penerapan asas pembuktian terbalik dalam tindak pidana...
Post on 30-Mar-2019
252 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA
JUDUL PROGRAM
PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI
(Studi Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang)
Bidang Kegiatan
PKM-AI
Diusulkan Oleh :
Atoy Yoga P (E0010061 / 2010)
Asti Handini (E0010058 / 2010)
Vanny Christina (E0010345 / 2010)
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
1
PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI
(Studi Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang)
Atoy Yoga Prasetya, Asti Handini, Vanny Cristina
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Email : asti_handini@yahoo.com
ABSTRAK :
Korupsi merupakan perilaku yang telah membudaya dalam kehidupan
bangsa Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas
maraknya korupsi. Hal ini terlihat dari usaha Pemerintah dengan membentuk
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Kemudian munculnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagai konsekuensi lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi. Dimana Pengadilan Tipikor berwenag
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi.
Sistem pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi mendasarkan
pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil dan ketiga
Undang-Undang diatas sebagai Hukum Pidana Materiil yaitu sistem
pembuktian negatif dengan asas praduga tak bersalah. Namun terdapat hal
yang tidak lazim, didalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, sistem pembuktian perkara tindak pidana korupsi menggunakan
sistem pembuktian terbalik. Sedangkan dalam KUHAP hal demikian tidak
diatur. Penerapan pembuktian terbalik dalam praktek masih mengalami
beberapa hambatan, yakni dipertentangkan dengan asas pembuktian terbalik,
ketidak jelasan aturan mengenai pembuktian terbalik dan adanya hibah fiktif.
Dengan penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat praktis, yaitu
dapat memberi masukan bagi para penegak hukum dalam menyelesaikan
permasalahan korupsi dengan disertai penerapan sistem pembuktian terbalik
secara konsisten.
Kata Kunci : Tindak Pidana Korupsi , Pembuktian Terbalik
ABSTRACT :
Corruption is a behavior that has been entrenched in the life of the
Indonesian nation . Various attempts have been made to eradicate the
rampant corruption . This is evident from the efforts of the Government to
establish the Law No. 31 of 1999 which was amended in Law No. 20 Year
2001 on Eradication of Corruption . Then the advent of the Corruption Court
2
as a consequence of the enactment of Law No. 30 Year 2002 on Corruption
Eradication Commission . Corruption Court where authorities are checking
out , try and decide corruption cases .
System of proof in corruption cases based on Law No. 8 of 1981 on
the Law of Criminal Procedure (Criminal Code ) as a formal criminal law
and a third above the Law of Criminal Law Material verification system that
is negative with the presumption of innocence . But there are things that are
not uncommon , in Article 37 of Law No. 31 of 1999 jo . Law No. 20 Year
2001 on Corruption Eradication , system verification corruption cases using
reverse authentication system . While such cases in the Criminal Code is not
set . Implementation of proof in practice still have some obstacles , which is
opposed to the principle of proof , lack of clarity about the rules of proof and
the existence of a fictitious grant . With this research can bring practical
benefits , which can provide input for law enforcement in solving the
problems of corruption , accompanied by the application of reverse
authentication system consistently.
Keywords : Corruption, Proof Reversed.
A. PENDAHULUAN
Korupsi merupakan fenomena yang terjadi secara sistematik dalam
penyelenggaran negara. Penanggulangan bentuk kejahatan tersebut di atas
sangat diprioritaskan, hal ini karena korupsi dipandang dapat mengganggu
dan menghambat pembangunan nasional. penanggulanganya yang sulit,
masalah pembuktian dalam tindak pidana korupsi juga merupakan masalah
yang rumit, karena pelaku tindak pidana korupsi ini melakukan kejahatanya
yang rapi. Sulitnya pembuktian dalam perkara korupsi ini merupakan
tantangan bagi para aparat penegak hukum.
Dalam hukum pembuktian korupsi, khususnya mengenai pembebanan
pembuktian ada perbedaan dengan ketentuan pembebanan di KUHAP. Dalam
hal-hal tertentu dan pada tindak pidana tertentu terdapat penyimpangan beban
pembuktian tidak mutlak pada jaksa penuntut umum, tetapi ada pada
terdakwa. Melalui penerapan pembuktian terbalik, terdakwa yang harus
membuktikan bahwa harta yang dimilikinya diperoleh dengan cara yang legal
(sah berdasarkan hukum), kalau terdakwa tidak mampu membuktikan bahwa
hartanya diperoleh dengan cara yang legal, maka ia dapat dikategorikan
melakukan tindak pidana korupsi.
Ketentuan mengenai pembuktian terbalik sebenarnya sudah
dicantumkan di dalam Pasal 12B, 37, 37A, 38 Undang-undang Nomor 20
3
tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan ini merupakan
penyimpangan dari sistem pembuktian konvensional yang diatur dalam
KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). KUHAP
menentukan bahwa yang harus membuktikan kesalahan terdakwa adalah
jaksa penuntut umum bukan terdakwa. Di samping itu penerapan pembuktian
terbalik juga merupakan penyimpangan dari asas praduga tidak bersalah
(presumption of innocence), melalui pembuktian terbalik terdakwa dianggap
bersalah melakukan tindak pidana korupsi sampai dapat membuktikan
sebaliknya. Dengan diterapkannya pembuktian terbalik akan memberikan
efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi, karena ia yang harus
membuktikan bahwa ia tidak bersalah, artinya kalau ia tidak mampu
membuktikan, maka otomatis ia dianggap bersalah melakukan tindak pidana
korupsi.
B. TUJUAN
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana
Penerapan sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi.
C. METODE
Dalam penulisan artikel ini, penulis mempergunakan metode
kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Menurut
Kirk dan Miller mendefinisikan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada
pengamatan manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya
( Haris Herdiansyah, 2010:9). Jenis penelitian ini menggunakan penelitian
hukum normatif (legal research) atau dikenal sebagai penelitian hukum
doktrinal atau penelitian hukum kepustakaan yaitu hanya studi dokumen
yakni menggunakan sumber-sumber data sekunder saja berupa peraturan
perundang-undangan, teori hukum dan pendapat para ahli, itu sebabnya
digunakan analisis secara kualitatif (normatif-kualitatif) karena datanya
4
bersifat kualitatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma
yang dimaksud adalah asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-
undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin atau ajaran (Mukti
Fajar ND dan Yuliyanto Achmad, 2009:34).
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem pembuktian dalam ketentuan Pasal 17 Undang-undangNomor 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dikenal dengan
sistem pembagian pembuktian, yaitu merupakan suatu asas yang mewajibkan
terdakwa untuk membuktikan ketidakbersalahannya, tanpa menutup
kemungkinan jaksa melakukan hal yang sama untuk membuktikan kesalahan
terdakwa.
Selanjutnya, pembuktian terbalik Tindak Pidana Korupsi sebenarnya
telah disebutkan di dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.
Undang-undangNomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 37 yang berbunyi sebagai
berikut:
1.Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
2.Dalam terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan
sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Ketentuan dalam Pasal 37 merupakan suatu penyimpangan dari Pasal
66 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan bahwa
tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Hukum Acara
Pidana digunakan dalam proses kejahatan korupsi, khususnya dalam hal
pembuktian adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP).
Undang-undang tersebut tidak mengenal asas pembuktian terbalik. Asas ini
dinilai bertentangan dengan Hak Asasi Manusia apabila dikaitkan dengan
asas “Presumption of Innocence” atau “asas praduga tak bersalah”.
Kebijakan legislasi pembalikan beban pembuktian mulai terdapat dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 24 Tahun 1960 tentang
5
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan. Terhadap Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang No. 24 Tahun 1960 dilakukan penyempurnaan
sehingga dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 1971
(Lilik Mulyadi. 2007:156).
Pembuktian terbalik yang bersifat terbatas sebagaimana tersebut di
atas, hanya terjadi di sidang pengadilan. Jika pembuktian terbalik diwajibkan
pada saat berstatus sebagai tersangka, maka dikhawatirkan pembuktian
terbalik itu dapat menjadi bumerang bagi penegakan hukum pemberantasan
korupsi itu sendiri. Dapat saja terjadi, pembuktian terbalik tersebut
disalahgunakan oleh penyidik. Penyidik dapat melakukan penyalahgunaan
wewenang, dengan memeras seseorang yang telah menjadi tersangka yang
diduga telah melakukan korupsi.
Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana Pencucian Uang
memiliki hubungan atau keterkaitan yang sangat fundamental. Hal tersebut
secara jelas dapat dilihat dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
(TPPU). Dalam Undang-Undang itu sendiri dikenal satu istilah yang disebut
dengan “tindak pidana asal” (predicate crime). Tindak pidana asal
didefinisikan sebagai tindak pidana yang memicu (sumber) terjadinya tindak
pidana pencucian uang.
Pencucian uang merupakan sarana bagi para pelaku kejahatan korupsi
untuk melegalkan uang hasil kejahatannya dengan cara menyembunyikan
ataupun menghilangkan asal-usul uang yang diperoleh dari hasil kejahatan
melalui mekanisme lalu lintas keuangan. raktik pencucian uang ini dipilih
dengan tujuan agar asal-usul uang tersebut tersembunyi dan tidak dapat
diketahui dan dilacak oleh penegak hukum. Setelah proses pencucian uang
selesai dilakukan, maka uang tersebut secara formil yuridis merupakan uang
dari sumber yang sah atau kegiatan-kegiatan yang tidak melanggar hukum.
Tindak pidana korupsi sangat berkaitan dengan pencucian uang. Pada
umumnya hasil dari perbuatan korupsi disalurkan ke dalam suatu rekening baik
melalui perbankan maupun non perbankan ataupun rekening keluarga. Kecuali
dalam hal korupsi tertangkap tangan maka tidak ada pencucian uang.
6
Undang-Undang TPPU mengenal atau memuat tentang ketentuan
pembuktian terbalik, yaitu koruptor yang menyangkal hartanya berasal dari
korupsi, diperintahkan oleh hakim untuk membuktikan asal usul hartanya.
Pelaku dalam sidang perkara di pengadilan jika tidak bisa membuktikan
sumbernya dari kegiatan yang sah, maka harus disita untuk negara, dan pelaku
dipidana.
Pasal-pasal lain yang mendukung pembuktian terbalik ini diantaranya
yaitu pada Pasal 79 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang mengenai sita terhadap harta kekayaan hasil
dari suatu tindak pidana yang menyatakan bahwa: “Dalam hal terdakwa
meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang
cukupkuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana
Pencucian Uang, hakim atas tuntutan penuntu umum memutuskan
perampasan Harta Kekayaan yang telah disita.”
Ketentuan Pasal 79 ayat (4) dalam penjelasannya dimaksudkan untuk
mencegah agar ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki Harta
Kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Di samping itu sebagai usaha
untuk mengembalikan kekayaan negara dalam hal tindak pidana tersebut telah
merugikan keuangan negara. Hakim pengadilan tipikor memerintahkan
terdakwa untuk membuktikan profil harta kekayaan terdakwa yang
mencurigakan atau sangat signifikan dibandingkan dengan perolehan harta
kekayaannya yang sah.
Terdakwa bersifat aktif hanya pada pembuktian asal usul harta
kekayaan. Unsur praduga tak bersalah tetap dijalankan dalam tahap
pembuktian sebelum tahap pengadilan yang dilakukan oleh jaksa. Maksudnya
jaksa penuntut umum juga berkewajiban dalam hal pembuktian tuntutannya.
Keadaan tersebut dapat dikatakan bahwa TPPU juga menggunakan jalur
pidana (criminal procedur) dengan tetap mempertahankan sistem pembuktian
negatif (beyond reasonable doubt), sedangkan terhadap asal usul harta
kekayaan pelaku digunakan pembuktian terbalik.
Akan tetapi, pembuktian terbalik menimbulkan masalah karena
bertentangan dengan Pasal 183 KUHAP sebab : “Hakim tidak boleh
7
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”. Jadi Hakim pengadilan tipikor tidak berwenang memberikan
perintah dimaksud karena tidak memiliki kewenangan berdasarkan Undang-
Undang Tipikor dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Proses
pembuktian tersebut hanya berlaku dan dapat diterapkan pada tindak pidana
memperkaya diri sendiri secara tidak sah atau “illicit enrichment”. Sampai
saat ini, illicit enrichment belum ditetapkan (diundangkan) sebagai salah satu
tindak pidana dalam Undang-undang Tipikor Tahun 1999 atau Tahun 2001.
Selain itu, pembuktian terbalik juga bertentangan dengan Pasal 189
Ayat (4) KUHAP : “Keterangan terdakwa saja , tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”. Oleh
karena itu perlu ada langkah baru, salah satunya adalah menggunakan teori
"keseimbangan kemungkinan pembuktian" (balanced probability of
principles), yaitu keseimbangan yang proporsional antara perlindungan
individu dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta
kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Dengan demikian, atas
dasar bahwa harta kekayaannya diduga kuat berasal dari korupsi, maka
tersangka dapat diwajibkan untuk melakukan pembuktian bahwa ia tidak
bersalah.
Kebutuhan hukum serta kondisi faktual saat ini adalah konsep baru
dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010, dengan penguatan sistem beban
pembuktian terbalik dalam penyelesaian TPPU. Beban pembuktian terbalik
secara berimbang yang menjadi muatan utama konsep di Indonesia
merupakan salah satu jalan terbaik untuk mengikis pergesekan pertentangan.
Melalui dasar teori yang dikemukakan oleh Oliver Stolpe dalam beban
pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan (Balanced Probability of
Principles). Pelaksanaan beban pembuktian terbalik telah memiliki
kepentingan yang mendesak untuk segera di implementasikan dalam sebuah
praktik TPPU. Sekaligus menjawab atas permasalahan mengakar dalam
8
kejahatan asal TPPU yang tidak kunjung menempati titik terbaik dalam
sejarah bangsa.
Walaupun merupakan kejahatan yang lahir dari kejahatan asalnya,
misalnya korupsi, namun rezim anti pencucian uang di hampir seluruh negara
menempatkan pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang tidak bergantung
pada kejahatan asalnya dalam hal akan dilakukannya proses penyidikan
pencucian uang (Adrian Sutedi, 2008: 133-134). Di sidang pengadilan,
terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaanya bukan merupakan
hasil dari suatu tindak pidana (asas pembuktian terbalik). Dan untuk
kelancaran pemeriksaan di pengadilan, dalam hal terdakwa telah dipanggil
secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah,
perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa sesuai dengan
ketentuan pada Pasal 79 ayat (1).
E. KESIMPULAN
Pada umumnya harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi akan
sangat berkaitan dengan perbuatan pencucian uang. Di dalam Undang-undang
TPPU terbaru dipakai sistem pembuktian terbalik dalam hal tindak pidana
pencucian uang yang berasal dari kejahatan korupsi sebagai tindak pidana
asalnya. Sistem pembuktian dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi
berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20
Tahun 2001 dan KUHAP sebagai sumber hukum materiil dan sumber hukum
formil adalah sistem pembuktian terbalik terbatas atau berimbang. Sistem ini
memberikan terdakwa hak untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak
pidana korupsi tanpa meniadakan kewajiban penuntut umum membuktikan
asal-usul harta kekayaan terdakwa dalam surat dakwaannya. Terbatas
maksudnya hanya mengenai asal-usul harta kekayaan
proses pemeriksaan terdakwa sesuai dengan KUHAP kecuali ditentukan lain
dengan UU TPPU. Konsekuensinya, jika terdakwa tidak berhasil membuktikan
harta kekayaan yang berhasil tindak pidana maka yang terjadi tidak serta merta
terdakwa terbukti sebagai tindak pidana pencucian uang, dengan demikian
pembalikan beban pembuktian yang diatur dalam tindak pidana pencucian
9
uang hanya menyangkut salah satu unsur tindak pidana pencucian uang tetap
harus dibuktikan oleh penuntut umum.
F. UCAPAN TERIMAKASIH
Atas terselesaikannya PKM AI ini penulis ingin menyampaikan terima
kasih kepada:
1. Dosen Pembimbing Fakultas Bapak Ismunarno, S.H.,M.Hum dan Dosen
Pembimbing Mitra dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang
Bapak John H. Butar-butar, S. H, M. Si, M. H yang telah mendampingi,
memberikan bimbingan, didikan, pengetahuan mengenai Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi di Semarang.
2. Ketua Gugus KMM Fakultas Hukum UNS Bapak Pranoto, S. H, M. H
yang telah memberikan pendampingan, arahan, petunjuk dan atas
terselenggaranya Kegiatan Magang Mandiri Fakultas Hukum UNS periode
XVI dengan baik.
3. Orang tua yang telah mendukung penulis secara materiil maupun
spiritual.
4. Kepada rekan dan teman yang telah memberi dukungan, semangat dan
motivasi.
G. DAFTAR PUSTAKA
Buku,
Adrian Sutedi. 2008. Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Lilik Mulyadi. 2007. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis,
Praktik dan Masalahnya. Bandung: PT. Alumni.
Sutopo, HB. 1999. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Makalah dan Artikel
Giovanoli, M. 2011.dari Bank for International Settlement dalam makalah
Grace Y. Bawole, SH., MH “Sistem Pembuktian dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang di Indonesia Menurut UU No. 23 Tahun 2004”. Manado:
FH Univ. Sam Ratulangi.
10
Pauline David. 2008. “Panduan Jaksa Penuntut Umum Indonesia dalam
Penanganan Harta Hasil Kejahatan”.Indonesia Australia Legal
Development Facility.
Perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 24 Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 sebagaimana telah diubah Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
top related