peran asean disabilty forum dalam pengadvokasian...
Post on 13-Apr-2020
17 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERAN ASEAN DISABILTY FORUM DALAM
PENGADVOKASIAN AKSES PENDIDIKAN BAGI
KAUM DISABILITAS DI INDONESIA 2016-2018
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Hayuningtyas Aneswari Pujantoro
11151130000021
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Hayuningtyas Aneswari Pujantoro
NIM : 11151130000021
Program Studi : Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
PERAN ASEAN DISABILITY FORUM (ADF) DALAM PENGADVOKASIAN
AKSES PENDIDIKAN BAGI KAUM DISABILITAS DI INDONESIA 2016-
2018
dan telah memenuhi syarat untuk diuji.
Jakarta, 18 Januari 2019
PENGESAHAN
iv
ABSTRAK
Dalam skripsi penulis meneliti peran ASEAN Disability Forum (ADF)
dalam upaya pengadvokasian guna meningkatkan aksesbilitas pendidikan bagi
kaum disabilitas di Indonesia tahun 2016-2018. Tujuan penelitian ini untuk
mendeskripsikan permasalahan akses pendidikan disabilitas di Indonesia,
mengetahui berbagai kebijakan ADF serta mengidentifikasi hambatan-hambatan
dari pengimplementasian kebijakan tersebut. Penelitian ini dilakukan melalui
wawancara langsung dengan pihak ADF dan studi kepustakaan baik melalui buku,
jurnal dan artikel, maupun data-data lainnya yang menunjang penelitian ini.
Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa Vietnam menjadi negara pertama dengan
penyandang disabilitas tertinggi di Asia Tenggara serta Indonesia menduduki
peringkat ketiga setelah Vietnam dan Singapura. Melihat hal ini, ADF sebagai
satu-satunya organisasi regional yang merepresentasikan kaum disabilitas di Asia
Tenggara, berkewajiban melebarkan tugas dan perannya serta menjamin hak-hak
dasar terutama pendidikan untuk kaum disabilitas agar terpenuhi.
Penelitian ini dimulai pada 2016 ketika ADF melakukan langkah
signifikan yakni mendukung disahkannya Masterplan 2025, yang kemudian akan
menjadi dasar dari berbagai kebijakan untuk kaum disabilitas di negara anggota
ASEAN mulai 2018. Melalui analisa menggunakan teori organisasi internasional
dan hak asasi manusia, diketahui bahwa ADF cukup berupaya dalam memberikan
hak yang setara untuk kaum disabilitas serta cukup berhasil menjalankan peran
organisasi internasionalnya terutama dalam peran arena dan instrumen. Namun
sayangnya, ADF tidak dapat menjalankan peran aktor independen organisasi
internasional secara maksimal karena memiliki tugas yang lebih mendominasi
pada advokasi dan kurang pada pengimplementasian langsung. Hal tersebut dirasa
sangat kurang karena ADF merupakan organisasi utama yang diharapkan dapat
secara signifikan membantu penyetaraan hak untuk kaum disabilitas.
Kata Kunci: ADF, ASEAN, disabilitas, Indonesia, organisasi internasional, hak
asasi manusia, pendidikan.
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin, puji dan syukur selalu penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya. Sholawat dan salam
juga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta dengan
keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peran ASEAN Disability Forum dalam
Pengadvokasian Meningkatkan Aksesbilitas Pendidikan bagi Kaum
Disabilitas di Indonesia 2016-2018”.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tua penulis yang
telah memberikan dukungan moral dan materiil serta selalu mendo’akan penulis,
Bapak Anto Pujantoro Nugroho dan Ibu Misnawati Lily serta Ayah Suparman.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kedua adik penulis, Yuditya Nugroho
yang telah menjadi inspirasi penulis untuk mengangkat topik dalam skripsi ini dan
Nahlan Muhammad. Penulis berdo’a semoga kalian selalu dalam lindungan dan
rahmat Allah SWT. Selama kurun waktu 4-5 tahun menjalani perkuliahan di
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
beberapa pihak dalam maupun luar sivitas UIN Jakarta.
Dengan sepenuh hati dan segenap rasa hormat, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Ibu Riana Mardila S.Sos., MIR selaku dosen pembimbing penulis yang
menyempatkan waktunya untuk terus dengan sabar memberi arahan,
motivasi serta kritik yang membangun dalam penulisan skripsi ini.
2. Bapak Ahmad Alfajri, MAIR selaku Ketua Program Studi Ilmu Hubungan
Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga telah sabar
vi
memberi arahan dan bantuan baik saat konversi nilai WSU maupun ketika
menjadi ketua jurusan dan dosen pembimbing seminar proposal penulis.
3. Bapak Kiky Rizky, M.Si yang turut juga membantu penulis dengan
memberi arahan dan masukan dalam penyusunan penelitian ini saat
seminar proposal.
4. Seluruh Bapak/Ibu dosen pengajar pada Program Studi Ilmu Hubungan
Internasional, serta para karyawan dan staff Program Studi Ilmu Hubungan
Internasional UIN Syarif Hidayatullah yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat.
5. Ibu Wike Devi Erianti selaku Program Manager dari ASEAN Disability
Forum (ADF) yang telah membantu penulis mendapatkan informasi
dengan bersedia diwawancarai mengenai ADF serta segala kebijakannya
dan permasalah kaum disabilitas di Indonesia dan ASEAN.
6. International Studies Club (ISC) serta panitia Java Model United Nations
(JAVAMUN) yang telah memberikan penulis pengalaman organisasi tak
terlupakan serta senantiasa membantu penulis mengembangkan diri,
terutama untuk para senior Kak Astrid, Kak Maulida Ayu, Kak Auzan,
Kak Luthfan, Kak Abib, Kak Aisyah, Kak Ola, Kak Arkan, Kak Ekal, Kak
Yaqub, Kak Zia, maupun angkatan 2015 kebawah seperti Faisal, Syifa,
Nanda, Vinny, Obie, Aul, tim setia Substance JAVAMUN Nida, Indah,
Athir, Elsa, Dina, dan masih banyak lagi yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.
7. Rekan-rekan seperjuangan HI UIN Jakarta 2015 terutama untuk Tami,
Suci, Verenia, Luthfiatul, Wila, Aulia Vinanda, Rifqi Rahman, Fariz
Fauzan, Fazlurrahman, Arif Yanfa, Rizki Hanif serta teman-teman kelas
HI A 2015 “The Dank Team A” yang selalu memotivasi dan memberi
pengetahuan yang sangat banyak kepada penulis.
8. Penulis sangat berterima kasih kepada teman-teman kos Suci, Ve, Nabila
dan Lela yang bersedia penulis tumpangi kosannya selama waktu
perkuliahan, serta tim kos Upi, Aul dan Wila atas ketersediannya
menampung saya selama satu minggu bahkan lebih di kossannya.
vii
9. Teman-teman KKN 191 MASAJUANG terutama Umi, Asry, Dayat, Dwi,
Lani, Dila, Ana, Didim, Lutfi, Ahmad, Wahyu, Haikal, Fatih, Tian dan
lainnya. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-
teman organisasi lainnya seperti AIESEC dan lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, atas pengetahuan yang diberikan pada penulis.
10. Terima kasih juga saya ucapkan pada tim Biru Marmara Group/MUSIAD
Indonesia, Ust. Doddy Cleveland H.P., Ust. Azhar, Pak Achmal, Pak Riki,
Pak Annas, Mas Furkan, Mba Wulan, Mas Aufar, Mba Awa, Mba Intan,
Mba Lika, Mba Eka, Mas Fatih, Mba Yena, Nisa dan Febi, yang memberi
penulis kesempatan untuk kerja sambil kuliah dan terima kasih untuk
pengertiannya mengizinkan penulis untuk mengikuti kelass dan
menyelesaikan skripsi.
11. Teman-teman baik saya terutama Hayara Khairia, Asry Kaloko, Nunung
Fildayanti, Rahmat Rizki dan Nur Hidayat yang senantiasa menemani
serta memberi motivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
12. Mitra ojek online seperti GO-JEK dan GRAB yang senantiasa membantu
mempermudah perjalanan penulis menuju kampus maupun kantor, bahkan
mendo’akan agar urusan perkuliahan penulis mendapat kemudahan.
Penulis berharap bahwa semoga bentuk dukungan dan kebaikan
hati tersebut mendapatkan balasan setimpal dari Allah SWT. Penulis
menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna, untuk itu, kritik dan saran dari berbagai pihak akan
sangat membantu penulis dalam memperbaiki penelitian skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberi manfaat bagi yang
membacanya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 16 Januari 2020
Hayuningtyas Aneswari Pujantoro
viii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .............................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI .......................................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .......................................................................................... ii
ABSTRAK ............................................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR............................................................................................................................. v
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ viii
DAFTAR GRAFIK ..................................................................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
A. Pernyataan Masalah ........................................................................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian ...................................................................................................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................................................... 10
D. Tinjauan Pustaka .......................................................................................................................... 11
E. Kerangka Pemikiran ...................................................................................................................... 14
1. Konsep Organisasi Internasional ................................................................................................ 14
2. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) ........................................................................................... 21
F. Metode Penelitian ......................................................................................................................... 23
G. Sistematika Penulisan ................................................................................................................... 24
BAB II ASEAN DISABILITY FORUM ............................................................................................. 26
A. Respon ASEAN pada Isu Disabilitas ............................................................................................ 26
B. ASEAN Disability Forum ............................................................................................................. 33
C. Upaya ADF dalam Mempromosikan Hak Kaum Disabilitas di Negara Anggota
ASEAN ............................................................................................................................................. 40
BAB III ISU DISABILITAS ............................................................................................................... 47
A. Respon Masyarakat Internasional terhadap Isu Disabilitas............................................................. 47
1. Isu Disabilitas di Perserikatan Bangsa-Bangsa ........................................................................... 47
2. Isu Disabilitas di Asia Tenggara................................................................................................. 52
B. Isu Disabilitas di Indonesia ........................................................................................................... 54
ix
C. Upaya Pemerintah dalam Meningkatkan Aksesibilitas Pendidikan Kaum Disabilitas
2016-2018 ......................................................................................................................................... 60
BAB IV PERAN ASEAN DISABILITY FORUM DALAM PENGADVOKASIAN
AKSES PENDIDIKAN BAGI KAUM DISABILITAS DI INDONESIA 2016-2018 ........................ 65
A. Peran ADF dalam Pengadvokasian Akses Pendidikan bagi Kaum Disabilitas di
Indonesia 2016-2018 ......................................................................................................................... 65
1. Peran ADF sebagai Arena Organisasi Internasional dalam Pengadvokasian Akses
Pendidikan bagi Kaum Disabilitas di Indonesia 2016-2018 ............................................................ 65
2. Peran ADF sebagai Instrumen Organisasi Internasional dalam Pengadvokasian
Akses Pendidikan bagi Kaum Disabilitas di Indonesia 2016-2018 .................................................. 71
3. Peran ADF sebagai Aktor Independen Organisasi Internasional dalam
Pengadvokasian Akses Pendidikan bagi Kaum Disabilitas di Indonesia 2016-2018 ........................ 75
B. Hambatan ADF dalam Pengadvokasian Akses Pendidikan bagi Kaum Disabilitas ......................... 77
1. Kurangnya Perhatian Mengenai Isu Disabilitas di Indonesia....................................................... 77
2. Kurangnya Peran ADF di ASEAN dan Media Sosial ................................................................. 80
BAB V PENUTUP ............................................................................................................................... 88
A. Kesimpulan .................................................................................................................................. 88
B. Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya ................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... xix
LAMPIRAN ...................................................................................................................................... xxvi
x
DAFTAR GRAFIK
Grafik III. 1. Jenis Perundang-undangan Disabilitas di Indonesia ....................... 57
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Teks Wawancara .......................................................................... xxvi
Lampiran 2 Teks Wawancara ........................................................................ xxxix
xii
DAFTAR SINGKATAN
ACWC ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights
of Women and Children
ADF Asean Disability Forum
AEC ASEAN Economic Community
AHRD ASEAN Human Rights Declaration
AICHR The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights
APF ASEAN People’s Forum
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APSC ASEAN Political Security Community
ASCC ASEAN Socio Cultural Community
ASCCO Coordinating Conference for the ASEAN Political-Security
Community
ASEAN Association of Southeast Asian Nations
ASN Aparatur Sipil Negara
BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BPS Badan Pusat Statistik
CRPD Convention on the Rights of Persons with Disabilities
CEDAW The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
against Women
CBR Community-Based Rehabilitation
CRC UN Convention on the Rights of of the Child
CSO Civil Society Organization
CAT Computer Assisted Test
Dikti Pendidikan Tinggi
DPA Disabled Peoples’ Association
DPI Disabled Peoples’ Institution
xiii
DPO Disabled People Organization
DPIAP Disabled Peoples’ International Asia-Pacific
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
FEB Fakultas Ekonomi dan Bisnis
FGD Focus Group Discussion
FKPCTI Federasi Kesejahteraan Penyandang Cacat Tubuh Indonesia
FNKDI Federasi Nasional Kesejahteraan Disabilitas Intelektual
FNKTRI Federasi Nasional Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia
GERKATIN Gerakan Kaum Tuli Indonesia
GO Governmental Organization
GPK Guru Pendamping Khusus
HAM Hak Asasi Manusia
HDI Hari Disabilitas Internasional
HWDI Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia
ICJ International Court of Justice
IGO International Governmental Organization
INGO International Non-Governmental Organization
ILO International Labour Organization
IPTEK Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Kemensos Kementerian Sosial
Kemlu Kementerian Luar Negeri
Kemnaker Kementerian Ketenagakerjaan
KIA Kartu Identitas Anak
Komnas Komisi Nasional
KPD Kartu Penyandang Disabilitas
KTP Kartu Tanda Penduduk
KTT Konferensi Tingkat Tinggi
xiv
LPEM Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat
Monas Monumen Nasional
MDG Millenium Development Goals
NGO Non-governmental Organization
NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia
OECD Organisation for Economic Cooperation and Development
OHANA Organisasi Harapan Nusantara
OIC Organization of Islamic Cooperation
OOSCY ASEAN Declaration on Strengthening Education for Out-of-School
Children and Youth
OPEC The Organization of the Petroleum Exporting Countries
OPD Organisasi Penyandang Disabilitas
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
Perbara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
Permensos Peraturan Menteri Sosial
Pokja UU Kelompok Kerja Undang-undang
PP Peraturan Pemerintah
PPCI Persatuan Penyandang Cacat Indonesia
PPDI Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia
PUSDATIN Pusat Data dan Informasi
Riskesdas Riset Kesehatan Dasar
Ristekdikti Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
RIPID Rencana Induk Pembangunan Inklusif Disabilitas
RPP Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
SAKERNAS Survei Angkatan Kerja Nasional
SD Sekolah Dasar
SDG Sustainable Development Goals
xv
SIM Surat Izin Mengemudi
SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah
SLB Sekolah Luar Biasa
SMA Sekolah Menengah Atas
SNMPTN Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
SOMSWD Senior Officials Meeting on Social Welfare and Development
STNK Surat Tanda Nomor Kendaraan
UIN Universitas Islam Negeri
UNESCAP United Nations Economic and Social Commission for Asia and the
Pacific
UNESCO United Nations Economic and Social Council
UKM Usaha Kecil dan Menengah
UNMUL Universitas Mulawarman
UPIAS Union of the Physically Impaired against Sagregation
UU Undang-undang
UUD Undang-undang Dasar
WHO World Health Organization
YAI Yayasan Autisma Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Konsep keamanan internasional pasca Perang Dingin kini tidak sekedar
meliputi perang, militer, dan negara sebagai aktor utamanya. Saat ini, konsep
keamanan juga berkonsentrasi pada dimensi non-tradisional. Keamanan non-
tradisional tersebut berputar pada masyarakat dimana kelangsungan sosial-
ekonomi menjadi perhatian utama. Konsep keamanan non-tradisional ini juga
didefinisikan sebagai konsep human security.1 Dalam laporan The United Nations
Human Development Report tahun 1990, Mahbub ul-Haq menyatakan bahwa
proses pembangunan seharusnya lebih fokus kepada manusia daripada sekedar
keamanan batas negara, dan juga fokus kepada peningkatan taraf kesehatan,
pendidikan, dan kebebasan politik.2 Dengan hadirnya konsep human security, isu-
isu konvensional seperti hak asasi manusia, kesehatan, pendidikan, dan
lingkungan, mulai mendapat perhatian lebih dari komunitas internasional.
Meskipun isu-isu non-konvensional kini marak menjadi perhatian berbagai negara,
isu disabilitas masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat internasional dan
tidak terlalu terdengar apabila dibandingkan isu-isu minoritas lainnya seperti isu
buruh migran, maupun isu perempuan.
1 “Traditional and Non-traditional Issues in Foreign Policy”, Shodhganga Indian Electronic Thesis & Dissertations, 22 http://shodhganga.inflibnet.ac.in/bitstream/10603/29666/9/09_chapter%202.pdf diakses pada 21 Oktober 2018. 2 Gary King dan Christopher J.L. Murray, 2013, Rethinking Human Security, Political Science Quarterly, 587. https://doi.org/10.2307/798222
2
Dalam merespon isu non-konvensional serta mempererat integrasi antar
kesepuluh negara di Asia Tenggara, pada akhir 2015, ASEAN membentuk tiga
pilar utama pembangunan kawasan, yakni APSC (ASEAN Political Security
Community), AEC (ASEAN Economic Community), dan ASCC (ASEAN Socio
Cultural Community). Pada pilar ASCC, salah satu dari 18 sektor yang
diprioritaskan dalam blueprint pilar tersebut adalah sektor pembangunan dan
kesejahteraan sosial yang mana kerjasama dalam sektor tersebut difokuskan pada
pemenuhan hak dan akses yang setara bagi kelompok rentan (vulnerable groups)
seperti wanita, anak-anak, lansia, dan kaum penyandang disabilitas. 3 Bali
Declaration on the Enhancement of the Role and Participation of the Persons
with Disabilities in ASEAN Community merupakan salah satu bentuk
implementasi kerangka kebijakan dalam sektor pembangunan dan kesejahteraan
sosial yang tertera pada blueprint ASCC. Deklarasi tersebut dibuat sebagai bukti
nyata keseriusan ke-10 negara anggota ASEAN termasuk Indonesia, dalam
menjamin pemenuhan hak-hak dasar kaum penyandang disabilitas di Asia
Tenggara sebagai salah satu anggota vulnerable groups yang kerap menjadi objek
diskriminasi sosial.4
3 ASEAN 2012 dikutip dalam Alkadrie, Jafar Fikri dan Jeniar Mooy, 2016, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, Dinamika Global Volume 01 No. 2, 59. 4 ASEAN 2011 dikutip dalam Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 60.
3
Menurut World Health Organization (WHO), disabilitas merupakan istilah
bersama untuk mendefinisikan keterbatasan meliputi gangguan, keterbatasan
aktivitas, dan keterbatasan partisipasi. Gangguan didefinisikan sebagai masalah
dalam fungsi atau struktur tubuh; Keterbatasan aktivitas adalah kesulitan yang
dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan; sementara
keterbatasan partisipasi adalah masalah yang dialami oleh seorang individu yang
terlibat dalam situasi kehidupan. Namun demikian, penyandang disabilitas
memiliki kebutuhan kesehatan yang sama dengan orang yang tidak cacat – untuk
imunisasi, skrining kanker, dan lain-lain.5 Indonesia sendiri juga memiliki definisi
penyandang disabilitas yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016,
yang mendefinisikan disabilitas sebagai setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama
yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan
kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara
lainnya berdasarkan kesamaan hak.6
Lebih dari satu milyar orang, hidup dengan disabilitas atau sekitar 15%
populasi masyarakat dunia, data nominal tersebut berdasarkan hasil pengukuran
populasi global 2010. Angka ini lebih tinggi dari perhitungan WHO pada tahun
1970an yang menghitung sebesar 10%.7 Berdasarkan ESCAP Disability Survey
2015, New Zealand berada diposisi paling atas, dengan angka populasi kaum
5 WHO, World Health Organization: Disabilities. http://www.who.int/topics/disabilities/en/ diakses pada 21 Oktober 2018 6 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. http://pug-pupr.pu.go.id/_uploads/PP/UU.%20No.%208%20Th.%202016.pdf diakses pada 21 Oktober 2018 7 WHO, WHO Disability Survey, 2011, 7. http://www.who.int/disabilities/world_report/2011/report/en/ diakses pada 21 Oktober 2018.
4
disabilitas dari seluruh negara sebesar 24%, peringkat kedua ditempati oleh
Australia dengan 10,5%. Pada kawasan Asia Tenggara, Vietnam menempati
peringkat teratas dengan angka 7,8%. Timor Leste berada pada urutan kedua
sebesar 4,6%, Singapura 3,0%, Indonesia 2,5%, Myanmar 2,3%, Thailand 2,2%,
Kamboja 2,1%, Brunei Darussalam 1,9%, Filipina 1,6%, Malaysia 1,3%, dan
Laos 1,0%.8 Dilihat dari survei tersebut, dapat disimpulkan bahwa, Indonesia
berada pada urutan ke-3 negara dengan kaum disabilitas terbanyak untuk negara
anggota ASEAN.9
ASEAN Disability Forum (ADF) merupakan badan kolektif regional untuk
organisasi kaum disabilitas yang dibentuk pada 2011 dan merepresentasikan
seluruh anggota ASEAN, seperti Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia,
Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Forum ini merupakan
platform kaum disabilitas dan multi-stakeholders untuk mempromosikan dan
mengimplementasikan the ASEAN Decade of Persons with Disabilities 2011-2020.
Sekretariat ADF berlokasi di Jakarta, Indonesia. ADF bekerja dalam seluruh area,
terutama pengembangan kapasitas kaum disabilitas dan membentuk ASEAN yang
lebih adil dan inklusif. Fokus ADF diutamakan untuk mendukung formulasi
kebijakan disabilitas yang inklusif dan implementasinya di wilayah Asia Tenggara.
8 ESCAP Disability Survey 2015 dikutip dalam United Nations ESCAP (Economic and Social Commissions for Asia and the Pacific, Disability at Glance 2015: Strengthening Employment Prospects for Persons with Disabilities in Asia and the Pacific, 4. https://www.unescap.org/sites/default/files/SDD%20Disability%20Glance%202015_Final.pdf diakses pada 21 Oktober 2018. 9 ESCAP Disability Survey 2015 dikutip dalam Disability at Glance 2015, 4.
5
Setiap tahunnya, ADF mengorganisir konferensi guna meningkatkan kesadaran
dan isu kaum disabilitas di Asia Tenggara.10
ADF memiliki misi untuk menyatukan kaum disabilitas di wilayah
ASEAN guna mempercepat realisasi Convention on the Rights of Persons with
Disabilities (CRPD), dengan meningkatkan kesadaran mengenai hak kaum
disabilitas sebagai isu hak asasi manusia (HAM). Mendukung pengembangan
kebijakan dan advokasi yang berbasis nyata mengenai disabilitas dan
pengembangan inklusif dari perspektif hak asasi manusia; Advokasi pemerintahan
negara-negara ASEAN yang strategis, media, pelaku bisnis, non-governmental
organizations (NGOs) dan pemangku kepentingan lainnya dalam multi CRPD,
disabilitas, dan pembangunan.11
Meskipun ADF memiliki misi untuk meningkatkan kesadaran hak kaum
disabilitas, hal ini dinilai belum maksimal. Pasalnya, masih banyak penyandang
disabilitas yang belum bisa mendapatkan akses terhadap hak-hak fundamentalnya,
seperti kehidupan dan pekerjaan yang layak serta pengakuan dari lingkungan
sosialnya.12 Taraf hidup para penyandang disabilitas pun masih terbilang rendah,
hal ini disebabkan oleh keterbatasan dalam mendapatkan akses pendidikan yang
memadai terutama hingga ke perguruan tinggi meskipun telah dijamin dalam
Pasal 31 Undang Undang Dasar 1945. Kurangnya infrastruktur pendukung,
10 ASEAN Disability Forum, 2014, The 4th ASEAN Disability Forum Report. https://www.themimu.info/sites/themimu.info/files/documents/Report_ASEAN_Disability_Forum_2014.pdf diakses pada 21 Oktober 2018. 11 ASEAN Disability Forum, ASEAN Disability Forum. http://aseandisabilityforum.org/digaleri/ diakses 18 April 2019 12 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 60.
6
perhatian pemerintah, dan pemahaman masyarakat akan potensi kaum disabilitas
di Indonesia menjadi hambatan akses pendidikan untuk kaum disabilitas. ADF
sebagai satu-satunya forum disabilitas untuk negara ASEAN, membutuhkan
langkah kongkrit serta aplikatif yang akan membantu mengoptimalkan perbaikan
kehidupan khususnya akses terhadap pendidikan bagi kaum disabilitas di Asia
Tenggara.13
Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik 2016 menunjukkan,
dari 4,6 juta anak yang tidak menempuh pendidikan formal, satu juta diantaranya
adalah anak-anak berkebutuhan khusus. 14 Selama ini, penyelenggaraan
pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus atau anak dengan disabilitas
lebih banyak dilakukan di satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa
(SLB). Padahal, tidak semua daerah di Indonesia memiliki SLB. Data
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan, dari total 514
kabupaten/kota di Indonesia, 62 di antaranya tidak memiiki SLB. Selain itu, hanya
1,6 juta atau sekitar 10% anak berkebutuhan khusus di Indonesia yang bersekolah
di SLB15 dan baru 18% yang mendapatkan layanan pendidikan inklusi.16 Project
Manager Yayasan Sayangi Tunas Cilik Wiwied Triesnadi menyatakan ada
beberapa penyebab yang melatari persoalan tersebut. Sekitar 2.000 SLB yang ada
13 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 60. 14 Olyvia Filani, “Satu Juta Anak Berkebutuhan Khusus Tak Bisa Sekolah”, 2017, CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170829083026-20-237997/satu-juta-anak-berkebutuhan-khusus-tak-bisa-sekolah diakses pada 21 Oktober 2018 15 Filani, “Satu Juta Anak Berkebutuhan Khusus Tak Bisa Sekolah”. 16 Kementerian dan Kebudayaan RI, 2017, Sekolah Inklusi dan Pembangunan SLB Dukung Pendidikan Inklusi. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/02/sekolah-inklusi-dan-pembangunan-slb-dukung-pendidikan-inklusi diakses pada 21 Oktober 2018.
7
di Indonesia, 75% merupakan SLB swasta yang menarik biaya lebih mahal. Selain
itu, penyebaran SLB menurut Triesnadi juga sangat terbatas. Lokasi SLB pada
umumnya berada di daerah perkotaan. Hal ini berdampak pada akses pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus.17
Pada praktiknya, ADF banyak memfasilitasi pertemuan-pertemuan formal,
seminar maupun diskusi yang dilakukan dalam ruangan tertutup dengan konsep
yang formal untuk membahas hak-hak kaum penyandang disabilitas dalam
melaksanakan fungsinya. 18 Namun, program-program tersebut terasa belum
maksimal dalam memperjuangkan HAM penyandang disabilitas dikarenakan
sifatnya yang terkesan sangat kaku dan formal. Selain itu, program-program yang
dicanangkan ADF masih terbatas pada mekanisme government to government
sehingga pencapaian kerjanya masih terbatas pada berbagi informasi, pengetahuan,
serta diskusi-diskusi terkait berbagai kendala yang dihadapi dalam proses
pemenuhan hak-hak dasar kaum disabilitas di negara anggota ASEAN.19
ADF belum pernah secara langsung menginisiasi suatu langkah strategis
yang bersifat solutif dan dapat ditempuh negara-negara ASEAN guna
meningkatkan kesadaran masyarakatnya. Seharusnya, suatu institusi dapat
memberikan serangkaian manfaat bagi negara anggotanya. ASEAN tidak hanya
berperan memfasilitasi pertemuan dan pertukaran antar negara di kawasan Asia
17 Filani, “Satu Juta Anak Berkebutuhan Khusus Tak Bisa Sekolah”. 18 Disabled Peoples’ International-Asia Pacific/DPI-AP Region dikutip dalam Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 69. 19 Disabled Peoples’ International-Asia Pacific/DPI-AP Region dikutip dalam Alkadrie dan Mooy, 2016, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 69.
8
Tenggara, lebih dari itu, diharuskan mampu berkontribusi dalam pemenuhan hak-
hak seluruh masyarakat ASEAN termasuk kelompok yang termarginalkan seperti
kaum penyandang disabilitas. Namun, realita di lapangan menunjukkan
pembentukan serta upaya ADF dirasa belum menghasilkan dampak yang
signifikan terhadap perbaikan taraf hidup kelompok disabilitas. Kegiatan serta
program yang dilakukan ADF masih cenderung mengarah pada kegiatan formal
dengan mekanisme top-bottom yang bertujuan untuk meningkatkan penyadaran
akan pentingnya pemenuhan hak-hak dasar kaum penyandang disabilitas. 20
Mekanisme top-bottom ini tidak selalu berjalan lancar. Hal tersebut dikarenakan
para stakeholder belum mampu menyebarluaskan nilai-nilai yang telah
didiskusikan dalam ADF karena berbagai kendala, salah satunya ialah pemerintah
masih cenderung fokus pada isu-isu dalam negeri yang dianggap lebih vital
seperti permasalahan ekonomi dan kestabilan politik.21
Maka, untuk mengetahui peran ADF dalam pengadvokasian akses
pendidikan bagi kaum disabilitas di Indonesia, dalam penelitian ini akan dibahas
dengan judul: “Peran ASEAN Disability Forum dalam Pengadvokasian Akses
Pendidikan bagi kaum Disabilitas di Indonesia 2016-2018”. Isu akses pendidikan
bagi kaum disabilitas dipilih karena telah menjadi isu internasional, namun,
kurang disorot dunia internasional itu sendiri, termasuk ASEAN. Selain itu, ADF
sebagai organisasi internasional dipilih karena secara khusus karena
20 ASEAN Disability Forum dikutip dalam Disabled Peoples’ International-Asia Pacific/DPI-AP Region dikutip dalam Alkadrie dan Mooy, 2016, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 69. 21 Disabled Peoples’ International-Asia Pacific/DPI-AP Region dikutip dalam Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 69.
9
merepresentatifkan kaum disabilitas serta organisasi yang berfokus pada bidang
tersebut di ASEAN. Riset ini juga berfokus pada metode pengadvokasian ADF
dikarenakan cara tersebut menjadi cara utama ADF untuk membantu kaum
disabilitas memperoleh hak pendidikannya.
B. Pertanyaan Penelitian
Dari penjelasan mengenai latar belakang permasalahan akses pendidikan
di Indonesia pada 2016-2018 masih sulit didapatkan oleh kaum disabilitas. Hal
tersebut menunjukkan bahwa ADF dalam menjalankan fungsinya sebagai
Organisasi Internasional guna memenuhi HAM bagi masyarakat dengan
disabilitas masih belum optimal dan efektif. Adapun pertanyaan penelitian dalam
penelitian ini yaitu:
Bagaimana peran ASEAN Disability Forum dalam pengadvokasian akses
pendidikan bagi kaum disabilitas di Indonesia periode 2016-2018?
Periode 2016-2018 ditentukan karena The Task Force on the
Mainstreaming of the Rights of Persons with Disabilities in the ASEAN
Community (Task Force) yang diinisiatifkan oleh ADF sebagai badan gabungan
dan antar pilar yang beranggotakan perwakilan dari The ASEAN
Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), sepuluh pemimpin
Senior Officials Meeting on Social Welfare and Development (SOMSWD), dan
dua representatif dari the ASEAN Commission on the Promotion and Protection of
the Rights of Women and Children (ACWC) memiliki mandat untuk
mencanangkan pembentukan Enabling Masterplan 2025: Mainstreaming the
10
Rights of Persons with Disabilities22 pada 201623 sebagai acuan negara anggota
ASEAN agar menjadi wilayah yang disabled-people friendly, dan baru
direalisasikan pada 15 November 2018. 24 Dengan adanya Masterplan ini
diharapkan ADF telah atau memiliki langkah-langkah yang signifikan dalam
pengadvokasian guna membantu peningkatan akses pendidikan kaum penyandang
disabilitas di ASEAN, terutama di Indonesia.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendiskripsikan permasalahan akses pendidikan bagi kaum disabilitas
khususnya di Indonesia
2. Mengetahui bagaimana kebijakan ASEAN Disability Forum sebagai badan
regional khusus mengarustamakan isu disabilitas dengan cara pengadvokasian
akses pendidikan kaum disabilitas di Indonesia.
3. Mengidentifikasi hambatan-hambatan yang terjadi pada ASEAN Disability
Forum dalam pengupayaannya mengadvokasikan akses pendidikan kaum
disabilitas di Indonesia.
22 ASEAN, 2016, ASEAN Enabling Masterplan 2025: Mainstreaming the Rights of Persons with Disabilities Adopted at the 33rd ASEAN Summit, 3. 23 ASEAN, 2016, First Meeting of the Task Force on the Mainstreaming of the Rights of Persons with Disabilities in the ASEAN Community, 5-6 December 2016, Bangkok, Thailand. https://asean.org/8th-meeting-task-force-mainstreaming-rights-persons-disabilities-asean-community-14-15-september-2018-bangkok-thailand/ diakses 1 Maret 2019. 24 Election Access, “ASEAN Launches Disability Mainstreaming Materplan”, 2018, electionaccess.org, http://electionaccess.org/en/media/news/80/ diakses 1 Maret 2019
11
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Memberikan pengaruh yang signifikan terhadap khazanah penelitian
selanjutnya terkait isu hak asasi kaum disabilitas.
2. Memberikan wawasan tambahan bagi akademisi maupun masyarakat awam
mengenai isu disabilitas serta bagaimana suatu organisasi atau badan internasional
berupaya menyelesaikan masalah tersebut.
3. Mampu menjadi bahan acuan maupun perbandingan bagi penelitian yang akan
datang.
D. Tinjauan Pustaka
Terdapat studi terdahulu untuk mencari informasi mengenai isu
peningkatan akses pendidikan untuk kaum disabilitas. Dalam upaya menganalisa
poin pertanyaan skripsi ini, penelitian ini merujuk pada beberapa penelitian terkait.
Diharapkan, dengan merujuk pada penelitian sebelumnya, skripsi ini mampu
melengkapi penelitian yang telah ada. Pertama, artikel berjudul Optimalisasi
Peran ASEAN Disability Forum (ADF) dan Akses Pendidikan bagi Kaum
Penyandang Disabilitas ditulis oleh Jafar Fikri Alkadrie dan Jeniar Mooy. Artikel
tersebut membahas mengenai kondisi pendidikan kaum disabilitas di negara
anggota ASEAN serta peran dan performa ADF juga kontribusinya pada kaum
disabilitas di Asia Tenggara.
Kedua penulis tersebut menjabarkan kondisi lapangan, hambatan serta
memberikan masukan aksi yang dapat mengoptimalkan program ADF sesuai
12
dengan tujuan organisasi tersebut. Menurut mereka, tugas ADF masih terbilang
sangat terlimitasi, karena organisasi ini hanya memberikan masukan atau sebagai
advokasi antara kaum disabilitas dengan pemangku jabatan guna merumuskan
kebijakan yang berkaitan dengan kaum disabilitas. Alkadrie dan Mooy kemudian
memberikan masukan berupa sistem bottom-top guna mengoptimalkan kinerja
ADF, sehingga tidak hanya berfokus pada tingkat elit.
Persamaan penelitian ini dengan artikel tersebut terletak pada isu yang
dikaji yakni pendidikan bagi kaum disabilitas dan bagaimana peran ASEAN
Disability Forum. Perbedaannya adalah artikel tersebut mengobservasi hambatan
ADF dalam mengoptimalkan programnya pada masa organisasi tersebut baru
terbentuk yaitu 2011 serta memberikan gambaran umum kinerja ADF di seluruh
negara anggota ASEAN. Selain itu, penelitian Alkadrie dan Mooy tidak berfokus
pada suatu metode khusus ADF dalam menangani isu disabilitas, sedangkan
penelitian ini berfokus pada metode advokasi ADF untuk menjamin hak kaum
disabilitas. Perbedaan lainnya terletak pada tahun penelitian, yakni ditetapkan
pada 2016-2018 dimana pada tahun tersebut ASEAN mulai merencanakan dan
meresmikan pembentukan Enabling Masterplan 2025: Mainstreaming the Rights
of Persons with Disabilities.
Kedua, artikel berjudul Pengaruh ASEAN Disability Forum Terhadap
Pengembangan Ekonomi Penyandang Disabilitas di Indonesia ditulis oleh
Demeiati Nur Kusumaningrum, Olivia Afina, Riska Amalia Agustin, dan Mega
Herwiandini. Penelitian tersebut berfokus pada bagaimana ADF menyelesaikan
permasalahan kesempatan kerja bagi kaum disabilitas guna meningkatkan taraf
13
hidup mereka. Persamaan artikel tersebut dengan penelitian in adalah negara dan
organisasi yang dikaji, yaitu Indonesia dan ASEAN Disability Forum. Sedangkan
perbedaannya terletak pada isu yang dikaji, artikel yang ditulis Kusumaningrum
dkk. berfokus pada pengembangan ekonomi dan kesempatan kerja untuk kaum
disabilitas. Penelitian ini mengkaji peran ADF dalam pengadvokasian akses
pendidikan kaum disabilitas guna mengoptimalkan penyeteraan hak asasi manusia
untuk kelompok marginal tersebut.
Selain kedua artikel tersebut, penelitian ini juga menggunakan skripsi yang
telah ada guna menunjang penelitiannya. Skripsi berjudul “Pengaruh CRPD
(Convention on the Right of Person with Disabilities) terhadap Pemenuhan Hak-
Hak Kaum Disabilitas di Indonesia” disusun oleh Dian Sugiarti, mahasiswi
Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang pada tahun 2014.
Penelitiannya dibatasi pada bagaimana Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas memenuhi hak dasar kaum disabilitas dengan fokus negara di
Indonesia. Persamaan penelitian Dian dengan penelitian ini terletak pada isu serta
negara yang menjadi fokus penelitian, yaitu isu disabilitas atau disabilitas dan
Indonesia. Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek yang menjadi fokus
kajian. Penelitian Dian mengkaji aspek bagaiamana Konvensi mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas atau CRPD membantu pemenuhan hak dasar kaum
disabilitas agar setara dengan non-disabilitas di Indonesia. Sedangkan penelitian
ini mengkaji bagaimana organisasi kaum disabilitas tingkat regional, yaitu ASEAN
Disability Forum melakukan advokasi guna membantu hak untuk memperoleh
pendidikan yang layak dan setara bagi kaum disabilitas di Indonesia.
14
E. Kerangka Pemikiran
1. Konsep Organisasi Internasional
Konsep komunitas negara-negara yang damai telah dicetuskan pada tahun
1795, dalam Perpetual Peace: A Philosophical Sketch karya Immanuel Kant.
Kant memberikan ide liga bangsa-bangsa guna mengkontrol konflik serta
mempromosikan perdamaian antar negara. 25 Kant mengungkapkan konsepnya
tersebut merupakan upaya pembentukan komunitas dunia yang damai, bukan
pembentukan pemerintahan global, tujuannya adalah agar tiap negara yang
merdeka menghormati warga-warganya serta dapat menerima warga asing sebagai
sesama manusia. Hal tersebut kemudian dapat mempromosikan perdamaian
masyarakat dunia. Kerjasama internasional guna mempromosikan keamanan yang
kolektif dimulai pada Diplomasi 1815-1914 (Concert of Europe) yang kemudian
berkembang setelah Perang Napoleon dengan usaha untuk menjaga status quo
antar negara-negara Eropa serta untuk menghindari perang.26
Perang Napoleon yang menghasilkan Kongres Wina 1814-1815
merupakan awal mula berkembangnya organisasi internasional, kemudian
semakin berkembang saat berakhirnya Perang Dunia II dan Perang Dingin
ditandai dengan pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saat ini, organisasi
internasional mengalami perkembangan yang signifikan karena meningkatkanya
kesadaran antar negara akan perlunya interdependensi untuk menyelesaikan
25 Immanuel Kant, 1795, Perpetual Peace: A Philosophical Sketch. https://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/kant/kant1.htm diakses pada 1 Maret 2019 26 Hillel Rapoport, “Coordination, Altruism and Under-Development”, KYKLOS International Review for Social Sciences Vol. 48 – 1995 – Fasc. 3, 389-407.
15
permasalahan non-konvensional seperti perkembangan dan krisis ekonomi,
pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan, dan lainnya.27
Organisasi Internasional atau lebih spesifiknya adalah International
Governmental Organization (IGO) merupakan sebuah institusi transnasional yang
memiliki peraturan resmi serta beranggotakan tiga negara atau lebih. Organisasi
internasional memiliki karakteristik aturan yang berfungsi untuk mengatur
hubungan antar negara anggotanya dengan badan-badan resmi yang menjelaskan
serta mengawasi aturan tersebut.28 Tidak hanya IGO, terdapat juga bentuk lain
dari organisasi internasional, yakni INGO (International Non-Governmental
Organization). Perbedaan keduanya terletak pada aktor dalam organisasinya. Pada
IGO, keanggotaan organisasi terbuka hanya untuk negara-negara, dimana otoritas
pengambilan keputusan diserahkan pada perwakilan dari negara-negara tersebut.
Contoh IGO meliputi PBB, OPEC, OIC, ASEAN, Liga Arab, dan lainnya. 29
Sedangkan INGO merupakan organisasi internasional yang keanggotaannya tidak
berasal dari negara, melainkan individu. Contoh INGO dapat dilihat pada
Greenpeace dan Amnesty International.30
Dalam bukunya International Organization: Principals and Issues, A.
Lerroy Benett menyatakan bahwa fungsi utama organisasi internasional adalah
27 Andrew Heywood, 2011, Global Politics: Chapter 18, International Organization and the United Nation, United States: Palgrave Macmillan, 432-435. 28Beth. A. Simmons dan Martin Lisa L., 2002, International Organization and Institution in Walter Carlsnaes, Thomas Risse and Beth A. Simmons, Handbook of international Relations, SAGE Publications, 256-261. 29 Clive Archer, 2011, International Organizations, London: Rouledge, 63. 30 Clive Archer, International Organizations, 63.
16
sebagai platform atau sarana kerjasama antar negara. 31 Dengan kata lain,
organisasi internasional merupakan wadah berkumpulnya berbagai entitas untuk
kemudian saling bekerjasama. Wadah tersebut memiliki struktur formal yang
dibentuk berdasarkan kesepakatan para anggotanya, baik negara maupun non-
negara, minimal dua atau lebih yang memiliki tujuan dan kepentingan yang sama.
Bennett juga menyatakan bahwa tujuan sebuah organisasi adalah
mengkoordinasikan berbagai kegiatan. Sedangkan metode organisasi adalah
melangsungkan koordinasi secara rutin dengan membagi tugas dan tugas khusus.
Koordinasi dapat dijalankan secara formal dengan struktur resmi dan aparat
lembaga, maupun secara informal dengan melibatkan sistem praktik yang tidak
tertulis, dimana tiap unit dalam sistem tersebut memiliki peranan yang berbeda
seperti menjadi pemimpin atau yang dipimpin.32
Lebih detil, Harold K. Jacobson menjabarkan bahwa terdapat beberapa
fungsi organisasi internasional, yakni:33
a. Fungsi Informasi, yakni organisasi internasional berfungsi menyediakan
informasi, mengumpulkan, menganalisa, dan mempublikasikan data, serta
membantu menyebarluaskan informasi melalui penyelenggaraan forum dimana
tiap individu dapat bertukar pikiran.
31 A. Lerroy Bennett, 1995, International Organization: Principals and Issues. New Jersey University of Delaware Englewood Cliffs: New Jersey-Prentice Hall, 2-3. 32 Benett, 1995, International Organization: Principals and Issues, 2-3. 33 Harold K. Jacobson, 1979, Networks of Interdependence International Organizations and the Global Political System Second Edition, (New York: Alfred A. Knopf, Inc.m), 82-83.
17
b. Fungsi Normatif, yaitu organisasi internasional mengadopsi prinsip-
prinsip dari sebuah deklarasi. Fungsi ini bersifat tidak mengikat, namun
berpengaruh dalam penentuan kebijakan.
c. Fungsi Operasional, adalah penggunaan sumber daya dalam organisasi
internasional, misalnya membantu keuangan dan teknis bagi masyarakat.
d. Fungsi role-supervisory, meliputi pengambilan tindakan guna menjamin
berjalannya peraturan oleh para aktor internasisonal. Terdapat beberapa langkah
dalam fungsi ini, yaitu penyusunan fakta-fakta terhadap pelanggaran yang
dilakukan, kemudian verifikasi fakta guna pembebanan saksi.
Peran organisasi internasional meliputi instrumen atau alat, arena dan
aktor. Sebagai instrumen, organisasi internasional memiliki mekanisme dimana
negara dapat memenuhi kepentingan nasionalnya serta menjadi alat diplomasinya.
Hal tersebut dapat dilihat pada IGO, dimana negara memiliki kekuatan untuk
melimitasi tindakan independen oleh organisasi internasional. 34 Pada saat
organisasi internasional dibentuk, perjanjian antar negara juga tercapai. Perjanjian
tersebut terbentuk dalam institusional dan berguna untuk berbagai aksi dan
kebijakan negara dalam menangani suatu bidang. Organisasi internasional
menjadi penting guna merealisasikan kepentingan nasional suatu negara. Hal
tersebut dikarenakan koordinasi multirateral merupakan tujuan nyata tiap negara
serta berkesinambungan dengan pemerintahan nasionalnya. Namun demikian,
organisasi internasional juga memiliki kekurangan yakni sangat memungkinkan
34 Archer, International Organizations, 69.
18
terjadinya pertikaian antar negara anggota yang memiliki kekuatan untuk
mendominasi organisasi tersebut, yang akhirnya melimitasi tindakan independen
organisasi.35
Sebagai arena, institusi bertindak sebagai forum yang memfasilitasi
pembahasan dan pertukaran informasi serta berperan sebagai lembaga permanen
dalam pertemuan-pertemuan diplomatik. 36 Menurut Stanley Hoffman, sebagai
sebuah arena, organisasi internasional digunakan tidak hanya untuk berkompetisi
mengutarakan pendapat tiap kelompok atau negara, namun juga untuk melakukan
diplomasi sesuai kepentingan nasionalnya. Selain itu, secara tradisional,
organisasi internasional juga membuka kesempatan dalam peningkatan sudut
pandang serta saran dari tiap negara anggotanya pada forum publik dan lebih
terbuka jika dibandingkan dengan kerjasama diplomatik. Salah satu bentuk nyata
organisasi internasional dapat dilihat pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa, jika negara anggota organisasi tersebut ingin bernegosiasi, setuju atau
tidak setuju pada suatu isu, mereka dapat melakukannya dalam tingkat bilateral
maupun multilateral. Mereka dapat mengatur pertemuan ad hoc sesuai tujuan
negara mereka. Pertama, mereka harus setuju pada waktu, tempat, protokol,
hingga bentuk meja pertemuannya dan dimana saja para delegasi akan duduk.
Mereka juga harus memutuskan agenda pertemuan, metode pengambilan suara
(voting), serta peraturan negosiasi.37
35 Archer, International Organizations, 73-74. 36 Archer, International Organizations, 73-74. 37 Archer, International Organizations, 78.
19
Sedangkan sebagai aktor independen, organisasi internasional
memungkinkan negara mengambil tindakan berdasarkan keputusan bersama
untuk menyelesaikan suatu persoalan. Namun, tidak hanya negara, organisasi
internasional juga memungkinkan menjadi aktor independen. Viotti dan Kauppi
mengemukakan bahwa dalam isu-isu tertentu, OI dapat berperan sebagai aktor
yang independen dengak hak-haknya sendiri. OI memiliki peranan penting dalam
mengimplementasikan, memonitor, dan menengahi perselisihan yang timbul dari
adanya keputusan-keputusan yang dibuat oleh negara-negara.38 Arnold Wolfers
beranggapan terdapat cukup bukti bahkan pada awal era 1960an bahwa terdapat
sejumlah entitas non-negara, termasuk organisasi internasional, yang dapat
memengaruhi dunia internasional. Ketika hal tersebut terjadi, entitas-entitas itu
menjadi aktor dalam arena internasional serta saingan negara-negara.39 Salah satu
contoh nyata organisasi internasional dapat menjadi aktor independen terlihat
pada the International Court of Justice (ICJ). Struktur ICJ menghalangi intervensi
apapun dalam melaksanakan tanggungjawabnya. Selain itu, hakim-hakim yang
ditunjuk oleh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), meskipun
berasal dari berbagai negara dengan peraturan nasional yang berbeda-beda, namun
mereka bukanlah perwakilan masing-masing negaranya. Keputusan para hakim
diambil secara independen, tidak berdasarkan instruksi negara asalnya, dan setiap
38 Viotti dan Kauppi , 1990, International Relations Theory, 28 dikutip dalam Hardi, Rendi. BAB II Tinjauan Pustaka. Bandung: Universitas Komputer Indonesia, 42 https://elib.unikom.ac.id/download.php?id=94576 diakses pada 23 September 2019 39 Archer, International Organizations, 79.
20
kasus diputuskan sesuai standar hukum internasional, tanpa campur tangan hukum
nasional.40
Dalam buku International Organizations karya Clive Archer, Organisasi
Internasional tidak luput dari hambatan, kendala tersebut meliputi anggaran yang
berkurang, birokrasi yang tidak efisien, dan gangguan nasional yang lebih besar.41
Dalam menjalankan programnya, organisasi internasional membutuhkan dana.
Namun, realita di lapangan menunjukkan anggaran tersebut belum sepenuhnya
dapat terimplementasikan karena berbagai faktor seperti prioritas isu, krisis
keuangan, maupun bencana alam atau perang. Hambatan lainnya adalah birokrasi
yang tidak efisien. Dalam menjalin kerjasama dengan negara-negara di seluruh
dunia, organisasi internasional tidak sedikit menghadapi negara yang birokrasinya
sulit sehingga bantuan atau program yang diberikan belum efisien seperti tidak
kooperatifnya negara tersebut dalam merespon program dari organisasi
internasional ditunjukkan dengan penolakan bantuan dan penghadangan bantuan
dari pemerintah setempat. Selain itu, gangguan nasional seperti sumber daya
manusia, budaya, agama, isu politik, dan lainnya juga menjadi hambatan bagi
organisasi internasional untuk mengejarkan tugasnya secara efisien.42
Konsep organisasi internasional relevan dengan pertanyaan penelitian ini.
Dengan adanya organisasi internasional, suatu isu dunia termasuk isu disabilitas
dapat dirundingkan dengan negara lain dan dihasilkannya suatu langkah kongkrit
untuk mengatasi problematika tersebut. Organisasi internasional ini juga dapat
40 Archer, International Organizations, 80. 41 Archer, International Organizations, 178. 42 Archer, International Organizations, 178.
21
mengakomodir berbagai pihak tidak hanya negara untuk ikut andil menyelasikan
suatu isu. Namun, organisasi internasional juga memiliki beberapa hambatan
dalam mengoptimalkan fungsinya, salah satunya adalah hambatan birokrasi.
ASEAN Disability Forum sebagai badan khusus merepresentasikan kaum
disabilitas di negara anggota ASEAN dinilai kurang efektif dan efisien dalam
menjalankan tugasnya. Hal ini salah satunya dikarenakan pemerintah di negara
anggota ASEAN masih memiliki kesadaran yang kurang atas isu disabilitas.
2. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut Cranston dikutip dalam Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia:
Menuju Democratic Governances, hak asasi manusia secara definisi merupakan
hak moral universal, dimana tiap manusia, dimanapun dan kapanpun memilikinya,
sesuatu yang tidak dapat direnggut oleh pihak lain tanpa mendapat hukuman, dan
sesuatu yang diperoleh tiap manusia secara lahiriah.43 Sedangkan Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM mendefinisikan hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.44
Dikutip dalam HAM di Indonesia: Menuju Democratic Governances,
Immanuel Kant membagi tiga macam hak asasi. Hak pertama mengenai civil
43 Kurniawan Kanto Yuliarso dan Nunung Prajarto, 2005, “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 8, Nomor 3, 293. 44 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
22
rights, dimana tiap individu dapat menikmati hidupnya sebagai warga negara.
Hak kedua mereferensikan hak internasional yang dinikmati tiap negara dalam
berinteraksi satu sama lain. Hak ketiga merupakan hak kosmopolitan atau
cosmopolitan rights yang dinikmati masyarakat internasional. Kant percaya tiap
manusia memiliki hak-hak asasinya masing-masing.45
Namun, permasalahan HAM tidak hanya mencakup pada upaya-upaya
pencapaian standar internasional HAM maupun penerimaan universalitas terhadap
konsep tersebut. Definisi Cranston belum cukup lengkap jika dijadikan acuan
untuk menyelesaikan permasalahan HAM di Indonesia. Sejumlah kejadian
pelanggaran HAM di Indonesia menjadi bukti nyata bahwa pemahaman HAM
tidak terlimitasi pada fakta bahwa HAM dimiliki oleh semua manusia, namun
juga pelayanan terhadap HAM tersebut perlu dilakukan tiap manusia. Tidak hanya
itu, pemahaman terhadap HAM di Indonesia perlu ditingkatkan agar tidak hanya
terfokus pada permasalahan HAM yang umum seperti pembunuhan, perusakan
massal, dan genosida. Nilai-nilai HAM perlu diterapkan secara menyeluruh di
segala lapisan masyarakat agar segala bentuk diskriminasi, rasis, seksual, dan
abilitas mendapat perhatian yang benar-benar memadai. Selain itu, pandangan
awam yang terlalu menyederhanakan HAM juga perlu diluruskan.46
Masih minimnya akses pendidikan pada kaum disabilitas di Indonesia
merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia bagi warga disabilitas.
45 Yuliarso dan Prajarto, “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances”, 1107. 46 Yuliarso dan Prajarto, “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances”, 295.
23
Pemerintah Indonesia bertanggung jawab penuh memaksimalkan kekurangan
tersebut. Tidak hanya itu, isu kurangnya akses pendidikan kaum disabilitas ini
tidak hanya menjadi permasalah nasional, namun juga terjadi di negara-negara
lain. Oleh karenanya, problematika ini harus ditangani oleh masyarakat
internasional termasuk ASEAN Disability Forum sebagai wadah yang dipercayai
dapat mengatasi permasalahan disabilitas di kawasan Asia Tenggara.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang akan
dijabarkan secara deskriptif. Penelitian kualitatif menggunakan pendekatan yang
berbeda dari penelitian kuantitatif dalam mengolah data, analisis, interpretasi, dan
penulisan laporan. Penelitian kuantitaf umumnya menggunakan angka, sedangkan
penelitian kualitatif menggunakan pendekatan penelitian naratif, fenomonologi,
grounded theory, etnografi, dan studi kasus. 47 Adapun penelitian deskriptif
merupakan sebuah riset yang mengeskplor dan menjelaskan suatu individu,
kelompok, atau peristiwa. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk
mendeskripsikan karakteristik dan fungsi. 48 Dengan kata lain, riset deskriptif
mendefinisikan aspek-aspek sebuah penelitian, seperti siapa, apa, dimana, kapan,
mengapa, dan terkadang bagaimana penelitiannya. 49 Penulis menggunakan
metode kualitatif deskriptif analitik dalam mengeksekusi penelitian terkait peran
47 John W Creswell, 2003, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc, 23. 48 S. Surbhi, 2016, “Difference Between Exploratory and Descriptive Research”, Keydifference.com. https://keydifferences.com/difference-between-exploratory-and-descriptive-research.html diakses 23 Mei 2019. 49 Jajoo Dinesh, 2016, “A Study of Buying Decisions in Malls”. Devi Ahilya Vishwavidyalaya University, 39. http://hdl.handle.net/10603/97412
24
ASEAN Disability Forum dalam pengadvokasian akses pendidikan bagi kaum
disabilitas di Indonesia.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini digunakan data primer
dan sekunder. Untuk data primer, peneliti melakukan wawancara pada pihak
ASEAN Disability Forum sebagai organisasi yang terlibat dalam tiap isu
disabilitas. Sedangkan data sekunder adalah data-data yang didapat dalam bentuk
publikasi. Metode dilakukan melalui studi kepustakaan baik itu berupa buku,
artikel dalam jurnal, laporan resmi, berita daring (online), serta data-data lainnya
yang dapat menunjang penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini tersusun menjadi lima bagian, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terbagi menjadi tujuh bagian, yaitu: pernyataan masalah,
pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II ASEAN DISABILITY FORUM
Bab ini akan membahas secara umum mengenai respon ASEAN terhadap
isu disabilitas. Pembahasan akan dilanjutkan dengan gambaran umum mengenai
ASEAN Disability Forum. Pembahasan akan ditutup dengan upaya ASEAN
Disability Forum mempromosikan hak kaum disabilitas di negara anggota
ASEAN.
25
BAB III ISU DISABILITAS
Pada bagian ini akan dibahas mengenai respon masyarakat internasional
terhadap isu disabilitas. Pembahasan akan dilanjutkan dengan gambaran umum
mengenai isu disabilitas di Indonesia serta berbagai kasus diskriminasi sosial
terhadap kelompok tersebut. Pembahasan akan ditutup dengan upaya pemerintah
Indonesia pada tahun 2016-2018 dalam meningkatkan akses pendidikan kaum
disabilitas.
BAB IV PERAN ASEAN DISABILITY FORUM DALAM
PENGADVOKASIAN AKSES PENDIDIKAN BAGI KAUM DISABILITAS DI
INDONESIA TAHUN 2016-2018
Bagian ini merupakan analisis peran ASEAN Disability Forum dalam
upayanya serta hambatannya melakukan advokasi akses pendidikan bagi kaum
disabilitas di Indonesia tahun 2016-2018. Analisis dalam bab ini akan diperkuat
dengan konsep organisasi internasional dan hak asasi manusia.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian dimana jawaban atau
argumen penulis terkait pertanyaan penelitian akan dicantumkan. Jawaban
penelitian berasal dari penjabaran data serta analisis pada bab-bab sebelumnya.
Bab V merupakan bagian kesimpulan dari penelitian ini.
26
BAB II
ASEAN DISABILITY FORUM
A. Respon ASEAN pada Isu Disabilitas
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Perbara) atau yang biasa
disebut sebagai Association of South East Asian Nations (ASEAN) merupakan
organisasi geopolitik dan ekonomi negara-negara kawasan Asia Tenggara, yang
dibentuk pada 8 Agustus 1967 dengan ditandatanganinya Deklarasi Bangkok.
Deklarasi ini ditandatangani oleh lima negara pendiri ASEAN, yaitu Indonesia,
Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Organisasi ini bertujuan untuk
meningkatkan perekonomian, pertumbuhan sosial, pengembangan sosial budaya
negara anggotanya, memajukan perdamaian dan stabilitas tingkat regional, serta
menyelesaikan perbedaan atau permasalahan antar negara anggotanya secara
damai.50 Tujuan tersebut tercantum dalam Deklarasi Bangkok, dimana artikel satu
berbunyi “meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sosial, dan pengembangan
budaya dalam wilayah ASEAN” sedangkan artikel dua berbunyi
“mempromosikan perdamaian dan stabilitas.”51 Selain berfokus pada regionalnya,
ASEAN juga menghubungkan negara anggotanya dengan negara-negara di Asia
Pasifik serta kawasan lainnya.
Pada awal berdirinya ASEAN, Deklarasi Bangkok menjadi satu-satunya
instrumen hukum internasional, hingga pada 2006 sampai 2007, negara anggota
50 ASEAN, About ASEAN, https://asean.org/asean/about-asean/ diakses pada 11 April 2019. 51 “51 Tahun ASEAN dan Kontribusinya dalam Upaya Perlindungan Hak Difabel”, 2018, Solider.id, https://www.solider.id/baca/4732-51-asean-kontribusinya-dalam-upaya-perlindungan-hak-difabel diakses 19 Maret 2019.
27
organisasi tersebut mulai menggagas instrumen hukum bernama Piagam ASEAN.
Piagam ini tidak hanya memperkuat personalitas ASEAN sebagai organisasi
internasional, namun juga menjadi dasar ASEAN dalam menjunjung
penghormatan terhadap hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi.
Penghormatan tersebut ditunjukkan dengan adanya pengaturan mengenai hak
asasi manusia dalam Piagam ASEAN dan di dirikannya ASEAN
Intergovernmental Commission On Human Rights (AICHR) atau yang sering juga
di sebut dengan badan HAM ASEAN. 52 Divisi HAM ASEAN pada saat ini
diketuai oleh Le Thi Nam Huong.53 Dalam upaya merealisasikan prinsip utama
dan tujuannya dalam bidang mempromosikan serta melindungi hak asasi manusia
dan hak-hak dasar, meningkatkan demokrasi, memajukan good governance, dan
sesuai dengan peraturan hukum, para pemimpin ASEAN mengadopsi ASEAN
Human Rights Declaration (AHRD) pada 2012.54 Bersama dengan Phnom Penh
Statement on the Adoption of the AHRD, dua dokumen tersebut mewujudkan
komitmen ASEAN untuk melindungi hak asasi manusia serta hak-hak dasar
seluruh masyarakat ASEAN, termasuk kaum penyandang disabilitas. Pada 2016,
seluruh negara anggota ASEAN telah meratifikasi the United Nations Convention
on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). 55 Dengan diratifikasinya
CRPD oleh kesepuluh anggota ASEAN, hak bagi penyandang disabilitas
kemudian bermunculan sebagai salah satu bidang hak yang tak terduga dari
prinsip utama ASEAN dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia di kawasan
52 “51 Tahun ASEAN dan Kontribusinya dalam Upaya Perlindungan Hak Difabel”, Solider.id, 53 ASEAN, 2018, ASEAN Secretariat Organisational Structure https://asean.org/asean/asean-structure/organisational-structure-2/ diakses pada 31 Januari 2020. 54 ASEAN, ASEAN Enabling Masterplan 2025, 1. 55 ASEAN, ASEAN Enabling Masterplan 2025, 1.
28
Asia Tenggara. Adanya CRPD memungkinkan ASEAN untuk meningkatkan
komunitasnya kepada pendekatan “people-oriented and people-centered” dalam
integrasi serta kerjasama regionalnya.56
Selama berdirinya, ASEAN telah secara konsisten memprioritaskan
promosi serta proteksi hak-hak kaum penyandang disabilitas. Kerangka kebijakan
ASEAN terhadap peningkatan hak dan kesejahteraan masyarakat disabilitas
berasal dari the Bali Declaration on the Enhancement of the Role and
Participation of Persons with Disabilities in ASEAN Community tahun 2011
dimana deklarasi tersebut menyadarkan anggota ASEAN akan pentingnya inklusi
bagi kaum disabilitas yang dapat diwujudkan melalui pengembangan aksi rencana
nasional, diversifikasi layanan sosial, pengembangan skema jaminan sosial,
pendidikan yang dapat diakses, tersedianya peluang kerja, dan lainnya. Deklarasi
tersebut juga memperkenalkan the Mobilisation Framework of the ASEAN
Decade of Persons with Disabilities (2011-2020) guna mempromosikan
pengembangan inklusif-disabilitas di ASEAN. Prinsip inklusi, sebagai arah
kebijakan utama ASEAN, telah menjadi acuan inisiatif dan program ASEAN
dalam menangani persamaan hak bagi penyandang disabiltias dalam
komunitasnya. Komitmen ASEAN menuju komunitas inklusif tertuang dalam
ASEAN Community Vision 2025, sebuah rencana stratejik sepuluh tahun ASEAN,
yang bercita-cita mewujudkan ASEAN menjadi komunitas berorientasi dan
berpusat pada masyarakat, dimana masyarakat dapat menikmati hak asasi manusia
56 IFES Organization, 2018, Supporting ASEAN to Mainstream Disability Rights, https://www.ifes.org/news/supporting-asean-mainstream-disability-rights diakses pada 4 Februari 2019.
29
serta hak-hak dasar, kualitas hidup yang lebih tinggi dan manfaat dari
pembangunan masyarakat. Secara khusus, the ASEAN Socio-Cultural Community
(ASCC) Blueprint 2025 menguraikan langkah-langkah strategis spesifik yang
bertujuan untuk mengurangi hambatan dan memastikan aksesibilitas kaum
penyandang disabilitas, pada saat bersamaan juga mempromosikan serta
melindungi hak asasi kaum tersebut.57
Adapun upaya-upaya ASEAN maupun negara anggotanya dalam
meningkatkan hak kaum disabilitas, adalah sebagai berikut: Hanoi Declaration
on the Enhancement of the Welfare and Development of ASEAN Women and
Children (2010) yang bertujuan untuk menjamin kesetaraan gender dalam
pendidikan dan pendaftaran sekolah untuk anak-anak disabilitas dan berkebutuhan
khusus; Kuala Lumpur Declaration on a People-Oriented, People-Centred
ASEAN (2015) menghimbau untuk mempromosikan serta melindungi hak-hak
kaum penyandang disabilitas dan mempromosikan keinginan sekaligus
kesejahteraan mereka di agenda-agenda ASEAN yang akan datang; ASEAN
Declaration on Strengthening Education for Out-of-School Children and Youth
(OOSCY) menyatakan bahwa akses pendidikan merupakan sebuah prioritas untuk
menjamin manfaat yang optimal bagi seluruh anak dan remaja, terlepas apakah
mereka penyandang disabilitas atau bukan; Declaration on the Elimination of
Violence Against Women and Elimination of Violence Against Children in ASEAN
(2013) bertujuan untuk melindungi wanita dan anak-anak dengan disabilitas dari
segala kekerasan, perlakuan kejam, dan eksploitasi; ASEAN Declaration on
57 ASEAN, ASEAN Enabling Masterplan 2025, 1.
30
Strengthening Social Protection (2013) menyatakan bahwa kaum penyandang
disabilitas berhak memiliki akses yang setara dalam perlindungan sosial dan
menghimbau negara anggota ASEAN untuk mendukung kebijakan-kebijakan
nasional, strategi-strategi serta berbagai mekanisme guna memperkuat
implementasi program perlindungan sosial, sekaligus sistem penargetan yang
efektif untuk menjamin pelayanan perlindungan sosial akan berjalan di waktu
yang dibutuhkan.58
Kebijakan ASEAN dalam meningkatkan hak dan kesejahteraan kaum
penyandang disabilitas terinspirasi oleh sekaligus berkontribusi untuk
pembangunan global. Salah satu bentuk pembangunan global tersebut adalah
Sustainable Development Agenda 2030, dengan kebijakannya untuk tidak
mendiskriminasi siapapun, sesuai dengan visi ASEAN yakni komunitas ASEAN
adalah komunitas yang “people-oriented, people-centred”. Tidak hanya SDGs,
terdapat berbagai kebijakan internasional di tingkat regional yang juga
menginspirasi ASEAN untuk meningkatkan penyetaraan hak untuk kaum
disabilitas, seperti Incheon Strategy to “Make the Right Real” for Persons with
Disabilities in Asia and the Pacific yang menyerukan untuk mempromosikan
partisipasi kaum penyandang disabilitas dengan cara menghapus hambatan serta
meningkatkan aksesbilitas, dan menjamin kesetaraan gender, melalui pendekatan
lintas sektoral dan multi-stakeholder. The Sendai Framework for Disaster Risk
Reduction yang menyerukan respon inklusif terhadap disabilitas dan pemulihan
dari bencana, menuju pembangunan ketahanan bagi kaum penyandang disabilitas
58 ASEAN, ASEAN Enabling Masterplan 2025, 2.
31
serta menyadari perannya yang signifikan dalam menilai resiko dan merancang
program. The New Urban Agenda menyerukan untuk “perwujudan progresif hak
atas perumahan yang layak untuk semua sebagai komponen dari hak atas standar
kehidupan yang memadai”, termasuk kaum penyandang disabilitas. Agenda
tersebut juga menghimbau promosi “langkah-langkah yang tepat di kota-kota dan
pemukiman yang memfasilitasi akses untuk kaum penyandang disabilitas agar
setara dengan lainnya, khususnya ruang publik, transportasi umum, perumahan,
fasilitas pendidikan dan kesehatan, informasi publik dan masyarakat (termasuk
teknologi dan sistem informasi dan komunikasi) serta fasilitas dan layanan lain
yang terbuka atau disediakan untuk umum, baik di daerah perkotaan maupun
pedesaan”. Selain itu, agenda tersebut juga mendorong “partisipasi efektif dan
kolaborasi antar semua pemangku kekuasaan yang relevan, termasuk kaum
penyandang disabiltias, guna mengidentifikasi kesempatan untuk pembangunan
ekonomi urban serta mengidentifikasi dan mengatasi tantangan yang ada dan akan
muncul”. Pembangunan global tersebut, mempengaruhi dan membentuk dasar
kebijakan ASEAN untuk kaum penyandang disabilitas.59
Diratifikasinya CRPD oleh kesepuluh negara anggota ASEAN memberi
keuntungan bagi AICHR sebagai badan HAM ASEAN. Mengetahui hal tersebut,
AICHR langsung menginisiasi pengembangan instrumen regional baru guna
memperluas penyetaraan hak asasi kaum disabilitas di seluruh rencana
pembangunan ASEAN. Inisiatif pengembangan instrument regional tersebut
berkembang menjadi ASEAN Enabling Masterplan 2025: Mainstreaming the
59 ASEAN, ASEAN Enabling Masterplan 2025, 2.
32
Rights of Persons with Disabilities. 60 Untuk membentuk masterplan yang
diimpikan, AICHR dengan saran ADF membentuk the Task Force on
Mainstreaming the Rights of Persons with Disabilities, yang terdiri atas
perwakilan dari AICHR, SOMSWD, serta ACWC. Mengikuti ASEAN Community
Vision 2025, berbagai blueprints pembangunan untuk pilar-pilar keamanan-politik,
ekonomi dan sosial budaya di kawasan dibentuk, rencana baru tersebut akan
menjamin hak-hak kaum disabilitas memainkan peran integral dalam agenda
pembangunan kawasan Asia Tenggara.61
Dengan berjalannya perumusan inisiatif masterplan pada 2018, berbagai
organisasi kaum penyandang disabilitas (OPD) berkumpul serta berkoordinasi
dengan aktor-aktor regional lainnya, seperti ASEAN Disability Forum. Inisiatif
tersebut juga termasuk dengan pertemuan OPD lainnya guna menghasilkan
position paper mengenai partisipasi politik kaum disabilitas. Position paper dan
rekomendasi kebijakan tersebut akan berfungsi sebagai poin utama diskusi pada
pertemuan Task Force dan akan membantu pembentukan masterplan.62
Meskipun ASEAN telah memperlihatkan upayanya dalam isu hak kaum
disabilitas, pada 2020, isu ini belum termasuk dalam prioritas ASEAN. Para
petinggi ASEAN setuju untuk mempercepat integrasi 11 sektor prirotias dalam
Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors dan dan 11 Protokol
Integrasi Sektoral ASEAN menegaskan kembali komitmen ASEAN untuk
mempercepat jalur integrasi menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang
60 IFES Organization, Supporting ASEAN Mainstream Disability Rights. 61 IFES Organization, Supporting ASEAN Mainstream Disability Rights. 62 IFES Organization, Supporting ASEAN Mainstream Disability Rights.
33
disepakati oleh Para Pemimpin ASEAN pada tahun 2020. MEA dipertimbangkan
sebagai pasar tunggal dan basis produksi dengan aliran barang, jasa yang bebas,
investasi, tenaga kerja terampil dan aliran modal yang lebih bebas. 11 sektor
prioritas tersebut adalah elektronik, e-ASEAN, kesehatan, produk berbahan kayu,
automotif, produk berbahan karet, tekstil dan pakaian jadi, produk berbahan agro,
perikanan, perjalanan udara dan turisme. Sektor-sektor terpilih berdasarkan
keuntungan komparatif dalam sumbangan sumber daya alam, keterampilan
pekerja dan daya saing biaya serta kontribusi nilai tambah untuk ekonomi
ASEAN.63
B. ASEAN Disability Forum
Menguatnya penghormatan hak asasi manusia di ASEAN dengan ditandai
berdirinya ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR),
juga membuat hak asasi manusia bagi kaum disabilitas yang termasuk kelompok
minoritas mulai disuarakan. Perwakilan negara ASEAN menganggap bahwa
permasalahan disabilitas cukup mengkhawatirkan, oleh karenanya, diperlukan
sebuah perlindungan terhadap aspirasi hak disabilitas.64 ADF menjadi forum bagi
negara anggota ASEAN untuk mendukung perlindungan terhadap kaum
disabilitas.65ADF diinisiasi pada tahun 2009 ketika perwakilan Disable People’s
Organisations (DPOs) atau OPD menghadiri ASEAN People’s Forum guna
63 ASEAN, 2012, “Media Release “ASEAN Accelerates Integration of Priority Sectors”, Asean.org, https://asean.org/?static_post=media-release-asean-accelerates-integration-of-priority-sectors diakses pada 31 Januari 2020. 64 Demeiati Nur Kusumaningrum, Alivia Afina, Riska Amalia Agustin dan Mega Herwiandini, 2017, “Pengaruh Asean Disability Forum Terhadap Pengembangan Ekonomi Penyandang Disabilitas di Indonesia”, Jurnal Insignia 2017 Vol.4 No.1.2.2, 2. 65 Kusumaningrum, Afina, Agustin dan Herwiandini, 2017, “Pengaruh Asean Disability Forum Terhadap Pengembangan Ekonomi Penyandang Disabilitas di Indonesia”, 2.
34
mempromosikan serta menyadarkan tentang hak-hak disabilitas yang wajib
dilindungi.66
Berdirinya ADF dimulai dari sebuah forum yang disebut dengan ASEAN
People’s Forum. ASEAN People’s Forum merupakan forum dibawah ASEAN
Civil Society Forum dimana semua aspirasi warga ASEAN akan didengar pada
forum tersebut. Salah satu aspirasi yang didengar berasal dari OPD yang
kemudian ditindaklanjuti dengan adanya Bali Declaration on the Enhancement of
the Role and Participation of the Persons with Disabilities in ASEAN Community
yang juga menjadi instrumen pendirian ADF. Pentingnya dibangun ADF sebagai
wadah untuk menyuarakan hak disabilitas dan bukan melalui ASEAN Civil Society
Forum maupun ASEAN People’s Forum (APF) dikarenakan pembicaraan
mengenai isu disabilitas di forum lain seperti kedua forum tersebut tidak terlalu
terdengar jika dibandingkan dengan isu-isu kelompok minoritas lainnya seperti
isu buruh migran, isu LGBT, atau isu feminis.67
Secara rinci, ADF memiliki wewenang sebagai berikut:68
1. Memfasilitasi pertukaran informasi, lesson learnt, best practices yang
dimiliki oleh masing-masing organisasi di negara ASEAN untuk pemajuan
dan perlindungan hak penyandang disabilitas.
2. Mendorong multi-stakeholders di ASEAN untuk mempromosikan hak-hak
penyandang disabilitas.
66 Kusumaningrum, Afina, Agustin dan Herwiandini, 2017, “Pengaruh Asean Disability Forum Terhadap Pengembangan Ekonomi Penyandang Disabilitas di Indonesia”, 2. 67 “51 Tahun ASEAN dan Kontribusinya dalam Upaya Perlindungan Hak Difabel”, solider.id 68 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.
35
3. Membuat rekomendasi untuk kebijakan publik, program-program, projek,
untuk memastikan hak-hak penyandang disabilitas diadopsi dalam
mekanisme maupun framework atau dokumen-dokumen hak asasi manusia
di ASEAN.
4. Untuk meningkatkan kesadaran organisasi penyandang disabilitas di
ASEAN.
5. Untuk memberikan peningkatan kapasitas stakeholders terkait organisasi
penyandang disabilitas dalam merubah perspektif hak-hak penyandang
disabilitas dari pendekatan medis menjadi hak asasi manusia.
6. Untuk mempromosikan pelayanan komunitas yang inklusif kepada
penyandang disabilitas dan multi-stakeholders dalam upaya menciptakan
kemandirian hidup penyandang disabilitas.
Pada dasarnya, tugas ADF di tiap negara anggota ASEAN hampir sama,
yakni seperti tetap mengadakan konferensi, karena ADF merupakan organisasi
regional yang membutuhkan koordinasi antar anggotanya di negara-negara
ASEAN. Namun, untuk pengimplementasian secara rinci, masing-masing
memiliki tugas dan wewenang yang berbeda sesuai kapasitasnya serta kebutuhan
DPO lainnya di masin-masing negara ASEAN.69
Selain wewenang, ADF juga melakukan upaya evaluasi setelah program
advokasi dilaksanakan, yakni dengan melihat pelaksanaan program melalui
capaian target outcome atau indikator-indikator yang ditetapkan ADF.
Pelaksanaan keseluruhan program menjadi pintu masuk untuk melakukan evaluasi 69 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.
36
substansi per kegiatan program berdasarkan penilaian kekuatan, kelemahan,
tantangan, dan kesempatan yang dapat diambil pelajarannya setelah program
selesai.70
Melalui ADF, ASEAN memberdayakan kaum disabilitas dengan
memberikan wadah untuk berdiskusi serta turut berpartisipasi dalam proses
pembentukan dan implementasi kebijakan di ASEAN. ADF menjadi wadah
penyambung kaum penyandang disabilitas dengan para pemangku jabatan. ADF
terdiri dari para penyandang disabilitas yang secara rutin bertemu untuk
memperjuangkan hak-hak serta memperjuangkan kebutuhan penyandang
disabilitas agar menjadi hal yang lumrah dalam framework kebijakan dan
mekanisme di ASEAN. Selama pembentukannya, ADF telah berperan membawa
aspirasi penyandang disabilitas dalam masyarakat ASEAN baik secara lokal,
nasional, dan internasional.
Tujuan organisasi ini adalah untuk merepresentasikan keberadaan gerakan
penyandang disabilitas di kawasan serta memberi kesempatan bagi masyarakat
yang memperjuangkan hak penyandang disabilitas agar selalu masuk dalam
agenda kebijakan ASEAN. Dengan hadirnya ADF, para kaum penyandang
disabilitas dapat mengembangkan kemampuan berorganisasi, serta memfasilitas
pembagian informasi. 71 Visi ADF adalah menjadi komunitas yang bersahabat
dimana kaum penyandang disabilitas mendapatkan kesempatan yang setara serta
70 Wike Devi Erianti, Wawancara, 31 Januari 2020. 71 Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI, 2014, Masyarakat ASEAN Edisi 11: Mewujudkan Masyarakat ASEAN yang Dinamis, Media Publikasi Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI.
37
berpartisipasi dalam aktivitas sosial di ASEAN. Sedangkan Misi ADF adalah
untuk menyatukan kaum disabilitas dari wilayah ASEAN untuk memajukan
CRPD di wilayah Asia Tenggara dengan meningkatkan kesadaran mengenai hak
penyandang disabilitas sebagai isu hak asasi manusia. Selain itu, ADF juga
memiliki misi advokasi untuk memasukkan seluruh pilar dan mekanisme HAM
ASEAN; mendukung pengembangan kebijakan dan advokasi berbasis nyata
dalam disabilitas dan pengembangan inklusif dari perspektif hak asasi manusia;
advokasi pemerintah strategis ASEAN, media, bisnis, LSM dan pemangku
kepentingan lainnya dalam multi-CRPD, disabilitas, dan pembangunan.72
ADF juga bertujuan untuk bekerjasama dengan pemerintah di negara
anggota ASEAN, media, pelaku bisnis, non-governmental organisations (NGOs)
dan berbagai pemangku jabatan untuk mengimplementasikan serta mengevaluasi
kebijakan dan layanan inklusif. Tidak hanya itu, tujuan lainnya adalah mendapat
dukungan anggota dan organisasi kaum penyandang disabilitas di tingkat negara
melalui advokasi dan pengembangan kapasitas kepemimpinan, termasuk
memfasilitasi kerjasama dengan pemangku jabatan, termasuk pemerintah,
masyarakat sosial dan sektor privat; Melobi ASEAN untuk melakukan kegiatan
paralel dengan ASEAN People’s Forum, mengumpulkan badan-badan untuk hak
asasi manusia, Pertemuan Pejabat Senior Kesejahteraan Sosial dan Pembangunan
atau biasa disebut Senior Officials Meeting of Social Welfare and Development
(SOMSWDs) dan KTT ASEAN. Organisasi masyarakat mengenai HAM termasuk
ADF penting guna advokasi kebijakan serta membantu terbangunnya kesadaran
72 ADF. ASEAN Disability Forum http://aseandisabilityforum.org/digaleri/ diakses pada 18 April 2019.
38
yang efektif. Pembagian pengetahuan dapat dilakukan melalui pelatihan
kepemimpinan, pelatihan untuk pelatih bagi para pemimpin lokal.73
Sebagai tambahan, menurut situs resmi ADF, organisasi ini telah
bekerjasama dengan pemerintah, penyedia layanan, dan publik. Dalam banyak
kasus, ADF merupakan kendaraan yang membawa aspirasi kaum penyandang
disabilitas ke dalam komunitas ASEAN; ADF merupakan platform aksi untuk
membawa suara organisasi-organisasi kaum disabilitas dari akar rumput ke
pengambil kebijakan serta untuk menghubungkan masyarakat dengan para
pemangku jabatan yang berada di negara anggota ASEAN. 74 Selain itu, ADF
menyertakan mereka kembali dalam kehidupan aktif masyarakat ASEAN, sebagai
masyarakat dengan hak sipil, politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang setara.75
Pada tingkat ASEAN, ADF bekerjasama dengan Sekretariat ASEAN
untuk koordinasi dan komunikasi terkait pelaksanaan dan monitoring serta
evaluasi pelaksanaan dokumen-dokumen terkait perlindungan hak disabilitas di
ASEAN. Secara khusus, ADF juga bekerjasama dengan badan-badan di dalam
ASEAN untuk divisi HAM seperti AICHR, ACWC, dan SOMSWD. Koordinasi
dan kerjasama dengan tiga lembaga tersebut dapat dilakukan secara mandiri oleh
masing-masing anggota ADF di negara-negara ASEAN atau langsung dilakukan
oleh ADF sendiri.76
73 ADF. ASEAN Disability Forum. 74 ADF. ASEAN Disability Forum. 75 Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI. Masyarakat ASEAN Edisi 11: Mewujudkan Masyarakat ASEAN yang Dinamis. 2014. Media Publikasi Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI. 76 Wike Devi Erianti, Wawancara, 31 Januari 2020.
39
Dalam strukturnya, ADF beranggotakan perwakilan OPD dari 10 negara
anggota ASEAN yakni Brunei, Kamboja, Myanamar, Indonesia, Laos, Malaysia,
Filipina Singapura, Vietnam, dan Thailand. Anggota-anggota ADF pada tingkat
negara akan merepresentasikan ADF dan berkolaborasi dengan pemerintah,
organisasi kaum penyandang disabilitas, organisasi masyarakat atau civil society
organisations (CSOs), pelaku bisnis, media dan organisasi-organisasi relevan
lainnya untuk mengimplementasi bermacam kegiatan termasuk advokasi, melobi,
menginformasi, dan bekerja bersama dengan sekretariat ADF di Jakarta. 77
Anggota eksekutif ADF memiliki peran tambahan dalam mengembangkan strategi
organisasional, strategi penggalangan dana, strategi media dengan rencana kerja
serta menentukan time frame yang mencakup badan terutama sekretariat agar
memiliki otoritas untuk membuat keputusan pada isu-isu yang berhubungan
dengan organisasinya.78
Sekretariat ADF berlokasi di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan
Sekretariat ASEAN serta kantor pusat The Foundation berlokasi di Jakarta.
Alasan lainnya adalah representatif permanen negara anggota ASEAN juga
berlokasi disitu. Dengan begitu, Sekretariat ADF diharapkan akan lebih mudah
dalam berhubungan dengan organisasi masyarakat lainnya dan berkerjasama
dengan ASEAN. Sekretarif ADF yang berlokasi di Jakarta ini juga memudahkan
ADF melaksanakan fungsi kontrol guna memastikan program-program ADF
terlaksana sesuai yang direncanakan. Ketua ADF dapat memberikan delegasi
kepada Sekretaris Jenderal ADF yang berada di Indonesia untuk melakukan
77 ADF. ASEAN Disability Forum. 78 ADF. ASEAN Disability Forum.
40
fungsi kontrol dalam tugas dan fungsi koordinasi perencanaan, monitoring, dan
evaluasi program advokasi secara regional, khususnya yang akan dilakukan di
Indonesia. 79 Saat ini, Sekretaris Jenderal ADF dipimpin oleh Maulani A.
Rotinsulu berasal dari Indonesia.80 Selain itu, melihat demografi Indonesia yang
banyak dengan kaum penyandang disabilitas masuk dalam kategori tinggi, yakni
sekitar 4.000.000 jiwa menjadi salah satu alasan Sekretariat ADF ditempatkan di
Indonesia.81
C. Upaya ADF dalam Mempromosikan Hak Kaum Disabilitas di Negara
Anggota ASEAN
Sebelum dibentuk secara resmi pada 2011, Disabled Peoples’
International Asia-Pacific (DPIAP) melihat tugas ADF masih minim. Oleh
karenanya, pada 30 November dan 1 Desember 2010, DPIAP mengadakan
konsultasi informal dengan ADF di Jakarta. Pertemuan tersebut dihadiri oleh para
ahli dari berbagai sektor, termasuk organisasi kaum penyandang disabilitas (OPD),
organisasi-organisasi induk mereka dan para donor internasional. Diskusi ini
menghasilkan Deklarasi Jakarta yang diadopsi 2 Desember 2010 dalam
Konferensi Regional pada ASEAN dan Disabilitas. Deklarasi tersebut berisikan
sebagai berikut:82
79 Wike Devi Erianti, Wawancara, 31 Januari 2020. 80 ADF, ASEAN Disability Forum Executive Board, https://www.aseandisabilityforum.com/about diakses pada 31 Januari 2020. 81 ADF. ASEAN Disability Forum http://aseandisabilityforum.org/digaleri/ diakses pada 18 April 2019. 82 ADF, ASEAN Disability Forum.
41
i. ASEAN Disability Forum harus dibangun sebagai upaya bersama multi-
stakeholders, termasuk Sekretariat ASEAN, negara anggota ASEAN,
agensi-agensi pembangunan internasional, organisasi masyarakat, media,
sektor bisnis, kelompok akademik, organisasi yang berhubungan dengan
disabilitas serta organisasi kaum penyandang disabilitas dan organisasi
yang berhubungan.
ii. ASEAN Disability Forum akan mengorganisirkan pertemuan perdananya
pada 2011 di Bangkok, Thailand dan akan melaksanakan pertemuan
tahunan dengan peserta meliputi multi-stakeholders.
Pada November 2010, Pertemuan Menteri ASEAN pada Kesejahteraan
Sosial dan Pembangunan dilaksanakan di Brunei Darussalam. Pertemuan tersebut
mengadopsi 2nd Strategic Framework for Social Welfare and Development (2011-
2015) dimana ADF diposisikan sebagai bagian dari kebijakan disabilitas, terutama
dibawah Forum GO-NGO atau forum organisasi pemerintah dan non-pemerintah.
Pemerintah Indonesia mengusulkan sebuah deklarasi disabilitas untuk diadopsi
oleh 19th Bali ASEAN Summit di bulan yang sama. Pemerintah Thailand juga
mengusulkan proklamasi the ASEAN Decade of Persons with Disability di
pertemuan yang sama. Diharapkan bahwa deklarasi ini akan menyebut ADF
sebagai bagian yang mendukung ASEAN Decade. Tidak hanya dua negara yang
memberi saran, Sekretariat ASEAN juga mengusulkan agar ADF mendapatkan
akreditiasi ASEAN. Dengan akreditasi sebagai organisasi masyarakat yang
terdaftar, kinerja ADF juga akan diperkuat dan lebih berpengaruh untuk
42
mempromosikan hak-hak kaum penyandang disabilitas. 83 ADF resmi
mendapatkan akreditasinya sebagai ASEAN Associated Entities pada 2016.84
Peresmian ASEAN Disability Forum dilaksanakan pada 18 hingga 19
September 2011, di Bangkok, Thailand. Pada peresmian tersebut, ADF
mengadopsi Deklarasi Bangkok, dimana deklarasi tersebut menyediakan masukan
untuk mempromosikan kebijakan inklusif bagi penyandang disabilitas, the
Stategic Framework of Social Welfare and Development 2011-2015 (sebagai
bagian dari 2011-2002 Dekade ASEAN kaum penyandang disabilitas). Hingga
sekarang, ADF telah melaksanakan berbagai kampanye advokasi penting, seperti:
a) Sejalan dengan KTT ASEAN 2012, diadakan Konferensi Tahunan
Pertama ADF (28-31 Maret).
b) Deklarasi Phnom Penh yang mendorong Pemerintahan Kamboja untuk
mengakselerasi ratifikasi CRPD, yang mana dilaksanakan 9 bulan
setelahnya, yakni Desember 2012.
c) Berpartisipasi dalam Konsultasi Regional 2 dengan Organisasi
Masyarakat pada ASEAN Intergovernmental Commission on Human
Rights dibawah the ASEAN Declaration of Human Rights (AICHR), di
Manila, Filipina, Pada pertemuan ini, hak kaum penyandang disabilitas
dimasukkan dalam Deklarasi pertemuan ini.
83 European Union, “Disability and Development Network ASEAN Disability Forum Bangkok”, https://europa.eu/capacity4dev/disability-and-development-network/event/asean-disability-forum-bangkok diakses 14 Maret 2019. 84 ASEAN, 2018, “Register of Entities Associated with ASEAN: Update List of Entities of Associated with ASEAN on ASEAN website 23 March 2018.” https://asean.org/storage/2012/05/Rev_REGISTER-OF-ENTITIES-ASSOCIATED-WITH-ASEAN-as-of-23-March-2018.pdf diakses 22 September 2019.
43
d) Selain itu, ADF juga telah diadvokasikan di hadapan Komisi ASEAN
untuk Promosi dan Proteksi Hak-Hak Perempuan dan Anak-Anak atau
biasa disebut the ASEAN Commission for the Promotion and
Protection of the Rights of Women and Chidren (ACWC), yang
sekarang menganggap disabilitas sebagai komponen isu gender.85
Pada dasarnya, ADF sekarang memiliki setidaknya sembilan fungsi.
Fungsi tersebut meliputi:86
Mengadvokasi dan membiasakan hak kaum penyandang disabilitas dalam
Komunitas ASEAN agar menjadi inklusif, termasuk dalam pemerintah,
media, bisnis, organisasi non-pemerintah, dan pemangku jabatan lainnya
dalam multi CRPD, disabilitas, dan pengembangan.
Menghapus batasan, mendorong peran, dan partisipasi aktif untuk kaum
penyandang disabilitas di segala aspek Komunitas ASEAN.
Meningkatkan kesadaran mengenai kaum penyandang disabilitas sebagai
isu hak asasi manusia, melakukan advokasi dalam seluruh pilar dan
mekanisme hak asasi manusia ASEAN.
Mendukung pengembangan kebijakan berdasarkan bukti dan
mengadvokasi pada disabilitas serta pembangunan inklusif dari perspektif
hak asasi manusia.
85 ADF. ASEAN Disability Forum. 86 Goodpitch Organization, ASEAN Disability Forum, https://goodpitch.org/orgs/asean-disability-forum-adf diakses pada 30 April 2019
44
Advokasi untuk pengembangan penelitian yang inklusif dan komprehensif
untuk kebijakan berdasarkan bukti dengan partisipasi aktif dari kaum
penyandang disabilitas.
Memonitor dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan ASEAN dan
implementasinya sesuai dengan hak penyandang disabilitas di kawasan
Asia Tenggara.
Mempromosikan partisipasi kaum penyandang disabilitas pada tiga pilar
ASEAN termasuk hidup mandiri.
Mempromosikan desain, pengembangan, produksi, dan distribusi
informasi, teknologi komunikasi, dan sistem yang dapat diakses dan hemat
biaya.
Mempromosikan ratifikasi dan implementasi Perjanjian Marrakesh untuk
Memfasilitasi Akses ke Karya-Karya yang Diterbitkan untuk Orang-Orang
yang Buta, Tunanetra atau Cetak Khusus Kaum Disabilitas (the Marrakesh
Treaty to Facilitate Access to Published Works for Persons Who Are Blind,
Visually Impaired or Otherwise Print Disabled).
Mayoritas program yang dicanangkan oleh AD berbentuk konferensi dan
advokasi. Salah satu konferensi tersebut diselenggarakan dari tanggal 11 sampai
14 Desember 2017, dimana tiap OPD di negara anggota ASEAN hadir dalam
konferensi dan latihan capacity building ADF di Manila bersama dengan rekan
ASEAN lainnya. Dari acara tersebut, para peserta mendapat pengetahuan dari
beberapa diskusi panel mengenai berbagai topik relevan hingga implementasi
CRPD di ASEAN, seperti “Menyelesaikan berbagai macam bentuk diskriminasi
45
dan meningkatkan kerjasama kaum penyandang disabilitas di ASEAN serta
komite-komite monitoring independen untuk ASEAN Decade dan implementasi
CRPD”, dan “Alat pembangunan Sustainable Development Goals (SDGs) untuk
implementasi CRPD serta pemenuhan Hak-Hak Kaum Penyandang Disabilitas”.
Terdapat juga diskusi mengenai Millenium Development Goals (MDGs) seperti
“Mengakhiri kemiskinan dan kelaparan, serta hidup sehat dan akses air bersih”,
dan “membangun sistem modern dan sesuai untuk kehidupan yang lebih baik
melalui teknologi, ide, membangun perkotaan lebih aman, dan inklusif untuk
seluruh masyarakat”. Diskusi tersebut bertujuan untuk meningkatkan keamanan
dalam pengimplementasian sistem-sistem infrastruktural. Sesi Capacity Building
digunakan untuk menganalisis Deklarasi Bali 2011, dan memahami bagaimana
implementasi CRPD dapat meningkatkan negara asal peserta. Salah satu peserta
asosiasi, seperti Disabled Peoples’ Association (DPA) berhasil memberikan
pengetahuan mengenai perkembangan laporan parallel CRPD, serta menekankan
beberapa kriteria yang seharusnya dapat dimasukkan dalam Deklarasi Bali, seperti
aksesbilitas dalam layanan web pemerintah.87
Selain konferensi, aksi terkini yang dilakukan ADF adalah mendorong
implementasi Enabling Masterplan ASEAN 2025 agar dilaksanakan penuh dengan
pelibatan langsung kelompok disabilitas dalam tiap tahap implementasi,
monitoring, serta evaluasinya. Masterplan ini merupakan rencana kerja ASEAN
untuk lebih mempromosikan dan melindungi hak-hak kaum disabilitas di ASEAN
dan memiliki program kerja hingga 2025. Oleh karena itu, ADF
87 Disabled People’s Association Singapore, 2017, ASEAN Disability Forum, https://www.dpa.org.sg/our-event/asean-disability-forum-adf/ diakses 14 Maret 2019
46
merekomendasikan dibentuknya Joint Working Group on Persons with
Disabilities sebagai supporting group guna memastikan pengimplementasian
Enabling Masterplan yang efektif.88
Joint working group tersebut direncanakan akan bekerja dalam dua area
yakni sebagai supporting group yang akan memberikan masukan pada pemerintah
ASEAN, dalam hal ini kelompok itu beranggotakan perwakilan dari AICHR,
ACWC, dan SOMSWD. Selain itu, working group tersebut juga akan memastikan
agenda masterplan ini diimplementasikan dengan baik di masing-masing negara
anggota ASEAN. Joint working group memiliki tiga mandat. Pertama, fungsi
memastikan implementasi masterplan di tiga pilar ASEAN, yakni the ASEAN
Political-Security Community (APSC), the ASEAN Economic Community (AEC),
dan the ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). Kedua, fungsi monitoring
pengimplementasian Masterplan. Ketiga, memberikan masukan atau advisory
dalam pengimplementasian masterplan. Joint working group tersebut juga akan
diisi oleh perwakilan OPD yang memiliki kompetensi dan independensi dari
masing-masing negara anggota ASEAN, seleksinya akan diserahkan pada proses
nasional.89
88 Disabled People’s Association Singapore, ASEAN Disability Forum. 89 Disabled People’s Association Singapore, ASEAN Disability Forum.
47
BAB III
ISU DISABILITAS
A. Respon Masyarakat Internasional terhadap Isu Disabilitas
1. Isu Disabilitas di Perserikatan Bangsa-Bangsa
Kaum penyandang disabilitas terhitung berjumlah 15% dari total populasi
dunia, atau sekitar satu milyar orang, dimana 80% nya hidup di negara-negara
berkembang.90 Menurut pendekatan medis atau medical model, disabilitas adalah
masalah individu yang disebabkan oleh keterbatasan fungsi atau ketidaknormalan
fisik atau mental. Pada intinya, masalah disabilitas merupakan suatu kekurangan
atau kelainan pada seseorang dengan menggunakan ukuran kelengkapan tubuh
atau indra dari orang normal.91 Paradigma tersebut mulai bergeser pada dekade
70-an dimana UPIAS (Union of the Physically Impaired against Sagregation)
mulai memperkenalkan model sosial (social model). Dalam pendekatan tersebut,
disabilitas diartikan sebagai konstruksi sosial dan berkaitan dengan masyarakat
dan lingkungan. Lingkungan dibentuk oleh kelompok “normal” sehingga tidak
memberi ruang dan kesempatan bagi penyandang disabilitas.92 Pada sejarahnya,
HAM bagi penyandang disabilitas terbilang tertinggal sejak awal kemunculan
HAM pasca perang dunia dua. Para penyandang disabilitas telah diabaikan selama
90 United Nations, 2016, Inclusive and Equitable Education: Leaving No One Behind, United Nations Sustainable Development. https://sustainabledevelopment.un.org/index.php?page=view&type=20000&nr=432&menu=2993 Diakses pada 1 Mei 2019. 91 Slamet Thohari, 2014, “Pandangan Disabilitas dan Aksesibilitas Fasilitas Publik bagi Penyandang Disabilitas di Kota Malang”, Indonesia Journal of Disability Studies, Vol. 1 Issue 1, 34. 92 Fajri Nursyamsi, Estu Dyah Arifianti, Muhammad Faiz Aziz, Putri Bilqish dan Abi Marutama, 2015, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 34.
48
tiga dekade awal pembentukan PBB. Tak satupun klausal megenai HAM seperti
Deklrasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik (1966), dan Kovenan Internasional tentang Ekonomi,
Sosial, dan Budaya (1966) secara eksplisit menyebutkan disabilitas sebagai
kategori yang dilindungi. Adapun kata disabilitas yang dirujuk sebagai isu HAM
hanya berkaitan dengan jaminan sosial dan kebijakan kesehatan preventif.
Diakuinya penyandang disabilitas sebagai subyek dari deklarasi HAM muncul
pada tahun 1970-an, dengan diundangkannya Deklarasi Orang dengan
Terbelakangan Mental (1971). Namun demikian, instrumen awal tersebut masih
mencerminkan gagasan disabilitas sebagai model medis.93
Majelis Umum PBB menghasilkan sejumlah resolusi pada tahun 1970-an
dan 1980-an, dimana hal tersebut berdampak pada dilaksanakannya Program Aksi
Dunia Penyandang Disabilitas tahun 1982. Instrumen tersebut mengarahkan pada
Dekade PBB Penyandang Disabilitas 1982-1993. Tujuan awal dari program aksi
itu adalah pencegahan dan rehabilitasi. Tujuan selanjutnya ialah persamaan
kesempatan, yang kemudian merubah paradigma disabilitas di tingkat
internasional. Momentum besar lainnya yang membantu mengubah paradigma
pendekatan medis menjadi sosial terlihat pada dua laporan tematik yang
dipersiapkan oleh Komisi PBB, yaitu HAM di bidang kesehatan mental dan
pelanggaran HAM yang berkaitan dengan penyandang disabilitas. Kedua laporan
tersebut mengakui disabilitas sebagai subjek dalam divisi HAM PBB, dimana
dalam perkembangannya membantu membangun pemahaman bahwa penyandang
93 Nursyamsi, Arifianti, Aziz, Bilqish dan Marutama, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas, 34.
49
disabilitas bukan hanya sebagai penerima belas kasihan tetapi juga sebagai subyek
HAM. Namun, Komisi HAM PBB tidak memberi kegiatan tindak lanjut. Di lain
sisi, pedoman dan standar yang diadopsi selama pelaksanaan Dekade PBB
Penyandang Disabilitas periode 1982-1993 yang berbentuk proposal perjanjian
mengenai perlindungan HAM bagi penyandang disabilitas tidak mendapat
dukungan mayoritas dalam Rapat Majelim Umum PBB pada 1987.94
Guna merealisasikan komitmen PBB untuk menciptakan perdamaian dan
keamanan, pengembangan hak asasi manusia dan sosio-ekonomi untuk seluruh
masyarakat, PBB berupaya menanggapi isu disabilitas sebaik mungkin. Hal ini
dapat dilihat pada perkembangannya, PBB telah banyak menghasilkan resolusi
dan deklarasi guna mendukung penyeteraan hak bagi kaum penyandang
disabilitas. Hingga pada 13 Desember 2006, PBB berhasil mengadopsi the
Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) dan berlaku pada 3
Mei 2008 untuk melindungi serta menjamin hak asasi manusia dan kebebasan
fundamental untuk seluruh kaum penyandang disabilitas. 95 Konvensi ini telah
diratifikasi oleh 177 negara dan ditandatangani oleh 161 negara, menjadi langkah
baru bagi PBB dalam melihat kaum penyandang disabilitas yang sebelumnya
dianggap sebagai “objek” sumbangan, perawatan medis, dan proteksi sosial
menjadi “subjek” dengan hak asasi. Mereka mampu menuntut hak-hak tersebut
dan membuat keputusan untuk kehidupannya sendiri berdasarkan keinginannya
94 Nursyamsi, Arifianti, Aziz, Bilqish dan Marutama, 2015, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas, 34. 95 United Nations, UN Disability. www.un.org/disability diakses pada 30 April 2019
50
serta merupakan anggota aktif masyarakat. 96 Pada 2015, diadopsi the 2030
Agenda for Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai hasil pembaharuan
Millennium Development Goals tahun 2000, yang merupakan rencana
pembangunan global dengan spesifik meliputi kaum penyandang disabilitas. 97
Pada SDGs terdapat 5 referensi ekplisit untuk disabilitas, dengan 6 Goals
tambahan secara implisit berhubungan dengan kaum penyandang disabilitas
melalui mandat untuk tidak meninggalkan sipapun di belakang.98
Dalam hal aksesbilitas pendidikan, Millennium Development Goals Report
2010 mengindikasikan hubungan antara disabilitas dan marginalisasi dalam
pendidikan merupakan hal yang nyata pada tiap negara di segala tingkat
pembangunan. Hal tersebut dapat dilihat bahkan di negara-negara yang hampir
mencapai pendidikan dasar universal, anak-anak dengan disabilitas mayoritasnya
termarginalkan. Diperkirakan lebih dari sepertiga siswa yang berhenti sekolah
memiliki disabilitas. Resolusi 65/186 Majelis Umum PBB pada disabilitas
menghimbau untuk mengarustamakan disabilitas dan kaum penyandang
disabilitas dalam segala proses pembangunan serta mendorong pemerintah dan
PBB untuk memperkuat pengoleksian data dan statistik disabilitas.99
96 United Nations, Convention on the Rights of Persons with Disabilities. United Nations – Disability Department of Economic and Social Affairs. https://www.un.org/development/desa/disabilities/convention-on-the-rights-of-persons-with-disabilities.html diakses 19 Mei 2019 97 United Nations, Convention on the Rights of Persons with Disabilities. 98 High-Level Intergovernmental Meeting on the Midpoint Review of the Asian and Pacific Decadeof Persons with Disabilities, 2017, Disability in Asia and the Pacific: The Facts 2013-2022, 4. 99 United Nations, Panel Discussion on Making Education a Reality for Children with Disabilities 5 July 2011, UN – Disability Department of Economic and Social Affairs.
51
Menurut UNESCO, sebanyak 90% anak dengan disabilitas di negara-
negara berkembang tidak bersekolah. Selain itu, dikutip dari studi UNDP pada
1998, melek huruf bagi penyandang disabilitas yang telah dewasa hanya sebanyak
3%, dan 1% untuk wanita dengan disabilitas. Di negara-negara Organisation for
Economic Cooperation and Development (OECD), siswa dengan disabilitas di
perguruan tinggi tetap kurang terwakili, meskipun jumlah mereka meningkat.100
Pada dasarnya, saat ini PBB menghimbau terciptanya pendidikan inklusif bagi
anak penyandang disabilitas. Pendidikan ini dianggap dapat mempromosikan
pemenuhan primer pendidikan secara universal serta hemat biaya dan dapat
mengeliminasi diskriminasi. Sistem edukasi perlu beradaptasi menjadi pendekatan
yang berpusat pada peserta didik dengan perubahan dalam kurikulum, metode
mengajar dan materi, serta sistem penilaian dan ujiannya. Selain itu, pelatihan
guru maupun pengajar dalam mengajar anak penyandang disabilitas juga
merupakan hal yang penting.101 Hal tambahan lainnya yang perlu diperhatikan
adalah pengubahan sarana kelas yang ramah disabilitas. Beberapa anak akan
membutuhkan akses terhadap layanan bantuan termasuk pengajar edukasi
spesialis, asisten pengajar, dan layanan terapi.102
https://www.un.org/development/desa/disabilities/panel-discussion-on-making-education-a-reality-for-children-with-disabilities-5-july-2011.html diakses 30 April 2019 100 United Nations, Factsheet on Persons with Disabilities, UN – Disability Department of Economic and Social Affairs. https://www.un.org/development/desa/disabilities/resources/factsheet-on-persons-with-disabilities.html diakses 1 Mei 2019 101 World Health Organization & World Bank, 2011, World Report on Disability 2011, 15. https://apps.who.int/iris/handle/10665/44575 diakses 21 Oktober 2018. 102 United Nations, Factsheet on Persons with Disabilities.
52
Komitmen PBB terhadap HAM terlihat pada Piagam PBB dan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (1948). Namun, PBB tidak dapat bertindak banyak
jika tidak mendapat persetujuan dan bantuan finansial dari negara anggotanya.
Oleh karenanya, dukungan terhadap prinsip-prinsip PBB oleh negara anggotanya
sangat penting, baik dalam level nasional maupun lokal dengan cara mengajar
pemerintah negara-negara tersebut untuk membentuk komitmen yang jelas pada
perkembangan kemanusiaan dan sosial secara umum dan HAM untuk anak dan
orang dewasa dengan disabilitas secara khusus.103
2. Isu Disabilitas di Asia Tenggara
Menurut WHO, kawasan Asia Tenggara termasuk kedua tertinggi
penyandang disabilitas tingkat menengah sebanyak 16% dan ketiga tertinggi
penyandang disabilitas tingkat berat sebesar 12,9%. Kedua persentase
diasumsikan masih diremehkan sejumlah negara di kawasan tersebut. Hal ini
dikarenakan sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara menggunakan
definisi berbasis kecacatan terhadap penyandang disabilitas, kecuali Indonesia dan
Thailand. 104 Pada akses pendidikan, anak-anak dengan disabilitas cenderung
sedikit menempuh bangku sekolah, oleh karenanya mengalami kesempatan yang
terbatas dan penurunan tenaga kerja serta berkurangnya produktivitas pada masa
dewasa. Kesenjangan siswa sekolah dasar antara yang normal dan memiliki
disabilitas di negara-negara Asia Tenggara terhitung dari 10% hingga 60% di
Indonesia. Di Thailand, 60% anak dengan disabilitas usia pendidikan telah
103 Mitchell, D, 2005, Contextualising Inclusive Education: Evaluating New and Old Perspectives, Ch. 18 The Global Context of Inclusive Education: The Role of the United Nations, London: Routledge, 1. 104 WHO, Disability in the Southeast Asia , 2013, WHO Regional Office for South-East Asia, 1.
53
disediakan edukasi, namun, sekitar 25% kaum penyandang disabilitas yang lebih
dari 5 tahun tidak mendapat akses pendidikan, dan hampir 60% memiliki tingkat
pendidikan paling tinggi dibawah sekolah dasar.105
Sepuluh negara di kawasan Asia Tenggara memiliki rencana nasional
untuk pencegahan dan rehabilitasi disabilitas. Sejak 2003, kesempatan kerja untuk
kaum penyandang disabilitas telah ditinjau oleh negara-negara anggota,
representatif industri, organisasi non-pemerintah, ILO dan WHO. Kegiatan
pencegahan dan pengurangan ketulian di kawasan juga telah berkembang secara
signifikan sejak 2005 dan telah bergerak maju untuk integrasi dalam Community-
Based Rehabilitation (CBR). Pihak Regional WHO untuk Asia Tenggara, sebagai
bagian dari Satuan Tugas WHO untuk disabilitas yang dibentuk pada 2008, juga
telah meningkatkan kesadaran mengenai CRPD dengan kantor-kantor WHO di
negara kawasan Asia Tenggara beserta Departemen Kesehatan melalui beberapa
briefing dan seminar. Kantor Regional WHO untuk Asia Tenggara merupakan
gedung WHO pertama yang menyelesaikan Audit Akses Disabilitas dan ramah
terhadap disabilitas.106
Tidak ada data statistik yang dapat dipercaya dan up-to-date mengenai
disabilitas di kawasan ASEAN. Data yang ada berdasarkan proyeksi, seperti
menggunakan tingkat prevalensi rata-rata WHO/World Bank, atau pada survei
sampel. Variasi tingkat prevalensi di berbagai studi tergantuing pada perbedaan
definisi disabilitas yang digunakan. CRPD menggunakan definisi disabilitas
105 WHO, Disability in the Southeast Asia 2013, 9. 106 WHO, Disability in the Southeast Asia 2013, 9.
54
secara luas: “Persons with disabilities include those who have long-term physical,
mental, intellectual or sensory impairments which in interaction with various barriers
may hinder their full and effective participation in society on an equal basis with
others”. Banyak negara masih menggunakan definisi medis yang sempit dalam
hukum negaranya. Definisi yang terbatas tersebut seringkali menunjuk pada
keterbatasan tubuh tertentu. Sebagian besar negara masih menggunakan definisi
disabilitas yang sempit.107
Setidaknya terdapat 16 juta kaum penyandang disabilitas di kawasan
ASEAN jika diukur menggunakan definisi disabilitas yang sempit. Jika
menggunakan definisi disabilitas yang lebih luas (seperti yang telah dilakukan
dalam CRPD), data penyandang disabilitas di Asia Tenggara dapat mendekati 95
juta. Diperkirakan kurang dari 10% anak-anak dengan disabilitas di kawasan
tersebut mengikuti kegiatan sekolah. Pemerintah di negara kawasan Asia
Tenggara telah mengambil sejumlah langkah legislatif dan kebijakan yang
mengindikasikan komitmen untuk meningkatkan hak penyandang disabilitas.
Pada waktu bersamaan, kesenjangan hukum dan kebijakan yang signifikan tetap
ada.108
B. Isu Disabilitas di Indonesia
Pada 2010, data Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) dari Kementerian
Sosial (Kemensos) memperkirakan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia
adalah 11.580.117 orang. Sedangkan jika merujuk data Kementerian Tenaga
107 WHO, Disability in the Southeast Asia 2013, 9. 108 WHO, Disability in the Southeast Asia 2014, WHO Regional Office for South-East Asia, 2.
55
Kerja dan Transmigrasi, pada 2010 jumlah penyandang disabilitas adalah
7.126.409. Menurut Badan Pusat Statistik, Survei Angkatan Kerja Nasional
(SAKERNAS) 2011, diperkirakan 10% dari penduduk Indonesia yakni sekitar 24
juta adalah penyandang disabilitas. 109 Untuk tahun 2016, Tim Riset Lembaga
Penyeledikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis (LPEM
FEB) Universitas Indonesia mengestimasi jumlah penyandang disabilitas di
Indonesia sebesar 12,15%, dari angka 12,15% penyandang disabilitas, 45,74%
tingkat pendidikan penyandang disabilitas tidak pernah atau tidak lulus sekolah
dasar (SD). Persentase ini sangat jauh jika dibandingkan non-penyandang
disabilitas sebanyak 87,31% berpendidikan SD keatas. Jumlah penyandang
disabilitas di Indonesia juga lebih banyak dialami oleh perempuan yaitu 53,37%,
sedangkan sisanya sebesar 46,63% adalah laki-laki.110 Meskipun terdapat berbagai
data mengenai kondisi disabilitas di Indonesia, data tersebut masih terbilang
kurang akurat. 111 Hal ini dapat dilihat dari perbedaan data yang ditampilkan
Kemensos, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), dan Badan Pusat Statistik
(BPS) dimana ketiganya memiliki data yang berbeda mengenai disabilitas sesuai
dengan definisi konsep yang digunakan serta tergantung tujuan dan kebutuhan
masing-masing.112 Sejak 2007, data penyandang disabilitas dikumpulkan melalui
109 ILO, 2013, Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia. https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_233426.pdf diakses 21 Oktober 2018. 110 Desy Susilawati. 2016. “Indonesia Miliki 12 Persen Penyandang Disabilitas”. Republika.co.id. https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/12/16/oi9ruf384-indonesia-miliki-12-persen-penyandang-disabilitas diakses 10 Mei 2019 111 ILO, 2013, Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia. 112 Kementerian Kesehatan. 2014. “Situasi Penyandang Disabilitas”. Buletin Jendela Data dan Infromasi Kesehatan. https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/15033100002/situasi-penyandang-disabilitas.html diakses 21 Oktober 2018, 6.
56
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang diselenggarakan oleh Kementerian
Kesehatan, dan telah dilaksanakan juga pada tahun 2010 dan 2013. Data yang
dikumpulkan Riskesdas adalah data penyandang disabilitas umur 15 tahun ke atas
dan merupakan kondisi disabilitas dalam kurun waktu sebulan sebelum survei.
Kondisi disabilitas diukur menurut penilaian responden mengenai tingkat
kesulitan dirinya menggunakan fungsi tubuh, individu, dan sosial.113
Setelah disahkannya CRPD, disabilitas di Indonesia tidak lagi dipandang
hanya sebagai charity based, namun juga social based. Dengan kata lain,
penyandang disabilitas tidak lagi dipandang sebagai kelompok yang hanya patut
dikasihani, namun juga dilindungi hak-hak mereka sebagai manusia.114 Terdapat
setidaknya 114 peraturan perundang-undangan yang masih berlaku sampai saat ini
terkait dengan isu disabilitas.115
113 Kementerian Kesehatan. 2014. “Situasi Penyandang Disabilitas”. Buletin Jendela Data dan Infromasi Kesehatan. https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/15033100002/situasi-penyandang-disabilitas.html diakses 21 Oktober 2018, 6. 114 Nursyamsi, Arifianti, Aziz, Bilqish dan Marutama, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas, 14. 115 Nursyamsi, Arifianti, Aziz, Bilqish dan Marutama, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas, 14.
57
Grafik III. 1. Jenis Perundang-undangan Disabilitas di Indonesia
Sumber: Nursyamsi, Arifianti, Aziz, Bilqish dan Marutama, 2015.116
Pada bidang pendidikan, pemerintah memiliki program untuk menyatukan
penyandang disabilitas ke dalam pendidikan regular. Program ini dikenal dengan
pendidikan inklusif. Penyelenggaraan pendidikan untuk kaum disabilitas telah
diatur dalam melalui UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Selain itu, pemerintah juga menyediakan satuan pendidikan khusus bagi
peserta didik disabilitas, baik pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah,
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan
Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 133. 117 Gambaran sekolah inklusif di
Indonesia dapat ditinjau salah satunya melalui tingkatan Sekolah Menengah
Pertama (SMP). Jumlah SMP inklusif 2015/2016 sebanyak 3.817 dengan rincian
2.465 sekolah negeri dan 1.352 swasta. Siswa inklusif berjumlah 24.985 dengan
rincian 15.590 sekolah negeri dan 9.395 swasta. Sedangkan Guru Pendamping
116 Nursyamsi, Arifianti, Aziz, Bilqish dan Marutama, 2015, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 29. 117 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016, Gambaran Sekolah Inklusif di Indonesia: Tinjauan Sekolah Menengah Pertama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 2.
58
Khusus (GPK) hanya sebanyak 1.101 dengan rincian 728 negeri dan 373 swasta.
Dengan demikian, secara keseluruhan SMP inklusif di Indonesia belum cukup
memadai. Hal ini terlihat pada kesenjangan antara total siswa inklusif dengan
GPK yang ada.118
Tidak hanya pada tingkatan sekolah, program inklusif ini juga mewajibkan
seluruh universitas untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif bagi penyandang
disabilitas sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Perguruan Tinggi.119 Namun demikian, realita dilapangan memperlihatkan dilema
jurusan di perguruan tinggi. Banyak jurusan tersebut memberikan opsi persyaratan
untuk calon mahasiswa yang mendaftar, seperti tidak tunanetra, tunarungu,
tunawicara, tunadaksa, buta warna sebagian, buta warna keseluruhan maupun
sebagian. Salah satu contoh adalah jurusan arsitektur di Universitas Indonesia,
terdapat peryaratan kode 1 (tunanetra), 2 (tunarungu), dan 5 (buta warna sebagian).
Hal ini menurut kebanyakan kaum disabilitas maupun aktivis hak kaum disabilitas
merupakan suatu diskriminasi terhadap kaum disabilitas. Namun di lain hal, pihak
penyelenggara Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN)
2014 maupun perguruan tinggi, tidak bermaksud untuk mendiskriminasikan suatu
kaum, tetapi, jurusan tersebut mewajibkan suatu peraturan dikarenakan
persyaratan itu penting untuk diikuti, jika tidak, ditakutkan mahasiswa disabilitas
118 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gambaran Sekolah Inklusif di Indonesia: Tinjauan Sekolah Menengah Pertama, 2. 119 Dion Teguh Pratomo, Sudarsono dan Mohammad Fadli, 2014, “Pelaksanaan Perlindungan Hak Atas Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas (People with Disability) di Universitas Negeri Gorontalo”, Malang: Universitas Brawijaya, 6.
59
yang mendaftar pada jurusan tersebut tidak dapat mengikuti pembelajaran dengan
baik, atau lebih parah, dapat membahayakan nyawanya sendiri.
Selain dilema persyaratan jurusan, masih banyak perguruan tinggi yang
belum memberi layanan yang layak bagi penyandang disabilitas, baik dalam segi
fasilitas kampus maupun tenaga pengajar. Beberapa perguruan tinggi yang tercatat
telah memberikan layanan bagi penyandang disabilitas adalah Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Brawijaya, UIN Syarif
Hidayatullah, dan Universitas Diponegoro dari 4.310 Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) dan swasta yang terdata dalam Direktorat Jenderal Kelembagaan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan Perguruan Tinggi (Dikti), Kementerian
Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti). 120 Dengan demikian,
penyandang disabilitas yang mengenyam pendidikan tinggi cukup sedikit.
Berdasarkan BPS tahun 2015, hanya 36,49% penyandang disabilitas usia 5-29
tahun yang bersekolah, 41,89% tidak bersekolah atau putus sekolah, 21,61%
bahkan tidak pernah bersekolah. Untuk mengatasi kasus tersebut, pemerintah
berupaya meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas untuk mengenyam
pendidikan di perguruan tinggi dengan mengeluarkan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 46 Tahun 2014 tentang Pendidikan Khusus di
Perguruan Tinggi 121 dimana peraturan tersebut menginstruksikan agar seluruh
120 Hidayat, Reja. "Menghentikan Diskriminasi Penyandang Disabilitas". 2016. tirto.id. https://tirto.id/menghentikan-diskriminasi-penyandang-disabilitas-bHGp diakses 23 Mei 2019. 121 Pratomo, Sudarsono dan Fadli, “Pelaksanaan Perlindungan Hak Atas Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas (People with Disability) di Universitas Negeri Gorontalo”, 1.
60
universitas baik swasta maupun negeri membuka akses seluas-luasnya bagi kaum
disabilitas untuk dapat menempuh pendidikan tinggi sesuai pilihan mereka.122
C. Upaya Pemerintah dalam Meningkatkan Aksesibilitas Pendidikan Kaum
Disabilitas 2016-2018
Penjabaran UUD NKRI 1945 telah dilakukan terhadap pendidikan bagi
penyandang disabilitas, serta kebijakan dasar penyelenggaraan pendidikan
nasional juga dapat dilihat dalam Pembukaan UUD’ 45 alinea keempat, yang juga
merupakan satu kesatuan integral tujuan negara, yakni mencerdaskan kehidupan
bangsa.123 Upaya pemerintah dalam melindungi kehidupan penyandang disabilitas
dapat dilihat pada UU yang belum lama ini diterbitkan yaitu UU Nomor 8 Tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai pengganti dari UU Nomor 4 Tahun
1997 tentang Penyandang Cacat. 124 Peraturan Pemerintah (PP) harus segera
disusun maksimal 2 tahun setelah UU tersebut disahkan. Para penyandang
disabilitas merekomendasikan setidaknya harus terdapat 15 PP, agar dapat
mengakomodasi kepentingan kaum disabilitas sepenuhnya. Namun demikian,
pemerintah memutuskan hanya akan membuat satu PP.125 Hal ini dinilai sangat
mengecewakan bagi para penyandang disabilitas serta aktivisnya. Pemerintah
Jokowi dinilai melanggar janji kampanyenya sendiri yang tertuang dalam Piagam
122 Pratomo, Sudarsono dan Fadli, “Pelaksanaan Perlindungan Hak Atas Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas (People with Disability) di Universitas Negeri Gorontalo”, 8. 123 Jazim Hamidi, 2016, Perlindungan Hukum terhadap Disabilitas dalam Memenuhi Hak Mendapatkan Pendidikan dan Pekerjaan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 671. 124 Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, 2016, Artikel Kebijakan Penyandang Disabilitas. https://www.kemhan.go.id/pusrehab/2016/11/24/artikel-kebijakan-penyandang-disabilitas.html diakses 19 Mei 2019. 125 Nurhadi Sucahyo, 2017, “Penyandang Disabilitas Pertanyakan Komitmen Pemerintahan Jokowi”, VOAIndonesia.com. https://www.voaindonesia.com/a/penyandang-disabilitas-pertanyakan-komitmen-pemerintahan-jokowi/3980179.html diakses23 Mei 2019.
61
Soeharso. Dalam piagam tersebut, secara tertulis Jokowi berjanji bahwa
pemerintahannya akan dibangun dengan persepsi bahwa penyandang disabilitas
bukanlah beban, namun aset negara. Prinsip tersebut akan diberlakukan dalam
setiap pengambilan kebijakan politik regulasi maupun kebijakan politik anggaran.
Oleh karenanya, keputusan hanya akan membuat satu PP dinilai tidak
menggambarkan pelaksanaan Piagam Soeharso. Menurut Kelompok Kerja
Implementasi UU Penyandang Disabilitas, selama ini pemerintah tidak secara
resmi melibatkan kelompok pendukung disabilitas dalam pembahasan regulasi.
Selain itu, menurut kelompok kerja tersebut, keputusan pemerintah untuk
membuat 1 PP dikarenakan ketiadaan komitmen dan faktor anggaran.
Selain kurang maksimalnya upaya pembentukan PP bagi penyandang
disabilitas, pemerintah Jokowi juga dinilai kurang mengayomi kaum disabilitas
dalam hal ketenagakerjaan. Dunia lapangan kerja cenderung memberi persyaratan
yang sangat tinggi bagi kaum disabilitas, seperti persyaratan wajib lulus SMA.
Hal ini dirasa memberatkan karena untuk mendapatkan pendidikan inklusif masih
terbilang susah. Melihat hal tersebut, Federasi Kesejahteraan Penyandang Cacat
Tubuh Indonesia (FKPCTI) meminta agar dihapuskan syarat pendidikan serta
menggantinya dengan syarat keterampilan. Jika mengacu pada syarat tenaga kerja
minimal SMA, S1, S2, dan S3, hal tersebut dirasa menjadi hambatan penyandang
disabilitas dalam mencari pekerjaan. Kementerian Ketenagakerjaan mengakui
adanya persyaratan tinggi yang ditetapkan oleh perusahaan bagi penyandang
62
disabilitas, oleh karenanya, Kemnaker akan membantu menegosiasikan kepada
perusahaan.126
Meskipun mendapat kritikan, pemerintahan Jokowi juga terbukti
menjalankan kontribusi demi melangsungkan hidup yang layak bagi kaum
disabilitas. Mantan Menteri Sosial Khofifah Indarprawansa pada 28 November
2017 menerbitkan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2017 tentang Penerbitan Kartu Penyandang Disabilitas, UU ini
kemudian diundangkan di Jakarta pada 4 Desember 2017 pada Berita Negara
Nomor 1730 tahun 2017. Permensos ini diterbitkan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 121 ayat 3 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas.127
Pada Pasal 121 UU 6 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas diatur
mengenai pendataan kaum disabilitas di Indonesia serta penerbitan Kartu
Penyandang Disabilitas. 128 Pasal 2 Permensos tentang Penerbitan Kartu
Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa tiap penyandang disabilitas berhak
mendapatkan Kartu Penyandang Disabilitas (KPD). Lebih lanjut, pada pasal 3
menyebutkan tujuan penerbitan KPD adalah untuk memberikan identitas bagi
Penyandang Disabilitas yang telah masuk dalam data nasional Penyandang
126 Hidayat, Reja, 2016, "Menghentikan Diskriminasi Penyandang Disabilitas", tirto.id. https://tirto.id/menghentikan-diskriminasi-penyandang-disabilitas-bHGp diakses 23 Mei 2019. 127 “Permensos 21 Tahun 2017 tentang Kartu Penyandang Disabilitas”, 2017, Jogloabang.com. https://www.jogloabang.com/pustaka/permensos-21-tahun-2017-tentang-kartu-penyandang-disabilitas diakses pada 23 Mei 2019 128 “Permensos 21 Tahun 2017 tentang Kartu Penyandang Disabilitas”, 2017, Jogloabang.com.
63
Disabilitas guna memperoleh akses layanan dalam penghormatan, pemajuan,
perlindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.129
Selain penerbitan KPD, pada 2018, dalam rangka memperingati Hari
Disabilitas Internasional (HDI), Kementerian Sosial menghadirkan ekspos
program atau layanan inklusif dan produk penyandang disabilitas. Ekspos
Program, Layanan Inklusif, dan Produk Penyandang Disabilitas ini menampilkan
70 gerai dengan 7 kelompok berbeda. Untuk menghadirkan layanan di setiap gerai,
Kemensos bekerjasama dengan berbagai organisasi penyandang disabilitas,
lembaga pemerintah, dan kementerian terkait.130 Beberapa gerai memiliki layanan
yang berbeda, sebagai contoh, gerai pertama berisikan Gerai Pendataan dan
Identitas, Politik, Keadilan dan Perlindungan Hukum. Dalam gerai ini, kaum
disabilitas dapat mendaftarkan KTP, Akte Lahir, KIA, perpanjangana STNK dan
SIM untuk kaum disabilitas. Tidak hanya itu, terdapat juga Layanan Informasi
dan Pendataan untuk Kartu Disabilitas, Layanan Informasi dan Konsultasi
mengenai Pemilu Akses, serta pembuatan dan perpanjangan paspor penyandang
disabilitas.131
Gerai kedua merupakan Gerai Pendidikan, Pekerjaan, Kewirausahaan dan
UKM. Dalam gerai ini, disajikan profil sekolah dan kampus inklusi, pendidikan
vokasi, program Return to Work, pendaftaran Kepersataan BPJS Ketenagakerjaan,
129 “Permensos 21 Tahun 2017 tentang Kartu Penyandang Disabilitas”, 2017, Jogloabang.com. 130 Kementerian Sosial Republik Indonesia, 2018, “Kemensos Hadirkan Beragam Layanan dan Program Bagi Penyandang Disabilitas.” https://www.kemsos.go.id/siaranpers/kemensos-hadirkan-beragam-layanan-dan-program-bagi-penyandang-disabilitas 24 Mei 2019 131 Kementerian Sosial Republik Indonesia, Kemensos Hadirkan Beragam Layanan dan Program Bagi Penyandang Disabilitas.
64
Program KLOB (kepribadian kerja, minat kerja, dan nilai kerja), profil disabilitas
yang menjadi Aparatur Sipil Negera (ASN), Simulasi tes Computer Assisted Test
(CAT) bagi penyandang disabilitas, layanan informasi penempatan tenaga kerja,
bursa penerimaan karyawan disabilitas, serta terdapat juga pameran kerajinan
tangan, aksesoris dan produk disabilitas.132 Selain gerai pertama dan kedua, masih
terdapat lima gerai dengan layanan yang berbeda.
132 Kementerian Sosial Republik Indonesia, Kemensos Hadirkan Beragam Layanan dan Program Bagi Penyandang Disabilitas.
65
BAB IV
PERAN ASEAN DISABILITY FORUM DALAM PENGADVOKASIAN
AKSES PENDIDIKAN BAGI KAUM DISABILITAS DI INDONESIA 2016-
2018
Pada Bab 4 ini menganalisis bagaimana peran yang dilaksanakan oleh
ASEAN Disability Forum (ADF) dalam pengadvokasiannya mengenai akses
pendidikan kaum disabilitas di Indonesia 2016-2018. Bab ini akan menunjukkan
peran ADF sesuai dengan tiga peran organisasi internasional, yakni sebagai arena,
instrumen, dan aktor independen. Selain menjelaskan peran, bab ini juga akan
memaparkan fungsi organisasi internasional apa saja yang telah diikuti ADF.
Kemudian, bab 4 ini juga akan menjabarkan berbagai hambatan yang dialami
oleh ADF dalam upaya pengadvokasiannya pada hak-hak kaum disabilitas
terutama dalam bidang pendidikan.
A. Peran ADF dalam Pengadvokasian Akses Pendidikan bagi Kaum
Disabilitas di Indonesia 2016-2018
1. Peran ADF sebagai Arena Organisasi Internasional dalam
Pengadvokasian Akses Pendidikan bagi Kaum Disabilitas di Indonesia 2016-
2018
Menurut wawancara yang dilakukan dengan Program Officer ADF, Wike
Devi Erianti, ADF yang merupakan organisasi regional berfokus pada pemenuhan
civil rights yakni tiap individu dapat menikmati hidupnya sebagai warga
66
negara.133 Pada umumnya memiliki peran sebagai perantara antara OPD maupun
kaum disabilitas di tiap negara ASEAN pada tingkat grassroots dengan
mekanisme atau struktur kerjasama HAM di ASEAN. Dengan demikian, ADF
telah memenuhi hak kedua yakni hak internasional yang dinikmati tiap negara
dalam berinteraksi satu sama lain.134
Terhubungnya OPD dengan struktur kerjasama HAM di ASEAN berguna
untuk memastikan advokasi perlindungan dan pemajuan hak penyandang
disabilitas masuk dalam kebijakan atau frameworks yang diadopsi oleh ASEAN.
Untuk menjamin terlaksananya perlindungan terhadap penyandang disabilitas,
ADF rutin melakukan advokasi terhadap negara-negara ASEAN guna memastikan
jalannya CRPD, Masterplan 2025, dan berbagai framework disabilitas yang telah
diadopsi ASEAN. Selain itu, ADF juga berupaya meningkatkan jejaring OPD di
ASEAN untuk turut memonitori pelaksanaan Masterplan 2025 dengan mengajak
berbagai civil society organization (CSO) dan para ahli dalam memberikan
masukan atau rekomendasi terkait pelakasanaan ASEAN Enabling Masterplan di
tingkat nasional. Dengan adanya peningkatan kapasitas kepada OPD, diharapkan
bentuk jejaring ini nanti dapat dikembangkan menjadi bentuk working group
dengan berbasis pada advokasi inklusif secara kolektif antar masyarakat sipil di
ASEAN. 135 Tidak hanya itu, dari data yang diperoleh dari OPD, ADF dapat
melaksanakan advokasi kebijakan tingkat regional maupun nasional melalui
133 Yuliarso dan Prajarto, “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances”, 291. 134 Yuliarso dan Prajarto, “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances”, 291. 135 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.
67
kesadaran kepada seluruh stakeholders termasuk pemerintah dan masyarakat di
negara anggota ASEAN. Pada tingkat internal, ADF juga melakukan peningkatan
kapasitas kepada anggota dan jaringannya sebagai upaya pelibatan serta
partisipasi aktif dalam mekanisme HAM ASEAN.136
Selain wewenang, ADF dapat juga menambah program atau projeknya
guna meningkatkan upaya terwujudunya tujuan ADF. Penambahan tugas tersebut
meliputi:137
1. Pengimplementasian dokumen ASEAN seperti ASEAN Decade on Persons
with Disabilities, Bali Declaration, Enabling Masterplan 2025:
Mainstreaming the Rights of Persons with Disabilities, Incheon Strategy,
dan sebagainya.
2. Mengarustamakan perspektif hak penyandang disabilitas sebagai hak asasi
manusia kepada multi-stakeholders terutama pemangku kebijakan masing-
masing negara serta masyarakat ASEAN.
3. Menyediakan peningkatan kapasitas kepada stakeholders terkait
khususnya pemerintah dan organisasi penyandang disabilitas untuk
merubah perspektif pendekatan medis kepada hak asasi manusia dalam
memajukan dan melindungi hak penyandang disabilitas.
Guna mencapai program tersebut, ADF dapat mengambil inisiatif projek
lain seperti melakukan penelitian dan riset untuk mendukung advokasi, kampanye,
dan peningkatan kesadaran di masyarakat. Selain itu, ADF juga dapat melakukan
136 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019. 137 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.
68
kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil pada isu bantuan hukum,
perempuan, anak serta HAM untuk meningkatkan kapasitas dan pencapaian hasil
advokasi yang maksimal dalam tujuannya untuk memajukan dan melindungi hak
penyadang disabilitas. Pada praktiknya, kini ADF tetap berkomitmen mengadakan
forum disabilitas tahunan sebagai wadah bagi organisasi regional dan nasional di
ASEAN dalam berdialog, berkonsultasi dengan pemerintah, berdiskusi mengenai
situasi terkini atau sharing dengan para ahli, serta meningkatkan kesadaran para
stakeholders dan masyarakat mengenai hak-hak kaum disabilitas di ASEAN.
Forum tahunan ini diadakan tiap akhir tahun bersamaan dengan pertemuan
tahunan board dan steering committee ADF.138
Berdasarkan peran dan wewenang, ADF telah menjalankan fungsi
normatif dan informasi dari sebuah organisasi internasional. Pada fungsi
normatif, ADF menganut berbagai deklarasi ASEAN seperti ASEAN Decade on
Persons with Disabilities, Bali Declaration, Enabling Masterplan 2025:
Mainstreaming the Rights of Persons with Disabilities, Incheon Strategy, dan
sebagainya, yang berpengaruh pada upaya pengadvokasiannya kepada negara-
negara anggota ASEAN. Sedangkan pada fungsi informasi, ADF berupaya untuk
menyediakan informasi, mengumpulkan, menganalisa, dan mempublikasikan data,
serta membantu menyebarluaskan informasi melalui penyelenggaraan forum
dimana tiap individu dapat bertukar pikiran. Bukti lainnya adalah sebelum
terlaksananya ASEAN Enabling Masterplan 2025 ini ditingkat nasional, ADF
telah melakukan peningkatan kesadaran atau sosialisasi kepada OPD dan
138 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.
69
pemerintah terlebih dahulu mengenai ASEAN Enabling Masterplan dan
mendiskusikan strategi pelakasanaannya dengan pemangku kepentingan terutama
pemerintah. Untuk mendiskusikan hal tersebut, ADF melobi berbagai pihak
utamanya dengan Kementerian Sosial, Kementerian Luar Negeri, AICHR, ACWC,
SOMSWD, Permanent Mission Indonesia to ASEAN, dan kementerian/lembaga
terkait hingga Disabled People’s Institution (DPI) dalam sebuah dialog kebijakan
publik pada awal tahun 2018.139
Tidak hanya itu, unuk menjalankan fungsi informasinya serta memastikan
terlaksananya ASEAN Enabling Masterplan, ADF berencana menyusun penelitian
terkait situasi penyandang disabilitas di ASEAN. Dengan advokasi berbasis data,
diharapkan pemangku kepentingan terkait terutama pemerintah dapat membuat
kebijakan yang tepat sasaran dan sesuai dengan situasi yang terjadi di lapangan
dengan pembuatan kebijakan yang berbasis pada pendekatan bottom-up.140
Melihat tugas ADF, organisasi ini lebih cenderung memainkan perannya
sebagai arena yakni memfasilitasi pertukaran pikiran141 dan ide bersama OPD di
negara-negara ASEAN dan stakeholders – terutama ASEAN – yang relevan.142
Pada ranah advokasi regional di tingkat ASEAN, ADF telah terdaftar sebagai
ASEAN Associated Entities sejak 2016. Dengan status tersebut, ADF telah diakui
akreditasinya oleh ASEAN untuk turut berpartisipasi dalam berbagai proses
pembuatan kebijakan, peningkatan kapasitas, kesadaran, dan sebagainya yang
139 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019. 140 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019. 141 Jacobson, Networks of Interdependence International Organizations and the Global Political System Second Edition, 88-90. 142 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.
70
bertujuan untuk mengarustamakan pemajuan dan perlindungan hak penyandang
disabilitas di ASEAN. Dengan akreditasi dari ASEAN, ADF telah terlibat secara
aktif dalam proses penyusunan beberapa instrument dan frameworks yakni
diantaranya ASEAN Decade on Persons with Disabilities, Bali Declaration, dan
yang paling terkini, yaitu ASEAN Enabling Masterplan 2025. Penyusunan ini
dilakukan guna mendukung pemenuhan cosmopolitan rights melalui pemenuhan
lingkungan yang inklusif serta penyetaraan hak. 143 Selain terlibat aktif dalam
penyusunan Masterplan 2025 bersama AICHR, ACWC, dan SOMSWD, ADF
juga dimintai pandangan dan masukan oleh ASEAN dalam tiap pilar
kerjasamanya, salah satunya oleh pilar politik dan keamanan melalui pertemuan
tahunan Coordinating Conference for the ASEAN Political-Security Community
(ASCCO).144
Dalam ranah peningkatan aksesbilitas pendidikan di ASEAN, saat ini ADF
sedang meneliti implementasi agenda berkelanjutan SDGs Goal 4 mengenai
pendidikan di sejumlah negara anggota ASEAN, seperti Indonesia, Thailand,
Singapura, Vietnam, dan Filipina. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk melihat
komitmen negara-negara tersebut dalam pemenuhan hak pendidikan penyandang
disabilitas sesuai dengan CRPD. Penelitian ini dilakukan berdasarkan dari kondisi
pendidikan inklusif di sejumlah negara anggota ASEAN. Pendidikan inklusif
dapat dikatakan mengalami kemajuan di beberapa negara ASEAN, namun hanya
terbatas pada negara-negara yang maju dan terkonsentrasi di kota-kota besar,
143 Yuliarso dan Prajarto, “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances”, 293. 144 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.
71
seperti Singapura, Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Di sisi lain, negara-negara
berkembang seperti Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam masih harus berjuang
dalam menyediakan akses dan fasilitas pendidikan inklusif. Berdasarkan laporan
United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific
(UNESCAP) tahun 2015/2017, penerimaan anak-anak penyandang disabilitas
lebih rendah dibandingkan dengan anak non-disabilitas pada tingkat sekolah dasar
dan menengah. Selain itu, di sejumlah negara tidak ditemukan adanya sekolah
berkebutuhan khusus yang memadai pada tingkat lokal, sehingga akses
pendidikan untuk anak disabilitas sangat terbatas. Padahal kebutuhan pendidikan
inklusif tidak hanya di sekolah umum di kota-kota besar, namun juga, penyediaan
sarana dan prasarana sekolah berkebutuhan khusus di daerah-daerah.145
2. Peran ADF sebagai Instrumen Organisasi Internasional dalam
Pengadvokasian Akses Pendidikan bagi Kaum Disabilitas di Indonesia 2016-
2018
Selain sebagai arena, ADF juga memiliki peran instrumen dari sebuah
organisasi internasional, terutama pada tingkat nasional. ADF bekerjasama
dengan pemerintah masing-masing negara anggota ASEAN termasuk pemerintah
Indonesia. Salah satu bentuk kerjasama yang dilakukan adalah dengan secara aktif
berdialog dan melibatkan partisipasi OPD lokal untuk memberikan masukan
kepada pemerintah melalui Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM,
Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, Bappenas, Komisi Nasional
145 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.
72
(Komnas) HAM, Komnas Perempuan, dan kementerian atau lembaga lain dalam
proses pembuatan atau monitoring implementasi kebijakan. Sebagai focal point
ASEAN di Indonesia, ADF secara rutin juga berkoordinasi dan berkomunikasi
melalui dialog kebijakan dan audiensi dengan Kementerian Sosial, Wakil
SOMSWD, Wakil AICHR, Wakil ACWC, Perwakilan tetap RI untuk ASEAN,
dan Kementerian Luar Negeri Indonesia. Dengan demikian, ADF memfasilitasi
pemenuhan kepentingan Indonesia dalam hal perancangan peraturan untuk kaum
penyandang disabilitas.146
Dalam ranah pendidikan untuk kaum disabilitas, Kementerian Pendidikan
di Indonesia telah mengeluarkan program pendidikan inklusi sejak 2012 dengan
target 2.021 sekolah inklusi pada 2019. Namun, dari 29.700 sekolah yang ada di
Indonesia, hanya 12% yang sudah menerapkan sistem inklusi. Kementerian
Pendidikan saat ini sedang menyiapkan roadmap untuk meneliti masih realistis
atau tidak untuk mencapai target 2021 sekolah inklusi. Jika tidak, target tersebut
akan diperpanjang hingga 2024. Saat ini, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) Pendidikan masih dalam proses di dalam kementerian dan dibahas dibagian
biro hukum.147
Guna meningkatkan hak pendidikan kaum disabilitas di Indonesia, ADF
turut aktif bekerjasama dengan OPD nasional di Indonesia, seperti Perkumpulan
Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Himpunan Wanita Disabilitas
Indonesia (HWDI), Perhimpunan Jiwa Sehat, FNKTRI (Federasi Nasional
146 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019. 147 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.
73
Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia), FKPCTI (Federasi Kesejahteraan
Penyandang Cacat Tubuh Indonesia), FNKDI (Federasi NasionalKesejahteraan
Disabilitas Intelektual), OHANA Indonesia (Organisasi Harapan Nusantara),
PPCI (Persatuan Penyandang Cacat Indonesia), GERKATIN (Gerakan Kaum Tuli
Indonesia) dan lainnya. Namun, PPDI, HWDI dan Perhimpunan Jiwa Sehat
menjadi fokus ADF karena selain ketiga organisasi tersebut merupakan anggota
ADF, mereka juga tergabung dalam Kelompok Kerja (Pokja) UU Disabilitas dan
berkordinasi intens dengan ADF dan pemerintah Indonesia dalam pemberian
masukan, rekomendasi, serta diskusi mengenai rancangan peraturan pemerintah
tentang pendidikan inklusi. Selain itu, ADF juga bekerjasama dengan organisasi
HAM lainnya dalam melakukan upaya pemantauan implementasi kebijakan dan
CRPD melalui pembuatan laporan masyarakat sipil. Saat ini, ADF menargetkan
Kementerian Pendidikan sebagai advokasi utama ADF dalam menyelesaikan
rancangan peraturan pemerintah untuk pendidikan inklusif sesuai dari amanat UU
No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.148
Salah satu contoh kerjasama ADF dengan stakeholders di Indonesia ialah
ikut andil dalam kegiatan Konsultasi Publik Kementerian Luar Negeri bersama
dengan Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN, Kementerian Luar Negeri dan
Pusat Studi ASEAN Universitas Mulawarman (UNMUL). Kegiatan ini diadakan
guna meningkatkan kesadaran mengenai perlindungan dan pemajuan hak-hak
penyandang disabilitas. Konsultasi Publik ini sendiri menjadi program kerja
Ditjen Kerja Sama ASEAN, Kemlu RI setelah disahkannya ASEAN Enabling
148 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.
74
Masterplan 2025: Mainstreaming the Rights of Persons with Disabilities pada
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-33 di Singapura pada November
2018. Kegiatan diawali dengan sosialisasi publik mengenai kerjasama ASEAN
pada ratusan siswa Sekolah Lanjutan Atas di Kota Samarinda dengan tema
“ASEAN Goes to School”. Acara ini dilaksanakan bekerjasama dengan Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Timur. Kegiatan tersebut
dirangkai dengan Focus Group Discussion (FGD) yang berkolaborasi dengan
Dinas Sosial Kota Samarinda. FGD tersebut bertujuan meningkatkan kerjasama
terkait isu disabilitas di ASEAN serta mendorong Kota Samarinda untuk menjadi
kota inklusif ramah penyandang disabilitas. Narasumber pada acara ini diisi dari
Kemlu cq Dit. KSBA, Kementerian Sosial, Dinas Sosial Kota Samarinda,
Sekretaris Jenderal ASEAN Disability Forum (ADF), dan akademisi atau Pusat
Studi ASEAN UNMUL. Selain itu, hadir juga wakil-wakil dari OPD, Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dan DPRD Kota Samarinda. Menurut Direktur
Kerja Sama Sosial Budaya ASEAN, kegiatan ini diselenggarakan sebagai bentuk
implementasi visi ASEAN 2025: “Melangkah Maju Bersama” yang bertujuan
mengonsolidasikan pembangunan Masyarakat ASEAN, khususnya dalam
meningkatkan kualitas hidup melalui kerjasama yang berorientasi pada rakyat,
berpusat pada rakyat, dan digagas oleh rakyat. 149 Dengan demikian, dapat
disimpulkan, adanya ADF ini terutama di cabang Indonesia, menjadi wadah bagi
Indonesia untuk memenuhi kepentingan nasionalnya yakni terus mempromosikan
149 Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2019, Bersama Pusat Studi ASEAN UNMUL, Kemlu Tingkatkan Kepedulian terhadap Hak-Hak Penyandang Disabilitas.https://kemlu.go.id/portal/lc/read/386/berita/bersama-pusat-studi-asean-unmul-kemlu-tingkatkan-kepedulian-terhadap-hak-hak-penyandang-disabilitas diakses pada 16 Juli 2019
75
penyadaran terhadap hak kaum disabilitas serta mendorong negaranya guna
menjadi negara yang ramah disabilitas.
3. Peran ADF sebagai Aktor Independen Organisasi Internasional dalam
Pengadvokasian Akses Pendidikan bagi Kaum Disabilitas di Indonesia 2016-
2018
Dapat dilihat pada penjelasan diatas bahwa ADF kurang memainkan
peran aktor independen yakni organisasi internasional mampu
mengimplementasikan, memonitor, dan menengahi perselisihan. Hal ini
dikarenakan wewenang ADF yang masih minim terbatas pada melakukan
advokasi, memonitor, dan melakukan riset mengenai isu disabilitas.150 Anggota
ADF yang merupakan gabungan OPD lokal dari seluruh negara ASEAN dapat
memonitor jalannya framework disabilitas di tiap negara ASEAN, namun, tidak
dapat mengimplementasikan langsung kebijakan-kebijakan ASEAN maupun
resolusi internasional lainnya seperti CRPD atau ASEAN Enabling Masterplan
2025 atau menengahi perselisihan antar negara anggota ASEAN. Namun
demikian, ADF dapat mengacu pada kedua kebijakan tersebut dalam menjalankan
tugasnya seperti mengadvokasikan CRPD dan ASEAN Enabling Masterplan ke
pemerintah negara-negara anggota ASEAN agar dapat diimplementasikan dalam
penyusunan kebijakan dan undang-undang di masing-masing negara di Asia
Tenggara. Selain kurang berfokus pada peran sebagai aktor independen, ADF juga
tidak dapat menjalankan fungsi sebagai operasional yaitu fungsi pemanfaatan
150 Hardi, Rendi. BAB II Tinjauan Pustaka, 3.
76
serta pengoperasian sumber daya organisasi tersebut. Hal tersebut meliputi
pendanaan, pengoperasian, sub organisasi dan penyebaran operasi militer.151 ADF
tidak memiliki wewenang dalam hal pendanaan pelaksanaan kebijakan yang
tercipta. Pendanaan ini dilakukan oleh masing-masing negara anggota ASEAN
guna melaksanakan kebijakan disabilitas di masing-masing negaranya. Meskipun
demikian, tiap anggota ADF, yang merupakan gabungan OPD lokal dari tiap
negara ASEAN wajib membayar iuran jika menjadi anggota tetap maupun tidak
tetap guna mendukung kegiatan advokasi dan sekretariat.152153 Namun, hingga
2020, iuran tersebut belum berjalan.154 Walaupun ADF memiliki program untuk
melakukan riset mengenai sikap negara-negara ASEAN terhadap isu disabilitas,
ADF tidak dapat mengadili pelanggaran disabilitas yang terjadi di negara-negara
tersebut. Oleh karena itu, jika melihat definisi fungsi role-supervisory sebagai
pengembalian tindakan guna menjamin berjalannya peraturan oleh para aktor
internasisonal yang membutuhkan langkah penyusunan fakta-fakta terhadap
pelanggaran yang dilakukan, kemudian verifikasi fakta guna pembebanan saksi.
Maka, fungsi ini tidak dapat dilaksanakan ADF, karena pembebanan sanksi
dilakukan oleh masing-masing negara ASEAN. Namun, ADF melalui anggota
OPD lokal, dapat melakukan advokasi pada pemerintah mengenai pelanggaran
disabilitas yang terjadi di tiap negara anggota ASEAN.
151 Jacobson, Networks of Interdependence International Organizations and the Global Political System Second Edition, 88-90. 152 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019. 153 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta 31 Januari 2020. 154 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta 31 Januari 2020.
77
B. Hambatan ADF dalam Pengadvokasian Akses Pendidikan bagi Kaum
Disabilitas
1. Kurangnya Perhatian Mengenai Isu Disabilitas di Indonesia
Pada tingkat ASEAN, permasalahan yang dihadapi ADF dalam
meningkatkan hak kaum disabilitas adalah belum meratanya perubahan perspektif
terkait hak penyandang disabilitas di ASEAN. Diskriminasi maupun pelanggaran
HAM berbasis disabilitas yang juga melibatkan faktor gender maupun usia,
seperti anak-anak, hingga saat ini masih banyak ditemukan. Ketidaktahuan
tersebut menyebabkan tidak disusunnya kebijakan berbasis HAM dan inklusif
pada penyandang disabilitas oleh pemangku kebijakan, yang berdampak pada
tidak adanya peningkatan kesadaran masyarakat umum mengenai hak-hak
penyandang disabilitas.155
Selain kurangnya awareness mengenai hak kaum disabilitas di kalangan
masyarakat ASEAN, pengimplementasian ASEAN Enabling Masterplan juga
mengalami kendala, seperti masih minimnya pengetahuan antara pemerintah
selaku pemangku jabatan dalam memahami poin-poin aksi Masterplan yang
tersebsar dalam tiga pilar tersebut. Pada saat ini, kementerian yang menerima
tugas pokok pelaksanaan ASEAN Enabling Masterplan adalah Kementerian Sosial,
Namun sebenarnya, nilai atau esensi dari Masterplan ini ialah mengarustamakan
dan melaksanakan ASEAN Enabling Masterplan pada seluruh sektor untuk
menciptakan komunitas ASEAN yang inklusif serta ramah penyandang disabilias.
Kurangnya pemahaman akan hal tersebut menjadi penghambat dalam
155 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.
78
mensingergikan dan mengkoordinasikan implementasi ASEAN Enabling
Masterplan di tingkat nasional maupun daerah di negara-negara anggota
ASEAN.156
Tidak hanya itu, di Indonesia saat ini belum terlihat signifikansi
pengimplementasian ASEAN Enabling Masterplan jika pelaksanaannya
menggunakan indikator yang terintegrasi dalam Rancangan Induk Pembangunan
Inklusif Disabilitas (RIPID) dan UU Penyandang Disabilitas. Indikator utama
yang menjadi rujukan adalah belum selesainya beberapa rancangan peraturan
pemerintah UU Penyandang Disabilitas serta belum tersosialisasikannya ASEAN
Enabling Masterplan di seluruh kementerian atau lembaga sebagai pemangku
kepentingan. Namun demikian, di lain sisi, terdapat kemajuan yang cukup baik
dalam pemajuan dan perlindungan hak penyandang disabilitas dari segi
aksesibilitas transportasai serta tempat umum di kabupaten atau kota. Beberapa
daerah kabupaten/kota juga telah memiliki peraturan daerah terkait pembangunan,
pasar kerja, atau pendidikan inklusif. Selain itu, terdapat juga inisiatif kota ramah
HAM dan kota inklusi yang diinisiatifkan oleh Kementerian Hukum dan HAM
serta UNESCO dengan Asosiasi Kabupaten/Kota di Indonesia guna mendukung
pemajuan dan perlindungan hak asasi penyandang disabilitas di Indonesia.157
Dalam bidang peningkatan hak kaum disabilitas, menurut ADF, selama
melakukan berbagai advokasinya, pemerintah Indonesia masih belum banyak
melakukan upaya peningkatan kapasitas dan kesadaran terhadap kementerian atau
156 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019. 157 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.
79
lembaganya sendiri terkait hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia. Hal
tersebut dapat dilihat pada ego sektoral lembaga, budget, dan juga pengetahuan
staff mengenai hak-hak penyandang disabilitas. Tidak hanya itu, kementerian atau
lembaga juga masih meletakkan penyandang disabilitas sebagai isu kemiskinan
atau sosial yang harus ditangani oleh kementerian sosial. Padahal, isu disabilitas
menjadi isu yang harus dilihat dari perspektif hak asasi manusia, inklusif, dan
universal. Oleh karenanya, perlu perhatian dan komitmen dari seluruh stakeholder,
kementerian, dan lembaga terkait. Selain itu, pemerintah juga belum memiliki
data yang lengkap terkait jumlah dan segregasi penyandang disabilitas di
Indonesia yang terbagi dalam berbagai sektor. 158
Selain pada sektor pemerintah, ADF juga mengalami hambatan dalam
meningkatkan pemahaman hak kaum disabilitas di kalangan masyarakat. Isu
penyandang disabilitas masih dilihat sebagai isu medical approach bagi sebagian
masyarakat. Oleh karenanya, banyak dari mereka menilai charity menjadi salah
satu pendekatan terbaik untuk penyandang disabilitas. Padahal, masih banyak
hak-hak penyandang disabilitas yang perlu dilindungi, dimajukan, serta dipenuhi
sesuai dengan prinsip CRPD. Kurangnya kesadaran juga pembangunan
masyarakat yang inklusif, maka, penghargaan dan pemenuhan hak penyandang
disabilitas masih dianggap sebelah mata oleh masyarakat umum. ADF
berpendapat kesadaran baru akan muncul apabila pemerintah dapat mendorong
pemenuhan hak penyandang disabilitas melalui pembuatan dan
158 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.
80
pengimplementasian kebijakan yang partisipatif dengan melibatkan penyandang
disabilitas dalam kehidupan sosial bermasyarakat.159
Kurangnya pemahaman hak-hak penyandang disabilitas juga berdampak
pada kurangnya akses pendidikan inklusi bagi kaum tersebut. Menurut ADF,
hambatan dalam meningkatkan aksesibilitas pendidikan bagi kaum disabilitas
adalah sebagai berikut:160
Belum adanya kebijakan pendidikan inklusif (RPP Pendidikan
Inklusif) yang menjadi amanah UU Disabilitas.
Belum adanya perubahan mindset atau perspektif pemangku
kepentingan dalam membuat kebijakan yang mengutamakan hak
pendidikan untuk anak penyandang disabilitas.
Masih terbatasnya anggaran pendidikan untuk penyediaan sarana
dan prasarana pendidikan inklusi dan sekolah berkebutuhan khusus
dari APBN.
Belum adanya data yang terintegrasi mengenai jumlah anak
berkebutuhan khusus.
2. Kurangnya Peran ADF di ASEAN dan Media Sosial
Selain hambatan dari pemerintah dan masyarakat umum, hambatan juga
sebenarnya datang dari ADF. Peran ADF dinilai memiliki wewenang yang minim.
Deklarasi Bali yang menjadi asal muasal terbentuknya ADF, tidak banyak
mengatur wewenang yang dimiliki ADF, selain menjadi forum pertukaran
159 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019. 160 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.
81
informasi. Hal ini dianggap wajar karena bahkan ASEAN Intergovernmental
Commission on Human Rights (AICHR), yang merupakan bagian resmi ASEAN
serta memiliki fungsi promosi dan proteksi HAM pun juga belum dapat
sepenuhnya melakukan perlindungan terhadap permasalahan HAM yang terjadi
sejak dibentuknya badan tersebut pada 2009. 161 Tidak hanya itu, ADF hanya
berstatus CSO162 pada peresmiannya sebagai Associated Entities di 2016 oleh
ASEAN. Hal ini mengakibatkan ADF tidak dapat merumuskan kebijakan di
tingkat ASEAN mengenai hak penyandang disabilitas dan hanya berfokus pada
advokasi pada stakeholders yang relevan.
Selain tugas yang kurang jelas, ADF juga terlihat kurang aktif dalam
membagikan pemahaman mengenai hak penyandang disabilitas di media sosial.
ADF yang seharusnya menonjol pada peran advokasi dan fungsinya sebagai
penyedia informasi – dimana fungsi tersebut mencakup memberi informasi,
mengumpulkan, menganalisa, dan mempublikasikan data, serta membantu
menyebarluaskan informasi – kurang terlaksana dengan baik disebabkan oleh
minimnya penyebarluasan informasi di media sosial ADF sendiri. Padahal,
pembagian informasi melalui media ini sangat penting di era digital. Pembagian
informasi seharusnya bukan hanya pada DPO lokal seperti dijelaskan sebelumnya,
tetapi juga pada masyarakat yang masih awam terhadap isu hak pendidikan bagi
161 “51 Tahun ASEAN dan Kontribusinya dalam Upaya Perlindungan Hak Disabilitas”, 2018, Solider.id. 162 ASEAN, Register of Entities Associated with ASEAN: Updated List of Entitles Associated with ASEAN on ASEAN Website 23 March 2018.
82
kaum disabilitas. Saat ini, ADF memiliki facebook, ASEAN Disability Forum,163
sebagai wadah utama membagikan perkembangan kegiatan dan aksi mereka pada
khalayak umum. Selain itu, ADF juga memiliki website resmi seperti
aseandisabilityforum.org (http://aseandisabilityforum.org/digaleri/) untuk berbagi
informasi mengenai kondisi kaum disabilitas di negara-negara ASEAN. Namun,
website ini tidak digunakan secara maksimal oleh ADF untuk membagikan
informasi lebih lanjut. Oleh karenanya, pada 2019, ADF meluncurkan lagi website
barunya, aseandisabilityforum.com (https://www.aseandisabilityforum.com/).
Namun, hingga akhir 2019, belum banyak informasi yang diunggah di laman
tersebut, begitupun dengan media sosial twitternya, @DisabilityFrm, dimana 2016
merupakan tahun update terakhir dari akun tersebut.164
ADF sebagai organisasi disabilitas regional diharapkan mampu
memberikan banyak manfaat bagi seluruh pihak serta menjadi wadah efekif guna
mengorganisasikan negara-negara anggota ASEAN dalam memenuhi hak-hak
kaum penyandang disabilitas. ADF diharapkan mampu berkontribusi positif bagi
pemenuhan hak kaum disabilitas, tidak hanya berperan memfasilitasi pertukaran
pikiran antar negara anggota ASEAN. Namun, dalam penyadaran pentingnya
pemenuhan hak kaum disabilitas, ADF condong memiliki kegiatan yang bersifat
formal atau dengan mekanisme top-bottom dengan cara pengadaan diskusi serta
163 Penulis mengunjungi berbagai media sosial dan situs resmi ADF untuk melakukan riset mengenai platform yang digunakan ADF untuk membagikan isu disabilitas dan kebijakan ADF, termasuk Facebook ADF, “ASEAN Disability Forum” https://www.facebook.com/ASEAN.Disability.Forum.ADF/ diakses pada 22 September 2019 164 Penulis mengunjungi berbagai media sosial dan situs resmi ADF untuk melakukan riset mengenai platform yang digunakan ADF untuk membagikan isu disabilitas dan kebijakan ADF, termasuk Twitter ADF, “@DisabilityFrm” https://twitter.com/DisabilityFrm diakses pada 22 September 2019
83
antar pihak yang relevan. Hal ini dianggap kurang optimal karena para pemangku
jabatan tersebut belum mampu menyebarluaskan nilai-nilai hak penyandang
disabilitas karena berbagai kendala. Salah satu kendala tersebut ialah pemerintah
yang cenderung lebih fokus pada isu stabilisasi ekonomi ataupun politik.
Kurangnya perhatian terhadap pemenuhan hak kaum minoritas seperti disabilitas
dinilai sangat disayangkan, karena hal ini menyangkut nilai-nilai kemanusiaan
yang bersifat universal.165
Melihat hal tersebut, seharusnya ADF sebagai organisasi regional yang
sangat fokus terhadap advokasi dan penyebaran awareness mengenai hak
penyandang kaum disabilitas, mampu menginisiasi langkah-langkah penyadaran
yang lebih efektif pada negara-negara anggota ASEAN, baik pada pemerintah
maupun masyarakat. Kurangnya inisiasi dari ADF dalam melakukan langkah
penyadaran yang kreatif, berdampak pada rendahnya taraf pendidikan kaum
disabilitas di negara-negara Asia Tenggara. Oleh karena itu, dalam rangka
meningkatkan pemahaman akan hak kaum disabilitas pada masyarakat dan
pemerintah ASEAN, ADF dapat menginisasi sebuah langkah seperti campaign
project melalui media sosial. Kampanye digital ini lebih mudah dan cepat
tersampaikan di era globalisasi seperti sekarang.166
Kampanye yang diinisiasi ADF dapat mengambil platform tertentu seperti
ADF Education Campaign for Disability People: Stand for Them. Platform
165 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 70. 166 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 70-71.
84
tersebut dapat berfungsi sebagai wadah perkumpulan stakeholder dengan
masyarakat sipil maupun penyandang disabilitas. Dengan platform tersebut, ADF
dapat mendorong pemerintah negara anggota ASEAN untuk mengambil aksi
penyadaran hak kaum disabilitas. Di sisi lain, ADF juga dapat meningkatkan
kesadaran serta menggalang dukungan masyarakat akan hak kaum disabilitas
terutama dalam bidang pendidikan, khususnya hak untuk mengakses dan
melanjutkan studi hingga jenjang tertinggi. 167 Bentuk kampanye lainnya dapat
dimulai dengan tagar.168 Kampanye menggunakan cara tersebut telah dilakukan
oleh Yayasan Autisma Indonesia (YAI) yang memunculkan hashtag
#LightItUpBlue, #WorldAutismMonth dan #UnderstandAutism tiap tanggal 2
April guna memperingati hari Autisma se-dunia. Tidak hanya itu, YAI juga
mengadakan perkumpulan serta kampanye langsung dalam rangka Light It Up
Blue ini. Tempat kampanye dapat dilakukan sesuai titik kumpul, tahun 2019, YAI
mengumpulkan massanya di Tugu Monumen Nasional (Monas), Jakarta.169
Kegiatan promosi kesadaran hak kaum disabilitas dapat diselenggarakan
sekreatif mungkin. ADF dapat membuat merchandise seperti pin atau sticker
berlogo ADF dengan tagline atau hashtag seperti “Stand with Me!” atau
“#EducationIsEqual”. Tagline tersebut menginformasikan pada seluruh
masyarakat ASEAN bahwa akses pendidikan hingga tingkat tertinggi merupakan
167 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 71. 168 Tagar adalah singkatan dari tanda pagar, digunakan untuk topik pada media Twitter atau Instagram. Moch Rizky Prasetya Kurniadi, 2020, “Arti Tagar Menurut KBBI”. HTTPS://LEKTUR.ID/ARTI-TAGAR/ diakses pada 25 Januari 2020 169 Yayasan Autisma Indonesia, 2018, “Light It Up Blue YAI 2018”. http://autisme.or.id/2018/03/light-it-blue-yai-2018/ diakses pada 23 September 2019
85
hak dasar kaum yang penting didapatkan para penyandang disabilitas. Oleh
karena itu, dukungan dari seluruh pihak di ASEAN sangat dibutuhkan. ADF juga
dapat berkerjasama dengan pemerintah negara-negara ASEAN dengan cara
menjualkannya serta meminta pemerintah mempromosikannya melalui media
sosial. Tidak hanya itu, ADF juga dapat melaksanakan lomba selfie atau groupfie
bersama merchandise yang telah terbeli di media sosial dengan pemberian reward,
guna menyebarluaskan kampanye digital ini. Foto-foto tersebut kemudian dapat
dilihat dari followers atau teman para pembeli sehingga semakin banyak orang
yang sadar akan pentingnya hak pendidikan bagi kaum disabilitas, bahkan tidak
menutup kemungkinan, akan banyak juga yang tergerak untuk mendukung
kampanye tersebut.170
Selain kampanye via media sosial, ADF juga dapat mengadakan
kampanye langsung dengan cara bekerjasama dengan pihak-pihak tertentu,
misalnya pemerintah. Kampanye ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan
olahraga bersama kaum penyandang disabilitas,171 seperti ASEAN Autism Games
yang telah diselenggarakan tiap tahun oleh ASEAN Autism Network, dimana acara
olahraga tersebut menampilkan dua cabang perlombaan – lomba lari dan renang –
untuk anak Austima seluruh ASEAN.172 Selain kegiatan olahraga, kegiatan pentas
seni juga dapat dilakukan. Pentas seni ini dapat menampilkan bakat-bakat kaum
170 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 73. 171 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 73. 172 Tim Kumparan, “6 Fakta ASEAN Autism Games 2018; Ajang Olahrga untuk Anak Autisme”, 2018, kumparan.com. https://kumparan.com/berita-heboh/6-fakta-asean-autism-games-2018-ajang-olahraga-untuk-anak-berspektrum-autisme-1540017623722698223 diakses pada 23 September 2019.
86
penyandang disabilitas agar menarik perhatian masyarakat awam. Tidak hanya itu,
kampanye juga dapat dilakukan dengan cara penggalangan dana atau pemberian
bantuan sosial ke SLB atau yayasan yang khusus menangani kaum disabilitas.
Dalam acara ini juga, dapat diundang tokoh-tokoh daerah atau nasional yang
peduli terhadap nasib kaum disabilitas guna memberikan orasi-orasi penyadaran
aksesbilitas pendidikan bagi kaum disabilitas. Contoh kegiatan lain adalah
pelaksanaan konser amal dengan menggunakan tema kampanye di media sosial
dan penjualan merchandise sebagai modal keuntungan. Dalam konser ini, dapat
ditampilkan beberapa seniman yang peduli akan pendidikan bagi kaum disabilitas
atau dapat pula menampilkan aksi-aksi dari para penyandang disabilitas.
Keuntungan dari konser ini dapat dibagikan bagi penyandang disabilitas yang
kurang mampu melanjutkan pendidikan atau pada pihak sekolah maupun yayasan
guna mendukung peningkatan aksesbilitas pendidikan bagi kaum disabilitas.173
Pada intinya, penyebaran informasi mengenai hak disabilitas dapat
dilakukan secara kreatif melalui kegiatan kampanye baik media sosial dan
langsung secara berkala dan berkelanjutan serta tetap dimonitori oleh ADF.
Diharapkan dengan berbagai kegiatan kampanye tersebut, baik masyarakat
maupun pemerintah di negara-negara anggota ASEAN dapat semakin sadar akan
pentingnya akses pendidikan hingga level tertinggi bagi kaum penyandang
disabilitas. Dengan demikian, isu ini dapat lebih diprioritaskan oleh pemerintah
karena mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat di Indonesia maupun
173 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 74.
87
ASEAN, 174 sehingga mempermudah pengambilan kebijakan yang efektif dan
efisien bagi masalah ini.
ADF yang merupakan organisasi regional representatif kaum disabilitas
terasa memiliki kontribusi yang masih minim. Pasalnya, wewenang dari
organisasi ini terbilang tidak banyak sekaligus metode yang digunakan masih
bersifat formal dengan fokus pada pengadaan konferensi. Selain itu, ADF
mengandalkan peran advokasinya dalam mencapai tujuan untuk meningkatkan
kesadaran akan isu disabilitas di ASEAN. Namun, ADF dirasa masih kurang
dalam peran advokasi tersebut. Hal ini dikarenakan peningkatan kesadaran akan
pentingnya isu disabilitas secara kreatif dan kontinu pada masyarakat ASEAN
yang awam akan isu tersebut juga kurang dimaksimalkan.
174 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 74-75.
88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep organisasi internasional yang dikemukakan oleh Clive Archer
menyatakan bahwa sebuah organisasi internasional memiliki tiga peran, yakni
sebagai arena, instumen dan aktor independen. Dalam riset mengenai peran ADF
ini, diketahui bahwa ADF hampir mencakupi seluruh peran organisasi
internasional tersebut kecuali peran sebagai aktor independen. ADF berhasil
menjalankan perannya sebagai arena organisasi internasional dengan cara
memfasilitasi pertukaran ide antar OPD masing-masing negara ASEAN maupun
stakeholders yang relevan. Selain itu, ADF juga berhasil memenuhi peran
instrumen organisasi internasional, secara umum, negara-negara ASEAN
diuntungkan dengan hadirnya ADF ini, karena dengan adanya organisasi ini,
mereka dapat memenuhi kepentingan negaranya dalam bidang pemenuhan hak
bagi kaum disabilitas. Meskipun ADF berhasil memenuhi kedua peran organisasi
internasional, ADF tidak memainkan peran aktor independen yakni organisasi
internasional berperan untuk mengimplementasikan, memonitor, dan menengahi
perselisihan. Hal ini dikarenakan wewenang ADF yang masih minim terbatas
pada melakukan advokasi, memonitor, dan melakukan riset mengenai isu
disabilitas.
Selain hampir memenuhi peran organisasi internasional, ADF juga
memenuhi tiga dari empat fungsi organisasi internasional yang dikemukakan
Harold K. Jacobson, yaitu fungsi informasi, normatif, operasional, dan role-
89
supervisory. Fungsi informasi dapat dilihat pada upaya ADF untuk menyediakan
informasi, mengumpulkan, menganalisa, dan mempublikasikan data, serta
membantu menyebarluaskan informasi melalui penyelenggaraan forum. Fungsi
normatif dilakukan dengan menganut berbagai deklarasi ASEAN seperti ASEAN
Decade on Persons with Disabilities, Bali Declaration, Enabling Masterplan
2025: Mainstreaming the Rights of Persons with Disabilities, Incheon Strategy,
dan sebagainya. Fungsi organisasi internasional yang tidak dapat dijalankan ADF
adalah fungsi operasional dan role-supervisory. Funsgi operasional tidak dapat
dijalankan karena ADF tidak memiliki wewenang dalam hal pendanaan
pelaksanaan kebijakan yang tercipta. Pendanaan dilakukan oleh masing-masing
negara anggota ASEAN guna melaksanakan kebijakan disabilitas di masing-
masing negaranya. Sedangkan fungsi role-supervisory tidak dapat dilaksanakan
ADF karena pembebanan sanksi dilakukan oleh masing-masing negara ASEAN.
Namun, ADF melalui anggota DPO lokal, dapat melakukan advokasi pada
pemerintah mengenai pelanggaran disabilitas yang terjadi.
Berdasarkan pemaparan data-data pada keempat bab sebelumnya, dapat
dilihat ADF memenuhi dua dari tiga HAM penting yakni civil rights dan hak hak
internasional yang dinikmati tiap negara dalam berinteraksi satu sama lain.
Namun, masih minimnya penyetaraan hak bagi kaum disabilitas terutama dalam
bidang pendidikan, selain dikarenakan minimnya pemahaman warga Indonesia
dan banyaknya persyaratan pada jurusan juga melimitasi kesempatan kaum
disabilitas untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Hal tersebut
menjadi halangan terciptanya pendidikan yang inklusif di Indonesia maupun
90
cosmopolitan rights. Selain itu, teridentifikasi pada bab keempat bahwa hambatan
lain juga datang dari ADF itu sendiri. Minimnya tugas serta inisiatif kreatif dari
ADF juga mengakibatkan minimnya realisasi perannya. Oleh karena itu,
disimpulkan bahwa terdapat berbagai upaya yang dilakukan ADF untuk menjamin
hak yang sama bagi kaum disabilitas di Indonesia, namun, hal ini masih dirasa
kurang melihat minimnya peran ADF itu sendiri yang lebih berfokus pada
government to government dan upaya grassroots pada orang awam untuk
menyebarkan kesadaran akan pentingnya isu disabilitas juga tidak dimaksimalkan.
B. Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya
Guna meningkatkan keberlanjutan riset dan akademis, penulis
menyarankan untuk melakukan penelitian rinci terhadap peran ADF di negara-
negara ASEAN selain Indonesia serta signifikansi organisasi tersebut dalam
upaya pengadvokasian maupun upaya lainnya meningkatkan hak kaum disabilitas
terutama dalam bidang pendidikan. Hal tersebut dirasa perlu, melihat masih
minimnya realisasi peran ADF bagi kaum disabilitas di ASEAN, meskipun ADF
ini telah terbentuk lumayan lama yakni pada 2011.
xix
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Archer, Clive. 2011. International Organizations. London: Rouledge.
Benett, A. Lerroy. 1995. International Organization: Principals and Issues. New
Jersey University of Delaware Englewood Cliffs: New Jersey-
Prentice Hall.
Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc.
Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI. Masyarakat ASEAN
Edisi 11: Mewujudkan Masyarakat ASEAN yang Dinamis. 2014.
Media Publikasi Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN
Kementerian Luar Negeri RI.
Heywood, Andrew. 2011. Global Politics: Chapter 18, International
Organization and the United Nation. United States: Palgrave
Macmillan.
Jacobson, Harold K. 1979. Networks of Interdependence International
Organizations and the Global Political System Second Edition,
(New York: Alfred A. Knopf, Inc.m).
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Gambaran Sekolah Inklusif di
Indonesia Tinjauan Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Pusat
Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan.
Mitchell, D. 2005. Contextualising Inclusive Education: Evaluating New and Old
Perspectives, Ch. 18 The Global Context of Inclusive Education:
The Role of the United Nations. London: Routledge.
Nursyamsi, Fajri. Estu Dyah Arifianti. Muhammad Faiz Aziz. Putri Bilqish dan
Abi Marutama. 2015. Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia:
Menuju Indonesia Ramah Disabilitas. Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia.
Simmon, Beth. A. dan Martin Lisa L. 2002. International Organization and
Institution in Walter Carlsnaes, Thomas Risse and Beth A.
Simmons, Handbook of international Relations. SAGE
Publications.
Jurnal dan Artikel
Alkadrie, Jafar Fikri dan Jeniar Mooy. 2016. “Optimalisasi Peran ASEAN
Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang
Disabilitas.” Dinamika Global Volume 01 No. 2.
xx
Dinesh, Jajoo. “A Study of Buying Decisions in Malls.” Devi Ahilya
Vishwavidyalaya University. http://hdl.handle.net/10603/97412
Hamidi, Jazim. 2016. “Perlindungan Hukum terhadap Disabilitas dalam
Memenuhi Hak Mendapatkan Pendidikan dan Pekerjaan.”
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Hardi, Rendi. “BAB II Tinjauan Pustaka.” Bandung: Universitas Komputer
Indonesia. https://elib.unikom.ac.id/download.php?id=94576
Kusumaningrum, Demeiati Nur. Alivia Afina. Riska Amalia Agustin dan Mega
Herwiandini. 2017. “Pengaruh Asean Disability Forum Terhadap
Pengembangan Ekonomi Penyandang Disabilitas di Indonesia.”
Jurnal Insignia 2017 Vol.4 No.1.2.2
King, Gary dan Christopher J.L. Murray. 2013. “Rethinking Human Security.”
Political Science Quarterly. https://doi.org/10.2307/798222
Pratomo, Dion Teguh. Sudarsono dan Mohammad Fadli. 2014. “Pelaksanaan
Perlindungan Hak Atas Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas
(People with Disability) di Universitas Negeri Gorontalo.”
Malang: Universitas Brawijaya.
Rapoport, Hillel. 1995. “Coordination, Altruism and Under-Development.”
KYKLOS International Review for Social Sciences Vol. 48 – 1995
– Fasc. 3. https://doi.org/10.1111/j.1467-6435.1995.tb02321.x
Thohari, Slamet. 2014. “Pandangan Disabilitas dan Aksesibilitas Fasilitas Publik
bagi Penyandang Disabilitas di Kota Malang.” Indonesia Journal
of Disability Studies, Vol. 1 Issue 1.
Yuliarso, Kurniawan Kanto dan Nunung Prajarto. 2005. “Hak Asasi Manusia
(HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances.” Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 8, Nomor 3.
Laporan On-Line Resmi
ASEAN. 2018. “ASEAN Enabling Masterplan 2025: Mainstreaming the Rights of
Persons with Disabilities Adopted at the 33rd ASEAN Summit.”
https://asean.org/storage/2018/11/ASEAN-Enabling-Masterplan-
2025-Mainstreaming-the-Rights-of-Persons-with-Disabilities.pdf
ASEAN Disability Forum. 2014. “The 4th ASEAN Disability Forum Report.”
https://www.themimu.info/sites/themimu.info/files/documents/Re
port_ASEAN_Disability_Forum_2014.pdf
High-Level Intergovernmental Meeting on the Midpoint Review of the Asian and
Pacific Decade of Persons with Disabilities, 2013-2022. 2017.
“Disability in Asia and the Pacific: The Facts.”
xxi
International Labour Organization. 2013. “Inklusi Penyandang Disabilitas di
Indonesia.” https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---
ro-bangkok/---ilo-
jakarta/documents/publication/wcms_233426.pdf
Kementerian Kesehatan. 2014. “Situasi Penyandang Disabilitas.” Buletin Jendela
Data dan Infromasi Kesehatan.
https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/15033100002/situasi-
penyandang-disabilitas.html
United Nations ESCAP (Economic and Social Commissions for Asia and the
Pacific. 2015. “Disability at Glance 2015: Strengthening
Employment Prospects for Persons with Disabilities in Asia and
the Pacific.”
https://www.unescap.org/sites/default/files/SDD%20Disability%2
0Glance%202015_Final.pdf
World Health Organization & World Bank. 2011. “World Report on Disability
2011.” https://apps.who.int/iris/handle/10665/44575 diakses 21
Oktober 2018.
WHO. 2011. “WHO Disability Survey.”
http://www.who.int/disabilities/world_report/2011/report/en/
______.WHO Regional Office for South-East Asia. 2013. “Disability in the
Southeast Asia.”
http://origin.searo.who.int/entity/disabilities_injury_rehabilitation
/topics/disabilityinsear2013.pdf
______.WHO Regional Office for South-East Asia. 2014. “Disability in the
Southeast Asia.”
https://www.sida.se/globalassets/sida/eng/partners/human-rights-
based-approach/disability/rights-of-persons-with-disabilities-
south-east-asia.pdf
Basis Data On-Line Resmi
ADF. “ASEAN Disability Forum.” http://aseandisabilityforum.org/digaleri/
______. “ASEAN Disability Forum.” http://aseandisabilityforum.org/digaleri/
ASEAN. “About ASEAN.” https://asean.org/asean/about-asean/
______. 2012. “Media Release “ASEAN Accelerates Integration of Priority
Sectors.” https://asean.org/?static_post=media-release-asean-
accelerates-integration-of-priority-sectors diakses pada 31 Januari
2020.
______. 2016. “First Meeting of the Task Force on the Mainstreaming of the
Rights of Persons with Disabilities in the ASEAN Community, 5-6
December 2016.” Bangkok, Thailand. https://asean.org/8th-
meeting-task-force-mainstreaming-rights-persons-disabilities-
asean-community-14-15-september-2018-bangkok-thailand/
xxii
ASEAN. 2018. “ASEAN Secretariat Organisational Structure.”
https://asean.org/asean/asean-structure/organisational-structure-2/
______. 2018. “Register of Entities Associated with ASEAN: Update List of
Entities of Associated with ASEAN on ASEAN website 23 March
2018.” https://asean.org/storage/2012/05/Rev_REGISTER-OF-
ENTITIES-ASSOCIATED-WITH-ASEAN-as-of-23-March-
2018.pdf
Disabled People’s Association Singapore. 2017. “ASEAN Disability Forum.”
https://www.dpa.org.sg/our-event/asean-disability-forum-adf/
European Union. “Disability and Development Network ASEAN Disability Forum
Bangkok.” https://europa.eu/capacity4dev/disability-and-
development-network/event/asean-disability-forum-bangkok
Goodpitch Organization. “ASEAN Disability Forum.”
https://goodpitch.org/orgs/asean-disability-forum-adf
IFES Organization. 2018. “Supporting ASEAN to Mainstream Disability Rights.”
https://www.ifes.org/news/supporting-asean-mainstream-
disability-rights
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. 2016. “Artikel Kebijakan
Penyandang Disabilitas.”
https://www.kemhan.go.id/pusrehab/2016/11/24/artikel-
kebijakan-penyandang-disabilitas.html
Kementerian Sosial Republik Indonesia. 2018. “Kemensos Hadirkan Beragam
Layanan dan Program Bagi Penyandang Disabilitas.”
https://www.kemsos.go.id/siaranpers/kemensos-hadirkan-
beragam-layanan-dan-program-bagi-penyandang-disabilitas 24
Mei 2019.
Kementerian dan Kebudayaan RI. 2017. “Sekolah Inklusi dan Pembangunan SLB
Dukung Pendidikan Inklusi.”
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/02/sekolah-
inklusi-dan-pembangunan-slb-dukung-pendidikan-inklusi diakses
21 Oktober 2018.
Kementerian Luar Negeri RI. 2019. “Bersama Pusat Studi ASEAN UNMUL,
Kemlu Tingkatkan Kepedulian terhadap Hak-Hak Penyandang
Disabilitas.”
https://kemlu.go.id/portal/lc/read/386/berita/bersama-pusat-studi-
asean-unmul-kemlu-tingkatkan-kepedulian-terhadap-hak-hak-
penyandang-disabilitas diakses pada 16 Juli 2019.
Surbhi, S. 2016. “Difference Between Exploratory and Descriptive Research.”
Keydifference.com. https://keydifferences.com/difference-
between-exploratory-and-descriptive-research.html diakses 23
Mei 2019.
xxiii
“Traditional and Non-traditional Issues in Foreign Policy.” Shodhganga Indian
Electronics Theses & Dissertations.
http://shodhganga.inflibnet.ac.in/bitstream/10603/29666/9/09_cha
pter%202.pdf
Kurniadi, Moch Rizky Prasetya. 2020. “Arti Tagar Menurut KBBI”.
https://lektur.id/arti-tagar/ diakses pada 25 Januari 2020
UN. “UN Disability.” www.un.org/disability
______. “Factsheet on Persons with Disabilities.” UN – Disability Department of
Economic and Social Affairs https://www.un.org/development/desa/disabilities/resources/facts
heet-on-persons-with-disabilities.html
______. 2011. “Panel Discussion on Making Education a Reality for Children
with Disabilities 5 July 2011.” UN – Disability Department of
Economic and Social Affairs. https://www.un.org/development/desa/disabilities/panel-
discussion-on-making-education-a-reality-for-children-with-
disabilities-5-july-2011.html
______. “Convention on the Rights of Persons with Disabilities.” United Nations
– Disability Department of Economic and Social Affairs.
https://www.un.org/development/desa/disabilities/convention-on-
the-rights-of-persons-with-disabilities.html
______. 2016. “Inclusive and Equitable Education: Leaving No One Behind.”
United Nations Sustainable Development
https://sustainabledevelopment.un.org/index.php?page=view&typ
e=20000&nr=432&menu=2993
WHO. “World Health Organization: Disabilities.”
http://www.who.int/topics/disabilities/en/
Berita On-Line Resmi
Election Access. “ASEAN Launches Disability Mainstreaming Materplan”. 2018.
electionaccess.org, http://electionaccess.org/en/media/news/80/
Filani, Olyvia. “Satu Juta Anak Berkebutuhan Khusus Tak Bisa Sekolah”. 2017.
CNN Indonesia.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170829083026-20-
237997/satu-juta-anak-berkebutuhan-khusus-tak-bisa-sekolah
diakses 21 Oktober 2018
Hidayat, Reja. "Menghentikan Diskriminasi Penyandang Disabilitas". 2016.
tirto.id. https://tirto.id/menghentikan-diskriminasi-penyandang-
disabilitas-bHGp
Jogloabang. “Permensos 21 Tahun 2017 tentang Kartu Penyandang Disabilitas.”
2017. Jogloabang.com
xxiv
https://www.jogloabang.com/pustaka/permensos-21-tahun-2017-
tentang-kartu-penyandang-disabilitas
Katharina, Gloria Fransisca. “3 Tugas Pokok ADF Lindungi Hak-Hak Disabilitas
di ASEAN”. 2018. kabar24.bisnis.com.
https://kabar24.bisnis.com/read/20180614/79/806210/3-tugas-
pokok-adf-lindungi-hak-hak-disabilitas-di-asean
Kumparan. “6 Fakta ASEAN Autism Games 2018; Ajang Olahrga untuk Anak
Autisme”. 2018. kumparan.com. https://kumparan.com/berita-
heboh/6-fakta-asean-autism-games-2018-ajang-olahraga-untuk-
anak-berspektrum-autisme-1540017623722698223
Safitri, Marisa. “Jamin Hak Kaum Disabilitas, ASEAN Kembangkan Enabling
Masterplan 2025”. 2019. idntimes.com.
https://www.idntimes.com/news/indonesia/marisa-safitri-2/jamin-
hak-kaum-disabilitas-asean-kembangkan-enabling-
masterplan/full
Solider. “51 Tahun ASEAN dan Kontribusinya dalam Upaya Perlindungan Hak
Difabel”. 2018. Solider.id, https://www.solider.id/baca/4732-51-
asean-kontribusinya-dalam-upaya-perlindungan-hak-difabel
Sucahyo, Nurhadi. “Penyandang Disabilitas Pertanyakan Komitmen Pemerintahan
Jokowi.” 2017. VOAIndonesia.com.
https://www.voaindonesia.com/a/penyandang-disabilitas-
pertanyakan-komitmen-pemerintahan-jokowi/3980179.html
Susilawati, Desy. “Indonesia Miliki 12 Persen Penyandang Disabilitas”. 2016.
Republika.co.id.
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/12/16/oi9ru
f384-indonesia-miliki-12-persen-penyandang-disabilitas
Yayasan Autisma Indonesia. “Light It Up Blue YAI 2018”. 2018. Yayasan
Autisma Indonesia, http://autisme.or.id/2018/03/light-it-blue-yai-
2018/
Sumber Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
https://www.komnasham.go.id/files/1475231474-uu-nomor-39-
tahun-1999-tentang-$H9FVDS.pdf
Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. http://pug-
pupr.pu.go.id/_uploads/PP/UU.%20No.%208%20Th.%202016.p
df
xxv
Media Sosial On-Line
Facebook ADF. ASEAN Disability Forum.
https://www.facebook.com/ASEAN.Disability.Forum.ADF/
diakses pada 22 September 2019
Twitter ADF. @DisabilityFrm. https://twitter.com/DisabilityFrm
Wawancara
Wike Devi Erianti, Program Manager dari ASEAN Disability Forum (ADF), 8
September 2019.
Wike Devi Erianti, Program Manager dari ASEAN Disability Forum (ADF), 31
Januari 2020.
xxvi
LAMPIRAN
Lampiran 1 Teks Wawancara
Teks wawancara dengan Wike Devi Erianti (Program Manager) dari ASEAN
Disability Forum (ADF), 8 September 2019.
A. Identitas Narasumber
1. Apa posisi Anda dalam ADF?
Posisi saya di ADF adalah sebagai Program Manager untuk
implementasi program dan project yang dikoordinasikan oleh Sekretariat
ADF. Dalam melaksanakan posisi ini saya berkoordinasi secara langsung
dengan Sekretaris Jenderal ADF, Ibu Maulani Rotinsulu sebagai Direktur
atau Penanggung Jawab Sekretariat ADF. Selain dengan beliau, saya juga
berkoordinasi dengan Chairman ADF yang berbasis di Singapura yaitu
Mr. PT Lim.
2. Sejak kapan Anda bergabung dengan organisasi ADF?
Saya terlibat dalam struktur di secretariat ADF sejak tahun 2017 semenjak
Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia melakukan
penandatangan kerjasama dengan ADF untuk advokasi perlindungan dan
pemajuan hak-hak penyandang disabilitas di ASEAN. Organiasi utama
saya adalah HRWG dan sejak penandatangan kerjasama tersebut saya
diposisikan dalam struktur secretariat ADF untuk membantu implementasi
program dan projek advokasi yang dilakukan oleh ADF secara regional.
3. Apakah Anda pernah terlibat dalam pemberian saran atau pengambilan
keputusan dalam ADF?
Semenjak saya bergabung dengan ADF, saya pernah beberapa kali melihat
proses pengambilan keputusan yang melibatkan ADF Steering Committee
dari masing-masing negara. Untuk posisi saya sendiri tidak memiliki hak
xxvii
dalam pengambilan keputusan namun sebagai bagian dari secretariat saya
membantu mengorganisasi atau memfasilitasi keperluan teknis untuk
pengambilan keputusan organisasi. Misalnya dengan menyiapkan
pertemuan board tahunan, dokumen-dokumen yang akan dibahas, dan juga
melaporkan hasil pertemuan dan keputusan yang disetujui oleh para board
kepada semua board.
B. ASEAN Disability Forum
1. Bentuk organisasi apa sebenarnya ADF ini?
ASEAN Disability Forum adalah organisasi regional yang memiliki
anggota dan jaringan di negara-negara ASEAN berupa organsisasi
penyandang disabilitas dengan beragam focus isu dan bentuk yang
tujuannya adalah untuk melindungi dan memajukan hak-hak penyandang
disabilitas. Sebagai organisasi regional, ADF bertindak sebagai perantara
antara organisasi penyandang disabilitas di tingkat grassroots dan
mekanisme atau struktur kerjasama HAM di ASEAN untuk memastikan
advokasi perlindungan dan pemajuan hak penyandang disabilitas masuk
dalam kebijakan atau frameworks yang diadopsi oleh ASEAN.
Untuk itu, ADF beperan penting dalam melakukan advokasi kebijakan
tingkat regional berdasarkan data yang diperoleh dari organisasi
penyandang disabilitas di tingkat nasional melalui peningkatan kesadaran
kepada seluruh stakeholders termasuk pemerintah dan masyarakat di
negara-negara ASEAN. Sebaliknya ADF juga melakukan peningkatan
kapasitas kepada anggota dan jaringannya sebagai upaya pelibatan serta
partisipasi yang aktif dalam mekanisme HAM ASEAN.
2. Apa wewenang dan kewajiban yang dimiliki ADF?
Wewenang yang dimiliki ADF dalam kapasitas fungsinya sebagai
organsasi regional untuk pemajuan dan perlindungan hak penyandang
disabilitas adalah sebagai berikut:
xxviii
1. Memfasilitas pertukaran informasi, lesson learnt, best practices yang
dimiliki oleh masing-masing organisasi di negara ASEAN untuk
pemajuan dan perlindungan hak penyandang disabilitas.
2. Mendorong multi-stakeholders di ASEAN untuk mempromosikan hak-
hak penyandang disabilitas.
3. Membuat rekomendasi untuk kebijakan public, programs, projek,
untuk memastikan hak-hak penyandang disabilitas diadopsi dalam
mekansime maupun framework/dokumen-dokumen hak asasi manusia
di ASEAN.
4. Untuk meningkatkan kesadaran organisasi penyandang disabilitas di
ASEAN
5. Untuk memberikan peningkatan kapasitas stakeholders terkait
termasuk orgasisasi penyandang disabilitas dalam merubah perspektif
hak-hak penyandang disabilitas dari pendekatan medis kepada hak
asasi manusia.
6. Untuk mempromosikan pelayanan komunitas yang inklusif kepada
penyandang disabilitas dan multi-stakeholders dalam upaya
menciptakan kemandiran hidup penyandang disabilitas.
3. Selain wewenang tersebut, apakah ADF dapat menambah
wewenangnya/programnya?
Selain fungsi atau wewenang diatas, ADF juga dapat menambah program
atau projeknya untuk meningkatkan upaya terwujudnya tujuan ADF yaitu
1) mengimplementasikan dokumen ASEAN diantaranya ASEAN Decade
on Persons with Disabilities, Bali Declaration, Enabling Masterplan
2025: Mainstreaming the Rights of Persons with Disabilities, Incheon
Strategy, dsb, 2) Mengarusutamakan perspektif hak penyandang
disabilitas sebagai hak asasi manusia kepada multi-stakeholders terutama
pemangku kebijakan masing-masing negara serta masyarakat ASEAN, 3)
xxix
menyediakan peningkatan kapasitas kepada stakeholders terkait
khususnya pemerintah dan organisasi penyandang disabilitas untuk
merubah perspektif pendekatan medis kepada hak asasi manusia dalam
memajukan dan melindungi hak penyandang disabilitas.
Untuk mencapai tujuan tersebut, ADF dapat mengambil inisiatif program
atau projek lain misalnya melakukan penelitian dan riset untuk
mendukung advokasi, kampanye, dan peningkatan kesadaran di
masyarakat. Selain itu, ADF juga melakukan kerjasama dengan
organisasi masyarakat sipil di isu bantuan hokum, perempuan, anak, serta
hak asasi manusia untuk meningkatkan kapasitas dan pencapaian hasil
advokasi yang maksimal dalam memajukan dan melindungi hak
disabilitas. ADF juga berkomitmen mengadakan forum disabilitas
tahunan untuk menjadi platform bagi organisasi regional dan nasional di
ASEAN dalam berdialog, berkonsultasi dengan pemerintah, berdikusi
tentang situasi terkini atau sharing best practices atau lesson learnt, serta
meningkatkan kesadaran para stakeholders dan masyarakat mengenai
hak-hak penyandang disabilitas di ASEAN. Forum tahunan ini diadakah
setiap akhir tahun berbarengan dengan pertemuan tahunan board dan
steering committee ADF.
4. Misal mengadakan acara olahraga bagi disabilitas seperti Asian Para
Games?
Anggota ADF di Indonesia yaitu Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia
(HWDI) terlibat sangat aktif dalam persiapan Asian Para Games 2018
lalu dengan menjadi pelatih etika berinteraksi dengan penyandang
disabilitas bagi para relawan Asian Para Games. Etika berinteraksi
tersebut sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi para relawan sebagai
duta atau ambassador dalam mengarusutamakan hak-hak penyandang
disabilitas kepada masyarakat luas yang turut hadir dalam pagelaran
xxx
Asian Para Games dan juga partner-partner atau stakeholders yang
terlibat didalamnya.
5. Bagaimana alur untuk menjadi anggota ADF?
Setiap organisasi penyandang disabilitas dapat mendaftar menjadi
anggota tetap dan tidak tetap. Untuk presedur, proses, format, dan
persetujuan pendaftaran anggota akan dilakukan oleh Steering Committee.
Setiap member akan diminta biaya atau iuran anggota secara regular
untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan ADF. Jumlah iuran tersebut
diatur lebih lanjut dalam AD/ART ADF baik untuk anggota tetap maupun
tidak tetap. Untuk anggota tetap, mereka akan diberikan hak dipilih
sebagai steering committee semantara anggota tidak tetap diberikan hak
sebagai observer.
6. Bagaimana pola kerjasama ADF dengan organisasi DPO lainnya?
Seperti sudah dijelaskan diatas, ADF bekerjasama dengan organisasi
penyandang disabiltas lain di negara-negara ASEAN sebagai anggota dan
secretariat. Sebagai secretariat, ADF membawahkan organisasi-
organisasi penyandang disabilitas lokal untuk meningkatkan kapasitas
terkait mekanisme HAM regional dan internasional serta menjadikan
mereka partner dalam melakukan advokasi hak penyandang disabilitas di
tingkat nasional. Sebagai partner lokal, organisasi penyandang disabilitas
yang menjadi steering committee atau member memiliki peranan penting
dalam sebagai focal point atau perwakilan ADF dalam melaksanakan
program dan menyebarluaskan informasi advokasi ditingkat nasional.
7. Bagaimana pola kerjasama ADF dengan ASEAN?
Dalam advokasi regional di tingkat ASEAN, ADF sejak tahun 2016 sudah
terdaftar menjadi salah satu organisasi yang mempunyai status ASEAN
Associated Entities. Dengan status tersebut, ADF sudah diakui
akreditasinya oleh ASEAN untuk turut berpartisipasi dalam proses-proses
xxxi
pembuatan kebijakan, peningkatan kapasitas, kesadaran, dan sebagainya
yang bertujuan untuk mengarusutamakan pemajuan dan perlindungan hak
penyandang disabilitas di ASEAN.
Dengan status tersebut, ADF telah dilibatkan secara aktif dalam proses
pembuatan beberapa instrument dan frameworks yaitu diantaranya ASEAN
Decade on Persons with Disabilities, Bali Declaration, dan terakhir adalah
ASEAN Enabling Masterplan 2025: Mainstreaming the Rights of Persons
with Disabilities. ADF menjadi anggota yang secara aktif dan regular
dilibatkan dalam Taskforce untuk pembuatan ASEAN Enabling
Masterplan bersama dengan AICHR, ACWC, dan SOMSWD. Selain itu,
ADF juga dimintai pandagan dan masukannya oleh ASEAN dalam setiap
pilar kerjasamanya salah satunya oleh pilla politik dan keamanan melalui
pertemuan tahunan ASCCO.
8. Bagaimana pola kerjasama ADF dengan pemerintah negara anggota
ASEAN terutama Indonesia?
Di tingkat nasional, ADF bekerja sama dengan pemerintah masing-masing
negara termasuk pemerintah Indonesia. Salah satu bentuk kerjasama yang
dilakukan adalah dengan secara aktif berdialog dan melibatkan partisipasi
DPO local untuk memberikan masukan kepada pemerintah melalui
Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian
Perempuan dan Perlindungan Anak, Bappenas, Komnas HAM, Komnas
Perempuan, dan kementerian/lembaga lain dalam proses pembuatan atau
monitoring implementasi kebijakan. Sebagai focal point ASEAN di
Indonesia, ADF secara rutin juga berkoordinasi dan berkomunikasi
melalui dialog kebijakan dan audiensi dengan kementerian social, Wakil
SOMSWD, Wakil AICHR, Wakil ACWC, Perwakilan tetap RI untuk
ASEAN, dan Kementerian Luar Negeri Indonesia.
xxxii
C. Permasalahan Disabilitas di ASEAN
1. Apa yang menjadi hambatan bagi ADF dalam bekerjasama meningkatkan
hak kaum disabilitas di ASEAN?
Hal utama yang menjadi hambatan adalah belum meratanya perubahan
perspektif terkait hak penyangdang disabilitas di ASEAN. Hingga saat ini
masih banyak stigma, diskriminasi, pelanggaran HAM berbasis disabilitas
yang juga melibatkan factor gender maupun usia contohnya anak-anak.
Ketidak tahuan tersebut yang menyebabkan pemangku kebijakan tidak
membuat kebijakan yang berbasis ham dan inklusif kepada penyandang
disabilitas yang juga berdampak pada tidak adanya peningkatan kesadaran
masyarakat umum mengenai hak-hak penyandang disabilitas.
2. Bagaimana kondisi pendidikan inklusif di negara-negara anggota ASEAN
sekarang? Apakah sudah baik?
Pendidikan inklusif saat ini sudah mengalami kemajuan di beberapa
negara ASEAN namun hanya terbatas pada negara-negara yang maju saja
dan terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Singapura, Malaysia,
Indonesia, dan Filipina.
Sementara negara berkembang masih harus berjuang keras dalam
menyediakan akses dan fasilitas pendidikan inklusif untuk anak-anak
penyangdang disabilitas misalnya di negara-negara Kamboja, Myanmar,
Laos, dan Vietnam.
Berdasarkan laporan UNESCAP tahun 2015/2017, ditemukan data bahwa
penerimaan anak-anak penyandang disabilitas di sekolah dasar dan
menengah lebih rendah bila dibandingkan dengan anak non disabilitas. Di
beberapa negara juga ditemukan tidak adanya sekolah-sekolah
berkebutuhan khusus yang memadai di tingkat lokal sehingga akses
pendidikan untuk mereka sangat terbatas. Padahal kebutuhan pendidikan
xxxiii
inklusif bukan hanya di sekolah umum namun juga penyediaan saran dan
prasarana sekolah berkebutuhan khusus di daerah-daerah.
3. Langkah seperti apa yang telah diambil ADF guna meningkatkan
aksesbilitas pendidikan untuk penyandang kaum disabilitas di ASEAN?
Saat ini ADF sedang meneliti implementasi dari agenda berkelanjutan
SDGs goal 4 mengenai pendidikan di beberapa negara ASEAN yaitu
Indonesia, Thailand, Singapore, Viet Nam dan juga Philippines. Penelitian
ini juga akan melihat bagaimana komitmen negara-negara tersebut dalam
memenuhi hak-hak pendidikan kepada penyandang disabilitas berdasarkan
CRPD yang sudah diratifikasi oleh semua negara ASEAN. Di tingkat
nasional, pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pendidikan
menjadi target advokasi utama anggota ADF dalam menyelesaikan
rancangan peraturan pemerintah untuk pendidikan inklusif amanat dari UU
No.8/2016 mengenai Penyandang Disabilitas.
D. Permasalahan Disabilitas di Indonesia
1. Menurut ADF, bagaimana kondisi pendidikan inklusif di Indonesia
sekarang? Apakah sudah cukup baik atau belum?
Kementerian Pendidikan sudah mengeluarkan program pendidikan inklusi
sejak 2012 dengan target 2021 sekolah inklusif tahun 2019. Namun dari
29.700 sekolah yang ada di Indonesia, baru 12% yang sudah menerapkan
sistem inklusi. Kementerian Pendidikan saat ini sedang menyiapkan
roadmap untuk meneliti apakan masih realistis untuk mencapai target 2021
sekolah inklusi. Karena jika tidak, akan diperpanjang targetnya sampai
tahun 2024. Saat ini RPP Pendidikan masih dalam proses di dalam
kementerian dan dibahas dibagian biro hukum.
2. Di Indonesia, langkah seperti apa yang telah diambil ADF guna
meningkatkan aksesbilitas pendidikan untuk penyandang kaum disabilitas?
xxxiv
ADF turut aktif melalui anggotanya di Indonesia melalui PPDI, HWDI
dan Perhimpunan Jiwa Sehat yang tergabung dalam Pokja UU Disabilitas
untuk memberikan masukan, rekomendasi, dan berdiskusi mengenai
rancanang peraturan pemerintah mengenai pendidikan inklusi. Selain itu,
ADF juga berkerja sama dengan organisasi HAM lain dalam melakukan
upaya pemantauan implementasi kebijakan serta CRPD melalui
pembuatan laporan alternatif masyarakat sipil.
3. Apa saja hambatan yang dialami ADF dalam mendorong pemerintah
meningkatkan hak kaum disabilitas?
Dalam melakukan berbagai advokasinya, ADF menemukan bahwa
pemerintah masih belum banyak melakukan upaya peningkatan kapasitas
dan kesadaran terhadap kementerian/lembaganya sendiri terkait hak-hak
penyandang disabilitas di Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari ego
sektoral lembaga, budget, dan juga pengetahuan staff mengenai hak-hak
penyandang disabilitas.
Terlepas dari itu kementerian/lembaga juga masih meletakan penyandang
disabilitas sebagai isu kemiskinan atau sosial yang harus ditangani oleh
kementerian sosial. Padahal, isu disabilitas menjadi isu yang harus dilihat
dari perspektif hak asasi manusia, inklusif, dan universal. Oleh karena nya
perlu perhatian dan komitmen dari semua stakeholder, kementerian, dan
lembaga terkait. Selain itu, pemerintah juga belum memiliki data yang
lengkap terkait jumlah dan segregasi penyandang disabilitas di Indonesia
yang terbagi dalam berbagai sektor.
4. Apa hambatan yang dialami ADF dalam membantu meningkatkan akses
pendidikan inklusif bagi kaum disabilitas?
Belum adanya kebijakan pendidikan inklusif (RPP Pendidikan
inklusif) yang menjadi amanah UU DIsbailitas
xxxv
Belum adanya perubahan mindset atau perspektif pemangku
kepentingan dalam membuat kebijakan yang mengutamakan hak
pendidikan untuk anak penyandang disabilitas.
Masih terbatasnya anggaran pendidikan untuk penyediaan sarana
dan prasarana pendidikan inklusi dan sekolah berkebutuhan khusus
dari APBN.
Belum adanya data yang terintegrasi mengenai jumlah anak
berkebutuhan khusus.
5. Apakah ADF mengalami hambatan dalam meningkatkan awareness
mengenai disabilitas di kalangan masyarakat Indonesia?
Isu penyandang disabilitas masih dilihat sebagai isu berdasarkan medical
approach yang berubah menjadi social based approach di mata masyarakat.
Oleh kerena nya banyak masyarakat yang menilai charity menjadi salah
satu pendekatan yang terbaik kepada penyandang disbilitas padahal masih
banyak hak-hak penyangdang disabilitas yang perlu dilindungi, dimajukan,
dan dipenuhi sesuai dengan prinsip CRPD. Karena kurangnya kesadaran
dan juga pembangunan masyarakat yang inklusif maka penghargaan dan
pemenuhan hak penyangdang disabilitas masih dinilai sebalah mata oleh
masyarakat umum. Kesadaran baru akan muncul apabila pemerintah dapat
mendorong pemenuhan hak penyandang disabilitas melalui pembuatan
dan implementasi kebijakan yang partisipatif dengan melibatkan
penyandang disabilitas dalam kehidupan social bermasyarakat.
6. Apa tanggapan ADF mengenai SLB di Indonesia?
Berdasarkan data yang ada sekolah luar biasa atau berkebutuhan khusus
masih rendah dibandingankan dengan sekolah inklusif. Oleh karena itu,
pemerintah perlu mengidentifikasi terlebih dahulu data anak penyandang
disabilitas berkebutuhan khusus yang tersebar di kabupaten/kota dan
daerah pelosok Indonesia. Masalah yang sering ditemukan adalah
xxxvi
banyaknya anak penyandang disabilitas di daerah yang sulit mengakses
sekolah luar biasa karena akses yang sangat jauh, saran, dan prasaran yang
tidak mendukung. Pendidikan khusus bagi tenaga pendidik dan kurikulum
sangat diperlukan sementara hal tersebut masih menjadi kendala yang
besar di system pendidikan inklusif di Indonesia.
7. Solusi atau saran apa yang ADF sarankan mengenai pendidikan inklusif di
Indonesia?
Identifikasi kebutuhan anak penyandang disabilitas di Indonesia mulai
dari jenis, jumlah, dan penyebarannya.
Menggunakan budget APBN dan APBD untuk mengembangkan
sistem pendidikan inklusif di daerah yang terintegrasi dengan
pelaksanaan RPP Pendidikan dan amanah UU Penyandang disabilitas.
Mengembangkan kapasitas pengajar dan pendidik untuk memahami
hak-hak anak dan penyandang disabilitas.
Membuat kurikulum dan mata pelajaran etika bersosialisasi dengan
penyandang disabilitas.
E. ASEAN Enabling Masterplan 2025
1. Bagaimana perkembangan pengimplementasian ASEAN Enabling
Masterplan 2025 di negara anggota ASEAN terutama Indonesia?
ASEAN Enabling Masterplan sudah diadopsi pada tahun 2018 yang lalu
oleh seluruh negara ASEAN. Tujuan utamanya adalah untuk
mengarusutamakan hak penyandang disabilitas di tiga pillar utama
ASEAN yaitu politik-keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya. Pasca
setahun semenjak disahkannya Enabling Masterplan, ASEAN mulai
menjalankan poin-poin aksinya yang tersebar dalam tiga pillar tersebut
diantaranya adalah dengan memastikan setiap pillar mengerjakan program
xxxvii
dan projek dengan mengikutsertakan partisipasi penyandang disabilitas
terutama dengan menggunakan basis pendekatan HAM.
Beberapa diantara negara ASEAN sudah mengadopsi ASEAN Enabling
Masterplan kedalam rencana aksi nasional atau menerjemahkannya dalam
bentuk aturan pelaksana di tingkat nasional. Misalnya di Indonesia,
Bappenas sudah menggunakan ASEAN Enabling Masterplan ke dalam
Rencana Induk Pembangunan Disabilitas (RIPID). Sementara Indonesia
juga memiliki rencana aksi lain teruntuk hak asasi manusia dan RPJMN
yang bisa diinergikan dengan pelaksanaan ASEAN Enabling Masterplan
berdasarkan CRPD dan SDGs. ASEAN Enabling Masterplan akan
dievaluasi tengah periode pada tahun 2021 dan akhir periode pada tahun
2025. Sebelum masa tengah periodenya, ADF berharap dapat melihat
perkembangan pelaksanaan ASEAN Enabling Masterplan di negara-negara
ASEAN.
2. Apa saja yang telah dilakukan ADF setelah dilegalkannya ASEAN
Enabling Masterplan?
Pasca diadopsinya ASEAN Enabling Masterplan 2025, ADF fokus pada
pemantauan atau monitoring implementasi ASEAN Enabling Masterplan.
Sebelum terlaksananya framework ini ditingkat nasional, ADF melakukan
peningkatan kesadaran atau sosialisasi kepada DPO dan pemerintah
terlebih dahulu mengenai ASEAN Enabling Masterplan dan
mendiskusikan strategi pelakasanannya dengan pemangku kepentingan
terutama pemerintah. Untuk mendiskusikan hal tersebut, ADF melakukan
lobby dengan berbagai pihak utamanya dengan Kementerian Sosial,
Kementerian Luar Negeri, AICHR, ACWC, SOMSWD, Permanent
Mission Indonesia to ASEAN, dan kementerian/lembaga terkait hingga
DPI dalam sebuah dialog kebijakan publik pada awal tahun 2018.
3. Bagaimana langkah ADF untuk menjamin terimplementasinya ASEAN
Enabling Masterplan?
xxxviii
Untuk memastikan terlaksananya ASEAN Enabling Masterplan, ADF akan
membuat penelitian terkait situasi penyandang disabilitas di ASEAN.
Dengan advokasi berbasi data diharapkan pemangku kepentingan terkait
terutama pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat sasaran dan
sesuai dengan situasi yang terjadi di lapangan dengan pembuatan
kebijakan yang berbasis pada pendekatan bottom-up.
Selain itu, ADF bermaksud meningkatkan jejaring DPO di ASEAN untuk
turut memonitori pelaskanaan ASEAN Enabling Masterplan dengan
mengajak CSOs dan para eksperts dalam memberikan masukan atau
rekomendasi terkait pelakasanaan ASEAN Enabling Masterplan di tingkat
nasional. Dengan adanya peningkatan kapasitas kepada DPO diharapkan
bentuk jejarin ini nanti akan dapat dikembangkan menjadi bentuk working
group dengan berbasis pada advokasi inklusif secara kollektif antar
masyarakat sipil di ASEAN.
4. Hal apa saja yang menjadi hambatan ADF setelah dilegalkannya ASEAN
Enabling Masterplan?
Yang menjadi kendala utama saat ini adalah, belum adanya pengetahuan
yang cukup dan sepadan antara pemerintah selaku pemangky kepentingan
dalam memahami poin-poin aksi Enabling Masterplan yang tersebar
dalam tiga pillar. Sejauh ini kementerian yang menerima tugas pokok atau
utama untuk pelaksana ASEAN Enabling Masterplan adalah Kementerian
Sosial namun, nilai atau esensi dari ASEAN Enabling Masterplan adalah
pengarusutamaan dan pelaksanaan ASEAN Enabling Masterplan disemua
sector untuk menciptakan komunitas ASEAN yang inklusif dan ramah
penyandang disabilitas. Ketimpangan pemahamam ini yang menjadi
penghambat dalam mensinergikan dan mengkoordinasikan implementasi
ASEAN Enabling Masterplan di tingkat nasional dan daerag di negara-
negara ASEAN.
xxxix
5. Menurut ADF, apakah respon pemerintah Indonesia mengenai
pengimplementasian ASEAN Enabling Masterplan dapat dinilai baik?
Sejauh ini implementasi ASEAN Enabling Masterplan belum dapat dilihat
secara komprehensif dan maksimal jika menggunakan indikator
pelaksanaan nya yang terintegrasi dalam RIPID dan UU Penyandang
Disabilitas. Indikator utama yang menjadi rujukan adalah belum
selesainya beberapa rancangan peraturan pemerintah UU Penyangdang
Disabilitas dan belum tersosialisasikannya ASEAN Enabling Masterplan di
semua kementerian/lembaga sebagai pemangku kepentingan. Namun
ditengah situasi tersebut, ada kemajuan yang cukup baik dalam pemajuan
dan perlindungan hak penyandang disabilitas dari sisi aksesibilitas
terutama di bidang transportasi dan gedung-gedung publik di
kabupaten/kota. Beberapa daerah kabupaten/kota juga sudah ada yang
membuat peraturan daerah terkait pembangunan, pasar kerja, atau
pendidikan inklusif. Selain itu ada juga inisatif kota ramah ham dan kota
inklusif yang dikerjakan oleh Kementerian Hukum dan Ham serta
UNESCO dengan Asosiasi Kabupaten/Kota di Indonesia untuk
mendukung pemajuan dan pelindungan hak asasi penyandang disabilitas di
Indonesia.
Lampiran 2 Teks Wawancara
Teks wawancara dengan Wike Devi Erianti (Program Manager) dari ASEAN
Disability Forum (ADF), 31 Januari 2020.
1. Sebelumnya narasumber menyebutkan bahwa terdapat iuran untuk
anggota ADF. Kira-kira berapa jumlah iuran tersebut dan digunakan untuk
apa iuran tersebut?
Seyogyanya ada iuran yang dibayarkan oleh anggota untuk mendukung
kegiatan advokasi dan sekretariat ADF, namun sejak saya bergabung
dengan ASEAN Disability Forum, iuran yang dimaksud tidak berjalan.
xl
2. Seberapa jauh fungsi kontrol yang dilakukan oleh ADF untuk memastikan
program ADF berjalan sesuai dengan yang direncanakan di Indonesia?
Sekretariat ADF berada di Jakarta, Indonesia sehingga Ketua ADF dapat
memberikan delegasi kepada Sekretaris Jenderal ADF yang berada di
Indonesia untuk melakukan fungsi kontrol dalam tugas dan fungsi
koordinasi perencanaan, monitoring, dan evaluasi program advokasi
secara regional, khususnya yang akan dilakukan di Indonesia.
3. ADF bekerjasama dengan stakeholders mana saja dari tiap negara-negara
ASEAN?
Di ASEAN, ADF bekerjasama dengan ASEAN Secretariat untuk
koordinasi dan komunikasi terkait pelaksanaan dan monitoring serta
evaluasi pelaksanaan dokumen-dokumen terkait perlindungan hak
disabilitas di ASEAN. Secara khusus, ADF juga bekerjasama dengan
badan-badan di dalam ASEAN untuk divisi HAM seperti AICHR, ACWC,
dan SOMSWD. Koordinasi dan kerjasama dengan tiga lembaga tersebut
dapat dilakukan secara mandiri oleh masing-masing anggota ADF di
negara-negara ASEAN atau langsung dilakukan oleh ADF sendiri.
4. Bagaimana mekanisme evaluasi yang dilakukan ADF untuk memastikan
programnya terimplementasi dengan baik?
Upaya evaluasi yang dilakukan setelah program advokasi selesai adalah
dengan melihat pelaksanaan program melalui capaian target outcome atau
indikator-indikator yang ditetapkan. Pelaksaaan keseluruhan program
menjadi pintu masuk untuk melakukan evaluasi substansi per kegiatan
program berdasarkan penilaian kekuatan, kelemahan, tantangan, dan
kesempatan yang dapat diambil pelajarannya setelah program selesai.
top related