pengangkatan panglima tinggi militer di indonesia...
Post on 01-Apr-2019
227 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER DI INDONESIA DAN
AMERIKA SERIKAT: SEBUAH PERBANDINGAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Rifqi Razaqi Rajab
NIM : 1112048000016
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H / 2016 M
iv
ABSTRAK
RIFQI RAZAQI RAJAB. NIM 1112048000016. PENGANGKATAN
PANGLIMA TINGGI MILITER DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT:
SEBUAH PERBANDINGAN. PROGRAM STUDI Ilmu Hukum, konsentrasi
Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 1437 H/ 2016 M. xi + 53 halaman + 4 halaman Daftar Pustaka+
18 Lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana
persamaan, perbedaan, kekurangan dan kelebihan mekanisme pengangkatan panglima
tinggi militer di Indonesia dan Amerika Serikat berdasarkan hak prerogatif presiden
sistem presidensiil yang dianut kedua negara. Metode penelitian yang digunakan
dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan
komparatif (Comparative Approach). Pendekatan komparatif dilakukan dengan
membandingkan undang-undang suatu negara, dengan undang-undang dari satu atau
lebih negara lain mengenai hal yang sama. Metode penelitian normatif-empiris
mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya
pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Sumber
hukum yang digunakan penulis ada dua yaitu bahan hukum primer dan sekunder.
Hasil dari analisis dan penelitian ini mengungkap bahwa dalam implementasi
pengangkatan panglima tinggi militer di kedua negara memiliki persamaan dan
perbedaan negara sama-sama membutuhkan persetujuan lembaga legislatif, Presiden
Amerika Serikat meminta persetujuan Senat Amerika Serikat (Perwakilan Daerah),
sedangkan Presiden Indonesia meminta persetujuan DPR (Perwakilan Rakyat), serta
memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing seperti dalam masa jabatan,
wakil panglima, dan penggiliran jabatan dari setiap angkatan, yang tercantum dalam
Undang-Undang No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan The
United States Code dalam hal mekanisme pengangkatan panglima tinggi militer di
Indonesia dan Amerika Serikat. Skripsi ini diharapkan mampu memberikan manfaat
baik secara ilmiah yaitu dalam ranah kajian ilmu hukum, maupun secara praktis dan
akademis.
Kata Kunci: Panglima, Pengangkatan Panglima Tinggi Militer, Perbandingan di
Indonesia dan Amerika Serikat.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta
alam atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER DI INDONESIA
DAN AMERIKA SERIKAT: SEBUAH PERBANDINGAN” dengan lancar dan
baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kan pada baginda Nabi
Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan juga bagi kita selaku pengikut
setia beliau hingga akhir hayat.
Dan tidak lupa ucapan terima kasih dan cinta yang sedalam-dalamnya kepada
kedua orang tua tercinta ibunda Susilowati dan ayahanda Kuncoro,SH. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam
penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu penulis baik secara materiil
maupun immaterial. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Dr. Alfitra, S.H., M.Hum. Selaku dosen pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktunya dan memberikan arahan serta bimbingannya dengan
sabar kepada penulis selama ini sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan lancar.
4. Fitria., S.H., M.R. Selaku dosen pembimbing skripsi dan juga dosen
pembimbing akademik yang telah bersedia memberikan waktu dan arahan
serta masukan kepada penulis disela-sela kesibukan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar.
5. Segenap Dosen serta staff Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan ikhlas
mendidik dan membimbing penulis dari semester 1 hingga selesai penulisan
skripsi ini.
6. Kakak terhormat Yosseano Kuncahyo, S.H., M.H. dan adik-adik tercinta
Sandi Rahmat Saputra dan Rangga Kusuma Dewa yang telah memberikan
dukungan dan semangatnya serta yang telah menemani penulis sejak kecil
hingga selesainya penulisan skripsi ini.
7. Kekasih tercinta Nur Fadhillah Ramadhani Laia atas dukungan moril, cinta
dan kasih sayangnya kepada penulis selama ini dan tanpa lelah menemani
penulis sejak penyusunan skripsi hingga selesai.
vii
8. Teman-teman dan sahabat-sahabat tercinta dari Ilmu Hukum Angkatan 2012
Muhammad Yusuf, Said Agung Sedayu, Muchtar Ramadhan, Muhammad
Ansyori, Muhammad Raziv, Agasti Prior, Putri Amalia dan teman-teman
lainnya terima kasih atas kebersamaan dan keceriaan kalian selama ini.
9. Rekan-rekan di Dota 2 Clinic Eko Pambudi, M Aditya Pratama, Alnovansi
Wicaksono, Anthony Abednego, Taufan Syahputra, Mochammad Farzha,
Muhammad Fahrul, Jeremia Tamunu, Moch Rialdy Permana dan rekan-rekan
lainnya yang mensuport saya selama ini.
10. Kelompok KKN GARUDA, Fajar Sugiarto, Hafizah Oktavia, Ayu Vera,
Septidi Age, Via Syafiqa, Khairiah Fajrin dan lainnya yang telah memberikan
kesan dan persahabatan kepada penulis.
11. Sahabat-sahabat tercinta Ruwanto Syahputra, Muhammad Didi Majdi Saleh,
Ridwan Setiadi, Randi Ranata, Ajib, Mochammad Farzha, Adiransyah Latief,
Wandy Pangestu, Dwiki Maxi Rianto, Dwiko Maxi Rianto, Juli Argani,
Rheza Wiguna, Ridho Abdul Majid dan yang lainnya terima kasih atas segala
waktu, kebersamaan, dan pelajaran yang bisa penulis petik dari kalian semoga
kita sukses bersama.
12. Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis sejauh ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu, semoga senantiasa dalam perlindungan dan
keberkahan dari Allah SWT.
viii
Demikian penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang terdapat dalam penulisan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para pembaca
pada umumnya. Wassalamu’alaikumWr. Wb.
Jakarta, 28 September 2016
Penulis,
Rifqi Razaqi Rajab
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................ 6
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah ......................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 8
E. Metode Penelitian ................................................................... 9
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ...................................... 13
G. Sistematika Penulisan ............................................................ 15
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN PANGLIMA
TINGGI MILITER
A. Landasan Teori Sistem Presidensiil ........................................ 17
x
B. Landasan Teori Pemisahan Kekuasaan
(Separation of Power) ............................................................. 21
C. Landasan Teori Check and Balances ...................................... 24
D. Check and Balances dalam Pengangkatan Panglima Tinggi
Militer ..................................................................................... 27
BAB III MEKANISME PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER
DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT
A. Tentara Nasional Indonesia .................................................... 29
B. The Joint Chiefs of Staff United States (Gabungan Kepala Staf
Amerika Serikat) ..................................................................... 32
C. Mekanisme Pengangkatan Panglima Tinggi Militer di
Indonesia ................................................................................. 34
D. Mekanisme Pengangkatan Panglima Tinggi Militer di Amerika
Serikat ..................................................................................... 37
BAB IV ANALISIS PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER DI
INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT
A. Implementasi Pengangkatan Panglima Tinggi Militer di Indonesia
dan Amerika Serikat ............................................................... 40
B. Perbedaan dan Persamaan antara Kedua Negara dalam Hal
Pengangkatan Panglima Tinggi Militer .................................. 42
xi
C. Kekurangan dan Kelebihan antara Kedua Negara dalam Hal
Pengangkatan Panglima Tinggi Militer .................................. 44
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 51
B. Saran ....................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam perkembangan sejarahnya, di Indonesia dikenal adanya tiga
lembaga yang menjalankan tiga kekuasaan yang berbeda sesuai dengan
amanat konstitusi yakni; kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan
kekuasaan yudikatif. Hal ini merupakan cerminan dari teori pemisahan
kekuasaan antar lembaga negara yang dipelopori oleh Montesquieu.1Cabang
kekuasaan eksekutif adalah cabang kekuasaan yang memegang kewenangan
penyelengaraan administrasi negara yang tertinggi. Dalam hubungan ini, di
dunia dikenal adanya sistem pemerintahan negara, yaitu: (i) Sistem
pemerintahan presidensiil, (ii) Sistem pemerintahan parlementer atau sistem
kabinet, dan (iii) sistem pemerintahan campuran.2
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Selanjutnya disebut UUD 1945) menyebutkan bahwa Negara Indonesia
menganut sistem presidensil yang tertuang dalam Pasal 4 ayat 1 UUD 1945
yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”. Dalam sistem presidensiil,
1 Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, (Bandung:
PT.Alumni, 2010), cet-ke 1, h. 3 2
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta, PT. RajaGrafindo
Persada, 2011), h.323
2
pemisahan antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislatif di sini
diartikan bahwa kekuasaan eksekutif itu dipegang oleh suatu badan atau organ
yang dalam menjalankan tugas eksekutif itu tidak bertanggung jawab kepada
badan perwakilan rakyat.3 Namun, di Indonesia terdapat asas Check and
Balances antara Lembaga Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
(selanjutnya disebut DPR) yang membuat kedua lembaga tersebut saling
mengawasi dan mengontrol.
Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disebut TNI) merupakan
pelaksana pertahanan negara dan keamanan negara sesuai dengan ketentuan
mengenai pertahanan dan keamanan negara yang tertuang dalam Pasal 30 ayat
3 UUD 1945 yang berbunyi "TNI terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut,
dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan,
melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara". TNI dipimpin
oleh seorang panglima TNI sebagai panglima tinggi militer, sedangkan
masing-masing angkatan dipimpin oleh seorang Kepala Staf Angkatan.
Sebagai salah satu bagian dari pertahanan dan keamanan negara, TNI
mempunyai hubungan dengan presiden sebagai pemegang kekuasaan atas
angkatan darat, laut dan udara yang diatur dalam Pasal 10 UUD 1945 yang
berbunyi “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.”. Ketentuan mengenai keamanan negara
3Ni'matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet-ke 4, h. 253
3
tersebut menunjukan jika presiden mempunyai peranan penting di dalamnya
untuk mewujudkan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia dari
serangan luar.4 Menurut Pasal 13 ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Selanjutnya disebut UU TNI),
panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh presiden setelah mendapat
persetujuan DPR.5 Dalam hal persetujuan ini, DPR yaitu melalui Komisi 1
berhak melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) guna
menentukan layak atau tidaknya seorang jendral diangkat menjadi seorang
panglima.
Begitupun dengan negara demokrasi dengan sistem pemerintahan
presidensial tertua, yakni Amerika Serikat (AS) memiliki lembaga negara
yaitu, United States Senate6 (Selanjutnya disebut Senat Amerika Serikat) dan
United States House of Representatives7 (Selanjutnya disebut DPR Amerika
Serikat). Dalam Pasal 2 Ayat 2 Konstitusi Amerika Serikat (The Constitution
of the United States Article 2 Section 2) menyebutkan bahwa “The President
4Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, (Bandung:
PT.Alumni, 2010), cet-ke 1h. 141 5Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945
dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet-ke 1, h. 113
6 United States Senate (Senat Amerika Serikat) terdiri dari dua Senator dari setiap Negara
Bagian, yang dipilih oleh Badan Legislatif Negara Bagian tersebut, untuk enam tahun; dan masing
masing Senator akan memiliki satu suara.
7 United States House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat) terdiri
dari para anggota yang dipilih setiap tahun kedua oleh rakyat di beberapa Negara Bagian, dan para
pemilih di setiap Negara Bagian harus memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk menjadi pemilih
bagi cabang dari Bagan Legislatif Negara Bagian yang terbanyak.
4
shall be Commander in Chief of the Army and Navy of the United States, and
of the Militia of the several States” yang berarti Presiden Amerika Serikat
adalah panglima tertinggi Angkatan Darat dan Angkatan Laut Amerika
Serikat, Serta beberapa angkatan lainnya.
Di Amerika Serikat, Undang-undang Amerika Serikat memberi fungsi
unik kepada Senat Amerika Serikat dalam hal pengangkatan panglima
tingginya, agar ada keseimbangan kekuasaan dengan setiap unsur di bawah
pemerintah federal. Senat Amerika Serikat berfungsi meratifikasi setiap
perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah federal dan juga
memberi “restu” (advice and consent) usulan presiden untuk pengangkatan
anggota kabinet, pejabat militer, serta pejabat federal lainnya yang
keputusannya berdampak bagi banyak orang dan kehidupan negara.
Dalam hal pengangkatan panglima tinggi militer secara resmi
didirikan di bawah judul II, bagian 211 dari Undang-Undang Keamanan
Nasional 1947 (The National Security Act of 1947) sebelum bagian 209-214
dari judul II itu dicabut oleh hukum dan memberlakukan Bab 10 dan Bab 32,
The United States Code (Act of August 10, 1956, 70A Stat. 676) pada tahun
1956 untuk menggantikan The National Security Act of 1947. Selanjutnya
diatur lebih jauh dalam Undang-Undang Amerika Serikat atau yang disebut
The Code of Laws of the United States of America (Disingkat Code of Laws of
5
the United States, United States Code, U.S. Code, or U.S.C.) 8. United States
Code adalah kompilasi resmi dan kodifikasi umum dan juga tetap dari
Federal Statutes of the United States (Undang-Undang Federal Amerika
Serikat).9
Di dalam The United States Code Title 10 Section 152a(1) Chairman:
appointment; grade and rank10
menyebutkan bahwa:
There is a Chairman of the Joint Chiefs of Staff,
appointed by the President, by and with the advice and consent
of the Senate, from the officers of the regular components of the
armed forces. The Chairman serves at the pleasure of the
President for a term of two years, beginning on October 1 of
odd-numbered years. Subject to paragraph (3), an officer
serving as Chairman may be reappointed in the same manner
for two additional terms. However, in time of war there is no
limit on the number of reappointments.
Terdapat Ketua Kepala Staf Gabungan, diangkat oleh
Presiden, oleh dan dengan saran dan persetujuan dari Senat,
berdasarkan perwira tetap dari anggota angkatan bersenjata.
Ketua bertugas kepada Presiden untuk masa jabatan dua tahun,
dimulai pada tanggal 1 Oktober tahun ganjil. Bergantung atas
ayat (3), seorang petugas yang menjabat sebagai Ketua dapat
diangkat kembali dengan cara yang sama dengan dua
persyaratan tambahan. Namun, pada saat perang tidak ada
batasan pada jumlah pengangkatan kembali.
8 The United States Code mengandung 52 judul, edisi utama diterbitkan setiap enam tahun
dan tambahan kumulatif setiap tahunnya oleh The Office of the Law Revision Counsel (LRC) of the
U.S. House of Representatives yang berfungsi mempersiapkan dan menerbitkan The United States
Code yang merupakan konsolidasi dan kodifikasi oleh subjek hukum umum dan permanen di Amerika
Serikat.
9 Undang-Undang Federal Amerika Serikat berasal dari Konstitusi Amerika Serikat yang
memberikan Kongres (Congress) kekuasaan untuk memberlakukan undang-undang untuk beberapa
tujuan tertentu seperti mengatur perdagangan antar negara bagian. 10
Dibaca Bab 10 Ayat 152 Pasal A Butir 1 Undang-Undang Amerika Serikat tentang Ketua:
Pengangkatan, tingkat dan pangkat
6
Bahwa dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa panglima
tinggi militer dipilih oleh presiden setiap 2 tahun sekali dengan persetujuan
dan saran dari Senat Amerika Serikat dan mengemban tugas sejak 1 Oktober
dan dapat di tunjuk untuk kedua kalinya.
UUD 1945 Negara Republik Indonesia tidak memberikan fungsi unik
ini, baik kepada Dewan Perwakilan Daerah (Selanjutnya disebut DPD)
maupun DPR, untuk persetujuan pengangkatan dan pemberhentian pejabat
eksekutif negara. Fungsi tersebut justru ada pada hukum di bawah konstitusi
yang salah satunya UU No.34/2004 dan memberikan fungsi tersebut kepada
DPR bukan DPD.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis
tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai
perbedaan dan perbandingan antara kedua negara penganut sistem presidensiil
Negara Indonesia dan Negara Amerika Serikat dalam hal pengangkatan
Panglima TNI dengan mengangkat judul skripsi tentang "Pengangkatan
Panglima Tinggi Militer di Indonesia dan Amerika Serikat: Sebuah
Perbandingan."
B. Identifikasi Masalah
Dengan keterlibatan DPR dalam hal pengangkatan panglima TNI di
Indonesia memiliki perbedaan dengan negara demokrasi yang menganut
7
sistem pemerintahan presidensial tertua, yakni Amerika Serikat (AS) yang
memberikan fungsi tersebut kepada United States Senate atau DPD jika
diIndonesia. Hal ini membuat banyaknya perbandingan yang dapat diteliti dan
di kaji.
Dengan ini penulis ingin melakukan penelitian tentang “Pengangkatan
Panglima Tinggi Militer di Indonesia dan Amerika Serikat: Sebuah
Perbandingan.”
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan masalah tentang pembahasan seputar
hak dan kewenangan yang dimiliki oleh presiden dalam pengangkatan
panglima tinggi militer dalam sistem presidensiil, maka ruang lingkup
permasalahan dalam penelitian ini dibatasi hanya melihat dari aspek
perbandingan antara kedua negara yang menganut sistem presidensiil
yaitu di Indonesia dan di Amerika Serikat. Pembatasan ini dilakukan agar
lebih fokus guna mempermudah penulis dalam penelitian, dan juga untuk
menghindari perluasan pembahasan yang tidak ada sangkut pautnya
dengan masalah yang akan diteliti.
8
2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang dan pembasatan masalah di atas, dapat
diidentifikasi beberapa masalah yang selanjutnya dirumuskan sebagai
berikut:
a. Bagaimanakah mekanisme pengangkatan panglima tinggi militer
di Indonesia & Amerika Serikat berdasarkan peraturan perundang-
undangan di Indonesia dan Amerika Serikat?
b. Bagaimanakah implementasi pengangkatan panglima tinggi militer
di Indonesia dan Amerika Serikat?
c. Apakah persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kekurangan
pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia dan Amerika
Serikat?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan di Indonesia dan
Amerika Serikat dalam hal pengangkatan panglima tinggi militer.
9
b. Untuk mengetahui implementasi pengangkatan panglima tinggi militer
di Indonesia dan Amerika Serikat.
c. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan
kekurangan pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia dan
Amerika Serikat
2. Manfaat Penelitian
Penulis berharap supaya hasil penelitian ini tidak berhenti sampai
disni, namun penulis menaruh harapan besar agar penelitian ini bermanfaat
antara lain:
a. Manfaat teoritis:
1) Untuk lebih memperkaya khazanah ilmu pengetahuan baik
dibidang hukum pada umumnya maupun di bidang hukum
kelembagaan negara pada khususnya.
2) Untuk dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum
secara teoritis, khususnya bagi hukum tatanegara mengenai
pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia dan Amerika
Serikat.
10
3) Untuk menjadi pedoman bagi pihak yang ingin mengetahui dan
mendalami tentang pengangkatan panglima tinggi militer di
Indonesia dan Amerika Serikat.
b. Manfaat Praktis
Penulis mengharapkan agar memberikan sumbangan pemikiran
mengenai aspek hukum tata negara, khususnya mengenai pengangkatan
panglima tinggi militer di Indonesia dan Amerika Serikat.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum
yuridis normatif dan penelitian kualitatif yang tidak membutuhkan
populasi dan sampel. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
kepustakaan.11
Penelitian hukum normatif didefinisikan sebagai penelitian
yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Penelitian ini juga
dapat disebut sebagai penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum
yang menggunakan data sekunder.12
Sedangkan, Penelitian kualitatif
11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h.23 12
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimentri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1998), h. 10
11
bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek
penelitian. Dengan juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam
masyarakat yang berkenaan objek penelitian.13
Adapun dalam penelitian ini menggunakan pendekatan komparatif
(Comparative Approach) pendekatan komparatif dilakukan dengan
membandingkan undang-undang suatu negara, dengan undang-undang
dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama. Selain itu, dapat
juga diperbandingkan di samping undang-undang yaitu putusan
pengadilan di beberapa negara untuk kasus yang sama.14
2. Sumber Data
Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum primer dan bahan sekunder, sedangkan yang dimaksud dengan
bahan hukum primer adalah merupakan bahan yang bersifat autoritatif,
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Juga data primer yang
diperoleh langsung dari sumber baik melalui wawancara, observasi
maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi.
13
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), cet-ke 5, h. 105 14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2011), cet-ke 11, h. 95
12
Adapun bahan sekunder adalah berupa publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang
hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal
hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.15
Adapun yang termasuk dalam sumber data primer dan sekunder
dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber Bahan Primer
i. Undang-Undang Dasar 1945
ii. The Constitution of the United States
iii. UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
iv. The United States Code (Act of August 10, 1956, 70A Stat. 676)
b. Sumber Bahan Sekunder
Bahan sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku-buku
umum, buku-buku hukum, undang-undang dan literatur lainnya,
serta wawancara secara langsung terhadap ahli atau pakar yang
dapat dijadikan sebagai rujukan yang mengacu dan berhubungan
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana, 2006), cet-ke 6,
h. 181
13
dengan bahasan yang sedang dikerjakan yang sesuai dengan
permasalahan yang akan dibahas oleh peneliti.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan
data primer (data yang diperoleh langsung dari sumbernya) dan data
sekunder (data yang diperoleh tidak langsung dari sumbernya) adalah
studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data
sekunder dari berbagai buku, dokumen dan tulisan yang relevan untuk
menyusun konsep penelitian serta mengungkap objek penelitian. Studi
kepustakaan dilakukan dengan banyak melakukan telaah dan pengutipan
berbagai teori yang relevan utuk menyusun konsep penelitian. Studi
kepustakaan juga dilakukan untuk menggali berbagai informasi dan data
faktual yang terkait atau merepresentasikan masalah-masalah yang
dijadikan obyek penelitian, yaitu Pengangkatan Panglima Tinggi Militer
di Indonesia dan Amerika Serikat.
4. Tehnik Analisis Data
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode
penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan
adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder.
14
5. Teknik Penulisan
Ada pun teknik yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh
Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Berdasarkan masalah yang dibahas merupakan masalah baru dalam
bidang hukum. Maka, dalam review kajian terdahulu ini akan memaparkan
penelitian yang sudah dilakukan, baik berupa skripsi, tesis, ataupun
penelitian-penelitian lainnya yang pernah membahas seputar Hak Prerogatif
yaitu:
1. “Hak Prerogatif Presiden Terhadap Kementerian Negara
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang
Kementerian Negara (Kajian Yuridis)”. Skripsi ini ditulis oleh Budi
Nugraha dari Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum
Konsentrasi Kelembagaan Negara. Dalam skripsi ini penulis menjelaskan
tentang Hak Prerogatif Presiden dalam hal pengangkatan Menteri-menteri
dibawah presiden.
2. “Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Pengangkatan
Kepala Kepolisisan Republik Indonesia Menurut Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian”. Skripsi ini ditulis oleh
15
Rizky Ramandhika dari Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu
Hukum Konsentrasi Kelembagaan Negara. Dalam skripsi ini penulis
menjelaskan tentang Peran Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
pengangkatan Kepala Kepolisisan Republik Indonesia.
3. “Kewenangan Presiden Dalam Pembatalan Pengangkatan Budi
Gunawan Sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia”. Skripsi ini
ditulis oleh Fany Fatwati Putri dari Fakultas Syariah dan Hukum Program
Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Kelembagaan Negara. Dalam skripsi ini
penulis menjelaskan tentang Kewenangan Presiden untuk mengangkat
dan memberhentikan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dangan
persetujuan DPR.
4. "Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan
UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju". Buku ini adalah karya dari
Abdul Ghoffar, S.Pd.I., S.H., M.H. yang membahas tentang Kekuasaan
Presiden melalui perbandingan antara Indonesia dengan Amerika Serikat.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsiyang akan penulis sampaikan dalam
proposal inimeliputi beberapa bagian, yaitu:
BABI Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pematasan masalah, rumusan malasah, tinjauan
16
(Review) kajian terdahulu, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Bab ini berisikan tentang teori sistem presidensiil, teori
pemisahan kekuasaan (Separation of Power), teori Check and
Balances, Check and Balances dalam Pengangkatan Panglima
Tinggi Militer.
BAB III Bab ini berisikan tentang Tentara Nasional Indonesia, The
Joint Chiefs of Staff United States (Kepala Staf Gabungan
Amerika Serikat), mekanisme pengangkatan panglima TNI di
Indonesia dan di Amerika Serikat.
BAB IV Bab ini berisikan tentang analisis dan implementasi
pengangkatan panglima tinggi militer di kedua negara
(Indonesia dan Amerika Serikat), perbedaan dan persamaan
serta kelebihan dan kekurangan antara kedua negara terserbut.
BAB V Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan
dan saran dari penulis.
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI
MILITER
A. Landasan Teori Sistem Presidensiil
Sistem pemerintahan sudah menjadi darah bagi suatu negara dalam
menjalankan pemerintahannya yang berguna untuk mencapai cita-cita bangsa
tersebut. Mahfud MD mengatakan bahwa di dalam studi ilmu negara dan ilmu
politik dikenal adanya tiga sistem pemerintahan negara yaitu presidensiil,
parlementer, dan refendum.1 Namun, kali ini penulis hanya membahas tentang
sistem presidensiil dikarenakan menjadi landasan utama dari judul skripsi ini.
Sistem pemerintahan presidensial adalah sistem pemerintahan yang
dikepalai oleh seorang presiden dan menteri-menteri bertanggung jawab
kepada presiden. Menurut Jimly Asshiddiqie, keuntungan sistem presidensial
adalah untuk menjamin stabilitas pemerintahan. Namun, sistem ini juga
mempunyai kelemahan yaitu cenderung menempatkan eksekutif sebagai
bagian kekuasaan yang sangat berpengaruh karena kekuasaannya besar. Untuk
itu, diperlukan pengaturan konstitusional untuk mengurangi dampak negatif
atau kelemahan yang di bawa sejak lahir oleh sistem presidensiil tersebut.2
1 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia; Studi tentang Interaksi Politik
dan Kehidupan Ketatanegaraan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 74. 2 Jimmly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), cet-ke 3, h.75.
18
Kelebihan sistem presidensial menurut Arend Lijphart adalah sebagai
berikut:
1. Akan terjadi stabilitas eksekutif yang didasarkan pada masa jabatan
presiden. Stabilitas eksekutif ini berlawanan dengan instabilitas
eksekutif yang biasanya melahirkan suatu sistem parlementer dari
penggunaan kekuasaan legislaif untuk membentuk kabinet melalui
mosi tidak percaya atau sebagai akibat dari hilangnya dukungan
mayoritas terhadap cabinet di parelemen.
2. Pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dapat dipandang lebih
demokratis dari pemilihan tak langsung (formal atau informal) dalam
sistem presidensiil. Memang dalam demokrasi tidak menuntut
pemilihan semua pejabat pemerintah oleh rakyat secara langsung.
Tetapi argumen bahwa kepala pemerintahan, yang merupakan
pemegang jabatan paling penting dan berkuasa di dalam pemerintahan
yang demokratis, harus dipilih secara langsung oleh rakyat
mengandung validitas yang tinggi.
3. Dalam sistem presidensiil telah terjadi pemisahan kekuasaan yang
berarti pemerintahan yang dibatasi sehingga jaminan atas perlindungan
kebebasan individu atas tirani pemerintah akan terminimalisasi.3
3 Abdul Hadi Anshary, Menuju Trias Politika dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Studi
Konstitusional tentang Pemnisahan Kekuasaan Negara), (Tesis, Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2003), h. 122-123.
19
Sementara itu, kelemahan dalam sistem presidensial menurut Arend
Liphart adalah sebagai berikut:4
1. Akan mudah terjadi kemandekan dalam hubungan eksekutif dan
legislatif. Inilah yang merupakan konsekuensi pertama dari sistem
presidensiil.
2. Dalam sistem ini terjadi kekakuan temporal. Kini terlihat dari masa
jabatan presiden yang pasti menguraikan periode-periode yang dibatasi
secara kaku dan tidak berkelanjutan, sehingga tidak memberikan
kesempatan untuk melakukan berbagai penyesuaian yang dikehendaki
oleh keadaan.
3. Sistem presidensiil dipandang mempunyai cacat bawaan karena sistem
ini berjalan atas dasar aturan "pemenang menguasai semuanya".
Sehingga politik demokrasi akan menjadi sebuah permainan dengan
semua potensi konfliknya.
Sistem presidensiil telah dianut oleh beberapa negara didunia ini
termasuk Amerika Serikat dan Indonesia. Amerika Serikat dianggap sebagai
negara penganut sistem presidensiil tertua didunia. Ciri-ciri model sistem
presidensiil Amerika Serikat yang disebut sebagai pencerminan sistem
pemerintahan presidensiil murni, menurut Bagir Manan adalah sebagai
berikut:
4 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 Dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), cet-ke 1, h. 52.
20
1. Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tunggal.
2. Presiden adalah penyelenggara pemerintahan yang bertanggung
jawab, selain berbagai wewenang konstitusional yang bersifat
prerogatif dan biasanya melekat ada jabatan kepala negara (head of
state).
3. Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan
(conggress), karena itu tidak dapat dikenai mosi tidak percaya oleh
conggress.
4. Presiden tidak dipilih dan tidak diangkat oleh conggress. Dalam
praktiknya langsung dipilih oleh rakyat, walaupun secara formal
dipilih oleh badan pemilih (electoral college).
5. Presiden memangku jabatan empat tahun (fixed), dan hanya dapat
dipilih untuk dua kali masa jabatan berturut-turut (8 tahun). Dalam
hal mengganti jabatan yang berhalangan tetap, jabatan tersebut
paling lama 10 tahun berturut-turut.
6. Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatan melalui
“impeachment” karena melakukan pengkhianatan, menerima suap,
melakukan kejahatan berat, dan pelanggaran lainnya.5
5 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2003), cet-ke 2, h. 48-
49.
21
B. Landasan Teori Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power)
Teori pemisahan kekuasaan, yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai
doktrin "Trias Politika" dikemukakan oleh Montesquieu dalam bukunya
L'esprit des Loi. Dasar pemikiran doktrin Trias Politika sudah pernah
dikemukakan oleh Aristoteles dan kemudian juga pernah dikembangkan oleh
John Locke. Dengan begitu, ajaran ini bukan ajaran yang baru bagi
Montesquieu.6
Montesquieu, dalam bukunya L'esprit des Loi (1748), membagi
kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu: (1) kekuasaan legislatif sebagai
pembuat undang-undang, (2) kekuasaan eksekutif yang bertugas
melaksanakan undang-undang, dan (3) kekuasan yudikatif sebagai pengawas
undang-undang. Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian
kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative
function), eksekutif (the executive or administrative function) dan yudisial (the
yudcial function).7 Sebaliknya oleh Montesquieu, kekuasaan hubungan luar
negeri yang disebut oleh John Locke "federatif" dimasukan ke dalam
kekuasaan eksekutif.8
Filsuf Inggris, yakni John Locke, menjabarkan pemikirannya
mengenai seperations of power atau dikenal juga sebagai teori pemisahan
6 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 Dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009), cet-ke 1, h. 11
7 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), cet-
ke 1, h. 283.
8 Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), cet-ke 2, h. 6
22
kekuasaan pada bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Government
yang diterbitkan tahun 1690 yang ditulis sebagai kritik pada kekuasaan
absolute raja Stuart dan membenarkan The Glorious Revolution yang
dimenangkan oleh parlemen Inggris.9 John Locke menyebutkan tiga lembaga
pemerintahan berdasarkan teori pemisahan kekuasaannya, yakni:
1. Lembaga eksekutif, yang berfungsi sebagai lembaga yang
menangani pembuatan peraturan dan perundang-undangan,
2. Lembaga legislatif, yang berfungsi sebagai lembaga yang
menjalankan peraturan dan perundang-undangan, termasuk lembaga
yang bekerja untuk mengadili pelanggaran peraturan dan
perundang-undangan, dan
3. Lembaga federatif, yang menjalankan fungsi dalam hubungan
diplomatik dengan negara lain, seperti mengumumkan perang dan
perdamaian terhadap negara-negara lain dan mengadakan
perjanjian.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai pembagian
kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa
bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini
membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada
9Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h.
151.
23
koordinasi atau kerjasama.10
Pendapat tersebut membuka celah bagi antara
cabang-cabang kekuasaan untuk menerapkan prinsip check and balances yang
berbeda dengan Toeri Trias Politica milik Montesquieu yang memisahkan
cabang-cabang kekuasaan secara tegas tanpa adanya hubungan kerjasama dan
koordinasi.
Jimly Asshiddiqie mengatakan, kalaupun istilah pemisahan kekuasaan
tadinya hendak dihindari, namun kita dapat saja menggunakan istilah
pemisahan kekuasaan (division of power) seperti yang dipakai oleh Athur
Mass, yaitu capital division of power untuk pengertian yang bersifat
horizontal, dan territorial division of power untuk pengertian yang bersifat
vertikal.11
Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua
cara, yaitu:12
1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya.
Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat
pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan
pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah
federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara
federal.
10 Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. (Jakarta : Pusat
Studi Tata Negara, Fakultas hukum Universitas Indonesia, 1981), h. 140.
11
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
cet-ke 1, h. 292.
12
Akhmad Rustandi dan Zul Afdi Ardian, Tata negara : kurikulum 1984/GBPP 1987,
(Bandung : Armico, 1992), h. 62.
24
2. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya.
Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara
fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.
C. Landasan Teori Check and Balances
Di dalam pemerintahan Negara Indonesia di kenal dengan adanya
sistem check and balances antara lembaga tinggi negara satu dengan lembaga
tinggi negara yang lainnya. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak lagi menganut
paham Trias Politica Montesquieu secara mutlak, yang memisahkan antara
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara tegas tanpa adanya
hubungan-hubungan saling mengawasi ataupun mengendalikan satu dengan
yang lain.
Istilah checks and balances menurut Black's Law Dictionary, diartikan
sebagai: arrangement of governmental power whereby power of one
govermental branch check or balance those of other brance.1314
Berdasarkan
pengertian yang dikemukakan dalam buku Black's Law Dictionary dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa check and balances merupakan suatu
prinsip yang bertujuan untuk membatasi kekuasaan serta tindakan antara satu
kekuasaan dengan kekuasaan yang lainnya, seperti halnya kekuasaan legislatif
dan eksekutif di Indonesia yang sama-sama saling mengawasi setiap
kebijakan yang dibuatnya.
13 Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Publishing), h. 238.
14 Terjemahan: “Susunan pemerintahan yang kuat berdasarkan kekuatan suatu cabang
pemerintahan yang memeriksa dan menyeimbangkan cabang pemerintahan lainnya.”
25
Di Amerika Serikat sebagai kiblat konsep checks and balances system,
dalam hal pelaksanaan fungsi kontrol kekuasaan eksekutif terhadap legislatif,
Presiden diberi kewenangan untuk memveto rancangan undang- undang yang
telah diterima oleh Congress (semacam MPR), akan tetapi veto tersebut dapat
dibatalkan oleh Congress dengan dukungan 2/3 suara dari House of
Representative (semacam DPR) dan Senate (semacam lembaga utusan negara
bagian).15
Berdasarkan pola hubungan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif,
operasionalisasi dari teori checks and balances dilakukan melalui cara-cara
sebagai berikut :
1. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari
satu cabang pemerintahan. Misalnya kewenangan pembuatan
undang-undang yang diberikan kepada pemerintah dan parlemen
sekaligus. Jadi terjadi overlapping yang dilegalkan terhadap
kewenangan pejabat negara antara satu cabang pemerintahan
dengan cabang pemerintahan lainnya.
2. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih
dari satu cabang pemerintahan. Banyak pejabat tinggi negara
dimana dalam proses pengangkatannya melibatkan lebih dari satu
15 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 69.
26
cabang pemerintahan, misalnya melibatkan pihak eksekutif maupun
legislatif.
3. Upaya hukum impeachment dari cabang pemerintahan yang satu
terhadap cabang pemerintahan yang lainnya.
4. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan terhadap
cabang pemerintahan lainnya, seperti pengawasan terhadap cabang
eksekutif oleh cabang legislatif dalam hal penggunaan budget
negara.
5. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai pemutus kata
terakhir (the last word) jika ada pertikaian kewenangan antara
badan eksekutif dengan legislatif.16
Penerapan teori checks and balances seperti tersebut di atas, telah
dipraktekkan oleh Amerika Serikat yang mengaku sebagai kiblat negara
demokrasi. Dalam UUD NRI 1945, pola hubungan yang menerapkan prinsip
checks and balances melibatkan lembaga-lembaga tinggi negara yang
memiliki kekuasaan di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Lembaga-
lembaga tinggi negara tersebut yakni DPR, DPD, Presiden, MA dan MK,
serta Komisi Yudisial (KY).
16 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung : PT Refika Aditama, 2009), h.
124-125.
27
D. Check and Balances dalam Pengangkatan Panglima Tinggi Militer
Prinsip check and balances antara lembaga eksekutif yakni presiden
dan lembaga legislatif yaitu Senat Amerika Serikat dalam pengangkatan
pejabat-pejabat eksekutif jelas tertulis dalam Konstitusi Amerika Serikat Pasal
2 Ayat 2 yang berbunyi:
He shall have Power, by and with the Advice and
Consent of the Senate, to make Treaties, provided two thirds of
the Senators present concur; and he shall nominate, and by and
with the Advice and Consent of the Senate, shall appoint
Ambassadors, other public Ministers and Consuls, Judges of the
supreme Court, and all other Officers of the United States,
whose Appointments are not herein otherwise provided for, and
which shall be established by Law.
Dia akan memiliki Wewenang, oleh dan dengan Nasihat
dan Persetujuan Senat, untuk membuat Perjanjian, dibutuhkan
dua pertiga persetujuan Senator yang hadir; dan ia akan
mencalonkan, dan oleh dan dengan Nasihat dan Persetujuan
Senat, akan menunjuk Duta, Menteri lain dan Konsul, Hakim
Mahkamah Agung, dan semua petugas lainnya dari Amerika
Serikat, yang Jabatannya tidak ada dalam dokumen ini
sebaliknya disediakan, dan yang harus ditetapkan dengan
Undang-Undang.
Yang artinya Presiden Amerika Serikat akan mempunyai
Wewenang, oleh dan dengan Nasihat dan Persetujuan Senat, untuk
membuat Perjanjian, asal dua pertiga anggota Senat yang hadir setuju;
dan ia akan mencalonkan, atas dan dengan Nasihat dan Persetujuan
Senat, mengangkat Duta Besar, Duta-Duta lain dan Konsul, Hakim
Makamah Agung, dan semua pejabat lain Amerika Serikat, yang
pengangkatannya belum disebut didalam ayat tersebut, yang akan
28
ditentukan dengan Undang-Undang. Seperti pengangkatan panglima
tinggi militernya yaang dimuat dalam United States Code Bab 10 Ayat
152 butir a poin 1 tentang Ketua: Pengangkatan, Tingkat dan Pangkat.
Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya persetujan maka
bertujuan untuk membatasi kekuasaan serta tindakan presiden agar
tidak terjadi abuse of power. Seperti halnya di Indonesia yang sama-
sama menerapkan prinsip check and balances dalam hal pengangkatan
panglima tinggi militernya. Di Indonesia sendiri, prinsip ini tidak
dituangkan secara eksplisit dalam konstitusi, namun dijelaskan dalam
peraturan perundang-undangan dibawahnya yaitu pada pasal 13 ayat 2
UU TNI.17
17
Pasal 13 Ayat 2 UU TNI berbunyi “Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
29
BAB III
MEKANISME PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER DI
INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT
A. Tentara Nasional Indonesia
TNI adalah angkatan bersenjata milik Negara Indonesia. TNI terdiri
dari tiga angkatan bersenjata, yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut,
dan TNI Angkatan Udara. TNI dipimpin oleh seorang Panglima TNI,
sedangkan masing-masing angkatan dipimpin oleh seorang Kepala Staf
Angkatan. Perubahan UUD 1945 mengenai TNI, sebagaimana tercantum
dalam Pasal 30. Dalam pasal ini ditentukan dengan jelas mengenai perbedaan
tugas dan kewenangan masing-masing untuk menjamin perwujudan
demokrasi dan tegaknya rule of law. Pasal ini berbunyi, “Tiap-tiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara.”
Adapun Pasal 30 ayat (2) menentukan bahwa “Usaha pertahanan dan
keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai
kekuatan pendukung”.1 Sementara itu, dalam ayat (3) Pasal 30 berbunyi,
“Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
1
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, (Jakarta :
Konstitusi Press, 2006), h. 120.
29
BAB III
MEKANISME PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER DI
INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT
A. Tentara Nasional Indonesia
TNI adalah angkatan bersenjata milik Negara Indonesia. TNI terdiri
dari tiga angkatan bersenjata, yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut,
dan TNI Angkatan Udara. TNI dipimpin oleh seorang Panglima TNI,
sedangkan masing-masing angkatan dipimpin oleh seorang Kepala Staf
Angkatan. Perubahan UUD 1945 mengenai TNI, sebagaimana tercantum
dalam Pasal 30. Dalam pasal ini ditentukan dengan jelas mengenai perbedaan
tugas dan kewenangan masing-masing untuk menjamin perwujudan
demokrasi dan tegaknya rule of law. Pasal ini berbunyi, “Tiap-tiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara.”
Adapun Pasal 30 ayat (2) menentukan bahwa “Usaha pertahanan dan
keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai
kekuatan pendukung”.1 Sementara itu, dalam ayat (3) Pasal 30 berbunyi,
“Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
1
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, (Jakarta :
Konstitusi Press, 2006), h. 120.
30
Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi,
dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.”.2
Sesudah reformasi nasional, diadakan pemisahan yang tegas antara
kedudukan dan peran TNI dan Polisi Republik Indonesia (POLRI) sebagai
bagian dari ABRI ditiadakan. Pemisahan tersebut ditetapkan dengan
Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan POLRI, serta
Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran POLRI.
Berdasarkan hal itu, pada tahun 2002 diundangkan UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan juga UU No. 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara.
Selanjutnya, pada tahun 2004 dibentuk pula UU TNI (UU No.34
Tahun 2004). Rancangan UU TNI itu disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden dan pada rapat paripurna DPR 30 September 2004. Berdasarkan UU
TNI ini, jelas ditentukan bahwa TNI terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara. Masing-masing angkatan dipimpin oleh Kepala
Staf Angkatan.
Sesuai ketentuan Pasal 2 UU TNI tersebut, TNI adalah :
1. Tentara Rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari
warga negara indonesia;
2. Tentara Pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mengenal
menyerah dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya;
2 Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 252.
31
3. Tentara Nasional, yaitu tentara kebangsaan indonesia yang
bertugas demi kepentingan negara di atas kepentingan
daerah, suku, ras, dan golongan agama;
4. Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik,
diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak
berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya. serta mengikuti
kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi,
supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum
nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.3
Menurut UU TNI, dalam pengarahan dan penggunaan kekuatan
militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden. Dalam kebijakan dan strategi
pertahanan serta dukungan administrasi, TNI dibawah koordinasi Departemen
Pertahanan.
TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam
menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Tugas pokok TNI sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 adalah menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman
dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.4
3
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, (Jakarta :
Konstitusi Press, 2006), h. 122. 4
Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, (Jakarta :
Konstitusi Press, 2006), h. 254.
32
B. The Joint Chiefs of Staff United States (Gabungan Kepala Staf Amerika
Serikat)
The Joint Chiefs of Staff (Gabungan Kepala Staf) atau biasa disingkat
JCS adalah badan pimpinan perwira militer senior di Departemen Pertahanan
Amerika Serikat yang menjadi penasihat Menteri Pertahanan, Dewan
Keamanan Dalam Negeri, Dewan Keamanan Nasional dan Presiden Amerika
Serikat pada masalah-masalah militer.
Komposisi Gabungan Kepala Staf ini diatur oleh Bab 10 Ayat 151
tentang Gabungan Kepala Staf: Komposisi dan Fungsi yang terdiri dari Ketua
Gabungan Kepala Staf5, Wakil Ketua Gabungan Kepala Staf
6 , Kepala Staf
Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara,
Komandan Korps Marinir, dan Kepala Biro Garda Nasional. Semua anggota
tersebut ditunjuk oleh Presiden setelah mendapat konfirmasi dari Senat
Amerika Serikat. Komandan Penjaga Pantai tidak termasuk kedalam
Gabungan Kepala Staf karena Penjaga Pantai normalnya berada di bawah
Departemen Keamanan Dalam Negeri, sementara empat cabang angkatan
yang lain berada di bawah Departemen Pertahanan. Namun penjaga pantai
adalah salah satu kecabangan militer dari Angkatan Bersenjata Amerika dan
dapat beroperasi di bawah Departemen Angkatan Laut selama masa perang.
5 Ketua Gabungan Kepala Staf biasa disebut The Chairman of the Joint Chiefs of Staff (CJCS)
atau disingkat The Chairman. 6 Wakil Ketua Gabungan Kepala Staf biasa disebut The Vice Chairman of the Joint Chiefs of
Staff (VJCS)
33
Namun Komandan Penjaga Pantai kadang-kadang diundang oleh ketua untuk
menghadiri pertemuan Gabungan Kepala Staf.7
Gabungan Kepala Staf Amerika Serikat memiliki tugas berdasarkan
The National Security Act of 1947 Ayat 211 Pasal 2, yaitu:
1. Untuk mempersiapkan rencana strategis dan menyediakan
arahan strategis untuk pasukan militer;
2. Untuk mempersiapkan rencana logistik dan menentukan
tanggung jawab logistik sesuai dengan rencana tersebut
kepada pasukan militer;
3. Untuk membangun komando terpadu di daerah yang strategis
ketika dibutuhkan dalam kepentingan keamanan nasional;
4. Merumuskan kebijakan untuk pelatihan bersama pasukan
militer;
5. Merumuskan kebijakan untuk mengkoordinasikan pendidikan
anggota pasukan militer;
6. Untuk meninjau kebutuhan materi dan personil dari pasukan
militer, sesuai dengan rencana strategis dan logistik; dan
7. Untuk memberikan Amerika Serikat representasi dari Komite
Staf Militer PBB sesuai dengan ketentuan Piagam PBB.
Gabungan Kepala Staf Amerika Serikat dipimpin oleh seorang Ketua
Gabungan Kepala Staf yang merupakan perwira militer tertinggi di Angkatan
Bersenjata Amerika. Ketua Gabungan Kepala Staf merupakan penasihat
militer utama Presiden Amerika Serikat, Dewan Keamanan Nasional, Dewan
Keamanan dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan.8
Walaupun Ketua Kepala Staf Gabungan secara hirarki berada di atas
semua perwira lainnya, dia tidak memiliki kewenangan komando operasional
7 Dikutip dari Wikipedia
(https://id.wikipedia.org/wiki/Ketua_Kepala_Staf_Gabungan_Amerika_Serikat) yang diakses pada
tanggal 7 September 2016 8 Dikutip dari Wikipedia
(https://id.wikipedia.org/wiki/Ketua_Kepala_Staf_Gabungan_Amerika_Serikat) yang diakses pada
tanggal 7 September 2016.
34
atas angkatan bersenjata. Namun ketua gabungan dapat membantu Presiden
dan Menteri Pertahanan dalam melaksanakan fungsi komando mereka. 9
Ketua Gabungan Kepala Staf memimpin pertemuan dan
mengkoordinasikan upaya Kepala Staf Gabungan, yang terdiri dari ketua,
Wakil Ketua Kepala Staf Gabungan, Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf
Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, Komandan Korps Marinir, dan
Kepala Biro Garda Nasional. Gabungan Kepala Staf memiliki kantor di
Pentagon.
Semua cabang angkatan bekerja sama dalam operasi dan misi
gabungan, di bawah sebuah Komando Tempur Terpadu (Unified Combatant
Command), di bawah otoritas Menteri Pertahanan dengan pengecualian
Penjaga Pantai (The United States Coast Guard), yang berada di bawah
administrasi Departemen Keamanan Dalam Negeri dan menerima perintah
operasional dari Menteri Keamanan Dalam Negeri.10
C. Mekanisme Pengangkatan Panglima Tinggi Militer di Indonesia
Proses pengangkatan suatu jabatan dalam sebuah pemerintahan tidak
terlepas dari adanya mekanisme yang harus dijalani. Pengangkatan panglima
tinggi militer di Indonesia yang lebih dikenal dengan Panglima TNI memiliki
9 Dikutip dari Wikipedia
(https://id.wikipedia.org/wiki/Ketua_Kepala_Staf_Gabungan_Amerika_Serikat) yang diakses pada
tanggal 7 September 2016. 10
Dikutip dan ditranslate dari Wikipedia
(https://en.wikipedia.org/wiki/Joint_Chiefs_of_Staff) yang diakses pada tanggal 7 September 2016.
35
alur yang sedikit rumit. Sesuai dengan pasal 13 ayat 2 UU TNI11
, DPR berhak
ikut andil dalam pengangkatan Panglima TNI sesuai dengan prinsip Check
and Balances yang di tuangkan dalam Pasal 71 Ayat b Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Undang-Undang Susduk) yaitu memberikan persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti
undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang.
Sebelum mengangkat seorang panglima, presiden terlebih dahulu
mengusulkan satu orang calon panglima untuk mendapat persetujuan DPR.
Beni Sukadis menambahkan bahwa presiden memilih beberapa calon dari
setiap angkatan berdasarkan rekomendasi Dewan Kepangkatan dan Jabatan
Tinggi (Wanjakti) TNI yang dipertimbangkan sesuai kemampuan dan
kepentingan presiden.12
Calon panglima tinggi aktif adalah perwira tinggi
berbintang empat dengan pangkat Jenderal, Laksamana atau Marsekal yang
pernah atau sedang menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan. Untuk lebih
mudahnya kita dapat melihat diagram dibawah:
11
Pasal 13 Ayat 2 UU TNI berbunyi “Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” 12
Wawancara penulis dengan Beni Sukadis, Koordinator Program LESPERSSI (Lembaga
Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) pada tanggal 8 September 2016 Jam 15.00 WIB
dikantor LESPERSSI.
36
Persetujuan DPR terhadap calon panglima yang dipilih oleh presiden,
disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari tidak termasuk masa reses,
yang terhitung sejak permohonan persetujuan calon panglima diterima oleh
DPR. Selanjutnya Komisi I DPR mengadakan fit and proper test kepada calon
panglima yang diusulkan oleh presiden, setelah itu akan dibawa kedalam
sidang paripurna DPR, melalui aklamasi terhadap anggota sidang dan jika
disetujui maka akan diserahkan kembali ke presiden untuk dilantik.
Namun, jika DPR tidak menyetujui calon panglima yang diusulkan
oleh presiden, maka presiden mengusulkan satu orang calon lain sebagai
pengganti. Apabila DPR tidak menyetujui calon panglima yang diusulkan
oleh presiden, DPR memberikan alasan tertulis yang menjelaskan
ketidaksetujuannya. Jika dalam hal ini DPR tidak memberikan jawaban
mengenai ketidaksetujuannya atas calon usulan presiden, maka DPR dianggap
telah menyetujui, selanjutnya Presiden berwenang mengangkat panglima baru
dan memberhentikan panglima lama. Mengenai hal tersebut Beni Sukadis,
37
Koordinator LESPERSSI berpendapat hingga saat ini tidak ada penolakan
terhadap usulan calon dari presiden oleh DPR, karena menurutnya fit and
proper test hanya sebatas formalitas dari DPR yang artinya pasti disetujui
oleh DPR.13
D. Mekanisme Pengangkatan Panglima Tinggi Militer di Amerika Serikat
Dalam mekanisme pengangkatan panglima tinggi militer di Amerika
Serikat, di atur dalam United States Code Bab 10 Ayat 152 butir a poin 1
tentang Ketua: Pengangkatan, Tingkat dan Pangkat yang berbunyi:
There is a Chairman of the Joint Chiefs of Staff,
appointed by the President, by and with the advice and consent
of the Senate, from the officers of the regular components of the
armed forces. The Chairman serves at the pleasure of the
President for a term of two years, beginning on October 1 of
odd-numbered years.
Terdapat Ketua Kepala Staf Gabungan, diangkat oleh
Presiden, oleh dan dengan saran dan persetujuan dari Senat,
berdasarkan perwira tetap dari anggota angkatan bersenjata.
Ketua bertugas kepada Presiden untuk masa jabatan dua tahun,
dimulai pada tanggal 1 Oktober tahun ganjil.
Bahwa dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa seorang
panglima tinggi militer dipilih oleh presiden setiap 2 tahun sekali dengan
persetujuan dan saran dari Senat Amerika Serikat dan mengemban tugas sejak
1 Oktober dan dapat di tunjuk untuk kedua kalinya.
13
Wawancara penulis dengan Beni Sukadis, Koordinator Program LESPERSSI (Lembaga
Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) pada tanggal 8 September 2016 Jam 15.00 WIB
dikantor LESPERSSI.
38
Berbeda dengan Indonesia yang menyerahkan wewenang kepada
“wakil rakyat”, di Amerika Serikat seorang panglima tinggi militer atau biasa
disebut Ketua Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat (Chairman of the Joint
Chiefs of Staff) ditunjuk oleh presiden yang selanjutnya kepada “wakil
daerah” yaitu Senat Amerika Serikat (The United States Senate) untuk
memberikan saran dan persetujuan.
Ketua Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat resmi menjabat sebagai
panglima tinggi militer ketika diangkat pada 1 Oktober tahun ganjil pada
periode Presiden menjabat. Seorang Ketua Kepala Staf Gabungan dapat
menjabat selama 6 tahun dan dapat diperpanjang selama 8 tahun serta dapat
diangkat kembali untuk kedua kalinya oleh presiden jika untuk kepentingan
nasional serta tidak ada batas periode ketika dalam keadaan perang.14
Jika seorang Ketua Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat
meninggal, pensiun, mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya,
maka seorang yang menggantikan posisinya melanjutkan sisa masa
jabatannya sesuai dengan United States Code Bab 10 Ayat 152 butir a poin 2
tentang Ketua: Pengangkatan, Tingkat dan Pangkat.
Di Amerika Serikat, dalam memilih calon Ketua Kepala Staf
Gabungan, Presiden harus melihat beberapa kriteria-kriteria yang diatur dalam
14
Dikutip dan ditranslate dari Wikipedia
(https://en.wikipedia.org/wiki/Chairman_of_the_Joint_Chiefs_of_Staff) yang diakses pada tanggal 7
September 2016.
39
United States Code Bab 10 Ayat 152 butir b poin 2 tentang Ketua:
Pengangkatan, Tingkat dan Pangkat, yaitu:
1. Diangkat karena sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Kepala
Staf Gabungan Amerika Serikat (Vice Chairman of the Joint Chiefs
of Staff), atau
2. Menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Operasi
Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, Komandan Korps
Marinir atau Komandan Tempur Khusus.
3. Memiliki pangkat bintang 4 atau biasa disebut Jenderal15
4. Ketua dan Wakil Ketua Staf Gabungan Amerika Serikat bukan dari
cabang angkatan bersenjata yang sama.16
15
Di Amerika Serikat penyebutan Jenderal di bagi 2 yaitu, General untuk United States Army,
United States Marine Corps, United States Air Force dan Admiral untuk United States Navy 16
Dikutip dan ditranslate dari Wikipedia
(https://en.wikipedia.org/wiki/Chairman_of_the_Joint_Chiefs_of_Staff) yang diakses pada tanggal 7
September 2016.
40
BAB IV
ANALISIS PENGANGKATAN PANGLIMA TINGGI MILITER DI
INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT
A. Implementasi Pengangkatan Panglima Tinggi Militer di Indonesia dan
Amerika Serikat
Sesuai dengan apa yang dipaparkan pada Bab III tentang mekanisme
pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia dan Amerika Serikat,
prosedur pengangkatan panglima tinggi militer dikedua negara sudah sesuai
dengan apa yang diatur dalam undang-undang dimasing-masing negara.
Begitupun menurut Beni Sukadis selaku Koordinator Program LESPERSSI
(Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) berdasarkan
wawancara pada tanggal 8 September 2016, yaitu:
“Jika dilihat UU TNI pasal 13 tentang pengangkatan panglima
TNI, menurut saya sesuai dengan apa yang diundang-undang, masih
berjalan secara normal. Saya lihat belum melihat kekurangan, masalah
yang sebenarnya menurut saya di fit and proper test itu hanya sebatas
formalitas karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ke calon
panglima belum ada yang kritis. Kalau bicara soal pemutaran panglima
TNI disetiap angkatan itu kembali lagi ke hak prerogatif presiden.
Menurut saya yang perlu dijelaskan secara eksplisit di dalam undang-
undang adalah mengenai pengalaman calon panglima TNI.”
Meskipun dalam beberapa hal, Implementasi pengangkatan panglima
tinggi militer di kedua negara dipengaruhi oleh hak prerogatif presiden yang
membuat mekanisme pengangkatan panglima tinggi militer keluar dari
prosedur yang tertulis diundang-undang, contohnya di Indonesia, pada tahun
41
2015 Presiden Jokowi Dodo memilih Jenderal TNI Gatot Nurmantyo sebagai
Panglima TNI yang menggantikan Jendral Moeldoko.
Pada saat itu seharusnya adalah „jatah‟ Angkatan Udara. Dengan
diangkatnya Jendral Nurmantyo, Angkatan Udara sudah dua kali kehilangan
jatahnya menjadi Panglima TNI. Pertama ketika Panglima TNI Jendral Djoko
Santoso pensiun. Namun pada saat itu Presiden Yudhoyono memilih KASAD
(Kepala Staf Angkatan Darat) Jendral Moeldoko dari pada KSAU (Kepala
Staf Angkatan Udara) Marsekal Ida Bagus Putu Dunia untuk memimpin TNI
pada tahun 2013.1
Jika ditelisik berdasarkan Pasal 13 Ayat 4 UU TNI menyebutkan
bahwa “Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat
secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang
sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.”, Menurut
penulis presiden mengabaikan pasal tersebut dan bertentangan dengan pasal
tersebut. Namun, menurut Beni Sukadis hal ini tidak bertentangan dengan
undang-undang karena adanya kepentingan subyektif dari seorang presiden.2
1
Dikutip dari Indoprogress (http://indoprogress.com/2015/07/jokowi-dan-jenderal-
jenderalnya/) yang diakses pada tanggal 20 September 2016. 2 Wawancara penulis dengan Beni Sukadis, Koordinator Program LESPERSSI (Lembaga
Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) pada pada tanggal 8 September 2016 Jam 15.00 WIB
dikantor LESPERSSI.
42
Hal ini juga pernah beberapa kali diabaikan oleh Presiden Amerika
Serikat dalam memilih The Chairman of the Joint Chiefs of Staff (Ketua
Kepala Staf Gabungan) pada pengangkatan Jenderal Hugh Shelton yang
menggantikan Jenderal John Shalikashvili pada tahun 1997 di kepemimpinan
Bill Clinton, dimana saat itu Bill Clinton memilih dua kali Ketua Kepala Staf
Gabungan dari angkatan yang sama.3
Namun, di kedua negara belum pernah terjadi abuse of power dari
seorang presiden dalam hal pengangkatan panglima tinggi militernya
dikarenakan adanya prinsip check and balances antara lembaga eksekutif dan
legislatif, membuat presiden kedua negara tersebut harus meminta persetujuan
kepada badan legislatif.
B. Persamaan dan Perbedaan antara Kedua Negara dalam Hal
Pengangkatan Panglima Tinggi Militer
Indonesia dan Amerika Serikat merupakan negara dengan bentuk
pemerintahan republik yang sama-sama mengedepankan prinsip demokrasi,
namun dalam hal pengangkatan panglima tingginya memiliki masing-masing
cara dan mekanisme.
Setelah pembahasan di Bab III tentang mekanisme pengangkatan
panglima tinggi militer di kedua negara, Penulis melihat adanya kesamaan
3 Dikutip dan ditranslate dari Wikipedia
(https://en.wikipedia.org/wiki/Chairman_of_the_Joint_Chiefs_of_Staff) yang diakses pada tanggal 7
September 2016.
43
dalam hal pengangkatan panglima tinggi militer antara Amerika Serikat dan
Indonesia, tapi memiliki juga beberapa aspek yang membedakan mekanisme
diantara kedua negara tersebut. Untuk memudahkan pembaca mengetahui
persamaan dan perbedaan sekaligus, maka dari itu penulis menuangkan
kedalam satu tabel, sebagai berikut:
Persamaan Perbedaan
Presiden kedua negara sama-sama
membutuhkan persetujuan lembaga
legislatif
Presiden Amerika Serikat meminta
persetujuan Senat Amerika Serikat
(Perwakilan Daerah), Sedangkan
Presiden Indonesia meminta
persetujuan DPR (Perwakilan
Rakyat)
Panglima tinggi militer kedua negara
dipilih karena pernah atau sedang
menjabat sebagai Kepala Staf
Angkatan
Masa jabatan Panglima Tinggi
Militer di Indonesia 3 tahun,
sedangkan di Amerika Serikat 1
Periode (2 Tahun) Dapat
diperpanjang sampai 6 tahun
Panglima tinggi militer kedua negara
merupakan perwira bintang 4
(Jendral)
Panglima tinggi militer Amerika
Serikat memiliki Wakil namun tidak
dengan Panglima tinggi militer
Indonesia
Panglima tinggi militer kedua negara
diangkat bergilir dari setiap Angkatan
Bersenjata4
Panglima tinggi militer Di Amerika
serikat dipillih berdasarkan 5
cabang Angkatan Bersenjata, di
Indonesia hanya dari 3 cabang
Angkatan Bersenjata
Dari persamaan dan perbedaan yang telah dipaparkan diatas, jika
dilihat lebih kedalam berdasarkan masing-masing peraturan yang berlaku di
4 Hal ini bisa diabaikan karena alasan hak prerogatif presiden dalam memilih panglimanya.
44
kedua negara, Amerika Serikat lebih menjelaskan secara eksplisit mekanisme
pengangkatan panglima tinggi militer dalam United States Code dari pada
Indonesia yang menjelaskan secara singkat tentang pengangkatan
panglimanya dalam UU TNI. Hal ini terbukti pada tidak tercantumnya masa
jabatan dan kriteria Panglima TNI dalam UU TNI.
C. Kelebihan dan Kekurangan antara Kedua Negara Dalam Hal
Pengangkatan Panglima Tinggi Militer.
Berbicara kelebihan dan kekurangan antara kedua negara haruslah
menganalisis perbedaan mekanisme pengangkatan di dalam dua negara
tersebut berdasarkan perbedaan yang telah penulis paparkan di Bab IV poin
A.
Melihat bentuk negara Amerika Serikat yang merupakan negara
serikat (federasi) membuat perbedaan yang cukup jauh dengan Indonesia yang
merupakan bentuk negara kesatuan dari segi “check and balances”, dimana
Amerika Serikat dalam konstitusinya memberikan fungsi unik kepada Senat
Amerika Serikat (United States Senate) agar ada kesetimbangan kekuasaan
dengan setiap unsur di bawah pemerintah federal.
Berdasarkan Pasal 2 Ayat 2 Konstitusi Amerika Serikat, Senat
berfungsi meratifikasi setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh
pemerintah federal dan juga memberi “restu” (advice and consent) usulan
presiden untuk pengangkatan anggota kabinet, pejabat militer, serta pejabat
45
federal lainnya yang keputusannya berdampak bagi banyak orang dan
kehidupan negara.
Konstitusi AS tidak memberi fungsi unik ini kepada DPR Amerika
Serikat (The House of Representatives). Alasannya adalah untuk menjaga
kewibawaan sistem presidensiil. Senat Amerika Serikat beranggota 100 orang
dari 50 negara bagian. Setiap negara bagian diwakili oleh dua orang senator
berdasarkan Pasal 1 Ayat 3 Konstitusi Amerika Serikat yang berbunyi “Senat
Amerika Serikat akan terdiri dari dua Senator dari setiap Negara Bagian, yang
dipilih oleh Badan Legislatif Negara Bagian tersebut, untuk enam tahun; dan
masing masing Senator akan memiliki satu suara.”.
Sementara itu DPR beranggotakan 435 orang yang mewakili distrik-
distrik di wilayah AS.5 Berdasarkan hal tersebut Beni Sukadis berpendapat
bahwa, Di Amerika Serikat kewenangan Senat Amerika Serikat lebih kuat
dibandingkan kewenangan DPR Amerika Serikat dikarenakan Senat Amerika
Serikat merupakan Majelis Tinggi sedangkan DPR Amerika Serikat adalah
Majelis Rendah.6
Menurut kacamata penulis perwakilan distrik (yang merupakan wakil
dari partai politik) “hanya” dipilih berdasarkan popularitas. Berbeda dari
5
Dikutip dari Kompasiana (http://www.kompasiana.com/efrondp/pengangkatan-panglima-
tni-perlukah-persetujuan-dpr_54f903b8a33311ce308b4a63) yang diakses pada tanggal 20 September
2016. 6 Wawancara penulis dengan Beni Sukadis, Koordinator Program LESPERSSI (Lembaga
Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) pada tanggal 8 September 2016 Jam 15.00 WIB
dikantor LESPERSSI.
46
senator yang ditentukan dan dipilih hanya dua orang dengan cakupan wilayah
yang sangat luas, yakni negara bagian, yang membuat kompetisi para calon
senator sangat ketat, sehingga pemilihan anggota Senat Amerika Serikat dan
DPR Amerika Serikat sangat berbeda, perbedaan tersebutlah yang nantinya
mempengaruhi kualitas calon panglima militer yang terpilih.
Berbeda dengan Indonesia, yang menyerahkan fungsi tersebut ke DPR
bukan ke DPD, berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 UUD 1945 yaitu “Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.”. Jika di Amerika Serikat yang lebih kuat adalah Senat
Amerika Serikat dibandingkan DPR Amerika Serikat, justru di Indonesia
sebaliknya. DPR merupakan majelis tinggi yang sudah ada sejak 1950-an
sedangkan DPD baru lahir pada tahun 2004, hal itulah yang membuat
kewenangan DPR yang begitu besar dibandingkan DPD.
Seorang calon panglima tinggi militer menjalani fit and proper test di
DPR melalui Komisi I yang hanya berjumlah 52 orang.7 Namun begitu,
proses fit and proper test yang dilakukan di DPR berjalan sangat singkat,
contohnya pada saat pengujian Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo
berlangsung 5 jam pada pertengahan tahun 2015 berdasarkan berita Tempo8
7
Dikutip dari Website DPR (http://www.dpr.go.id/akd/index/id/Tentang-Komisi-I) yang
diakses pada tanggal 20 September 2016. 8
Sumber berita dari Tempo (https://m.tempo.co/read/news/2015/07/01/078680206/dpr-
setujui-jenderal-gatot-jadi-panglima-tni).
47
dan Suara9. Berdasarkan penjelasan Koordinator LESPERSSI, bahwa dalam
fit and proper test berlangsung 2-3 jam yang diisi dengan tanya jwab visi dan
misi calon Panglima TNI, menurutnya proses fit and proper test hanya sebatas
formalitas dari DPR saja, dan belum ada sejarahnya calon Panglima TNI
ditolak DPR.10
Jadi, menurut penulis dengan penempatan kewenangan dalam
persetujuan pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia kurang tepat
jika dilakukan oleh DPR.
Selanjutnya, di Indonesia seorang panglima tinggi militer tidak
memiliki wakil panglima yang nantinya berimbas ketika seorang panglima
meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan secara tidak hormat
jika melakukan tindak pidana berat maka tidak ada wakil yang menggantikan
masa jabatannya dan hal ini lah yang menjadi kekurangan dalam mekanisme
pengangkatan panglima TNI yang tidak diatur dalam UU TNI.
Di sisi lain, Indonesia hanya memiliki tiga angkatan bersenjata sesuai
dengan Pasal 4 Ayat 1 UU TNI yang berbunyi “TNI terdiri atas TNI
Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara yang
melaksanakan tugasnya secara matra atau gabungan di bawah pimpinan
Panglima.”. Berbeda dengan Amerika Serikat yang pemilihan Ketua
9
Sumber berita dari Suara (http://www.suara.com/news/2015/07/01/223056/diuji-5-jam-
calon-panglima-tni-pertanyaan-komisi-i-menggigit). 10
Wawancara penulis dengan Beni Sukadis, Koordinator Program LESPERSSI (Lembaga
Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) pada tanggal 8 September 2016 Jam 15.00 WIB
dikantor LESPERSSI.
48
Gabungan Kepala Staf berdasarkan lima cabang angkatan bersenjata yaitu
Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf
Angkatan Udara, Komandan Korps Marinir, dan Kepala Biro Garda Nasional
berdasarkan United States Code Bab 10 Ayat 151 tentang Gabungan Kepala
Staf: Komposisi dan Fungsi. Menurut penulis, ini sebuah kelebihan untuk
Indonesia karena panglima tinggi militer dipilih hanya dari tiga jenis cabang
yang memudahkan presiden dalam menentukan calon panglimanya.
Dalam sejarah The Joint Chiefs of Staff (Gabungan Kepala Staf),
seorang Ketua Gabungan Kepala Staf memiliki masa jabatan paling sedikit 2
tahun dan paling lama 6 tahun.11
Sedangkan di Indonesia pada era reformasi
sudah melantik 7 kali jendral bintang 4 untuk menjadi Panglima TNI, selama
itu juga seorang Panglima TNI memiliki masa jabatan rata-rata 3 tahun.
Berikut tabel daftar Panglima TNI era reformasi:
Daftar Panglima TNI era reformasi 12
Nama Mulai
Menjabat
Berhenti
Menjabat Angkatan Masa Jabatan
Laksamana
TNI
Widodo Adi
Sutjipto
26
Oktober 1999 7 Juni 2002
TNI
Angkatan
Laut
±3 Tahun
11
Berdasarkan data yang diperoleh dari Website resmi The Joint Chiefs of Staff
(http://www.jcs.mil/About/The-Joint-Staff/Chairman/) 12
Dikutip dari Wikipedia
(https://id.wikipedia.org/wiki/Panglima_Tentara_Nasional_Indonesia) yang diakses pada tanggal 20
September 2016.
49
Jenderal TNI
Endriartono
Sutarto
7 Juni 2002 13
Februari 2006
TNI
Angkatan
Darat
Seharusnya pensiun tahun 2002 lalu
mendapat perpanjangan dinas mulai 1
Mei2002 hingga 30
April 2007 berdasarkan surat keputusan
nomor 1999/II/2002
Marsekal TNI
Djoko
Suyanto
13 Februari
2006
28 Desember
2007
TNI
Angkatan
Udara
±2 Tahun
Jenderal TNI
Djoko
Santoso
28 Desember
2007
28 September
2010
TNI
Angkatan
Darat
±3 Tahun
Laksamana
TNI
Agus
Suhartono
28 September
2010
30
Agustus 2013
TNI
Angkatan
Laut
±3 Tahun
Jenderal TNI
Moeldoko
30
Agustus 2013 8 Juli 2015
TNI
Angkatan
Darat
±2 Tahun
Jenderal TNI
Gatot
Nurmantyo
8 Juli 2015 Sekarang
TNI
Angkatan
Darat
Masih Menjabat
Dari tabel diatas bisa dilihat bahwa Indonesia memberikan Panglima
TNI masa jabatan selama 3 tahun. Penulis melihat adanya kekurangan dalam
mekanisme pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesia dalam hal masa
jabatan yang yang lagi-lagi tidak diatur secara eksplisit dalam UU TNI.
Seperti yang sudah dijelaskan di Bab III bahwa di Amerika Serikat,
seorang panglima tinggi militer dapat menjabat selama 6 tahun dan dapat
50
diperpanjang selama 8 tahun serta dapat diangkat kembali untuk kedua
kalinya oleh presiden jika untuk kepentingan nasional serta tidak ada batas
periode ketika dalam keadaan perang.13
Dalam UU TNI tidak ada penjelasan
antisipasi bagi Indonesia untuk situasi saat perang atau kepentingan nasional.
Sehingga, membuat Panglima TNI tidak efektif bekerja karena masa jabatan
yang sangat singkat dan juga memasung kesempatan tentara hebat untuk
memimpin TNI.
13
Dikutip dan ditranslate dari Wikipedia
(https://en.wikipedia.org/wiki/Chairman_of_the_Joint_Chiefs_of_Staff) yang diakses pada tanggal 7
September 2016.
51
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengangkatan panglima tinggi militer dikedua negara merupakan hak
prerogatif presiden dalam sistem presidensiil yang sama-sama
mengedepankan prinsip demokrasi. Dalam hal pengangkatan panglima
tinggi militernya, kedua negara tersebut mengaturnya dalam undang-
undang dibawah konstitusi.
Mekanisme pengangkatan Panglima TNI yang diterapkan di
Indonesia tercantum dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia, begitu juga dengan mekanisme
pengangkatan Ketua Gabungan Kepala Staf di Amerika Serikat yang
tertuang dalam The United States Code (Act of August 10, 1956, 70A
Stat. 676).
2. Implementasi pengangkatan panglima tinggi militer di Indonesiadan
Amerika Serikat sudah sesuai sebagaimana prosedur yang tersirat
dalam undang-undang di kedua negara tersebut, meskipun terlihat
masih ada kekurangan-kekurangan seperti dalam perintah undang-
undang di kedua negara bahwa setiap tahun harus menggilir panglima
dari setiap angkatan bersenjata, namun kenyataannya hal ini masih
52
dapat diabaikan oleh presiden di kedua negara berdasarkan hak
prerogatifnya.
Berdasarkan doktrin "Trias Politika" di kedua negara, belum
pernah terjadi abuse of power dari seorang presiden dalam hal
pengangkatan panglima tinggi militernya dikarenakan adanya prinsip
check and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif, membuat
presiden kedua negara tersebut harus meminta persetujuan kepada
badan legislatif.
3. Pengangkatan panglima tinggi militer, kedua negara memiliki
persamaan dan perbedaan seperti presiden kedua negara sama-sama
membutuhkan persetujuan lembaga legislatif, Presiden Amerika
Serikat meminta persetujuan Senat Amerika Serikat (Perwakilan
Daerah), sedangkan Presiden Indonesia meminta persetujuan DPR
(Perwakilan Rakyat).
Begitupun memiliki kelebihan dan kekurangan di beberapa
aspek seperti di Amerika Serikat memiliki kelebihan, seorang
panglima tinggi militer menjabat selama 2 tahun dapat diperpanjang
jabatannya selama 6 tahun, dibandingkan dengan di Indonesia yang
memiliki jabatan pasti 3 tahun, dan kekurangan seperti di Indonesia
seorang panglima TNI tidak memiliki wakil panglima, dimana
Amerika Serikat Ketua Gabungan Kepala Staf memiliki seorang wakil.
53
B. Saran
Berdasarkan pembahasan yang sudah dipaparkan di Bab-bab
sebelumnya, bahwa kedua negara tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan
atas sistem dan mekansime dalam hal pengangkatan panglima militer yang
mereka anut. Kekurangan tersebutlah yang menjadi landasan penulis untuk
menyarankan:
1. UU TNI harus direvisi dengan mempertegas pengangkatan
Panglima TNI dimana disana tidak dijelaskan secara eksplisit
mengenai masa jabatan, hal yang dapat memberhentikan
jabatan panglima, kriteria calon panglima, dan juga fit and
proper test yang dilaksanakan oleh DPR.
2. Penguatan kewenangan dan keikutsertaan dalam pengangkatan
panglima tinggi militer di DPR Amerika Serikat dan DPD di
Indonesia dimana mereka dimasing-masing negaranya menjadi
majelis rendah yang tidak ada andil dalam hal pengangkatan
panglima tinggi militernya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adyanto, Oksep. “Eksistensi Hak Prerogatif Presiden Pasca Amandemen UUD
1945".Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No.2, 2011.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Asshiddiqie, Jimly.Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta, PT. RajaGrafindo
Persada, 2011.
__________ . Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Jakarta,
Konstitusi Press, 2006.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1997.
Campbell Black, Henry. Black's Law Dictionary, St. Paul Minn: West Publishing
Fuady, Munir. Teori Negara Hukum Modern, Bandung : PT Refika Aditama, 2009.
Ghoffar, Abdul.Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan
UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju. Jakarta: Kencana, 2009.
Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfi.Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia.
Bandung: PT.Alumni, 2010.
Hanitijo Soemitro, Ronny.Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimentri. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1998.
Huda, Ni'matul. Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2005.
__________ . Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Pengantar hukum tata negara Indonesia. Jakarta :
Pusat Studi Tata Negara, Fakultas hukum Universitas Indonesia, 1981.
Mahfud MD, Moh. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Manan, Bagir. Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: FH-UII Press, 2003.
Marzuki, Peter Mahmud.Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana, 2006.
__________. Penelitian Hukum.Jakarta : Kencana. 2011.
Rustandi, Akhmad dan Zul Afdi Ardian. Tata negara : kurikulum 1984/GBPP 1987,
Bandung : Armico, 1992.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Suny, Ismail. Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta: Aksara Baru, 1978.
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah
Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000
The Constitution of the United States
The National Security Act of 1947
The United States Code
Tesis
Abdul Hadi Anshary, Menuju Trias Politika dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
(Studi Konstitusional tentang Pemnisahan Kekuasaan Negara), (Tesis, Program
Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2003)
Website
https://en.wikipedia.org/wiki/Chairman_of_the_Joint_Chiefs_of_Staff
https://id.wikipedia.org/wiki/Ketua_Kepala_Staf_Gabungan_Amerika_Serikat
https://en.wikipedia.org/wiki/Joint_Chiefs_of_Staff
http://indoprogress.com/2015/07/jokowi-dan-jenderal-jenderalnya/
http://www.kompasiana.com/efrondp/pengangkatan-panglima-tni-perlukah-
persetujuan-dpr_54f903b8a33311ce308b4a63
http://www.dpr.go.id/akd/index/id/Tentang-Komisi-I
https://m.tempo.co/read/news/2015/07/01/078680206/dpr-setujui-jenderal-gatot-jadi-
panglima-tni
http://www.suara.com/news/2015/07/01/223056/diuji-5-jam-calon-panglima-tni-
pertanyaan-komisi-i-menggigit
https://id.wikipedia.org/wiki/Panglima_Tentara_Nasional_Indonesia
http://www.jcs.mil/About/The-Joint-Staff/Chairman/
LAMPIRAN
TRANSKIP WAWANCARA
Q: Bagaimanakan mekanisme pengangkatan panglima TNI di Indonesia?
A: Di TNI ada Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) terdiri 10 perwira
tinggi yang mengadakan rapat koordinasi diantara mereka, dan disana setiap angkatan
memberikan usulan calon panglima yang sebelumnya sudah menjadi Kepala Staf
Angkatan. Setelah itu diajukan ke presiden yang digodok sendiri oleh presiden
berdasarkan Pengalaman Territorial (Lapangan), Pengalaman Manajemen dan
Pengalaman Pendidikan. Selanjutnya dipilih oleh presiden, namun pilihan presiden
selalu subjektif menurut kepentingan presiden. Setelah presiden mendapatkan nama
tersebut, presiden menyerahkan kepada DPR (Komisi I). Komisi I harus membahas
itu dalam waktu 20 hari dan dilakukan fit and proper test yang menurut saya hanya
sebatas formalitas yang sampai saat ini belum ada penolakan dari Komisi I terhadap
calon yang diusulkan presiden. Pengambilan keputusan terhadap panglima diambil
secara aklamasi. Selanjutnya dari Komisi I DPR dan setuju lalu dibawa ke sidang
paripurna dan disahkan hasil rapat dan fit and proper test Komisi I. Tidak ada
pengulangan pembahasan pada sidang paripurna DPR karena pada fit and proper test
yang dilakukan Komisi I, seorang panglima ditanyajawab dan membeberkan visi dan
misinya selama 2-3 jam. Setelah disetujui oleh DPR, dikembalikan ke presiden untuk
dilantik.
Q: Apakah pengangkatan Panglima TNI di Indonesia sudah sesuai dengan peraturan
yang berlaku?Apakah peraturan tentang mekanisme tersebut perlu diperbaiki
mengingat masih adanya kekurangan?
A: Jika dilihat UU TNI pasal 13 tentang pengangkatan panglima TNI, menurut saya
sesuai dengan apa yang diundang-undang, masih berjalan secara normal. Saya lihat
belum melihat kekurangan, masalah yang sebenarnya menurut saya di fit and proper
test itu hanya sebatas formalitas karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ke
calon panglima belum ada yang kritis. Kalau bicara soal pemutaran panglima TNI
disetiap angkatan itu kembali lagi ke hak prerogatif presiden. Menurut saya yang
perlu dijelaskan secara eksplisit di dalam undang-undang adalah mengenai
pengalaman calon panglima TNI.
Q: Mengapa hak prerogatif presiden mutlak masih dibatasi dengan adanya
persetujuan dari DPR?
A: Persetujuan dari DPR mutlak dalam Undang-Undang TNI, selama tidak ada
penolakan dari DPR maka tidak ada masalah. Ini adalah pembagian otoritas antara
eksekutif dan legislatif yaitu check and balances.
Q: Menurut yang saya pelajari bahwa di Amerika Serikat seorang presiden meminta
persetujuan kepada Senat yang mirip DPD di Indonesia. Mengapa di Indonesia tidak
meminta persetujuan kepada DPD dalam hal pengangkatan panglima TNI? Kenapa
ke DPR?
A: Senator memiliki wewenang yang lebih besar dibandingkan DPR (House of
Representatives) karena senator merupakan majelis tinggi dan DPR merupakan
majelis rendah. Sedangkan DPD di Indonesia tidak memiliki kewenangan apa-apa
hanya memberikan masukan. Dalam UUD 1945 jelas tertulis bahwa DPR lebih kuat
dibandingkan DPD
Q: Apakah dengan adanya ikut campur DPR sudah sesuai dengan prinsip check and
balances antara lembaga eksekutif dan legislatif?
A: Secara normatif sudah cukup baik, namun saya melihat lemahnya dalam fungsi
pengawasan yang dilakukan DPR setelah terpilihnya panglima TNI
BUKTI WAWANCARA
Foto Penulis dengan Bapak Beni Sukadis selaku Koordinator Program
LESPERSSI (Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) pada tanggal
8 September 2016 Jam 15.00 WIB dikantor LESPERSSI Jl. Petogogan I/30, Blok A,
Kebayoran Baru, Jakarta.
U.S. Codes
10 U.S. Code § 151 - Joint Chiefs of Staff: composition; functions
(a)COMPOSITION.—There are in the Department of Defense the Joint Chiefs of
Staff, headed by the Chairman of the Joint Chiefs of Staff. The Joint Chiefs of
Staff consist of the following:
(1) The Chairman.
(2) The Vice Chairman.
(3) The Chief of Staff of the Army.
(4) The Chief of Naval Operations.
(5) The Chief of Staff of the Air Force.
(6) The Commandant of the Marine Corps.
(7) The Chief of the National Guard Bureau.
(b)FUNCTION AS MILITARY ADVISERS.—
(1) The Chairman of the Joint Chiefs of Staff is the principal military
adviser to the President, the National Security Council, the Homeland
Security Council, and the Secretary of Defense.
(2) The other members of the Joint Chiefs of Staff are military advisers to
the President, the National Security Council, the Homeland Security Council,
and the Secretary of Defense as specified in subsections (d) and (e).
(c)CONSULTATION BY CHAIRMAN.—
(1)In carrying out his functions, duties, and responsibilities, the Chairman
shall, as he considers appropriate, consult with and seek the advice of—
(A) the other members of the Joint Chiefs of Staff; and
(B) the commanders of the unified and specified combatant commands.
(2)Subject to subsection (d), in presenting advice with respect to any matter
to the President, the National Security Council, the Homeland Security Council,
or the Secretary of Defense, the Chairman shall, as he considers appropriate,
inform the President, the National Security Council, the Homeland Security
Council, or the Secretary of Defense, as the case may be, of the range of
military advice and opinion with respect to that matter.
(d)ADVICE AND OPINIONS OF MEMBERS OTHER THAN CHAIRMAN.—
(1)A member of the Joint Chiefs of Staff (other than the Chairman) may
submit to the Chairman advice or an opinion in disagreement with, or advice
or an opinion in addition to, the advice presented by the Chairman to the
President, the National Security Council, the Homeland Security Council, or the
Secretary of Defense. If a member submits such advice or opinion, the
Chairman shall present the advice or opinion of such member at the same
time he presents his own advice to the President, the National Security
Council, the Homeland Security Council, or the Secretary of Defense, as the
case may be.
(2)The Chairman shall establish procedures to ensure that the presentation of
his own advice to the President, the National Security Council, the Homeland
Security Council, or the Secretary of Defense is not unduly delayed by reason
of the submission of the individual advice or opinion of another member of the
Joint Chiefs of Staff.
(e)ADVICE ON REQUEST.—
The members of the Joint Chiefs of Staff, individually or collectively, in their
capacity as military advisers, shall provide advice to the President, the National
Security Council, the Homeland Security Council, or the Secretary of Defense on
a particular matter when the President, the National Security Council, the
Homeland Security Council, or the Secretary requests such advice.
(f)RECOMMENDATIONS TO CONGRESS.—
After first informing the Secretary of Defense, a member of the Joint Chiefs of
Staff may make such recommendations to Congress relating to the Department
of Defense as he considers appropriate.
(g)MEETINGS OF JCS.—
(1)The Chairman shall convene regular meetings of the Joint Chiefs of Staff.
(2)Subject to the authority, direction, and control of the President and the
Secretary of Defense, the Chairman shall—
(A) preside over the Joint Chiefs of Staff;
(B) provide agenda for the meetings of the Joint Chiefs of Staff (including,
as the Chairman considers appropriate, any subject for the agenda
recommended by any other member of the Joint Chiefs of Staff);
(C) assist the Joint Chiefs of Staff in carrying on their business as promptly
as practicable; and
(D) determine when issues under consideration by the Joint Chiefs of Staff
shall be decided.
10 U.S. Code § 152 - Chairman: appointment; grade and rank
(a)APPOINTMENT; TERM OF OFFICE.—
(1)There is a Chairman of the Joint Chiefs of Staff, appointed by the
President, by and with the advice and consent of the Senate, from the officers
of the regular components of the armed forces. The Chairman serves at the
pleasure of the President for a term of two years, beginning on October 1 of
odd-numbered years. Subject to paragraph (3), an officer serving as Chairman
may be reappointed in the same manner for two additional terms. However, in
time of war there is no limit on the number of reappointments.
(2)In the event of the death, retirement, resignation, or reassignment of the
officer serving as Chairman before the end of the term for which the officer
was appointed, an officer appointed to fill the vacancy shall serve as Chairman
only for the remainder of the original term, but may be reappointed as
provided in paragraph (1).
(3)An officer may not serve as Chairman or Vice Chairman of the Joint Chiefs
of Staff if the combined period of service of such officer in such positions
exceeds six years. However, the President may extend to eight years the
combined period of service an officer may serve in such positions if he
determines such action is in the national interest. The limitations of this
paragraph do not apply in time of war.
(b)REQUIREMENT FOR APPOINTMENT.—
(1)The President may appoint an officer as Chairman of the Joint Chiefs of
Staff only if the officer has served as—
(A) the Vice Chairman of the Joint Chiefs of Staff;
(B) the Chief of Staff of the Army, the Chief of Naval Operations, the Chief
of Staff of the Air Force, or the Commandant of the Marine Corps; or
(C) the commander of a unified or specified combatant command.
(2)The President may waive paragraph (1) in the case of an officer if the
President determines such action is necessary in the national interest.
(c)GRADE AND RANK.—
The Chairman, while so serving, holds the grade of general or, in the case of an
officer of the Navy, admiral and outranks all other officers of the armed forces.
However, he may not exercise military command over the Joint Chiefs of Staff or
any of the armed forces.
10 U.S. Code § 153 - Chairman: functions
(a)PLANNING; ADVICE; POLICY FORMULATION.—Subject to the authority, direction,
and control of the President and the Secretary of Defense, the Chairman of the
Joint Chiefs of Staff shall be responsible for the following:
(1)STRATEGIC DIRECTION.—
Assisting the President and the Secretary of Defense in providing for the
strategic direction of the armed forces.
(2)STRATEGIC PLANNING.—
(A) Preparing strategic plans, including plans which conform with resource
levels projected by the Secretary of Defense to be available for the period
of time for which the plans are to be effective.
(B) Preparing joint logistic and mobility plans to support those strategic
plans and recommending the assignment of logistic and mobility
responsibilities to the armed forces in accordance with those logistic and
mobility plans.
(C) Performing net assessments to determine the capabilities of the armed
forces of the United States and its allies as compared with those of their
potential adversaries.
(3)CONTINGENCY PLANNING; PREPAREDNESS.—
(A) Providing for the preparation and review of contingency plans which
conform to policy guidance from the President and the Secretary of
Defense.
(B) Preparing joint logistic and mobility plans to support those contingency
plans and recommending the assignment of logistic and mobility
responsibilities to the armed forces in accordance with those logistic and
mobility plans.
(C) Identifying the support functions that are likely to require contractor
performance under those contingency plans, and the risks associated with
the assignment of such functions to contractors.
(D) Advising the Secretary on critical deficiencies and strengths in force
capabilities (including manpower, logistic, and mobility support) identified
during the preparation and review of contingency plans and assessing the
effect of such deficiencies and strengths on meeting national security
objectives and policy and on strategic plans.
(E) Establishing and maintaining, after consultation with the commanders
of the unified and specified combatant commands, a uniform system of
evaluating the preparedness of each such command to carry out missions
assigned to the command.
(F) In coordination with the Under Secretary of Defense for Acquisition,
Technology, and Logistics, the Secretaries of the military departments, the
heads of the Defense Agencies, and the commanders of the combatant
commands, determining the operational contract support requirements of
the armed forces and recommending the resources required to improve and
enhance operational contract support for the armed forces and planning for
such operational contract support.
(4)ADVICE ON REQUIREMENTS, PROGRAMS, AND BUDGET.—
(A) Advising the Secretary, under section 163(b)(2) of this title, on the
priorities of the requirements identified by the commanders of the unified
and specified combatant commands.
(B) Advising the Secretary on the extent to which the program
recommendations and budget proposals of the military departments and
other components of the Department of Defense for a fiscal year conform
with the priorities established in strategic plans and with the priorities
established for the requirements of the unified and specified combatant
commands.
(C) Submitting to the Secretary alternative program recommendations and
budget proposals, within projected resource levels and guidance provided
by the Secretary, in order to achieve greater conformance with the
priorities referred to in clause (B).
(D) Recommending to the Secretary, in accordance with section 166 of this
title, a budget proposal for activities of each unified and specified
combatant command.
(E) Advising the Secretary on the extent to which the major programs and
policies of the armed forces in the area of manpower and contractor
support conform with strategic plans.
(F) Identifying, assessing, and approving military requirements (including
existing systems and equipment) to meet the National Military Strategy.
(G) Recommending to the Secretary appropriate trade-offs among life-
cycle cost, schedule, and performance objectives, and procurement
quantity objectives, to ensure that such trade-offs are made in the
acquisition of materiel and equipment to support the strategic and
contingency plans required by this subsection in the most effective and
efficient manner.
(5)JOINT FORCE DEVELOPMENT ACTIVITIES.—
(A) Developing doctrine for the joint employment of the armed forces.
(B) Formulating policies and technical standards, and executing actions, for
the joint training of the armed forces.
(C) Formulating policies for coordinating the military education of members
of the armed forces.
(D) Formulating policies for concept development and experimentation for
the joint employment of the armed forces.
(E) Formulating policies for gathering, developing, and disseminating joint
lessons learned for the armed forces.
(F) Advising the Secretary on development of joint command, control,
communications, and cyber capability, including integration and
interoperability of such capability, through requirements, integrated
architectures, data standards, and assessments.
(6)OTHER MATTERS.—
(A) Providing for representation of the United States on the Military Staff
Committee of the United Nations in accordance with the Charter of the
United Nations.
(B) Performing such other duties as may be prescribed by law or by the
President or the Secretary of Defense.
(b)NATIONAL MILITARY STRATEGY.—
(1)NATIONAL MILITARY STRATEGY.—
(A) The Chairman shall determine each even-numbered year whether to
prepare a new National Military Strategy in accordance with this
subparagraph or to update a strategy previously prepared in accordance
with this subsection. The Chairman shall complete preparation of the
National Military Strategy or update in time for transmittal to Congress
pursuant to paragraph (3), including in time for inclusion of the report of
the Secretary of Defense, if any, under paragraph (4).
(B) Each National Military Strategy (or update) under this paragraph shall
be based on a comprehensive review conducted by the Chairman in
conjunction with the other members of the Joint Chiefs of Staff and the
commanders of the unified and specified combatant commands.
(C) Each National Military Strategy (or update) submitted under this
paragraph shall describe how the military will achieve the objectives of the
United States as articulated in—
(i) the most recent National Security Strategy prescribed by the
President pursuant to section 108 of the National Security Act of 1947
(50 U.S.C. 3043);
(ii) the most recent annual report of the Secretary of Defense submitted
to the President and Congress pursuant to section 113 of this title;
(iii) the most recent Quadrennial Defense Review conducted by the
Secretary of Defense pursuant tosection 118 of this title; and
(iv) any other national security or defense strategic guidance issued by
the President or the Secretary of Defense.
(D) Each National Military Strategy (or update) submitted under this
paragraph shall identify—
(i) the United States military objectives and the relationship of those
objectives to the strategic environment and to the threats required to be
described under subparagraph (E);
(ii) the operational concepts, missions, tasks, or activities necessary to
support the achievement of the objectives identified under clause (i);
(iii) the fiscal, budgetary, and resource environments and conditions
that, in the assessment of the Chairman, affect the strategy; and
(iv) the assumptions made with respect to each of clauses (i) through
(iii).
(E) Each National Military Strategy (or update) submitted under this
paragraph shall also include a description of—
(i) the strategic environment and the opportunities and challenges that
affect United States national interests and United States national
security;
(ii) the threats, such as international, regional, transnational, hybrid,
terrorism, cyber attack, weapons of mass destruction, asymmetric
challenges, and any other categories of threats identified by the
Chairman, to the United States national security;
(iii) the implications of current force planning and sizing constructs for
the strategy;
(iv) the capacity, capabilities, and availability of United States forces
(including both the active and reserve components) to support the
execution of missions required by the strategy;
(v) areas in which the armed forces intends to engage and synchronize
with other departments and agencies of the United States Government
contributing to the execution of missions required by the strategy;
(vi) areas in which the armed forces could be augmented by
contributions from alliances (such as the North Atlantic Treaty
Organization), international allies, or other friendly nations in the
execution of missions required by the strategy;
(vii) the requirements for operational contractor support to the armed
forces for conducting security force assistance training, peacekeeping,
overseas contingency operations, and other major combat operations
under the strategy; and
(viii) the assumptions made with respect to each of clauses (i) through
(vii).
(F) Each update to a National Military Strategy under this paragraph shall
address only those parts of the most recent National Military Strategy for
which the Chairman determines, on the basis of a comprehensive review
conducted in conjunction with the other members of the Joint Chiefs of
Staff and the commanders of the combatant commands, that a modification
is needed.
(2)RISK ASSESSMENT.—
(A) The Chairman shall prepare each year an assessment of the risks
associated with the most current National Military Strategy (or update)
under paragraph (1). The risk assessment shall be known as the “Risk
Assessment of the Chairman of the Joint Chiefs of Staff”. The Chairman
shall complete preparation of the Risk Assessment in time for transmittal to
Congress pursuant to paragraph (3), including in time for inclusion of the
report of the Secretary of Defense, if any, under paragraph (4).
(B) The Risk Assessment shall do the following:
(i) As the Chairman considers appropriate, update any changes to the
strategic environment, threats, objectives, force planning and sizing
constructs, assessments, and assumptions that informed the National
Military Strategy required by this section.
(ii) Identify and define the strategic risks to United States interests and
the military risks in executing the missions of the National Military
Strategy.
(iii) Identify and define levels of risk distinguishing between the
concepts of probability and consequences, including an identification of
what constitutes “significant” risk in the judgment of the Chairman.
(iv)
(I) Identify and assess risk in the National Military Strategy by
category and level and the ways in which risk might manifest itself,
including how risk is projected to increase, decrease, or remain stable
over time; and
(II) for each category of risk, assess the extent to which current or
future risk increases, decreases, or is stable as a result of budgetary
priorities, tradeoffs, or fiscal constraints or limitations as currently
estimated and applied in the most current future-years defense
program under section 221 of this title.
(v)Identify and assess risk associated with the assumptions or plans of
the National Military Strategy about the contributions or support of—
(I) other departments and agencies of the United States Government
(including their capabilities and availability);
(II) alliances, allies, and other friendly nations (including their
capabilities, availability, and interoperability); and
(III) contractors.
(vi) Identify and assess the critical deficiencies and strengths in force
capabilities (including manpower, logistics, intelligence, and mobility
support) identified during the preparation and review of the contingency
plans of each unified combatant command, and identify and assess the
effect of such deficiencies and strengths for the National Military
Strategy.
(3)SUBMITTAL OF NATIONAL MILITARY STRATEGY AND RISK ASSESSMENT TO
CONGRESS.—
(A) Not later than February 15 of each even-numbered year, the Chairman
shall, through the Secretary of Defense, submit to the Committees on
Armed Services of the Senate and the House of Representatives the
National Military Strategy or update, if any, prepared under paragraph (1)
in such year.
(B) Not later than February 15 each year, the Chairman shall, through the
Secretary of Defense, submit to the Committees on Armed Services of the
Senate and the House of Representatives the Risk Assessment prepared
under paragraph (2) in such year.
(4)SECRETARY OF DEFENSE REPORTS TO CONGRESS.—
(A) In transmitting a National Military Strategy (or update) or Risk
Assessment to Congress pursuant to paragraph (3), the Secretary of
Defense shall include in the transmittal such comments of the Secretary
thereon, if any, as the Secretary considers appropriate.
(B) If the Risk Assessment transmitted under paragraph (3) in a year
includes an assessment that a risk or risks associated with the National
Military Strategy (or update) are significant, or that critical deficiencies in
force capabilities exist for a contingency plan described in paragraph
(2)(B)(vi), the Secretary shall include in the transmittal of the Risk
Assessment the plan of the Secretary for mitigating such risk or deficiency.
A plan for mitigating risk of deficiency under this subparagraph shall—
(i) address the risk assumed in the National Military Strategy (or
update) concerned, and the additional actions taken or planned to be
taken to address such risk using only current technology and force
structure capabilities; and
(ii) specify, for each risk addressed, the extent of, and a schedule for
expected mitigation of, such risk, and an assessment of the potential for
residual risk, if any, after mitigation.
(c)ANNUAL REPORT ON COMBATANT COMMAND REQUIREMENTS.—
(1) At or about the time that the budget is submitted to Congress for a fiscal
year under section 1105(a) of title 31, the Chairman shall submit to the
congressional defense committees a report on the requirements of the
combatant commands established under section 161 of this title.
(2) Each report under paragraph (1) shall contain the following:
(A) A consolidation of the integrated priority lists of requirements of the
combatant commands.
(B) The Chairman’s views on the consolidated lists.
(C) A description of the extent to which the most recent future-years
defense program (under section 221 of this title) addresses the
requirements on the consolidated lists.
(D) A description of the funding proposed in the President’s budget for the
next fiscal year, and for the subsequent fiscal years covered by the most
recent future-years defense program, to address each deficiency in
readiness identified during the joint readiness review conducted
under section 117 of this titlefor the first quarter of the current fiscal year.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA
NASIONAL INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Bagian Kedua
Organisasi
Pasal 12
(1) Organisasi TNI terdiri atas Markas Besar TNI yang membawahkan Markas Besar TNI Angkatan Darat, Markas Besar TNI Angkatan Laut, dan Markas Besar TNI Angkatan Udara.
(2) Markas Besar TNI terdiri atas unsur pimpinan, unsur pembantu pimpinan, unsur pelayanan, badan pelaksana pusat, dan Komando Utama Operasi.
(3) Markas Besar Angkatan terdiri atas unsur pimpinan, unsur pembantu pimpinan, unsur pelayanan, badan pelaksana pusat, dan Komando Utama Pembinaan.
(4) Susunan organisasi TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 13
(1) TNI dipimpin oleh seorang Panglima.
(2) Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengangkatan dan pemberhentian Panglima dilakukan berdasarkan kepentingan organisasi TNI.
(4) Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.
(5) Untuk mengangkat Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden mengusulkan satu orang calon Panglima untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(6) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap calon Panglima yang dipilih oleh Presiden, disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari tidak termasuk masa reses, terhitung sejak permohonan persetujuan calon Panglima diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(7) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui calon Panglima yang diusulkan oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Presiden mengusulkan satu orang calon lain sebagai pengganti.
(8) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui calon Panglima yang diusulkan oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat memberikan alasan tertulis yang menjelaskan ketidaksetujuannya.
(9) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dianggap telah menyetujui, selanjutnya Presiden berwenang mengangkat Panglima baru dan memberhentikan Panglima lama.
(10) Tata cara pengangkatan dan pemberhentian Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9), diatur lebih lanjut dengan keputusan Presiden.
Pasal 14
(1) Angkatan dipimpin oleh seorang Kepala Staf Angkatan dan berkedudukan di bawah Panglima serta bertanggung jawab kepada Panglima.
(2) Kepala Staf Angkatan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Panglima.
(3) Kepala Staf Angkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat dari Perwira Tinggi aktif dari angkatan yang bersangkutan dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
(4) Tata cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala Staf Angkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan keputusan Presiden.
Pasal 15
Tugas dan kewajiban Panglima adalah:
1. memimpin TNI;
2. melaksanakan kebijakan pertahanan negara;
3. menyelenggarakan strategi militer dan melaksanakan operasi militer;
4. mengembangkan doktrin TNI;
5. menyelenggarakan penggunaan kekuatan TNI bagi kepentingan operasi militer;
6. menyelenggarakan pembinaan kekuatan TNI serta memelihara kesiagaan operasional;
7. memberikan pertimbangan kepada Menteri Pertahanan dalam hal penetapan kebijakan pertahanan negara;
8. memberikan pertimbangan kepada Menteri Pertahanan dalam hal penetapan kebijakan pemenuhan kebutuhan TNI dan komponen pertahanan lainnya;
9. memberikan pertimbangan kepada Menteri Pertahanan dalam menyusun dan melaksanakan perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan negara;
10. menggunakan komponen cadangan setelah dimobilisasi bagi kepentingan operasi militer;
11. menggunakan komponen pendukung yang telah disiapkan bagi kepentingan operasi militer; serta
12. melaksanakan tugas dan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Tugas dan kewajiban Kepala Staf Angkatan adalah:
1. memimpin Angkatan dalam pembinaan kekuatan dan kesiapan operasional Angkatan;
2. membantu Panglima dalam menyusun kebijakan tentang pengembangan postur, doktrin, dan strategi serta operasi militer sesuai dengan matra masing-masing;
3. membantu Panglima dalam penggunaan komponen pertahanan negara sesuai dengan kebutuhan Angkatan; serta
4. melaksanakan tugas lain sesuai dengan matra masing-masing yang diberikan oleh Panglima.
top related