pengembangan lembar kerja peserta didik ...digilib.unila.ac.id/55239/3/tesis tanpa...
Post on 10-Dec-2020
17 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK BERBASIS
MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BERPIKIR KREATIF DAN KOMUNIKASI SERTA
DISPOSISI MATEMATIS
(Tesis)
Oleh
LIA AGUSTINA
MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
Lia Agustina
ABSTRAK
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK BERBASIS
MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR
KREATIF DAN KOMUNIKASI SERTA
DISPOSISI MATEMATIS
Oleh
LIA AGUSTINA
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang mampu membekali
siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, dan
kreatif. Pembelajaran yang berlangsung di SMA Negeri 15 Bandar Lampung
belum mendorong siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir tersebut.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menyikapi belum tercapainya
kemampuan berpikir tersebut adalah penggunaan bahan ajar seperti Lembar Kerja
Peserta Didik (LKPD) dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat
sehingga dapat mengasah kemampuan berpikir siswa.
Penelitian pengembangan ini bertujuan untuk mengembangkan LKPD
berbasis masalah guna meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, komunikasi,
dan disposisi matematis siswa. LKPD berbasis masalah ini telah memenuhi
standar kelayakan isi, desain, dan bahasa berdasarkan hasil validasi ahli materi,
desain, dan evaluasi pembelajaran. Pada tahap uji keterbacaan dan kelompok
Lia Agustina
terbatas, LKPD berbasis masalah ini termasuk dalam kategori baik dari aspek
tampilan, penyajian materi, dan manfaat. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas
XI SMA Negeri 15 Bandar Lampung. Data penelitian diperoleh melalui
wawancara, observasi, tes berpikir kreatif dan komunikasi matematis, serta skala
disposisi matematis. Tes dan skala diberikan pada saat pembelajaran terakhir
(post-test only).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa LKPD berbasis masalah dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi serta disposisi
matematis siswa. Hasil tes menunjukkan bahwa 73,33% (tes kemampuan berpikir
kreatif) dan 70% (tes kemampuan komunikasi) siswa telah mencapai nilai di atas
KKM 70. Sedangkan disposisi matematis siswa meningkat setelah menggunakan
LKPD berbasis masalah.
Kata kunci: LKPD berbasis masalah, berpikir kreatif, komunikasi, disposisi
matematis.
Lia Agustina
ABSTRACT
STUDENT’S WORKSHEET DEVELOPMENT TO IMPROVE
CREATIVE THINKING ABILITY AND COMMUNICATION
AND MATHEMATIC DISPOSITION
By
LIA AGUSTINA
Mathematics is one of the subjects that is able to equip students to develop the
ability of thinking critically, systematically, logically, and creatively. Learning
that took place at Bandar Lampung High School 15 did not encourage students to
develop these thinking skills. One effort that can be done to address the lack of
achievement of thinking skills is the use of teaching materials such as student
worksheet (LKPD) by using the right learning model so that they can hone
students' thinking skills.
This development research aims to develop student’s worksheet based on
problem to improve creative thinking, communication, and mathematical
dispositions. This student’s worksheet based on problem has met the standards of
eligibility for content, design, and language based on the results of material expert
validation, design, and learning evaluation. At the readability and limited group
stages, this student’s worksheet based on problem is included in the categories
both in terms of appearance, presentation, and benefits. The subject of this study
was the eleventh grade students of Bandar Lampung State High School 15. The
research data was obtained through interviews, observations, tests of creative
thinking and mathematical communication, and mathematical disposition scales.
Tests and scales are given at the last meeting (post-test only).
The results of the study show that student’s worksheet based on problem can
improve creative thinking, communication skills, and mathematical dispositions
of students. The test results showed that 73.33% (tests of creative thinking ability)
and 70% (communication skills tests) students had reached score that is above
Lia Agustina
KKM 70. While students' mathematical dispositions increased after using
student’s worksheet based on problem.
Keywords: student’s worksheet based on problem, creative thinking,
communication, mathematical disposition.
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK BERBASIS
MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BERPIKIR KREATIF DAN KOMUNIKASI SERTA
DISPOSISI MATEMATIS
Oleh
LIA AGUSTINA
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA
Pada
Program Studi Magister Pendidikan Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
B>lr}?tuelBhl rrDlrprpuedre$l8ew rpnls lue,6ord Bnlex
'g Eqqrulqule4
InfnJIIANIII{
usxrprgrod nurlJ u?p, genrn8sy
vdtr^[ ugrppqpJ
cgolaoteit
raproftr 6'95,
SIIY}tttrTYNIISISOdSIC YIUtrS ISYXINIIaIOX NVO dIIYtrDT
UDIIdUf,fl NYNdI [Y}1tf)t INDTIYXONINtrIAIXNINN IIYTYSYI{ SISJflUgg XIOIO
YIUUSTd yfuf,)t uyflI^iflI NVSNVgn[fl3Nfld :
?00 It0E66rr00Ir96I dlit
TOO Z II1661 8II1996I ff{ 'pd.RI ..reo;g pn1srH 3rS.{
'lEqqqrr
qIMRI
rfrtr{,
ryrqslrftll
",usrsBrlBlt {o|qd qf
s rsIssIFI,{qI
s.rsel FFf
zw I E0n66t nt'pd.I^l soslunng
Ydtr^I uEllp!
200 I E0?66t nl60696t dIN'pd'ru .os.repn5[ffins -rO
610Z FGnuBf €0 : uqln sqlrl tq
020 r E0r86I I0'C'qd'y'IAI3;o1sn
eueftesecse4
./- luu t lutfu'etw'ufuu
rrB)lrplpued mullrrup
?d1{'ulppo1 Suupug'rq
Ewquuque6 wlF[rfnEuatr
: suslrqrs
srryI
lfnEusaqt -I
I00 I s0686I
o-#-j
LqFB:f
'pd'IAI (.reog $qsBH 1rS 'rO
TTY)THYSf,I)NU}II
PERNYATAAN TESIS MAHASISWA
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama
NPM
Program
Lia Agustina
1423021032
Magister Pendidikan Matematika
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Tesis yang berjudul "Pengembangan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk
Memfasilitasi Kemampuan Berpikir Kreatif dan Komunikasi sena Disposisi
Matematis" adalah karya sendiri. Saya tidak melakukan penjiplakan atas karya
penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan kaidah atau etika keilmuan
yang berlaku dalam masyarakat.
2. Hak intelektualitas atas karya ini diserahkan sepenuhnya kepada Universitas
Lampung.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Apabila di
kemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia dituntut sesuai
dengan hukum yang berlaku.
Bandar Lampung, Desember 2018Yang Menyatakan
Lia AgustinaNPM. 1423021032
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 1987. Penulis
merupakan anak sulung dari tiga bersaudara pasangan Bapak Ir. S.
Gurning dan Ibu Lince Sinambela.
Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Xaverius Way
Halim Permai pada tahun 1993. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD
Xaverius Way Halim Permai pada tahun 1999, pendidikan menengah pertama di
SMP Fransiskus Tanjung Karang pada tahun 2002, dan pendidikan menengah atas
di SMA Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 2005.
Penulis menyelesaikan sarjana program studi Pendidikan Matematika di
Universitas Lampung pada tahun 2009. Selama menjadi mahasiswa, penulis
pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah statistika dasar.
Penulis mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil di SMA Negeri 15 Bandar
Lampung sejak tahun 2010 sampai dengan sekarang. Selain itu, penulis juga
mengajar di Ganesha Operation sejak tahun 2009 sampai dengan sekarang.
Penulis melanjutkan pendidikan pada program studi Pascasarjana Pendidikan
Matematika Universitas Lampung tahun 2014.
MOTO
“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, Janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu;
Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku
yang membawa kemenangan.”
Yesaya 41:10
PERSEMBAHAN
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus Kupersembahkan karya kecilku ini untuk orang-orang yang kukasihi: Gurning’s Family (Mama dan Papa yang selalu menjadi sumber semangatku dan mendoakanku dalam menyelesaikan studi ini, Adik-adikku Ferry Sangguna, S.Psi. dan Fernando Putra Gurning, S.T. yang selalu memberikan dukungan kepadaku). Alex Saputra Siagian, S.T. (Suami yang selalu mendukung dalam segala hal). Moses Gogo Gracio Siagian (Anakku Tersayang yang menjadi penghapus rasa lelahku). Seluruh dosen yang telah memberikan pengajaran dengan penuh kesabaran. Sahabat-sahabatku yang telah membantu dalam penyusunan karya kecilku ini. Almamater Universitas Lampung tercinta.
i
SANWACANA
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, atas limpahan kasih dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengembangan
Lembar Kerja Peserta Didik Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Kreatif dan Komunikasi serta Disposisi Matematis” sebagai syarat untuk
mencapai gelar Magister Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Lampung.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa terselesaikannya penyusunan tesis ini tidak
luput dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Ibu Dr. Sri Hastuti Noer, M.Pd., sebagai dosen Pembimbing Akademik
sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya
untuk membimbing, memberikan perhatian, dan memotivasi selama
penyusunan tesis sehingga tesis ini menjadi lebih baik.
2. Bapak Dr. Sugeng Sutiarso, M.Pd., sebagai Ketua Program Studi Magister
Pendidikan Matematika sekaligus Dosen Pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk konsultasi dan memberikan bimbingan,
sumbangan pemikiran, kritik, dan saran selama penyusunan tesis, sehingga
tesis ini menjadi lebih baik.
ii
3. Bapak Dr. Caswita, M.Si., sebagai dosen pembahas I yang telah memberikan
masukan, kritik, dan saran kepada penulis.
4. Dr. Undang Rosidin, M.Pd., sebagai dosen pembahas II yang telah banyak
memberikan saran dan masukan untuk memperbaiki LKPD dan tesis ini agar
menjadi lebih baik.
5. Bapak Dr. Suharsono, sebagai validator dalam penelitian ini yang telah
banyak memberikan saran dan masukan untuk memperbaiki LKPD berbasis
masalah dan tesis ini agar menjadi lebih baik.
6. Bapak Dr. Bambang Sri Anggoro, M.Pd., sebagai validator dalam penelitian
ini yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam hal desain
pembelajaran dan tesis ini agar menjadi lebih baik.
7. Ira Hidayati, M.A., sebagai validator instrumen skala disposisi matematis
yang telah memberikan masukan yang sangat mendukung.
8. Bapak Prof. Dr. Patuan Raja, M.Pd., sebagai Dekan FKIP Universitas
Lampung, beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan bantuan kepada
penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
9. Bapak Prof. Drs. Mustofa, Ph.D., sebagai Direktur Program Pascasarjana
Universitas Lampung, beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan
perhatian dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis.
10. Bapak dan Ibu dosen Magister Pendidikan Matematika di Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada
penulis.
iii
11. Bapak Drs. Hi. Ngimron Rosadi, M.Pd. sebagai Kepala SMA Negeri 15
Bandar Lampung beserta Wakil, staff, dan dewan guru yang telah
memberikan kemudahan selama penelitian.
12. Siswa/siswi kelas XI SMA Negeri 15 Bandar Lampung Tahun Pelajaran
2015/2016, atas semangat dan kerjasamanya.
13. Rekan-rekan seperjuangan Magister Pendidikan Matematika angkatan 2014,
2015, 2016, dan 2017 yang selalu membantu dalam setiap kesulitan.
14. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini.
Semoga dengan kebaikan, bantuan, dan dukungan yang telah diberikan pada
penulis, mendapat balasan pahala yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa dan
semoga tesis ini dapat bermanfaat.
Bandar Lampung, Januari 2019
Penulis
Lia Agustina
iv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ ix
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 10
D. Kegunaan Penelitian ................................................................ 10
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Berpikir Kreatif ....................................................................... 11
B. Komunikasi Matematis .......................................................... 16
C. Disposisi Matematis ................................................................ 23
D. Lembar Kerja Peserta Didik ..................................................... 27
E. Pembelajaran Berbasis Masalah .............................................. 33
F. Definisi Operasional ................................................................ 41
G. Kerangka Pikir ......................................................................... 43
III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ......................................................................... 47
B. Subjek Penelitian ..................................................................... 48
C. Prosedur Penelitian .................................................................. 49
D. Instrumen Penelitian ................................................................ 54
E. Teknik Analisis Data ................................................................ 64
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ......................................................................... 69
1. Studi Pendahuluan ............................................................... 69
2. Pengembangan LKPD Berbasis Masalah ............................ 71
3. Desain Produk Awal ............................................................ 72
4. Uji Tahap Awal ................................................................... 75
5. Revisi Produk Awal ............................................................ 80
6. Uji Coba Lapangan .............................................................. 82
v
a. Analisis Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis
Siswa ............................................................................ 82
b. Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ... 84
c. Analisis Kemampuan Disposisi Matematis Siswa ........ 86
B. Pembahasan .............................................................................. 88
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ................................................................................... 103
B. Saran ........................................................................................ 104
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 106
LAMPIRAN .......................................................................................... 112
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.1 Daya Serap Hasil Ujian Nasional Pelajaran Matematika SMA
Pokok Bahasan Statistika dan Peluang Tahun 2018 .............................. 2
2.1 Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa ...................................... 17
2.2 Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa .......................... 23
2.3 Indikator Kemampuan Disposisi Matematis Siswa ............................... 27
2.4 Tahap-Tahap Pembelajaran Berbasis Masalah ...................................... 40
3.1 Tahap-Tahap Penelitian dan Pengembangan ......................................... 50
3.2 Kriteria Validitas Instrumen Tes ........................................................... 57
3.3 Interpretasi Nilai Daya Pembeda ........................................................... 59
3.4 Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran ..................................................... 60
3.5 Rekapitulasi Hasil Uji Coba Kemampuan Berpikir Kreatif dan
Komunikasi Matematis .......................................................................... 61
3.6 Validitas Skala Disposisi Matematis Siswa ........................................... 63
3.7 Skor Pernyataan Skala Disposisi Matematis Siswa ............................... 64
3.8 Interval Nilai Tiap Kategori Penilaian ................................................... 66
4.1 Kategori Penilaian Komponen Hasil Validasi Ahli Materi ................... 76
4.2 Kategori Penilaian Komponen Hasil Validasi Ahli Desain ................... 77
4.3 Rekapitulasi Skor Uji Keterbacaan oleh Siswa ..................................... 78
4.4 Rekapitulasi Skor Uji Kelompok Terbatas oleh Siswa ......................... 80
vii
4.5 Banyaknya Siswa yang Memiliki Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif
Matematis Siswa .................................................................................... 83
4.6 Banyaknya Siswa yang Memiliki Indikator Kemampuan Komunikasi
Matematis Siswa .................................................................................... 85
4.7 Kecenderungan Disposisi Matematis Siswa .......................................... 86
4.8 Banyaknya Siswa yang Memiliki Indikator Disposisi Matematis
Siswa ...................................................................................................... 87
DAFTAR GAMBAR
Gambar halaman
4.1 Uji Coba LKPD Model Pembelajaran Berbasis Masalah
pada Tahap Uji Keterbacaan ...................................................... 78
4.2 Uji Coba LKPD Model Pembelajaran Berbasis Masalah
pada Tahap Uji Kelompok Terbatas ........................................... 81
4.3 Tahap Mengorientasi Siswa terhadap Masalah .......................... 91
4.4 Tahap Mengorganisasi Siswa untuk Belajar .............................. 92
4.5 Tahap Membimbing Penyelidikan Individual Maupun
Kelompok ................................................................................... 94
4.6 Tahap Mengembangkan dan Menyajikan Hasil Karya ............... 94
4.7 Tahap Refleksi atau Evaluasi ...................................................... 95
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
A. Perangkat Pembelajaran
A.1 Pembelajaran Berbasis Masalah ................................................. 115
A.2 Silabus ........................................................................................ 169
A.3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Masalah ............. 175
A.4 Lembar Kerja Peserta Didik ....................................................... 249
B. Instrumen Penelitian
B.1 Kisi-Kisi Tes Kemampuan Berpikir Kreatif dan Komunikasi
Matematis ................................................................................ 308
B.2 Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kreatif dan Komunikasi
Matematis ............................................................................... 312
B.3 Kunci Jawaban Tes Kemampuan Berpikir Kreatif dan
Komunikasi Matematis ........................................................... 314
B.4 Lembar Penilaian Validitas Instrumen Tes Kemampuan
Berpikir Kreatif dan Komunikasi Matematis ............................ 320
B.5 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Berpikir
Kreatif Matematis .................................................................. 325
B.6 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Komunikasi
Matematis ............................................................................... 327
B.7 Kisi-Kisi Skala Disposisi Matematis ....................................... 328
B.8 Skala Disposisi Matematis ....................................................... 330
x
C. Analisis Data
C.1 Analisis Validitas Tes Kemampuan Berpikir Kreatif
Matematis ................................................................................. 333
C.2 Analisis Reliabilitas Tes Kemampuan Berpikir Kreatif
Matematis ................................................................................. 335
C.3 Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan
Berpikir Kreatif Matematis ...................................................... 337
C.4. Analisis Validitas Tes Kemampuan Komunikasi
Matematis ................................................................................. 339
C.5 Analisis Reliabilitas Tes Kemampuan Komunikasi
Matematis ................................................................................. 341
C.6 Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan
Komunikasi Matematis ............................................................ 343
C.7 Perhitungan Skor Skala Disposisi Matematis .......................... 345
C.8 Analisis Validitas dan Reliabilitas Butir Pernyataan Skala
Disposisi Matematis ................................................................. 350
C.9 Data Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa ............. 354
C.10 Pencapaian Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif
Matematis Siswa ...................................................................... 356
C.11 Data Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ................... 362
C.12 Pencapaian Indikator Kemampuan Komunikasi
Matematis Siswa ...................................................................... 364
C.13 Data Skala Disposisi Matematis Siswa .................................... 368
C.14 Pencapaian Indikator Skala Disposisi Matematis Siswa ......... 370
C.15 Analisis Validasi LKPD oleh Ahli Materi ............................... 373
C.16 Analisis Validasi Desain Pembelajaran oleh Ahli Desain ....... 374
C.17 Analisis Uji Keterbacaan LKPD oleh Siswa ........................... 375
C.18 Analisis Uji Kelompok Terbatas oleh Siswa ............................ 378
xi
D. Angket, Skala, Lembar Wawancara
D.1 Lembar Wawancara Mengenai Pembelajaran Matematika
pada SMA di Bandar Lampung ............................................... 382
D.2 Lembar Angket Siswa Mengenai Materi yang Kurang
Dikuasai oleh Siswa ................................................................. 384
D.3 Lembar Observasi Mengenai Pembelajaran Matematika
di SMA Negeri 15 Bandar Lampung ....................................... 385
D.4 Kisi-Kisi Lembar Penilaian Ahli Materi .................................. 387
D.5 Kisi-Kisi Lembar Penilaian Ahli Desain .................................. 391
D.6 Lembar Validasi Skala Disposisi Matematis ............................ 395
D.7 Kisi-Kisi Lembar Penilaian LKPD oleh Siswa pada
Uji Keterbacaan ........................................................................ 398
D.8 Lembar Penilaian LKPD oleh Siswa pada Uji Keterbacaan .... 399
D.9 Kisi-Kisi Lembar Penilaian LKPD oleh Siswa pada
Uji Kelompok Terbatas ............................................................ 401
D.10 Lembar Penilaian LKPD oleh Siswa pada Uji Kelompok
Terbatas .................................................................................... 402
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berkembang semakin pesat. Manusia
dituntut untuk mampu berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif, serta bekerja sama
secara efektif. Salah satu mata pelajaran yang mampu membekali siswa untuk
mengembangkan kemampuan tersebut adalah matematika. Matematika memiliki
struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga mampu
merangsang siswa untuk terampil dalam berpikir.
Ada beberapa studi yang mengkaji kemampuan berpikir siswa, di antaranya PISA
dan UN. Dalam hal kemampuan matematika pada tahun 2015 PISA (Program for
International Student Assessment) menyatakan bahwa Indonesia menempati
peringkat 64 dari 72 negara anggota Organization for Economic and Development
(OECD) dengan perolehan skor sebesar 386. Skor ini masih berada di bawah rata-
rata skor OECD. Hal ini wajib menjadi perhatian di dunia pendidikan untuk
meningkatkan kemampuan matematika peserta didik di Indonesia. Sedangkan
Ujian Nasional tahun 2018 menyatakan bahwa nilai rata-rata matematika
mengalami penurunan dari sebelumnya 41,4 menjadi 36,46 (Puspendik, 2018).
Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa Indonesia masih berada pada posisi
rendah dalam hal kemampuan matematika.
2
Analisis hasil Ujian Nasional (UN) yang dilakukan oleh Pusat Penelitian
Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2018 menunjukkan
bahwa peluang merupakan materi yang memiliki daya serap rendah, khususnya
dalam SKL “menyelesaikan masalah sehari-hari yang berkaitan dengan kaidah
pencacahan, permutasi, atau kombinasi”. Adapun persentase penguasaan SKL
secara nasional dan lokal provinsi Lampung untuk jurusan IPA berturut-turut
adalah 37,49% dan 33,16%. Sedangkan untuk hal yang sama pada jurusan IPS
memiliki persentase penguasaan berturut-turut adalah 31,66% dan 25,58%.
Berikut ini adalah analisis daya serap hasil UN 2018 berdasarkan indikator yang
diuji.
Tabel 1.1 Daya Serap Hasil Ujian Nasional Pelajaran Matematika SMA
Pokok Bahasan Statistika dan Peluang Tahun 2018
(Puspendik, 2018)
Soal-soal pada studi di PISA dan UN merupakan soal yang memuat soal rutin dan
tidak rutin. Studi ini bertujuan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat
tinggi peserta didik. Dalam menyelesaikan soal-soal ini, peserta didik dituntut
untuk berpikir kreatif dan mengkomunikasikan gagasannya secara tertulis. Hasil
No. Kemampuan yang Diuji IPA IPS
Provinsi Nasional Provinsi Nasional
1. Menyelesaikan masalah
dengan permutasi pada
permasalahan dalam
kehidupan sehari-hari.
59,23 61,76 36,63 35,59
2. Menyelesaikan masalah
dengan kombinasi pada
permasalahan dalam
kehidupan sehari-hari.
40,08 41,91 30,12 36,44
3. Menyelesaikan masalah
yang berkaitan dengan
peluang suatu kejadian
majemuk.
27,43 32,50 25,17 33,52
3
PISA dan UN yang telah dikemukakan di atas menunjukan bahwa kemampuan
matematika peserta didik Indonesia masih tergolong rendah.
Sejalan dengan hasil PISA dan UN, keadaan di SMA Negeri 15 Bandar Lampung
mencerminkan hal yang senada. Hal ini diperkuat dengan penelitian pendahuluan
yang dilakukan melalui penyebaran angket, wawancara, dan observasi. Hasil
penyebaran angket menunjukkan bahwa sebanyak 76% dari 100 siswa
berpendapat bahwa materi peluang merupakan salah satu materi yang sulit
dikuasai dalam pelajaran matematika. Wawancara terhadap sejumlah guru di
MGMP matematika SMA di Bandar Lampung mengungkapkan hal serupa
walaupun materi tersebut erat dengan kehidupan sehari-hari. Hasil observasi di
SMA Negeri 15 Bandar Lampung menunjukkan bahwa persentase jumlah siswa
yang nilainya mencapai KKM pada pelajaran matematika kurang dari 50% dan
rata-rata nilai ulangan siswa dalam pokok bahasan peluang hanya mencapai 65.
Selain itu, diperoleh informasi juga bahwa selama proses pembelajaran
berlangsung siswa tidak pasif secara mutlak hanya saja proses pembelajaran tidak
mendorong siswa untuk berpikir tingkat tinggi.
Kebutuhan siswa dalam berpikir tingkat tinggi merupakan sesuatu yang sangat
penting. Hal ini didukung oleh salah satu standar lulusan mata pelajaran
matematika untuk satuan pendidikan dasar hingga menengah pada Kurikulum
2013 yang menegaskan agar siswa mempunyai kemampuan berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama
(Permendikbud nomor 20 tahun 2016). Hal ini sejalan dengan UU SISDIKNAS
No. 20 tahun 2003 bab II pasal 3 yang menyatakan :
4
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selain menekankan kemampuan berpikir, berikut ini adalah tujuan pembelajaran
matematika seperti termuat dalam Peraturan Menteri Pendidikan nomor 21 tahun
2016 (Standar Isi):
1. Menunjukkan sikap logis, kritis, analitis, kreatif, cermat dan teliti,
bertanggung jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam
memecahkan masalah.
2. Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, semangat belajar yang kontinu,
pemikiran reflektif dan ketertarikan pada matematika.
3. Memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan matematika dengan jelas
dan efektif.
Berdasarkan UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 bab II pasal 3 dan Peraturan
Menteri Pendidikan nomor 20 dan 21 tahun 2016 di atas, dengan kemampuan
berpikir kreatif diharapkan peserta didik dapat mengkomunikasikan gagasannya
serta tidak melupakan eksistensi matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Sumber daya manusia yang kreatif merupakan salah aspek yang perlu
diperhatikan dengan seksama. Sejalan dengan Depdiknas, Munandar (2012: 31)
mengungkapkan pentingnya berpikir kreatif yakni sebagai wadah aktualisasi diri
dan ajang melatih inovasi diri dalam menciptakan berbagai macam kemungkinan
penyelesaian terhadap suatu masalah. Dalam era pembangunan saat ini sangat
5
dibutuhkan sumbangan kreatif berupa ide-ide baru, penemuan baru, dan teknologi
baru. Untuk mencapai hal itu diperlukan sikap, pemikiran, dan perilaku kreatif
yang dipupuk sejak dini.
Menurut Williams (Munandar, 2012: 192), ada delapan kemampuan yang
berkaitan dengan berpikir kreatif, yakni empat berasal dari ranah kognitif dan
empat lainnya berasal dari ranah afektif. Kemampuan dari ranah kognitif di
antaranya adalah berpikir lancar, berpikir luwes, orisinal, dan terperinci.
Kemampuan dari ranah afektif di antaranya adalah mengambil resiko, merasakan
tantangan, rasa ingin tahu, dan imajinatif. Kemampuan berpikir matematis
merupakan bagian dari kemampuan matematika. Kemampuan berpikir kreatif
dapat terpenuhi bila pembelajaran matematika difokuskan pada upaya untuk
melatih siswa menggunakan potensi berpikir yang dimiliki.
Munandar (2012: 221) mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir kreatif
matematis pada kenyataannya masih kurang diperhatikan dalam pembelajaran
matematika. Pembelajaran matematika masih lebih menekankan pada hapalan dan
mencari satu jawaban yang benar terhadap soal-soal yang diberikan. Fakta di
lapangan menggambarkan bahwa pembelajaran matematika hanya terlihat sebagai
suatu kegiatan yang monoton dan prosedural, seperti guru menjelaskan suatu
materi, memberikan contoh, memberikan suatu tugas kepada siswa, mengecek
jawaban siswa secara sepintas, dan diakhiri dengan membahas soal yang telah
diberikan. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam
pembelajaran matematika siswa sulit mengembangkan kemampuan berpikir
6
kreatif matematis dan salah satu penyebabnya adalah kurangnya kesempatan
siswa untuk menerapkan ide-ide dalam menyelesaikan permasalahan matematika.
Selain kemampuan berpikir kreatif, di dalam dunia pendidikan kemampuan
komunikasi juga penting dikembangkan agar tercipta pengalihan pesan berupa
materi pelajaran antara guru dan siswa. Pengalihan pesan ini dapat dilakukan
secara tertulis maupun lisan. Siswa cenderung sulit mengemukakan pendapatnya
walaupun gagasan sudah termuat dalam pemikiran mereka. Guru menduga bahwa
siswa takut salah dan tidak terbiasa dalam mengemukakan gagasannya secara
lisan. Untuk mengurangi keadaan ini, siswa perlu dibiasakan untuk
mengkomunikasikan gagasannya secara lisan dan tulisan kepada siswa lain sesuai
dengan penafsirannya sendiri sehingga orang lain dapat menilai dan menanggapi
pemikiran siswa tersebut.
Siswa yang senantiasa mendengarkan pemikiran dan gagasan siswa lainnya akan
mudah mengembangkan kemampuan pemahamannya terhadap suatu hal.
Selanjutnya, siswa tersebut dapat menyampaikan pemahamannya tersebut kepada
siswa lainnya secara lancar. Namun, saat ini guru cenderung menggunakan
metode ceramah dalam setiap pembelajaran. Hal ini diduga akan membatasi
kemampuan komunikasi siswa. Dalam proses belajar mengajar seperti ini,
informasi hanya berjalan satu arah, yaitu dari guru ke siswa sehingga siswa
cenderung pasif menerima materi dari guru.
Menurut NCTM (2000), melalui komunikasi matematis, siswa dapat
mengorganisasikan kemampuan berpikirnya, menggunakan bahasa untuk
menyampaikan gagasannya, serta mengeksplorasi ide-ide matematikanya.
7
Merancang pembelajaran agar kemampuan komunikasi siswa menjadi aktif
bukanlah pekerjaan yang mudah. Oleh karena itu, hal ini menjadi tantangan bagi
setiap guru matematika untuk mengembangkan kemampuan komunikasi siswa
pada setiap pembelajaran.
Pembelajaran matematika selain untuk meningkatkan kemampuan berpikir atau
aspek kognitif siswa, haruslah pula memperhatikan aspek afektif siswa. Salah
satunya adalah disposisi matematis. Ranah afektif dalam kompetensi mata
pelajaran matematika adalah memiliki sikap menghargai kegunaan matematika
dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah.
Damon (Atallah, 2009) menjelaskan bahwa disposisi merupakan sikap atau
karakter yang mengarahkan seseorang untuk mengikuti pilihan atau pengalaman
tertentu. Disposisi memiliki dampak besar pada siapa kita dan akan menjadi
siapakah kita. NCTM menyatakan bahwa disposisi mengacu pada kecenderungan
untuk berpikir dan bertindak dalam cara yang positif. Disposisi akan membantu
siswa untuk gigih menghadapi masalah yang lebih menantang, bertanggung jawab
terhadap kegiatan belajar yang dijalani, serta mengembangkan kebiasaan yang
baik dalam pembelajaran matematika.
Berdasarkan paparan mengenai kemampuan berpikir kreatif, komunikasi, dan
disposisi di atas, maka dibutuhkan suatu bahan ajar, salah satunya adalah Lembar
Kerja Peserta Didik (LKPD) dengan model pembelajaran yang tepat guna
meningkatkan kemampuan komunikasi, berpikir kreatif, dan disposisi matematis
8
siswa. LKPD dengan model pembelajaran berbasis masalah (PBM) diharapkan
dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri sehingga siswa dapat mengkomunikasikan ide-idenya
dalam bentuk lisan dan tulisan secara kreatif. Selain itu, melalui PBM diharapkan
ranah afektif siswa juga dapat terbangun.
Tan (Rusman, 2010) menyatakan bahwa PBM merupakan inovasi dalam
pembelajaran yang dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan
mengembangkan kemampuan berpikir siswa secara sistematis dan
berkesinambungan. Sedangkan Margetson (Rusman, 2010) mengemukakan
bahwa PBM membantu untuk meningkatkan perkembangan keterampilan belajar
sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis, kreatif, dan belajar
aktif.
PBM memfasilitasi keberhasilan pemecahan masalah, komunikasi, kerja
kelompok, dan keterampilan interpersonal. Keterampilan interpersonal dalam
matematika merupakan bagian dari soft skill yang meliputi sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan
minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah. Hidayat (2013: 118) mengemukakan bahwa tumbuhnya soft
skill matematika yang berkelanjutan dalam pembelajaran matematika secara
akumulatif akan membentuk disposisi matematis yaitu keinginan, kesadaran,
kecenderungan dan dedikasi yang kuat pada diri peserta didik untuk berpikir dan
berbuat secara matematik dengan cara yang positif. Dengan membiasakan
pembelajaran berbasis masalah diharapkan siswa dapat mengembangkan
9
kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi serta menumbuhkembangkan sikap
percaya diri, gigih, dan fleksibel dalam mengeksplorasi ide-ide matematis
sehingga kemampuan disposisi matematisnya juga berkembang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini berfokus pada pengembangan LKPD berbasis masalah yang
bertujuan meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, komunikasi, dan disposisi
matematis siswa. Permasalahan tersebut dijabarkan dalam masalah-masalah
berikut :
1. Bagaimanakah proses dan produk pengembangan LKPD berbasis masalah
dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, komunikasi, dan disposisi
matematis siswa?
2. Bagaimanakah efektivitas LKPD berbasis masalah dalam meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa?
3. Bagaimanakah efektivitas LKPD berbasis masalah dalam meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis siswa?
4. Bagaimanakah efektivitas LKPD berbasis masalah dalam meningkatkan
disposisi matematis siswa?
10
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Untuk mendeskripsikan proses dan produk pengembangan LKPD berbasis
masalah dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, komunikasi, dan
disposisi matematis siswa.
2. Untuk mengetahui efektivitas LKPD berbasis masalah dalam meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.
3. Untuk mengetahui efektivitas LKPD berbasis masalah dalam meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis siswa.
4. Untuk mengetahui efektivitas LKPD berbasis masalah dalam meningkatkan
disposisi matematis siswa.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi
berbagai pihak, di antaranya:
1. Bagi guru, menjadikan pembelajaran berbasis masalah sebagai salah satu
model pembelajaran alternatif bagi guru untuk memfasilitasi kemampuan
berpikir kreatif, komunikasi, dan disposisi matematis siswa;
2. Bagi peneliti lain, dapat menjadi salah satu referensi bagi penelitian lanjut yang
berkenaan dengan model pembelajaran berbasis masalah.
3. Bagi pembaca, menambah khasanah keilmuan dalam pengembangan inovasi
pembelajaran terkait dengan kemampuan berpikir kreatif, komunikasi,
disposisi matematis, dan model pembelajaran berbasis masalah.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Berpikir Kreatif
Kebutuhan akan kreativitas sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
dunia pendidikan, proses pemikiran tinggi termasuk berpikir kreatif sangatlah
penting. Namun, hal ini sangat jarang dilatih. Siswa cenderung lebih menekankan
suatu hapalan dan pencarian satu jawaban tepat terhadap suatu soal yang
diberikan. Siswa terkesan hanya mampu menyelesaikan tugas dengan menerapkan
teknik-teknik yang telah diajarkan. Siswa tidak berdaya jika dituntut memecahkan
masalah yang memerlukan cara-cara yang baru.
Berpikir secara umum didefinisikan sebagai suatu proses untuk menghasilkan
pengetahuan. Manusia berpikir untuk mampu menafsirkan, menggambarkan, dan
meramalkan apa yang akan terjadi di masa mendatang. Kata kreatif berasal dari
akar kata, yaitu create yang artinya adalah membuat, menghasilkan, atau
mencipta. Sedangkan creative memiliki arti memiliki kemampuan untuk
menciptakan sesuatu yang baru atau menghasilkan gagasan baru. Jadi secara
harafiah, berpikir kreatif mengandung makna sebagai suatu proses untuk
menghasilkan pengetahuan yang baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan
suatu masalah.
12
Beberapa ahli mendefinisikan kemampuan berpikir kreatif di antaranya adalah
Karakelle (2009) menyatakan bahwa berpikir kreatif adalah “Thinking which
produces new methods, new concept, new understandings, new inventions, new
work of art”. Sementara Halpern (2014) menyatakan bahwa berpikir kreatif
merupakan kemampuan dalam membentuk suatu gagasan baru. Sedangkan Baron
(1969) mengungkapkan bahwa “creative process embodies an incessant dialectic
between integration and effusion, covergence and divergence, thesis and
antithesis”. Perkins (1984) mengemukakan bahwa berpikir kreatif adalah jenis
berpikir yang berpola dan cenderung mengarah kepada suatu hasil yang kreatif,
seperti membuat keputusan, kesimpulan, hipotesis, dsb. Dari pengertian beberpa
ahli di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir kreatif adalah suatu aktivitas mental
yang menghasilkan gagasan dan konsep baru yang dapat membantu pemecahan
suatu masalah secara variatif.
Berpikir kreatif tergolong berpikir evaluatif. Berpikir evaluatif akan membantu
seseorang untuk melahirkan gagasan baru secara kritis. Gagasan atau ide baru
adalah hal yang sifatnya baru sekaligus bernilai tinggi (Stenberg, 2011). Gagasan
baru tersebut bersifat divergen, yakni mampu memberikan lebih dari satu jawaban
untuk suatu pertanyaan yang diberikan (Mahayana, 2008). Hal ini juga dipertegas
oleh Munandar (2012), yakni kemampuan berpikir divergen merupakan indikator
dari kreativitas.
Mahayana (2008) juga mengungkapkan bahwa berpikir kreatif merupakan
kegiatan berpikir yang harus memenuhi tiga syarat. Pertama, kreativitas harus
melibatkan gagasan baru. Kedua, kreativitas harus mampu memecahkan
13
permasalahan secara realistis. Ketiga, kreativitas harus merupakan usaha untuk
mempertahankan in-sight yang orisinal sehingga dapat dikembangkan sebaik
mungkin.
Berpikir kreatif dapat tumbuh dengan subur bila didukung oleh tiga faktor
(Mahayana, 2008). Pertama, fleksibilitas kognitif yang dapat terpenuhi dengan
mengoptimalkan potensi otak. Kedua, sikap yang terbuka dalam menerima stimuli
internal dan eksternal sehingga sejumlah informasi dan kesempatan dapat
dimanfaatkan untuk menjadi kreatif. Ketiga, sifat bebas, otonom, dan percaya
pada diri sendiri. Jadi, kunci untuk menjadi kreatif adalah yakin bahwa kita
berpotensi untuk menjadi kreatif serta mau bertindak secara kreatif mulai dari
sesuatu yang sederhana hingga kompleks.
Kerja kreatif merupakan salah satu kegiatan produktif yang harus mampu
mengaplikasikan tiga kemampuan (Stenberg, 2011). Pertama, kemampuan
sintetis, yakni mampu membangkitkan ide-ide baru dan menarik. Kedua,
kemampuan analitik, yakni mampu berpikir kritis dan mengevaluasi antara ide
yang baik dan kurang baik. Ketiga, kemampuan praktis, yakni mampu
menerjemahkan teori menjadi praktik sehingga mampu meyakinkan seseorang
bahwa idenya lebih baik daripada orang lain. Setiap orang bisa mengembangkan
kreativitasnya sendiri dengan menemukan sebuah keseimbangan di antara
pemikiran yang sintetis, analitis, dan praktis.
Torrance (1973) berhipotesis bahwa daya imajinasi, rasa ingin tahu, dan
orisinalitas dari seseorang yang kreativitasnya tinggi dapat mengimbangi
kemampuan inteligensinya. Hal demikian juga diungkapkan oleh Munandar
14
(2012:9) dalam studinya bahwa kreativitas sama absahnya seperti inteligensi
sebagai prediktor prestasi sekolah.
Berpikir kreatif memiliki beberapa tahap yang harus dilalui. Menurut Munandar
(2012) ada empat tahap berpikir kreatif, yaitu: (1) persiapan; Siswa
mempersiapkan diri untuk memecahkan masalah dengan belajar berpikir, (2)
inkubasi; Siswa seakan-akan melepaskan diri dari masalah untuk sementara yang
berarti siswa tidak memikirkan masalah tersebut secara sadar, (3) iluminasi; Saat
masa inkubasi berakhir, muncullah gagasan baru sebagai solusi dari masalah, (4)
verifikasi; Solusi yang telah diperoleh perlu diuji terhadap realitas.
Berpikir kreatif sangat penting untuk dikembangkan di era kompetitif ini.
Munandar (2012) mengungkapkan bahwa terdapat empat hal pentingnya
pengembangan kemampuan berpikir kreatif. Pertama, berpikir kreatif dapat
dijadikan sebagai ajang aktualisasi diri seseorang. Kedua, dengan berpikir kreatif
seseorang mampu melihat berbagai macam alternatif penyelesaian suatu masalah.
Ketiga, dengan berpikir kreatif seseorang dapat menjadi sosok yang bermanfaat
baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain di sekitarnya. Keempat, dengan
berpikir kreatif manusia akan mampu meningkatkan kualitas hidupnya melalui
ide, penemuan, dan teknologi baru.
Berpikir kreatif sangat penting untuk dikembangkan. Indonesia sebagai negara
berkembang masih sangat membutuhkan tenaga-tenaga kreatif yang mampu
memberikan sumbangan yang bermakna bagi perkembangan IPTEK di masa
mendatang (Noer, 2014). Oleh karena itu, pendidikan yang diselenggarakan di
Indonesia sepatutnya sejalan dengan hal tersebut. Pendidikan harus diarahkan
15
kepada pengembangan kreativitas siswa sebagai penerus bangsa sehingga mampu
mewujudkan suatu gagasan, penemuan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi
yang baru.
Masalah yang rumit dan tidak rutin sering dihadapkan pada siswa dalam
pembelajaran matematika. Dengan demikian, kemampuan berpikir kreatif
matematis sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan permasalahan matematika.
Ervynck (2002) menjelaskan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis adalah
kemampuan siswa mengembangkan struktur berpikir dan membangun konsep
yang terintegrasi dalam matematika untuk menyelesaikan suatu permasalahan
dengan cara yang baru. Sementara Livne (2008) berpendapat bahwa berpikir
kreatif matematis siswa adalah kemampuan siswa untuk menghasilkan sejumlah
cara pemecahan masalah matematika yang bersifat terbuka. Sedangkan Park
(2004) mengemukakan bahwa dengan berpikir kreatif matematis siswa mampu
menemukan solusi masalah matematika secara mudah dan fleksibel. Berdasarkan
pendapat ahli di atas disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematis
merupakan kemampuan memecahkan masalah matematika secara mudah dan
fleksibel dengan sejumlah cara penyelesaian dan kemungkinan cara yang variatif.
Kreativitas merupakan suatu konstruk yang multidimesional, di mana salah
satunya adalah dimensi kognitif. Dimensi kognitif dari kreativitas mencakup
aspek kelancaran, kelenturan, orisinalitas dalam berpikir, dan kemampuan untuk
merinci/elaborasi (Munandar, 2012). Guilford dalam Noer (2009) menyatakan
bahwa ada lima aspek berpikir kreatif, yakni: (1) kepekaan (sensitivity),
kemampuan mendeteksi, mengenali, memahami, dan menanggapi suatu
16
pernyataan, situasi, dan masalah; (2) kelancaran (fluency), kemampuan
menghasilkan beragam gagasan; (3) keluwesan (flexibility), kemampuan
menghasilkan beragam pemecahan atau pendekatan terhadap penyelesaian suatu
masalah; (4) keaslian (originality), kemampuan menghasilkan gagasan dengan
cara-cara asli yang jarang dikemukakan oleh kebanyakan orang; (5) keterperincian
(elaboration), kemampuan menambah situasi atau masalah sehingga menjadi
lengkap serta merincinya secara detil. Sedangkan Torrance dalam Wessels (2014)
mengungkapkan terdapat empat aspek kemampuan berpikir kreatif, yakni
kelancaran (fluency), keluwesan (fleksibilitas), kebaruan (originality), dan
kegunaan (usefulness). Berdasarkan kajian dari beberapa sumber di atas, maka
aspek kemampuan berpikir kreatif yang akan digunakan di dalam penelitian ini
disajikan dalam Tabel 2.1.
B. Komunikasi Matematis
Pada hakekatnya proses belajar mengajar merupakan kegiatan interaksi dan
komunikasi antara guru dan murid. Proses ini merupakan mata rantai yang
menghubungkan guru dan murid sehingga tercapai suatu tujuan pembelajaran.
Jadi, komunikasi di dunia pendidikan melibatkan guru dan dan murid dalam
kegiatan belajar mengajar pada suatu wilayah pembelajaran.
Komunikasi merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari seluruh aktivitas
manusia, baik secara individu maupun kelompok. Identitas manusia sebagai
makhluk sosial mengharuskannya untuk berinteraksi dengan manusia lain.
Kebutuhan berinteraksi dengan orang lain hanya dapat dilakukan melalui
17
komunikasi. Melalui jalinan komunikasi, kehidupan manusia terus berkembang
secara dinamis demi tujuan tertentu.
Tabel 2.1. Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa
No. Aspek Indikator Perilaku Siswa
1. Originality
(Keaslian)
Mampu memberikan gagasan
yang baru dalam
menyelesaikan masalah atau
memberikan jawaban lain dari
yang sudah biasa dalam
menjawab suatu pertanyaan.
a. Mampu membuat
ungkapan baru dan
unik
b. Memilih cara berpikir
lain daripada yang lain
2. Flexibility
(Keluwesan)
Mampu menghasilkan
gagasan, jawaban, atau
pernyataan yang bervariasi.
a. Jika diberikan
masalah, biasanya
memikirkan
bermacam-macam
cara untuk
menyelesaikannya.
b. Memberikan macam-
macam penafsiran
terhadap suatu
masalah.
3. Fluency
(Kelancaran)
Mampu memberikan banyak
gagasan, jawaban, atau
penyelesaian dari suatu
masalah.
a. Lancar
mengungkapkan
gagasan-gagasannya.
b. JIka diberikan suatu
pertamyaan, maka ia
menjawab dengan
sejumlah jawaban.
4. Elaboration
(Keterperincian)
Mampu memperkaya dan
mengembangkan suatu
gagasan atau produk.
a. Mencari arti yang
lebih mendalam
terhadap jawaban atau
pemecahan masalah
dengan melakukan
langkah-langkah yang
terperinci.
b. Mengembangkan
gagasan yang telah
ada.
5. Sensitivity
(Kepekaan)
Mampu mendeteksi,
mengenali, memahami, serta
menanggapi suatu pernyataan,
situasi, dan masalah.
Memiliki kepekaan
terhadap masalah serta
langkah-langkah jawaban
yang mengarah kepada
tujuan atau hasil akhir.
(Triana, 2016)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2007), komunikasi
adalah pengiriman dan penerimaan pesan/berita antara dua orang atau lebih
18
sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Selain itu, komunikasi dapat
dipandang sebagai cara berbagi ide/gagasan dan mengklarifikasi pemahaman
kepada orang lain. Sementara itu, Setyanto (2014) merumuskan empat asumsi
pokok komunikasi, yaitu (1) komunikasi adalah suatu proses, (2) komunikasi
adalah pertukaran pesan, (3) komunikasi merupakan interaksi yang bersifat
multidimensi, dan (4) komunikasi merupakan interaksi yang mempunyai tujuan
dan maksud ganda.
Komunikasi dalam matematika mencakup komunikasi secara tertulis maupun
lisan. Komunikasi secara tertulis dapat berupa kata-kata, gambar, tabel, dan
sebagainya yang menggambarkan proses berpikir siswa. Sedangkan komunikasi
lisan dapat berupa uraian pemecahan masalah atau pembuktian matematika yang
menggambarkan kemampuan siswa dalam mengorganisasi berbagai konsep untuk
menyelesaikan masalah. Proses komunikasi dapat membantu siswa membangun
pemahamannya terhadap ide-ide matematika dan membuatnya mudah dipahami.
Ketika siswa ditantang untuk berpikir tentang matematika dan
mengkomunikasikannya kepada orang lain secara lisan maupun tertulis, secara
tidak langsung mereka dituntut untuk membuat ide-ide matematika itu lebih
terstrukur dan menyakinkan, sehingga ide-ide itu menjadi lebih mudah dipahami,
khususnya oleh diri mereka sendiri. Dengan demikian, proses komunikasi akan
bermanfaat bagi siswa terhadap pemahamannya akan konsep-konsep matematika.
Guru mempunyai peran penting dalam merancang pengalaman belajar sedemikian
sehingga siswa mempunyai kesempatan bervariasi untuk berkomunikasi secara
matematis. Menulis merupakan salah satu cara untuk membentuk kecakapan
19
komunikasi matematika. Dengan menulis, siswa mampu mengorganisasi,
merangkum, dan mengkomunikasikan pemikiran mereka. Menulis dapat
meningkatkan daya ingat terhadap suatu konsep. Menulis juga mencakup
pengungkapan apa yang sudah diketahui/dipahami dan apa yang belum dipahami
siswa.
Cara lain yang dipandang tepat untuk mengembangkan kemampuan komunikasi
matematika siswa adalah diskusi kelompok. Diskusi kelompok memungkinkan
siswa berlatih untuk mengekspresikan pemahaman, memverbalkan proses
berpikir, mengklarifikasi pemahaman atau ketidakpahaman mereka. Dalam proses
diskusi kelompok, ketika siswa mendengarkan pemikiran dan penjelasan orang
lain, siswa akan mampu membangun pemahaman mereka sendiri. Percakapan
antar siswa dan guru juga akan mendorong atau memperkuat pemahaman yang
mendalam terhadap konsep-konsep matematika. Hal ini sejalan dengan pendapat
Ontario (2010), yakni ketika siswa berpikir, merespon, berdiskusi, mengelaborasi,
menulis, membaca, mendengarkan, dan menemukan konsep-konsep matematika,
mereka mempunyai berbagai keuntungan, yaitu berkomunikasi untuk belajar
matematika dan belajar untuk berkomunikasi secara matematik.
Komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan yang harus dibekalkan
kepada siswa dalam pendidikan di Indonesia seperti termuat di dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi. Hal ini juga
termuat dalam NCTM (2000) yang meliputi (1) pemecahan masalah, (2)
penalaran dan bukti, (3) komunikasi, (4) koneksi, dan (5) representasi. NCTM
(2000) mengungkapkan bahwa komunikasi matematis adalah cara berbagi ide dan
20
mengklarifikasi suatu pemahaman. Melalui komunikasi secara lisan dan tertulis,
siswa belajar untuk meyakinkan dirinya mengenai ketepatan penggunaan suatu
bahasa matematika. Suatu penjelasan harus mencakup ide matematika beserta
alasannya, bukan hanya deskripsi prosedural. Mendengarkan penjelasan orang
lain memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
pemahamannya. Eksplorasi ide matematika melalui berbagai perspektif akan
membantu siswa dalam mempertajam kemampuan berpikir dan koneksi
matematis siswa.
Matematika merupakan suatu bahasa. Matematika sebagai suatu bahasa tentunya
sangat diperlukan untuk dikomunikasikan baik secara lisan maupun tulisan
sehingga informasi yang disampaikan dapat diketahui dan dipahami oleh orang
lain. Menurut Barody (CS Lim,2007) ada dua alasan pentingnya komunikasi
matematis, yaitu: (1) mathematics as language; matematika sebagai alat bantu
berpikir dalam menemukan pola menyelesaikan masalah dan (2) mathematics is
learning as social activity; matematika mampu menciptakan interaksi antar siswa
dan guru dalam upaya membimbing siswa memahami konsep atau mencari solusi
suatu masalah.
NCTM (2000) mengemukakan empat indikator dan standar kemampuan yang
harus dicapai siswa yang berkaitan dengan komunikasi matematis sebagai berikut.
1. Mengorganisasikan dan mengkonsolidasi pemikiran matematika melalui
komunikasi
2. Mengkomunikasikan pemikiran matematika secara koheren dan jelas kepada
guru, teman sejawat, dll
21
3. Menganalisis dan mengevaluasi pemikiran dan strategi matematis lainnya
4. Menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide
matematisnya secara tepat.
Komunikasi matematika dapat diwujudkan dalam berbagai cara. Mahmudi (2006)
merumuskan beberapa cara dalam mewujudkan komunikasi matematika sebagai
berikut.
1. Merefleksi dan mengklarifikasi pemikiran tentang ide-ide matematika
2. Menghubungkan bahasa sehari-hari dengan bahasa matematika yang
menggunakan simbol-simbol
3. Menggunakan keterampilan membaca, mendengarkan, menginterpretasikan,
dan mengevaluasi ide-ide matematika
4. Menggunakan ide-ide matematika untuk membuat dugaan dan membuat
argumen yang meyakinkan
Berdasarkan paparan di atas disimpulkan bahwa komunikasi matematis adalah
kemampuan untuk menyatakan dan menggambarkan ide-ide matematika ke dalam
model matematika atau sebaliknya. Model matematika bisa menjadi persamaan,
ketidaksetaraan, notasi, gambar, atau grafik. Dalam pembelajaran, ada interaksi
antara siswa dan pengajar. Interaksi dapat berupa komunikasi lisan dan tertulis.
Nurlaelah (2009) mengemukakan indikator komunikasi lisan, di antaranya:
1. Menjelaskan kesimpulan yang diperoleh.
2. Menafsirkan solusi yang diperoleh.
3. Memilih cara yang paling tepat dalam menyampaikan penjelasannya.
22
4. Menggunakan tabel, gambar, model, dan lain-lain untuk menyampaikan
penjelasan.
5. Mengajukan suatu permasalahan atau persoalan.
6. Menyajikan penyelesaian dari suatu permasalahan.
7. Merespon suatu pertanyaan atau persoalan dari siswa lain dalam bentuk
argumen yang meyakinkan.
8. Menginterpretasi dan mengevaluasi ide-ide, simbol, istilah, serta informasi
matematika.
9. Mengungkapkan lambang, notasi, dan persamaan matematika secara lengkap
dan benar.
Sedangkan indikator kemampuan komunikasi tertulis menurut Nurlaelah (2009) di
antaranya:
1. Menggambarkan situasi masalah dan menyatakan solusi masalah menggunakan
gambar, bagan, tabel, atau penyajian secara aljabar.
2. Menyatakan hasil dalam bentuk tulisan.
3. Menggunakan representasi menyeluruh untuk menyatakan konsep matematika
dan solusinya.
4. Membuat situasi matematika dengan menyediakan ide dan keterangan dalam
bentuk tulisan.
5. Menggunakan bahasa matematika dan simbol secara tepat.
Penelitian Ansari (2004) mengungkapkan bahwa peserta didik dikatakan
mempunyai kemampuan komunikasi yang baik apabila telah memenuhi indikator-
indikator kemampuan komunikasi matematika sebagai berikut.
23
1. Kemampuan menggambar (drawing), yaitu meliputi kemampuan siswa
mengungkap ide matematika ke dalam bentuk gambar, diagram atau grafik.
2. Kemampuan menulis (written text), yaitu berupa kemampuan memberikan
penjelasan dan alasan secara matematika dengan bahasa yang benar dan mudah
dipahami.
3. Kemampuan ekspresi matematika (mathematical expression), yaitu
kemampuan membuat model matematika.
Berdasarkan kajian beberapa sumber di atas, indikator kemampuan komunikasi
matematis yang akan digunakan di dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa
No. Indikator Komunikasi
Matematis Keterangan
1. Writing (menulis) Menuliskan gagasan matematika
secara tertulis dalam bentuk notasi,
istilah, dan lambang matematika.
2. Drawing (menggambar) Menuliskan representasi matematika
(rumus, diagram, tabel, grafik, dan
model) untuk menyatakan informasi
matematika.
3. Mathematical Expression
(ekspresi matematika)
Memperoleh penyelesaian masalah
matematika dengan menggunakan
rumus yang telah diterapkan.
C. Disposisi Matematis
Pendidikan merupakan proses mengubah perilaku peserta didik menjadi manusia
yang mampu hidup mandiri di tengah masyarakat. Peserta didik diharapkan
mampu mengembangkan kemampuannya secara optimal melalui pendidikan.
Sebagai salah satu materi dalam pendidikan, matematika berperan penting dalam
mengembangkan kemampuan berpikir, sifat, serta perilaku peserta didik.
24
Aspek ranah afektif merupakan salah satu kompetensi yang ingin dicapai melalui
mata pelajaran matematika. Aspek afektif dalam kompetensi mata pelajaran
matematika ini adalah memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam
kehidupan, seperti rasa ingin tahu, perhatian, minat dalam mempelajari
matematika, ulet, dan percaya diri dalam pemecahan masalah matematika.
Kilpatrick, Swafford, dan Findel (2001) mengemukakan bahwa disposisi
matematis adalah kecenderungan (1) memandang matematika sebagai sesuatu
yang dapat dipahami, (2) merasakan matematika sebagai sesuatu yang bermanfaat,
(3) meyakini usaha secara tekun dan ulet dalam mempelajari matematika yang
akan membuahkan hasil, dan (4) melakukan perbuatan sebagai pebelajar dan
pekerja matematika secara efektif. Dengan demikian, disposisi matematis
menggambarkan rasa dan sikap seseorang terhadap matematika.
Katz (1993) mengungkapkan bahwa disposisi adalah kecenderungan untuk secara
sadar, teratur, dan sukarela untuk berperilaku tertentu yang mengarah pada
pencapaian tujuan tertentu. Sedangkan di dalam konteks matematika, disposisi
matematis (mathematical disposition) menurut NCTM (1989) berkaitan dengan
bagaimana siswa memandang dan menyelesaikan permasalahan, apakah percaya
diri, tekun, berminat, dan berpikir fleksibel untuk mengeksplorasi berbagai
alternatif penyelesaian masalah. Disposisi matematis (mathematical disposition)
menurut Kilpatrick et al. (2001) adalah sikap produktif atau sikap positif serta
kebiasaan untuk melihat matematika sebagai sesuatu yang logis, berguna, dan
berfaedah. Kilpatrick et al. menyatakan bahwa, “Student disposition toward
mathematics is major factor in determining their educational success”. Dari
25
pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa disposisi matematis merupakan
faktor utama dalam menentukan kesuksesan belajar matematika siswa.
Pengertian disposisi menurut NCTM ( 2000) adalah:
“Some dispositions are more specific to mathematics content: genuine interest
in mathematical concepts and connections; a persistence with finding solutions
to problems; the willingness to consider multiple processes or multiple
solutions to the same problem; and an appreciation for mathematics-related
applications such as those in music, art, architecture, geography,
demographics, or technology.”
Jadi, disposisi matematis lebih spesifik, mencakup minat yang sungguh-sungguh
dalam konsep matematika dan koneksi matematika, kegigihan dalam menemukan
solusi masalah, kemauan untuk menemukan proses atau solusi pada problem yang
sama, dan mengapresiasi hubungan matematika dengan bidang ilmu lainnya.
Disposisi matematis penting untuk dikembangkan karena dapat menunjang
keberhasilan siswa dalam belajar matematika. Dengan menggunakan disposisi
matematis diharapkan siswa dapat menyelesaikan masalah, mengembangkan
kegiatan kerja yang baik dalam matematika, serta bertanggung jawab terhadap
belajar matematika. Pentingnya pengembangan disposisi matematis sesuai
pernyataan Sumarmo (2010) bahwa:
Saat belajar matematika siswa dan mahasiswa perlu mengutamakan
pengembangan kemampuan berfikir dan disposisi matematis. Pengutamaan
tersebut menjadi semakin penting manakala dihubungkan dengan tuntutan
IPTEK dan suasana bersaing yang semakin ketat terhadap lulusan semua
jenjang pendidikan.
Menurut Carr sebagaimana dikutip Maxwell (2001: 32),“Dispositions are
different from knowledge and skills they are often the product of a
knowledge/skills combination.” Jadi, disposisi dikatakan dapat menunjang
kemampuan matematis siswa. Siswa dengan kemampuan matematis yang sama,
26
tetapi memiliki disposisi matematis yang berbeda, diyakini akan menunjukkan
hasil belajar yang akan berbeda. Karena siswa yang memiliki disposisi lebih
tinggi, akan lebih percaya diri, gigih, ulet dalam menyelesaikan masalah dan
mengeksplorasi pengetahuannya.
Disposisi matematis siswa dapat berkembang ketika mereka mempelajari aspek
kompetensi lainnya. Contohnya ketika siswa bernalar untuk menyelesaikan
persoalan non-rutin, sikap dan keyakinan siswa akan menjadi lebih positif. Jika
konsep yang dikuasai oleh siswa semakin banyak, maka siswa akan semakin
yakin dapat menguasai matematika. Sebaliknya jika siswa jarang diberi tantangan
persoalan oleh guru, maka siswa cenderung kehilangan rasa percaya dirinya untuk
dapat menyelesaikan masalah.
Tingkat disposisi matematis siswa dapat diukur dengan membuat skala disposisi
dan pengamatan. Skala disposisi memuat pernyataan-pernyataan tentang
komponen disposisi dan pengamatan yang dapat mengetahui perubahan siswa
dalam mengerjakan tugasnya.
Berdasarkan NCTM (1989) disposisi matematis memuat tujuh komponen.
Komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut: (1) percaya diri dalam
menggunakan matematika, (2) fleksibel dalam melakukan kerja matematika
(bermatematika), (3) gigih dan ulet dalam mengerjakan tugas-tugas matematika,
(4) memiliki rasa ingin tahu dalam bermatematika, (5) melakukan refleksi atas
cara berpikir, (6) menghargai aplikasi matematika, dan (7) mengapresiasi peranan
matematika.
27
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ada tujuh standar
kemampuan yang harus dimiliki siswa terkait dengan disposisi matematis.
Adapun ketujuh standar tersebut disajikan dalam Tabel 2.3 di bawah ini.
Tabel 2.3. Indikator Kemampuan Disposisi Matematis Siswa
No. Standar Kemampuan
Disposisi Matematis Indikator
1. Percaya Diri Percaya diri terhadap kemampuannya untuk
memecahkan masalah matematika,
mengkomunikasikan idenya, dan melakukan
penalaran.
2. Fleksibilitas Berusaha mengeksplorasi ide matematika dan
mencoba alternatif lain dalam pemecahan
masalah.
3. Ketekunan Gigih, tekun, dan bersungguh-sungguh dalam
menyelesaikan suatu masalah
4. Keingintahuan Sering mengajukan pertanyaan, memiliki rasa
antusias yang tinggi saat menyelesaikan tugas
matematika, dan mencari berbagai referensi
untuk pembelajaran
5. Reflektif Kecenderungan untuk memonitor pemikiran
dan hasil pekerjaannya sendiri
6. Aplikasi Menghargai penerapan matematika dalam
kehidupan sehari-hari
7. Apresiasi Mengapresiasi peranan matematika dalam
kehidupan sehari-hari
D. Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)
LKPD adalah salah satu pendamping bahan ajar untuk memudahkan siswa dalam
belajar. LKPD juga merupakan bentuk usaha guru untuk membimbing siswa
secara terstruktur melalui kegiatan yang mampu memberikan daya tarik kepada
siswa untuk belajar. LKPD memiliki beberapa manfaat, yaitu dapat membantu
guru dalam pembelajaran dan melatih siswa untuk mengembangkan keterampilan
proses dan keterampilan berpikir kritis dalam memecahkan masalah. Bentuk
LKPD yang digunakan dalam belajar dapat disesuaikan dengan tujuan dan
28
maksud LKPD itu digunakan. LKPD juga harus memenuhi enam unsur utama
yaitu judul, petunjuk belajar, kompetensi dasar atau materi pokok, informasi
pendukung, tugas atau langkah kerja, dan penilaian.
Banyak ahli yang memberikan definisi tentang LKPD. Menurut Darmodjo (1992),
LKPD merupakan sarana pembelajaran yang dapat digunakan guru dalam
meningkatkan keterlibatan atau aktivitas siswa dalam proses belajar-mengajar.
Pendapat lainnya dikemukakan Choo, dkk. (2011) yang menyatakan bahwa
“worksheet is an instructional tool consisting of a series of questions and
information designed to guide students to understand complex ideas as they work
through it systematically”. Pernyataan ini berarti bahwa LKPD adalah sebuah
bahan pelajaran yang terdiri atas beberapa pertanyaan dan informasi yang didesain
untuk membimbing siswa untuk memahami ide-ide yang kompleks sehingga
siswa bekerja secara sistematis.
Diknas (2004) dan Prastowo (2011) mendefinisikan LKPD sebagai lembaran-
lembaran yang berisi tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Lembar
kegiatan biasanya berupa petunjuk atau langkah-langkah untuk menyelesaikan
suatu tugas dan tugas tersebut harus jelas kompetensi dasar yang akan dicapai.
Selain itu, Kaymakci (2012) menjelaskan bahwa:
Worksheet is a kind of printed instructional material that is prepared and
frequently used by teachers in order to help students to gain knowledge,
skills and values by providing helpful comments about the course objectives
and enabling students to engage in active learning and learning-by-doing in
and out of the school.
Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli di atas, maka LKPD dipersiapkan dan
digunakan oleh guru dalam membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan
29
keterampilan yang bernilai sehingga siswa menjadi aktif dalam pembelajaran. Hal
ini berarti melalui LKPD siswa dapat melakukan aktivitis sekaligus memperoleh
pengetahuan dan keterampilan dari materi yang menjadi dasar aktivitas tersebut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa LKPD adalah lembar kegiatan yang mengarahkan
siswa untuk menemukan pengetahuan baru dengan arahan dan petunjuk yang
jelas, siswa terlibat aktif dalam proses kegiatan pembelajaran, siswa menjadi
pembelajar yang mandiri, dan dapat menjadi pemecah masalah yang kritis dan
kreatif.
LKPD memiliki manfaat baik bagi siswa maupun guru karena LKPD membantu
guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Choo, dkk. (2011) menjelaskan
manfaat LKPD yaitu:
Worksheets provide hints or descriptions of the phases one should go
through when solving the problem. Students can consult the process
worksheet while they are working on the learning tasks and they may use it
to monitor their progress throughout the problem-solving process.
LKPD digunakan siswa untuk bekerja menyelesaikan tugas-tugas belajar dan
untuk memonitor proses pemecahan masalah yang dilakukan siswa. LKPD
digunakan dalam berbagai jenjang pendidikan. Kaymakci (2012) dalam A Review
of Studies on Worksheets in Turkey melaporkan bahwa penelitian tentang
penggunaan LKPD pada tingkat sekolah menengah atas (7,1%) masih rendah
dibandingkan penelitian penggembangan LKPD pada sekolah dasar (50%) dan
sekolah menengah (42,9%). Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan LKPD
untuk tingkat sekolah menengah atas masih sangat rendah dan hal ini perlu
menjadi perhatian bagi guru sekolah menengah atas.
30
Kaymakci (2012) juga melaporkan pemanfaatan LKPD dalam pembelajaran yaitu
untuk subject teaching (64.3%), concept teaching (14.4%), using status of
worksheet (7.1%), experiment teaching (7.1%) and problem-solving skills (7.1%).
Berdasarkan hasil laporan tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan LKPD
untuk problem-solving skills masih rendah. Hal ini didukung oleh pernyataan
Kaymakci (2012) yang menjelaskan bahwa:
There is no specific study about teaching values, skills with worksheets in
problem-solving skills. So, it can be said that, studies on worksheets focused
on knowledge and information and ignored other important components of
education like values and skills in terms of subjects.
Pengembangan LKPD hanya berfokus pada pengetahuan dan hanya bersifat
informasi, tetapi mengabaikan problem solving skills. LKPD yang mengem-
bangkan keterampilan dan proses pemecahan masalah dapat digunakan siswa
untuk mengerjakan tugas-tugas belajar dan siswa dapat memonitor proses yang
dilakukan siswa dalam memecahkan masalah. Hal ini menunjukkan bahwa
pemanfaatan LKPD untuk mengembangkan problem solving skills perlu
dilakukan untuk membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir
kritis-nya. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan para ahli, maka dapat
disimpulkan bahwa manfaat pengembangan LKPD dalam pembelajaran yaitu (1)
membantu guru dalam memonitor siswa dalam pembelajaran, (2) melatih siswa
secara aktif untuk menemukan pengetahuan baru, (3) mengembangkan
kemampuan berpikir kritis siswa.
LKPD secara umum digunakan untuk membantu siswa menyelesaikan tugas-tugas
dalam belajar dan bentuk LKPD yang digunakan disesuaikan dengan tujuan
pembelajaran dan kompetensi yang akan dicapai siswa. Prastowo (2011)
31
menjelaskan lima jenis LKPD yang umumnya digunakan oleh peserta didik,
diantaranya:
a. LKPD yang membantu peserta didik menemukan suatu konsep
Sesuai prinsip konstruktivisme, siswa megonstruksi pengetahuan yang mereka
dapatkan dari hasil pemecahan masalah.
b. LKPD yang membantu peserta didik menerapkan dan mengintegrasikan
berbagai konsep yang telah ditemukan
Jenis LKPD ini dibuat untuk membantu peserta didik dalam memecahkan
masalah sehari-hari melalui penerapan dan pengintegrasian berbagai konsep
yang telah ditemukan sebelumnya.
c. LKPD yang berfungsi sebagai penuntun belajar
LKPD bentuk ini berisi pertanyaan-pertanyaan atau isian yang jawabannya ada
di dalam buku. Fungsi utama LKPD ini adalah membantu peserta didik
menghafal dan memahami materi pelajaran yang terdapat di dalam buku dan
tepat digunakan untuk keperluan remedial.
d. LKPD yang berfungsi sebagai penguatan
LKPD ini lebih mengarah pada pendalaman dan penerapan materi pembela-
jaran yang terdapat pada buku pelajaran. Selain sebagai pembelajaran pokok,
LKPD ini juga cocok untuk pengayaan.
e. LKPD yang berfungsi sebagai petunjuk praktikum
LKPD berisi petunjuk untuk melakukan kegiatan uji coba dan siswa menulis-
kan hasil uji cobanya pada LKPD.
Berdasarkan jenis-jenis LKPD yang telah diuraikan diatas, maka jenis LKPD
yang tepat dikembangkan dalam pembelajaran matematika adalah LKPD yang
32
membantu peserta didik menemukan suatu konsep. Alasannya adalah LKPD jenis
ini dapat membantu siswa membangun sendiri pengetahuannya atau bersifat
konstruktivisme. Selain itu, dengan permasalahan yang diajukan pada LKPD
siswa akan merasa tertantang untuk memecahkan masalah, sehingga siswa dapat
mengembangkan kemampuan berpikir kritisnnya dalam memecahkan masalah.
Menghasilkan LKPD yang bermanfaat bagi siswa atau guru perlu pemahaman
mengenai langkah-langkah pembuatan LKPD sehingga efisien digunakan dalam
pembelajaran. Diknas (Prastowo, 2011) memberikan petunjuk atau langkah-
langkah dalam penyusunan LKPD, yaitu (1) melakukan analisis kurikulum untuk
menentukan materi-materi mana yang memerlukan bahan ajar LKPD dengan
melihat materi pokok, pengalaman belajar, dan kompetensi yang harus dimiliki
siswa, (2) menyusun peta kebutuhan untuk mengetahui jumlah LKPD yang harus
ditulis serta melihat urutan LKPD, (3) menentukan judul LKPD yang ditentukan
berdasarkan kompetensi-kompetensi dasar, materi-materi pokok, atau pengalaman
belajar yang terdapat dalam kurikulum, dan (4) penulisan LKPD.
Penulisan LKPD memiliki beberapa tahapan yaitu (1) merumuskan kompetensi
dasar, (2) menentukan alat penilaian dengan menyiapkan rubrik penilaian
terhadap proses kerja dan hasil kerja peserta didik, (3) menyusun materi LKPD
yang disesuaikan dengan kompetensi dasar yang akan dicapai oleh peserta didik,
(4) memperhatikan struktur, seperti judul, petunjuk belajar (petunjuk siswa),
kompetensi yang akan dicapai, informasi pendukung, tugas-tugas dan langkah-
langkah kerja, serta penilaian.
33
Prastowo (2011) menjelaskan bahwa desain LKPD tidak terpaku pada satu
bentuk. Guru bebas mengembangkan desain LKPD-nya sendiri dengan
memperhatikan tingkat kemampuan membaca peserta didik dan pengetahuan
peserta didik. Adapun batasan umum yang harus diperhatikan yaitu (1) ukuran,
jika kita menghendaki siswa membuat bagan atau gambar, maka kita memberikan
tempat yang lebih luas bagi siswa, (2) kepadatan halaman, LKPD tidak terlalu
dipadati dengan tulisan yang dibuat guru atau penulisan lebih sistematis, singkat
dan jelas, (3) penomoran, dengan adanya penomoran yang jelas, akan membantu
peserta didik dalam memahami isi dari LKPD yang dibuat oleh guru, dan (4)
kejelasan, yaitu materi dan instruksi yang diberikan di dalam LKPD harus dengan
jelas dibaca oleh peserta didik.
Berdasarkan jenis, langkah-langkah, dan batasan umum dalam pembuatan LKPD,
maka pada mata pelajaran matematika pengembangan LKPD dapat dilakukan
dengan mengajukan permasalahan-permasalahan yang bersifat kontekstual. Siswa
berdiskusi untuk memecahkan masalah tersebut sehingga siswa dapat membangun
pengetahuan dan pemahamannya secara mandiri. Selain itu siswa mampu berpikir
secara sistematis dan berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah pada LKPD.
E. Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik secara
terprogram agar peserta didik mampu belajar secara aktif sehingga kreativitasnya
berkembang. Sebagai suatu sistem, pembelajaran meliputi suatu komponen, antara
lain tujuan, bahan, peserta didik, guru, metode, dan evaluasi yang harus bersinergi
34
satu sama lain. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan dan
mempertimbangkan komponen tersebut secara keseluruhan.
Hakikat pembelajaran yang sesungguhnya adalah belajarnya siswa dan bukan
mengajarnya guru. Hal ini sejalan dengan pendapat Rusman (2010), yaitu guru
dituntut untuk dapat memilih model pembelajaran yang dapat memacu semangat
setiap siswa untuk secara aktif ikut terlibat dalam pengalaman belajarnya. Salah
satu alternatif model pembelajaran yang memungkinkan dikembangkannya
keterampilan berpikir siswa dalam memecahkan masalah adalah pembelajaran
berbasis masalah (PBM).
PBM mula-mula dikembangkan oleh sekolah kedokteran di Ontario, Kanada pada
tahun 1960-an (Hosnan, 2014). Model pembelajaran ini dikembangkan sebagai
respon atas fakta bahwa para dokter muda yang baru saja lulus tersebut memiliki
pengetahuan yang sangat luas namun kurang memiliki keterampilan memadai
untuk memanfaatkan pengetahuannya dalam praktik sehari-hari. Perkembangan
selanjutnya, PBM secara lebih luas diterapkan pada berbagai mata pelajaran di
dalam dunia pendidikan.
PBM merupakan inovasi dalam pembelajaran yang mengoptimalkan kemampuan
berpikir siswa melalui proses kerja kelompok yang sistematis sehingga siswa
dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampuan
berpikirnya secara berkesinambungan (Loyends, 2011). Dengan demikian, PBM
membantu untuk meningkatkan perkembangan keterampilan belajar sepanjang
hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis, dan belajar aktif. Kurikulum
PBM memfasilitasi keberhasilan memecahkan masalah, komunikasi, kerja
35
kelompok, dan keterampilan interpersonal yang lebih baik daripada model
pembelajaran lainnya.
PBM adalah model pembelajaran di mana siswa dihadapkan dengan masalah
autentik sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri,
menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi, memandirikan siswa, dan
meningkatkan kepercayaan diri sendiri (Padmavathy, 2013). Hosnan (2014) juga
mengemukakan bahwa PBM tidak dirancang untuk membantu guru memberikan
informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. PBM menuntut siswa untuk
menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata, seperti transkrip debat,
laporan, model fisik, video, atau program komputer. Pengajaran berbasis masalah
dicirikan sebagai bentuk kerja sama secara berpasangan atau dalam kelompok
kecil. Mereka melakukan kerja sama, memberikan motivasi secara berkelanjutan,
melakukan dialog, hingga mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan
berpikir.
Kurikulum PBM memberikan pengalaman kepada siswa melalui pemecahan
masalah kompleks di dunia nyata. PBM dirancang dengan beberapa tujuan
penting, yakni (1) membangun basis pengetahuan secara luas dan fleksibel, (2)
membangun kemampuan pemecahan masalah secara efektif, (3) mengembangkan
kemandirian dan keterampilan belajar sepanjang hayat, dan (4) membentuk
motivasi intrinsik untuk belajar (Hmelo-Silver, 2004).
Masalah merupakan fokus utama dalam PBM yang mampu menggiring siswa
untuk membangun pemahamannya terhadap suatu konsep. Hosnan (2014)
mengungkapkan bahwa masalah yang dapat diajukan dalam PBM haruslah
36
memenuhi beberapa kriteria, yaitu (1) autentik; masalah harus lebih berakar pada
kehidupan dunia nyata, (2) jelas; masalah dirumuskan dengan jelas sehingga tidak
menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan
penyelesaiannya, (3) mudah dipahami; masalah yang diberikan hendaknya mudah
dipahami siswa serta disusun sesuai tingkat perkembangan siswa, (4) luas dan
sesuai dengan tujuan pembelajaran; masalah harus mencakup seluruh materi yang
akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang, dan sumber yang tersedia, serta tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan, dan (5) bermanfaat; masalah yang bermanfaat
adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir memecahkan
masalah serta membangkitkan motivasi belajar siswa.
Masalah dalam PBM harus memuat dua sifat seperti yang dikemukakan oleh
Jonassen (2011). Pertama, masalah itu bersifat terbuka (open-ended); masalah
yang memiliki banyak jawaban atau strategi penyelesaian yang mendorong
keingintahuan peserta didik untuk mengidentifikasi strategi dan solusi tersebut.
Kedua, masalah harus bersifat tidak terstruktur dengan baik (ill-structured);
masalah yang tidak dapat diselesikan secara langsung dengan cara menerapkan
formula/strategi tertentu, melainkan memerlukan informasi lebih lanjut untuk
memahami dan mengkombinasikan beberapa strategi bahkan mengkreasikan
strategi sendiri untuk menyelesaikannya.
Masalah matematika yang disajikan oleh guru dalam proses PBM yang baik
memiliki empat ciri-ciri khas (Kek, 2002). Pertama, masalah tersebut harus
berhubungan erat dengan kehidupan peserta didik sehari-hari. Masalah yang
disajikan sedapat mungkin merupakan cerminan masalah yang sering dihadapi
37
siswa sehari-hari. Kedua, masalah dibangun dengan memperhitungkan
pengetahuan sebelumnya yang telah dimiliki siswa. Siswa dapat melihat
keterkaitan pengetahuan awalnya saat mendapatkan pengetahuan baru. Ketiga,
masalah harus mampu membangun pemikiran siswa yang metakognitif dan
konstruktif. Saat belajar siswa menguji pemikirannya, mempertanyakan,
mengkritisi gagasannya sendiri, sekaligus mengeksplor hal yang baru. Di saat ia
mencari pemecahan masalah, mencari dan menemukan informasi yang terkait,
maka sebenarnya siswa akan memahami sebuah pengetahuan secara konstruktif.
Keempat, masalah harus mampu meningkatkan minat dan motivasi dalam
pembelajaran. Dengan rancangan masalah yang menarik dan menantang, siswa
akan tergugah untuk belajar. Bila relevansinya tinggi dengan keadaan siswa saat
itu, maka biasanya siswa akan terangsang rasa ingin tahunya dan bertekad untuk
menyelesaikan masalah tersebut.
Berikut ini disajikan sebuah contoh mengenai masalah PBM.
“Setelah menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas, siswa SMA akan
melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi negeri (PTN) melalui jalur
SBMPTN dan SNMPTN. Pada bulan Januari 2019 ini SNMPTN akan
berlangsung. Setiap siswa kelas XII dapat memilih total tiga program studi di dua
PTN berbeda. Apabila terdapat 85 PTN yang dapat dipilih siswa, maka tentukan
berapa banyak kemungkinan pasangan PTN yang akan dipilih siswa!”
PBM sangat penting dikembangkan demi suatu tujuan yaitu membantu siswa agar
memperoleh berbagai pengalaman dan mengubah tingkah laku siswa. Perubahan
tingkah laku yang dimaksud meliputi pengetahuan, keterampilan, dan nilai/norma
38
yang berfungsi sebagai pengendali sikap dan perilaku siswa. Selain itu, PBM juga
dimaksudkan untuk mengembangkan kemandirian belajar dan keterampilan sosial
peserta didik. Kemandirian belajar dan keterampilan sosial tersebut dapat
terbentuk ketika peserta didik berkolaborasi untuk mengidentifikasi informasi,
strategi, dan sumber belajar yang relevan untuk menyelesaikan masalah. Hal ini
dipertegas oleh pendapat Noer (2014) yakni saat peserta didik mampu
mengidentifikasi semua hal tersebut, maka akan timbul suatu kepuasan intelektual
dalam dirinya bahwa ia telah belajar bagaimana melakukan suatu penemuan yang
baru.
PBM merupakan salah model pembelajaran yang efektif untuk membangun
kemampuan berpikir siswa. Barrow dan Tamblyn (1980) merancang suatu format
PBM, yakni (1) masalah diberikan di awal pembelajaran, (2) situasi masalah
disajikan kepada siswa dengan cara yang nyata, (3) siswa dihadapkan dengan
masalah yang sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka, (4) masalah
dieksplorasi dan digunakan sebagai pemandu dalam studi individual, (5)
keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh dari studi individual tersebut
dijadikan dasar evaluasi efektivitas pembelajaran yang telah berlangsung. Oleh
karena itu, siswa harus mampu memformulasikan kembali masalah matematika
dengan menggunakan kata-kata siswa itu sendiri.
Suatu kegiatan pembelajaran akan berjalan dengan baik bila didukung dengan
langkah-langkah yang sistematis. Padmavathy (2013) memaparkan langkah-
langkah dalam PBM sebagai berikut.
1. Menjelaskan kata, kalimat, dan konsep yang belum diketahui
39
2. Menetapkan dan menganalisis masalah
3. Merumuskan tindakan pemecahan masalah
4. Mencoba pembelajaran mandiri
5. Pembelajaran di dalam kelompok; melaporkan hasil pembelajaran mandiri di
kelompok, menyaring gagasan-gagasan yang disampaikan dalam kelompok,
dan merumuskan tindak lanjut berikutnya.
6. Menyampaikan penyelesaian masalah dan mengevaluasi solusi masalah
tersebut.
Berdasarkan paparan di atas, maka ada lima tahap pembelajaran berbasis masalah
yang akan digunakan dalam penelitian ini. Kelima tahap tersebut meliputi
mengorientasikan peserta didik terhadap masalah, mengorganisasi peserta didik
untuk belajar, membimbing penyelidikan individual maupun kelompok,
mengembangkan dan menyajikan hasil karya, serta menganalisis dan
mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah. Penjelasan secara rinci
mengenai kelima tahap ini dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Semiawan (Amir, 2009) mengungkapkan bahwa model PBM bersumber pada
dimensi kreatif seseorang. Setiap individu memiliki potensi kreatif yang begitu
besar dalam dirinya. Dalam proses PBM setiap peserta didik dapat
menyeimbangkan pemanfaatan otak kanan dan kiri demi pengembangan dimensi
kreatif. Mereka belajar tidak hanya memanfaatkan otak kirinya yang berpikir
konvergen; di mana hanya ada satu solusi yang benar. Mereka juga terlatih
berpikir secara divergen, melihat berbagai kemungkinan solusi, sebelum akhirnya
melakukan analisis untuk sebuah solusi terbaik.
40
Torrance (1973) dalam Munandar (2012) menyatakan kreativitas sebagai suatu
proses yang meliputi langkah-langkah dalam metode ilmiah, yaitu
1) sensing difficulties, gaps in information, missing elements, something asked,
2) making guesses and formulating hypotheses about these deficiencies,
3) evaluating and testing these guesses and hypotheses,
4) possibly revising and retesting them, and finally
5) communicating the results.
Tabel 2.4. Tahap-Tahap Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)
Tahapan Aktivitas Guru dan Peserta Didik
Tahap 1
Mengorientasikan
peserta didik
terhadap masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan sarana atau
logistik yang diperlukan, mengajukan fenomena atau
demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah,
memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam aktivitas
pemecahan masalah.
Tahap 2
Mengorganisasi
peserta didik untuk
belajar
Guru membagi peserta didik ke dalam kelompok,
membantu peserta didik mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah yang sudah diorientasikan pada tahap
sebelumnya.
Tahap 3
Membimbing
penyelidikan
individual maupun
kelompok
Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan
informasi yang dibutuhkan, melaksanakan eksperimen
dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalah.
Tahap 4
Mengembangkan
dan menyajikan hasil
karya
Guru membantu peserta didik untuk berbagi tugas dan
merencanakan atau menyiapkan karya yang sesuai
sebagai hasil pemecahan masalah dalam bentuk laporan,
video, dan dokumentasi atau model.
Tahap 5
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
dan hasil pemecahan
masalah
Guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi
atau evaluasi terhadap proses pemecahan masalah yang
dilakukan.
(Hosnan, 2014)
Beberapa penelitian menyatakan bahwa PBM merupakan model pembelajaran
matematika yang efektif, seperti Noer (2014), Padmavathy (2013), Fatade dkk
(2013), dan Marwan (2014). Dengan mengadopsi PBM, peserta didik dapat
41
dibentuk menjadi pribadi kreatif yang mampu memecahkan masalah di tengah-
tengah dunia yang kompetitif. Keterlibatan siswa secara aktif dalam PBM juga
akan membangun sikap positif siswa terhadap matematika. Oleh karena itu, sangat
diharapkan PBM akan membantu siswa membangun memori jangka panjang
sehingga meningkatkan prestasi peserta didik.
F. Definisi Operasional
Beberapa definisi operasional mengenai variabel penelitian ini adalah:
1. Kemampuan berpikir kreatif matematis adalah kemampuan dalam matematika
yang meliputi keaslian siswa dalam menyelesaikan masalah matematika
dengan caranya sendiri, keluwesan dalam menyelesaikan masalah matematika
dengan cara yang tidak baku, kelancaran dalam menyelesaikan masalah
matematika secara tepat, keterperincian dalam menciptakan gagasan baru, dan
kepekaan dalam merespon situasi yang dihadapi.
2. Kemampuan komunikasi matematis meliputi writing (menuliskan gagasan
matematika dalam bentuk notasi, istilah, dan lambang matematika), drawing
(menuliskan representasi matematika dalam bentuk rumus, diagram, tabel), dan
mathematical expression (memperoleh penyelesaian masalah matematika
dengan menggunakan rumus yang telah diterapkan).
3. Disposisi matematis adalah perbuatan atau kecenderungan untuk bertindak
secara positif berdasarkan pendirian atau keyakinan dalam berpikir secara
matematis. Disposisi matematis meliputi rasa percaya diri, fleksibel, gigih dan
ulet, rasa ingin tahu, refleksi terhadap cara berpikir, menghargai aplikasi
matematika, dan memiliki rasa apresiasi yang tinggi terhadap matematika.
42
4. Pembelajaran berbasis masalah (PBM) merupakan model pembelajaran yang
menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengkonstruksi
pemahaman baru. Adapun tahap-tahap pelaksanaan PBM adalah mengorientasi
masalah kepada peserta didik, mengorganisasikan peserta didik, membimbing
penyelidikan individu maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan
hasil, serta menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil pemecahan
masalah.
5. LKPD dikembangkan berdasarkan prosedur penelitian dan pengembangan
Borg and Gall (1983) yang meliputi penelitian pendahuluan, perencanaan,
desain produk awal, uji tahap awal, revisi produk awal, uji coba lapangan, dan
penyempurnaan produk akhir.
6. Hasil pengembangan LKPD berbasis masalah dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif, komunikasi, dan disposisi matematis siswa
apabila lebih dari 70% siswa telah mencapai nilai di atas kriteria ketuntasan
minimum (KKM) 70 untuk hasil tes kemampuan berpikir kreatif dan tes
kemampuan komunikasi, serta disposisi matematis siswa meningkat pada akhir
pembelajaran.
7. Penentuan persentase 70% di atas didasarkan pada alasan bahwa secara rata-
rata hanya 40% siswa SMA Negeri 15 Bandar Lampung mampu mencapai
nilai di atas KKM. Melalui penerapan LKPD berbasis masalah diharapkan
bahwa persentase banyaknya siswa yang mencapai KKM dapat lebih
meningkat dari 40%, yakni di atas 70%. Sebagai informasi nilai KKM untuk
mata pelajaran matematika di SMA Negeri 15 Bandar Lampung adalah 74.
Penentuan nilai KKM sebesar 70 untuk kemampuan berpikir kreatif matematis
43
dan kemampuan komunikasi matematis karena kedua kemampuan yang akan
diukur tersebut merupakan kemampuan berpikir tingkat tingkat tinggi (high
order thinking skills) yang bersifat non rutin. Selain itu, penentuan KKM ini
juga berdasarkan analisis KKM yang meliputi kompleksitas, daya dukung, dan
intake siswa.
G. Kerangka Pikir
Lembar kerja peserta didik (LKPD) berbasis masalah merupakan salah satu media
yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, komunikasi,
dan disposisi matematis siswa sehingga guru perlu membuat LKPD yang sesuai
untuk mengembangkan kemampuan tersebut. LKPD seharusnya memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk membangun konsep pengetahuan
secara mandiri. Melalui proses konstruksi tersebut daya kreativitas siswa akan
terasah. Selain itu, siswa akan merasa tertantang dan tertarik saat mempelajari
konsep baru tersebut. Oleh karena itu, disposisi siswa juga akan bertumbuh
seiring dengan berlangsungnya proses pembelajaran.
Pembelajaran berbasis masalah (PBM) merupakan pembelajaran yang
memusatkan siswa pada permasalahan dunia nyata. Pelaksanaan PBM terdiri dari
lima tahap, yaitu mengorientasikan siswa terhadap masalah, mengorganisasikan
siswa untuk belajar, membimbing penyelidikan individual maupun kelompok,
mengembangkan dan menyajikan hasil karya, serta menganalisis dan
mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah.
44
Tahapan pertama adalah orientasi siswa terhadap belajar. Pada tahap ini guru
menyampaikan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Selain itu, guru memotivasi
siswa untuk terlibat aktif dalam memecahkan masalah. Siswa diharapkan berusaha
untuk memahami permasalahan yang diberikan dan menentukan prosedur
penyelesaian yang tepat dengan cara mengajukan pertanyaan dan gagasannya.
Pada tahap orientasi siswa terhadap masalah, aspek sensitivity (kepekaan) siswa
dalam berpikir kreatif dapat berkembang dengan baik. Guru menjelaskan
keterkaitan masalah yang diberikan dengan kehidupan sehari-hari dan manfaat
nyata dalam kehidupan sehari-hari. Motivasi yang diberikan guru di awal juga
bermanfaat dalam memicu semangat siswa dalam berpartisipasi aktif selama
proses pembelajaran. Dengan demikian, aspek menghargai aplikasi matematika
dan rasa ingin tahu dapat berkembang dalam disposisi matematis siswa.
Tahapan kedua adalah organisasi siswa untuk belajar. Guru membentuk siswa ke
dalam kelompok diskusi di mana tiap kelompok mendapatkan Lembar Kerja
Peserta Didik (LKPD). Masing-masing siswa akan belajar menelaah
permasalahan-permasalahan yang termuat dalam (LKPD) pada diskusi kelompok
tersebut. Setiap siswa diberikan kesempatan untuk menuangkan gagasannya dan
segala alternatif pemecahan masalah yang bervariasi.
Pada tahap organisasi siswa untuk belajar, siswa dapat mengembangkan aspek
fluency (kelancaran) dan flexibility (keluwesan) dalam berpikir kreatif matematis.
Selain itu, diskusi kelompok akan mampu mengembangkan kemampuan
komunikasi matematis siswa, yakni saat mereka mengkomunikasikan gagasannya
ke dalam simbol matematika dan disertai dengan penjelasan yang logis. Rasa
45
ingin tahu, gigih, dan ulet yang merupakan bagian dari disposisi matematis siswa
dapat berkembang dengan baik melalui diskusi kelompok.
Tahapan ketiga adalah membimbing penyelidikan individual maupun kelompok.
Guru memfasilitasi siswa untuk memperoleh informasi yang sesuai mengenai
langkah-langkah penyelesaian permasalahan dalam LKPD. Setiap siswa akan
bekerja sama dengan kelompoknya untuk mencari informasi penting mengenai
berbagai kemungkinan solusi pemecahan masalah.
Pada tahap membimbing penyelidikan, aspek sensitivity (kepekaan) dan flexibility
(keluwesan) dalam kemampuan berpikir kreatif siswa akan berkembang. Selain
itu, kemampuan komunikasi matematis dalam hal menuliskan representasi
matematika dalam bentuk rumus diharapkan dapat berkembang dengan baik.
Sikap gigih, ulet, dan fleksibel akan tumbuh dalam diri siswa saat ia melakukan
penyelidikan sebagai media penyelesaian masalah.
Tahapan keempat adalah mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Siswa
mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas, sedangkan siswa
lainnya diberikan kesempatan untuk menanggapi dan dan terlibat aktif untuk
berpendapat. Siswa dapat melatih kemampuan penyajian suatu konsep dengan
bahasa yang jelas dan logis sehingga mudah dipahami orang lain. Hal ini mampu
mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Pada tahapan ini juga
diharapkan rasa percaya diri akan muncul dalam diri siswa.
Tahapan kelima adalah menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil
pemecahan masalah. Guru melakukan refleksi terhadap penyeledikan dan proses-
46
proses yang telah dilalui siswa. Siswa akan menilai dirinya sendiri mengenai
kesesuaian antara hasil yang telah diperoleh dengan harapan dan tujuan yang telah
ditetapkan di awal pembelajaran. Pada tahap terakhir ini siswa akan
menyimpulkan materi yang telah dipelajari. Dengan demikian, kemampuan
komunikasi matematis siswa dalam hal memperoleh penyelesaian masalah dapat
berkembang dengan baik.
Penggunaan LKPD berbasis masalah dikatakan efektif dalam meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi dalam penelitian ini apabila siswa
yang memperoleh nilai di atas kriteria ketuntasan minimal 70 sebanyak 70% atau
lebih. Oleh karena itu diharapkan penggunaan LKPD berbasis masalah dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, komunikasi, dan disposisi matematis
melalui lima tahap pembelajaran berbasis masalah.
47
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan atau Reserach and
Development (R & D) dengan mengacu kepada prosedur penelitian Borg and Gall
(1983). Tahap-tahap yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Research and information collecting (pengumpulan informasi) yang meliputi
studi literatur dan analisis kebutuhan.
2. Planning (perencanaan) yang meliputi identifikasi rencana penelitian, tujuan
yang akan dicapai, dan langkah-langkah penelitian.
3. Develop preliminary form of product (mengembangkan bentuk permulaan
dari produk yang akan dihasilkan)
4. Preliminary field testing (uji coba lapangan awal dalam skala terbatas).
5. Main product revision (perbaikan terhadap produk awal yang dihasilkan
berdasarkan hasil uji coba awal)
6. Main field testing (uji coba utama); yang melibatkan khalayak lebih luas.
7. Operational product revision (perbaikan/penyempurnaan terhadap hasil uji
coba lebih luas).
48
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses hingga menghasilkan
produk pengembangan LKPD berbasis masalah yang mampu meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif, komunikasi, dan disposisi matematis siswa.
B. Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kelas XI IPA 1 SMA Negeri 15 Bandar Lampung
pada tahun pelajaran 2015/2016. Pemilihan lokasi ini bertujuan agar penelitian
dapat berlangsung secara efektif dan efisien dalam hal waktu penelitian, kondisi
tempat penelitian, dan prosedur izin penelitian yang ditetapkan. Subjek dalam
penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap berikut:
1. Subjek Studi Pendahuluan
Subjek penelitian dan pengembangan pada tahap studi pendahuluan (analisis
kebutuhan di lapangan) adalah guru matematika SMA di Bandar Lampung dan
100 orang siswa SMA Negeri 15 Bandar Lampung.
2. Subjek Validasi LKPD Berbasis Masalah
Subjek validasi produk pengembangan LKPD berbasis masalah dalam
penelitian ini antara lain:
a. Dr. Bambang Sri Anggoro, M.Pd. sebagai ahli desain pembelajaran terhadap
LKPD matematika materi peluang. Beliau adalah seorang dosen jurusan
matematika fakultas tarbiyah di IAIN Raden Intan Lampung.
b. Dr. Suharsono sebagai ahli materi terhadap LKPD matematika materi
peluang. Beliau adalah seorang dosen jurusan matematika FMIPA dan
jurusan pascasarjana pendidikan matematika FKIP Universitas Lampung.
49
c. Ira Hidayati, M.A. sebagai ahli evaluasi pembelajaran dalam penyusunan
skala disposisi matematis. Beliau adalah seorang dosen fakultas Ushuludin
di UIN Raden Intan Lampung.
3. Subjek Uji Keterbacaan
Subjek pada tahap ini adalah enam orang siswa kelas XI IPA yang telah
menempuh materi peluang. Keenam siswa tersebut memiliki kemampuan
matematis tinggi, sedang, dan rendah.
4. Subjek Uji Kelompok Terbatas
Subjek pada tahap ini adalah enam orang siswa kelas XI IPA yang belum
menempuh materi peluang. Keenam siswa tersebut memiliki kemampuan
matematis tinggi, sedang, dan rendah.
5. Subjek Uji Coba Lapangan
Subjek pada tahap ini adalah tiga puluh orang siswa kelas XI IPA 1. Seluruh
siswa tersebut mempunyai kemampuan matematis yang heterogen dalam kelas
tersebut.
C. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah penelitian pengembangan dalam penelitian ini diambil dari
desain penelitian pengembangan yang dikembangkan oleh Borg and Gall. Untuk
memenuhi kebutuhan dan tujuan dalam penelitian ini, berikut ini disajikan tabel
3.1. mengenai tahap-tahap penelitian pengembangan yang akan diterapkan dalam
penelitian ini.
50
Tabel 3.1. Tahap-Tahap Penelitian dan Pengembangan
Prosedur Penelitian Keterangan
1. Penelitian Pendahuluan
Analisis kebutuhan dengan studi lapangan dan studi
literatur
2. Perencanaan Pembelajaran dilakukan dengan model pembelajaran
berbasis masalah (PBM).
3. Desain Produk Awal Desain produk dan instrumen:
a. Instrumen pembelajaran (silabus, RPP, LKPD dan
instrumen penilaian)
b. Instrumen validasi produk
c. Angket disposisi matematis
4. Uji Tahap Awal Uji tahap awal meliputi:
a. Uji ahli yang dilakukan oleh tiga orang ahli yaitu
ahli desain, materi, dan evaluasi pembelajaran yang
berkompeten di bidangnya.
b. Uji keterbacaan dilakukan pada siswa yang telah
menempuh materi peluang (dipilih enam siswa
dengan kemampuan rendah, sedang, dan tinggi)
c. Uji kelompok terbatas dilakukan pada enam siswa
yang belum menempuh materi peluang
5. Revisi Produk Awal Revisi dilakukan berdasarkan saran dari uji ahli, uji
keterbacaan, dan uji kelompok terbatas.
6. Uji Coba Lapangan Uji coba lapangan dilakukan pada kelas yang menjadi
subyek penelitian.
7. Penyempurnaan Produk
Akhir
Revisi dilakukan berdasarkan hasil uji coba lapangan
yang telah dilakukan untuk mendapatkan produk akhir.
Langkah-langkah penelitian pengembangan di atas dijelaskan secara rinci sebagai
berikut.
1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pengembangan bermula dari adanya masalah yang terjadi di lapangan.
Untuk mengetahui masalah yang terjadi di lapangan tersebut, kita perlu
melakukan analisis kebutuhan pada sumber dayanya (need assesment). Setelah
ditemukan masalah, kemudian dirancanglah sebuah produk hasil penelitian yang
tepat guna untuk mengatasi masalah tersebut.
Langkah awal yang ditempuh dalam penelitian ini berupa wawancara dan
penyebaran angket. Wawancara yang dilakukan terhadap guru-guru MGMP
51
matematika SMA kota Bandar Lampung bertujuan untuk memperoleh informasi
model pembelajaran yang diterapkan dalam pembelajaran matematika serta materi
yang kurang dikuasai siswa. Angket diberikan kepada 100 siswa SMA Negeri 15
Bandar Lampung untuk memperoleh informasi mengenai materi matematika yang
kurang dikuasai siswa. Selain itu, need assesment juga dilakukan dengan
mengkaji buku teks pelajaran matematika kelas XI kurikulum 2013 serta LKPD
yang digunakan dalam pembelajaran. Setelah itu, mencari beberapa penelitian
yang relevan sebagai acuan penyusunan LKPD yang mampu memfasilitasi
kemampuan berpikir kreatif, komunikasi, dan disposisi matematis siswa.
2. Perencanaan
Setelah melakukan studi pendahuluan, kemudian dilanjutkan dengan
merencanakan penelitian. Perencanaan ini meliputi perumusan kemampuan yang
akan dicapai pada saat penelitian, tujuan pelaksanaan penelitian, prosedur
penelitian, dan model pembelajaran yang akan dikembangkan dalam penelitian.
LKPD berbasis masalah dipilih untuk dikembangkan dalam penelitian ini karena
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, komunikasi, dan
disposisi matematis siswa pembelajaran materi peluang. PBM diharapkan dapat
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri sehingga siswa dapat mengkomunikasikan ide-idenya dalam bentuk lisan
dan tulisan secara kreatif. Selain itu, melalui PBM diharapkan ranah afektif siswa
juga dapat terbangun.
52
3. Desain Produk Awal
Berdasarkan hasil studi pendahuluan dan perencanaan, maka disusunlah produk
untuk mendukung penelitian yang meliputi silabus, RPP, LKPD berbasis masalah,
tes kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi, dan nontes.
4. Uji Tahap Awal
Uji tahap awal meliputi:
a. Validasi LKPD Berbasis Masalah
Produk pengembangan LKPD berbasis masalah yang telah dibuat kemudian
divalidasi oleh ahli materi, desain, dan evaluasi pembelajaran yang
berkompeten di bidangnya melalui lembar validasi yang telah dibuat. Validasi
yang dilakukan oleh ahli materi dilakukan untuk mengetahui kebenaran isi
LKPD yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan
komunikasi matematis siswa. Sedangkan ahli desain pembelajaran melihat
kesesuaian langkah-langkah pembelajaran yang telah dibuat dengan langkah-
langkah pada pembelajaran berbasis masalah yang sesungguhnya. Ahli
evaluasi pembelajaran memvalidasi pemilihan kata-kata dalam skala disposisi
matematis.
b. Revisi Hasil Validasi
Produk pengembangan LKPD berbasis masalah yang telah divalidasi oleh para
ahli kemudian direvisi sesuai dengan saran dan masukan para ahli. Hasil revisi
dikonsultasikan kembali kepada para ahli untuk memperoleh hasil yang
diinginkan.
53
c. Uji Keterbacaan
LKPD yang telah direvisi diujicobakan kepada enam siswa yang telah
menempuh materi peluang. Keenam siswa ini memiliki kemampuan yang
heterogen. Keenam siswa ini memiliki kemampuan yang heterogen dengan
tujuan agar LKPD kelak bisa digunakan oleh seluruh siswa, baik dari
kemampuan tinggi, sedang, maupun rendah. Pada akhir kegiatan, siswa
tersebut diberikan lembar skala untuk mengukur keterbacaan dan tanggapan
terhadap LKPD berbasis PBM. Berdasarkan hasil uji keterbacaan ini, maka
LKPD direvisi kembali untuk dapat dipergunakan pada uji coba kelas terbatas.
d. Uji Kelompok Terbatas
Pada tahap ini, LKPD diujicobakan pada enam siswa yang belum menempuh
materi peluang. Pada akhir kegiatan, siswa tersebut diberikan lembar skala
untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap LKPD berbasis PBM.
Berdasarkan saran dan tanggapan siswa tersebut, LKPD direvisi kembali dan
siap untuk diujicobakan pada tahap berikutnya.
5. Revisi Produk Awal
Hasil yang diperoleh saat uji keterbacaan dan uji kelompok terbatas dianalisis
untuk melihat apakah LKPD sudah memenuhi kriteria baik atau kurang baik.
Revisi dilakukan sampai dengan seluruh saran dan tanggapan dari siswa dapat
ditindaklanjuti.
6. Uji Coba Lapangan
Uji coba lapangan dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas
pengembangan LKPD berbasis masalah dalam meningkatkan kemampuan
berpikir kreatif, komunikasi, dan disposisi matematis siswa. Uji coba ini
54
dilakukan pada kelas XI IPA 1 di SMA Negeri 15 Bandar Lampung tahun
pelajaran 2015/2016. Pada akhir pembelajaran, siswa diberikan satu buah tes yang
mampu mengukur dua buah kemampuan sekaligus, yakni kemampuan berpikir
kreatif dan komunikasi matematis siswa serta angket untuk mengukur
kemampuan disposisi matematis siswa.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini disajikan
di bawah ini sesuai dengan langkah-langkah dalam penelitian pengembangan.
1. Lembar Wawancara dan Observasi
Lembar wawancara dan observasi merupakan instrumen yang digunakan pada
studi pendahuluan. Lembar wawancara ini berisi sejumlah pertanyaan mengenai
tanggapan siswa terhadap pembelajaran matematika yang telah berlangsung
selama ini di SMAN 15 Bandar Lampung, pokok bahasan yang dianggap sulit
bagi siswa, dan persentase siswa yang mampu mencapai KKM. Sedangkan lembar
observasi berisikan pengamatan kondisi pembelajaran secara langsung di SMA
Negeri 15 Bandar Lampung.
2. Lembar Validasi Perangkat Pembelajaran
Instrumen ini digunakan untuk mendapatkan data mengenai pendapat para ahli
(validator) terhadap perangkat pembelajaran yang disusun sehingga menjadi
acuan/pedoman dalam merevisi perangkat pembelajaran yang disusun. Instrumen
validasi ini diserahkan kepada tiga orang ahli, yakni ahli materi, desain, dan
evaluasi pembelajaran. Instrumen validasi ini disajikan dalam bentuk pernyataan
skala Likert serta dilengkapi dengan komentar dan saran dari para ahli tersebut.
55
Kriteria yang menjadi penilaian dari ahli desain pembelajaran meliputi kesesuaian
urutan materi dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar, sistematika
pembelajaran, evaluasi, ketersediaan latihan, dan efisiensi media. Berikutnya
kriteria yang menjadi penilaian dari ahli materi meliputi kualitas isi LKPD,
kebenaran konsep, kedalaman konsep, keluasan konsep, penggunaan bahasa, dan
kualitas kelengkapan bahan/penunjang. Kemudian, kriteria yang menjadi
penilaian ahli evaluasi pembelajaran meliputi keterkaitan indikator dengan tujuan,
kesesuaian pernyataan dengan indikator yang diukur, kesesuaian antara
pernyataan dengan tujuan, dan pemakaian bahasa yang baik dan benar. Kisi-kisi
lembar penilaian (validasi) oleh ketiga ahli termuat pada Lampiran D.4, D.5, dan
D.6.
3. Angket Respon Peserta Didik pada Tahap Uji Keterbacaan
Instrumen ini diberikan kepada siswa yang menjadi subjek pada uji keterbacaan
untuk mengetahui bagaimana keterbacaan, ketertarikan siswa, dan tanggapannya
terhadap LKPD. Instrumen disajikan dalam bentuk pernyataan skala Likert
dengan empat pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat
tidak setuju.
4. Angket Respon Siswa pada Tahap Uji Kelas Terbatas
Instrumen ini diberikan kepada siswa yang menjadi subjek pada uji kelas terbatas
untuk mengetahui bagaimana keterbacaan, ketertarikan siswa, dan tanggapannya
terhadap LKPD. Instrumen disajikan dalam bentuk pernyataan skala Likert
dengan empat pilihan jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat
tidak setuju.
56
5. Tes
Instrumen ini bertujuan untuk mendapatkan data mengenai pencapaian hasil
belajar siswa yang mengukur kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi
matematis siswa sesuai KKM yang telah ditentukan. Satu buah tes ini mampu
mengukur dua buah kemampuan berpikir sekaligus. Siswa akan menyelesaikan
soal-soal materi peluang berbentuk uraian. Penyusunan instrumen tes ini diwali
dengan penyusunan kisi-kisi tes yang meliputi indikator kemampuan, materi,
indikator, dan jumlah butir soal. Selanjutnya, instrumen tes disusun yang
dilanjutkan dengan penyusunan kunci jawaban serta aturan penskoran. Pedoman
penskoran tes kemampuan berpikir kreatif matematis dan kemampuan komunikasi
matematis siswa masing-masong dapat dilihat pada Lampiran B.5 dan B.6.
Sebelum diberikan di akhir pembelajaran, instrumen ini diujicobakan terlebih dulu
pada kelas lain yang telah menempuh materi peluang untuk mengetahui validitas,
reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda soal. Uji-uji tersebut dijelaskan
sebagai berikut:
a. Validitas
Validitas yang dilakukan terhadap instrumen tes berpikir kreatif dan komunikasi
matematis didasarkan pada validitas isi dan validitas empiris. Validitas isi ini
dapat diketahui dengan cara membandingkan isi yang terkandung dalam tes
kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi matematika dengan indikator
pembelajaran yang telah ditentukan. Instrumen tes dikategorikan valid apabila
sesuai dengan kompetensi dasar dan indikator yang diukur. Validitas isi ini
diserahkan kepada guru matematika SMA yang mengetahui kurikulum SMA.
57
Berdasarkan penilaian guru tersebut, maka soal dalam instrumen dinyatakan valid
(lihat Lampiran B.4).
Validitas empiris dilakukan pada siswa kelas XI IPA 2. Teknik yang digunakan
untuk menguji validitas empiris ini dilakukan dengan menggunakan rumus
korelasi product moment.
∑ (∑ ) (∑ )
√( ∑ (∑ ) )( ∑ (∑ ) )
Keterangan:
= Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y
N = Jumlah Siswa
∑ = Jumlah skor siswa pada setiap butir soal ∑ = Jumlah total skor siswa
∑ = Jumlah hasil perkalian skor siswa pada setiap butir soal dengan total
skor siswa
Butir soal pada instrumen tes dinyatakan valid apabila . N pada
kelas uji coba adalah 30 siswa sehingga didapat sebesar 3,61 pada uji dua
sisi. Perhitungan validitas tes kemampuan berpikir kreatif selengkapnya ada pada
Lampiran C.1 dan validitas tes kemampuan komunikasi matematis ada pada
Lampiran C.4. Hasil perhitungan validitas menunjukkan bahwa seluruh butir soal
pada tes kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi matematis dinyatakan valid.
Arikunto (2008:89) menafsirkan skor validitas suatu butir soal sebagai berikut.
Tabel 3.2. Kriteria Validitas Instrumen Tes
Nilai r Interpretasi
0,81 – 1,00 Sangat Tinggi
0,61- 0,80 Tinggi
0,41 – 0,60 Cukup
0,21 – 0,40 Rendah
0,00 – 0,20 Sangat Rendah
58
Berdasarkan tabel 3.2. di atas kriteria soal tes yang digunakan dalam penelitian ini
memiliki validitas yang cukup dan tinggi. Kesepuluh soal tes telah memenuhi
kriteria soal yang baik, baik dari sisi validitas isi maupun validitas empiris.
b. Reliabilitas
Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali
untuk mengukur objek yang sama akan menghasilkan data yang sama.
Perhitungan untuk mencari nilai reliabilitas instrumen didasarkan pada pendapat
Arikunto (2008:109) yang menyatakan bahwa untuk menghitung reliabilitas dapat
digunakan rumus Alpha, yaitu:
2
2
11 11
t
i
n
nr
Keterangan :
11r : nilai reliabilitas instrumen (tes)
n : banyaknya butir soal
2
i
: jumlah varians dari tiap-tiap butir soal
: varians total
Sudijono (2008:209) berpendapat bahwa suatu tes dikatakan baik apabila
memiliki nilai reliabilitas ≥ 0,70. Berdasarkan hasil perhitungan uji coba tes
berpikir kreatif dan komunikasi matematis, diperoleh nilai koefisien reliabilitas
berturut-turut sebesar 0,84 dan 0,91 . Hal ini menunjukkan bahwa instrumen yang
diujicobakan memiliki reliabilitas yang tinggi sehingga instrumen tes ini dapat
digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi
matematis siswa. Hasil perhitungan reliabilitas uji coba tes kemampuan berpikir
kreatif dan komunikasi masing-masing termuat pada Lampiran C.2 dan C.5.
2
t
59
c. Daya Pembeda
Daya beda suatu butir tes adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan
antara peserta tes yang berkemampuan tinggi dan berkemampuan rendah. Daya
beda butir tes dapat diketahui dengan melihat besar kecilnya tingkat diskriminasi
atau angka yang menunjukkan besar kecilnya daya beda. Sudijono (2008:120)
mengungkapkan bahwa menghitung daya pembeda ditentukan dengan rumus:
Keterangan :
DP : indeks daya pembeda satu butir soal tertentu
JA : jumlah skor kelompok atas pada butir soal yang diolah
JB : jumlah skor kelompok bawah pada butir soal yang diolah
IA : jumlah skor ideal kelompok (atas/bawah)
Hasil perhitungan daya pembeda diinterpretasi berdasarkan klasifikasi yang
tertera dalam Tabel 3.3. Hasil perhitungan daya pembeda butir soal tes
kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi selengkapnya masing-masing dapat
dilihat pada Lampiran C.3 dan Lampiran C.6. Dengan melihat hasil perhitungan
daya pembeda butir soal yang diperoleh, maka instrumen tes yang sudah
diujicobakan telah memenuhi kriteria daya pembeda soal dengan kriteria baik dan
sangat baik.
Tabel 3.3. Interpretasi Nilai Daya Pembeda
Nilai Interpretasi
DP ≤ 0,10 Sangat Buruk
0,10 ≤ DP ≤ 0,19 Buruk
0,20 ≤ DP ≤ 0,29 Agak baik, perlu revisi
0,30 ≤ DP ≤ 0,49 Baik
DP ≥ 0,50 Sangat Baik
Sudijono (2008:121)
60
d. Tingkat Kesukaran
Sudijono (2008:372) menyatakan bahwa suatu tes dikatakan baik jika memiliki
derajat kesukaran sedang, tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah. Perhitungan
tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
TK : tingkat kesukaran suatu butir soal
JT : jumlah skor yang diperoleh siswa pada butir soal yang diperoleh
IT : jumlah skor maksimum yang dapat diperoleh siswa pada suatu butir
soal
Untuk menginterpretasikan tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan kriteria
indeks kesukaran sebagai berikut :
Tabel 3.4. Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran
Nilai Interpretasi
0,00 ≤ TK ≤ 0,15 Sangat sukar
0,16 ≤ TK ≤ 0,30 Sukar
0,31 ≤ TK ≤ 0,70 Sedang
0,71 ≤ TK ≤ 0,85 Mudah
0,86 ≤ TK ≤ 1,00 Sangat mudah
Sudijono (2008: 372)
Hasil perhitungan tingkat kesukaran butir soal tes kemampuan berpikir kreatif dan
komunikasi matematis selengkapnya masing-masing dapat dilihat pada Lampiran
C.3 dan Lampiran C.6. Dengan melihat hasil perhitungan tingkat kesukaran butir
soal yang diperoleh, maka instrumen tes berpikir kreatif dan komunikasi
matematis yang sudah diujicobakan telah memenuhi kriteria tingkat kesukaran
soal dengan kriteria sedang dan sukar.
61
Berdasarkan skor validitas, nilai reliabilitas, indeks tingkat kesukaran, dan nilai
daya pembeda di atas, berikut ini adalah tabel yang memuat rekapitulasi dan
kesimpulan dari hasil tes uji coba.
Tabel 3.5. Rekapitulasi Hasil Uji Coba Instrumen Kemampuan Berpikir Kreatif
dan Komunikasi Matematis
No.
Soal
Reliabilitas Validitas Daya Pembeda Tingkat Kesukaran
BK KM BK KM BK KM BK KM
1a
0,84 0,91
0,62 0,72 0,375 0,500 0,442 0,597
1b 0,55 0,70 0,375 0,363 0,258 0,367
2a 0,64 0,73 0,313 0,350 0,350 0,600
2b 0,60 0,51 0,313 0,300 0,325 0,477
3a 0,68 0,80 0,313 0,313 0,442 0,563
3b 0,67 0,89 0,375 0,413 0,475 0,537
4 0,72 0,85 0,333 0,438 0,536 0,540
5a 0,80 0,74 0,359 0,300 0,573 0,573
5b 0,79 0,74 0,391 0,313 0,567 0,513
5c 0,79 0,79 0,336 0,500 0,350 0,497
Keterangan:
BK = Instrumen Kemampuan Berpikir Kreatif
KM = Instrumen Kemampuan Komunikasi Matematis
Berdasarkan Tabel 3.5. di atas maka dapat disimpulkan bahwa tes kemampuan
berpikir kreatif dan komunikasi matematis layak digunakan pada uji coba
lapangan.
6. Instrumen Nontes
Instrumen ini bertujuan untuk mengukur disposisi matematis siswa terhadap
pembelajaran matematika. Instrumen yang berupa angket ini berisi 20 pernyataan
positif dan negatif. Skala disposisi matematis pada penelitian ini menggunakan
skala Likert yang terdiri dari empat pilihan jawaban, yaitu selalu, sering, jarang,
dan tidak pernah.
62
Sebelum digunakan pada tahap uji keterbacaan, skala disposisi matematis harus
melalui tahap validasi uji ahli. Tujuan dari validasi ini adalah melihat kesesuaian
antara isi dengan indikator dan tujuan pembuatan skala disposisi matematis.
Kriteria yang menjadi penilaian dari ahli meliputi keterkaitan indikator dengan
tujuan, kesesuaian pernyataan dengan indikator yang diukur, kesesuaian antara
pernyataan dengan tujuan, dan pemakaian bahasa yang baik dan benar.
Berdasarkan penilaian tiap kriteria tersebut, maka skala disposisi matematis
memenuhi kriteria baik dan layak digunakan pada uji coba lapangan. Kisi-kisi dan
instrumen skala disposisi matematis secara lengkap secara berurutan termuat pada
Lampiran B.7 dan B.8.
Setelah dilakukan validasi, skala tersebut diujicobakan untuk mengetahui
reliabilitas dan validitas secara empiris. Uji coba dilakukan pada siswa kelas XI
IPA 2 dengan 30 responden. Hasil perhitungan reliabilitas dan validitas butir
pernyataan termuat pada Tabel 3.6. Kemudian, data selengkapnya termuat pada
Lampiran C.8.
Perhitungan dalam penentuan skor tiap kategori pilihan pada skala disposisi
matematis untuk tiap butir pernyataan menggunakan penskalaan respon menurut
Azwar (1995). Prosedur perhitungannya sebagai berikut:
a. Menghitung frekuensi masing-masing kategori tiap butir pernyataan.
b. Menentukan proporsi masing-masing kategori.
c. Menghitung besarnya proporsi kumulatif.
d. Menghitung nilai dari =
dimana = proporsi kumulatif
dalam kategori sebelah kiri.
63
e. Mencari dalam tabel distribusi normal standar bilangan baku (z) yang sesuai
dengan pktengah.
f. Menjumlahkan nilai z dengan suatu konstanta k sehingga diperoleh nilai
terkecil dari z + k = 1 untuk suatu kategori pada satu pernyataan.
g. Membulatkan hasil penjumlahan pada langkah f.
Tabel 3.6. Validitas Skala Disposisi Matematis Siswa
Nomor Urut Pernyataan Rhitung Kriteria
1 0,65 Valid
2 0,48 Valid
3 0,77 Valid
4 0,60 Valid
5 0,48 Valid
6 0,77 Valid
7 0,48 Valid
8 0,43 Valid
9 0,62 Valid
10 0,77 Valid
11 0,42 Valid
12 0,57 Valid
13 0,54 Valid
14 0,52 Valid
15 0,36 Valid
16 0,53 Valid
17 0,60 Valid
18 0,77 Valid
19 0.60 Valid
20 0,51 Valid
Hasil pembulatan ini merupakan skor untuk masing-masing kategori tiap butir
pernyataan skala disposisi matematis. Skor untuk kategori selalu (SL), sering
(SR), jarang (J), dan tidak pernah (TP) setiap pernyataan bervariasi antara 1
sampai dengan 5 yang dapat dilihat pada Tabel 3.7. Perhitungan lengkap termuat
pada Lampiran C.7.
64
Tabel 3.7 Skor Pernyataan Skala Disposisi Matematis Siswa
Nomor Urut
Pernyataan
Skor
SL SR J TP
1 5 3 2 1
2 5 3 2 1
3 1 2 3 5
4 5 4 2 1
5 4 3 2 1
6 1 2 3 5
7 5 3 2 1
8 5 4 3 1
9 1 2 3 5
10 1 2 3 5
11 1 2 3 4
12 4 3 2 1
13 5 3 2 1
14 1 2 3 5
15 4 3 2 1
16 1 2 3 4
17 4 3 2 1
18 1 2 3 5
19 5 4 2 1
20 1 2 3 4
Setelah melakukan pembelajaran berbasis masalah, skala ini diberikan kepada
siswa untuk melihat kecenderungan sikapnya. Selain angket, lembar jurnal harian
siswa juga digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai disposisi matematis
siswa terhadap materi pembelajaran yang dipelajari. Guru juga memiliki lembar
jurnal harian tersendiri untuk mencatat kejadian-kejadian yang dianggap penting
dan di luar skenario yang telah disusun.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini dijelaskan berdasarkan jenis instrumen
yang digunakan dalam setiap tahap penelitian pengembangan sebagai berikut.
65
1. Analisis Instrumen Studi Pendahuluan
Hasil observasi dan wawancara yang merupakan instrumen pendahuluan
dianalisis secara deskriptif sebagai latar belakang diperlukannya LKPD berbasis
masalah. Selain itu, hasil studi pendahuluan juga digunakan sebagai dasar
penyusunan produk pengembangan LKPD berbasis masalah yang mampu
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, komunikasi, dan disposisi matematis
siswa.
2. Analisis Validitas Produk Pengembangan LKPD Berbasis Masalah
Hasil validasi produk pengembangan LKPD berbasis masalah dalam penelitian ini
dianalisis dalam bentuk deskripsi kualitatif dan kuantitatif. Hasil penilaian dari
para ahli disajikan melalui skala kelayakan. Data kualitatif berupa tanggapan dan
saran dari para ahli kemudian dideskripsikan secara kualitatif sebagai acuan untuk
memperbaiki desain PBM dan materi pada LKPD. Data kuantitatif berupa skor
penilaian ahli desain dan ahli materi menggunakan skala likert dengan 4 skala,
yakni sangat tidak baik dengan skor 1, kurang baik dengan skor 2, baik dengan
skor 3, dan sangat baik dengan skor 4.
Langkah-langkah menyusun kriteria penilaian adalah:
a. Menentukan jumlah interval, yaitu 4,
b. Menentukan rentang skor, yaitu skor maksimum dan skor minimum,
c. Menghitung panjang kelas (p), yaitu rentang skor dibagi jumlah kelas,
d. Menyusun kelas interval dimulai dari skor terkecil sampai terbesar.
Kategori penilaian dan interval nilai untuk masing-masing kategori ditunjukkan
pada Tabel 3.8.
66
Tabel 3.8. Interval Nilai Tiap Kategori Penilaian
No Kategori Penilaian Interval Nilai
1 Sangat Baik (S min + 3p) < S ≤ S maks
2 Baik (S min + 2p) < S < (S min + 3p – 1)
3 Kurang (S min + p) < S < (S min + 2p – 1)
4 Sangat Kurang (S min) < S < (S min + p – 1)
Keterangan :
S : Skor responden
S min : Skor terendah
S max : Skor tertinggi
p : Panjang interval kelas
3. Analisis Produk Pengembangan LKPD pada Tahap Uji Keterbacaan dan
Kelas Terbatas
Teknik analisis data pada saat uji keterbacaan dan kelas terbatas dilakukan dengan
menganalisis lembar skala yang diberikan pada siswa setelah uji coba desain PBM
dan LKPD selesai dilakukan. Teknik analisis ini digunakan untuk mengukur
tingkat keterbacaan dan ketertarikan siswa dalam penerapan PBM dan
penggunaan LKPD. Skala respon siswa dianalisis menggunakan skala likert
dengan empat kriteria. Penentuan interval nilai dan kriteria penilaian sama dengan
teknik analisis kelayakan desain PBM dan materi LKPD oleh para ahli pada
Lampiran C.15 dan C.16.
4. Teknik Analisis Instrumen Uji Coba Lapangan
Teknik analisis data yang diperoleh saat pemberian instrumen di uji lapangan ada
tiga, yaitu data kemampuan berpikir kreatif matematis, komunikasi matematis,
dan disposisi matematis. Keduanya dijelaskan sebagai berikut:
67
a) Kemampuan Berpikir Kreatif dan Komunikasi Matematis
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan memberikan sebuah tes
yang mengukur dua buah kemampuan sekaligus, yakni kemampuan berpikir
kreatif dan komunikasi matematis setelah pembelajaran (post test). Data hasil tes
ini dianalisis secara keseluruhan berdasarkan persentase jumlah siswa yang
mampu mencapai nilai di atas KKM yang telah ditetapkan.
Data tes kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi digunakan untuk
memperoleh nilai keefektifan LKPD. Adapun langkah-langkah untuk
menganalisis keefektifan LKPD berbasis masalah akan dijelaskan sebagai berikut.
1) Menghitung skor tes kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi masing-
masing peserta didik sesuai dengan pedoman penskoran.
2) Menentukan nilai yang dicapai oleh masing-masing peserta didik pada tes
kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi.
3) Menghitung jumlah peserta didik yang telah mencapai nilai di atas kriteria
ketuntasan minimal (KKM) 70 pada hasil tes kemampuan berpikir kreatif dan
komunikasi.
4) Mempersentasekan ketuntasan secara klasikal dengan menggunakan rumus
Keterangan :
= persentase ketuntasan peserta didik secara klasikal
= banyak peserta didik yang mencapai KKM
= banyaknya peserta didik
Penggunaan LKPD berbasis masalah dikatakan efektif dalam meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi apabila peserta didik yang
68
memperoleh nilai pada tes kemampuan berpikir kreatif dan komunikasi minimal
70 adalah sebesar 70% atau lebih.
b) Disposisi Matematis
Pengambilan data dilakukan melalui pemberian lembaran skala kepada siswa
setelah pembelajaran (post test). Perhitungan dilakukan menggunakan software
Microsoft Excel 2010. Langkah-langkah untuk menghitung kecenderungan sikap
siswa menurut Noer (2007) sebagai berikut.
1) Mengklasifikasikan butir pernyataan dengan tiap aspek.
2) Menjumlahkan skor yang diperoleh pada masing-masing kategori.
3) Mencari rata-rata skor masing-masing kategori hasil uji coba sebagai skor
netral.
4) Mencari rata-rata butir skor netral pada tiap aspek sebagai kelas skor netral.
5) Menjumlahan hasil kali antara skor tiap kategori dengan skor hasil uji coba,
kemudian membaginya dengan jumlah siswa sebagai butir skor SKL.
6) Mencari rata-rata butir pernyataan pada tiap aspek sebagai skor SKL.
7) Membandingkan skor netral dengan skor SKL.
103
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan diperoleh kesimpulan sebagai
berikut.
1. Produk pengembangan LKPD berbasis masalah telah memenuhi standar
kelayakan isi, desain, dan bahasa berdasarkan hasil validasi ahli materi,
desain, dan evaluasi pembelajaran. Hasil uji keterbacaan dan kelompok
terbatas menunjukkan bahwa produk pengembangan pembelajaran berbasis
masalah termasuk dalam kategori baik dari aspek tampilan, penyajian materi,
dan manfaat.
2. Produk pengembangan LKPD berbasis masalah efektif dalam meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif siswa. Setelah menggunakan LKPD berbasis
masalah, sebanyak 73,33% siswa telah mencapai nilai di atas kriteria
ketuntasan minimum 70 untuk hasil tes kemampuan berpikir kreatif.
3. Produk pengembangan LKPD berbasis masalah efektif dalam meningkatkan
kemampuan komunikasi siswa. Setelah menggunakan LKPD berbasis
masalah, sebanyak 70% siswa telah mencapai nilai di atas kriteria ketuntasan
minimum 70 untuk hasil tes kemampuan komunikasi.
104
4. Produk pengembangan LKPD berbasis masalah efektif dalam meningkatkan
disposisi matematis siswa. Setelah menggunakan LKPD berbasis masalah,
disposisi matematis siswa meningkat pada akhir pembelajaran.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, berikut ini adalah saran-saran yang
dapat dikemukakan:
1. Guru dapat menggunakan LKPD berbasis masalah sebagai alternatif untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, komunikasi, dan disposisi
matematis siswa.
2. Guru perlu membiasakan siswa untuk menyelesaikan soal dengan
kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hal ini semata-mata untuk memudahkan
siswa dalam mengerjakan soal ujian nasional yang memuat soal yang
menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi.
3. Pembaca dan peneliti lain yang ingin mengembangkan penelitian lanjutan
sebaiknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Mengembangkan LKPD berbasis pada materi-materi lainnya serta subjek
penelitian yang lebih luas.
b. Memberikan arahan yang lebih baik lagi saat siswa mengerjakan LKPD
berbasis masalah.
c. Melakukan perhitungan kemampuan awal siswa (pre-test di awal
pembelajaran).
d. Mengamati sikap awal siswa.
105
e. Mengujicobakan perangkat pembelajaran yang telah dibuat lebih dari
satu kali uji coba.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, M. Taufiq. 2009. Motivasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning
Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pembelajar di Era Pengetahuan.
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Ansari, B. I. 2004. Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan
Komunikasi Matematik Siswa SMU Melalui Strategi Think-Talk-Write.
Disertasi Doktoral pada PPS UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.
Arikunto, Surhasimi. 2008. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Asara,
Jakarta. `
Aristika, Ayu. 2017. Pengembangan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Disposisi Matematis Siswa.
Tesis Unila. Tidak Diterbitkan.
Artanto, Yuli. 2017. Efektivitas Pembelajaran Berbasis Masalah Ditinjau dari
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa (Studi pada Siswa Kelas VIII
Semester Genap SMP Al Kautsar Bandar Lampung Tahun Pelajaran
2016/2017). Skripsi Unila. Tidak Diterbitkan.
Atallah. 2009. A Research Framework for Studying Conceptions and Dispositions
of Mathematics : a Dialogue to Help Students Learn. Research in Higher
Education Journal. www. aabri.com/rhej.html. Diakses pada 2 April 2015.
Balai Pustaka. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, 2007.
Barron, F. 1969. Putting Creativity to Work. Cambridge Univ. Press, England.
Barrows, H.S. & Tamblyn, R.M. 1980. Problem-Based Learning: An Approach to
Medical Education. Springer, New York.
Borg. W.R. dan Gall, M.D. 1983. Educational Research: An Introduction.
Longman, New York.
Choo, Serene. S.Y; Rotgans,Jerome I; Yew, Elaine H.J dan Schmidt, Henk G.
2011. Effect of Worksheet Scaffolds on Student Learning
in Problem Based Learning. Singapore: Spinger. Tersedia
[Online]: https://www.ied.edu.hk/apfslt/download/v10_issue1_files/
sahin.pdf . Diakses pada 2 Oktober 2015.
CS LIM. 2007. Mathematical Communication in Malaysia Bilingual Classroom .
www.criced.tsukuba.ac.jp/math/.../11.LimChapSa. Diakses pada 5 Maret
2015.
Darmodjo, Hendro. 1992. Pendidikan IPA II. Depdikbud, Jakarta.
Diknas . 2004. Pedoman Umum Pemilihan dan Pemanfaatan Bahan Ajar.
Ditjen Dikdasmenum, Jakarta.
Dewi, Ayu. 2016. Penerapan Model Problem Based Learning untuk
Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Disposisi
Matematis (Studi pada Siswa Kelas VIII SMP Tri Sukses Natar Semester
Genap Tahun Pelajaran 2015/2016). Skripsi Unila. Tidak Diterbitkan.
Dunlap, J. C. 2005. Problem‐based learning and self-efficacy: How a capst
one course prepares students for a profession.
Educational Technology, Research and Development.
Ervynck, G. 2002. Mathematical Creativity. Kluwer Academic Publisher, New
York.
Fachrurazi. 2011. Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis
Siswa. jurnal.upi.edu/file/8-Fachrurazi.pdf. Diakses pada 12 Januari 2017.
Fatade, dkk. 2013. Effect of Problem-Based on Senior Secondary School Students;
Achievements in Further Mathematics. Acta Didactica Napocensia.
http://padi.psiedu.ubbcluj.ro/adn.article _6_3_4.pdf. Diakses pada 12
Desember 2014.
Halpern, Diane. 2014. Thought and Knowledge. Psychology Press, New York.
Hidayat, Wahyu. 2013. Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan berpikir
Logis Serta Disposisi matematis Siswa SMA Melalui Pembelajaran
Berbasis Masalah. Cimahi: Prosiding Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi.
publikasi.stkipsiliwangi.ac.id/files/2014 /.../Prosiding-31-Agustus-2013.
Diakses pada 7 September 2015.
Hmelo-Silver, E. (2004), Problem-Based Learning: What and How DoStudents
Learn?, Educational Psychology Review, Vol. 16, No. 3. pp235-266.
1040726X/04/0900-0235/0C ° 2004 ,Plenum Publishing Corporation.
Hosnan, M, Dipl.Ed., M.Pd., Dr. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual
dalam Pembelajaran Abad 21. Ghalia Indonesia, Bogor.
Jonassen, David H. 2011. Learning to Solve Problems. Routledge, New York.
Karakelle, Sema. 2009. Enhancing Fluent and FlexibleThinking Through Creative
Drama Process. http://www.tlsfrankfurt.com/tls/wp-content/uploads/
2011/08/Enhance-Flexible-Thinking-Adults.pdf. Diakses pada 5 Oktober
2015.
Katminingsih, Yuni. 2015. Pengaruh Model PembelajaranBerbasis Masalah
terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Tersedia di
http://download.portalgaruda.org/,. Diakses pada 12 Januari 2018.
Katz, L. G. 1993. Dispositions as Educational Goals. Tersedia di http://www.
edpsycinteractive.org/files/edoutcomes.html. Diakses pada 6 November
2015.
Kaymakci,Selahattin. 2012. A Review of Studies on Worksheets in Turkey.
Turkey: Karadeniz Technical University. Tersedia [Online] :
http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED530699.pdf. Diakses pada 2 Oktober
2015.
Kek. 2002. Authentic Problem Based Learning. Prantice Hall, Singapura.
Kilpatrick, J., Swafford, J., & Findell, B. 2001. Adding It Up: Helping Children
Learn Mathematics. National Academy Press, Washington.
Livne, N. L. 2008. Enhancing Mathematical Creativity through Multiple Solution
to Open-Ended Problems. [Online] Tersedia: http://www.iste.org/
Content/NavigationMenu/Research/NECC_Reserach_Paper_Archives/NEC
C2008/Livne.pdf. Diakses pada 18 Maret 2016.
Loyens, Sofie M.M. 2011. Problem-Based Learning. University of Wollongong,
Washington.
Maharani, Dian. 2015. Efektifitas Model Problem Based Learning terhadap
Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dan Self Concept Siswa. Skripsi
Unila. Tidak Diterbitkan.
Mahayana, Dimitri, Dr. 2008. Quontum Quotient. Nuansa Cendekia, Bandung.
Mahmudi, Ali. 2006. Pengembangan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa
Melalui Pembelajaran Matematika. http://eprints.uny.ac.id/7247/1/PM-
10%20-%20Ali%20Mahmudi.pdf . Diakses pada 10 Maret 2015.
Marwan. 2014. Induktif Matematis dengan Menggunakan Pendekatan Problem-
Based Learning. Tesis SPs UPI. UPI. Tidak Diterbitkan.
Maxwell, K. 2001. Positive Learning Dispositions in Mathematics. Tersedia di
http://www.education.auckland.ac.nz/webdav/site/education/shared/about/re
search/docs/FOED%20Papers/Issue%2011/ACE_Paper_3_Issue_11.doc
Diakses pada 26 Oktober 2014.
Mulyadi, Zachra. 2016. Efektivitas Model Problem Based Learning Ditinjau dari
Kemampuan Pemahaman Konsep dan Disposisi Matematis Siswa (Studi
pada Siswa Kelas X Semester Genap NAN 1 Bandar Lampung Tahun
Pelajaran 2015/2016). Skripsi Unila. Tidak Diterbitkan.
Munandar, Utami. 2012. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Rineka
Cipta, Jakarta. 282 hlm.
NCTM. 1989. Principles and Standards for School Mathematics Standard 10-
Mathematical Disposition. [Online]. Tersedia: www.fayar.net/east/teacher.
web/math/standards/previous/CurrEvStds/eval10.htm. Diakses pada 5 Juni
2015.
NCTM. 2000. Executive Summary Principles and Standards fo School
Mathematics. [Online]. Tersedia : www.nctn.org/standars-and-positions/
principles-and-standards/ . Diakses pada 7 April 2015.
Noer, S.H. 2009. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis: Apa, Mengapa, dan
Bagaimana?. eprints.uny.ac.id/12307/1/M_Pend_30_Sri%20Hastuti.pdf.
Diakses 5 September 2015.
Noer, S.H. 2014. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dan Pembelajaran
Matematika Berbasis Masalah Open-Ended. Palembang: Jurnal Pendidikan
Matematika Department of Master Program on Mathematic Education.
ejournal.unsri.ac.id/index.php/jpm/article/download/824/237/. Diakses pada
12 Agustus 2015.
Nurlaelah, E. 2009. Pencapaian daya dan Kreativitas Matematik Mahasiswa
Calon Guru Melalui Pembelajaran Berdasarkan Teori Apos. Disertasi
Doktor Pada SPS UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.
Ontario. 2010. Communication in the Mathematics Classroom. www.edu.
gov.on.ca/CBS_Communication_Math. Diakses pada 20 Maret 2015.
Padmavathy, R.D. 2013. Effectiveness of Problem Based Learning in
Mathematics. Cuddalore: International Multidisciplinary e-Journal. diunduh
tanggal 11 Desember 2014. http://www.shreeprakashan.com/Documents
/2013128181315606.6.%20Padma%20Sasi.pdf. Diakses pada 11 Desember
2014
Pansah, Hani. 2015. Efektivitas Model Problem Based Learning Ditinjau dari
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa (Studi pada Siswa Kelas VII
SMP Negeri 26 Bandar Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran
2014/2015). Skripsi Unila. Tidak Diterbitkan.
Park, H. 2004. The Effects of Divergent Production Activities with Math Inquiry
and Think Aloud of Students with Math Difficulty. Disertasi. [Online].
Tersedia:http://txspace.tamu.edu/bitstream/handle/1969.1/2228/etd-tahu-
2004:jsessionid=BE099D4D00F1A51BF2E73CC609?sequence=1. Diakses
pada 1 Juli 2016.
Perkins, D.N. 1984. Creativity by Design. asc.com/ASCD/pdf/...
/el_198409_perkins.pdf. Diakses pada 10 Oktober 2015.
Prastowo, Andi. 2011. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. DIVA
Press, Jogjakarta.
Puspendik. 2018. Laporan Hasil Ujian Nasional. [Online]. Tersedia:
https://puspendik.kemdikbud.go.id/
Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme
Guru. PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Saragih, Sehatta. 2008. Mengembangkan Keterampilan Berpikir Matematika.
Jurnal Pendidikan Matematika UNY, Yogyakarta. 18 hlm.
Setyanto, N. Ardi. 2014. Panduan Sukses Komunikasi Belajar-Mengajar. Diva
Press, Jakarta. 222 hlm.
Stenberg, R.J., Kaufman, J.C., Grigorenko, E.L. 2011. Aplied Intelligence.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 566 hlm.
Sudijono, Anis. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Rajagrafindo Persada,
Jakarta.
Sumarmo, U. 2010. Berfikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan
Bagaimana dikembangkan pada Peserta Didik. Tersedia di
http://id.scribd.com/doc/76353753/Berfikir-Dan-Disposisi-MatematikUtari
Diakses pada 12 Oktober 2014.
Tamyah, Ayu. 2015. Efektivitas Model Problem Based Learning Ditinjau dari
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa (Studi pada Siswa Kelas XI IPA
SMA Negeri 7 Bandar Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran
2014/2015). Skripsi Unila. Tidak Diterbitkan.
Torrance, E.P. 1973. Thinking Creatively with Sounds and Words. Scholastic
Testing Service, Benseville.
Triana, Mela. 2016. Pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik Berbasis Inkuiri
untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dan Self
Concept Siswa. Tesis Unila. Tidak Diterbitkan.
Wessels, Helena. 2014. Level of Mathematical Creativity in Model-Eliciting
Activities. Journal of Mathematical Modelling and Application, Vol. 1 No.
9 Tahun 2014. 22 0.http://proxy.furb.br/ojs/index.php/modelling/article
/download/4048/2599. Diakses pada 20 Desember 2015
top related