhadap proses politik,

terutama dalam konteks pengambilan kebijakan publik oleh pemerintah.

Praktiknya sering berupa sumbangan dana politik kampanye partai dalam proses

pemilihan umum yang tujuannya paling tidak keinginan-keinginan atau tendensi

tertentu dari korporasi bersangkutan bisa tercapai melalui munculnya sebuah

kebijakan pemerintah hasil pemilu tersebut.103

Niall F. Coburn secara lebih luas mengklasifikasikan dimensi kejahatan

korporasi dapat berbentuk sebagai berikut:104

a. Penggelapan dana perusahaan

b. Penipuan terhadap hasil audit internal dan pelanggaran terhadap kepatuhan

kerja

c. Pelanggaran surat berharga termasuk perusahaan yang tidak menerapkan

prinsip keterbukaan kepada publik

d. Penyuapan

e. Penjualan aset perusahaan yang melibatkan orang dalam

f. Manipulasi pasar

g. Korupsi

h. Menghindarkan kewajiban membayar pajak

i. Praktik-praktik perdagangan dan perbuatan pasar.

j. Bisnis perusahaan yang pailit

103

Ibid., hlm. 7. 104

Niall F. Coburn, “Article of Corporate Investigations”, Journal of Financial Crime,

(London: 2006), http://coburnci.com/wp-content/uploads/2012/10/Article-on-Corporate-Investi

gations-NC.pdf, diakses pada tanggal 6 April 2016, hlm. 4.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

46

k. Penghitungan laba perusahaan yang disamarkan atau dipalsukan

l. Bisnis perusahaan yang pailit.

m. Penghitungan laba perusahaan yang disamarkan atau dipalsukan

n. Pembukuan keuangan perusahaan yang tiak jujur

o. Penyelenggaraan perusahaan terkait dengan transaksi partai politik dan

kewajiban direktor

p. Regulasi yang bersifat rahasia

q. Standar makanan

r. Standar jalan raya dan kereta api

s. Tindak pidana ekonomi terhadap dan oleh pekerja

t. Praktik-praktik diskriminatif pada saat bekerja dan di tempat kerja

u. Pelanggaran terhadap aturan di bidang lingkungan hidup.

v. Keamanan dan kesehatan kerja.

Sementara itu, untuk kejahatan korporasi yang menyangkut masyarakat

luas, menurut Setiyono, antara lain dapat berbentuk:105

1. Kejahatan terhadap Lingkungan Hidup;

2. Kejahatan terhadap Konsumen

3. Kejahatan terhadap Pemegang Saham (Investor)

Berdasarkan klasifikasi dimensi ini, tindak pidana pembakaran lahan

perkebunan sejatinya merupakan sebuah bentuk kejahatan korporasi dari dimensi

“endangering the public welfare” dalam bentuk kejahatan lingkungan hidup.

Dikatakan demikian karena tindak pidana pembakaran lahan perkebunan yang

dilakukan korporasi ini berdampak pada tereganggunya aspek-aspek

kesejahteraan masyarakat, seperti lingkungan hidup, ekonomi, yang berdampak

pula pada aktivitas sosial masyarakat secara luas.

105

Setiyono, op.cit, hlm. 83.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

47

B. Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana

1. Sejarah dan Latar Belakang Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana

Asal mula korporasi sampai sekarang masih menjadi persoalan. Pada

masyarakat yang primitif dengan karakteristik hidup dalam suatu kelompok

(group), sebenarnya sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu

kelompok masyarakat. Pada zaman dahulu perkembangan korporasi berupa

pembentukan kelompok yang terjadi seperti dalam masyarakat Asia Kecil,

Yunani, dan masyarakat Romawi. Perkembangan kelompok-kelompok tersebut di

Romawi terlihat dengan dibentuknya suatu organisasi yang dalam banyak hal

memiliki fungsi yang mirip seperti korporasi yang sudah kita kenal sekarang.

Kelompok tersebut bergerak di bidang penyelenggaraan kepentingan umum,

keagamaan, militer, dan perdagangan. Organisasi ini memiliki kekayaan yang

terpisah dari anggotanya. Pada masa ancient time ini mulai dikenal perbedaan

kedudukan individu dalam organisasi dan kedudukan individu yang terlepas dari

organisasi.

Pada Abad Pertengahan dengan ditandai mulai menurunnya kekuasaan

Romawi, dan perdagangan pun mulai suram karena pada masa itu orang tidak

mungkin melakukan suatu usaha/perdagangan tanpa didukung oleh perlindungan

militer dan tertib sosial. Pada masa itu dengan terbentuk Dewan Gereja yang

dipengaruhi oleh hukum Romawi, Dewan Gereja ini memiliki kekayaan yang

terpisah dengan kekayaan para anggotanya dan berbeda dengan subjek hukum

manusia. Gereja sebagai kemudian dikenal sebagai suatu prototype korporasi

berdiri untuk pertama kali diperkenalkan oleh Paus Innocent IV (1243-1254).

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

48

Gereja sebagai suatu korporasi memberikan suatu sumbangan yang sangat besar

terhadap the concept of corporate personality, yaitu dalam bentuk kota praja yang

dapat menyelenggarakan pemerintahan secara umum. Pada abad ini (Abad XIV)

mulai dikenal apa yang disebut quasi corporate character dengan adanya bentuk

kota praja.106

Pada permulaan zaman modern, sifat bisnis perdagangan yang semakin

kompleks sangat mempengaruhi perkembangan korporasi. Pada zaman Raja

James I (1566-1625) di Inggris mulai dikenal korporasi sebagai subjek hukum

(legal person), yang berbeda dengan manusia.107 Korporasi yang bersifat modern

di Inggris dikenal dengan nama Hudson‟s Bay Company yang diresmikan oleh

Raja Inggris pada tahun 1670, beroperasi di Kanada dan mempunyai hak

monopoli di bidang perdagangan sebagai salah satu sumber dana dari pemerintah

kolonial Inggris.

Terjadinya Revolusi Industri di Inggris, yang ditandai dengan

perkembangan di bidang teknologi industri pemintalan benang dan revolusi di

bidang tenaga dengan ditemukannya mesin uap, menimbulkan kebutuhan akan

modal yang besar dengan organisasi yang mapan serta perangkat hukum yang

memadai, maka pada tahun 1855 mulai dikenal adanya pembatasan terhadap

pertanggungjawaban korporasi. Pada tahun 1862, korporasi memakai nama untuk

asosiasinya dan di belakang nama tersebut sebagai tanda adanya pembatasan

terhadap pertanggungjawaban korporasi dicantumkan kata “limited”.108

106

Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 35. 107

Ibid, hlm. 36. 108

Ibid, hlm.37.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

49

Sedangkan di Amerika, pada tahun 1795, tepatnya di North Carolina

didirikan korporasi yang pendiriannya didasarkan kepada prinsip hukum yang

berlaku pada waktu itu, yang bergerak di bidang penyelenggaraan kepentingan

umum. Seperti di Massachusetts pada tahun 1799, berbentuk korporasi di bidang

penyediaan air bersih. Kemudian pada Tahun 1811, New York menjadi negara

bagian yang pertama kali memperkenalkan korporasi bersifat umum yang

bergerak di bidang Manufaktur.109

Perancis baru memasukkan korporasi dalam kodifikasi Code de Commerce

Perancis yang dibuat pada tahun 1807. Bagaimanapun juga, karena Perancis

pernah menjajah Belanda, maka terdapat hubungan antara pembuatan rancangan

Wetboek van Koophandel (W.v.K) Nederland yang dibuat pada tahun 1809 dan

kodifikasi Code de Commerce Perancis yang dibuat pada tahun 1808. Tampaklah

waktunya sangat berdekatan dan dalam hubungan sebagai suatu negara yang

dikuasai Perancis akan tercermin dalam W.v.K tersebut, yang mana sistem dan isi

W.v.K Nederland ternyata mengacu pada Code de Commerce dan Code de La

Marine.110

Dengan asas konkordansi maka setiap perkembangan W.v.K Nederland

memiliki pengaruh di Nederlandsch Indie seperti halnya tentang ketentuan

maatschap, kata maatschap sejenis pula dengan kata “societas” dari Romawi,

yang terkenal dalam sejarah hukum Romawi Lama dengan Romainse Societas.

Pada abad XIII dan XIV pada kota-kota di bagian utara Italia terdapat dua bentuk

kontrak kerja sama (samenwerkingcontracten), yang agak berbeda dengan dengan

109

M. Natsir Said, Hukum Perusahaan di Indonesia (Perorangan), (Bandung: Alumni,

1987), hlm. 3. 110

Ibid., hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

50

societas, disebut “Commanditaire Vennotschap” dan “Vennotschap onder Firma”,

yang di Belanda sampai sekarang ini diatur dalam W.v.K, sedangkan di Indonesia

diatur dalam pasal 16 sampai dengan pasal 35 Kitab Undang-undang Hukum

Dagang (KUHD).

Pada permulaan abad XVII terjadi perkembangan atas pengaruh semakin

meluasnya perdagangan pelayanan ke Indonesia di mana banyak yang

menanamkan modalnya pada perusahaan pelayanan dengan cara meminjamkan

uang (geldschieters) dengan sistem kepercayaan (toevertrouwen). Pada tahun

1602, terbentuknya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang terdiri

antara pengusaha-pengusaha (voorcompagnieen), dan menandai terbentuknya

suatu “Societe Anonyme” seperti yang diatur di dalam Pasal 36 sampai dengan

Pasal 56 KUH Dagang.111

Sesudah tahun 1838, bentuk badan usaha CV maupun Firma dan NV

masing-masing diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 35 dan Pasal 36

sampai dengan Pasal 56 KUH Dagang secara berturut-turut karena perkembangan

perekonomian mengalami banyak perubahan kecuali bentuk CV. Di samping itu,

berkembang pula perusahaan pemerintah sejak tahun 1925 yang didirikan

berdasarkan Indische Comptabiliteitswet (I.C.W) Stb. 1927 Nomor 419.

Perusahaan pemerintah yang modalnya sebagian ikut serta dalam suatu

perusahaan tersebut terdapat pula dalam bentuk perseroan terbatas atau NV yang

tunduk pada hukum perdata dan dagang.

111

Ibid. hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

51

Sesudah perusahaan-perusahaan milik Belanda dikenakan nasionalisasi

dengan Undang-Undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958, maka berkembanglah

perusahaan-perusahaan pemerintah dalam bentuk perseroan terbatas swasta yang

tunduk pada KUH Perdata dan KUH Dagang, namun kemudian dengan Undang-

Undang No. 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, maka bentuk

perusahaan negara dengan bentuk perseroan terbatas negara maupun yang tunduk

pada I.C.W dan I.B.W (Indische Bedrijvenwet) kesemuanya diatur menurut

Undang-Undang ini.

Akan tetapi, perkembangan perseroan terbatas negara ini sangat

menyedihkan dengan banyak mengalami kerugian, sehingga perlu dilakukan

reorganisasi perusahaan negara dengan dikeluarkannya UU. No. 1 Prp Tahun

1969 Tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara, yang ditetapkan dengan Undang-

undang Nomor 9 Tahun 1969. Pasal 1 Undang-Undang tersebut menetapkan

adanya tiga macam bentuk usaha negara, yaitu:112

a. Perusahaan Jawatan (Perja);

b. Perusahaan Umum (Perum);

c. Perusahaan Perseroan (Persero).

Demikianlah sejarah korporasi yang akhirnya menjadi subjek hukum di

samping subjek hukum manusia. Dalam perkembangannya korporasi ternyata

tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja akan tetapi sekarang ini

ruang lingkupnya sudah mulai luas karena dapat mencakup bidang pendidikan,

kesehatan, riset, pemerintahan, sosial, budaya, dan agama. Perkembangan itu

112

M. Natsir Said, op.cit, hlm. 5-8

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

52

sendiri tidak dapat terlepas dari perkembangan teknologi dan era globalisasi itu

sendiri. Dengan demikian sejak Revolusi Industri di Inggris, peranan teknologi

dalam sejarah perkembangan korporasi merupakan pengaruh yang sangat

fundamental (fundamental influence) dalam rangka pertumbuhan korporasi itu

sendiri. Dalam sejarah perkembangan itu pula, korporasi pada akhirnya

digolongkan ke dalam jenis-jenis tertentu dengan berdasarkan berbagai

pandangan.

Ronald A. Anderson et. al., menggolongkan korporasi berdasarkan

hubungannya dengan publik, sumber kekuasaan dan sifat aktivitas dari korporasi

itu sendiri. Jenis-jenis korporasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:113

1) Korporasi Publik, adalah sebuah korporasi yang didirikan oleh pemerintah

yang mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas administrasi di bidang urusan

publik, contohnya pemerintahan Kabupaten atau Kota;

2) Korporasi Privat, yaitu korporasi yang didirikan untuk kepentingan pribadi

yang dapat bergerak di bidang industri dan perdagangan, contohnya PT.

Garuda Tbk;

3) Korporasi Publik Quasi, atau yang lebih dikenal dengan korporasi yang

melayani kepentingan umum (public service), contohnya PT. Kereta Api

Indonesia, Perusahaan Air Minum dan Perusahaan Listrik Negara.

Di Indonesia, secara umum korporasi diartikan secara luas, sehingga

terbagi menjadi 2, yakni yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan

hukum:

113

Dwidja Prayitno, op.cit, hlm. 14-15

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

53

a. Badan hukum

Pengertian badan hukum itu sendiri awalnya lahir sebagai akibat dari

perkembangan masyarakat menuju modernisasi. Dahulu di alam yang masih

primitif ataupun didalam kehidupan yang masih sederhana, kegiatan-kegiatan

usaha dijalankan secara perorangan. Perkembangannya, tumbuh kebutuhan untuk

menjalankan usaha secara bekerja sama dengan beberapa orang yang mungkin

atas dasar pertimbangan agar dapat menghimpun modal yang lebih berhasil

daripada dilaksanakan sendiri. Beranjak dari itu kemudian timbul keinginan untuk

membuat suatu wadah seperti badan hukum agar kepentingan-kepentingan

masing-masing lebih mudah dijalankan dan untuk membagi resiko yang mungkin

timbul dari bentuk kerjasama yang dijalankan.114

Ada beberapa teori yang sering digunakan dalam rangka mengetahui

hakekat badan hukum yaitu antara lain:

1) Teori Fictie Dari Von Savigny

Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan

hukum itu hanyalah fiksi, yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada tetapi orang

menghidupkannya dalam bayangan sebagai subyek hukum yang dapat melakukan

perbuatan hukum seperti manusia.

2) Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel Vermogens Theorie)

Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum,

namun ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang,

114

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap

Kejahatan Korporasi, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hlm. 13.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

54

tetapi kekayaan itu terikat dengan tujuan tertentu. Kekayaan inilah yang disebut

badan hukum.

3) Teori Organ dari Otto Van Gierke

Badan hukum menurut teori ini bukan sesuatu yang abstrak (fiksi) dan

bukan merupakan kekayaan (hak) yang tidak bersubyek, tetapi badan hukum

merupakan organism yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan

hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantara alat-alat yang

ada padanya (pengurus dan anggota-anggotanya), seperti manusia biasa yang

mempunyai panca indera.

4) Teori Propriete Collective

Teori ini diajarkan oleh Planiol dan Molengraff yang mengatakan bahwa

hak dan kewajiban badan hukum pada hakekatnya adalah hak dan kewajiban para

anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama

semua anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu

kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum.oleh karena

itu badan hukum adalah konstruksi yuridis saja.

5) Teori Kenyataan Yuridis

Badan hukum merupakan suatu reliteit, konkrit, rill, walaupun tidak bisa

diraba, bukan khayal tetapi kenyataan yuridis. Teori yang dikemukan oleh Mayers

ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan

manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

55

Menurut Rudhy Prasetya, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Mulyadi,

badan hukum itu dapat mengambil berbagai bentuk, yaitu antara lain:115

1) Ada yang berbentuk perseroan terbatas seperti yang diatur dalam Bab III Buku

I KUHP Pasal 36-57;

2) Berbentuk perkumpulan sebagaiamana diatur dalam Titel IX Buku III KUHP;

3) Dapat berbentuk koperasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor

17 tahun 2012. Dalam undang-undang tersebut yang dimaksud dengan

koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau

badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai

modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan

bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip

Koperasi;

4) Berbentuk BUMN sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 19

tahun 2003 berupa perusahaan perseroan, perusahaan jawatan, perusahaan

jawatan;

5) Yayasan (Stichting) merupakan badan hukum berdasarkan Undang-undang

Nomor 16 tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.

Penggolongan badan hukum jika dilihat dari jenisnya dapat pula

dibedakan menjadi dua yakni badan hukum publik dan badan hukum privat.

Badan hukum publik misalnya Negara Republik Indonesia, Pemerintah

Kota/Kabupaten dan sebagainya, sedangkan badan hukum privat misalnya

115

Mahmud Mulyadi, Hakekat Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam

Pelestarian Lingkungan Hidup, (Medan: Pustaka Bangsa Pers, 2004), hlm. 203.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

56

Perseroan Terbatas, Yayasan dan lain sebagainya. Kriteria untuk menentukan

suatu badan hukum dikatakan badan hukum publik atau badan hukum privat ada

dua yaitu:116

1) Dilihat dari pengelolaannya, badan hukum publik didirikan oelh

Pemerintah/Negara, sedangkan badan hukum privat didirikan orang-

perseorangan;

2) Dilihat dari kepentingannya, pada prinsipnya didirikannya badan hukum

tersebut apakah bertujuan untuk kepentingan umum atau tidak; artinya jika

lapangan pekerjaannya bertujuan untuk kepentingan umum, maka badan

hukum tersebut merupakan badan hukum publik, akan tetapi jika tujuannya

untuk kepentingan perseorangan maka badan hukum itu merupakan badan

hukum privat.

Berkaitan dengan badan hukum (korporasi) sebagai subyek hukum,

menurut Sudikno Mertokusumo subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat

memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Hak dan kewajiban dari hukum itu

hanyalah manusia.117 Kenyataan dewasa ini, dalam lapangan masyarakat bukan

saja manusia yang oleh hukum diakui sebagai subyek hukum tetapi juga diberikan

kepada subyek hukum yang bukan manusia yaitu badan hukum.

Menurut Alvi Syahrin, suatu badan hukum merupakan suatu badan (entity)

yang keberadaannya terjadi karena hukum atau undang-undang, dan sebagai

116

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, op.cit, hlm. 14 117

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,

1999), hlm. 67.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

57

subyek hukum secara materil ia (badan hukum) mencakup hal-hal sebagai

berikut:118

1) Kumpulan atau asosiasi modal (yang ditujukan untuk menggerakkan kegiatan

perekonomian dan atau tujuan khusus lainnya).

2) Kumpulan modal ini dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling)

dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking), dan ini menjadi tujuan

dari sifat dan keberadaan badan hukum, sehingga ia dapat digugat atau

menggugat di depan pengadilan.

3) Modal yang dikumpulkan ini selalu diperuntukkan bagi kepentingan tertentu,

berdasarkan pada ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang

mengaturnya. Sebagai suatu perkumpulan modal, maka kumpulan modal

tersebut harus dipergunakan untuk dan sesuai dengan maksud dan tujuan yang

sepenuhnya diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya, yang menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Kumpulan modal ini mempunyai pengurus yang akan bertindak untuk

mewakili kepentingan badan hukum ini, yang berarti adanya pemisahan antara

keberadaan harta kekayaan yang tercatat atas nama kumpulan modal ini

dengan pengurusan harta kekayaan tersebut oleh pengurus.

5) Keberadaan modal badan hukum ini tidak dikaitkan dengan keanggotaan

tertentu. Setiap orang yang memenuhi syarat dan persyaratan yang diatur

dalam statuta atau anggaran dasarnya dapat menjadi anggota badan hukum ini

dengan segala hak dan kewajibannya.

118

Alvi Syahrin, Tinjauan Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.

862/K/PID.SUS/2010,http://alviprofdr.blogspot.com/2013/11/tinjauan-terhadap-putusan-mari-

no.html#more, diakses tanggal 12 April 2016.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

58

6) Sifat keanggotaannya tidak permanen dan dapat dialihkan atau beralih kepada

siapapun juga, meskipun keberadaan badan hukum ini sendiri adalah

permanen atau tidak dibatasi jangka waktu berdirinya.

7) Tanggungjawab badan hukum dibedakan dari tanggungjawab pendiri,

anggota, maupun pengurus badan hukum tersebut.

b. Bukan Badan Hukum

Adapun badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum dapat

dikategorikan menjadi tiga bentuk yaitu: persekutuan perdata,

persekutuan/perusahaan firma (fa) persekutuan/perusahaan komanditer (CV).

Perbedaan antara badan hukum yang berbentuk badan hukum dan bukan badan

hukum terlihat dari perbedaan prosedur pendirian badan usaha tersebut. Untuk

pendirian badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum, maka syarat adanya

pengesahan akta pendirian dari pemerintah tidak diperlukan.119Sedangkan menurut

Abdul Kadir Muhammad, badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum dapat

dikategorikan sebagai:

a) Perusahaan perseorangan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan

dimiliki oleh pengusaha perseorangan, misalnya: perusahaan industri,

perusahaan dagang dan perusahaan jasa.

b) Perusahaan persekutuan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan

dimiliki oleh beberapa orang pengusaha secara bekerjasama. Perusahaan ini

dapat menjalankan usaha dalam semua bidang perekonomian, yaitu bidang

119

Mahmud Mulyadi, Hakekat... op.cit, hlm. 209.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

59

industri, dagang dan jasa yang dapat berbentuk perusahaan Firma (fa) dan

persekutuan komanditer (CV).120

Menurut Loebby Loqman, dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana

tentang apa yang dimaksud dengan korporasi sebenarnya terdapat dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah

suatu kumpulan dagang yang berbadan hukum. Jadi dibatasi bahwa korporasi

yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang sudah

berbadan hukum. Alasannya adalah bahwa dengan sudah berbadan hukum, telah

jelas susunan pengurus serta sejauh mana hak dan kewajiban dalam korporasi

tersebut. Pendapat lain adalah yang bersifat luas; dimana dikatakan bahwa

korporasi tidak perlu harus berbadan hukum. Setiap kumpulan manusia, baik

dalam hubungan suatu dagang ataupun usaha lainnya, dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana. Selanjutnya menurut Sutan Remy

Sjahdeini, dalam hukum pidana, pengertian korporasi tidak hanya badan hukum,

melainkan meliputi badan hukum maupun bukan badan hukum., bukan saja

badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau

perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum, tetapi juga firma, CV,

dan persekutuan yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukanlah

suatu badan hukum.121

Adapun menurut penulis, pada hakikatnya apabila

korporasi hanya dimaknai secara sempit sebagai badan hukum, tidaklah dapat

memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Karena dalam perkembangan

kehidupan perekonomian global yang semakin kompleks, sesungguhnya pelaku

120

Ibid., hal. 210 121

Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers,

2006), hlm. 45.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

60

usaha, yang dalam tulisan ini adalah pelaku usaha perkebunan nyatanya bukan

hanya berasal dari sebuah korporasi berbadan hukum, tetapi juga korporasi tidak

berbadan hukum. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya pengaturan korporasi

sebagai subjek tindak pidana dalam arti yang luas.

2. Tahap-Tahap Pengakuan Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana

Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana sudah

dimulai sejak tahun 1635, ketika itu sistem hukum Inggris mengakui bahwa

korporasi dapat bertanggung jawab secara pidana terhadap tindak pidana ringan.122

Adapun pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana sesungguhnya tidak

muncul melalui penelitian yang mendalam dari para ahli, tapi justru merupakan

akibat dari formalisme hukum (legal formalism). Doktrin pertanggungjawaban

pidana korporasi telah berkembang tanpa adanya teori yang membenarkannya.

Penerimaan korporasi sebagai subjek hukum layaknya manusia tidak dapat

dilepaskan dari peran pengadilan. Adalah hakim dalam sistem common law yang

melakukan suatu analogi atas subjek hukum manusia, sehingga korporasi juga

memiliki identitas hukum dan penguasaan kekayaan dari pengurus yang

menciptakannya.123

Yedidia Z. Stern sebagaimana dikutip dalam Mahrus Ali menyatakan

bahwa para hakim yang ada pada waktu itu tidak memiliki banyak teori untuk

membebankan tindakan para agen kepada korporasi, berusaha mempertanyakan

122

Andrew Weissmann dan David Newman, “Rethinking Criminal Corporate Liability”,

Indiana Law Journal, 2007, http://www.corporatecrimereporter.com/wp-content/uploads/

2013/07/weissmann.pdf, diakses pada tanggal 7 April 2016, hlm. 419. 123

Ibid., hlm. 418 - 419.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

61

apakah suatu korporasi, dengan entitas hukum tanpa memiliki bentuk psikis yang

jelas dapat juga dipersyaratkan memiliki kondisi/keadaan psikologis untuk adanya

suatu penuntutan sebagaimana halnya kejahatan-kejahatan lain yang

mensyaratkan adanya hal itu.124

Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana penuh

dengan hambatan-hambatan teoritis, tidak seperti pengakuan subjek hukum

pidana manusia. Hambatan-hambatan teoritis tersebut dapat didasarkan pada dua

hal, yakni: Pertama, begitu kuatnya teori fiksi (fiction theory) yang dicetuskan

Carl Von Savigny125, dan Kedua, masih dominannya asas universitas delinguere

non potest yang berarti bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak

pidana.126 Dominasi asas ini dapat dilihat dalam KUHP Indonesia yang memang

tidak mencantumkan pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Dapat

disimpulkan, bahwa KUHP Indonesia masih menganut bahwa suatu delik hanya

dapat dilakukan oleh manusia sedangkan badan hukum tidak diakui dalam hukum

pidana.127

Dalam perkembangannya, dua alasan di atas lama kelamaan mulai

melemah pengaruhnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh dua hal: Pertama, korporasi

merupakan aktor utama perekonomian dunia, sehingga kehadiran hukum pidana

dianggap sebagai metode paling efektif untuk memengaruhi tindakan-tindakan

124

Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 99. 125

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (Strict

Liability dan Vicarious Liability), (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), hlm. 30. 126

Bandingkan dengan Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: Utomo, 2004), hlm. 25. Pada

tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah manusia alamiah semata.

Pandangan ini dianut KUHP melalui Pasal 59, yang dipengaruhi asas “societas delinquere non

potest”, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan delik. 127

Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2010). hlm, 39.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

62

aktor rasional korporasi.128 Kedua, keuntungan yang diperoleh korporasi dan

kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya sehingga tidak akan

mungkin seimbang apabila korporasi hanya dijaruhi sanksi keperdataan. Dalam

kedua konteks inilah sanksi pidana diperlukan.129 Dikarenakan anggapan bahwa

tidak adil bila korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti halnya

manusia, maka muncullah tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek

hukum dalam hukum pidana. Tahap tersebut antara lain:

a. Perkembangan Tahap Pertama

Pada tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah

manusia alamiah semata, tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik

yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon).130

Akibatnya, ketika suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, karena

telah dibebankan “tugas mengurus” (zorgplicht), maka tindak pidana tersebut

dianggap dapat dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.131

Perkembangan

tahap ini telah terlihat sejak KUHP tahun 1886 dibentuk, di mana pembentuk

undang-undang telah mulai memasukkan larangan-larangan dan perintah-perintah

terhadap pengurus yang bertanggung jawab, berupa kewajiban-kewajiban dalam

beberapa peraturan dan undang-undang khusus tertentu, dengan maksud supaya

128

Beth Stephens, “The Amorality of Profit: Transnasional Corporation and Human

Rights”, Berkeley Journal of International Law, 2002, http://scholarship.law.berkeley.edu

/cgi/viewcontent.cgi?article=1207&context=bjil, diakses pada tanggal 7 April 2016, hlm. 46. 129

Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 27-28. 130

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 66 131

Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 52

Universitas Sumatera Utara

Page 27: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

63

mereka bertanggung jawab dalam pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut

terhadap badan atau perusahaan yang dipimpinnya.132

Alasan tidak dapatnya korporasi dipidana, antar lain: Pertama, asas hukum

pidana yang ada di KUHP berlandaskan pada ajaran kesalahan pribadi dan hanya

ditujukan kepada orang alamiah.133 Kedua, hukuman-hukuman pokok yang ada di

KUHP mempunyai sifat kepribadian. Ketiga, hukuman yang menyangkut

kemerdekaan tidak dapat dilaksanakan oleh korporasi. Keempat, meski hukuman

denda dapat dijatuhkan kepada korporasi, yang dijatuhi hukuman denda itu dapat

memilih untuk membayar denda atau menjalani hukuman kurungan sebagai

penggantinya.134 Pandangan ini dianut KUHP Indonesia melalui Pasal 59, yang

berbunyi:

“Dalam hal-hal di mana ditentukan pidana karena pelanggaran terhadap

pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka

pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur

melakukan pelanggaran, tidak pidana.”

Melalui bunyi pasal tersebut, telah terlihat bahwa secara implisit pidana

ditentukan hanya kepada pengurus, pasal ini masih dipengaruhi asas “societas

delinquere non potest”135, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan delik.136 Oleh

132

Schaffmeister, Nico Keijzer dan Sutorius, Hukum Pidana, diterjemahkan pleh J. E.

Sahetapy, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm. 274. 133

Bandingkan dengan Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Berikut Studi Kasus, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 28, yang mengatakan bahwa pada

mulanya orang tidak menerima pertanggungjawaban korporasi dalam perkara pidana karena

korporasi tidak mempunyai perasaan seperti manusia sehingga tidak mungkin melakukan

kesalahan. 134

J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, (Jakarta: Bina Aksara,

1987), hlm. 289. 135

Endsche sebagaimana dikutip Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 53.

Menyatakan bahwa ketentuan universitas delinquere non potest adalah contoh khas dari pemikiran

secara khas dari abad XIX, di mana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan dan

sesungguhnya hanya kesalahan manusia, sehingga erat kaitannya dengan sifat individualisasi

KUHP.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

64

sebab itu apabila suatu korporasi melakukan delik, itu dianggap dilakukan oleh

pengurusnya, karena melakukan delik pada waktu itu diartikan sebagai sesuatu

perbuatan fisik dari si pembuat.137

Dalam perkembangannya pada tahap pertama ini tantangan besar muncul

berkenaan dengan tertutupnya kemungkinan menerapkan pertanggungjawaban

pidana terhadap korporasi. Dalam hal pemilik atau pengusahanya adalah

korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa pengurusnya bertanggung

jawab, maka bagimana memutuskan tentang pembuat dan

pertanggungjawabannya? Kesulitan inilah yang akan dijawab pada perkembangan

tahap kedua.

b. Perkembangan Tahap Kedua

Ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang Dunia I dalam

perumusan undang-undang, bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh

korporasi. Namun, tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari pengurus

korporasi. Perumusan yang khusus ini, yaitu apabila suatu tindak pidana

dilakukan oleh suatu pimpinan atau karena suatu korporasi. Tuntutan pidana dan

pidana harus dijatuhkan terhadap anggota pimpinan. Perumusan ini dilandasi

pemikiran bahwa sering terjadi kedudukan dalam korporasi itu yang memberi

kesempatan untuk melakukan delik.138 Secara perlahan-lahan tanggung jawab

pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau

136

Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 25. 137

Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 277. 138

Ibid, hlm. 277. Bandingkan dengan Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 36-37.

Universitas Sumatera Utara

Page 29: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

65

kepada mereka yang secara nyata memimpin dan melakukan perbuatan yang

dilarang tersebut.139

Meskipun demikian, Hasbullah F. Sjawie berpendapat bahwa

perkembangan yang terjadi ini belum dapat dikategorikan suatu perubahan

tahapan karena meski di sini sudah ada pengakuan bahwa subjek hukum pidana

meliputi juga korporasi, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dibebankan

kepada pengurusnya. Oleh sebab itu, pada hakikatnya perkembangan ini tidak

dapat dijadikan sebagai tahapan tersendiri karena Pasal 59 KUHP itu juga secara

tidak langsung mengakui adanya korporasi walau tidak disebut bahwa korporasi

adalah juga subjek hukum pidana, yang dipertanggungjawabkan adalah

pengurusnya.140

c. Perkembangan Tahap Ketiga

Merupakan permulaan adanya tanggung jawab langsung korporasi. Dalam

tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta

pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasannya sebagaimana telah

diungkapkan sebelumnya adalah karena dalam delik-delik ekonomi dan fiskal

keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat

dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana

pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan

bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan

bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan memidana

korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu,

139

Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 26. 140

Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm 277.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

66

diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati peraturan yang

bersangkutan.141

Berkaitan dengan hal di atas, merujuk pada ketentuan dan Memorie van

Toelichting (MvT) Pasal 59 KUHP, bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh

seseorang dan keberadaan badan hukum tidak berlaku dalam hukum pidana.

Oemar Seno Adji berpendapat bahwa mungkin pembuat undang-undang pada

saat itu tidak voorzien (menduga) bahwa hukum pidana ekonomi, fiskal, dan

bahkan hukum pidana politik akan mengandung ketentuan yang meninggalkan

asas bahwa hanya orang yang dapat melakukan sesuatu tindak pidana dan fiksi

mengenai badan hukum itu tidak berlaku dalam hukum pidana. Teori fiksi

sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, menyediakan tempat bagi suatu

pandangan yang sebelumnya dikemukakan oleh von Gierke, yang melihat badan

hukum itu sebagai suatu realitas dan bukan fiksi lagi, yang terpisah dari orang

perorangannya. Karena, jika hukum pidana ekonomi, fiskal, dan hukum pidana

politik menerima adanya pemidanaan terhadap korporasi, itu didasarkan tidak saja

pada pertimbangan-pertimbangan utilitis, tetapi juga atas dasar-dasar teoritis yang

dapat dibenarkan. Hal ini merupakan penyimpangan Pasal 59 KUHP.142

Berkenaan dengan tahapan ini, Oemar Seno Adji berpendapat bahwa, baik

perundang-undangan maupun ilmu hukum telah mematahkan persoalan mengenai

tanggung jawab pidana dari korporasi dan telah mengesampingkan pikiran dalam

KUHP bahwa hanya peroranganlah yang dapat dipandang sebagai subjek dari

suatu tindak pidana. Ia berpandangan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana

141

Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 27-28. 142

Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1984),

hlm. 159-160.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

67

Ekonomi, demikian pula Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Subversi, undang-undang dan praktik hukum di luar negeri, ajaran-ajaran yang

digariskan oleh von Gierke, adalah petunjuk-petunjuk bahwa harus ditempuh jalan

baru mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana karena dalam zaman

modern ini korporasi tersebut merupakan faktor yang cukup dominan yang

bergerak dalam perekonomian dan perdagangan, maka tentu akan meletakkan

jejaknya pula terhadap hukum pidana.143

3. Korporasi sebagai Subjek Hukum dalam Perundang-undangan di Indonesia

Tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum di Indonesia tidak

mengikuti perkembangan di Belanda, yang dewasa ini perkembangannya telah

sampai pada tahap di mana ketentuan mengenai korporasi sebagai subjek hukum

pidana tidak lagi tersebar di luar Wetboek van Strafrecht (WvS). Sejak lahirnya

Undang-undang tanggal 23 Juni 1976 Staatsblad 377 yang disahkan pada tanggal

1 September 1976, mengenai subjek hukum korporasi selain manusia telah

ditempatkan dalam ketentuan umum Pasal 51 WvS (Strafbarefeiten kunnen worde

begaan door natuurlijke personen en rechtspersonen).144 Sejak itulah korporasi

diperlakukan sebagai subjek hukum pidana di Belanda secara keseluruhan.

Pasal 51 WvS Belanda tidaklah menggunakan istilah corporatie, tetapi

istilah rechtspersoon atau badan hukum, selengkapnya berbunyi:145

(1) Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;

143

Ibid., hlm. 280. 144

Lihat Loebby Loqman, Delik Politik di Indonesia, (Jakarta: Ind.Hill-Co., 1993), hlm.

100. 145

Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 69-70.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

68

(2) Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan

tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan

tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap:

a. Badan hukum, atau;

b. Terhadap mereka yang memerintah melakukan perbuatan itu, demikian

pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan

tindakan yang dilarang itu;

c. Terhadap yang disebutkan dalam a dan b bersama-sama.

(3) Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum perseroan

tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan.

Dengan lahirnya undang-undang ini, maka di Belanda badan hukum

sebagai subjek hukum pidana bukan lagi merupakan penyimpangan asas, karena

telah diatur dalam KUHP mereka, karena semua ketentuan perundang-undangan

pidana khusus yang tersebar di luar WvS Belanda yang mengatur tentang

pertanggungjawaban pidana korporasi dicabut karena dipandang tidak perlu lagi

sebab dengan diaturnya pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal 51 WvS

Belanda, maka sebagai ketentuan umum berdasar Pasal 91 WvS Belanda (Pasal

103 KUHP Indonesia), ketentuan ini berlaku untuk semua peraturan di luar

kodifikasi sepanjang tidak disimpangi.146

Perkembangan yang tidak diikuti oleh KUHP Indonesia ini147

dapat

disebabkan oleh dua kemungkinan. Pertama, memang perubahan tersebut telah

diterima, akan tetapi karena sulitnya melakukan perubahan KUHP sehingga

146

Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 284. 147

Andi Hamzah, Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP, (Jakarta: Pradnya Paramita,

1980), hlm. 9. Aturan mengenai korporasi justru terpencar pada perundang-undangan di luar

KUHP. Hal tersebut disebabkan oleh:147

1. Adanya perubahan sosial secara cepat sehingga perubahan-perubahan itu perlu disertai dan

diikuti dengan peraturan-peraturan hukum dengan sanksi pidananya. Hukum di sini telah

berfungsi, baik sebagai social engineering maupun social control;

2. Kehidupan modern semakin kompleks sehingga di samping adanya peraturan hukum pidana

berupa unifikasi yang tahan lama-KUHP-di perlukan pula peraturan pidana yang bersifat

temporer.

Universitas Sumatera Utara

Page 33: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

69

perubahan hanya dilakukan dalam perundang-undangan pidana khusus. Kedua,

adalah mungkin memang secara umum belum dapat diterima di Indonesia badan

hukum dianggap sebagai subjek hukum pidana dan atas hal-hal tertentu saja

dimungkinkan penyimpangan itu.148

Di Indonesia dewasa ini pertanggungjawaban pidana korporasi secara

langsung memang hanya terdapat dan berlaku terhadap beberapa perundang-

undangan khusus di luar KUHP,149 yang pada tulisan ini diambil beberapa contoh

perundang-undangan yang erat kaitannya dengan bidang perkebunan, antara lain:

1. Undang-Undang Penataan Ruang

Ketentuan pasal 1 angka 33 UU No. 26 Tahun 2007150

telah menyebutkan

bahwa “orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi”. Pengaturan ini

selanjutnya diikuti dengan pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana

yang dapat dilakukan korporasi dalam pasal 74 yang berbunyi:

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70,

Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan

denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi

berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72. Pengaturan mengenai korporasi dalam UU No. 26 Tahun 2007 telah

menunjukkan bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana, namun pengaturan

ini belum secara eksplisit menjelaskan korporasi manakah yang dirujuknya

148

Loebby Loqman, op.cit, hlm 109. 149

Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 60. Perundang-undangan di luar KUHP itu

dinamakan perundang-undangan pidana khusus, yaitu semua perundang-undangan di luar KUHP

yang mengandung ketentuan pidana. Sedangkan perundang-undangan pidana umum adalah KUHP

dan semua perundang-undangan yang mengubah atau menambah KUHP. Lihat juga Andi

Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 5. 150

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 4725)

Universitas Sumatera Utara

Page 34: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

70

sebagai subjek dalam Undang-Undang ini, apakah korporasi berbadan hukum atau

bukan berbadan hukum.

2. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 1 angka 33 UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa “setiap

orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum

maupun yang tidak berbadan hukum.” Selanjutnya pengaturan bahwa korporasi

dapat dipidana diatur dalam pasal 116 ayat (1):

Pasal 116

(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama

badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

a. badan usaha; dan/atau

b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau

orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana

tersebut.

Istilah korporasi tidak secara eksplisit digunakan dalam UU No. 32 Tahun

2009, istilah yang dipergunakan adalah badan usaha, yang sesungguhnya

mengacu pada istilah korporasi, sebagai suatu subjek yang dapat bertindak dan

dapat mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang dilakukannya.

Korporasi atau dalam hal ini badan usaha pun dimaknai secara luas, yaitu

berbadan hukum dan bukan berbadan hukum.

3. Undang-Undang Kehutanan

Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan menyebutkan bahwa: “setiap

orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan

perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia dan/atau

Universitas Sumatera Utara

Page 35: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

71

berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia”. Selanjutnya korporasi sebagai

subjek tindak pidana juga dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 119 ayat (1) dan

(2), yang berbunyi:

Pasal 109

(1) Dalam hal perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan,

pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh atau atas

nama suatu korporasi, tuntutan dan/atau penjatuhan pidana dilakukan terhadap

korporasi dan/atau pengurusnya.

(2) Perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan,

pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh korporasi

apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang perorangan, baik berdasarkan

hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi

tersebut baik secara sendiri maupun bersama-sama.

UU No. 18 Tahun 2013 telah secara eksplisit menegaskan bahwa

korporasi merupakan suatu entitas yang dapat melakukan tindak pidana, dan dapat

melakukan pertanggungjawaban pidana. Korporasi yang dimaksud dalam

Undang-Undang ini adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 22, yakni

korporasi berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum.

4. Undang-Undang Tentang Perkebunan

Sejalan dengan ketiga Undang-Undang yang telah diuraikan sebelumnya,

UU No. 39 Tahun 2014 juga menyebutkan secara eksplisit bahwa: “Setiap Orang

adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun

yang tidak berbadan hukum.” Aturan yang telah mengartikan korporasi dalam

pemaknaannya secara luas ini, juga diikuti aturan tentang pertanggungjawaban

pidana korporasi yang tercantum dalam Pasal 113 ayat (1), yang berbunyi:

Pasal 113 (1) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104,

Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109 dilakukan oleh

korporasi, selain pengurusnya dipidana berdasarkan Pasal 103, Pasal 104,

Universitas Sumatera Utara

Page 36: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

72

Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109, korporasinya

dipidana dengan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga) dari

pidana denda dari masing-masing tersebut.

Pengaturan ini berbeda dengan Undang-Undang Perkebunan sebelumnya,

yakni UU No. 18 Tahun 2004 yang telah dicabut. UU No. 18 Tahun 2004 sama

sekali tidak menyebutkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya secara langsung. Pada Pasal 1 Angka 4

memang telah dijelaskan bahwa “pelaku usaha perkebunan adalah pekebun dan

perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan.” Kemudian yang

dimaksud dengan perusahaan perkebunan dijelaskan pada Pasal 1 Angka 6 yang

berbunyi: “Perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara

Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala

tertentu.” Kedua pasal dalam UU 18 Tahun 2004 ini sebenarnya telah

menerangkan bahwa sesungguhnya perusahaan atau yang dalam peraturan lain

lazim disebut sebagai badan usaha merupakan subjek hukum di bidang

perkebunan. Akan tetapi timbul kerancuan ketika bab mengenai ketentuan pidana

justru memakai frasa “setiap orang”151

yang mana tidak dijelaskan sama sekali

dalam bab ketentuan umum tersebut mengenai siapakah yang dimaksud dengan

“setiap orang” tersebut. Kemudian, apabila mencermati bab ketentuan pidana

dalam UU No. 18 Tahun 2004, memang tidak ada menyebutkan sama sekali

mengenai pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, sehingga dapatlah

151

Perhatikan Pasal 46-54 UU No. 18 Tahun 2004.

Universitas Sumatera Utara

Page 37: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

73

disimpulkan bahwa UU No. 18 Tahun 2004 belum mengklasifikasikan korporasi

sebagai subjek hukum pidana.

Melalui perbandingan beberapa undang-undang khusus di atas, terlihat

bahwa pengaturan tentang korporasi belum seragam. Nampaknya pembentuk

Undang-Undang belum dapat menentukan sebuah defenisi konkrit mengenai

korporasi sehingga dapat dijadikan acuan bagi aturan perundang-undangan secara

umum.

Perkembangan pengakuan terhadap korporasi sebagai subjek hukum

pidana tampak sudah mendunia dan telah dibuktikan, antara lain, dengan

diselenggarakannya konferensi internasional ke-14 mengenai Criminal Liability of

Corporation di Athena pada tanggal 31 Juli - 6 Agustus 1994. Pada konferensi

tersebut, misalnya Finlandia yang semula tidak megatur korporasi sebagai subjek

hukum pidana tetapi dalam perkembangannya telah mengakui korporasi sebagai

subjek hukum pidana, dan dapat dipertanggungjawabkan.152

Semakin kuatnya pendirian banyak negara untuk menetapkan korporasi

sebagai subjek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana dan

kedudukannya yang tidak hanya di dalam hukum pidana khusus, membuat

Indonesia mulai menerima pendirian demikian. Melalui Rancangan Undang-

Undang KUHP 2012, Indonesia telah mengatur tentang pengertian korporasi

dalam ketentuan umum Buku I. Adapun pasal-pasal yang dimaksud adalah

sebagai berikut:

152

M. Arief Amrullah, Ketentuan dan Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi, Makalah disampaikan dalam Workshop Tanggungjawab Sosial Perusahaan PUSHAM

UII, Yogyakarta, 6-8 Mei 2008, hlm. 10.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

74

Paragraf 6

Korporasi

Pasal 47

Korporasi merupakan subjek tindak pidana.

Pasal 48

Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang

yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang

bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi,

berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha

korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Pasal 49

Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana

dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

Pasal 50

Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu

perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan

tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam

anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang

bersangkutan.

Pasal 51

Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang

pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.

Pasal 52

(1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan

apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna

daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.

(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dalam

putusan hakim.

Pasal 53

Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat

yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi

sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang

didakwakan kepada korporasi.

Perubahan aturan-aturan hukum pidana nasional yang terlihat dalam RUU

KUHP, dilakukan dalam rangka pembaharuan sistem hukum pidana nasional.153

153

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM RI, Draft Naskah

Akademik Tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

(Jakarta, Maret 2015), hlm. 2. Muladi dan Diah Sulistyanti sebagaimana dikutip dari Naskah

Akademik RUU KUHP menyatakan bahwa pembaharuan dan pembangunan hukum pidana tidak

dapat dilakukan secara ad-hoc (partial) tetapi harus bersifat mendasar, menyeluruh dan sistemik

dalam bentuk rekodifikasi yang mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok hukum pidana yaitu

perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum (criminal act), pertanggungjawaban pidana

Universitas Sumatera Utara

Page 39: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

75

Rancangan KUHP tahun 2012 ini menghapus keragu-raguan dan sekaligus

menegaskan kedudukan subjek hukum korporasi dalam hukum pidana Indonesia.

C. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Dalam usaha untuk mencapai keuntungannya, sebagaimana telah

dipaparkan sebelumnya, korporasi melakukan segala kegiatan usahanya dengan

menganut hirarki organisasi. Perbuatan yang memang ditujukan untuk

memberikan keuntungan dilakukan oleh mereka yang menduduki posisi tertentu.

Inilah yang menjadi salah satu alasan munculnya perkembangan doktrin

pertanggungjawaban pidana oleh korporasi. Doktrin ini digunakan untuk mencari

cara bagaimana korporasi dapat dimintai pertanggungjawabannya melalui

perbuatan pribadi atau pihak tertentu yang mempunyai hubungan dengan

korporasi.

Langkah pertama untuk menerapkan pertanggungjawaban pidana

korporasi diambil oleh negara-negara Common Law seperti Inggris, Amerika

Serikat dan Kanada, dikarenakan revolusi industri terlebih dahulu terjadi pada

negara-negara ini. Tanpa mengingat keengganan semula untuk menghukum

korporasi,154 pengakuan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi oleh

(criminal responsibility) baik dari pelaku berupa manusia alamiah (natural person) maupun

korporasi (corporate criminal responsibility) dan pidana serta tindakan yang dapat diterapkan. 154

Alvi Syahrin, Beberapa Isu..., op.cit, hlm. 24. Beberapa alasan keengganan tersebut

yaitu: korporasi merupakan subjek hukum fiksi, dan menurut paham ultra vires (bersalah karena

bertindak melewati kewenangan) kesalahan yang dapat dihukum apabila melanggar Anggaran

Dasar Perusahaan, terdapat hambatan-hambatan lain seperti kurangnya mens rea serta siapa yang

harus dihadirkan ke persidangan secara pribadi.

Universitas Sumatera Utara

Page 40: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

76

pengadilan Inggris dimulai pada tahun 1842, saat korporasi didenda karena gagal

dalam menjalankan tugasnya menurut peraturan perundang-undangan.155

Beberapa kurun waktu, pengadilan Inggris memakai doktrin respondeat

superior atau vicarious liability, dimana tindakan bawahan/subordinat

dilimpahkan kepada korporasi. Meskipun demikian, tanggung jawab eksplisit

hanya digunakan dalam kasus-kasus pelanggaran tertentu, dan kemudian

digantikan oleh teori identifikasi (identification theory).156

Sistem hukum Anglo-Saxon telah menciptakan dua bentuk dasar untuk

meminta pertanggungjawaban korporasi, yaitu vicarious liability dan

identification doctrine. Kedua bentuk ini berasal dari ranah hukum perdata yang

diserap dalam hukum pidana, walaupun identification doctrine dibentuk melalui

pemikiran hukum pidana. Walapun terdapat perbedaan yang mendasar dari

keduanya, dalam hal esensi, struktur, dan untuk sebagian besar jangkauannya,

kedua bentuk pertanggungjawaban ini ingin mengadaptasi dan mengimitasi

bagaimana pertanggungjawaban pidana yang dikenakan pada manusia kodrati.

Akan tetapi perkembangan pemikiran manusia menimbulkan berbagai doktrin

baru mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut, yang dapat

diuraikan sebagai berikut:

1. Vicarious Liability

Lazim disebut dengan pertanggungjawaban pengganti, diartikan sebagai

pertanggungjawaban menurut hukum seorang atas perbuatan salah yang dilakukan

oleh orang lain. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa vicarious liability adalah

155

Ibid. 156

Ibid., hlm. 25.

Universitas Sumatera Utara

Page 41: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

77

suatu konsep pertanggungjawaban seorang atas kesalahan yang dilakukan oleh

orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam ruang

lingkup pekerjaannya. (the legal responsibility of one person for wrongful acts of

another, as for example, when the acts are done within scope of employment).157

Black‟s Law Dictionary mendefenisikan vicarious liability sebagai berikut:

“Liability that a supervisor party (such as an employer) bear for the action are

conduct of sub-ordinate or associate (such as an employee) because of the

relationship between the two parties.”158

Dengan pengertian tersebut, doktrin ini pada dasarnya adalah untuk

menjawab pertanyaan, apakah terhadap seseorang dapat dikenakan

pertanggungjawaban secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang

lain.159 Pertanggungjawaban pidana yang umumnya hanya dapat terjadi jika pada

diri pembuatnya terdapat unsur kesalahan, dengan vicarious liability diberikan

pengecualian, di mana seorang lain bertanggungjawab atas perbuatan yang

dilakukan oleh orang lain.160

Pengecualian ini terjadi apabila ada hubungan kerja,

sebagaimana dalam asas respondeat superior,161

dijelaskan sebagai bentuk adanya

hubungan antara master dan servant atau antara principal dan agent, dimana

157

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1994), hlm. 33. 158

Black‟s Law Dictionary, dikutip dari Mahrus Ali, op.cit, hlm. 119. 159

Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 301. Menurut Hasbullah, secara umum tidak

dimungkinkan adanya permintaan pertanggungjawaban secara pidana kepada seseorang atas

tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain karena sifatnya yang personal dan seseorang itu

dipidana akibat dari kesalahannya sendiri dan bukan akibat kesalahan orang lain. 160

M. Arief Amrullah, op.cit, hlm. 18. 161

Lihat Barda Nawawi Arief, op.cit, hlm. 37. Respondeat superior sebenarnya

merupakan hasil pengadopsian dari prinsip yang ada dalam hukum perdata, yaitu perbuatan

melawan hukum, di mana dikenal suatu prinsip bahwa majikan akan bertanggung jawab atas

perbuatan melawan hukum yang dilakukan karyawannya.

Universitas Sumatera Utara

Page 42: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

78

berlaku adagium yang berbunyi qui facit per alium facit per se (seorang yang

berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu).

Dalam perbuatan-perbuatan perdata, seorang pemberi kerja

bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya

sepanjang hal itu terjadi dalam rangka pekerjaannya.162 Hal ini memberikan

kemungkinan kepada pihak yang dirugikan karena perbuatan-perbuatan melawan

hukum mereka untuk menggugat pemberi kerjanya agar membayar ganti rugi

sepanjang dapat dibuktikan pertanggungjawabannya.163 Rasionalitas penerapan

doktrin ini adalah karena majikan (korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas

mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung dimiliki oleh

majikan (korporasi).

Prinsip hubungan kerja yang dikenal dalam doktrin vicarious liability,

disebut juga dengan prinsip delegasi.164 Prinsip delegasi terkait dengan

mendelegasikan wewenang seseorang (korporasi) kepada bawahannya atau

kuasanya yang bertindak untuk dan atas namanya, tetapi pemberi kuasa harus

bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan penerima wewenang apabila ia

melakukan tindak pidana, sekalipun dia tidak mengetahui apa yang telah

dilakukan oleh bawahannya itu. Hal ini patut untuk ditekankan bagi korporasi,

sebagaimana pendapat Scalan dan Ryan menyatakan bahwa kebijakan hukum

telah menentukan bahwa suatu pendelegasian tidak dapat menjadi alasan pemaaf

bagi seorang pemberi kerja untuk tidak memikul pertanggungjawaban pidana

162

C. M. V. Clarkson dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 119. Vicarious liability hanya

dibatasi pada keadaan tertentu di mana majikan (korporasi) hanya bertanggung jawab atas

perbuatan salah pekerja yang masih dalam ruang lingkup pekerjaannya. 163

Sutan Remy Sjahdeini, op.cit,, hlm. 84. 164

Ibid., hlm. 97.

Universitas Sumatera Utara

Page 43: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

79

semata-mata karena tindak pidana tersebut telah dilakukan oleh bawahannya yang

telah menerima pelimpahan wewenang darinya.165 Salah satu contoh penerapan

teori vicarious liability adalah kasus Allen vs Whitehead:166

X adalah pemilik rumah makan yang pengelolaannya diserahkan kepada Y

(sebagai manager). Berdasarkan peringatan polisi, X telah

menginstruksikan dan melarang Y untuk mengizinkan pelacuran di rumah

makan itu, yang ternyata dilanggar Y. Dalam kasus itu, X

dipertanggungjawabkan berdasarkan Metropolitan Police Act, 1839, Pasal

44. Konstruksi hukumnya adalah bahwa X telah mendelegasikan

kewajibannya kepada Y (manager rumah makan). Dengan telah

dilimpahkannya kebijaksanaan usaha rumah makan itu pada manager,

maka pengetahuan si manager merupakan pengetahuan dari si pemilik

rumah makan.

Terdapat beberapa alasan mengapa doktrin vicarious liability dibutuhkan

dimana pertanggungjawaban pidana secara individual tidak dapat digunakan

sehingga terdapat tempat bagi korporasi untuk bertanggung jawab, antara lain:167

a. Penerima kuasa seringkali tidak mempunyai aset yang mencukupi untuk

membayar kerugian yang timbul akibat suatu kesalahan dan

pertanggungjawaban pidana korporasi dapat membantu mengurangi masalah

yang timbul dari kesalahannya.

b. Pertanggungjawaban korporasi meningkatkan pencegahan jika penerima kuasa

terbukti menempatkan aset korporasi dalam bahaya dan memaksa korporasi

untuk menginternalisasi “biaya” sosial yang timbul akibat kesalahan tersebut.

Jika korporasi yang menanggung biaya tersebut, maka korporasi telah

165

Lihat Mahrus Ali., op.cit, hlm. 120 166

Hamzah Hatrik, op.cit, hlm. 116-117. 167

V.S Khanna, “Corporate Liability Standards: When Should Corporations Be Held

Criminally Liable?”, American Criminal Law Review, http://crawl.prod.proquest.com.s3.

amazonaws.com/fpcache/c32f92d88d0cedd33b2058d54439f274.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAJF

7V7KNV2KKY2NUQ&Expires=1464668037&Signature=drsWw3axPSjQgJB3D7mYeM0RTSU

%3D, diakses pada tanggal 15 April 2016, hlm. 3

Universitas Sumatera Utara

Page 44: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

80

meningkatkan motivasi untuk memonitor para penerima kuasa, mencegah

mereka melakukan kesalahan.

c. Jika penerima kuasa tidak terbukti melakukan kesalahan, maka mereka tidak

dapat dikenai pertanggungjawaban lewat identification doctrine karena para

penerima kuasa tidak dapat merespon pertanggungjawaban yang dibebankan

kepadanya.

Jika doktrin ini diterapkan pada korporasi, berarti korporasi dimungkinkan

harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para

pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapapun yang bertanggung

jawab kepada korporasi tersebut. Namun dapat disimpulkan berdasarkan uraian di

atas, setidaknya terdapat dua syarat penting untuk menerapkan doktrin vicarious

liability, yaitu: harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara

majikan dan pekerja, serta tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut

harus berkaitan atau massih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

2. Identification doctrine

Teori ini juga dikenal dengan istilah direct corporate criminal liability168

pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari agen tertentu dari korporasi, selama

tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan korporasi itu

sendiri.169 Sehingga apabila perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya tindak

pidana atau kerugian, sesungguhnya perbuatan tersebut merupakan tindak pidana

168

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 80 & 105. Mahrus Ali dalam bukunya membedakan

penjelasan mengenai identification doctrine dengan direct corporate criminal liability. Meskipun

dalam penjelasannya, Mahrus Ali menyatakan bahwa corporate criminal liability berhubungan

erat dengan doktrin identifikasi, yang menyatakan bahwa tindakan agen tertentu dalam suatu

korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan korporasi itu

sendiri. Lihat hlm. 106. 169

Eric Colvin dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 80.

Universitas Sumatera Utara

Page 45: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

81

yang dilakukan korporasi. Identification doctrine adalah doktrin yang menyatakan

bahwa perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara langsung lewat orang-

orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan mereka tidak sebagai

pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat

pertanggungjawaban pribadi.170

Doktrin ini juga berpandangan bahwa korporasi dianggap sebagai

“directing mind” atau “alter ego”. Artinya, perbuatan mens rea para individu itu

kemudian dikaitkan dengan korporasi . jika individu diberi kewenangan untuk

bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis korporasi, mens rea para

individu itu merupakan mens rea korporasi.171 Munculnya doktrin ini

dilatarbelakangi oleh teori organ172

, dikarenakan orang-orang yang identik dengan

korporasi sangat bergantung kepada jenis dan struktur organisasi. Organisasi

dalam banyak hal disamakan dengan tubuh manusia. Korporasi sebagai sebuah

organisasi memiliki otak dan pusat syaraf yang mengendalikan apa yang

dilakukannya. Ia memiliki tangan yang memegang alat dan bertindak sesuai

dengan arahan dari pusat syaraf. Beberapa orang di lingkungan korporasi itu

hanyalah karyawan dan agen yang tidak lebih dari tangan dalam melakukan

pekerjaannya dan tidak bisa dikatakan sikap batin atau kehendak perusahaan.173

170

Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 87. 171

Dwidja Priyatno, op.cit, hlm 89. 172

Lihat Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 307. Dengan menggunakan teori organ,

pengadilan bisa secara bijaksana menetapkan dan memperlakukan the state of mind of the senior

officers of the company as being the state of mind of the company. 173

Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 91. Bandingkan dengan tanggapan Hakim Denning

sebagaimana dikutip dari Dwidja Priyatno, Ia memberi tanggapannya sebagai berikut: “A company

may in many ways be likened to a human body. It has a brain and a nerve centre which can

controls what it does. It also had hands which hold the tools and act in accordance with are mere

servants and agents who are nothing more that hands to do the work and cannot be said represent

Universitas Sumatera Utara

Page 46: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

82

Di sisi lain, direktur atau pejabat setingkatnya mewakili sikap batin yang

mengarahkan, mewakili kehendak perusahaan dan mengendalikan apa yang

dilakukan. Sikap batin mereka merupakan sikap batin korporasi.174 Artinya,

doktrin ini diharapkan dapat mendorong pertanggungjawaban pidana dari

korporasi atas actus reus dan mens rea dari pejabat berwenang (controlling

officers), tapi terbatas pada pejabat tersebut.

Directing mind atau orang-orang yang identik dengan korporasi menurut

Yedidia Z. Stern meliputi the general meeting, board of directors, managing

directors, general manager, chief executive, and possibly individual directors,

secretaries and shop managers.175 Namun timbul pertanyaan apakah jabatan

tersebut dengan sendirinya akan bertanggung jawab setiap terjadi tindak pidana

dalam lingkup korporasi? Untuk itulah, pendekatan menggunakan identification

doctrine dalam menentukan directing mind korporasi harus dianalisis secara

kontekstual.176

Sutan Remy Sjahdeini mengutip pendapat Little dan Savoline

terkait dianutnya identification doctrine dalam putusan Mahkamah Agung Kanada

dalam perkara Canadian Dredge and Dock vs The Queen177

, yang menyatakan

the mind or will. Others are directors and managers who represent the directing state of mind of

these managers is the state of the mind of the company and is treated by the law as such.” 174

Eric Colvin, op.cit, hlm. 8-9. 175

Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 106. Terkait dengan orang-orang yang

identik dengan korporasi Yedidia Z. Stern mengungkapkan terdapat lima pendekatan untuk

menentukan kapan tindakan orang-orang tertentu dalam suatu korporasi dianggap sebagai tindakan

korporasi, yaitu: deskripsi yang samar, kriteria formal, pendekatan pragmatis, analisis hierarki, dan

analisis fungsi. 176

Sutan Remy Sajhdeini, op.cit, hlm. 104. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, untuk

menentukan directing mind dari korporasi harusalah dilihat dari formal yuris dan menurut

kenyataan dalam operasionalisasi kegiatan perusahaan tersebut secara kasus demi kasus. 177

Ibid. Mahkamah Agung Kanada dalam perkara tersebut berpendapat bahwa directing

mind dari suatu korporasi adalah “the ego”, “the „center‟”, dan/atau “the „vital organ‟” of

corporation.

Universitas Sumatera Utara

Page 47: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

83

bahwa telah muncul beberapa asas terkait identification doctrine dari putusan

tersebut:178

a. Directing mind dari suatu korporasi tidak terbatas pada satu orang saja.

Sejumlah pejabat (officer) dan direktur dapat merupakan directing mind dari

korporasi tersebut.

b. Geografi bukan merupakan faktor. Kenyataan bahwa suatu korporasi memiliki

berbagai operasi (multiple operation) di berbagai lokasi geografis (memiliki

berbagai kantor cabang) tidak akan mempengaruhi penentuan mengenai siapa

orang yang merupakan directing mind dari perusahaan yang bersangkutan.

Oleh karena itu seseorang tidak dapat mengelak untuk bertanggung jawab

hanya karena dia melakukan operasinya dari suatu lokasi yang terpisah dari

lokasi di mana tindak pidana itu terjadi.

c. Suatu korporasi tidak dapat mengelak untuk bertanggung jawab dengan

mengemukakan bahwa orang atau orang-orang yang melakukan tindak pidana

itu telah melakukan tindak pidana yang bersangkutan meskipun telah ada

perintah yang tegas kepada mereka agar hanya melakukan perbuatan yang

tidak melanggar hukum.

d. Agar seseorang dapat dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindak

pidana, orang tersebut harus memiliki kalbu yang salah atau niat yang jahat

(have a guilty mind and/or criminal intent), yaitu yang dikenal dalam hukum

pidana pidana sebagai mens rea. Dalam doktrin ini, pejabat atau direktur

korporasi yang merupakan directing mind dari korporasi tersebut tidak dapat

dipertnaggungjawabkan atas suatu tindak pidana apabila tindak pidana itu

tidak disadarinya.

e. Untuk menerapkan identification doctrine harus dapat ditunjukkan bahwa

perbuatan dari personil yang menjadi directing mind korporasi itu termasuk

dalam bidang kegiatan yang ditugaskan kepadanya, tindak pidana tersebut

bukan merupakan kecurangan terhadap korporasi yang bersangkutan, dan

tindak pidana itu dimaksudkan untuk memperoleh atau menghasilkan manfaat

bagi korporasi.

f. Pertanggungjawaban pidana korporasi mensyaratkan adanya analisis

kontekstual (contextual analysis). Dengan kata lain, penentuannya harus

dilakukan kasus per kasus (on a case by a case basis). Jabatan seseorang

dalam perusahaan tidak dengan sendirinya membuat dia bertanggung jawab.

Penilaian terhadap kewenangan seseorang untuk dapat menentukan kebijakan

korporasi atau untuk dapat membuat keputusan-keputusan penting harus

dilengkapi dengan melakukan analisis kontekstual tersebut.

3. Strict Liability

178

Ibid., hlm. 106.

Universitas Sumatera Utara

Page 48: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

84

Doktrin strict liability mengemukakan bahwa pertanggungjawaban pidana

dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak

perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) pada pelakunya.

Strict liability ini merupakan konsep pertanggungjawaban tanpa kesalahan

(liability without fault). Dengan kata lain, konsep strict liability dirumuskan

sebagai “that they are crimes which do not require any mens rea with regard to at

least one element of their actus reus” (suatu bentuk pelanggaran/kejahatan yang

di dalamnya tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahan, tetapi hanya disyaratkan

adanya suatu perbuatan).179 Roeslan Saleh menambahkan, dalam tindak pidana

yang bersifat strict liability yang dibutuhkan hanyalah dugaan atau pengetahuan

dari pelaku (terdakwa), dan hal itu sudah cukup menuntut pertanggungjawaban

daripadanya. Jadi, tidak dipersoalkan adanya mens rea karena unsur pokok strict

liability adalah actus reus (perbuatan) sehingga yang harus dibuktikan adalah

actus reus (perbuatan) bukan mens rea (kesalahan).180

Konsep strict liability di negara-negara common law diartikan sebagai

kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah

satu ciri utama tanggung jawab mutlak, yakni tidak adanya persyaratan tentang

kesalahan.181 Sejak pertengahan abad ke-19, asas tanggung jawab mutlak (strict

liability) telah diperkenalkan, sekurang-kurangnya untuk beberapa kasus, yang

sebagian besar berkaitan dengan resiko lingkungan182, dan keamanan/kesehatan

makanan, perlindungan konsumen, di samping ketertiban umum, fitnah atau

179

Barda Nawawi Arief, op.cit, hlm. 28. 180

Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1982), hlm. 21. 181

Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 298. 182

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 49: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

85

pencemaran nama baik, dan contempt of court, serta pelanggaran lalu lintas.183

Dengan kata lain, strict liability dimaksudkan untuk menanggulangi tindak pidana

kesejahteraan (public welfare offences) yang bersifat tindak pidana ringan yang

diancam tindak pidana denda. Argumen ini dikemukakan pula oleh Muladi dan

Dwidja Priyatno sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini, yang

menyatakan bahwa:184

“Penerapan doktrin “strict liability” dan “vicarious liability” hendaknya

hanya diberlakukan terhadap jenis perbuatan pelanggaran yang sifatnya

ringan saja, seperti dalam pelanggaran lalu lintas. Doktrin tersebut dapat

pula ditujukan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi, terutama

yang menyangkut perundangan terhadap kepentingan umum/masyarakat,

misalnya perlindungan di bidang makanan, minuman, serta kesehatan

lingkungan hidup. Dengan dasar doktrin ini maka fakta yang bersifat

menderitakan si korban dijadikan dasar untuk menuntut

pertanggungjawaban pidana korporasi dengan adagium res ipsa loquitur

(fakta sudah berbicara sendiri).”

L. B. Curzon sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik mengatakan bahwa

strict liability dianut dalam hukum pidana didasarkan atas tiga premis, yaitu:185

Pertama, sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu

yang diperlukan untuk mensejahterakan masyarakat. Kedua, pembuktian adanya

mens rea akan menjadi lebih sulit dalam pelanggaran yang berhubungan dengan

kesejahteraan masyarakat. Ketiga, tingginya tingkat bahaya sosial yang

ditimbulkan oleh perbuatan yang dilakukan.

Doktrin strict liability ini terdapat dalam delik-delik yang diatur menurut

undang-undang (statutory offences; regulatory offences, mala prohibita), yang

pada umumnya merupakan delik kesejahteraan umum. Lord Pearce sebagaimana

183

Ibid. 184

Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 83. 185

Hamzah Hatrik, op.cit, hlm. 13-14.

Universitas Sumatera Utara

Page 50: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

86

dikutip dalam Yusuf Shofie menyatakan bahwa banyak faktor yang

melatarbelakangi pembentuk undang-undang menetapkan penggunaan strict

liability dalam hukum pidana, seperti: karakteristik suatu tindak pidana,

pemidanaan yang diancamkan, ketiadaan sanksi sosial, kerusakan tertentu yang

ditimbulkan, cakupan aktivitas yang dilakukan, dan perumusan ayat-ayat tertentu

dan konteksnya dalam suatu perundang-undangan.186 Selanjutnya mengutip

pendapat Romli Atmasasmita, pembentuk undang-undang telah menetapkan bila

aturan tentang strict liability crimes dapat diberlakukan sebagai berikut:187

a. Kejahatan yang dilakukan bukan kejahatan berat;

b. Ancaman hukumannya adalah ringan;

c. Syarat adanya mens rea akan menghambat adanya tujuan perundang-

undangan;

d. Kejahatan yang dilakukan secara langsung merupakan paksaan terhadap hak-

hak orang lain;

e. Menurut undang-undang yang berlaku mens rea secara kasuistik tidak

diperlukan.

Contoh kasus yang menerapkan strict liability sebagaimana dikutip dalam

Hanafi adalah kasus Alphaceel Ltd Vs Woodward (1972):188

Suatu perusahaan dihukum oleh pengadilan tingkat pertama dengan

tuduhan sebagai penyebab terpolusinya air sungai. Terdakwa menentang tuduhan

itu dengan mengatakan bahwa jaksa harus membuktikan adanya kesengajaan,

kelupaan, atau kesembronoan dari terdakwa. House of Lord menolak argumen

terdakwa dan tetap menjatuhkan hukuman kepada terdakwa.

186

Yusuf Shofie, Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan

Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 362-363. Keenam faktor

tersebut menunjukkan betapa pentingnya perhatian publik (public concern) terhadap perilaku-

perilaku yang perlu dicegah dengan penerapan strict liability, agar keamanan masyarakat (public

safety), lingkungan hidup (environment), dan kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat (the

economic interest of the public), termasuk perlindungan konsumen tetap terjaga. 187

Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000),

hlm. 78. 188

Hanafi, Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana, (Yogyakarta:

Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia, 1997), hlm. 75.

Universitas Sumatera Utara

Page 51: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

87

4. Management Failure Model

Doktrin ini merupakan sebuah bentuk baru kejahatan pembunuhan yang

dilakukan oleh korporasi (corporate manslaughter). The Law Comission

Inggris189 berpendapat bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh korporasi terjadi

apabila ada kesalahan oleh managemen korporasi yang menyebabkan kematian

orang. Kejahatan ini diartikan sebagai suatu kesalahan dari managemen

(kebalikan dari kesalahan korporasi), karena The Law Comission berpendapat

bahwa orang-orang yang berada di dalam korporasilah yang melakukan kejahatan

dan tindak pidana baru yang ada di Inggris, yaitu kelalaian yang menyebabkan

kematian (killing by gross carelessness), tidak dapat diaplikasikan terhadap

korporasi.190

Kejahatan ini sendiri tidak memperhatikan konsep mens rea yang

berusahan menangkap kesalahan seseorang yang akan diartikan sebagai kesalahan

korporasi. Sekilas doktrin ini mirip dengan identification doctrine, akan tetapi

sesungguhnya terdapat perbedaan signifikan dari kedua teori ini. Identification

doctrine sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, mencari kesalahan dari

individu yang identik dengan korporasi atau beberapa orang yang mempunyai

kendali atas korporasi, sedangkan management failure model mencari kesalahan

managemen. Kesalahan managemen oleh The Law Comission didefenisikan

sebagai kesalahan untuk tidak menjamin keselamatan di dalam managemen atau

189

Law Comission, http://lawcomission.justic.gov.uk/about-us.html, diakses pada hari

Kamis, 28 April 2016. The Law Comission adalah lembaga non-departemen yang berada di bawah

Kementerian Hukum Inggris yang bertugas untuk mengawasi jalannya hukum di Inggris,

mengadakan penelitian yang akan digunakan sebagai rekomendassi bagi Parlemen Inggris, dan

mengkodifikasi hukum Inggris agar mengurangi ketidaksesuaian antara hukum yang berlaku. 190

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Tanggungjawab Pidana

Korporasi dalam RUU KUHP, (Jakarta: ELSAM, 2005), hlm. 15.

Universitas Sumatera Utara

Page 52: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

88

organisasi dari kegiatan korporasi (a failure to ensure safety in the management or

organisation of the corporation‟s activities).191

Doktrin ini sesungguhnya

berfokus pada struktur dari suatu korporasi dan aktivitasnya, bukan pada

perbuatan individu dalam korporasi. Namun, penting untuk menjadi catatan,

bahwa doktrin ini masih belum menjawab pertanyaan klasik, pejabat mana dalam

struktur atau sistem manakah yang dapat disebut sebagai suatu korporasi.

5. Aggregation Doctrine

Doktrin ini merupakan tanggapan terhadap doktrin identifikasi yang

dianggap kurang dapat mengatasi realitas proses pengambilan keputusan dalam

banyak perusahaan modern.192 Oleh karena itulah disarankan beberapa metode

alternatif untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana suatu korporasi,

salah satunya adalah aggregation doctrine.193 Ajaran ini memungkinkan aggregasi

atau kombinasi kesalahan dari sejumlah orang untuk diatributkan kepada

korporasi sehingga korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban. Tindak pidana

yang dilakukan seseorang digabungkan dengan kesalahan orang lain, atau dengan

kata lain ia merupakan akumulasi kesalahan atau kelalaian yang merupakan sikap

kalbu194 dari tiap-tiap pelaku. Ketika kesalahan-kesalahan tersebut, setelah

191

Ibid, hlm. 16. 192

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 125. Dalam berbagai kasus seringkali ditemukan bahwa

aktivitas korporasi merupakan hasil dari usaha-usaha kolektif beberapa atau bahkan banyak agen.

Dalam situasi ini, jelas tidak terdapat individu khusus yang bertanggung jawab secara penuh atas

aktivitas tersebut, sehingga dapat ditarik menjadi kejahatan yang dilakukan korporasi,

sebagaimana yang dianut dalam identification doctrine. 193

Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 119. 194

Ibid., hlm. 37.Istilah “sikap kalbu” dipergunakan oleh Sutan Remy Sjahdeini, dengan

mengingat bahwa apa yang ada di dalam kalbu seseorang itu merupakan hasil dari proses cipta,

rasa, dan karsa.

Universitas Sumatera Utara

Page 53: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

89

dijumlahkan, ternyata memenuhi unsur yang dipersyaratkan dalam suatu mens

rea, maka aggregation doctrine terpenuhi di sini.195

Ajaran ini menurut Clarkson dan Keiting memiliki keuntungan karena

dalam banyak kasus tidak mungkin untuk mengisolasi seseorang yang telah

melakukan tindak pidana, dengan memiliki mens rea dalam melakukan tindak

pidana itu, dari perusahaan di mana dia bekerja. Ajaran ini dapat mencegah

perusahaan-perusahaan menyembunyikan dalam-dalam tanggung jawabnya dalam

struktur korporasi. Namun, ajaran ini mengabadikan personifikasi dari mitos

perusahaan (prepetuates the personification of companies myth). Apabila dalam

identification doctrine cukuplah untuk dapat menemukan hanya satu orang yang

perbuatannya dapat diatributkan kepada perusahaan, maka dalam ajaran aggregasi

diharuskan untuk menemukan beberapa orang yang aggregasi dari perbuatan

mereka secara keseluruhan diatributkan sebagai perbuatan perusahaan.

Dengan demikian, teori aggregasi ini sesungguhnya mengabaikan realitas

bahwa esensi riil dari suatu perbuatan yang salah mungkin saja bukan berupa

penyatuan dari apa yang telah dilakukan oleh tiap-tiap orang, tetapi berupa fakta

bahwa perusahaan tidak memiliki kebijakan untuk dapat mencegah seseorang

dalam perusahaan itu untuk melakukan suatu perbuatan yang secara kumulatif

merupakan suatu tindak pidana.196

195

Stephanie Earl dalam Mahrus Ali., op.cit, hlm. 126. 196

C.M.V Clarkson dan HM. Keating sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini,

op.cit, hlm. 110.

Universitas Sumatera Utara

Page 54: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

90

Ajaran ini diterima di Kanada, Amerika Serikat, dan Australia, namun

ditolak di New Zealand dan di Inggris.197 Kanada memasukkan prinsip-prinsip

ajaran aggregasi ke dalam kitab undang-undang hukum pidananya khusus terkait

dengan tanggung jawab pidana organisasi. Pasal 22.2 mengatur tentang

bagaimana suatu korporasi dinyatakan sebagai pihak yang bertanggungjawab

secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan karena kealpaan.unsur-unsur

delik dianggap terpenuhi apabila pengurus korporasi berada dalam lingkup

kewenangannya, atau jika beberapa tindak pidana tersebut dilakukan dua atau

lebih pengurus korporasi. Sedangkan unsur kesalahan dianggap terpenuhi apabila

pejabat senior atau semua pejabat-pejabat senior tidak mencegah, dengan cara-

cara yang masuk akal, tindakan bawahannya dari melakukan suatu perbuatan yang

dilarang.198

6. Corporate Mens Rea Doctrine

Seringkali dikemukakan bahwa korporasi tidak dapat melakukan tindak

pidana, korporasi tidak dapat berpikir, dan tidak memiliki niat. Hanya orang-

orang yang di dalam korporasilah yang dapat melakukan tindak pidana. Akan

197

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 127. The Law Comission Inggris menolak penggunaan teori

aggregasi sebagai metode perluasan tanggung jawab pidana korporasi ketika membentuk undang-

undang pidana terkait pembunuhan yang tidak disengaja. Menurut Komisi Hukum Inggris ini,

penerapan ajaran aggregasi sebagai perluasan dari teori identifikasi akan menimbulkan

ketidakpuasan. Secara lebih rinci dijelaskan: “...it would be no more than a gloss on the

identification principle, and would not obviate the need to conduct a detailed ivestigation into the

conduct and state of mind of particular controlling officers; and it might well give rise to difficult

(and perhaps insoluble) problems where different controlling officers knew or believed different

things.” 198

Ibid., hlm. 217. Pengurus di sini dimaknai secara luas yaitu: director, partner,

employee, member, agent or contractor of the organisation. Sedangkan pejabat senior yang

dimaksud berdasarkan pasal 12.1 adalah orang-orang yang memiliki peranan penting dalam

pengambilan kebijakan suatu korporasi atau orang-orang yang bertanggung jawab dalam

pelaksanaan aspek-aspek penting kegiatan korporasi.

Universitas Sumatera Utara

Page 55: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

91

tetapi disaat seluruh pemikiran tentang personalitas adalah fiksi tetaplah

merupakan suatu yang nyata dan fungsional, maka seakan tidak lagi ada alasan

mengapa hukum tidak menciptakan suatu doktrin mengenai mens rea korporasi

yang fiksi. Doktrin-doktrin yang telah diuraikan sebelumnya melibatkan

hilangnya pertanggung jawaban fiksi dari korporasi (fictious imputations of

responsibility).199

Corporate mens rea doctrine memiliki ide dasar bahwa doktrin lainnya

tidak memperlihatkan realita dari kompleksnya organisasi korporasi serta

dinamika dari proses, struktur, tujuan, kultur, dan hirarki dari organisasi, yang

dikombinasikan dengan etos yang mendorong suatu kejahatan.200

Berdasarkan

pandangan ini, korporasi dapat dianggap sebagai “culpability-bearing agents”

yang “bertindak” melalui pekerjaannya dimana “mens rea” dapat ditemukan di

dalam praktek dan kebijakan korporasi. Penolakan terhadap doktrin ini adalah

kesulitan untuk menentukan apakah kebijakan dan praktek di dalam perusahaan

cukup dianggap menyalahi untuk diputuskan bersalah dalam tingkatan yang vital.

Selain itu kesulitan juga dialami jika tidak ada bentuk kesalahan sehingga

mempersulit identifikasi dari kebijakan dan prakteknya dalam memenuhi unsur

mens rea.

7. Spesific Corporate Offences

The Law Comission di Inggris mengajukan sebuah bentuk kejahatan baru

yaitu pembunuhan oleh korporasi atau corporate killing, yang diintrodusir lewat

perundang-undangan di Inggris. Kejahatan ini menciptakan bentuk yang terpisah

199

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), op.cit, hlm. 16. 200

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 56: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

92

dari manslaughter serta hanya dapat dilakukan oleh korporasi. Berkaitan dengan

penegasan akan pertanggungjawaban pidana korporasi. Jika argumentasi ini dapat

dihubungkan dengan mens rea korporasi dan dapat diterima, tentu saja tidak

dibutuhkan kejahatan khusus oleh korporasi. Argumen kuat mengapa doktrin ini

dapat diterapkan adalah usulan Law Comission memiliki beberapa kekurangan

yaitu timbul kemungkinan yang mengantarkan pada marginalisasi dari corporate

manslaughter. Kejahatan ini tidak akan dianggap sebagai manslaughter yang

serius dan kesalahan serta simbol dari peranan dalam kejahatan korporasi akan

runtuh.201

Kelemahan doktrin ini adalah perbedaan struktur dalam kejahatan ini

mengantar pada persepsi bahwa kejahatan oleh korporasi berbeda tipis dengan

pelanggaran administratif, bahwa kejahatan korporasi tidaklah sejahat tindak

pidana yang sebenarnya.

8. Reactive Corporate Fault

Fisse and Braithwaite sebagaimana dikutip oleh Clarkson menciptakan

sebuah bentuk baru dari doktrin pertanggungjawaban korporasi, yaitu reactive

corporate fault. Doktrin ini menyatakan bahwa disaat actus reus dari suatu tindak

pidana telah terbukti dilakukan oleh dan atas nama korporasi, pengadilan

sepatutnya memiliki dasar untuk meminta korporasi melakukan investigasi untuk

mencari tahu siapakah individu yang bertanggung jawab dan melakukan tindakan

penegakan disiplin terhadap individu tersebut serta melakukan koreksi atas

kesalahan yang ia lakukan. Apabila korporasi melakukan koreksi maka korporasi

tidak akan diminta pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban korporasi hanya

201

Ibid., hlm. 17

Universitas Sumatera Utara

Page 57: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

93

dapat diminta jika korporasi gagal untuk memenuhi perintah pengadilan.

Kelalaian korporasi adalah apabila korporasi gagal bertindak secara wajar sesuai

permintaan pengadilan terhadap perbuatan salah satu pegawainya.202

Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa keuntungan dari doktrin ini adalah

doktrin “memaksa” korporasi untuk melakukan pemeriksaan, bukan pemerintah

yang melakukan. Tidak hanya menghemat uang dan waktu, doktrin ini

menjadikan korporasi mengerti dan bisa memasuki struktur dari organisasinya.

Hal ini dilakukan sebagaimana tujuan utama dari doktrin ini, yaitu agar kejadian

serupa tidak terulang lagi. Sedangkan kelemahan dari doktrin ini adalah terdapat

kemungkinan timbulnya perilaku manipulatif dalam perkara yang melibatkan

pejabat tinggi/senior korporasi yang berpengaruh, dengan mengorbankan pegawai

lainnya. Lalu penentuan bentuk hukuman apakah yang sesuai untuk mencegah

terulangnya tindak pidana oleh pegawai korporasi? Bagaimana cara mengukur

tindakan korektif dan sanksi disiplin seperti apa yang cukup untuk menghindari

tanggung jawab pidana? Cukupkah teguran secara formal kepada seorang

karyawan yang dibarengi dengan sirkulasi sebuah memorandum internal yang

menasehati staf tentang sejumlah tindakan yang akan dilakukan di masa depan?203

Sederhananya, the reactive fault doctrine memiliki time frame yang seluruhnya

keliru. Perbuatan salah adalah tindakan yang asli atau kelalaian yang

menimbulkan kerugian. Kesalahan harus tetap dinilai dengan mengacu pada

perbuatan atau kelalaian tersebut. Bukan hanya pada perbuatan atau kelalaian

yang dilakukan dalam menanggulanginya.

202

Ibid., hlm. 12. 203

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 58: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

94

9. Corporate Cultural Model

Doktrin ini diterapkan di Australia, menggantikan konsep vicarious

liability yang sebelumnya dianut hingga tahun 1995. Pertanggungjawaban pidana

yang berbasis pada “budaya korporasi” (...to base corporate criminal liability on a

test of the “corporate culture”), mengutip pendapat Alvi Syahrin diartikan

sebagai tingkah laku, kebijakan, peraturan, maksud dari suatu langkah ataupun

kegiatan yang terdapat dalam lingkungan perusahaan itu secara umum atau dalam

bagian lain dari perusahaan tersebut dimana kegiatan yang relevan terjadi (...an

attitude, policy, rule, course of conduct or practice existing within the body

corporate generally or in the part of the body corporate in which the relevant

activities take place).204

Dalam ajaran corporate cultural model ini, Alvi Syahrin menyatakan

terdapat unsur-unsur yang harus dapat dibuktikan, antara lain:205

“suatu kebiasaan atau tingkah laku perusahaan yang memerintah,

mendorong, mentoleransi ataupun membiarkan suatu tindakan yang tidak sesuai

dengan peraturan;” atau perusahaan tersebut gagal untuk mempertahankan suatu

kegiatan yang sesuai dengan peraturan, perlu juga mengetahui bahwa dewan

direktur “secara sengaja, mengetahui atau membiarkan terjadinya suatu tindakan

atau secara terang-terangan atau diam-diam memerintah atau mengizinkan suatu

tindakan yang melanggar aturan.”206

Dengan kata lain, menurut corporate culture model ini tidak perlu

ditemukan orang yang bertanggung jawab atas perbuatan yang melanggar hukum

itu untuk dapat dipertanggungjawabkannya perbuatan orang itu kepada

204

Alvi Syahrin, Beberapa Isu..., op.cit, hlm. 26. 205

Ibid. 206

Ibid. Terkait dengan dewan direksi, dapat mengajukan pembelaan berdasarkan konsep

due diligence (tindakan yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawab), jika orang tersebut telah

membuktikan bahwa ia telah sejalan dengan due diligence tersebut guna menghindari atau

memerintah atau memberi izin untuk terjadinya tindakan yang melanggar hukum tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 59: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

95

korporasi.207 Sebaliknya, pendekatan tersebut menentukan bahwa korporasi

sebagai suatu keseluruhan adalah pihak yang harus bertanggung jawab karena

telah dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum dan bukan orang yang

melakukan perbuatan itu saja yang harus bertanggung jawab.208

Pasal 12.3 ayat (2) KUHP Australia 1995 menyebutkan bahwa

pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada korporasi bila:209

a. Direksi korporasi dengan sengaja atau mengetahui, atau dengan sembrono

telah melakukan tindak pidana yang dimaksud, atau secara tegas, atau

mengisyaratkan, atau secara tersirat telah memberi wewenang atau

mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut.

b. Pejabat tinggi dari korporasi tersebut dengan sengaja, atau mengetahui, atau

dengan sembrono telah terlibat dalam tindak pidana dimaksud, atau secara

tegas, atau mengisyaratkan, atau secara tersirat telah memberi wewenang atau

mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut.

c. Korporasi memiliki budaya kerja yang mengarahkan, mendorong, mentolerir,

atau mengakibatkan tidak dipenuhinya ketentuan perundang-undangan

d. Korporasi tidak membuat (memiliki) dan memelihara suatu budaya kerja yang

mengharuskan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan.

D. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Model pertanggungjawaban pidana korporasi ini pada dasarnya menurut

hemat penulis mengikuti tahapan perkembangan korporasi yang telah diuraikan

sebelumnya. Kedudukan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan dapat

dipertanggungjawabkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan Hukum Pidana,

terdiri atas beberapa jenis, yaitu:210

207

Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 112. Hal ini dikarenakan apabila seseorang yang

telah melakukan perbuatan melanggar hukum memiliki dasar rasional untuk meyakini bahwa

anggota korporasi yang berwenang telah memberikan wewenang atau mengizinkan dilakukannya

tindak pidana tersebut. 208

Ibid. 209

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 131. 210

Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 86

Universitas Sumatera Utara

Page 60: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

96

1. Pengurus Korporasi sebagai Pembuat dan Pengurus yang Bertanggung Jawab

Secara Pidana

Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha agar sifat tindak

pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon).

Mengenai pengurus korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab,

maka terhadap pengurus diberikan kewajiban-kewajiban yang sebenarnya adalah

kewajiban korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam

dengan pidana. Adapun yang menjadi dasar pemikirannya adalah bahwa korporasi

itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu delik, tetapi selalu

penguruslah yang melakukan delik itu. Dan karenanya penguruslah yang diancam

pidana dan dipidana. Pada sistem ini penyusun KUHP terlihat masih amat

dipengaruhi asas “societas delinguere non potest” yaitu badan hukum tidak

mungkin melakukan tindak pidana. bahwa subjek tindak pidana adalah orang

(natuurlijk persoon). Ketentuan yang mengatur hal ini terdapat dalam KUHP,

seperti pasal 169 KUHP, Pasal 398 KUHP dan 399 KUHP.

Asas ini memang berlaku pada abad lalu dan sejalan dengan pendapat-

pendapat hukum pidana individual dari aliran klasik yang berlaku pada waktu itu

dan kemudian aliran modern dalam hukum pidana.211 Dalam Memori Penjelasan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diberlakukan pada tanggal 1

September 1886, dapat dibaca : “suatu tindak pidana hanya dilakukan oleh

perorangan (natuurlijk persoon)”. Pemikiran fiksi (fictie) tentang sifat badan

hukum tidak berlaku dalam hukum pidana.212

211

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 134. 212

Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 53.

Universitas Sumatera Utara

Page 61: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

97

Menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi dengan menggunakan

sistem ini dapat ditentukan beberapa ilustrasi, yaitu:213

a. Berkaitan dengan fungsi, yakni: perbuatan dilakukan atau diperintahkan oleh

pelaku tindak pidana, akan tetapi perbuatan tersebut tidak ada kaitannya

dengan tugas dan pekerjaan pengurus, maka pengurus tidak berwenang

mengambil keputusan yang mengikat untuk korporasi dalam melakukan

tindak pidana.

b. Pengurus atau pegawai korporasi yang tidak ada kaitannya dengan tugas dan

pekerjaan pengurus tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan

yang mengikat korporasi dalam melakukan atau tidak melakukan perbuatan

itu agar dilakukan oleh orang lain, namun tidak sesuai dengan tujuan dan

maksud korporasi sebagaimana yang ditentukan dalam anggaran dasarnya

maka korporasi tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana.

2. Korporasi sebagai Pembuat Tindak Pidana dan Pengurus Korporasi yang

Bertanggung Jawab Secara Pidana

Dalam sistem ini korporasi sebagai pembuat, penguruslah yang ditunjuk

untuk bertanggung jawab. Sistem ini ditandai dengan adanya pengakuan yang

timbul bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan

usaha (korporasi) akan tetapi tanggung jawab itu menjadi beban dari pengurus

badan hukum tersebut. Sehingga apa yang dipandang dilakukan oleh korporasi

adalah apa yang dilakukan oleh alat kelengkapan koporasi menurut wewenang

berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi,

213

Mahmud Mulyadi dan Ferri Antoni Surbakti, op.cit, hlm. 52.

Universitas Sumatera Utara

Page 62: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

98

pada pokoknya tindak pidana dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dan

badan hukum tersebut.

Menetapkan korporasi sebagai pembuat, dapat dilakukan dengan

berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan pencapaian tujuan badan hukum.

Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah merupakan perbuatan

seseorang sebagai pengurus badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang

menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk.214 Suatu perbuatan dipandang

sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana

tersebut dilakukan oleh pegawai/pengurus dari korporasi yang memiliki

kewenangan untuk bertindak mewakili kepentingan dari korporasi itu sendiri.

Oleh karena itu dapat dipertanggungjawabkan oleh pengurus, asal saja dinyatakan

dengan tegas dalam peraturan itu.215

3. Korporasi sebagai Pembuat Tindak Pidana dan sebagai yang Bertanggung

Jawab Secara Pidana.

Menurut Muladi sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, dalam sistem

pertanggungjawaban yang ketiga ini telah terjadi pergeseran pandangan, bahwa

korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat, di samping manusia

alamiah (natuurlijk persoon). Jadi, penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan

doktrin “societas delinguere non potest” sudah mengalami perubahan dengan

menerima konsep pelaku fungsional (functional daderschaap).216 J. E Sahetapy

menyatakan bahwa ciri khas konsep pelaku fungsional ini adalah perilaku fisik

214

Dwidja Prayitno, op.cit, hlm. 55 215

Setiyono, op.cit, hlm. 14. 216

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 135. Lihat juga Muladi, “Fungsionalisasi Hukum Pidana di

dalam Kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional

Kejahatan Korporasi, FH UNDIP, Semarang, 23-24 November 1989, hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara

Page 63: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

99

dari pelaku yang satu, yang sebenarnya melakukan suatu tindak pidana,

menghasilkan perilaku fungsional terhadap pelaku lainnya. Lebih lanjut ia

menyatakan bahwa teori pelaku fungsional sesungguhnya erat hubungannya

dengan karya interpretasi dari hakim. Suatu tindak pidana diinterpretasikan

sedemikian rupa sehingga pemidanaannya memenuhi persyaratan.217

Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa delik fungsional dapat

diartikan bahwa dalam lingkungan sosial ekonomi pembuat (korporasi) tidak

perlu selalu melakukan perbuatan itu secara fisik, tapi bisa saja perbuatan itu

dilakukan oleh pegawainya, asal saja perbuatan itu masih dalam ruang lingkup

fungsi-fungsi dan kewenangan korporasi yang diatur dalam Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga dari korporasi tersebut.218 Jadi, jika pegawai tersebut

melakukan suatu perbuatan yang dilarang hukum (tindak pidana) ataupun

perbuatan yang tidak seharusnya menjadi fungsi atau kewenangan yang diberikan

korporasi kepadanya, sesungguhnya perbuatan itu merupakan tindak pidana yang

hakikatnya dilakukan oleh korporasi.

Sistem ini memandang korporasi sebagai pelaku yang bertanggung jawab.

Alasannya adalah bahwa dengan memperhatikan perkembangan dari korporasi itu

sendiri, yaitu sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa untuk beberapa

delik tertentu, seperti ekonomi dan fiskal ditetapkannya pengurus saja yang dapat

217

J. E Sahetapy, op.cit, hlm. 37-38. 218

M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.

61. M. Yahya Harahap berpendapat bahwa pencantuman maksud dan tujuan serta kegiatan usaha

suatu perseroan dalam anggaran dasar memegang fungsi prinsipil (prinsiple function). Dikatakan

memegang peran fungsi prinsipil karena pencantuman itu dalam anggaran daar merupakan

landasan hukum (legal foundation) bagi pengurus perseroan, dalam hal ini direksi dalam

menjalankan pengurusan dan pengelolaan kegiatan usaha perseroan sehingga pada setiap transaksi

atau kontrak yang mereka lakukan tidak menyimpang atau keluar maupun melampaui dari maksud

dan tujuan serta kegiatan yang ditentukan dalam anggaran dasar.

Universitas Sumatera Utara

Page 64: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

100

dipidana ternyata tidak cukup untuk menghukum korporasi dengan sanksi kepada

pengurus saja, karena hukuman yang dijatuhkan kepada pengurus atas kerugian

ditimbulkan dalam masyarakat dibandingkan keuntungan yang diperoleh

korporasi, tidak akan seimbang. Selain itu, juga tidak menutup kemungkinan

korporasi melakukan kesalahan yang sama, sehingga diberlakukannya

pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dianggap sebagai solusi ampuh

untuk meminimalisir kejadian serupa.

Sutan Remy Sjahdeini menambahkan satu bentuk sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi, sehingga menurutnyabentuk sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi yang keempat adalah sebagai berikut:219

4. Pengurus dan Korporasi sebagai Pembuat Tindak Pidana dan Pengurus

Bersama Korporasi yang Bertanggung jawab secara pidana

Penjatuhan pidana kepada pengurus tidak memberikan jaminan yang

cukup bahwa korporasi tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum. Oleh

karena itu diperlukan pula untuk memidana korporasi dan pengurusnya. Alasan-

alasan pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi khususnya menyangkut

pengurus dan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan pula yang bertanggung

jawab, dapat diberlakukan terhadap keduanya:220

a. Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka

tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian akibat perbuatan

pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan

untuk memberikan keuntungan bagi korporasi;

219

Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 59. 220

Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 55-56.

Universitas Sumatera Utara

Page 65: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

101

b. Apabila hanya korporasi yang dibebani pertanggungjawaban pidana

sedangkan pengurus tidak memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan

dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tangan”;

c. Pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi hanya mungkin dilakukan

secara vicarious liability;

d. Segala perbuatan hukum dilakukan oleh manusia dalam menjalankan

kepengurusan korporasi sehingga tidak seharusnya hanya korporasi saja yang

dimintai pertanggungjawaban pidana sedangkan pengurusnya dibebaskan

maupun sebaliknya.

Sistem ini, menurut Hasbullah F. Sjawie menunjukkan bahwa tindak

pidana korporasi mempunyai dua struktur pertanggungjawaban, yaitu dengan

pembebanan pertanggungjawaban dan pemberian sanksi, baik kepada pengurus

maupun kepada korporasi yang bersangkutan.221 Karena pada sistem ini tidak saja

korporasi ditempatkan sebagai subjek hukum pidana (artinya bisa melakukan

delik), tetapi padanya juga ada elemen mens rea, yang sebagai konsekuensinya,

jika korporasi bersalah, dapat dipidana. Karena korporasi itu hanya bisa berbuat

dengan “tangan” pihak lain, dalam hal ini pengurusnya, maka pengurus yang

bersangkutan pun harus bisa dimintakan pertanggungjawaban pidananya.

Lebih lanjut dalam korporasi haruslah dibedakan antara tanggung jawab

pribadi dengan tanggung jawab fungsional. Pengurus korporasi tidak dapat

dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi selama ia menjalankan

wewenangnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, baik sesuai peraturan

221

Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm 273.

Universitas Sumatera Utara

Page 66: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

102

perundang-undangan maupun sesuai dengan peraturan internal yang berlaku bagi

korporasi tersebut. Menurut pendapat Elliot dan Quinn, pentingnya

pertanggungjawaban korporasi dibandingkan dengan pertanggungjawaban

individual, adalah:222

a. Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan

(korporasi) bukan mustahil dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana

dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana

yang merupakan kesalahan perusahaan;

b. Dalam beberapa delik, demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk menuntut

korporasi daripada para pegawai atau pengurusnya;

c. Sebuah korporasi lebih memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda

yang dijatuhkan daripada pegawai tersebut;

d. Ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong pemegang

saham untuk mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan;

e. Apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha

yang illegal, seharusnya perusahaan perusahaan itu pula yang memikul sanksi

atas tindak pidana yang telah dilakukan bukannya pegawai perusahaan saja;

f. Pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan untuk

menekan pegawainya baik secara langsung maupun tidak langsung, agar para

pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan usaha yang

illegal;

222

Mahmud Mulyadi dan Ferri Antoni Surbakti, op.cit, hlm. 54.

Universitas Sumatera Utara

Page 67: BAB II SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

103

g. Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan

(korporasi) itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk

melakukan kegiatan illegal.

Universitas Sumatera Utara