makalah ekologi lahan rawa
Post on 18-Jan-2016
189 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
MAKALAH SISTEM PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN
LAHAN BASAH
OLEH:
Fachry Ramadhan
(H1E109015)
DOSEN PEMBIMBING : Nova annisa, S.Si., M.S
PROGRAM STUDI S1 TEKNIK LINGKUNGANFAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURATBANJARBARU
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lahan basah (wetlands) dapat diartikan sebagai lahan basah yang secara
alami atau buatan selalu tergenang, baik secara terus-menerus ataupun musiman,
dengan air yang diam ataupun mengalir. Air yang menggenangi lahan basah dapat
berupa air tawar, payau dan asin. Tinggi muka air laut yang menggenangi lahan
basah yang terdapat di pinggir laut tidak lebih dari 6 meter pada kondisi surut.
Lahan basah adalah salah satu dari banyaknya lingkungan produktif di dunia.
Lahan basah merupakan “supermarket” dari keanekaragaman hayati. Lahan basah
merupakan istilah kolektif tentang ekosistem yang pembentukannya dikuasai air, dan
proses serta cirinya dikendalikan oleh air. Suatu lahan basah adalah suatu tempat
yang cukup basah selama waktu yang cukup panjang bagi pengembangan vegetasi
dan organisme lain yang teradaptasi khusus. Lahan basah merupakan areal transisi
antara lahan kering dan wilayah perairan seperti danau, rawa, payau, sungai dan
pantai. Tidak semua lahan basah yang selalu berair atau tergenang sepanjang
tahun.
Lahan basah merupakan ekosistem yang produktif, mempunyai sejumlah fungsi dan
manfaat yang bernilai bagi manusia. Lahan basah adalah daerah peralihan antara
sistem perairan dan sistem daratan. Tumbuhan yang hidup umumya adalah
hidrofita, substratnya berupa tanah hidric yang tidak dikeringkan serta berupa bahan
bukan tanah dan jenuh atau tertutup dengan air dangkal pada suatu waktu selama
musim pertumbuhan setiap tahun.
Indonesia merupakan negara yang memiliki ekosistem lahan basah
(wetlands) yang terluas di Asia Tenggara yakni sekitar 37 juta Ha, sehingga
menempatkan Indonesia sebagai salah satu kawasan terkaya di dunia dalam hal
potensi keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya, baik secara ekologis
maupun ekonomis. Berdasarkan fungsi dan tatanan lingkungannya, tipologi lahan
basah Indonesia secara garis besar terdiri dari empat macam yakni :
1) lahan basah pesisir dan lautan yang meliputi antara lain hutan bakau,
hutan payau, hutan mangrove, terumbu karang dan dataran pasir
2) lahan basah Rawa yang meliputi hutan rawa gambut, rawa padang, rawa
rumput .
3) Lahan basah dataran sungai yang meliputi sungai, dataran banjir, lebak-
lebung dan muara sungai.
4) Lahan basah danau, bendungan dan lahan basah bentukan seperti
sawah, tambak garam, danau, situ, dan bendungan.
Mengingat cukup bervariasinya tipe dan sifat ekosistem lahan basah
Indonesia, maka ekosistem lahan basah tersebut mempunyai potensi yang sangat
besar untuk dapat dikembangkan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Secara
garis besar fungsi dan manfaat lahan basah terhadap manusia dan lingkungan
adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi Kebutuhan Dasar Manusia
Kebutuhan dasar manusia selalu mengingat seiring dengan meningkatnya kemajuan
jaman. Bagi Indonesia, yang dianggap sebagai kebutuhan dasar adalah pangan,
sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Dari kelima kebutuhan dasar ini,
pangan, papan dan kesehatan dapat dipenuhi oleh ekosistem lahan basah secara
langsung. Sedangkan kebutuhan sandang dan pendidikan secara tidak langsung
dapat dipenuhi dengan memanfaatkan potensi lahan basah melalui peningkatan
pendapatan.
2. Sumber Pendapatan dan Kesempatan Kerja Produk hutan dikawasan lahan
basah merupakan komoditi yang dapat memberikan penghasilan dan pendapatan
negara antara lain melalui industri chip dan kertas. tidak sedikit masyarakat yang
telah memanfaatkannya sebagai sumber mata pencaharian baik dari kayu, kulit
kayu, madu maupun berbagai hasil estuaria yang sangat beranekaragam seperti
udang, ikan, kepiting, moluska dan lainnya.
3. Penyangga dan Pendukung sistem kehidupan (life supporting system) Peranan
lahan basah juga mencakup sebagai pemenuhan manfaat lingkungan yang
berkaitan erat dengan stabilisasi dan kesehatan lingkungan, juga meningkatkan dan
memelihara produktifitas perairan estuaria dan kegiatan ekotourism.
Lahan basah di Asia terdiri dari bermacam-macam jenis, seperti habitat alami dan
buatan (Scott 1989; Watkins & Parish 1999) termasuk daerah inter-tidal dan muara,
seperti danau, pesisir, batu karang yang berada didaerah terbuka, endapan lumpur
dan pasir, danau air asin (di daerah yang bertemperatur rendah) dan hutan bakau (di
daerah tropis dan sub-tropis).
1. Sungai dan rawa yang terbentuk dari genangan banjir, anak sungai dan
danau
2. Danau air tawar dan hamparan ilalang baik yang bersifat temporer maupun
permanen
3. Hutan rawa gambut dan hutan rawa air tawar, serta
4. Gambut dan lumpur Sedikit sekali jenis lahan basah yang termasuk dalam
jenis musiman, seperti danau air asin dan/atau yang mengandung alkalin. Di
Asia juga memiliki lahan basah buatan, seperti sawah yang bersifat
musiman, ladang garam, kolam aquakultur dan waduk.
Dari contoh tersebut di atas, dapat terlihat bahwa betapa sulitnya dalam
mendefinisikan lahan basah. Hal ini telah berlangsung sejak lama (Finlayson & Van
der Valk 1995), yang sebagian terkait dengan masalah penjelasan habitatnya yang
sering kali dianggap sebagai ecotones antara habitat air dan darat. Satu hal yang
sangat penting tentang lahan basah, bahwa lahan basah sudah diterima dan
mendapat pengakuan dunia berkat Ramsar Convention. Meskipun demikian, ketika
ditegaskan oleh Finlayson (1999) saat mengembangkan protokol untuk inventarisasi
lahan basah di Australia, definisi tentang lahan basah ini cenderung meluas, seperti
lahan basah di pesisir pantai dan laut, mengingat keduanya berada dalam perairan
dalam dan terjadi karena adanya penggenangan air secara musiman dan sporadis.
Namun pencantuman daerah laut telah menimbulkan banyak perdebatan.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui potensi lahan
basah dan pesisir baik secara biofisik maupun ekologis dengan merujuk kepada
fungsi-fungsinya. Sedangkan kegunaannya adalah sebagai bahan informasi bagai
mahasiswa dalam meninjau sejauh mana potensi dan fungsi lahan basah dan
pesisir.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Lahan Basah
Lahan basah adalah istilah kolektif tentang ekosistem yang pembentukannya
dikuasai air, dan proses serta cirinya terutama dikendalikan air. Suatu lahan basah
adalah suatu tempat yang cukup basah selama waktu cukup panjang bagi
pengembangan vegetasi dan organisme lain yang teradaptasi khusus (Maltby,
1986). Lahan basah ditakrifkan (define) berdasarkan tiga parameter, yaitu hidrologi,
vegetasi hidrofitik, dan tanah hidrik (Cassel, 1997).
Lahan basah mencakup suatu rentangan luas habitat pedalaman, pantai, dan
marin yang memiliki sejumlah tampakan sama. Konvensi Ramsar 1971 menakrifkan
lahan basah yang penting secara internasional sebagai berikut (Dugan, 1990).
Lahan basah adalah wilayah rawa, lahan gambut, dan air, baik alami maupun
buatan, bersifat tetap atau sementara, berair ladung (stagnant, static) atau mengalir
yang bersifat tawar, payau, atau asin, mencakup wilayah air marin yang di dalamnya
pada waktu surut tidak lebih daripada enam meter.
Sesungguhnya, lahan basah merupakan komponen penting beraneka
ekosistem karena berfungsi menyimpan air banjir, memperbaiki mutu air, dan
menyediakan habitat bagi margasatwa (Cassel, 1997). Dalam kenyataan lahan
basah dapat menyediakan sederetan barang dan jasa penting bagi manusia dalam
penggunaan langsung dan tidak langsung, kesejahteraan margasatwa, dan
pemeliharaan mutu lingkungan. Proses biofisik yang menjadi gantungan penyediaan
barang dan jasa, juga menopang fungsi dan struktur ekosistem.
Pengembangan pertanian paling banyak menghilangkan lahan basah.
Sebagai contoh, di Amerika Serikat pada kurun waktu antara 1950an dan 1970an,
87% lahan basah yang hilang disebabkan oleh pengembangan pertanian, 8% oleh
pengembangan kota, dan 5% oleh pengembangan lain (Maltby, 1986).
Tiap lahan basah tersusun atas sejumlah komponen fisik, kimia, dan biologi,
seperti tanah, air, spesies tumbuhan dan hewan, serta zat hara.
2.2 Fungsi Lahan Basah
Nilai lahan merupakan gabungan tiga parameter, yaitu fungsi yang
dapat dikerjakan, hasilan (product) yang dapat dibangkitkan, dan tanda pengenal
(attribute) berharga pada skala ekosistem yang dapat disajikan. Tiap lahan basah
tersusun atas sejumlah komponen fisik, kimia, dan biologi, seperti tanah, air, spesies
tumbuhan dan hewan, serta zat hara. Proses yang terjadi antarkomponen dan di
dalam tiap komponen membuat lahan basah dapat mengerjakan fungsi-fungsi
tertentu, dapat membangkitkan hasilan, dan dapat memiliki tanda pengenal khas
pada skala ekosistem. Tidak semua ciri (characteristic) ada pada tiap lahan basah.
Maka tidak semua lahan basah dapat menjalankan semua fungsi dan tidak semua
fungsi dapat dikerjakan sama di tiap lahan hasah (Dugan, 1990).
Fungsi khusus terpenting lahan basah mencakup pengimbuhan (recharge)
dan pelepasan (discharge) air bumi (ground water), penqendalian banjir, melindungi
garis pantai terhadap abrasi laut, penambatan sedimen, toksikan, dan hara, serta
pemendaman (sequestering) karbon khususnya di lahan gambut. Hasilan yang
dapat dibangkitkan ialah sumberdaya hutan, sumberdaya pertanian, perikanan, dan
pasokan air. Tanda pengenal berharga pada skala ekosistem ialah keanekaan
hayati, keunikan warisan alami (geologi, tanah, margasatwa, ikan, edafon, vegetasi),
dan bahan untuk penelitian ilmiah. Lahan basah, khususnya lahan gambut,
merupakan gudang penyimpan informasi, sangat berguna tentang lingkungan purba
(paleoenvironment) berkenaan dengan ragam vegetasi, keadaan iklim, lingkungan
pengendapan, dan pembentukan gambut sendiri (dimodifikasi dari Dugan, 1990;
dan Page, 1995).
Soal fungsi dan tanda pengenal berharga mensyaratkan konservasi penuh,
sedang persyaratan dalam soal hasilan berkisar antara kenservasi penuh dan
konversi lengkap. Pasokan air memerlukan konservasi penuh. Pengembangan
sumberdaya pertanian menghendaki konversi lengkap. Pengembanqan
sumberdaya hutan dan ikan dapat mensyaratkan konversi lengkap, cukup dengan
konversi terbatas, atau tidak perlu konversi. Pengembangan sumberdaya hutan
untuk hasilan alami, seperti bahan tumbuhan obat atau rempah, damar, getah, dan
madu, tidak memerlukan konversi. Untuk hasilan kayu dari hutan alam tidak
diperlukan konversi, akan tetapi dapat mengakibatkan konversi tanpa diniati karena
mengusik ekosistem melampaui batas daya 1entingnya (resilience). Diperlukan
konversi lengkap untuk hasilan kayu dan hutan tanaman. Pengusahaan akuakultur
tambak mengkonversi lengkap lahan basah mangrove. Pengembangan
sumberdaya perikanan di perairan umum tidak memerlukan konversi. Dalam sistem
tertentu, antara lain beje masyarakat Dayak Kalimantan Tengah. dipenlukan
konversi terbatas dengan menggali handil yang berujung di cekungan berair. Handil
digunakan untuk menggiring ikan dari sungai masuk ke dalam cekungan berair dan
kolam alami digunakan untuk menjebak dan menangkap ikan.
Menurut Dugan (1990), fungsi lahan basah ialah:
1. Pengisian kembali air tanah, yang terutama dijalankan oleh dataran banjir, rawa
air tanah, danau, lahan gambut dan hutan rawa.
2. Pelepasan air tanah
3. Penambatan sedimen, bahan beracun dan hara
4. Rekreasi dan turisme
5. Pengendalian banjir, yang dijalankan oleh semua bentuk lahan basah, kecuali
sistem pantai terbuka (Dijalankan Oleh semua bentuk lahan basah).
6. Pengukuran garis tepilaut (shoreline) dan pengendalian erosi, yang terutama
dijalankan oleh estuari, kewasan mangrove, sistem pantai terbuka, dataran banjir
dan rawa air tawar.
7. Ekspor biomassa, yang dijalankan oleh semua bentuk lahan basah, kecuali lahan
gambut.
8. Perlindungan terhadap badai dan pematah angin, yang terutama dijalankan oleh
estuari, kawasan mangrove, sistem pantai terbuka dan hutan rawa.
9. Pengukuhan iklim mikro, yang terutama dijalankan oleh kawasan mangrove,
dataran banjir, rawa air tawar, danau dan hutan rawa.
10.Pengangkutan air, yang terutama dijalankan oleh estuari, kawasan mangrove,
dataran banjir dan danau. Imbuhan (pengisian kembali) air tanah terjadi pada
waktu air bergerak dari lahan basah ke bawah dan masuk ke dalam akuifer.
Selama pergerakan ini terjadi pembersihan air. Air dalam akuifer dapat mengalir
ke samping dan akhirnya dapat naik ke permukaan lahan basah lain. Jadi,
imbuhan air tanah di lahan basah yang satu bergandengan dengan pelepasan air
tanah di lahan basah yang lain. Fungsi imbuhan dan pelepasan air tanah
antarlahan basah dalam setahun dapat tertukarkan, tergantung pada kenaikan
dan penurunan permukaan air tanah setempat yang mengubah arah landaian
permukaan air tanah.
2.3 Potensi Biofisik Lahan Basah
Kinerja lahan basah membangkitkan hasilan dan jasa lingkungan dan
ekonomi. Masyarakat umum masih sulit memahami kepentingan hasilan dan jasa
lingkungan berhubung hasilan dan jasa tersebut sulit dihargai dengan uang karena
tidak biasa dipertukarkan denqan mekanisme pasar. Padahal banyak hasilan atau
jasa lingkungan Iahan basah yang secara ekonomi penting sekali bagi hanyak
bentuk kegiatan manusia (Burbridqe, 1996). Sebaqai contoh, jasa lingkungan lahan
basah menambat air membantu mengurangi kerusakan karena banjir yang dapat
dinilai dengan uang niilyaran rupiah. Contoh lain, jasa lingkungan lahan basah
nembersihkan air dapat dinilai dengan uang menurut pengurangan pengeluaran
untuk memelihara kesehatan ponduduk.
Ada hasilan yang diperoleh dari luar lahan basah yang dapat dijual
sebetulnya berasal dan lahan basah. Contoh, ikan dewasa yang tertangkap di hilir
sungai berpijah dan bertumbuh di lahan basah yang ada di hulu sungai. Seringkali
jasa yang dibangkitkan lahan basah utuh dirasakan maslahatnya di luar lahan
basah. Oleb karena asas kausalitas peristiwa alam tidak difahami, masyarakat
umum tidak dapat menghargai upaya konservasi lahan basah. Ketidakpedulian atau
ketidaktanggapan akan masalah-masalah lingkungan dan konservasi barangkali
dapat dirunut ke kelemahan pendidikan lingkungan di dalam dan di luar sekolah
(Ponniah, 1997).
Ada nasabah (relationship) erat antara faktor biogeofisik, ekonomi, dan
sosial-budaya dalam kegiatan pengembangan lahan basah yang digambarkan oleh
Burbridge (1996) dengan diagram Venn berikut ini.
Gambar 1. Nasabah antara ketiga faktor pokok pengembangan lahan basah
(menurut Burbridge, 1996).
Nilai lahan basah ditentukan oleh fungsi yang dapat dijalankan, produk yang
dapat dihasilkan, dan maknanya sebagai ujud. Perbedaan ciri biofisik membawa
serta perbedaan nilai. Fungsi-fungsi terpenting yang dapat dijalankan oleh bagian
besar atau semua kategori lahan basah alami ialah imbuhan (recharge) air tanah,
mengatur pelepasan (discharge) air tanah, mengendalikan banjir, mengukuhkan
(stabilize) garis pantai, mengendalikan erosi, menambat sedimen, hara dan bahan
beracun, dan mengukuhkan iklim mikro. Kemampuan menambat bahan meracun
dapat dimanfaatkan untuk membersihkan limbah cair dan mengendalikan
pencemaran oleh sumber baur (nonpoint source). Di Amerika Serikat juga digunakan
lahan basah buatan yang dirancang khusus untuk keperluan tersebut (Mitsch, 1922;
Hammer, 1992). Lahan gambut berperan dalam mengendalikan emisi CO2 ke
atmosfer dengan memendam (sequester) C dalam bahan organik gambut, berarti
membantu menekan efek rumah kaca. Fungsi-fungsi yang dapat dijalankan
menunjukkan bahwa lahan basah alami berperan penting dalam menjaga
keselamatan dan kelestarian lingkungan.
Produk-produk yang dapat dihasilkan lahan basah alami berasal dari
sumberdaya hutan (kayu, damar, buah, bahan obat), sumbedaya satwa liar (kulit,
telur, madu), sumberdaya akuatik (ikan), sumberdaya nabati yang menghasilkan
hijauan pakan, dan bekalan (supply) air dari air yang ditambat. Gambut
berkemampuan menambat air sangat besar. Setiap m3 gambut secara rerata dapat
menambat air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan air rumahtangga satu orang
selama 10 hari.
Lahan basah alami dapat dikembangkan untuk budidaya tanaman, ternak
dan ikan. orang Bugis dan Banjar mengembangkan lahan rawa pasang surut untuk
budidaya padi sawah. Orang Banjar juga mengembangkan budidaya padi sawah di
lahan lebak, demikian pula orang Palembang. Lahan lebak oleh orang Banjar juga
dikembangkan untuk budidaya ikan. Orang Jawa di Kedu, Bojonegoro dan
Lamongan mengembangkan budidaya tanaman pangan di lahan bonorowo. Lahan
gambut di Palembang dan Kalimantan Barat oleh penduduk setempat
dikembangkan untuk hortikultura (nenas, sayuran). Di Malaysia dan Amerika Serikat
banyak lahan gambut dikembangkan untuk budidaya sayuran. Di Malaysia lahan
gambut juga dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit. Di Riau perkebunan
kelapa berkembang baik di lahan gambut. Sejarah pertanian berawal di dataran
banjir, seperti di dataran banjir S. Nil di Mesir, S. Mekong di Vietnam dan Kamboja,
dan S. Yangtze-kiang di Cina. Berdasarkan pengalaman tersebut kemudian
orang mengembangkan lahan basah buatan untuk budidaya padi (sawah) dan ikan
(kolam, tambak).
Sebagai ujud, lahan basah alami merupakan warisan alam khas berkenaan
dengan keanekaan hayati, plasma nutfah, ekosistem langka, dan gejala alam yang
memikat. Semuanya ini menjadikan lahan basah alami suatu kimah keilmuan
(scientific asset) yang sangat berharga.
2.4 Potensi Ekonomis Lahan Basah
Masih banyak watak, perilaku, dan kegunaan sebenarnya lahan basah yang
belum kita ketahui dan fahami. Tanpa pengetahuan yang memadai, pengelolaan
lahan basah tidak mungkin menghasilkan kemaslahatan menyeluruh yang
berkelanjutan, baik dari perspektif ekonomi, sosial-budaya, maupun lingkungan.
Indonesia memiliki lahan basah terluas di kawasan tropika. Belum ada angka luas
lahan basah dan luas lahan gambut di Indonesia yang darat diterima umum. Ada
yang menyebut luas lahan gambut Indonesia 17 juta ha dan ada yang mengatakan
27 juta ha (Rieley. dkk., 1996). Barangkali dapat diterima kalau yang 27 juta ha
adalah seluruh lahan basah, sedang yang 7 juta ha adalah lahan gambut. Angka
luas lahan gambut Indonesia yang lebih sening diajukan dalam pustaka
internasional ialah 17 juta ha (Maltby, 1986).
RePPProt mengajukan dua angka luas lahan gambut Indonesia yang
berbeda menurut pengukuran tahun 1988 dan 1990. Luas pada tahun 1988 dan
1990 masing-masing ialah 20.072.825 ha dan 17.852.925 ha. Menurut Rieley, dkk.
(1996), perbedaan antara kedua angka tersebut barangkali berkaitan dengan
perubahan penggunaan lahan dan kehilangan lahan gambut karena penebangan
hutan, pengatusan, dan pengembangan untuk produksi dan pemukiman. Kehilangan
lahan gambut paling besar selama dua tahun tersebut (1988-1990) terjadi di
Sumatera dari 8.253.450 ha berkurang nenjadi 6.941.250 ha, berarti menyusut
sehanyak 16%. Diantara begitu banyak masalah yang perlu ditelaah dan
ditangani untuk mengungkapkan hakikat lahan basah selengkapnya dan untuk
menentukan sistem
Pengelolaannya yang berkelanjutan ada beberapa masalah yang perlu
diprioritaskan. Dimana-mana 1ahan basah hilang atau berubah karena perusakan
proses atau oleh intensifikasi pertanian, urbanisasi, pencemaran, pembangunan
bendung, pengalihan air regional dan intervensi atas sistem ekologi dan hidrologi. Di
negara-negara sedang berkembang, kehilangan lahan basah pada gilirannya
memberikan dampak berat atas masyarakat Setempat yang hidupnya bergantung
pada sumberdaya tersebut. Untuk dapat menyelesaikan persoalannya, sebab-sebab
pasti kehilangan lahan basah perlu di analisis.
2.5 Pemanfaatan tanaman lahan basah sebagai kerajinan tangan
Tanaman Eceng Gondok merupakan suatu jenis tanaman yang masih belum
memiliki nilai jual yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan masih banyaknya warga
masyarakat yang belum mengetahui manfaat akan tanaman air tersebut. Eceng
gondok (Eichhornia crassipes) merupakan tanaman gulma di wilayah perairan yang
hidup terapung pada air yang dalam atau mengembangkan perakaran di dalam
lumpur pada air yang dangkal. Eceng gondok berkembangbiak dengan sangat
cepat, baik secara vegetatif maupun generatif. Perkembangbiakan dengan cara
vegetatif dapat melipat ganda dua kali dalam waktu 7-10 hari.
Perkembangbiakannya yang demikian cepat menyebabkan tanaman Eceng
Gondok telah berubah menjadi tanaman gulma di beberapa wilayah perairan di
Indonesia. Di kawasan perairan danau, Eceng Gondok tumbuh pada bibir-bibir
pantai sampai sejauh 5-20 m. Perkembangbiakan ini juga dipicu oleh peningkatan
kesuburan di wilayah perairan danau (eutrofikasi), sebagai akibat dari erosi dan
sedimentasi lahan, berbagai aktivitas masyarakat (mandi, cuci, kakus/MCK),
budidaya perikanan (keramba jaring apung), limbah transportasi air, dan limbah
pertanian (Soemarwoto, 1977) . Salah satu upaya yang cukup prospektif untuk
menanggulangi gulma Eceng Gondok di kawasan perairan adalah dengan
memanfaatkan tanaman Eceng Gondok sebagai bahan baku biogas. Eceng Gondok
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas karena mengandung gas methan
(CH4), Karbon Dioksida (CO2), Nitrogen (N2), Karbon Monoksida (CO), Oksigen
(O2),Hydrogen Sulfida (H2S) ini dihasilkan dari penguraian bahan organik yang
dilakukan jasad renik seperti mikroba, baik jamur maupun bakteri (Suriawirira dan
unus, 2002). Eceng gondok pun sekarang banyak dimanfaatkan masyarakat untung
mata pencaharian.
Produksi hasil eceng gondok :
2.6 Rincian Sebab-sebab Kehilangan Lahan Basah
Hal yang paling utama berkenaan dengan sebab-sebab kehilangan lahan
basah akibat tindakan manusia ialah:
Secara langsung : - Pengatusan untuk pertanian, kehutanan, dan pengendalian
nyamuk
- Penggalian saluran untuk navigasi dan perlindungan terhadap
banjir
- Penimbunan atau peninggian lahan untuk jalan dan
pembangunan kawasan tempat tinggal dan industri
- Konversi untuk akuakultur atau marikultur
- Pembuatan bendung, tanggul, dan dinding penahan laut untuk
pengendalian banjir, pasokan air, dan irigasi
- Pelepasan pestisida, hara dan limbah rumah tangga dan aliran
limpas pertanian, serta sedimen
- Menambang gambut untuk bahan bakar atau medium semai
- Penyedotan air bumi berlebihan
Secara tak langsung: - Pengalihan sedixnen oleh bendung dan saluran dalam
- Pengubahan hidrologi oleh saluran dan jalan
- Amblesan oleh pengatusan, pematangan tanah mineral,
perubahan fisik dan kimia gambut, serta penyedotan air
bumi berlebihan
BAB III
PREVENTIFISASI KONVERSI LAHAN BASAH
Dilihat dari segi luasnya yang potensial bagi budidaya pertanian, dan asas
penghematan air irigasi, lahan basah di Indonesia perlu dimanfaatkan sebaik-
baiknya. Untuk perencanaan pengembangannya perlu dikenali kendala-kendalanya.
Kendala pokok ialah: (1) ketercapaian dan keterlintasannya biasanya buruk, (2)
kekurangan tenaga kerja setempat, (3) kesulitan penyediaan air rumah tangga yang
memenuhi syarat, (4) persoalan sanitasi dan kesehatan lingkungan untuk orang,
tanaman dan ternak, (5) sistem layanan yang sepadan belum siap, (6) nilainya
sebagai cagar alam khas selalu menjadi sumber pertentangan antara kebutuhan
pelestarian (preservation) dan kebutuhan produksi serta pemukiman penduduk, (7)
merupakan ekosistem yang peka terhadap usikan karena kemaujudannya
dikendalikan oleh hidrologi, padahal pengaturan tata air justru menjadi dasar
pengembangannya, (8) tanahnya masih menjalani proses perkembangan aktif,
sehingga keterandalan data tanah cepat usang, (9) oleh karena pada jalur hirarki
katener lahan basah berada di hilir, keadaannya dipengaruhi sangat kuat oleh
kejadian di hulu, dan (10) perhatian terhadap tumbuhan yang secara alami
beradaptasi pada lingkungan lahan basah dan upaya pembudidayaannya untuk
pangan masih langka.
Tidak semua bentuk lahan basah, bahkan tidak tidak semua lahan basah
yang sebentuk dapat menjalankan semua fungsi secara maksimal. Sehingga
diperlukan pengaturan penggunaan dengan sistem tata guna lahan. Sehingga dapat
dilakukan reservasi terhadap lahan basah tertent yang membutuhkan sesuai dengan
fungsi perlindungan maupun fungsi lanjutan (sustaining) produksi yang berlangsung
di lahan lain maupun lahan basah. Sehingga ada lahan basah yang boleh
dikembangkan untuk produksi dengan teknik konservasi yang baik. Untuk
dapatmenetapkan tata guna lahan yang baik yang dapat manjamin preservasi,
konservasi dan produksi diperlukan informasi lengkap tentang watak lahan basah
masing-masing dan perilakunya dalam asosiasinya antar lahan basah.
Untuk menyelamatkan selaku sumberdaya marjinal maka diperlukan
pembaharuan sikap dan pola pikir. Dengan jelas Maltby (1986) mengemukakan
bahwa ekonomi, rekayasa, ekologi, dan lingkungan nukanlah hal yang terpisah
melainkan suatu kesatuan yang disebut ekosistem. Maka pengembangan lahan
basah harus berlandaskan konsep holistik dan perencanaan yang serba cukup
(Comprehensive).
Oleh karena itu rekayasa merupakan solusi tepat yang dapat dilakukan
sedangkan teknologi merupakan hasil rekayasa sehingga suatu teknologi tertentu
hanya berlaku khusus untuk suatu ekosistem. Tiap lahan basah memerlukan
teknologi yang cocok diterapkan di suatu lahan basah tertentu, tidak dengan
sendirinya cocok diterapkan pula dilahan basah yang lain. Sehingga pendekatan
teknologi yang tetap memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan ekosistem
merupakan hal yang sangat perlu untuk dijadikan faktor penentu lestarinya lahan
basah.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Secara sistematis, setelah membedah mengenai Lahan Basah terkait
tentang Fungsi dan Potensinya maka kami dapat menyimpulkan sebagai berikut :
- Lahan basah merupakan lahan yang produktif untuk dikembangkan karena
tidak hanya memanfaatkan aspek keberlanjutan kelestarian populasi
tanaman melainkan keberlanjutan populasi ekosistem lain dapat dipengaruhi
dan dikembangkan antara lain populasi air, hewan, dan keberlanjutan
Biodiversitasnya.
- Secara teknis lahan basah memiliki potensi Biofisik dan potensi Ekonomis
yang dapat menambah pengahasilan masyarakat secara umum dan negara
secara khusus disebabakan banyaknya keterkaitan ekologis yang terkait di
dalamnya.
- Lahan basah juga disamping sangat potensil untuk dikembangkan di bangsa
kita juga perlu diperhatikan konservasinya serta pemanfaatannya secara
maksimal dan tidak hanya menitikberatkan pada lahan kering.
DAFTAR PUSTAKA
Burbridge, P. 1996. Social. Cultural and economic factors that influence the
sustainable development of peatlands. Dalam: E. Maltby. C.P Immirzi & R.J
Safford (eds). Tropical Lawland Peatlands of Southeast Asia. IUCN. Gland,
Switzerland. H 163 – 171
Cassel. D.K, 1997. Foreword. Dalam: M.J Vaprekas & S.W . Spracher (eds). Aquic
condition and Hydric soils: The Problem Soil. SSSA Spesial Publication
Number 50. h vii
Dugan. P.J. (ed). 1990. Wetland conservation. The World conservation Union.
Gland, Switzerland. 96 h
Maltby, E. 1986. Waterlogged wealth. An Earthscan paperback. Int. Inst. For
Environment and Development. London. 200h
Rieley, J.O. A.A. Ahmad-Shah. & M.A. Brady. 1996. The Extent and nature of
tropical peat swamps. Dalam: E. Maltby. C.P Immirzi & R.J Safford (eds).
Tropical Lawland Peatlands of Southeast Asia. IUCN. Gland, Switzerland. H
7 - 53
Suripin, 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi. Yogyakarta.
top related