naskah app pustaka final
Post on 29-Jun-2015
1.566 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Terminologi tumor adenoma pleomorfik1,2,3,4,5 yang sekarang luas dipergunakan
pertamakali diperkenalkan oleh Willis pada tahun 1948,3 merupakan neoplasma
kelenjar liur yang umum terjadi dan sering mengenai kelenjar liur mayor parotis
wanita dekade-IV serta laki-laki muda dan lanjut usia.1,2
Gambaran histologis tumor adenoma pleomorfik parotis (APP) sangat beragam,
sehingga Minssen (1874) menyebutnya sebagai tumor campur / ”mixed tumor”.3
1
Komponen Penyusun Jaringan Tumor APP
Komponen terdiri dari komponen epitelial, komponen miksomatosa, dan komponen serupa khondroid; sehingga
tumor APP memiliki gambaran histologis yang sangat pleomorfik dan disebut sebagai tumor campur kelenjar
parotis. Sumber : arsip sediaan bagian patologi anatomi fak. kedokteran/gigi unpad rumah sakit hasan sadikin
Potongan melintang / “gross” pada jaringan tumor APP memperlihatkan batas
yang tegas, tetapi penonjolan ekstensi massa tumor di jaringan normal sekitarnya
kadang-kadang bisa ditemukan.1,2
Secara mikroskopis APP jinak bisa terdiagnosis sebagai karsinoma,1 karena pola
histologinya kadang sangat seluler dan kerapnya massa tumor menembus
kapsul.1,2
Selain menghasilkan musin, juga secara imunohistokimia adenoma pleomorfik
jinak parotis menunjukkan reaktifitas terhadap sitokeratin, vimentin, GFAP/“glial
2
Sumber : http://radiology.uchc.edu/eatlas/images/GI/7086b.gif
fibrillary acidic protein”, CEA / “carcinoma embryonic antigen”, EMA /
“epithelial membrane antigen”, dan protein S-100.1,2
Penelitian mutakhir mengungkapkan imunoreaktifitas tumor APP jinak dan ganas
terhadap C-myc, BCL-2, RasP-21, C-erbB-2, dan P-53.1-2,3,5,10-20
Perilaku biologis tumor adenoma pleomorfik, terutama yang mengenai kelenjar
liur mayor parotis sangatlah beragam; yaitu selain sering rekuren, berubah
menjadi ganas, juga kadang-kadang mampu melakukan metastasis lokal dan jauh
ke organ lain walaupun gambaran histologisnya terlihat jinak.1,2,5
Tampaknya perilaku kasus-kasus tumor adenoma pleomorfik yang mengenai
kelenjar liur mayor parotis dengan morfologi histopatologi yang jinak ini sukar
diramalkan apakah bersifat jinak atau ganas (“borderline malignancy”), sehingga
kriteria gambaran atipia morfologi histopatologi (inti membesar dan
hiperkromatik, mitosis abnormal, pertumbuhan infiltratif/invasif), nekrosis,
perdarahan, hialinisasi, atau kalsifikasi sebagai parameter yang biasa dipakai
untuk memprediksi keganasan tidak bisa digunakan untuk meramalkan perilaku
biologi tumor APP yang sangat beragam ini, terutama dalam hal keperluan
meramalkan potensi keganasan tumor.
Karena keunikannya tersebut, terapi bedah terhadap adenoma pleomorfik kelenjar
liur parotis biasanya berupa bedah-radikal yang berdampak pada berkurangnya
sensasi fasial, produksi liur, dan kosmetik pasien, serta terjadinya sindroma Frey.1
Buku ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan tumor adenoma pleomorfik
parotis (APP), mulai dari pembahasan gambaran normal kelenjar liur mayor
3
parotis; serta klasifikasi, grading, dan staging tumor kelenjar liur secara umum;
pembahasan terhadap tumor adenoma pleomorfik kelenjar parotisnya sendiri yang
meliputi bahasan gen-terkait- tumor dan produk proteinnya, telaah proses
apoptosis dan patogenesis tumor, serta mekanisme aksi onkoprotein rasP-21,C-
erbB-2,dan P-53 pada perkembangan sifat borderline malignancy tumor APP, dan
diakhiri dengan ringkasan umum dan penutup dari pembahasan komprehensif
yang telah dilakukan.
4
GAMBARAN NORMAL KELENJAR LIUR MAYOR PAROTIS
Sistem kelenjar liur manusia meliputi 3 pasang kelenjar liur mayor yang terdiri
dari kumpulan kelenjar eksokrin tubuloasiner, serta beberapa kelompokan kecil
kelenjar liur minor yang tersebar tidak merata pada mukosa rongga mulut.1,2,6
Jaringan penyusun kelenjar liur terdiri dari percabangan tubulus dan duktus serta
sel sekretori / sel asiner yang terletak pada pangkal percabangan, yang kemudian
bermuara di rongga mulut pada suatu duktus pengumpul tunggal.1,2,6
5
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Kelenjar liur menghasilkan sekret berupa cairan liur rongga mulut atau saliva,
yang berperan mempersiapkan makanan untuk dicerna sekaligus mengendalikan
populasi flora rongga mulut.1
Fungsi utama kelenjar liur adalah membasahi mukosa mulut dengan saliva yang
terutama dihasilkan oleh ke-3 pasang kelenjar liur mayor, yaitu kelenjar liur
parotis, submandibularis/submaksilaris, dan sublingualis.1,6
Terdapat dua macam sel asiner kelenjar liur yaitu sel asiner tipe serosa dan sel
asiner tipe mukus,1,6 dengan tipe sekret yang dihasilkan masing-masing berbeda
satu dengan lainnya, sehingga komposisi kimiawi saliva bergantung kepada
6
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
proporsi relatif dari kedua macam tipe sel asiner yang dikandung oleh kelenjar
liur.
Sel asiner tipe serosa mengandung enzim amilase, sedangkan sel asiner tipe
mukus mensekresikan bahan sialomusin.1,6
Kelenjar parotis termasuk kelompok kelenjar liur tipe serosa penghasil amilase.1,6
Perkembangan Kelenjar Liur Parotis1,2,5,6
Perkembangan kelenjar liur manusia dimulai pada minggu ke-V sampai ke-VI
kehidupan embrio ketika primordia kelenjar parotis mulai muncul, diikuti oleh
per-kembangan primordia kelenjar liur lainnya.
7
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington
Primordia kelenjar liur mayor parotis berkembang dari lapisan ektodermis mulut,
berupa “buds” epitel stomatodeum primitif (kavum oris) yang berproliferasi.
“Buds” tersebut terbentuk serta terletak diantara prosesus maksilaris dan
mandibularis diantara daerah kanan arkus mandibularis dengan pipi kiri.
“Buds” epitelial secara kontinyu akan berproliferasi membentuk untaian menuju
daerah ektomesenkhim yang mendasari rongga mulut, diikuti dengan peningkatan
selularitas di sekitar kelenjar yang sedang berkembang. Proliferasi “buds” epitelial
turut berperan pada perkembangan organisasi lobuler dan enkapsulisasi kelenjar
parotis.
Di daerah ujung “cords” padat epitelial kelenjar yang tengah berkembang akan
terbentuk suatu “terminal bulbs”.
Pada “terminal bulbs” akan terbentuk celah yang kemudian akan berproliferasi
kearah ektomesenkhim berupa percabangan-percabangan dari “cords” asalnya.
Setiap “cords” epitelium yang baru terbentuk terletak bersebelahan dengan
“cords” yang ada sehingga kesinambungan dengan epitelium mulut tetap
terpelihara.
Pada awalnya setiap “cords” dan “bulbs” epitelial yang terbentuk tidak memiliki
lumen, namun setelah lumen terbentuk pertamakali pada “cords” epitelial akan
meluas ke arah “terminal bulbs”.
8
Diferensiasi seluler pada “cords” dan “bulbs” epitelial bertanggung-jawab
terhadap karakteristik sel duktus ekskretori, striatus, interkalatus, dan asini
kelenjar.
Cabang “cords” sebelah proksimal akan berkembang menjadi duktus utama dan
duktus ekskretori, cabang “cords” sebelah distal akan menjadi duktus striatus,
sedangkan “terminal bulbs” akan berkembang menjadi duktus interkalatus dan
asini kelenjar. Sesudah proses luminisasi “terminal bulbs” tetapi sebelum
berdiferensiasi, ia berbentuk tubulus terminalis dan sakulus yang memiliki 2
lapisan sel epitelium. Lapisan epitel di dalam lumen akan berdiferensiasi menjadi
sel asiner dan duktus interkalatus, sedangkan lapisan luar berdiferensiasi menjadi
sel mioepitelial.
Maturasi kelenjar liur secara lengkap akan terjadi pasca kelahiran sekitar bulan
ke-III periode kehamilan, kelenjar parotis akan mengalami kolonisasi oleh sel-sel
limfosit, yang kadang berkembang menjadi struktur nodus limfatikus intra dan
periparotid yang organisasinya tidak selengkap kelenjar getah bening.
Anatomi Kelenjar Liur Parotis1,2,5,6
Kelenjar parotis merupakan kelenjar liur mayor yang paling besar ukurannya,
pada orang dewasa beratnya mencapai 15 sampai 30 gram.
Bentuknya menyerupai segitiga dengan bagian apeks terletak disepanjang inferior
sudut mandibula hingga dasar superior arkus zigomatikus.
9
Bagian anterior kelenjar terletak disepanjang ujung posterior ramus mandibula
hampir menutupi ujung posterior otot maseter.
Di sebelah posterior kelenjar parotis dikelilingi oleh telinga, prosesus mastoideus,
dan ujung anterior otot sternokleidomastoideus.
Bagian kelenjar parotis sebelah dalam (bagian medial melenjar) meluas kearah
ruang parafaringeal dan diikat oleh prosesus stiloideus, ligamen stilomandibuler,
stiloglosus, stilohioideus, stilofaringeal, otot digastrikus, dan “carotid sheath”.
Sisi anterior bagian dalam/medial kelenjar terletak di medial otot pterigoideus.
Bagian lateral kelenjar parotis ditutupi oleh kulit dan jaringan lemak subkutis.
Jaringan ikat fibrosa dan lemak yang berasal dari fasia servikal sebelah dalam
akan membentuk kapsul pembungkus kelenjar parotis. Struktur kelenjar parotis
10
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
memeluk beberapa struktur penting seperti vena jugularis interna beserta
percabangannya, nodus limatikus, arteri karotis eksterna beserta percabangannya,
cabang aurikulotemporal nervus trigeminus, dan nervus fasialis.
Sekresi kelenjar mengalir melalui sistem duktus yang akan berkumpul menjadi
satu pada duktus Stensen yang memiliki panjang sekitar 4 sampai 7 sentimeter.
Duktus Stensen keluar dari dalam kelenjar dari ujung anterior, kemudian melintas
permukaan lateral otot maseter, menembus bantalan lemak bukal dan otot
businator tepat di ujung anterior otot, kemudian bermuara pada mukosa rongga
mulut di seberang gigi molar ke-II rahang atas.
Dari sudut pandang pendekatan bedah, kelenjar parotis dibagi menjadi bagian
lobus superfisial/lateral dan bagian dalam/medial, yang dipisahkan oleh nervus
fasialis. Nervus fasialis yang muncul dari foramen stilomastoideus akan
11
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
memasuki permukaan posteromedial kelenjar parotis. Setelah memasuki kelenjar,
nervus fasialis akan terbagi menjadi dua cabang utama dengan masing-masing
anak cabangnya dalam arah superior, anterior, dan inferior. Tepi posterior ramus
mandibula bersinggungan dengan bangunan kelenjar, dan kelenjar terlihat
menyempit dari bagian superfisial kearah medial.
Persarafan sekremotor kelenjar liur mayor parotis diselenggarakan oleh berkas-
berkas saraf parasimfatetik melalui nervus cranialis-VI, sedangkan suplai darah
dan drainase diselenggarakan oleh arteri karotis eksterna dan vena
retromandibuler. Selama perkembangan embrional, pada parenkhim kelenjar
parotis ditempatkan sel-sel limfoid yang akan berkembang menjadi beberapa
nodus limfatikus, yang menerima drainase dari kelenjar beserta struktur sekitarnya
kemudian diteruskan ke nodus limfatikus servikal disepanjang sisi anterior otot
sternokleidomastoideus.
12
Sumber: http/www
Histologi Kelenjar Liur Parotis1,2,5,6
Asinus kelenjar liur parotis :
Asinus kelenjar liur parotis terdiri dari kelompokkan sel-sel epitel berbentuk
mutiara yang dikelilingi oleh membrana basalis, inti sel terletak di basal, dengan
sitoplasma padat penuh granula sekretori zimogen basofilik (PAS) yang resisten
terhadap digesti diastase namun tidak bereaksi terhadap pulasan musikarmin.
Enzim utama yang dikandung granula zimogen adalah amilase dan ptialin,
berfungsi memecah kanji menjadi unit-unit kecil karbohidrat yang larut dalam air.
Enzim-enzim lainnya seperti lisozim (antibakterial nonspesifik) dan laktoferin
juga terdapat di dalam sitoplasma sel-sel asiner kelenjar liur parotis. Asinus
13
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
kelenjar parotis memiliki lumen sentralis yang berfungsi membawa sekret kelenjar
ke dalam duktus interkalatus. Kerja pengosongan sekret oleh lumen sentralis
diatur melalui mekanisme kontraksi sel mioepitel, yang terletak diantara
permukaan luar asinus dan membrana basalis. Sel mioepitel berbentuk datar dan
memiliki penonjolan sitoplasma panjang yang meluas ke permukaan epitel asinus
dalam bentuk anyaman. Filamen sitoplasmik sel mioepitel mengandung filamen
aktin, tropomiosin, dan miosin yang polanya tersusun serupa dengan pola yang
dimiliki oleh otot polos. Sitoplasma sel mioepitel bereaksi kuat terhadap ATP-ase
dan alkalinfosfatase, dan mengandung berkas-berkas miofilamen pendukung
fungsi kontraksi. Sel mioepitel bersifat kontraktif, mampu mempercepat aliran
saliva dengan jalan meningkatkan tekanan pada unit ekskretori; dan sifat tersebut
diinduksi oleh oksitosin yang serupa dengan mekanisme kontraksi sel-sel otot
polos. Sel-sel mioepitel juga berfungsi mendukung parenkhim kelenjar dan
berperan pada proses perluasan lamina basalis.
Duktus kelenjar parotis :
Sistem duktus kelenjar parotis akan memindahkan saliva dari dalam unit sekretori
ke dalam rongga mulut, sekaligus mengatur konsentrasi air dan elektrolit. Dua
segmen pertama dari sistem duktus yaitu duktus interkalatus dan duktus striatus
terletak di dalam lobulus kelenjar (intralobuler), dan mereka dikenal sebagai
duktus sekretori karena aktivitas metaboliknya. Duktus interkalatus berhubungan
langsung dengan asinus kelenjar, dilapisi oleh satu lapis sel epitel berbentuk
kuboid dan lapisan ireguler sel-sel mioepitelial. Duktus interkalatus kelenjar liur
parotis ukurannya relatif lebih panjang dibandingkan kelenjar liur mayor lainnya,
14
sehingga mudah dikenali pada potongan histopatologis. Sel-sel epitelnya
memperlihatkan bentuk transformasi antara sel sekretori dengan sel duktal, serta
memiliki aktivitas lisozim dan laktoferin sitoplasma yang kuat.
Di daerah basal duktus interkalatus kelenjar parotis ditemukan sel-sel
“undifferentiated” yang positif terhadap sitokeratin dan pulasan imunohistokimia.
Duktus striatus terletak di dalam septum jaringan ikat, berhubungan dengan
duktus interlobular, dilapisi pseudostratifikasi epitel kolumner yang mengandung
sel Goblet. Sebelum duktus striatus bergabung dengan duktus utama, ukuran sel
epitelnya akan membesar secara progresif. Sel-sel epitel pembentuk duktus
15
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996.
striatus tampaknya memiliki kemampuan regeneratif, sebab sel-sel
“undifferentiated” yang terdapat memiliki kemampuan “pluripotensial”, sehingga
kerap dihubungkan dengan kejadian metaplastik dan neoplastik yang sering
mengenai daerah duktus striatus kelenjar liur parotis.Duktus utama kelenjar
parotis terdiri dari epitel kolumner berlapis semu yang akan menjadi berlapis
gepeng di daerah muara saluran kelenjar. Duktus utama dibungkus oleh
fibrokolagen dan berkas serat elastin.
Pemeriksaan Imunohistokimia Kelenjar Parotis.
Sediaan histologi jaringan kelenjar liur rutin pada arsip “Armed Forces Institute of
Pathology”(AFIP, Amerika) yang dipulas dengan koktail antibodi monoklonal
terhadap filamen keratin intermediet BM tinggi dan sedang memperlihatkan
intensitas reaktifitas yang kuat pada unsur sel luminal duktus interkalatus, striatus,
dan ekskretori; tetapi sel asiner dan mioepitel memperlihatkan reaktifitas lemah.
Terdapat kontroversi mengenai imunoreaktifitas terhadap protein S-100 pada
unsur jaringan kelenjar liur normal, sebagian peneliti menganggapnya sebagai
petanda (”marker”) terdapatnya sel-sel mioepitelial, sementara AFIP hanya
mengamati sedikit atau hampir tidak ada reaktifitas kelenjar liur normal terhadap
protein S-100. Reaktifitas terhadap protein S-100 berkaitan dengan “stress” yang
dialami jaringan kelenjar liur normal karena terletak bersebelahan dengan jaringan
neoplasma. Dardick (1991) melaporkan pada jaringan intersisial disekeliling
parenkhim kelenjar liur, reaktifitas terhadap protein S-100 lebih diperlihatkan oleh
16
anyaman serabut-serabut saraf yang tidak memiliki mielin daripada oleh sel-sel
mioepitelial.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa sel-sel mioepitelial normal memperlihatkan
reaktifitas terhadap antibodi anti-aktin otot polos. Peneliti lain menyatakan bahwa
sel-sel mioepitelial normal juga bereaksi terhadap antibodi antivimentin,
antimiosin, dan antiglial fibriler protein asidik. Sel-sel mioepitelial normal
imunoreaktif terhadap protein S-100, aktin-miosin (petanda filamen kontraktil),
dan sitokeratin (petanda diferensiasi epitelial).
Ekspresi imunohistokimia kelenjar liur normal terhadap sitokeratin sangat
bervariasi bergantung kepada jenis sel yang menyusun unit sekretori. Sel asiner
17
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
kelenjar mengekspresikan sitokeratin 6 dan 12 dengan lemah, sedangkan sel
duktal duktus ekskretori mengekspresikannya sangat kuat.
Sel-sel asiner dan duktus interkalatus mengekspresikan CEA (“carcino embryonic
antigens”), dan struktur kelenjar yang inflamatif ekspresi CEA-nya sangat kuat.
Sel-sel epitel duktus interkalatus, duktus striatus, dan duktus interlobuler
memperlihatkan imunoreaktifitas kuat terhadap EMA/”epithelial membrane
antigens”. Beberapa reaktifitas enzim bisa dipergunakan sebagai petanda
fungsional kelenjar, seperti amilase dan laktoferin untuk sel asiner kelenjar,
lisozime untuk sel-sel duktus interkalatus, serta fosfatase-alkalin dan ATP-asa
untuk sel-sel mioepitelial.
Struktur asinus kelenjar parotis normal memperlihatkan imunoreaktifitas terhadap
amilase-alfa, transferin, dan laktoferin. Sel-sel duktus interkalatus selain
memperlihatkan reaktifitas terhadap sitokeratin, juga reaktif terhadap antibodi
lisozime, transferin, dan laktoferin.
18
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Beberapa peneliti melaporkan fibronektin, kolagen tipe-IV, laminin, tenasin pada
membran basal jaringan duktal dan asinus kelenjar liur normal. Imunoreaktifitas
sel duktus ekskretori kelenjar liur terhadap estradiol dan progesteron
menimbulkan dugaan kelenjar liur merupakan sasaran dari hormon estrogen.
Crocker dan Egan melaporkan bahwa kelenjar liur normal reaktif terhadap anti
tripsin alfa-1, tetapi tidak terhadap antikimotripsin alfa-1. Jika dipergunakan
sebagai petanda histologis, protein-protein tersebut diatas akan sangat berguna
dalam lapangan kegiatan “surgical pathology” kelenjar liur. 2,5,11-5,15,19
Struktur tambahan di dalam kelenjar parotis:6
19
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Terdapat beberapa nodul jaringan limfoid kecil yang tidak berstruktur, atau berupa
nodus limfatikus yang tersebar di dalam dan di sekitar kelenjar liur mayor parotis.
Beberapa nodul kecil tampak tidak memiliki kapsul, sinus subkapsular, ataupun
medular, dan pada kapsul kelenjar parotis terletak nodus-nodus periglandular.
Kadang ditemukan kelenjar sebasea beserta sel sebasea pada jaringan kelenjar liur
parotis, sehingga sel-sel sebasea dianggap sebagai bagian normal kelenjar parotis.
20
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Korelasi histologi normal kelenjar parotis normal dengan neoplastik:6
Pengetahuan hubungan struktur normal kelenjar dengan aspek histologi tumor
kelenjar parotis sangat membantu dalam pemahaman klasifikasi morfologi tumor.
Terdapatnya kemiripan histologi tidaklah berarti bahwa “origin” tumor berasal
dari sel tertentu yang menyerupainya, walaupun dikatakan setiap unsur kelenjar
bisa berkembang menjadi neoplasma dengan gambaran histologi yang berbeda.
Pada organisasi morfologi kebanyakan tumor kelenjar liur, teramati bahwa
struktur duktus interkalatus dan duktus striatus merupakan struktur organisasi
tumor yang penting, terutama pada tumor-tumor: adenoma pleomorfik, adenoma
monomorfik, dan karsinoma epitelial-mioepitelial (”clear cell carcinoma”)
kelenjar parotis.
Tumor tersebut memperlihatkan terdapatnya diferensiasi epitelial dan mioepitelial
yang sama seperti halnya suatu duktus interkalatus dan striatus normal yang
berkembang dari sel-sel “reserve” duktus interkalatus dan striatus. Statistik
mencatat 80% - 90% tumor kelenjar liur terjadi pada kelenjar liur mayor parotis
yang memiliki duktus interkalatus relatif lebih panjang dibanding kelenjar liur
mayor lainnya.
Aspek penting lainnya pada sitodiferensiasi jaringan kelenjar liur normal dan
neoplastik adalah diekspresikannya filamen-filamen intermediet, enzim-enzim,
komponen imunologik, dan protein-protein lainnya. Protein-protein tersebut
mudah diidentifikasikan secara imunohistokimia.
21
KLASIFIKASI, “GRADING”, “STAGING” TUMOR KELENJAR LIUR
Klasifikasi Tumor-Tumor Kelenjar Liur 1,2,4
Klasifikasi tumor-tumor kelenjar liur terdahulu yang disusun berdasarkan
ketepatan konsep histopatologi, ternyata terus-menerus mengalami modifikasi
seiring perkem-bangan pengetahuan yang memberikan wawasan baru terutama
yang berhubungan dengan wawasan aspek prognosis dan aspek pengobatan.
Seperti terlihat pada klasifikasi tumor kelenjar liur menurut Ellis dan Auclair 1996
yang tercantum pada fasikel 17 tumor kelenjar liur dalam atlas patologi tumor
“Armed Forces Institute of Pathology” / AFIP Amerika yang diacu pada buku ini.
Klasifikasi Ellis & Auclair menguatkan“WHO’s Histological Typing of Salivary
Gland Tumors”/1972, juga sesuai dengan edisi revisi WHO pada tahun 1991 serta
memungkinkan diskusi yang lebih informatif, rinci, lebih menggambarkan
keluasan cakupan klinikopatologi entitas tumor.
Beberapa neoplasma epitelial ganas dimasukkan sebagai modifikasi klasifikasi
Thackray&Lucas/1974 yaitu adenokarsinoma sel basal, “cystadenocarcinoma”,
kar-sinoma duktus kelenjar, karsinoma sebasea, karsinoma onkositik, dan
“adenocarcinoma musinosa”. Terminologi Sialoblastoma muncul dalam
klasifikasi Ellis&Auclair untuk neoplasma kelenjar liur kongenital dan infantil
dengan morfologi histologis jinak sampai ganas, sementara WHO
mengkategorikannya sebagai “other carcinomas” kelompok karsinoma embrional.
Klasifikasi Ellis & Auclair 1996 mengidentifikasikan suatu kelompok karsinoma
22
sel jernih dengan gambaran klinikopatologi berbeda dari karsinoma epitelial-
mioepitelial. Karsinosarkoma dan “metastasizing pleomorphic adenomas”
dikelompokkan ter-pisah, namun WHO memandangnya sebagai “carcinoma in
pleomorphic adenoma”. Klasifikasi Ellis dan Auclair 1996 menambahkan
kelompok tumor serupa-limfadenoma-sebaseosa yang tidak memiliki diferensiasi
sebasea sebagai kelompok “lymphadenomas and sebaceous adenomas” yang
meliputi terminologi tumor dengan atau tanpa diferensiasi sebasea. Dengan
ditemukannya konsep baru tentang MALT (”mucosal-associated lymphoid tis-
sue”) yang banyak terdapat di kelenjar parotis sebagai jaringan limfoid ekstra no-
dal, berkontribusi sebagai parameter menyusun klasifikasi limfoma kelenjar liur.
Juga dimasukkan kondisi patologis non-neoplastik yang klinis susah dibedakan
dari neoplasma sialadenopati kistik, neoplasma limfoid terkait HIV, dan AID’S.
KLASIFIKASI TUMOR KELENJAR LIUR ELLIS&AUCLAIR 1996:2
Neoplasma Epitelial Jinak:
Tumor Campur (Adenoma Pleomorfik). Mioepitelioma. Tumor Warthin. Adenoma sel basal. Adenoma kanalikular. Onkositoma. Kistadenoma. PPapiloma duktal: Sialadenoma papiliferum, Papiloma duktal “inverted”,
Papiloma intraduktal. Limfadenoma dan Adenoma sebasea. Sialoblastoma.
Neoplasma epitelial ganas:
Karsinoma mukoepidermoid. Adenokarsinoma. Adenokarsinoma sel asinik.
23
Karsinoma kistik adenoid. Adenokarsinoma polimorf yang “low grade”. Tumor campur ganas (adenoma pleomorfik ganas): Karsinoma asal
tumor campur/adenoma pleomorfik, Karsinosarkoma, Tumor campur/ adenoma pleomorfik bermetastasis.
Karsinoma sel skuamosa. Adenokarsinoma sel basal. Karsinoma epitelial-mioepitelial. Adenokarsinoma sel jernih. Kistadenokarsinoma. Karsinoma “undifferentiated”: sel kecil, sel besar, limfoepitelial. Karsinoma onkositik. Karsinoma duktus kelenjar liur. Adenokarsinoma sebasea dan Limfadenokarsinoma. A Karsinoma mioepitelial. Karsinoma adenoskuamosa. Adenokarsinoma musinosa.
Neoplasma Mesenkhimal: jinak, Sarkoma.
Limfoma ganas.
Tumor-Tumor Metastatik.
Kondisi Serupa-Tumor Non-Neoplastik.
“GRADING” MIKROSKOPIS1,2,4,5
Adenoma pleomorfik ganas kelenjar liur mayor parotis memiliki elemen-elemen
karsinomatous yang secara mikroskopis bisa ditentukan “grade”-nya berdasarkan
metode “grading” untuk karsinoma kelenjar liur pada umumnya.
“Grading” mikroskopis pada karsinoma diketahui sangat berperan bagi
optimalisasi pengobatan, dan berperan pula didalam penentuan “staging” klinis.
Terdapat 4 metode penentuan “grading” tumor kelenjar liur yang bisa diadaptasi
dan disesuaikan guna menentukan “grading” adenoma pleomorfik ganas parotis.
24
Pertama, untuk kebanyakan karsinoma yang hanya memiliki satu “grade” maka
klasifikasinya langsung menentukan “grade” misalnya diagnosis adenokarsinoma
sel asiner, adenokarsinoma sel basal, atau adenokarsinoma polimorfous “low
grade” menunjukkan perilaku biologi tumor yang “low grade malignancy”;
sementara diagnosis tumor karsinoma duktus kelenjar, karsinoma sel skuamousa
primer, atau karsinoma “undifferentiated” menunjukkan tumor-tumor yang
berperilaku “high grade malignancy”.
Tiga metode penentuan “grade” lainnya diaplikasikan tersendiri, misalnya :
(a) Pada tumor adenokarsinoma yang “NOS”, “grading” ditentukan
berdasarkan evaluasi gambaran sitomorfologi.
(b) Pemisahan “grade” intermediet dan “high” pada karsinoma kistik adenoid
ditentukan berdasarkan pola pertumbuhan yang dominan, apakah berupa
“cribriform-tubular” ataukah “solid”.
(c) Kriteria khusus dipakai untuk karsinoma mukoepidermoid, berupa
penggabungan kriteria terdapat/tidaknya karakteristik pertumbuhan dan
gambaran sitomorfologi.
“STAGING” KLINIK1,2,4,5
Penentuan “staging” klinik tumor kelenjar liur didasarkan pada penelitian Spiro
dan Levitt (menyatakan prognosis tumor bergantung pada ukuran tumor primer
dan perluasan lokal tumor), sebagai berikut :
25
TUMOR PRIMER (T) :
TX Tumor primer tidak bisa ditentukan.
T0 Tidak terdapat bukti adanya tumor primer.
T1 Ukuran terbesar tumor primer 2 cm atau kurang.
T2 Ukuran tumor primer antara 2 sampai 4 cm.
26
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
T3 Ukuran tumor primer antara 4 sampai 6 cm.
T4 Ukuran tumor primer lebih besar daripada 6 cm.
NODUS LIMFATIKUS REGIONAL / KGB (N) :
NX KGB tidak bisa ditentukan.
N0 Tidak terdapat metastasis KGB.
N1 Metastasis pada KGB satu sisi dengan ukuran 3 cm atau kurang.
N2 Metastasis pada KGB satu sisi dengan ukuran 3-6 cm; atau metastasis
multipel pada satu sisi KGB dengan ukuran tidak lebih dari 6 cm; atau metastasis
pada 2 sisi KGB atau KGB kontralateral dengan ukuran tidak lebih dari 6 cm.
N2a Metastasis tunggal pada KGB satu sisi, ukuran 3 - 6cm.
N2b Metastasis multipel pada KGB satu sisi, tidak lebih dari 6 cm.
N2c Metastasis pada KGB bilateral/kontralateral berukuran sampai 6 cm.
METASTASIS JAUH (M) :
MX Metastasis jauh tidak bisa ditentukan keberadaannya.
M0 Tidak terdapat metastasis jauh.
M1 Terdapat metastasis jauh.
PENGELOMPOKKAN “STAGE” :
“STAGE I” T1a N0 M0
27
T2a N0 M0
“STAGE II” T1b N0 M0
T2b N0 M0
T3a N0 M0
“ STAGE III” T3b N0 M0
T4a N0 M0
SetiapT kecualiT4b N1 M0
“STAGE IV” T4b Setiap N M0
Setiap T N2, N3 M0
Setiap T Setiap N M1
Keterangan : Kategori T dibagi menjadi :
a) Tidak terdapat ekstensi lokal massa tumor.b) Terdapat ekstensi lokal massa tumor.
Perluasan tumor secara lokal didefinisikan sebagai terbuktinya invasi secara klinis
ataupun makroskopis pada kulit, jaringan lunak, tulang, atau pada jaringan saraf.
Bukti-invasi secara mikroskopis tidak bisa dipakai menentukan “staging” klinik.
Variabel lain adalah terabanya KGB yang dicurigai terkena metastasis, serta
terdapat-tidaknya metastasis jauh. Berdasarkan hasil penelitian diatas maka AJCC
(“American Joint Committee on Cancer”) dan IUAC (“International Union
Against Cancer”) menerima kriteria yang diajukan dengan sedikit modifikasi.
Beberapa variabel klinik yang diperlukan untuk menentukan “staging” menurut
AJCC dan IUAC adalah ukuran tumor, perluasan tumor secara lokal, metastasis
28
pada KGB regional, serta terdapat tidaknya metastasis jauh. Terdapatnya
gangguan pada nervus fasialis turut menentukan prognosis tumor.
29
TUMOR ADENOMA PLEOMORFIK KELENJAR PAROTIS
Definisi:1,2,3,4,5
Adenoma pleomorfik (“mixed tumor”) adalah tumor jinak asal jaringan epitel
yang tersusun oleh sel-sel berdiferensiasi epitelial dan mesenkhimal.
Diferensiasi epitelial pada tumor adenoma pleomorfik ditunjukkan oleh
terdapatnya struktur duktal lengkap yang bercampur dengan sel-sel non-duktal
berbentuk spindel / kumparan, bundar, stelat, plasmasitoid, poligonal, atau cerah.
Elemen non-duktal yang dikandung tumor adenoma pleomorfik merupakan
petunjuk diferensiasi miksoid, hialin, kartilago, atau tulang dengan derajat yang
bervariasi.
Adenoma pleomorfik yang mengenai kelenjar liur mayor parotis (APP), biasanya
memiliki kapsul pembungkus yang terlihat jelas melingkari tumor.
30
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Terminologi tumor campur (“mixed tumor”) menekankan pada campuran /
”mixture” elemen epitelial dan mesenkhimal, sedangkan terminologi adenoma
pleomorfik merujuk kepada keberagaman morfologi yang diperlihatkan tumor.
Gambaran Umum: 1,2,4,5
Adenoma pleomorfik merupakan neoplasma asal kelenjar liur mayor dan minor
yang umum terjadi, mencapai 45%-74% keseluruhan kejadian tumor kelenjar liur.
AFIP mencatat kejadiannya mencapai 28% dari keseluruhan tumor ganas dan
jinak kelenjar liur, dan merupakan 30% dari kejadian neoplasma parotis sejak
1985.
Adenoma pleomorfik sering mengenai wanita pada dekade umur ke-IV, namun
pada laki-laki adenoma pleomorfik bisa terjadi pada anak-anak dan orang tua.
Sehingga dapat dikatakan bahwa insidensi adenoma pleomorfik dapat terjadi pada
semua umur, dan kasus terbanyak terutama terjadi pada dekade IV - V.
Umur rata-rata penderita adenoma pleomorfik adalah 43 tahun, dan hampir 40%
kasus yang dicatat AFIP mengenai penderita berumur kurang dari 40 tahun.
31
Sumber: http/www
Adenoma pleomorfik 10 kali lebih sering terjadi pada kelenjar liur mayor parotis
daripada kelenjar submandibuler, jarang terjadi pada kelenjar liur sublingual.
Laporan penelitian menyebutkan angka-kejadian APP mencapai 85%, sedangkan
pada kelenjar submaksilaris mencapai 8%, dan kelenjar liur minor mencapai 7%.
Terdapatnya 2 elemen jaringan yang berbeda (elemen epitelial dan mesenkhimal)
merupakan petunjuk bagi pembahasan histogenesis tumor yang mendalam.
Bukti-bukti ultrastruktur dan imunohistokimia memberikan dugaan tumor APP
me-miliki “origin” epitelial, sedangkan area mesenkhimalnya terutama disusun
oleh sel-sel yang menunjukkan bentuk modifikasi neoplastik dari sel-sel
mioepitelial.
Keberagaman morfologi terjadi karena terdapatnya diferensiasi duktal dan
mioepitel pada elemen epitelial APP, serta bervariasinya jumlah matriks
32
Sumber : arsip sediaan bagian patologi anatomi fakultas kedokteran/gigi
unpad rumah sakit hasan sadikin bandung.
mukopolisakarida yang kemudian akan mengalami metaplasia kondroid atau
oseosa.
Gambaran Klinis: 1,2,4,5
Secara klinis sifat pertumbuhan APP sangat lambat, asimptomatis, timbul berupa
massa dengan ciri yang khas dan akan membesar bila tidak diobati.
Tumor yang besar biasanya berbentuk masa noduler tunggal yang tidak rata, serta
meregangkan kulit atau mukosa yang melapisinya.
Umumnya lesi tumor APP berupa lesi yang keras, kecuali untuk lesi yang elemen
miksoidnya sangat dominan.
33
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. .
Lesi APP mudah digerakkan dan kebanyakan timbul pada lobus superfisialis,
yaitu 50% pada ekor lobus dan 25% pada bagian anterior lobus superfisialis.
Sedangkan 25% lagi muncul pada lobus kelenjar yang lebih dalam, meluas ke
ruang parafaringeal dan menimbulkan pembengkakkan di daerah fossa tonsiler,
palatum lunak, atau di daerah lateral farings sehingga tidak terlihat dari wajah.
Kadang-kadang terjadi paralisis fasial akibat penekanan tumor secara ekstrinsik
terhadap nervus fasialis.
Bentuk lesi APP rekuren seringkali timbul berupa nodul-nodul multipel yang
lebih sukar digerakkan dari dasarnya dibandingkan lesi primer.
Gambaran Makroskopis (“Gross”):1,2,4,5
Gambaran makroskopis APP yang khas berupa massa berbentuk bulat atau
lonjong yang berbatas tegas, kenyal, resilien, dengan permukaan berbenjol-benjol.
34
Sumber: http://www.ispub.com/ispub/ijhns/volume_4_number_2_58/a-case-of-
Konsistensi tumor bergantung kepada jumlah relatif sel-sel epitelial dan stroma
penyusun tumor; serta bergantung pula kepada jenis stromanya.
Pada APP bisa ditemukan kapsul fibrosa yang tidak lengkap dengan ketebalan
yang beragam memisahkan jaringan tumor dengan kelenjar, namun kadang-kala
sedikit perluasan massa tumor bisa terlihat menonjol di jaringan kelenjar liur
normal.
Permukaan potongan makroskopis (“gross”) jaringan tumor APP berwarna putih-
kecoklatan homogen, licin mengkilap; di beberapa daerah tampak area translusen
berisi materi miksokondroid, pulau kartilago, atau fokus tulang yang matur.
35
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Lesi-lesi tumor berukuran lebih besar dari 1 cm terlihat memiliki banyak jendolan
menggambarkan akan terdapatnya lobulasi lesi.
Pada potongan makroskopis adakalanya teramati daerah perdarahan dan infark
yang bisa terjadi sekunder akibat manipulasi bedah (biopsi/biopsi aspirasi jarum
halus).
Tumor APP rekuren memiliki nodul-nodul multipel yang tersebar diseluruh
jaringan ikat penyambung, lemak, dan kelenjar liur.
Gambaran Mikroskopis:1,2,4,5
Secara mikroskopis APP sering salah didiagnosis sebagai karsinoma karena
memperlihatkan pola histologis yang membingungkan, selularitas yang ekstrim,
atau massa tumornya kadang berpenetrasi ke dalam kapsul.
36
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. pp.1-57,228-
APP dikenal karena keaneka-ragaman sitomorfologi dan arsitektur histologisnya
pada tiap-tiap tumor, namun bentuk dasarnya memperlihatkan gambaran
diagnostik histologis yang penting berupa susunan jaringan pulau epitelial beserta
struktur duktus dengan daerah diferensiasi kartilagenosa yang erat berhubungan.
Proporsi jaringan epitelial dan mesenkhimal pada masing-masing tumor sangat
bervariasi, bahkan kadang-kadang satu sama lainnya saling mendominasi.
Karena penampakannya yang sangat beragam, maka beberapa peneliti membuat
subklasifikasi tumor (berdasarkan proporsi elemen serupa-mesenkhimal dan
elemen epitelial) menjadi adenoma pleomorfik tipe seluler dan tipe miksoid.
APP tipe seluler didominasi oleh populasi salah satu atau beberapa elemen
epitelial, sedangkan APP tipe miksoid sebagian besar disusun oleh elemen
miksomatosa atau oleh elemen serupa-mesenkhimal miksokhondromatosa.
37
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Kebanyakan komponen miksoid APP mencapai 30% keseluruhan massa tumor,
dan 12%-15 % APP memiliki komponen epitelial mencapai 80% massa tumor.
Ketebalan kapsul fibrosa pembungkus APP sangat bervariasi, kadang-kadang
sangat tipis atau tidak ada sama sekali. Jaringan kapsuler tersebut kadang-kadang
mengandung perluasan-perluasan kecil sel-sel epitelial neoplastik berbentuk jari
atau berbentuk pulau-pulau kecil. Jenis sel epitel penyusun APP berupa sel
spindel, sel jernih, sel skuamosa, sel basaloid, sel kuboidal, sel plasmasitoid, sel
onkositoid, sel mukous, dan sel sebasea.
38
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. pp.1-57,228-
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Banyak ditemukan area transisi antara masing-masing tipe sel, karena mereka
berkumpul sangat berdekatan dan pada pengamatan seksama sering ditemukan
diferensiasi pulau-pulau skuamosa yang terpisah. Sel spindel dengan plasmasitoid
kadang terlihat dalam bentuk transisi satu sama lain. Gambaran inti semua tipe
sel tumor APP secara keseluruhan terlihat uniform, anak inti kadang kecil atau
tidak ada, dengan mitosis yang sedikit. Konfigurasi arsitektur morfologi histologi
APP sangat bervariasi baik pada satu lesi tumor, maupun antara satu tumor APP
dengan yang lainnya. Sering ditemukan arsitektur APP miksokondroid berupa
trabekula sel epitelial yang beranastomosis dalam trabekula epitelial serta struktur
duktus dan tubulus yang lengkap dipisahkan oleh stroma jaringan ikat.
39
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. pp.1-57,228-51.
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. pp.1-57,228-
Juga bisa ditemukan bentuk arsitektur APP-seluler yang tersusun oleh lembaran
sel-sel basaloid diselingi oleh sedikit stroma.
Gambaran arsitektural lainnya adalah APP kistik berupa struktur kista kecil
dilapisi epitel gepeng berkeratin, atau rongga kistik besar dilapisi selapis pita
epitelial.
40
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
APP kadang memiliki arsitektur seperti Schwannoma tersusun oleh sel-sel spindel
membentuk jalinan fasikel serupa-fibrosa dan inti tersusun palisade disekitar
material amorf menyerupai gambaran khas badan Verocay dari Schwannoma.
Struktur duktal APP biasanya tersebar secara acak, dan lebih banyak terdapat
didaerah yang kaya epitel daripada di daerah mesenkhim. Pada beberapa kasus
komponen duktalnya sangat besar dengan bentuk lumen yang nyata, sedangkan
pada beberapa kasus lumennya terlihat kecil. Lumen duktus dilapisi oleh epitel
kuboid atau kolumner yang kadang dikelilingi lapisan sel-sel berbentuk besar dan
jernih, spindel, atau stelat. Dua macam elemen sel tersebut menyerupai organisasi
duktus kelenjar normal atau struktur bifasik karsinoma epitelial-myoepitelial.
Komponen serupa-mesenkimal pada APP yang miksokondroid tersusun oleh area-
area miksoid, hialin, kondroid, dan tulang yang sangat kaya dengan heparan
sulfat.
41
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Material hialin bisa teramati pada masa tumor APP sebagai deposit stroma
diantara sel-sel epitel, dan berbentuk sebagai massa fibrotik atau desmoplastik.
Zona kartilagenosa hasil akumulasi material miksohialin terlihat mengelilingi sel-
sel individual, kadang-kadang menyerupai kartilago hialin yang matang.
Gambaran tulang pada massa tumor APP jarang ditemukan, namun adakalanya
terlihat sangat dominan mendominasi keseluruhan massa tumor.
Materi stroma amorf yang melingkari untaian-untaian epitel sempit yang
berstruktur memadat atau tubuler pada tumor APP mengingatkan kepada
gambaran karsinoma adenoid kistik tipe tubuler.
Terdapatnya sel-sel basaloid kecil yang tersusun berupa kisi - kisi (“lattice”)
pada tumor APP, mengingatkan kepada gambaran karsinoma adenoid kistik
kribriform.
42
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Gambaran arsitektur APP yang rekuren biasanya berupa nodul-nodul lesi multipel
yang saling terpisah terletak di daerah sisa jaringan kelenjar liur, jaringan
periparotid, kulit, dan pada jaringan parut yang terbentuk pasca-operasi.
Temuan Imunohistokimia:2
Sel mioepitel normal imunoreaktif terhadap antibodi sitokeratin dan aktin otot
polos, namun imunoreaktifitasnya sangat bervariasi terhadap antibodi anti : GFAP
(“glial fibrillary acidic protein”), vimentin, dan protein S-100.
43
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Reaktifitas terhadap antibodi anti-GFAP teramati terbatas di daerah miksoid, tidak
pada daerah APP yang seluler. Banyak sel-sel tumor APP yang memperlihatkan
reaktifitas terhadap sitokeratin, dan anti-aktin otot polos bereaksi sangat kuat
dengan sel spindel dan sel periduktal, sedangkan antibodi anti-protein S-100
beraksi dengan semua jenis sel epitel dan stroma.
Diagnosis Banding:1,2,3,5
Faktor penyulit penegakkan diagnosis APP adalah kecilnya jaringan sampel dan
berkeping-keping tanpa daerah “interface” jaringan neoplastik dan sekitarnya.
44
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington
Jika sampel jaringan biopsi diatas mengandung fokus kondroid atau miksoid dan
elemen duktal, maka interpretasi yang sesuai mengarah pada APP.
Adakalanya tumor APP tersusun oleh komponen jaringan miksoid, kondroid, atau
jaringan tulang; sehingga menjadi pertimbangan diagnosis bandingnya adalah
neoplasma jaringan mesenkim seperti miksoma, lipoma miksoid, neurofibroma
miksoid, osteoma, atau osteokondroma.
Fokus diferensiasi skuamosa dan sel mukus dalam lesi APP sangat menyerupai
karsinoma mukoepidermoid; tetapi karsinoma mukoepidermoid terlihat fokal-
infiltratif, tidak banyak memiliki elemen miksokondroid, kistik, serta tidak
memiliki pulau-pulau epidermoid berkeratin.
Terdapatnya jaringan neoplastik di dalam atau meluas melalui kapsul fibrosa pada
tumor APP jinak merupakan faktor pertimbangan bagi transformasi keganasan,
demikian pula dengan terdapatnya gambaran morfologi tumor yang hiperseluler.
45
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. pp.1-57,228-51.
Tetapi bila tidak ditemukan gambaran sitomorfologi abnormal (atipia, pembesaran
inti, hiperkromasi inti, pleomorfism inti) dan mitosis yang abnormal, maka
perluasan tumor pada kapsul dan hiperselularitas merupakan kriteria APP jinak
yang umum.
Sedangkan APP yang rekuren memperlihatkan sarang-sarang tumor multipel
tersebar di dalam parenkim kelenjar liur normal, dan masing-masing sarang tumor
terlihat berbatas tegas tanpa atipia sitomorfologi.
Terapi dan Perilaku Klinik: 1,2,5
Para peneliti menyepakati tindakan enukleasi (pembukaan kapsul tumor diikuti
dengan pengelupasan atau aspirasi isinya) bertanggung-jawab terhadap tingginya
angka rekurensi tumor APP. Diperdebatkan apakah prosedur parotidektomi
46
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
superfisial/lateral atau prosedur diseksi ekstra kapsuler/“lumpectomy” sampai ke
tepi jaringan kelenjar normal, merupakan pilihan terbaik untuk mengendalikan
tumor dan meminimalkan komplikasi bedah.
Penelitian terakhir yang mengevaluasi kemanjuran/efikasi kedua prosedur bedah
dengan tetap memelihara keutuhan nervus fasialis, memperlihatkan angka
rekurensi yang sama yaitu berkisar antara 0% sampai 8 %. Prosedur parotidektomi
konservatif tidak menjamin lengkapnya tindakan eksisi, dibuktikan dengan
rekonstruksi tiga-dimensi potongan organ utuh hasil operasi yang
memperlihatkan penonjolan APP yang tidak rata dari permukaan, dengan kapsul
dan penutup parenkhim yang tidak lengkap. Komplikasi bedah APP yang sering
terjadi adalah sindroma Frey / “gustatory sweating”, dan kerusakan permanen atau
sementara cabang nervus fasialis khususnya cabang marginal n.mandibularis.
Terapi pilihan APP rekuren adalah parotidektomi totalis disertai diseksi jaringan
parut, dengan tetap memelihara keutuhan nervus fasialis. Prosedur radioterapi
merupakan kontra-indikasi terapi APP primer, meskipun beberapa peneliti
menemukan ia bermanfaat untuk APP rekuren yang selektif.
47
GEN-GEN TERKAIT TUMOR DAN PRODUK PROTEINNYA
Salah satu aspek telaah tumorigenesis yang menarik adalah telaah onkogenesis,
yang berhubungan dengan aksi tunggal atau gabungan faktor-faktor kimiawi,
fisika, biologi, atau genetik yang merugikan sel.
Faktor-faktor diatas menimbulkan perubahan-perubahan genetik yang akan
menye-babkan pertumbuhan sel menjadi tidak terbatas, mampu menginvasi
jaringan sekitar, bahkan mampu bermetastasis.
Perubahan-perubahan genetik tersebut banyak yang bersifat dapatan, tetapi
beberapa diantaranya bersifat diturunkan sebagai mutasi garis-benih (“germline
mutations”) yang cenderung meningkatkan resiko perkembangan kanker.
Gangguan genetik penyebab transformasi keganasan bisa berbentuk abnormalitas
struktur kromosom yang nyata seperti translokasi-kromosom, atau alterasi gen
yang tidak nyata seperti mutasi noktah (“point mutations”) substitusi satu basa
DNA. Seiring mutasi genetik terinisiasilah rentetan kejadian ekspresi abnormal
serangkaian gen, sehingga proliferasi sel menjadi tidak terkendali.
Gen-gen yang berhubungan dengan onkogenesis (gen terkait-tumor) bisa
dikelompokkan berdasarkan katagori dari fungsi yang dimilikinya menjadi:7
(a) Gen pertumbuhan dan proliferasi : termasuk kedalamnya adalah proto-
onkogen / onkogen stimulator pertumbuhan dan proliferasi.
(b) Gen penekan tumor / anti-onkogen : mutasi yang mengenainya akan
menyebab-kan hilangnya mekanisme pengaturan siklus sel.
48
(c) Gen anti-apoptosis : menyebabkan sel terindung dari program kematian yang
fisiologis non-nekrosis (apoptosis).
(d) Gen anti-metastasis : mutasi terhadap katagori gen ini akan menyebabkan
peningkatan insidensi metastasis.
(e) Gen resistensi multi-obat : berhubungan dengan sifat resistensi tumor terhadap
bahan-bahan kemoterapi.
Gen-gen terkait-tumor melaksanakan fungsinya dengan jalan mengekspresikan
gen yang disandinya menjadi protein-protein terkait tumor yang bisa dideteksi
keberadaannya di dalam sel dan jaringan tumor.
Selain bermanfaat sebagai alat bantu diagnosis tumor, maka deteksi gen-gen
terkait-tumor beserta produk proteinnya di dalam sel dan jaringan memungkinkan
untuk mengidentifikasi faktor predisposisi neoplastik yang diwariskan pada
individu.
Ekspresi berlebih beberapa produk gen-gen terkait-tumor berperan sebagai
petanda perilaku biologi tumor yang potensial, serta berperan pula sebagai
prediktor tampilan terapi dan responnya.7
Produk gen-terkait-tumor yang berperan sebagai petanda prediktif perilaku
biologi tumor bisa dideteksi dengan beragam teknik khusus patologi anatomi,
seperti : prosedur teknik dan metode imunohistokimia, sitometri-alir (“flow
cytometry”), dan teknik-teknik genetik molekuler berdasarkan teknik hibridisasi
asam nukleat serta ”polymerase chain reaction”/ PCR.7
49
Teknik genetik molekuler yang dimaksud meliputi prosedur hibridisasi asam
nukleat insitu (“insitu hybridisation” / ISH; atau “fluorescent labelled probes-
ISH” / FISH); PCR insitu (“PCR-single strand conformational polymorphism
analysis”/PCR-SSCP, atau “PCR-denaturing gradient gel electrophoresis”/PCR-
DGGE); disamping teknik-teknik sitogenetika konvensional dan “blotting”
(Southern/Northern/Westhern blot).
Gen Pertumbuhan Dan Proliferasi (Proto-onkogen/Onkogen)7
Dahulu proto-onkogen didefinisikan sebagai gen-gen normal yang strukturnya
me-nyerupai beberapa virus-retro penyebab kanker, sedangkan onkogen
didefinisikan se-bagai gen-gen abnormal yang berasal dari proto-onkogen.
Protein yang dihasilkan proto-onkogen berperan penting pada pertumbuhan dan
diferensiasi normal sel, tetapi jika gen-nya berubah karena mutasi maka produk
protein mutannya akan menyebabkan terjadinya kanker.
Protoonkogen yang telah berubah dan mampu menimbulkan kanker disebut
onkogen yang merupakan gen-gen yang memiliki aksi dominan serta akan
mengobarkan/ “promotes” proses transformasi seluler. Sehingga proto-onkogen
dan onkogen memiliki andil yang besar didalam proses tumorigenesis, sedangkan
perkembangan tumor dan perilakunya tampaknya lebih berkaitan dengan aksi
gen-terkait-tumor lainnya seperti gen penekan tumor/gen anti-onkogen, gen anti-
apoptosis, atau gen anti-metastasis.Lebih dari 50 onkogen yang telah
50
diidentifikasi berhasil diklasifikasikan berdasarkan lokalisasi aksinya di dalam sel
dan berdasarkan aktifitas biologis produk proteinnya.
Aktivasi atau alterasi protein onkogen terjadi melalui:
(a) Perubahan abnormalitas ekspresi protein produk gen akibat amplifikasi gen,
“rearrangement” gen, mutagenesis insersional, atau karena mutasi-noktah
(“point mutation”).
(b) Perubahan daerah pengkode (“coding region”) sehingga dihasilkan produk
protein yang memiliki sifat biokimiawi abnormal dan mengganggu fungsi sel.
Pertumbuhan sel dipengaruhi oleh molekul ekstrasel (hormon, faktor
pertumbuhan) yang berinteraksi dengan sel melalui reseptor yang sangat spesifik.
Reseptor sel tersebut biasanya berbentuk molekul besar yang kompleks, dan
memiliki struktur yang tripartit. Mereka memiliki domain eksternal yang akan
berinteraksi dengan faktor pertumbuhan, domain transmembran yang larut dalam
lemak, serta dengan domain intrasitoplasmik yang mengandung enzim tirosin
kinase. Enzim tirosin kinase akan meneruskan sinyal-sinyal intraseluler setelah
diaktivasi oleh ligan yang berikatan dengan domain eksternal, dan proses aktivasi
tersebut akan menganggu keadaan fungsionalnya, dan dipercaya berperan penting
pada proses pengaturan proliferasi sel.
Beberapa protein sitoplasma berperan membawa sinyal-sinyal mitogenik ke
dalam inti sel, setelah sebelumnya mengalami reaksi fosforilasi di dekat membran
sel. Contoh dari jalur-aktivasi diatas adalah respon sel terhadap EGF/ “epidermal
growth factor”. Reseptor EGF terletak pada membran sel, memiliki domain
51
eksternal pengikat EGF dan domain tirosin internal spesifik terhadap protein
kinase.
Pengikatan molekul EGF pada reseptornya akan mengubah konformasi reseptor,
dan mengaktivasi enzim tirosin kinase spesifik dari domain intraseluler. Jalur
penerusan sinyal intrasel oleh enzim tirosin kinase merupakan salah-satu dari 3
jalur utama penerusan sinyal intra sel.
Ketiga jalur pengaturan sinyal intaraseluler utama tersebut adalah :
(1) Jalur reseptor enzim tirosin kinase
(2) Jalur cAMP (“cyclic adenosine monophosphate-dependent pathways”)
(3) Jalur fosfatidilinositol.
Onkogen yang memiliki fungsi pada inti:7,8
Produk protein beberapa onkogen seperti produk onkogen myc, fos, myb,
ditemukan hanya terdapat di dalam inti sel, dan hanya diekspresikan selama
proses proliferasi sel yang normal. Karena produknya hanya ditemukan di dalam
inti sel dan beberapa diantaranya ber-ikatan dengan DNA, diduga mereka
berinteraksi dengan gen-gen pengatur mitosis. Diketahui pula bahwa gen-gen
tersebut mengkode protein inti yang akan mengikat daerah DNA regulator
pengatur transkripsi gen-gen seluler. Protein-protein inti sel yang dihasilkan
onkogen nuklear ini diduga memiliki fungsi mengekalkan sel menjadi
imortal.Data penelitian terhadap produk gen fos menunjukkan bahwa ia berperan
sebagai sensor untuk sinyal-sinyal pendek yang masuk yang kemudian
dikonversikan menjadi respon-respon yang tahan lama melalui pengaturan
ekspresi gen sasaran tertentu.
52
Onkogen yang memiliki fungsi pada sitoplasma:7,11-3
Beberapa onkogen seperti famili gen ras mengkode protein yang berlokalisasi
pada sisi dalam membran plasma, yang akan mengikat guanin (GTP dan GDP)
serta memiliki aktifitas serupa dengan GTP-ase.
Karena kemiripannya dengan protein-G diduga ia berperan pada transduksi sinyal
eksternal dan permukaan sel (yang sebelumnya telah di-inisiasi oleh faktor
pertumbuhan, hormon, atau transmiter saraf) menuju ke efektor seluler seperti
adenilat siklase dan fosfolipase-C. Protein G memiliki fungsi meneruskan sinyal
melewati membran plasma.
Onkoprotein RasP-21 produk gen rasP-21
53
Sumber: http/www
Sumber: arsip pribadi
Famili onkogen ras berasal dari famili proto-onkogen ras yang terdiri dari gen H-
ras, K-ras, dan N-ras pengkode protein 21-kDA yang terletak pada sisi dalam
membran-plasma, dengan fungsi yang diduga terlibat dengan transduksi sinyal.
Mutasi noktah tunggal (“single point mutation”) pada kodon proto-onkogen ras
tertentu (“hotspots”) bisa pada kodon 12, 13, atau 61, menyebabkan sifatnya
berubah menjadi onkogen aktif yang menghasilkan protein rasP-21 abnormal.
Protein rasP-21 merupakan bentuk mutan dari protein 21-kDA yang mengalami
substitusi asam amino tunggal di daerah pengikatan nukleotida guanin.
Walaupun anggota famili onkogen ras banyak ditemukan mengalami mutasi pada
kebanyakan tumor, namun dari sedikit penelitian terhadap tumor leher dan kepala
dila-porkan bahwa gen H-ras (17) dan K-ras (21) teramati pada karsinoma mulut.
Mutasi pada gen K-ras ( Kirsten ras ) yang teramati pada karsinoma rongga mulut
terjadi pada kodon 13 berupa “silent mutations” akibat transversi CGGCGA.
Peneliti lain melaporkan terdapatnya mutasi onkogen H-ras pada tumor adenoma
pleomorfik jinak kelenjar liur, dan mutasinya terjadi pada basa pertama kodon 12
lengan pendek kromosom nomor 12 akibat transversi nukleotida GC.
Sehingga diduga gen H-ras berperan pada perkembangan tumor jinak mulut.12,13
Onkogen yang memiliki fungsi pada membran:7,14-5
54
Termasuk ke dalam kelompok ini adalah proto-onkogen c-erbB-2 manusia,
pengkode glikoprotein 185-kDA reseptor faktor pertumbuhan putatif
transmembran yang memiliki domain ekstraseluler.
Produk gen c-erbB-2 berperan sebagai reseptor faktor pertumbuhan dengan
aktivitas tirosin kinase sitoplasma, dianggap famili reseptor faktor pertumbuhan
epidermal. Berperan sebagai “ligand” bagi reseptor faktor pertumbuhan putativ
tersebut adalah glikoprotein 30-kDA / “factor gp30. Aktivitas reseptor faktor
pertumbuhan seperti diperlihatkan oleh produk gen c-erbB-2 yang merupakan
versi “truncated” reseptor faktor pertumbuhan epidermal / EGFR, terlihat
berhubungan dengan aktivitas enzim tirosin kinase.
Protein C-erbB-2 produk gen erb-B2
Produk gen v-erbB-2 salah satu varian awal gen erbB-2 teramati tidak berikatan
dengan “ligand”, sehingga diduga ia bekerja intraselluler tanpa dibantu “ligand”.
Proto-onkogen c-erbB-2 manusia disebut juga sebagai Neu, karena awalnya ia di-
temukan teraktivasi oleh mutasi noktah pada tumor neuroblastoma tikus.
55
Sumber: arsip pribadi
Gen tersebut homolog tetapi berbeda dengan dengan gen EGFR (“epidermal
growth factor receptor”), dan dikenal pula sebagai gen terkait-erbB (virus avian
eritroblas-tosis), atau disebut juga sebagai Her2.
Proto-onkogen c-erbB-2 terdapat pada kromosom manusia nomor 17 (17q21), dan
teraktivasi menjadi onkogen penyebab neoplasma jika gennya teramplifikasi
sehingga produknya menjadi terakumulasi dan diekspresikan secara berlebih
(“overexpression”).
Peneliti terdahulu melaporkan terdapat 30 “fold” amplifikasi gen c-erbB-2 pada
satu kasus adenomakarsinoma kelenjar liur yang ditelitinya, sehingga diduga
onkogen c-erbB-2 dan onkoproteinnya berperan penting pada patogenesis tumor
kelenjar liur. Tumor-tumor ganas kelenjar liur yang positif terhadap onkogen c-
erbB-2 terlihat lebih besar, lebih agresif, dan kerap berasosiasi dengan metastasis
KGB.
Peneliti lain melaporkan teramatinya amplifikasi c-erbB-2 pada tumor payudara
dan tumor ovarium yang agresif.
Pada tumor payudara amplifikasi dan ekspresi berlebih produk gen c-erbB-2
berkaitan dengan prognosis yang buruk, dan kejadiannya berasosiasi dengan
ekspresi berlebih produk gen p53.
Gen Penekan Kanker / Anti-onkogen7,10-1,16-20
Gen-gen penekan kanker (“cancer supressor genes”) ditemukan dari penelitian
pada tumor retinoblastoma.
56
Enampuluh persen kasus retinoblastoma terjadi secara sporadis, sedangkan 40%
lagi bersifat diturunkan dalam bentuk autosomal dominan. Mutasi yang
diperlukan agar retinoblastoma terjadi melibatkan gen Rb yang berlokasi pada
kromosom 13q14, yang kadang-kadang terlihat sebagai delesi gen. Kedua alele
normal dari lokus Rb akan terinaktivasi pada kejadian retinoblastoma yang
sporadik, sedangkan pada kasus retinoblastoma yang diwariskan, turunannya akan
lahir dengan membawa 1 kopi gen normal dan 1 kopi gen Rb yang defektif.
Diajukan hipotesis “two hits” untuk menjelaskan kejadian retinoblastoma
sporadik, yaitu mutasi genetik yang diwariskan orang tua (“first hit”) akan
tersebar diseluruh sel-sel somatik tubuh turunannya, kemudian akan menjadi
retinoblastoma sporadik jika terjadi mutasi pada sel-sel retinal (“second hit”) yang
telah membawa gen-gen mutan akibat mutasi yang diwariskan orang tuanya.Kopi
gen utuh dalam retinoblast bisa menghilang akibat mutasi somatik, sehingga anak-
anak yang memiliki lokus gen Rb heterozigot akan terkena kanker jika alele
mutan dalam retinoblast berubah menjadi homozigot. Karena gen Rb berasosiasi
dengan kejadian kanker jika ke-dua kopi gen normalnya menghilang, tampaknya
aktivitas gen ini mengarah sebagai gen-gen kanker yang resesif / “recessive
cancer genes”.Mutasi garis-benih gen penekan-kanker bertanggung-jawab
terhadap pewarisan keadaan predisposisi terkena kanker.
Contoh lain dari gen penekan kanker yang kini banyak ditelaah karena berkaitan
dengan kejadian keganasan pada manusia adalah gen p53.
57
Onkoprotein P-53 produk gen p-53
Alterasi terhadap gen penekan kanker p53 dipercaya memerankan peran yang
kritis dalam perkembangan dan progresi kebanyakan keganasan pada manusia.
Gen p53 berlokasi pada lengan pendek kromosom 17 (17p13), berukuran 20 kB
yang tersusun oleh 11 ekson dan 10 intron.
Transkrip gen p53 menghasilkan RNA-pembawa-pesan (“messenger-RNA/m-
RNA”) berukuran 2,2 sampai 2,5 kB, yang mengkode fosfoprotein inti P-53
berukuran 393 asam amino (25) dengan berat molekul 53 kD.
Lima untaian (“sequens”) asam amino fosfoprotein produk gen p53 berhubungan /
saling komplemen dengan kodon m-RNA 13-19, 120-143, 172-182, 238-259, dan
dengan kodon 271-290; yang diberi nama sebagai “conserved regions I-V”.
Konservasi / pengawetan untaian-untaian DNA dengan cara diatas dimaksudkan
agar struktur dan fungsi khusus onkoprotein P-53 tetap terpelihara.
Fosfoprotein P-53 memiliki 3 “domains” dengan fungsi yang berbeda yaitu:
58
Sumber: arsip pribadi
(a) Ujung residu 75 asam amino, mengandung domain “region” aktivasi
transkripsio-nal yang berfungsi mengobarkan (“promotes”) proses transkripsi
gen.
(b) Bagian tengah fosfoprotein P-53 mengandung domain spesifik pengikat DNA,
yang nantinya akan berinteraksi dengan elemen pengenal p53.
(c) Ujung karboksil mengandung domain lokalisasi sinyal inti dan “sites”
fosforilasi, yang berfungsi mengobarkan pembentukan larutan tetramer-
oligomer serta ber-fungsi mengenali “sites” DNA yang rusak.
Protein (fosfoprotein) P-53 yang fungsional memberikan pengaruh kepada sel
melalui perannya sebagai faktor transkripsi gen.
P-53 tipe “wild” berfungsi mengatur transkripsi genom dengan jalan berikatan
dengan untaian gen spesifik, atau berinteraksi dengan faktor transkripsi lain.
P-53 tipe “wild” akan meningkatkan transkripsi gen yang memiliki elemen
responsif spesifik terhadap p-53, dan sebaliknya menghambat transkripsi gen lain
yang kurang memiliki elemen responsif atau gen yang memiliki sequens TATA.
Sementara bentuk P-53 mutan tidak bisa berikatan dengan untaian DNA genom
spesifik, sehingga tidak memiliki aktivitas regulasi transkripsi gen.
Sel-sel yang normal hanya mengandung sedikit sekali konsentrasi P-53 tipe
“wild”, menggambarkan bahwa “half life” fosfoprotein P-53 di dalam sel sangat
pendek.
Dalam kondisi normal P-53 tipe “wild” terletak dan beraksi di dalam inti sel.
59
Fungsi utama P-53 adalah mengatur siklus sel beserta respon seluler terhadap
kerusakan DNA, inisiasi replikasi dan perbaikan DNA, induksi apoptosis, dan
promosi diferensiasi seluler.
Peninggian tingkat konsentrasi P-53 akan menghambat sel yang berada dalam
fase G1 memasuki fase S dari siklus sel.
Tampaknya P-53 tipe “wild” ini akan menginduksi ekspresi suatu inhibitor siklus-
sel (WAF1/Cip1) penghambat fungsi enzim “cyclin-dependent” kinase sehingga
pertumbuhan sel akan terhambat.
Mekanisme “checkpoint” saat akan memasuki siklus-sel akan mencegah duplikasi
dan replikasi DNA-DNA yang rusak atau tidak normal.
P-53 juga mampu menginduksi kerja enzim yang berfungsi memperbaiki DNA,
sehingga ia terlibat pada stimulasi mekanisme perbaikan DNA.
Ujung (“terminus”) karboksil dari fosfoprotein P-53 memiliki kemampuan untuk
mengenali daerah-daerah DNA yang rusak, serta akan membentuk kompleks
dengan “sites” DNA yang rusak sehingga memudahkan proses perbaikan DNA.
Jika kerusakan DNA tidak bisa diperbaiki maka sel akan diarahkan oleh P-53
untuk mengalami kematian sel terprogram melalui jalur apoptosis.
Mengingat fungsi gen p-53 sebagai gen penekan-tumor (“tumor supressor genes”)
maka hilangnya fungsi p-53 sebagai even kritis pada karsinogenesis merupakan
model dari tumorigenesis oleh gen p-53.
60
Protein P-53 tipe “wild” telah diketahui berfungsi menghambat transformasi-
transformasi neoplastik, menghambat pertumbuhan sel-sel tumor invitro,
memblokir transformasi keganasan kultur sel yang diaktivasi oleh onkogen lain,
serta mencegah pembentukan tumor pada binatang.
Protein P-53 mutan ditemukan dari pengamatan terhadap tumor-tumor yang tidak
memperlihatkan sifat-sifat diatas.
Protein P-53 tipe “wild” memberikan efek perlindungan terhadap perkembangan
keganasan melalui aksi pengaturan (“orchestration”) respon seluler terhadap
kerusakan DNA, aksi pengaturan silus sel, aksi pemeliharaan stabilitas genom dan
reparasi gen, aksi stabilisasi diferensiasi sel, aksi apoptosis, serta melalui
perannya sebagai pelindung genom dari bahan-bahan perusak.
Peran gen p-53 yang menginisiasi penyelenggaraan proses perbaikan DNA yang
rusak dan jika tidak bisa diperbaiki dituntun untuk dihilangkan melalui proses
apoptosis, merupakan mekanisme yang sangat efektif untuk mencegah timbulnya
populasi sel-sel yang memiliki materi genetik abnormal.
Hilangnya mekanisme regulasi “checkpoint” siklus sel dan reparasi DNA,
menyebabkan terselenggaranya replikasi DNA-DNA yang rusak dan ketidak-
stabilan genom, yang kejadiannya melibatkan onkogen lain, sehingga terjadi
peningkatan aksi gen p-53.
Kontribusi lain gen p-53 terhadap tumorigenesis adalah melalui mekanisme
penghambatan proses apoptosis.
61
Kegagalan eliminasi sel yang memiliki kerusakan DNA melalui jalur apoptosis,
bisa menimbulkan proliferasi dan seleksi sel-sel transforman.20-1 Inaktivasi fungsi
gen p-53 terjadi akibat beberapa kejadian seluler seperti : mutasi gen, ikatan
protein virus atau protein lainnya dengan protein P-53, atau keluarnya protein P-
53 dari nukleus ke dalam sitoplasma.20
Bentuk mutasi yang sering mengenai gen p-53 adalah “missense mutation”
meliputi satu-basa, yang menghasilkan protein dengan struktur dan fungsi yang
abnormal. Mayoritas mutasi gen p-53 terhampar diantara ekson 5 dan 8 pada
region “conserved” I sampai V di daerah kodon 120 – 290 (24), dan “hot spots”
mutasi gen p-53 terletak pada region “conserved” I – V, meliputi kodon 175, 248,
273, dan 281.
Bentuk mutasi lain selain “missense mutation” yang kadang mengenai gen p-53
adalah delesi atau insersi, mutasi “nonsense” atau “frame shift”, dan mutasi
“neutral” yang tidak menghasilkan perubahan asam amino.
Mutasi yang mengenai “conserved region” gen p-53 tipe “wild” menyebabkan
berubahnya konformasi protein sehingga fungsinya menjadi terganggu.10,20
Protein P-53 mutan bisa mengganggu fungsi protein P-53 tipe “wild”, karena
protein P-53 mutan mampu membentuk kompleks tetrameriks dengan protein P-
53 “wild”, sehingga terjadi inaktivasi fungsi protein P-53 tipe “wild”(tidak bisa
berikatan dengan DNA dan tidak mampu mengaktivasi transkripsi gen).
Protein P-53 mutan tidak menekan pertumbuhan sel-sel tumor, tidak menghambat
transformasi kearah keganasan, serta akan menghambat proses apoptosis.
62
Sel-sel yang mengekspresikan protein P-53 mutan atau kekurangan protein P-53
tipe “wild”, memperlihatkan kegagalan dalam penghentian progresi siklus sel.
Pada tumorigenesis kelenjar liur ekspresi gen p-53 mutan berasosiasi dengan
transformasi keganasan dan agresifitas tumor secara klinis.
Menyertai mutasi yang mengenai gen p-53 adalah delesi alel p-53 yang akan
menyebabkan kedua alel p-53 tipe “wild” menghilang. Mutasi “missense”,
hilangnya alel, dan delesi homozigot kedua alel p-53 akan menyebabkan
hilangnya fungsi / kemampuan gen p-53 “wild” menekan pertumbuhan kanker.
Mutasi gen p-53 pada garis-benih (“germ line”) bertanggung-jawab terhadap
bentuk-bentuk kanker herediter, sebab jika salah satu alel sel-sel benih yang
heterozigot baik untuk p-53 “wild” maupun mutan terinaktivasi, akan berperan
sebagai faktor predisposisi perkembangan keganasan.
Mutasi galur-benih hanya memerlukan satu mutasi somatik pada satu alel normal
yang tersisa, sehingga fungsi penekan-kanker akan menghilang, dan biasanya
berasosiasi dengan terjadinya sindroma kanker familial Li-Fraumeni.
Gen Anti-Apoptosis7,9,20
Prototipe gen anti-apoptosis adalah gen bcl-2 yang ditemukan terlibat dalam
translokasi kromosom t(14,18) pada limfoma folikuler dan limfoma sel-B. Protein
Bcl-2 produk gen bcl-2 berkaitan dengan penghambatan program kematian sel
yang fisiologis / apoptosis (8,14), baik pada sel epitel maupun sel limfoid. Gen
63
bcl-2 bekerja-sama dengan onkogen c-myc pada prekursor sel-sel limfosit B,
sehingga beberapa prekursor sel tersebut bersifat tumorigenik. Protein Bcl-2 akan
memanjangkan “survival” sel melalui fungsionalisasinya pada jalur anti-oksidan,
namun ia tidak memiliki sifat tumorigenisitas.
Protein Bcl-2 produk gen bcl-2
Gen Anti-Metastasis7
Famili gen anti-metastasis nm23 pertama-kali diidentifikasikan pada galur sel
mieloma tikus yang sifat metastasisnya sangat rendah. Homolog gen tersebut pada
manusia adalah gen nm23 H1 yang teramati pada membran sitoplasma,
sitoplasma, dan inti sel. Hilangnya fungsi anti-metastasis akibat delesi alel
somatik gen nm23 H1 berkorelasi dengan fenotipik potensi-metastasis pada
beberapa tumor manusia. Menurunnya konsentrasi nm23 H1 mencerminkan
tingkatan dediferensiasi tumor.
64
Sumber: http/www
Protein NM23H1 produk gen nm23H1
Gen Resistensi Multi Obat (“MDRG genes”)7
Resistensi tumor terhadap obat-obatan/multi obat berasosiasi dengan ekspresi
berlebih protein 170kD, dan dikenal sebagai glikoprotein-P produk dari gen mdr1.
Glikoprotein-P adalah protein transmembran pengatur “transport” molekul
(bergan-tung-ATP), dan dikenal pula sebagai “drugs efflux pumps” karena
ekspresi berlebih glikoprotein-P berhubungan dengan penurunan konsentrasi obat
di dalam sel.
65
Sumber: http/www
TELAAH PROSES APOPTOSIS DAN PATOGENESIS TUMOR
Pengertian Umum:1,5,9,10,17,21-2
Apoptosis adalah bentuk kematian sel yang tertentu / khusus, dan secara
morfologi berbeda dari nekrosis dimana ia ditandai oleh kondensasi kromatin
yang khas disertai fragmentasi DNA dengan mekanisme yang lebih teregulasi.
Mekanisme regulasi kematian sel / apoptosis tampaknya bergantung kepada
energi (“energy dependent”), melalui jalur transduksi sinyal terprogram yang
diinisiasi oleh beragam stimulus (kerusakan DNA, infeksi virus, kortikosteroid,
limfosit T sitotoksik, dan lain lain).
66
Skematis Proses Apoptosis Sumber: http://www.google.co.id/imglanding?q=apoptosis+wikipedia+indonesia
Proses apoptosis ditentukan secara genetik dan memiliki makna biologis yang
sangat berarti karena ia merupakan proses aktif dengan peran yang berlawanan
dengan mitosis didalam mengatur ukuran jaringan.
Proses apoptosis dirancang normal untuk mengeliminasi populasi sel-sel yang
tidak diinginkan selama periode embriogenesis, serta bertanggung-jawab pula
pada eliminasi sel-sel yang tidak diinginkan pada proses fisiologis dan patologis
tertentu.
Selama morfogenesis jaringan mamalia apoptosis akan membentuk organ dan
menghilangkan sel-sel yang secara imunologi autoreaktif terhadap ‘unsur-diri’,
sel-sel yang terinfeksi, atau sel-sel yang rusak secara genetik, sehingga tidak
membahayakan inangnya.
Mekanisme apoptosis yang telah diketahui melibatkan kejadian
(a) Aktivasi enzim endonuklease yang diinduksi oleh peninggian ion kalsium
sitosolik, akan menyebabkan terjadinya fragmentasi DNA.
(b) Aktivasi enzim transglutaminase, akan menyebabkan perubahan volume dan
bentuk sel (sel terlihat mengkerut).
(c) Fagositosis badan-badan apoptotik (fragmen-fragmen sel yang telah
mengalami proses apoptosis), terselenggara melalui mekanisme “receptor-
mediated”.
Gambaran perubahan morfologi khas sel-sel yang mengalami apoptosis
ditemukan melalui telaah ultrastruktur dengan mikroskop elektron, berupa:
67
(a) Pengkerutan sel : ukuran sel terlihat mengecil, sitoplasmanya memadat, dan
organel-organel sel walaupun terlihat relatif normal namun lebih padat.
(b) Kondensasi kromatin : merupakan gambaran khas apoptosis yang banyak
ditemukan, kromatin terlihat mengumpul ke perifer didaerah membran inti
berupa massa padat yang berbatas tegas dengan ukuran dan bentuk bervariasi;
sementara inti sel akan pecah menjadi 2 fragmen atau lebih.
(c) Pembentukan tonjolan-tonjolan sitoplasma (“budding”) dan badan-apoptotik :
sel-sel yang apoptotik akan membentuk tonjolan-tonjolan sitoplasma,
kemudian mengalami fragmentasi menjadi badan-badan apoptotik yang
dilingkari membran. Badan-badan apoptotik hasil fragmentasi “budding”
sitoplasma biasanya mengandung sitoplasma, organel-organel sel yang
memadat, dan kadang-kadang bisa mengandung fragmen-fragmen inti atau
tidak.
(d) Fagositosis sel-sel apoptotik dan badan-badan apoptotik: sel-sel dan badan-
badan apoptotik akan difagositosis oleh sel-sel sehat disekitarnya bisa oleh
sel-sel parenkim atau oleh sel makrofag, kemudian dihancurkan di dalam
lisosom.
68
69
Skema Kejadian Biokimia dengan perubahan Morfologi pada Proses Apoptosis Sumber: http://www.google.co.id/imglanding?q=apoptosis+wikipedia+indonesia
Morfologi Histologi:1
Secara histologi sel-sel yang telah mengalami proses apoptosis (“apoptotic
bodies”) terlihat sebagai masa sitoplasmik eosinofilik berbentuk bundar atau oval,
bisa mengandung atau tidak mengandung fragmen-fragmen materi kromatin inti
basofilik yang padat.
Kebanyakan sel-sel yang apoptotik terlihat eosinofilik, tetapi sel apoptotik berasal
dari jaringan yang kaya dengan ribosom seperti sel-sel asiner kelenjar pankreas
akan terwarna basofilik dengan pulasan HE.
Ukuran sel-sel apoptotik sangat beragam, bisa sangat kecil sehingga tidak terlihat
dengan mikroskop cahaya dan mengandung sedikit materi basofilik. Sel-sel /
badan-badan apoptotik (“apoptotic bodies”) secara cepat akan difagos-itosis oleh
sel-sel sehat disekitarnya, oleh sel parenkhim atau oleh makrofag. Berlawanan
70
Gambaran Mikroskopis Sel yang mengalami Apoptosis, terlihat eosinofilik Sumber: http://www.google.co.id/imglanding?
dengan proses fagositosis sel-sel nekrosis yang menimbulkan reaksi inflamasi,
maka proses fagositosis sel-sel apoptotik tidak menginduksi makrofag untuk
membangkitkan respon inflamasi.
Mengingat kecilnya ukuran “apoptotic bodies”, pendeknya umur (“half life”)
“apoptotic bodies”, serta cepatnya ia difagositosis oleh sel sehat disekitarnya de-
ngan tidak menimbulkan respon reaksi inflamasi, merupakan penyulit untuk
menga-mati sel-sel / badan-badan apoptotik secara histologi dibawah mikroskop
cahaya.
Regulasi Genetik Apoptosis:1,7,10,22
Hingga sekarang regulasi genetik proses apoptosis belum diketahui dengan
lengkap, namun mulai terungkap keterlibatan beberapa gen yang sebelumnya
telah diketahui berperan pada perkembangan kanker.
Produk gen terkait tumor yang diduga terlibat pada jalur kematian sel (“cell death
pathways”) dari tahun ketahun jumlahnya makin meningkat.
71
Penyulit pengamatan mikroskopis Proses Apoptosis Sumber: http://www.google.co.id/imglanding?q=apoptosis+wikipedia+indonesia
Salah satu gen dan produknya yang pertama-kali diketahui terlibat dengan
pengendalian jalur kematian sel adalah gen bcl-2.
Gen bcl –2 ditemukan pertama-kali terlibat pada tumorigenesis limfoma folikuler
sebagai translokasi gen t(14;18), dan ekspresi berlebih produk proteinnya
menghambat program kematian sel fisiologis (anti-apoptosis) sel limfoid dan
epitel, sehingga terjadi pemanjangan waktu “survival” sel.
Lokasi gen bcl-2 di dalam sel terletak pada membran dalam mitokondria,
pembungkus inti, dan pada retikulum endoplasmik. Gen bcl-2 menghambat jalur
apoptosis dengan jalan meregulasi jalur anti-oksidan (“antioxidant pathways”),
karena kebanyakan kasus apoptosis teramati disebabkan oleh jejas letal spesies
oksigen reaktif.
Tidak teramati hubungan antara ekspresi Gen bcl-2 dengan perkembangan kanker
sehingga disepakati gen bcl-2 tidak bersifat tumorigenik.
Namun sel-sel yang mengekspresikan protein Bcl-2 yang terdeteksi secara
imunohistokimia menunjukkan perilaku yang resisten terhadap apoptosis.
Penemuan gen bcl-2 sebagai gen anti-apoptosis menimbulkan pertanyaan apakah
terdapat katagori gen lain yang memiliki peran berlawanan, atau tepatnya apakah
terdapat ‘gen-gen kematian sel’ yang akan merangsang terjadinya proses
apoptosis. Jawaban sementara yang dapat diajukan terhadap pertanyaan di atas
terkuak melalui temuan mutakhir yang mengungkapkan fungsi lain dari onkogen
c-myc dan gen penekan tumor p-53.
72
Onkogen c-myc diketahui berperan sebagai aktivator transkripsi seluler yang akan
mengobarkan (“promotes”) proses pertumbuhan sel.
Penelitian mutakhir terhadap sel-sel yang dipacu dengan onkogen c-myc yang
overaktif, memperlihatkan bahwa sel-sel akan mengalami proses apoptosis jika
lingkungan sel tidak mengandung faktor pertumbuhan yang memadai.
Sehingga kemungkinan merupakan salah satu fungsi normal dari onkogen c-myc
(selain mengobarkan proses proliferasi dan diferensiasi seluler) adalah
menginduksi terselenggaranya proses apoptosis.
Fungsi normal induksi apoptosis seluler oleh onkogen c-myc pada penelitian di
atas tampaknya bisa disupresi oleh aksi faktor-faktor pertumbuhan.
Sehingga faktor pertumbuhanpun kemungkinan memiliki potensi menghambat
proses apoptosis, mungkin dengan jalan mengacaukan sinyal-sinyal siklus sel
menjadi saling bertentangan sehingga terjadi ketidak-tepatan regulasi siklus sel.
Tampaknya faktor pertumbuhan berperan menyelamatkan sel-sel dari jalur
kematian sel yang terprogram, melalui perannya sebagai ‘faktor-survival’ seluler.
Penelitian mutakhir mengungkapkan pula bahwa gen penekan tumor p-53 (bentuk
mutannya banyak terdapat pada kejadian keganasan) memiliki kemampuan
menginduksi proses apoptosis pada sel-sel yang DNA-nya rusak akibat radiasi.
Mengikuti irradiasi ionisasi akan terjadi peninggian tingkat protein P-53 di dalam
sel, dan siklus sel akan ditahan sehingga tersedia waktu untuk memperbaiki DNA
yang rusak; tetapi jika perbaikan DNA tidak mungkin dilakukan,sel-sel yang
73
mengandung DNA abnormal di-inisiasi oleh P-53 memasuki jalur apoptosis untuk
dieliminasi.
Jalur apoptosis akibat kerusakan DNA karena radiasi, inisiasinya bergantung
kepada ekspresi protein P-53 tipe “wild”; tetapi proses apoptosis akibat
glukokortikoid atau penuaan, inisiasinya tidak sepenuhnya bergantung kepada
ekspresi P-53.
Sangat mungkin peran gen p-53 sebagai gen penekan tumor (“tumor suppressor
genes”) terselenggara melalui perannya pada jalur kematian sel yang terprogram.
Kerja-sama antara gen p-53 tipe “wild” dengan faktor pertumbuhan akan
menentukan terjadi atau tidaknya induksi inisiasi jalur kematian sel yang
terprogram (apoptosis).
Asumsi di atas diajukan berdasarkan pengamatan invitro terhadap galur-sel
hemato-poetik murin yang bergantung kepada faktor pertumbuhan.
Galur sel hematopoetik akan cepat mengalami apoptosis setelah diberi perlakuan
dengan iradiasi, jika faktor pertumbuhan di dalam medium kultur dihilangkan.
Tetapi jika terdapat faktor pertumbuhan di dalam medium kultur sel hematopoetik
murin yang bergantung kepada faktor pertumbuhan tersebut, apoptosis tidak
terjadi.
74
Penghambatan Proses Apoptosis: 1,9,10,21-2
Telah diketahui sejak lama bahwa kanker merupakan penyakit gangguan
pengaturan (“dysregulation”) pertumbuhan sel.
Perhatian utama penelitian kanker mutakhir tertuju pada karakterisasi
abnormalitas gen dan produknya penyebab gangguan pengaturan pertumbuhan
sel.
Telaah ditujukan kepada ekspresi berlebih produk gen yang akan memacu
proliferasi seluler, atau tertuju pada hilangnya ekspresi produk gen yang
seharusnya menghambat proliferasi seluler.
Proliferasi seluler bergantung kepada dua kondisi yang berlawanan yaitu
kecepatan pembelahan sel dan kecepatan kematian sel.
Tumor seringkali memperlihatkan penurunan kematian sel sebagai mekanisme
utama didalam meningkatkan proliferasi selulernya.
Perubahan genetik yang mengakibatkan hilangnya jalur kematian sel yang
terprog-ram (apoptosis) sangat mungkin merupakan salah satu komponen kritis
dan langkah penting proses tumorigenesis, mengakibatkan tumor berkembang
dengan cepat.
Terhambatnya atau hilangnya jalur apoptosis akibat mutasi gen penekan tumor p-
53 dan ekspresi abnormal gen anti–apoptosis bcl-2, atau bisa pula akibat
mutasi dan ekspresi berlebih produk onkogen c-erbB-2 (reseptor faktor
pertumbuhan) dan onkogen ras (transduksi sinyal intraseluler) memberikan
75
kontribusi yang sangat penting terhadap perkembangan tumor karena
menyebabkan terjadinya peningkatan ketahanan hidup dan proliferasi seluler.
Hingga sekarang akumulasi data yang mendukung peran hilangnya kemampuan
apoptosis sebagai kejadian kritis proses tumorigenesis terjadi dengan cepat.
Bukti-bukti invivo dan invitro menunjukkan bahwa jalur apoptosis yang
bergantung kepada gen p-53 merupakan regulator penting proses tumorigenesis.
Abnormalitas fungsi gen p-53 sebagai regulator kritis proses tumorigenesis
mungkin terselenggara melalui 2 model berikut :
(1) Hilangnya fungsi gen p-53 tipe “wild” dan hilangnya fungsi penahanan siklus
G-1 (“G-1 arrest”) mengakibatkan direplikasikannya cetakan (“template”)
DNA yang rusak, atau mengakibatkan perkembangan pembentukan
perubahan-perubahan genetik yang diwariskan pada sel-sel induk.
(2) Mutasi gen p-53 membentuk gen p-53 mutan yang tidak memiliki sinyal
penahan fase G-1 (fase reparasi DNA) dan tidak menginduksi proses
apoptosis, sehingga kerusakan DNA tetap ada tidak dieliminasi, dan replikasi
cetakan (“template”) DNA yang rusak terus berlangsung.
Jika kedua mekanisme diatas bekerja-sama setelah terjadinya kerusakan DNA,
mungkin bertanggung-jawab terhadap ketidak-stabilan genetik sel jaringan
manusia. Saat meregulasi tumorigenesis melalui jalur apoptopsis, kelihatannya
gen p-53 tidak bekerja sendirian tetapi dibantu oleh onkogen-onkogen yang
berhubungan dengan faktor pertumbuhan.
76
77
Skematis Ilustrasi Regulasi genetik Penghambatan Proses Apoptosis Sumber: http://www.google.co.id/imglanding?
MEKANISME AKSI ONKOPROTEIN RasP-21, C-erbB-2, dan P-53
PADA PERKEMBANGAN SIFAT BORDERLINE MALIGNANCY
TUMOR APP
1.Kajian Teori Molekuler11-20
Billroth pada tahun 1859 yang pertama kali melaporkan bahwa tumor adenoma
pleomorfik kelenjar liur manusia memiliki gambaran histopatologis dan klinis
yang beragam tersusun oleh empat macam jaringan berbeda, yaitu jaringan
penyambung, kartilagenosa, mukus, serta sel-sel polihedral yang terbungkus
rapat.
Minssen pada tahun 1874 pertama-kali memperkenalkan terminologi tumor-
campur (“mixed tumor”) untuk kelompok tumor tersebut karena ia mengamati
terdapatnya substansi kartilago atau kondroid di daerah yang secara normal tidak
memilikinya. Willis pada tahun 1948 menyebut tumor campur kelenjar liur
dengan terminologi adenoma pleomorfik untuk menggambarkan diversitas
histologis tumor, karena tumor campur kelenjar liur memperlihatkan variabilitas
gambaran mikroskopis yaitu tersusun oleh komponen epitelial dan mesenkimal
dalam kualitas serta kuantitas yang heterogen.
Keaneka-ragaman pola histologis tumor adenoma pleomorfik kelenjar liur
menimbulkan permasalahan sukarnya menetapkan klasifikasi tumor; serta
perilaku biologinya juga sukar untuk diprediksi seperti cenderung rekuren, bisa
berubah menjadi ganas, dan kadang-kadang mampu melakukan metastasis lokal
78
dan jauh ke organ lain walaupun gambaran histologis tumor tampak jinak;
sehingga fenomena tersebut khususnya pada tumor APP merujuk kepada sifat
biologis yang “borderline malignancy”. Oleh karenanya kriteria gambaran
keganasan morfologi histopatologi berupa: atipia sel, mitosis, pertumbuhan
infiltratif, nekrosis, perdarahan, hialinisasi, kalsifikasi; tidak bisa dipergunakan
sebagai acuan indikator derajat keganasan dalam keperluan memprediksi potensi
keganasan tumor APP.
Sampai sekarang landasan teori yang secara definitif mampu menjelaskan dasar
molekuler keberagaman perilaku biologi tumor APP ternyata belum terdapat.
79
Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.
Hal ini penting bagi ketepatan efektifitas dan efisiensi diagnosis histopatologis
dan pengelolaan klinis penderitanya, mengingat terapi APP yang baik selain
didasarkan kepada sifat kliniknya juga didasarkan kepada ketepatan diagnosis
patologi anatomi yang memerlukan dukungan piranti indikator untuk
memprediksi potensi keganasan yang simpel, akurat, namun andal.
Meskipun demikian kenyataannya seiring dengan pesatnya penelitian-penelitian
patolog/patobiologi molekuler yang memanfaatkan aplikasi teknik dan metode
bioteknologi, banyak pakar patologi/patobiologi yang berupaya mencari wawasan
baru guna mengungkapkan cakrawala biologi molekuler tumorigenesis. Namun
demikian masih sedikit informasi biologi molekuler yang tersedia untuk
keganasan yang berasal dari kelenjar liur, disebabkan karena rendahnya insidensi
keganasan kelenjar liur yang hanya mencapai 7% tumor daerah leher dan kepala.
Sembilan puluh persennya berupa neoplasma jinak dan ganas kelenjar parotis,
yang ditandai oleh bermacam-macam subtipe histologi dengan perilaku biologi
dan prognosis yang masing-masing berbeda.
Disebabkan karena jarangnya kasus tumor kelenjar liur serta beragamnya perangai
penyakit, maka mekanisme molekuler yang terlibat dalam tumorigenesis kelenjar
liur masih banyak yang belum terungkap.
Penelitian yang menelaah aspek biologi molekuler tumorigenesis APP memakai
metode imunohistokimia mengkorelasikan tingkat imunoekspresi beberapa
protein produk gen-terkait-tumor, diantaranya onkoprotein rasP-21, onkoprotein
CerbB-2, dan protein (fosfoprotein) penekan tumor P-53 mutan pada sel-sel
80
jaringan tumor dengan prognosis dan sifat agresifitas tumor.10-30 Gen-gen terkait
tumor memiliki perilaku yang dominan, serta mampu mengobarkan (“promotes”)
proses transformasi keganasan. Famili onkogen ras (K-ras, N-ras, H-ras) yang
meng-hasilkan onkoprotein rasP-21 pengikat GTP/GDP akan mengganggu fungsi
regulasi proliferasi dan diferensiasi sel yang normal dengan jalan mentransduksi
sinyal pertumbuhan dari luar sel tanpa henti sehingga terjadi agresifitas
perkembangan neoplasma. Onkogen ras dilaporkan mengalami mutasi noktah
dan produknya diekspresikan secara berlebih pada tumor APP, namun perannya di
dalam tumorigenesis APP belum jelas terungkap. Proto-onkogen c-erbB-2 (Her-
2 / Neu) yang mengkode dan menghasilkan reseptor transmembran (p185) faktor
pertumbuhan putatif dari famili tirosin kinase, dilaporkan diamplifikasi dan
diekspresikan secara berlebih pada tumor APP. Proto-onkogen c-erbB-2 jika
mengalami mutasi akan berubah menjadi onkogen yang diamplifikasikan, dan
produknya berupa glikoprotein transmembran yang berfungsi sebagai reseptor
faktor pertumbuhan dari luar sel akan diekspresikan secara berlebihan dan sel
mudah tersensitasi oleh faktor pertumbuhan, bahkan dalam jumlah faktor
pertumbuhan yang sedikit karena jumlah reseptornya bertambah banyak.
Dampaknya berupa pertumbuhan neoplastik yang agresif, tumor lebih besar,
metastasis ke kelenjar getah bening, dan memburuknya prognosis. Walaupun ada
penelitian menyatakan bahwa ekspresi berlebih C-erbB-2 merupakan indikator
agresifitas APP, namun peneliti lain menyatakan bahwa amplifikasi dan ekspresi
berlebih onkoprotein tersebut secara statistik tidak berasosiasi dengan prognosis
tumor, hanya cenderung berasosiasi dengan metastasis tumor pada kelenjar getah
81
bening regional. Kehilangan fungsi gen-penekan-tumor p-53 (pengatur proliferasi
sel yang normal) yang berlokasi pada kromosom 17p13 pengkode
“Phosphoprotein” BM 53KD, dilaporkan terlibat dalam tumorigenesis kelenjar
liur. Produk gen-penekan-tumor p-53 yang mengalami mutasi, atau tidak bisa
berfungsi karena sebab-sebab non-mutasi, akan menyebabkan tidak terkendalinya
proses proliferasi sel, serta proses transformasi tidak bisa dihambat, sehingga sel
akan berubah menjadi ganas dan imortal. Ekspresi sedang dan tinggi onkoprotein
P-53 mutan merupakan indikator agresifitas klinis yang independen pada
penderita karsinoma parotis.
Informasi molekuler temuan peneliti terdahulu di atas bersifat fragmenter dari
sudut telaah imunoekspresi protein-terkait-tumor tertentu dengan peran dan fungsi
tumorigenesis yang berlainan, juga belum mengungkapkan signifikansi
ekspresinya yang mendasari keberagaman perilaku biologi tumor APP.
Pengkajian komprehensif tingkat imunoekspresi rasP-21, C-erbB-2, dan P-53
pada tumor APP kiranya akan bermanfaat untuk keperluan menetapkan potensi
keganasan tumor APP dalam menjawab ketidak-jelasan signifikansi ekspresinya,
sekaligus menetapkan dasar telaah teoretis penghambatan apoptosis sebagai
komponen penting perkembangan sifat borderline malignancy tumor APP.5
82
2. Pengaruh Ekspresi Onkoprotein RasP-21, C-erbB-2, dan P-53 terhadap
Perkembangan Sifat Borderline Malignancy Tumor APP.5
Imunoekspresi protein terkait tumor rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 yang
berhubungan dengan parameter perkembangan sifat borderline malignancy tumor
APP masing-masing merupakan produk dari gen dengan kategori dan fungsi yang
berlainan.
Onkoprotein rasP-21 dan C-erbB-2 merupakan produk dari kategori gen-gen
pertumbuhan dan proliferasi. Kategori gen pertumbuhan dan proliferasi mencakup
beberapa protoonkogen/onkogen stimulator pertumbuhan dan proliferasi,
sehingga perannya sangat besar dalam perkembangan proses tumorigenesis.
Mutasi noktah pada protoonkogen ras (H-ras, N-ras, K-ras) mengubah sifatnya
menjadi onkogen ras aktif yang menghasilkan onkoprotein rasP-21 mutan dan
berlokasi pada sisi dalam membran plasma, ia berperan mentransduksi sinyal
ekstrasel dan permukaan sel menuju ke efektor intraseluler adenilat-siklase atau
fosfolipase-C. Onkoprotein rasP-21 mutan bersifat meneruskan transduksi sinyal
ekstraseluler tanpa henti, sehingga regulasi proses pertumbuhan sel menjadi
terganggu. Mutasi dan amplifikasi protoonkogen c-erbB-2 akan menyebabkan ia
teraktivasi menjadi onkogen penyebab neoplasma, karena produknya
(onkoprotein C-erbB-2) akan terakumulasi dan diekspresikan secara berlebih.
Onkoprotein C-erbB-2 merupakan suatu glikoprotein transmembran yang
berfungsi sebagai reseptor bagi faktor pertumbuhan ekstraseluler. Akumulasi dan
ekspresi berlebih onkoprotein C-erbB-2 menyebabkan sel menjadi mudah
tersensitasi oleh faktor pertumbuhan karena jumlah reseptor menjadi bertambah
83
banyak, bahkan dalam kondisi jumlah faktor pertumbuhan ekstraseluler yang
sedikit. Protein/fosfoprotein-inti P-53 merupakan produk dari gen p-53 yang
termasuk ke dalam kategori antionkogen/gen penekan kanker (“cancer supressor
genes”). Fungsi utama protein / fosfoprotein inti P-53 tipe “wild” adalah
meregulasi progresi siklus-sel dan respon-respon seluler terhadap kerusakan
DNA, menginisiasi proses replikasi dan perbaikan DNA, serta menginduksi
terselenggaranya proses apoptosis. Transformasi keganasan dan pembentukan
tumor akan dihambat oleh aksi P-53 tipe “wild” yang memiliki kemampuan
menginduksi ekspresi gen inhibitor siklus sel. Timbulnya populasi sel-sel yang
memiliki materi genetik abnormal akan dicegah oleh aksi P-53 tipe “wild” melalui
jalur perbaikan DNA dalam fase G1-S dari siklus-sel. Bila materi genetik
abnormal tidak bisa diperbaiki maka sel akan diinisiasi oleh P-53 tipe “wild”
memasuki jalur apoptosis untuk dihilangkan. P-53 tipe “wild” berfungsi
meregulasi perkembangan siklus-sel melalui mekanisme “check point” dalam fase
G1-S. Kegagalan eliminasi populasi sel-sel yang memiliki materi genetik
abnormal melalui jalur apoptosis menimbulkan proliferasi klon sel transforman
yang mengandung materi genetik abnormal sehingga mampu membentuk klon sel
neoplastik dengan sifat borderline malignancy pada tumor APP jinak. Hilangnya
fungsi P-53 tipe “wild” menekan pertumbuhan neoplastik bisa terjadi karena
berbagai kejadian seluler seperti mutasi gen, pengikatan P-53 oleh protein seluler
lain, atau keluarnya P-53 dari kompartemen inti sel ke sitoplasma sel. Sel-sel yang
mengekspresikan P-53 tipe mutan atau kekurangan P-53 tipe “wild”, tidak
memiliki kemampuan untuk menghentikan perkembangan siklus-sel. Protein P-
84
53 tipe mutan tidak memiliki kemampuan menekan pertumbuhan sel-sel tumor,
tidak memiliki kemampuan menghambat proses transformasi kearah keganasan
dan akan menghambat proses apoptosis. Kemampuan menghambat proses
apoptosis merupakan salah satu sifat karakteristik dari gen p-53 abnormal.
Abnormalitas gen p-53 bisa terjadi karena karena mutasi atau penyebab non-
mutasi. Fosfoprotein P-53 mutan produk dari gen p-53 abnormal tidak mampu
menekan pertumbuhan dan transformasi neoplastik, karena ia tidak mengenali
serta tidak mampu mengikat daerah DNA yang rusak untuk dieliminasi lewat jalur
apoptosis. Dari uraian pembahasan mengenai katagorial gen penekan
pertumbuhan tumor (“cancer supressor genes”) ini, terlihat bahwa gen p-53
penghasil fosfoprotein-inti P-53 tipe “wild” memiliki peran sangat penting dalam
menginisiasi terselenggaranya proses fisiologis kematian sel yang terprogram
(apoptosis).
Telaah regulasi genetik proses apoptosis mutakhir berhasil mengungkapkan
keterlibatan beberapa produk onkogen lain selain gen p-53 dalam proses
pengaturan inisiasi apoptosis. Onkogen yang dimaksud adalah onkogen c-myc
yang fungsi onkogeniknya terselenggara melalui aksinya sebagai aktivator
transkripsi seluler guna mengobarkan proses pertumbuhan sel. Dahulu onkogen c-
myc dianggap bertanggung-jawab terhadap proliferasi neoplastik dan diferensiasi
seluler. Penelitian terhadap sel-sel yang dipacu dengan onkogen c-myc overaktif,
ternyata akan mengalami apoptosis jika lingkungan sel tidak memiliki faktor
pertumbuhan dalam jumlah yang memadai. Fenomena tersebut menunjukkan
bahwa secara normal onkogen c-myc memiliki dua peran yang berlawanan, yaitu
85
selain berfungsi mengobarkan pertumbuhan juga berfungsi menginduksi
penyelenggaraan proses apoptosis. Penelitian terhadap sel-sel yang dipacu dengan
onkogen c-myc overaktif ini, selain berhasil mengungkapkan peran ganda dari
onkogen c-myc juga memberikan informasi lain yang berharga, bahwa faktor-
faktor pertumbuhan ternyata memiliki kemampuan untuk menghambat proses
apoptosis. Tampaknya faktor pertumbuhan mempunyai kemampuan untuk
menyelamatkan sel-sel dari program kematian sel yang fisiologis (apoptosis),
melalui perannya sebagai faktor “survival” sel. Penelitian lain terhadap galur sel
hematopoetik murin yang diiradiasi, menunjukkan aksi kerja-sama antara faktor
pertumbuhan dengan fosfoprotein penekan tumor P-53 dalam menentukan
terselenggara atau tidaknya proses apoptosis. Teramati jika faktor pertumbuhan di
dalam medium kultur dihilangkan maka sel akan cepat mengalami proses
apoptosis, tetapi jika terdapat faktor pertumbuhan di dalam medium kultur dalam
jumlah yang cukup maka proses apoptosis tidak terjadi. Telah diketahui bahwa P-
53 tipe “wild” berfungsi menginisiasi proses apoptosis sel yang mengalami
alterasi DNA oleh radiasi.
Berdasarkan model penelitian di atas terlihat bahwa jika terdapat faktor
pertumbuhan yang cukup di dalam lingkungan sel, maka proses apoptosis yang
seyogyanya diinisiasi oleh P-53 tipe “wild” ternyata tidak terselenggara. Dengan
demikian faktor pertumbuhan memiliki kemampuan untuk menghambat
terselenggaranya proses apoptosis, melalui perannya sebagai faktor “survival”
seluler yang akan menghambat proses transkripsi gen-gen penghenti siklus-sel.
Mekanisme pemanjangan waktu “survival” sel oleh faktor pertumbuhan akan
86
mengekalkan sifat pertumbuhan sel, yang kejadiannya memberi peluang untuk
berkembangnya klon sel-sel neoplastik. Onkoprotein C-erbB-2 mutan dan rasP-
21 mutan yang teramati behubungan dengan parameter klinis dan histopatologis
terkait tumorigenesis serta bermakna prognostik terhadap tumor APP pada
kepustakaan memiliki mekanisme aksi yang serupa dengan faktor pertumbuhan.
Konformasi onkoprotein C-erbB-2 berupa glikoprotein transmembran yang
letaknya menjangkau dan melewati membran plasma berfungsi sebagai reseptor
bagi faktor pertumbuhan dari luar sel. Akumulasi dan ekspresi berlebih
onkoprotein C-erbB-2 akan meningkatkan jumlah reseptor, sehingga sel menjadi
mudah tersensitasi oleh faktor pertumbuhan bahkan dalam keadaan faktor
pertumbuhan ekstraseluler yang sangat sedikit. Akibatnya kecepatan
pertumbuhan sel akan meningkat dengan pesat, sedangkan kecepatan kematian sel
akan menurun. Kondisi akselerasi pertumbuhan sel dengan penurunan kematian
sel berperan mengarahkan perkembangan tumor kearah pertumbuhan neoplastik
yang agresif. Demikian pula dengan onkoprotein rasP-21 mutan yang berlokasi
pada sisi dalam membran plasma, akan meneruskan transduksi sinyal
ekstraseluler tanpa henti, sehingga regulasi proses pertumbuhan sel menjadi
terganggu. Penelaahan kepustakaan terakhir menyatakan bahwa terhambatnya
proses apoptosis merupakan tahapan proses tumorigenesis yang kritis.
Penghambatan proses apoptosis kemungkinan besar terjadi akibat hilangnya
sinyal-sinyal apoptotik / kematian sel fisiologis yang diperlukan. Hal tersebut
bisa terjadi akibat gangguan genetik spesifik yang didapat selama perkembangan
tumor, atau akibat ekspresi abnormal protein protein terkait tumor tertentu yang
87
memiliki fungsi meregulasi progresi siklus sel. Pada kasus tumor APP borderline
malignancy tampaknya imunoekspresi rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 yang berlebih
serempak mengacaukan regulasi perkembangan siklus sel, sehingga mengganggu
pengaturan terhadap sinyal-sinyal yang diperlukan agar proses apoptosis dapat
berlangsung. Kekacauan pengaturan perkembangan siklus sel berperan sebagai
momen penting dalam rangkaian proses apoptosis, karena memberikan situasi
kondisional yang tepat untuk terselenggaranya proses penghambatan proses
apoptosis. Tampaknya antara proses pengendalian perkembangan siklus sel
dengan kecenderungan kejadian apoptosis terdapat hubungan yang erat, dan
keduanya merupakan kesatuan proses yang tidak terpisahkan. Hal tersebut
mengandung makna bahwa produk gen terkait tumor yang berfungsi
mengendalikan perkembangan siklus sel melalui mekanisme “check point” pada
fase G1-S, juga terlibat dalam pengendalian perkembangan proses apoptosis.
Mekanisme “check point” siklus sel akan berfungsi sebagai alat pengawas untuk
mendeteksi kerusakan DNA serta jalur transduksi sinyal yang akan meneruskan
dan memperkuat sinyal-sinyal mekanisme replikasi dan segregasi DNA, serta
sinyal aktivitas reparasi seluler. Hilangnya mekanisme pengendalian “check
point” siklus sel dan mekanisme perkaikan DNA, menyebabkan replikasikasi
DNA rusak serta menyebabkan ketidak-stabilan genom.
Berdasarkan uraian diatas dapat diasumsikan beberapa peran dari ekspresi
berlebih rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 pada perkembangan sifat borderline
malignancy tumor APP sebagai berikut: ekspresi berlebih rasP-21, C-erbB-2, dan
P-53 akan menyebabkan ketidak-tepatan regulasi perkembangan siklus sel,
88
akibatnya terjadi kekacauan pengaturan sinyal-sinyal inisiator apoptosis, sehingga
perkembangan apoptosis menjadi terhambat dan terjadi perkembangan klon-klon
sel APP neoplastik yang membawa sifat borderline malignancy.
Penghambatan apoptosis terselenggara melalui beberapa tahap mekanisme aksi.
Perkembangan awal sifat borderline malignancy tumor APP APP melibatkan dua
kategori protein terkait tumor yang memiliki fungsi berbeda, yaitu
protein(fosfoprotein) penekan tumor P-53 dan onkoprotein rasP-21. Protein-
penekan-tumor P-53 yang terlibat pada pengobaran sifat borderline malignancy
tumor APP yang diteliti adalah P-53 tipe mutan dan P-53 tipe “wild” yang
terakumulasi secara berlebihan dalam inti dan sitoplasma sel. Peninggian level
protein P-53 tipe “wild” di dalam inti atau sitoplasma sel timbul akibat
modifikasi/perubahan konformasi protein P-53 pascatranslasi yang akan
menyebabkan proses stabilisasi protein, terjadi peningkatan “half life” protein P-
53 tipe “wild” sehingga terakumulasikan secara berlebih. Kehilangan fungsi
normal protein P-53 tipe “wild” dapat terjadi karena penyebab mutasi dan non-
mutasi. Penyebab mutasi terbanyak berupa “missense point mutation”
konformasi domain sentral strutur gen p-53, menyebabkan dihasilkannya protein
P-53 mutan yang tidak memiliki fungsi aktivitas anti-proliferasi karena tidak bisa
mengendalikan progresi siklus sel dan menghambat proses apoptosis. Penyebab
nonmutasi kehilangan fungsi protein P-53 tipe “wild” antara lain adalah karena ia
berikatan dengan protein seluler lainnya (protein E-6 atau MDM2) yang akan
mengubah konformasi struktur protein P-53 tipe “wild” sehingga ia tidak bisa
menempati lokasi “P-53 binding site” pada genom, akibatnya proses aktivasi dan
89
transkripsi gen-gen penghambat pertumbuhan yang seharusnya diinduksi oleh
level protein P-53 tipe “wild” tidak terlaksana; atau terjadi modifikasi dan
stabilisasi pasca translasi protein P-53 yang diikuti oleh
sekuesterisasi/pengeluaran protein P-53 tipe “wild” dari dalam inti ke sitoplasma,
sehingga protein P-53 tipe “wild” tidak bisa melaksanakan fungsi normalnya yaitu
menghambat pertumbuhan. Protein(Fosfoprotein) P-53 mutan dan tipe “wild”
yang tidak berfungsi normal tidak memiliki kemampuan untuk membangkitkan
pembentukan sinyal-sinyal penghenti siklus sel pada fase G1 (“G1 arrest”).
Malahan mereka akan menginduksi pengelakkan dari mekanisme “check point”
saat memasuki siklus sel, serta akan menghambat proses eliminasi kerusakan
DNA pada genom melalui jalur apoptosis (kematian sel fisiologis yang
terprogram). Selain itu mereka juga akan meningkatkan ketidak-stabilan genom
dan mengobarkan amplifikasi gen yang abnormal.
Selain hal-hal di atas, P-53 tipe mutan dan tipe “wild” yang tidak berfungsi
normal kehilangan kemampuan sebagai sensor molekuler mendeteksi kelainan
genetik/ DNA yang terdapat pada genom sel. Seperti telah dibahas bahwa P-53
mutan dan “wild” tidak bisa berikatan dengan “binding site”-nya mereka
90
Ekspresi berlebih P-53 Sumber: arsip pribadi
kehilangan kemampuan mekanisme “check point”. Demikian pula dengan
onkoprotein rasP-21 mutan mengobarkan sifat borderline malignancy tumor APP
melalui mekanisme yang serupa. Onkoprotein rasP-21 mutan memiliki sifat
meneruskan transduksi sinyal-sinyal dari luar sel, terutama sinyal-sinyal
pertumbuhan ekstrasel menuju ke efektornya dalam inti sel. Onkoprotein rasP-21
mutan akan mengobarkan proses tumorigenesis melalui kemampuan yang
dimilikinya meneruskan transduksi sinyal-sinyal pertumbuhan ekstraseluler secara
terus-menerus tanpa henti.
Mekanisme transduksi sinyal pertumbuhan tanpa henti oleh onkoprotein rasP-21
mutan akhirnya akan mengganggu kerja normal dari protein-penekan-tumor P-53
tipe “wild” untuk menghentikan progresi siklus sel. Akibatnya adalah
terhambatnya penyelenggaraan proses apoptosis yang ditujukan untuk
menghilangkan materi genetik abnormal. Tampaknya kelangsungan mekanisme
aksi pengobaran tumo-rigenesis dan sifat borderline malignancy tumor APP oleh
onkoprotein rasP-21 mutan adalah melengkapi aksi P-53 mutan dalam
menghambat proses apoptosis, yaitu memperberat aksi dengan mentransduksi
91
Ekspresi berlebih RasP-21 Sumber: arsip pribadi
sinyal pertumbuhan tanpa henti. Aksi sinergistik protein(fosfoprotein) P-53 tipe
mutan, P-53 tipe “wild” yang tidak berfungsi normal, onkoprotein rasP-21 mutan
dalam menghambat perkembangan proses apoptosis, bertanggung-jawab terhadap
proses awal pengobaran sifat borderline malignancy tumor APP. Karena
mekanisme apoptosis telah terhambat maka dampak langsungnya adalah
peningkatan drastis proliferasi seluler. Selain itu, jika selama perkembangan
pembentukan tumor terjadi keabnormalan genetik pada klon sel-sel APP tertentu,
maka terhambatnya proses apoptosis akan menyelamatkan kerusakan yang
terdapat dalam genom klon sel dan terjadi replikasi cetakan DNA (Templates) sel-
sel APP yang mengandung untaian DNA abnormal.
Perkembangan lanjut sifat borderline malignancy tumor APP melibatkan P-53 tipe
mutan dan melibatkan onkogen C-erbB-2 mutan.
Pada hewan coba teramati jika proto-onkogen c-erbB-2 mengalami mutasi noktah
(“single point muations”) ia berubah menjadi onkogen c-erbB-2 aktif yang
menye-babkan ekspresi berlebih onkoprotein C-erbB-2 mutan. Pada manusia
ekspresi berlebih onkoprotein C-erbB-2 mutan terjadi bukan karena mutasi noktah
92
Ekspresi berlebih protein C-erbB-2
Sumber: arsip pribadi
yang diikuti amplifikasi produk onkoprotein pascatranslasi. Pada tumor payudara
dan tumor APP jinak dan ganas, positifitas pulasan imnohistokimia C-erbB-2
berkorelasi dengan amplifikasi gen penyandi dan jenis mutasinya. Onkoprotein
C-erbB-2 mutan berperan sebagai reseptor faktor pertumbuhan dan memiliki
aktifitas tirosin kinase. Akumulasi dan ekspresi berlebih C-erbB-2 mutan akan
meningkatkan jumlah reseptor sehingga sel mudah tersensitasi oleh faktor
pertumbuhan, bahkan dalam kondisi faktor pertumbuhan ekstraseluler yang
sedikit. Amplifikasi onkoprotein C-erbB-2 mutan mengacaukan regulasi
sinyal-sinyal siklus sel dan menghambat sinyal apoptotik P-53 tipe “wild”
menyebabkan proses apoptosis tidak berjalan. Sebagai reseptor faktor
pertumbuhan, C-erbB-2 mutan memacu perkembangan siklus sel dibantu “ligand”
protein gp30/EGF dan TGF-. Kecepatan pertumbuhan sel tumor yang
meningkat dengan pesat tanpa dikuti kematian sel tumor mengarahkan
perkembangan progresifitas tumor APP kearah borderline malignancy dan
resisten terhadap terapi (kemoterapi dan radioterapi).
Syawqie mengamati korelasi tingkat, sifat, dan pola ekspresi rasP-21, C-erbB-2,
dan P-53 dengan tahapan tumorigenesis APP, dan menemukan fakta berikut:5
Tingkat imunoekspresi rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 yang fokal
menggambarkan keterlibatan awal protein-terkait-tumor dalam tahapan proses
tumorigenesis karena melibatkan positifitas < 20 % populasi sel tumor APP;
sedangkan tingkat imunoekspresi berlebih rasP-21, C-erbB-2, P-53 yang
heterogen dan difus menggambarkan keterlibatan lanjut tahapan proses
93
tumorigenesis APP karena melibatkan > 20 % populasi sel tumor APP yang
mengekspresikannya.
Sifat pulasan rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 yang granuler berhubungan dengan
keterlibatan awal dalam rangkaian tahapan proses tumorigenesis APP, karena
menggambarkan tahap awal akumulasi kandungan protein terkait tumor; se-
dangkan sifat pulasan rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 yang homogen
berhubungan dengan keterlibatan lanjut dalam rangkaian tahapan proses
tumorigenesis APP karena memperlihatkan banyaknya akumulasi kandungan
protein yang proses akumulasinya berjalan seiring waktu dan mutasi yang
terjadi.
Teramatinya pola-pulasan P-53 pada inti dan sitoplasma sel-sel tumor APP
jinak menggambarkan intensitas keterlibatan P-53, karena ia bekerja ganda
melalui dua kompartemen aksi yang berbeda yaitu inti sel dan sitoplasma.
.
94
Lokalisasi ekspresi berlebih P-53 pada Inti & Sitoplasma sel Tumor APP
Sumber: arsip pribadi
Teramati lokasi pulasan imunohistikimia C-erbB-2 pada apikal sel
berhubungan dengan agresifitas klinis tumor APP seperti tingginya proliferasi,
progresif, lokal ekspansif, metastasis ke KGB regional; yang secara
keseluruhan merupakan bukti keterlibatan lanjut C-erbB-2 dalam
perkembangan sifat borderline malignancy tumor APP.
Ekspresi berlebih rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 teramati pada sub tipe histologi
komponen jaringan tumor APP jinak dengan perilaku biologi heterogen (rekuren
menjadi ganas, lokal invasif, metastasis), sehingga Syawqie menyatakan ekspresi-
berlebih rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 mutan merupakan komponen penting proses
perkembangan sifat bordeline malignancy dalam tumorigenesis tumor APP.5
95
Lokasi Ekspresi-berlebih C-erbB-2 pada apeks (apikal) Sel tumor APP
Sumber: arsip pribadi
96
Ekspresi-berlebih RasP-21 Mutan: >20% populasi sel-sel tumor APP mengekspresi-kan onkoprotein RasP-21 mutan di dalam sitoplasma selnya.
Ekspresi berlebih C-erbB-2 Mutan: >20% populasi sel tumor APP mengekspresikan onkoprotein C-erbB-2 mutan di membran dan sitoplasma sel. Sumber: arsip pribadi.
Ekspresi-berlebih P-53 Mutan dan wild type: >20% populasi sel tumor APP meng-ekspresikan onkoprotein P-53 mutan dan wild type di dalam inti dan beberapa di sitoplasma sel. Sumber:
RANGKUMAN
Adenoma pleomorfik adalah tumor jinak yang umum terjadi pada kelenjar liur,
sering mengenai kelenjar liur mayor parotis wanita dekade umur ke-IV, serta laki-
laki muda dan lanjut usia. Kapsul pembungkus yang membatasi tumor APP (APP)
tampak jelas dan tegas, tetapi terdapat kecenderungan perluasan massa tumor
menonjol ke jaringan kelenjar liur normal disekitar massa tumor. Adakalanya pola
histologi tumor APP sangat seluler, dan massa tumor terlihat sering menembus
kapsul, sehingga tumor jinak ini kadang salah didiagnosis secara histopatologi
sebagai karsinoma.
Semenjak tumor adenoma pleomorfik diperkenalkan pertama kali oleh Billroth
pada tahun 1859 sebagai suatu tumor yang mengandung 4 macam jaringan
berbeda, klinisi dan ahli patologi hingga sekarang kerap dibingungkan oleh
perilaku biologi tumor yang beragam terutama pada tumor-tumor yang mengenai
kelenjar liur mayor parotis (APP). Selain APP sering rekuren setelah dioperasi
(rekurensi multipel), bisa berubah menjadi ganas, juga kadang-kadang mampu
melakukan metastasis lokal ke KGB atau jauh ke organ lain, walaupun gambaran
histologi tumor tampak jinak. Karena keunikan perilaku biologinya tersebut,
terapi bedah APP biasanya berupa bedah radikal, yang menimbulkan dampak
berkurangnya sensasi fasial, menurunnya produksi saliva, gangguan kosmetik,
serta terjadinya sindroma Frey.
Variabilitas manifestasi klinik dan histopatologi APP, menimbulkan permasalahan
sukarnya menentukan klasifikasi tumor serta meramalkan perilaku biologi tumor.
97
Kriteria gambaran keganasan / atipia morfologi histopatologi tidak bisa dipakai
sebagai acuan parameter prediksi potensi keganasan APP yang tampaknya
memiliki sifat “borderline malignancy”. Sehingga untuk menegakkan diagnosis
patologi anatomi yang tepat sebagai dasar untuk pengelolaan klinik yang efektif
dan efisien diperlukan dukungan piranti lain, selain parameter prediksi potensi
keganasan berdasarkan gambaran keganasan / atipia morfologi histopatologi.
Laporan penelitian terakhir mengkorelasikan tumorigenesis APP dengan aktivasi
atau tingkat-ekspresi onkogen myc, ras, c-erbB-2, gen anti-apoptosis bcl-2, atau
dengan gen penekan-tumor p-53. Ekspresi gen-gen terkait-tumor tersebut dalam
bidang kegiatan diagnostik patologi anatomi diperiksa dengan metode
imunohistokimia yang bersifat sensitif, spesifik, cepat pengerjaannya, serta dapat
dilakukan bersamaan dengan prosedur diagnosis PA rutin sehari-hari terhadap
jaringan tumor yang dipendam dalam parafin. Famili onkogen ras penghasil rasP-
21 regulator transduksi sinyal ekstraseluler, diekspresikan secara berlebih pada
tumor APP, namun perannya belum jelas terungkap. Onkogen c-erbB-2 pengkode
reseptor faktor pertumbuhan transmembran famili tirosinkinase dilaporkan
diamplifikasikan dan diekspresikan berlebih pada karsinoma parotis. Gen
penekan-tumor p-53 yang bekerja di dalam inti sel dan mutasi yang mengenainya
bertanggung-jawab terhadap tidak terkendalinya proliferasi sel dan transformasi
ke-ganasan, dilaporkan terlibat pada onkogenesis tumor kelenjar liur, dan ekspresi
onko-proteinnya berperan sebagai indikator agresifitas klinis penderita karsinoma
parotis.
98
Informasi molekuler mengenai tumorigenesis dan agresifitas/keganasan tumor
APP diatas bersifat fragmenter dari sudut telaah imunoekspresi onkoprotein
tertentu dengan peran dan fungsi tumorigenesis berlainan, serta belum
mengungkap kemaknaan ekspresi yang menjadi dasar dari keberagaman perilaku
biologi tumor. Masalah yang belum terjawab adalah apakah ekspresi-berlebih
RasP-21, C-erbB-2, dan P-53 berhubungan dengan perkembangan perilaku
biologis tumor APP yang bersifat “borderline malignancy”, sukar diprediksi sifat
dan potensi keganasannya.
Secara empiris terungkap rangkaian tingkat imunoekspresi rasP-21, C-erbB-2, dan
P-53 secara keseluruhan merupakan komponen kritis tumorigenesis dan
perkembangan sifat borderline malignancy tumor APP akibat terhambatnya
proses apoptosis penyebab timbulnya keberagaman perilaku biologi tumor.
Timbul dugaan bahwa rasP-21 lebih berperan pada tahap awal perkembangan sifat
borderline maalignancy tumor APP. Tahap lanjut perkembangan borderline
malignancy tumor APP dikobarkan oleh protein rasp-21. Tetapi dengan
mempertimbangkan peran langsung P-53 sebagai inisiator penghambat proses
apoptosis, tampaknya P-53 memiliki peran yang besar dalam tahap awal
pengobaran proses tumorigenesis APP bersama-sama dengan rasP-21.
Tampaknya keberagaman perilaku biologi APP yang tercermin dengan sukarnya
menetapkan sifat keganasan tumor sangat kuat disebabkan oleh tingkat ekspresi
P-53, C-erbB-2, dan rasP-21 yang berlebih pada komponen epitel basal
tubuloduktal, jalinan sel-sel ovoid-basaloid-spindel jaringan kelenjar liur, serta
99
sel-sel epitelial komponen miksokondroid tumor APP jinak, yang masing-masing
merupakan sub-sub-tipe histologi yang kemungkinan memiliki perilaku biologi
yang berbeda. Positifitas P-53 dan C-erbB-2 diperlihatkan oleh komponen-
komponen epitelial, sehingga ekspresi kedua onkoprotein tampaknya berperan
selama evolusi klonal APP yang kemungkinan besar berasal dari sel-sel epitel
tubuloduktal.
Tidak dapat dipergunakannya kriteria gambaran morfologi histopatologi sebagai
indikator peramal keberagaman perilaku biologi tercermin melalui temuan-
temuan histopatologi APP pada penelitian Syawqie. Hampir semua tumor APP
jinak yang diamatinya memperlihatkan gambaran susunan campuran jaringan
epitelial dan mesenkimal dengan proporsi yang bervariasi. Pada beberapa kasus
ditemukan terdapatnya pulau-pulau sel skuamosa yang berdiferensiasi baik,
mengandung rongga kistik berisi keratin, dan tampak dikelilingi oleh jaringan
miksoid. Pada kasus lain teramati adanya struktur sel-sel luminal yang
dikelilingi oleh sel-sel jernih yang mengingatkan kepada gambaran dari
karsinoma epitelial-mioepitelial. Salah satu kasus APP seluler yang tersusun oleh
sel-sel spindel, memperlihatkan susunan inti berbentuk palisade yang dikelilingi
oleh material amorf eosinofilik, sehingga mengingatkan kepada gambaran
Schwannoma. Kebanyakan kasus APP jinak yang diamati memiliki daerah-daerah
miksokondroid yang terdiri dari anyaman pita sel epitelial (kumpulan sel epitelial
berbentuk pita) terletak pada matriks kondroid yang mengandung duktus-duktus
kecil. Banyak pula teramati kasus APP yang mengandung deposit-deposit
material hialin, baik dalam jumlah sedikit di daerah interseluler maupun dalam
100
jumlah yang banyak memenuhi hampir seluruh jaringan tumor berupa massa
fibrotik. Seluruh kasus APP jinak yang ditelaah pada penelitian Syawqie tidak
satupun memperlihatkan terdapatnya tanda-tanda keganasan. Pada kasus APP
yang sangat/hiperseluler tidak memperlihatkan gambaran sitomorfologi abnormal
seperti mitosis yang abnormal. Terdapatnya massa tumor di daerah kapsul (salah
satu kriteria keganasan tumor) teramati pada satu kasus penelitian syawqie,
namun massa tumornya tidak memperlihatkan gambaran atipia sitomorfologi,
intinya tidak membesar, tidak hiperkromatik, dan mitosis abnormal tidak
ditemukan. Sehingga petanda hiperselularitas dan invasi kapsuler bukan
merupakan petanda keganasan APP jinak, karena seperti terungkap pada beberapa
kasus yang diteliti tidak memperlihatkan tanda-tanda gambaran sitomorfologi
yang atipik. Mengingat ekspresi rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 kasus APP memiliki
tingkat imunoekspresi negatif sampai difus yang diketahui berkaitan dengan
tumorigenesis dan agresifitas tumor, maka terbukti bahwa kriteria morfologi
histopatologi tidak bisa dipakai untuk meramalkan potensi keganasan tumor APP.
Temuan Syawqie ini memberikan peringatan bahwa kasus APP yang
histopatologi dan kliniknya jinak tetapi dengan tingkat ekspresi rasP-21, C-erbB-
2, dan P-53 berlebih, memiliki potensi yang besar untuk berkembang sifat
“borderline malignancy”-nya.
Dampak positif dari deteksi awal potensi keganasan tumor APP yang terlihat jinak
secara histologi dan klinik adalah pengelolaan terapi tumor menjadi lebih tepat
dengan dampak yang minimal, sehingga dengan tercapainya ketepatan terapi
maka diharapkan prognosis tumor akan menjadi lebih baik.
101
PENUTUP
Tumorigenesis, perkembangan sifat borderline malignancy, dan keberagaman
perilaku biologi tumor adenoma pleomorfik kelenjar liur parotis timbul karena
rangkaian ekspresi berlebih RasP-21, C-erbB-2, dan P-53 menghambat
terselenggaranya proses apoptosis, melalui mekanisme pengacauan regulasi sinyal
siklus sel dan inisiasi apoptosis, sehingga penekanan pertumbuhan neoplastik
tidak berjalan dan timbul keberagaman perilaku biologi tumor.
Tahap awal tumorigenesis perkembangan borderline malignancy, dan
keberagaman perilaku biologis tumor adenoma pleomorfik kelenjar parotis
dikobarkan oleh eks-presi-berlebih RasP-21 dan P-53; sedangkan perkembangan
lanjut tumorigenesis, perkembangan borderline malignancy, dan keberagaman
perilaku biologis tumor dikobarkan oleh P-53 dan C-erbB-2.
Pemeriksaan imunoekspresi berlebih RasP-21, C-erbB-2, dan P-53 andal berperan
sebagai indikator prediksi potensi keganasan tumor adenoma pleomorfik kelenjar
liur parotis yang bersifat “borderline malignancy”, serta dapat meramalkan
peningkatan peluang resiko keganasan tumor adenoma pleomorfik kelenjar liur
parotis yang terjadi seiring peninggian tingkat imunoekspresi RasP-21, C-erbB-2,
dan P-53.
Selayaknya Klinisi dan Ahli Patologi melaksanakan prosedur pemeriksaan
imunohistokimia terhadap ekspresi RasP-21, C-erbB-2, dan P-53 bersamaan
dengan pemeriksaan histopatologi secara rutin untuk kasus-kasus tumor adenoma
pleomorfik kelenjar liur parotis yang dicurigai bersifat “borderline malignancy”,
102
sehingga probabilitas diagnosis klinis dan histopatologis dalam menetapkan
potensi keganasan tumor APP menjadi meningkat.
Menyarankan klinisi menghindari pemakaian kemoterapi dan radioterapi terhadap
kasus tumor adenoma pleomorfik kelenjar liur parotis yang memperlihatkan hasil
pemeriksaan tingkat imunoekspresi P-53, C-erbB-2, dan rasP-21 yang berlebih
(“overexpression”), karena selain tumor tersebut bersifat resisten juga kemoterapi
dan radioterapi akan memperberat alterasi genetik keganasan yang terdapat.
Menggugah minat Klinisi Bedah untuk mengembangkan dan mengevaluasi
kemanjuran suatu teknik operasi tumor adenoma pleomorfik kelenjar liur parotis
konserpatif yang bersifat mampu meminimalkan rekurensi tumor, kerusakan
nervus fasialis, dan insidensi sindroma Frey pasca operasi.
Meneliti lebih jauh korelasi ekspresi berlebih RasP-21, C-erbB-2, dan P-53
dengan mutasi genetik yang mendasarinya memakai teknik genetika mutakhir
dalam rangka menggali konfirmasi dasar telaah molekuler penyebab timbulnya
keberagaman perilaku biologi tumor APP secara lebih valid.
103
DAFTAR PUSTAKA
1. Rosai,J. Ackerman’s Surgical Pathology. Vol.1. 7thed. 1989. The CV Mosby
Co. St. Louis,Toronto,Washington DC. pp.642-7.
2. Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17:
Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996.
Washington D.C. pp.1-57,228-51.
3. Sunardhi-Widyaputra,S. Immunohistochemical studies on pleomorphic
adenoma of the salivary gland. Thesis. 1995. Katholieke Universiteit Leuven.
Belgium.
4. Thackray AC, Lucas RB. Tumors of the major salivary glands. Atlas of tumor
Pathology. 2nd series. Fasicle 10. 1974.Washington D.C.: Armed Forces
Institute of Pathology. Hal125-6.
5. Syawqie A. Kaitan tingkat imunoekspresi rasP-21, C-erbB-2, dan p-53 dengan
patogenesis dan potensi keganasan tumor adenoma pleomorfik kelenjar
parotis. Disertasi. PPS UNPAD.1998. Bandung. Hal:14-62.
6. Martinez-Madrigal F, Micheau C. Histology of the major salivary glands.
Am.J.Surg.Pathol.1989. 13(10):879 – 899.
7. Leong,AS-Y, Robbins P, Spagnolo DV. Relevance and detection system of
tumor genes and their proteins in cytologic and surgical specimens. Jakarta
international cancer conference. 1995.
8. Evan GI, Wyllie AH, Gilbert CS. Induction of apoptosis in fibroblast by c-
myc protein. Cell1992. 69:119-28.
104
9. Sentman CL, Shutter JR, Hockenberry D, Kanagawa O, Korsmeyer SJ. bcl-2
inhibits multiple forms of apoptosis but not negative selection in thymocytes.
Cell.1994. 67: 879-88.
10. Kastan MB, Canman CE, Leonard CJ. P53, cell cycle control and apoptosis:
implication for cancer. Cancer and Metastatic Review. 1995. 14: 3-15.
11. Matsuda H, Konishi N, Hiasa Y. Alterations of p16/CDKN2, p53 and ras
genes in oral squamous cell carcinomas and premalignant lessions.
J.OralPathol.Med.1996. 25: 232 – 8.
12. Okutsu S, Takeda A, Suzuki T. Expression of rasP-21 and ras gene alteration
in pleomorphic adenomas. J.Nihon univ.Sch.Dent.1993. 35: 200-3.
13. Milasin J, Pujic N, Dedovic N. H-ras gene mutations in salivary gland
pleomorphic adenomas. Int.J.OralMaxillofac.1993. 22: 359 - 61.
14. Muller S, Vigneswaran N, Gansler T, Gramlich T, deRose PB, Cohen C. c-
erbB-2 oncoprotein expression and amplification in pelomorphic adenoma and
carcinoma ex-pleomorphic adenoma: a relationship to prognosis. Modern
Pathology.1994. 7(6): 628-31.
15. SuganoS, Mukai K, Tsuda H. Immunohistochemical study of c-erbB-2
oncoprotein expression in human major salivary gland carcinoma: an indicator
of aggresiveness. Laryngoscope.1992. Aug. 102: 923-7.
16. Montenarth M. Biochemical, immunological, and functional aspects of the
growth-suppressor/oncoprotein p53. Crit.Rev.Oncogenesis.1992. 3:233 – 56.
17. Levine AJ, Chang A, Dittmer D. The p-53 tumor supressor gene.
J.Lab.Clin.Med.1994. 123: 817–23.
105
18. Robbins P. p-53 and breast cancer. Int.J.Surg.Pathol.1996. 4(2): 93-110.
19. Gallo O, Franchi A, Bianchi S, Boddi V, Giannelli E, Alajmo E. p53
oncoprotein expression in parotid gland carcinoma is associated with clinical
outcome. Cancer.75. 1995: 2037-44.
20. Zambetti GP, Bargonetti J, Walker K, Prives C, Levine AJ. Wildtype p-53
mediates positive regulation of gene expression through a spesific DNA
sequence element. Genes.Dev.1992. 6:1143–52.
21. Cummings MC, Winterford CM, Walker NI. Apoptosis.
Am.J.Surg.Pathol.1997. 2(1):88-101.
22. Majno G, Joris I. Apoptosis, oncosis, and necrosis. An overview of cell death.
Am.J.Pathol.1995. 146(1):3–15.
106
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Prof. Dr. Achmad S.Y. Mukawi, Drg., M.S.
Tempat dan Tanggal Lahir : Bandung, 7 Desember 1959.
Alamat Tempat Tinggal : Jln. Cigadung Asri Raya No. 2, Komplek UNPAD Cigadung Asri, Rancakendal, Cigadung Raya Barat, Bandung-40132.
Jenis Kelamin : Pria.
Agama : Islam.Isteri : Mira Miradewi, Drg.Anak :
1. Mirsya Muhammad Rizky (21 tahun).2. Mirsya Muhammad Ibrahim (16 tahun).3. Zahra Cintana (14 tahun).
Riwayat Pendidikan :
1. Doktor dalam Ilmu Kedokteran (Program Pascasarjana UNPAD – Kobe University, 1998).2. Magister Sain Ilmu Kedokteran Dasar, BKU Patobiologi (Prog.Pascasarjana UNPAD,
1992). 3. Ijazah Dokter Gigi (Fakultas Kedokteran Gigi UNPAD, 1986).4. Ijazah Sarjana Kedokteran Gigi (Fakultas Kedokteran Gigi UNPAD, 1984).
Pendidikan Tambahan :
1. Sertifikat, Kursus Polymerase Chain Reaction (Lab. Bioteknologi R.S. Rajawali, Bandung 1995).
2. Sertifikat, Kursus Komputasi Statistika Deskriptif (Unit Penelitian F.K. UNPAD, Bandung 1992).
3. Sertifikat, Kursus Singkat Genetic Engineering (PAU Bioteknologi ITB, Bandung 1989).4. Sertifikat, Pelatihan Microtome and Tissue Processor (World Bank – DEPKES, Bandung,
1989).5. Sertifikat, Kursus Mikrofotografi Medik (Bagian P.A. F.K. UNPAD, Bandung, 1989). 6. Sertifikat, Kursus Singkat Tissue Culture (PAU Bioteknologi UGM, Yogyakarta,1988).
Riwayat Pekerjaan :
A. Riwayat Kepangkatan :1. Guru Besar, Pembina Utama, IV/e, dalam proses pengusulan di UNPAD sejak April
2010.2. Guru Besar, Pembina Utama Madya, IV/d, Keputusan Presiden No 83/K 2007, 11 Juni
2007.3. GuruBesar, Pembina Utama Muda, IV/c, Keputusan Pres.No.119/K2005, 5 September
2005. 4. Guru Besar, Pembina Tk.I, IV/b, SK Mendiknas No.36645/A2.7/KP/ 2004, 1 Oktober
2004.
107
5. Lektor Kepala, Pembina Tk.I, IV/b, SK Mendiknas No: 26513/A2.7/KP/20003, 1 April 2003.
6. Lektor Kepala, Pembina, IV/a, SK Mendiknas No : 70628/ A2.III1/KP/ 2001, 1 Januari 2001.
7. Lektor Kepala Madya, Penata Tk.I, III/d, SK Mendiknas No: 70627/A2.III.1/KP/2001, 1 Agst 97.
8. Lektor Muda, Penata, III/c, SK Mendikbud No: 225/J06/ Kep/KP/97, 1 Juni 1994.9. Asisten Ahli, Penata Muda Tk.I, III/b, SK Mendikbud No: 736/ PT 06.H15/ C / 92, 1
Okt.1991.10. Asisten Ahli Madya, Penata Muda, III/a, SK Mendikbud No: 784/PT06.H/C/89, 1
Des.1989.
B. Riwayat Jabatan :1. Ketua, Ikatan Spesialis Patologi Mulut dan Maksilofasial Indonesia, 2008 – sekarang.2. Reviewer, Indian Journal of Maxillofacial & Oral surgery, India, 2007 – 2010.3. PLH Ketua, Yayasan Bina Dharma Padjadjaran – UNPAD. 2006 .4. Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi, Bagian Patologi Anatomi FKUP/R.S.
Perjan dr.Hasan Sadikin dan Bagian Biologi Oral FKGUP/R.S. Gigi&Mulut, sejak 2004.
5. Pembantu Dekan III, Bidang Kemahasiswaan, FKG UNPAD, 1 April 2003 – 1 Mei 2007.
6. Pembantu Dekan III, Bidang Kemahasiswaan, FKG UNPAD, 1997 – 2003.
7. Bendahara, UPT Layanan Informasi dan Pengembangan Teknologi UNPAD, 2003 – 2005.8. Kepala Instalasi, Laboratorium Klinik, Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM), FKG UNPAD, 2003–
2006.9. Ka.Div. Tri-Dharma Perguruan Tinggi, Perkumpulan Bina Dharma Padjadjaran UNPAD, 2002- 2005.10. Liason Officer, Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL), 2001 –
2004.11. Koordinator S2, Ilmu Kedokteran Dasar / BKU Patobiologi, Bag. P.A. F.K. UNPAD, 2000 – 2006.12. Kepala Laboratorium Ekotoksikologi, PPSDAL UNPAD, 1998 –
2001.13. Ka.Bid. Penunjang Medis, UPT Pelayanan Kesehatan UNPAD,1997-
2000.14. Kepala Bidang Pengadaan, Rumah Sakit ASSADYRA-UNPAD, 1997-
1998.
C. Keanggotaan dalam Organisasi :1. Organisasi Sosial Kemasyarakatan : Korps Pegawai Republik Indonesia.2. Organisasi Profesi :
(1) Persatuan Dokter Gigi Indonersia (PDGI).
(2) Ikatan Akhli Patologi Indonesia (IAPI).
(3) Asian Association of Oral and Maxillofacial Surgeons / AOMS.
(4) Ikatan Spesialis Patologi Mulut dan Maksilofasial Indonesia (ISPaMMI).
D. Pengalaman dalam Organisasi :1. Ketua Umum Ikatan Spesialis Patologi Mulut dan Maksilofasial Indonesia, 2008 –
sekarang.
108
2. Koordinator Pengabdian Pada Masyarakat IKA UNPAD, 2001-2003.3. Ketua I, Persatuan Dokter Gigi Indonesia Cabang Bandung, 1999-2001.4. Koordinator-Sektor, UMPTN 1997/1998 s/d 2001/2002, Rayon A Lokal
Bandung.5. Tim Satgas Pembebasan Aset UNPAD di Kota Bandung yang di ruislag.
Piagam Penghargaan :
1. Satya Karya Bhakti Kelas 2 Universitas Padjadjaran/UNPAD (2004).2. Pengabdian kepada Universitas Padjadjaran sebagai PD III (2003).3. Dosen Teladan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1998).4. Dosen Teladan Universitas Padjadjaran (1998).5. Karya Ilmiah Terbaik Universitas Padjadjaran (1998).6. Finalis Nasional “Peneliti Muda Indonesia” (Menristek–LIPI–TVRI, 1993).
Kegiatan Lain-Lain :
Mengikuti seminar, kongres, simposium, dan lokakarya pada forum nasional, regional, dan internasional sejak 1988 – sekarang.
Mata Kuliah dan Praktikum yang diampu :
1. Pada starata pendidikan Sarjana : (1) Patologi Umum; (2) Patologi Mulut dan Maksilofasial; (3) Biologi Oral; (4) Dental Science Program IV.
2. Pada strata pendidikan Magister dan Spesialis : (1) Patologi Umum; (2) Sitopato-logi dan Imunopatologi Dasar; (3) Sitopatologi dan Imunopatologi Terapan; (4) Sistem Imun Jaringan Periodontal; (5) Kesehatan Lingkungan dan Keselamatan Kerja; serta (6) Rehabilitasi kelainan kongenital dan cacat bawaan.
3. Pada strata pendidikan Doktor : (1) Dasar-dasar Patobiologi Molekuler; (2) Patobiologi untuk Kedokteran Gigi; (3) Imunohistokimia Kedokteran Gigi.
Jumlah Publikasi Karya Ilmiah dan Buku :
20 Makalah laporan Penelitian dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Nasional 1 Makalah Laporan Penelitian dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Internasional 2 Buku Ajar : Diktat Patologi Umum dan Patologi Mulut. 2 Buku Penuntun Praktikum : “Penuntun Praktikum Patologi Umum” dan “Labb
Skill for General Pathology”. 1 Buku Ilmiah (program Pasca Sarjana UNPAD), dan 1 Buku teks Adenoma Pleomorfik untuk rencana diterbitkan tahun 2011.
Jumlah Karya Ilmiah yang tidak dipublikasikan :
37 makalah Tinjauan Pustaka dan 2 makalah Laporan Penelitian.
109
Daftar Karya Ilmiah yang dipublikasikan pada Jurnal Nasional dan Internasional :
1. Kultur Jaringan (Tissue culture) : Jurnal Kedokteran Gigi Persatuan Dokter Gigi Indonesia
(PDGI), Nomor 56, Halaman 50 - 5, Jakarta, Desember, 1989.
2. Isolasi dan purifikasi DNA sel bakteri pada rekayasa genetika, Jurnal Kedokteran Gigi
Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Padjadjaran (UNPAD), Vol.II, Nomor 2,
Halaman 34 - 6, Bandung, Desember 1990.
3. Prosedur fusi sel guna pembuatan antibodi monoklonal, Jurnal Kedokteran Gigi, Persatuan
Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Nomor 3, Tahun ke-III, Halaman 22-6, Jakarta, Desember
1990.
4. Penelitian pendahuluan terhadap pertumbuhan kultur jaringan eksplan usus embrio ayam
umur 10 hari, Jurnal Kedokteran Gigi, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Nomor 2,
Tahun 41, Halaman 17 - 9, Jakarta, Agustus 1992.
5. Reaksi imunologis dalam tindakan dokter gigi, Jurnal Kedokteran Gigi, Persatuan Dokter
Gigi Indonesia (PDGI), No.3 Thn 41, Hal. 32-5, Jakarta, Desember 1992.
6. Efek stimulasi vitamin A terhadap pertumbuhan eksplan jaringan kulit embrio ayam yang
dikultur invitro, Jurnal Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UNPAD,Vol. V,
Nomor 1, Halaman 27 - 37, Bandung, November 1993.
7. Pertumbuhan tunas kultur eksplan jaringan kulit embrio ayam umur 10 hari yang dikultur
pada bekuan medium kultur alami mengandung vitamin A, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Jakarta, Januari 1994.
8. Onkogenesis virus-virus onkogenik pada hewan dan manusia, Jurnal Kedokteran Gigi,
Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Nomor 2, Tahun ke-43, Halaman 36 - 9, Jakarta,
Agustus 1994.
9. Studi kemaknaan ekspresi imunohistokimia P-53 dan C-erbB-2 yang berlebih sebagai
indikator keganasan tumor adenoma pleomorfik kelenjar liur mayor parotis, Jurnal Ilmiah
Universitas Padjadjaran, Vol.10, No.2, 1998.
10. Penghambatan proses apoptosis sebagai komponen kritis tumorigenesis penyakit keganasan,
Jurnal Universitas Padjadjaran, Vol.16, No.4, 1999.
11. Imunoekspresi p53 sbg penentu gradasi astrositoma, Majalah Kedokteran Bandung (MKB),
Vol.31, No.1, hal:1-13, Bandung, 1999.
110
12. Kajian Imunohistokimia Ekspresi Berlebih P-53 pada Agresivitas Klinik Tumor Adenoma
Pleomorfik Parotis, Jurnal Kedokteran Gigi, FKG UNPAD, Vol. 15, No. 1, hal 145-150,
Januari 2003.
13. Metoda Pulasan Imunohistokimia Sebagai Pemeriksaan Penunjang Diagnosis
Histopatologis, Majalah Persatuan Ahli Bedah Mulut Indonesia, No. 2, Tahun VII, hal 79-
87, Juni 2003.
14. Perkembangan Sifat Borderline Malignancy Tumor Adenoma Pleomorfik Parotis oleh
Ekspresi Berlebih rasP-21, c-erbB-2 dan P-53, Jurnal Kedokteran Gigi, FKG UNPAD, Vol.
15, No. 3, hal 261-4, Juli 2003.
15. Penyimpangan Pola Pulasan Imunohistokimia C-erbB-2 dan P-53 sebagai Petanda
Proliferasi dan Transformasi Keganasan Tumor Adenoma Pleomorfik Parotis, Jurnal
Kedokteran Gigi, FKG UNPAD, Vol. 15, No. 4, hal 290-3, Oktober 2003.
16. ras P-21, c-erbB-2 and P-53 Imunoractivity as a malignancy predictor of the pleomorphic
parotid gland adenoma’s., Jurnal Kedokteran Gigi, FKG UI, Vol.10, / Edisi khusus/ I/ 2003 :
8-11, hal 272-8, Oktober 2003.
17. Expression of ras P-21, c-erbB-2 and P-53 and implication on biological beha-viour of
parotid pleomorphic adenoma, Asian Journal of Oral and Maxillofacial Surgery
(AJOMS),Vol. 15, No. 4, pp.261-7, Scientific Publication International, Hongkong-United
Kingdom, Desember 2003.
18. Peran apoptosis dalam perkembangan keganasan tumor adenoma pleomorfik parotis,
Majalah Kedokteran Bandung, 2004.
19. Aspek patologi dari protesa biomaterial kedokteran gigi, Jurnal Kedokteran Gigi FKG
UNPAD, Vol 18, Edisi khusus Juni 2006, Jurnal Nasional Terakreditasi Dirjen Dikti.
20. Penurunan imunoekspresi p63 pada mioepitel DCIS payudara sbg prediktor infiltrasi tumor,
Majalah Kedokteran Bandung/MKB Fakultas Kedokteran UNPAD, Vol.XLI,No.1, 2009,
Jurnal Nas.Terakreditasi Dirj.DIKTI.
21. Ekspresi reseptor estrogen pada adenoma pleomorfik parotis. Majalah kedokteran
Bandung/FK-UNPAD. Des.-2010. Dalam proses penerbitan. Jurnas terakreditasi.
22. Pengaruh ekspresi onkoprotein rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 pada perubahan perilaku biologi
tumor adenoma pleomorfik parotis. Majalah kedokteran Bandung/FK-UNPAD. Maret
2011. Dalam proses penerbitan. Jurnas terakreditasi.
111
Daftar Karya Ilmiah tidak dipublikasikan dan disimpan di Perpustakaan FKG UNPAD :
1. Pulasan Khusus / Special Staining (1991).
2. Onkogenesis oleh virus-virus onkogenik (1991).
3. Proses terjadinya penyakit (1991).
4. Gangguan fungsi sirkulasi darah dan cairan tubuh (1991).
5. Gambaran histopatologi beberapa tumor ganas rongga-mulut (1992).
6. Heterogenitas sel pada neoplasma ganas (1992).
7. Mekanisme terjadinya penyakit otoimun (1993).
8. Aspek sitologi pada biopsi aspirasi kelenjar getah bening (1993).
9. Gambaran sitologi radang vagina dan serviks (1993).
10. Pembuatan sediaan dengan teknik potong-beku (1993).
11. Aspek histologi kelenjar liur parotis (1994).
12. Proses inflamasi dan pemulihannya (1994).
13. Makromolekul dalam genetika molekuler (1994).
14. Genetika mikrobiologi (1995).
15. Rekayasa-genetika dan bioteknologi (1995).
16. Gen-gen tumor dan produk proteinnya (1995).
17. Aspek klinik, organisasi, dan dampak ekonomi dari infeksi nosokomial (1995).
18. Metode deteksi gen-gen tumor dan protein-tumor di dalam sel dan jaringan
(1995).
19. Infeksi bakteri melalui tanah (1996).
20. Penyakit infeksi saluran pernafasan oleh bakteri (1998).
21. Infeksi bakteri endogenik (1998).
22. Virus-virus neurotropik penyerang sistem saraf (1998).
23. Sindroma klinik infeksi virus-virus viserotropik (1998).
24. Infeksi saluran pernafasan oleh virus-virus pneumotropik (1998).
25. Penyakit infeksi bakteri yang diperentarai melalui makanan dan minuman (1998).
26. Infeksi bakteri melalui vektor dan tindakan medis (1998).
27. Bakteri-bakteri penyebab infeksi-kontak (1998).
28. Histokimia : metode diagnosis-terapan ilmu patologi anatomi (1998).
29. Infeksi virus seksual dan virus tumorigenik (1999).
30. Tinjauan telaah penyakit-penyakit pada lingkup patologi lingkungan di Indonesia
(2003).
112
31. Laporan Penelitian : Dampak Mangan terhadap kesehatan neurologis (2004).
32. Orasi Ilmiah GB : Kajian Patobiologi Terhadap ‘Gen Pengobar Tumor' Guna
Pengembangan Ilmu Patologi Anatomi, Serta Perannya Pada Penanganan
Kanker. (2005).
33. Pengaruh Konsentrasi Mangan Dalam Darah Dan Udara Terha dap Status
Kesehatan Neurologis. (2005)
34. Penyakit Akibat Kemajuan Peradaban Manusia. (2005)
35. Ekspresi Reseptor-Estrogen Pada Sel-Sel Tumor Adenoma Pleomorfik Parotis.
(2006)
36. Dampak Kesehatan dari Bahan Kimia.(2006)
37. Dampak Lingkungan Dari Bahan Kimia. (2007)
38. Regulasi Paparan Bahan Kimia. (2008)
39. Pemadaman Api dan Pengendalian Kecelakaan oleh Bahan Kimia. (2009).
Bandung, 2 Pebruari 2011
Prof.Dr.Achmad SY.Mukawi,Drg.,MS.
NIP. 19591207 198810 1 001.
113
114
top related