makalah hipotiroidisme kongenital
Post on 28-Jan-2016
67 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Hipotiroidisme Kongenital pada Bayi Usia 2 Bulan
Mohamad Hafiz Bin Mohd Azmi
102012480
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
hafizchino@gmail.com
Pendahuluan
Hipotiroidisme kongenital adalah keadaan dimana produksi hormon tiroid pada bayi
tidak mencukupi. Ini boleh disebabkan oleh defek anatomi kelenjar, gangguan metabolisme
tiroid atau defisiensi iodium.
Ada istilah yang dipakai yaitu kretinisme endemik untuk bayi-bayi dengan gondok dan
hipotiroidisme di sesebuah daerah. Daerah itu dianggap kurang pajanan iodium. Kretinisme
sporadik pula adalah terma untuk bayi yang mengalami kretinisme di daerah yang non-endemik.
Sebab kelainan adalah karena kelenjar tiroid yang tidak berfungsi atau ketiadaan kelejar tiroid.
Dengan deteksi dan penanganan awal, morbiditas hipotiroidisme dapat dikurangkan.
Banyak faktor yang berperan pada hipotiroid sehingga gambaran klinisnya sangat
bervariasi. Terjadinya hipotiroid tidak dipengaruhi oleh faktor geografis, sosial ekonomi maupun
iklim dan tidak terdapat predileksi untuk golongan etnis tertentu. Umumnya kasus hipotiroid
muncul secara sporadik. Faktor genetik hanya berperan pada hipotiroid tipe tertentu yang
diturunkan secara autosomal resesif.
Pembahasan
Rumusan Masalah
Bayi berusia 2 bulan dengan keluhan jarang menangis, lebih sering tidur dan malas
menetek.
Analisa Masalah
1
Anamnesis
Tanpa adanya skrining pada bayi baru lahir, pasien sering datang terlambat
dengan keluhan retardasi perkembangan disertai dengan gagal tumbuh atau perawakan pendek.
Pada beberapa kasus pasien datang dengan keluhan pucat. Pada bayi baru lahir sampai usia 8
minggu keluhan tidak spesifik. Perlu ditanya riwayat gangguan tiroid dalam keluarga, penyakit
ibu saat hamil, obat anti tiorid yang sedang diminum dan terapi sinar.
Dari anamnesis dapat digali berbagai gejala yang mengarah kepada hipotiroid
kongenital seperti ikterus lama, letargi, konstipasi, nafsu makan menurun dan kulit teraba dingin.
Selain itu, didapat pertumbuhan anak kerdil, ekstremitas pendek, fontanel anterior dan posterior
terbuka lebih lebar, mata tampak berjauhan dan hidung pesek. Mulut terbuka, lidah yang tebal
dan besar menonjol keluar, gigi terlambat tumbuh. Leher pendek dan tebal, tangan besar dan jari-
jari pendek, kulit kering, miksedema dan hernia umbilikalis.perkembangan terganggu, otot
hipotonik kadang dapat ditemukan hipertrofi otot generalisata sehingga menghasilkan tampakan
tubuh berotot. Perlu pula digali adanya riwayat keluarga dengan hipothyroidisme, terutama
kedua orang tua. Penting juga mengevaluasi riwayat kehamilan untuk mengetahui pengobatan
yang mungkin didapat ibu selama hamil, terutama yang bekerja mempengaruhi sintesis dan kerja
hormon thyroid atau kelainan lainnya.1
Diagnosa
Pemeriksaan Fisik
Indeks hipotiroidisme kongenital merupakan ringkasan tanda dan gejala yang paling
sering terlihat pada hipotiroidisme kongenital. Dicurigai adanya hipotiroid bila skor indeks
hipothyroid kongenital > 5.1 Tetapi, tidak adanya gejala atau tanda yang tampak tidak
menyingkirkan kemungkinan hipotiroid kongenital.
2
Tabel 1 : Skoring hipotiroid kongenital1
Gejala Klinis
Hernia umbilicalis
Kromosom Y tidak ada (wanita)
Pucat, dingin, hipotermi
Tipe wajah khas edematus
Makroglosi
Hipotoni
Ikterus lebih dari 3 hari
Kulit kasar, kering
Fontanella posterior terbuka (>3cm)
Konstipasi
Berat badan lahir > 3,5 kg
Kehamilan > 40 minggu
2
1
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
Total 15
Pemeriksaan Penunjang
Penyakit hipotiroid kongenital dapat dideteksi dengan tes skrining, yang
dilakukan dengan pemeriksaan darah pada bayi baru lahir atau berumur 3 hari atau minimal 36
jam atau 24 jam setelah kelahiran. Tes skrining dilakukan melalui pemeriksaan darah bayi. 2
Darah bayi akan diambil sebelum ibu dan bayi meninggalkan rumah sakit bersalin. Jika bayi
3
dilahirkan di rumah, bayi diharapkan dibawa ke rumah sakit atau dokter sebelum usia 7 hari
untuk dilakukan pemeriksaan ini. Darah diambil melalui tusukan kecil pada salah satu tumit
bayi, lalu diteteskan beberapa kali pada suatu kertas saring (kertas Guthrie) dan setelah
mengering dikirim ke laboratorium.2,3 Adapun pemeriksaannya ada tiga cara, yaitu:
a) Pemeriksaan primer TSH.
b) Pemeriksaan T4 ditambah dengan pemeriksaan TSH dari sampel darah yang sama,
bila hasil T4 rendah.
c) Pemeriksaan TSH dan T4 sekaligus pada satu sampel darah.
Nilai cut-off adalah 25 mU/ml. Bila nilai TSH < 25 >50 mU/ml dianggap
abnormal dan perlu pemeriksaan klinis dan pemeriksaan TSH dan T4 plasma. Bila kadar TSH
tinggi > 40 mU/ml dan T4 rendah, Bayi dengan kadar TSH diantara 25-50 mmU/ml, dilakukan
pemeriksaan ulang 2-3 minggu kemudian.3
Pemeriksaan penunjang lainnya yang penting dilakukan, antara lain:
a) Darah, air kemih, tinja, kolesterol serum.
b) T3, T4, TSH.
c) Radiologis :
1) USG atau CT scan tiroid.
2) Tiroid scintigrafi.
3) Umur tulang (bone age).
4) X-foto tengkorak .
Selain untuk mendiagnosis keadaan hipothyroid, perlu juga dilakukan
evaluasi tambahan guna menentukan etiologi dasar penyakit. Hal ini perlu dilakukan untuk
menentukan apakah HK bersifat permanent atau transient sehingga dapat diperkirakan lama
terapi dan prognosis.
4
1. Pengukuran kadar hormon kelenjar gondok.
Thyroxine total (T4)
Cara pemeriksaan T4 total yang umum dilakukan ialah cara
competitive protein binding assay (CPBA), radioimmuno assay (RIA) dan enzyme immuno
assay (EIA). Cara CPBA dikembangkan oleh Murphy dan Pattee (1964) dimana digunakan T4
— J125 dan thyroxine binding globulin (TBG) untuk mengukur kadar T4 serum. Saat ini yang
lebih sering digunakan adalah cara RIA dimana digunakan antibodi spesifik terhadap T4 (anti—
T4). T4 terlebih dulu dilepaskan dari ikatannya dengan TBG dengan penambahan zat tertentu.
T4 yang telah dibebaskan bersaing dengan T4 —J125 dalam berikatan dengan anti— T4. Ikatan
T4-anti T4 kemudian dipisahkan dari T4 bebas dan salah satu fraksi diukur radioaktivitasnya.
Ukuran radioaktivitas ini digunakan untuk mendapatkan kadar T4, dengan membandingkan
dengan satu seri standard yang dikerjakan bersama bahan pemeriksaan dari pasien.3
T4 bebas
Kadar T4 bebas dapat diperkirakan dengan menghitung
Free Thyroxine Index (FTI) dengan rumus : FTI = T4 x T3U atau FTI = T4/TBG. T4 bebas(Free
T4 = FT4) dapat pula diukur langsung. Cara yang klasik adalah dengan cara dialysis ekuilibrium.
Cara ini sulit dan tidak praktis untuk digunakan secara rutin, sehingga saat ini perkiraan T4 bebas
dengan menghitung FTI yang lebih banyak digunakan. Akhir-akhir ini telah dibuat suatu tehnik
pemeriksaan FT4 yang lebih sederhana. Dasar dari cara ini adalah penggunaan antibody spesifik
terhadap T4 yang dibuat sedemikian sehingga hanya bereaksi dengan T4 bebas.
Triiodothyronine (T3)
T3 dapat diukur dengan cars RIA dengan menggunakan
T3-J'25 dan antibodi spesifik terhadap T3. Prinsip pemeriksaan ini sama seperti pemeriksaan T4
dengan cara RIA. Seperti halnya T4 total, kadar T3 juga dipengaruhi kadar protein pengikatnya
5
dalam darah. Untuk mendapatkan gambaran kadar T3 bebas dalam darah dapat pula diitung Free
T3 Index (FT3I) dengan rumus l FT3I = T3 (ng/dl) x T3U (%)/ 1000
Disamping pemeriksaan T3 dapat pula diperiksa kadar neversed T3
(rT3) yang juga menggunakan cara RIA.
2. Penilaian jalur hipotalamus — hipofisis - kelenjar gondok Thyroid
Stimulating Hormone (TSH).
TSH adalah suatu glikoprotein yang disekresi oleh kelenjar
hipofisis pars anterior. Dulu kadar TSH diperiksa dengan cara bioassay, sekarang telah dapat
digunakan cara RIA yang sensitif untuk mengukurnya. Kadar normal TSH adalah mulai dari
tidak terdeteksi sampai 10uU/ml. Tes TRH.Pengukuran kadar TSH dilakukan sebelum, 20 menit
sesudah penyuntikan 500ug TRH intravena.
3. Pemeriksaan tidak langsung.
Pemeriksaan basal metabolic rate (BMR) dan lemak darah dapat
digunakan untuk menilai faal kelenjar gondok secara tidak langsung. Padahipotiroidisme
seringkali dijumpai adanya hiperlipidemia.
4. Pemeriksaan terhadap etiologi
Autoantibodi terhadap kelenjar gondok.
Pada keadaan-keadaan tertentu mungkin dijumpai adanya antibodi
terhadap komponen- komponen kelenjar gondok seperti thyroglobulin, komponen koloid,
mikrosom dan komponen nukleus dari sal folikuler. Antibodi ini dapat diperiksa dengan cara
imunologis seperti hemaglutinasi, presipitasi, fiksasi komplemen dan imunofluoresens. Penyakit
yang dihubungkan dengan adanya autoantibodi ini antara lain thyroiditis Hashimoto dan
penyakit Grave. Long acting thyroid stimulator (LATS). LATS adalah IgG yang bersifat antibodi
terhadap komponen kelenjar gondok yang mampu merangsang fungsi kelenjar gondok. Sekarang
ini dikenal beberapa macam thyroid stimulating immunoglobulins (TSI). Zat-zat ini dapat diukur
dengan cara bioassay, akan tetapi cara ini sulit dilakukan.4
6
Diagnosa kerja
Hipotiroid Kongenital adalah penyakit bawaan akibat kekurangan hormon
tiroid. Hormon tiroid adalah hormon yang dihasilkan kelenjar tiroid yang mempunyai peran
penting dalam pertumbuhan, metabolisme, dan pengaturan cairan tubuh.2
Diagnosa banding
Sindrome Down
Sering disertai hipotiroid kongenital, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan faal tiroid secara rutin. Gejala lainnya pada penyakit mongolisme ini antara lain
epikantus (+), makroglosi (+), miksedema (-), retardasi motorik dan mental, kariotyping (trisomi
21).1
Etiologi
Beberapa defek genetik dikaitkan dengan terjadinya hipotiroid kongenital yang
permanen. Diketahui bahwa faktor imunologik, lingkungan, dan iatrogenik (tapi bukan genetik)
dapat menyebabkan hipotiroid kongenital yang transient, yang dapat sembuh secara spontan
dalam bulan pertama kehidupan.2
Penyebab dari hipotiroid kongenital dihubungkan dengan terjadinya defek pada
protein-protein yang berperan dalam sistesis hormon tiroid dan defek pada faktor transkripsi
yang berperan dalam pembentukan dan perkembangan kelenjar tiroid. Namun, kasus yang
demikian hanya terjadi pada persentasi yang kecil dari populasi hipotiroid kongenital, penyebab
dari sebagian besar populasinya masih tidak diketahui.3,5
Hipotiroid kongenital yang transient dapat disebabkan oleh defisiensi iodine,
paparan terhadap iodine yang berlebih pada saat periode perinatal, atau paparan pada fetus oleh
thyriod-blocking antibodies yang diperoleh secara maternal atau obat antitiroid yang dikonsumsi
oleh wanita hamil dengan penyakit tiroid autoimun. Disfungsi tiroid kongenital dapat juga
merupakan akibat dari lahir yang prematur, dishormogenesis tiroid ringan, atau kehilangan
protein karena nefrosis (pada kasus yang jarang).5
7
Dosis OAT (Obat Anti Tiroid) berlebihan menyebabkan hipotiroidisme. Dapat
juga terjadi pada pemberian litium karbonat pada pasien psikosis. Hati-hatilah menggunakan
fenitoin dan fenobarbital sebab meningkatkan metabolisme tiroksin di hepar. Kelompok
kolestiramin dan kolestipol dapat mengikat hormon tiroid di usus. Defisiensi yodium berat serta
kelebihan yodium kronis menyebabkan hipotiroidisme dan gondok, tetapi sebaliknya kelebihan
akut menyebabkan IIT (iodine induced thyrotoxcisos). Bahan farmakologis yang menghambat
sintesis hormon tiroid yaitu tionamid (MTU, PTU, karbimazol), perklorat, sulfonamid, yodida
dan yang meningkatkan katabolisme atau penghancuran hormon tiroid yaitu fenitoin,
fenobarbital, yang menghambat jalur enterohepatik hormon tiroid yaitu kolestipol dan
kolestiramin.2
Obat anti tiroid yang dianjurkan ialah golongan tionamid yaitu propilthiourasil
(PTU) dan carbamizole (Neo Mercazole) . Yodida merupakan kontraindikasi untuk diberikan
karena dapat langsung melewati sawar plasenta dan dengan demikian mudah menimbulkan
keadaan hipotiroid kongenital. Wanita hamil dapat mentolerir keadaan hipertiroid yang tidak
terlalu berat sehingga lebih baik memberikan dosis OAT yang kurang dari pada berlebih.
Bioavilibilitas carbamizole pada janin ± 4 kali lebih tinggi dari pada PTU sehingga lebih mudah
menyebabkan keadaan hipotiroid. Melihat hal-hal tersebut maka pada kehamilan PTU lebih
terpilih. PTU mula-mula diberikan 100-150 mg tiap 8 jam. Setelah keadaan eutiroid tercapai
(biasanya 4-6 minggu setelah pengobatan dimulai), diturunkan menjadi 50 mg tiap 6 jam dan
bila masih tetap eutiroid dosisnya diturunkan dan dipertahankan menjadi 2 kali 50 mg/hari.
Idealnya hormon tiroid bebas dipantau setiap bulan. Kadar T4 dipertahankan pada batas normal
dengan dosis PTU ≤ 100 mg/hari. Bila tirotoksikosis timbul lagi, biasanya pasca persalinan, PTU
dinaikkan sampai 300 mg/hari. Efek OAT terhadap janin dapat menghambat sintesa hormon
tiroid. Selanjutnya hal tersebut dapat menyebabkan hipotiroidisme sesaat dan struma pada bayi,
walaupun hal ini jarang terjadi. Pada ibu yang menyusui yang mendapat OAT, OAT dapat keluar
bersama ASI namun jumlah PTU kurang dibandingkan carbamizole dan bahaya pengaruhnya
kepada bayi sangat kecil, meskipun demikian perlu dilakukan pemantauan pada bayi seketat
mungkin.2
Kelenjar tiroid bekerja di bawah pengaruh kelenjar hipofisis, tempat diproduksi
hormon tirotropik. Hormon ini mengatur produksi hormon tiroid yaitu tiroksin dan tri-
8
iodotironin. Kedua hormon tersebut dibentuk dari monoiodo-tirosin dan diiodo-tirosin. Untuk ini
diperlukan yodium. T3 dan T4 diperlukan dalam proses metabolik di dalam badan, lebih-lebih
pada pemakaian oksigen. Selain itu ia merangsang sintesis protein dan mempengaruhi
metabolisme karbohidrat, lemak dan vitamin. Hormon ini juga diperlukan untuk mengolah
karoten menjadi vitamin A. Untuk pertumbuhan badan, hormon ini sangat dibutuhkan, tetapi
harus bekerja sama dengan growth hormon.4
Berdasarkan pada kelainan heterogenous genetiknya terdapat dua kelompok
utama kelainan: yang menyebabkan disgenesis kelenjar tiroid, dan yang menyebabkan
dishormogenesis. Gen yang terkait dengan disgenesis kelenjar tiroid antara lain adalah reseptor
TSH pada hipotiroid kongenital tanpa gejala, dan GSα serta faktor transkripsi tiroid (TTF-1, TTF-
2, dan Pax-8). Yang menyebabkan dishormogenesis antara lain adalah defek pada gen thyroid
peroxidase dan gen thyroglobulin, PDS (pendred syndrome), NIS (sodium iodine symporter),
dan THOX2 (thyroid oxidase 2). Ada pula bukti awal yang mengarahkan pada kelompok ketiga
dari hipotiroid kongenital yang terkait dengan defek pada transposter iodothyronine yang terkait
dengan gangguan neurologik berat.6,8Sedangkan menurut Genetics Home Reference bahwa
Mutasi di DUOX2 , PAX8 ,SLC5A5 , TG , TPO , TSHB , dan TSHR gen menyebabkan
hipotiroidisme kongenital. mutasi gen menyebabkan hilangnya fungsi tiroid dalam salah satu dari
dua cara. Mutasi pada gen PAX8 dan beberapa mutasi pada gen TSHR mencegah atau
mengganggu perkembangan normal dari kelenjar tiroid sebelum kelahiran. Mutasi di DUOX2,
SLC5A5, TG, TPO, dan gen TSHB mencegah atau mengurangi produksi hormon tiroid,
meskipun kelenjar tiroid hadir. Mutasi pada gen lain yang belum juga ditandai juga dapat
menyebabkan hipotiroidisme congenital.5
Epidemiologi
Prevelensi hipotiroidisme kongenital berdasarkan studi dari program skrining
neonatus dari Amerika Serikat menyatakan bahwa 1/3,000 bayi baru lahir akan menderita
hipotiroidisme.1 Prevelensi itu lebih tinggi pada perempuan dari laki-laki dengan rasio 2:1.
Prevelensi tidak jauh berbeda jika dibandingkan mengikut ras.
9
Patofisiologi
Patofisiologi hipotiroidisme didasarkan atas masing-masing penyebab yang dapat
menyebabkan hipotiroidisme, yaitu :
1. Hipotiroidisme sentral (HS)
Apabila gangguan faal tiroid terjadi karena adanya kegagalan hipofisis, maka disebut
hipotiroidisme sekunder, sedangkan apabila kegagalan terletak di hipothalamus disebut
hipotiroidisme tertier. 50% HS terjadi karena tumor hipofisis. Keluhan klinis tidak hanya karena
desakan tumor, gangguan visus, sakit kepala, tetapi juga karena produksi hormon yang berlebih
(ACTH penyakit Cushing, hormon pertumbuhan akromegali, prolaktin galaktorea pada wanita
dan impotensi pada pria). Urutan kegagalan hormon akibat desakan tumor hipofisis lobus
anterior adalah gonadotropin, ACTH, hormon hipofisis lain, dan TSH.
2. Hipotiroidisme Primer (HP)
Hipogenesis atau agenesis kelenjar tiroid. Hormon berkurang akibat anatomi kelenjar.
Jarang ditemukan, tetapi merupakan etiologi terbanyak dari hipotiroidisme kongenital di negara
barat. Umumnya ditemukan pada program skrining massal. Kerusakan tiroid dapat terjadi
karena:
1) Pascaoperasi
Strumektomi dapat parsial (hemistrumektomi atau lebih kecil), subtotal atau total.
Tanpa kelainan lain, strumektomi parsial jarang menyebabkan hipotiroidisme. Strumektomi
subtotal M. Graves sering menjadi hipotiroidisme dan 40% mengalaminya dalam 10 tahun, baik
karena jumlah jaringan dibuang tetapi juga akibat proses autoimun yang mendasarinya.
2) Pascaradiasi
Pemberian RAI (Radioactive iodine) pada hipertiroidisme menyebabkan lebih dari 40-
50% pasien menjadi hipotiroidisme dalam 10 tahun. Tetapi pemberian RAI pada nodus toksik
hanya menyebabkan hipotiroidisme sebesar <5%. Juga dapat terjadi pada radiasi eksternal di usia
<20 tahun : 52% 20 tahun dan 67% 26 tahun pascaradiasi, namun tergantung juga dari dosis
radiasi.
10
3) Tiroiditis autoimun.
Disini terjadi inflamasi akibat proses autoimun, di mana berperan antibodi antitiroid,
yaitu antibodi terhadap fraksi tiroglobulin (antibodi-antitiroglobulin, Atg-Ab). Kerusakan yang
luas dapat menyebabkan hipotiroidisme. Faktor predisposisi meliputi toksin, yodium, hormon
(estrogen meningkatkan respon imun, androgen dan supresi kortikosteroid), stres mengubah
interaksi sistem imun dengan neuroendokrin. Pada kasus tiroiditis-atrofis gejala klinisnya
mencolok. Hipotiroidisme yang terjadi akibat tiroiditis Hashimoto tidak permanen.
4) Tiroiditis Subakut.
Nyeri di kelenjar atau daerah sekitar, demam, menggigil. Etiologi yaitu virus. Akibat
nekrosis jaringan, hormon merembes masuk sirkulasi dan terjadi tirotoksikosis (bukan
hipertiroidisme). Penyembuhan didahului dengan hipotiroidisme sepintas.
5) Dishormogenesis
Ada defek pada enzim yang berperan pada langkah-langkah proses hormogenesis.
Keadaan ini diturunkan, bersifat resesif. Apabila defek berat maka kasus sudah dapat ditemukan
pada skrining hipotiroidisme neonatal, namun pada defek ringan, baru pada usia lanjut.
6) Karsinoma.
Kerusakan tiroid karena karsinoma primer atau sekunder, amat jarang.
3. Hipotiroidisme sepintas.
Hipotiroidisme sepintas (transient) adalah keadaan hipotiroidisme yang cepat
menghilang. Kasus ini sering dijumpai. Misalnya pasca pengobatan RAI, pasca tiroidektomi
subtotalis. Pada tahun pertama pasca operasi morbus Graves, 40% kasus mengalami
hipotiroidisme ringan dengan TSH naik sedikit. Sesudah setahun banyak kasus pulih kembali,
sehingga jangan tergesa-gesa memberi substitusi. Pada neonatus di daerah dengan defisiensi
yodium keadaan ini banyak ditemukan, dan mereka beresiko mengalami gangguan
perkembangan saraf.
11
Gejala Klinis
Umumnya bayi yang terdeteksi pada program skrining belum memperlihatkan
gejala klinis yang khas, dan bila ada umumnya gejala sangat ringan dan kurang jelas. Hanya
kurang dari 5% bayi dengan hasil skrining positif memperlihatkan gejala klinis hipotiroid.
Manifestasi klinis ini sangat bergantung pada etiologi, usia terjadinya in utero, beratnya
penyakit, serta lamanya hipotiroid. Bayi yang sudah memperlihatkan gejala klinis hipotiroid
pada minggu pertama kehidupannya dapat dipastikan sudah mengalami hipotiroid yang
berlangsung lama sebelum anak tersebut dilahirkan.
Umumnya rerata berat badan dan panjang badan bayi berada pada persentil ke 50
dan lingkar kepala pada persentil 70. Hal ini menunjukkan bahwa hormon tiroid tidak diperlukan
untuk pertumbuhan somatic intrauterine, dan terjadinya pada akhir masa kehamilan. Meskipun
kadar T4 rendah tetapi biasanya kadar T3 normal sehingga pada kebanyakan kasus tidak
ditemukan tanda atau manifestasi klinis hipotiroid. Ada kecenderungan bahwa masa gestasi
berlangsung lebih lama yang dibuktikan bahwa terdapat sepertiga kasus dengan masa gestasi
lebih dari 42 minggu.
Gejala klinis yang sering terlihat adalah ikterus memanjang akibat keterlambatan
maturasi enzim glukoronil tranferasi hati, letargi, konstipasi , malas minum (kurang kuat) dan
masalah makan lainnya, serta hipotermia. Pada saat skrining hanya sedikit dijumpai tanda klinis.
Beberapa bayi menunjukkan tanda klasik seperti wajah sembab, pangkal hidung rata dengan
“pseudohipertelorisme”, pelebaran fontanel (khususnya fontanel posterior), pelebaran sutura,
makroglosi, suara tangis serak, distensi abdomen dengan hernia umbilikalis, kulit yang dingin
dan ‘’ mottled ” (cutis mammorata), ikterik, hipotonia, hiporefleksia, galaktorea, dan
meningkatnya kadar prolaktin. Jarang sekali dijumpai goiter, namun bayi yang lahir dari ibu
dengan penyakit graves dan diobati dengan PTU sering didapatkan goiter yang besar dan
menutupi jalan napas.
Bila diagnosis hipotiroid tidak ditegakkan sedini mungkin, maka akan terjadi
keterlambatan perkembangan. Umumnya keterlambatan perkembangan dan pertumbuhan terlihat
pada usia 36 bulan. Retardasi mental yang terjadi akibat hipotiroid kongenital yang terlambat
12
diobati sering disertai oleh gangguan neurologis lain, seperti gangguan koordinasi, ataksia,
diplegia spastic, hipotonia, dan strabismus.
Bayi yang mengalami hipotiroid sekunder memiliki gejala lebih ringan daripada
hipotiroid primer. Bayi dicurigai mengalami hipotiroid sekunder bila terdapat sumbing pada bibir
dan/atau palatum, nistagmus, hipoglikemia akibat defisiensi hormone pertumbuhan dan hormone
adrenokortikotropik (ACTH), serta bayi laki laki dengan mikropenis, hipoplasia skrotum, dan
undesensus testis yang diduga karena defisiensi hormon pertumbuhan dan gonadotropin.
Komplikasi
Koma miksedema
Koma miksedema adalah situasi yang mengancam nyawa yang ditandai
oleh eksaserbasi (perburukan) semua gejala hipotiroidisme termasuk hipotermi tanpa menggigil,
hipotensi, hipoglikemia, hipoventilasi, dan penurunan kesadaran hingga koma. Dalam keadaan
darurat (misalnya koma miksedema), hormon tiroid bisa diberikan secara intravena.
Gangguan pertumbuhan dan perkembangan (Kretinisme)
Jika hipotiroidisme yang berat sudah terjadi sewaktu hidup fetal, maka
kita akan mendapatkan penderita yang cebol dan mungkin imbesil. Pada waktu lahir tidak
ditemukan kelainan tetapi pada umur 2-3 bulan sudah bisa timbul gejala lidah tebal dan jarak
antara ke dua mata lebih besar dari biasanya. Pada waktu ini kulit kasar dan warnanya agak
kekuningan. Kepala anak besar, mukanya bulat dan raut mukanya (ekspresi) seperti orang bodoh
sedangkan hidungnya besar dan pesek, bibirnya tebal, mulutnya selalu terbuka dan juga lidah
yang tebal dikeluarkan. Pertumbuhan tulang juga terlambat. Sedangkan keadaan psikis berbeda-
beda biasanya antara agak cerdik dan sama sekali imbesil.
Kematian dapat terjadi apabila tidak diberikan terapi hormon dan stabilisasi
semua gejala dengan segera.
13
Penatalaksanaan
Begitu diagnosis hipothyroid kongenital ditegakkan, dapat dilakukan pemeriksaan
tambahan untuk menetukan etiologi dasar penyakit. Bila hal ini tidak memungkinkan, tretment
awal dengan L-thyroxine harus segera dilaksanakan. Dosis awal pengobatan dengan L-thyroxine
adalah 10-15μg/kgBB/hr yang bertujuan segera mencapai kadar hormon tiroksin yang adekuat.
Pada pasien dengan derajat hipothyroidisme yang berat, ditandai dengan terbukanya fontanela
mayor, harus diberikan dosis yang lebih besar, yaitu lebih besar dari
15μg/kgBB/hr.4,5,11 Selanjutnya, diikuti dengan terapi maintenence dimana besar dosis
mentenence disesuaikan kondisi pasien. Tujuan terapi adalah untuk mempertahankan kadar
hormon tiroksin dan free T4 dalam batas normal, yaitu 10-16 μg/dL untuk hormon tiroksin dan
1.4 - 2.3 ng/dl untuk free T4.4
Untuk hipothyroidisme kongenital, satu-satunya terapi adalah dengan replacment
hormon. Dalam tatalaksananya, yang paling penting adalah follow up dan montoring terapi untuk
memepertahankan kadar TSH dan T4 plasma dalam ambang normal.2 Untuk itu, perlu dilakukan
follow up kadar TSH dan hormon T4 dlam waktu-waktu yang ditentukan, yaitu:
Jadwal 2: Jadwal Follow-up Pasien Sesuai Usia2
Usia Pasien Jadwal Follow-up
0-6 bulan Tiap 6 minggu
6 bulan-3 tahun Tiap 3 bulan
> 3 tahun Tiap 6 bulan
Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring 6-8 minggu setiap pergantian dosis.
Hal ini guna mengantisipasi terjadinya overtreatment yang dapat menyebabkan efek samping
seperti penutupan sutura yang premature, dan masalah temperament dan perilaku.2
14
Jadwal 3: Dosis Hormon Tiroid Berdasarkan Usia2
Usia Dosis kg/kg BB/hari
0-3 bulan
3-6 bulan
6-12 bulan
1-5 tahun
2-12 tahun
> 12 tahun
10-15
8-10
6-8
5-6
4-5
2-3
Kadar T4 dipertahankan di atas pertengahan nilai normal.
Bila fasilitas untuk mengukur faal tiroid tidak ada, dapat dilakukantherapeutic
trial sampai usia 3 tahun dimulai dengan dosis rendah dalam 2-3 minggu; bila ada perbaikan
klinis, dosis dapat ditingkatkan bertahap atau dengan dosis pemberian + 100 μg/m2/hari.
Penyesuaian dosis tiroksin berdasarkan respon klinik dari uji fungsi tiroid T3, T4,
dan TSH yang dapat berbeda tergantung dari etiologi hipotiroid.
Prognosis
Prognosis meningkat secara dramatis dengan adanya neonatal screening program.
Diagnosis yang cepat dan pengobatan yang adekuat dari minggu pertama kehidupan dapat
memberikan pertumbuhan yang normal termasuk intelegensi dibandingkan dengan lainnya yang
tidak mendapatkannya.8Sebelum berkembangnya skrining bayi baru lahir, suatu penelitian di RS
Anak Pittsburgh melaporkan bayi-bayi yang diobati > 7 bulan IQ rata-rata 54.2. Prognosis juga
bergantung pada etiologi yang pasti.3 Infant yang megalami keadaan kadar T4 yang rendah
dengan retardasi pematangan skeletal, mengalami penurunan IQ 5-10m point, dan kelainan
neuropskikologis misalnya, inkoordinasi, hypotonic atau hypertonis, kurang perhatian, dan
kesulitan bicara. Pada 20% kasus terjadi kesulitan mendengar. Tanpa pengobatan, infant yang
15
mengalamianya akan ditemukan defisensi mental dan retardasi pertumbuhan. Hormone thyroid
sangat penting untuk pertumbuhan otak, maka diperlukan diagnosis biokimia untuk mengetahuai
apakah ada kelainan atau tidak agar dapat segera di tatalaksana untuk mencegah kerusaka otak
yang irreversible. Keterlambatan diagnosis, kegagalan untuk menangani hypertyroxemia secara
cepat, pengobatanya yang tidak adekuat, dan pemenuhan yang kurang pada 2-3 tahun pertama
kehidupan dapat menghasilkan derajat kerusakan otak yang bervariasi.5
Kesimpulan
Hipotiroid kongenital adalah kelainan bawaan dengan kadar hormon tiroid (T3 danT4) di
sirkulasi darah yang kurang dengan kadar TSH yang meningkat. Kelainan ini diketahui sebagai
penyebab terjadinya keterbelakangan mental dan kecacatan fisik pada anak- anak.
Prevalensi rata-rata hipotiroid kongenital di Asia adalah 1 diantara 2.720 bayi di daerah
non endemis iodium (hipotiroid kongenital sporadik) dan 1 : 1000 hipotiroid kongenital endemis
di daerah defisiensi iodium. Penelitian di daerah Yogyakarta menunjukkan angka kejadian 1 :
1500 hipotiroid kongenital sporadik dan 1 : 1300 bayi menderita hipotiroid transien karena
kekurangan iodium (endemis). Angka kejadian hipotiroid kongenital di Indonesia belum
diketahui, namun apabila mengacu pada angka kejadian di Asia dan di Yogyakarta, maka di
Indonesia, dengan angka kelahiran sekitar 5 juta per tahun, diperkirakan sebanyak 1.765 sampai
3200 bayi dengan hipotiroid kongenital dan 966 sampai 3.200 bayi dengan hipotiroid kongenital
transien karena kekurangan iodium, lahir setiap tahunnya.
Begitu diagnosis hipothyroid kongenital ditegakkan, dapat dilakukan pemeriksaan
tambahan untuk menetukan etiologi dasar penyakit. Bila hal ini tidak memungkinkan, tretment
awal dengan L-thyroxine harus segera dilaksanakan. Dosis awal pengobatan dengan L-thyroxine
adalah 10-15 μg/kgBB/hr yang bertujuan segera mencapai kadar hormon tiroksin yang adekuat.
Pada pasien dengan derajat hipothyroidisme yang berat, ditandai dengan terbukanya fontanela
mayor, harus diberikan dosis yang lebih besar, yaitu lebih besar dari 15μg/kgBB/hr.
16
Daftar Pustaka
1. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak nelson. Jakarta: EGC; 2000.h.883,1483.
2. Hassan R, Alatas H, editor. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-4. Jakarta: Infomedika; 2007.
h. 1051-165.
3. Karen J.M, Robert M.K, Hal B.J, Richard E.B, editor. Nelson essentials of pediatrics. 6 th
ed. Michigan: W.B. Saunders Company; 1998.
4. Tom L, Avroy F. At a Glance neonatologi. Dalam: Amalia S, penyunting. Neonatologi:
Kedokteran perianatal, bayi baru lahir yang normal, dan bayi preterm. Jakarta: Erlangga;
2009.p.33,52-3,68.
5. Fauci AS, Kasper DL, Braunwald E, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. Harrison’s
principles of internal medicine. 17th ed. United States: The McGraw-Hill companies;2008.p.2536-
43
6. Scoot N. Obstetri-ginekologi: referensi singkat. Dalam: Dewi A, Prifitasari, Joko S,
penynting. Neonatus. Jakarta: EGC; 2005.p.256.
17
top related