pengembangan kurikulum pendidikan agama di pesantren
Post on 04-Oct-2021
14 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Pesantren, Madrasah dan Sekolah I 189
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama di Pesantren, Madrasah dan Sekolah
Rofi’ Addaroini1 1 Madrasah Diniyah Al-Falaah, Jl. Sersan Suharmaji Gg. Masjid Al-Falaah, Kel.
Manisrenggo, Kec. Kota, Kota Kediri, Jawa Timur, 64128, Indonesia.
Email: rofiaddaroini@gmail.com
Abstrak: Pendidikan Agama Islam tidak dapat didefinisikan secara sempit, karena
membahas Agama Islam dan ilmu-ilmunya. Pondok Pesantren dan Madrasah
merupakan suatu lembaga pendidikan yang lebih menekankan pada pendidikan
Agama. Secara umum kurikulum pesantren dapat dibedakan menjadi empat bentuk,
yaitu; Pendidikan Agama, pengalaman dan pendidikan moral, sekolah dan
pendidikan umum, serta ketrampilan dan kursus. Adapun kurikulum PAI di
Madrasah memiliki suatu hal yang lebih pokok yang memang diharapkan dan bukan
hanya dalam target tujuan PAI, tapi juga sebagai pendidikan yang lahir dari Agama
Islam diharapkan dapat berkompetensi baik jasmani dan rohani, artinya
berkompetensi dalam hal sikap, skill, pengetahuan secara afektif, kognitif,
psikomotorik sesuai dengan ajaran Agama Islam dalam aspek jasmani. Kurikulum
madrasah telah diatur dalam beberapa aspek, antara lain adalah: Al-Qur’an, Al-
Hadits, Keimanan (‘Aqidah), Moral (Akhlaq), Hukum Islam (Fiqih), Sejarah
Kebudayaan Islam (Tarikh) dan ditambah Bahasa Arab. Sementara disisi lain, pada
sekolah umum, kurikulum PAI hanya terdiri dari satu mata pelajaran/materi (PAI)
saja, namun demikian di dalamnya sudah memasukkan lima aspek diatas, Al-
Qur’an, Al-Hadits, Keimanan (‘Aqidah), Moral (Akhlaq), Hukum Islam (Fiqih),
Sejarah Kebudayaan Islam (Tarikh). Sehingga dengan adanya kurikulum PAI, baik
di pesantren, madrasah maupun sekolah umum diharapkan menjadikan anak didik
menjadi makhluk yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. serta senantiasa
mau mengamalkan apa yang telah diajarkan di dalamnya.
Kata Kunci: Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama, Pesantren, Madrasah,
Sekolah
1. Pendahuluan
Kata “kurikulum” berasal dari bahasa Yunani yang semula digunakan dalam
bidang olah raga yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yaitu jarak yang
harus ditempuh dari start sampai ke finish. Namun lambat laun pengertian ini
digunakan dalam dunia pendidikan. Dalam bahasa Arab kurikulum diistilahkan
dengan manhaj, yaitu jalan yang terang, atau jalan yang terang yang dilalui
manusia pada kehidupanya. Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan
terang yang diikuti oleh guru dan peserta didik untuk mengembangkan
pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai-nilai kependidikan [1, p. 1].
Menurut Oemar Hamalik kurikulum adalah rencana tertulis tentang
kemampuan yang harus dimiliki berdasarkan standar nasional, materi yang perlu
dipelajari, dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai kemampuan
tersebut, dan evaluasi yang perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pencapaian
kemampuan peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya pada satuan
pendidikan tertentu [2, p. 91].
190 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
Kurikulum menjadi ukuran tersendiri dari keberhasilan proses pengajaran.
Kurikulum juga merupakan acuan yang digunakan oleh sebuah lembaga
pendidikan dalam menjalankan proses pembelajaran. Dalam dokumen kurikulum
2013, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pembahasan umum mengenai
pengertian dan substansi kurikulum secara konseptual, menyebutkan bahwa:
“Kurikulum merupakan suatu respon pendidikan terhadap kebutuhan
masyarakat dan bangsa dalam membangun generasi muda bangsanya. Secara
pedagogis, kurikulum adalah rancangan pendidikan yang memberi
kesempatan untuk peserta didik mengembangkan potensi dirinya dalam
suatu suasana belajar yang menyenangkan dan sesuai dengan kemampuan
dirinya untuk memiliki kualitas yang diinginkan masyarakat dan bangsanya.
Secara yuridis, kurikulum adalah suatu kebijakan publik yang didasarkan
kepada dasar filosofis bangsa dan keputusan yuridis di bidang pendidikan.”
Sedangkan Muhaimin dalam bukunya Ainurrafiq Dawam memberikan
pengertian tentang kurikulum, yaitu kurikulum merupakan segala kegiatan yang
dirancang oleh lembaga pendidikan untuk disajikan kepada peserta didik untuk
mencapai tujuan pendidikan (baik itu tujuan institusional, kurikuler, dan
intruksional). Pengertian kurikulum yang seperti ini menggambarkan bahwa
aktifitas sekolah (bahkan termasuk juga madrasah atau pesantren) yang sekiranya
memberikan efek bagi pengembangan peserta didik di masukkan dalam kategori
kurikulum [3, p. 62]. Jadi kurikulum bukan semata-mata aspek belajar mengajar
saja, tetapi juga menyentuh ke semua lapisan kegiatan yang dialami siswa dalam
bentuk formal maupun non formal.
Dalam dunia pendidikan, kurikulum memegang kedudukan yang amat
penting, sebab berkaitan dengan arah, isi dan proses pendidikan yang pada
akhirnya menentukan macam dan kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan.
2. Metode Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat library research atau
kajian pustaka. Karena kajian ini bersifat pustaka, untuk itu dalam seluruh
prosesnya dari awal hingga akhir penelitian, penulis menggunakan berbagai macam
pustaka yang relevan untuk menjawab permasalahan yang dicermati. Sementara
itu, penelitian kajian pustak merupakan penampilan argumentasi penalaran
keilmuan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah pikir peneliti
mengenai topik atau masalah kajian, dimana memuat beberapa gagasan atau
proposisi yang berkaitan yang harus didukung oleh data yang diperoleh dari
sumber pustaka.[4, p. 76] Obyek penelitian adalah meliputi pengembangan
kurikulum yang ada di pesantren, madrasah dan sekolah umum dengan
mempertimbangkan data perubahan kurikulum secara diakronik. Adapun metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analistik dengan
menerapkan analisa konten sebagaimana yang digagas oleh Shelley dan
Krippendorff yaitu teks, mengajukan pertanyaan riset, memahami konteks,
menganalisa konstruks, melakukan inferensi dan validasi data.[5, p. 43] Untuk
mempermudah analisa konten tersebut, diantara langkah yang dilakukan adalah
dengan mengumpulkan data-data dari berbagai macam journal, artikel, serta buku-
buku yang relevan seperti Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi karya Muhaimin, Manajemen
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Pesantren, Madrasah dan Sekolah I 191
Pengembangan Kurikulum karya Oemar Hamalik dan beberapa buku serta artikel
terkait.
3. Hasil Berbicara tentang Lembaga pendidikan, khususnuya lembaga pendidikan
Islam di Indonesia, terdapat empat model atau kategori pendidikan yang
dipraktekkan [6, p. 52]. Pertama adalah pendidikan Pondok Pesantren, yaitu
pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional. Kedua adalah
pendidikan Madrasah, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh lembaga-
lembaga dengan model Barat yang menggunakan metode pengajaran klasikal dan
berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri peserta didik.
Ketiga adalah pendidikan umum yang bernafaskan Islam, yaitu pendidikan Islam
yang dilaksanakan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan
Islam di lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program
pendidikan yang bersifat umum. Keempat adalah Pelajaran Agama Islam yang
diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum atau sekolah umum
sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja. Yang kesemuanya dari empat
model pendidikan tersebut mempunyai kurikulum yang berbeda-beda atau ciri
khasnya masing-masing.
Selain kesemua model lembaga pendidikan di Indonesia tersebut mempunyai
kurikulum Pendidikan Agama masing-masing yang berbeda-beda, lembaga-
lembaga tersebut juga mempunyai cara mengembangkan kurikulum yang berbeda-
beda pula.
Adapun pengertian Pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan
kurikulum, agar menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini
berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian. Berbagai komponen situasi
belajar mengajar, antara lain menetapkan jadwal pengorganisasian kurikulum dan
spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran, kegiatan, mengacu pada kreasi
sumber-sumber unit, dan garis pelajaran kurikulum ganda lainnya, untuk
memudahkan proses belajar mengajar.
Sedangkan menurut Muhaimin dalam bukunya Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, bahwa
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam dapat diartikan sebagai
berikut:
a. Kegiatan menghasilkan kurikulum pendidikan Agama Islam
b. Proses yang mengaitkan satu komponen dengan komponen lainnya untuk
menghasilkan kurikulum pendidikan Agama Islam yang lebih baik.
c. Kegiatan penyusunan (desain), pelaksanaan, penilaian dan penyempurnaan
kurikulum pendidikan Agama Islam [1, p. 10].
4. Pembahasan
A. Pengembangan Kurikulum Pesantren
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam, telah sejak lama
diakui sebagai lembaga induk yang berperan menciptakan usaha dalam
memodernisasikan masyarakat dalam ruang lingkup yang sederhana.
Keberadaan pesantren dari awal keberadaannya, hingga kini merupakan salah
satu alternatif lembaga pendidikan Islam yang dipilih masyarakat Muslim.
Pesantren terus berkembang, baik dari segi fisik maupun sistem kurikulum
192 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
pendidikannnya, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan
masyarakat. Hal tersebut juga yang menjadikan pesantren tetap menjadi pilihan
bagi sebagian masyarakat Muslim yang ingin mempelajari dan mendalami
ajaran-ajaran Islam.
Kurikulum pendidikan pesantren adalah bahan-bahan pendidikan Agama
Islam berupa kegiatan pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan
sistematis diberikan kepada santri untuk mencapai tujuan Pendidikan Agama
Islam. Sedangkan lingkup materi pendidikan pesantren adalah Al-Qur’an dan
Hadits, ke-imanan, akhlaq, fiqih atau ibadah dan sejarah. Dengan kata lain
cakupan pendidikan pesantren ada keserasian, keselarasan dan keseimbangan
hubungan manusia dengan Allah SWT. diri sendiri dengan sesama manusia,
manusia dengan makhluk lain maupun dengan lingkungnnya.
Untuk mencapai tujuan pendidikan pesantren tersebut, perlu adanya
rekonstruksi kurikulum agar lebih riil. Rumusan tujuan pendidikan pesantren
yang ada selama ini masih bersifat general dan kurang match dengan realitas
masyarakat yang terus mengalami transformasi. Rekonstruksi di sini
dimaksudkan untuk meningkatkan daya relevansi rumusan tujuan pendidikan
pesantren dengan persoalan riil yang dihadapi masyarakat dalam hidup
kesehariannya.
Prinsip pengembangan kurikulum pendidikan pesantren secara umum
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) prinsip umum, yang meliputi
prinsip relevansi, prinsip fleksibilitas, prinsip kontinyuitas, prinsip praktis dan
prinsip efektifitas, (2) prinsip efisiensi.
Sedangkan prinsip khusus dalam pengembangan kurikulum di pesantren
mencakup prinsip yang terkait dengan tujuan pendidikan pesantren dan
pemilihan isi pendidikan pesantren, juga yang berkenaan dengan metode,
strategi proses pembelajaran dan alat evaluasi dan penilaian pendidikan
pesantren. Secara praktis, Mastuhu memberikan konsep tentang model dan
paradigma pendidikan pesantren yang diharapkan menjadi orientasi dan
landasan dalam kurikulum lembaga pendidikan pesantren, yaitu (1) Dasar
pendidikan-pendidikan pesantren harus mendasarkan pada teosentris dengan
menjadikan antroposentris sebagai bagian esensial dari konsep teosentris, (2)
Tujuan pendidikan kerja membangun kehidupan duniawiyah melalui
pendidikan sebagai perwujudan mengabdi kepada-Nya. Pembangunan
kehidupan duniawiyah bukan menjadi tujuan final, tetapi merupakan kewajiban
yang diimani dan terkait kuat dengan kehidupan ukhrawiyah, tujuan final
adalah kehidupan ukhrawi dengan ridha Allah Swt, (3) Konsep manusia
pendidikan Islam memandang manusia memiliki fitrah yang harus
dikembangkan, (4) Nilai pendidikan pesantren berorientasi pada iptek sebagai
kebenaran relatif dan imtaq sebagai kebenaran mutlak.
Pengembangan kurikulum pendidikan pesantren secara terus menerus
menyangkut seluruh komponen merupakan sesuatu mutlak untuk dilakukan
agar tidak kehilangan relevansi dengan kebutuhan riil yang dihadapi komunitas
pendidikan Islam yang kecenderungan terus mengalami proses dinamika
transformatif. Pendidikan pesantren dibangun atas dasar pemikiran Islami yang
bertolak dari pandangan hidup dan pandangan tentang manusia serta diarahkan
kepada tujuan pendidikan yang dilandasi kaidah-kaidah Islam.
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Pesantren, Madrasah dan Sekolah I 193
Kurikulum yang demikian biasa mengacu pada sembilan prinsip utama.
Kesembilan prinsip itu adalah (1) Sistem dan pengembangan kurikulum
hendaknya memperhatikan fitrah manusia agar tetap berada dalam kesucian
dan tidak menyimpang, (2) Kurikulum hendaknya mengacu kepada pencapain
tujuan akhir pendidikan Islam sambil memperhatikan tujuan-tujuan di
bawahnya, (3) Kurikulum perlu disusun secara bertahap mengikuti periodesasi
perkembangan peserta didik, (4) Kurikulum hendaknya memperhatikan
kepentingan nyata masyarakat, seperti kesehatan, keamanan, administrasi dan
pendidikan, (5) Kurikulum hendaknya terstruktur dan terorganisasi secara
integral, (6) Kurikulum hendaknya realistis, sehingga dapat dilaksanakan
sesuai dengan berbagai kemudahan yang dimiliki tiap negara sebagai
pelaksana, (7) Metode pendidikan yang merupakan salah satu komponen
kurikulum ini hendaknya bersifat fleksibel, (8) Kurikulum hendaknya efektif
untuk mencapai tingkah laku dan emosi yang positif, (9) Kurikulum hendaknya
memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik, baik fisik, emosional
ataupun intelektualnya serta berbagai masalah yang dihadapi dalam tiap tingkat
perkembangan, seperti pertumbuhan bahasa, kamatangan sosial dan kesiapan
religiusitas.
Dalam beberapa penelitian terhadap pesantren, ditemukan bahwa
pesantren mempunyai kewenangan tersendiri dalam menyusun dan
mengembangkan kurikulumnya. Menurut penelitian Lukens-Bull dalam
bukunya Abdullah Aly, secara umum kurikulum pesantren dapat dibedakan
menjadi empat bentuk, yaitu; Pendidikan Agama, pengalaman dan pendidikan
moral, sekolah dan pendidikan umum, serta ketrampilan dan kursus [7, p. 184].
Pertama, Kurikulum berbentuk pendidikan Agama Islam. Di dalam
dunia pesantren, kegiatan belajar pendidikan Agama Islam lazim disebut
sebagai ngaji atau pengajian. Kegiatan ngaji di pesantren pada praktiknya
dibedakan menjadi dua tingkatan. Pada tingkatan awal ngaji sangatlah
sederhana, yaitu para santri belajar membaca teks-teks Arab, terutama sekali
adalah belajar membaca Al-Qur’an. Tingkatan ini dianggap sebagai dasar dari
pendidikan agama yang harus dikuasai oleh para santri. Tingkatan berikutnya
adalah para santri dapat memilih kitab-kitab islam klassik dan mempelajarinya
dibawah bimbingan kyai. Adapun kitab-kitab yang dijadikan bahan untuk ngaji
meliputi berbagai bidang ilmu antara lain: fiqih, aqidah atau tauhid, nahwu,
sharaf, balaghah, hadits, tasawuf, akhlak, ibadah-ibadah seperti sholat, do’a,
dan wirid. Dalam penelitian Martin Van Bruinessen, ada 900 kitab kuning di
pesantren. Hampir 500 kitab-kitab tersebut ditulis oleh ulama Asia Tenggara
dengan bahasa yang beragam; bahasa Arab, Melayu, Jawa, Sunda, Madura,
Indonesia, dan Aceh [8, p. 134].
Kitab kuning dalam dunia pesantren mempunyai posisi yang signifikan
selain dari kharisma kyai itu sendiri. Dan kitab kuning itu sendiri dijadikan
referensi dan buku pegangan dalam tiap-tiap pesantren, dan kurikulum sebagai
sistem pendidikan dalam sebuah pesantren tersebut.
Kedua, Kurikulum berbentuk pengalaman dan pendidikan moral.
Kegiatan keagamaan yang paling terkenal di dunia pesantren adalah kesalehan
dan komitmen para santri terhadap lima rukun Islam. Kegiatan-kegiatan
tersebut diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran para santri untuk
mengamalkan nilai-nilai moral yang di ajarkan atau dicontohkan oleh para
194 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
Kyai dan ustadznya pada saat ngaji di pesantren, untuk diterapkan di
masyarakat ketika sudah lulus dari pesantren. Adapun nilai-nilai moral yang
ditekankan di pesantren adalah persaudaraan Islam, keikhlasan, dan
kesederhanaan.
Ketiga, Kurikulum berbentuk sekolah dan pendidikan umum. Pesantren
memberlakukan kurikulum sekolah mengacu kepada Pendidikan Nasional yang
dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan kurikulum Madrasah
mengacu kepada pendidikan Agama yang diberlakukan oleh Departemen
Agama.
Keempat, Kurikulum berbentuk ketrampilan dan kursus. Pesantren
memberlakukan kurikulum yang berbentuk ketrampilan dan kursus secara
terencana dan terprogram melalui kegiatan ekstrakulikuler. Adapun kursus
yang populer di pesantren adalah bahasa inggris, computer, sablon, pertanian,
peternakan, teknik dan lain sebagainya. Kurikulum seperti ini diberlakukan di
pesantren karena mempunyai dua alasan, yaitu alasan politis dan promosi. Dari
segi politis, pesantren yang memberikan pendidikan ketrampilan dan kursus
kepada para santrinya berarti merespon seruan pemerintah untuk peningkatan
kemampuan sumber daya manusia (SDM). Hal ini berarti hubungan antara
pesantren dengan pemerintah cukup harmonis. Sementara itu dari segi promosi
terjadi peningkatan jumlah santri yang memiliki pesantren-pesantren modern
dan terpadu, dengan alasan adanya pendidikan ketrampilan dan kursus di
dalamnya.
Sedangkan M. Ridwan Nasir memberikan gambaran mengenai tingkat
ke-anekaragaman pranata sesuai dengan spektrum komponen serta
pengembangan suatu pesantren. Yang diklasifikasikan menjadi lima bagian,
yaitu;
a) Pondok pesantren salaf/klasik; yaitu pondok pesantren yang di dalamnya
terdapat sistem pendidikan salaf (weton, sorogan, bandongan) dan sistem
klasikal (madrasah) salaf.
b) Pondok pesantren semi berkembang; yaitu pondok pesantren yang
didalamnya terdapat sistem pendidikan salaf (weton, sorogan, bandongan)
dan sistem klasikal (madrasah) swasta dengan kurikulum 90% agama dan
10% umum.
c) Pondok pesantren berkembang; yaitu pondok pesantren seperti semi
berkembang, hanya saja sudah lebih bervariasi dalam bidang
kurikulumnya, yakni 70% agama dan 30% umum. Disamping itu juga
diselenggarakan madrasah SKB tiga menteri dengan penambahan diniyah.
d) Pondok pesantren khalaf/modern; yaitu seperti pondok pesantren
berkembang, hanya saja sudah lebih lengkap lembaga pendidikan yang ada
di dalamya, antara lain diselenggarakan sistem sekolah umum dengan
penambahan diniyah (praktek membaca kitab salaf), perguruan tinggi (baik
umum, maupun agama), bentuk koperasi dan dilengkapi dengan takhassus
(bahasa Arab dan bahasa Inggris).
e) Pondok pesantren Ideal; yaitu sebagaimana bentuk pondok pesantren
modern hanya saja lembaga pendidikan yang ada lebih lengkap, terutama
bidang ketrampilan yang meliputi pertanian, teknik, perikanan,
perbankankan, dan benar-benar memperhatikan kualitasnya dengan tidak
menggeser ciri khusus kepesantrenannya yang masih relevan dengan
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Pesantren, Madrasah dan Sekolah I 195
kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Dengan adanya bentuk
tersebut diharapkan alumni pondok pesantren benar-benar berpredikat
khalifah fil ardhi[9, pp. 87–88].
Dalam perkembanganya pesantren tidak semata-mata tumbuh atas pola
lama yang bersifat tradisional dengan hanya menggunakan pola sorogan dan
bandongan. Binti Ma’unah menyatakan, dalam perkembanganya ada tiga
sistem pembelajaran yang dikembangkan di pesantren, yaitu:
a) Sistem klasikal
Pola penerapan sistem klasikal adalah dengan pembentukan kelas-
kelas dan tingkatan, kluster pembelajaran yang disesuaikan seperti pada
sekolah dalam pendidikan formal. Dalam banyak pesantren pola ini sudah
banyak di gunakan, di madrasah diniyah atau kegiatan dalam pesantren
sebagai pengelompokan pembelajaran yang didasarkan atas kemampuan
dan pemahaman selama di pesantren tersebut.
b) Sistem kursus (tahassus)
Pengajaran sistem kursus ini mengarah kepada terbentuknya santri-
santri yang mandiri dalam menopang ilmu-ilmu agama yang mereka terima
dari Kyai melalui pengajaran sorogan dan bandongan. Sebab pada
umumnya para santri diharapkan tidak tergantung kepada pekerjaan di
masa mendatang, melainkan harus mampu menciptakan pekerjaan sesuai
dengan kemampuan mereka.
c) Sistem pelatihan
Pola pelatihan ini dikembangkan untuk menumbuh kembangkan
kemampuan praktis seperti pelatihan, pertukangan, perkebunan, perikanan,
manajemen koperasi dan kerajinan-kerajinan yang mendukung terciptanya
kemandirian integratif. Dalam banyak pesantren sudah banyak digodok
(diusahakan dan di didik pengalaman dan pembelajaranya secara intensif)
agar para santrinya mempunyai kemampuan entrepreneur. Hal ini erat
kaitanya dengan kemampuan yang lain yang cenderung melahirkan santri
yang intelek dan ulama yang mumpuni [10, p. 185].
B. Pengembangan Kurikulum Madrasah
Madrasah, disamping masjid dan pesantren merupakan salah satu jenis
lembaga Pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, meskipun sifatnya
menganut pemahaman agama yang konservatif tetapi keberadaan madrasah
dan pesantren selalu dinamis ditengah pergulatan global, membuat banyak
orang tertarik untuk mengkaji pesantren dan madrasah. Dinamisasi tersebut
termasuk dengan fleksibilitas madrasah dalam menyerap kepentingan
pemerintah melalui penyetaraan program pendidikan madrasah dengan sekolah
umum dengan memasukkan muatan disiplin ilmu umum yang sebelumnya
tidak diajarkan baik di pesantren maupun madrasah.
Sebenaranya Madrasah adalah kata dalam bahasa Arab untuk sekolah,
artinya tempat belajar. Istilah madrasah di tanah Arab ditujukan untuk semua
sekolah secara umum, namun di Indonesia madrasah ditujukan untuk sekolah-
sekolah Islam yang mata pelajaran dasarnya adalah mata pelajaran agama
Islam. Lahirnya lembaga ini merupakan kelanjutan dari sistem dunia pesantren
yang di dalamnya terdapat unsur-unsur dalam dunia pesantren. Lahirnya
lembaga ini merupakan kelanjutan sistem pendidikan pesantren gaya lama,
196 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
yang dimodifikasi menurut model penyelenggaraan sekolah-sekolah umum
dengan sistem klasikal. disamping memberikan pengetahuan agama, diberikan
juga pengetahuan umum.
Karena pengaruh politik penjajah Belanda, sekolah dan madrasah
dipandang sebagai dua bentuk lembaga pendidikan yang berbeda, secara
dikotomis; sekolah bersifat sekuler dan madrasah bersifat Islami. Hal inilah
yang menyebabkan ketika awal kemerdekaan, perkembangan madrasah di
Indonesia mengalami konflik yaitu disatu pihak pemerintah ingin
menjadikannya sebagai lembaga pendidikan nasional dengan memberikan
muatan non-keagamaan, dan dilain pihak madrasah merasa khawatir akan
fungsi pendidikan keagamaannya jika madrasah dimasukkan kedalam jajaran
Pendidikan Nasional.
Dalam upaya memperbaiki dikotomi antara madrasah dan sekolah dan
untuk meningkatkan kualitas kurikulum pendidikan madrasah, Malik Fajar
selaku menteri Agama memantapkan eksistensi madrasah dengan memenuhi
tiga tuntutan minimal dalam peningkatan kualitas madrasah, yaitu;
1) Menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh dan praktik
hidup keislaman.
2) Memperkokoh keberadaan madrasah sehingga sederajat dengan sistem
sekolah.
3) Madrasah harus mampu merespon tuntutan masa depan guna
mengantisipasi perkembangan iptek dan era globalisasi.
Madrasah merupakan wahana untuk membina ruh dan praktik hidup
keislaman, terutama dalam mengantisipasi peradaban global, adalah
merupakan yang selalu aktual. Hanya saja masalah aktual atau tidaknya
tergantung pada penanggung jawab, pengelola dan pembina madrasah dalam
memahami, menjabarkan, dan mengaktualisasikan makna menjadikan
madrasah sebagai wahana untuk membina ruh dan praktik hidup keislaman itu
sendiri, yang tidak hanya bersifat simbolis, tetapi sampai pada dimensi
subtansinya. Melalui pemahaman semacam itu diharapkan madrasah dapat
melahirkan lulusan yang memahami dan bahkan menguasai iptek, terampil dan
sekaligus siap hidup dan bekerja di masyarakat dalam pancaran dan kendali
ajaran dan nilai-nilai Islam.
Salah satu bentuk upaya dalam mewujudkan hal tersebut adalah,
pengembangan kurikulum madrasah secara terpadu, dengan menjadikan ajaran
dan nilai-nilai Islam sebagai petunjuk dan sumber konsultansi bagi
pengembangan berbagai mata pelajaran umum, yang operasionalnya dapat
dikembangkan dengan cara mengimplisitkan ajaran dan nilai-nilai Islam
kedalam bidang studi IPS, IPA dan sebagainya, sehingga kesan dikotomis tidak
terjadi. Model pembelajaran bisa dilaksanakan melalui team teaching, yakni
guru bidang IPS, IPA atau lainnya bekerja sama dengan guru pendidikan
agama Islam untuk menyusun desain pembelajaran secara konkret dan detail,
untuk di implementasikan dalam kegiatan pembelajaran. Hal tersebut juga
diamini oleh Majid, ia mengatakan dengan melihat masa depan yang penuh
dengan tantangan sudah barang tentu tidak bisa menyesuaikan permasalahan
jika pendidikan Islam tersebut masih terkait dengan dikotomi. Berkenaan
dengan itu perlu diprogramkan upaya pencapaiannya, mobilisasi pendidikan
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Pesantren, Madrasah dan Sekolah I 197
Islam tersebut, dengan melakukan rancangan kurikulum, baik merancang
keterkaitan ilmu agama dan umum maupun merancang nilai-nilai Islami pada
setiap pelajaran; personifikasi pendidik di lembaga pendidikan sekolah Islam,
sangat dituntut memiliki jiwa keislaman yang tinggi, dan lembaga pendidikan
Islam dapat merelisasikan konsep kerikulum pendidikan Islam seutuhnya [11,
p. 50].
Kurikulum PAI di madrasah bertujuan untuk mengantarkan peserta didik
menjadi manusia unggul dalam beriman dan bertakwa, berakhlak mulia,
berkepribadian, menganalisa ilmu pengetahuan dan teknologi serta mampu
mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Kurikulum madrasah secara garis besar, mata pelajaran Agama dibagi
ke dalam beberapa sub mata pelajaran, yaitu Al-Qur’an-Hadist, Akidah-
Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), dan ditambah dengan
pelajaran Bahasa Arab, mulai Madrasah Ibtida’iyyah (MI) hingga Madrasah
Aliyah (MA), sehingga porsi mata pelajaran pendidikan Agama Islam lebih
banyak. Sementara di sekolah yang notabene non-madrasah, mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam hanya satu, dan porsinya hanya dua sampai empat
jam dalam seminggu. Namun demikian di dalamnya pada dasarnya juga
meliputi Al-Qur’an dan Hadits, keimanan (akidah), akhlak, ibadah-syari’ah-
mu’amalah (fikih), dan sejarah kebudayaan Islam [1, p. 200].
Komponen-komponen yang terkait dalam kurikulum PAI
dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) Kelompok komponen-komponen
dasar, yaitu konsep dasar filosofis dalam mengembangkan kurikulum PAI yang
pada gilirannya akan berpengaruh terhadap tujuan PAI tersebut, (2) Kelompok
komponen-komponen pelaksana, yaitu mencakup materi pendidikan, sistem
pendidikan, proses pelaksanaan dan pemanfaatan lingkungan, (3) Kelompok-
kelompok pelaksana dan pendukung kurikulum, yaitu komponen pendidik,
peserta didik dan konseling, (4) Kelompok usaha-usaha pengembangan yang
ditujukan dengan adannya evaluasi dan inovasi kurikulum, adanya perencanaan
jangka pendek, menengah dan jangka panjang, terjalinnya kerja sama dengan
lembaga-lembaga lain untuk pengembangan kurikulum tersebut.
Dalam pengembangan kurikulum PAI di madrasah, terdapat sepuluh
prinsip antara lain:
1) Prinsip peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti luhur dan nilai-
nilai budaya.
2) Prinsip keyakinan dan nilai-nilai yang dianut masyarakat berpengaruh pada
sikap dan arti kehidupannnya. Keimanan dan ketakwaan, budi pekerti luhur
dan nilai-nilai budaya perlu digali, dipahami dan diamalkan oleh peserta
didik dalam kehidupan sehari-hari.
3) Prinsip berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan
peserta didik serta tuntutan lingkungan. Hal ini dimaksudkan agar peserta
didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis dan tanggung jawab.
4) Prinsip keseimbangan antara etika, logika, estetika dan kinestetika.
Kurikulum hendaknya menaruh perhatian terhadap siswa agar mampu
menjaga keseimbangan dalam proses dan pengalaman belajar yang meliputi
198 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
etika, logika, estetika dan kinestetika, sehingga siswa akan menjadi
seseorang yang terhormat, cerdas, rasional dan unggul.
5) Prinsip penguatan integritas nasional. Prinsip ini dimaksudkan untuk
menanamkan kesadaran bahwa Indonesia adalah negara majemuk, tetapi
keanekaragaman itu tidak boleh membuat perpecahan, karena meskipun
berbeda tetapi tetap satu jua, sebagaimana semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Keenam adalah prinsip prinsip pengetahuan dan teknologi informasi.
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan
dan teknologi terus berkembang, sehingga kurikulum mendorong siswa
untuk mampu mengikuti dan memanfaatkan secara tepat ilmu pengetahuan
dan teknologi tersebut agar siswa memiliki kemampuan untuk berpikir dan
belajar dengan baik.
6) Prinsip pengembangan keterampilan hidup. Prinsip ini mengembangkan
empat keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik yang
sesuai dengan kebutuhan di lingkungan sekitarnya, yaitu keterampilan diri
(personal skill), keterampilan berpikir rasional (thinking skills),
keterampilan akademik (academic skills) dan keterampilan vokasional
(vocational skills). Dengan keterampilan tersebut, setelah siwa tersebut
lulus sekolah, dapat mempertahankan hidupnya sesuai dengan pilihan
masingmasing individu.
7) Prinsip pilar pendidikan, yang dijadikan prinsip pengembangan kurikulum
di madrasah, yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan
learning to live together.
8) Prinsip kontinyuitas atau berkesinambungan. Kurikulum harus disusun
secara berkesinambungan, artinya bagian-bagian, aspek-aspek, materi dan
bahan kajian disusun secara berurutan. Oleh karena itu, pengalaman belajar
yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan antar
kelas, antar jenjang pendidikan, antara jenjang pendidikan dengan jenis
pekerjaan.
9) Prinsip belajar sepanjang hayat atau long life education. Kurikulum di
madrasah diarahkan kepada pengembangan, pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum
mencerminkan keterkaitan unsur-unsur pendidikan formal, in-formal dan
nonformal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang
selalu berkembang.
Adapun landasan pengembangan kurikulum PAI di madrasah pada
hakikatnya adalah faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan
oleh para pengembang kurikulum ketika hendak mengembangkan atau
merencanakan suatu kurikulum lembaga pendidikan. Antara lain: Pertama
adalah landasan Agama. Dalam mengembangkan kurikulum, sebaiknya
berlandaskan pada Pancasila terutama sila pertama. Di Indonesia menyatakan
bahwa kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan YME sesuai dengan agama
dan kepercayaannya masing-masing individu. Dalam kehidupan,
dikembangkan sikap saling menghormati dan bekerjasama antara pemeluk-
pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda,
sehingga dapat terbina kehidupan yang rukun dan damai.
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Pesantren, Madrasah dan Sekolah I 199
Kedua adalah landasan filsafat. Filsafat pendidikan dipengaruhi oleh dua
hal pokok, yaitu cita-cita masyarakat dan kebutuhan peserta didik yang hidup
di masyarakat. Filsafat adalah cinta pada kebijaksanaan (love of wisdom). Agar
seseorang dapat berbuat bijak, maka harus berpengetahuan, sedangkan
pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir secara sistematis, logis
dan mendalam. Filsafat dipandang sebagai induk segala ilmu karena filsafat
mencakup keseluruhan pengetahuan manusia, yaitu meliputi metafisika,
epistimologi, aksiologi, etika, estetika dan logika.
Ketiga adalah landasan psikologi belajar. Kurikulum belajar menyajikan
beberapa teori belajar yang masing-masing menelaah proses mental dan
intelektual perbuatan belajar. Kurikulum yang dikembangkan sebaiknya selaras
dengan proses belajar yang dilakukan oleh siswa sehingga proses belajarnya
terarah dengan baik dan tepat.
Keempat adalah landasan sosio-budaya. Nilai sosial-budaya dalam
masyarakat bersumber dari hasil karya akal budi manusia, sehingga dalam
menerima, menyebar luaskan dan melestarikannya, manusia menggunakan
akalnya. Setiap masyarakat memiliki adat istiadat, aturan-aturan dan cita-cita
yang ingin dicapai dan dikembangkan. Dengan adanya kurikulum di madrasah,
diharapkan pendidikan dapat memperhatikan dan merespon hal-hal tersebut.
Kelima adalah landasan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendidikan merupakan suatu usaha penyiapan peserta didik untuk menghadapi
lingkungan hidup yang mengalami perubahan pesat dan terus berkembang.
Dengan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi, setelah siswa lulus, diharapkan
dapat menyesuaikan diri di lingkungannya dengan baik.
Menurut SKB 3 Menteri yang diterbitkan pada 24 Maret 1975, yang
dimaksud dengan madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata
pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan
sekurangkurangnya 30% di samping mata pelajaran umum. Sementara itu
madrasah mencakup tiga tingkatan, yaitu Madrasah Ibtidaiyah setingkat
dengan SD, Madrasah Tsanawiyah setingkat SMP dan Madrasah Aliyah
setingkat SMA.
Langkah-langkah pokok dalam pengembangan kurikulum madrasah
meliputi empat langkah, yaitu (1) perumusan tujuan-tujuan institusional, (2)
penentuan struktur program kurikulum, (3) penyusunan garis-garis besar
program pengajaran, masing-masing dari setiap bidang studi, perumusan
tujuan-tujuan instruksional dan identifikasi pokok-pokok bahan yang dijadikan
program pengajaran, (4) penyusunan dan penggunaan satuan pelajaran,
program penilaian, program bimbingan dan penyuluhan, program administrasi
serta supervisi.
Langkah-langkah tersebut di atas telah mendasari sifat-sifat dalam
rangka pengembangan dan pembaharuan pendidikan yang selaras dan sesuai
dengan sistem pendidikan nasional. Masalah-masalah pokok yang dihadapi
dalam pengembangan dan pembinaan kurikulum madrasah secara nasional
agar madrasah dapat menjalankan SKB dan mencapai cita-cita agama Islam
dalam pembentukan insan yang berkepribadian muslim, yang antara lain perlu
diperhatikan adalah tentang ragam bidang studi yang akan disampaikan di
dalam suatu madrasah.
200 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
Dalam penyusunan kurikulum madrasah berdasarkan SKB tersebut,
digunakan dua macam cara atau strategi, yaitu strategi umum dan strategi
khusus. Pada strategi umum, gagasan pokok ini dijadikan dasar dalam
pengembangan dan pembaharuan kurikulum, yaitu lulusan harus menjadi
seorang muslim warga negara yang baik, sanggup menyesuaikan diri di dalam
masyarakat, bertanggung jawab, memiliki keterampilan, kemampuan,
pengetahuan umum agar anak didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Hal ini merupakan salah satu yang dapat menunjukkan ciri khas antara warga
negara yang memperoleh pendidikan di madrasah. Gagasan pokok tersebut
membawa akibat adanya klasifikasi aspek-aspek pada pendidikan di madrasah,
yaitu aspek-aspek pendidikan dasar atau umum yang dimaksudkan untuk
membina sebagai muslim warga negara yang baik, sesuai dengan pedoman dan
pengamalan Pancasila, serta agar memiliki kecakapan, keterampilan,
pengetahuan dan kemampuan sesuai dengan tingkat pendidikanya. Kedua
adalah aspek-aspek pendidikan khusus yang dimaksudkan agar siswa sebagai
muslim warga negara yang baik, bertakwa kepada Allah Swt dan mengamalkan
ajaran agamanya secara teguh agar tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pada strategi khusus, kondisi ini didasari pikiran bahwa sebagai
konsekuensi dari pembinaan sistem pendidikan nasional dan pelaksanaan SKB
serta tuntunan kualifikasi dari lulusan madrasah dalam rangka peningkatan
mutu, diperlukan pembinaan sarana dan perlengkapan, termasuk di antaranya
struktur kurikulum dan tenaga pengajar sebagai personel pelaksanaannya.
Kurikulum madrasah perlu diorientasikan kepada kepentingan pembinaan dan
pengembangan manusia Indonesia seutuhnya.
Realisasi SKB ini mendorong Departemen Agama pada tahun 1976
mengeluarkan kurikulum sebagai standar untuk dijadikan acuan oleh madrasah,
baik untuk MI, MTs maupun MA. Kurikulum yang dikeluarkan tersebut juga
dilengkapi dengan pedoman dan aturan penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran pada madrasah, sesuai dengan aturan yang berlaku pada sekolah-
sekolahan umum. Termasuk juga deskripsi berbagai kegiatan dan metode
penyampaian program untuk setiap bidang studi, baik untuk bidang studi
agama maupun bidang studi pengetahuan umum.
Pemberlakuan kurikulum standar yang menjadi acuan ini berarti telah
terjadi keseragaman madrasah dalam bidang studi agama, baik kualitas
maupun kuantitasnya, kemudian adanya pengakuan persamaan yang
sepenuhnya antara madrasah dengan sekolah-sekolah umum yang sederajat,
sheingga madrasah akan mampu berperan sebagai lembaga pendidikan yang
memenuhi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mampu berpacu
dengan sekolah-sekolah umum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan
nasional. Fakta ini terjadi karena di dalam SKB juga menetapkan bahwa ijasah
madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijasah sekolah umum yang
setingkat. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat
lebih atas dan siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang
setingkat.
Pengelolaan madrasah dan pembinaan pendidikan agama menurut SKB
ini dilakukan oleh Menteri Agama, sedangkan pembinaan dan pengawasan
mata pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, bersamasama Mentri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Pesantren, Madrasah dan Sekolah I 201
Penerbitan SKB tersebut bukan berarti beban yang dipikul madrasah akan
bertambah ringan, akan tetapi justeru sebaliknya menjadi semakin berat. Di
satu pihak madrasah dituntut mampu memperbaiki mutu pendidikan umum
sehingga setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah umum, di lain pihak
madrasah harus tetap menjaga agar mutu pendidikan agama tetap baik, sebagai
ciri khususnya. Kondisi ini mengharuskan diadakannya peninjauan kembali
terhadap kurikulum yang berlaku, materi pelajaran, sistem evaluasi dan
peningkatan mutu pengajaran melalui penataran. Secara kuantitatif alokasi
waktu nominal yang disediakan pada sekolahan umum sejalan dan sejiwa
dengan isi dari SKB. Sehingga fakta ini menyebabkan Departemen Agama
tidak perlu menyusun sendiri kurikulum mata pelajaran umum untuk madrasah,
tetapi dapat menggunakan kurikulum dan materi pelajaran umum yang sudah
diberlakukan di sekolah umum.
Dalam UU Sisdiknas dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga
salah satu bidang studi yang harus dipelajari oleh peserta didik di madrasah
adalah pendidikan agama Islam, yang dimaksudkan untuk membentuk peserta
didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME serta
berakhlak mulia. Bidang studi PAI di madrasah terdiri atas empat, yaitu al-
Qur’an-Hadits, Aqidah-Akhlak, Fiqh dan Sejarah Kebudayaan Islam (Tarikh).
Di tingkat MI, al-Qur’an-Hadits adalah mata pelajaran PAI yang
menekankan kepada kemampuan membaca dan menulis al-Qur’an dan Hadits
dengan benar serta hafalan terhadap surat-surat pendek dalam al-Qur’an,
pengenalan arti atau makna secara sederhana dari surat-surat pendek tersebut
dan hadits-hadits tentang akhlak terpuji untuk diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari melalui keteladanan dan pembiasaan. Akidah-Akhlak adalah mata
pelajaran PAI yang mempelajari tentang rukun iman yang dikaitkan dengan
pengenalan dan penghayatan terhadap Asma’ al-Husna serta penciptaan
suasana keteladanan dan pembiasaan dalam mengamalkan akhlak terpuji dan
adab Islami melalui pemberian contoh-contoh perilaku dan cara
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Fiqih di MI merupakan mata pelajaran PAI yang mempelajari tentang
hukum ibadah, terutama menyangkut pengenalan dan pemahaman tentang
cara-cara pelaksanaan rukun Islam dan pembiasaannya dalam kehidupan
sehari-hari, serta fiqh muamalah yang menyangkut pengenalan dan
pemahaman sederhana mengenai ketentuan tentang makanan dan minuman
yang halal dan haram, khitan, qurban serta tata cara pelaksanaan jual beli dan
pinjam meminjam. Sedangkan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) adalah mata
pelajaran PAI yang mengkaji tentang asal-usul, perkembangan, peranan
kebudayaan atau peradaban Islam dan para tokoh yang berprestasi dalam
sejarah Islam di masa lampau, mulai dari sejarah masyarakat Arab pra-Islam,
sejarah kelahiran dan kerasulan Nabi Muhammad Saw sampai masa Khulafa’
al-Rasyidin.
Pada tingkat MTs, al-Qur’an-Hadits merupakan kelanjutan dan
kesinambungan dengan mata pelajaran al-Qur’an-Hadits pada jenjang MI dan
MA, terutama pada penekanan kemampuan membaca al-Qur’an-Hadits,
pemahaman surat-surat pendek dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-
202 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
hari. Akidah-Akhlak adalah mata pelajaran PAI yang merupakan peningkatan
dari akidah dan akhlak yang telah dipelajari peserta didik di MI. Peningkatan
tersebut dilakukan dengan cara mempelajari tentang rukun iman mulai dari
iman kepada Allah Swt, para Malaikat-Nya, kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya,
hari akhir sampai iman kepada Qadha’ dan Qadar yang dibuktikan dengan
dalil-dalil naqli dan aqli serta pemahaman dan penghayatan terhadap Asma’ al-
Husna dengan tanda-tanda perilaku seseorang dalam realitas kehidupan
individu dan sosial serta pengamalan akhlak terpuji dan menghindari akhlak
tercela dalam kehidupan sehari-hari.
Fikih, di tingkat MTs, adalah mata pelajaran yang memahami tentang
pokok-pokok hukum Islam dan tata cara pelaksanaannya untuk diaplikasikan
dalam kehidupan sehingga menjadi muslim yang selalu taat menjalankan
syariat Islam secara kaffah (sempurna). SKI adalah mata pelajaran yang
menelaah tentang asal-usul, perkembangan, peranan peradaban Islam dan para
tokoh yang berprestasi dalam sejarah Islam di masa lampau, mulai dari
perkembangan masyarakat Islam pada masa Nabi Muhammad Saw dan
Khulafa’ al-Rasyidin, Bani ummayah, Bani Abbasiyah, Bani Ayyubiyah
sampai perkembangan Islam di Indonesia.
Pada tingkat MA, al-Qur’an Hadits adalah salah satu mata pelajaran PAI
yang merupakan peningkatan dari al-Qur’an Hadits yang telah dipelajari oleh
peserta didik di MTs/SMP. Akidah-Akhlak adalah salah satu mata pelajaran
PAI yang merupakan peningkatan dari akidah dan akhlak yang telah dipelajari
oleh peserta didik di MTs/SMP. Fikih adalah mata pelajaran PAI yang
merupakan peningkatan dari fikih yang telah dipelajari oleh peserta didik di
MTs/SMP. SKI merupakan mata pelajaran yang menelaah tentang asal-usul,
perkembangan, peranan kebudayaan dan peradaban Islam di masa lampau,
mulai dari dakwah Nabi Muhammad Saw pada periode Mekkah dan Madinah,
kepemimpinan umat setelah Nabi Saw wafat, sampai perkembangan Islam
periode klasik (650- 1250 M), abad pertengahan (1250–1800 M) dan masa
modern (1800- sekarang) serta perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia.
Pengembangan institusional madrasah yang di lakukan oleh Kementrian
Agama sekarang ini sudah dilakukan banyak eksperimen mengenai
pengembangan institusional madrasah, salah satunya yang digagas adalah
madrasah Model yang di prakarsai oleh Kementrian Agama. Madrasah model
dimaksudkan untuk membangun percontohan kepada madrasah sekitar yang
selama ini merupakan madrasah swasta, sebagai penjamin mutu madrasah
swasta di sekitar peningkatan mutu madrasah akan di bentuk cluster-cluster
madrasah, yang dalam kelompok tersebut akan dipimpin oleh satu madrasah
negeri (MI, MTs, dan MA) model yang akan memimpin pembangunan
madrasah disekitarnya.
Untuk menjalankan fungsinya tersebut sebagai model madrasah akan
dilengkapi fasilitas-fasilitas pendidikan, seperti perpustakaan, laboratorium
IPA, laboratorium bahasa Arab/Inggris, laboratorium computer, bahan-bahan
pelajaran seperti teks penunjang, buku pustaka, alat peraga, dan lain
sebagainya. Dalam hal personil akan dipersiapkan guru bergelar master
sedikitnya satu orang untuk setiap mata pelajaran, guru kelas, atau guru mata
pelajaran yang terlatih di dalam maupun di luar negeri, perpustakaan, teknisi
lab, dan staff lainya yang memenuhi syarat.
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Pesantren, Madrasah dan Sekolah I 203
C. Pengembangan Kurikulum Sekolah
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di sekolah, dalam hal ini adalah
sekolah umum, terdiri atas beberapa aspek, yaitu aspek Al-Qur’an-Hadits,
keimanan atau aqidah, akhlak, fiqih dan aspek tarikh (sejarah Islam). Meskipun
masing-masing aspek di atas dalam prakteknya saling mengaitkan atau terkait
serta saling mengisi dan melengkapi, tetapi jika dilihat secara teoritis, masing-
masing memiliki karakteristik tersendiri [12, p. 45].
Aspek Al-Qur’an-Hadits menekankan kepada kemampuan baca tulis
yang baik dan benar, memahami makna secara tekstual serta mengamalkan
kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Aspek Aqidah menekankan
kepada kemampuan memahami dan mempertahankan keyakinan atau
keimanan yang benar serta menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Asma’ul
Husna. Aspek Akhlak menekankan kepada pembiasaan untuk melaksanakan
akhlak terpuji dan menjauhi akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari. Aspek
Fiqih menekankan pada kemampuan cara melaksanakan ibadah dan muamalah
yang benar dan baik. Sedangkan aspek Tarikh menekankan pada mengambil
‘ibrah (hikmah) dari peristiwa-peristiwa bersejarah dalam masyarakat Islam,
meneladani tokoh-tokoh berprestasi dan mengaitkannya dengan fenomena-
fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, iptek dan lain-lain untuk
mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.
Dalam tataran di lapangan, menurut Hasbi Ashi-Shidiqi, aspek kajian
PAI meliputi, (1) Tarbiyah Jismiyah, yaitu segala rupa pendidikan yang
wujudnya menyuburkan dan menyehatkan tubuh serta menegakkannya, supaya
dapat merintangi kesukaran yang dihadapi dalam pengalamannya, (2) Tarbiyah
‘Aqliyah, yaitu sebagaimana rupa pendidikan dan pelajaran yang akibatnya
mencerdaskan akal dan menajamkan akal, (3) Tarbiyah Adabiyah, yaitu segala
rupa praktek maupun berupa teori yang wujudnya meningkatkan budi dan
meningkatkan perangai [13, p. 138].
Aspek-aspek pendidikan dalam sejarah Indonesia telah mengalami
berbagai perubahan dan perbaikan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan (policy)
yang pernah diberlakukan dari satu pemerintah ke pemerintahan selanjutnya.
Demikian juga pendidikan Islam mendapat efek dari perubahan kebijakan
tersebut. Sehingga dalam kurikulum seperti yang telah dikemukakan di depan,
mengalami berbagai perubahan baik itu dari masa Orde Lama, Orde Baru dan
Orde Reformasi.
Berdasarkan berbagai fakta tersebut, dapat dilihat corak model
pengembangan kurikulum PAI yang pernah berkembang seperti berikut:
1) Model Dikotomi
Model ini memandang aspek kehidupan dengan sangat sederhana dan
kata kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari
dua sisi yang berlawanan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan non-
agama. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam
memandang kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani,
sehingga kehidupan agama Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan
akhirat saja. Seksi yang mengurusi masalah keagamaan disebut sebagai
seksi kerohanian. Dengan demikian, pendidikan agama dihadapkan dengan
pendidikan non-agama, pendidikan keislaman dan seterusnya.
204 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
Menurut Azyumardi Azra, pemahaman semacam ini muncul ketika
umat Islam di Indonesia mengalami penjajahan yang sangat panjang,
sehingga umat Islam mengalami keterbelakangan dan disintregrasi dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perbenturan umat Islam dengan pola
pendidikan dan kemajuan Barat memunculkan kaum intelektual baru yang
disebut dengan cendekiawan sekuler. Kaum intelektual ini memperoleh
pendidikan versi Barat, sehingga dalam proses pendidikan mereka menjadi
teralienasi atau terasing dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
Pandangan dikotomis ini memiliki implikasi terhadap pengembangan
PAI yang lebih berorientasi kepada keakhiratan, sedangkan masalah dunia
dianggap tidak penting. Sehingga menekankan pada pendalaman ’ulum al-
diniyah, yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat,
sementara sains atau ilmu umum dianggap terpisah dengan agama.
Demikian pula pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan
yang normatif, doktriner dan absolut.
2) Model Mekanisme
Model mekanisme ini memandang kehidupan terdiri atas berbagai
aspek dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan
seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan
menurut fungsinya. Hal ini sebagaimana sebuah fungsi yang terdiri atas
beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing
melaksanakan fungsinya sendiri-sendiri dan antara satu dengan lainnya bisa
saling berkonsultasi. Secara sederhana dapat dipahami bahwa aspek-aspek
atau nilai-nilai itu sendiri terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial,
nilai politik, nilai ekonomi dan lain sebagainya. Dengan demikian, aspek
atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari
aspek-aspek kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai-nilai agama dengan
nilai-nilai lainnya bersifat lateral sekuensial, yang berarti di antara masing-
masing mata pelajaran tersebut memiliki relasi sederajat yang bisa saling
berkonsultasi. Model ini dapat dikembangkan pada sekolah umum sebagai
upaya pembentukan kepribadian religius. Dalam implikasinya di lapangan
sangat tergantung pada kemauan, kemampuan atau political will dari para
pemimpin sekolah, terutama dalam membangun hubungan kerja sama
dengan mata pelajaran lainnya.
Model ini dapat diaplikasikan melalui pengintregasian imtak dengan
mata materi pelajaran lainnya, yaitu dengan upaya mengintregasikan konsep
atau ajaran agama ke dalam materi yang sedang dipelajari oleh peserta didik
atau diajarkan oleh guru. Hal ini bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu (1)
pengintregasian secara filosofis, yaitu jika tujuan fungsional mata pelajaran
umum sama saja dengan tujuan fungsional mata pelajaran agama, (2)
pengintregasian dilakukan jika konsep agama saling mendukung dengan
konsep pengetahuan umum.
3) Model Organisme atau Sistematik
Meminjam istilah dalam ilmu biologi, bahwa organisme dapat
diartikan sebagai susunan yang bersistem dari berbagai jasad hidup untuk
suatu tujuan. Dalam konteks pendidikan Islam, model organisme bertolak
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Pesantren, Madrasah dan Sekolah I 205
dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan merupakan suatu sistem yang
terdiri atas komponen-komponen bersama dan bekerja sama secara terpadu
menuju tujuan tertentu, yaitu perwujudan hidup yang religius atau dijiwai
oleh ajaran dan nilai-nilai agama Islam.
Pandangan semacam itu menggaris bawahi tentang urgensi kerangka
pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines value yang tertuang
dan terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber pokok. Ajaran
dan nilai didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara
aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang
memiliki hubunganhubungan vertical linier dengan nilai-nilai Agama.
Melalui upaya-upaya seperti itu, maka sistem pendidikan Islam diharapkan
mampu mengintregasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama
dan etik serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan
menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kematangan
profesional dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.
Melalui upaya tersebut peserta didik dibawa ke pengenalan terhadap
nilai-nilai agama secara kognitif, penghayatan nilai-nilai agama secara
efektif dan akhirnya penghayatan nilai-nilai agama secara nyata. Menurut
istilah pedagogic, kenyataan ini disebut dari gnosis sampai ke praksis.
Untuk sampai ke praksis, ada peristiwa batin yang amat penting dan harus
terjadi pada diri peserta didik, yaitu munculnya keinginan yang sangat kuat
(tekad) untuk mengamalkan nilai-nilai agama. Peristiwa ini disebut conatio
dan langkah untuk membimbing peserta didik membulatkan tekad ini
disebut dengan konatif.
5. Kesimpulan Kurikulum pendidikan di pesantren diklasifikasikan menjadi empat, yaitu
pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan
kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang
juga memiliki sekolah umum, pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu
pengetahuan agama dalam bentuk madrasah diniyah, pesantren yang hanya sekedar
menjadi tempat pengajian, dan terakhir adalah pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu
pengetahuan umum, meski tidak menerapkan kurikulum nasional. Meskipun
demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak mencabut pesantren dari akar
kulturnya. Secara umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi lembaga
pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fi
addin) dan nilai-nilai islam (Islamic values), lembaga keagamaan yang melakukan
kontrol sosial, lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social
engineering).
Madrasah merupakan suatu lembaga pendidikan yang lebih menekankan
pada pendidikan agama. Kurikulum PAI di Madrasah memiliki suatu hal yang
lebih pokok yang memang diharapkan dan bukan hanya dalam target tujuan PAI
tapi juga sebagai pendidikan yang lahir dari agama islam diharapkan dapat
berkompetensi jasmani dan rohani, artinya berkompetensi dalam hal sikap, skill,
pengetahuan secara afektif, kognitif, psikomotorik sesuai dengan ajaran agama
Islam dalam aspek jasmani. Dan dengan adanya kurikulum madrasah diharapkan
206 I Prosiding Pascasarjana IAIN Kediri Volume 3, November 2020
menjadikan anak didik menjadi makhluk yang beriman dan bertaqwa kepada Allah
serta senantiasa mau mengamalkan apa yang telah diajarkan di dalam madrasah.
Kurikulum PAI di sekolah terdiri atas beberapa aspek, yaitu aspek Al-
Qur’an, Hadits, keimanan atau aqidah, akhlak, fiqih (hukum Islam) dan aspek
Tarikh (sejarah). Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, aspek-aspek pendidikan
Islam telah mengalami berbagai perubahan dan perbaikan. Hal ini disebabkan oleh
kebijakan (policy) yang pernah diberlakukan dari satu pemerintah ke pemerintahan
lain. Demikian juga, pendidikan Islam mendapat efek dari perubahan kebijakan
tersebut. Sehingga dalam kurikulum seperti yang telah dikemukakan di atas,
mengalami perubahan, baik itu dari masa Orde Lama, Orde Baru dan Orde
Reformasi. Sehingga dapat dilihat corak model pengembangan kurikulum PAI
yang pernah berkembang, seperti model dikotomi, model mekanisme dan model
organisme atau sistematik.
6. Daftar Referensi
[1] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam; di Sekolah,
Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012.
[2] O. Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2008.
[3] A. Dawam and A. Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren.
Yogyakarta: Lista Farista Putra, 2005.
[4] Pascasarjana, Pedoman Penulisan Tesis dan Karya Ilmiah. Kediri: IAIN
Kediri, 2019.
[5] M. Shelley and K. Krippendorff, Content Analysis: An Introduction to its
Methodology., vol. 79. 1984.
[6] Y. Yasmadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholish Madjid terhadap
Pendidikan Pesantren. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
[7] A. Aly, Pendidikan Islam Mulltikulturalisme di Pesantren; Telaah Kurikulm
Pondok Pesantren Islam Assalam Surakarta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011.
[8] M. V. Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat. Yogyakarta:
Gading Publishing, 2012.
[9] M. Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pen-didikan Ideal: Pondok
Pesantren di Tengah Arus Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
[10] B. Ma’unah, Tradisi Intelektual Santri. Yogyakarta: Teras, 2009.
[11] A. Majid, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2012.
[12] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2009.
[13] A. Majid and D. Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
top related