perspektif hukum islam terhadap minat ...repository.uinjambi.ac.id/1739/1/she151837_siti...
Post on 03-Feb-2021
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
1
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP MINAT MASYARAKAT
MEMINJAM UANG MELALUI RENTENIR DI DESA KEMANTAN
KECAMATAN TEBO ILIR KABUPATEN TEBO
PROVINSI JAMBI
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Dalam Hukum Ekonomi Syariah
OLEH
SITI NURDIA
NIM. SHE. 151837
DOSEN PEMBIMBING
Drs. A. Faruk., M.A
Neni Triana, S.E., M.SI
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
-
2
2019
-
3
-
4
-
5
MOTTO
َوُقِل اْعَمُلىا َفَسَيَري اللَُّه َعَمَلُكْم َوَرُسىُلُه َواْلُمْؤِمُنىَن ۖ َوَسُتَردُّوَن ِإَلًٰ َعبِلِم اْلَغْيِب
ِبَمب ُكْنُتْم َتْعَمُلىنَوالشََّهبَدِة َفُيَنبُِّئُكْم
Artinya: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul Nya serta orang-orang mukmin
akan melihat pekerjaan mu itu dan kamu akan dikembalikan kepada
Allah lalu diberitakan kepada Nya apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S
At-Taubah : 105)1
1 Al-Qur‟an Surah At-Taubah Ayat 105.
-
6
LEMBAR PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirabbil alamin…….
Segala syukur aku ucapkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan nikmat yang telah diberikan…
Serta sholawat beriring salam aku haturkan kepada Nabiku Baginda
Rasulullah SAW ……..
Skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orang tuaku tercinta serta
keluargaku tersayang…..
Sepercik do‟a aku haturkan semoga skripsi ini membawa manfaat
bagi bagiku, bagi keluargaku dan bagi seluruh orang-orang yang ada
disekitarku….. Aku Menyayangi kalian….. !!!!
-
7
ABSTRAK
Siti Nurdia, SHE151837: Perspektif Hukum Islam Terhadap Minat Masyarakat
Meminjam Uang Melalui Rentenir di Desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir
Kabupaten Tebo Provinsi Jambi
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah Bagaimana minat masyarakat
meminjam uang melalui rentenir. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
minat masyarakat meminjam uang melalui rentenir dalam pandangan Hukum
Islam. Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian lapangan (fied
research) yaitu suatu penelitian yang meneliti obyek dilapangan untuk
mendapatkan data dan gambaran yang jelas tentang hal-hal yang berhubungan
sistem pinjam meminjam uang tersebut. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan observasi, wawancara dan keputusan. Analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis
data kualitatif, yakni menganalisis data yang ada, dikumpulkan, selanjutnya
dipilah-pilah dan dianalisa untuk memperoleh kesimpulan umum tentang
meminjam uang melalui rentenir. Dari penelitian ini, dapat diperoleh kesimpulan
bahwa minat masyarakat di Desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo
untuk meminjam uang pada rentenir masih tinggi, hal ini dikarenakan kemudahan
syarat proses yang cepat serta pencairan dananya yang cepat dalam melakukan
pinjaman. Kebanyakan dari mereka meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan
hidup seperti modal usaha, keperluan sekolah dan keperluan lainnya. Berdasarkan
pandangan hukum islam, meminjam uang pada rentenir hukumnya adalah haram
dan ada tambahan yang harus dikembalikan berupa bunga yang disebut dengan
Riba (azzuriya‟dah).
Kata Kunci: Hukum Islam, Qardh, Rentenir, Riba
-
8
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji hanya milik Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis diberikan
kekuatan dan ketegaran dalam menyelesaiakan skripsi ini dengan judul
“Perspektif Hukum Islam Terhadap Minat Masyarakat Meminjam Uang
Melalui Rentenir di Desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo
Provinsi Jambi”. Shalawat beriring salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah
SAW beserta para sahabat, keluarga dan umatnya sepanjang zaman. Amin ya
rabbal „alamin.
Selama penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat
bantuan, dukungan dan masukan, baik berupa ide ataupun saran dari berbagai
pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih
yang sebesar-besarnya penulis sampaikan terutama kepada Bapak Drs. A. Faruk,
M.A. selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Neni Triana, S.E., M.Si selaku Dosen
Pembimbing II yang selalu memberikan koreksi dan masukan demi
kesempurnaannya skripsi ini. Selanjutnya penulis ingin menyampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang turut membantu penyelesaian skripsi ini, terutama
kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA, selaku Rektor UIN Sultan Thaha Saifuddin
Jambi.
2. Bapak Dr. A. A. Miftah, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah UIN Sultan
Thaha Saifuddin Jambi.
-
9
3. Bapak H. Hermanto Harun, Lc., M.HI., Ph.D, selaku Wakil Dekan I
Fakultas Syariah UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.
4. Ibu Dr. Rahmi Hidayanti, M.HI, selaku Wakil Dekan II bidang Administrasi
Umum, Perencanaan dan Keuangan Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
5. Ibu Dr. Yuliatin, S.Ag., M.HI, selaku Wakil Dekan III bidang
Kemahasiswaan dan Kerja sama Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
6. Ibu Dr. Maryani, S.Ag., M.HI dan Ibu Pidayan Sasnifa, SH., M.Sy, selaku
Ketua dan Sekertaris Jurusan Hukum EkonomiS yariah Fakultas Syariah
UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
7. Bapak Drs. A. Faruk, MA dan Ibu Neni Triana,S.E., M.SI selaku
Pembimbing I dan Pembimbing II skripsi ini.
8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
9. Kepala perpustakaan UIN Sulthan Thaha Saifudin Jambi beserta stafnya
serta Kepala Perpustakaan Wilayah Jambi.
10. Para karyawan dan karyawati Fakultas Syariah UIN Sultan Thaha Saifuddin
Jambi yang telah membantu dalam penyelesaian dan penyusunan skripsi.
-
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................ iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................................... iv
NOTA DINAS ............................................................................................ v
MOTTO ..................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................... vii
ABSTRAK ................................................................................................. ix
DAFTAR ISI .............................................................................................. x
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 6
C. Batasan Masalah .................................................................................. 7
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................................... 7
E. Kerangka Teori .................................................................................... 8
F. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 20
G. Metode Penelitian ................................................................................ 22
H. Sistematika Penulisan .......................................................................... 25
BAB II TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG HUTANG PIUTANG,
RENTENIR DAN RIBA
A. Konsep Qardh ....................................................................................
........................................................................................................... 26
B. Konsep Rentenir ................................................................................
........................................................................................................... 35
-
11
C. Konsep Riba ...................................................................................... 36
BAB III KONDISI UMUM DESA KEMANTAN KECAMATAN TEBO
ILIR KABUPATEN TEBO PROVINSI JAMBI
A. Kondisi Geografi Desa Kemantan ..................................................... 42
B. Kondisi Penduduk .............................................................................. 45
C. Perkembangan Pembangunan di Desa Kemantan ............................. 42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Minat Masyarakat Desa Kemantan dalam Meminjam Uang Melalui Rentenir di Desa Kemantan.................................................. 47
B. Perspektif Hukum Islam Minat Masyarakat dalam Meminjam Uang Melalui Rentenir di Desa Kemantan ........................................ 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 57
B. Saran .................................................................................................. 58
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
CURRUCULUM VITAE
KONSULTASI PEMBIMBING
-
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk monodualistis artinya selain sebagai
makhluk individu, manusia juga berperan sebagai makhluk sosial di mana
manusia hidup berdampingan dan saling membutuhkan dengan manusia lainnya.
Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk mampu bekerjasama dengan
orang lain sehingga tercipta sebuah kehidupan yang damai. Sadar atau tidak
manusia selalu hidup saling berinteraksi, saling tolong-menolong dan bekerjasama
untuk mencukupi kebutuhannya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia mempunyai tujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan tersebut sangat beragam baik primer,
sekunder, maupun tersier, untuk memperoleh semua itu manusia perlu
bekerjasama dan saling membantu agar semuanya terpenuhi. Sudah seharusnya
orang yang mampu menolong orang yang tidak mampu.
Ada banyak cara yang dapat dilakukan seseorang untuk memberikan
bantuan kepada orang yang membutuhkan, diantaranya adalah memberikan
pinjaman atau hutang piutang, sedekah maupun dengan zakat, dimana dalam
pelaksanaannya telah diatur dalam hukum Islam. Dalam hal pinjaman atau hutang,
Islam mengatur tentang Akad/Perjanjian. Akad memiliki arti yaitu ikatan atau
persetujuan, kesepakatan antara seseorang (yang menyerahkan) dengan orang lain
(yang menerima). Disamping itu, akad juga memiliki makna luas yaitu
kemantapan hati seseorang untuk harus sesuatu baik untuk dirinya sendiri maupun
orang lain.
-
13
Islam telah memberikan pedoman bagi umat manusia agar selamat baik
didunia maupun diakhirat. Secara garis besar ajaran Islam berisi kandungan-
kandungan yang terdiri atas Aqidah, Syariah dan Akhlak yang bersumber dari Al-
Qur‟an dan As-Sunnah. Dalam aspek ekonomi salah satu yang diatur oleh Syariat
Islam yang kemudian disebut dengan ekonomi Islam. Konstruksi ekonomi Islam
sendiri yaitu sebuah tatanan ekonomi yang dibangun atas dasar ajaran tauhid, dan
prinsip-prinsip moral Islam, dibatasi oleh Syariat Islam dan Fikih.2
Untuk
menjamin keselarasan dan keharmonisan antara sesama dibutuhkan kaidah-kaidah
yang mengaturnya sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa‟ (4) : 29
yang berbunyi:
Artinya ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah
maha penyayang kepadamu”.3 (Q.S. An-Nisa‟: 29)
Utang Piutang dalam Islam adalah salah satu jenis pendekatan untuk
bertabarru‟ kepada Allah SWT, dengan berlemah lembut kepada manusia,
mengasihi dan memberikan kemudahan dari duka yang menyelimuti mereka, yang
semua itu ditunjukkan hanya untuk mendapat ridha Allah SWT semata.4
Terkadang dalam kehidupan sehari-hari memerlukan adanya utang-piutang untuk
2
Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 2002), hlm. 6. 3QS. An-Nisa‟ (4) : 29
4Sayyid Sabiq, Fiqh Muamalah, Jilid 12, (Sinar Baru Algqensindo, Bandung,
2013), hlm. 129.
-
14
memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka Islam memberikan aturan tentang masalah
ini. Hal ini dimaksudkan agar semua yang beragama Islam tidak saling merugikan
satu sama lain.
Diantara ini aturan-aturan tersebut tidak diperbolehkan memberi utangan
yang sifatnya menarik manfaat atau menarik keuntungan dari piutang tersebut
yang merugikan orang lain untuk kepentingan sendiri. Allah SWT tidak melarang
seseorang yang memberikan utang yang hanya dengan jaminan kepercayaan, dan
utang ini dinamakan amanat, karena yang memberi utang telah percaya atau
merasa terjaminan tanpa menerima barang jaminan dari yang berutang. Dengan
demikian utang-piutang bersyarat dapat dibenarkan dalam hukum Islam, bahkan
hukum Islam juga mensyari‟atkan adanya barang jaminan yang dapat dipegang
apabila terjadi utang-piutang.
Hutang piutang/pinjam-meminjam uang ini sebuah akad yang bertujuan
untuk tolong menolong, sehingga syarat tambahan atau bunga yang ditetapkan
baik secara pribadi atau pun kesepakatan kedua belah pihak itu tidak
diperbolehkan, karena hal ini pada dasarnya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum Islam.
Sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang
baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat
gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
-
15
menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.”5 (Q.S. Al-Baqarah: 245)
Namun, banyak transaksi hutang piutang yang mensyaratkan lebih atau
berbunga yang terjadi dalam masyarakat. Bahkan orang Islam pun banyak
melaksanakannya. Dalam cakupan wilayah yang terbatas, kenyataan ini dapat
disaksikan di Desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi
Jambi yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pinjam meminjam uang
yang dilakukan oleh masyarakat desa Kemantan hutang piutang dengan
tambahan/bunga. Biasanya masyarakat di desa Kemantan ini meminjam uang
pada rentenir.
Dalam masyarakat umum, rentenir memiliki citra buruk sebagai lintah
darat yang mengambil bunga dalam jumlah sangat besar dari pinjaman
nasabahnya, akan tetapi rentenir tetaplah eksis di dalam masyarakat. Mereka tetap
menjadi alternatif disaat kebutuhan financial sedang meningkat. Bagi masyarakat
kecil, kredit dari rentenir inilah yang menguntungkan secara ekonomi, karena
ketika mereka meminjam di Bank sebagai financial formal, syarat yang
dibutuhkan sangat rumit.6
Beberapa alasan yang sering menyebabkan masyarakat terjebak kepada
rentenir tersebut diantaranya:
1. Mereka memerlukan pinjaman yang sangat cepat dan tidak mengenal waktu.
2. Masyarakat tidak mampu menghitung antara beban (bunga dan denda) yang
mesti dibayarnya dengan tingkat margin usaha.
5QS. Al-Baqarah (2): 245
6Heru Nugroho, Uang, Rentenir, dan Hutang Piutang di Jawa, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 86.
-
16
3. Rentenir mampu memberikan pelayanan sangat humanis dan sesuai dengan
selera masyarakat.
Menurut pendangan Islam sendiri, sistem pinjam meminjam pada rentenir
itu haram karena masih berkaitan erat dengan tambahan pengembalian atau riba,
yang merugikan peminjam. Rentenir sendiri masuk dalam kategori riba qardh
(riba dalam pinjaman), riba qardh sendiri bisa disebut riba nasi‟ah dan riba
duyun.riba nasi‟ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan
antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian.7
Meski Islam sendiri sudah melarang riba sebagaimana firman Allah SWT,
sebagaimana berikut:
َوَأَحلَّ اللَُّه اْلَبْيَع َوَحرََّم الرَِّبا“Allah SWT. Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
8 Namun kenyataannya dari dulu hingga sekarang masih saja banyak warga
yang masih berhutang kepada rentenir. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak
orang yang beragama Islam melaksanakan peminjaman uang dalam berbagai hal
dalam rangka pencaharian, usaha, dan keperluan pribadi mereka. Dalam cakupan
yang terbatas fenomena ini dapat dilaksanakan pada masyarakat Desa Kemantan
Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi yang mayoritas
penduduknya beragama Islam.
Dikalangan warga masyarakat desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir
Kabupaten Tebo Provinsi Jambi hampir semua masyarakat yang bekerja sebagai
petani, buruh, usaha kecil-kecilan sampai usaha-usaha besar seperti membuka
7Adiwarman A. Karim dan Oni Sahroni, Riba, Gharar dan Kaidah-kaidah
Ekonomi Syariah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 6. 8QS. Al-Baqarah (2): 275
-
17
toko grosiran, toko bangunan, usaha kolam ikan, toko-toko baju, tempat makan,
para petani, sekalipun bengkel-bengkel motor mereka melakukan pinjaman atau
berhutang kepada juragan (orang yang terkenal kaya) juga kepada rentenir,
apabila ada keperluan mendadak mereka pergi ketempat rentenir itu untuk
meminjam uang atau berhutang dan banyak juga untuk meminjam modal buat
usaha mereka dengan jaminan ktp dan surat berharga, apabila pas jatuh tempo
seseorang tersebut harus mengembalikan uang tersebut jika tidak sertifikat
tersebut jatuh ketangan rentenir tersebut dan ditambah bunga 20%.
Kesepakatan tersebut telah disetujui bersama antara kedua belah pihak,
maka sudah jelas dan tegas bunga pinjaman yang sangat besar, tapi para
masyarakat desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi
tidak bisa membedakan akad hutang piutang dengan bunga pinjaman karena
sudah menjadi kebiasaan mereka ingin mendapatkan uang dengan cara cepat dan
percaya dalam waktu yang singkat dapat mengembalikkan pinjaman tersebut,
walaupun sadar akan hal bunga besar tersebut. Untuk itu penulis mencoba
menguraikan masalah tersebut dengan bentuk skripsi yang berjudul
“PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP MINAT MASYARAKAT
MEMINJAM UANG MELALUI RENTENIR DI DESA KEMANTAN
KECAMATAN TEBO ILIR KABUPATEN TEBO PROVINSI JAMBI”.
B. Rumusann Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas,
maka permasalahan yang ingin dibahas adalah:
-
18
1. Mengapa masyarakat berminat meminjam uang melalui rentenir di Desa
Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi?
2. Bagaimana pandangan Hukum Islam meminjam uang melalui rentenir di Desa
Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi?
C. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian skripsi ini dapat diperlukan agar
pembahasan dan tujuannya lebih terarah dan tidak menjalar lebih luas, maka
dalam penelitian ini penulis akan membatasi masalah yang akan dibahas
mengenai minat masyarakat meminjam uang melalui rentenir serta apa
motivasinya di Desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi
Jambi dalam Perspektif Hukum Islam.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini:
1. Guna mengetahui minat masyarakat meminjam uang melalui rentenir di Desa
Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi.
2. Guna mengetahui pandangan hukum Islam meminjam uang melalui rentenir di
Desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi.
Selanjutnya, kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk memperluas
khazanah ilmu pengetahuan dalam artian membangun, memperkuat, dan
menyempurnakan teori yang sudah ada.
-
19
2. Dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dan masukkan, khususnya terhadap masyarakat desa Kemantan
Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi.
3. Sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S1)
di Fakultas Syariah Program Studi Hukum Ekonomi Syariah dikampus
Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Syaifuddin Jambi.
E. Kerangka Teori
1. Hutang Piutang Dalam Islam (Al-Qardh)
a. Pengertian Al-Qardh
Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata: qaradha yang sinonimnya:
qatha‟a artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan
utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang
menerima utang (muqtaridh).9
Menurut Imam Syafi‟i hutang piutang dalam arti bahasa (etimologi) berarti
potongan. Sedangkan dalam arti istilah (terminologi) adalah sesuatu yang
diuntungkan dan disebut juga dengan iqrad dan salaf, yang berarti suatu
pemberian dan pengalihan hak milik dengan syarat harus ada penggantinya yang
serupa.10
Dalam hukum Islam masalah hutang-piutang ini dikenal dengan istilah Al-
Qardh, yang menurut bahasa berarti (potongan), dikatakan demikian karena Al-
Qardh merupakan potongan dari harta muqridh (orang yang membayar) yang
9Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, cet. Ke-1 (Jakarta 13220,
2010), hlm. 273. 10
Ahmad Azhar Basyir, Op Cit, hlm. 59.
-
20
dibayarkan kepada muqtaridh (yang diajak akad Qardh).11
Menurut Hanafiah, Al-
Qardh, diartikan sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang
memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya.12
Menurut Syafi‟i
Antonio, Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih
atau diminta kembali dengan kata lain memimjamkan tanpa mengharap imbalan.13
Dalam pengertian istilah, qardh didefinisikan oleh Hanafiah sebagai berikut.
Artinya “Qardh adalah harta yang dibnerikan kepada orang lain dari mal mitsli
untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain,
qardh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsli)
kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang
diterimanya”.14
Para ulama sepakat bahwa Qardh boleh dilakukan atas dasar bahwa
manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan
bantuan saudaranya. Oleh karena itu, pinjam meminjam sudah menjadi satu
bagian dari kehidupan didunia dan Islam adalah agama yang sangat
memperhatikan kebutuhan umatnya.
Disaat kita terjatuh dalam berbagai dilema hidup, terkadang kita harus rela
mengambil utang untuk menutupi dan meringankan beban tersebut meskipun
hanya bersifat sementara. Dan pada saat utang menjadi pilihan. Islam
membolehkan utang-piutang tapi ada beberapa perkara yang perlu diperhatikan
dengan ketentuan sebagai berikut:
11Rahmat Syafe‟i, Fiqh Muamalah, (Sinar Baru Algensindo, Bamdung,
2013),hlm. 151 12
Ibid, hlm. 11. 13
Sunarto Zulkifi, Perbankan Syari‟ah, (Jakarta : Balai Pustaka, 2010), hlm. 27. 14
Wahbah Zuhaili, Op Cit., Juz 4, hlm. 720.
-
21
1. Berhutang dalam keadaan terdesak, darurat, atau terpaksa,
2. Berhutang pada orang sholeh dan menggunakan pinjaman sebaik mungkin,
3. Memberi pinjaman dengan ikhlas untuk membantu,
4. Berhutang dengan niatan baik serta akan melunasinya,,
5. Haram jika berhutang dengan niat tidak membayar,
6. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan,
7. Hutang piutang tidak disertai dengan jual beli,
8. Menghindari praktik ribawi,
9. Kebaikan sebaiknya dibalas dengan kebaikan,
10. Segera melunasi apabila mendapatkan kelonggaran,
11. Memberitahu jika terjadi keterlambatan dalam pembayaran,
12. Memberikan penangguhan waktu kepada yang berhutang.
Perihal hutang-piutang diperbolehkan dalam Islam (dengan syarat seperti
yang sudah disebutkan diatas), hutang merupakan sesuatu yang sensitif dalam
kehidupan Manusia. Terkadang kita (harus) berurusan dengan hutang-piutang
dalam keadaan yang benar-benar sangat terdesak/darurat atau kurang terdesak.
Hutang-piutang ini akan memberi dampak buruk, terutama jika hutang
tersebut tidak sempat untuk dilunasi (belum terbayar) kemudian yang berhutang
lebih dulu meninggal dunia. Berikut bahayanya berhutang:
1. Menyebabkan stres,
2. Merusak akhlak,
3. Dihukum layaknya seorang pencuri,
4. Jenazahnya tidak disholatkan,
-
22
5. Dosanya tidak diampuni sekalipun mati syahid,
6. Urusannya masih menggantung,
7. Tertunda masuk syurga,
8. Pahala adalah ganti hutangnya.
Allah tidak melarang seseorang yang memberikan utang yang hanya
dengan jaminan kepercayaan, dan uang ini dinamakan amanat, karena yang
memberi utang telah percaya atau merasa terjamin tanpa menerima barang
jaminan dari yang berhutang. Dengan demikian utang-piutang bersyarat dapat
dibenarkan dalam hukum Islam, bahkan hukum Islam juga mensyariatkan adanya
barang jaminan yang dapat dipegang apabila terjadi hutang-piutang.
b. Dasar Hukum Disyariatkannya Qardh dan Hikmahnya
Qardh merupakan perbuatan baik yang diperintahkan oleh Allah dan
Rasul. Dalam Alquran, qardh disebutkan dalam SuratAl-Baqarah (2) ayat 245:
Artinya: “siapakah yang memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan
bayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan
dan melapangkan (rezeki) dan Kepada-Nya-Lah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al-
Baqarah: 245)
Adapun hikmah yang disyariatkannya qardh (hutang-piutang) dilihat dari
sisi yang menerima utang atau pinjaman (muqtaridh) adalah membantu mereka
yang membutuhkan. Ketika seseorang sedang terjepit dalam kesulitan hidup,
seperti kebutuhan biaya untuk masuk sekolah anak, memberi perlengkapan
-
23
sekolahnya, bahkan untuk makannya, kemudian ada orang yang bersedia
memberikan pinjaman uang tanpa dibebani tambahan bunga, maka beban dan
kesulitannya untuk sementara dapat teratasi. Dilihat dari sisi pemberi pinjaman
(muqridh), qardh dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain,
menghaluskan perasaannya, sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dialami
oleh saudara, teman, atau tetangganya.15
c. Rukun dan Syarat Qardh
Dari pengertian hutang-piutang diatas, dapat disimpulkan bahwa hutang
piutang adalah salah satu bentuk muamalah yang melibatkan dua pihak sebagai
subyek, dan suatu barang yang menjadi obyek yang selanjutnya dapat
mengakibatkan adanya perpindahan hak milik dari pihak satu pada pihak lain.
Dengan demikian, hutang-piutang dianggap terjadi apabila sudah diketahui rukun
dan syarat-syaratnya. Adapun rukun sahnya utang piutang adalah bahwa rukun
hutang piutang itu sama dengan rukun jual beli, seperti halnya jual beli, rukun
qardh juga diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiah, rukun qardh
adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur fuqaha, rukun qardh adalah:
1. „aqid, yaitu muqridh dan muqtaridh,
2. Ma‟qud „alaih, yaitu uang atau barang, dan
3. Sighat, yaitu ijab dan qabul.
a). „Aqid
Untuk „aqid, baik muqridh maupun muqtaridh disyaratkan harus orang
yang dibolehkan melakukkan tasarruf atau memiliki ahliyatul ada‟. Oleh karena
15
Ali Fikri, op.cit., hlm. 347-348.
-
24
itu, qardh tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang masih dibawah umur atau
orang gila. Syafi‟iyah memberikan persyaratan untuk muqridh antara lain:
1. Ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru‟;
2. Mukhtar (memiliki pilihan).
Sedangkan untuk muqtaridh disyaratkan harus memiliki ahliyah atau
kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh, berakal dan tidak
mahjur‟alaih.
b). Ma‟qud „Alaih
Menurut jumhur ulama yang terdiri atas Malikiyah, Syafi‟iyah, dan
Hanabilah, yang menjadi objek akad dalam al-qardh sama dengan objek akad
salam, baik berupa barang-barang yang ditakar (makilat) dan ditimbang
(mauzunat), maupun qimiyat (barang-barang yang tidak ada persamaannya
dipasaran), seperti hewan, barang-barang dagangan, dan barang-barang yang
dihitung, atau dengan perkataan lain, setiap barang yang boleh dijadikan objek
jual beli, boleh pula dijadikan objek akad qardh.
Hanafiah mengemukakan bahwa ma‟qud „alaih hukumnya sah dalam mal
mitsli, seperti barang-barang yang ditakar (makilat), barang-barang yang
ditimbang (mauzunat), barang-barang yang dihitung (ma‟dudat) seperti telur,
barang-barang yang bisa diukur dengan meteran (madzru‟at). Sedangkan barang-
barang yang tidak ada atau sulit mencari persamaannya dipasaran (qimiyat) tidak
boleh dijadikan objek qardh, seperti hewan, karena sulit mengembalikan dengan
barang yang sama.
-
25
c). Shighat (Ijab dan Qabul)
Qardh adalah suatu akad kepemilikan atas harta. Oleh karena itu, akad
tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan qabul, sama seperti akad jual
beli dan hibah. Yang dimaksud dengan shighat adalah ijab dan qabul. Tidak ada
perbedaan diantara fukaha bahwa ijab qabul itu sah dengan lafadz hutang dan
dengan semua lafadz yang menunjukkan maknanya, seperti kata, “Aku
memberimu utang” atau “Aku mengutangimu”. Demikian pula qabul sah dengan
semua lafadz yang menunjukkan kerelaan seperti “Aku berutang” atau “Aku
menerima” atau “Aku ridho” dan lain sebagainya.
Perjanjian hutang piutang baru terlaksana setelah pihak pertama
menyerahkan piutangnya kepada pihak kedua, dengan syarat yang diberikan pihak
pertama dan pihak kedua telah menerimanya. Setelah perjanjian terjadi sebelum
diterima oleh pihak kedua, maka resikonya ditanggung oleh pihak pertama.16
Disamping adanya syarat rukun sahnya hutang piutang tersebut diatas,
juga terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam masalah hutang-
piutang, yaitu sebagai berikut:
a). Diwajibkan bagi orang yang berutang mengembalikn atau membayar kepada
piutang pada waktu yang telah ditentukan dengan barang yang serupa atau
dengan seharganya.
b). Orang yang mengutangkan wajib memberi tempo bila yang berutang belum
mempunyai kemampuan dan disunnatkan membebaskan sebagian atau semua
piutangnya, bilamana orang yang kurang mampu membayar utangnya.
16
Ahmad Azhar Basyir, Azas-Azas Hukum Islam, (Rineka Cipta, Cet. 4, Jakarta :
2000), hlm. 38.
-
26
c). Cara membayar utang harus memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam
perjanjian.
d). Berakhirnya hutang piutang. Berakhirnya utang piutang ini disyariatkan
supaya mereka mudah dalam meminta dan menurut pihak yang berutang untuk
melunasi utangnya apabila sudah jatuh temponya.
Disyariatkannya secara tertulis dalam utang-piutang diperlukan juga dua
saksi. Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi perselisihan dikemudian hari.
Tanpa adanya saksi mungkin yang satu akan mengingkari perjanjian yang telah
disepakati bersama. Saksi dalam utang-piutang itu hendaknya terdiri atas dua
orang pria baligh, muslim dan bukan budak beliau. Sekiranya tidak didapatkan
dua orang saksi pria yang memenuhi syarat, hendaknya mengangkat seorang laki-
laki dan dua orang perempuan yang dapat saling menginggatkan diantara
keduanya sehingga tidak terjadi kealpaan.17
Apabila di dalam perjanjian hutang-piutang tersebut tidak ditemui penulis
atau saksi, maka harus ada barang jaminan yang dapat dipegang sebagai ganti
adanya saksi dan tulisan. Apabila semua tidak didapatkan, maka boleh tidak
memakai saksi, tulisan atau barang jaminan.
Mengenai pembayaran hutang-piutang ini ada beberapa hal yang perlu
diketahui, yaitu menyangkut siapa yang berhak menagih pembayaran utang-
piutang, siapa yang wajib membayarkan, waktu pembayaran, tempat pembayaran
dan sesuatu yang dibayarkan.
17
Shaleh, Ayat-Ayat Hukum, (Rineka Cipta, Cet. 4, Jakarta : 2000), hlm. 106.
-
27
1). Hak tagihan hutang-piutang
Pada dasarnya yang berhak menagih utang adalah pihak pemberi piutang
sendiri, atau wakilnya jika ia mewakilkan kepada orang lain, atau wakilnya jika ia
berada dibawah perwakilan atau ahli warisnya jika ia meninggal dunia atau orang
yang menerima wasiat tersebut.18
2). Yang wajib membayar utang-piutang
Dalam utang-piutang terkait dengan adanya suatu perjanjian, maka pada
dasarnya orang yang berhutang itulah yang berkewajiban membayar hutang-
piutang tersebut sesuai dengan janjinya apabila jangka waktunya telah habis.
3). Waktu pembayaran hutang-piutang
Waktu pembayaran hutang tergantung pada isi perjanjian yang diadakan,
jika dalam perjanjian itu tidak disebutkan ketentuan batas waktu pembayarannya,
maka pihak berhutang dapat ditagih sewaktu-waktu untuk membayar utang
tersebut. Jika tenggang waktu pembayaran disebutkan dalam perjanjian, maka
kewajiban pembayaran utang itu pada waktu yang telah ditentukan, dan pihak
berutang pun baru berhak melakukan tagihan pada waktu tersebut.
Tapi apabila pihak yang berhutang belum bisa membayar hutangnya pada
waktu yang telah ditentukan maka dianjurkan untuk memberikan kelonggaran
sampai ia berkelapangan. Apabila pihak yang berhutang mempercepat
pembayaran sebelum tiba waktunya, kemudian pihak yang memberi piutang
membebaskan sebagian sebagai imbalanny, maka menurut jumhur fuqaha haram
hukumnya.
18
Ahmad Azhar Basyir, Op, Cit, hlm. 40.
-
28
4). Tempat pembayaran hutang-piutang
Pada dasarnya pembayaran hutang piutang dilakukan ditempat terjadinya
hutang. Apabila utangnya bukan merupakan sesuatu yang jika dipindahkan atau
memerlukan biaya, seperti uang, maka boleh dilakukan pembayaran ditempat lain
sebab sama saja pembayaran itu dilakukan ditempat perjanjian atau ditempat lain.
Apabila barang yang diutangkan jika dipindahkan memerlukan biaya, kemudian
pihak berhutang menawarkan pembayaran utangnya ditempat lain, maka pihak
yang berpiutang berhak menolak, sebab kalau diterima ia akan memikul beban
biaya pemindahan atau membawa ketempat lain.19
Ulama fiqh sepakat bahwa hutang-piutang harus dibayar ditempat
terjadinya akad secara sempurna. Namun demikian, boleh membayarnya di tempat
lain apabila tidak ada keharusan untuk membawanya atau memindahkannya, juga
tidak ada halangan dijalan, sebaliknya jika terdapat halangan apabila membayar
ditempat lain, muqridh tidak perlu menyerahkannya. Jika jalan suatu perjanjian
hutang-piutang diadakan syarat bahwa pembayaran dilakukan di tempat lain,
banyak ulama yang memandang syarat itu batal, sebab merupakan hutang-piutang
yang menarik manfaat bagi pihak berpiutang.20
5). Biaya pembayaran hutang-piutang
Biaya-biaya yang diperlukan untuk pembayaran hutang-piutang menjadi
tangguangan pihak yang berhutang. Hal ini logis sebab pihak berpiutang tidak
dibenarkan memungut keuntungan dari pihak berpiutang yang diberikan maka
19
Ibid, hlm. 44. 20
Ibid, hlm. 45.
-
29
sebaliknya ia tidak dapat dibebani resiko-resiko biaya yang diperlukan untuk
membayar hutang.
6). Sesuatu yang dibayarkan dalam hutang-piutang
Pembayaran hutang itu seharusnya dilakukan dengan membayarkan
sesuatu yang sejenis dengan hutang-piutang. Jika utang itu berupa barang tertentu,
maka pembayaran harus berupa barang yang sejenis dengan hutangnya meskipun
barang tersebut mengalami perubahan harga, misalnya, emas harus dibayar
dengan emas meskipun sedang mengalami harga turun, pembayaran hutang
dengan barang yang tidak sejenis dengan apa yang diutangkan tidak
diperbolehkan dengan syarat maupun tanpa syarat, misalnya utang-piutang emas
dibayar dengan perak dan sebagainya.
7). Pembebasan hutang-piutang
Suatu perjanjian hutang-piutang dipandang berakhir, jika pihak berpiutang
membebaskan piutangnya. Untuk sahnya suatu pembebasan utang, pihak yang
membebaskan hutang harus memenuhi syarat-syarat,yaitu: baligh, berakal, cakap,
bertabarru‟ dan dilakukan dengan suka rela. Jika salah satu syarat tersebut tidak
dipenuhi, maka pembebasan hutang tidak sah.
Untuk itu Islam telah mengajarkan setiap individu mempunyai hak untuk
memenuhi kebutuhannya dengan berbagai cara dan usaha selama tidak melanggar
norma-norma agama. Islam menganjurkan untuk mencari dan mendapatkan harta
dengan berusaha mencari rezeki dengan berbagai cara yaitu membolehkan
muamalah atau hubungan usaha, tukar-menukar, sewa-menyewa, dan kerjasama.
-
30
Dalam memelihara dan menjaga harta, Islam mensyariatkan haramnya
pencurian, penipuan, harta orang lain dan memakan harta secara bathil (riba).
Pada prinsipnya, Islam membolehkan semua bentuk kerjasama, selama kerjasama
tersebut mendatangkan manfaat terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat.
Hal inilah yang ditunjukkan masyarakat di Desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir
Kabupaten Tebo Provinsi Jambi, dimana mereka telah melakukan kegiatan tolong
menolong untuk membantu sesama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
d. Motivasi Masyarakat Melakukan Pinjam-Meminjam Uang
Di desa Kemantan yang menjadi masalah utama masyarakat disana adalah
pemenuhan kebutuhan serta permodalan, dimana latar belakang pekerjaan mereka
banyak bergantung pada sektor pertanian. Sebagian besar masyarakat di Desa
Kemantan masih memilih melakukan pinjaman pada rentenir untuk pemenuhan
kebutuhan ekonomi atau permodalan, khususnya bagi masyarakat kalangan
menengah kebawah. Minimnya pengetahuan mengenai lembaga keuangan syariah
dalam masyarakat dan masih adanya pandangan bahwa lembaga keuangan itu
identik dengan kerumitan serta tidak adanya agunan yang dapat mereka jaminkan,
telah memaksa mereka meminjam uang pada rentenir.
Telah memberikan motivasi sendiri dengan dorongan yang timbul pada
diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan
dengan tujuan tertentu. Rentenir sendiri berasal dari kata rente, yang berarti
bunga. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rentenir berarti orang yang
mencari nafkah dengan membungakan uang, tukang riba, pelepas uang, lintah
darat.
-
31
Riba dalam pengertian bahasa, riba berarti tambahan (azziya‟dah). Makna
tambahan dalam riba adalah tambahan yang berasal dari usaha haram yang
merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi. Dalam pengertian lain, secara
liguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis,
riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.21
Sedangkan pembiayaan mempunyai arti yaitu penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara lembaga keuangan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.22
F. Tinjauan Pustaka
Hutang piutang merupakan salah satu bentuk muamalah yang dikenal dan
sudah dipraktikkan sejak zaman Rasulullah SAW, sampai sekarangpun masih
dilakukan oleh masyarakat umum. Hal ini juga telah dipraktikkan oleh warga
masyarakat di Desa Kemantan, Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi
Jambi, untuk saling tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Di bawah ini ada tiga penelitian yang memiliki keterkaitan dengan
penelitian ini yaitu skripsi dari saudara Ilas Korwadi Siboro tentang “Rentenir
(Analisis Terhadap Fungsi Pinjaman Berbunga dalam Masyarakat Rokan Hilir
Kecamatan Bagan Sinembah Desa Bagan Batu)”. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui penyebab masyarakat di Rokan Hilir Kecamatan Bagan
21
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah : dari Teori ke Praktik, (Jakarta:
Gema Insani, 2001), hlm. 37. 22
Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001),
hlm.92.
-
32
Sinembah Desa Bagan Batu meminjam uang pada rentenir. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa masyarakat di Rokan Hilir Kecamatan Bagan Sinembah
Desa Bagan Batu masih sangat antusias dalam meminjam uang pada rentenir
penyebabnya adalah mereka membutuhkan uang secara mendadak seperti biaya
pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya serta sarat peminjaman yang
mudah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah masyarakat di Rokan Hilir
Kecamatan Bagan Sinembah Desa Bagan Batu meminjam uang pada rentenir
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.23
Skripsi dari Chumaedatul Umamah tentang “Pinjaman Bersyarat Dalam
Tinjauan Hukum Islam (Studi di Dusun Tegalsari, Desa Kawunganten Lor,
Kecamatan Kawunganten, Kab. Cilacap)” menjelaskan bahwa si kreditur
meminjamkan uang kepada debitur dengan syarat bahwa hasil pertanian si debitur
harus dijualkan kepada si kreditur, hingga hutang si debitur lunas. Dari hasil
penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa dalam kegiatan peminjaman bersyarat
ini lebih bersifat tolong menolong dan kedua belah pihak juga saling diuntungkan.
Hal ini sesuai dengan hukum islam bahwa memberikan pinjaman atau hutang
tanpa syarat apapun termasuk kedalam cara tolong-menolong.24
Skripsi saudara Zaenal Arifin tentang “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Praktik Pinjaman di Koperasi PT. Djarum Kudus”. Skripsi ini membahas tentang
praktik simpan pinjam dengan sistem tambahan dalam pengembalian pinjaman
23
Siboro, I.K. Rentenir (Analisis Terhadap Fungsi Pinjaman Berbunga Dalam
Masyarakat Rokan Hilir Kecamatan Bagan Sinembah Desa Bagan Batu). Jom Fisip Vol.
2 No. 1, Oktober 2015. 24
Chumaedatul Umamah, “Pinjaman Bersyarat Dalam Tinjauan Hukum Islam
(Studi di dusun Tegalsari, Desa Kawunganten lor, Kecamatan Kawunganten, Kab.
Cilacap),”Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, (2008).
-
33
(bunga). Dalam skripsi ini praktik simpan pinjam di koperasi PT. Djarum Kudus
tidak sesuai dengan norma-normahukum Islam, karena ada unsur eksploitasi serta
riba yang berlipat ganda.25
Dari beberapa skripsi yang telah dikemukakan di atas, kebanyakan
membahas riba dan bunga pinjaman, baik pada pihak rentenir maupun perbankan.
Pendekatan yang mereka gunakan adalah normatif. Sedangkan penelitian tentang
“Perspektif Hukum Islam Terhadap Minat Masyarakat Meminjam Uang Melalui
Rentenir Di Desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi
Jambi” membahas mengenai minat masyarakat dan faktor yang menyebabkan
masyarakat meminjam uang pada rentenir serta pandangan hukum Islam terhadap
kasus tersebut. Oleh karena itu, penyusun mengkaji permasalahan tersebut.
G. Metode Penelitian
Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian terhadap tingginya minat
masyarakat meminjam uang melalui rentenir ini metode yang digunakan dalam
penyusunan adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan yaitu penelitian lapangan (fied
research). Yaitu suatu penelitian yang meneliti obyek dilapangan untuk
mendapatkan data dan gambaran yang jelas tentang hal-hal yang berhubungan
sistem meminjam uang melalui rentenir tersebut di Desa Kemantan Kecamatan
Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi.
25
Zaenal Arifin, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Pinjaman di
Koperasi PT. Djarum Kudus” Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, (2005).
-
34
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitik yang artinya penelitian yang
menggambarkan permasalahan yang ada secara obyektif, guna mendeskripsikan
pelaksanaan meminjam uang melalui rentenir di Desa Kemantan Kecamatan Tebo
Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi sebagaimana adanya, kemudian menganalisa
berdasarkan data yang ada dari hasil penelitian dan literatur-literatur yang ada
kaitannya dengan permasalahannya tersebut, supaya mendapatkan kesimpulan.
3. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan nomatif
dan filosofis. Normatif yaitu berdasarkan nash-nash al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, dan
sebagainya. Sedangkan filosofisnya adalah berdasarkan istihsan, yaitu
menganggap baik (apapun yang baik dari sesuatu).
4. Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah warga masyarakat Desa Kemantan yang
melakukan pinjaman uang melalui rentenir serta rentenir yang ada di Desa
Kemantan, untuk mendapatkan subyek penelitian ini dilakukan dengan
mengambil data seluruh penduduk yang meminjam uang melalui rentenir, yakni
peneliti tidak mengambil semua obyek, semua gejala, semua kejadian atau
peristiwa, melainkan sebagian dari obyek gejala atau kejadian yang teliti.
Informasi diperoleh dari masyarakat yang meminjam uang pada rentenir dan
rentenir, serta pengamatan penyusun di Desa Kemantan.
-
35
5. Tenik Pengumpulan Data
a. Observasi (pengamatan) adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematika
atas fenomena-fenomena yang diteliti,dalam hal ini peneliti memperoleh data
yang diperlukan dengan cara datang dan melihat dilapangan terhadap praktik
pinjam meminjam itu berlangsung, yaitu pada salah satu rumah si rentenir yang
digunakan untuk transaksi pinjam-meminjam uang.
b. Interview (wawancara) adalah dimana suatu bentuk komunikasi secara
langsung guna mendapatkan sebuah informasi tentang apa yang diteliti. Yang
diwawancarai yaitu rentenir dan peminjam uang. Jumlah rentenir 2 orang dan
peminjam uang 32 orang. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang
jelas, valid dan memudahkan penyusun menganalisa pokok masalah yang
dibahas.
c. Keputusan adalah menelaah buku-buku yang relevan dengan permasalahan
yang diteliti, seperti kitab-kitab, artikel-artikel, buku-buku, serta karya ilmiah
yang ada kaitannya atau hubungan dengan topik pembahasan ini.
6. Teknik Analisa Data
Dalam analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan analisis data kualitatif, yakni menganalisis data yang ada,
dikumpulkan, selanjutnya dipilah-pilah dan dianalisa untuk memperoleh
kesimpulan umum tentang meminjam uang melalui rentenir di Desa Kemantan.
Pertama penyusun menjelaskan terlebih dahulu berbagai hal tentang konsep
hutang-piutang dalam Islam, konsep riba, teori-teori fikih yang bersangkutan
-
36
dengan azziya‟dah (tambahan), tingkatan kemaslahatan setelah itu dihubungkan
dengan kenyataan-kenyataan di lapangan, yakni tentang meminjam uang melalui
rentenir yang ada syaratnya, yaitu potongan dan penambahan dalam
pengembalian.
H. Sistematika Penulisan
Penyusun skripsi ini terbagi kepada lima bab, antara babnya yang terdiri
dari sub-sub bab, yang secara logis saling berhubungan dan merupakan keutuhan
serta mendukung dan mengarah tercapainya dari jawaban pokok permasalahan
yang telah diajukan. Untuk memberikan gambaran secara mudah agar lebih
terarah dan jelas mengenai pembahasan skripsi ini penyusun menggunakan
sistematika dengan membagi pembahasan sebagai berikut:
Bab Pertama, merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan kegunaan penelitian serta kerangka teori.
Bab Kedua, menguraikan tentang tinjauan hukum Islam tentang hutang
piutang, rentenir dan riba dengan beberapa sub.
Bab Ketiga, menggambarkan mengenai Kondisi umum Desa Kemantan
meliputi letak geografis, kondisi penduduk dan aktivitas perekonomian serta
pelaksanaan pinjam meminjam uang kepada rentenir di Desa Kemantan.
Bab Keempat, pada bab ini akan dibahas mengenai analisis minat dalam
melakukan pinjaman pada rentenir yang sudah pasti memiliki bunga pinjaman dan
mengandung riba studi kasus di Desa Kemantan lalu membahas mengenai
perspektif hukum Islam terhadap minat masyarakat dalam meminjam uang pada
-
37
rentenir. Bab Kelima Penutup, dalam bab terakhir ini berisi kesimpulan, saran-
saran yang membagun terhadap permasalahan diatas.
-
38
BAB II
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG HUTANG PIUTANG,
RENTENIR DAN RIBA
A. Konsep Qardh
1. Pengertian Qard
Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata qarada yang sinonimnya qatha‟a
yang berarti memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang
memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima
utang (muqtaridh).26
Potongan dalam konteks akad qardh adalah potongan yang
berasal dari harta orang yang memberikan uang. Sedangkan menurut istilah
diartikan meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan.
Menurut Syafi‟i Antonio, qardh adalah pemberian harta kepada orang lain
yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan
tanpa mengharap imbalan.27
Qardh adalah pinjaman uang, pinjaman qardh
biasanya diberikan oleh bank kepada nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman
talangan pada saat nasabah mengalami overdraft. Fasilitas ini dapat merupakan
bagian dari satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan nasabah bertransaksi.
Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal:
26 Muslich, A.W. Fiqh Muamalat,. Jakarta: AMZAH, 2010. hlm: 273-274. 27
Antonio, M.S. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik,. Jakarta: Gema Insani, 2001.
hlm.131.
-
39
a. Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan
pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji.
nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatan haji.
b. Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah,
dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank
melalui ATM. Nasabah akan mengembalikan sesuai waktu yang ditentukan.
c. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil dimana menurut perhitungan
bank akan memberatkan si pengusaha bila diberi pembiayaan dengan skema
jual-beli ijarah atau bagi hasil.
d. Sebagai pinjman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas
ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus
Bank akan mengembaliaknnya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.28
Menurut istilah para ahli fikih, al-qardh adalah memberikan suatu harta
kepada orang lain untuk dikembalikan tanpa ada tambahan. Al-Qardh (pinjam
meminjam) hukumnya boleh dan dibenarkan secara syariat. Tidak ada perbedaan
pendapat di antara para ulama dalam hal ini. Orang yang membutuhkan boleh
menyatakan ingin meminjam. Ini bukan sesuatu yang buruk, bahkan orang yang
akan dipinjami justru dianjurkan (mandub). Dalil mengenai hal ini terdapat dalam
Al-Qur‟an: surat Al-Baqarah ayat 245.29
Hal ini berarti sangat kental akan nuansa
prinsip tolong-menolong terhadap sesama manusia yang dianjurkan oleh agama
Islam untuk mempunyai jiwa sosial.
28
Sudarsono, H. Bank dan Lembaga Keuangan Syari‟ ah, Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta:, Ekonosia kampus Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta, 2003. Hlm. 82
29 Al-Bugha, M.D. Fiqh Al-Mu‟awadhah, diterjemahkan oleh Fakhri Ghafur dengan judul
Buku Pintar Transaksi Syariah. Jakarta: Mizan Publika, 2010. Hlm: 52.
-
40
Menurut Hukum Syara‟, para ahli fikih mendefinisikan qardh sebagai
berikut:
1. Menurut pengikut madzhab Hanafi, Ibn Abidin mengatakan bahwa
qardh adalah suatu pinjaman atas apa yang dimiliki satu orang lalu
diberikan kepada yang lain kemudian dikembalikan dalam
kepunyaannya dalam baik hati;
2. Menurut madzhab Maliki, qardh adalah pembayaran dari sesuatu yang
berharga untuk pembayaran kembali tidak berbeda atau setimpal;
3. Menurut madzhab Hanbali, qardh adalah pembayaran uang ke seseorang
siapa yang akan memperoleh manfaat dengan itu dan kembalian sesuai
dengan padanannya;
4. Menurut madzhab Syafi‟i, qardh adalah memindahkan kepemilikan
sesuatu kepada seseorang, disajikan ia perlu membayar kembali
kepadanya.
2. Dasar Hukum Qardh
Dasar hukum Qardh meliputi:
1. Al-Qur‟an
Di dalam surat Al-Hadid ayat 11 Allah berfirman :
Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang
baik, Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia
akan memperoleh pahala yang banyak.” (Q.S. Al-Hadid: 11).30
30
Q.S. Al-Hadid: 11
-
41
Firman Allah Q.S. At-Taghabun ayat 17 :
Artinya: “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,
niscaya Allah melipatgandakan balasannya kepadamu dan mengampuni
kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (Q.S. Al-
Taghabun: 17).31
Firman Allah Q.S. Al-Baqarah ayat 245 :
Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah
melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan kelipatan ganda yang
banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-
Nyalah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al-Baqarah: 245).32
Dalam ayat di atas, Allah SWT menegaskan orang yang memberi pinjaman
„al-qardh itu sebenarnya ia memberi pinjam kepada Allah SWT, artinya untuk
membelanjakan harta di jalan Allah. Selaras meminjamkan harta kepada Allah,
manusia juga diseru untuk meminjamkan kepada sesamanya, sebagai sebagian
kehidupan bermasyarakat. Kalimat qardhan hasanan dalam ayat 245 surat Al-
Baqarah tersebut berarti pinjaman yang baik, yaitu infak di jalan Allah. Arti
lainnya adalah pemberian nafkah kepada keluarga dan juga tasbih serta taqdis
(pencucian).33
31
Q.S. Al-Taghabun: 17. 32
Q.S. Al-Baqarah: 245 33
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2006. hlm: 498.
-
42
Hanya satu yang ditekankan dalam pemberian pinjaman di sini, yaitu
pinjaman yang baik dalam arti dengan niat yang bersih dan baik, hati yang tulus
serta harta yang halal. Maka meminjamkan kepada Allah adalah Allah
mengumpamakan pemberian seseorang dengan tulus untuk kemaslahatan
hambanya sebagai pinjaman kepada Allah SWT, sehingga ada jaminan dari-Nya
bahwa pinjaman itu kelak akan dikembalikan. Selanjutnya karena Allah yang
meminjam, maka dia akan menjanjikan bahwa Allah akan melipat gandakan
pembayaran pinjaman itu kepadanya di dunia dan di akhirat, dengan lipat ganda
yang banyak, seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir dan pada setiap
butir seratus biji, bahkan lebih dari pada itu.34
2. Al-Hadist
Landasan qardh dalam hadits Nabi SAW di antaranya adalah yang
diriwayatkan Ibnu Majah, Nabi SAW bersabda:
عي إبي هس عىلَ ى النبى ل لى اهلل عليه وا لن قب هب هي هس لن يقرض هسلوب
قرضب هرتيي إَلَ اىَ صدقتهب
Artinya: “Dari Ibn Mas‟ud ra, bahwa Nabi SAW bersabda: Tidaklah seorang
Muslim memberikan pinjaman kepada orang Muslim lainnya sebanyak dua kali
pinjaman, melainkan layaknya ia telah menyedekahkan satu kali.” (H.R. Ibnu
Majah)
Hadits di atas menjelaskan bahwa memberikan pinjaman kepada orang lain
yang membutuhkan lebih utama daripada orang yang bersedekah. Allah akan
lebih banyak melipat gandakan kepada orang yang meminjamkan hartanya di
jalan Allah dari pada orang yang bersedekah karena seseorang tidak akan
meminjamkannya jika dia benar-benar membutuhkannya. Dan juga mengajarkan
34
Shihab, M.Q. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an Vol. 1
(Jakarta: Lentera Hati. 2003), hlm: 529.
-
43
bahwa tolong-menolong merupakan salah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan
dari ajaran Islam untuk selalu memperhatikan sesama Muslim dan memberikan
pertolongan jika seseorang membutuhkannya, yaitu tolong-menolong dalam
kebaikan.
3. Ijma‟
Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan kesepakatan
ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan
bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia
butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari
kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap
kebutuhan umatnya.35
4. Kaidah Fiqih
Adapun dasar hukum hutang-piutang (qardh) dalam kaidah fikih mu‟amalah
adalah:
“Hukum asal dalam semua bentuk mu‟amalah adalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
“Setiap pinjaman yang menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama
dengan riba”36
Pihak yang meminjami mempunyai pahala sunat. Sedangkan dilihat dari
sudut peminjam, maka hukumnya boleh, tidak ada keberatan dalam hal itu. Jadi,
hukum memberi hutang hukumnya sunat malah menjadi wajib, seperti
mengutangi orang yang terlantar atau yang sangat perlu atau berhajat.37
3. Rukun dan Syarat Qardh
35
Mustofa, I. Fiqih Mu‟amalah Kontemporer Jakarta: Rajawali Pers. 2016, hlm: 132- 133. 36
Dzajuli, A. Kaidah-Kaidah Fiqh (Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah
yang Praktis). Jakarta, Kencana, 2007. hlm: 138. 37
A. Munir dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya,
1992. Hlm: 252.
-
44
a) Rukun Qardh
Adapun yang menjadi rukun qardh ada tiga, yaitu:38
1. Shighat Qardh
Shighat terdiri dari ijab dan qabul. Redaksi ijab misalnya seperti, “Aku
memberimu pinjaman,” “Aku mengutangimu,” “Ambilah barang ini dengan ganti
barang yang sejenis,” atau “Aku berikan barang ini kepadamu dengan syarat kamu
mengembalikan gantinya.” Menurut pendapat yang shahih, disyaratkan ada
pernyataan resmi tentang penerimaan pinjaman, seperti jenis transaksi lainnya.
Redaksi qabul disyaratkan sesuai dengan isi ijab, layaknya jual beli.
Seandainya pemberi pinjaman berkata, “Aku mengutangimu 1000 dirham,” lalu
peminjam menerima lima ratus dirham, atau sebaliknya, maka akad tersebut tidak
sah. Hutang-piutang dihukumi sah bila menggunakan kata qardh (meminjami)
atau salaf (mengutangi) juga sah digunakan dalam shighat ijab qabul seperti telah
disebutkan di atas.
Sebagian ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa jika peminjam berkata
kepada pemberi pinjaman, “Berikanlah saya hutang sekian,” lalu dia
meminjamnya; atau peminjam mengirim seorang utusan kepada pemberi
pinjaman, lalu dia mengirim sejumlah harta kepadanya, maka akad qardh tersebut
sah. Menurut al-Adzra‟i, ijma‟ ulama sepakat sistem tersebut boleh dilakukan.
2. Para Pihak yang Terlibat Qardh
Para pihak yang terlibat qardh adalah pemberi pinjaman (pemberi hutang)
dan peminjam (penghutang). Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut :
a. Syarat-syarat bagi pemberi pinjaman
38
Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad Al-Muthlaq dan
Muhammad bin Ibrahim, Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab, Cet-1,
Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009. Hlm: 159.
-
45
Fuqaha sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk ahli
tabarru‟ (orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka, baligh,
berakal sehat, dan pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang
buruk). Mereka berargumentasi bahwa hutang piutang adalah transaksi irfaq
(memberi manfaat). Oleh karenanya tidak sah kecuali dilakukan oleh orang
yang sah amal kebaikannya, seperti shadaqah.
b. Syarat bagi peminjam
Syafi‟iyyah mensyaratkan penghutang termasuk kategori orang yang
mempunyai ahliyah al-mu‟amalah (kelayakan melakukan transaksi) bukan
ahliyah at-tabarru‟ (kelayakan memberi derma). Adapun kalangang Ahnaf
mensyaratkan penghutang mempunyai ahliyah at-tasharrufat (kelayakan
membelanjakan harta) secara lisan, yakni merdeka, baligh, dan berakal
sehat. Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu menanggung karena
hutang tidak ada kecuali dalam tanggungan. Misalnya, tidak sah memberi
hutang kepada masjid, sekolah, atau ribath (berjaga di perbatasan dengan
musuh) karena semua ini tidak mempunyai potensi menanggung.
3. Barang yang Dipinjamkan
Barang yang dipinjamkan disyaratkan harus dapat diserah terimakan dan
dapat dijadikan barang pesanan (muslam fih), yaitu berupa barang yang
mempunyai nilai ekonomis (boleh dimanfaatkan menurut syara‟) dan
karakteristiknya diketahui karena ia layak sebagai pesanan. Menurut pendapat
shahih, barang yang tidak sah dalam akad pemesanan tidak boleh dipinjamkan.
-
46
Jelasnya setiap barang yang tidak terukur atau jarang ditemukan karena untuk
mengembalikan barang sejenis akan kesulitan.
b) Syarat-Syarat Qardh
Ada empat syarat sahnya qardh, yaitu:
1. Akad qardh dilakukan dengan shigah ijab qabul atau bentuk lain yang bisa
menggantikannya, seperti cara mu‟athah (melakukan akad tanpa ijab qabul)
dalam pandangan jumhur, meskipun menurut Syafi‟iyah cara mu‟athah
tidaklah cukup sebagaimana dalam akadakad lainnya.
2. Adanya kapibilitas dalam melakukan akad. Artinya, baik pemberi maupun
penerima pinjaman adalah orang baligh, berakal, bisa berlaku dewasa,
berkehendak tanpa paksaan, dan boleh untuk melakukan tabarru‟
(berderma). Karena qardh adalah bentuk akad tabarru‟. Oleh karena itu,
tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang gila, orang bodoh, orang yang
dibatasi tindakannya dalam membelanjakan harta, orang yang dipaksa, dan
seorang wali yang tidak sangat terpaksa atau ada kebutuhan. Hal itu karena
mereka semua bukanlah orang yang dibolehkan melakukan akad tabarru‟
(berderma).
3. Menurut Hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah harta mitsli.
Sedangkan dalam pandangan jumhur ulama dibolehkan dengan harta apa
saja yang bisa dijadikan tanggungan, seperti uang, bijibijian, dan harta
qimiy seperti hewan, barang tak bergerak dan lainnya.
4. Harta yang dipinjamkan jelas ukurannya, baik dalam takaran, timbangan,
bilangan, maupun ukuran panjang supaya mudah dikembalikan. Dan dari
-
47
jenis yang belum tercampur dengan jenis lainnya seperti gandum yang
bercampur dengan jelai karena sukar mengembalikan gantinya.
B. Konsep Rentenir
Rentenir adalah pemberi pinjaman uang (kreditur) dengan bunga sekitar 10-
30 persen perbulan dalam kondisi perekonomian normal dengan rata-rata bunga
pinjaman bank umum kurang lebih 1-3 persen perbulan. Plafon pinjaman yang
diberikan biasanya antara 50.000 sampai dengan 1.000.000 rupiah. Target
peminjam (debitur) mereka biasanya orang-orang dengan ekonomi lemah yang
tinggal di kota atau di pinggiran kota, seperti buruh kecil, pegawai kecil dan
perajin kecil atau dengan istilah lain masyarakat kurang mampu dari segi
ekonomi.
Rentenir adalah seseorang yang melakukan kegiatan peminjaman uang atau
modal. Renten atau kegiatan renten merupakan suatu aktifitas dimana seseorang
meminjamkan uang dengan bunga yang berlipat-lipat yang memungkinkan bunga
tersebut melebihi utang pokoknya jika cicilannya terlambat.39
Pinjaman berbunga yaitu meminjamkan sejumlah uang dan mendapatkan
keuntungan berupa pengembalian pokok plus bunganya atau apakah ini kerjasama
penyertaan modal tempat menyetorkan uang sebagai modal usaha. Dan secara
priodik rentenir akan mendapatkan keuntungan bagi hasil dari usaha tersebut
ditarik kembali. Kalau mekanismenya sebagai pinjaman berbunga, maka dana
pinjaman akan tetap menjadi hak rentenir tanpa terpengaruh hasil usahanya.40
39
Siboro, I.K. Rentenir (Analisis Terhadap Fungsi Pinjaman Berbunga Dalam Masyarakat
Rokan Hilir Kecamatan Bagan Sinembah Desa Bagan Batu). Jom Fisip Vol. 2 No. 1, Oktober
2015 40
Ghozali, A. 70 Solusi Keuangan. Depok : Gema Insani, 2008. Hlm:53.
-
48
Sumber modal pinjaman memang beraneka ragam, salah satunya adalah
modal pinjaman dari rentenir. Sebab melalui rentenir modal mudah didapatkan
karena prosedur peminjaman gampang. Dan alasan tersebut mengapa rentenir
bertahan dalam sejarah perekonomian Indonesia. Kedua, melalui rentenir tanpa
jaminan pun modal di dapat. Sehingga, seringkali peminjam hanya bermodal
kepercayaan.
C. Konsep Riba
1. Pengertian Riba
Riba ditinjau dari bahasa Arab, riba bermaknakan: tambahan, tumbuh, dan
menjadi tinggi. Adapun dalam pemahaman syari‟ah, maka para ulama berbeda
beda dalam ungkapannya dalam mendefinisikannya tetapi maksud dan maknanya
tidak jauh berbeda, diantara definisi yang cukup mewakili, menurut Asy-Sarbani
yang dikutip oleh Arifin Badri adalah “ suatu akad / transaksi atas barang tertentu
yang ketika akad berlangsung, tidak mengetahui kesamaannya menurut ukuran
syari‟ah atau dengan menunda penyerahan keduanya barang yang akan menjadi
objek akad atau salah satunya”.41
Para ulama menyebutkan bahwa riba secara umum dibagi menjadi (2)
macam:
a. Riba Nasi‟ah / Penundaaan ( Riba Jahiliyyah) Yaitu penambahan yang
terjadi akibat pembayaran yang tertunda pada akad tukar menukar dua
barang yang tergolong ke dalam riba, baik satu jenis maupun berlainan jenis
dengan menunda penyerahan salah satu barang yang ditukarkan atau kedua-
duanya.
41
Badri, A. Riba dan Tinjuan kritis Perbankan Syari‟ah. Bogor: Darul Ilmi Publising,
2002. hlm. 2.
-
49
b. Riba Fadl (Riba Penambahan)/Riba Perniagaan Riba jenis ini dapat terjadi
pada akad perniagaan, sebagaimana yang dapat terjadi pada akad utang -
piutang.
Para sarjana muslim modern berbeda pandangan tentang apakah larangan
riba sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur‟an teraplikasikan dalam bunga
bank modern. perbedaan ini tampaknya terfokus pada salah satu permaslahan
sentral, yaitu:42
a. larangan riba dipahami dengan menekankan pada aspek rasional, melalui
pemahaman ini, unsur ketidak-adilan menjadi isu sentral atas
pelarangannya.
b. larangan riba dipahami berdasarkan legal formal sebagaimana ang
dikonseptualisasikan dalam hukum Islam (fiqh).
Menurut salah seorang mufassir modern, secara kasatnya dapat dikatakan,
kekejian riba (dalam arti di mana istilah ini digunakan dalam al-Qur‟an dan
banyak ucapaan Nabi) terkait dengan keuntungan keuntungan yang diperoleh
melalui pinjaman-pinjaman berbunga yang mengandung eksploitasi terhadap
pihak secara ekonomi lemah oleh kekuatan dan kelicikan. Melalui pertimbangan
macam transaksi pembiayaan bagaimankah yang dilarang? Yang termasuk dalam
kategori riba adalah yang tujuan akhirnya amoral, yang secara langsung
berhubungan dengan kehidupan sosial ekonomi yang mendasari saling keterikatan
antara peminjam dan pemberi.43
2. Dasar Hukum Riba
a) Al-Qur’an
42
Saeed, A. Bank Islam dan Bunga Islamic Banking and Interest. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008, hal.72 43
Asad, M. The Massage of the Qur‟an. Giblatar: Dar al-Audalus, 1998. hlm. 633.
-
50
Orang-orang yang memakan riba itu tidak dapat berdiri melainkan
sebagaimana berdirinya orang yang dirasuki setan dengan terbuyung-buyung
karena sentuhanya.6 Yang demikian itu karena mereka mengatakan:
“perdaganagan itu sama saja dengan riba”. Padahal Allah telah menghalalkan
perdagangan dan mengharamkan riba. Oleh karena itu, barang siapa telah sampi
kepadanya peringatan dari tuhanya lalu ia berhenti (dari memakan riba), maka
baginya yang telah lalu dan barang dan barang siapa mengulangi lagi memakan
riba maka itu ahaki mereka akan kekal di dalamnya. Di jelaskan dalam alqur‟an
surat Ar-Rum ayat 39 :
َوَهب آَتْيُتْن ِهْي ِرًبب ِلَيْرُبَى ِفي َأْهَىاِل النَّبِس َفَلب َيْرُبى ِعْنَد اللَِّه ۖ َوَهب آَتْيُتْن ِهْي َزَكبٍة
ُن اْلُوْضِعُفىَىُتِريُدوَى َوْجَه اللَِّه َفُأوَلَِٰئَك ُه
Artinya “Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah
pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar-Rum: 39)
b) Al-hadist
Dari Jabir ra, Rasulullah saw mencela penerima dan pembayar bunga orang
yang mencatat begitu pula yang menyaksikan. Beliau bersabda, “mereka semua
sama-sama dalam dosa “(HR. Muslim, Tirmidzi dan Ahmad) dari abu said al-
khudri ra, Rasulullah saw bersabda, “Jangan melebih lebihkan satu dengan lainya;
janganlah menjual perak dengan perak kecuali keduanya setara; dan jangan
-
51
melebih lebihkan satu dengan lainya; dan jangan menjual sesuatu yang tidak
tampak“ HR. Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Naza‟I dan Ahmad).44
Dari Ubada Bin Sami Ra, Rasulullah saw bersabda “Emas untuk emas,
perak untuk perak, gandung untuk gandum. Barang siapa yang membayar lebih
atau menerima lebih dia telah berbuat riba, pemberi dan penerima sama saja
(dalam dosa)“ (HR.Muslim dan Ahamad). Emas dengan emas, perak dengn perak,
bur dengan bur, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma garam dengan
garam dengan ukuran yang sebanding secara tunai. Apabila kelompok ini berbeda
beda (ukuranya), maka juallah sesuka kalian, apabila tunai (HR. Imam Muslim
dan Ubdah bin Shamit).
Dari Abu Sa‟id Al-Khudri, bahwa Rasulullah saw telah membagi makan di
antara mereka dengan pembagian yang berbeda. Yang satu melebihi lain.
Kemudian Sa‟id berkata, “Kami selalu (mengambil cara dengan) saling
melebihkan di antara kami”. Kemudian Rasulullah saw melarang kami untuk
saling memperjual belikanya selain dengan timbangan (berat) yang sama, tidak
melebihkan (HR Ahmad).
Dari Jabir, Rasulullah saw bersabda, “Hendaknya seonggok makanan
tersebut tidak dijual dengan seonggok makanan, dan (hendaknya) tidak dijual
seonggok makanan dengan timbangan makanan yang telah di tentukan (HR.
Nasa‟i). Dari Ubaidah Bin Shamit bahwa Rasulullah saw bersabada, “Emas
dengan emas,biji dan zatnya harus sebanding timbanganya. Perak dengan
perak,biji dan zatnya harus sebading timbanganya, garam dengan garam, kurma
dengan kurma, bur dengan bur, syair dengan syair, sama dan sepadan. Maka siapa
44
Sudarsono, H. Bank dan Lembaga Keuangan Syari‟ah (Deskripsi dan Ilustrasi).
Yogyakarta: Ekonisia. 2003. Hlm: 12 - 13
-
52
saja yang menambah atau minta tamabahan, maka dia telah melakukan riba” (HR.
Imam Nasa‟i).
3. Macam-Macam Riba
a. Riba Qordh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap
yang beruntung (muqtaridh).
b. Riba Jahiliyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu
membayar utangnya pada waktu yang di tetapkan. Riba jahiliyah dilarang
karena kaedah “kullu qardin jarra manfa ab fabuwa” (setiap pinjaman yang
mengambil manfaat adalah riba). Dari segi penundaan waktu penyerahanya,
riba jahiliyah tergolong riba nasiah, dari segi kesamaan objek yang
dipertukarkan tergolong riba fadhl.”
c. Riba Fadhl
Riba fadhl disebut juga riba buyu yaitu riba yang timbul akibat pertukaran
barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi
mistlin), sama kwantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu
penyerahanya (yadan bi yadin). Pertukaran seperti ini mengandung ghoror
yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing barang yang
dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim
terhadap salah satu pihak, kedua pihak dan pihak-pihak yang lain.
d. Riba Nasiah
-
53
Riba nasiah juga disebut juga riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang
piutang yang tidak memenuhi criteria untung muncul bersama resiko (al
ghunmu bil ghumi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (kharaj bi
dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban
menanggung beban hanya karena berjalanya waktu. Riba nasiah adalah
penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang di
pertukarkan dengan jenisbarang ribawi lainnya.
-
54
BAB II
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG HUTANG PIUTANG,
RENTENIR DAN RIBA
D. Konsep Qardh
4. Pengertian Qard
Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata qarada yang sinonimnya qatha‟a
yang berarti memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang
memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima
utang (muqtaridh).45
Potongan dalam konteks akad qardh adalah potongan yang
berasal dari harta orang yang memberikan uang. Sedangkan menurut istilah
diartikan meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan.
Menurut Syafi‟i Antonio, qardh adalah pemberian harta kepada orang lain
yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan
tanpa mengharap imbalan.46
Qardh adalah pinjaman uang, pinjaman qardh
biasanya diberikan oleh bank kepada nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman
talangan pada saat nasabah mengalami overdraft. Fasilitas ini dapat merupakan
bagian dari satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan nasabah bertransaksi.
Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal:
e. Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan
pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji.
nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatan haji.
45 Muslich, A.W. Fiqh Muamalat,. Jakarta: AMZAH, 2010. hlm: 273-274. 46
Antonio, M.S. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik,. Jakarta: Gema Insani, 2001.
hlm.131.
-
55
f. Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah,
dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank
melalui ATM. Nasabah akan mengembalikan sesuai waktu yang ditentukan.
g. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil dimana menurut perhitungan
bank akan memberatkan si pengusaha bila diberi pembiayaan dengan skema
jual-beli ijarah atau bagi hasil.
h. Sebagai pinjman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas
ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus
Bank akan mengembaliaknnya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.47
Menurut istilah para ahli fikih, al-qardh adalah memberikan suatu harta
kepada orang lain untuk dikembalikan tanpa ada tambahan. Al-Qardh (pinjam
meminjam) hukumnya boleh dan dibenarkan secara syariat. Tidak ada perbedaan
pendapat di antara para ulama dalam hal ini. Orang yang membutuhkan boleh
menyatakan ingin meminjam. Ini bukan sesuatu yang buruk, bahkan orang yang
akan dipinjami justru dianjurkan (mandub). Dalil mengenai hal ini terdapat dalam
Al-Qur‟an: surat Al-Baqarah ayat 245.48
Hal ini berarti sangat kental akan nuansa
prinsip tolong-menolong terhadap sesama manusia yang dianjurkan oleh agama
Islam untuk mempunyai jiwa sosial.
Menurut Hukum Syara‟, para ahli fikih mendefinisikan qardh sebagai
berikut:
5. Menurut pengikut madzhab Hanafi, Ibn Abidin mengatakan bahwa
qardh adalah suatu pinjaman atas apa yang dimiliki satu orang lalu
47
Sudarsono, H. Bank dan Lembaga Keuangan Syari‟ ah, Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta:, Ekonosia kampus Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta, 2003. Hlm. 82
48 Al-Bugha, M.D. Fiqh Al-Mu‟awadhah, diterjemahkan oleh Fakhri Ghafur dengan judul
Buku Pintar Transaksi Syariah. Jakarta: Mizan Publika, 2010. Hlm: 52.
-
56
diberikan kepada yang lain kemudian dikembalikan dalam
kepunyaannya dalam baik hati;
6. Menurut madzhab Maliki, qardh adalah pembayaran dari sesuatu yang
berharga untuk pembayaran kembali tidak berbeda atau setimpal;
7. Menurut madzhab Hanbali, qardh adalah pembayaran uang ke seseorang
siapa yang akan memperoleh manfaat dengan itu dan kembalian sesuai
dengan padanannya;
8. Menurut madzhab Syafi‟i, qardh adalah memindahkan kepemilikan
sesuatu kepada seseorang, disajikan ia perlu membayar kembali
kepadanya.
5. Dasar Hukum Qardh
Dasar hukum Qardh meliputi:
5. Al-Qur‟an
Di dalam surat Al-Hadid ayat 11 Allah berfirman :
Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang
baik, Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia
akan memperoleh pahala yang banyak.” (Q.S. Al-Hadid: 11).49
Firman Allah Q.S. At-Taghabun ayat 17 :
49
Q.S. Al-Hadid: 11
-
57
Artinya: “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,
niscaya Allah melipatgandakan balasannya kepadamu dan mengampuni
kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (Q.S. Al-
Taghabun: 17).50
Firman Allah Q.S. Al-Baqarah ayat 245 :
Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah
melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan kelipatan ganda yang
banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al-Baqarah: 245).
51
Dalam ayat di atas, Allah SWT menegaskan orang yang memberi pinjaman
„al-qardh itu sebenarnya ia memberi pinjam kepada Allah SWT, artinya untuk
membelanjakan harta di jalan Allah. Selaras meminjamkan harta kepada Allah,
manusia juga diseru untuk meminjamkan kepada sesamanya, sebagai sebagian
kehidupan bermasyarakat. Kalimat qardhan hasanan dalam ayat 245 surat Al-
Baqarah tersebut berarti pinjaman yang baik, yaitu infak di jalan Allah. Arti
lainnya adalah pemberian nafkah kepada keluarga dan juga tasbih serta taqdis
(pencucian).52
Hanya satu yang ditekankan dalam pemberian pinjaman di sini, yaitu
pinjaman yang baik dalam arti dengan niat yang bersih dan baik, hati yang tulus
serta harta yang halal. Maka meminjamkan kepada Allah adalah Allah
mengumpamakan pemberian seseorang dengan tulus untuk kemaslahatan
hambanya sebagai pinjaman kepada Allah SWT, sehingga ada jaminan dari-Nya
50
Q.S. Al-Taghabun: 17. 51
Q.S. Al-Baqarah: 245 52
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2006. hlm: 498.
-
58
bahwa pinjaman itu kelak akan dikembalikan. Selanjutnya karena Allah yang
meminjam, maka dia akan menjanjikan bahwa Allah akan melipat gandakan
pembayaran pinjaman itu kepadanya di dunia dan di akhirat, dengan lipat ganda
yang banyak, seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir dan pada setiap
butir seratus biji, bahkan lebih dari pada itu.53
6. Al-Hadist
Landasan qardh dalam hadits Nabi SAW di antaranya adalah yang
diriwayatkan Ibnu Majah, Nabi SAW bersabda:
عي إبي هس عىلَ ى النبى ل لى اهلل عليه وا لن قب هب هي هس لن يقرض هسلوب
قرضب هرتيي إَلَ اىَ صدقتهب
Artinya: “Dari Ibn Mas‟ud ra, bahwa Nabi SAW bersabda: Tidaklah seorang
Muslim memberikan pinjaman kepada orang Muslim lainnya sebanyak dua kali
pinjaman, melainkan layaknya ia telah menyedekahkan satu kali.” (H.R. Ibnu
Majah)
Hadits di atas menjelaskan bahwa memberikan pinjaman kepada orang lain
yang membutuhkan lebih utama daripada orang yang bersedekah. Allah akan
lebih banyak melipat gandakan kepada orang yang meminjamkan hartanya di
jalan Allah dari pada orang yang bersedekah karena seseorang tidak akan
meminjamkannya jika dia benar-benar membutuhkannya. Dan juga mengajarkan
bahwa tolong-menolong merupakan salah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan
dari ajaran Islam untuk selalu memperhatikan sesama Muslim dan memberikan
pertolongan jika seseorang membutuhkannya, yaitu tolong-menolong dalam
kebaikan.
7. Ijma‟
53
Shihab, M.Q. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an Vol. 1
(Jakarta: Lentera Hati. 2003), hlm: 529.
-
59
Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan kesepakatan
ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan
bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia
butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari
kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap
kebutuhan umatnya.54
8. Kaidah Fiqih
Adapun dasar hukum hutang-piutang (qardh) dalam kaidah fikih mu‟amalah
adalah:
“Hukum asal dalam semua bentuk mu‟amalah adalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
“Setiap pinjaman yang menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama
dengan riba”55
Pihak yang meminjami mempunyai pahala sunat. Sedangkan dilihat dari
sudut peminjam, maka hukumnya boleh, tidak ada keberatan dalam hal itu. Jadi,
hukum memberi hutang hukumnya sunat malah menjadi wajib, seperti
mengutangi orang yang terlantar atau yang sangat perlu atau berhajat.56
6. Rukun dan Syarat Qardh
c) Rukun Qardh
Adapun yang menjadi rukun qardh ada tiga, yaitu:57
4. Shighat Qardh
54
Mustofa, I. Fiqih Mu‟amalah Kontemporer Jakarta: Rajaw
top related