perbedaan kontrol diri antara partisipan meditasi … · segala kegiatan yang dilakukannya sebagai...
Post on 20-Mar-2019
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
PERBEDAAN KONTROL DIRI ANTARA PARTISIPAN MEDITASI
WASKITA REIKI DAN NON PARTISIPAN
Retno Andriani Sri Kusrohmaniah
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbedaan kontrol diri antara partisipan meditasi Waskita Reiki dan non partisipan. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbadaan yang signifikan kontrol diri antara partisipan meditasi Waskita Reiki dan non partisipan. Subjek dalam penelitian ini adalah praktisi Waskita Reiki Yogyakarta dan guru SMU Muhammadiyah Purwodadi. Adapun alat ukur yang digunakan adalah skala yang dibuat sendiri oleh peneliti yang berjumlah 58 aitem untuk variabel kontrol diri, mengacu pada teori kontrol diri yang dikemukakan oleh Averill (Sarafino, 1990). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan uji beda Mann Whitney dengan fasilitas program SPSS versi 12,0 untuk menguji apakah terdapat perbedaan yang signifikan kontrol diri antara partisipan meditasi Waskita Reiki dengan non partisipan. Hasilnya menunjukkan Z= -8,009 dan p = 0,000 (p<0,05). Jadi hipotesis penelitian diterima. Kata kunci : Kontrol Diri, Meditasi
2
Latar Belakang Masalah
Arus globalisasi dan modernisasi yang meliputi hampir seluruh bidang
kehidupan manusia menimbulkan perubahan perilaku, gaya hidup dan nilai-nilai
hidup masyarakat. Ada masyarakat yang hidup dalam pola kehidupan modern tanpa
kendali diri, ada pula yang dapat mengendalikan diri dan sadar akan akibat-akibat
negatif dari perkembangan tersebut.
Setiap individu memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu mengatur
dan mengarahkan perilaku yaitu kontrol diri. Seseorang yang bermasalah dengan
pengendalian diri biasanya berasal dari emosi (rasa marah), rasa marah sendiri dapat
berasal dari masalah pekerjaan, waktu luang (tidak ada pekerjaan), keadilan ataupun
situasi sosial yang terkubur (Wahyudi, 1998). Sebagai salah satu sifat kepribadian,
kontrol diri pada satu individu dengan individu yang lain tidaklah sama. Ada
individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi dan ada individu yang memiliki
kontrol diri yang rendah. Individu yang memiliki kontrol diri tinggi mampu
mengubah kejadian dan menjadi agen utama dalam mengarahkan dan mengatur
perilaku yang membawa kepada konsekuensi positif. Suatu perilaku kadangkala
menghasilkan konsekuensi positif akan tetapi juga dimungkinkan menghasilkan
konsekuensi negatif. Oleh karenanya kontrol diri selain berupa kemampuan untuk
mendapatkan konsekuensi positif juga merupakan kemampuan untuk mengatasi
konsekuensi negatif. Setiap individu yang mempunyai kontrol diri tinggi mampu
menginterpretasi stimulus yang dihadapi, mempertimbangkan konsekuensinya
3
sehingga mampu memilih tindakan dan melakukannya dengan meminimalkan akibat
yang tidak diinginkan (Widiana, 2004). Liebert (Wulandari, 1997), mendefinisikan
kontrol diri sebagai kemampuan melawan godaan dan kemampuan menunda
kepuasaan. Kemampuan melawan godaan adalah kemampuan individu untuk
mengikuti aturan-aturan sosial meskipun dalam keadaan terdesak. Bentuk kontrol
diri melibatkan kemampuan menunda kepuasan untuk mencapai hasil (outcome) atau
tujuan yang diinginkan.
Fenomena-fenomena akibat dari kontrol diri rendah banyak terjadi dalam
kehidupan masyarakat. Hilangnya kendali diri dapat menimbulkan berbagai akibat
misalnya korupsi, pembunuhan, bunuh diri dan lain sebagainya. Adapun kasus
bunuh diri (Pikiran Rakyat) yang dibahas oleh Than (2005), ada beberapa penyebab
seseorang melakukan tindakan diluar kendali yaitu dikarenakan frustrasi, adanya
keinginan yang tidak tercapai dan kurangnya kontrol diri. Kekecewaan yang
memuncak mendorong seseorang untuk nekat. Hal ini disebabkan emosi yang
benar-benar diluar kontrol sehingga akal sehat sudah tidak lagi digunakan, yang
terpikir saat itu adalah bagaimana mengakhiri permasalahan yang tengah
menghimpit dengan jalan pintas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Baumeister,
Heatherton & Tice (1994) yaitu dimana seseorang kehilangan kontrol diri yaitu
antara lain tidak bisa menentukan tujuan atau menentukan tujuan yang tidak
mungkin dan menyebabkan seseorang kehilangan kendali dengan tidak
memperhatikan perilakunya sehingga seseorang akan mengalami stres dan merasa
4
lemah. Seseorang perlu untuk dapat menyesuaikan situasi dan perlu melihat tujuan
jangka panjang agar tidak kehilangan kontrol diri. Seseorang cenderung untuk
melepaskan segala perasaan daripada menghilangkan emosi yang ada.
Secara garis besar beberapa ahli memandang bahwa faktor yang mempengaruhi
kontrol diri ada dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Hurlock
(1972), menyatakan faktor internal yang mempengaruhi kontrol diri seseorang
adalah faktor usia dan kematangan. Semakin bertambahnya usia seseorang maka
akan semakin baik kontrol dirinya, individu yang matang secara psikologis juga
akan mampu mengontrol perilakunya karena telah mampu mempertimbangkan mana
hal yang baik dan mana hal yang tidak baik bagi dirinya. Menurut Young
(Wulandari, 1997) kontrol ditentukan oleh kemasakan dalam hubungan dengan
orang lain yang menuntut kebebasan dan tanggung jawab. Maksudnya adalah
bagaimana tindakan individu dikoordinasikan dengan impuls-impuls (dorongan) dan
tuntutan moral dari luar. Dimana menurut Kurtines & Gewirtz (1984) moral
membantu dalam mencapai kesesuaian. Sarafino (1990), menyatakan terdapat dua
faktor eksternal yang mempengaruhi kontrol diri yaitu lingkungan dan pendidikan.
Faktor ekternal lainnya yaitu meditasi, kaitan meditasi dengan emosi dijelaskan oleh
Acaraya (Astiti, 1998) bahwa pengendalian terhadap pernafasan dapat melarutkan
ketegangan seseorang untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi.
Orang dewasa sebagai individu yang berada dalam suatu lingkungan dengan
segala kegiatan yang dilakukannya sebagai manusia individu yang normal, tidak
5
terlepas dari segala macam bentuk perasaan. Pengontrolan diri berkaitan dengan
bagaimana individu mengendalikan emosi dalam dirinya. Semakin berhasil
seseorang menekan ekspresi yang tampak semakin baik pengendalian dirinya. Dari
penjelasan di atas dapat dikatakan, bahwa kemampuan mengontrol diri
memungkinkan seseorang untuk berperilaku lebih terarah dan dapat menyalurkan
dorongan-dorongan dari dalam dirinya secara benar dan tidak menyimpang dari
norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Ada berbagai cara yang dilakukan
seseorang untuk meningkatkan kontrol diri yaitu dengan dzikir, relaksasi, yoga dan
juga meditasi. Dalam kaitannya dengan meditasi, kemampuan mengontrol diri
dapat membantu seseorang mengendalikan diri dan mengatur perilakunya sehingga
mencegah mereka dari perbuatan menyimpang.
Menurut Ornstein (Subandi, 2002), meditasi adalah suatu aktivitas menjaga
perhatian tetap pada satu objek sambil menjernihkan pikiran dengan alasan religius
atau menjadikan pikiran tenang. Pada saat-saat ini banyak tempat yang
menawarkan untuk pelatihan meditasi, salah satu contoh yang memberikan pelatihan
meditasi adalah Waskita Reiki. Selain diberikan latihan meditasi di dalam Waskita
Reiki juga diberikan cara self healing (penyembuhan diri sendiri).
Peranan meditasi terhadap kontrol diri atau pengendalian emosi nampak dari
pengalaman salah satu praktisi Waskita Reiki yaitu Bapak Bambang yang bekerja
dalam lingkungan militer, menuturkan bahwa bekerja di militer beliau merasa
emosinya tidak terkendali, seperti contoh apabila melihat ada ketidakberesan
6
bawahannya dalam melakukan tugas maka beliau melampiaskan dengan memukul
meja, dan juga marah. Akan tetapi setelah mengikuti meditasi beliau merasakan
emosinya dapat terkontrol dengan baik dan lebih bisa menerima apa yang sedang
dihadapi.
Krishna (2001), menjelaskan bahwa ketika seseorang melakukan meditasi
untuk menuju ke keadaan tenang akan mengalami perubahan gelombang otak yang
semula ampiltudo dan frekuensinya tidak teratur, setelah meditasi gelombang otak
menjadi teratur. Ketidakteraturan ini bisa dilihat dengan menggunakan alat EEG
(Electro Encephalo Graphy). Gelombang otak menjadi teratur dikarenakan pada
saat meditasi frekuensi getaran gelombang otak menurun, frekuensi napas menjadi
teratur dan oksigen yang terpakai lebih efisien. Gelombang EEG yang tidak teratur
dan menunjukkan kegelisahan disebut dengan gelombang beta. Dan jika seseorang
mulai mencapai ketenangan, gelombangnya akan berubah menjadi gelombang
alpha. Saat mencapai ketenangan amplitudonya menjadi semakin datar dan
frekuensinya rendah atau semakin jarang. Saat meditasi, ketegangan otak
berkurang sehingga menjadi rileks. Dalam keadaan rileks daya tahan tubuh
meningkat, organ-organ dalam tubuh menciptakan antibodi, enzim-enzim, hormon-
hormon yang dibutuhkan tubuh.
Menurut peneliti, pada kelompok yang melakukan meditasi maka kontrol diri
akan semakin baik dan terarah, dan sebaliknya. Dengan melakukan meditasi,
kontrol diri seseorang bisa kearah yang lebih baik. Seseorang yang melakukan
7
meditasi akan memperoleh ketenangan, sehingga dengan keadaan yang tenang
maka akan membantu seseorang dapat mengendalikan diri, perilaku akan
terkontrol, tidak mudah emosi.
Berdasarkan uraian di atas penulis ingin mengetahui perihal mengenai
perbedaan kontrol diri antara partisipan meditasi dengan non partisipan meditasi,
apakah dengan melakukan meditasi maka kontrol diri seseorang bisa mengarah
lebih baik. Apakah seseorang yang melakukan meditasi kontrol dirinya berbeda
dengan yang tidak melakukan meditasi. Penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian ini, sehingga pertanyaan untuk penelitian ini adalah: “Apakah ada
perbedaan kontrol diri antara partisipan meditasi waskita reiki dan non
partisipan?”.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan kontrol diri antara
partisipan meditasi waskita reiki dan non partisipan.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk mengetahui lebih lanjut adanya perbedaan kontrol diri antara partisipan
meditasi waskita reiki dan non partisipan.
8
b. Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan memberikan sumbangan
bagi pengembangan ilmu psikologi terutama Psikologi Klinis dan Psikologi
Kepribadian.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan atau dasar bagi
seseorang yang ingin mengontrol perilakunya dengan metode meditasi.
9
Kontrol Diri
1. Pengertian Kontrol Diri
Peningkatan kemampuan mengontrol diri menurut Miller (1993) dapat
membuat seseorang menjadi berkurang emosinya dan dapat berbuat lebih baik.
Pemahaman terhadap diri sendiri dan mampu mengenali bagaimana perasaan-
perasaan sendiri dan alasannya. Juga merupakan benteng pertahanan yang mencegah
kita dari kesalahan-kesalahan dan terlibat dalam masalah (Patton, 1998). Kontrol diri
diperlukan guna membantu individu untuk mengatasi kemampuannya yang terbatas
dan membantu individu dalam mengatasi berbagai hal yang merugikan (Kazdin,
1994).
Hurlock (Buletin Penalaran Mahasiswa UGM ,2002) menyebutkan bahwa
kontrol diri adalah suatu kemampuan seseorang mengendalikan emosi serta
dorongan-dorongan dari dalam dirinya. Kontrol diri atau self control juga dapat
didefinisikan sebagai kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri,
kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku
impulsif (Chaplin, 2000).
Tidak semua perilaku menghasilkan konsekuensi positif tetapi juga
konsekuensi negatif. Kontrol diri berguna untuk mengatasi konsekuensi positif dan
konsekuensi negatif. Kontrol diri merupakan suatu perasaan seseorang untuk mampu
membuat keputusan dan mengambil tindakan efektif sehingga menghasilkan akibat
yang diinginkan dan menghindari akibat yang tidak diinginkan Rodin, 1986
(Sarafino, 1990).
10
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa kontrol diri adalah
kemampuan individu untuk memandu, mengarahkan dan mengatur perilakunya dalam
menghadapi stimulus sehingga menghasilkan akibat yang diinginkan dan
menghindari akibat yang tidak diinginkan.
2. Aspek-aspek Kontrol Diri
Menurut Calhoun & Acocella (1990) terdapat tiga aspek mendasar yang
mempengaruhi kontrol diri seseorang yaitu:
a. Membuat pertimbangan terhadap pilihan
Setiap individu dapat membuat pertimbangan terhadap suatu pilihan. Individu
dihadapkan dalam dua pilihan dimana individu harus memilih salah satu dari
piihannya tersebut yang dianggapnya baik atau positif. Dan tidak membuat suatu
pilihan yang tidak baik atau negatif.
b. Memilih salah satu dari dua perilaku
Individu memilih salah satu dari dua perilaku yang menyebabkan konflik,
yang satu menawarkan ganjaran tapi dalam jangka waktu yang lama dan yang lain
menawarkan kepuasan segera. Pada saat dihadapakan pada pemilihan satu dari dua
perilaku tersebut melibatkan sikap tidak impulsif. Impulsif yaitu satu keadaan yang
mempengaruhi atau memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk berbuat.
Dengan melakukan meditasi menyebabkan seseorang tidak impulsif. Karena
dalam meditasi dibutuhkan konsentrasi, kesabaran, dan ketenangan.
c. Memanipulasi stimulus untuk membuat suatu perilaku menjadi lebih mungkin
dilakukan dan perilaku lain kurang mungkin dilakukan.
11
3. Faktor-faktor Kontrol Diri
Sebagaimana faktor psikologis lainnya kontrol diri dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Secara garis besarnya faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri ini terdiri
dari:
1. Faktor Internal
Faktor internal yang mempengaruhi kontrol diri seseorang adalah faktor usia
dan kematangan (Hurlock, 1972). Semakin bertambahnya usia seseorang maka akan
semakin baik kontrol dirinya, individu yang matang secara psikologis juga akan
mampu mengontrol perilakunya karena telah mampu mempertimbangkan mana hal
yang baik dan yang tidak bagi dirinya.
Individu yang memiliki kontrol diri yang baik akan mampu memprioritaskan
segala sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya serta mampu mengendalikan diri dan
pikirannya untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan.
2. Faktor Eksternal
Menurut Sarafino (1990) terdapat dua faktor eksternal yang mempengaruhi
kontrol diri seseorang, yaitu:
a. Lingkungan
Individu yang mengalami stres bisa dipengaruhi lingkungan dimana mereka
tinggal dan berusaha mengurangi stress dengan pengalaman mereka. Dengan kontrol
diri seseorang dapat mengendalikan rasa tertekan.
12
b. Pendidikan
Seperti dikatakan oleh Sarafino (1990), seseorang yang mengikuti pendidikan
non formal seperti pelatihan senam kehamilan dan teknik personal control dalam
menghadapi proses kelahiran. Terlihat perbedaan antara yang mengikuti pelatihan
dan yang tidak mengikuti. Dimana orang yang mengikuti pelatihan, tingkat stresnya
keci dibandingkan dengan yang tidak mengikuti. Hal ini dikarenakan dalam proses
pelatihan di berikan personal control yang berguna untuk mengurangi tingkat stress.
13
Meditasi
1. Pengertian Intensitas Meditasi
Melalui teknik meditasi, setiap pribadi diberi kesempatan untuk meneliti arus
kesadarannya sendiri dan melakukan perubahan-perubahan pada keadaan mentalnya
ke arah yang lebih baik. Watts (1961) bahkan mengakui bahwa ilmu psikologi
terapan yang berkembang di Timur lebih kaya akan pemahaman mengenai manusia
daripada ilmu psikologi di Barat (Hall & Lindzey, 1993).
Meditasi merupakan salah satu bentuk disiplin spiritual yang tengah menjadi
tren masa kini. Meditasi dipercaya dapat memberikan ketenangan pada orang-orang
yang mempraktekkannya. Meditasi yang dilakukan dalam keadaan diam, tanpa
gerak, seperti dalam keadaan tidur mimpi ini menyebabkan aktivitas otot turun
sampai tingkat minimal. Hal-hal tersebut mengindikasikan tercapainya keadaan
rileks. Meditasi secara sederhana bisa dipahami sebagai suatu kegiatan memusatkan
pikiran pada sesuatu (objek nyata atau mental, pernafasan, pikiran-pikiran). Meditasi
menurut tradisi-tradisi yang mengembangkannya dimaksudkan sebagai suatu bentuk
ritual untuk mencapai tujuan-tujuan rohani atau dengan kata lain suatu usaha untuk
mengembangkan spiritualitas para pelakunya.
Perhatian atau konsentrasi saat meditasi bisa difokuskan pada bermacam-
macam objek, sesuatu yang sederhana, konkrit, bersifat eksternal yang bisa kita pilih,
seperti : jambangan, nyala lilin, bagian tertentu dari tubuh, misalnya pusar, atau
proses tertentu yang terjadi dalam tubuh, misalnya pernafasan (Wulff, 1991).
14
Meskipun demikian beragam bentuk dan cara meditasi, inti dari setiap latihan
meditasi adalah konsentrasi, cara pernafasan, dan hal-hal lain yang berbeda-beda, itu
tidak lain tujuannya untuk mendukung upaya konsentrasi pikiran, yang merupakan
tujuan utama dari meditasi (Vivekananda, 1983).
Meditasi dalam literatur psikologi modern merujuk pada sekelompok teknik
atau metode latihan yang digunakan untuk melatih perhatian supaya terpusat
sehingga kesadarannya menyatu dan proses mental dapat terkontrol dengan baik
(Walsh, 1983, dalam Subandi dan Muhana, 1995). Menurut Effendi (2002), meditasi
adalah pengalaman pribadi, inner dialog, jalan menuju diri sendiri, jalan menuju
Tuhan, penyatuan ke hadirat sang Pencipta dan penyatuan diri dengan keabadian.
Meditasi mengacu pada sekelompok latihan untuk membatasi pikiran dan perhatian
(Smith, 1975). Lebih jauh lagi Too (1997) mendefinisikan meditasi sebagai suatu
proses yang bertujuan untuk mempertahankan dan mencapai keadaan relaksasi yang
dapat memperlambat gelombang otak individu dan membawa ke tingkat yang lebih
dalam.
Dari berbagai penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa meditasi
adalah pelatihan pemusatan perhatian secara terarah dan pasif terhadap suatu objek
yang bertujuan untuk mengembangkan dunia internal sehingga menambah kekayaan
makna, meningkatkan kesadaran, pemahaman diri, atau memenuhi tujuan-tujuan
religius. Hal yang paling pokok dari kegiatan meditasi itu adalah bagaimana individu
mampu mengontrol, mengamati, melakukan pemusatan perhatian pada objek-objek
15
tertentu seperti pengamatan terhadap dirinya secara keseluruhan yang bertujuan untuk
mencapai hal-hal tertentu.
2. Efek Pelatihan Meditasi
Wullf (Subandi, 2002) menemukan dari hasil penelitiannya terhadap individu
yang sedang bermeditasi bahwa dari gelombang otak yang direkam dengan EEG
(Electro Encephalograph) menunjukkan munculnya gelombang alpha yaitu
gelombang otak yang terdapat pada kondisi tubuh rileks. Pengukuran pada
eletrocardiagraph menunjukkan penurunan denyut jantung yang drastis, bahkan pada
beberapa yogi mereka dapat mengatur dengan sengaja detak jantungnya sendiri.
Wulff juga menemukan bahwa pernafasan pada para yogi tersebut menurun secara
drastis, bahkan sampai hanya empat kali bernafas dalam satu menit. Mereka juga
lebih banyak menggunakan pernafasan dada. Konsumsi oksigen menurun sampai
hanya tinggal 20% sampai 30% di bawah orang normal yang disertai oleh
menurunnya ketegangan otot.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, yaitu prosedur
penelitian yang menghasilkan data numerical (angka) yang diolah dengan metode
statistika. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah metode skala. Skala
pengukuran yang digunakan adalah Skala Kontrol Diri.
16
Subjek Penelitian
Penulis menggunakan subjek dalam penelitian ini yaitu partisipan meditasi
Waskita Reiki dan non partisipan. Untuk partisipan meditasi penulis menyertakan
para praktisi Yayasan Waskita Reiki Yogyakarta. Partisipan dalam hal ini adalah
orang yang mengikuti pelatihan meditasi. Non partisipan meditasi penulis
menyertakan guru SMU Muhammadiyah Purwodadi. Subjek non partisipan adalah
yang benar-benar tidak pernah mengikuti pelatihan meditasi atau melakukan suatu
latihan dalam bentuk seperti meditasi.
Pembahasan
Data yang didapat dari penelitian ini sebarannya tidak normal dan varian
homogenitasnya homogen sehingga memungkinkan untuk dianalisis menggunakan
analisa statistik Mann Whitney Test.
Subjek untuk paritisipan meditasi dalam penelitian ini memiliki tingkat
kontrol diri yang tinggi. Hal ini dibuktikan dari hasil rerata empirik keseluruhan
subjek adalah 58% (137,98 < X = 183,94). Sedangkan untuk subjek non partisipan
meditasi, dimana rerata empirik keseluruhan subjek sebesar 88% (92,02 < X =
137,98), berarti pada subjek penelitian ini memiliki kontrol diri yang sedang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata empirik kontrol diri partisipan
meditasi penelitian relatif tinggi. Interpretasi teoritis dari hasil penelitian tersebut
adalah bahwa subjek relatif lebih terkontrol, mempunyai pengendalian diri yang baik.
Ini berarti subjek dalam penelitian masih dalam taraf menuju stabil. Sesuai dengan
17
konsep yang dijelaskan oleh Averill (Sarafino,1990) mengenai kontrol diri, yaitu di
dalam kontrol diri tercakup tiga konsep yang berbeda yaitu behavioral control,
cognitive control dan decisional control. Behavioral control didefinisikan sebagai
suatu kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung
mempengaruhi atau memodifikasi karakteristik objektif disuatu keadaan yang tidak
menyenangkan. Dalam hal ini subjek memiliki suatu kemampuan dalam
mengendalikan atau mengatur suatu keadaan atau stimulus baik yang datang dari luar
dirinya. Seseorang yang memiliki kontrol diri yang baik akan mampu mengatur
tindakan berdasarkan suatu keadaan yang masih dapat diubah dan juga subjek
memiliki suatu kemampuan kapan suatu stimulus tidak diinginkan atau dihadapi.
Cognitive control yaitu suatu kemampuan yang dimiliki oleh subjek dalam mengolah
informasi yang tidak diinginkan yang mungkin datang dari suatu cara tertentu sebagai
adaptasi psikologis. Subjek melihat suatu ancaman atau sesuatu yang tidak
diinginkan secara relatif objektif dan juga ancaman tersebut dimodifikasikan melalui
penyesuaian dengan kebutuhan dan ukuran individu tersebut, sedangkan decisional
control merupakan suatu kesempatan yang dihadapi oleh subjek untuk memilih
bermacam-macam pilihan tindakan. Subjek biasanya akan memilih suatu tindakan
yang dilakukan apabila dihadapkan pada suatu pilihan atau keadaan yang sedikitnya
hanya terdapat dua hal yang sama beratnya dan pilihan yang diambil berdasarkan
pada apa yang diyakini atau yang disetujui. Ini dilakukan oleh subjek agar
perilakunya sesuai dengan tuntutan lingkungan disekelilingnya. Rata-rata kontrol
18
diri non partisipan meditasi subjek penelitian relatif sedang. Berarti hal ini tidak jauh
berbeda dengan kontrol diri untuk partisipan meditasi.
Perbedaan tingkat kontrol diri antara partisipan meditasi dan non meditasi
disebabkan oleh kegiatan meditasi yang dilakukan. Kaitan meditasi dengan kontrol
diri melalui proses latihan meditasi dijelaskan oleh Krishna (2001), dikatakan bahwa
inti meditasi ada pada napas. Pernapasan yang diolah dengan baik akan menjaga
ritem jantung dan otak pada getaran yang bisa membuat orang merasa tenang, dengan
pikiran tenang memungkinkan seseorang untuk mencapai kesadaran yang lebih
tinggi. Dengan melakukan meditasi secara teratur akan berpengaruh dalam
menghilangkan sifat pemarah dengan kata lain perilakunya akan lebih terontrol
(Effendi, 2002).
Berdasarkan hasil analisis pada partisipan meditasi dan non partisipan terdapat
perbedaan kontrol diri yang signifikan. Kontrol diri partisipan meditasi lebih tinggi
dibandingkan dengan non partisipan. Ini menunjukkan bahwa seseorang yang telah
mengikuti meditasi maka kontrol dirinya akan semakin baik. Hal ini sesuai dengan
Effendy (2002) yang menyatakan bahwa meditasi dapat meningkatkan EQ (emotional
quotient). Kecerdasan emosi seseorang yang melakukan meditasi akan bisa
menghilangkan sifat pemarah, hidup lebih santai, meningkatkan rasa percaya diri, jika
seseorang dapat menghilangkan sifat pemarah dan dalam berperilakunya teratur juga
tenang maka tiap orang dapat mengontrol perilakunya dengan baik dan tidak selalu
terbawa emosi dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Proses mekanisme
perjalanan sebuah meditasi dapat dijelaskan berdasarkan frekuensi gelombang otak.
19
Terdapat empat jenis gelombang otak yang mempunyai frekuensi berbeda yaitu
gelombang alpha, betha, delta, dan tetha. Saat dalam keadaan santai dan rileks,
masuk ke gelombang alpha yang daerah frekuensinya antara 8 dan 13 Hz. Ketika
seseorang melakukan meditasi maka akan masuk pada gelombang alpha. Seseorang
yang melakukan meditasi, frekuensi getaran gelombang otak turun, napas akan
melambat, dan oksigen yang terpakai hemat. Jika gelombang otak mencapai kea lam
bawah sadar (subconscious mind), gelombang otak akan mendatar. Keadaan ini
dinamakan keadaan homeostatis atau seimbang. Dalam keadaan seimbang, tubuh
akan distimulasi secara alami untuk memproduksi hormon melantonin dan endorphin,
yang bereaksi menghilangkan rasa sakit dan menimbulkan rasa tenang. Seperti yang
dikemukakan Miller (Watson,1984) peningkatan kemampuan mengontrol diri dapat
membuat seseorang menjadi kurang emosional dan berbuat lebih baik.
Seseorang yang tidak mempunyai kontrol diri yang baik biasanya tidak bisa
mengatur perilakunya dan mudah terbawa emosi. Dengan adanya kegiatan meditasi
maka setidaknya seseorang lebih bisa terkontrol emosinya dan lebih tenang dalam
menyelesaikan suatu masalah. Individu akan selalu mencoba mengatasi persoalan
yang dihadapi dengan pikiran yang jernih dan tidak menggunakan emosi untuk
menyelesaikannya (Arinto,2005).
20
Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data menunjukkan bahwa hipotesis
yang diajukan penulisi diterima atau terbukti, karena Z= -8,009 dan p = 0,000 atau p
<0,05, dengan kesimpulan bahwa ada perbedaan yang signifikan dengan kontrol diri
antara partisipan meditasi Waskita Reiki Yogyakarta dan non partisipan.
2. Saran
a. Bagi subjek peneliti
Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipan meditasi lebih mampu
mengontrol diri daripada non partisipan. Mengingat kemampuan pengontrolan diri
pada diri seseorang tidak begitu saja tetapi melalui proses belajar, maka untuk dapat
meningkatkan kemampuan pengontrolan diri, seseorang dapat belajar untuk
mengontrol diri melalui latihan meditasi. Untuk partisipan meditasi harus terus
meningkatkan kontrol dirinya dalam menghadapi persoalan-persoalan dalam
kehidupannya, sehingga bisa menghindari atau meminimalkan hal-hal negatif yang
dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Bagi kelompok non partisipan yang
ingin meningkatkan kontrol dirinya dapat mengikuti pelatihan meditasi.
b. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti lain yang tertarik untuk menggali lebih lanjut mengenai kontrol
diri atau disarankan untuk memperhatikan faktor-faktor lain yang memiliki pengaruh,
baik kepada kontrol diri maupun meditasi. Selain itu, disarankan juga untuk
21
menggunakan metode penunjang lain selain dengan skala pada umumnya, juga
dengan banyak melakukan wawancara untuk memperoleh data yang lebih mendalam.
22
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. 2000. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Berndt, T. J. 1992. Child Development. Orlando : Holt, Rinehart & Winston Inc.p Burger, J. M. 1989. Negative Reaction : to Increase in Percei ved Personal Control. Journal of Personality And Social Psychology 56 (2). 246 – 256. Calhoun, J. F. & Acocella, J. R. 1990. Psychology of Adjusment and Human Relationship. Third Edition. New York. Mc. Graw. Effendi, T. 2001. Aplikasi Reiki. Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputindo. _________. 2002. Meditasi Jalan Meningkatkan Kehidupan Anda. Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputindo. Farradinna, S. 2004. Kontrol Diri Intensitas Merokok Pada Remaja Perokok. Naskah
Publikasi. (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia.
Goleman, D. 1974. Meditation as Metatherapy, dalam John White (Ed). What is
Meditation. New York : Anchor Press. Hadi, S. 2000. Metodologi Research. Yogyakarta : Andi Offset. Hall, C. , Lindzey, G. 1993. Teori-teori Holistik (Organismik- Fenomenologis).
Supratiknya (editor). Yogyakarta : Kanisius. Hidayat, T. 2002. Puasa, Unsur Positif Bagi Kesehatan Jiwa.
http://www.pikiranrakyat.com. Hurlock, E. B. 1973. Adolescent Development. Tokyo : Mc. Graw- Hill, Kogakusha, Ltd. _____________. 1994. Psikologi Perkembangan. Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga. Jupiter. 2005. Kalau Bisa Dipersulit Kenapa Dipermudah. http://jupiter.tblog.com/
artikel. 2 Agustus 2005.
23
Kabare. 2005. Meditasi Bukan Pengobatan Alternatif. Edisi XXXV, Tahun III, Mei 2005.
Kazdin, A. E. 1994. Behavior Modification : In Apllied Setting. Monterey,
California : Cole Publishing Comp. Krishna, A. 2000. Ilmu Medis dan Meditasi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Krisnamurti, J. 1999. Meditasi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Lazarus, R. S. 1976. Paterns Of Adjusment, Tokyo : Mc. Graw- Hill, Kogakusha, Ltd. Logue, A. W. 1988. Research on Self-Control. An intergrating Framework.
Behavioral and Brain Sciences, 11, 665-709. Masyarakat Transparansi Indonesia. 1999. About Corruption.
http://www.transparansi.or.id/about corruption/sebab.html. 20 November 2005.
Miller, J. J. 1993. The Unveiling of Traumatic Memories and Emotions Through
Meditation : Clinical Implications and Three Case Reports. The Journal of Transpersonal Psychology, 25 (2) : 169-180.
Pertiwi, R. S. 2002. Metode Empowering Handwriting Untuk Meningkatkan
Kontrol Diri Pada Remaja Awal. Buletin Penalaran Mahasiswa UGM, 10 (1) : 11-14
Psychological Self Help. 2005. Managing Difficult Behavior.
http://mentalhelp.net/psyhelp/chap4/chap40.htm Sarafino, E. P. 1990. Health Psychology. Bio Psychology Social Interaction . Singapore : John Willey & Sons. Soegoro, R. 2002. Meditasi Tri Loka. Jakarta : Penerbit PT Elex Media
Komputindo. Subandi. 2002. Psikoterapi : Pendekatan Konvensional Dan Kontemporer.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Suryabrata, S. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta : CV. Rajawali.
24
Than, C. 2005. Kurang Kontrol Diri. www.pikiranrakyat.co.id. Minggu, 16 Oktober 2005.
Taniputera, I. 2005. Psikologi Kepribadian. Yogyakarta : Ar- Ruzz Media Vasta, R. Haith, M and Miller, S. A. 1992. Child Psychology ; The Modern
Science. New York. John Willey & Sons. Vivekananda, S. 1982. Raja Yoga. Calcutta : S. Das Gupta At Sun Lithography Co. Wahyudi,H.A. Perbedaan Kestabilan Emosi Antara Mahasiswa Yang Mengikuti Dan
Yang Tidak Mengikuti Teater. Skripsi. (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Waskita Reiki. 2003. Tentang Kami. www.Waskitareikippa.com Widiana, H. S. 2004. Kontrol Diri Dan Kecenderungan Kecanduan Internet.
Humanitas : Indonesian Psychological Journal, 1 (1) : 6-16.
top related