perspektif hukum islam terhadap minat ...repository.uinjambi.ac.id/1739/1/she151837_siti...

91
1 PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP MINAT MASYARAKAT MEMINJAM UANG MELALUI RENTENIR DI DESA KEMANTAN KECAMATAN TEBO ILIR KABUPATEN TEBO PROVINSI JAMBI SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Hukum Ekonomi Syariah OLEH SITI NURDIA NIM. SHE. 151837 DOSEN PEMBIMBING Drs. A. Faruk., M.A Neni Triana, S.E., M.SI JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

Upload: others

Post on 03-Feb-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP MINAT MASYARAKAT

    MEMINJAM UANG MELALUI RENTENIR DI DESA KEMANTAN

    KECAMATAN TEBO ILIR KABUPATEN TEBO

    PROVINSI JAMBI

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna

    Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)

    Dalam Hukum Ekonomi Syariah

    OLEH

    SITI NURDIA

    NIM. SHE. 151837

    DOSEN PEMBIMBING

    Drs. A. Faruk., M.A

    Neni Triana, S.E., M.SI

    JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

    FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

  • 2

    2019

  • 3

  • 4

  • 5

    MOTTO

    َوُقِل اْعَمُلىا َفَسَيَري اللَُّه َعَمَلُكْم َوَرُسىُلُه َواْلُمْؤِمُنىَن ۖ َوَسُتَردُّوَن ِإَلًٰ َعبِلِم اْلَغْيِب

    ِبَمب ُكْنُتْم َتْعَمُلىنَوالشََّهبَدِة َفُيَنبُِّئُكْم

    Artinya: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul Nya serta orang-orang mukmin

    akan melihat pekerjaan mu itu dan kamu akan dikembalikan kepada

    Allah lalu diberitakan kepada Nya apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S

    At-Taubah : 105)1

    1 Al-Qur‟an Surah At-Taubah Ayat 105.

  • 6

    LEMBAR PERSEMBAHAN

    Alhamdulillahirabbil alamin…….

    Segala syukur aku ucapkan kepada Allah SWT atas segala karunia

    dan nikmat yang telah diberikan…

    Serta sholawat beriring salam aku haturkan kepada Nabiku Baginda

    Rasulullah SAW ……..

    Skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orang tuaku tercinta serta

    keluargaku tersayang…..

    Sepercik do‟a aku haturkan semoga skripsi ini membawa manfaat

    bagi bagiku, bagi keluargaku dan bagi seluruh orang-orang yang ada

    disekitarku….. Aku Menyayangi kalian….. !!!!

  • 7

    ABSTRAK

    Siti Nurdia, SHE151837: Perspektif Hukum Islam Terhadap Minat Masyarakat

    Meminjam Uang Melalui Rentenir di Desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir

    Kabupaten Tebo Provinsi Jambi

    Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah Bagaimana minat masyarakat

    meminjam uang melalui rentenir. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui

    minat masyarakat meminjam uang melalui rentenir dalam pandangan Hukum

    Islam. Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian lapangan (fied

    research) yaitu suatu penelitian yang meneliti obyek dilapangan untuk

    mendapatkan data dan gambaran yang jelas tentang hal-hal yang berhubungan

    sistem pinjam meminjam uang tersebut. Teknik pengumpulan data dalam

    penelitian ini dilakukan dengan observasi, wawancara dan keputusan. Analisis

    data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis

    data kualitatif, yakni menganalisis data yang ada, dikumpulkan, selanjutnya

    dipilah-pilah dan dianalisa untuk memperoleh kesimpulan umum tentang

    meminjam uang melalui rentenir. Dari penelitian ini, dapat diperoleh kesimpulan

    bahwa minat masyarakat di Desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo

    untuk meminjam uang pada rentenir masih tinggi, hal ini dikarenakan kemudahan

    syarat proses yang cepat serta pencairan dananya yang cepat dalam melakukan

    pinjaman. Kebanyakan dari mereka meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan

    hidup seperti modal usaha, keperluan sekolah dan keperluan lainnya. Berdasarkan

    pandangan hukum islam, meminjam uang pada rentenir hukumnya adalah haram

    dan ada tambahan yang harus dikembalikan berupa bunga yang disebut dengan

    Riba (azzuriya‟dah).

    Kata Kunci: Hukum Islam, Qardh, Rentenir, Riba

  • 8

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillah segala puji hanya milik Allah SWT yang senantiasa

    melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis diberikan

    kekuatan dan ketegaran dalam menyelesaiakan skripsi ini dengan judul

    “Perspektif Hukum Islam Terhadap Minat Masyarakat Meminjam Uang

    Melalui Rentenir di Desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo

    Provinsi Jambi”. Shalawat beriring salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah

    SAW beserta para sahabat, keluarga dan umatnya sepanjang zaman. Amin ya

    rabbal „alamin.

    Selama penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat

    bantuan, dukungan dan masukan, baik berupa ide ataupun saran dari berbagai

    pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih

    yang sebesar-besarnya penulis sampaikan terutama kepada Bapak Drs. A. Faruk,

    M.A. selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Neni Triana, S.E., M.Si selaku Dosen

    Pembimbing II yang selalu memberikan koreksi dan masukan demi

    kesempurnaannya skripsi ini. Selanjutnya penulis ingin menyampaikan terima

    kasih kepada semua pihak yang turut membantu penyelesaian skripsi ini, terutama

    kepada yang terhormat:

    1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA, selaku Rektor UIN Sultan Thaha Saifuddin

    Jambi.

    2. Bapak Dr. A. A. Miftah, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah UIN Sultan

    Thaha Saifuddin Jambi.

  • 9

    3. Bapak H. Hermanto Harun, Lc., M.HI., Ph.D, selaku Wakil Dekan I

    Fakultas Syariah UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi.

    4. Ibu Dr. Rahmi Hidayanti, M.HI, selaku Wakil Dekan II bidang Administrasi

    Umum, Perencanaan dan Keuangan Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha

    Saifuddin Jambi.

    5. Ibu Dr. Yuliatin, S.Ag., M.HI, selaku Wakil Dekan III bidang

    Kemahasiswaan dan Kerja sama Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha

    Saifuddin Jambi.

    6. Ibu Dr. Maryani, S.Ag., M.HI dan Ibu Pidayan Sasnifa, SH., M.Sy, selaku

    Ketua dan Sekertaris Jurusan Hukum EkonomiS yariah Fakultas Syariah

    UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    7. Bapak Drs. A. Faruk, MA dan Ibu Neni Triana,S.E., M.SI selaku

    Pembimbing I dan Pembimbing II skripsi ini.

    8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah Jurusan Hukum Ekonomi Syariah

    yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu

    menyelesaikan penulisan skripsi ini.

    9. Kepala perpustakaan UIN Sulthan Thaha Saifudin Jambi beserta stafnya

    serta Kepala Perpustakaan Wilayah Jambi.

    10. Para karyawan dan karyawati Fakultas Syariah UIN Sultan Thaha Saifuddin

    Jambi yang telah membantu dalam penyelesaian dan penyusunan skripsi.

  • 10

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ................................................................................. i

    LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... ii

    PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................ iii

    PENGESAHAN PANITIA UJIAN .......................................................... iv

    NOTA DINAS ............................................................................................ v

    MOTTO ..................................................................................................... vi

    KATA PENGANTAR ............................................................................... vii

    ABSTRAK ................................................................................................. ix

    DAFTAR ISI .............................................................................................. x

    BAB IPENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

    B. Rumusan Masalah ................................................................................ 6

    C. Batasan Masalah .................................................................................. 7

    D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................................... 7

    E. Kerangka Teori .................................................................................... 8

    F. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 20

    G. Metode Penelitian ................................................................................ 22

    H. Sistematika Penulisan .......................................................................... 25

    BAB II TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG HUTANG PIUTANG,

    RENTENIR DAN RIBA

    A. Konsep Qardh ....................................................................................

    ........................................................................................................... 26

    B. Konsep Rentenir ................................................................................

    ........................................................................................................... 35

  • 11

    C. Konsep Riba ...................................................................................... 36

    BAB III KONDISI UMUM DESA KEMANTAN KECAMATAN TEBO

    ILIR KABUPATEN TEBO PROVINSI JAMBI

    A. Kondisi Geografi Desa Kemantan ..................................................... 42

    B. Kondisi Penduduk .............................................................................. 45

    C. Perkembangan Pembangunan di Desa Kemantan ............................. 42

    BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    A. Minat Masyarakat Desa Kemantan dalam Meminjam Uang Melalui Rentenir di Desa Kemantan.................................................. 47

    B. Perspektif Hukum Islam Minat Masyarakat dalam Meminjam Uang Melalui Rentenir di Desa Kemantan ........................................ 54

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ........................................................................................ 57

    B. Saran .................................................................................................. 58

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

    CURRUCULUM VITAE

    KONSULTASI PEMBIMBING

  • 12

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Manusia merupakan makhluk monodualistis artinya selain sebagai

    makhluk individu, manusia juga berperan sebagai makhluk sosial di mana

    manusia hidup berdampingan dan saling membutuhkan dengan manusia lainnya.

    Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk mampu bekerjasama dengan

    orang lain sehingga tercipta sebuah kehidupan yang damai. Sadar atau tidak

    manusia selalu hidup saling berinteraksi, saling tolong-menolong dan bekerjasama

    untuk mencukupi kebutuhannya.

    Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia mempunyai tujuan untuk

    memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan tersebut sangat beragam baik primer,

    sekunder, maupun tersier, untuk memperoleh semua itu manusia perlu

    bekerjasama dan saling membantu agar semuanya terpenuhi. Sudah seharusnya

    orang yang mampu menolong orang yang tidak mampu.

    Ada banyak cara yang dapat dilakukan seseorang untuk memberikan

    bantuan kepada orang yang membutuhkan, diantaranya adalah memberikan

    pinjaman atau hutang piutang, sedekah maupun dengan zakat, dimana dalam

    pelaksanaannya telah diatur dalam hukum Islam. Dalam hal pinjaman atau hutang,

    Islam mengatur tentang Akad/Perjanjian. Akad memiliki arti yaitu ikatan atau

    persetujuan, kesepakatan antara seseorang (yang menyerahkan) dengan orang lain

    (yang menerima). Disamping itu, akad juga memiliki makna luas yaitu

    kemantapan hati seseorang untuk harus sesuatu baik untuk dirinya sendiri maupun

    orang lain.

  • 13

    Islam telah memberikan pedoman bagi umat manusia agar selamat baik

    didunia maupun diakhirat. Secara garis besar ajaran Islam berisi kandungan-

    kandungan yang terdiri atas Aqidah, Syariah dan Akhlak yang bersumber dari Al-

    Qur‟an dan As-Sunnah. Dalam aspek ekonomi salah satu yang diatur oleh Syariat

    Islam yang kemudian disebut dengan ekonomi Islam. Konstruksi ekonomi Islam

    sendiri yaitu sebuah tatanan ekonomi yang dibangun atas dasar ajaran tauhid, dan

    prinsip-prinsip moral Islam, dibatasi oleh Syariat Islam dan Fikih.2

    Untuk

    menjamin keselarasan dan keharmonisan antara sesama dibutuhkan kaidah-kaidah

    yang mengaturnya sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa‟ (4) : 29

    yang berbunyi:

    Artinya ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling

    memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan

    jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.

    Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah

    maha penyayang kepadamu”.3 (Q.S. An-Nisa‟: 29)

    Utang Piutang dalam Islam adalah salah satu jenis pendekatan untuk

    bertabarru‟ kepada Allah SWT, dengan berlemah lembut kepada manusia,

    mengasihi dan memberikan kemudahan dari duka yang menyelimuti mereka, yang

    semua itu ditunjukkan hanya untuk mendapat ridha Allah SWT semata.4

    Terkadang dalam kehidupan sehari-hari memerlukan adanya utang-piutang untuk

    2

    Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Grafindo

    Persada, 2002), hlm. 6. 3QS. An-Nisa‟ (4) : 29

    4Sayyid Sabiq, Fiqh Muamalah, Jilid 12, (Sinar Baru Algqensindo, Bandung,

    2013), hlm. 129.

  • 14

    memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka Islam memberikan aturan tentang masalah

    ini. Hal ini dimaksudkan agar semua yang beragama Islam tidak saling merugikan

    satu sama lain.

    Diantara ini aturan-aturan tersebut tidak diperbolehkan memberi utangan

    yang sifatnya menarik manfaat atau menarik keuntungan dari piutang tersebut

    yang merugikan orang lain untuk kepentingan sendiri. Allah SWT tidak melarang

    seseorang yang memberikan utang yang hanya dengan jaminan kepercayaan, dan

    utang ini dinamakan amanat, karena yang memberi utang telah percaya atau

    merasa terjaminan tanpa menerima barang jaminan dari yang berutang. Dengan

    demikian utang-piutang bersyarat dapat dibenarkan dalam hukum Islam, bahkan

    hukum Islam juga mensyari‟atkan adanya barang jaminan yang dapat dipegang

    apabila terjadi utang-piutang.

    Hutang piutang/pinjam-meminjam uang ini sebuah akad yang bertujuan

    untuk tolong menolong, sehingga syarat tambahan atau bunga yang ditetapkan

    baik secara pribadi atau pun kesepakatan kedua belah pihak itu tidak

    diperbolehkan, karena hal ini pada dasarnya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip

    hukum Islam.

    Sebagaimana firman-Nya:

    Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang

    baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat

    gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah

  • 15

    menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu

    dikembalikan.”5 (Q.S. Al-Baqarah: 245)

    Namun, banyak transaksi hutang piutang yang mensyaratkan lebih atau

    berbunga yang terjadi dalam masyarakat. Bahkan orang Islam pun banyak

    melaksanakannya. Dalam cakupan wilayah yang terbatas, kenyataan ini dapat

    disaksikan di Desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi

    Jambi yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pinjam meminjam uang

    yang dilakukan oleh masyarakat desa Kemantan hutang piutang dengan

    tambahan/bunga. Biasanya masyarakat di desa Kemantan ini meminjam uang

    pada rentenir.

    Dalam masyarakat umum, rentenir memiliki citra buruk sebagai lintah

    darat yang mengambil bunga dalam jumlah sangat besar dari pinjaman

    nasabahnya, akan tetapi rentenir tetaplah eksis di dalam masyarakat. Mereka tetap

    menjadi alternatif disaat kebutuhan financial sedang meningkat. Bagi masyarakat

    kecil, kredit dari rentenir inilah yang menguntungkan secara ekonomi, karena

    ketika mereka meminjam di Bank sebagai financial formal, syarat yang

    dibutuhkan sangat rumit.6

    Beberapa alasan yang sering menyebabkan masyarakat terjebak kepada

    rentenir tersebut diantaranya:

    1. Mereka memerlukan pinjaman yang sangat cepat dan tidak mengenal waktu.

    2. Masyarakat tidak mampu menghitung antara beban (bunga dan denda) yang

    mesti dibayarnya dengan tingkat margin usaha.

    5QS. Al-Baqarah (2): 245

    6Heru Nugroho, Uang, Rentenir, dan Hutang Piutang di Jawa, (Yogyakarta :

    Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 86.

  • 16

    3. Rentenir mampu memberikan pelayanan sangat humanis dan sesuai dengan

    selera masyarakat.

    Menurut pendangan Islam sendiri, sistem pinjam meminjam pada rentenir

    itu haram karena masih berkaitan erat dengan tambahan pengembalian atau riba,

    yang merugikan peminjam. Rentenir sendiri masuk dalam kategori riba qardh

    (riba dalam pinjaman), riba qardh sendiri bisa disebut riba nasi‟ah dan riba

    duyun.riba nasi‟ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan

    antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian.7

    Meski Islam sendiri sudah melarang riba sebagaimana firman Allah SWT,

    sebagaimana berikut:

    َوَأَحلَّ اللَُّه اْلَبْيَع َوَحرََّم الرَِّبا“Allah SWT. Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

    8 Namun kenyataannya dari dulu hingga sekarang masih saja banyak warga

    yang masih berhutang kepada rentenir. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak

    orang yang beragama Islam melaksanakan peminjaman uang dalam berbagai hal

    dalam rangka pencaharian, usaha, dan keperluan pribadi mereka. Dalam cakupan

    yang terbatas fenomena ini dapat dilaksanakan pada masyarakat Desa Kemantan

    Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi yang mayoritas

    penduduknya beragama Islam.

    Dikalangan warga masyarakat desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir

    Kabupaten Tebo Provinsi Jambi hampir semua masyarakat yang bekerja sebagai

    petani, buruh, usaha kecil-kecilan sampai usaha-usaha besar seperti membuka

    7Adiwarman A. Karim dan Oni Sahroni, Riba, Gharar dan Kaidah-kaidah

    Ekonomi Syariah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 6. 8QS. Al-Baqarah (2): 275

  • 17

    toko grosiran, toko bangunan, usaha kolam ikan, toko-toko baju, tempat makan,

    para petani, sekalipun bengkel-bengkel motor mereka melakukan pinjaman atau

    berhutang kepada juragan (orang yang terkenal kaya) juga kepada rentenir,

    apabila ada keperluan mendadak mereka pergi ketempat rentenir itu untuk

    meminjam uang atau berhutang dan banyak juga untuk meminjam modal buat

    usaha mereka dengan jaminan ktp dan surat berharga, apabila pas jatuh tempo

    seseorang tersebut harus mengembalikan uang tersebut jika tidak sertifikat

    tersebut jatuh ketangan rentenir tersebut dan ditambah bunga 20%.

    Kesepakatan tersebut telah disetujui bersama antara kedua belah pihak,

    maka sudah jelas dan tegas bunga pinjaman yang sangat besar, tapi para

    masyarakat desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi

    tidak bisa membedakan akad hutang piutang dengan bunga pinjaman karena

    sudah menjadi kebiasaan mereka ingin mendapatkan uang dengan cara cepat dan

    percaya dalam waktu yang singkat dapat mengembalikkan pinjaman tersebut,

    walaupun sadar akan hal bunga besar tersebut. Untuk itu penulis mencoba

    menguraikan masalah tersebut dengan bentuk skripsi yang berjudul

    “PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP MINAT MASYARAKAT

    MEMINJAM UANG MELALUI RENTENIR DI DESA KEMANTAN

    KECAMATAN TEBO ILIR KABUPATEN TEBO PROVINSI JAMBI”.

    B. Rumusann Masalah

    Berdasarkan uraian dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas,

    maka permasalahan yang ingin dibahas adalah:

  • 18

    1. Mengapa masyarakat berminat meminjam uang melalui rentenir di Desa

    Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi?

    2. Bagaimana pandangan Hukum Islam meminjam uang melalui rentenir di Desa

    Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi?

    C. Batasan Masalah

    Batasan masalah dalam penelitian skripsi ini dapat diperlukan agar

    pembahasan dan tujuannya lebih terarah dan tidak menjalar lebih luas, maka

    dalam penelitian ini penulis akan membatasi masalah yang akan dibahas

    mengenai minat masyarakat meminjam uang melalui rentenir serta apa

    motivasinya di Desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi

    Jambi dalam Perspektif Hukum Islam.

    D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    Adapun tujuan dalam penelitian ini:

    1. Guna mengetahui minat masyarakat meminjam uang melalui rentenir di Desa

    Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi.

    2. Guna mengetahui pandangan hukum Islam meminjam uang melalui rentenir di

    Desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi.

    Selanjutnya, kegunaan dari penelitian ini adalah:

    1. Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk memperluas

    khazanah ilmu pengetahuan dalam artian membangun, memperkuat, dan

    menyempurnakan teori yang sudah ada.

  • 19

    2. Dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai bahan

    pertimbangan dan masukkan, khususnya terhadap masyarakat desa Kemantan

    Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi.

    3. Sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S1)

    di Fakultas Syariah Program Studi Hukum Ekonomi Syariah dikampus

    Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Syaifuddin Jambi.

    E. Kerangka Teori

    1. Hutang Piutang Dalam Islam (Al-Qardh)

    a. Pengertian Al-Qardh

    Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata: qaradha yang sinonimnya:

    qatha‟a artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan

    utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang

    menerima utang (muqtaridh).9

    Menurut Imam Syafi‟i hutang piutang dalam arti bahasa (etimologi) berarti

    potongan. Sedangkan dalam arti istilah (terminologi) adalah sesuatu yang

    diuntungkan dan disebut juga dengan iqrad dan salaf, yang berarti suatu

    pemberian dan pengalihan hak milik dengan syarat harus ada penggantinya yang

    serupa.10

    Dalam hukum Islam masalah hutang-piutang ini dikenal dengan istilah Al-

    Qardh, yang menurut bahasa berarti (potongan), dikatakan demikian karena Al-

    Qardh merupakan potongan dari harta muqridh (orang yang membayar) yang

    9Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, cet. Ke-1 (Jakarta 13220,

    2010), hlm. 273. 10

    Ahmad Azhar Basyir, Op Cit, hlm. 59.

  • 20

    dibayarkan kepada muqtaridh (yang diajak akad Qardh).11

    Menurut Hanafiah, Al-

    Qardh, diartikan sesuatu yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang

    memiliki perumpamaan) untuk memenuhi kebutuhannya.12

    Menurut Syafi‟i

    Antonio, Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih

    atau diminta kembali dengan kata lain memimjamkan tanpa mengharap imbalan.13

    Dalam pengertian istilah, qardh didefinisikan oleh Hanafiah sebagai berikut.

    Artinya “Qardh adalah harta yang dibnerikan kepada orang lain dari mal mitsli

    untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain,

    qardh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsli)

    kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang

    diterimanya”.14

    Para ulama sepakat bahwa Qardh boleh dilakukan atas dasar bahwa

    manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan

    bantuan saudaranya. Oleh karena itu, pinjam meminjam sudah menjadi satu

    bagian dari kehidupan didunia dan Islam adalah agama yang sangat

    memperhatikan kebutuhan umatnya.

    Disaat kita terjatuh dalam berbagai dilema hidup, terkadang kita harus rela

    mengambil utang untuk menutupi dan meringankan beban tersebut meskipun

    hanya bersifat sementara. Dan pada saat utang menjadi pilihan. Islam

    membolehkan utang-piutang tapi ada beberapa perkara yang perlu diperhatikan

    dengan ketentuan sebagai berikut:

    11Rahmat Syafe‟i, Fiqh Muamalah, (Sinar Baru Algensindo, Bamdung,

    2013),hlm. 151 12

    Ibid, hlm. 11. 13

    Sunarto Zulkifi, Perbankan Syari‟ah, (Jakarta : Balai Pustaka, 2010), hlm. 27. 14

    Wahbah Zuhaili, Op Cit., Juz 4, hlm. 720.

  • 21

    1. Berhutang dalam keadaan terdesak, darurat, atau terpaksa,

    2. Berhutang pada orang sholeh dan menggunakan pinjaman sebaik mungkin,

    3. Memberi pinjaman dengan ikhlas untuk membantu,

    4. Berhutang dengan niatan baik serta akan melunasinya,,

    5. Haram jika berhutang dengan niat tidak membayar,

    6. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan,

    7. Hutang piutang tidak disertai dengan jual beli,

    8. Menghindari praktik ribawi,

    9. Kebaikan sebaiknya dibalas dengan kebaikan,

    10. Segera melunasi apabila mendapatkan kelonggaran,

    11. Memberitahu jika terjadi keterlambatan dalam pembayaran,

    12. Memberikan penangguhan waktu kepada yang berhutang.

    Perihal hutang-piutang diperbolehkan dalam Islam (dengan syarat seperti

    yang sudah disebutkan diatas), hutang merupakan sesuatu yang sensitif dalam

    kehidupan Manusia. Terkadang kita (harus) berurusan dengan hutang-piutang

    dalam keadaan yang benar-benar sangat terdesak/darurat atau kurang terdesak.

    Hutang-piutang ini akan memberi dampak buruk, terutama jika hutang

    tersebut tidak sempat untuk dilunasi (belum terbayar) kemudian yang berhutang

    lebih dulu meninggal dunia. Berikut bahayanya berhutang:

    1. Menyebabkan stres,

    2. Merusak akhlak,

    3. Dihukum layaknya seorang pencuri,

    4. Jenazahnya tidak disholatkan,

  • 22

    5. Dosanya tidak diampuni sekalipun mati syahid,

    6. Urusannya masih menggantung,

    7. Tertunda masuk syurga,

    8. Pahala adalah ganti hutangnya.

    Allah tidak melarang seseorang yang memberikan utang yang hanya

    dengan jaminan kepercayaan, dan uang ini dinamakan amanat, karena yang

    memberi utang telah percaya atau merasa terjamin tanpa menerima barang

    jaminan dari yang berhutang. Dengan demikian utang-piutang bersyarat dapat

    dibenarkan dalam hukum Islam, bahkan hukum Islam juga mensyariatkan adanya

    barang jaminan yang dapat dipegang apabila terjadi hutang-piutang.

    b. Dasar Hukum Disyariatkannya Qardh dan Hikmahnya

    Qardh merupakan perbuatan baik yang diperintahkan oleh Allah dan

    Rasul. Dalam Alquran, qardh disebutkan dalam SuratAl-Baqarah (2) ayat 245:

    Artinya: “siapakah yang memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik

    (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan

    bayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan

    dan melapangkan (rezeki) dan Kepada-Nya-Lah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al-

    Baqarah: 245)

    Adapun hikmah yang disyariatkannya qardh (hutang-piutang) dilihat dari

    sisi yang menerima utang atau pinjaman (muqtaridh) adalah membantu mereka

    yang membutuhkan. Ketika seseorang sedang terjepit dalam kesulitan hidup,

    seperti kebutuhan biaya untuk masuk sekolah anak, memberi perlengkapan

  • 23

    sekolahnya, bahkan untuk makannya, kemudian ada orang yang bersedia

    memberikan pinjaman uang tanpa dibebani tambahan bunga, maka beban dan

    kesulitannya untuk sementara dapat teratasi. Dilihat dari sisi pemberi pinjaman

    (muqridh), qardh dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain,

    menghaluskan perasaannya, sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dialami

    oleh saudara, teman, atau tetangganya.15

    c. Rukun dan Syarat Qardh

    Dari pengertian hutang-piutang diatas, dapat disimpulkan bahwa hutang

    piutang adalah salah satu bentuk muamalah yang melibatkan dua pihak sebagai

    subyek, dan suatu barang yang menjadi obyek yang selanjutnya dapat

    mengakibatkan adanya perpindahan hak milik dari pihak satu pada pihak lain.

    Dengan demikian, hutang-piutang dianggap terjadi apabila sudah diketahui rukun

    dan syarat-syaratnya. Adapun rukun sahnya utang piutang adalah bahwa rukun

    hutang piutang itu sama dengan rukun jual beli, seperti halnya jual beli, rukun

    qardh juga diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiah, rukun qardh

    adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur fuqaha, rukun qardh adalah:

    1. „aqid, yaitu muqridh dan muqtaridh,

    2. Ma‟qud „alaih, yaitu uang atau barang, dan

    3. Sighat, yaitu ijab dan qabul.

    a). „Aqid

    Untuk „aqid, baik muqridh maupun muqtaridh disyaratkan harus orang

    yang dibolehkan melakukkan tasarruf atau memiliki ahliyatul ada‟. Oleh karena

    15

    Ali Fikri, op.cit., hlm. 347-348.

  • 24

    itu, qardh tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang masih dibawah umur atau

    orang gila. Syafi‟iyah memberikan persyaratan untuk muqridh antara lain:

    1. Ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru‟;

    2. Mukhtar (memiliki pilihan).

    Sedangkan untuk muqtaridh disyaratkan harus memiliki ahliyah atau

    kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh, berakal dan tidak

    mahjur‟alaih.

    b). Ma‟qud „Alaih

    Menurut jumhur ulama yang terdiri atas Malikiyah, Syafi‟iyah, dan

    Hanabilah, yang menjadi objek akad dalam al-qardh sama dengan objek akad

    salam, baik berupa barang-barang yang ditakar (makilat) dan ditimbang

    (mauzunat), maupun qimiyat (barang-barang yang tidak ada persamaannya

    dipasaran), seperti hewan, barang-barang dagangan, dan barang-barang yang

    dihitung, atau dengan perkataan lain, setiap barang yang boleh dijadikan objek

    jual beli, boleh pula dijadikan objek akad qardh.

    Hanafiah mengemukakan bahwa ma‟qud „alaih hukumnya sah dalam mal

    mitsli, seperti barang-barang yang ditakar (makilat), barang-barang yang

    ditimbang (mauzunat), barang-barang yang dihitung (ma‟dudat) seperti telur,

    barang-barang yang bisa diukur dengan meteran (madzru‟at). Sedangkan barang-

    barang yang tidak ada atau sulit mencari persamaannya dipasaran (qimiyat) tidak

    boleh dijadikan objek qardh, seperti hewan, karena sulit mengembalikan dengan

    barang yang sama.

  • 25

    c). Shighat (Ijab dan Qabul)

    Qardh adalah suatu akad kepemilikan atas harta. Oleh karena itu, akad

    tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan qabul, sama seperti akad jual

    beli dan hibah. Yang dimaksud dengan shighat adalah ijab dan qabul. Tidak ada

    perbedaan diantara fukaha bahwa ijab qabul itu sah dengan lafadz hutang dan

    dengan semua lafadz yang menunjukkan maknanya, seperti kata, “Aku

    memberimu utang” atau “Aku mengutangimu”. Demikian pula qabul sah dengan

    semua lafadz yang menunjukkan kerelaan seperti “Aku berutang” atau “Aku

    menerima” atau “Aku ridho” dan lain sebagainya.

    Perjanjian hutang piutang baru terlaksana setelah pihak pertama

    menyerahkan piutangnya kepada pihak kedua, dengan syarat yang diberikan pihak

    pertama dan pihak kedua telah menerimanya. Setelah perjanjian terjadi sebelum

    diterima oleh pihak kedua, maka resikonya ditanggung oleh pihak pertama.16

    Disamping adanya syarat rukun sahnya hutang piutang tersebut diatas,

    juga terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam masalah hutang-

    piutang, yaitu sebagai berikut:

    a). Diwajibkan bagi orang yang berutang mengembalikn atau membayar kepada

    piutang pada waktu yang telah ditentukan dengan barang yang serupa atau

    dengan seharganya.

    b). Orang yang mengutangkan wajib memberi tempo bila yang berutang belum

    mempunyai kemampuan dan disunnatkan membebaskan sebagian atau semua

    piutangnya, bilamana orang yang kurang mampu membayar utangnya.

    16

    Ahmad Azhar Basyir, Azas-Azas Hukum Islam, (Rineka Cipta, Cet. 4, Jakarta :

    2000), hlm. 38.

  • 26

    c). Cara membayar utang harus memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam

    perjanjian.

    d). Berakhirnya hutang piutang. Berakhirnya utang piutang ini disyariatkan

    supaya mereka mudah dalam meminta dan menurut pihak yang berutang untuk

    melunasi utangnya apabila sudah jatuh temponya.

    Disyariatkannya secara tertulis dalam utang-piutang diperlukan juga dua

    saksi. Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi perselisihan dikemudian hari.

    Tanpa adanya saksi mungkin yang satu akan mengingkari perjanjian yang telah

    disepakati bersama. Saksi dalam utang-piutang itu hendaknya terdiri atas dua

    orang pria baligh, muslim dan bukan budak beliau. Sekiranya tidak didapatkan

    dua orang saksi pria yang memenuhi syarat, hendaknya mengangkat seorang laki-

    laki dan dua orang perempuan yang dapat saling menginggatkan diantara

    keduanya sehingga tidak terjadi kealpaan.17

    Apabila di dalam perjanjian hutang-piutang tersebut tidak ditemui penulis

    atau saksi, maka harus ada barang jaminan yang dapat dipegang sebagai ganti

    adanya saksi dan tulisan. Apabila semua tidak didapatkan, maka boleh tidak

    memakai saksi, tulisan atau barang jaminan.

    Mengenai pembayaran hutang-piutang ini ada beberapa hal yang perlu

    diketahui, yaitu menyangkut siapa yang berhak menagih pembayaran utang-

    piutang, siapa yang wajib membayarkan, waktu pembayaran, tempat pembayaran

    dan sesuatu yang dibayarkan.

    17

    Shaleh, Ayat-Ayat Hukum, (Rineka Cipta, Cet. 4, Jakarta : 2000), hlm. 106.

  • 27

    1). Hak tagihan hutang-piutang

    Pada dasarnya yang berhak menagih utang adalah pihak pemberi piutang

    sendiri, atau wakilnya jika ia mewakilkan kepada orang lain, atau wakilnya jika ia

    berada dibawah perwakilan atau ahli warisnya jika ia meninggal dunia atau orang

    yang menerima wasiat tersebut.18

    2). Yang wajib membayar utang-piutang

    Dalam utang-piutang terkait dengan adanya suatu perjanjian, maka pada

    dasarnya orang yang berhutang itulah yang berkewajiban membayar hutang-

    piutang tersebut sesuai dengan janjinya apabila jangka waktunya telah habis.

    3). Waktu pembayaran hutang-piutang

    Waktu pembayaran hutang tergantung pada isi perjanjian yang diadakan,

    jika dalam perjanjian itu tidak disebutkan ketentuan batas waktu pembayarannya,

    maka pihak berhutang dapat ditagih sewaktu-waktu untuk membayar utang

    tersebut. Jika tenggang waktu pembayaran disebutkan dalam perjanjian, maka

    kewajiban pembayaran utang itu pada waktu yang telah ditentukan, dan pihak

    berutang pun baru berhak melakukan tagihan pada waktu tersebut.

    Tapi apabila pihak yang berhutang belum bisa membayar hutangnya pada

    waktu yang telah ditentukan maka dianjurkan untuk memberikan kelonggaran

    sampai ia berkelapangan. Apabila pihak yang berhutang mempercepat

    pembayaran sebelum tiba waktunya, kemudian pihak yang memberi piutang

    membebaskan sebagian sebagai imbalanny, maka menurut jumhur fuqaha haram

    hukumnya.

    18

    Ahmad Azhar Basyir, Op, Cit, hlm. 40.

  • 28

    4). Tempat pembayaran hutang-piutang

    Pada dasarnya pembayaran hutang piutang dilakukan ditempat terjadinya

    hutang. Apabila utangnya bukan merupakan sesuatu yang jika dipindahkan atau

    memerlukan biaya, seperti uang, maka boleh dilakukan pembayaran ditempat lain

    sebab sama saja pembayaran itu dilakukan ditempat perjanjian atau ditempat lain.

    Apabila barang yang diutangkan jika dipindahkan memerlukan biaya, kemudian

    pihak berhutang menawarkan pembayaran utangnya ditempat lain, maka pihak

    yang berpiutang berhak menolak, sebab kalau diterima ia akan memikul beban

    biaya pemindahan atau membawa ketempat lain.19

    Ulama fiqh sepakat bahwa hutang-piutang harus dibayar ditempat

    terjadinya akad secara sempurna. Namun demikian, boleh membayarnya di tempat

    lain apabila tidak ada keharusan untuk membawanya atau memindahkannya, juga

    tidak ada halangan dijalan, sebaliknya jika terdapat halangan apabila membayar

    ditempat lain, muqridh tidak perlu menyerahkannya. Jika jalan suatu perjanjian

    hutang-piutang diadakan syarat bahwa pembayaran dilakukan di tempat lain,

    banyak ulama yang memandang syarat itu batal, sebab merupakan hutang-piutang

    yang menarik manfaat bagi pihak berpiutang.20

    5). Biaya pembayaran hutang-piutang

    Biaya-biaya yang diperlukan untuk pembayaran hutang-piutang menjadi

    tangguangan pihak yang berhutang. Hal ini logis sebab pihak berpiutang tidak

    dibenarkan memungut keuntungan dari pihak berpiutang yang diberikan maka

    19

    Ibid, hlm. 44. 20

    Ibid, hlm. 45.

  • 29

    sebaliknya ia tidak dapat dibebani resiko-resiko biaya yang diperlukan untuk

    membayar hutang.

    6). Sesuatu yang dibayarkan dalam hutang-piutang

    Pembayaran hutang itu seharusnya dilakukan dengan membayarkan

    sesuatu yang sejenis dengan hutang-piutang. Jika utang itu berupa barang tertentu,

    maka pembayaran harus berupa barang yang sejenis dengan hutangnya meskipun

    barang tersebut mengalami perubahan harga, misalnya, emas harus dibayar

    dengan emas meskipun sedang mengalami harga turun, pembayaran hutang

    dengan barang yang tidak sejenis dengan apa yang diutangkan tidak

    diperbolehkan dengan syarat maupun tanpa syarat, misalnya utang-piutang emas

    dibayar dengan perak dan sebagainya.

    7). Pembebasan hutang-piutang

    Suatu perjanjian hutang-piutang dipandang berakhir, jika pihak berpiutang

    membebaskan piutangnya. Untuk sahnya suatu pembebasan utang, pihak yang

    membebaskan hutang harus memenuhi syarat-syarat,yaitu: baligh, berakal, cakap,

    bertabarru‟ dan dilakukan dengan suka rela. Jika salah satu syarat tersebut tidak

    dipenuhi, maka pembebasan hutang tidak sah.

    Untuk itu Islam telah mengajarkan setiap individu mempunyai hak untuk

    memenuhi kebutuhannya dengan berbagai cara dan usaha selama tidak melanggar

    norma-norma agama. Islam menganjurkan untuk mencari dan mendapatkan harta

    dengan berusaha mencari rezeki dengan berbagai cara yaitu membolehkan

    muamalah atau hubungan usaha, tukar-menukar, sewa-menyewa, dan kerjasama.

  • 30

    Dalam memelihara dan menjaga harta, Islam mensyariatkan haramnya

    pencurian, penipuan, harta orang lain dan memakan harta secara bathil (riba).

    Pada prinsipnya, Islam membolehkan semua bentuk kerjasama, selama kerjasama

    tersebut mendatangkan manfaat terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat.

    Hal inilah yang ditunjukkan masyarakat di Desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir

    Kabupaten Tebo Provinsi Jambi, dimana mereka telah melakukan kegiatan tolong

    menolong untuk membantu sesama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

    d. Motivasi Masyarakat Melakukan Pinjam-Meminjam Uang

    Di desa Kemantan yang menjadi masalah utama masyarakat disana adalah

    pemenuhan kebutuhan serta permodalan, dimana latar belakang pekerjaan mereka

    banyak bergantung pada sektor pertanian. Sebagian besar masyarakat di Desa

    Kemantan masih memilih melakukan pinjaman pada rentenir untuk pemenuhan

    kebutuhan ekonomi atau permodalan, khususnya bagi masyarakat kalangan

    menengah kebawah. Minimnya pengetahuan mengenai lembaga keuangan syariah

    dalam masyarakat dan masih adanya pandangan bahwa lembaga keuangan itu

    identik dengan kerumitan serta tidak adanya agunan yang dapat mereka jaminkan,

    telah memaksa mereka meminjam uang pada rentenir.

    Telah memberikan motivasi sendiri dengan dorongan yang timbul pada

    diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan

    dengan tujuan tertentu. Rentenir sendiri berasal dari kata rente, yang berarti

    bunga. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rentenir berarti orang yang

    mencari nafkah dengan membungakan uang, tukang riba, pelepas uang, lintah

    darat.

  • 31

    Riba dalam pengertian bahasa, riba berarti tambahan (azziya‟dah). Makna

    tambahan dalam riba adalah tambahan yang berasal dari usaha haram yang

    merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi. Dalam pengertian lain, secara

    liguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis,

    riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.21

    Sedangkan pembiayaan mempunyai arti yaitu penyediaan uang atau

    tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau

    kesepakatan antara lembaga keuangan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak

    yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka

    waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.22

    F. Tinjauan Pustaka

    Hutang piutang merupakan salah satu bentuk muamalah yang dikenal dan

    sudah dipraktikkan sejak zaman Rasulullah SAW, sampai sekarangpun masih

    dilakukan oleh masyarakat umum. Hal ini juga telah dipraktikkan oleh warga

    masyarakat di Desa Kemantan, Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi

    Jambi, untuk saling tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

    Di bawah ini ada tiga penelitian yang memiliki keterkaitan dengan

    penelitian ini yaitu skripsi dari saudara Ilas Korwadi Siboro tentang “Rentenir

    (Analisis Terhadap Fungsi Pinjaman Berbunga dalam Masyarakat Rokan Hilir

    Kecamatan Bagan Sinembah Desa Bagan Batu)”. Tujuan dari penelitian ini adalah

    untuk mengetahui penyebab masyarakat di Rokan Hilir Kecamatan Bagan

    21

    Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah : dari Teori ke Praktik, (Jakarta:

    Gema Insani, 2001), hlm. 37. 22

    Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001),

    hlm.92.

  • 32

    Sinembah Desa Bagan Batu meminjam uang pada rentenir. Hasil penelitian

    menunjukkan bahwa masyarakat di Rokan Hilir Kecamatan Bagan Sinembah

    Desa Bagan Batu masih sangat antusias dalam meminjam uang pada rentenir

    penyebabnya adalah mereka membutuhkan uang secara mendadak seperti biaya

    pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lainnya serta sarat peminjaman yang

    mudah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah masyarakat di Rokan Hilir

    Kecamatan Bagan Sinembah Desa Bagan Batu meminjam uang pada rentenir

    untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.23

    Skripsi dari Chumaedatul Umamah tentang “Pinjaman Bersyarat Dalam

    Tinjauan Hukum Islam (Studi di Dusun Tegalsari, Desa Kawunganten Lor,

    Kecamatan Kawunganten, Kab. Cilacap)” menjelaskan bahwa si kreditur

    meminjamkan uang kepada debitur dengan syarat bahwa hasil pertanian si debitur

    harus dijualkan kepada si kreditur, hingga hutang si debitur lunas. Dari hasil

    penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa dalam kegiatan peminjaman bersyarat

    ini lebih bersifat tolong menolong dan kedua belah pihak juga saling diuntungkan.

    Hal ini sesuai dengan hukum islam bahwa memberikan pinjaman atau hutang

    tanpa syarat apapun termasuk kedalam cara tolong-menolong.24

    Skripsi saudara Zaenal Arifin tentang “Tinjauan Hukum Islam Terhadap

    Praktik Pinjaman di Koperasi PT. Djarum Kudus”. Skripsi ini membahas tentang

    praktik simpan pinjam dengan sistem tambahan dalam pengembalian pinjaman

    23

    Siboro, I.K. Rentenir (Analisis Terhadap Fungsi Pinjaman Berbunga Dalam

    Masyarakat Rokan Hilir Kecamatan Bagan Sinembah Desa Bagan Batu). Jom Fisip Vol.

    2 No. 1, Oktober 2015. 24

    Chumaedatul Umamah, “Pinjaman Bersyarat Dalam Tinjauan Hukum Islam

    (Studi di dusun Tegalsari, Desa Kawunganten lor, Kecamatan Kawunganten, Kab.

    Cilacap),”Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, (2008).

  • 33

    (bunga). Dalam skripsi ini praktik simpan pinjam di koperasi PT. Djarum Kudus

    tidak sesuai dengan norma-normahukum Islam, karena ada unsur eksploitasi serta

    riba yang berlipat ganda.25

    Dari beberapa skripsi yang telah dikemukakan di atas, kebanyakan

    membahas riba dan bunga pinjaman, baik pada pihak rentenir maupun perbankan.

    Pendekatan yang mereka gunakan adalah normatif. Sedangkan penelitian tentang

    “Perspektif Hukum Islam Terhadap Minat Masyarakat Meminjam Uang Melalui

    Rentenir Di Desa Kemantan Kecamatan Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi

    Jambi” membahas mengenai minat masyarakat dan faktor yang menyebabkan

    masyarakat meminjam uang pada rentenir serta pandangan hukum Islam terhadap

    kasus tersebut. Oleh karena itu, penyusun mengkaji permasalahan tersebut.

    G. Metode Penelitian

    Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian terhadap tingginya minat

    masyarakat meminjam uang melalui rentenir ini metode yang digunakan dalam

    penyusunan adalah sebagai berikut:

    1. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang penulis gunakan yaitu penelitian lapangan (fied

    research). Yaitu suatu penelitian yang meneliti obyek dilapangan untuk

    mendapatkan data dan gambaran yang jelas tentang hal-hal yang berhubungan

    sistem meminjam uang melalui rentenir tersebut di Desa Kemantan Kecamatan

    Tebo Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi.

    25

    Zaenal Arifin, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Pinjaman di

    Koperasi PT. Djarum Kudus” Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

    Yogyakarta, (2005).

  • 34

    2. Sifat Penelitian

    Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitik yang artinya penelitian yang

    menggambarkan permasalahan yang ada secara obyektif, guna mendeskripsikan

    pelaksanaan meminjam uang melalui rentenir di Desa Kemantan Kecamatan Tebo

    Ilir Kabupaten Tebo Provinsi Jambi sebagaimana adanya, kemudian menganalisa

    berdasarkan data yang ada dari hasil penelitian dan literatur-literatur yang ada

    kaitannya dengan permasalahannya tersebut, supaya mendapatkan kesimpulan.

    3. Pendekatan Masalah

    Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan nomatif

    dan filosofis. Normatif yaitu berdasarkan nash-nash al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, dan

    sebagainya. Sedangkan filosofisnya adalah berdasarkan istihsan, yaitu

    menganggap baik (apapun yang baik dari sesuatu).

    4. Subyek Penelitian

    Subyek penelitian adalah warga masyarakat Desa Kemantan yang

    melakukan pinjaman uang melalui rentenir serta rentenir yang ada di Desa

    Kemantan, untuk mendapatkan subyek penelitian ini dilakukan dengan

    mengambil data seluruh penduduk yang meminjam uang melalui rentenir, yakni

    peneliti tidak mengambil semua obyek, semua gejala, semua kejadian atau

    peristiwa, melainkan sebagian dari obyek gejala atau kejadian yang teliti.

    Informasi diperoleh dari masyarakat yang meminjam uang pada rentenir dan

    rentenir, serta pengamatan penyusun di Desa Kemantan.

  • 35

    5. Tenik Pengumpulan Data

    a. Observasi (pengamatan) adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematika

    atas fenomena-fenomena yang diteliti,dalam hal ini peneliti memperoleh data

    yang diperlukan dengan cara datang dan melihat dilapangan terhadap praktik

    pinjam meminjam itu berlangsung, yaitu pada salah satu rumah si rentenir yang

    digunakan untuk transaksi pinjam-meminjam uang.

    b. Interview (wawancara) adalah dimana suatu bentuk komunikasi secara

    langsung guna mendapatkan sebuah informasi tentang apa yang diteliti. Yang

    diwawancarai yaitu rentenir dan peminjam uang. Jumlah rentenir 2 orang dan

    peminjam uang 32 orang. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang

    jelas, valid dan memudahkan penyusun menganalisa pokok masalah yang

    dibahas.

    c. Keputusan adalah menelaah buku-buku yang relevan dengan permasalahan

    yang diteliti, seperti kitab-kitab, artikel-artikel, buku-buku, serta karya ilmiah

    yang ada kaitannya atau hubungan dengan topik pembahasan ini.

    6. Teknik Analisa Data

    Dalam analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

    menggunakan analisis data kualitatif, yakni menganalisis data yang ada,

    dikumpulkan, selanjutnya dipilah-pilah dan dianalisa untuk memperoleh

    kesimpulan umum tentang meminjam uang melalui rentenir di Desa Kemantan.

    Pertama penyusun menjelaskan terlebih dahulu berbagai hal tentang konsep

    hutang-piutang dalam Islam, konsep riba, teori-teori fikih yang bersangkutan

  • 36

    dengan azziya‟dah (tambahan), tingkatan kemaslahatan setelah itu dihubungkan

    dengan kenyataan-kenyataan di lapangan, yakni tentang meminjam uang melalui

    rentenir yang ada syaratnya, yaitu potongan dan penambahan dalam

    pengembalian.

    H. Sistematika Penulisan

    Penyusun skripsi ini terbagi kepada lima bab, antara babnya yang terdiri

    dari sub-sub bab, yang secara logis saling berhubungan dan merupakan keutuhan

    serta mendukung dan mengarah tercapainya dari jawaban pokok permasalahan

    yang telah diajukan. Untuk memberikan gambaran secara mudah agar lebih

    terarah dan jelas mengenai pembahasan skripsi ini penyusun menggunakan

    sistematika dengan membagi pembahasan sebagai berikut:

    Bab Pertama, merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang

    masalah, rumusan masalah, tujuan kegunaan penelitian serta kerangka teori.

    Bab Kedua, menguraikan tentang tinjauan hukum Islam tentang hutang

    piutang, rentenir dan riba dengan beberapa sub.

    Bab Ketiga, menggambarkan mengenai Kondisi umum Desa Kemantan

    meliputi letak geografis, kondisi penduduk dan aktivitas perekonomian serta

    pelaksanaan pinjam meminjam uang kepada rentenir di Desa Kemantan.

    Bab Keempat, pada bab ini akan dibahas mengenai analisis minat dalam

    melakukan pinjaman pada rentenir yang sudah pasti memiliki bunga pinjaman dan

    mengandung riba studi kasus di Desa Kemantan lalu membahas mengenai

    perspektif hukum Islam terhadap minat masyarakat dalam meminjam uang pada

  • 37

    rentenir. Bab Kelima Penutup, dalam bab terakhir ini berisi kesimpulan, saran-

    saran yang membagun terhadap permasalahan diatas.

  • 38

    BAB II

    TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG HUTANG PIUTANG,

    RENTENIR DAN RIBA

    A. Konsep Qardh

    1. Pengertian Qard

    Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata qarada yang sinonimnya qatha‟a

    yang berarti memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang

    memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima

    utang (muqtaridh).26

    Potongan dalam konteks akad qardh adalah potongan yang

    berasal dari harta orang yang memberikan uang. Sedangkan menurut istilah

    diartikan meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan.

    Menurut Syafi‟i Antonio, qardh adalah pemberian harta kepada orang lain

    yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan

    tanpa mengharap imbalan.27

    Qardh adalah pinjaman uang, pinjaman qardh

    biasanya diberikan oleh bank kepada nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman

    talangan pada saat nasabah mengalami overdraft. Fasilitas ini dapat merupakan

    bagian dari satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan nasabah bertransaksi.

    Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal:

    26 Muslich, A.W. Fiqh Muamalat,. Jakarta: AMZAH, 2010. hlm: 273-274. 27

    Antonio, M.S. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik,. Jakarta: Gema Insani, 2001.

    hlm.131.

  • 39

    a. Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan

    pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji.

    nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatan haji.

    b. Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah,

    dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank

    melalui ATM. Nasabah akan mengembalikan sesuai waktu yang ditentukan.

    c. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil dimana menurut perhitungan

    bank akan memberatkan si pengusaha bila diberi pembiayaan dengan skema

    jual-beli ijarah atau bagi hasil.

    d. Sebagai pinjman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas

    ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus

    Bank akan mengembaliaknnya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.28

    Menurut istilah para ahli fikih, al-qardh adalah memberikan suatu harta

    kepada orang lain untuk dikembalikan tanpa ada tambahan. Al-Qardh (pinjam

    meminjam) hukumnya boleh dan dibenarkan secara syariat. Tidak ada perbedaan

    pendapat di antara para ulama dalam hal ini. Orang yang membutuhkan boleh

    menyatakan ingin meminjam. Ini bukan sesuatu yang buruk, bahkan orang yang

    akan dipinjami justru dianjurkan (mandub). Dalil mengenai hal ini terdapat dalam

    Al-Qur‟an: surat Al-Baqarah ayat 245.29

    Hal ini berarti sangat kental akan nuansa

    prinsip tolong-menolong terhadap sesama manusia yang dianjurkan oleh agama

    Islam untuk mempunyai jiwa sosial.

    28

    Sudarsono, H. Bank dan Lembaga Keuangan Syari‟ ah, Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta:, Ekonosia kampus Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta, 2003. Hlm. 82

    29 Al-Bugha, M.D. Fiqh Al-Mu‟awadhah, diterjemahkan oleh Fakhri Ghafur dengan judul

    Buku Pintar Transaksi Syariah. Jakarta: Mizan Publika, 2010. Hlm: 52.

  • 40

    Menurut Hukum Syara‟, para ahli fikih mendefinisikan qardh sebagai

    berikut:

    1. Menurut pengikut madzhab Hanafi, Ibn Abidin mengatakan bahwa

    qardh adalah suatu pinjaman atas apa yang dimiliki satu orang lalu

    diberikan kepada yang lain kemudian dikembalikan dalam

    kepunyaannya dalam baik hati;

    2. Menurut madzhab Maliki, qardh adalah pembayaran dari sesuatu yang

    berharga untuk pembayaran kembali tidak berbeda atau setimpal;

    3. Menurut madzhab Hanbali, qardh adalah pembayaran uang ke seseorang

    siapa yang akan memperoleh manfaat dengan itu dan kembalian sesuai

    dengan padanannya;

    4. Menurut madzhab Syafi‟i, qardh adalah memindahkan kepemilikan

    sesuatu kepada seseorang, disajikan ia perlu membayar kembali

    kepadanya.

    2. Dasar Hukum Qardh

    Dasar hukum Qardh meliputi:

    1. Al-Qur‟an

    Di dalam surat Al-Hadid ayat 11 Allah berfirman :

    Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang

    baik, Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia

    akan memperoleh pahala yang banyak.” (Q.S. Al-Hadid: 11).30

    30

    Q.S. Al-Hadid: 11

  • 41

    Firman Allah Q.S. At-Taghabun ayat 17 :

    Artinya: “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,

    niscaya Allah melipatgandakan balasannya kepadamu dan mengampuni

    kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (Q.S. Al-

    Taghabun: 17).31

    Firman Allah Q.S. Al-Baqarah ayat 245 :

    Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan pinjaman kepada Allah,

    pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah

    melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan kelipatan ganda yang

    banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-

    Nyalah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al-Baqarah: 245).32

    Dalam ayat di atas, Allah SWT menegaskan orang yang memberi pinjaman

    „al-qardh itu sebenarnya ia memberi pinjam kepada Allah SWT, artinya untuk

    membelanjakan harta di jalan Allah. Selaras meminjamkan harta kepada Allah,

    manusia juga diseru untuk meminjamkan kepada sesamanya, sebagai sebagian

    kehidupan bermasyarakat. Kalimat qardhan hasanan dalam ayat 245 surat Al-

    Baqarah tersebut berarti pinjaman yang baik, yaitu infak di jalan Allah. Arti

    lainnya adalah pemberian nafkah kepada keluarga dan juga tasbih serta taqdis

    (pencucian).33

    31

    Q.S. Al-Taghabun: 17. 32

    Q.S. Al-Baqarah: 245 33

    Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2006. hlm: 498.

  • 42

    Hanya satu yang ditekankan dalam pemberian pinjaman di sini, yaitu

    pinjaman yang baik dalam arti dengan niat yang bersih dan baik, hati yang tulus

    serta harta yang halal. Maka meminjamkan kepada Allah adalah Allah

    mengumpamakan pemberian seseorang dengan tulus untuk kemaslahatan

    hambanya sebagai pinjaman kepada Allah SWT, sehingga ada jaminan dari-Nya

    bahwa pinjaman itu kelak akan dikembalikan. Selanjutnya karena Allah yang

    meminjam, maka dia akan menjanjikan bahwa Allah akan melipat gandakan

    pembayaran pinjaman itu kepadanya di dunia dan di akhirat, dengan lipat ganda

    yang banyak, seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir dan pada setiap

    butir seratus biji, bahkan lebih dari pada itu.34

    2. Al-Hadist

    Landasan qardh dalam hadits Nabi SAW di antaranya adalah yang

    diriwayatkan Ibnu Majah, Nabi SAW bersabda:

    عي إبي هس عىلَ ى النبى ل لى اهلل عليه وا لن قب هب هي هس لن يقرض هسلوب

    قرضب هرتيي إَلَ اىَ صدقتهب

    Artinya: “Dari Ibn Mas‟ud ra, bahwa Nabi SAW bersabda: Tidaklah seorang

    Muslim memberikan pinjaman kepada orang Muslim lainnya sebanyak dua kali

    pinjaman, melainkan layaknya ia telah menyedekahkan satu kali.” (H.R. Ibnu

    Majah)

    Hadits di atas menjelaskan bahwa memberikan pinjaman kepada orang lain

    yang membutuhkan lebih utama daripada orang yang bersedekah. Allah akan

    lebih banyak melipat gandakan kepada orang yang meminjamkan hartanya di

    jalan Allah dari pada orang yang bersedekah karena seseorang tidak akan

    meminjamkannya jika dia benar-benar membutuhkannya. Dan juga mengajarkan

    34

    Shihab, M.Q. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an Vol. 1

    (Jakarta: Lentera Hati. 2003), hlm: 529.

  • 43

    bahwa tolong-menolong merupakan salah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan

    dari ajaran Islam untuk selalu memperhatikan sesama Muslim dan memberikan

    pertolongan jika seseorang membutuhkannya, yaitu tolong-menolong dalam

    kebaikan.

    3. Ijma‟

    Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan kesepakatan

    ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan

    bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia

    butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari

    kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap

    kebutuhan umatnya.35

    4. Kaidah Fiqih

    Adapun dasar hukum hutang-piutang (qardh) dalam kaidah fikih mu‟amalah

    adalah:

    “Hukum asal dalam semua bentuk mu‟amalah adalah boleh dilakukan

    kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.

    “Setiap pinjaman yang menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama

    dengan riba”36

    Pihak yang meminjami mempunyai pahala sunat. Sedangkan dilihat dari

    sudut peminjam, maka hukumnya boleh, tidak ada keberatan dalam hal itu. Jadi,

    hukum memberi hutang hukumnya sunat malah menjadi wajib, seperti

    mengutangi orang yang terlantar atau yang sangat perlu atau berhajat.37

    3. Rukun dan Syarat Qardh

    35

    Mustofa, I. Fiqih Mu‟amalah Kontemporer Jakarta: Rajawali Pers. 2016, hlm: 132- 133. 36

    Dzajuli, A. Kaidah-Kaidah Fiqh (Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah

    yang Praktis). Jakarta, Kencana, 2007. hlm: 138. 37

    A. Munir dan Sudarsono, Dasar-Dasar Agama Islam. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya,

    1992. Hlm: 252.

  • 44

    a) Rukun Qardh

    Adapun yang menjadi rukun qardh ada tiga, yaitu:38

    1. Shighat Qardh

    Shighat terdiri dari ijab dan qabul. Redaksi ijab misalnya seperti, “Aku

    memberimu pinjaman,” “Aku mengutangimu,” “Ambilah barang ini dengan ganti

    barang yang sejenis,” atau “Aku berikan barang ini kepadamu dengan syarat kamu

    mengembalikan gantinya.” Menurut pendapat yang shahih, disyaratkan ada

    pernyataan resmi tentang penerimaan pinjaman, seperti jenis transaksi lainnya.

    Redaksi qabul disyaratkan sesuai dengan isi ijab, layaknya jual beli.

    Seandainya pemberi pinjaman berkata, “Aku mengutangimu 1000 dirham,” lalu

    peminjam menerima lima ratus dirham, atau sebaliknya, maka akad tersebut tidak

    sah. Hutang-piutang dihukumi sah bila menggunakan kata qardh (meminjami)

    atau salaf (mengutangi) juga sah digunakan dalam shighat ijab qabul seperti telah

    disebutkan di atas.

    Sebagian ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa jika peminjam berkata

    kepada pemberi pinjaman, “Berikanlah saya hutang sekian,” lalu dia

    meminjamnya; atau peminjam mengirim seorang utusan kepada pemberi

    pinjaman, lalu dia mengirim sejumlah harta kepadanya, maka akad qardh tersebut

    sah. Menurut al-Adzra‟i, ijma‟ ulama sepakat sistem tersebut boleh dilakukan.

    2. Para Pihak yang Terlibat Qardh

    Para pihak yang terlibat qardh adalah pemberi pinjaman (pemberi hutang)

    dan peminjam (penghutang). Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut :

    a. Syarat-syarat bagi pemberi pinjaman

    38

    Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Abdullah bin Muhammad Al-Muthlaq dan

    Muhammad bin Ibrahim, Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab, Cet-1,

    Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009. Hlm: 159.

  • 45

    Fuqaha sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk ahli

    tabarru‟ (orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka, baligh,

    berakal sehat, dan pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang

    buruk). Mereka berargumentasi bahwa hutang piutang adalah transaksi irfaq

    (memberi manfaat). Oleh karenanya tidak sah kecuali dilakukan oleh orang

    yang sah amal kebaikannya, seperti shadaqah.

    b. Syarat bagi peminjam

    Syafi‟iyyah mensyaratkan penghutang termasuk kategori orang yang

    mempunyai ahliyah al-mu‟amalah (kelayakan melakukan transaksi) bukan

    ahliyah at-tabarru‟ (kelayakan memberi derma). Adapun kalangang Ahnaf

    mensyaratkan penghutang mempunyai ahliyah at-tasharrufat (kelayakan

    membelanjakan harta) secara lisan, yakni merdeka, baligh, dan berakal

    sehat. Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu menanggung karena

    hutang tidak ada kecuali dalam tanggungan. Misalnya, tidak sah memberi

    hutang kepada masjid, sekolah, atau ribath (berjaga di perbatasan dengan

    musuh) karena semua ini tidak mempunyai potensi menanggung.

    3. Barang yang Dipinjamkan

    Barang yang dipinjamkan disyaratkan harus dapat diserah terimakan dan

    dapat dijadikan barang pesanan (muslam fih), yaitu berupa barang yang

    mempunyai nilai ekonomis (boleh dimanfaatkan menurut syara‟) dan

    karakteristiknya diketahui karena ia layak sebagai pesanan. Menurut pendapat

    shahih, barang yang tidak sah dalam akad pemesanan tidak boleh dipinjamkan.

  • 46

    Jelasnya setiap barang yang tidak terukur atau jarang ditemukan karena untuk

    mengembalikan barang sejenis akan kesulitan.

    b) Syarat-Syarat Qardh

    Ada empat syarat sahnya qardh, yaitu:

    1. Akad qardh dilakukan dengan shigah ijab qabul atau bentuk lain yang bisa

    menggantikannya, seperti cara mu‟athah (melakukan akad tanpa ijab qabul)

    dalam pandangan jumhur, meskipun menurut Syafi‟iyah cara mu‟athah

    tidaklah cukup sebagaimana dalam akadakad lainnya.

    2. Adanya kapibilitas dalam melakukan akad. Artinya, baik pemberi maupun

    penerima pinjaman adalah orang baligh, berakal, bisa berlaku dewasa,

    berkehendak tanpa paksaan, dan boleh untuk melakukan tabarru‟

    (berderma). Karena qardh adalah bentuk akad tabarru‟. Oleh karena itu,

    tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang gila, orang bodoh, orang yang

    dibatasi tindakannya dalam membelanjakan harta, orang yang dipaksa, dan

    seorang wali yang tidak sangat terpaksa atau ada kebutuhan. Hal itu karena

    mereka semua bukanlah orang yang dibolehkan melakukan akad tabarru‟

    (berderma).

    3. Menurut Hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah harta mitsli.

    Sedangkan dalam pandangan jumhur ulama dibolehkan dengan harta apa

    saja yang bisa dijadikan tanggungan, seperti uang, bijibijian, dan harta

    qimiy seperti hewan, barang tak bergerak dan lainnya.

    4. Harta yang dipinjamkan jelas ukurannya, baik dalam takaran, timbangan,

    bilangan, maupun ukuran panjang supaya mudah dikembalikan. Dan dari

  • 47

    jenis yang belum tercampur dengan jenis lainnya seperti gandum yang

    bercampur dengan jelai karena sukar mengembalikan gantinya.

    B. Konsep Rentenir

    Rentenir adalah pemberi pinjaman uang (kreditur) dengan bunga sekitar 10-

    30 persen perbulan dalam kondisi perekonomian normal dengan rata-rata bunga

    pinjaman bank umum kurang lebih 1-3 persen perbulan. Plafon pinjaman yang

    diberikan biasanya antara 50.000 sampai dengan 1.000.000 rupiah. Target

    peminjam (debitur) mereka biasanya orang-orang dengan ekonomi lemah yang

    tinggal di kota atau di pinggiran kota, seperti buruh kecil, pegawai kecil dan

    perajin kecil atau dengan istilah lain masyarakat kurang mampu dari segi

    ekonomi.

    Rentenir adalah seseorang yang melakukan kegiatan peminjaman uang atau

    modal. Renten atau kegiatan renten merupakan suatu aktifitas dimana seseorang

    meminjamkan uang dengan bunga yang berlipat-lipat yang memungkinkan bunga

    tersebut melebihi utang pokoknya jika cicilannya terlambat.39

    Pinjaman berbunga yaitu meminjamkan sejumlah uang dan mendapatkan

    keuntungan berupa pengembalian pokok plus bunganya atau apakah ini kerjasama

    penyertaan modal tempat menyetorkan uang sebagai modal usaha. Dan secara

    priodik rentenir akan mendapatkan keuntungan bagi hasil dari usaha tersebut

    ditarik kembali. Kalau mekanismenya sebagai pinjaman berbunga, maka dana

    pinjaman akan tetap menjadi hak rentenir tanpa terpengaruh hasil usahanya.40

    39

    Siboro, I.K. Rentenir (Analisis Terhadap Fungsi Pinjaman Berbunga Dalam Masyarakat

    Rokan Hilir Kecamatan Bagan Sinembah Desa Bagan Batu). Jom Fisip Vol. 2 No. 1, Oktober

    2015 40

    Ghozali, A. 70 Solusi Keuangan. Depok : Gema Insani, 2008. Hlm:53.

  • 48

    Sumber modal pinjaman memang beraneka ragam, salah satunya adalah

    modal pinjaman dari rentenir. Sebab melalui rentenir modal mudah didapatkan

    karena prosedur peminjaman gampang. Dan alasan tersebut mengapa rentenir

    bertahan dalam sejarah perekonomian Indonesia. Kedua, melalui rentenir tanpa

    jaminan pun modal di dapat. Sehingga, seringkali peminjam hanya bermodal

    kepercayaan.

    C. Konsep Riba

    1. Pengertian Riba

    Riba ditinjau dari bahasa Arab, riba bermaknakan: tambahan, tumbuh, dan

    menjadi tinggi. Adapun dalam pemahaman syari‟ah, maka para ulama berbeda

    beda dalam ungkapannya dalam mendefinisikannya tetapi maksud dan maknanya

    tidak jauh berbeda, diantara definisi yang cukup mewakili, menurut Asy-Sarbani

    yang dikutip oleh Arifin Badri adalah “ suatu akad / transaksi atas barang tertentu

    yang ketika akad berlangsung, tidak mengetahui kesamaannya menurut ukuran

    syari‟ah atau dengan menunda penyerahan keduanya barang yang akan menjadi

    objek akad atau salah satunya”.41

    Para ulama menyebutkan bahwa riba secara umum dibagi menjadi (2)

    macam:

    a. Riba Nasi‟ah / Penundaaan ( Riba Jahiliyyah) Yaitu penambahan yang

    terjadi akibat pembayaran yang tertunda pada akad tukar menukar dua

    barang yang tergolong ke dalam riba, baik satu jenis maupun berlainan jenis

    dengan menunda penyerahan salah satu barang yang ditukarkan atau kedua-

    duanya.

    41

    Badri, A. Riba dan Tinjuan kritis Perbankan Syari‟ah. Bogor: Darul Ilmi Publising,

    2002. hlm. 2.

  • 49

    b. Riba Fadl (Riba Penambahan)/Riba Perniagaan Riba jenis ini dapat terjadi

    pada akad perniagaan, sebagaimana yang dapat terjadi pada akad utang -

    piutang.

    Para sarjana muslim modern berbeda pandangan tentang apakah larangan

    riba sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur‟an teraplikasikan dalam bunga

    bank modern. perbedaan ini tampaknya terfokus pada salah satu permaslahan

    sentral, yaitu:42

    a. larangan riba dipahami dengan menekankan pada aspek rasional, melalui

    pemahaman ini, unsur ketidak-adilan menjadi isu sentral atas

    pelarangannya.

    b. larangan riba dipahami berdasarkan legal formal sebagaimana ang

    dikonseptualisasikan dalam hukum Islam (fiqh).

    Menurut salah seorang mufassir modern, secara kasatnya dapat dikatakan,

    kekejian riba (dalam arti di mana istilah ini digunakan dalam al-Qur‟an dan

    banyak ucapaan Nabi) terkait dengan keuntungan keuntungan yang diperoleh

    melalui pinjaman-pinjaman berbunga yang mengandung eksploitasi terhadap

    pihak secara ekonomi lemah oleh kekuatan dan kelicikan. Melalui pertimbangan

    macam transaksi pembiayaan bagaimankah yang dilarang? Yang termasuk dalam

    kategori riba adalah yang tujuan akhirnya amoral, yang secara langsung

    berhubungan dengan kehidupan sosial ekonomi yang mendasari saling keterikatan

    antara peminjam dan pemberi.43

    2. Dasar Hukum Riba

    a) Al-Qur’an

    42

    Saeed, A. Bank Islam dan Bunga Islamic Banking and Interest. Yogyakarta: Pustaka

    Pelajar, 2008, hal.72 43

    Asad, M. The Massage of the Qur‟an. Giblatar: Dar al-Audalus, 1998. hlm. 633.

  • 50

    Orang-orang yang memakan riba itu tidak dapat berdiri melainkan

    sebagaimana berdirinya orang yang dirasuki setan dengan terbuyung-buyung

    karena sentuhanya.6 Yang demikian itu karena mereka mengatakan:

    “perdaganagan itu sama saja dengan riba”. Padahal Allah telah menghalalkan

    perdagangan dan mengharamkan riba. Oleh karena itu, barang siapa telah sampi

    kepadanya peringatan dari tuhanya lalu ia berhenti (dari memakan riba), maka

    baginya yang telah lalu dan barang dan barang siapa mengulangi lagi memakan

    riba maka itu ahaki mereka akan kekal di dalamnya. Di jelaskan dalam alqur‟an

    surat Ar-Rum ayat 39 :

    َوَهب آَتْيُتْن ِهْي ِرًبب ِلَيْرُبَى ِفي َأْهَىاِل النَّبِس َفَلب َيْرُبى ِعْنَد اللَِّه ۖ َوَهب آَتْيُتْن ِهْي َزَكبٍة

    ُن اْلُوْضِعُفىَىُتِريُدوَى َوْجَه اللَِّه َفُأوَلَِٰئَك ُه

    Artinya “Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah

    pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa

    yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai

    keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat

    gandakan (pahalanya).” (Q.S. Ar-Rum: 39)

    b) Al-hadist

    Dari Jabir ra, Rasulullah saw mencela penerima dan pembayar bunga orang

    yang mencatat begitu pula yang menyaksikan. Beliau bersabda, “mereka semua

    sama-sama dalam dosa “(HR. Muslim, Tirmidzi dan Ahmad) dari abu said al-

    khudri ra, Rasulullah saw bersabda, “Jangan melebih lebihkan satu dengan lainya;

    janganlah menjual perak dengan perak kecuali keduanya setara; dan jangan

  • 51

    melebih lebihkan satu dengan lainya; dan jangan menjual sesuatu yang tidak

    tampak“ HR. Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Naza‟I dan Ahmad).44

    Dari Ubada Bin Sami Ra, Rasulullah saw bersabda “Emas untuk emas,

    perak untuk perak, gandung untuk gandum. Barang siapa yang membayar lebih

    atau menerima lebih dia telah berbuat riba, pemberi dan penerima sama saja

    (dalam dosa)“ (HR.Muslim dan Ahamad). Emas dengan emas, perak dengn perak,

    bur dengan bur, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma garam dengan

    garam dengan ukuran yang sebanding secara tunai. Apabila kelompok ini berbeda

    beda (ukuranya), maka juallah sesuka kalian, apabila tunai (HR. Imam Muslim

    dan Ubdah bin Shamit).

    Dari Abu Sa‟id Al-Khudri, bahwa Rasulullah saw telah membagi makan di

    antara mereka dengan pembagian yang berbeda. Yang satu melebihi lain.

    Kemudian Sa‟id berkata, “Kami selalu (mengambil cara dengan) saling

    melebihkan di antara kami”. Kemudian Rasulullah saw melarang kami untuk

    saling memperjual belikanya selain dengan timbangan (berat) yang sama, tidak

    melebihkan (HR Ahmad).

    Dari Jabir, Rasulullah saw bersabda, “Hendaknya seonggok makanan

    tersebut tidak dijual dengan seonggok makanan, dan (hendaknya) tidak dijual

    seonggok makanan dengan timbangan makanan yang telah di tentukan (HR.

    Nasa‟i). Dari Ubaidah Bin Shamit bahwa Rasulullah saw bersabada, “Emas

    dengan emas,biji dan zatnya harus sebanding timbanganya. Perak dengan

    perak,biji dan zatnya harus sebading timbanganya, garam dengan garam, kurma

    dengan kurma, bur dengan bur, syair dengan syair, sama dan sepadan. Maka siapa

    44

    Sudarsono, H. Bank dan Lembaga Keuangan Syari‟ah (Deskripsi dan Ilustrasi).

    Yogyakarta: Ekonisia. 2003. Hlm: 12 - 13

  • 52

    saja yang menambah atau minta tamabahan, maka dia telah melakukan riba” (HR.

    Imam Nasa‟i).

    3. Macam-Macam Riba

    a. Riba Qordh

    Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap

    yang beruntung (muqtaridh).

    b. Riba Jahiliyah

    Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu

    membayar utangnya pada waktu yang di tetapkan. Riba jahiliyah dilarang

    karena kaedah “kullu qardin jarra manfa ab fabuwa” (setiap pinjaman yang

    mengambil manfaat adalah riba). Dari segi penundaan waktu penyerahanya,

    riba jahiliyah tergolong riba nasiah, dari segi kesamaan objek yang

    dipertukarkan tergolong riba fadhl.”

    c. Riba Fadhl

    Riba fadhl disebut juga riba buyu yaitu riba yang timbul akibat pertukaran

    barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi

    mistlin), sama kwantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu

    penyerahanya (yadan bi yadin). Pertukaran seperti ini mengandung ghoror

    yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing barang yang

    dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim

    terhadap salah satu pihak, kedua pihak dan pihak-pihak yang lain.

    d. Riba Nasiah

  • 53

    Riba nasiah juga disebut juga riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang

    piutang yang tidak memenuhi criteria untung muncul bersama resiko (al

    ghunmu bil ghumi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (kharaj bi

    dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban

    menanggung beban hanya karena berjalanya waktu. Riba nasiah adalah

    penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang di

    pertukarkan dengan jenisbarang ribawi lainnya.

  • 54

    BAB II

    TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG HUTANG PIUTANG,

    RENTENIR DAN RIBA

    D. Konsep Qardh

    4. Pengertian Qard

    Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata qarada yang sinonimnya qatha‟a

    yang berarti memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang

    memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima

    utang (muqtaridh).45

    Potongan dalam konteks akad qardh adalah potongan yang

    berasal dari harta orang yang memberikan uang. Sedangkan menurut istilah

    diartikan meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan.

    Menurut Syafi‟i Antonio, qardh adalah pemberian harta kepada orang lain

    yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan

    tanpa mengharap imbalan.46

    Qardh adalah pinjaman uang, pinjaman qardh

    biasanya diberikan oleh bank kepada nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman

    talangan pada saat nasabah mengalami overdraft. Fasilitas ini dapat merupakan

    bagian dari satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan nasabah bertransaksi.

    Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal:

    e. Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan

    pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji.

    nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatan haji.

    45 Muslich, A.W. Fiqh Muamalat,. Jakarta: AMZAH, 2010. hlm: 273-274. 46

    Antonio, M.S. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik,. Jakarta: Gema Insani, 2001.

    hlm.131.

  • 55

    f. Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah,

    dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank

    melalui ATM. Nasabah akan mengembalikan sesuai waktu yang ditentukan.

    g. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil dimana menurut perhitungan

    bank akan memberatkan si pengusaha bila diberi pembiayaan dengan skema

    jual-beli ijarah atau bagi hasil.

    h. Sebagai pinjman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas

    ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus

    Bank akan mengembaliaknnya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.47

    Menurut istilah para ahli fikih, al-qardh adalah memberikan suatu harta

    kepada orang lain untuk dikembalikan tanpa ada tambahan. Al-Qardh (pinjam

    meminjam) hukumnya boleh dan dibenarkan secara syariat. Tidak ada perbedaan

    pendapat di antara para ulama dalam hal ini. Orang yang membutuhkan boleh

    menyatakan ingin meminjam. Ini bukan sesuatu yang buruk, bahkan orang yang

    akan dipinjami justru dianjurkan (mandub). Dalil mengenai hal ini terdapat dalam

    Al-Qur‟an: surat Al-Baqarah ayat 245.48

    Hal ini berarti sangat kental akan nuansa

    prinsip tolong-menolong terhadap sesama manusia yang dianjurkan oleh agama

    Islam untuk mempunyai jiwa sosial.

    Menurut Hukum Syara‟, para ahli fikih mendefinisikan qardh sebagai

    berikut:

    5. Menurut pengikut madzhab Hanafi, Ibn Abidin mengatakan bahwa

    qardh adalah suatu pinjaman atas apa yang dimiliki satu orang lalu

    47

    Sudarsono, H. Bank dan Lembaga Keuangan Syari‟ ah, Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta:, Ekonosia kampus Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta, 2003. Hlm. 82

    48 Al-Bugha, M.D. Fiqh Al-Mu‟awadhah, diterjemahkan oleh Fakhri Ghafur dengan judul

    Buku Pintar Transaksi Syariah. Jakarta: Mizan Publika, 2010. Hlm: 52.

  • 56

    diberikan kepada yang lain kemudian dikembalikan dalam

    kepunyaannya dalam baik hati;

    6. Menurut madzhab Maliki, qardh adalah pembayaran dari sesuatu yang

    berharga untuk pembayaran kembali tidak berbeda atau setimpal;

    7. Menurut madzhab Hanbali, qardh adalah pembayaran uang ke seseorang

    siapa yang akan memperoleh manfaat dengan itu dan kembalian sesuai

    dengan padanannya;

    8. Menurut madzhab Syafi‟i, qardh adalah memindahkan kepemilikan

    sesuatu kepada seseorang, disajikan ia perlu membayar kembali

    kepadanya.

    5. Dasar Hukum Qardh

    Dasar hukum Qardh meliputi:

    5. Al-Qur‟an

    Di dalam surat Al-Hadid ayat 11 Allah berfirman :

    Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang

    baik, Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia

    akan memperoleh pahala yang banyak.” (Q.S. Al-Hadid: 11).49

    Firman Allah Q.S. At-Taghabun ayat 17 :

    49

    Q.S. Al-Hadid: 11

  • 57

    Artinya: “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,

    niscaya Allah melipatgandakan balasannya kepadamu dan mengampuni

    kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (Q.S. Al-

    Taghabun: 17).50

    Firman Allah Q.S. Al-Baqarah ayat 245 :

    Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan pinjaman kepada Allah,

    pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah

    melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan kelipatan ganda yang

    banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Q.S. Al-Baqarah: 245).

    51

    Dalam ayat di atas, Allah SWT menegaskan orang yang memberi pinjaman

    „al-qardh itu sebenarnya ia memberi pinjam kepada Allah SWT, artinya untuk

    membelanjakan harta di jalan Allah. Selaras meminjamkan harta kepada Allah,

    manusia juga diseru untuk meminjamkan kepada sesamanya, sebagai sebagian

    kehidupan bermasyarakat. Kalimat qardhan hasanan dalam ayat 245 surat Al-

    Baqarah tersebut berarti pinjaman yang baik, yaitu infak di jalan Allah. Arti

    lainnya adalah pemberian nafkah kepada keluarga dan juga tasbih serta taqdis

    (pencucian).52

    Hanya satu yang ditekankan dalam pemberian pinjaman di sini, yaitu

    pinjaman yang baik dalam arti dengan niat yang bersih dan baik, hati yang tulus

    serta harta yang halal. Maka meminjamkan kepada Allah adalah Allah

    mengumpamakan pemberian seseorang dengan tulus untuk kemaslahatan

    hambanya sebagai pinjaman kepada Allah SWT, sehingga ada jaminan dari-Nya

    50

    Q.S. Al-Taghabun: 17. 51

    Q.S. Al-Baqarah: 245 52

    Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, 2006. hlm: 498.

  • 58

    bahwa pinjaman itu kelak akan dikembalikan. Selanjutnya karena Allah yang

    meminjam, maka dia akan menjanjikan bahwa Allah akan melipat gandakan

    pembayaran pinjaman itu kepadanya di dunia dan di akhirat, dengan lipat ganda

    yang banyak, seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir dan pada setiap

    butir seratus biji, bahkan lebih dari pada itu.53

    6. Al-Hadist

    Landasan qardh dalam hadits Nabi SAW di antaranya adalah yang

    diriwayatkan Ibnu Majah, Nabi SAW bersabda:

    عي إبي هس عىلَ ى النبى ل لى اهلل عليه وا لن قب هب هي هس لن يقرض هسلوب

    قرضب هرتيي إَلَ اىَ صدقتهب

    Artinya: “Dari Ibn Mas‟ud ra, bahwa Nabi SAW bersabda: Tidaklah seorang

    Muslim memberikan pinjaman kepada orang Muslim lainnya sebanyak dua kali

    pinjaman, melainkan layaknya ia telah menyedekahkan satu kali.” (H.R. Ibnu

    Majah)

    Hadits di atas menjelaskan bahwa memberikan pinjaman kepada orang lain

    yang membutuhkan lebih utama daripada orang yang bersedekah. Allah akan

    lebih banyak melipat gandakan kepada orang yang meminjamkan hartanya di

    jalan Allah dari pada orang yang bersedekah karena seseorang tidak akan

    meminjamkannya jika dia benar-benar membutuhkannya. Dan juga mengajarkan

    bahwa tolong-menolong merupakan salah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan

    dari ajaran Islam untuk selalu memperhatikan sesama Muslim dan memberikan

    pertolongan jika seseorang membutuhkannya, yaitu tolong-menolong dalam

    kebaikan.

    7. Ijma‟

    53

    Shihab, M.Q. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an Vol. 1

    (Jakarta: Lentera Hati. 2003), hlm: 529.

  • 59

    Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan kesepakatan

    ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan

    bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia

    butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari

    kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap

    kebutuhan umatnya.54

    8. Kaidah Fiqih

    Adapun dasar hukum hutang-piutang (qardh) dalam kaidah fikih mu‟amalah

    adalah:

    “Hukum asal dalam semua bentuk mu‟amalah adalah boleh dilakukan

    kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.

    “Setiap pinjaman yang menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama

    dengan riba”55

    Pihak yang meminjami mempunyai pahala sunat. Sedangkan dilihat dari

    sudut peminjam, maka hukumnya boleh, tidak ada keberatan dalam hal itu. Jadi,

    hukum memberi hutang hukumnya sunat malah menjadi wajib, seperti

    mengutangi orang yang terlantar atau yang sangat perlu atau berhajat.56

    6. Rukun dan Syarat Qardh

    c) Rukun Qardh

    Adapun yang menjadi rukun qardh ada tiga, yaitu:57

    4. Shighat Qardh

    54

    Mustofa, I. Fiqih Mu‟amalah Kontemporer Jakarta: Rajaw