pemikiran syed muhammad naquib al-attas tentang...
Post on 15-Mar-2019
273 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana
Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh
IZZAH FAUZIAH
NIM 109011000140
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M / 1435 H
i
ABSTRAK
Izzah Fauziah, NIM : 109011000140, Pemikiran Syed Muhammad
Naquib Al-Attas tentang Pendidikan Islam
Masalah pendidikan Islam merupakan masalah yang tidak akan pernah tuntas
diwacanakan, tidak akan pernah rampung didesign, dan tidak akan pernah diperoleh
solusi akhir, karena pendidikan Islam berkenaan dengan persoalan umat Islam dengan
jumlah yang sangat besar, melebihi satu milyar, dengan pola kehidupan masing-
masing yang sangat dinamis. Berbagai pemikiran dan solusi telah dikemukakan oleh
para ahli, terutama menyangkut konsep dan implementasi konsep tersebut, yang
sudah tentu bahwa warna-warni pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pandangan
hidup, nilai-nilai, dan pengalaman yang mereka lalui. Salah satu tokoh pendidikan
Islam yang merumuskan pendidikan Islam adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Peneliti mengangkat tokoh ini, karena beliau adalah salah seorang intelektual Muslim
yang memberikan kontribusi baru dalam dunia pendidikan Islam. Adapun fokus dari
penelitian ini adalah apa saja pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang
pendidikan Islam dan relevansinya pada era sekarang? Sedangkan tujuan penelitian
ini ialah untuk mengetahui dan mengkaji pendidikan Islam menurut Syed Muhammad
Naquib Al-Attas.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan pendekatan library research
yaitu lebih menitikberatkan pada pengumpulan data dari berbagai sumber yang
relevan. Dalam hal ini mencakup buku-buku, internet, dan hasil penelitian yang
terkait dengan judul karya ilmiah ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut pandangan Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, pendidikan Islam adalah proses penanaman ilmu ke dalam diri
manusia. Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan
dalam diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir
pendidikan Islam ialah menghasilkan manusia yang baik. “Baik” dalam konsep
manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab dalam pengertian yang
dijelaskan di sini, yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia. Karena
dalam Islam, tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya adalah untuk menjadi
seorang manusia yang baik. Relevansi pendidikan Islam pada era sekarang bagi Syed
Muhammad Naquib Al-Attas adalah perwujudan paling tinggi dan paling sempurna
dari sistem pendidikan adalah universitas. Dan mengingat bahwa universitas
merupakan sistematisasi pengetahuan yang paling tinggi dan yang sempurna – yang
dirancang untuk mencerminkan yang universal – maka ia mestilah juga merupakan
pencerminan dari bukan sekedar manusia apa saja, melainkan Manusia Universal atau
Sempurna (al-insanul kamil : االنسان الكامل). Maka dari itu, pendidikan Islam
membutuhkan adanya tempat/lembaga pendidikan yang mampu membina manusia
sempurna.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahir rahmanir rahim...
Alhamdulillahi rabbil „alamin. Segala puji syukur, penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia, taufiq dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi ini berjudul “Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Syed Muhammad
Naquib Al-Attas” diajukan dalam rangka melengkapi dan memenuhi syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Strata Satu (S1) Jurusan
Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penyusunan skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya berkat
adanya bantuan dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak yang ada hubungannya
dengan pembahasan judul skripsi ini. Maka pada kesempatan kali ini, penulis dengan
setulus hati ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Hj. Nurlena Rifa‟i, MA, Ph. D selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam
kelancaram perkuliahan.
2. Bpk. Drs. Abdul Majid Khon, MA selaku Ketua Jurusan (Kajur) Pendidikan
Agama Islam dan Ibu Marhamah Saleh, Lc. MA, selaku Sekretaris Jurusan
(Sekjur) Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan arahan dan bimbingan
kepada penulis.
3. Bpk. Prof. Dr. Ahmad Syafi‟ie Noor selaku Dosen Penasehat Akademik yang
telah memberikan nasehat dan motivasi penulis agar menyelesaikan skripsi ini
tepat pada waktunya.
4. Bpk. Ahmad Irfan Mufid, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
meluangkan waktu, memberikan arahan dan bimbingan agar penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini.
iii
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmunya selama
perkuliahan berlangsung. Semoga ilmu yang Bapak dan Ibu Dosen beri kepada
penulis selalu bermanfaat. Amiin Ya Rabbal „Alamin.
6. Pimpinan dan seluruh staff karyawan/i Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan pelayanan yang baik dalam hal
peminjaman dan pengembalian buku kepada penulis.
7. Ayahanda (Bpk. Wasito, S.Ag) dan Ibunda (Ibu Muzdalifah) yang selalu
memberikan motivasi, bimbingan, arahan baik berupa materi maupun non-materi
hingga terselesaikannya skripsi ini. Skripsi penulis persembahkan untuk ayahanda
dan ibunda.
8. Adik-adik tercinta Muhammad Khothif Arham dan Muhammad Faiq Ammar
yang selalu memberikan motivasi agar penulis selalu semangat dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9. Kawan-kawan tercinta PAI angkatan thn. 2009 khususnya kelas D dan TH yang
selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang juga telah
turut memberikan motivasi agar penulis menyelesaikan skripsi ini tepat pada
waktunya.
Harapan penulis, semoga hasil pembahasan dalam skripsi ini akan bermanfaat
bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya serta mendapat ridha
Allah SWT.
Segala kekurangan dan kesalahan dalam skripsi ini mohon dimaklumi, segala
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan senang hati, demi
kebaikan dan kebenaran. Semoga Allah SWT. berkenan mengampuni dosa dan
kesalahan kita. Amiin Ya Rabbal „Alamin..
Hormat penulis,
(Izzah Fauziah)
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR KARYA SENDIRI
ABSTRAK i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi Masalah 6
C. Pembatasan Masalah 6
D. Perumusan Masalah 7
E. Tujuan Penelitian 7
F. Kegunaan Penelitian 7
BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam 9
2. Tujuan Pendidikan Islam 21
3. Fungsi Pendidikan Islam 29
4. Kurikulum Pendidikan Islam 32
5. Metodologi Pendidikan Islam 35
B. Pemikiran Pendidikan Islam 37
C. Hasil Penelitian yang Relevan 38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 40
v
B. Metode Penelitian 41
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 42
D. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data 44
E. Analisis Data 44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas
1. Riwayat Hidup Syed Muhammad Naquib Al-Attas 45
2. Latar Belakang Pendidikan dan Karir Syed Muhammad
Naquib Al-Attas 46
3. Karya-karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas 49
B. Pembahasan
1. Pengertian Pendidikan Islam 55
2. Pengertian Pendidikan Islam “Ta’dib” 58
3. Pengertian Pendidikan Islam “Tarbiyah” 61
4. Tujuan Pendidikan Islam 65
5. Sistem Pendidikan dalam Islam 67
6. Kurikulum Pendidikan Islam 69
7. Metode Pendidikan Islam 76
8. Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang
Pendidikan Islam dan Relevansinya pada Era Sekarang 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 79
B. Saran 80
DAFTAR PUSTAKA 81
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam adalah agama yang universal. Yang mengajarkan kepada umat
manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi.
Salah satu diantara ajaran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada umat
Islam untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut ajaran Islam, pendidikan
adalah juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi
untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan
pendidikan itu pula manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan
untuk bekal dan kehidupannya.1
Menurut Islam, pendidikan adalah pemberi corak hitam putihnya perjalanan
hidup seseorang. Oleh karena itu, ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan
merupakan salah satu kegiatan yang wajib hukumnya bagi pria dan wanita, dan
berlangsung seumur hidup – semenjak dari buaian hingga ajal datang (Al-Hadis) –
life long education.2
1 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet ke-5, h. 98
2 Zuhairini, op.cit., h. 1
2
Apabila kita memperhatikan ayat-ayat yang pertama kali diturunkan oleh
Allah kepada Nabi Muhammad, maka nyatalah bahwa Allah telah menekankan
perlunya orang belajar baca tulis dan belajar ilmu pengetahuan.
Firman Allah dalam Surat Al-‘Alaq ayat 1-5 :
. الذي علم بالقلم . علم اق رأ باسم ربك الذى خلق . خلق االنسان من علق . اق رأ وربك االكرم
االنسان ما ل ي علم.
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang
mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada apa yang
tidak ketahui. (QS. Al-‘Alaq : 1-5)
Dari ayat-ayat tersebut, jelaslah bahwa agama Islam mendorong umatnya agar
menjadi umat yang pandai, dimulai dengan belajar baca tulis dan diteruskan dengan
berbagai macam ilmu pengetahuan.3
Pendidikan merupakan disiplin ilmu yang di dalamnya mengandung berbagai
dimensi. Seperti dimensi manusia sebagai subyek atau pelaku pendidikan (baik
berstatus sebagai pendidik atau peserta didik), maupun dimensi landasan, tujuan,
materi atau kurikulum, metodologi, dan dimensi institusi dalam penyelenggaraan
pendidikan. Dimensi-dimensi tersebut merupakan faktor penting yang mendukung
keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan pendidikan, dan masing-masing dimensi ini
memiliki paradigma fungsional sendiri-sendiri dan saling terkait untuk bersinergi
dalam sebuah sistem pendidikan.4
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan
kehidupan manusia. John Dewey dalam Jalaludin menyatakan, bahwa:
Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan,
sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk
disiplin ilmu. Pernyataan ini setidaknya mengisyaratkan bahwa bagaimanapun
sederhananya suatu komunitas manusia, memerlukan adanya pendidikan.
3 Ibid., h. 99
4 A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN Malang Press), cet ke-1, h.
iii-iv
3
Maka dalam pengertian umum, kehidupan dari komunitas tersebut akan
ditentukan aktivitas pendidikan di dalamnya. Sebab pendidikan secara alami
sudah merupakan kebutuhan hidup manusia.5
Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia, karena
pendidikan Islam berorientasi dalam memberikan bekal kepada manusia untuk
mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan
menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan generasi sejalan dengan tuntutan
masyarakat.
Semestinya pendidikan Islam selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya
dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal,
agar manusia tidak hanya menginginkan kebahagiaan hidup setelah mati
(eskatologis), namun kebahagiaan di duniapun bisa diraihnya.
Pada kehidupan masyarakat yang semakin berbudaya dengan tuntutan hidup
yang makin tinggi, pendidikan ditujukan bukan hanya pada pembinaan keterampilan,
melainkan kepada pengembangan kemampuan-kemampuan teoretis dan praktis
berdasarkan konsep-konsep berpikir ilmiah.6
Dalam perkembangannya, pendidikan Islam telah melahirkan dua pola
pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada
aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai
akumulasi dari respon dari sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap
adanya kebutuhan akan pendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud adalah
pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dan pendidikan Islam yang bercorak
modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya
lebih menekankan pada aspek doktriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis,
apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai
kehilangan ruh-ruh mendasarnya.7
5 Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), cet. ke-2, h. 67
6 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), cet ke-1, h. 2
7 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi
Sistem Pendidikan Islam, (Jawa Timur: UMG Press, 2004), cet ke-1, h. 6
4
Pada dasarnya, pendidikan dalam perspektif Islam berupaya untuk
mengembangkan seluruh potensi peserta didik seoptimal mungkin, baik yang
menyangkut aspek jasmaniah, maupun rohaniah, akal dan akhlak. Dengan
optimalisasi seluruh potensi yang dimiliknya, pendidikan Islam berupaya
mengantarkan peserta didik ke arah kedewasaan pribadi secara paripurna, yaitu yang
beriman dan berilmu pengetahuan.8
Islam memandang peserta didik sebagai makhluk Allah dengan segala
potensinya yang sempurna sebagai khalifah fil ardh, dan terbaik di antara makhluk
lainnya. Kelebihan manusia tersebut bukan hanya sekedar fisik, tetapi lebih jauh dari
itu, manusia memiliki kelebihan pada aspek psikisnya. Kedua aspek manusia tersebut
memiliki potensinya masing-masing yang sangat mendukung bagi proses aktualisasi
diri pada posisinya sebagai makhluk yang mulia. Dengan potensi fisik dan psikis,
atau dengan kata lain potensi material dan spiritual tersebut menjadikan manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbaik.9
Seperti diketahui, masalah pendidikan Islam merupakan masalah yang tidak
akan pernah tuntas diwacanakan, tidak akan pernah rampung didesign, dan tidak akan
pernah diperoleh solusi akhir, karena pendidikan Islam berkenaan dengan persoalan
umat Islam dengan jumlah yang sangat besar, melebihi satu milyar, dengan pola
kehidupan masing-masing yang sangat dinamis. Berbagai pemikiran dan solusi telah
dikemukakan oleh para ahli, terutama menyangkut konsep dan implementasi konsep
tersebut, yang sudah tentu bahwa warna-warni pemikirannya banyak dipengaruhi
oleh pandangan hidup, nilai-nilai, dan pengalaman yang mereka lalui. Tetapi ada
kesan kuat bahwa dalam satu hal mereka sepakat, bahwa pendidikan Islam harus
bertujuan memberikan bekal dan pengembangan potensi keimanan, keislaman dan
keihsanan. Selain itu, agar pendidikan Islam tidak mengabaikan pengembangan
potensi jasmani, ‘aqal, dan qalbunya secara seimbang dan integral, agar dia memiliki
8 Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001),
cet ke-1, h. vii
9 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009), cet ke-1, h. 1
5
kesiapan menghadapi masa depannya dengan penuh percaya diri dan penuh tanggung
jawab.10
Sejarah memang mencatat bahwa peradaban Islam pernah menikmati posisi
sebagai kiblat ilmu pengetahuan dunia, dan masa keemasan tersebut diperkirakan
dinikmati umat Islam sekitar abad ke-7 hingga ke-15. Setelah itu masa-masa tersebut
kejayaan peradaban ilmiah Islam mulai melayu dan statis, kalau tidak lebih tepat
dikatakan ‘mundur’, dan kemunduran itu berlanjut hingga abad ke-21 ini.11
Dunia Islam akhir-akhir ini tengah mengadapi berbagai permasalahan seputar
krisis pendidikan Islam. Masa depan Islam akan sangat tergantung pada bagaimana
dunia itu menghadapi tantangan ini. Inilah yang menuntut agar selalu dilakukan
pembaharuan (modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan
kehidupan umat Islam.
Dari sudut pandang Islam, pendidikan menduduki posisi sangat urgen dan
prinsipil. Karena pendidikan merupakan sesuatu yang sangat inheren dalam
kehidupan umat manusia.12
Pendidikan berkembang dari yang sederhana (primitif),
yang berlangsung ketika manusia masih berada dalam ruang lingkup kehidupan yang
serba sederhana serta konsep tujuan yang amat terbatas pada hal-hal yang bersifat
survival (pertahanan hidup terhadap ancaman alam sekitar), sampai pada bentuk
pendidikan yang sarat dengan metode, tujuan, serta model pendidikan yang sesuai
dengan masyarakat saat ini.13
Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai-nilai moral untuk
membentengi diri dari akses negatif globalisasi. Tetapi yang paling urgen adalah
bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu
berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan,
10 Abdul Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), cet ke-1, h. v
11
Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Suka Press, 2007), cet. ke-
1, h. vii
12
Mohammad Tidjani Djauhari, Pendidikan untuk Kebangkitan Islam, (Jakarta: TAJ, 2008), cet.
ke-1, h. 48
13
Arifin, op.cit., h. 1
6
kebodohan, dan keterbelakangan budaya dan ekonomi. Kandungan materi pelajaran
dalam pendidikan Islam yang masih berkutat pada tujuan yang lebih bersifat
ortodoksi diakibatkan adanya kesalahan dalam memahami konsep-konsep pendidikan
yang masih bersifat dikotomis, yakni pemilahan antara pendidikan agama dan
pendidikan umum (sekular), bahkan mendudukkan keduanya secara diametral.14
Menindaklanjuti masalah ini, salah satu tokoh pendidikan Islam yang sangat
peduli terhadap eksistensi pendidikan Islam kontemporer, Syed Muhammad Naquib
Al-Attas yang berdedukasi dipertengahan abad ke-20, merupakan otoritas yang
sangat berpengaruh pada kebijakan Islam Melayu bahkan dunia internasional. Al-
Attas bukan hanya seorang ideator ulung maupun hanya teoritis semata, namun Al-
Attas telah merealisasikan dalam penerapan gagasan dan idenya pada Universitas
(ISTAC) dan sukses dengan hasil yang patut dibanggakan.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis termotivasi untuk menyusun
sebuah skripsi dengan judul “Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas
tentang Pendidikan Islam”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di atas, maka dapat
diidentifikasikan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Terdapat banyak perbedaan terhadap konsep pendidikan Islam
2. Perlu dirumuskan konsep pendidikan Islam yang ideal, sehingga dapat
menjawab kekurangan pada pendidikan Islam yang telah diterapkan selama
ini.
C. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan yang ada, terbatasnya waktu, biaya yang
diperlukan dan kemampuan berfikir penulis yang masih sangat terbatas, maka penulis
14 Moh. Shofan, op.cit., h. 5-6
7
perlu membatasi masalah agar lebih terarah dan tidak menimbulkan kekeliruan dalam
pemahamannya.
Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini tentang:
1. Mengenal sosok Syed Muhammad Naquib Al-Attas, latar belakang keluarga,
pendidikan dan pengalaman serta karya – karyanya.
2. Menguraikan konsep pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-
Attas.
D. Perumusan Masalah
Dengan adanya pembatasan masalah di atas, penulis akan berusaha untuk
menjawab permasalahan tentang:
1. Bagaimana pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan
Islam?
2. Apa relevansi pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang
pendidikan Islam pada era sekarang?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan
Islam.
2. Mengeksplorasi relevansi pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas
tentang pendidikan Islam pada era sekarang.
F. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi di dunia
pendidikan pada umumnya, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, dan peneliti
khususnya. Dengan adanya penelitian ini, terdapat kegunaan bagi:
8
1. Masyarakat sebagai tambahan bahan informasi tentang pemikiran Syed
Muhammad Naquib Al-Attas tentang pendidikan Islam.
2. Peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang sama untuk ditindaklanjuti
dan dikembangkan lebih jauh tentang pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-
Attas tentang pendidikan Islam.
3. Peneliti sendiri agar memperoleh wawasan yang cukup luas dalam mengkaji,
menemukan dan menganalisa pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas
tentang pendidikan Islam.
9
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Dalam bahasa Indonesia, kata pendidikan terdiri dari kata didik yang
mendapat awalan pen- dan akiran –an. Kata tersebut sebagaimana dijelaskan dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal, cara dan sebagainya)
mendidik.1 Pengertian ini memberi kesan bahwa kata pendidikan lebih mengacu
kepada cara melakukan sesuatu perbuatan dalam hal ini mendidik. Selain kata
pendidikan, dalam bahasa Indonesia terdapat pula kata pengajaran. Kata ini
sebagaimana dijelaskan Poerwadarminta adalah cara (perbuatan dan sebagainya)
mengajar atau mengajarkan. Kata lain yang serumpun dengan kata tersebut adalah
mengajar yang berarti memberi pengetahuan dan pelajaran.
1 Js. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994), cet ke-1, h. 342
10
Kata pendidikan selanjutnya sering digunakan untuk menerjemahkan kata
education dalam bahasa Inggris. Sedangkan pengajaran digunakan untuk
menerjemahkan kata teaching juga dalam bahasa Inggris.
Jika pengertian secara semantik (kebahasaan) dari kata pendidikan,
pengajaran (education atau teaching) sebagaimana disebutkan di atas diperhatikan
secara seksama, nampak bahwa kata tersebut lebih menunjukkan pada suatu kegiatan
atau proses yang berhubungan dengan pembinaan yang dilakukan oleh seseorang
kepada orang lain. Pengertian tersebut belum menunjukkan adanya program, sistem,
dan metode yang lazimnya digunakan dalam melakukan pendidikan atau pengajaran.2
Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia
untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan
kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie berarti
bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia
menjadi dewasa.3 Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan
oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat
hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.4
Pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek
kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan kata lain, pendidikan tidak
hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi berlangsung pula di luar kelas. Pendidikan
bukan sifat formal saja, tetapi mencakup pula yang non formal.5
Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan
anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah
kedewasaan. Atau lebih jelas lagi, pendidikan ialah pimpinan yang diberikan dengan
2 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet ke-1, h. 4-5
3 Dewasa di sini dimaksudkan adalah dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri secara biologis,
psikologis, paedagogis, dan sosiologis.
4 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 1
5 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), cet ke-3, h. 149
11
sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan
rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.6
Dari pengertian pendidikan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
adalah usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam mempengaruhi
orang lain yang bertujuan untuk mendewasakan manusia seutuhnya, baik lahir
maupun bathin. Artinya, dengan pendidikan, manusia bisa memiliki kesetabilan
dalam tingkah laku atau tindakan, kesetabilan dalam pandangan hidup dan
kesetabilan dalam nilai-nilai kehidupan dengan penuh rasa tanggung jawab.7
Di Indonesia, menurut UU No. 20 Th. 2003 dalam Hasbullah menyatakan
bahwa:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.” 8
Pengertian pendidikan saat ini sudah sangat beragam, sehingga banyak sekali
pakar pendidikan yang mendefinisikan pendidikan itu sendiri. Bukan hanya para
pakar yang mendefinisikan pendidikan itu sendiri, namun Islam (agama yang diridhai
oleh Allah SWT) mampu mendefinisikan pendidikan.
Pendidikan dalam Islam memiliki tiga istilah dalam bahasa Arab yaitu at-
tarbiyah, at-ta‟lim, dan at-ta‟dib. Dari ketiga istilah ini, kata at-tarbiyah sering kali
digunakan pada saat ini. Namun kata at-ta‟lim dan at-ta‟dib jarang sekali digunakan,
padahal kata at-ta‟lim dan at-ta‟dib ini sudah ada pada awal pertumbuhan pendidikan
Islam.9
6 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
t.t), h. 10
7 Armai Arief, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, (Jakarta: Suara ADI, 2009), cet
ke-1, h. 33
8 Hasbullah, op.cit., h. 4
9 Zuhairini, op.cit., h. 120
12
Istilah tarbiyah berakar dari tiga kata, yakni pertama dari kata rabba – yarbu
yang berarti “bertambah dan tumbuh”, kedua kata rabiya – yarba yang berarti
“tumbuh dan berkembang”, dan ketiga kata rabba – yarubbu yang berarti
“memperbaiki, menguasai, dan memimpin, menjaga dan memelihara”. Kata al-Rabb,
juga berasal dari kata tarbiyah dan berarti “mengantarkan sesuatu kepada
kesempurnaan” secara bertahap atau membuat sesuatu mencapai kesempurnaannya
secara bertahap atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara berangsur-angsur. 10
Kata pendidikan, yang dalam bahasa Inggris ”education” dalam bahasa Arab
(bahasa persatuan Islam) disebut “tarbiyah”. Kata tarbiyah, berasal dari kata dasar
“rabba – yurabbi – tarbiyah ( –ربي ت ربية -ي ربي )” yang berarti tumbuh dan
berkembang (Al-Munjid). Dalam Al-Mu‟jam al-Wasith, terdapat penjelasan sebagai
berikut:
سديية والعقليية واللقيية نيى ق وياه ال ه وربيا “Mendidiknya, berarti menumbuhkan potensi jasmaniah, akliah (akal) serta
akhlak (budi pekerti)”. 11
Abdurrahman al-Nahlawi yang menggunakan kata Tarbiyah dalam arti
pendidikan berpendapat bahwa istilah tarbiyah berarti :
a. Memelihara fitrah anak.
b. Menumbuhkan seluruh bakat dan kesiapannya.
c. Mengarahkan fitrah dan seluruh bakatnya agar menjadi baik dan
sempurna.
d. Bertahap dalam prosesnya.
Berdasarkan pengertian pendidikan di atas, al-Nahlawi menyimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan Tarbiyah adalah :
a. Pendidikan adalah proses yang mempunyai tujuan, sasaran, dan target.
10 Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi
Sistem Pendidikan Islam, (Jawa Timur: UMG Press, 2004), cet ke-1, h. 38
11
Zuhairini, op.cit., h. 120-121
13
b. Pendidik yang sebenarnya adalah Allah, karena Dialah yang
menciptakan fitrah dan bakat manusia. Dialah yang membuat dan
memberlakukan hukum-hukum perkembangan serta bagaimana fitrah
dan bakat itu berinteraksi. Dialah pula yang menggariskan syariat untuk
mewujudkan kesempurnaan, kebaikan, dan kebahagiaannya.
c. Pendidikan menghendaki penyusunan langkah-langkah sistematis yang
harus didahului secara bertahap oleh berbagai kegiatan dan pengajaran.
12
Tarbiyah dimaknai sebagai proses penanaman etika yang dimulai pada jiwa
anak yang sedang tumbuh dengan cara memberi petunjuk dan nasihat, sehingga ia
memiliki potensi–potensi dan kompetensi–kompetensi jiwa yang mantap, yang dapat
membuahkan sifat–sifat bijak, baik, cinta akan kreasi, dan berguna bagi tanah
airnya.13
Dari beberapa istilah di atas dapat disimpulkan bahwa kata tarbiyah berarti
upaya memelihara, mengurus, mengatur, dan memperbaiki sesuatu atau potensi atau
fitrah manusia yang sudah ada sejak lahir agar tumbuh dan berkembang menjadi
dewasa atau sempurna.14
Dalam pengertian tarbiyah ini, terdapat lima kata kunci yang dapat dianalisis :
a. Menyampaikan (al-tabligh). Pendidikan dipandang sebagai usaha
penyampaian, pemindahan, dan transformasi dari orang yang tahu
(pendidik) pada orang yang tidak tahu (peserta didik) dan dari orang
dewasa pada orang yang belum dewasa.
b. Sesuatu (asy-syay‟). Maksud dari “sesuatu” di sini adalah kebudayaan,
baik material maupun non-material (ilmu pengetahuan, seni, estetik,
etika, dan lain-lain) yang harus dketahui dan diinternalisasikan oleh
peserta didik.
12 Moh. Shofan, op.cit., h. 40-41
13
Rois Mahfud, Al-Islam : Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 144
14
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 21
14
c. Sampai pada batas kesempurnaan (ila kamalihi). Maksudnya adalah
bahwa proses pendidikan itu berlangsung terus–menerus tanpa henti,
sehingga peserta didik memperoleh kesempurnaan, baik dalam
pembentukan karakter dengan nilai – nilai tertentu maupun memiliki
kompetensi tertentu dengan ilmu pengetahuan.
d. Tahap demi tahap (syay‟ fa syay‟). Maksudnya, transformasi ilmu
pengetahuan dan nilai dilakukan dengan berjenjang menurut tingkat
kedewasaan peserta didik, baik secara biologis, psikologis, sosial
maupun spiritual.
e. Sebatas pada kesanggupannya (bi hasbi isti‟dadihi). Maksudnya, dalam
proses transformasi pengetahuan dan nilai itu harus mengetahui tingkat
peserta didik, baik dari sisi usia, kondisi fisik, psikis, sosial, ekonomi
dan sebagainya, agar dalam tarbiyah itu ia tidak mengalami kesulitan. 15
At – ta‟lim secara etimologis berasal dari kata kerja „allama yang berarti
“mengajar”. Jadi makna ta‟lim dapat diartikan “pengajaran” seperti dalam bahasa
Arab dinyatakan tarbiyah wa ta‟lim berarti “Pendidikan dan Pengajaran”, sedangkan
pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya “al–Tarbiyah al-Islamiyah”. Kata ta‟lim
dengan kata kerja „allama juga sudah digunakan pada zaman Nabi, baik di dalam Al-
Qur‟an maupun Hadis serta pemakaian sehari-hari pada masa dulu lebih sering
digunakan dari pada tarbiyah. Kata „allama memberi pengertian sekedar memberi
tahu atau memberi pengetahuan, tidak mengandung arti pembinaan kepribadian,
karena sedikit sekali kemungkinan ke arah pembentukan kepribadian yang
disebabkan pemberian pengetahuan. 16
Kata ta‟lim adalah isim mashdar dari „allama – yu‟allimu – ta‟liiman.
Menurut al-Raghib al-Asfahani dalam Abudin Nata menyebutkan bahwa:
Kata al-ta‟lim adalah al-tanbih al-nafs littashawur al-ma‟aniy yang artinya
memperingatkan jiwa untuk menggambarkan berbagai pengertian. Sedangkan kata at-
15 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. ke-2,
h. 14
16
Moh. Shofan, op.cit., h. 41-42
15
ta‟allum berarti proses mengingatkan jiwa dengan tujuan untuk memperoleh
gambaran tentang berbagai makna. Kata ta‟lim terkadang digunakan juga untuk
pengertian memberitahukan, jika penggunaan kata ta‟lim tersebut dilakukan secara
berulang-ulang.17
Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta‟lim dengan “proses transmisi
berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan
tertentu.” Pengertian ini didasarkan atas firman Allah SWT. dalam QS. Al-Baqarah
ayat 31 tentang „allama Tuhan kepada Nabi Adam as. Proses transmisi itu dilakukan
secara bertahap sebagaimana Nabi Adam menyaksikan dan menganalisis asma‟
(nama - nama) yang diajarkan oleh Allah kepadanya.18
Penunjukkan kata al-ta‟liim pada pengertian pendidikan, sesuai dengan
firman Allah SWT. :
ضهم على المالئكة ف قال أن بئون باساء هؤالء ان كنتم صادقي )البقرة : عر وعليم ءادم األساء كليها ثي ۱۳)
“Dan Allah mengajarkan kepada Adam segala nama, kemudian Allah berkata
kepada malaikat : ”Beritahukanlah kepada-Ku nama-nama semua itu, jika kamu
besar”. (QS. Al-Baqarah : 31) 19
Al-Qur‟an tidak menyebutkan secara eksplisit kata “ta‟lim”. Rasyid Ridha
dalam Asrorun Niam Sholeh mendefinisikan:
“Al-ta‟lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan kepada jiwa
individu tanpa adanya batasan dan ketentuan. Muhammad Naquib Al-Attas
mengartikan ta‟lim dengan “pengajaran tanpa pengenalan secara
mendasar”.”20
Istilah ta‟lim merupakan bagian kecil dari tarbiyah al–aqliyah yang bertujuan
memperoleh pengetahuan dan keahlian berpikir, yang sifatnya mengacu pada
17 Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 93
18
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op.cit., h. 19
19
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), cet ke-1, h. 87
20
Asrorun Niam Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam : Mengurai Relevansi Konsep Al-Ghazali
dalam Konteks Kekinian, (Jakarta: ELSAS Jakarta, 2008), cet ke-6, h. 94
16
dominan kognitif. Sebaliknya at – tarbiyah tidak hanya mencakup domain kognitif,
tetapi juga domain afektif dan psikomotorik.21
Kata ta‟diib merupakan mashdar dari addaba – yuaddibu – ta‟diiban ( – أديب
تأدي با - ياديب ) yang dapat diartikan kepada proses pendidik yang lebih tertuju pada
pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Orientasi kata
ta‟diib lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia.
Pengertian ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW. :
(احلديث) دبين ربي فأحسن تأديب “Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (Al-Hadits)
22
Proses ta‟dib harus didasarkan pada komitmen kuat untuk membangun
moralitas manusia dan dimulai diri sendiri. Dalam ta‟dib, seorang pendidik harus
selalu sadar bahwa proses ta‟dib tidak pernah lepas dari arahan Allah. Tuhan ikut
campur dengan mengarahkan langkah pendidik.23
Ta‟dib, sebagai upaya dalam pembentukan adab (tata krama) terbagi atas
empat macam :
a. Ta‟dib adab al-haqq, pendidikan tata krama spiritual dalam kebenaran,
yang memerlukan pengetahuan tentang wujud kebenaran, yang di
dalamnya segala yang ada memiliki kebenaran tersendiri dan yang
dengannya segala sesuatu diciptakan.
b. Ta‟dib adab al-khidmah, pendidikan tata krama spiritual dalam
pengabdian. Sebagai seorang hamba, manusia harus mengabdi kepada
sang Raja (Malik) dengan menempuh tata krama yang pantas.
c. Ta‟dib adab al-syari‟ah, pendidikan tata krama spiritual dalam syari‟a,
yang tata caranya telah digariskan oleh Tuhan melalui wahyu. Segala
21 Rois Mahfud, op.cit., h. 144
22
Samsul Nizar, op.cit., h. 90
23
Asrorun Niam Sholeh, op.cit., h. 95
17
pemenuhan syari‟ah Tuhan akan berimplikasi pada tata krama yang
mulia.
d. Ta‟dib adab al-shuhbah, pendidikan tata krama spiritual dalam
persahabata, berupa saling menghormati dan berprilaku mulia di antara
sesama.24
Sedangkan istilah ta‟dib menurut Daud (1987) dalam Rois Mahfud
menyatakan bahwa
“Ta‟dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur–angsur
ditanamkan kepada manusia tentang tempat–tempat yang tepat dari segala
sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa untuk membimbing
manusia ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan
di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.”25
Hasil Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia Kedua tahun 1980 di Islamabad,
Pakistan, merumuskan bahwa pendidikan Islam adalah suatu usaha untuk
mengembangkan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual,
imajinasi, jasmaniah, dan ilmiah baik secara individual maupun kolektif menuju ke
arah pencapaian kesempurnaan hidup sesuai dengan ajaran Islam.26
Menurut Dr. Muhammad Fadil Al-Djamaly dalam Muzayyin Arifin
menyatakan:
“Pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada yang
baik dan yang mengangkat derajat kemanusiannya sesuai dengan kemampuan
dasar (fithrah) dan kemampuan ajarnya (pengaruh dari luar).”27
Arifin dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoretis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner mengemukakan bahwa hakikat pendidikan
Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan
dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak
24 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op.cit., h. 20-21
25
Rois Mahfud, op.cit., h. 144
26
A. Fatah Yasin, op.cit., h. 24
27
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), cet ke-5, h. 17-18
18
didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan
perkembangannya. 28
Sedangkan menurut Armai Arief, pendidikan Islam adalah suatu proses
penanaman nilai-nilai Islam melalui pengajaran, bimbingan dan latihan yang
dilakukan dengan sadar dan penuh tanggung jawab dalam rangka pembentukan,
pembinaan, pendayagunaan, dan pengembangan pikir, zikir, dan kreasi manusia,
sehingga terbentuk pribadi muslim sejati, yang mampu mengembangkan
kehidupannya dengan penuh tanggung jawab dalam rangka beribadah kepada Allah
SWT. untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. 29
Dari pengertian ini nampak penekanannya kepada usaha membimbing
pertumbuhan dan perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik ke tingkat
maksimal. Dalam pengertian ini terkandung makna usaha orang dewasa muslim yang
sadar (pendidik muslim), melalui ajaran Islam, menuju titik maksimal pertumbuhan
dan perkembangannya (sebagai tujuan pendidikan).30
Pendidikan Islam, sebelumnya hanya dipersepsi sebagai materi, sekarang
persepsi umat telah berubah, pendidikan Islam tidak hanya dipersepsi sebagai materi,
tetapi juga sebagai institusi, sebagai kultur dan aktivitas, dan sebagai sistem. Inilah
yang sekarang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah yang secara operasional
mengatur pelaksanaan undang-undang tersebut. Dengan demikian, maka penyebutan
istilah “Pendidikan Islam” bisa mencakup empat persepsi tersebut: pertama,
pendidikan Islam dalam pengertian materi; kedua, pendidikan Islam dalam pengertian
institusi; ketiga, pendidikan Islam dalam pengertian kultur dan aktivitas; keempat,
pendidikan Islam dalam pengertian pendidikan Islam yang islami.
Pendidikan Islam menurut pengertian yang pertama, (pendidikan Islam dalam
pengertian materi), maka yang dimaksud pendidikan Islam adalah “materi
28 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), cet ke-1, h. 22
29
Armai Arief, op.cit., h. 36
30
Moh. Shofan, op.cit., h. 51-52
19
Pendidikan Agama Islam (PAI)” yang wajib diberikan di semua jenis, bentuk, dan
jenjang pendidikan, baik di sekolah (SD, SMP, SMA, SMK, dan/atau yang sederajat),
di Madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam (MI, MTs, MA, MAK,
dan/atau yang sederajat), dan di Madrasah Diniyah (Ula, Wustha dan „Ulya), karena
sesuai dengan penegasan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
bahwa PAI adalah isi kurikulum yang wajib diajarkan di setiap jenis, jalur, dan
jenjang pendidikan. Perbedaan pokok antara materi PAI di Sekolah, di Sekolah
Umum Berciri Khas Islam, dan di Madrasah Diniyah adalah sebagai berikut: kalau di
Sekolah, PAI merupakan mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran agama dan
akhlak (dengan sub mata pelajaran atau unsur pokok keimanan, ibadah, Al-Qur‟an -
hadis, akhlak, mu‟amalah, syari‟ah, dan tarikh) dengan satu silabi, sedang di
Madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam, PAI merupakan satu kelompok
mata pelajaran agama dan akhlak (terdiri dari Qur‟an, Hadis, Fikih, Akidah Akhlak,
SKI, dan bahasa Arab) dan setiap mata pelajaran memiliki silabi tersendiri.
Selanjutnya, di Madrasah Diniyah PAI menjadi materi inti dan tujuan institusional
lembaga adalah dalam rangka tafaqquh fiddin. Di Madrasah Diniyah ada variasi lagi,
kalau di Madrasah Salafiyah menggunakan referensi kitab kuning, sedang di Diniyah
Takmiliyah PAI bersifat pelengkap bagi peningkatan kompetensi keagamaan siswa
yang sedang belajar di Sekolah atau Sekolah Umum Berciri Khas Islam.
Pendidikan Islam menurut pengertian yang kedua, (pendidikan Islam dalam
pengertian institusi), maka yang dimaksud pendidikan Islam adalah institusi-institusi
pendidikan Islam seperti: pondok pesantren, madrasah diniyah, madrasah sebagai
sekolah umum berciri khas Islam, dan sebagainya. Berkembangnya bentuk institusi
pendidikan Islam seperti pondok pesantren, madrasah diniyah, madrasah sebagai
sekolah umum berciri khas Islam dan sekolah Islam itu, selain telah menunjukkan
keagamaan visi-misi perjuangan, sekaligus menunjukkan belum adanya grand design
sistem kelambagaan pendidikan Islam. Karena itu, rekonstruksi sistem kelembagaan
sangat diperlukan agar muncul ghirah yang bisa menginisiasi format institusi
pendidikan Islam yang mampu mengatur dan mensintesakan berbagai bentuk
20
kelembagaan itu dalam sebuah kelembagaan yang integral, sistemik, dan holistik
serta mampu menjelma sebagai ”magnet school”, yakni lembaga yang mampu
menyedot potensi dari partisipasi masyarakat karena reputasi kelembagaannya yang
menyajikan layanan pendidikan yang berkualitas.31
Pendidikan Islam menurut pengertian yang ketiga, (pendidikan Islam dalam
pengertian kultur dan aktivitas), maka yang dimaksud adalah budaya, kultur atau
nilai-nilai keislaman dan aktivitas yang tumbuh dan berkembang dan berpengaruh
terhadap iklim pendidikan Islam, citra pendidikan Islam, performance institusi
pendidikan Islam, dan aktivitas pendidikan Islam. Kultur pendidikan Islam, selama
ini kurang tergarap secara baik dan profesional, sehingga terjadi kesenjangan yang
begitu jauh antara idealitas ajaran Islam yang menekankan kebesihan dan citra
kelembagaan pendidikan Islam yang kerap disebut “kumuh”, ada kesenjangan antara
cita dan fakta, dan sebagainya. Kultur dan aktivitas pendidikan Islam seperti ini
penting digagas dan dikembangkan dalam rangka memberdayakan pendidikan Islam
sekaligus mengangkat pendidikan Islam dari keterpurukannya.
Yang terakhir, pendidikan Islam menurut pengertian yang keempat,
(pendidikan Islam dalam pengertian pendidikan yang islami), maka yang dimaksud
adalah sistem pendidikan yang islami. Pendidikan Islam, sebagaimana pendidikan
lainnya, memiliki komponen-komponen utama, seperti: dasar, tujuan, prinsip,
metode, evaluasi dan sebagainya. Konstruksi komponen-komponen utama tersebut,
menurut pengertian yang keempat, selalu mengacu pada ajaran normatif (Al-Qur‟an
dan al-hadits) dan terapannya dalam pendidikan.32
Pendidikan Islam merupakan upaya pelayanan ataupun usaha secara sadar,
secara terencana bagi pengembangan optimalisasi potensi dasar yang ada dalam diri
setiap individu. Potensi dasar tersebut berupa potensi untuk mengakui Allah sebagai
Tuhan yang menciptakan alam semesta, potensi untuk menjadi manusia yang baik
31 Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU
SISDIKNAS, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), cet ke-1, h. 2-4
32
Ibid., h. 4-5
21
dan berbuat baik, potensi untuk mengembangkan naluri kekhalifahan, dan potensi
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan lain-lain.33
Jadi, pendidikan Islam adalah suatu upaya atau proses, pencarian,
pembentukan, dan pengembangan sikap dan perilaku untuk mencari,
mengembangkan, memelihara, serta menggunakan ilmu dan perangkat teknologi atau
keterampilan demi kepentingan manusia sesuai dengan ajaran Islam.34
2. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang ingin diwujudkan. Dalam
tujuan pendidikan suasana ideal itu nampak pada tujuan akhir (ultimate aims of
education). Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat.35
Sedangkan
tujuan umum dari pendidikan ialah membawa anak kepada kedewasaannya, yang
berarti bahwa ia harus dapat menentukan diri sendiri dan bertanggung jawab
sendiri.36
Secara umum, tujuan pendidikan Islam terbagi kepada: tujuan umum, tujuan
sementara, tujuan akhir dan tujuan operasional. Tujuan umum adalah tujuan yang
akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik dengan pengajaran atau dengan
cara lain. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi
sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum. Tujuan
akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia-manusia
yang sempurna (insan kamil) setelah ia menghabisi sisa umurnya. Sementara tujuan
operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan
pendidikan tertentu.37
33 Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-Banna dan Mohammad
Natsir, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), h. 44
34
Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), cet. ke- 1,
h. 96
35
Zuhairini, op.cit., h. 160
36
M. Ngalim Purwanto, op.cit., h. 19
37
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h.
18-19
22
Ada yang memerinci tujuan pendidikan dalam bentuk taksonomi (sistem
klasifikasi) yang terutama meliputi:
a. Pembinaan kepribadian (nilai formil).
Sikap (attitude).
Daya pikir praktis rasional.
Obyektivitas.
Loyalitas kepada bangsa dan ideologi.
Sadar nilai-nilai moral dan agama.
b. Pembinaan aspek pengetahuan (nilai materiil), yaitu materi ilmu sendiri.
c. Pembinaan aspek kecakapan, keterampilain (skill) nilai-nilai praktis.
d. Pembinaan jasmani yang sehat.38
Tujuan pendidikan nasional menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II, Pasal 3 yang berbunyi: “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta
bertanggung jawab”.39
Sedangkan, tujuan pendidikan Islam adalah untuk mempersiapkan anak didik
atau individu dan menumbuhkan segenap potensi yang ada, baik jasmani maupun
rohani, dengan pertumbuhan yang terus menerus agar dapat hidup dan
berpenghidupan sempurna, sehingga ia dapat menjadi anggota masyarakat yang
berguna bagi dirinya dan umatnya.40
38 Zuhairini, op.cit., h. 161
39
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang
Pendidikan, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2006), h. 8
40
Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press, 2005), cet ke-1, h. 21
23
Secara umum, tujuan pendidikan Islam itu adalah dengan mengacu pada QS.
51 : 56, yaitu menjadikan manusia sebagai insan pengabdi kepada Khaliqnya, guna
mampu membangun dunia dan mengelola alam semesta sesuai dengan konsep yang
telah ditetapkan Allah SWT.41
Rumusan tujuan ini diilhami oleh firman Allah sebagai berikut :
(٦٥الذريات : ) الني و االنس االي لي عبدون وما خلقت “Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya menyembah-Ku”.
(QS. Adz-Dzariyat : 56) 42
Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan, yaitu :
a. Tujuan dan tugas manusia di muka bumi, baik secara vertikal maupun
horizontal.
b. Sifat-sifat dasar manusia.
c. Tuntutan masyarakat dan dinamika peradaban kemanusiaan.
d. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Dalam aspek ini, setidaknya ada
3 macam dimensi ideal Islam, yaitu : (a) mengandung nilai yang berupaya
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di muka bumi. (b)
mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih
kehidupan yang baik, (c) mengandung nilai yang dapat memadukan antara
kepentingan kehidupan dunia dan akhirat (fi al-dunya hasanah wa fi al-
akhirat al-hasanah).
Menurut al-Syaibani dalam Samsul Nizar mengemukakan bahwa tujuan
tertinggi pendidikan Islam adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.
Sementara tujuan akhir yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta
didik, baik ruh, pisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk
pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah fil
41 Samsul Nizar, op.cit., h. 105
42
Abudin Nata, op.cit., h. 173
24
ardh. Pendekatan tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah
pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak”
Tuhan sesuai dengan syariat Islam, serta mengisi tugas kehidupannya di dunia dan
menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya.43
Tujuan pendidikan dalam konsep Islam harus mengarah pada hakikat
pendidikan yang meliputi beberapa aspeknya yaitu tujuan dan tugas hidup manusia,
memperhatikan sifat–sifat dasar manusia, tuntutan masyarakat, dan dimensi–dimensi
ideal Islam.
Pertama, terkait dengan ontologi hakikat manusia sudah sangat jelas dalam
konsep Islam di mana manusia diciptakan bukan karena kebetulan atau sia – sia, ia
diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu seperti dikatakan dalam
QS. Ali „Imran [3] : 191. Tujuan diciptakan manusia adalah mutlak untuk Allah
SWT, mendedikasikan dirinya baik sebagai wakil-Nya di muka bumi maupun sebagai
„abd Allah SWT.
Kedua, memperhatikan sifat – sifat dasar manusia (nature of human) yang
oleh Allah SWT ditempatkan sebagai khalifah-Nya di muka bumi yang bertujuan
untuk mengabdi kepada-Nya sebagaimana dilukiskan dalam QS. Al-Dzariyat [51] :
56 :
(٥٦)الذاريات : وما خلقت الني و االنس االي لي عبدون
Artinya :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada – Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)
Ketiga, tuntutan masyarakat baik berupa pelestarian nilai – nilai budaya yang
telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat, maupun pemenuhan terhadap
tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan dan tuntutan dunia
modern.
43 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), cet ke-1, h. 35-36
25
Keempat, dimensi kehidupan ideal Islam mengandung nilai yang dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia untuk mengelola dan
memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat, serta mengandung nilai
yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang
membahagiakan sehingga manusia dituntut agar tidak terbelenggu oleh rantai
kekayaan duniawi atau material yang dimiliki. Namun demikian, manusia dituntut
untuk menempatkan secara selaras antara kebutuhan dunia dan akhirat secara
proporsional seperti yang direkomendasikan dalam QS. Al-Qashash [28] : 77 :
يا و اراالخرة و ال ت نس نسبك من الن احسن كما احسن اهلل اليك وال ت بغ واب تغ فيما ءا تك اهلل الدي
ب المفسدون (٧٧)القصص : الفساد ف االرض اني اهلل ال ي
Artinya :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang – orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al – Qashash : 77)44
Menurut tugas dan fungsi manusia secara filosofis, tujuan pendidikan bisa
dibedakan sebagai berikut :
a. Tujuan individual yang menyangkut individu, melalui proses belajar
dengan tujuan mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat.
b. Tujuan sosial yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat sebagai
keseluruhan, dan dengan tingkah laku masyarakat umumnya serta dengan
perubahan-perubahan yang diinginkan pada pertumbuhan pribadi,
pengalaman dan kemajuan hidupnya.
44 Rois Mahfud, op.cit., h. 145-147
26
c. Tujuan profesional yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni, dan
profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat.
Dalam proses kependidikan, ketiga tujuan di atas dicapai secara integral, tidak
terpisah, sehingga dapat mewujudkan tipe manusia paripurna seperti dikehendaki
oleh ajaran Islam. 45
Menurut al-Qabisy dalam A. Fattah Yasin menyatakan:
“Tujuan pendidikan Islam itu adalah upaya menyiapkan peserta didik agar
menjadi muslim yang dapat menyesuaikan hidupnya sesuai dengan ajaran-
ajaran Islam. Dengan tujuan ini diharapkan peserta didik juga mampu
memiliki pengetahuan dan mampu mengamalkan ajaran Islam, karena hidup
di dunia ini tidak lain adalah jembatan menuju hidup di akhirat.”46
Menurut Prof. Muhammad Athiyah Al-Abrasyi dalam kajiannya tentang
pendidikan Islam dalam Muzayyin Arifin telah menyimpulkan 5 (lima) tujuan yang
asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “At-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa
Falsafatuha”, yaitu :
a. Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan
bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam – buitstu li
utammima makarimal akhlak – dan bahwa mencapai akhlak yang
sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya. Dan bukanlah tujuan
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pemikiran Islam untuk mengisi
otak pelajar dengan informasi–informasi kering dan mengajar mereka
pelajaran–pelajaran yang belum mereka ketahui. Dapat diringkaskan
tujuan asasi pendidikan Islam itu dalam suatu kata, yaitu “keutamaan” (al-
fadhilah). Menurut tujuan ini setiap pengajaran harus berorientasi pada
pendidikan akhlak, dan akhlak keagamaan di atas segala – galanya.
b. Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam
tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya
45 Arifin, op.cit., h. 29
46
A. Fatah Yasin, op.cit., h. 110
27
segi keduniaan saja, tetapi ia menaruh perhatian pada kedua–duanya
sekaligus dan ia memandang persiapan untuk kedua kehidupan itu sebagai
tujuan tertinggi dan terakhir bagi pendidikan.
c. Menumbuhkan ruh ilmiah (Scientific Spirit) pada pelajaran dan
memuaskan keinginan hati untuk mengetahui (curiosity) dan
memungkinkan ia mengkaji ilmu sebagai sekedar ilmu. Pada waktu
pendidik–pendidik muslim menaruh perhatian kepada pendidikan agama
dan akhlak dan mempersiapkan diri untuk kehidupan dunia dan akhirat
dan mempersiapkan untuk mencari rezeki, mereka juga menumbuhkan
perhatian pada sains, sastra, kesenian dalam berbagai jenisnya, sekedar
sebagai sains, sastra dan seni.
d. Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan tertentu,
supaya ia dapat menguasai profesi tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki
dalam hidup dan hidup dengan mulia di samping memelihara segi
kerohanian dan keagamaan. Pendidikan Islam, sekalipun menekankan segi
kerohanian dan akhlak, tidaklah lupa menyiapkan seseorang untuk hidup
dan mencari rezeki. Begitu juga ia tak lupa melatih badan, akal, hati,
perasaan–perasaan, kemauan, tangan, lidah, dan pribadi.
e. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi–segi kemanfaatan.
Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau
spiritual semata–mata, tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan
pada tujuan–tujuan, kurikulum, dan aktifitasnya. 47
Menurut Ahmad D. Marimba dalam Moh. Shofan mengemukakan bahwa
suatu usaha tanpa tujuan tidak akan berarti apa-apa. Oleh karenanya, setiap usaha
mesti ada tujuan dan begitu pula dalam pendidikan Islam sangat penting adanya
tujuan pendidikan yang dilaksanakan. Ada empat fungsi tujuan dalam pendidikan
Islam, yaitu :
47 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), cet. ke- 4, h. 164-166
28
Pertama, tujuan berfungsi mengakhiri usaha, dalam hal ini perlu sekali
antisipasi ke depan dan efisiensi dalam tujuan agar tidak terjadi penyimpangan.
Kedua, tujuan berfungsi mengerahkan usaha, dalam hal ini tujuan dapat menjadi
pedoman sebagai arah kegiatan. Ketiga, tujuan dapat merupakan titik pangkal untuk
mencapai tujaun lainnya, baik merupakan kelanjutan tujuan sebelumnya maupun bagi
tujuan baru, dalam hal ini ada tujuan yang lebih luhur, mulia daripada usaha lainnya.
Di samping itu tujuan bisa bersifat paralel ataupun garis lurus (linier), bisa juga
tujuan dekat, jauh dan lebih jauh atau tujuan sementara (antara) dan tujuan akhir.48
Tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya sama dan sesuai dengan tujuan
diturunkannya agama Islam itu sendiri, yaitu untuk membentuk manusia muttaqin
yang rentangannya berdimensi infinitum (tidak terbatas menurut jangkauan manusia),
baik secara linear maupun secara algoritmik (berurutan secara logis) berada dalam
garis-garis mukmin – muslim – muhsin dengan perangkat komponen, variabel, dan
parameternya masing-masing yang secara kualitatif bersifat kompetitif.
Oleh karena itu, tujuan pendidikan Islam dapat dipecah menjadi tujuan-tujuan
berikut ini:
a. Membentuk manusia muslim yang dapat melaksanakan ibadah mahdhah.
b. Membentuk manusia muslim yang di samping dapat melaksanakan ibadah
mahdhah dapat juga melaksanakan ibadah muamalah dalam
kedudukannya sebagai orang perorang atau sebagai anggota masyarakat
dalam lingkungan tertentu.
c. Membentuk warga negara yang bertanggungjawab kepada masyarakat dan
bangsanya dalam rangka bertanggungjawab kepada Allah Penciptanya.
d. Membentuk dan mengembangkan tenaga profesional yang siap dan
terampil atau tenaga setengah terampil untuk memungkinkan memasuki
teknostruktur masyarakatnya.
48 Moh. Shofan, op.cit., h. 55
29
e. Mengembangkan tenaga ahli di bidang ilmu (agama dan ilmu-ilmu islami
lainnya). 49
Tujuan umum dalam pendidikan Islam adalah mencapai kepribadian yang
sempurna dari segala aspek insaniah, seperti jasmaniah, ruhaniah, intelek, dan
sebagainya. Sedangkan tujuan akhir dalam pendidikan Islam adalah perwujudan
ketundukkan yang sempurna kepada Allah SWT.
3. Fungsi Pendidikan Islam
Pendidikan mempunyai peran dan fungsi ganda, pertama peran dan fungsinya
sebagai instrumen penyiapan generasi bangsa yang berkualitas, kedua, peran serta
fungsi sebagai instrumen transfer nilai. Fungsi pertama menyiratkan bahwa
pendidikan memiliki peran artikulasi dalam membekali seseorang atau sekelompok
orang dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan, yang berfungsi
sebagai alat untuk menjalani hidup yang penuh dengan dinamika, kompetisi, dan
perubahan. Fungsi kedua menyiratkan peran dan fungsi pendidikan sebagai instrumen
transformasi nilai – nilai luhur dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua
fungsi tersebut secara eksplisit menandai bahwa pendidikan mengandung makna bagi
pengembangan sains dan teknologi serta pengembangan etika, moral, dan nilai – nilai
spiritual kepada masyarakat agar tumbuh dan berkembang menjadi warga negara
yang beradab dan bermartabat, terampil, demokratis, dan memiliki keunggulan
kompetitif (competitive advantage) serta keunggulan komperatif (comperative
advantage). 50
Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan dapat dilihat dari dua
bentuk, yaitu:
49 Jusuf Amir Feisal, op.cit., h. 96
50
Rois Mahfud, op.cit., h. 147
30
a. Alat untuk memelihara, memperluas, dan menghubungkan tingkat-tingkat
kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial, serta ide-ide masyarakat dan
nasional.
b. Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan. Pada
garis besarnya, upaya ini dilakukan melalui potensi ilmu pengetahuan dan
skill yang dimiliki, serta melatih tenaga-tenaga manusia (peserta didik)
yang produktif dalam menemukan perimbangan perubahan sosial dan
ekonomi yang demikian dinamis.51
Dari batasan terminologis dan tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan
Islam, terlihat bahwa peranan pendidikan sangat besar dalam membangun peradaban
manusia. Artinya, peradaban dan kebudayaan manusia tumbuh dan berkembang
melalui pendidikan. Agar peradaban bisa terbentuk sesuai dengan yang diinginkan,
maka dalam konsep pendidikan harus didasari oleh nilai-nilai, cita-cita, dan falsafah
yang berlaku di suatu masyarakat atau bangsa.
Untuk mencapai konsep di atas, maka kesemuanya itu merupakan tanggung
jawab yang dibebankan dalam pendidikan yang ada. Maka dalam konteks ini, fungsi
pendidikan Islam dapat dilihat dari dua dimensi :
a. Dimensi mikro (internal), yaitu manusia sebagai subyek dan obyek
pendidikan. Pada dimensi ini, pendidikan yang dilakukan berfungsi
memelihara dan mengembangkan fitrah (potensi) insani yang ada dalam
diri anak didik seoptimal mungkin sesuai dengan norma agama.
Dengan upaya ini diharapkan pendidikan Islam mampu membentuk insan
yang berkualitas dan mampu melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawabnya, baik sebagai pribadi, maupun kepada masyarakat. Dengan kata
lain, fungsi pendidikan Islam sebagai upaya menuju terbentuknya
kepribadian insan muslim seutuhnya.
51 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis: Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta: PT Ciputat Press, 2005), h. 34
31
Dari batasan di atas, terlihat bahwa fungsi pendidikan dalam perspektif
Islam adalah proses penanaman nilai-nilai Ilahiyah pada diri anak didik,
sehingga mereka mampu mengaktualisasikan dirinya semaksimal
mungkin sesuai dengan prinsip-prinsip religius.
b. Dimensi makro (eksternal), yaitu perkembangan kebudayaan dan
peradaban manusia sebagai hasil akumulasi dengan lingkungannya. Pada
dimensi ini, pendidikan yang dilakukan berfungsi sebagai sarana
pewarisan budaya dan identitas suatu komunitas yang di dalamnya
manusia melakukan berbagai bentuk interaksi dan saling mempengaruhi
antara satu dengan yang lain.52
Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu menjadi fasilitator bagi
pelaksanaan aktualisasi seluruh potensi peserta didik dan transformasi nilai-nilai
sosiokulturalnya dengan ruh islami. Upaya lintas sektoral ini, akan membuat
pendidikan Islam lebih proporsional dan mampu mengayomi seluruh kepentingan
manusia dengan segala karakteristik yang dimiliknya. Dengan pola ini akan
meletakkan pendidikan Islam sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan
kepentingan masyarakat di mana pendidikan Islam itu terlaksana. Bila fungsi
pendidikan Islam diatas telah dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya, maka otomatis
akan memungkinkan akan terlaksananya tugas pendidikan sebagai alat yang
membimbing dan mengarahkan seluruh potensi peserta didik untuk tumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin terwujud dengan baik pula.53
Pendidikan Islam, dengan bertitik tolak dari prinsip iman – islam – ihsan atau
akidah – ibadah – akhlak untuk menuju suatu sasaran kemuliaan manusia dan budaya
yang diridhai Allah SWT, setidak-tidaknya memiliki fungsi-fungsi berikut ini:
a. Individualisasi nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya derajat manusia
muttaqin dalam bersikap, berpikir, dan berperilaku.
b. Sosialisasi nilai-nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya umat Islam.
52 Samsul Nizar, op.cit., h. 121-122
53
Ibid., h. 123
32
c. Rekayasa kultur Islam demi terbentuk dan berkembangnya peradaban
Islam.
d. Menemukan, mengembangkan, serta memelihara ilmu, teknologi, dan
keterampilan demi terbentuknya para manajer dan manusia profesional.
e. Pengembangan intelektual muslim yang mampu mencari,
mengembangkan, serta memelihara ilmu dan teknologi.
f. Pengembangan pendidikan yang berkelanjutan dalam bidang ekonomi,
fisika, kimia, arsitektur, seni musik, seni budaya, politik, olahraga,
kesehatan dan sebagainya.
g. Pengembangan kualitas muslim dan warga negara sebagai anggota dan
pembina masyarakat yang berkualitas kompetitif.54
4. Kurikulum Pendidikan Islam
Secara etimologi, kurikulum dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya
pelari dan curere yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada
mulanya digunakan dalam dunia olahraga yang berarti “a little racecourse” (suatu
jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olahraga). Berdasarkan pengertian ini,
dalam konteksnya dengan dunia pendidikan, memberinya pengertian sebagai “circle
of instruction” yaitu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat di
dalamnya. Sementara pendapat lain mengemukakan bahwa kurikulum ialah arena
pertandingan tempat pelajar bertanding untuk menguasai pelajaran guna mencapai
garis penamat berupa diploma, ijazah atau gelar kesarjanaan. 55
Kata “kurikulum” mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia pendidikan sejak
kurang – lebih satu abad yang lalu. Istilah kurikulum muncul untuk pertama kalinya
dalam kamus Webster tahun 1856. Pada tahun itu kurikulum digunakan dalam bidang
olahraga, yakni suatu alat yang membawa orang dari start sampai ke finish. Barulah
54 Jusuf Amir Feisal, op.cit., h. 95-96
55
Samsul Nizar, op.cit., h. 55-56
33
pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti
sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan. Dalam kamus tersebut kurikulum
diartikan dua macam, yaitu :
a. Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa di
sekolah atau perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu.
b. Sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga
pendidikan atau jurusan. 56
Di dalam kurikulum tidak hanya dijabarkan serangkaian ilmu yang harus
diajarkan oleh pendidik (guru) kepada anak didik, dan anak didik mempelajarinya,
tetapi juga segala kegiatan yang bersifat kependidikan yang dipandang perlu, karena
mempunyai pengaruh terhadap anak didik, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan
Islam, misalnya olahraga, kepramukaan, widya wisata, seni budaya; mempunyai
pengaruh cukup besar dalam proses mendidik anak didik, sehingga perlu
diintegrasikan ke dalam kurikulum itu.57
Dasar-dasar kurikulum pendidikan Islam antara lain adalah :
a. Dasar agama.
Kurikulum diharapkan dapat menolong siswa untuk membina iman yang
kuat, teguh terhadap ajaran agama, berakhlak mulia dan melengkapinya
dengan ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat.
b. Dasar falsafah
Pendidikan Islam harus berdasarkan wahyu Tuhan dan tuntunan Nabi
SAW. serta warisan para ulama.
c. Dasar psikologis
Kurikulum tersebut harus sejalan dengan ciri perkembangan siswa,
tahap kematangan dan semua segi perkembangannya.
56 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), cet. ke-7, h. 53
57
Muzayyin Arifin, op.cit., h. 77-78
34
d. Dasar sosial
Kurikulum diharapkan turut serta dalam proses kemasyarakatan
terhadap siswa, penyesuaian mereka dengan lingkungannya,
pengetahuan dan kemahiran yang akan menambah produktifitas dan
keikutsertaan mereka dalam membina umat dan bangsanya. 58
Secara umum karakteristik kurikulum pendidikan Islam adalah pencerminan
nilai-nilai Islami yang dihasilkan dari pemikiran kefilsafatan dan termanifestasi dalam
seluruh aktivitas dan kegiatan pendidikan dalam prakteknya. Dalam konteks ini harus
difahami bahwa karakteristik kurikulum pendidikan Islam senantiasa memiliki
keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan dengan prinsip-prinsip yang telah diletakkan
Allah SWT dan Rasul-Nya, Muhammad SAW. Konsep inilah yang membedakan
kurikulum pendidikan Islam dengan kurikulum pendidikan pada umumnya. 59
Dalam Islam, kurikulum pendidikan harus berdasarkan aqidah Islam. Apabila
aqidah Islam sudah menjadi asas yang mendasar bagi kehidupan seorang Muslim,
asas bagi negaranya, asass bagi hubungan antar Muslim, asas bagi aturan dan
masyarakat umumnya, maka seluruh pengetahuan yang diterima seorang Muslim
harus berdasarkan aqidah Islam pula, baik hal itu berupa antar Muslim, masalah-
masalah politik, dan kenegaraan, atau masalah apa pun yang ada kaitannya dengan
kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.60
Kurikulum pendidikan Islam seharusnya mempunyai ciri–ciri sebagai berikut:
a. Kurikulum pendidikan Islam harus menonjolkan mata pelajaran agama
dan akhlak. Agama dan akhlak itu harus diambil oleh Al-Qur‟an dan
hadis serta contoh – contoh dari tokoh terdahulu yang saleh.
b. Kurikulum pendidikan Islam harus memperhatikan pengembangan
menyeluruh aspek pribadi siswa, yaitu aspek jasmani, akal, dan rohani.
58 Armai Arief, op.cit., h. 34-35
59
Samsul Nizar, op.cit., h. 61
60
Abdur Rahman Al-Baghdadi, Sistem Pendidikan Islam di Masa Khilafah Islam, (Surabaya: Al-
Izzah, 1996), cet. ke-1, h. 9
35
Untuk pengembangan menyeluruh ini kurikulum harus berisi mata
pelajaran yang banyak, sesuai dengan tujuan pembinaan setiap aspek itu.
c. Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan antara
pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat; jasmani, akal, dan rohani
manusia. Keseimbangan itu tentulah bersifat relatif karena tidak dapat
diukur secara objektif.
d. Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan juga seni halus, yaitu ukir,
pahat, tulis – indah, gambar dan sejenisnya. Selain itu, memperhatikan
juga pendidikan jasmani, latihan militer, teknik, keterampilan, dan
bahasa asing sekalipun semuanya ini diberikan kepada perseorangan
secara efektif berdasar bakat, minat, dan kebutuhan.
Kurikulum pendidikan Islam mempertimbangkan perbedaan–perbedaan
kebudayaan yang sering terdapat di tengah manusia karena perbedaan tempat dan
juga perbedaan zaman. Kurikulum dirancang sesuai dengan kebudayaan itu. 61
5. Metodologi Pendidikan Islam
Metodologi pendidikan adalah suatu ilmu pengetahuan tentang metode yang
dipergunakan dalam pekerjaan mendidik. Asal kata “metode” mengandung
pengertian “suatu jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan”. Metode berasal
dari dua perkataan yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui” dan hodos berarti
“jalan atau cara”, bila ditambah dengan logi sehingga menjadi metodologi berarti
“ilmu pengetahuan tentang jalan atau cara yang harus dilalui” untuk mencapai suatu
tujuan, oleh karena kata logi yang berasal dari bahasa Greek (Yunani) logos berarti
“akal” atau “ilmu”. 62
Sementara itu, pendidikan merupakan usaha membimbing dan membina serta
bertanggung jawab untuk mengembangkan intelektual pribadi anak didik ke arah
61 Ahmad Tafsir, op.cit., h. 65-66
62
Arifin, op.cit., h. 65
36
kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka
pendidikan Islam adalah sebuah proses dalam membentuk manusia-manusia muslim
yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan
merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah SWT., baik kepada
Tuhannya, sesama manusia dan sesama makhluk lainnya. Pendidikan yang dimaksud
selalu berdasarkan kepada ajaran Al-Qur‟an dan Hadits.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan metodologi pendidikan Islam adalah
cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan pencapaian tujuan pendidikan Islam.
Metodologi Pendidikan Islam yang dinyatakan dalam Al-Qur‟an
menggunakan sistem multi approach yang meliputi antara lain :
a. Pendidikan religius, bahwa manusia diciptakan memiliki potensi dasar
(fitrah) atau bakat agama.
b. Pendekatan filosofis, bahwa manusia adalah makhluk rasional atau
berakal pikiran untuk mengembangkan diri dan kehidupannya.
c. Pendekatan rasio-kultural, bahwa manusia adalah makhluk
bermasyarakat dan berkebudayaan sehingga latar belakangnya
mempengaruhi proses pendidikan.
d. Pendekatan scientific, bahwa manusia memliki kemampuan kognitif dan
afektif yang harus ditumbuhkembangkan.
Berdasarkan multi approach tersebut, penggunaan metode harus dipandang
secara komprehensif terhadap anak. Karena anak didik tidak saja dipandang dari segi
perkembangan, tetapi juga harus dilihat dari berbagai aspek yang mempengaruhinya.
63
An-Nahlawi mengemukakan beberapa metode yang paling penting dalam
pendidikan Islam, yaitu :
a. Metode hiwar (percakapan) Qur‟ani dan Nabawi.
b. Mendidik dengan kisah-kisah Qur‟ani dan Nabawi.
63 Armai Arief, op.cit., h. 40-41
37
c. Mendidik dengan amtsal (perumpamaan) Qur‟ani dan Nabawi.
d. Mendidik dengan memberi teladan.
e. Mendidik dengan pembiasaan diri dan pengamalan.
f. Mendidik dengan mengambil ibrah (pelajaran) dan mau‟izhah
(peringatan).
g. Mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat
takut). 64
Metodologi pendidikan Islam sebagai perangkat ilmu yang bukan saja bicara
tentang metode pendidikan/pengajaran pendidikan (agama) Islam secara
konvemsional, tapi di dalamnya menyangkut pendekatan/prosedur, metode/strategi,
dan teknik/langkah-langkah operasional pelaksanaan pendidikan Islam secara
menyeluruh. Hal ini menyangkut metodologi pendidikan Islam sebagai ilmu yang
perlu dididikkan dan dipelajari sehingga dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan,
juga Islam sebagai nilai normatif yang perlu tanamkan untuk dipedomani dan
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.65
B. Pemikiran Pendidikan Islam
Secara etimologi, pemikiran berasal dari kata dasar “pikir” yang berarti
proses, cara, atau perbuatan memikir, yaitu menggunakan akal budi untuk
memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu secara
bijaksana. Dalam konteks ini, pemikiran dapat diartikan sebagai upaya cerdas dan
proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha mencari
penyelesaiannya secara bijaksana.
Secara terminologis, menurut Mohammad Labib An-Najihi dalam A. Susanto
mengemukakan:
64 Samsul Nizar, op.cit., h. 73
65
A. Fatah Yasin, op.cit., h. 147
38
“Pemikiran pendidikan Islam adalah aktivitas pikiran yang teratur dengan
mempergunakan metode filsafat. Pendekatan tersebut dipergunakan untuk mengatur,
menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan dalam sebuah sistem yang
integral.”
Pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu
yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada
dalam pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah paradigma
pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta
didik secara paripurna.
Tujuan dari pemikiran pendidikan Islam untuk mengungkap dan merumuskan
paradigma pendidikan Islam dan peranannya dalam pengembangan sistem pendidikan
di Indonesia. Pemikiran pendidikan Islam ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan
masukan dalam merekonstruksi pola atau model pendidikan yang lebih adaptik dan
integral – dengan nuansa Islami – terutama bagi pengembangan sistem pendidikan
nasional, serta ikut memperkaya khazanah perkembangan pemikirian ilmu
pengetahuan, baik pengetahuan keislaman maupun pengetahuan umum lainnya. 66
C. Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang relevan dengan judul penelitian yang peneliti teliti
sebagai berikut :
1. Miftah Faridl, NIM: 108011000024, jurusan Pendidikan Agama Islam, masuk
tahun 2008, lulus tahun 2013, dengan judul “Konsep ta‟dib Menurut Syed
Muhammad Naqib Al-Attas”. Di dalam skripsinya, beliau menjelaskan dan
mengkaji tentang konsep ta‟dib saja tanpa menjelaskan pemikiran pendidikan
Islam yang lainnya menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Sehingga
peneliti tertarik untuk menjelaskan dan mengkaji lebih dalam tentang
pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas walaupun di
66 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: AMZAH, 2009), cet ke-1, h. 3-5
39
dalam penjelasan, peneliti sedikit menyinggung konsep ta‟dib di dalam skripsi
ini. Karena Syed Muhammad Naquib Al-Attas, menggagas pendidikan Islam
dengan istilah ta‟dib bukan tarbiyah maupun ta‟lim. Dan beliau menjelaskan
tentang implementasi ta‟dib dalam pendidikan formal dan informal.
Sedangkan peneliti menjelaskan pendidikan Islam pada Era sekarang.
2. Baharudin, NIM : 01.2.001.03.01.0068, jurusan Pasca Sarjana Pendidikan
Agama Islam, lulus tahun 2005, dengan judul “Pemikiran Pendidikan Naquib
Al-Attas : Aktualisasinya dalam Konteks Pendidikan Islam Kontemporer”. Di
dalam tesisnya, beliau menjelaskan dan mengkaji lebih rinci dan mendetail
tentang pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas
terutama dalam sistem pendidikan yang digagas Al-Attas dalam bentuk
universitas. Sedangkan peneliti lebih mengkaji tentang tujuan pendidikan dan
kurikulum pendidikan Islam yang digagas oleh Al-Attas.
40
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Iman Jama’, Lebak Bulus.
2. Waktu Penelitian
Penelitian yang berjudul “Pemikiran Pendidikan Islam menurut Syed
Muhammad Naquib Al-Attas” ini dilaksanakan dengan pengaturan waktu sebagai
berikut : 26 Februari 2013 sampai dengan 30 September 2013 digunakan untuk
pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari buku, jurnal,
dan internet yang mendukung penelitian, terutama yang berkaitan dengan pendidikan
Islam.
41
B. Metode Penelitian
Skripsi ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
adalah suatu pendekatan penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi,
pemikiran orang secara individual atau kelompok.1
Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan library research
yaitu lebih menitikberatkan pada pengumpulan data dari berbagai sumber yang
relevan (seperti buku, jurnal, dan internet) yang terkait dengan judul. Guna menjawab
permasalahan Pemikiran Pendidikan Islam menurut Syed Muhammad Naquib Al-
Attas.
Peneliti menelusuri karya-karya atau tulisan Syed Muhammad Naquib Al-
Attas serta sumber-sumber berkaitan dengan kerangka berpikir yang membangun
gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang
pendidikan Islam. Setelah data diperoleh, penulis menganalisis data tersebut dengan
pendekatan deskriptif analitik.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menuturkan
pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data–data, jadi ia juga
menyajikan data, menganalisis, dan menginterpretasikan.2
Pendekatan deskriptif yaitu menjelaskan tentang pendidikan Islam.
Analisisnya yaitu menganalisis pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tersebut
dengan berbagai dalil-dalil yang memiliki keterkaitan, baik dalil Al-Qur’an, Hadits,
dan juga beberapa disiplin ilmu pengetahuan lainnya.
Berkenaan dengan teknik penulisan, penulis merujuk pedoman penulisan
skripsi yang menjadi acuan bagi civitas akademika di lingkungan UIN Syarif
1 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007), cet. ke-3, h. 60
2 Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 44
42
Hidayatullah Jakarta. Buku yang dimaksud adalah Panduan Akademik Thn. Ajaran
2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dilakukan untuk menunjang penelitian, karena
data yang digunakan adalah berbagai informasi, misalnya buku-buku yang berkaitan
dengan penelitian, ensiklopedi, dan internet.
Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan teknik metode
dokumentasi.
Pemeriksaan dokumentasi (studi dokumentasi) dilakukan dengan meneliti
bahan dokumentasi yang ada dan mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian.3
Untuk memperoleh data dan informasi yang berhubungan dengan tujuan
penelitian, maka sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data.4 Sedangkan yang dimaksud dari sumber primer dalam penelitian ini
adalah karya-karya yang ditulis sendiri oleh tokoh yang diteliti, dalam penelitian ini
adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Sumber primer yang menjadi acuan utama dalam penelitian ini adalah karya
Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang berjudul Konsep Pendidikan dalam Islam,
Terj. dari The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic
Philosophy of Education, terbit di Bandung: Mizan, tahun 1996. Buku ini membahas
tentang pemikiran-pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengenai
pendidikan Islam.
3 Anas Sudijono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 30
4 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2010), cet. ke-11, h. 193
43
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data
kepada pengumpul data. Sedangkan yang dimaksud dari sumber sekunder dalam
penelitian ini adalah karya-karya orang lain di dalamnya membahas tokoh yang akan
diteliti.
Sumber sekunder yang merujuk kepada penelitian ini, penulis menemukan
beberapa buku mengenai Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Diantaranya adalah:
1) Karya Wan Mohd Nor Wan Daud yang berjudul Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, terbit di
Bandung: Mizan, tahun 2003. Dalam buku ini membahas tentang
berbagai macam pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
mengenai pandangan Al-Attas tentang metafisika, ilmu pengetahuan,
islamisasi ilmu pengetahuan serta pemikiran yang lainnya. Namun,
dalam buku ini pula membahas tentang konsep pendidikan Islam.
Diantaranya mengenai profil, pendidikan, serta karya-karya Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, dan pemikiran Syed Muhammad
Naquib Al-Attas tentang konsep pendidikan Islam.
2) Karya Achmad Gholib yang berjudul Teologi dalam Perspektif Islam,
terbit di Jakarta: UIN Jakarta Press, tahun 2004. Dalam buku ini
membahas tentang biografi singkat Syed Muhammad Naquib Al-
Attas, pemikirannya tentang konsep islamisasi ilmu pengetahuan, dan
pendidikan Islam yang menjadikan manusia menjadi insan kamil.
3) Karya Ridjaluddin yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam, terbit di
Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA, tahun 2009. Dalam buku
ini membahas tentang definisi pendidikan Islam (ta’dib) Syed
Muhammad Naquib Al-Attas.
44
2. Pengolahan Data
Setelah data terkumpul, peneliti mengolah data dengan cara mengkaji,
menganalisis, menelaah dan mempelajari berbagai literatur yang erat kaitannya
dengan masalah yang dibahas.
D. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data
Pemeriksaan data yang dilakukan adalah berbagai literature yang digunakan
oleh peneliti terutama data-data primer maupun data sekunder. Apakah data-data
tersebut berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.
E. Analisis Data
Analisis yang dipergunakan dalam penelitian kualitatif adalah model analisis
mengalir (flow model). Sejumlah langkah analisis terdapat dalam model ini, yakni
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.5
5 Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi FITK UIN Syarif
Hidayatullah, (Jakarta: tp, 2013), h. 69
45
BAB IV
SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
A. Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas
1. Riwayat Hidup Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada
tanggal 5 September 1931.1 Silsilah keluarganya bisa dilacak hingga ribuan tahun ke
belakang melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba‟Alawi di hadramaut dengan
silsilah yang sampai kepada Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW. Di antara
leluhurnya ada yang menjadi wali dan ulama. Salah seorang di antara mereka adalah
Syed Muhammad Al-„Aydarus (dari pihak ibu), guru dan pembimbing ruhani syed
Abu Hafs „Umar ba Syaiban dari Hadramaut, yang mengantarkan Nur Al-Din Al-
Raniri, salah seorang alim ulama terkemuka di dunia Melayu, ke tarekat Rifa‟iyyah.
Ibunda Syed Muhammad Naquib Al-Attas yaitu Syarifah Raquan Al-„Ayadrus,
berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan ningrat Sunda di Sukapura.
1 Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Ciputat Press,
2005), h. 118
46
Dari pihak bapak, kakek Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang bernama
Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad Al-Attas adalah seorang wali yang
pengaruhnya tidak hanya terasa di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab.
Muridnya, Syed Hasan Fad‟ak, kawan Lawrence of Arabia, dilantik menjadi
penasihat agama Amir Faisal, saudara Raja Abdullah dari Yordania. Neneknya,
Ruqayah Hanum adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan
Ungku Abdul Majid, adik Sultan Abu Bakar Johor (w. 1895) yang menikah dengan
adik Ruqayah Hanum, Khadijah, yang kemudian menjadi Ratu Johor. Setelah Ungku
Abdul Majid wafat (meninggalkan dua orang anak), Ruqayah menikah yang kedua
kalinya dengan Syed Abdullah Al-Attas, dan dikaruniai seorang anak, Syed Ali Al-
Attas, yaitu bapak Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara.
Yang sulung bernama Syed Hussein, seorang ahli sosiologi dan mantan Wakil rektor
Universitas Malaya, sedangkan yang bungsu bernama Syed Zaid, seorang insinyur
kimia dan mantan dosen Institut Teknologi MARA.2
2. Latar Belakang Pendidikan dan Karir Syed Muhammad Naquib Al-
Attas
Sejarawan, ahli filsafat, dan seniman berkewarganegaraan Malaysia. Dalam
dunia akademis, ia dikenal sebagai sejarawan yang mengkhususkan diri pada sejarah
Islam di Melayu. Ia adalah pendiri The International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, Malaysia.3
Pada waktu itu Indonesia berada di bawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat
dari garis keturunannya, al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inheren.
Sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun ibu merupakan orang-orang
2 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-
Attas, (Bandung: Mizan, 2003), cet. ke-1, h. 45-46
3 Hasan Muarif Hambaly. et.al., Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), cet. ke-1, h. 78
47
yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda.
Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di Johor. Bahkan mendapat gelar
sayyed yang dalam tradisi Islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan
keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. 4
Ketika berusia 5 tahun, Al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Di
Malaysia, Al-Attas dimasukkan dalam pendidikan dasar Ngee Heng Primary School
sampai usia 10 tahun (1936-1941). Melihat perkembangan yang menguntungkan
yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, maka Al-Attas dan keluarga pindah lagi ke
Indonesia. Di sini, ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah „Urwah al-Wusqa,
Sukabumi selama lima tahun. Di tempat lain, Al-Attas mulai mendalami dan
mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa
difahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat
Naqsabandiyyah.5
Ia kembali ke Indonesia ketika Jepang menduduki Malaya untuk belajar ilmu-
ilmu keislaman di madrasah al-Urwatul Wutsqa‟, Sukabumi, Jawa Barat (1941-1945).
Setelah menyelesaikan sekolah lanjutan atas, ia memasuki ketentaraan Malaysia dan
sempat dikirim untuk belajar di beberapa sekolah militer di Inggris, termasuk Royal
Military Academy, Sandhurst (1952-1955). Pada tahun 1957, ia keluar dari duni
militer dan belajar di Universiti Malaya, Malaysia, selama dua tahun. Kemudian ia
melanjutkan pendidikannya di Institute of Islamic Studies, Mc.Gill University,
Canada (1959-1962), hingga meraih gelar Master dengan tesis yang berjudul Raniri
and The Wujudiyyah of 17th Century Acheh (diterbitkan 1966).6
Belum puas dengan pengembaraan intelektualnya, Al-Attas kemudian
melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies di Universitas London.
Di sinilah ia bertemu dengan Lings, seorang profesor asal Inggris yang mempunyai
pengaruh besar dalam diri Al-Attas, walaupun itu hanya terbatas pada dataran
4 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis: Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta: PT Ciputat Press, 2005), h. 117
5 Ramayulis dan Samsul Nizar, op.cit., h. 118
6 Hasan Muarif Hambaly. et.al., op.cit., h. 78
48
metodologis. Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan Martin
Lings, Al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan mempertahankan disertasinya yang
berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri (diterbitkan 1970).7
Dalam perjalanan karir akademiknya, Al-Attas mengawali karirnya dengan
menjadi seorang dosen. Dia banyak membina perguruan tinggi dan ikut berpartisipasi
dalam pendirian universitas di Malaysia, baik sebagai ketua jurusan, dekan, direktur
dan rektor. Pada tahun 1968-1970 Al-Attas menjabat sebagai ketua Departemen
Kesusastraan dalam Pengkajian Melayu. Al-Attas merancang dasar bahasa Malaysia
pada tahun 1970. Dan pada tahun 1970-1973 Al-Attas menjabat Dekan pada Fakultas
Sastra di universitas tersebut. Akhirnya pada tanggal 24 Januari 1972 dia diangkat
menjadi Profesor Bahasa dan Kesusastraan Melayu, dalam pengukuhannya dia
membacakan pidato ilmiah yang berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan
Melayu.8
Mulai awal 1980-an, Al-Attas berusaha mempraktekkan gagasannya
mengenai konsep pendidikan Islam dalam bentuk universitas. Hal ini antara lain
dikemukakan dalam Konferensi Dunia Pendidikan Islam pertama di Mekah pada
tahun 1977. Sebgai tindak lanjut konferensi tersebut, Organisasi Konferensi Islam
(OKI) bersedia membantu pemerintah Malaysia mendirikan suatu universitas Islam
internasional di Malaysia, yang kemudian diberi nama International Islamic
University (Universitas Islam Internasional), pada tahun 1984. Konsep universitas ini
adalah universitas biasa, namun dengan tambahan pengajaran dan dasar-dasar Islam
dan bahasa Arab. Pengetahuan dasar tentang Islam diberi cukup mendalam agar
mahasiswa dapat menyaring konsep-konsep tak islami dari ilmu-ilmu yang
dipelajarinya. Artinya, islamisasi terjadi dalam diri mahasiswa yang mempelajari
ilmu-ilmu modern itu, dan bukan sesuatu yang dilakukan terhadap disiplin itu sendiri.
7 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, op.cit., h. 118
8 Inpas Online, Islamisasi Ilmu Pengetahuan Tinjauan Atas Pemikiran Syed M. Naquib Al-Attas
dan Ismail Raji‟ Al-Faruqi, dalam http://www.Inpasonline.com, diakses pada tanggal 16 Oktober 2013
49
Belakangan arah konsep universitas ini berubah menjadi lebih dekat dengan
konsep universitas Islam versi International Institute of Islamic Thought (IIIT) –
sebuah lembaga penelitian yang berpusat di Washington D.C., Amerika Serikat, serta
diilhami oleh pemikiran almarhum Ismail Raji‟ Al-Faruqi – yaitu islamisasi disiplin
ilmu itu sendiri. Merasa tidak sejalan dengan arah baru universitas ini, Al-Attas
berusaha mendirikan sebuah lembaga pengajaran dan penelitian yang mengkhususkan
diri pada pemikiran Islam – khususnya filsafat – sebagai jantung dari proses
islamisasi yang dibayangkannya itu. Gagasannya tersebut terwujud dengan berdirinya
ISTAC di Kuala Lumpur pada tanggal 27 Februari 1987. Pada bulan Desember 1987,
Al-Attas diangkat menjadi profesor bidang pemikiran dan peradaban Islam pada
lembaga tersebut. Ia juga merancang gedung ISTAC yang diresmikan tahun 1991.
Selain itu, ia juga memperoleh penghargaan Al-Ghazali Chair of Islamic Thought
pada bulan Desember 1993 dari lembaga ini atas sumbangannya dalam pemikiran
Islam kontemporer.9
3. Karya-karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Al-Attas di samping mengajar dan memberikan seminar di berbagai tempat, ia
juga sangat produktif dalam menulis, berbagai karya, baik dalam bahasa Inggris
maupun Melayu telah ia hasilkan. Hasil karyanya telah banyak diterjemahkan dalam
berbagai bahasa, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Malaya, Indonesia,
Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea, dan Al-Bania.10
Di antara karya-karya Al-Attas dalam buku dan monograph:
a. Al-Raniry and the Wujudiyah of 17th Century Acheh (Monograph of the
Royal Asiatic Society, Cabang Malaysia, No. 111, Singapura, 1996)
adalah judul tesis yang ditulis ketika menempuh dan menyelesaikan studi
S2 di Mc. Gill, Canada. Dalam tesis ini Al-Attas berpendapat bahwa
9 Hasan Muarif Hambaly. et.al., op.cit., h. 78
10
A. Khudhori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, ) cet. ke-1, h.
251
50
Nuruddin al-Raniry telah mampu mendefinisikan dan menjelaskan medan
semantik dari kata kunci Melayu yang berhubungan dengan Islam.
Dengan kata lain tesis ini menjelaskan tentang hubungan yang sangat erat
antara proses islamisasi dengan sejarah Melayu itu sendiri. Hal ini
dibuktikan dengan istilah yang yang berkembang dalam sejarah Melayu.
Tesis ini diperkuat dengan hasil riset al-Attas sendiri yang berjudul Some
Aspects of Sufism as Understood and Practiced Among the Malays yang
diterbitkan oleh Malaysian Sociological Research di Singapura.
b. The Origin of The Malay Sha‟ir (DPB, Kuala Lumpur, 1968), Islam in the
History and Cultures of Malays (Universiti Malaysia, Kuala Lumpur,
1972) dan Comments on the Re examination of alRaniry‟s Hujjat al-
Shiddiq: Refutation (Museums Department, Kuala Lumpur, 1975), The
Mysticism of Hamzah Fansuri (University of Malaya Press, Kuala
Lumpur, 1970) merupakan disertasi yang berhasil dipertahankan ketika
menempuh studi program doktoral di Universitas London di bawah
bimbingan Martin Lings. Dalam disertasi ini, al-Attas mengemukakan
bahwa terdapat kesatuan gagasan metafisika di dunia Islam dan pandangan
sistemik tentang realitas baik mengenal Tuhan, alam semesta, manusia
maupun ilmu. Semua itu dapat diungkapkan dalam bahasa rasional dan
teoritis, sehingga dapat menjadi dasar dari suatu filsafat sains Islami.
c. Islam dan Sekulerisme merupakan terjemahan Islam and Secularism
(ABIM, Kuala Lumpur, 1978). Buku berisi tentang terjadinya reduksi
terminologi Islam, sehingga perlu dilakukan kajian ulang secara filologis
dan hermeneutis tentang istilah tersebut. Langkahnya adalah dengan de
westernisasi dan islamisasi yang berusaha mengembalikan terminologi
Islam pada posisi yang proporsional.
d. Islam the Concept of Religion and the Foundation of Ethics and Moralty
(Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Kuala Lumpur, 1976), Al-Attas
mencoba menjelaskan tentang arti pentingnya penguasaan ilmu sebagai
51
landasan bagi praktek, etika, dan moralitas keagamaan secara menyeluruh.
Hal ini dapat dilakukan dengan memahami secara mendalam teks Al-
Qur‟an dan segala yang telah diperbuat oleh Nabi Muhammad sebagai
uswatun hasanah, sehingga dalam upaya ini harus didudukkan dulu istilah
din dalam terminologi Islam, agar tidak terjebak dalam distorsi makna.
e. Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and
Aims of Education mengungkap tentang arti pentingnya upaya
merumuskan dan memadukan unsur-unsur Islam yang esensial serta
konsep-konsep kuncinya sehingga menghasilkan suatu komposisi yang
akan merangkum pengetahuan inti, kemudian dikembangkan dalam sistem
pendidikan Islam dari tingkat bawah sampai tingkat tertinggi.
f. The Concept of Education in Islam, A Framework for an Islamic
Philosophy of Education (ABIM, Kuala Lumpur, 1980), Al-Attas
menjelaskan tentang penggunaan istilah tarbiyah, ta‟lim, dan ta‟dib,
sebagai terma yang tepat untuk menterjemahkan pendidikan adalah ta‟dib.
Sebab inti dari pendidikan adalah pembentukan watak dan akhlak yang
mulia. Juga disinggung pembagian ilmu yang terdiri dari dua bagian besar
yaitu pertama, ilmu agama yang meliputi Al-Qur‟an, Al-Sunnah, Al-
Syari‟ah, Al-Tauhid, Al-Tasawuf, dan bahasa. Kedua, ilmu rasional,
intelektual dan filsafat yang meliputi ilmu tentang manusia, alam, terapan
dan teknologi.11
g. Islam and the Philosophy of Science (ISTAC, Kuala Lumpur, 1989). Buku
ini telah diterjemahkan berbagai bahasa, seperti bahasa Indonesia, Bosnia,
Persia, dan Turki. Karya ini memaparkan masalah penting yang dihadapi
umat Islam dewasa ini adalah masalah ilmu yang kemudian menjadi faktor
penyebab dari masalah-masalah lain. Oleh sebab itu, Al-Attas berusaha
mengungkap kembali sistem metafisika yang pernah terbangun dalam
11 Ramayulis dan Samsul Nizar, op.cit., h. 122-125
52
tradisi Islam. Sebagai langkah praktisnya adalah perencanaan sebuah
universitas yang memiliki struktur yang berasas pada pandangan dunia
Islam dan merupakan medium penyampaian hikmah dalam tradisi Islam.
h. The Natural Man and the Psychology of Human Soul (ISTAC, Kuala
Lumpur, 1990). Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia. Isi
buku ini merupakan kelanjutan dari gagasan Al-Attas dalam menjelaskan
kembali tentang metafisika Islam sebagaimana yang dituangkan dalam
bukunya yang pertama seri metafisika Islam, yaitu Islam and the
Philosophy of Science.12
i. The Meaning and Experince of Happines in Islam (ISTAC, Kuala
Lumpur, 1993).
j. On Quiddity and Essence (ISTAC, Kuala Lumpur, 1990).
k. The Intuition of Existence (ISTAC, Kuala Lumpur, 1990).
l. Degrees of Existence (ISTAC, Kuala Lumpur, 1994).13
m. Rangkaian Ruba‟iyat (Dewan Bahasa dan Pustaka (DPB), Kuala Lumpur
1959).
n. Some Aspects of Shufism as Understood and Practised Among the Malays
(Malaysian Sociological Research Institue, Singapura, 1963).
o. Concluding Postscript to the Origin of The Malays Sya‟ir (DPB, Kuala
Lumpur, 1971).
p. The Correct Date of Terengganu Inscriptio (Museums Department, Kuala
Lumpur, 1972).
q. Risalah untuk Kaum Muslimin (monograf yang belum diterbitkan, 286 h.,
ditulis antara Februari-Maret 1973). Buku ini kemudian diterbitkan di
Kuala Lumpur oleh ISTAC pada 2001 – penerj.
r. Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak (ABIM, Kuala Lumpur, 1997).
12 A. Khudhori Sholeh, op.cit., h. 55
13
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, op.cit., hal. 122-125
53
s. (Ed.) Aims and Objectives of Islamic Education : Islamic Eduv=cation
Series (Hodder and Stiughton dan King Abdul Aziz University, London,
1979).
t. Islam, Secularism, and The Philosophy of The Future (Mansell, London
dan New York, 1985).
u. A Commentary on The Hujjat Al-Shiddiq of nur Al-Din Al-Raniri
(Kementerian Kebudayaan, Kuala Lumpur, 1986).
v. The Oldest Known Malay Manuscript : A 16th Century Malay Translation
of the Aqa‟id Al-Nasafi (Dept. Penerbitan Universitas Malaya, Kuala
Lumpur, 1988). 14
Sedangkan karya-karya Al-Attas dalam bentuk artikel tidak termasuk
ceramah-ceramah ilmiah yang telah disampaikannya di depan publik. Berjumlah
lebih dari 400 dan disampaikan di Malaysia dan luar negeri antara pertengahan 1960-
1970, aktivitas ceramah ilmiah ini masih berlangsung sampai sekarang.
a. “Note on The Opening of Relations between Malaka and Cina, 1403-5”,
Journal of The Malayan Branch of The Royal Asiatic Society (JMBARS),
vol. 38, pt. 1, Singapura, 1965.
b. “Islamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society od Orientalist, Kuala
Lumpur, 1966.
c. “New Light on The Life of Hamzah Fanshuri”, JMBRAS, vol. 40, pt. 1,
Singapura, 1967.
d. “Rampaian Sajak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu Universiti Malaya
no.9, Kuala Lumpur, 1968.
e. “hamzah Fanshuri”, The Penguin Companion to Literature, Classical and
Byzantine, Oriental, and African, vol. 4, London, 1969.
f. “Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of Islam,
edisi baru, E.J. Brill, Leiden, 1971.
14 Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 55-57
54
g. “Comparative Philosophy: A Southeast Asian Islamic Viewpoint”, Acts of
the V International Congress of Medieval Philosophy, Madrid-Cordova-
Granada, 5-12 September 1971.
h. “Konsep Baru mengenai Rencana serta Cara-gaya Penelitian Ilmiah
Pengkajian Bahasa, Kesusasteraan, dan Kebudayaan Melayu”, Buku
Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusasteraan Melayu, Universiti
Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, t.t.
i. “The Art of Writing, Dept. Museum”, Kuala Lumpur, t.t.
j. “Perkembangan Tulisan Jawi Sepintas Lalu”, Pameran Khat, Kuala
Lumpur, 14-21 Oktober 1973.
k. “Nilai-nilai Kebudayaan, Bahasa, Kesusasteraan Melayu”, Asas
Kebudayaan Kebangsaan, Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan,
Kuala Lumpur, 1973.
l. “Islam in Malaysia” (versi bahasa Jerman), Kleines Lexicon der
Islamischen Welt, ed. K. Kreiser, W. Kohlhammer, Berlin (Barat), Jerman,
1974.
m. “Islam in Malaysia”, Malaysia Panorama, Edisi Spesial, Kementerian
Luar Negeri Malaysia, Kuala Lumpur, 1974. Juga diterbitkan dalam edisi
bahasa Arab dan Prancis,
n. “Islam dan Kebudayaan Malaysia”, Syarahan Tun Sri Lanang, seri kedua,
Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1974.
o. “Pidato Penghargaan terhadap ZAABA”, Zainal Abidin ibn Ahmad,
Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1976.
p. “A General Theory of The Islamization of The Malay Archipelago”,
Profils of Malay Culture, Historiagraphy, Religion, and Politics, editor
Sartono Kartodirdjo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1976.
q. “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition
and Aims of Education”, First World Conference on Muslim Education,
Makkah, 1977. Juga tersedia dalam edisi bahasa Arab dan Urdu.
55
r. “Some Reflections on The Philosopichal Aspects of Iqbal‟s Thought”,
International Congress on the Centenary of Muhammad Iqbal, Lahore,
1977.
s. “The Concept of Education in Islam: Its Form, method, and System of
Implementation”, World Symposium of Al-Isra‟, Amman, 1979. Juga
tersedia dalam edisi bahasa Arab.
t. “ASEAN – Ke mana Haluan Gagasan Kebudayaan Mau Diarahkan?”
Diskusi, jil.4, no. 11-12, November-Desember, 1979.
u. “Hijrah: Apa Artinya?” Panji Masyarakat, Desember, 1979.
v. “Knowledge and Non-Knowledge”, Reading in Islam, no.8, first quarter,
Kuala Lumpur, 1980.
w. “Islam dan Alam Melayu”, Budiman, Edisi Spesial Memperingati Abad
Ke-15 Hijriah, Universiti Malaya, Desember 1979.
x. “The Concept of Education in Islam”, Second World Conference on
Muslim Education, Islamabad, 1980.
y. “Preliminary Thoughts on an Islamic Philosophy of Science”, Zarrouq
Festival, Misrata, Libia: 1980. Juga diterbitkan dalam edisi bahasa Arab.
z. “Religion and Secularity”, Congress of the World‟s Religions, New York,
1985.
aa. “The Corruption of Knowledge”, Congress of the World‟s Religions,
Istanbul, 1985.15
B. Pembahasan
1. Pengertian Pendidikan Islam
Makna pendidikan dan segala yang terlibat di dalamnya merupakan hal yang
sangat penting dalam perumusana sistem pendidikan dan implementasinya. Sekiranya
15 Ibid., h. 57-59
56
saya ditanya : “Apakah pendidikan itu?”, saya menjawab : “Pendidikan adalah suatu
proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia”. Dalam jawaban ini, “ suatu
proses penanaman” mengacu pada metode dan sistem untuk menanamkan apa yang
disebut sebagai “pendidikan” secara bertahap. “Sesuatu” mengacu pada kandungan
yang ditanamkan; dan “diri manusia” mengacu pada penerima proses dan kandungan
itu. 16
Jawaban yang diberikan diatas telah meliputi tiga unsur dasar yang
membentuk pendidikan : proses, kandungan dan penerima. Tetapi semuanya itu
belum lagi suatu definisi, karena unsur-unsur tersebut masih begitu saja dibiarkan
tidak jelas. Lagipula cara merumuskan kalimat yang dimaksudkan untuk
dikembangkan menjadi suatu definisi sebagaimana di atas, memberikan kesan bahwa
yang ditonjolkan adalah prosesnya. Misalnya saya rumuskan kembali jawaban
terhadap pertanyaan di atas seperti ini : “Pendidikan adalah sesuatu yang secara
bertahap ditanamkan ke dalam manusia”.
Di dalam konteks tersebut masih meliputi tiga unsur dasar yang melekat
dalam pendidikan, tetapi urutan keterdahuluan unsur penting yang membentuk
pendidikan kali ini adalah kandungan dan bukan proses.
Unsur pertama dalam pendidikan adalah manusia. Definisi manusia telah
secara umum diketahui, yakni bahwa ia adalah “binatang rasional”. Karena
rasionalitas adalah penentu manusia, maka sekurang-kurangnya kita harus memiliki
beberapa gagasan tentang apa arti “rasional” dan semua sepakat bahwa hal itu
mengacu pada “nalar”.
Pemikir-pemikir muslim tidak menganggap apa yang dipahami sebagai rasio
sebagai sesuatu yang terpisah dari apa yang dipahamkan sebagai intellectus. Mereka
menganggap „aql (عقل) sebagai suatu kesatuan organik dari rasio maupun intellectus.
16 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Terj. dari The Concept of
Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education oleh Haidar Bagir,
(Bandung: Mizan, 1996), cet.ke-7, h. 35
57
Dengan pemikiran seperti ini, seorang muslim mendefinisikan manusia sebagai al-
Hayawanu Nathiq (احليوان الناطق) yang dalam hal ini istilah nathiq berarti “rasional”.17
Unsur penting kedua yang melekat di dalam pendidikan adalah
kandungannya, yang di sini disebut sebagai “sesuatu”. Hal ini dilakukan secara
sengaja, karena meskipun kita telah tahu bahwa hal itu harus mengacu kepada ilmu,
kita masih harus menetapkan apa yang kita maksud dengannya. Pengajaran dan
proses mempelajari keterampilan saja – betapapun ilmiahnya dan bagaimanapun yang
diajarkan dan dipelajari tercakupkan dalam konsep umum tentang “ilmu” – tidak
harus berarti pendidikan. Pengajaran dan proses belajar sains-sains kemanusiaan,
alam, dan terapan saja tidak merupakan bagian dari pendidikan dalam arti yang
sedang dijelaskan sekarang ini. Harus ada “sesuatu” di dalam pendidikan yang jika
tidak ditanamkan, tidak akan membuat pengajaran serta proses belajar dan
asimilasinya sebagai suatu pendidikan. Kenyataannya, “sesuatu” yang disinggung di
sini itu sendiri adalah ilmu. 18
Ada banyak definisi yang menguraikan sifat ilmu, tetapi yang relevan di sisni
adalah definisi epitemologis, mengingat pentingnya memahami segala sesuatu yang
dilibatkan dan disiratkan dalam konteks epistemologi Islam. Barangkali implikasinya
yang paling besar terletak pada pengaruhnya atas cara pandang kita terhadap hakikat,
kebenaran dan metodologi penelitian; cakupan intelektual dan penerapan praktikal
dalam perencanaan apa yang disebut sebagai “perkembangan”, yang semuanya
didasarkan pada pemahaman tentang pendidikan.
Orang-orang muslim sepakat bahwa semua ilmu datang dari Allah. Dan
manusia pun tahu cara kedatangannya, tempat dan indera yang menerima dan
menafsirkannya tidaklah sama. Oleh karena semua pengetahuan datang dari Allah
dan ditafsirkan oleh jiwa lewat tempat-tempat spiritualnya dan fisikalnya, maka
definisi yang paling cocok – dengan mengacu kepada Allah sebagai asalnya – adalah
17 Ibid., h. 36-37
18
Ibid., h. 41
58
bahwa ilmu pengetahuan ialah kedatangan (hushul : حصول) makna sesuatu atau
suatu obyek pengetahuan dalam jiwa. Sedangkan dengan mengacu kepada jiwa
sebagai penafsirnya, pengetahuan adalah sampainya (wushul : jiwa pada ( وصول
makna sesuatu atau obyek pengetahuan. 19
Format pemikiran pendidikan yang ditawarkan Al-Attas berusaha
menampilkan wajah pendidikan menurutnya adalah mewujudkan manusia yang baik
yaitu manusia universal (Al-Insan Kamil). Al-Insan Kamil yang dimaksud adalah
manusia yang bercirikan pertama manusia yang seimbang memiliki keterpaduan dua
dimensi kepribadiannya. Kedua manusia seimbang dalam kualitas fikir, zikir, dan
amalnya. Sistem pendidikan terpadu menurut Al-Attas adalah yang tertuang dalam
rumusan sistem pendidikan yang diformulasikannya, dimana tampak sangat jelas
upaya Al-Attas untuk mengislamisasi ilmu pengetahuan dimana pendidikan Islam
harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-
ilmu agama tetapi ilmu-ilmu rasional intelek dan filosofis.20
2. Pengertian Pendidikan Islam “Ta’dib”
Dalam dunia pendidikan dikenal adanya tiga rangkaian istilah yang disering
digunakan untuk menunjukkan pendidikan Islam, secara keseluruhan yang terdapat
dalam konotasi istilah tarbiyah, ta‟lim, dan ta‟dib, yang dipakai secara bersamaan.
Ketika tampil sebagai pembicara utama dalam Konferensi Dunia pertama tentang
pendidikan Islam tahun 1977 di Makkah, Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebagai
ketua komite yang membahas tentang cita-cita dan tujuan pendidikan dalam
konferensi tersebut, secara sistematis mengajukan agar definisi pendidikan Islam
diganti menjadi “Penanaman adab” dan istilah pendidikan dalam Islam, menjadi
19 Ibid., h. 42-43
20
Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), cet. ke-1, h.
155
59
ta‟dib. Setelah melalui perdebatan yang sengit, akhirnya usul tersebut di atas untuk
merujuk kepada istilah pendidikan Islam.21
Lebih jelasnya Al-Attas menegaskan
bahwa:
Bagi saya, istilah tarbiyah bukanlah istilah yang tepat dan bukan pula istilah
yang benar untuk memaksudkan pendidikan dalam pengertian Islam. Karena
istilah yang dipergunakan mesti membawa gagasan yang benar tentang
pendidikan dan segala yang terlibat dalam proses pendidikan, maka wajib bagi
kita sekarang untuk menguji istilah tarbiyah secara kritis dan jika perlu
menggantikannya dengan pilihan yang lebih tepat dan benar.
Menurut Al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan
Islam adalah al-ta‟dib. Konsep ini didasarkan pada hadis Nabi :
)رواه العسكرى عن علي( ربي فاحسن تأ دييبي ادبني
Artinya :
“Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (HR. Al-
„Askary dari „Ali ra)
Kata addaba dalam hadis di atas dimaknai Al-Attas sebagai “mendidik”.
Selanjutnya ia mengemukakan, bahwa hadis tersebut bisa dimaknai kepada “Tuhanku
telah membuatku mengenali dan mengakui dengan adab yang dilakukan secara
berangsur-angsur ditanamkan-Nya ke dalam diriku, tempat-tempat yang tepat bagi
segala sesuatu di dalam penciptaan, sehingga hal itu membimbingku ke arah
pengenalan dan pengakuan tempat-Nya yang tepat di dalam tatanan wujud dan
kepribadian, serta – sebagai akibatnya – Ia telah membuat pendidikanku yang paling
baik”.
Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, Al-Attas adalah orang pertama yang
memahami dan menerjemahkan perkataan “addabani” dengan “mendidikku”.
Menurut sarjana-sarjana terdahulu, kandungan ta‟dib adalah akhlak. Fakta
21 Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA, 2009), h.
101-102
60
bahwasannya pendidikan Nabi Muhammad SAW. dijadikan Allah sebagai
pendidikan yang terbaik didukung oleh Al-Qur‟an yang mengafirmasikan kedudukan
Rasulullah yang mulia (akram), teladan yang paling baik.22
Berdasarkan batasan tersebut, maka al-ta‟dib berarti pengenalan dan
pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta
didik) tentang tempat–tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing
ke arah pengenalan dan pengakuan Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan
kepribadiannya.23
Al-Attas yang tidak setuju dengan penerimaan yang kompromis ini kemudia
menyatakan kembali argumentasinya dalam The Concept of Education in Islam yang
disampaikannya pada Konferensi Dunia Kedua mengenai Pendidikan Islam yang
diselenggarakan di Islamabad, pada 1980. Menurut Al-Attas, jika benar-benar
dipahami dan dijelaskan dengan baik, konsep ta‟dib adalah konsep yang paling tepat
untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta‟lim sebagaimana yang dipakai
pada masa itu. Al-Attas dalam Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan, “struktur
konsep ta‟dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu („ilm), instruksi (ta‟lim), dan
pembinaan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep
pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyah-
ta‟lim-ta‟dib.” Walaupun Al-Qur‟an tidak memakai istilah adab ataupun istilah lain
yang memiliki akar kata yang sama dengannya, perkataan adab itu sendiri dan
cabang-cabangnya disebutkan dalam ucapan-ucapan Nabi SAW., para sahabat r.a.,
dalam puisi ataupun karya sarjana-sarjana Muslim yang datang setelah mereka.24
Salah satu bidang spesialisasi Al-Attas adalah bahasa dan sastra, oleh karena
itu ia sangat menekankan penggunaan sebuah istilah yang benar. Karena menurutnya,
penggunaan sebuah istilah yang keliru bukan hanya merusak eksistensi bahasa itu
22 Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 176
23
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), cet. ke-1, h. 30
24
Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 175
61
snediri, akan tetapi juga dapat merusak persepsi kita tentang suatu kebenaran.
Penekanan terhadap istilah ta‟dib bagi pendidikan Islam tersebut, nampaknya
merupakan salah satu upaya merekonstruksi kembali arah dan tujuan pendidikan yang
dikehendaki oleh Al-Attas.
Senada dengan ini, cendekiawan Muslim Indonesia Prof. Dr. H. Azyumardi
Azra dalam Ridjaluddin menyatakan:
Proses pengajaran dalam pendidikan dewasa ini, hanya mengisi aspek
kognitif intelektual saja, tapi tidak mengisi aspek pembentukan kepribadian
dan watak. Oleh karena itu, ia menawarkan beberapa arah rekonstruksi
pendidikan Islam, salah satunya adalah perumusan kembali makna
pendidikan dan menyatakan kesetujuannya dengan konsep ta‟dib yang
diajukan Al-Attas, lebih lanjut Azyumardi Azra menegaskan:
.....arah rekonstruksi keempat adalah perumusan kembali makna
pendidikan. Dalam hal ini saya setuju dnegan Prof. Naquib Al-Attas:
bahwa proses pendidikan Islam yang kita tempuh lebih baik menggunakan
istilah ta‟dib ketimbang tarbiyah, karena ta‟dib mengandung proses
inkulturasi, proses pembudayaan. Tidak hanya proses intelektualisasi,
tapi karena ta‟dib berkaitan dengan kata adab, akhlak dan sebagainya,
maka kemudian yang akan muncul dari sistem pendidikan di dalam
paradigma ta‟dib ini adalah manusia yang betul-betul berbudaya,
berkarakter, dan berakhlak.25
3. Pengertian Pendidikan Islam “Tarbiyah”
Menurut Al-Attas, tarbiyah merupakan istilah yang relatif baru, yang bisa
dikatakan telah dibuat–buat oleh orang–orang yang mengaitkan dirinya dengan
pemikiran modernis. Istilah tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan makna
pendidikan tanpa memperhatikan sifat yang sebenarnya. Adapun kata – kata Latin
educare dan educatio, yang dalam bahasa Inggris berarti “educate” dan “education”,
secara konseptual dikaitkan dengan bahasa Latin educare atau dalam bahasa Inggris
“educe” – menghasilkan, mengembangkan dari kepribadian yang tersembunyi atau
potensial, yang di dalamnya “proses menghasilkan dan mengembangkan” mengacu
kepada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material. Yang dituju dalam konsepsi
25 Ridjaluddin, op.cit., h. 103-105
62
pendidikan yang diturunkan dari konsep–konsep Latin yang dikembangkan dari
istilah–istilah tersebut di atas meliputi spesies hewan dan tidak dibatasi pada “hewan
berakal”.26
Mereka yang membuat–buat istilah tarbiyah untuk maksud pendidikan pada
hakikatnya mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan. Mengingat istilah
tarbiyah, tidak sebagaimana mereka masih nyatakan, adalah suatu terjemahan yang
jelas dari istilah education menurut artian Barat, karena makna–makna dasar yang
dikandung olehnya mirip dengan yang bisa ditemui di dalam rekanan Latinnya.
Meskipun para penganjur penggunaan istilah tarbiyah terus membela istilah itu –
yang mereka katakan sebagai dikembangkan dari Al-Qur‟an – pengembangannya
didasarkan atas dugaan belaka. Hal ini mengungkapkan ketidaksadaran mereka akan
struktur semantik sistem konseptual al-Qur‟an, mengingat secara semantik istilah
tarbiyah tidak tepat dan tidak memadai untuk membawakan konsep pendidikan
dalam pengertian Islam sebagaimana dipaparkan berikut ini.
Pertama, istilah tarbiyah yang dipahami dalam pengertian pendidikan,
sebagaimana dipergunakan di masa kini. Ibnu Manzhur memang merekam bentuk
tarbiyah bersama dengan beberapa bentuk–bentuk lain dari akar raba (رب) dan
rabba (ربا) sebagaimana diriwayatkan oleh al-Asma‟i yang mengatakan bahwa
istilah–istilah tersebut memuat makna yang sama. Mengenai maknanya, al-Jauhari
mengatakan bahwa tarbiyah dan beberapa bentuk lain yang disebutkan oleh al-
Asma‟i berarti : memberi makan, memelihara, mengasuh; yakni dari kata ghadza atau
ghadzau (غذو dan غذا). Makna ini mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh,
seperti anak-anak, tanaman, dan sebagainya. Pada dasarnya tarbiyah berarti
mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat,
menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil–hasil
26 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit., h. 64
63
yang sudah matang dan menjinakkan. Penerapannya dalam bahasa Arab tidak hanya
terbatas pada manusia saja, dan medan–medan semantiknya meluas kepada spesies–
spesies lain – untuk mineral, tanaman, dan hewan. Orang bisa mengacu pada
peternakan sapi, peternakan hewan, peternakan ayam dan unggas; peternakan ikan
serta perkebunan; masing–masing sebagai suatu bentuk tarbiyah. Meskipun
demikian, sebagaimana telah terlebih dulu kita tunjukkan, pendidikan dalam arti
Islam adalah sesuatu yang khusus hanya untuk manusia. Dengan mengacu pada
kaidah penerapan secara tepat istilah–istilah dan konsep–konsep sebagaimana
dilukiskan oleh al-Jahiz sehubungan dengan bukhl misalnya; soal di atas itu saja
sudah cukup menunjukkan bahwa tarbiyah sebagai sebuah istilah dan konsep yang
bisa diterapkan untuk berbagai spesies dan tidak terbatas hanya untuk manusia, tidak
cukup cocok untuk menunjukkan pendidikan dalam arti Islam yang dimaksudkan
hanya untuk manusia saja. 27
Sudah jelas bahwa unsur–unsur kualitatif bawaan dalam konsep Islam
tentang pendidikan dan kegiatan atau proses yang dicakupnya tidak sama dengan
yang tercakup di dalam tarbiyah. Lagipula, tarbiyah pada dasarnya juga mengacu
pada gagasan “pemilikan”, seperti pemilikan keturunan oleh orang–orang tuanya dan
biasanya para orang tua – pemilik inilah yang melaksanakan tarbiyah atas obyek–
obyek pemilikan yang relevan seperti keturunannya atau yang lain–lain. Pemilikan–
pemilikan yang dimaksudkan di sini hanyalah jenis relasional, mengingat pemilikan
yang sebenarnya ada pada Tuhan saja, Sang Pencipta, Pemelihara, Penjaga, Pemberi,
Pengurus, dan Pemilik segala sesuatu, yang ke semuanya itu tercakup dan
ditunjukkan oleh sebuah istilah tunggal ar-Rabb. Jadi, kata rabba dan yang
diturunkan daripadanya, jika diterapkan pada manusia dan hewan–hewan,
menunjukkan suatu “milik yang dipinjam”. Yang mereka kerjakan dengan milik yang
dipinjam ini adalah tarbiyah jika yang mereka kerjakan adalah mengasuh,
menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan,
27 Ibid., h. 65-67
64
menjadikan bertambah di dalam pertumbuhan, menghasilkan produk matang,
menjinakkan dan sebagainya. Kesemuanya itu tentu bukan pekerjaan mendidik jika
pendidikan kita maksudkan terutama sebagai penanaman pengetahuanyang berkenaan
dengan manusia saja, dan dengan intelek manusia pada khususnya. Jadi, jika dalam
menggambarkan tarbiyah, sebagai pendidikan, kita susupkan ke dalam istilah itu
makna esensial yang membawa unsur fundamental pengetahuan, maka penyusupan
seperti itu hanyalah dibuat-buat, karena makna bawaan struktur konseptual tarbiyah
tidak secara alami mencakup pengetahuan sebagai salah satu di antaranya. Sekarang,
dalam kasus manusia, biasanya orangtualah yang melakukan tarbiyah atas
keturunannya sehubungan dengan hak milik pinjaman dari orang tua terhadap
anaknya.
Jika penyelenggaraan tarbiyah dipandang sebagai pendidikan dialihkan
kepada keadaan seperti itu terdapat bahaya bahwa pendidikan akan menjadi suatu
pekerjaan sekuler, dan itulah kenyataan yang terjadi. Hal itu terjadi karena tujuan
tarbiyah, secara normal, bersifat fisik dan material serta berwatak kuantitatif,
mengingat konsep bawaan yang termuat dalam istilah tersebut berhubungan dengan
pertumbuhan dan kematangan material dan fisik saja; dan karena nilai – nilai yang
ditetapkan oleh keadaan itu disesuaikan dengan tujuan menghasilkan penduduk-
penduduk – nilai-nilai yang secara alami diatur oleh prinsip-prinsip utilitarian yang
cenderung pada aspek–aspek fisik dan material kehidupan sosial dan politis manusia.
28
Kedua, dengan mengacu pada alasan bahwa tarbiyah, dipandang sebagai
pendidikan, dikembangkan dari penggunaan Al-Qur‟an berkenaan dengan istilah raba
dan rabba yang berarti sama, apa yang dikatakan pada sebelumnya sudah dijelaskan
titik poros masalah, yaitu bahwa makna dasar istilah–istilah ini – tentunya berpuncak
pada otoritas Al-Qur‟an sendiri – tidak secara alami mengandung unsur-unsur
28 Ibid., h. 67-69
65
esensial pengetahuan, intelegensi dan kebajikan yang pada hakikatnya, merupakan
unsur-unsur pendidikan yang sebenarnya.29
Ketiga, jika sekiranya dikatakan bahwa suatu makna yang berhubungan
dengan pengetahuan bisa disusupkan ke dalam konsep rabba, makna tersebut
mengacu pada pemilikan pengetahuan dan bukan penanamannya. Oleh karenanya,
hal itu tidak mengacu pada pendidikan dalam artian yang dimaksudkan. Yang Al-
Attas maksudkan adalah istilah rabbani ( رباني) yaitu nama yang diberikan bagi orang-
orang bijaksana yang terpelajar dalam bidang pengetahuan tentang ar-Rabb.
Al-Attas menolak peristilahan tarbiyah dan ta‟lim yang selama ini dianggap
sebagai pengertian yang lengkap mengenai pendidikan dalam Islam, baik salah satu
(tarbiyah atau ta‟lim) maupun keduanya (tarbiyah wa ta‟lim), sebab istilah tersebut
menunjukkan ketidaksesuaian makna. Beliau menolak istilah tarbiyah sebab istilah
ini hanya menyinggung aspek fisikal dalam mengembangkan tanam-tanaman dan
terbatas pada aspek fisikal dan emosional dalam pertumbuhan dan perkembangan
binatang dan manusia.30
4. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam
diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir pendidikan
Islam ialah menghasilkan manusia yang baik dan bukan, seperti dalam peradaban
Barat, warganegara yang baik. “Baik” dalam konsep manusia yang baik berarti tepat
sebagai manusia adab dalam pengertian yang dijelaskan di sini, yakni meliputi
kehidupan material dan spiritual manusia. Karena manusia, sebelum menjadi manusia
telah mengikat perjanjian (mitsaq : اقميث ) individual secara kolektif dengan Tuhan,
29 Ibid., h. 69-70
30
Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 180
66
serta telah mengenal dan mengakui Allah sebagai Tuhan (ar-Rabb : الرب) ketika ia
mempersaksikan untuk dirinya dan menegaskan “benar!” (bala : بلى) pada pertanyaan
Allah “Bukankah Aku Tuhanmu?” ( .( ك م بيربي الست 31
Jika tujuan pengetahuan adalah untuk menghasilkan seorang manusia yang
baik, maka kita tidak bermaksud mengatakan bahwa menghasilkan sebuah
masyarakat yang baik bukanlah merupakan tujuan, karena masyarakat terdiri dari
perseorangan–perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar di
antaranya menjadi orang–orang baik berarti pula menghasilkan masyarakat yang
baik. Pendidikan adalah bahan masyarakat. Penekanan pada adab yang mencakup
„amal dalam pendidikan dan proses pendidikan adalah untuk menjamin bahwasannya
ilmu („ilm) dipergunakan secara baik di dalam masyarakat. Karena alasan inilah maka
orang-orang bijak, para cerdik cendekia dan para sarjana di antara orang–orang Islam
terdahulu mengombinasikan „ilm dengan „amal dan adab, dan menganggap
kombinasi harmonis ketiganya sebagai pendidikan. Pendidikan dalam kenyataannya
adalah ta‟dib (تأديب) karena adab, sebagaimana didefinisikan di sini, sudah mencakup
„ilmu dan „amal sekaligus.32
Al-Attas, pemikir kontemporer Muslim pertama yang mendefinisikan arti
pendidikan secara sistematis, menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan pendidikan
menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik.
Sebaliknya, tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Pada
September 1970, Al-Attas mengajukan kepada Ghazali Syafie, yang kemudian
menjadi Menteri Dalam Negeri Malaysia, bahwa “tujuan pendidikan dari tingkat yang
paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk
menghasilkan warga negara yang sempurna (complete citizen), tetapi untuk
31 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit., h. 54-55
32
Ibid., h. 59-60
67
memunculkan manusia paripurna”. Hal ini disebutkannya lagi secara lebih detail
dalam bukunya Islam and Secularism dalam Wan Mohd Nor Wan Daud :
Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan
dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya
sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu
ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati,
sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro,
sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu)
bukanlah nilai manusia sebagai identitas fisik yang diukur dalam konteks
pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat,
dan dunia.33
5. Sistem Pendidikan dalam Islam
Setiap manusia tak ubahnya sebuah miniatur kerajaan, representasi
mikrokosmos (alam shaghir : صغري عامل ) dari makrokosmos (alam kabir : كبري عامل ). Ia
adalah seorang penghuni di dalam kota (madinah : مدينة) dirinya sendiri, tempat ia
menyelenggarakan dinnya. Karena dalam Islam, tujuan mencari pengetahuan pada
puncaknya adalah untuk menjadi seorang manusia yang baik – sebagaimana telah
diuraikan – dan bukannya seorang penduduk yang baik dari sebuah negara sekuler,
maka sistem pendidikan dalam Islam mestilah mencerminkan manusia, bukan negara.
Perwujudan paling tinggi dan paling sempurna dari sistem pendidikan adalah
universitas. Dan mengingat bahwa universitas merupakan sistematisasi pengetahuan
yang paling tinggi dan yang sempurna – yang dirancang untuk mencerminkan yang
universal – maka ia mestilah juga merupakan pencerminan dari bukan sekedar
manusia apa saja, melainkan Manusia Universal atau Sempurna (al-insanul kamil :
33 Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 172
68
Universitas modern yang berdasarkan model-model Barat tidak .(االنسان الكامل
mencerminkan manusia, melainkan lebih mencerminkan negara sekuler. Hal ini
terjadi karena dalam peradaban Barat, atau peradaban–peradaban lain selain Islam,
tidak pernah ada seorang Manusia Sempurna pun yang bisa menjadi model untuk
ditiru dalam hidup dan yang bisa dipakai untuk memproyeksikan pengetahuan dan
tindakan yang benar dalam bentuk universal sebagai universitas. Hanya dalam Islam,
dalam pribadi suci Nabi SAW. sajalah Manusia Universal atau Sempurna
ternyatakan. Karena konsep pendidikan dalam Islam hanya berkenaan dengan
manusia saja, maka perumusannya sebagai suatu sistem harus mengambil model
manusia tersempurnakan di dalam pribadi suci Nabi SAW. Jadi, universitas Islam itu
mesti mencerminkan Nabi dalam hal pengetahuan dan tindakan yang benar; dan
fungsinya adalah untuk menghasilkan manusia, laki–laki dan perempuan, yang
mutunya sedekat mungkin menyerupai beliau – masing-masing sesuai dengan
kapasitas dan potensi bawaannya – untuk menghasilkan laki–laki dan perempuan
yang baik; untuk menghasilkan laki–laki dan perempuan beradab sebagai tiruan dia
yang bersabda: “Tuhanku telah mendidikku, dan dengan demikian menjadikan
pendidikanku yang terbaik”.34
Dengan adanya tujuan pendidikan Islam yang menjadikan manusia menjadi
manusia sempurna, Al-Attas menganggap ISTAC sebagai nucleus dari universitas
Islam yang sebenarnya. Al-Attas berjuang untuk menjadikan ISTAC sebagai refleksi
dari insan kamil. Ditinjau dari aspek spiritual, Al-Attas telah berusaha dan berhasil
melaksanakan peletakan batu pertama untuk pembangunan ISTAC pada malam ke-
27 bulan Rajab, menurut kalender Muslim, bersamaan peringatan Isra‟ dan Mi‟raj
Nabi Muhammad SAW. Selama acara tersebut, dia berdoa semoga Allah melimpahi
kita dengan hikmah dan sifat-sifat terpuji yang telah dikaruniakan kepada Nabi
tercinta-Nya.35
34 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit., h. 83-85
35
Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 209
69
Konsepsi mengenai universitas yang benar-benar islami sebagai sebuah
refleksi dari insan kamil atau manusia universal tidak saja signifikan, tetapi juga riil.
Alasannya, figur seperti Nabi Muhammad SAW. adalah contoh riil insan kamil dan
universal tersebut. Oleh karena itu, universitas dalam Islam harus merefleksikan figur
Nabi Muhammad dalam hal ilmu pengetahuan dan amal saleh dan fungsinya adalah
membentuk laki-laki dan wanita yang beradab agar memiliki kualitas seperti Nabi
Muhammad SAW. sesuai dengan kemampuan dan potensinya masing-masing.36
6. Kurikulum Pendidikan Islam
Manusia adalah jiwa sekaligus jasad, sekaligus wujud jasmaniah dan
ruhaniah; dan jiwanya mesti mengatur jasadnya sebagaimana Allah mengatur jagad.
Dia terpadukan sebagai satu kesatuan dan dengan adanya saling keterkaitan antara
wujud ruhaniah dengan wujud jasmaniah serta inderanya, ia membimbing dan
memelihara kehidupannya di dalam dunia ini. Sebagaimana manusia memiliki dwi –
sifat, demikian pulalah ilmu terdiri dari dua jenis: yang pertama adalah berian Allah,
dan yang kedua adalah ilmu capaian (yang diperoleh dengan usaha). Pada hakikatnya,
dalam Islam, semua ilmu datang dari Allah, tapi cara kedatangannya – yaitu hushul
dan wushul – serta wujud–wujud dan indera–indera yang menerima dan
menafsirkannya berbeda. Mengingat ilmu jenis pertama adalah mutlak penting bagi
pembimbingan dan penyelamatan manusia, maka ilmu tentangnya – yang tercakup di
dalam ilmu–ilmu agama – bersifat perlu dan wajib atas semua muslim (fardhu „ain :
,Pencapaian ilmu jenis kedua – yang mencakup ilmu–ilmu rasional .(فرض عني
intelektual dan filosofis – wajib bagi sebagian muslim saja (fardhu kifayah :
كفاية فرض ).
36 Ibid., h. 211-213
70
Skema berikut ini tentang manusia, ilmu dan universitas akan menjelaskan
kaitan yang ditemukan di antara kesemuanya itu :
I MANUSIA
a. Jiwa dan wujud batini
yahnya (ruh, nafs, qalb, „aql).
b. Jasad, wujud jasmaniah dan indera – inderanya.
II PENGETAHUAN
a. Ilmu berian Allah.
b. Ilmu capaian.
III UNIVERSITAS
a. Ilmu – ilmu agama (fardhu „ain).
b. Ilmu – ilmu rasional, intelektual, dan filosofis (fardhu kifayah).37
Jika kita tumpangtindihkan skema pengetahuan dengan skema manusia,
tampak jelas bahwa pengetahuan berian Allah mengacu pada wujud dan indera
ruhaniah manusia, sementara ilmu capaian mengacu pada fakultas dan indera
jasmaniahnya. Intelek („aql) adalah mata rantai penghubung antara yang jasmaniah
dan ruhaniah yang menjadikan manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran
ruhaniah. Dan jika kita tumpangtindihkan skema manusia – yang mencerminkan
universitas – dengan skema ilmu dan manusia, tampak jelas bahwa ilmu–ilmu agama
memiliki pengetahuan fardhu „ain pada jantung universitas yang sebagaimana jiwa
manusia, merupakan pusat universitas yang permanen dan abadi, dan mewujudkan
pengungkapan dan sistematisasi tertinggi dari segala yang wajib atas tiap muslim.
Apa yang secara umum di masa kini telah dipahami sebagai konsep fardhu „ain
adalah bentuk terbatas yang tersusun dari sebuah rumus statis yang diajarkan pada
tahap kehidupan anak–anak dan dibatasi hanya pada esensi–esensi pokoknya. Yang
mesti dipahami mengenai konsep itu adalah makna dan maksud aslinya, yaitu bahwa
ilmu seperti itu bebas alirannya, dan tidak tersekat, dan bertambah dalam hal ruang
lingkup dan kandungannya, sebagaimana seseorang bertambah dalam hal kedewasaan
dan tanggung jawab serta sesuai dengan kapasitas dan potensi seseorang. Jadi, dalam
sistem pendidikan tiga tahap (rendah, menengah, tinggi) ilmu fardhu „ain diajarkan
tidak hanya pada tingkat primer (rendah) melainkan juga pada tingkat sekunder
37 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit., h.85-87
71
(menengah) pra-universitas dan juga tingkat universitas. Ruang lingkup dan
kandungan pada tingkat universitas harus lebih dahulu dirumuskan sebelum bisa
diproyeksikan ke dalam tahapan–tahapan yang lebih sedikit secara berurutan ke
tingkat–tingkat yang lebih rendah, mengingat tingkat universitas mencerminkan
perumusan sistematisasi yang paling lengkap dan paling tinggi, dan hanya jika hal itu
bisa dicapai barulah dia akan bisa menjadi model bagi yang berikut di bawahnya. Jika
tidak – yaitu kalau kita mulai dengan usaha perumusan ruang lingkup dan
kandungannya dari tingkat – tingkat yang lebih rendah – kita taka akan pernah
berhasil, mengingat tidak adanya model yang sempurna dan lengkap dari keteraturan
yang lebih tinggi agar bisa bertindak sebagai kriteria bagi perumusan ruang lingkup
dan kandungannya. Pengetahuan inti yang mencerminkan fardhu „ain – yang
terpadukan dan tersusun sebagai suatu kesatuan harmonis pada tingkat universitas
sebagai struktur model bagi tingkat–tingkat yang lebih rendah, dan mesti dicerminkan
dalam bentuk yang lebih mudah secara berurutan pada pra-universitas, tingkat–
tingkat sekunder dan primer dari sistem pendidikan di seluruh dunia muslim – harus
mencerminkan tidak hanya pemahaman Sunni tentangnya, tapi juga mencakup
penafsiran Syi‟i. Pembagian dua jenis ilmu tersebut bisa secara ringkas diikhtisarkan
sebagai berikut :
a. Ilmu–ilmu agama
1) Al-Qur‟an: pembacaan dan penafsirannya (tafsir dan ta‟wil).
2) As-Sunnah: kehidupan Nabi, sejarah dan pesan–pesan para rasul
sebelumnya, hadits, dan riwayat–riwayat otoritatifnya.
3) Asy-Syari‟ah : Undang–undang dan Hukum, prinsip–prinsip dan
praktek–praktek Islam (Islam : اسالم, Iman : اميان, dan Ihsan : احسان)
4) Teologi: Tuhan, Esensi-Nya, Sifat–sifat dan nama–nama–Nya serta
tindakan–tindakan–Nya (at-Tauhid : التوحيد)
72
5) Metafisika Islam (at–Tashawwuf : التصوف) psikologi, kosmologi dan
ontologi: unsur–unsur yang sah dalam filsafat Islam (termasuk
doktrin–doktrin kosmologis yang benar, berkenaan dengan tingkatan–
tingkatan wujud)
6) Ilmu–ilmu Linguistik: bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi, dan
kesusasteraannya.
b. Ilmu–ilmu rasional, intelektual, dan filosofis
1) Ilmu–ilmu kemanusiaan.
2) Ilmu–ilmu alam.
3) Ilmu–ilmu terapan.
4) Ilmu–ilmu teknologi. 38
Menurut Al-Attas, struktur ilmu pengetahuan dan kurikulum pendidikan Islam
seharusnya menggambarkan manusia dan hakikatnya yang harus diimplementasikan
pertama-tama pada tingkat universitas. Struktur dan kurikulum ini secara bertahap
kemudian diaplikasikan pada tingkat rendah. Secara alami, kurikulum tersebut
diambil dari hakikat manusia yang bersifat ganda (dual nature); aspek fisikalnya
lebih berhubungan dengan pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu fisikal dan teknikal,
atau fardhu kifayah; sedangkan keadaan spiritualnya sebagaimana terkandung dalam
istilah-istilah ruh, nafs, qalb, dan „aql lebih tepatnya berhubungan dengan ilmu inti
atau fardhu „ain. Kandungan umum yang terperinci dari dua ketgori tersebut pada
tingkat pendidikan tinggi adalah :
a. Fardhu ‘Ain (ilmu-ilmu agama)
1) Kitab suci Al-Qur‟an: pembacaannya dan interpretasinya (tafsir dan
ta‟wil). Di ISTAC, Al-Attas telah menyetujui mata kuliah sejarah dan
metodologi „Ulum Al-Qur‟an. Ia merupakan studi mengenai Al-
Qur‟an, konsep dan sejarah wahyu, penurunannya, pengumpulan,
penjagaan, dan penyebarannya, ilmu-ilmu untuk memahami Al-Qur‟an
38
Ibid., h. 87-90
73
(seperti nasikh-mansukh, al-khashsh wa al-„am, muhkam-mutasyabih,
dan amr-nahy). Ia juga meliputi studi komparatif mengenai asal-usul,
perkembangan, dan metodologi literatur tafsir, jenis-jenis dan mazhab-
mazhabnya.
2) Sunnah : kehidupan Nabi : sejarah dan risalah nabi-nabi terdahulu,
hadis dan perawiannya. Mata kuliah sejarah dan metodologi hadis
wajib bagi semua mahasiswa ISTAC. Selain itu, mata kuliah ini
merupakan pengkajian yang mendalam mengenai sejarah kritik hadis,
beberapa istilah teknisnya (musthalahat al-hadis), analisis
perbandingan terhadap kitab-kitab kumpulan hadis yang penting dan
pengategoriannya, ilmu biografi, dan kamus utama mengenai
biografi.39
3) Syariat : fiqih dan hukum; prinsip-prinsip dan pengamalan Islam
(Islam, iman, ihsan). Al-Attas menganggap pengetahuan syariat
sebagai aspek terpenting dalam pendidikan Islam. Bagaimanapun,
pelaksanaan syariat dalam kehidupan individu dan masyarakat harus
didasarkan pada ilmu yang tepat, sikap moderat, dan adil. Al-Attas
menilai bahwa pengajaran hukum Islam mendapat perhatian yang
lebih besar daripada yang diperlukan kebanyakan Muslim dalam
bidang pemikiran pendidikan dan administratif, sampai pada tingkat
mengurangi perhatian pada masalah-masalah yang lebih fundamental
lainnya, seperti teologi, metafisika, dan etika.
4) Teologi (Ilmu Kalam): Tuhan, Zat-Nya, Sifat-sifat, Nama-nama, dan
Perbuatan-Nya (al-tauhid). Teologi Islam merupakan subjek yang
sangat penting yang masih belum diberi tempat yang layak dalam
kurikulum pendidikan tinggi Islam sekarang ini. Alasannya,
ketidakmampuan banyak ilmuwan Muslim modern menunjukkan
39 Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h.274-276
74
bahwa permasalahan dan isu yang diangkat dalam subjek ini bukanlah
hal kuno dan ketinggalan zaman, karena itu tidak relevan bagi Muslim
modern. Sebaliknya, Al-Attas secara konsisten berpendapat dan
membuktikan bahwa permasalahan dan isu-isu yang diangkat dalam
teologi itu muncul kembali, terutama dari sumber-sumber kebudayaan.
Memahami dengan baik pendapat yang dikembangkan oleh beberapa
ahli teologi Muslim yang terkenal akan sangat membantu mengurangi
kerancuan (pemahaman) keagamaan yang terjadi di kalangan
pemimpin Muslim hari ini.40
5) Metafisika Islam (al-tashawwuf „irfan): psikologi, kosmologi, dan
ontologi; elemen-eleman filsafat Islam yang cukup dikenal terdiri dari
doktrin-doktrin kosmologi yang berkaitan dengan hierarki wujud.
Mata kuliah ini mungkin merupakan yang paling fundamental dalam
kurikulum pendidikan Al-Attas, bukan saja karena meliputi semua
elemen yang paling penting dalam pandangan Islam mengenai realitas
dan kebenaran sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur‟an dan hadis,
melainkan juga karena mencakup ringkasan semua disiplin intelektual
lain, seperti ilmu Al-Qur‟an, hadis, teologi dan filsafat, serta ilmu
pengetahuan mengenai bahasa Arab klasik.
6) Ilmu bahasa: bahasa Arab, tata bahasanya, leksikografi, dan sastra.
Tujuannya bukan hanya menguasai keterampilan berbicara melainkan
lebih penting lagi untuk menganalisis dan menginterpretasikan
sumber-sumber primer dalam Islam, khazanah intelektual dan spiritual
penting dalam bahasa Arab.41
Harus disebutkan di sini bahwa kategori fardhu „ain merupakan gambaran
dari integrasi pelbagai mazhab yang dianut dalam tradisi pendidikan Muslim. Lebih
jauh lagi, harus digarisbawahi bahwa konsepsi Islam mengenai fardhu „ain,
40 Ibid., 276-277
41
Ibid., h. 277
75
sebagaimana dipahami oleh Al-Attas, pada dasarnya berbeda dari pengategorian
bidang studi pendidikan sekuler liberal modern yang biasanya berupa bidang studi
permanen atau kurikulum inti atau pendidikan umum, dengan alasan berikut.
Pertama, bidang studi permanen pada pendidikan umum tidak pernah diberi
status normatif sebagaimana fardhu „ain.
Kedua, bidang studi permanen dan pendidikan umum secara keseluruhan pada
dasarnya difokuskan untuk program S1 pada pendidikan universitas, sedangkan
pengetahuan fardhu „ain harus dipelajari sejak akil baligh sampai tingkat pendidikan
tertinggi bahkan sampai meninggal dunia.
Ketiga, berbeda dari pengetahuan inti pada pendidikan umum, pengetahuan
fardu „ain diambil dari dan berakar pada Wahyu Ilahi dan hadis Nabi yang tidak
pernah ditentang oleh ilmuwan Muslim siapa pun sepanjang zaman.42
b. Fardhu Kifayah
Pengetahuan mengenai fardhu kifayah tidak diwajibkan kepada setiap Muslim
untuk mempelajarinya, tetapi seluruh masyarakat Mukmin akan bertanggung jawab
jika tidak ada seorangpun dari masyarakat tersebut yang mempelajarinya, karena
memberikan landasan teoretis dan motivasi keagamaan kepada umat Islam untuk
mempelajari dan mengembangkan segala ilmu ataupun teknologi yang diperlukan
untuk kemakmuran masyarakat. Al-Attas membagi pengetahuan fardhu kifayah
menjadi delapan disiplin ilmu :
1) Ilmu Kemanusiaan.
2) Ilmu Alam.
3) Ilmu Terapan.
4) Ilmu Teknologi.
5) Perbandingan Agama.
6) Kebudayaan Barat.
42 Ibid., h. 279-281
76
7) Ilmu Linguistik: Bahasa Islam.
8) Sejarah Islam
Sudah tentu Al-Attas tidak membatasi pengetahuan fardhu kifayah pada
delapan disiplin ilmu di atas. Hal ini bisa dipahami karena pengetahuan („ilm) itu
sendiri, sebagai Sifat Tuhan, tidak terbatas. Selain itu, fardhu „ain itu dinamis dan
berkembang seseuai dengan kemampuan intelektual dan spiritual seseorang serta
keadaan masyarakatnya, pengetahuan fardhu kifayah juga akan berkembang dengan
keperluan dan program masyarakat tertentu.43
7. Metode Pendidikan Islam
Ciri-ciri metode pendidikan Al-Attas yang lain adalah penggunaan metafora
dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan yang juga banyak digunkana dalam Al-
Qur‟an dan hadis. Adalah sesuatu yang wajar bahwa para ulama, khususnya para sufi
(sebagaimana digambarkan oleh Izutsu, yang mengamati kecenderungan serupa pada
kalangan cerdik pandai di Timur) menggunakan cara-cara ini sebagai bagian integral
dari paedagogi mereka. Efektifitas metode ini tidak diragukan lagi, pun di dalam
sejarah pendidikan Barat. Komentar Izutsu dalam Wan Mohd Nor Wan Daud sangat
relevan :
Para filosof Muslim cenderung menggunakan metafora dan perumpamaan
dalam metafisika, khususnya dalam penjelasan mengenai hubungan antara
Kesatuan dan Keragaman atau realitas absolut dan hal-hal fenomenal yang
tampak kontradiktif. Metafora yang sering dipakai dalam metafisika adalah
salah satu ciri khas filsafat Islam, atau boleh juga kita katakan filsafat Timur
umumnya. Ia tidak dapat dianggap sekadar hiasan puitis. Sebenarnya, fungsi
kognitif itu lebih tepat melalui penggunaan metafora.44
43 Ibid., h. 281-282
44
Ibid., h. 310-311
77
8. Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang Pendidikan Islam
dan Relevansinya pada Era Sekarang
Terhadap tantangan-tantangan yang sedang dihadapi dunia pendidikan Islam
dewasa ini, ternyata konsep pendidikan yang digagas Al-Attas adalah berusaha untuk
menjawabnya. Al-Attas muncul pada era yang telah mengalami kemajuan zaman
modern (canggih) yang nota bene seluruh aspek kehidupan telah berhubungan dan
tersentuh oleh teknologi dan sains.
Melalui pandangan filosofisnya, Al-Attas telah berhasil mendiagnosa
penyebab kemunduran umat Islam di zaman ini. Perspektif yang menyatakan bahwa
hancurnya umat Islam bukan disebabkan karena kemunduran dibidang ekonomi,
politik dan sebagainya. Namun persoalan yang lebih fundamental adalah kehancuran
pada tingkatan metafisis, dimana umat Islam telah mengalami yang namanya
corruption of knowledge (korupsi ilmu pengetahuan), keadaan inilah yang
menyebabkan umat Islam kehilangan sebuah pijakan pada tradisi keilmuan yang
gemilang tersimpan. Sehingga nilai adab dalam diri umat Islam dan jatuh pada
kemerosotan yang sangat dalam.
Perlu kembali ditegaskan, bahwa tujuan mencari ilmu pengetahuan pada
puncaknya adalah untuk menjadi manusia-manusia yang baik, dan bukan menjadi
seorang warganegara yang baik, karena itu pendidikan mencerminkan manusia bukan
negara. Menurut Islam, manusia seperti itu (Insan al-Kamil) itu telah ternyatakan
pada diri Nabi Muhammad SAW.
Rumusan tujuan pendidikan Islam dewasa ini yang merupakan hasil tiruan
dari Barat, ternyata tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi
pendidikan Islam. Menurut Al-Attas cara seperti itu tidak akan pernah berhasil
mengingat tidak adanya model yang sempurna dan lengkap dari keteraturan yang
yang lebih tinggi untuk dijadikan kriteria bagi perumusan ruang lingkup dan
kandungannya, dan pada pendidikan sekuler gambaran mengenai manusia yang utuh
memang tidak dimilikinya. Karena tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah
78
pembentukan manusia yang baik (insan kamil), maka puncak perwujudan dan
kesempurnaan dalam pendidikan Islam adalah universitas, maka Al-Attas
merumuskan skema antara manusia, pengetahuan, dan universitas sebagaimana
dibawa ini:
Upaya yang dilakukan Al-Attas ini merupakan kelanjutan dari upaya yang
telah dilakukan Al-Ghazali dalam konsep “Ihya Ulum Ad-Din” yang memulihkan
kembali nilai adab, dan Al-Attas ini mengemukakannya kembali konsep tersebut pada
zaman yang sudah modern ini. Zaman yang telah penuh dengan kontaminasi unsur
sekuler dari Barat, dan upaya yang dilakukan pun tidak lain adalah upaya penanaman
nilai-nilai Islam dengan ta‟dib. Indikasi sederhananya berusaha bertindak dan
bertingkah laku secara Islami. Oleh karena itu, wajar kalau pendidikan juga dapat
diartikan sebagai upaya bimbingan atau tuntutan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian
utama.45
45 Zulkarnain Ar, Pendidikan Islam Menurut Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, dalam
http://andeskopraya.blogspot.com, 13 Februari 2014
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka peneliti dapat menemukan
beberapa kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah. Adapun hasil
kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menurut pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan Islam
adalah proses penanaman ilmu ke dalam diri manusia.
Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam
diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir
pendidikan Islam ialah menghasilkan manusia yang baik dan bukan, seperti
dalam peradaban Barat, warganegara yang baik. “Baik” dalam konsep
manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab dalam pengertian yang
dijelaskan di sini, yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia.
Karena dalam Islam, tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya adalah
untuk menjadi seorang manusia yang baik.
2. Relevansi pendidikan Islam pada era sekarang bagi Syed Muhammad Naquib
Al-Attas adalah perwujudan paling tinggi dan paling sempurna dari sistem
pendidikan adalah universitas. Dan mengingat bahwa universitas merupakan
80
sistematisasi pengetahuan yang paling tinggi dan yang sempurna – yang
dirancang untuk mencerminkan yang universal – maka ia mestilah juga
merupakan pencerminan dari bukan sekedar manusia apa saja, melainkan
Manusia Universal atau Sempurna (al-insanul kamil : االنسان الكامل). Maka
dari itu, pendidikan Islam membutuhkan adanya tempat/lembaga pendidikan
yang mampu membina manusia sempurna.
B. Saran
Dari pembahasan yang telah dikaji, maka peneliti dapat memberikan saran-
saran kepada para pembaca baik sebagai pemimpin pendidikan atau pendidik.
Adapun saran-saran tersebut sebagai berikut :
1. Dalam dunia pendidikan, terdapat banyak tokoh yang menuangkan
pemikirannya tentang pendidikan Islam. Sehingga banyak pandangan yang
didapat, namun sebagai pendidik perlu memilih pendidikan Islam yang pantas
dirumuskan di dalam suatu instansi atau lembaga. Agar pendidikan yang ada
di Indonesia mampu menanamkan adab dan pengajaran yang baik sehingga
mencapai tujuan akhir pendidikan Islam yaitu perwujudan ketundukkan yang
sempurna kepada Allah SWT.
2. Dalam dunia pendidikan, banyak sekali pengaruh dari luar (Barat) yang
bersifat negatif. Sehingga pendidik harus selektif dalam memfilter pengaruh
yang ditimbulkan dari luar (Barat). Karena pendidikan Barat seringkali
membawa dampak negatif dalam pendidikan Islam. Namun, tidak semua
pendidikan Barat memberikan dampak negatif ke dalam pendidikan Islam,
ada dampak positif yang bisa diambil dari pendidikan Barat untuk kemajuan
pendidikan Islam.
81
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam. Terj. dari The
Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of
Education oleh Haidar Bagir. Bandung: Mizan. 1996. Cet.ke-7.
Al-Baghdadi, Abdur Rahman. Sistem Pendidikan Islam di Masa Khilafah Islam.
Surabaya: Al-Izzah. 1996. Cet. ke-1.
Al-Rasyidin., dan Nizar, Samsul. Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis: Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: PT Ciputat Press. 2005.
Arief, Armai. Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press. 2005. Cet ke-1.
-----. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press. 2002.
-----.Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau. Jakarta: Suara ADI 2009. Cet.
ke-1.
Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2008. Cet. ke- 4.
-----. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2010. Cet ke-5.
Arifin. Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2003. Cet ke-1.
Badudu, Js., dan Zain, Sutan Muhammad. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan. 1994. Cet ke-1.
Daud,Wan Mohd Nor Wan.Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad
Naquib Al-Attas.Bandung: Mizan. 2003. Cet. ke-1.
Dekan FITK UIN Syarif Hidayatullah. Pedoman Penulisan Skripsi FITK UIN Syarif
Hidayatullah. Jakarta: tp. 2013.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI
tentang Pendidikan. Jakarta: Departemen Agama RI. 2006.
Feisal, Jusuf Amir.Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press. 1995.
Cet. ke- 1.
82
Gholib,Achmad.Teologi dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2004.
Cet. ke-1.
Hambaly,Hasan Muarif. et.al., Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 2. Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve. 1996. Cet. ke-1.
Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005.
Jalaludin. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2002. Cet. ke-2.
Mahfud, Rois. Al-Islam : Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Erlangga. 2011.
Mujib, Abdul., dan Mudzakkir, Jusuf. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
2008. Cet. ke-2.
Narbuko, Chalid., dan Abu Achmadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.
2009.
Nata, Abuddin. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: UIN Jakarta Press
2005.
-----. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997. Cet ke-1.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis. Jakarta: Ciputat Press. 2002. Cet ke-1.
-----. Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media
Pratama. 2001. Cet ke-1.
Online, Inpas. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Tinjauan Atas Pemikiran Syed M.
Naquib Al-Attas dan Ismail Raji’ Al-Faruqi.dalam
http://www.Inpasonline.com. diakses pada tanggal 16 Oktober 2013.
Purwanto, M. Ngalim Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. t.t.
Ramayulis., dan Nizar, Samsul. Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT
Ciputat Press. 2005.
Ridjaluddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA.
2009.
Saidan.Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-Banna dan
Mohammad Natsir. Jakarta: Kementerian Agama RI. 2011.
83
Shofan, Moh. Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar
Dikotomi Sistem Pendidikan Islam. Jawa Timur: UMG Press. 2004. Cet ke-1.
Sholeh, A. Khudhori.Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. t.t.
Cet. ke-1.
Sholeh,Asrorun Niam.Reorientasi Pendidikan Islam : Mengurai Relevansi Konsep
Al-Ghazali dalam Konteks Kekinian. Jakarta: ELSAS Jakarta. 2008. Cet. ke-6.
Soebahar, Abdul Halim. Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai
UU Sisdiknas. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2013. Cet ke-1.
Sudijono, Anas. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
2008.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2007. Cet ke-3.
Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: AMZAH. 2009. Cet ke-1.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2007. Cet.
ke-7.
Yasin, A. Fatah.Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press
2008. Cet ke-1
Zuhairini Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2009. Cet ke-5.
-----. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2004. Cet ke-3.
Zulkarnain Ar, Pendidikan Islam Menurut Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, dalam
http://andeskopraya.blogspot.com, 13 Februari 2014.
top related