makalah tenaga kerja
Post on 29-Jan-2016
120 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
Pendahuluan
I. Latar Belakang
Pembangunan adalah perubahan yang berguna menuju suatu sistem sosial dan ekonomi
yang diputuskan sebagai kehendak dari suatu bangsa. Hubungan antarmanusia merupakan
hubungan kemanusian yang dapat diciptakan atas kesadaran dan kesediaan melebur keinginan
individu demi bersatunya kepentingan bersama. Untuk menciptakan hubungan antarmanusia
yang harmonis memerlukan kecakapan dan ketrampilan dalam berkomunikasi.
Dalam hubungan industrial, komunikasi merupakan hal yang penting, mengingat
komunikasi sangat efektif digunakan sebagai penyampaian informasi dari pengusaha kepada
pekerja baik dalam bentuk formal maupun informal atau dalam bentuk vertikal maupun
horizontal. Tenaga kerja atau Sumber Daya Manusia merupakan salah satu faktor produksi yang
penting bagi setiap negara. Tanpa adanya tenaga kerja, faktor produksi alam dan faktor produksi
modal tidak dapat digunakan secara optimal.
Perekonomian Indonesia pada decade terakhir telah dinilai cukup baik oleh pakar
ekonomi, lembaga-lembaga internasional, dan sejumlah negara donor dalam kelompok IGGI.
Tetapi masalah-masalah social dan ketenaga kerjaan yang ada masih sangat banyak. Salah satu
permasalahan yang sering terjadi yaitu keberadaan pekerja anak.
II. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian komunikasi pembangunan?
2. Apakah ketenaga kerjaan itu? Dan apa pengaruhnya bagi pembangunan nasional?
3. Bagaimana ketenaga kerjaan di Indonesia?
4. Apa itu pekerja anak yang termasuk masalah ketenaga kerjaan?
5. Apa solusi yang tepat untuk mengatasi pekerja anak?
III. Tujuan
Untuk memahami lebih lanjut mengenai Komunikasi Pembangunan dalam Penerapannya
di Bidang Ketenaga kerjaan dan untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Sosial
Pembangunan.
1
BAB II
Pembahasan
I. Komunikasi Pembangunan
Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang saling berhubungan sangat erat.
Kedudukan komunikasi dalam konteks pembangunan adalah “as an integral part of
development, and communications as a set of variables instrumental in bringing about
development” yang artinya “suatu bagian kesatuan yang utuh dari suatu pembangunan, dan
komunikasi sebagai faktor instrumental yang membawa pembangunan”.
Para ahli sepakat bahwa komunikasi mempunyai andil penting dalam pembangunan.
Everet M. Rogers (1985) menyatakan bahwa, secara sederhana pembangunan adalah perubahan
yang berguna menuju suatu sistem sosial dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak dari
suatu bangsa. Pada bagian lain Rogers menyatakan bahwa komunikasi merupakan dasar dari
perubahan sosial.
Jika dilihat dari segi ilmu komunikasi juga mempelajari masalah proses, yaitu proses
penyampaian pesan seseorang kepada orang lain untuk merubah sikap, pendapat dan
perilakunya. Dengan demikian pembangunan pada dasarnya melibatkan minimal tiga komponen,
yakni komunikator pembangunan, bisa dari pihak pemerintah ataupun masyarakat, pesan
pembangunan yang berisi ide-ide ataupun program-program pembangunan, dan komunikan
pembangunan, yaitu masyarakat luas, baik penduduk desa atau kota yang menjadi sasaran
pembangunan.
Tujuannya seperti berusaha untuk menyampaikan, mengkaji, menjelaskan suatu isu yang
terdapat pada masyarakat, dan ide atau gagasan yang aktual yang berkaitan dengan perubahan
menuju pembangunan masyarakat. Dalam hal ini tentunya fungsi komunikasi harus berada di
garis depan untuk merubah sikap dan perilaku masyarakat Indonesia sebagai pemeran utama
pembangunan, baik sebagai subjek maupun sebagai objek pembangunan.
II. Ketenaga Kerjaan dan Tenaga Kerja (SDM) dalam Pembangunan Nasional
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam
usia kerja. Secara garis besar penduduk suatu negara dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
2
tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Penduduk tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut
telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 tahun –
64 tahun.
Tenaga kerja atau Sumber Daya Manusia merupakan salah satu faktor produksi yang
penting bagi setiap negara. Tanpa adanya tenaga kerja, faktor produksi alam dan faktor produksi
modal tidak dapat digunakan secara optimal. Tenaga kerja dibagi atas kelompok angkatan kerja
dan bukan angkatan kerja.
Dalam konteks pembangunan nasional, pembangunan manusia yang seutuhnya,
kemampuan prodesional dan kematangan kepribadian saling memperkuatsatu sama lain.
profesionalisme dapat turut membentuk sikap dan prilaku serta kepribadian yang tangguh
merupakan prasyarat dalam membentuk profesionalisme.
Minimal ada empat kebijkasanaan pokok dalam upaya peningkatan sumber daya manusia
(SDM), yaitu: (1) Peningkatan kualitas hidup yang meliputi baik kualitas manusianya seperti
jasmani, rohani, dan kejuangan, maupun kualitas kehidupannya seperti perumahan dan
pemukiman yang sehat; (2) Peningkatan kualitas SDM yang produktif dan upaya pemerataan
penyebarannya; (3) Peningkatan kualitas SDM yang berkemampuan dalam memanfaatkan,
mengembangkan dan menguasai iptek yang berwawasan lingkungan; (4) Pengembangan pranata
yang meliputi kelembagaan dan peran hukum yang mendukung upaya peningkatan kualitas
SDM.1
Secara umum, meningkatan produktivitas tenaga kerja dilakukan dengan peningkatan
kemampuan atau keterampilan, disiplin, etos kerja produktif, sikap kreatif dan inovatif, dan
membina lingkungan kerja yang sehat utuk memacu prestasi. Pelatihan tenaga kerja lebih
diarahkan kepada pengembangan usaha yang mandiri dan professional, sehingga dapat
berkembang menjadi kader wiraswasta yang mampu menciptakan lapangan kerja. Selanjutnya,
mobilitas sumber daya, terutama tenaga kerja dari kegiatan yang kurang produktif ke kegiatan
yang lebih produktif di tingkatnkan, disertai oleh pengembangan system perlindungan tenaga
kerja.
Untuk meningkatkan efisiensi dan elektivitas, maka koordinasi antar lembaga
pemerintah, maupun antara lembaga-lembaga dimasyarakat dalam pengembangan SDM perlu
lebih dikembangkan. Masyarakat, termasuk dunia usaha (swasta), koperasi dan organisasi 1 S, Mulyadi, Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif Pembangunan, Rajagrafindo Persada, 2003, hlm. 2.
3
kemasyarakatan lainnya di dorong untuk lebih pertisipatif dalam berbagai upaya peningkatan
kualitas SDM.
III. Ketenaga Kerjaan di Indonesia
Jumlah atau besarnya penduduk umumnya dikaitkan dengan pertumbuhan income per
capita suatu negara, yang secara kasar mencerminkan kemajuan perekonomian negara tersebut.
Jumlah penduudk yang makin besar telah membawa akibat jumlah angkatan kerja yang semakin
besar pula. Ini berarti semakin besar pula jumlah orang yang mencari pekerjaan atau
menganggur. Agar dapat dicapai keadaan yang seimbang maka seyoginya mereka semua dapat
tertampung dalam suatu pekerjaan yang cocok dan sesuuai dengan keinginan serya keterampila
mereka. Ini akan membawa konsekuensi bahwa perekonomian harus selalu menyediakan
lapangan-lapangan pekerjaan bagi angkatan kerja baru.
Dalam pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang seperti Indonesia,
ketenagakerjaan merupakan masalah yang rumit dan lebih serius daripada masalah perubahan
dalam distribusi pendapatan yang kurang menguntungkan penduduk yang berpendapatan rendah.
Keadaan di negaranegara berkembang dalam beberapa dasawarsa ini menunjukkan bahwa
pembangunan ekonomi yang telah tercipta tidak sanggup menyediakan kesempatan kerja yang
lebih cepat daripada pertambahan penduduk. Oleh karenanya masalah pengangguran yang
mereka hadapi dari tahun ke tahun semakin serius.
Guna menanggulangi lonjakan angkatan kerja baru serta mengurangi angka
pengangguran perlu dilakukan sebuah langkah/ cara yang kongkrit. Salah satu cara yang realistis
dalam jangka pendek yakni dengan memberdayakan sektor informal, padat karya dan
menciptakan jiwa kewirausahaan bagi kaum muda sehingga akan bisa menciptakan pengusaha
baru, di samping strategi jangka panjang seperti pemerataan pertumbuhan ekonomi di wilayah
melalui kebijakan desentralisasi. Sektor informal dinilai sangat membantu menyerap orang-orang
yang menganggur tetapi kreatif dan menjadi pereda di tengah pasar global. Namun bukan berarti
sektor formal diabaikan. Jika ternyata sektor informal dapat menjawab sebagian dari masalah
pengangguran yang dihadapi bangsa ini, maka sudah waktunya sektor informal didukung oleh
pemerintah dengan menyiapkan anggaran. Anggaran ini bisa digunakan untuk dijadikan modal
4
pengembangan usaha ekonomis produktif bagi pekerjapekerja informal serta bisa dijadikan
modal untuk merintis usaha baru.
1. Tingkat Parisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
Semakin besar jumlah penduduk usia kerja, makas ecara otomatis jumlah angkatan kerja
akan bertambah. Semakin tinggi TPAK semakin baik, karena itu berarti partisipasi angkatan
kerja semakin meningkat. Bila peningkatan angkatan kerja seiring dengan bertambahnya
partisipasi penduduk yang bekerja, ini pertanda bahwa pemicu tingginya TPAK adalah
meningkatnya penduduk yang mencari pekerjaan. Dengan kata lain, mengakibatkan
bertambhanya pengangguran.
Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) Indonesia periode 2007-2011 mencapai
119,40 juta orang, naik 3,40 juta orang dibandingkan dengan periode sebelumnya, tahun 2010
yang sebesar 116,00 juta orang. Sedangkan penduduk yang bekerja juga terjadi peningkatan,
pada tahun 2011 mencapai 111,28 juta orang, naik dari periode tahun 2010 yang sebesar 3,87
juta orang yang sebelumnya 107,41 juta orang.
Perbandingan antar daerah perkotaan dan perdesaan menunjukkan bahwa selama tahun
2007 2011 tingkat partisipasi angkatan kerja di daerah pedesaan masih lebih besar daripada di
5
perkotaan. Tingginya TPAK di perdesaan didorong oleh tingginya angkatan kerja pertanian
dimana hampir seluruh penduduk berusia 15 tahun ke atas melakukan pekerjaan di sektor
pertanian. Perkembangan TPAK baik di perdesaan maupun perkotaan berfluktuasi setiap
tahunnya. Selama periode 2007-2011, rata-rata TPAK di daerah perdesaan sebesar 75,0 persen
per tahun dan di daerah perkotaan sebesar 73,0 persen per tahun. TPAK terendah terjadi pada
tahun 2007di daerah perkotaan sebesar 62,9 persen, sedangkan di daerah perdesaan sebesar 69,3
persen pada tahun 2008 dan 2009.
Sementara itu, tingkat kesempatan kerja (TKK) baik di daerah perdesaan maupun
perkotaan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Rata-rata TKK di pedesaan sebesar 94,1
persen per tahun dan di perkotaan sebesar 89,7 persen per tahun.
2. Upah Pekerja atau Karyawan
Sejak akhir tahun 1980-an tingkat upah minimum sudah mengalami kenaikan dengan
cepat dan telah menjadi sebuah kebijakan yang berlaku bagi sebagian besar pekerja. Hal ini
terutama terjadi di perusahaan-perusahaan skala menengah dan kecil. Semua pekerja tidak
terampil dan setengah terampil di perusahaan-perusahaan ini kini menerima upah yang kurang
lebih sama besarnya, yaitu upah minimum. Di satu sisi, hal ini telah membatasi kemampuan
perusahaan untuk menggunakan upah sebagai sistem insentif untuk meningkatkan produktivitas
pekerja, dan dapat menimbulkan disinsentif bagi pekerja yang lebih produktif, yang pada
gilirannyadapat menyebabkan penurunan produktivitas secara keseluruhan di perusahaan-
perusahaan tersebut. Di sisi lain, kebijakan akan upah minimum dapat memproteksi pekerja dan
memperbaiki taraf hidup pekerja.
6
Dampak upah minimum terhadap perusahaan berbeda antar sektor. Dampak yang paling
besar terjadi pada sektor-sektor yang padat karya. Namun, perusahaan-perusahaan di sektor ini
tidak mempunyai banyak pilihan selain mentaati peraturan upah minimum, sekalipun
sesungguhnya mereka kesulitan untuk membayar upah pekerja pada tingkat itu. Jika tidak
mematuhi peraturan diperkirakan akan lebih besar karena kemungkinan akan ada persoalan yang
terjadi perselisihan perburuhan.
Kebijakan penetapan upah ternyata masih mempunyai banyak kendala sebagai akibat
belum terwujudnya satu keseragaman upah baik secara regional/wilayah, provinsi atau
kabupaten/kota, serta sektor wilayah provinsi atau kabupaten/kota, maupun secara nasional.
Untuk itu, penetapan kebijakan pengupahan perlu diupa-yakan secara sistematis baik ditinjau
dari segi makro maupun mikro sejalan dengan upaya pembangunan ketenagakerjaan, utamanya
perluasan lapangan kerja, peningkatan produksi, dan peningkatan taraf hidup pekerja sesuai
kebutuhan hidup minimalnya. Penetapan upah minimum didasarkan pada kebutuhan Hidup layak
(KHL) yang sebelumnya disebut Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) serta memperhatikan
tingkat produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
3. Produktivitas Pekerja
Produktivitas tenaga kerja yang masih rendah juga merupakan masalah ketenagakerjaan
yang terjadi di Indonesia. Peningkatan produktivitas tenaga kerja dan peningkatan produksi
sangat ditentukan oleh kemampuan tenaga kerja. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan
produktivitas seseorang antara lain pendidikan, pelatihan, pengalaman, keterampilan, upah yang
memadai, dan lain-lain. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kerja yang
berkualitas masih menjadi tantangan ke depan agar angkatan kerja Indonesia yang masuk ke
pasar kerja mempunyai kompetensi dan kualitas SDM yang tinggi dan sesuai dengan kebutuhan
dunia usaha.
Data produktivitas diukur dengan membuat rasio antara nilai PDB dengan jumlah
penduduk yang bekerja. Secara umum, produktivitas tenaga kerja pada komoditas sektor umum
(termasuk migas) lebih besar daripada produktivitas sektor tanpa migas dengan perbedaan tidak
lebih dari 5 juta rupiah selama tahun 2008-2011. Pada tahun 2010 produktivitas di sektor umum
mencapai 67,72 juta rupiah, sedangkan di sector tanpa migas sebesar 61,95 juta rupiah.
7
Daerah-daerah yang merupakan penghasil migas terbesar akan memiliki tingkat
produktivitas yang lebih tinggi. Disamping itu, perbedaan produktivitas pekerja yang relative
tinggi juga masih dijumpai pada provinsi-provinsi yang sarat dengan bervagai kegiatanekomoni
yang menggunakan alat-alat mekanis dan otomatis. Sebaliknya, produktivitas pekerja yang
relative rendah ditemui di provinsi-procinsi dengan kegiatan ekonomi yang masih memanfaatkan
padat karya.2
2 S, Mulyadi, Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif Pembangunan, Rajagrafindo Persada, 2003, hlm. 66-67.
8
4. Tingkat Pengangguran
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) baik di perdesaan maupun di perkotaan terjadi
penurunan. Pada tahun 2009 TPT di perdesaan sebesar 5,8 persen menjadi 5,5 persen pada tahun
2010, dan turun lagi menjadi 5,0 pada tahun 2010. Sedangkan di perkotaan turun dari 10,7
persen pada tahun 2009 menjadi 9,4 persen pada tahun 2009, dan pada tahun 2011 turun kembali
menjadi 8,2 persen.
Dilihat berdasarkan provinsi, secara umum selama tahun 2008-2011 nilai TPT berkisar
antara 3-16 persen. Wilayah yang masih mempunyai TPT tinggi di atas 10 persen setiap
tahunnya yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Timur, namun pada tahun 2011
provinsi Jawa barat, kalimantan timur dan Sulawesi Utara mengalami penurunan yaitu sebesar
9,83 persen, 9,84 persen dan 8,62 Persen.
Provinsi Banten merupakan provinsi yang mempunyai TPT tertinggi yaitu hampir 16
persen pada tahun 2008 dan turun menjadi 13,06 persen pada tahun 2011. Sementara itu, wilayah
yang sudah mencapai TPT di bawah 5 persen pada tahun 2008seperti provinsi Bengkulu,
sementara selama tahun 2009-2011telah dicapai oleh provinsi Bengkulu, Jawa Timur, Bali, Nusa
9
Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
dan Provinsi Papua.
10
IV. Masalah Pekerja Anak di Indonesia
Salah satu permasalahan yang sering terjadi yaitu keberadaan pekerja anak. Bukan hanya
melanggar hak-hak anak, baik secara fisik maupun psikis. Lebih jauh, bekerja dikhawatirkan
akan mengganggu masa depan anak-anak untuk mendapat kehidupan yang lebih baik.
Kekhawatiran yang muncul mengenai permasalahan pekerja anak di Indonesia tidak
dapat disikapi sebagai pilihan boleh atau tidak. Idealnya, anak-anak memang tidak perlu bekerja.
Akan tetapi ketika keadaan sosial-ekonomi memaksa bekerja, maka menghapus pekerja anak
merupakan tindakan yang tidak logis (Putranto, 1994).3
Seperti yang dikatakan White (1994), untuk kasus di Indonesia pekerja anak sebaiknya
tidak dilarang. Asalkan anak-anak tersebut masih mempunyai kesempatan untuk sekolah dan
pekerja anak mengerjakan pekerjaan yang masih dalam batas kemampuannya dan dilindungi
oleh undang-undang. Akan tetapi, sekalipun berbagai peraturan telah ditetapkan untuk
melindungi pekerja anak, pada kenyataannya tidak sedikit pengusaha atau majikan yang masih
memperlakukan anak degan buruk.
Nachrowi (1996) menyebutkan bahwa factor-faktor yang mempengaruhi adanya pekerja
anak perlu dilihat dalam perspektif yang lengkap, yaitu dengan melihat dua sisi yang berbeda:
sisi penawaran dan sisi permintaan. Dari sisi penawaran, berbagai penelitian menunjukkan
bahwa kemiskinan merupakan faktor utama pendorong terjunnya anak-anak ke dunia kerja,
tetapi kenyataan menunjukkan tidak semua rumah tangga miskin membiarkan anak-anaknya
bekerja. Oleh karena itu, untuk mengurangi pekerja anak tidak harus menunggu terentaskannya
kemiskinan.
Dari sisi permintaan, sekalipun masyarakat menyediakan tenaga kerja anak, tetapi jika
tidak ada perusahaan yang mempekerjakannya sudah pasti pekerja anak tidak muncul.
Kenyataannya tidak sedikit orang orang yang elbih memilih pekerja anak dibandingkan pekerja
dewasa, karena anak-anak lebih mudah di eksploitasi.
Para pekerja anak umumnya, selain dalam posisi tidak berdaya, juga sangat rentan
terhadap eksploitasi (Rauscher, dkk, 2008). Di sektor industri formal, mereka umumnya berada
dalam kondisi jam kerja yang panjang, berupah rendah, menghadapi risiko kecelakaan kerja dan
gangguan kesehatan atau menjadi sasaran pelecehan dan kesewenang-wenangan orang dewasa
3 Hardius Usman, Nachrowi Djalal Nachrowi, Pekerja Anak di Indonesia, Kondisi Determinan dan Eksploitasi (Kajian Kuantitatif), Jakarta : Grasindo, 2004. Halaman 2.
11
(White & Tjandraningsih, 1998). Studi yang dilakukan oleh Irwanto (dalam Usman dan
Nachrowi, 2004) menemukan sekitar 71,9 % pekerja anak bekerja selama lebih dari 7 jam sehari.
Pekerja anak yang menjadi pembantu rumah tangga dan mereka yang bekerja di Jermal
(anjungan penangkapan ikan lepas pantai) bahkan bekerja lebih dari 12 jam sehari. Anak-anak
yang bekerja di Jermal selain dengan waktu kerja yang sangat panjang, mereka juga rentan
terhadap perlakuan kasar baik secara fisik, mental mapun seksual serta penipuan.
Dari sisi perkembangan psikologis, bekerja juga memberikan dampak yang luar biasa dan
hal ini akan berakibat buruk terhadap masa depan anak. Seperti diungkapkan oleh Bequele
(dalam Usman & Nachrowi, 2004), bahwasannya beban pekerjaan dengan adanya unsur
eksploitasi di dalamnya akan menimbulkan berbagai gangguan pada anak, baik fisik maupun
psikis dan hal ini akan berakibat buruk terhadap tumbuh kembang anak.
Sekalipun banyak kekhawatiran yang muncul, permasalahan pekerja anak di Indonesia
ternyata tidak dapat disikapi dengan pilihan boleh atau tidak. Kenyataan menunjukkan bahwa
keluarga miskin sangat membutuhkan pekerjaan bagi anak-anaknya, baik untuk membantu
perekonomian keluarga maupun kelangsungan hidupnya sendiri. Idealnya anak-anak memang
tidak perlu bekerja, akan tetapi ketika keadaan sosial-ekonomi memaksa mereka bekerja maka
menghapus pekerja anak merupakan tindakan yang tidak logis (Putranto dalam Usman &
Nachrowi, 2004).
V. Solusi Pekerja Anak di Indonesia
Menghapus seluruh pekerja anak dalam jangka waktu dekat, dengan kondisi
perekonomian negara seperti sekarang ini tentunya hampir mustahil. Akan tetapi bukan berarti
pemerinta tidak dapat berbuat apa-apa, karena dapat dibuat prioritas penanggulangan.
Sekolah bagi anak adalah persoalan penting. Membebaskan uang sekolah bagi anak-anak
terutama keluarga miskin, kiranya tidaklah cukup untuk mempertahankan mereka sekolah.
Tetapi harus pula disertai dengan memberikan berbagai keperluan lain. atau pemerintah bisa
membuat pendidikan alternatif yang dapat memfasilitasi pekerja anak agar dapat terus
melanjutkan sekolahnya. Pekerja anak yang masih melanjutkan sekolah, agar dapat
menggabungkan kegiatan bekerja dan sekolah secara proporsional. Mengelola waktu antar
belajar dan bekerja semestinya dilakukan dengan baik.
12
Bagi para orang tua yang memiliki anak sekolah dan juga menjadi pekerja, hendaknya
tetap mempertimbangkan kondisi psikologinya. Dunia anak yang mestinya bermain dan
bersenang-senang, jangan sampai dibebani tugas baik belajar maupun berkerja di luar
kemampuan anak. bagi guru di sekolah perlu mengidentifikasi siswanya, apakah anak didiknya
ada yang sekolah sambil kerja, atau tidak. Jika terdapat anak yang sekolah berprofesi sebagai
pekerja anak, maka guru harus dapat membimbing, memotivasi dan memperlakukan anak secara
khusus, sesui dengan kondisi psikologisnya yang disebabkan beban ganda, yaitu belajar dan
bekerja.
Bagi pembuat kebijakan pendidikan di semua level, mulai dari tingkat legislatif,
eksekutif: presiden, kementerian atau dinas pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat yang
akan melakukan pendampingan terhadap keberlangsungan pendidikan pekerja anak, agar
memanfaatkan hasil kajian yang telah dilakukan, termasuk hasil penelitian ini. Sehingga dalam
menginisiasi terpenuhinya harapan-harapan dan kebutuhan pekerja anak terhadap sekolah sesuai
sasaran dan tidak sia-sia.
Sebagai faktor utama timbulnya pekeja anak, maka kemiskinan merupakan permasalahan
yang harus segera dibenahi. Dalam konteks ini, berbagai langkah dapat dilakukan seperti:
memberi kredit lunak bagi pengusaha kecil, membenahi sistem pemasaran produk pertanian atau
industri kecil dan sebagainya. Fenomena pekerja anak melibatkan multisektoral, sehingga haus
ditangani dari berbagai aspek.4
BAB III
4 Hardius Usman, Nachrowi Djalal Nachrowi, Pekerja Anak di Indonesia, Kondisi Determinan dan Eksploitasi (Kajian Kuantitatif), Jakarta : Grasindo, 2004. Halaman 225-226.
13
Kesimpulan dan Saran
I. Kesimpulan
Komunikasi Pembangunan ialah berusaha untuk menyampaikan, mengkaji,
menjelaskan suatu isu yang terdapat pada masyarakat, dan ide atau gagasan yang
aktual yang berkaitan dengan perubahan menuju pembangunan masyarakat.
Tenaga kerja atau Sumber Daya Manusia merupakan salah satu faktor produksi yang
penting bagi setiap negara. Tanpa adanya tenaga kerja, faktor produksi alam dan faktor
produksi modal tidak dapat digunakan secara optimal. Tenaga kerja dibagi atas
kelompok angkatan kerja dan bukan angkatan kerja
Di Indonesia, ketenagakerjaan merupakan masalah yang rumit dan lebih serius
daripada masalah perubahan dalam distribusi pendapatan yang kurang menguntungkan
penduduk yang berpendapatan rendah. Pembangunan ekonomi yang telah tercipta
tidak sanggup menyediakan kesempatan kerja yang lebih cepat daripada pertambahan
penduduk.
Salah satu permasalahan yang sering terjadi yaitu keberadaan pekerja anak. Idealnya,
anak-anak memang tidak perlu bekerja. Akan tetapi ketika keadaan sosial-ekonomi
memaksa bekerja, maka menghapus pekerja anak merupakan tindakan yang sulit.
Sebagai faktor utama timbulnya pekeja anak, maka kemiskinan merupakan
permasalahan yang harus segera dibenahi.
II. Saran
Pembangunan ekonomi sangat diperlukan untuk memperkecil tingkat pengangguran.
Komunikasi dua arah dalam hubungan buruh dan pemerintah dapat dilaksanakan sebagai salah
satu langkah apabila suatu kebijakan akan diambil, sebaiknya pemerintah dan pekerja duduk
bersama-sama untuk mengkomunikasikan tujuan kebijakan yang akan diberlakukan, agar
kebijakan yang diputuskan dapat dimengerti, dipahami dengan jelas maksud dan tujuannya,
sehingga dalam pelaksanaannya dapat ditaati, dijaga dan dihormati.
Dengan pembangunan ekonomi yang lancar, diharapkan laju pertumbuhan ekonomi dapat
selalu dipertahankan pada tinggkat yang lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan penduduk,
14
sehingga kegiatan perekonomian akan menjadi lebih luas dan selanjutnya dapat memperkecil
jumlah orang yang menganggur. Sehingga kemiskinan di Indonesia akan berkurang dan anak-
anak bisa bersekolah dengan lancar dan tidak perlu bekerja.
Daftar Pustaka
15
Budiman, Arief. Pembangunan di Indonesia Memandang dari Sisi Lain, Jakarta:
Yayasanobor,1993
Hardius Usman, Nachrowi Djalal Nachrowi, Pekerja Anak di Indonesia, Kondisi Determinan
dan Eksploitasi (Kajian Kuantitatif), Jakarta : Grasindo, 2004.
S, Mulyadi, Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif Pembangunan, Rajagrafindo
Persada, 2003.
Wikipedia.com
16
top related