mempertanyakan orientasi world class university
Post on 21-Oct-2015
54 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Mempertanyakan Orientasi World Class University1
Oleh Edi Subkhan*
Pendahuluan
Beberapa tahun terakhir ini, kampus-kampus negeri maupun swasta heboh berupaya untuk
menjadi universitas kelas dunia atau world class university (WCU). Bahkan dapat dikatakan
semua kampus di Indonesia telah berorientasi untuk menjadi universitas kelas dunia.
Kehebohan tersebut makin menjadi-jadi ketika pemerintah telah mengalokasikan anggaran
bagi kampus-kampus tertentu agar mereka dapat segera menjadi universitas kelas dunia.
Dalam hal ini, Dirjen Dikti menyatakan mendukung penuh perguruan tinggi agar dapat
menjadi berkelas internasional. Pada tahun 2009 dinyatakan 17 perguruan tinggi akan
sepenuhnya dibantu oleh pemerintah, terutama perguruan tinggi terkemuka di Indonesia seperti
Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung
(ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro,
Universitas Brawijaya, dan lainnya. Fasli Jalal ketika masih di Dirjen Dikti waktu itu
mencontohkan UGM yang mendapat 70 miliar untuk mendukung program menuju world class
university (Kompas, 20/05/09).
Dalam berbagai kesempatan, pihak yang pro dengan kampus kelas dunia, baik dari
Mendiknas, terutama Ditjend Dikti, maupun pihak perguruan tinggi, argumen yang
mengemuka sebagai tujuan dari perlunya kampus-kampus untuk menjadi berkelas dunia pada
umumnya adalah: menjadi universitas kelas dunia yang dapat bersaing dengan kampus-kampus
kelas dunia dan sekaligus dapat menghasilkan lulusan yang juga dapat bersaing dengan lulusan
dari negara-negara maju di dunia internasional.
Argumen-argumen tersebut muncul pada dasarnya karena memang melihat beberapa
kenyataan mutakhir akibat dari globalisasi dalam berbagai hal dan sendi kehidupan manusia.
Pertama, globalisasi dalam bidang ekonomi yang mewujud dalam praktik ekonomi pasar
bebas. Kedua, globalisasi dalam bidang budaya yang mewujud dalam bentuk masuknya
budaya asing ke Indonesia. Ketiga, globalisasi tenaga kerja sebagai akibat dari praktik ekonomi
1 Disampaikan pada seminar nasional BEM FE Unsoed, 30 Oktober 2010. 1
pasar bebas. Keempat, globalisasi bidang pendidikan dengan adanya pendirian lembaga
pendidikan di banyak negara berkembang dan beasiswa antar-negara.
Dalam globalisasi itulah orang-orang seakan dituntut untuk menguasai pengetahuan
dan kemampuan yang dapat digunakan sebagai modal utama dalam memasuki ekonomi pasar
bebas, tujuannya tentu agar dapat berkompetisi dan sukses di dalamnya. Globalisasi juga
membuat negara-negara berkembang merasa harus menyetarakan kualitas dirinya sejajar
dengan negara-negara maju dilihat dari human development index (HDI), program for
international student assessment (PISA), dan lainnya. Dari sinilah nilai-nilai kompetisi ditabur
dan tumbuh subur, terlebih ketika dipupuk oleh rasa inferioritas diri negara berkembang dalam
bentuk pengejaran angka-angka HDI, PISA, dan sejenisnya.
Pun pemerintah masih dibayang-bayangi oleh kompetisi yang terjadi antar-perguruan
tinggi dalam negeri dan luar negeri, baik dalam bentuk iming-iming beasiswa yang diberikan
oleh kampus-kampus asing pada putra-putra terbaik negeri ini, maupun pendirian lembaga
pendidikan asing di Indonesia, dan kompetisi antar-lulusan kampus-kampus negara-negara
maju dengan kampus-kampus dalam negeri. Dengan kondisi tersebut, maka dapat dipahami
mengapa pemerintah dan pihak kampus tampak begitu pro dengan world class university
(WCU) yang dianggap sebagai keniscayaan satu-satunya cara untuk dapat bertahan dan
berkompetisi di tengah globalisasi.
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, kekhawatiran tersebut juga telah
memunculkan gagasan tentang sekolah bertaraf internasional (SBI). Dalam dokumen yang
menjadi acuan pelaksanaan SBI, tujuan digalakkannya SBI juga jelas untuk dapat menyiapkan
siswa-siswi yang nantinya akan dapat bersaing di dunia internasional. Dalam presentasi
Dirjend Mandiknasmen Kementerian Pendidikan Nasional (2010), alasan perlunya SBI adalah:
(1) meningkatkan kualitas dan daya saing lulusan di tingkat regional dan internasional sebagai
antisipasi peningkatan migrasi tenaga kerja internasional; (2) meningkatkan daya saing tenaga
kerja Indonesia di pasar kerja internasional; (3) mempertahankan peluang kerja tenaga kreja
Indonesia di pasar kerja nasional yang dibentuk oleh perusahaan asing di Indonesia.
Pengertian World Class University
Sekarang mari kita perluas cakrawala pengetahuan dan pemahaman kita mengenai apa yang
dimaksud dengan world class university atau universitas kelas dunia tersebut. Berikut akan
dikemukakan beberapa pendapat yang beredar luas di publik luas, terutama dari kalangan yang
2
relatif sepakat dengan gagasan universitas kelas dunia. Mendiknas Bambang Sudibyo (kabinet
2004-2009) menyatakan:
Jika UI memiliki 150 program studi misalnya, apabila lebih dari 40 persen program
studi sudah berkelas internasional, maka perguruan tinggi itu layak disebut World Class
University. […] Kompetisi, lanjut dia (Mendiknas), akan menentukan apakah
perguruan tinggi negeri (PTN) atau perguruan tinggi swasta (PTS) tersebut layak atau
tidak. (Republika, 09/04/08)
Pernyataan Bambang Sudibyo tersebut juga tidak terlalu jelas menyatakan apa yang disebut
sebagai kampus berkelas internasional. Namun secara implisit ia menyatakan bahwa
pengertian berkualitas atau tidak dari sebuah kampus harus dilihat dari hasil kompetisi antara
satu kampus dengan kampus lainnya. Alur logika yang digunakan Bambang Sudibyo dapat
ditebak, bahwa kampus berkelas internasional adalah yang memiliki peringkat bagus dalam
kompetisi tersebut, dan kompetisi yang dimaksud tiada lain adalah kompetisi internasional.
Masih di media yang sama (Republika, 09/04/08), Wakil Rektor Bidang Akademik dan
Kemahasiswaan IPB, Prof. Yonny Koesmaryono menyatakan, agar 50 universitas unggulan di
Indonesia masuk world class university, maka mereka harus berlomba mendapat pengakuan
internasional melalui akreditas internasional. “Pengakuan internasional terhadap sebuah
universitas akan sangat berdampak positif pada kinerja setiap unit yang harus selalu prima,”
jelasnya. Pernyataan tersebut juga mengindikasikan perlunya kampus masuk dalam percaturan
global dan kemudian dinilai untuk mendapatkan pengakuan lembaga internasional.
Secara lebih teknis Kusmastanto (2007) mengemukakan beberapa kriteria world class
university, di antaranya adalah 40 persen tenaga pendidik bergelar Ph.D, publikasi
internasional 2 paper per staf per tahun, jumlah mahasiswa pascasarjana 40 persen dari total
populasi mahasiswa (student body), anggaran riset minimal US$ 1300 per staf per tahun,
jumlah mahasiswa asing lebih dari 20 persen, dan Information Communication Technology
(ICT) 10 KB per mahasiswa. Kriteria yang dikemukakan oleh Kusmastanto tersebut juga
relatif cenderung sepakat untuk memasukkan unsur-unsur yang berbau internasional agar dapat
disebut sebagai berkelas internasional, misalnya publikasi internasional dan mahasiswa asing.
Ketiga pendapat di atas merupakan contoh pendapat yang sepakat dengan ide dan
orientasi kampus untuk menjadi berkelas dunia, namun memang tidak mengemukakan secara
jelas apa yang dimaksud dengan kampus atau universitas berkelas internasional. Sekarang mari
kita lihat studi dari Levin, Jeong dan Ou (2006) yang juga mencoba untuk mengungkapkan apa
3
yang dimaksud sebagai world class university. Hasil riset tentang definisi world class
university yang mereka kumpulkan dari beberapa literatur menyatakan bahwa memang tidak
ada definisi yang pasti tentang world class university (p. 3).
Levin, Jeong dan Ou (2006: 32) mengutip pendapat Ambrose King dari Chinese
University of Hong Kong (dalam Mohrman, 2005), bahwa kampus berkelas internasional
adalah kampus dengan fakultas yang secara tetap mempublikasikan penelitian mereka pada
jurnal-jurnal yang diakui oleh disiplin keilmuan masing-masing, juga lulusannya dapat bekerja
diseluruh penjuru dunia. Mereka juga mengutip Niland (2000) bahwa kampus kelas dunia
dibangun di atas reputasi dan persepsi, yang seringkali subjektif dan tidak pasti . Selain itu juga
terdapat banyak lagi pendapat yang ditelusuri oleh Levin, Jeong dan Ou yang intinya
menunjukkan perbedaan pandangan dan definisi dari world class university tersebut.
Lebih lanjut, Levin, Jeong dan Ou dalam artikel tersebut memperlihatkan bahwa
stakeholder yang berbeda juga memiliki pemahaman tentang world class university yang
berbeda. Namun secara garis besar, hampir semua definisi tersebut mengacu pada lingkup
internasional, dengan penilaian dan pengakuan yang berskala internasional. Selanjutnya, dari
definisi yang tidak satu tersebut, Levin, Jeong dan Ou (2006: 33-35) membuat beberapa tolok
ukur dari apa yang disebut sebagai world class university sebagai berikut.
Pertama dilihat dari keunggulan penelitian (excellence in research), antara lain
ditunjukkan dengan kualitas penelitian, yakni produktivitas dan kreativitas penelitian, publikasi
hasil penelitian, banyaknya lembaga donor yang bersedia membantu penelitian, adanya hak
patent, dan sejenisnya. Kedua dilihat dari kebebasan akademik dan atmosfer kegembiraan
intelektual. Ketiga dilihat dari pengelolaan diri yang kuat (self-management). Keempat dilihat
dari fasilitas dan pendanaan yang cukup memadai, termasuk berkolaborasi dengan lembaga
internasional. Kelima dilihat dari keanekaragaman (diversity), antara lain kampus harus
inklusif terdahap berbagai ranah sosial yang berbeda dari mahasiswa, termasuk keragaman
ranah keilmuan.
Keenam dilihat dari internasionalisasi, misal internasionalisasi program dengan:
meningkatkan pertukaran mahasiswa, masuknya mahasiswa internasional atau asing,
internasionalisasi kurikulum, koneksi internasional dengan lembaga lain (kampus dan
perusahaan di seluruh dunia) untuk mendirikan program berkelas dunia. Ketujuh dilihat dari
kepemimpinan yang demokratis, yaitu dengan kompetisi terbuka antar-fakultas dan
mahasiswa, juga kolaborasi dengan konstituen eksternal. Kedelapan dilihat dari mahasiswa
4
yang berbakat. Kesembilan dilihat dari penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK). Kesepuluh dilihat dari kualitas pembelajaran dalam perkuliahan. Kesebelas adalah
koneksi dengan masyarakat atau kebutuhan komunitas. Keduabelas dilihat dari kolaborasi
internal kampus.
Keduabelas tolok ukur yang dikemukakan oleh Levin, Jeong dan Ou (2006) tersebut
didasarkan pada berbagai pendapat para pengelola kampus, peneliti dan penulis pendidikan
yang telah mereka himpun sebelumnya. Sampai akhir bahasan tentang tolok ukur yang mereka
kemukakan tersebut, kita dapat melihat betapa banyaknya perspektif yang digunakan dalam
memahami world class university. Dengan demikian tolok ukur yang mereka sarikan dari
beberapa literatur tersebut pun menjadi “subjektif” dan “relatif”. Walaupun begitu, secara garis
besar, pengertian world class university mereka dapat dipahami sebagai mekanisme
perankingan dalam skala internasional. Hal tersebut terlihat jelas ketika mereka membuat
perbandingan antara sistem perankingan universitas kelas dunia dari Times Higher Education
Supplement (THES) dan Shanghai Jiao Tong University (SJTU) sebagai berikut.
Gambar 1. Perbandingan Times Higher Education Supplement (THES) dan Shanghai Jiao
Tong University (SJTU). Diambil dari Levin, Jeong dan Ou (2006: 36).
Perbandingan tersebut makin menunjukkan secara jelas pada kita bahwa terdapat tolok ukur
yang berbeda dalam menilai sebuah kampus bisa menjadi world class university atau tidak.
Sekarang agaknya kita mulai bisa menangkap apa yang dimaksud dengan kampus berkelas
internasional secara umum, yakni kampus-kampus yang menempati peringkat besar dalam
5
pemeringkatan yang dilakukan oleh lembaga dengan reputasi internasional. Levin, Jeong dan
Ou (2006) mengambil contoh dengan memperbandingkan antara THES dan SJTU.
Peringkat atau ranking inilah yang agaknya juga dimaksud oleh pemerintah dan pihak
kampus serta mereka yang sepakat dengan gagasan world class university di Indonesia
sekarang ini. Dapat kita lihat betapa gegap gempitanya ketika beberapa kampus di Indonesia
naik peringkat dalam pemeringkatan kampus ala THES misalnya. Dengan kata lain, kalau
kampus-kampus di Indonesia berorientasi menjadi unversitas berkelas dunia, maka sebenarnya
yang segala daya upaya kampus tersebut sedang diupayakan untuk naik kelas dalam
pemeringkatan THES dan sejenisnya. Sekarang mari kita lihat secara lebih dekat dua jenis
pemeringkatan yang banyak diacu di Indonesia, yakni THE, QS dan Webometric.
Tentang THE, QS dan Webometric
Pada dasarnya Times Higher Education-QS World University Rankings merujuk pada
publikasi yang dikeluarkan oleh Times Higher Education dan Quacquarelly Symonds (oleh
karenanya disebut THE-QS atau THES singkatan dari Times Higher Education Supplement)
antara tahun 2004 sampai 2009. Pada tahun 2010 Times Higher Education berpisah dengan
Quacquarelly Symonds dan kemudian menggandeng kerjasama dengan Thomson Reuters
dalam mempublikasikan Times Higher Education World University Rankings atau THE (tanpa
QS dan S). Pada tahun 2004 sampai 2009 Times Higher Education adalah milik News
Internasional yang merupakan bagian dari gurita kerajaan media Rupert Murdoch.
Semenjak lepas dari Rupert Murdoch, THES berubah menjadi Times Higher Education
dan diluncurkan ulang dalam bentuk majalah mingguan. THE sekarang menjadi milik dari
grup Charterhouse Capital Partners. Konon salah satu sebab pisahnya THE dengan QS karena
metodologi QS lebih mengunggulkan rumpun keilmuan sains ketimbang humaniora (sangat
mungkin juga karena faktor lain yang menyebabkan perpisahan tersebut, misal ekonomi dan
politik). Selanjutnya Quacquarelly Symonds tetap lanjut dengan mengeluarkan pemeringkatan
QS World University Rankings (dapat dilihat pada http://www.topuniversities.com) setelah
juga memperbarui metodologi perankingannya, sedangkan THE membuat satu metodologi
baru dan melucurkan publikasi pertamanya pada 16 September 2010 (dapat dilihat pada
http://www.timeshighereducation.co.uk).
QS menggunakan 5 (lima) kriteria, yakni: (1) academic peer review atau analisis dari
komunitas elit akademik (bobotnya 40 persen). QS bertanya pada para akademisi lintas negara
6
mengenai universitas terbaik dalam bidang yang mereka kuasai; (2) recruiter review, hampir
sama dengan academic peer review, hanya saja statusnya tidak tetap (bobotnya 10 persen); (3)
faculty student ratio yang melihat kualitas perkuliahan (bobotnya 20 persen); (4) citation per
faculty atau publikasi ilmiah per fakultas yang dikutip dalam skala internasional (bobotnya 20
persen); (5) international orientation atau orientasi internasional yang dilihat dari prosentasi
mahasiswa internaasional dan staf internasional, masing-masing bobotnya 5 persen (bobotnya
10 persen) (lihat “Methodology: Simple Overview” 2010).
Informasi yang digunakan oleh QS sebagian berasal dari survei online oleh Scopus, dan
sebagian dari informasi tahunan yang didapat oleh QS sendiri. QS mengambil data dari
kampus-kampus secara langsung, dari website serta publikasi kampus, juga dari lembaga
nasional masing-masing negara seperti Kementerian Pendidikan Nasional, termasuk
mengandalkan National Center for Education Statistics di Amerika Serikat dan Higher
Education Statistics Agency di Inggris. Sementara itu THE meluncurkan metodologi barunya
dengan 13 (tigabelas) indikator yang dibagi dalam 5 (lima) kategori: (1) perkuliahan, terutama
lingkungan belajarnya (bobotnya 30 persen); (2) penelitian, volume, income dan reputasinya
(bobotnya 30 persen); (3) kutipan, imbas penelitian (bobotnya 32,5 persen); (4) pemasukan
industri, inovasi (bobotnya 2,5 persen); dan (5) staf dan mahasiswa internasional (bobotnya 5
persen). Lebih jelasnya lihat gambar di bawah ini.
7
Gambar 2. Kriteria Times Higher Education pada 2010 dengan Menggandeng Thomson
Reuters (diambil dari http://www.timeshighereducation.co.uk/world-university-rankings/2010-
2011/analysis-methodology.html).
Beberapa pegiat pendidikan menyatakan bahwa kriteria yang digunakan oleh THE lebih bagus
ketimbang QS, ibaratnya THE adalah sebagai koreksi atas kelemahan metodologi QS
sebelumnya. Proporsi mahasiswa internasional misalnya, pada THE bobotnya dikurangi,
karena memang dianggap justru akan memberi dampak negatif bagi kampus-kampus negara
berkembang. Keberadaan academic peer review pun diminimalkan, hingga dianggap akan
meminimalkan potensi subjektivitas penilaian. Akibat dari acuan metodologi yang berbeda
tersebut pada akhirnya hasil perankingan QS dan THE juga berbeda. Hasil perankingan terbaru
tahun 2010, THE menempatkan Harvard sebagai nomor satu dan Cambridge sebagai nomor
dua, sedangkan QS sebaliknya, yakni Camridge sebagai nomor satu dan Harvard nomor dua
(lihat di website QS dan THE).
Sementara itu, Webometrik adalah pemeringkatan berdasarkan pada eksistensi sebuah
kampus di dunia maya. Webometric merupakan sebuah inisiatif dari Cybermetrics Lab, sebuah
kelompok penelitian dari Centro de Ciencias Humanas y Sociales (CCHS), bagian dari Dewan
Riset Nasional di Spanyol. Dalam situs resminya, mereka menyatakan bahwa:
Cybermetrics Lab is devoted to the quantitative analysis of the Internet and Web
contents specially those related to the processes of generation and scholarly
communication of scientific knowledge. This is a new emerging discipline that has
been called Cybermetrics (our team developed and publishes the free electronic journal
Cybermetrics since 1997) or Webometrics. (lihat “About Us” 2010)
Perankingan Webometric secara resmi dimulai pada 2004 dan tiap enam bulan sekali
diperbarui peringkatnya. Indikator web yang digunakan berbasis pada scientometric tradisional
dan bibliometric, dan secara umum tujuannya adalah untuk meyakinkan komunitas akademik
dan politik mengenai pentingnya publikasi web yang tidak hanya bisa untuk diseminasi
pengetahuan akademik, melainkan juga untuk mengukur aktivitas ilmiah, kinerja dan
imbasnya.
Webometric juga tidak dilihat dari banyaknya pengunjung atau desain dari website
sebuah kampus tertentu, melainkan dari kualitas secara global dan keterlihatan (visibility)
kampus tersebut (lebih lengkapnya lihat www.webometrics.info). Webometric menjangkau
atau menilai aktivitas dari segenap sivitas akademika kampus, baik formal berupa e-journal
8
dan sejenisnya maupun komunikasi informal. Webometric mendasarkan pada data kuantitatif
yang dapat dikumpulkan dari berbagai aktivitas kampus dan segenap sivitas akademikanya di
dunia maya yang sekiranya memenuhi indikator mereka.
Dalam hal ini Webometric memiliki empat indikator penilaian: (1) Size atau ukuran
keterjangkauan, yakni jumlah halaman web yang dapat dijangkau oleh empat mesin pencari,
Google, Yahoo, Live Search, dan Exalead; (2) visibility atau keterlihatan, yakni jumlah total
link eksternal yang unik dan dapat dijangkau oleh Yahoo Search; (3) Rich Files atau
banyaknya file yang relevan dengan aktivitas akademik dan publikasi dalam format Adobe
Acrobat (.pdf), Adobe PostScript (.ps), Microsoft Word (.doc) and Microsoft Powerpoint
(.ppt). Data tersebut diambil dari Google, Yahoo Search, Live Search and Exalead; (4) Scholar
atau jumlah paper dan kutipan tiap domain akademik berupa paper, laporan penelitian dan
lainnya yang masuk dalam Google Scholar.
Prosentasi perhitungan Webometric, visibility (external links) 50 persen, size (web
pages) 20 persen, rich files 15 persen, dan scholar 15 persen. Alasan prosentase visibility atau
keterlihatan yang sangat besar adalah:
The inclusion of the total number of pages is based on the recognition of a new global
market for academic information, so the web is the adequate platform for the
internationalization of the institutions. A strong and detailed web presence providing
exact descriptions of the structure and activities of the university can attract new
students and scholars worldwide. The number of external inlinks received by a domain
is a measure that represents visibility and impact of the published material, and
although there is a great diversity of motivations for linking, a significant fraction
works in a similar way as bibliographic citation. (lihat “About the Ranking” 2010)
Dengan kata lain, basis penilaian Webometric pada visibilitas web sebuah kampus adalah
berdasarkan pada pandangan “pasar global baru” mengenai informasi akademik, oleh karena
itu web menjadi sangat penting sebagai sarana internasionalisasi kampus. Salah satu tujuannya
salah satunya adalah: ketika web tersebut dapat menampilkan aktivitas kampus secara lebih
lengkap, diharapkan akan dapat menarik minat mahasiswa dan para sarjana dari seluruh
penjuru dunia. Basis penilaian tersebut meruju pada metodologi perankingan Berlin Principles
of Higher Education Institutions yang pada dasarnya sekarang telah menjadi perusahaan profit
—dan pihak Webometric mengakui itu (lihat “Methodology” 2010).
9
Lebih lanjut Webometric memberikan beberapa catatan yang menekankan keunggulan
mereka dibandingkan dengan praktik perankingan oleh lembaga lain, antara lain: (1)
perankingan yang di-back up oleh perusahaan profit harus dicek secara serius; (2) survei tidak
lagi tepat digunakan sebagai alat untuk mengukur World Rankings, karena tidak ada individu
yang memiliki pengalaman mendalam, multinasional, dan multidisiplin yang masuk sebagai
sampel representatif di universitas-universitas; (3) analisis link (link analysis) lebih kuat untuk
evaluasi kualitas ketimbang analisis kutipan (citation analysis) yang hanya mengakomdasi
pengakuan formal dari sekelompok ahli, karena link tidak hanya mencakup kutipan
bibliografis, tapi juga melibatkan pihak ketiga yang terlibat dalam aktivitas kampus.
Apa yang dikemukakan oleh Webometric tersebut merupakan serangan terbuka bagi
lembaga perankingan lain, terutama THE dan QS. Sebagai institusi yang berbasis pada
lembaga penelitian resmi, Webometric agaknya mencurigai netralitas dan independensi THE
dan QS yang di-back up penuh oleh perusahaan profit Thompson Reuters, Scopus, Elsevier
dan Quacquarelly Symonds sendiri. Pernyataan bahwa survei tidak tepat lagi sebagai alat
mengukur pemeringkatan kampus kelas dunia juga jelas ditujukan pada THE dan QS yang
metode pengambilan datanya menggunakan survei terhadap individu-individu tertentu yang
dianggap berkualifikasi. Dengan mengunggulkan analisis link makin jelas terlihat bahwa
Webometric merendahkan model analisis kutipan yang bertumpu pada elit intelektual saja.
Selain THE, QS dan Webometric, hasil perankingan kampus yang juga selalu
diperhatikan di Indonesia adalah yang dikeluarkan oleh Shanghai Jiao Tong University, Cina.
Publikasi pertama perankingan mereka adalah pada tahun 2003 yang disebut sebagai Academic
Ranking of World Universities (ARWU) yang sebenarnya merupakan kerjasama Institute of
Higher Education of Shanghai Jiao Tong University dengan Center for World-Class
Universities. Sebagaimana telah sedikit dikemukakan oleh Levin, Jeong dan Ou (2006) di
depan, SJTU mendasarkan pada 6 (enam) indikator, termasuk alumni dan staf yang
memenangkan hadiah Nobel.
Imbas Sosial dan Penolakan terhadap World Class University
Di Indonesia, akibat dari adanya pemeringkatan oleh beberapa institusi tersebut kemudian
berbuah kegaduhan yang luar biasa pada universitas-universitas kita. Semuanya ingin dapat
masuk dalam jajaran kampus-kampus dunia dalam pemeringkatan oleh QS, THE, Webometric,
SJTU dan lainnya. Demi obsesi tersebut, di banyak kampus besar Indonesia, hampir semua
10
energi dan aktivitasnya dilakukan untuk memenuhi prasyarat penilaian agar dapat masuk
dalam peringkat dunia menurut beberapa lembaga tersebut. Spanduk-spanduk kampus mohon
doa restu dari segenap sivitas akademika dan orangtua mahasiswa untuk menjadi universitas
kelas dunia ditebar di mana-mana. Seminar dan diskusi mengenai strategi untuk menjadi
universitas kelas dunia semarak diselenggarakan.
Beberapa kampus dalam upaya menjadi universitas kelas dunia telah mencoba
menggandeng kampus-kampus luar negeri dalam berbagai bentuk kerjasama. Universitas
Negeri Yogyakarta (UNY) misalnya, dalam portal beritanya menyatakan bahwa dalam rangka
menuju world class university telah meningkatkan kerjasama dengan berbagai universitas luar
negeri, antara lain MoU dengan Universitat Bremen (Jerman),The University of Bayreuth
(Jerman), The National University Corporation Aichi University of Education (Jepang),
Pukyong National University (Korea Selatan), Seameo Voctech (Brunei Darussalam),
Mindanao State University (Philippine), University of Malaya (Malaysia), North Illinois
University (USA) dan University of North Texas (USA) (lihat “Mendiknas: Peresmian Masjid
dan Pidato Dies Natalis UNY” 2010).
Hal itu dilakukan untuk memenuhi syarat kolaborasi kampus dengan institusi
internasional. Selain itu juga mencoba untuk menerima lebih banyak mahasiswa internasional
dari luar negeri. Pada ranah akademik, dorongan untuk mempublikasikan jurnal internasional
juga kuat, di Universitas Indonesia (UI) misalnya bahkan banyak bonus yang dijanjikan bagi
dosen yang berhasil mempublikasikan artikelnya di jurnal-jurnal internasional. Dari komposisi
dosen, semua berjuang untuk memperbanyak dosen yang bergelar doktor atau Ph.D. Penelitian
pun ditujukan agar sesuai dengan kepentingan pasar dan mendapat donor besar.
Di kampus lain, Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, misalnya, terdapat upaya
serius dan sistematis agar kampus tersebut selalu naik dalam perankingan Webometrics. Istadi
(2010), Staf Ahli Pembantu Rektor Bidang Pengembangan dan Kerjasama, Undip, membuat
presentasi yang menunjukkan beberapa langkah praktis agar dapat makin menaikkan peringkat
Undip dalam perankingan Webometric. Misalnya adalah dengan menyarankan weblog
mahasiswa dan dosen Undip untuk menambah jumlah eksternal link yang dapat terdeteksi oleh
mesin pencari Google, Yahoo, Live Search, dan Exalead; tiap weblog tersebut harus link ke
website Undip; code website harus dapat diakses oleh semua browser seperti Firefox, Opera,
Safari, Internet Explorer; mendaftarkan situs di Google Schoolar; dan lainnya.
11
Tidak hanya UNY dan Undip sebagai contoh kampus di “daerah” yang juga telah
bersungguh-sungguh telah mendesain kampusnya agar dapat memenuhi persyaratan menjadi
kampus kelas dunia ala THE, QS, Webometric dan lainnya tersebut. Mereka lupa bahwa
institusi penyelenggara pemeringkatan kampus-kampus itu pun mendapat kritik tajam dari para
akademisi dan pegiat pendidikan lain. Misalnya Inggris yang berani memprotes perangkingan
world class university oleh Webometric. Pasalnya, kampus-kampus di Inggris yang sudah
berumur lebih dari seribu tahun hanya ada 5 (lima) yang bercokol di urutan 1 sampai 100,
hanya universitas dari Amerika Serikat yang mendominasi (lihat Nurtjahjadi, 2010).
Tidak hanya itu, Simon Marginson (2006), profesor Higher Education di University of
Melbourne juga mengkritik metode survei yang digunakan oleh THES dengan menyatakan
bahwa:
Half of the THES index is comprised by university reputation with no necessary link to
university performance. As well as the 40 per cent comprised by a reputational survey
of academics, another 10 per cent is determined by a reputational survey of global
employers. [...] the THES index is too easily open to manipulation. By changing the
recipients of the two surveys, or the way the survey results are factored in, the results
can be shifted markedly.
Di sisi lain, Ian Diamon, direktur eksekutif Economic and Social Research Council, Inggris
juga menyatakan keberatannya pada metode kutipan (citation) yang digunakan Times Higher
Education 2007:
The use of a citation database must have an impact because such databases do not have
as wide a cover of the social sciences (or arts and humanities) as the natural sciences.
Hence the low position of the London School of Economics, caused primarily by its
citations score, is a result not of the output of an outstanding institution but the database
and the fact that the LSE does not have the counterweight of a large natural science
base. (lihat “Social Sciences Lose 1” 2007)
Dua kritik di atas yang dikemukakan oleh Marginson dan Diamond sama-sama meragukan
keabsahan metodologis dari survei dan kutipan sebagai indikator peringkat dunia dengan
bobotnya yang begitu besar. Marginson meragukan survei yang dilakukan karena rentan untuk
dimanipulasi. Bahkan Diamond bahkan menyatakan, metode kutipan dengan basis data yang
digunakan THE yang lebih banyak menjangkau ilmu-ilmu eksakta jelas tidak dapat
menjangkau artikel-artikel ilmu-ilmu sosial humaniora yang dihasilkan oleh London School of
12
Economics (LSE), hingga wajar LSE tidak mendapat ranking dalam pemeringkatan THE
karena kelemahan cakupan basis data THE tersebut.
Kritik Ideologi World Class University
Contoh penolakan yang dikemukakan oleh Marginson dan Diamond tersebut lebih terlihat
sebagai sekadar menolak metodologi yang digunakan oleh lembaga-lembaga pemeringkatan
tersebut. Berikut akan kita lihat lebih jauh beberapa argumentasi penolakan terhadap world
class university yang lebih bersifat mendasar dan ideologis. Keberatan-keberatan ini mestinya
dijadikan dasar pijakan berpikir Kemendiknas, terutama Dirjend Pendidikan Tinggi (Dikti),
dan kampus-kampus untuk memikirkan ulang orientasi mereka menuju universitas kelas dunia.
Pertama, ketika pemerintah dan semua kampus berusaha keras ingin menjadi
universitas kelas dunia dengan memenuhi syarat-syarat agar dapat nyantol entah di hasil
pemeringkatan THE, QS, Webometric, SJTU, atau yang lainnya, maka artinya kampus-kampus
kita, bahkan sistem pendidikan Indonesia—terutama pendidikan tinggi kita yang mensuport
penuh obsesi kampus-kampus di Indonesia menuju world class university—praktis telah
merunduk di bawah dikte perusahaan penerbitan, lembaga penelitian dan kampus asing
tersebut. Bagaimana mungkin sebuah institusi selevel Kementerian Pendidikan Nasional dalam
praktiknya bisa didikte oleh majalah mingguan Times Higher Education; didikte oleh lembaga
Cybermetrics Lab yang levelnya adalah setara sebuah lembaga di bawah Dewan Riset Nasional
di Indonesia; dan juga didikte oleh kampus asing (SJTU)?
Padahal dalam hirarki struktur kenegaraan, Kementerian Pendidikan Nasional mestinya
levelnya adalah lebih tinggi dari sekadar perusahaan berlevel multinational corporate
sekalipun, terlebih hanya Times Higher Education yang terbit mingguan di Inggris. Jadi makin
jelas sekarang, betapa sistem pendidikan kita dan bahkan dunia telah ditundukkan oleh
korporasi yang berhasil membangun citra dirinya sebagai pihak yang paling tahu tentang
kualitas pendidikan di kampus-kampus seluruh dunia. Di sinilah, dalam mekanisme pasar
bebas kapitalis, praksis pendidikan didesain sedemikian rupa untuk melayani pasar. Bagi saya
sungguh tidak ketemu nalar bagaimana sebuah sistem pendidikan nasional sebuah negara—
dalam hal ini adalah Indonesia—bisa dengan mudah disetir oleh sebuah majalah mingguan
dengan mengiyakan apa yang dikatakan olehnya.
Dengan kata lain, kampus-kampus kita secara tidak langsung telah disetir oleh
Cybermetrics Lab di Spanyol, bahkan juga disetir oleh oleh Shanghai Jiao Tong University di
13
Cina. Padahal level Cybermetrics Lab di Spanyol sebagai penyelenggara perankingan
Webometric adalah sama dengan sebuah divisi kecil dari Dewan Riset Nasional di Indonesia,
dan Shanghai Jiao Tong University juga sama dengan levelnya dengan banyak kampus di
Indonesia. Fakta tersebut menunjukkan relasi tidak setara antara korporasi dengan negara dan
kampus, antara lembaga penelitian sebuah negara tertentu dengan negara dan kampus lain, juga
antara kampus dengan kampus lain. Relasi tidak setara ini adalah praktik hegemoni korporasi
dan intelektual yang membodohkan (lihat Margolis, 2001 dan Nines & Hellsten [eds.], 2005).
Kedua, sebagai sebuah fakta hegemoni korporasi dan intelektual atau secara ekstrim
dapat dikatakan sebuah bentuk penjajahan baru dalam ranah pendidikan, maka pada hakikatnya
juga menunjukkan kepongahan narasi besar modernitas. Ini adalah fakta paradoks dalam
globalisasi, yakni ketika kemungkinan untuk menunjukkan identitas yang berbeda terbuka
lebar, nilai-nilai toleransi ditebar, hingga muncul pluralitas kebudayaan dalam bentuk
multikulturalisme, namun di sisi lain terdapat upaya besar-besaran untuk memunculkan hanya
satu bentuk kebudayaan, yakni budaya pop yang dijiwai oleh nilai-nilai modernitas.
Secara teoritis, Herbert Marcuse menyebutnya sebagai fenomena “One-Dimensional
Man”, yakni praktik untuk menggiring masyarakat pada satu sistem yang sama, yakni sistem
kapitalis melalui pendidikan, media dan lainnya (dalam Kellner, Lewis & Pierce, 2008). Dalam
pendidikan muncullah rezim pendidikan global yang juga turut mendesakkan satu standar
global pendidikan melalui pemeringkatan-pemeringkatan yang dilakukan oleh QS, THE,
Webometric tersebut.
Walaupun terjadi perang saingan antar-institusi penyelenggara pemeringkatan kampus-
kampus tersebut, namun ketika fakta menunjukkan bahwa kampus-kampus di dunia termasuk
di Indonesia tetap berusaha keras memenuhi syarat agar makin meningkatkan ranking mereka
di QS, THE, Webometric dan lainnya, maka pada dasarnya gerak untuk hanya mengakui satu
standar global dan universal tetap berjalan. Hal itu terjadi karena baik QS, THE, Webometric,
SJTU dan lainnya telah mengklaim bahwa penilaian dan perankingannya berskala
internasional, yang artinya mereka masing-masing menggunakan satu standar dengan kriteria
tertentu untuk menilai dan memeringkatkan kampus-kampus di seluruh penjuru dunia.
Satu standar yang diklaim oleh masing-masing institusi tersebut, sebagai sebuah
definisi dan cara paling baik untuk melihat kampus yang berkualitas tersebut tiada lain adalah
upaya untuk memaksa dunia internasional mengikuti sebuah cara pandang tertentu mengenai
bagaimanakah kampus yang berkualitas tersebut seharusnya. Di sisi lain, pemeringkatan atau
14
perankingan adalah metode kompetisi untuk menentukan siapa yang terbaik, dengan merujuk
pada motivasi THE, QS, Webometric dan sejenisnya, maka dengan masuk dalam 100 atau 200
besar ranking dunia, sebuah kampus akan mendapatkan popularitas, prestise dan kebanggan.
Dan itu adalah modal kampus untuk dapat menarik minat calon mahasiswa, investasi, lembaga
donor, dan lainnya untuk masuk kampus (lihat motivasi pemeringkatan oleh Webometric di
depan). Makin luas lingkup popularitas dan prestise yang dapat dicapai—yakni lingkup
internasional karena klaim perankingan kampus tersebut adalah skala internasional—maka
kemungkinan masuknya modal dan investasi ke kampus juga makin besar.
Ketiga, fakta perbedaan metodologi, kriteria dan indikator penilaian tersebut, mestinya
menyadarkan bahwa masing-masing pihak memiliki cara pandang yang berbeda satu sama
lain. Masing-masing punya landasan filosofi dan ideologi yang berbeda dalam mendefinisikan
kampus yang berkualitas. Dengan kesadaran tersebut, para intelektual di kampus harus sadar
bahwa kita juga berhak dan layak berdiri sejajar dengan QS, THE, Webometric, SJTU dengan
merumuskan kriteria dan indikator kampus yang berkualitas dalam konteks Indonesia.
Agaknya mentalitas inferior sebagian dari kita telah menjadikan kita tidak percaya diri untuk
dapat merumuskan bagaimanakah mestinya kampus yang berkualitas tersebut, hingga
kemudian harus mengekor pada rumusan kampus berkualitas versi majalah mingguan THE,
lembaga penelitian Cybermetrics Lab, dan kampus asing seperti SJTU.
Ketundukan tersebut betul-betul merupakan penghinaan atas kedaulatan pendidikan
Indonesia yang justru dilunturkan oleh pemerintah dan kampus-kampus negeri ini sendiri.
Tidaklah patut bagi institusi asing—yang walaupun mengklaim diri berskala internasional—
untuk menentukan anatomi nilai-nilai intelektual yang harus dipatuhi oleh kampus-kampus di
Indonesia. Tidaklah layak mereka mendikte orientasi pendidikan tinggi di Indonesia untuk
sama seperti orientasi pendidikan tinggi di negara-negara lain, terlebih orientasi pendidikan
tinggi perspektif THE dan SQ yang dekat dengan kepentingan modal-kapital di pasar bebas.
Dengan begitu harusnya kita secara sadar membangun kedaulatan pendidikan kita sendiri
dengan mengabaikan dan tidak terlalu terpengaruh pada praktik pemeringkatan dunia tersebut.
Keempat, nalar pikir ideologis yang mendasari praktik pemeringkatan tersebut adalah
kapitalisme dan neoliberalisme. Hal tersebut dapat dilihat dari indikator yang digunakan oleh
THE misalnya, antara lain research income from industry (per staf akademik, bobotnya 2,5
persen), public research income/total research income (bobotnya 0,75 persen), research income
(scaled) (bobotnya 5,25 persen). Jadi, dengan ketentuan tersebut, maka kampus menjadi
15
layaknya sebuah korporasi yang berupaya untuk meraup untung dari aktivitas intelektual
terutama penelitian. Terlebih pada penilaian pemasukan dari riset dunia industri, jelas
menunjukkan orientasi kampus untuk melayani pasar. Walaupun pemasukan tersebut
digunakan untuk operasional kampus, namun dapat dipastikan sebagian akan dialokasikan bagi
upaya mendongkrak posisi kampus dalam pemeringkatan world class university saja. Henry
Giroux (2006: 68) menyatakan:
In the corporate university, academics are now valued according to the grant money
they attract rather than the quality of education they offer to students. As the university
is annexed by defense, corporate, and national security interests, critical scholarship is
replaced by research for either weapons technology or commercial profits, just as the
private intellectual now replaces the public intellectual, and the public relations
intellectual supplants the engaged intellectual in the wider culture.
Jelas, bahwa kampus yang dikelola dengan logika korporasi dengan new public managerialism
mendasarkan pada nalar kapitalisme. Hal utama dalam doktrin kapitalisme adalah bagaimana
caranya agar sebuah institusi dapat beroperasi dengan meraup untung sebanyak-banyaknya.
Dengan predikat prestise dan popularitas sebagai universitas kelas dunia, maka diharapkan
akan dapat makin menarik minat mahasiswa kuliah di situ, yang artinya pemasukan dari
mahasiswa akan bertambah, terlebih mahasiswa internasional (bobotnya 2 persen pada
perankingan THE). Fakta di Indonesia, kampus-kampus banyak berargumen bahwa untuk
dapat menjadi kampus kelas dunia mereka butuh banyak dana, hingga wajar biaya kuliah
mahasiswa mahal dan dinaikkan tiap tahun.
Hal inilah yang pada akhirnya menjadikan calon mahasiswa dari kalangan menengah
ke bawah tidak dapat melanjutkan kuliah, karena besarnya biaya kuliah yang hanya dapat
dipenuhi oleh calon mahasiswa kaya saja. Praktik kapitalisme di manapun memang akan
makin membuat kesenjangan sosial dan ekonomi antara yang kaya dan yang miskin makin
lebar. Dalam orientasi menjadi kampus berkelas dunia tersebut, ketika yang kaya saja yang
mampu masuk di dalam kampus dan sebagian besar menjadi makin kuat nalar kapitalisme,
pada akhirnya mereka akan didistribusikan pada institusi-institusi kapitalis pasar bebas (lihat
Margolis, 2001 & Apple, 2004). Mereka itulah yang pada akhirnya nanti akan mengendalikan
dan mempermainkan pasar.
Pada praktik pendidikan berkultur korporasi dan kapitalisme tersebut, yakni ketika di
kampus mereka tidak lagi berinteraksi dengan mahasiswa yang berlatar sosial dan ekonomi
16
menangah ke bawah, ketika mereka selalu diperlihatkan dengan gemerlap kehidupan urban,
modernitas, sosialita, selebritas, jejeran mobil di parkiran kampus, jejeran etalase elite di
lingkungan kampus, maka mereka tidak akan terasah kepekaan sosialnya (bandingkan dengan
Giroux, 2006: 69). Pada kampus yang kuat link-nya dengan dengan dunia industri dan
kekuasaan, maka ketika mahasiswa borjuis tersebut masuk dalam lingkaran korporasi dan
kekuasaan, niscaya mereka akan berkecenderungan abai terhadap praktik korporasi dan
kekuasaan yang menindas masyarakat menengah ke bawah. Inilah fakta penguatan rezim
kapitalisme dan neoliberalisme melalui dunia pendidikan.
Selain itu, kampus juga berharap agar dengan reputasi penelitian (bobotnya 19,5 persen
pada perankingan THE) yang tinggi dalam perhitungan THE misalnya, akan makin banyak
dunia industri yang bersedia membiayai penelitian mereka. Padahal tiada lain penelitian untuk
dunia industri kecuali ditujukan untuk makin memperkuat beroperasinya mekanisme
kapitalisme dan neoliberalisme, karena korporasi yang bersedia memberikan dananya untuk
penelitian biasanya adalah korporasi besar yang sudah punya alokasi dana untuk makin
memperlebar sayap usahanya. Di titik inilah, kampus berkelas internasional tersebut telah
menjadi bagian dari jejaring korporasi kapitalis yang mengamini kebenaran diktum-diktum
neoliberalisme. Naidoo & Jamieson (2005: 38) menyatakan bahwa:
The conception of higher education as a ‘public good’ has therefore become somewhat
eclipsed by the redeployment of higher education as an industry for enhancing national
competitiveness and as a lucrative service that can be sold in the international
marketplace.
Kelima, pijakan dasar ideologis selanjutnya dari perankingan yang dilakukan oleh
THE, QS, Webometric dan sejenisnya adalah nalar pikir globalisasi, yang mewujud dalam
klaim lingkup internasional dan satu standarnya. Secara lebih detail, nalar pikir globalisasi
tersebut terdapat pada indikator international mix-staff and students pada pemeringkatan THE
(bobotnya 5 persen), juga pada indikator international orientation pada pemeringkatan QS
(bobotnya 10 persen). Jadi, globalisasi dalam praktik kampus yang berkelas dunia tersebut
dimaknai sebagai harus menerima staf dan mahasiswa dari berbagai belahan dunia, juga
pembukaan program-program internasional dengan kurikulum yang mengenalkan nilai-nilai
globalisasi, termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai pasar bebas, demokrasi liberal dan
sejenisnya.
17
Pada semua metodologi yang digunakan oleh THE, QS, Webometric dan SJTU tidak
memasukkan indikator konteks di mana kampus tersebut berdiri. Tidak ada indikator
kontribusi kampus untuk penguatan budaya bangsa, untuk kedaulatan pangan, untuk
memperkuat nilai-nilai nasionalisme, kerakyatan dan sejenisnya. Kalau kampus-kampus di
Indonesia menuruti kemauan tersebut, maka akan makin mengikis kesadaran kontekstual
kampus dan segenap sivitas akademika di dalamnya. Mereka akan belajar nilai-nilai dan
pengetahuan asing tanpa dasar pengetahuan dan praksis yang kuat untuk dikontekstualisasikan
pada Bumi Nusantara, mereka sibuk mempublikasikan artikelnya di jurnal internasional,
mengusahakan agar website mereka makin dicari di Google, Yahoo, Live Search, dan Exalead,
tapi kehilangan arah apa gunanya semua itu untuk bangsa, negara dan rakyat Indonesia.
Secara tidak langsung amatlah ironis ketika pemeringkatan internasional tersebut justru
akan menjadikan kampus sebagai menara gading, di mana para peneliti, intelektual, mahasiswa
dan birokratnya menjadi pintar untuk kepintaran itu sendiri, mengembangkan pengetahuan
untuk pengetahuan itu sendiri. Jenis intelektual elitis inilah yang ingin diciptakan oleh gerak
industrialisasi kapitalis dan pasar bebas, agar mereka sibuk dengan dunianya sendiri. Tidak
peduli dengan realitas masyarakat sipil yang menderita akibat sistem ekonomi-politik pasar
bebas. Pada kampus menara gading yang disetir oleh pasar itulah, satu-satunya saluran ke luar
dinding kampus adalah untuk menggagas ide-ide yang dapat memperkuat dan menguntungkan
pasar, lain tidak (bandingkan dengan kondisi di Amerika, lihat analisis Giroux, 2006).
Keenam, indikator dan kriteria yang digunakan QS, THE, Webometric, SJTU dapat
dikatakan sebagai berkecenderungan untuk apolitik. Dengan kata lain, mereka mendasarkan
pada cara pandang bahwa ranah dan praksis pendidikan adalah netral dari kepentingan politik,
ekonomi dan ideologi. Cara pandang ini sebenarnya berakar pada ideologi pendidikan liberal
yang menganggap bahwa pendidikan tidak ada kaitannya dengan mekanisme politik, hasrat
ekonomi, indoktrinasi ideologis dan sejenisnya (lihat Fakih et al, 2000). Oleh karena itu,
indikator dan kriteria kampus berkualitas yang mereka gunakan sama sekali tidak
menunjukkan perlunya kampus ikut berperan dalam transformasi sosial, kultural dan politik
sebuah negara. Tiadanya indikator tersebut dapat ditebak sebagai upaya untuk
menyembunyikan fakta relasi kuasa modal dan politik atas pengetahuan dan praksis
pendidikan, di mana QS dan THE misalnya adalah bagian dari pemainnya.
Pada cara pendang tersebut, maka kampus yang baik adalah yang berkontribusi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama yang dapat mendukung pasar bebas
18
neoliberal. Sivitas akademika yang baik bukanlah yang berani mengkritik penguasa, bukan
pula yang berani berdemo menentang ketidakadilan, diskriminasi, dan membela kaum miskin,
melainkan yang tekun belajar dan berprestasi dalam kontes-kontes akademik. Berlawanan
dengan itu, Giroux (2006: 74) menggambarkan sivitas akademika yang baik sebagai seorang
intelektual publik yang harus melawan pemahaman bahwa kampus adalah netral dari ideologi
dan politik.
Public intellectuals need to resist the seductions of a narrow understanding of academic
labor with its specialized languages, its neutralization of ideology and politics. […]
Academics should enter into a dialogue with colleagues and students about politics and
the knowledge we seek to produce together, and connect such knowledge to broader
public spheres and issues.
Sementara itu, cara pandang yang tersirat pada indikator-indikator pemeringkatan kampus
tersebut tidak mengakui betapa pentingnya kampus dan sivitas akademika sebagai kekuatan
politik yang juga memiliki peran politik untuk menentukan atau minimal mengkritik arah
kebijakan penguasa. Ironisnya, cara pandang inilah yang sekarang menggejala di kampus-
kampus kita dengan banyaknya gelontoran dana untuk aktivitas kontes-kontes akademik yang
akan menjauhkan mahasiswa dan dosen dari aktivitas politik, sosial dan kebudayaan mereka.
Ketujuh, kompetisi yang dibuat dan dijalankan oleh QS, THE, Webometric, SJTU dan
lainnya tersebut bagi saya tiada lain kecuali permainan institusi kapitalis untuk tetap
menyalakan dan selalu menghidupkan tradisi liberalisme-neoliberalisme berupa kompetisi-
kompetisi (Nuryatno, 2008: 70-72; Huat, 2009). Mereka mendesain banyak sekali jenis
kompetisi budaya dan intelektual—termasuk perankingan kampus dalam skala internasional
tersebut. Di sinilah mereka yang masuk dalam jerat kompetisi tersebut akan merasa senang dan
gembira ketika mendapat prestise dan popularitas; juga enjoy dan terpenuhi hasrat berkuasanya
(will to power) dengan berkompetisi. Kesenangan dan kegembiraan atas popularitas, serta
kepuasan atas pemenuhan hasrat itulah yang dijual oleh peradaban modern dengan disokong
oleh demokrasi dan pasar bebas.
Herbet Marcuse mengajukan konsep “happy consciousness” atau yang kira-kira bisa
dimaknai sebagai kesadaran kebahagiaan (diulas dengan baik oleh Kellner, Lewis & Pierce,
2008: 11-12). Munculnya kesadaran ini menandakan hilangnya nalar kritis yang diikuti dengan
proses likuidasi atas media dan sumber-sumber potensial dari mereka yang anti-kapitalis,
dengan tujuan untuk memantapkan sistem masyarakat kapitalis.
19
[…] happy consciousness is that cultural activities and practices that cultivate the
critical capacities of individuals and communities have been absorbed into the totality
of a hyper consumptive form of capitalism. […] then, it is not just that consumer
culture has assimilated potentially oppositional realms of culture but also that these
forms of negative and critical thought have been replaced with an operationalized way
of thinking and attendant sets of values: consumer attitudes and behavior, increasing
conformity to market logics, and a complacency to global militarization.
Pada praktik kompetisi antar-kampus, lama-kelamaan mendatangkan kesenangan dan kepuasan
bagi pelakunya, terutama ketika menang kompetisi, menjadi juara satu, yang artinya menjadi
berkuasa atas saingannya dan menjadi populer. Dengan penerimaan para pelaku kompetisi atas
praktik kompetisi yang menyenangkan dan memuaskan, maka tanpa disadari tumbuhlah dalam
diri mereka jiwa kompetisi dan jiwa selebritas.
Tujuannya adalah agar semuanya tetap percaya pada narasi besar modernitas,
kapitalisme global, pasar bebas neoliberal dan konco-konconya yang telah mendatangkan
gairah kehidupan dalam bentuk kompetisi, kepuasan ketika menang kompetisi, kesenangan dan
kegembiraan atas popularitas dan lainnya. Secara ideologis desakan untuk menerima
perankingan tersebut adalah cara untuk mengindoktrinasikan sebuah cara pandang bahwa:
kompetisi adalah cara untuk menentukan apakah sebuah kampus berkualitas atau tidak; bahwa
pengakuan QS, THE, Webometric, SJTU dan lainnya adalah penting; bahwa reputasi, citra dan
popularitas adalah penting, bahwa kampus harus ikut apa kata pasar. Praktik perankingan
world class university dengan demikian secara ekstrim adalah praktik pembelokan dan
pembiasan anatomi nilai-nilai intelektual dalam konteks Indonesia.
Problem Pengakuan dan Kebangaan Semu
Dari penolakan dengan analisisi dan kritik ideologi tersebut, kita dapat memperkirakan bahwa
sebenarnya terdapat motivasi bawah sadar kolektif berupa kebanggaan dan pengakuan, yakni
kebanggaan masuk dalam jajaran kampus-kampus bonafide negara maju dan dengan demikian
diakui keberadaannya sebagai kampus berkelas dunia. Namun di balik yang terlihat masuk akal
ini, pengakuan dan kebanggan tersebut harus dilihat secara mendalam dan kritis dari berbagai
perspektif.
Rakyat dan bangsa Indonesia mendapat keuntungan apa kalau kampus-kampus kita
diakui sebagai berkualitas oleh QS, THE, Webometric, SJTU dan lainnya? Mungkin sebagian
20
besar di antara kita akan mengatakan bangga dengan posisi tersebut, karena dengan demikian
Indonesia eksis di dunia internasional melalui kampus-kampusnya. Mari kita lihat lebih jauh,
sebenarnya kebanggaan yang disebut itu kebanggaan macam apa? Jika dilihat dari gradasi atau
level kebanggaan, maka kebanggaan atas posisi kampus di perankingan dunia tersebut
bukanlah kebanggaan yang patut dirayakan. Karena kebanggaan substansial mestinya dilihat
dari bukti nyata berupa kontribusi dan sumbangsih kampus pada rakyat dan negara Indonesia.
Bukan dilihat dari artikel yang dimuat di jurnal internasional dan banyak dikutip,
melainkan dari artikel tersebut apakah bisa membuat perubahan berarti atau tidak? Bukan juga
dilihat dari produktivitas penelitian dosen hingga bisa mendatangkan banyak pemasukan bagi
kampus, melainkan dilihat dari penelitian dosen tersebut bisa membuat kehidupan rakyat lebih
baik atau tidak? Posisi-posisi popularitas kampus di mata dunia tidak punya korelasi langsung
dengan kontribusinya pada konteks sosial, ekonomi, kultural, dan politik di masyarakat dan
negara tempat ia berdiri. Pencerabutan kampus dari akar kontek sosialnya inilah yang harus
dihentikan, penggunaan maka “kebanggaan” yang dangkal dan semu inilah yang harus
diluruskan.
Ketika yang dikatakan sebagai universitas kelas dunia adalah mereka yang mampu
berkompetisi dan bertengger di seratus besar perankingan lembaga-lembaga perankingan
tersebut, pertanyaannya adalah: apakah pengakuan oleh mereka itu sedemikian penting? Jika
dibenturkan dengan konteks di mana kampus-kampus kita berdiri, apakah pengakuan institusi
pemeringkatan internasional tersebut lebih penting ketimbang pengakuan dari rakyat dan
bangsa Indonesia sendiri? Sama dengan problem kebanggaan semua di atas, maka problem
pengakuan yang diderita kampus-kampus kita juga tiada lain adalah pengakuan pada level
yang paling kulit. Adalah betul-betul fakta inferioritas dari kampus-kampus kita jika mereka
lebih suka mendapat pengakuan dari THE, QS, Webometric dan SJTU ketimbang pengakuan
dari rakyat dan bangsa Indonesia sendiri.
Kampus-kampus yang mengupayakan segala energinya agar mendapat pengakuan dari
institusi-institusi pemeringkatan tersebut adalah kampus-kampus yang lupa tugas yang jelas
tertera pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Mereka sibuk mencari pengakuan dunia internasional pada lembaga-lembaga yang mengklaim
dirinya memiliki reputasi internasional, energi kehidupan kampus sepenuhnya dipakai untuk
sekadar mendapat kebangaan dari ranking-ranking tersebut. Kampus-kampus itu ibarat seorang
guru yang sibuk ikut lomba-lomba agar mendapat pengakuan bahwa dia guru yang hebat, dia
21
berpikir hal itu akan membanggakan siswa-siswi dan sekolah tempat ia mengajar, namun ia
sendiri lupa tugas utamanya adalah mendampingi siswa-siswinya dalam belajar. Ia guru yang
lupa konteks dan tugasnya, demikian juga dengan kampus-kampus tersebut.
Dengan demikian, negara, rakyat, dan bangsa hanya menjadi pertimbangan kesekian
setelah mementingkan intelektualisme elite yang lepas konteks dan prestise kampus di mata
dunia internasional. Pertanyaan yang muncul adalah: misal ada sebuah kampus di Indonesia
yang dapat menembus ranking 100 besar Times Higher Education World University Rankings
(THE), hingga sarjana lulusannya dapat berkompetisi dengan lulusan dari kampus-kampus
seperti Harvard atau Cambridge, apa untungnya bagi rakyat dan bangsa Indonesia? Tidak ada
orientasi, indikator dan ketentuan bahwa world class university dan lulusannya harus dapat
memberikan kontribusi bagi rakyat dan negaranya.
Pada tiap mekanisme kompetisi yang menjadi ruh dari sebuah praksis pendidikan,
maka yang diasah adalah ego institusi sekolah atau kampus tersebut. Pada lingkup mikro, yang
diasah adalah ego individualisme siswa dan mahasiswa. Tidak peduli betapa banyaknya medali
emas Olympiade fisika, matematika, kimia dan lainnya yang dimenangkan oleh pelajar-pelajar
Indonesia, bahkan ketika mereka menyatakan kemenangan tersebut adalah kemenangan
Indonesia, pada hakikatnya tidak ada artinya ketika mereka kemudian nanti tidak bisa
memberikan kontribusi riil bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Ironisnya, sekarang ini juga
sudah banyak lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang lebih mementingkan prestasi individu
ketimbang kolektivitas sosial mereka di ranah sosial.
Lalu bagaimanakah sikap kita mestinya terhadap euforia dan obsesi kampus-kampus
negeri ini yang ingin menjadi universitas kelas dunia? Hasanuddin Abidin, anggota senat
akademik Institut Teknologi Bandung menyatakan:
Percuma jika punya peringkat yang tinggi, tetapi tidak berkontribusi bagi masyarakat.
World Class University penting, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana perguruan
tinggi itu bermanfaat bagi negara dan masyarakat. (Kompas, 27/10/09)
Ia menambahkan, mestinya perguruan tinggi Indonesia berkaca pada perguruan-perguruan
tinggi di Jepang. Mereka tidak memikirkan bagaimana peringkatnya di dunia internasional.
Bagi mereka, yang lebih penting adalah bagaimana hasil penelitian bisa bermanfaat untuk
masyarakat. Senada dengan pendapat tersebut, Revrisond Baswir, dosen dan ekonom dari
Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan:
22
Tugas perguruan tinggi seperti dalam tujuan nasional itu kan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Tidak untuk menjadi World Class University. Gara-gara diarah-
arahkan melalui sejumlah indikator agar memenuhi standar internasional, lalu kita
melupakan fungsi kita ke dalam. Nomor satu itu kan negara, termasuk universitas,
harus bermanfaat bagi negerinya. Walaupun diakui hebat secara internasional, kalau
tidak bermanfaat untuk apa. (lihat “Ini Komersialisasi Kampus” 2010)
Dua pendapat di atas tentu lebih masuk akal dibandingkan sekian banyak argumen dari mereka
yang pro orientasi kampus menjadi world class university, lebih-lebih ketika dibenturkan pada
konteks sosio-kultural Indonesia, amanat konstitusi (Pancasila dan UUD 1945), dan konsepsi
pedagogi kritis yang menggariskan dengan jelas tugas kampus dalam proses transformasi
intelektual dan sosial di masyarakat.
Visi dan Orientasi Kampus dalam Konteks Indonesia
Kalau bukan World Class Univeristy, lalu apa? Akan ada banyak jawaban yang dapat
diberikan dari berbagai perspektif yang berbeda, namun yang jelas adalah: tidak mendasarkan
pada pijakan argumentasi perankingan sebagaimana dikemukakan di depan yang lepas
konteks, apolitik, elit intelektual, menara gading, hegemonik, dan monolitik dari ideologi
kompetisi neoliberal, pasar bebas, dan kapitalisme.
Secara filosofis, pertimbangan visi sebuah kampus juga harus mendasarkan pada: (1)
konteks di mana kampus tersebut berada, dan (2) hakikat peran dan tugas universitas. Konteks
kampus meliputi konteks geografis kampus, apakah secara geografis ia di daerah perkotaan
atau pedesaan; potensi lingkungan sekitarnya apa; kebutuhan dasar daerah atau negaranya apa;
kebutuhan dasar masyarakat di sekitaranya apa; dan masalah yang terjadi di sekitarnya apa.
Sedangkan hakikat peran dan tugas kampus meliputi peran dan tugasnya terhadap segenap
sivitas akademika yang ada di dalam kampus, yakni dalam pengolahan potensi-potensi mereka;
tugasnya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan; tugasnya dalam menjaga nilai-nilai etis-
kebaikan dan kebenaran-intelektual.
Dengan merujuk pada konteks sosial dan hakikat serta posisi kampus di atas, maka bagi
saya kampus-kampus di Indonesia minimal merumuskan visi dan orientasi kampusnya pada 4
(empat) hal sebagai berikut.
23
(1) Visi kampus harus mendasarkan pada konteks sosial-masyarakat di mana kampus
tersebut berada. Pada konteks pendidikan yang lebih luas Ki Hadjar Dewantara, 2004
[1928], 3) menyatakan:
Untuk mendapatkan sistem pengajaran yang akan berfaedah bagi perikehidupan
bersama, haruslah sistem itu disesuaikan dengan hidup dan penghidupan rakyat.
Oleh karena itu wajiblah kita menyelidiki segala kekurangan dan kekecewaan
dalam hidup kita berhubung dengan sifatnya masyarakat seperti apa yang kita
kehendaki.
Dalam hal ini kampus harus melihat secara jeli potensi lingkungan dan masyarakat
sekitar, termasuk melihat secara kritis peristiwa dan masalah yang terjadi di masyarakat
—terutama dalam lingkup terdekatnya. Dari pembacaan yang kritis, jelas, mendalam
dan komprehensif, maka kampus dapat merumuskan visinya dalam upaya
mengembangkan potensi daerah tersebut, baik potensi alam maupun manusianya.
Termasuk menjaga, mendampingi, dan membelanya ketika kekuatan ekonomi global
dalam bentuk multinational corporate (MNC), usaha waralaba (franchise) global, dan
serbuan produk-produk impor masuk ke daerah tersebut untuk menghisap darah
penghidupan rakyat.
Di sinilah kampus mesti berpihak pada kekuatan-kekuatan lokal dan nasional yang
menjadi tanggung jawabnya, bukan sebaliknya membela kepentingan ekonomi global-
kapitalis dengan menjadi konsultan korporasi kapitalis (Giroux, 2006). Kampus tidak
boleh menjadi menara gading yang tercerabut dari akar masalah dan konteks sosial
daerah dan negaranya. Kampus tidak boleh masuk dalam jejaring neoliberal dalam
rangka mengeksploitasi rakyat dan negaranya sendiri. Kampus tidak boleh merunduk di
bawah ketiak korporasi tanpa nurani. Kampus hanya boleh—dan bahkan wajib—
merunduk di bawah amanat penderitaan rakyat, untuk memformulasikan gagasan-
gagasan perbaikan kondisi rakyat, untuk membela mereka dari gerusan kapitalisme
global. Intinya, kampus harus berdiri kokoh di depan rakyat sebagai benteng intelektual
penjaga rakyat, bangsa dan negara dari segela bentuk penjajahan baru.
24
(2) Visi kampus harus mendasarkan pada konteks ideologi-kebangsaan di mana kampus
tersebut berada. Kampus harus mendasarkan diri pada kesadaran kebangsaan,
kerakyatan dan keindonesiaan—dalam konteks Indonesia. Oleh karena itu, visi
universitas tidak boleh lepas dari pijakan kesadaran kebangsaan, kerakyatan dan
keindonesiaan tersebut. Visi inilah yang kemudian harus dirujuk ketika
memformulasikan kebijakan kampus, seperti orientasi kerjasama dengan lembaga lain
terutama yang berasal dari luar; perumusan kurikulum; pendirian program studi; dan
berbagai aktivitas lainnya.
Dengan begitu, kampus jangan sampai larut dalam pusaran globalisasi yang akibatnya
adalah melunturkan kesadaran kontekstual berbangsa dan bernegara. Kampus juga
harus berupaya untuk menjaga tegangan antara globalisasi dengan lokalitas dan
etnisitas, untuk tetap mengambil sisi-sisi positif di antara dua kutub yang tampak saling
beroposisi tersebut. Kampus juga harus memformulasikan praksis pendidikan yang
akan membentuk mahasiswa memiliki kesadaran sebagai warga negara Indonesia
(citizen) dan warga dunia. Kampus juga harus mampu memformulasikan segenap
aktivitasnya untuk menjaga integrasi bangsa dengan mengembangkan dialog
multikultural antar-etnis, agama, dan suku, di Indonesia.
Di titik ini, kampus mempunyai peran dan fungsi politik kenegaraan, bukan politik
kekuasaan. Henry Giroux (2006: 72) menyatakan:
Part of the struggle for the university as a democratic public sphere and as asite
of resistance against the growing forces of militarism, corporatism,
neoconservatism, and te religious fundamentalism…demand a new
understanding of what it means to be a public intellectual, which in turn
suggests a new language for politics itself.
Oleh karena itu, kampus menjadi salah satu bagian dari gerakan sosial dan politik untuk
tetap mengingatkan penguasa ketika melenceng dari amanat konstitusi, entah lewat
gerakan mahasiswa atau lewat rekomendasi dan kritik kebijakannya yang elegan. Jadi,
kampus tidak dikerdilkan definisinya hanya sebagai tempat belajar, pengembangan
ilmu pengetahuan, dan pengabdian masyarakat saja. Kampus tidak juga disetir menjadi
25
korporasi kecil yang bekerja untuk korporasi besar dengan menyalurkan tenaga-tenaga
siap pakai bagi dunia industri kapitalis. Kalaupun muaranya adalah dunia kerja dan
kekuasaan, maka kampus mesti dapat mendistribusikan lulusannya pada dunia kerja
yang pro-rakyat, bukan yang pro-pasar; maka kampus harus dapat menghasilkan
negarawan yang bermoral dan memiliki komitmen kebangsaan, kerakyatan dan
keindonesiaan yang kuat.
(3) Visi kampus harus mendasarkan pada hakikat dan tujuan pengolahan manusia segenap
sivitas akademika kampus. Di sini kampus mesti memiliki mata pandang kebudayaan
yang luas, peta filosofi dan ideologi yang lengkap, hingga dapat merumuskan visi dan
orientasi pengolahan potensi mahasiswa akan mengarah ke mana. Dengan tetap
berpijak para realitas konteks sosial, ekonomi, budaya, dan politik, namun juga dengan
merujuk pada hakikat manusia, kampus harus dapat merumuskan karakter mahasiswa
seperti apa yang sekiranya akan dibentuk dalam kaitannya dengan konteks sosial
negara, masyarakat dan ilmu pengetahuan, tentu dengan tidak membunuh kekhasan
karakter masing-masing mahasiswa.
Pengolahan potensi mahasiswa misalnya, mesti dengan memahami betul filosofi hak
asasi manusia (HAM), tanggung jawab kemanusiaan, nilai-nilai kemanusiaan dan
ketuhanan yang diyakini mahasiswa. Agar tidak terjerembab pada filosofi liberalisme
dalam pengertian liberal-individual, yakni liberalisme yang memupuk hak individu,
hingga menyuburkan egoisme diri. Liberalisme inilah yang juga menjadi basis filosofi
kapitalisme.
(4) Visi kampus harus mendasarkan hakikat dan tujuan dikembangkannya pengetahuan-
intelektual. Kampus mesti dengan tepat memahami bahwa pengetahuan dibuat dan
dikembangkan tidaklah netral, ia menempati konteks ruang-ruang sosial tertentu. Oleh
karena itu, visi pengembangan ilmu pengetahuan di kampus, dalam bentuk penelitian,
diskusi-diskusi intelektual dan sejenisnya harus ditujukan pada upaya untuk
memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat, kedaulatan manusia, kedaulatan
dan ketahanan pangan, konservasi biodiversitas, dan sejenisnya. Lagi-lagi bukan
pengetahuan yang dikembangkan untuk pengetahuan itu sendiri, bukan pula
pengetahuan yang dikembangkan di atas asumsi bebas nilai dengan basis paradigma
26
positivisme. Bukan penelitian yang ditulis untuk tujuan agar dimuat di jurnal
internasional untuk kebanggaan semu, pengakuan kulit, dan popularitas semata.
Rumusan hal-hal yang harus diacu dalam memformulasikan ulang visi dan orientasi kampus di
atas dikemukakan dengan tidak memalingkan muka dari globalisasi sekarang. Globalisasi
adalah keniscayaan, tapi yang belum pasti adalah pembadaan dan penyikapan atas globalisasi
itu sendiri. Cara pandang yang hanya melihat sisi baik akan cenderung selalu optimis dan
terbuka menyambut globalisasi, mereka lupa bahwa terdapat banyak nilai-nilai, kultur dan
ideologi yang di bawa globalisasi sangat berpotensi merusak anatomi nilai-nilai kehidupan
manusia dan bangsa Indonesia. Cara pandang yang mengambil konsepsi teori sosial-kritislah
yang dapat membedah fakta hegemoni intelektual dan budaya, penjajahan gaya baru di ranah
ekonomi dan lain sebagainya, dan itulah yang dilakukan dalam analisis singkat ini.
Penutup
Pasca dibatalkannya Undang-Undang No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP)
oleh Mahkamah Konstitusi, kampus-kampus sekarang banyak beralih pada mekanisme
pengelolaan yang tetap berupaya untuk mandiri dan tidak ribet dalam pengelolaan keuangan,
yakni menggunakan konsep Badan Layanan Umum (BLU), selain itu ada juga yang kembali
ke konsep lama yang semua pemasukan kampus harus disetor ke Pusat dulu. Hal yang harus
diperhatikan adalah: BLU itu bukan konsep pengelolaan institusi pendidikan, ia hanya
merupakan konsep pengelolaan keuangan sebuah institusi agar lebih otonom. Jadi adalah salah
ketika sebuah kampus yang memiliki visi pedagogik dan transformasi sosial dikelola dengan
konsep manajemen keuangan.
Dengan demikian, biarlah BLU porsinya hanya sebagai konsep manajemen keuangan
kampus, namun kampus sendiri harus memiliki konsep manajemen pendidikan tinggi yang
jelas. Ketika ancangan visinya sudah dikemukakan di atas, maka yang perlu dilakukan
sekarang adalah: merumuskan manajemen atau konsep pengelolaan kampus bagaimanakah
yang sekiranya akan dapat memenuhi tugas dan tanggung jawab kampus sesuai dengan visinya
dalam konteks kebangsaan, kerakyatan dan keindonesiaan. Memang pada pertengahan tahun
2010 ini pemerintah telah mengeluarkan PP No. 66/2010 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, namun
itu hanya sebagai sebuah acuan legal formal saja. Di situ hanya terdapat hal-hal teknis tentang
27
pengelolaan perguruan tinggi seperti tugas rektor, senat universitas, lingkup otonomi kampus
dan lainnya.
Memang bukan wilayahnya sebuah peraturan pemerintah untuk memasukkan dasar-
dasar ideologis dari visi sebuah kampus, di sinilah kampus memiliki ruang kebebasan
memformulasikan visinya serta strateginya untuk menjadi kampus yang diakui dan
dibanggakan oleh rakyat dan bangsa Indonesia. Dan itu artinya bukanlah kampus berlabel
world class university yang masuk dalam prankingan THE, QS, Webometric, SJTU dan
sejenisnya yang justru akan mencerabut dirinya dari konteks sosial, kultural, ekonomi dan
politik rakyat dan bangsanya. [ ]
* Edi Subkhan, pegiat di Darmaningtyas Institut of Education and Globalization Studies
(Digest), Jakarta, dan Komunitas Embun Pagi, Semarang. Dapat dihubungi via email di:
edi_subkhan@yahoo.com.
Referensi
Apple, Michael W. (2004). Ideology and Curriculum, 3rd Edition. New York & London:
RoutledgeFalmer.
About the Ranking. (2010). Diunduh dari website resmi Webometrics pada 13 Oktober 2010:
http://www.webometrics.info/ about_rank.html.
About Us. (2010). Diunduh dari website resmi Webometrics pada 27 Oktober 2010:
http://www.webometrics.info/about.html.
Analysis Methodology. (2010). Diunduh dari website resmi Times Higher Education pada 20
Oktober 2010:
http://www.timeshighereducation.co.uk/world-university-rankings/2010-2011/analysis-
methodology.html.
Dewantara, Ki Hadjar. (2004). Pendidikan. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Majelis Luhur
Perguruan Tamansiswa.
Diamond, Ian. (2007). “Social Sciences Lose 1”. Times Higher Education. Diunduh pada 20
Oktober 2010: http://www.timeshighereducation.co.uk/story.asp?sectioncode=26&
storycode=311132.
Dirjend Mandikdasmen. (2010). Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional. [Presentasi ppt]
Dirjend Mandikdasmen Kemendiknas. Jakarta: Dirjend Mandikdasmen Kemendiknas. 28
Fakih, Mansour, et al. (2000). Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta:
ReaD Book, Insist.
Giroux, Henry. (2006). “Higher Education Under Siege: Implications for Public Intellectuals.”
The NEA Higher Education Journal. Fall.
Huat, Chua Beng. (2009). Disrupting Liberalism in East Asia. [Presentasi ppt] Disampaikan
dalam “The First International Graduate Student Conference in Indonesia” di Sekolah
Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM), 1—2 Desember. Yogyakarta: tidak
diterbitkan.
Ini Komersialisasi Kampus. (2010). Diunduh dari website resmi Badan Penerbitan dan Pers
Mahasiswa Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 20 Oktober 2010:
http://www.balairungpress.com/2010/08/ini-komersialisasi-kampus/.
Istadi. (2010). Disain Webiste dan Weblog Berbasis Webometric. [Presentasi ppt] Universitas
Diponegoro. Semarang: Universitas Diponegoro.
Kelnerr, Douglas., Lewis Tyson E., & Pierce, Clayton. (2008) On Marcus: Critique,
Liberation, and Reschooling in the Radical Pedagogy of Herbert Marcuse. Rotterdam,
Netherlands: Sense Publisher.
Kompas. (2009). “Miliaran Rupiah, demi Universitas Berkelas Internasional.” Kompas.
Jakarta: 20 Mei.
Kompas. (2009). “ITB: ‘World Class University’ Bukan Tujuan Utama!” Kompas. Jakarta: 27
Oktober.
Kusmastanto, Tridoyo. (2007). Etika Akademik Menuju World Class University. Draft Etika
Akademik Institut Pertanian Bogor. Bogor: tidak diterbitkan, Juli.
Levin, Henry M., Jeong, Dong Wook, & Ou, Dongsu. (2006). What is World Class
University? Paper for The Conference Of The Comparative and International Education
Society, Honolulu, Hawaii, March, 16.
Marginson, Simon. (2006). “Ranking Ripe for Misleading”. The Australian. Diunduh pada 20
Oktober 2010 dari http://www. theaustralian.com.au/higher-education/rankings-ripe-
for-misleading/story - e6frgcjx - 1111112637978 .
Margolis, Eric (ed.). (2001). The Hidden Curriculum in Higher Education. New York &
London: Routledge.
Mendiknas: Peresmian Masjid dan Pidato Dies Natalis UNY. (2010). Diunduh dari website
resmi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada 20 Oktober 2010:
29
http://www.uny.ac.id/berita/uny/mendiknas-peresmian-masjid-dan-pidato-dies-natalis-
uny.
Methodology. (2010). Diunduh dari website resmi Webometrics pada 20 Oktober 2010:
http://www.webometrics.info/methodology.html.
Methodology: Simple Overview. (2010). Diunduh dari website resmi Top Universities pada 27
Oktober 2010: http://www.topuniversities.com/university-rankings/world-university-
rankings/methodology/simple-overview.
Naidoo, Rajani & Jamieson, Ian. (2005). “Knowledge in the Marketplace: the Global
Commodification of Teaching and Learning in Higher Education.” Dalam Nines, Peter
& Hellsten, Meeri (eds.). Internationalizing Higher Education: Critical Exploration of
Pedagogy and Policy. Dordrecht, Netherlands: Springer.
Nurtjahjadi. (2010). “Inggris Protes Ranking WCU.” Diunduh dari website resmi Edukasi
Kompasiana pada 20 Oktober 2010: http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/16/
inggris-protes-ranking-wcu/.
Nuryatno, Agus. (2008). Mazhab Pendidikan Kritis: Menyingkap Relasi Pengetahuan, Politik
dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.
Republika. (2008). “Menuju World Class University.” Republika. Jakarta: 9 April.
World University Rankings. (2010). Diunduh dari website resmi Times Higher Education.
pada 20 Oktober 2010: http://www.timeshighereducation.co.uk/world-university-
rankings/.
30
top related