pendahuluan - sinta universitas kristen duta...
Post on 25-Mar-2019
246 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
“Di tengah ladang, manusia belajar untuk mencintai dan melayani kemanusiaan”
(Jean Jackques Rousseau)
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Tesis ini diawali dari keprihatinan penulis terhadap kehidupan sebuah
komunitas transmigran di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Bagian
Selatan, tepatnya di daerah Air Sugihan. Kaum transmigran yang mayoritas
berasal dari Jawa ini hidup di wilayah yang terisolir dari pusat kota yang
merupakan juga pusat perdagangan dan perekonomian. Selama hampir dua puluh
tahun sejak tahun 1980-an, masyarakat di Air Sugihan menghadapi kesulitan
mendapatkan sumber pangan dan air bersih karena lahan gambut yang mereka
tempati tidak subur bagi tanaman mereka. Sekalipun berbagai bentuk bantuan dan
pembinaan telah dilakukan oleh pihak-pihak seperti Gereja, Pemerintah, maupun
organisasi-organisasi non pemerintah, namun hasilnya belum mampu
memberdayakan mereka untuk keluar dari kemiskinan.
Air Sugihan merupakan nama Kecamatan di Kabupaten Ogan Komering Ilir,
Sumatera Selatan. Letaknya kurang lebih memakan waktu tiga jam dari kota
Palembang. Perjalanan ke sana hanya dapat dilalui melalui jalan sungai di
MILIK U
KDW
2
sepanjang sungai Musi dengan menggunakan perahu kayu bermesin. Daerah ini
dijadikan wilayah transmigrasi sejak tahun 1980. Dan transmigran pertama yang
datang ke sana adalah transmigran dari Jawa. Kondisi lahan di Air Sugihan,
hampir seluruhnya merupakan lahan rawa gambut. Kondisi lahan yang seperti ini
membuat para penduduk kesulitan menanam padi dan tanaman lain, serta
kesulitan mendapatkan air bersih. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat air
rawa berwarna kuning dan berasa masam atau payau.
Mengapa mereka bisa datang ke Air Sugihan? Mengapa mereka tetap miskin
jika cita-cita pemerintah melalui program transmigrasi adalah untuk
menyejahterakan para petani gurem di Jawa? Ada banyak bantuan yang diberikan
dari pemerintah seperti bibit padi unggul, pupuk dan obat-obatan pertanian serta
adanya perusahaan - perusahaan besar di Sumatera Selatan, tetapi mengapa yang
terjadi justru semakin membuat kaum transmigran di Air Sugihan terpuruk dalam
lubang kemiskinan, krisis pangan dan air? Apa yang salah dengan program
transmigrasi?
Pergumulan-pergumulan di atas, membuat penulis ingin mengamati lebih
jauh kehidupan para transmigran ini. Menurut penulis, kemiskinan di Air Sugihan
nampaknya tidak terlepas dari penerapan sistem pertanian yang tidak sesuai
dengan jenis lahan, juga strategi dan cara mengelolaan tanah, hutan, dan air yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan agri-bisnis tanpa memperhitungkan
dampaknya bagi kelangsungan lingkungan hidup di Air Sugihan. Seperti yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan agro industri, misalnya perusahaan kayu
hutan industri yang memanfaatkan hutan sebagai hasil produksi, dengan cara
MILIK U
KDW
3
menebang dan membakar hutan secara besar-besaran dan mengakibatkan polusi
udara, tanah dan air. Kondisi semacam ini tidak hanya menimbulkan berbagai
penyakit, khususnya bagi kaum perempuan dan anak-anak, tetapi juga membuat
sebagian besar masyarakat lokal kehilangan lahannya.1 Kekuatan politis antara
perusahaan dan pemerintah dalam menguasai lahan menjadikan masyarakat Air
Sugihan semakin terpinggirkan. Mereka tidak hanya terancam kehilangan lahan
pertanian mereka, tetapi juga kehilangan sumber-sumber pangan bagi keluarga
mereka.
Kemiskinan masyarakat di Air Sugihan juga tidak terlepas dari sistem
perekonomian yang tidak memihak rakyat kecil. Hasil penjualan produksi
pertanian ‘dihargai’ oleh kaum pedagang dengan harga yang tidak seimbang
dengan biaya produksi yang mereka keluarkan setiap tahunnya. Harga bibit,
pupuk, dan obat-obat pertanian yang mahal, jika dibandingkan dengan harga jual
yang rendah, tentu semakin memperparah kondisi perekonomian mereka.2
Dalam menghadapi permasalahan perekonomian yang serba terbatas ini,
kaum perempuan di Air Sugihan turut menanggung dampak bagi kehidupan
mereka. Menurut Vandana Shiva, disaat kaum laki-laki bekerja membuka lahan,
mencangkul dan mengolah sawah, kaum perempuan bergumul dengan tahap
persemaian, menanam, menyiangi rumput, memelihara, dan memanen. Akibatnya,
perempuan yang paling sering berkontak dengan pestisida dan bahan kimiawi
1 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kanwil.Kehutanan dan Perkebunan Palembang dan European Union Ministry of Forestry and Estate Crops, 1999. 2 Woro Murdiayati Wibowo dan Subarudi, Konflik Sumber Daya Hutan dan Reforma Agraria. Yogyakarta: Palma Foundation dan Alfamedia. Hlm. 13
MILIK U
KDW
4
untuk lahan mereka.3 Upaya kaum perempuan dalam mengelola dan
meningkatkan perekonomian keluarga di Air Sugihan, sampai saat ini belum
mendapat perhatian atau belum menjadi agenda mendesak bagi Gereja-gereja di
Sumatera Selatan (GKSBS) dalam pelayanan diakonia dan pemberdayaan
masyarakat untuk mengatasi kemiskinan. Menurut penulis, pemberdayaan yang
dibutuhkan bagi masyarakat di Air Sugihan yang perlu dilakukan oleh GKSBS
tidak dapat berhenti pada tahap pelayanan yang bersifat karitatif saja, melainkan
juga pada tahap penyadaran dan penguatan organisasi atau kelompok masyarakat
lokal dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan mereka. Khususnya bagi kaum
perempuan.
Penulis tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai masalah-masalah apa
saja yang melatarbelakangi kehidupan masyarakat di Air Sugihan, yang
memposisikan masyarakat dalam kondisi miskin. Dan apa saja yang telah mereka
upayakan terutama dalam mengatasi kemiskinan - yang tidak terlepas dari konteks
politik dan kebijakan-kebijakan pembangunan yang berlaku. Pergumulan dalam
konteks setempat perlu dipertimbangkan sebagai dasar analisis sosial, seperti:
pertama, adakah muatan politis dibalik kebijakan pemerintah mulai dari program
transmigrasi ke Air Sugihan dan persoalan ekonomi yang seperti apa yang
dihadapi oleh masyarakat Air Sugihan sehingga mereka berada dalam kondisi
miskin?
Kedua, mungkinkah kemiskinan di Air Sugihan juga dilatarbelakangi oleh
adanya pemahaman pemerintah dan masyarakat mengenai pembangunan itu
3 Vandana Shiva, 1997. Bebas Dari Pembangunan, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia. Hlm.163
MILIK U
KDW
5
sendiri? Sebagaimana dikatakan oleh Vandana Shiva, bahwa konsep
pembangunan yang selama ini diterapkan khususnya di negara-negara Dunia
Ketiga adalah pemahaman bahwa yang dimaksud sebagai wilayah yang miskin,
dalam arti: tidak makan beras, tidak tinggal di rumah tembok, tidak memakai
pakaian dari bahan sintetis, tidak berpendidikan, adalah masyarakat miskin dan
primitif. Dan untuk itu perlu diterapkan pembangunan (modern) pada masyarakat
tersebut. Masyarakat Air Sugihan adalah masyarakat yang dianggap miskin, dan
karenanya perlu diterapkan pembangunan dengan industrialisasi pertanian modern
di sana. 4
Akibatnya, masyarakat, khususnya kaum perempuan di Air Sugihan,
mengalami masalah-masalah seperti: (1) Akibat dari industrialisasi pertanian ini,
kaum perempuan di Air Sugihan mengalami kesulitan dalam memenuhi
kebutuhan pangan keluarganya. Pada waktu pertama mereka menempati wilayah
tersebut, kaum perempuan dapat menanam tanaman penunjang gizi keluarga,
seperti sayur-sayuran dan buah-buahan di tanah-tanah kosong yang ada di sekitar
lahan pertanian mereka. Mereka juga melepaskan ternak unggas mereka untuk
mencari pakan di persawahan dengan bebas. Mereka hanya menanam tanaman itu
di sekitar rumah dengan lahan yang sempit.
(2) Penebangan dan pembakaran hutan yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan kayu di Air Sugihan, membuat kaum perempuan kesulitan
mendapatkan sumber air yang lebih baik daripada air payau dari rawa-rawa.
Dengan demikian, setiap hari mereka harus menampung dan menyaring air parit
4 Ibid., Hlm.xxiii (Pengantar)
MILIK U
KDW
6
untuk kebutuhan sehari-hari yang memakan waktu cukup lama untuk
mendapatkan satu ember air bersih.
(3) Tradisi masyarakat, termasuk kaum perempuan, di desa yang dulu mereka
lakukan adalah memanen, menumbuk, dan menyimpan padi di lumbung-lumbung
padi milik keluarga. Sebuah cara mengatur perekonomian keluarga agar tidak
kekurangan pangan di saat musim paceklik tiba dan dijadikan bibit untuk musim
tanam berikutnya. Demikian juga kebiasaan masyarakat lokal dengan membangun
lumbung (ruang khusus untuk menyimpan hasil bumi) secara berkelompok,
mungkin dianggap sebagai cara kuno, tetapi bagi mereka, lumbung merupakan
pengharapan bagi mereka bahwa masih ada persediaan bahan pangan bagi mereka
yang akan menolong mereka dari bahaya kelaparan. Dengan adanya modernisasi
di sektor pertanian, mereka tidak punya kesempatan lagi untuk membangun
lumbung-lumbung karena padi jenis bibit unggul tidak diproduksi untuk tahan
lama dan tidak dapat menghasilkan bibit yang baru.
Ketiga, adalah apakah upaya-upaya yang selama ini telah dilakukan oleh
masyarakat,khususnya bagi kaum perempuan, Air Sugihan dalam mengatasi
kesulitan hidup dengan mengelola alam, mengatur perekonomian rumah tangga,
dan pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga sudah dianggap sebagai asset
masyarakat dan kearifan lokal yang patut dipertimbangkan dalam upaya
pemberdayaaan masyarakat? Kesadaran ekologis yang dimiliki oleh masyarakat
berdasarkan nilai-nilai budaya lokal dan refleksi teologis GKSBS mengenai
pemenuhan hak-hak biotis manusia merupakan kekuatan komunitas yang perlu
MILIK U
KDW
7
dipupuk, sehingga dengan kekuatan kelompok tersebut, mereka memiliki posisi
tawar dalam managemen perekonomian mereka.
Penguatan kelompok masyarakat lokal atau komunitas basis yang
dilakukan baik oleh pemerintah maupun Gereja, perlu juga dipertimbangkan
sebagai wadah pemberdayaan masyarakat dalam mengatasi kemiskinan di Air
Sugihan. Dalam hal ini Sinode GKSBS sudah memulai pelayanannya dengan
menggali potensi masyarakat lokal sebagai ‘social capital’ atau modal sosial
masyarakat. Sekalipun belum sampai pada level penguatan pangan rumah tangga.
Sehubungan dengan masalah ekologi dan kemiskinan, menggunakan bahasa
Banawiratma, pemeliharaan bumi menghasilkan ‘spiritualitas ekologis’ yang
didasari dari pengalaman manusiawi akan kerusakan lingkungan. Melalui
pengalaman ini, manusia dipanggil untuk secara kreatif memelihara kualitas
kehidupan, dipanggil untuk bersama Sang Penyelenggara Hidup untuk ikut serta
mengusahakan shalom, kesejahteraan bersama dengan komunitas-komunitas
biotis.5
Kesejahteraan hidup juga tidak terlepas dari pentingnya tanah bagi
masyarakat. Tanah merupakan asset bagi pemenuhan kebutuhan pangan keluarga,
maka perjuangan untuk melepaskan masyarakat dari kemiskinan juga tidak
terlepas dari menciptakan keadilan dalam kepemilikan tanah bagi masyarakat
lokal. Inilah agenda yang harus diperjuangkan oleh pemerintah dan Gereja. Jika di
atas, Banawiratma menyebutkan bahwa pemeliharaan bumi menghasilkan
‘spiritualitas ekologis’, maka berangkat dari titik pijak yang sama, penulis
5 J.B Banawitama,2001. Sepuluh Agenda Transformatif. Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin dengan Perspektif Adil Gender, HAM, dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius.hlm.73.
MILIK U
KDW
8
memahami bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh kaum perempuan dan Gereja
di Air Sugihan merupakan upaya yang lahir dari semangat untuk bertahan hidup
di tengah krisis yang melanda.6
Selain spiritualitas ekologis yang lahir dari kesadaran masyarakat akan
tanggung jawab menjaga kelestarian alam, penulis juga akan menggali kearifan
lokal dan nilai budaya lain yang dimiliki oleh masyarakat di Air Sugihan yang
dapat menjadi kekuatan dan aset kelompok yang ada. Seperti: nilai solidaritas dan
kesetiakawanan sebagai sesama pendatang di Air Sugihan.
Melalui tesis ini penulis juga akan merefleksikan upaya-upaya yang telah
dilakukan oleh Gereja-gereja di Sumatera Bagian Selatan (GKSBS) termasuk
teologi apa yang muncul dari pergumulan Gereja bersama masyarakat di Air
Sugihan. Konsep pelayanan berdiakonia Gereja terwujud melalui pemahaman
bahwa Gereja tidak tinggal diam ketika melihat ada sebuah komunitas yang
mengalami ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan akibat sistem
perekonomian dan kebijakan pembangunan yang berlaku.
Gereja berperan sebagai transformator di tengah masyarakat, khususnya bagi
kaum perempuan, dalam mewujudkan keadilan dan pemberdayaan bagi kaum
miskin. Keberadaan komunitas basis di Air Sugihan merupakan agenda penting
bagi Gereja-gereja di Sumatera Selatan terutama dalam peningkatan dan
penguatan ekonomi rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh Banawiratma:
6 Bagi penulis, spiritualitas ketahanan pangan bagi setiap keluarga atau dalam rumah besar bernama Air Sugihan itu dapat dibangun melalui kesadaran akan pentingnya memiliki “lumbung” sebagai simbol hidup yang berkeberlanjutan (sustainable of life). Dan itu dapat dimulai dari kaum perempuan di Air Sugihan.
MILIK U
KDW
9
“A basic Christian communities can be described as a small community involved in
social activities to eliminite suffering, to struggle for a just society, and to sustein the
development of the people and the environment”7
Menurut Banawiratma, komunitas-komunitas basis dapat dibangun sebagai
salah satu cara untuk mengurangi pendetitaan, ketidakadilan sosial, dan
pembangunan yang berkelanjutan bagi manusia dan alam. Maka, upaya-upaya
yang sudah dilakukan oleh masyarakat, khususnya kaum perempuan, di Air
Sugihan merupakan asset Gereja dan masyarakat untuk menjadi komunitas yang
mampu memberdayakan dirinya sendiri dan keluar dari kemiskinan. Komunitas
basis pertama-tama merupakan sekelompok orang yang tidak memiliki kekuatan
untuk memberdayakan dirinya sendiri. Komunitas basis juga dapat menjadi
fasilitator bagi kelompok-kelompok yang lain dalam solidaritas bersama mereka.8
Sesuai dengan cita-cita GKSBS untuk menjadi Gereja yang terbuka dan
transformatif, penulis berharap tesis ini dapat membantu Gereja-gereja di
Sumatera Bagian Selatan dalam membangun sebuah teologi sosial dari perspektif
kemiskinan di Air Sugihan. Teologi yang nantinya menjadi titik pijak pelayanan
sosial Gereja berdasarkan pada budaya dan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Untuk membantu proses penulisan tesis ini, penulis akan menggunakan teori
dari J.B. Banawiratma dan J. Mueller mengenai Lingkaran Pastoral (The Pastoral
Circle). Dalam lingkaran pastoral tersebut menjelaskan pula bahwa kemiskinan
7 J.B Banawitama,2001. Sepuluh Agenda Transformatif. Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin dengan Perspektif Adil Gender, HAM, dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius. Hlm.74 8 J.B. Banawiratma, 2005. The Pastoral Circle as Sprituality. Toward an Open and Contextual Church, dalam The Pastoral Circle Revisited. A Critical Quest for Truth and Transformation. Frans Wijsen, dkk (Ed.,). New York:Orbis Books. Hlm.74
MILIK U
KDW
10
tidak terlepas dari masalah ekonomi, politik, dan sosio-budaya masyarakat
setempat. Pemikiran tersebut akan menjadi landasan dalam meneliti kehidupan
kelompok miskin di Air Sugihan, khususnya bagi kaum perempuan dan GKSBS,
dalam keterkaitannya dengan sosio-budaya masyarakat transmigran di Air
Sugihan dan teologi yang terbangun melalui kehidupan masyarakat di Air
Sugihan.
Dalam melaksanakan tugas panggilannya, GKSBS membutuhkan konsep
bergereja yang melayani manusia dan semua makhluk ciptaan di bumi demi
keberlanjutan kehidupan, khususnya perhatian Gereja kepada kaum miskin.
Seperti yang disampaikan oleh Banawiratma dan Mueller, kalau Allah
mendahulukan kaum miskin, maka Allah juga mempunyai preferential love for
the culture of the poor.
“Kebudayaan kaum miskin dengan segala pengalaman religius dan spiritualitasnya,
di cintai Allah. Bukan karena kehebatan kebudayaan itu, melainkan karena
kebudayaan itu merupakan kebudayaan orang-orang miskin dan terlantar, kurang
dihargai dan kurang didengarkan. Ikut memasuki tindakan Allah dalam sejarah
berarti juga menghargai, mendengarkan, berusaha mengerti kebudayaan
kemiskinan”9 .
Gereja dipanggil untuk terlibat dalam tindakan Allah, memulihkan keadaan
dengan melakukan perubahan-perubahan dari situasi yang tidak adil menjadi adil
dan berkelanjutan bagi seluruh ciptaan, terutama bagi kaum perempuan dan alam
99 J.B Banawiratma dan Mueller, SJ., 1993. Berteologi Sosial Lintas Ilmu. Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman. Yogyakarta:Kanisius. Hlm.215
MILIK U
KDW
11
di Air Sugihan. Penindasan terhadap kaum perempuan juga akan melunturkan
gambar citra Allah, pemelihara alam.10
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis akan menggumuli lebih jauh
mengenai kehidupan masyarakat di Air Sugihan, kaum perempuan, serta
kemiskinan mereka yang diakibatkan dari kerusakan alam dan modernisasi
pertanian. Berdasarkan konteks di Air Sugihan, penulis juga berharap dapat
bersama-sama Gereja-gereja di Sumatera Bagian Selatan berteologi dan dari sana
akan terbangun pula konsep berdiakonia berdasarkan pergumulan dan harapan
masyarakat di Air Sugihan.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Masalah kemiskinan yang berhubungan dengan faktor lingkungan hidup di
Air Sugihan, menurut penulis patut dijadikan agenda pergumulan bersama Gereja-
gereja di Sumatera Bagian Selatan. Bukan sekedar masalah pengelolaan sumber
daya alam yang kurang bijaksana, tapi juga belum berkeadilan bagi mereka yang
miskin dan tertindas. Masyarakat perlu mendapat penyadaran dan pendidikan
mengenai dampak dari kerusakan lingkungan bagi keberlanjutan kehidupan umat
manusia.
Sejalan dengan hal di atas, GKSBS harus terus menggumulkan strategi
pelayanannya bagi masyarakat di Air Sugihan. Apakah selama ini, GKSBS hanya
memberikan bantuan yang bersifat insidental (karitatif), yang seiring waktu turut
10 Ibid.,Hlm.216
MILIK U
KDW
12
membentuk mental masyarakat sebagai ‘peminta-minta’, mengandalkan bantuan
pihak luar, dan tidak mampu memberdayakan diri mereka sendiri? Gereja juga
perlu memikirkan dampak yang lebih luas dari kebijakan pembangunan yang
mereka ambil. Peningkatan kehidupan dengan industrialisasi pertanian yang
mengorbankan alam, bukan hanya akan membuat bumi ini hancur, tetapi lebih
dari pada itu, akan membuat spesies manusia itu sendiri punah seperti spesies-
spesies lainnya. Dan dengan meningkatkan perekonomian dan praktek-praktek
pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture), bukan hanya untuk
menyelamatkan bumi, tapi lebih pada soal menyelamatkan umat manusia.
Berdasarkan hal tersebut di atas, melalui tesis ini penulis akan menganalisis
upaya-upaya yang telah dilakukan, baik oleh masyarakat Air Sugihan maupun
oleh GKSBS, dalam mengatasi kemiskinan dengan rumusan pertanyaan, sebagai
berikut:
1. Apa upaya-upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat di Air Sugihan
(kaum perempuan) dan GKSBS dalam mengatasi kemiskinan?
2. Pandangan seperti apa yang terbangun dan melatarbelakangi kehidupan
masyarakat, khususnya kaum perempuan, dan GKSBS di Air Sugihan,
sehingga mereka mampu bertahan dalam situasi kemiskinan?
3. Teologi macam apa yang dapat dikembangkan oleh Gereja-gereja di
Sumatera Bagian Selatan (GKSBS) dalam pelayanan sosialnya bagi
masyarakat di Air Sugihan?
MILIK U
KDW
13
1.3. LANDASAN TEORI
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa dalam melakukan analisis
terhadap masyarakat di Air Sugihan, penulis akan menggunakan teori analisis
sosial atau yang lebih di kenal dengan Lingkaran Pastoral (The Pastoral Circle)
dari J.B. Banawiratma dan J. Mueller dalam buku “Berteologi Sosial Lintas
Ilmu”. Mengapa penulis menggunakan teori tersebut? Alasan yang paling
mendasar adalah bahwa konteks kemiskinan di Air Sugihan jelas tidak dapat
dilepaskan dari unsur-unsur ekonomi, politik dan sosio-budaya masyarakat
setempat. Teori ini diawali dengan berbagi (telling story) pengalaman-
pengalaman pribadi dan kelompok dalam sejarah hidup mereka sebagai dasar
untuk mendapatkan data sumber kemiskinan. kemudian melalui pengumpulan
data dan analisis sosial, penulis berusaha menemukan keterkaitan antara
kemiskinan di Air Sugihan dengan sistem ekonomi, politik dan kultural-religius
yang ada. Dari sana, penulis juga akan melihat teologi macam apa yang dapat di
bangun oleh Gereja dalam perjumpaannya dengan masyarakat di Air Sugihan.
Refleksi teologis akan membantu penulis untuk mengusulkan beberapa aksi sosial
dapat dilakukan oleh GKSBS dalam upaya mengatasi kemiskinan di Air Sugihan.
Sebagaimana dikatakan oleh Banawiratma dan Mueller, persoalan ekologis
tidak dapat dilepaskan dari masalah kemiskinan. Ketidakadilan dalam mengelola
alam dapat menimbulkan kemiskinan, dan orang-orang miskin pun tidak dapat
berbuat lain untuk menolong hidupnya secara ekonomi tanpa menebang hutan dan
merusak alam. Demikian juga masalah kemiskinan tidak dapat dipisahkan dari
MILIK U
KDW
14
persoalan kaum perempuan dan anak-anak, dimana mereka merupakan korban
‘terdekat’ dari model pembangunan yang tidak adil ini.11
Banawiratma dan Mueller dalam menjelaskan pembangunan yang
berkeadilan menggunakan istilah “ekonomi yang berpihak pada orang miskin”.12
Memang ada keeratan hubungan antara kemiskinan dan ekonomi. Kalau ekonomi
tidak berhasil, maka hampir mustahil mengatasi masalah kemiskinan. Namun ada
kenyataan yang semakin kentara bahwa masalah kemiskinan tak dapat dipisahkan
juga dari masalah ekologi. Ada dua hal yang menunjukkan hal tersebut: pertama,
sumber-sumber daya alam sebagai faktor produksi semakin langka dan dikuras
habis dan tidak dipelihara. Faktor-faktor produksi, seperti minyak bumi, bahan
mentah dan hasil tanah (hutan), merupakan modal ekologis yang harus dipelihara.
Hal ini sangat dibutuhkan karena proses produksi di masa mendatang termasuk
produksi pangan sangat bergantung pada kelestarian alam itu. Kedua, mengarah
pada dampak dari proses produksi yang mengakibatkan pencemaran dan
kerusakan lingkungan. Semakin tinggi produksi ekonomi, semakin banyak limbah
industri, pencemaran udara, pengotoran, bahkan peracunan tanah dan air.13
Masalah ekologi ini, menurut Banawiratma dan Mueller, juga berkaitan
dengan masalah ekonomi dalam dua hal. Pertama, sumber-sumber daya alam
sebagai faktor produksi menjadi semakin langka karena dikuras habis dan tidak
dipelihara. Faktor-faktor produksi dari alam merupakan modal ekologis yang juga
menjadi suatu tuntutan ekonomis, karena produksi di masa mendatang, misalnya
11 J.B Banawiratma dan Mueller, SJ., 1993. Berteologi Sosial Lintas Ilmu. Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman. Yogyakarta:Kanisius. Hlm.278 12 Ibid., hlm.202. 13 J.B Banawiratma dan Mueller, SJ., 1993. Berteologi Sosial Lintas Ilmu. Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman. Yogyakarta:Kanisius. Hlm.206
MILIK U
KDW
15
produksi pangan, akan tergantung pada kelestarian alan tersebut. Kedua, setiap
proses produksi akan membebani lingkungan hidup. Dan kondisi ini tentunya
mengancam kesehatan manusia. Di dunia pertanian, pihak yang paling rentan
menghadapi masalah kesehatan dan gizi adalah kaum perempuan dan anak-anak.
Hal ini berkaitan dengan aktifitas mereka setiap hari yang bergulat dengan tanah,
bibit, air, yang sarat dengan bahan-bahan kimia.
Kaum miskin, terlebih kaum perempuan, pada umumnya merupakan korban
pertama dari semua musibah itu. Mereka tidak punya kuasa dan uang untuk
membela diri dan melindungi lingkungan mereka. Kalau ada bencana alam, orang
miskin yang paling dahulu menjadi “pengungsi lingkungan”. Dan seluruh kaitan
ini disebut oleh Banawiratma dan Mueller sebagai perangkap kemiskinan yang
bersifat ekologis: karena orang miskin adalah miskin, maka mereka terpaksa
merusak lingkungan hidup, yang akan menambah kemiskinan mereka.14
Berdasarkan pandangan tersebut di atas, bagi penulis teori Lingkaran Pastoral
atau analisis sosial yang diusulkan oleh JB. Banawiratma dan Mueller sangat
efektif dalam membangun teologi sosial GKSBS di tengah kemiskinan
masyarakat di Air Sugihan. Di dalam lingkaran pastoral terdapat premis-premis
nilai tertentu di dalamnya, antara lain: nilai etis dasariah seperti: keadilan,
kesamarataan, dan nilai preferensi, seperti: kecenderungan ideologis, politis, atau
agamis. Artinya dalam setiap analisis sosial akan menuju pada politik dalam arti
14 Ibid., hlm. 207
MILIK U
KDW
16
luas, yaitu tindakan-tindakan yang menyangkut kehidupan bersama dalam
masyarakat luas atau terbatas.15
Secara sederhana dalam penyusunan tesis ini, penulis akan mengikuti unsur-
unsur dalam Lingkaran Pastoral, yaitu:16
1. Pemetaan Masalah: pada tahap ini, letak geografis dijadikan sebagai
jawaban pastoral terhadap pengalaman individu dan komunitas yang nyata.
Apa yang dirasakan, dialami, dan bagaimana orang-orang menjawabnya
merupakan pengalaman yang membentuk data pokok. Pada bagian ini penulis
akan memulai tesis dengan memaparkan kondisi geografis dan data yang ada
di masyarakat Air Sugihan.
2. Analisis Sosial: tahap ini menyelidiki sebab-sebab, akibat-akibat,
menggambarkan kaitan-kaitannya dan mengidentifikasi pelaku-pelakunya.
Dalam analisis sosial ini dilakukan pendekatan dari berbagai aspek, antara
lain: analisis ekonomi, analisis sosial-politik, dan sosio-budaya masyarakat
setempat.
3. Refleksi Sosial: dalam bagian ini penulis mengkaji dan mendalami
pengalaman masyarakat dan komunitas iman GKSBS melalui analisis dalam
terang iman yang hidup. Kitab Suci, ajaran sosial Gereja, dan sumber-sumber
tradisi, dipercakapkan dalam sebuah refleksi sehingga melahirkan sebuah
percakapan yang hidup antara iman dan keseharian masyarakat.
15 J.B Banawiratma dan Mueller, SJ., 1993. Berteologi Sosial Lintas Ilmu. Kemiskinan sebagai Tantangan Hidup Beriman. Yogyakarta:Kanisius. Hlm. 46 16 Joe Holland dan Peter Henriot, 1986. Analisis Sosial dan Refleksi Teologis, Kaitan Iman dan Keadilan. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 24-25
MILIK U
KDW
17
4. Perencanaan Pastoral: merupakan jawaban dari apa yang individu atau
komunitas kehendaki? Dalam tahap perencanaan pastoral ini, penulis
berharap tesis ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan pelayanan diakonia Sinode GKSBS dalam upaya mengatasi
kemiskinan di Air Sugihan.
1.4. HIPOTESIS
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, penulis mengajukan
beberapa hipotesis, yaitu:
• Masyarakat – secara khusus kaum perempuan - di Air Sugihan bersama
dengan Gereja-gereja di Sumatera Bagian Selatan (GKSBS) telah berupaya
membentuk kelompok-kelompok masyarakat lokal sebagai wadah
membangun solidaritas dan kesetiakawanan lintas agama komunitas basis
dalam mengatasi kemiskinan. Gereja berupaya melakukan pemberdayaan
dan penyadaran terhadap masyarakat untuk melakukan cara-cara yang adil
terhadap lingkungan hidup dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka,
misalkan dengan cara mengurangi penggunaan bibit dan pupuk kimia,
menggunakan bibit padi lokal untuk persediaan musim tanam, menyimpan
bibit sebagai persediaan kebutuhan pangan keluarga, dan mengelola air
bersih untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
MILIK U
KDW
18
• Pandangan hidup masyarakat dan GKSBS mengenai pemeliharaan
lingkungan hidup melahirkan spiritualitas ekologis dan ketahanan pangan
bagi keberlangsungan kehidupan seluruh ciptaan Tuhan.
• Gereja Kristen di Sumatera Bagian Selatan (GKSBS) membangun teologi
yang kontekstual sebagai transformator sosial dengan mengutamakan
solidaritas bersama kaum miskin dalam upaya menghadirkan shalom bagi
masyarakat Air Sugihan
Sehubungan dengan itu, penulis memilih judul tesis sebagai berikut:
UPAYA GEREJA KRISTEN SUMATERA BAGIAN SELATAN (GKSBS)
DAN KAUM PEREMPUAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN DI AIR
SUGIHAN, SUMATERA SELATAN
1.5. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan penulisan tesis ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Untuk menemukan dan menggali berbagai pandangan dan upaya
masyarakat – khususnya kaum perempuan – di Air Sugihan dan GKSBS
dalam mengatasi kemiskinan yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan
dan industrialisasi di bidang pertanian.
MILIK U
KDW
19
2. Untuk mengetahui sejauh mana pandangan dan nilai-nilai teologis
mengenai keutuhan ciptaan dan kelangsungan kehidupan yang sejahtera
sebagai gambar citra Allah, mendasari dan menyemangati masyarakat lokal
bersama Gereja, dalam mengatasi kemiskinan di Air Sugihan.
3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi Gereja
di Sumatera Bagian Selatan (GKSBS) untuk mengembangkan pelayanan
sosial melalui pemberdayaan komunitas basis, khususnya bagi kaum
perempuan, dalam mengatasi kemiskinan di Air Sugihan.
1.6. METODE
Penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mengikuti
langkah-langkah penelitian sosial, sebagai berikut17:
1. Observasi dengan mengenal konteks di Air Sugihan, baik dari sosio-
ekonomi, budaya, ekonomi, dan politik serta pengalaman iman masyarakat.
Dalam pengumpulan data mengenai kondisi geografis dan keadaan alam di
Air Sugihan, penulis melakukannya dengan live in di tiga desa, yaitu: desa
Nusantara, desa Banyubiru, dan desa Mukti Jaya. Alasan penulis memilih tiga
desa ini adalah sudah adanya kelompok-kelompok tani yang difasilitasi oleh
GKSBS bekerjasama dengan pemerintah dan lembaga non pemerintah.
Warga Jemaat GKSBS juga terlibat. Melalui kelompok tersebut, penulis akan
menggali data melalui tiga cara: pertama, dengan mendengar cerita dan
17 J.B.Banawiratma dan Muller, 1993. Berteologi Sosial Lintas Ilmu. Yogyakarta:Kanisius. Hlm.46
MILIK U
KDW
20
pengalaman (sharing story) dengan mengunjungi rumah-rumah penduduk
dan mengikuti kegiatan pertemuan kelompok. Kedua, melalui angket yang
penulis sebarkan kepada anggota kelompok tani dan warga jemaat dengan
menggunakan metode random secara acak. 18 Ketiga, melalui wawancara
terbuka kepada para informan utama – saksi sejarah – dengan pertanyaan
terarah mengenai kehidupan para transmigran, dampak industrialisasi
pertanian, dan krisis pangan yang mereka alami di Air Sugihan, serta upaya-
upaya apa saja yang telah dilakukan untuk mengatasi kemiskinan tersebut.
2. Analisis Sosial terhadap penyebab kemiskinan di Air Sugihan, mengapa
krisis pangan dan ekologi itu bisa terjadi di Air Sugihan dan apa akibatnya
bagi masyarakat jika kondisi tersebut dibiarkan terus berlanjut. Analisis ini
menyangkut masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat
setempat. Secara khusus tesis ini menganalisa keberadaan dan pergumulan
yang dihadapi masyarakat (perempuan) di Air Sugihan dan upaya-upaya
pemberdayaan yang sudah dilakukan dalam mengatasi kemiskinan.
3. Refleksi Teologis terhadap konteks untuk menemukan apa makna realitas itu
bagi iman Kristen dan pelayanan diakonia Gereja dalam menjawab
pergumulan sosial (kemiskinan) yang dialami oleh kaum perempuan di Air
Sugihan. Refleksi ini diharapkan dapat melahirkan sumbangan teologis bagi
Gereja-gereja di Sumatra Bagian Selatan, khususnya dalam mengatasi
kemiskinan melalui pelayanan sosialnya.
18 John M.Prior, 1997. Meneliti Jemaat. Pedoman Riset Partisipatoris. Jakarta:Gramedia. Hlm.95
MILIK U
KDW
21
4. Perencanaan Pastoral atau Perwujudan Iman dalam menghadapi masalah-
masalah sosial yang dianalisis dan direfleksikan sebelumnya. Iman harus
dibuktikan, bahwa keselamatan yang diimani itu ada dampaknya dalam
kehidupan nyata. Di sini penulis akan menggali apa saja usulan-usulan aksi
yang dapat ditindaklanjuti oleh Gereja-gereja di Sumatra Bagian Selatan
(GKSBS) dalam melakukan pelayanan sosialnya, khususnya dalam rangka
pengentasan kemiskinan di Air Sugihan.
1.7. SISTEMATIKA
Tesis ini disusun dengan gambaran sistematika sementara sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan yang memaparkan: Latar belakang penulisan,
Perumusan masalah, Hipotesis, Judul tesis, Landasan Teori,
Tujuan penulisan, Metodologi, Sistematika.
Bab II : Pada bab ini dipaparkan DATA dan ANALISIS terhadap Upaya-
upaya Masyarakat di Air Sugihan dalam Mengatasi Kemiskinan:
2.1. Kondisi Geografis di Air Sugihan: Kondisi Alam (tanah, air,
dan hutan), Keadaan Penduduk, Mata Pencaharian dan
Pendidikan, Masyarakat dan Hubungan Antar Umat Beragama,
Dampak Transmigrasi dan Perubahan Gaya Hidup Masyarakat
MILIK U
KDW
22
2.2. Upaya Dan Pandangan Kaum Perempuan di Air Sugihan
dalam Mengatasi Kemiskinan: Perempuan Sebagai Pengatur
Ekonomi dan Gizi Keluarga, Perempuan dan Kebutuhan akan
Air Bersih, Kaum perempuan di Air Sugihan dan Pentingnya
Berkelompok, Beberapa Pandangan Hidup Kaum Perempuan
di Air Sugihan.
2.3. Upaya dan Pandangan GKSBS Dalam Mengatasi Kemiskinan
di Air Sugihan
2.4. Analisis Terhadap Upaya-upaya dalam Mengatasi Kemiskinan
di Air Sugihan: Analisis Ekonomi, Analisis Politik, dan
Analisis Sosial-Budaya
2.5. Kesimpulan
Bab III : REFLEKSI TEOLOGIS Terhadap Upaya Masyarakat dalam
Mengatasi Kemiskinan di Air Sugihan: Pemeliharaan Tanah
Sebagai Sumber Pangan, Perjuangan Gereja dan Kaum Perempuan
di Air Sugihan dalam Menuntut Kebijakan Pembangunan yang
Berkeadilan, Nilai ‘paseduluran’ sebagai Teologi Kontekstual di
MILIK U
KDW
23
Air Sugihan, serta Aksi Diakonia GKSBS dalam Pemberdayaan
Komunitas Basis di Air Sugihan
Bab IV : Kesimpulan
MILIK U
KDW
24
MILIK U
KDW
top related