makalah oedem.docx
Post on 17-Feb-2015
30 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Oedem merupakan suatu kondisi yang diawali oleh peningkatan tekanan
hidrostatik vena, peningkatan permeabilitas kapiler, atau peningkatam tekanan osmotik
interstisial, obstruksi saluran limfe, dan menurunnya kadar protein plasma. Oedem
ditandai dengan adanya pengumpulan cairan dalam ruang interstisial dan rongga serosa
tubuh. Oedem dibagi menurut lokasi pengumpulan cairan, yakni oedem anasarca (di
seluruh tubuh), hydrothorax (di rongga pleura), hidropericardium (di pericardium), dan
ascites (di peritoneum). Dilihat dari kadar protein dalam ruang interstisial, oedem
dibedakan menjadi transudat dan eksudat.
Sindroma nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis
dengan ditandai proteinuria (paling khas), hipoalbuminemia, oedem, dan
hiperlipidemia. Terjadi pengeluaran protein >3,5 gram atau lebih melalui urine per
hari, di mana seharusnya hampir tidak ada protein yang ditemukan dalam urine pada
kondisi normal. Akibat pengeluaran protein, kadar protein plasma menurun sehingga
menyebabkan oedem anasarca. Sindroma nefrotik ini secara perlahan dapat
berkembang menjadi gagal ginjal.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Pasien diantar anak lelakinya menuju ke bagian penyakit dalam Unit Gawat Darurat
RS Trisakti Idaman.
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Usia : 46 tahun
Alamat :-
Pekerjaan :-
Agama :-
Status perkawinan : -
Tanggal masuk : -
Tanggal keluar : -
II. Anamnesa
Keluhan utama : bengkak seluruh tubuh
Riwayat penyakit sekarang : -
Riwayat penyakit dahulu : -
Riwayat penyakit keluarga : -
III. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Kesadaran : somnolen
Kesan : tampak sakit berat, posisi duduk
Tekanan darah : 120/80 mmHg (normal)
Respirasi : 40 x/menit, sesak nafas dan dangkal
Status Generalis
Kepala : inspeksi : kelopak mata bengkak
Paru : perkusi : redup
auskultasi : ronchi basah menyeluruh
Jantung : auskultasi : tidak jelas terdengar
2
Abdomen : inspeksi : perut membuncit
palpasi : hepar dan limpa tidak teraba
Ekstremitas : inspeksi : seluruh kaki bengkak
palpasi : pitting oedem +/+
IV. Pemeriksaan Laboratorium Penunjang
Pemeriksaan Darah
Hb : 8 g%
Leukosit : 8.000/µl
Hitung jenis : -/3/8/45/40/4
LED : 120 mm/jam (N < 10mm/jam)
Trombosit : 200.000/µl (N 150.000 – 450.000/µl)
Pemeriksaan Urinalisa
Albumin : +++ (N= negatif)
Glukosa : -
Tes Esbach : 12 g/l urine 24 jam (normal < 0,5 g/l urin 24 jam)
Sedimen : eritrosit 1/lpb, leukosit 8-10/lpb, silinder granula
kasar. Banyak ditemukan (per LPK)
Gambar sedimen urine
3
Hasil foto thorax
Deskripsi : Tampak bercak di
paracardial dan parahiler, simetris
membentuk gambaran batwing
Kesimpulan : Pembendungan di paru
( Edema paru )
Kimia Klinik
Gula darah puasa : 80 mg% (N: 70 – 110 mg%)
Total protein : 4 g/dl (N: 6-8 g/dk)
Albumin : 1,2 g/dl (3,5 – 5 g/dl)
Cholesterol : 400 mg/dl (N < 200 mg/dl)
HDL : 20 mg/dl (N 30-50 mg/dl)
LDL :180 mg/dl (< 150 mg/dl)
Trigliserida : 200 mg/dl (N< 150 mg/dl)
Ureum : 20 mg/dl (N: 20 – 40 mg/dl)
Kreatinin : 1 mg/dl (N 0,6 - 1,2mg/dl)
Asam urat : 5,6 g/dl (N: 3,5 – 7 g/dl)
4
BAB III
PEMBAHASAN
A. Anamnesis
Dokter perlu menambahkan beberapa anamnesa, antara lain:
1. Apa keluhan pasien pertama kali?
2. Bagian tubuh mana yang pertama kali mengalami pembengkakan?
3. Berapa banyak frekuensi berkemih pasien dalam sehari? Bagaimana
konstituennya?
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, sesak nafas, pernapasan 40/menit (N: 12-20x/menit),
dangkal, perkusi paru-paru redup dan auskultasi paru-paru ronchi basah menyeluruh,
serta jantung tidak jelas terdengar merupakan tanda-tanda dari pleural effusion. Pleural
effusion merupakan penumpukan cairan diantara lapisan jaringan yang memenuhi
rongga paru dan dada. Penumpukan cairan ini dibedakan menjadi dua tipe, yaitu:
transudative pleural effusion dan exudative pleural effusion. Transudative pleural
effusion disebabkan oleh kebocoran cairan ke dalam rongga pleura. Sedangkan
exudative pleural effusion disebabkan oleh penyumbatan pada pembuluh darah atau
pembuluh limfe, inflamasi, luka pada paru, dan tumor. Hubungan antara pleural
effusion dan hasil pemeriksaan fisik dapat dijelaskan sebagai berikut.
Sesak nafas yang dialami pasien disebabkan oleh karena paru-paru terisi oleh
cairan sehingga pernapasan menjadi terganggu dan paru-paru tidak dapat bekerja
maksimal. Pernapasan 40/menit disebabkan karena paru-paru pasien terjepit cairan,
yang menyebabkan paru-paru bekerja ekstra sehingga pernapasan menjadi lebih cepat
(normal 12 – 20x/menit). Kemudian napas yang dangkal disebabkan oleh paru-paru
terisi cairan sehingga tidak dapat mengembang dengan sempurna.
Pada pemeriksaan auskultasi di dapatkan ronchi basah menyeluruh
karena cairan yang terdapat di sekitar paru. Se dangkan pada pemeriksaan
jantung tidak terdengar dengan jelas karena jantung tertutup oleh paru-paru yang berisi
cairan, sehingga suara jantung tidak dapat terdengar dengan jelas. Namun, disamping
5
itu pasien tidak mengeluhkan adanya kelainan pada jantungnya. Hal ini
menandakan bahwa jantung pasien dalam keadaan normal.
Selanjutnya, posisi duduk pada saat pemeriksaan fisik memiliki maksud yang
cukup berarti karena pada pasien penderita oedem anasarka akan merasa tidak nyaman
jika pemeriksaan dilakukan dengan berbaring dikarenakan oleh cairan yang menumpuk
pada jaringan tubuhnya. Kemudian, kelopak mata yang bengkak dikarenakan pasien
sebelumnya berada dalam posisi berbaring cukup lama, misalnya pada saat tidur di
malam hari sehingga terjadi penumpukan cairan dalam kelopak mata di pagi hari.
Selain itu, perut yang membuncit juga dikarenakan perut berisi cairan. Begitu pula
dengan seluruh kaki yang bengkak karena pasien sedang dalam keadaan berdiri
ataupun duduk sehingga terjadi penumpukan cairan di bagian kaki.
Kesadaran somnolen adalah tingkat kesadaran yang keinginannya
tidur saja. Dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri, tetapi kemudian
jatuh tertidur lagi. Pada pemeriksaan abdomen, hepar/limpa tidak teraba
dikarenakan perut pasien yang membuncit oleh cairan. Edema khusus di
daerah peritoneum disebut ascites. Pada skrotum(genital) dan
ekstremitas pasien ini juga terdapat pitting oedem. Pitting oedem dapat
didemonstrasikan dengan menekan bagian yang membengkak karena
cairan. Jika bekas tekanan menimbulkan cekungan yang membutuhkan
waktu untuk kembali seperti semula, maka dapat dipastikan daerah
tersebut terkena pitting oedem.
C. Pemeriksaan Laboratorium
6
1. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan Nilai Normal Pasien KeteranganHb 13-18 g/dl 8 g/dl Di bawah normalLeukosit 5000-10.000 8000 NormalTrombosit 150.000-450.000 200.000 NormalLED <10 mm/jam 120 mm/jam Di atas normalHitung jenis Basofil : 0-1 %
Eosinofil: 1-3 %Batang: 2-6 %Segmen: 50-70 %Limfosit: 20-40 %Monosit : 2 – 8 %
0/3/8/45/40/4 Neutrofil batang di atas normalNeutrofil segmen di bawah normal
2. Pemeriksaan Urinalisa
Pemeriksaan Nilai Normal Pasien KeteranganAlbumin <1,0 gram/hari +++ Di atas normalGlukosa 0 0 NormalSedimen
a. Leukosit
b. Eritrosit
c. Silinder
bergranula
kasar
0-5/LPB
0-1/LPB
0/LPK
8-10/LPB
1/LPB
Banyak
ditemukan
Di atas normal
Normal
Tidak normal
3. Pemeriksaan Kimia Klinik
Pemeriksaan Nilai Normal Pasien KeteranganGula darah puasa 10-110 mg% 80 mg% NormalProtein 6-8 g/dl 4 g/dl Di bawah normalAlbumin 3,5-5 g/dl 1,2 g/dl Di bawah normalHDL 30-50 20 Di atas normalTrigliserida <150 mg/dl 200 mg/dl Di atas normalLDL <150 mg/dl 180 mg/dl Di bawah normalKolesterol <200 mg/dl 400 mg/dl Di atas normalAsam Urat 3,5-7 g/dl 5.6 mg/dl NormalUreum 20-40 mg/dl 20 mg/dl NormalKreatinin 0,6 – 1,2 mg/dl 1 mg/dl Normal
Pada pemeriksaan darah, pasien mengalami kekurangan Hb dan laju endap
darah tinggi. Pada pemeriksaan urinalisa diperoleh pasien mengalami albuminuria,
yakni ditemukannya albumin dalam urine. Albuminuria menandai sindrom nefrotik
atau gangguan fungsi ginjal. Sindrom nefrotik terjadi akibat kebocoran membran
7
filtrasi glomerulus. Protein albumin seharusnya tidak dapat melewati membran filtrasi
karena ukuran molekul yang besar. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya silinder
bergranula kasar pada urine pasien yang seharusnya tidak ada dalam kondisi normal.
4. Tes Esbach
Uji Esbach merupakan pemeriksaan untuk menilai kadar protein dalam urin.
Pengukuran protein penting dilakukan dalam mendiagnosis kelainan ginjal maupun
untuk mengetahui respon pengobatan. Tes Esbach yang disebut juga dengan metode dipstik
ini merupakan pemeriksaan kuantitatif dengan nilai 0-4 (+). Pemeriksaan ini sensitif terhadap
60mg/l albumin, tetapi kurang sensitif terhadap protein Bence Jones dan protein lain yang
berat molekulnya rendah misal β2-mikroglobulin
Uji ini dilakukan dengan menggunakan sampel urine 24 jam, di mana pasien
diharuskan menampung semua urinnya selama 24 jam mulai dari setelah berkemih
pertama kali di pagi hari sampai pasien berkemih pertama kali pada pagi hari
berikutnya. Pengumpulan urine dengan cara ini tidak praktis sebab pasien diharuskan
membawa tempat penampung urine ke mana-mana dan tidak jarang pasien lupa harus
menampung urine. Untuk itu digunakan metode pengumpulan urine semalam yang
akurasinya sama.
Pemeriksaan kuantitatif albumin dalam urine menggunakan campuran urine
dengan larutan asam pikrat 1 % dalam air dan larutan asam sitrat 2% dalam air. Asam
sitrat ini hanya bertujuan menjaga keasaman cairan. Isi tabung Esbach dengan urine
sampai garis betanda U. Tambahkan reagent Esbach pada sampel tersebut hingga garis
bertanda R. Tutup lalu bolak-balikan tabung 12 kali (jangan dikocok). Letakkan tabung
pada rak dalam posisi tegak dan biarkan selama 18-24 jam. Tinggi kekeruhan dibaca
dan menunjukkan banyaknya gram protein per liter urine. Hasil ini dibagi dengan
sepuluh untuk menghasilkan presentase seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah.
Interpretasi Hasil Tes Esbach
Samar 10-30 mg%+1 30 mg%+2 100 mg%+3 500mg%+4 >2000 mg%
8
Pada tes esbach false positif dapat terjadi bila urin sampel sifatnya terlalu basa atau terlalu
encer. Selain itu bila dari hasil pemeriksaan didapatkan positif harus diperiksa dengan asam
salisilsulfonat atau dengan tes pendidihan karena mungkin positif palsu yang dihasilkan oleh urin
alkali yang berbufer kuat.
Salah satu kelemahan uji esbach ini sulit dilakukan pada anak-anak yang tidak
bisa mengendalikan buang air kecil karena hal ini dapat mempersulit pengumpulan
urine 24 jam atau pun urine semalam, sehingga sering terjadi kesalahan dalam
perhitungan waktu dan saat mengakomodasi urine, hasil yang diperoleh menjadi tidak
akurat.
Cara Esbach sebagai penetapan kuantitatif protein dalam urine sudah amat tua
dan sebenarnya tidak sesuai, baik ketelitian maupun ketepatannya sangat rendah,
sehingga hasilnya merupakan pendekatan belaka. Jika menghendaki pendekatan yang
lebih baik, dipakai cara pengendapan protein secara sempurna misalnya dengan
menggunakan asam triklorasetat kemudian direaksikan dengan reagent biuret dan
mengukur absorbansi larutan dengan spektrofotometer.
D. Patofisiologi Oedem
Oedem ditandai dengan adanya pengumpulan cairan dalam ruang interstisial
dan rongga serosa tubuh. Oedem dibagi menurut lokasi pengumpulan cairan, yakni
oedem anasarca (di seluruh tubuh), hydrothorax (di rongga pleura), hidropericardium
(di pericardium), dan ascites (di peritoneum). Dilihat dari kadar protein dalam ruang
interstisial, oedem dibedakan menjadi transudat (kadar protein rendah) dan eksudat
(kadar protein tinggi).
1. Penyebab Umum Oedem
a. Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler
Ini memungkinkan lebih banyak air dan protein yang keluar dari
plasma ke cairan interstisial. Sebagai contoh: melalui pelebaran kapiler
yang dipicu oleh histamin waktu cedera jaringan atau reaksi alergik.
Penurunan tekanan osmotik koloid plasma yang terjadi menurunkan
tekanan masuk efektif, sementara peningkatan tekana koloid cairan
interstisium yang terjadi akibat peningkatan protein di cairan
9
interstisium meningkatkan gaya keluar efektif. Penurunan tekanan
masuk utama ini menyebabkan kelebihan cairan yang keluar sementara
cairan yang direabsobsi lebih sedikit daripada normal, karena itu
kelebihan cairan tersebut tetap berada di ruang interstisium. Edema
dapat disebabkan oleh penurunan kensentrasi protein plasma melalui
beberapa cara berbeda, (1) pengeluaran berlebihan protein plasma
melalui urin akibat penyakit ginjal, (2) penurunan sintesis protein
plasma, akibat penyakit hati, (3) makanan yang kurang mengandung
protein, atau (4) pengeluaran bermakna protein plasma akibat luka
bakar yang luas.
b. Meningkatnya tekanan hidrostatik vena
Ketika darah terbendung di vena terjadi peningkatan tekanan
darah kapiler karena kapiler mengalirkan isinya ke vena. Peningkatan
tekanan keluar kapiler ini berperan besar menyebabkan edema pada
gagal jantung kongesif. Edema regional juga dapat terjadi akibat
restriksi lokal aliran balik vena. Contonya adalah pembengkakan yang
sering terjadi di tungkai dan kaki selam kehamilan. Uterus yang
membesar menekan vena-vena besar yang menyalurkan darah dari
ekstremitas bawah sewaktu pembuluh-pembuluh tersebut masuk ke
rongga abdomen. Bendungan darah di vena ini mengakibatkan tekanan
darah di kapiler tungkai dan kaki, mendorong edema regional tungkai
bawah.
c. Sumbatan pembuluh limfe
Filtrasi tertahan di cairan interstisium dan tidak dapat
dikembalikan ke darah melalui pembuluh limfe. Akumulasi cairan
protein di cairan interstisium memperparah masalah melalui efek
osmotiknya. Sumbatan pembuluh limfe lokal dapat terjadi, sebagai
10
contoh di lengan wanita yang saluran-saluran drainase limfe utamanya
di lengan telah tersumbat akibat pengangkatan kelenjar limfe pada
pembedahan karena kanker payudara. Penyumbatan pembuluh limfe
yang lebih luas terjadi pada filariasis, suatu penyakit parasit yang di
tularkan melalui nyamuk yang terutama ditemukan di daerah pantai
tropis. Pada penyakit ini, cacing filaria yang halus mirip benang
menginfeksi pembuluh limfe dan menyumbat drainase limfe. Bagian
tubuh yag terkena, terutama skrotum dan ekstremitas, mengalami edema
berat. Penyakit ini sering dinamai elephantiasis karena kaki yang
bengkak tampak seperti kaki gajah.
2. Patofisiologi Penyakit yang Mendasari Oedem Anasarca
a. Sindrom Nefrotik
Kelainan glomerulus dengan karakteristik albuminuria,
hipoalbuminemia, edema dan hiperlipidemia. Pasien sindrom
nefrotik juga mengalami volume plasma yang meningkat
sehubungan dengan defek intrinsik ekskresi natrium dan air.
Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik berhubungan dengan
kehilangan protein sehingga terjadi penurunan tekanan osmotik
menyebabkan perpindahan cairan intravaskular ke interstitium dan
memperberat pembentukan edema. Pada kondisi tertentu,
kehilangan protein dan hipoalbuminemia sangat berat sehingga
volume plasma menjadi berkurang dan menyebabkan penurunan
perfusi ginjal yang juga merangsang retensi natrium dan air.
b. Sirosis Hati
Pada penderita sirosis hati sintesis protein akan terganggu,
tekanan hidrostatik vena meningkat, serta jumlah hormon aldosteron
bertambah. Sintesis protein yang terganggu mengakibatkan kadar
11
protein plasma menjadi berkurang. Terjadi ketidakseimbangan
antara protein plasma dengan protein jaringan. Tekanan osmotik
koloid dalam darah menurun sehingga terjadi perpindahan air dari
pembuluh darah menuju ruang interstitiel yang kemudian dapat
menyebabkan terjadinya edema. Biasanya edema akan timbul
apabila kadar albumin lebih rendah dari 2,5 gram/100 ml. Kemudian
tekanan hidrostatik dalam vena porta yang meningkat melebihi
tekanan osmotiknya juga mengakibatkan pertambahan cairan dalam
rongga peritoneum (ascites). Bertambahnya hormon aldosteron
dapat menyebabkan retensi natrium sehingga konsentrasi natrium
meninggi dan akan mengakibatkan terjadinya hipertoni. Hipertoni
menyebabkan air ditahan, sehingga jumlah air ekstraseluler baik
yang intravaskuler maupun yang interstitiel bertambah sehingga
terjadi edema.
12
c. Gagal Jantung Kongesif
Saat jantung mulai gagal memompa darah, darah akan
terbendung pada sistem vena. Pada saat yang bersamaan volume darah
pada arteri berkurang. Pengurangan pengisian arteri ini akan direspon
oleh reseptor volume pada pembuluh darah arteri yang memicu aktivasi
sistem saraf simpatis yang mengakibatkan vasokontriksi sebagai usaha
untuk mempertahankan curah jantung yang memadai. Akibat
vasokontriksi maka suplai darah akan diutamakan ke pembuluh darah
otak, jantung dan paru, sementara ginjal dan organ lain akan
kekurangan aliran darah. Akibatnya VDAE akan berkurang, ginjal akan
menahan natrium dan air.
Pada kondisi gagal jantung yang sangat berat juga akan terjadi
hiponatremi, ini terjadi karena ginjal lebih banyak menahan air
dibanding dengan natrium. Pada keadaan ini ADH akan meningkat
dengan cepat dan akan terjadi pemekatan urin. Keadaan ini diperberat
oleh tubulus proksimal yang juga menahan air dan natrium secara
berlebihan sehingga produksi urin akan sangat berkurang. Di lain pihak,
ADH juga merangsang pusat rasa haus, menyebabkan peningkatan
masukan air.
13
3. Diagnosis
Pasien ini mengalami sindrom nefrotik primer, di mana etiologi tidak
diketahui dan secara primer terjadi akibat kelainan glomerulus itu sendiri.
Penyakit ini ditandai dengan serangkaian gejala trias sindrom nefrotik, yakni:
a. Albuminuria
Albuminuria merupakan penyebab utama sindrom nefrotik yang
dapat diidentifikasi dari uji urinalisa, di mana ditemukan protein
albumin di dalam urine pasien. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan
permeabilitas membran kapiler glomerulus yang menyebabkan
gangguan filtrasi sehingga protein yang seharusnya diserap akan
dikeluarkan bersama urine.
b. Hipoalbuminemia
Plasma terutama terdiri dari protein jenis albumin dengan berat
molekul 69.000. Dalam kondisi albuminuria, kadar protein plasma
akan menurun. Pada gangguan renal maupun non renal yang
menyebabkan tubuh kehilangan banyak protein, hepar bisa
mengkompensasi dengan meningkatkan sintesis protein. Namun
apabila kompensasi tersebut tidak adekuat, di samping cukup
banyak protein yang dikeluarkan dan konsumsi protein kurang,
protein plasma akan menurun dan terjadi hipoalbuminemia.
c. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia muncul sebagai akibat penurunan tekanan onkotik
disertai penurunan aktivitas degradasi lemak karena penurunan
kadar protein yang merangsang enzim lipase.
4. Pemeriksaan Anjuran
a. Tes fungsi hati
Bilirubin: jika kadar naik berarti ada kelainan karena sumbatan saluran
empedu
14
SGPT & SGOT: kalau kadar naik berarti ada kelainan, karena enzim
baru keluar jika hati dalam keadaan rusak
AVP: memeriksa keganasan hati
b. Tes fungsi ginjal
c. BUN (Blood Urea Nitrogen): Untuk melihat fungsi ginjal dan
mengukur kadar nitrogen yang disaring oleh ginjal yang dibuang oleh
urin
d. Biopsi ginjal: dilakukan sebagai pilihan terakhir (mahal, diagnose pasti,
biasanya untuk anak umur 5-6 tahun)
e. MRI: menggambarkan pembuluh darah ginjal
f. USG: struktur anatomi ginjal
5. Penatalaksanaan
a. Diet tinggi protein 3-5 g/kg BB/hari, diet rendah lemak dan garam
b. Bila perlu lakukan transfusi plasma atau albumin untuk meningkatkan
kadar albumin dalam tubuh
c. Atasi infeksi
d. Berikan terapi suportif: tirah baring, diuretik intra vena flurosemid (40-
80 mg) dapat diulangi atau dosis ditinggikan setelah 4 jam, obat
penurun lemak golongan statin seperti simvastatin; pravastatin; dan
novastatin
e. Lakukan work up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi
f. Terapi prednisone
6. Prognosis
Prognosis untuk kehidupan (quo ad Vitam): dubia ad bonam, karena tidak
adanya kegawatan selama pasien berada di Rumah Sakit. Prognosis terhadap
kesembuhan (quo ad sanationam) dan fungsi tubuh (quo ad fungsionam) adalah
dubia ad bonam.
15
BAB IV
KESIMPULAN
Pasien ini mengalami gejala edema anasarca dari penyakit sindrom nefrotik
yang dideritanya. Diagnosa diperkuat dengan pemeriksaan laboratorium penunjang dan
hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pasien mengalami trias sindrom nefrotik.
Beberapa hal yang harus diperhatikan yakni perbaikan konsumsi pasien dan terapi
menggunakan prednison. Prognosis untuk kehidupan (quo ad Vitam) adalah ad bonam,
karena tidak adanya kegawatan selama pasien berada di Rumah Sakit. Prognosis
terhadap kesembuhan (quo ad sanam) dan fungsi tubuh (quo ad fungsionam) adalah ad
bonam.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Price, S.A. dan Wilson, L.M., 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. 6th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Mubin, A.H., 2006. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam: Diagnosis dan
Terapi. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Sutedjo, A.Y., 2012. Buku Saku: Mengenali Penyakit Melalui Hasil
Pemeriksaan Laboratorium. Yogyakarta: Penerbit Amara Books.
4. Dugdale, David. 2012. Pleural Effusion. Available:
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001150 (diakses tanggal 21 Maret
2013)
5. Braunwald, Eugene, Kurt J. Isselbacher, Robert G. Petersdorf (Ed.). 1987.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 11th ed. USA: McGraw-Hill.
6.
7. Editor Sudoyo,W.Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.—Ed.5—Jakarta;
Internal Publishing. 2009
8. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia. alih bahasa indonesia, Brahmn U.
Pendit; editor edisi bahasa indonesia. Nella Yesdelita.—Ed.6.—Jakarta;
EGC,2011.
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006
10. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Panduan Pelayanan
Medik. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006
17
top related