makalah blok 29 - ruptur lien happy.doc
Post on 25-Oct-2015
92 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Ruptur Lien et causa Trauma Tumpul Abdomen
Happy Angelia
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA Semester VII
Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510
Email : happyangelia_syamtori@hotmail.com
PENDAHULUAN
Setiap trauma abdomen baik trauma tumpul, trauma tajam, maupun tembak sangat
rentan menimbulkan perdarahan. Lien merupakan organ yang paling sering cedera pada saat
terjadi trauma tumpul abdomen atau trauma toraks kiri bagian bawah. Letak organ ini di
kuadran kiri atas, pada peermukaan bawah diafragma, terlindung oleh kubah iga.1
Lien kadang terkena ketika trauma, pada torakoabdominal dan trauma tembus
abdomen. Penyebab utamanya adalah cedera langsung karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh
dari tempat tinggi, pada olahraga luncur atau olahraga kontak seperti yudo, karate,silat.
Trauma lien terjadi pada 25 % kasus dari semua trauma tumpul abdomen. Ruptur lien
merupakan kondisi yang membahayakan jiwa karena adanya perdarahan yang hebat. Lien
mempunyai vaskularisasi yang banyak yaitu dilewati kurang lebih 350 liter darah per harinya,
karena alasan ini trauma pada lien mengancam kelangsungan hidup seseorang. 1
SKENARIO 3
Seorang laki-laki 45 tahun mengalami kecelakaan lalu lintas saat mengendarai motor.
Menurut saksi mata yang ikut mengantarkan korban ke RS, pada saat kejadian, korban
menggunakan helm dan sedang melaju dengan kecepatan sedang. Tiba-tiba truk di depannya
mengerem mendadak sehingga korban menabrak truk dari belakang. Korban tidak sadarkan
diri dan segera dilarikan ke RS. Sebelum pasien tidak sadar pasien mengeluh nyeri pada perut
sebelah kiri atas. Pada kulit dinding abdomen sebelah kiri atas tampak bintik-bintik
perdarahan dan hematom. Tekanan darah 80/50 mmHg, nadi 124x/menit. Pada pemeriksaan
luar didapatkan luka-luka lecet pada tungkai bawah, dan tangan. CT scan kepala tidak tampak
perdarahan atau fraktur.
Basic Life Support (BLS) dan Advance Life Support (ALS)
Basic Life Support dalam bahasa indonesianya disebut sebagai bantuan hidup dasar,
adalah hal apapun (tindakan pertolongan pertama) yang dilakukan untuk memulihkan
kembali seseorang yang mengalami henti napas. Jika penderita dalam keadaan tidak sadar,
lakukan hal berikut ini: 2
- Perhatikan keadaan sekitar, perhatikan dahulu keselamatan diri anda sebelum menolong
orang lain.
- Periksa apakah penderita sadar atau tidak. Lakukan dengan mengguncangkan tubuhnya
atau panggil dengan nama sapaan (bapak/ibu).
- Mintalah bantuan (panggil ambulance)
Jika penderita tidak responsive atau tidak sadar, lakukan CAB, yaitu:
Circulation. Periksa sirkulasi darah penderita dengan meraba denyut nadinya. Jika denyut
nadi teraba, tetapi penderita tidak bernapas, berikan bantuan pernapasan. Seadngkan bila
denyut tidak teraba, langsung lakukan resusitasi jantung paru (RJP), yaitu 30 kompresi
dada dan 2 pemberian napas (30:2).
Airway. Yang pertama harus dilihat adalah kelancaran jalan napas. Dalam hal ini dapat
dilakukan chin lift atau jaw thrust.
Breathing. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada, dan
diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi dengan cepat. Periksa breathing dnegan
cara lihat, dengar, rasakan. Lihat apakah penderita bernapas atau tidak. Dengar bunyi
napasnya dan rasakan napasnya.
Jika penderita bernapas:
- Jika pernapasannya optimal dengan frekuensi normal, tempatkan penderita pada
posisi pemulihan.
- Jika pernapasannya tidak optimal dan frekuensinya lebih cepat atau lebih lambat
dari normal, lakukan tiupan napas dengan 1 tiupan setiap 5 detik.
- Periksa denyut nadi pada samping leher, tiap 30 sampai 60 detik.
Jika penderia tidak bernapas:
- Lakukan pernapasan dari mulut ke mulut (mouth to mouth) atau dari mulut ke
hidung (mouth to nose), dengan tiupan napas perlahan. Lakukan 2 detik per tiupan
napas.
- Periksa denyut nadi.
Advance Life Support dalam bahasa Indonesia dikenal dengan bantuan hidup lanjut
adalah tindakan yang dilakukan utnuk mempertahankan pernapasan dan detak jantung.
Biasanya digunakan pada klien yang tidak dapat mempertahankan pernapasan, detak
jantungnya. Teknik pendukung yang digunakan dalam bantuan hidup lanjut antara lain
penggunaan infuse, dan obat-obatan intravena, EKG, pemberian obat untuk memperbaiki
irama jantung atau dengan kejut jantung ataupun dengan keduanya, pemberian terapi oksigen.
Penatalaksanaa n Syok Hipovolemik
Tujuan pertamanya untuk mengurangi atau menghentikan kehilangan darah. Bila ini
tidak mungkin, volume yang hilang harus diganti cukup cepat agar jaringan vital dan nonvital
tetap memiliki perfusi. Volume yang hilang idealnya diganti dengan eritrosit yang
dikumpulkan. Tetapi karena pencocokan darah membutuhkan waktu 1-2 jam, maka
penggunaan larutan garam seimbang sementara waktu dapat dilakukan. Larutan ini terdiri
dari salin normal, Ringer Laktat, dan bikarbonat Ringer.
Parameter yang harus dipantau selama stabilisasi dan pengobatan adalah: denyut
jantung, frekuensi pernapasan, tekanan darah, tekanan vena sentral (CVP), dan pengeluaran
urin. Fungsi ginjal dipantau dengan kateter yang dibiarkan terpasang dan urin yang
dikeluarkan harus 20-70 ml per jam. Bila kurang dari 30 ml per jam atau o,5ml/kg/jam
menunjukkan perfusi ginjal yang tidak adekuat, pemberian cairan harus ditambah dan
diberikan manitol 25g intravena. Bila tidak ada perbaikan, furosemid ditambahkan dan
diberikan terus menerus atau dibagi mejadi beberapa dosis sampai mencapai 2000 mg. Bila
ini juga tidak bermanfaat, maka pertimbangan harus diberikan ke pengobatan pasien bagi
gagal ginjal yang telah terjadi dengan dialisis peritoneum atau ginjal. Tekanan darah lebih
baik dipantau dengan kanulasi arteri radialis. Keuntungan lain kanulasi arteri adalah
kemampuannya mengukur pH dan gas darah. Pengukuran pH, PCO2, dan PO2 diteliti karena
dapat menunjukkan jumlah oksigen yang diterima sel. Metode yang lebih disukai untuk
menentukan keadaan cairan pasien dan volume cairan yang akan diberikan meliputi
penempatan kateter tekanan arteria pulmonalis (PAP) pada cabang kecil arteria pulmonalis
untuk mengukur tekanan wedge paru. Tekanan vena sentral (CVP) harus dipantau pada
pasien muda atau pasien syok hipovolemik sedang.3
Pasien harus diberikan aliran oksigen yang tinggi melalui masker atau kanula. Jalan
napas yang bersih harus dipertahankan dengan posisi kepala dan mandibula yang tepat dan
aliran pengisapan darah dan sekret yang sempurna. Penentuan gas darah arterial harus
dilakukan untuk mengamati ventilasi dan oksigenasi. Jika ditemukan kelainan secara klinis
atau laboratorium analisis gas darah, pasien harus diintubasi dan diventiliasi dengan
ventilator yang volumenya terukur. Intubasi mungkin diperlukan pada kasus distres
pernapasan, hipoksemia yang berat, asidosis, atau koma. Jika intubasi diperlukan, tidal volum
yang rendah dan puncak tekanan inspirasi harus ditingkatkan untuk mencegah penurunan
venous return yang berhubungan dengan tekanan positif ventilasi. Volume tidal harus diatur
sebesar 12 sampai 15 ml/kg, frekuensi pernapasan sebesar 12 -16 per menit. Oksigen harus
diberikan untuk mempertahankan PO2 sekitar 100 mmHg. Jika pasien “melawan” terhadap
ventilator, maka obat sedatif atau pelumpuh otot harus diberikan. Jika cara pemberian ini
gagal untuk menghasilkan oksigenase yang adekuat, atau jika fungsi paru-paru menurun
harus ditambahkan 3-10 cm tekanan ekspirasi akhir positif.
Penggantian cairan. Cairan yang diberikan adalah garam isotonus yang ditetes
dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau dengan cairan garam seimbang
seperti Ringer’s laktat (RL) dengan jarum infus yang terbesar. Tak ada bukti medis tentang
kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik. Pemberian 2-4 L dalam 20-30
menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik.4 Resusitasi cairan diperlukan
untuk menanggulangi syok hipovolemik. Resusitasi cairan diberikan untuk menjaga denyut
jantung kurang dari 100 denyut/menit dan menjaga tekanan sistolik lebih besar dari 90
mmHg. Kecepatan pemberian dan jumlah aliran intravena yang diperlukan bervariasi
tergantung beratnya syok. Umumnya paling sedikit 1 sampai 2 liter larutan Ringer laktat
harus diberikan dalam 45-60 menit pertama atau bisa lebih cepat lagi apabila dibutuhkan. Jika
hipotensi dapat diperbaiki dan tekanan darah tetap stabil, ini merupakan indikasi bahwa
kehilangan darah sudah minimal.
Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar hemoglobin < 10g/dL perlu
penggantian darah dengan transfusi. Jenis darah transfuse tergantung kebutuhan. Disarankan
agar darah yang digunakan telah menjalani tes cross-match (uji silang), bila sangat darurat
maka dapat digunakan Packed red cells tipe darah yang sesuai atau O-negatif.5
Pemakaian vasopresor pada penanganan syok hipovolemik akhir-akhir ini kurang
disukai. Alasannya adalah hal ini akan mengurangi pefusi jaringan. Vasopresor dapat
diberikan sebagai tindakan sementara untuk meningkatkan tekanan darah sampai didapatkan
cairan pengganti yang adekuat. Contoh vasopresor yang dapat digunakan adalah: dopamine,
vasopressin atau dobutamin.6
ANAMNESIS
Anamnesis merupakan tanya jawab yang dilakukan dokter dengan pasien untuk menanyakan
riwayat penyakit. Anamnesis terdiri dari dua: anamnesis dengan pasien (autoanamnesis) dan
anamnesis dengan orang lain yang datang bersama pasien (allo anamnesis). Pada pasien
yang datang dengan keadaan tidak sadarkan diri, seperti pada kasus kecelakaan, kita dapat
melakukan anamnesis dengan orang/ saksi mata yang membawa pasien ke Rumah Sakit.
Pertanyaan yang dapat kita tanyakan untuk membantu menegakkan diagnosis adalah sebagai
berikut: 7
- Kejadian apa yang terjadi sebelumnya pada pasien? Apakah baru saja mendapat trauma
tumpul, tajam, atau konsumsi obat/makanan? Kapan terjadinya?
- Bagaimana kronologis kejadiannya?
- Apakah terdapat perdarahan luar pada pasien ? Berapa banyak perdarahannya?
- Apa yang dirasakan pasien sebelum hilang kesadaran? Kalau kesakitan, bagian mana?
- Sudah berapa lama pasien kehilangan kesadaran?
- Tindakan apa saja yang sudah dilakukan terhadap pasien?
PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan fisik
Beberapa pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan untuk memeriksa ruptur limpa, yaitu :
Pemeriksaan abdomen sebaikanya pasien berbaring dan relaks, kedua lengan berada di
samping dan pasien bernapas dengan mulut. Pasien diminta menekukan kedua lutut dan
pinggulnya sehingga otot-otot abdomen menjadi relaks.
Yang dimaksud abdomen yaitu suatu rongga dalam badan di bawah diafragma sampai
dasar pelvis. Sedangkan yang dimaksud dengan pemeriksaan fisik abdomen yaitu
pemeriksaan daerah abdomen atau perut di bawah arcus kosta kanan-kiri sampai garis lipat
paha atau daerah inguinal.
Pembagian dinding abdomen dalam beberapa regio, dengan menarik garis tegak lurus
terhadap garis median melalui umbilicus. Dengan cara ini dinding depan abdomen terbagi
atas 4 daerah yakni: kuadran kanan atas; kuadran kiri atas; kuadran kiri bawah; kuadran
kanan bawah. Pembagian lain yang lebih spesifik adalah dengan menarik dua garis sejajar
dengan garis median dan dua garis transversal yaitu yang menghubungkan dua titik paling
bawah dari arkus kosta dn satu garis lagi yang menghubungkan kedua spina iliaka anterior
superior (SIAS). 7
Berdasarkan pembagian yang lebih rinci tersebut, permukaan depan abdomen dibagi menjadi
9 regio: 7
- regio epigastrium
- regio hipokondrium kanan
- regio hipokondrium kiri
- regio umbilicus
- regio lumbal kanan
- regio lumbal kiri
- regio hipogastrium /
suprapubik
- regio iliaka kanan
- regio iliaka kiri
Gambar 1. Regio Pembagian Abdomen
Inspeksi : Perhatikan abdomen secara menyeluruh
- Perhatikan ukuran abdomen, simetris atau tidak, bentuk atau kontur, ukuran, kondisi
dinding perut (kulit, vena, umbilikus).
- Perhatikan apakah abdomen dapat bergerak tanpa hambatan ketika pasien bernapas.
- Perhatikan apakah pasien menderita nyeri abdominal yang nyata.
- Apakah pasien menderita iritasi peritonium, yaitu pergerakan abdomen menjadi
terbatas.
- Apakah terdapat distensi abdominal yang nyata distensi yang menyeluruh biasanya
disebabkan oleh lemak, cairan, janin atau udara, sedangkan penyebab dari
pembengkakan yang terlokalisasi antara lain hernia atau pembesaran organ tertentu.
- Apakah terdapat vena-vena yang berdilatasi?
- Apakah terdapat bintik-bintik perdarahan atau hematom pada daerah abdomen? Letak
dari bintik-bintik perdarahan atau hematom tersebut berada di kuadran mana?
- Apakah terdapat gerakan peristaltik yang dapat terlihat atau kelainan-kelainan
lainnya? 7
Palpasi
Palpasi dinding perut sangat penting utnuk menentukan ada tidaknya kelainan
dalam rongga abdomen. Palpasi dilakukan secara sistematis, dan tanyakan apakah adanya
daerah-daerah yang nyeri tekan. Sedapat mungkin seluruh dinding perut terpalpasi.
Kemudian cari apakah ada pembesaran masa tumor, apakah hati, limpa dan kandung
empedu membesar atau teraba.
Palpasi permukaan, posisi tangan menempel pada dinding perut. Umumnya
penekanan dilakukan oleh ruas terakhir dan ruas tengah jari-jari, bukan dengan ujung jari.
Sistematika palpasi dilakukan dengan hati-hati pada daerah nyeri yang dikeluhkan oleh
pasien. Palpasi permukaan tersebut bisa juga disebut palpasi awal untuk orientasi
sekaligus memperkenalkan prosedur palpasi pada pasien.
Palpasi dalam, palpasi dalam dipakai untuk identifikasi kelainan/rasa nyeri yang
tidak didapatkan pada palpasi superfisialis dan untuk lebih menegaskan kelainan yang
didapat pada palpasi superficial dan yang terpenting yaitu untuk palpasi organ secara
spesifik, misalnya: hati, limpa, ginjal.7
Teknik palpasi limpa. Pada keadaan normal limpa tidak teraba. Limpa membesar
mulai dari bawah lengkung iga kiri, melewati umbilicus sampai region iliaka kanan.
Seperti halnya hati, limpa juga bergerak sesuai inspirasi. Palpasi limpa dilakukan pada
garis Schuffner, yaitu garis yang dimulai dari titik di lengkung iga kiri menuju ke
umbilicus dan diteruskan sampai di spina iliaka anterior superior (SIAS) kanan, dimana
garis itu membagi 8 bagian yang sama. Palpasi limpa juga dipermudah dengan
memiringkan pasien 45 derajat ke arah kanan (ke arah pemeriksa). Setelah tepi limpa
teraba, maka dilakukan deskripsi: sejauh mana perbesarannya, bagaimana konsistensinya. 8
Perkusi
Perkusi abdomen dilakukan dengan cara tidak langsung, sama seperti pada perkusi
di rongga toraks tetapi dnegan penekanan yang lebih ringan dan ketokan yang lebih
perlahan.
Pemeriksaan ini digunakan untuk:
- mendeteksi kandung empedu atau vesicaurinaria, dimana suaranya redup/pekak
- menentukan ukuran hati dan limpa secara kasar
- menentukan penyebab distensi abdomen: penuh gas (timpani), massa tumor
(redup/pekak), pekak pada bagian pinggir perut, timpani pada bagian ventral perut. 8
Dalam keadaan normal, suara perkusi abdomen adalah timpani, kecuali di daerah
hati yang suara perkusinya pekak. Hilangnya bunyi pekak pada hati dan bertambahnya
bunyi timpani di seluruh abdomen harus dipikirkan kemungkinan adanya udara bebas di
dalam rongga perut. Dalam keadaan cairan bebas di dalam rongga abdomen, perkusi di
atas dinding perut mungkin timpani dan di sampingnya pekak. Dengan memiringkan
pasien ke satu sisi, suara pekak ini akan berpindah-pindah (shifting dullness). Pada rupture
limpa, ditemukan tanda Balance, dimana pada pemeriksaan fisik ditemukan massa di kiri
atas dan pada perkusi terdapat bunyi pekak akibat adanya hematoma subkapsuler atau
omentum yang membungkus suatu hematoma ekstrakapsuler. 7
Auskultasi
Suara murmur sistolik atau diastolic mungkin dapat didengar pada auskultasi abdomen.
Bruit sistolik dapat didengar pada aneurisma aorta atau pada pembesaran hati karena
hepatoma. Sedangkan bunyi peristaltic usus akan sangat meningkat pada keadaan ileus
obstrukstif, dimana pada auskultasi abdomen normal biasanya tidak terdengar suara
bising peristaltic. 7,8
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan hematokrit perlu dilakukan berulang-ulang. Selain itu biasanya
didapatkan leukositosis >15.000. Pemeriksaan kadar Hb, hematokrit menurun (< 30%),
leukosit dan urinalisis. protrombin time >14 detik (normalnya 11,1-13,1 detik), cedera
multipel dan memerlukan transfusi darah. Bila terjadi perdarahanakan menurunkan Hb
dan hematokrit serta terjadi leukositosis. Sedangkan bila terdapat eritrosit dalam urine
akan menunjang akan adanya trauma saluran kencing. 9
PEMERIKSAAN
DARAH
NILAI NORMAL
PRIA WANITA
Hemoglobin 13-16 g/dL 12-14g/dL
Hematokrit 40-48 Vol% 37-43 Vol %
Leukosit 5000-10000 ul 5000-10000 ul
Trombosit 150.000 - 400.000/ul 150.000 - 400.000/ul
Tabel 1. Nilai Normal Pemeriksaan Darah
b. Radiologi
Setelah trauma tumpul, organ intraabdominal yang sering terkena yaitu lien,
dan lien akan cedera dan terbentuk hematom. Meskipun ahli bedah biasanya
mencoba untuk mengatasi trauma ini dengan konservatif, ruptur lien mungkin baru
disadari setelah seminggu atau sepuluh hari setelah trauma pertama. Ada beberapa
pemeriksaan yang dapat dilakukan, diantaranya USG,CT scan dan angiography. Jika ada
kecurigaan trauma lien, pemeriksaan CT Scan merupakan pemeriksaan pilihan
utama pada pasien dengan hemodinamik stabil, sedangkan USG untuk pasien
dengan hemodinamik tidak stabil . 1
CT-Scan
Daerah hitam melingkar atau ireguler dalam lien menunjukkan hematom
atau laserasi, dan area seperti bulan sabit abnormal pada tepi lien menunjukkan
subkapular hematom. Kadang, dengan penanganan konservatif, abses mungkin
akan terbentuk kemudian dan dapat di identifikasi pada CT Scan karena
mengandung gas.
Gambar 1. Gambaran trauma lien
Sensitivitas pada CT Scan tinggi, namun spesifikasinya rendah, dan kadang
riwayat dan gejala penting untuk menentukkan diagnosis banding.
Gambaran yang paling sering ditemui : fraktur tulang iga kiri bawah pada kuadran kiri
atas yang menyebabkan keadaan patologi pada lien (pada 44% kasus).
Tanda klasik yang menentukan adanya ruptur lien akut (tingginya diafragma sebelah
kiri, atelektasis lobus bawah kiri dan efusi pleura) tidak selalu ada dan tidak bisa
dijadikan tanda yang pasti. Namun tiap pasien dengan diafragma sebelah kiri
meninggi disertai dengan trauma tumpul abdomen harus dipikirkan sebagai trauma
lien sampai dibuktikan.
Tanda yang lebih dapat dipercaya dari trauma pada kuadran kiri atas yaitu
perpindahan ke medial udara gaster dan perpindahan inferior dari pola udara lien.
Gambaran ini menunjukan adanya hematosubkapsular atau perisplenik.
Hematom kuadran kiri atas, jika besar, dapat menggeser bayangan dari tepi
caudal bawah lien, menjadi gambaran splenomegali.
Hematom subkapsular dapat memberikan gambaran yang hampir sama dan
massa yang ada memiliki batas yang tegas.
Pergeseran gambaran ginjal kiri juga mungkin ditemukan.
Gambaran yang dapat menunjang yaitu ketika adanya perdarahan
retroperitonial atau darah bebas intraabdominal terlihat kontras dengan yang
disebutkan diatas. 1
Sedikit, jika ada, munculnya efek masa pada kuadran kiri atas
Batas lien tidak jelas, tapi gambaran ini tidak spesifik.
Darah retroperitoneal dapat menghapus gambaran ginjal kiri dan batas otot
psoas.
Kumpulan darah bebas di sekitar kolon kiri, menggeser pola udara
pada kolon desenden ke medial.
Pendarahan yang banyak pada abdomen dapat menghilangkan garis flank.
Pola udara usus yang sedikit dapat digeser keluar pelvis oleh kumpulan darah.
Gambaran midpelvik yang opak dengan tepi lateral yang konveks dan tajam
dapatditemukan.
Tepi kandung kemih bertambah dan dibatasi oleh gambaran lusen yang tipis
membentuk kubah dan seperti ekstraperitoneal fat.
Hematom lien kronik memberikan gambaran yang berbeda dan lebih komplek karena
diikuti degan daftar panjang diagnosis banding. Perubahan dari hematom subkapsuler
atau parenkimal yaitu menetap, menjadi cair dan biasanya terserap lagi.
Hematom subkapsular merupakan hasil yang umum terjadi dari trauma lien. Dalam
penyembuhan hematom, kalsifikasi dari batas kavitas dapat muncul. Tergantung pada
proyeksi, kalsifikasi kavitas dapat muncul linear atau diskoid. Derajat dari efek masa
tergantung dari ukuran regresi hematom.
Banyak kelainan patologi lain yang dapat memberikan gambaran yang
hampir sama,seperti pada penyakit sickle sel. Infark lien kronik dapat berkembang
menjadi kalsifikasiyang mirip dengan hematom subkapsular. 1
USG
Pemeriksaan USG sulit dilakukan pada pasien trauma yang distensi abdomen, luka-
luka. USG berguna untuk mendiagnosis darah bebas intraperitoneal. Darah dalam
peritoneum tampak sebagai cairan anechoic, kadang dengan septiasi, memisahkan bagian
usus dengan organ solid disekitarnya. USG kurang sensitif dibanding CT Scan untuk
mendiagnosis trauma intestinal. 1
Tujuan utama pemeriksaan USG lien pada trauma tumpul abdomen yaitu untuk
menentukan apakah ada perdarahan di kuadran kiri atas.
Perdarahan akut tampak hipoechoic dan dapat juga hampir anechoic.
Membedakan perdarahan subkapsular dan perisplenic sulit, tapi beberapa tanda dapat
ditemukan yaitu :
- Sebuah gambaran bulan sabit halus sesuai dengan tepi lien dapat dipikirkan sebagai
subkapsular
- Sebagai perbandingan, perdarahan ekstrakapsular biasanya bentuknya tidak
reguler.
- Walaupun efek massa dihasilkan juga pada kedua kasus, namun perdarahan
subkapsular lebih mungkin merubah bentuk lien.
Dalam beberapa jam, pembekuan darah terjadi. Echogenesiti meningkat seiring
pembentukan trombus. Hematom yang telah lama menunjukan echogenisiti yang sama atau
lebih terang dibanding parenkim dan tetap tampak dalam 48 jam sampai lisis dimulai. Fase
echogenic biasanya sesuai dengan waktu ketika pencitraan dilakukan dalam keadaan yang
paling akut. 1
Gambar 2.(a) USG abdomen tampak area anechoic pada daerah trauma. (b) hematomsubkapsular.
Lavase Peritoneal 9
Adalah tindakan melakukan bilasan rongga perut dengan memasukan cairan
garam fisiologis sampai 1000ml melalui kanul, setelah sebelumnya pada pengisapan tidak
ditemukan darah atau cairan. Hasilnya positif bila cairan yang keluar kemerahan, adanya
empedu, ditemukan bakteri atau eritrosit >100.000/m3 , leukosit >500/m3 , dan kadar
amylase > 100u/100ml.
DIAGNOSIS KERJA
Berdasarkan scenario 3, saya mendiagnosis kalau laki-laki yang mengalami
kecelakaan lalu lintas tersebut menderita rupture lien et causa trauma tumpul abdomen.
Mengingat pada anamnesis didapatkan adanya riwayat rudapaksa/ tanda kekerasan pada
pinggang kiri atau perut kiri atas. Sebelum tidak sadarkan diri, pasien juga mengeluh nyeri
pada perut sebelah kiri atas (regio hipokondrium kiri) dan terdapat bintik-bintik perdarahan
dan hematoma pada perut sebelah kiri atas. Pada pemeriksaan fisik juga didapatkan tanda
umum perdarahan (anemia, hipotensi, takikardia). Selain itu, akibat perdarahan intra-
abdominal yang cukup hebat, terjadilah syok hipovolemik yang menyebabkan pasien tidak
sadarkan diri saat dibawa ke RS. Dimana tanda-tanda syok hipovolemik ini, pada
pemeriksaan fisik pasien didapatkan tekanan darah 80/50 mmHg, dan nadi 124x/menit
Pada setiap kasus trauma limpa sering kali harus dilakukan pemeriksaan abdomen
secara berulang-ulang oleh pemeriksa yang sama karena yang lebih penting adalah
mengamati perubahan gejala umum (syok, anemia) dan lokal diperut (cairan bebas,
rangsangan peritonium). Pada ruptur yang lambat, biasanya penderita datang dalam keadaan
syok, tanda perdarahan intrabdomen atau dengan gambaran seperti ada tumor intraabdomen
pada bagian kiri atas yang nyeri tekan disertai tanda anemia sekunder. Oleh karena itu,
menanyakan riwayat trauma yang terjadi sebelumnya sangat penting dalam menghadapi
kasus seperti ini.10
Diagnosis perdarahan intraabdomen akibat trauma tumpul lebih sulit dibandingkan
dengan akibat trauma tajam. Untuk membantu menegakkan diagnosis apakah ada perdarahan
atau tidak, dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan Von Lany dengan
membandingkan leukosit/mm3 dengan erotrosit/mm3 setiap setengah jam. Bila leukosit terus
meningkat sedangkan eritrosit menurun tanpa adanya tanda-tanda radang, ini memberikan
petunjuk adanya perdarahan.9
Bila didapatkan nyeri abdomen, nyeri tekan, kekauan abdomen, defence muscular,
dan nyeri lepas (rebound tenderness) sangat mendukung adanya perdarahan intraperitoneal.
Tanda penting dari perdarahan intraperitoneal yang terus-menerus adalah peningkatan
tekanan darah yang menjadi seperti tekanan darah normal selama beberapa menit, lalu diikuti
hipotensi walaupun dengan pemberian cairan perinfus 500-1000 mL larutan ringer laktat
secara cepat. Pasien yang hipotensi karena kehilangan sedikit darah atau neurogenik syok
biasanya tidak menunjukkan gambaran tersebut. Cairan ringer laktat diberikan dalam waktu
15-20 menit, sementara itu dilakukan pemeriksaan lain seperti golongan darah, cross match.
Hipotensi postural ketika pasien hendak berada dalam posisi tegak, merupakan tanda lain
yang berguna pada perdarahan inta abdomen yang terus-menerus. Sering juga tanda
perdarahan tidak jelas, misalnya: takikardi ringan-sedang, takipnea, penyempitan tekanan
nadi, kulit yang dingin, bisa menjadi tanda dini perdarahan intra abdomen. Kehilangan darah
30-40% volume darah tubuh akan mengakibatkan hipotensi yang jelas dengan tekanan
sistolik konsisten di bawah 90mmHg. 11
Manifestasi klinis ruptur lien :
- Penderita berada dalam berbagai tingkat rejatan hipovolemia dengan atau tanpa takikardi
(>100x /menit) dan penurunan tekanan darah (Tekanan darah sistol < 90 mmHg) karena
perdarahan dan mungkin sinkop.
- Nyeri perut bagian atas atau nyeri perut kuadran kiri atas
- Tanda-tanda peritoneal seperti nyeri tekan dan defence muskuler akan muncul setelah
terjadi perdarahan yang mengiritasi peritoneum.
- Tanda Kehr : nyeri alih (refered pain) melalui n.frenikus ke puncak bahu kiri jika ada
rangsangan pada permukaan bawah peritonium diafragma. Mungkin nyeri di bahu kiri
baru timbul pada posisi Trendelenberg (posisi berdiri dengan mengangkat salah satu
kaki).
- Tanda Ballance : pada pemeriksaan fisik ditemukan massa di kiri atas dan pada perkusi
terdapat bunyi peka akibat adanya hematom ekstrakapsuler.
- Hematokrit menurun, biasanya di dapat leukositosis >15.000.
- Foto abdomen : terdapat gambaran patah tulang iga kiri (costae 9-10), peninggian
diafragma kiri, bayangan limpa yang membesar dan adanya desakan terhadap lambung
ke arah garis tengah. 10
Derajat Perlukaan pada Trauma Limpa 10
Clacification Limpa Injury American Association For The Surgery Of Trauma (Aast)
Grade I Hematom: subkapsuler, tidak meluas, mencakup kurang dari 10% permukaan
limpa
Laserasi: robekan kapsuler, tanpa perdarahan, mencakup kurang dari 1 cm
dalamnya parenkim
Grade II Hematom:subkapsuler,intraparenkimal, mencakup 10-50% permukaan limpa,
diameter kurang dari 5 cm
Laserasi:robekan kapsuler, perdarahan aktif, mencakup 1-3 cm cm dalamnya
parenkim
Grade III Hematom: subkapsuler, luasnya > 50% permukaan,ruptursubkapsuler,hematom
dengan perdarahan aktif, hematom intraparenkim > 5 cm atau meluas
Laserasi: > 3 cm dalamnya parenkim / melibatkan trabekula
Grade IV Hematom:rupture intraparenkimal hematom dengan perdarahan aktif Laserasi:
laserasi melibatkan segmental atau hilus ( melebihi 25% dari limpa)
Grade V Laserasi: limpa hancur
Vaskuler: trauma vaskuler hilus yang memvaskularisasi limpa
Tabel 2. Derajat perlukaan pada trauma limpa
DIAGNOSIS BANDING
1. Ruptur Lambung
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Penyebab perforasi
gastrointestinal adalah : ulkus peptik, inflamasi divertikulum kolon sigmoid, kerusakan
akibat trauma tajam dan tumpul, perubahan pada kasus penyakit Crohn, kolitis ulserasi,
dan tumor ganas di sistem gastrointestinal. Perforasi paling sering adalah akibat ulkus
peptik lambung dan duodenum. Perforasi dapat terjadi di rongga abdomen (perforatio
libera) atau adesi kantung buatan (perforatio tecta). Karena lambung fleksibel dan letaknya
yang mudah berpindah, sehingga perlukaan jarang disebabkan oleh trauma tumpul tapi sering
disebabkan oleh luka tembus langsung. 12
Manifestasi Klinis :
Perforasi gaster akan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami
perforasi akan tampak kesakitan hebat, seperti ditikam di perut atau ruptur lambung
akibat trauma tumpul. Nyeri ini timbul mendadak, terutama dirasakan di daerah
epigastrium karena rangsang peritoneum oleh asam lambung, empedu dan/atau enzim
pankreas. Cairan lambung akan mengalir ke kelok parakolika kanan, menimbulkan nyeri
perut kanan bawah, kemudian menyebar ke seluruh perut menimbulkan nyeri seluruh
perut. Pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, fase ini disebut fase peritonitis
kimia. Adanya nyeri di bahu menunjukkan adanya rangsangan peritoneum di permukaan
bawah diafragma. Reaksi peritoneum berupa pengenceran zat asam yang merangsang itu
akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans muskuler. Pekak hati
bisa hilang karena adanya udara bebas di bawah diafragma. Peristaltis usus menurun
sampai menghilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis
bakteria, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi, dan penderita
tampak letargik karena syok toksik.
Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang
menyebabkan pergeseran peritoneum dengan peritoneum. Nyeri subjektif dirasakan
waktu penderita bergerak, seperti berjalan, bernapas, menggerakkan badan, batuk, dan
mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri ketika digerakkan seperti pada saat palpasi,
tekanan dilepaskan, colok dubur, tes psoas, dan tes obturator.
2. Ruptur Pankreas
Karena letaknya retroperitoneal, lebih dari 70% cedera pankreas umumnya
disebabkan oleh trauma tembus, sisanya 30% karena trauma tumpul. Diagnosis dibuat
saat melakukan pembedahan pada pasien dimana biasanya cedera pankreas merupakan
bagian cedera kompleks akibat trauma tembus.Pada pasien dengan trauma tumpul,
cedera ini bisa tersamar karena tidak ada tanda-tanda nyeri abdomen, kenaikan serum
amilase tidak spesifik. Hanya 65% pasien yang memperlihatkam kenaikan kadar serum
amilase. Tanpa tanda rangsangan peritoneum, kenaikan serum amilase bukan merupakan
indikasi laparotomi eksplorasi. Kenaikan serum amilase pada bilasan peritoneum lebih
sering dihubungkan dengan cedera usus halus daripada cedera pankreas. Nyeri pada
pancreas dirasakan di kuadran atas dan biasanya juga di punggug. Nyeri dapat
memburuk ketika pasien berbaring (karena pancreas tertekan oleh tulang belakang) dan
berkurang dengan pembungkukan badan ke depan. 7
ETIOLOGI
Pecahnya limpa dapat terjadi akibat rudapaksa tajam atau tumpul, sewaktu operasi dan, yang
jarang terjadi, ruptur spontan.
Rudapaksa Spontan
Tajam
- Transabdominal
- Transtorakal
Tumpul
- Langsung
- Tak langsung
Kecelakaan lalu lintas
Jatuh dari ketinggian
Laterogenik
- Pada tindakan bedah
- Pungsi
Penyakit infeksi
- Mononukleosis infeksiosa
- Malaria
Penyakit hematologik
- Jinak
- Ganas
Bendungan
- Hipertensi portal
Tabel 3. Penyebab dari trauma pada limpa
Trauma Tajam
Ruptur limpa jenis ini dapat terjadi akibat luka tembak, tusukan pisau atau benda
tajam lainnya. Pada luka jenis ini biasanya organ lain ikut terluka tergantung arah trauma.
Yang sering dicederai ialah paru, lambung, lebih jarang pankreas, ginjal kiri dan
pembuluh darah mesenterium.
Trauma Tumpul
Limpa merupakan organ yang paling sering terluka pada trauma tumpul abdomen
atau trauma toraks kiri bagian bawah. Keadaan ini mungkin disertai kerusakan usus halus,
hati, pankreas. Penyebab utamanya adalah cedera langsung atau tidak langsung karena
jatuh dari tempat ketinggian, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor,
cedera akibat berolahraga (seperti judo, karate, dan silat.), benturan, ledakan, deselarasi,
kompresi atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
Ruptur limpa yang lambat dapat terjadi dalam jangka waktu beberapa hari sampai
beberapa minggu setelah trauma. Pada separuh kasus, masa laten ini kurang dari 7 hari.
Hal ini terjadi karena adanya tamponade sementara pada laserasi yang kecil, atau adanya
hematom subkapsuler yang membesar secara lambat dan kemudian pecah. 10
Trauma Laterogenik
Ruptur limpa sewaktu operasi dapat terjadi pada operasi abdomen bagian atas,
umpamanya karena alat penarik (retraktor) yang dapat menyebabkan limpa terdorong atau
ditarik terlalu jatuh sehingga hilus atau pembuluh darah sekitar hilus terobek. Cedera
laterogen lain dapat terjadi akibat pungsi limpa (splenoportografi).
Ruptur Spontan
Limpa pecah spontan sering dilaporkan pada penyakit yang disertai dengan
pembesaran limpa seperti gangguan hematologik jinak maupun ganas, mononukleosis,
malaria kronik, sarkoidosis, dan splenomegali, kongestif pada hipertensi portal. 10
EPIDEMIOLOGI
Organ abdomen yang paling sering mengalami cedera akibat trauma tumpul. Cedera
limpa terjadi pada seperempat dari trauma tumpul organ visera. Lebih kurang 30-40% pasien
dengan cedera limpa. 11
Trauma lien terjadi lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan 3 : 2, ini
mungkin berhubungan dengan tingginya kegiatan dalam olahraga (karate, silat, yudo),
berkendaraan dan bekerja pada laki-laki. Angka kejadian tertinggi pada umur 15-35 tahun. 11
PATOFISIOLOGI
Setiap trauma abdomen (trauma tumpul, tajam, dan tembak) dapat menimbulkan
perdarahan. Dimana alat-alat dalam rongga perut yang dapat menimbulkan perdarahan
adalah:
1. Parenkim (lien, hepar)
2. Ligamentum dan mesenterium
3. Usus
Yang paling banyak terkena robekan pada trauma ialah alat-alat parenkim,
mesenterium, dan ligamentum, sedangkan alat-alat traktus digestivus pada trauma tumpul
biasanya terhindar. Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit dibandingkan
dengan trauma tajam, lebih-lebih pada taraf permulaan. Penting sekali untuk diagnosis
secepatnya, apakah ada perdarahan dan tindakan segera harus dilakukan untuk menghentikan
perdarahan tersebut.
Pada trauma tumpul yang menimbulkan perdarahan pada limpa. Pada tahap pertama
darah akan berkumpul pada sakus lienalis, sehingga tanda-tanda umum perangsangan
peritoneal belum ada sama sekali. Dalam hal ini pedoman untuk menentukan limpa robek
(rupture lienalis) adalah:
1. Adanya bekas (jejas) trauma di daerah limpa
2. Gerakan pernapasan di daerah epigastrium kiri kurang
3. Nyeri tekan yang hebat di ruang interkostalis 9-10 garis aksiler depan kiri
Untuk menetapkan adanya perdarahan intra abdomen, selanjutnya dipakai metode
Von Slany dengan membandingkan leukosit/mm3 dan eritrosit/mm3 setiap setengah jam.
Apabila leukosit terus meningkat dan eritrosit terus menurun, sedangkan tidak ada
peradangan, maka ini suatu petunjuk adanya perdarahan intrabdomen. Indikator yang lebih
penting adalah pemeriksaan hematokrit setiap setengah jam. Namun biasanya pada awal
perdarahan kadar Hb dan Ht tidak langsung turun sampai terjadi gangguan kompensasi atau
terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi kadar Ht di awal tidak menjadi pegangan sebagai
adanya perdarahan. Kehilangan plasma ditandai dengan adanya hemokonsentrasi.
Apabila perdarahan yang terjadi sedemikian hebatnya, dapat menyebabkan renjat
(syok) hipovolemik hebat yang fatal. Syok hipovolemik adalah terganggunya system sirkulasi
akibat dari volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi karena
adanya perdarahan yang massif atau kehilangan plasma darah. Perdarahan akan menurunkan
tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung.
Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah
normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ:
- Mikrosirkulasi. Ketika curah jantung turun, tahanan vaskuler sistemik akan berusaha
untuk meningkatkan tekanan sitemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung
dan otak. Kebutuhan energy untuk pelakasanaan metabolism di jantung dan di otak sangat
tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan energy. Sehingga
keduanya sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan
bila terjadi iskemia. Ketika tekanan arterial rata-rata (Mean Arterial Pressure/MAP) jatuh
hingga < 60mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastic dan fungsi sel di semua organ
akan terganggu.
- Neuroendokrin. Hipovolemia, hipotensi, dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor
dan kemoreseptor tubuh yang akan memberikan respons autonom tubuh.
- Kardiovaskuler. Hipovolemia akan menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang
pada akhirnya menurunkan volume sekuncup, yang akan berpengaruh pada penurunan
curah jantung. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat sebagai
mekanisme kompensasi tetapi memiliki keterbatasan.
- Gastrointestinal. Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi
peningkatan absorbsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negative yang mati di
dalam usus. Hal ini akan memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan
metabolisme tubuh dan bukan memperbaiki nutrisi sel, dan menyebababkan depresi
jantung.
- Ginjal. Gagal ginjal akut adalah salah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi. Secara
fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air. Pada saat
aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju
filtrasi glomerolus yang bersama-sama dengan aldosteron dan vasopressin bertanggung
jawab terhadap menurunnya produksi urin.
Respons fisiologi yang normal adalah dengan mempertahankan perfusi terhadap otak
dan jantung sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi dengan efektif. Di sini akan
terjadi peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan
hormone stress serta ekpansi besar guna pengisian volume darah dengan menggunakan cairan
interstitial, intraseluler, dan menurunkan produksi urin.4
Perdarahan intra-abdominal akan merangsang reseptor tekanan di aorta, jantung dan
arteria carotis untuk mengeluarkan epinefrin, aldosteron, dan hormon antidiuretik. Hormon-
hormon ini akan menambah denyut jantung dan tekanan kontraksi, merangsang
vasokonstriksi, dan mengurangi kehilangan volume dari ginjal. Kenaikan curah jantung
membantu mempertahankan volume darah agar tetap memenuhi kebutuhan jaringan akan
oksigenasi. Vasokonstriksi perifer, sekunder terhadap epinefrin dan norepinefrin, membawa
darah ke jaringan vital, mengurangi aliran darah ke organ nonvital. Bila ini terjadi, walaupun
TD normal atau hampir normal pada arteri sistemik atau arteri besar, maka syok timbul pada
jaringan nonvital dengan mikrosirkulasi. Aliran mikrosirkulasi yang terganggu menyebabkan
penurunan perpindahan oksigen ke sel, yang mempunyai massa sel lebih besar daripada
jaringan vital. Tanpa oksigen, sel tidak dapat memetabolisme glukosa dengan sempurna dan
harus berpindah ke metabolisme anaerobik yang mengahasilkan metabolik (terutama asam
laktat). Penumpukan asam laktat ini menyebabkan asidosis metabolik.
Pasien yang mengalami rangsang simpatis atau adrenergik dengan tanda khas
konstriksi perifer: pucat, berkeringat, kulit dingin dan lembab, lapar, dan nadi halus. Bila
perdarahan terus berlangsung, walaupun ada takikardi dan pintas, volume darah akan menjadi
kurang untuk perfusi organ vital. Tekanan darah menurun dan denyut nadi bertambah. Aliran
darah yang kurang ke otak, menimbulkan anoksia dan gelisah. Sianosis sirkumoral adalah
tanda akhir anoksia sel yang parah pada wajah dan kepala. Membrana mukosa yang kering
menunjukkan dehidrasi sel. Anoksia sel merangsang asidosis metabolik yang hebat karena
dikeluarkannya konsentrasi asam laktat yang besar karena metabolisme anaerobik. Selain itu
tiap sel mengeluarkan 15-20% air dalam usaha menggantikan volume vaskular yang
menimbulkan dehidrasi sel. Organ vital juga bereaksi terhadap pengurangan volume darah.
Laju filtrasi glomerulus ginjal berkurang, yang mengurangi pengeluaran urin.12
Pada awalnya, mekanisme kompensasi seperti vasokonstrikisi dapat mempertahankan
tekanan arteri pada tingkat yang mendekati normal. Bagaimanapun, jika proses yang
menyebabkan syok terus berlangsung, mekanisme kompensasi ini akhirnya gagal dan
menyebabkan manifestasi klinis sindroma syok. Jika syok tetap ada, kematian sel akan terjadi
dan menyebabkan syok ireversibel.
Pelepasan lokal metabolit vasodilator seperti adenosin; pelepasan substansi yang
merelaksasi dari endotel (seperti nitrit oksida) atau mengkontrasi (seperti endotelin) otot
polos vaskuler sekitarnya. Aktivitas sistem saraf autonom (simpatik dan parasimpatik) dan
modulasi aktivitas melalui refleks baroreseptor dan pusat vasomotor di batang otak, yang
sebaliknya, dilakukan di bagian pusat yang lebih tinggi dalam sistem saraf; pelepasan
katekolamin ke dalam aliran darah, epinefrin atau norepinefrin, oleh medula kelenjar adrenal
dan ujung-ujung saraf simpatik; aktivitas sistem angiotensin-renin; pelepasan vasopresin;
pelepasan vasodilator termasuk prostaglandin; dan perubahan volume intravaskuler melalui
kontrol keseimbangan cairan dan elektrolit. Semua mekanisme ini dapat mempengaruhi
tekanan arteri dengan cara mengubah resistensi vaskuler dan/atau curah jantung.
Orang dewasa sehat dapat mengkompensasi kehilangan 10% volume darah total yang
medadak dengan menggunakan mekanisme vasokonstriksi yang diperantarai sistem simpatis.
Akan tetapi, jika 20 sampai 25 persen volume darah hilang dengan cepat, mekanisme
kompensasi biasanya mulai gagal dan terjadi sindroma klinis syok. Curah jantung menurun
dan terdapat hipotensi meskipun terjadi vasokonstriksi menyeluruh. Pengaturan aliran darah
lokal mempertahankan perfusi jantung dan otak sampai pada kematian sel jika mekanisme ini
juga gagal. Vasokonstriksi yang dimulai sebagai mekanisme kompensasi pada syok mungkin
menjadi berlebihan pada beberapa jaringan dan menyebabkan lesi destruktif seperti nekorosis
iskemik intestinal atau jari-jari. Faktor depresan miokard telah diidentifikasi pada anjing
dengan syok hemoragik tetapi faktor ini tidak dikaitkan secara jelas dengan gangguan fungsi
miokard klinis. Akhirnya, jika syok terus berlanjut, kerusakan organ akhir terjadi yang
mencetuskan sindroma distres respirasi dewasa, gagal ginjal akut, koagulasi intravaskuler
diseminata, dan gagal multiorgan yang menyebabkan kematian.14
Derajat klinis hipovolemia
Hipovolemia ringan ( <20% volume darah) menimbulkan takikardia ringan dengan
sedikit gejala yang tampak, terutama pada penderita muda yang sedang berbaring. Pada
hipovolemia sedang ( 20-40% dari volume darah) pasien menjadi lebih lemas dan takikardia
lebih jelas, meski tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi berbaring, namun dapat
ditemukan dengan jelas hipotensi ortostatik dan takikardia. Pada hipovolemia berat, maka
gejala klasik ayok akan muncul, tekanan darah menurun drastic dan tidak stabil walau posisi
berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung. 10
Tabel 4. Derajat Syok Hipovolemik
Ringan
(<20% volume darah)
Sedang
(20-40% volume darah)
Berat
(>40% volume darah)
Ekstremitas dingin Sama, ditambah takikardia Sama,ditambah
hemodinamik tidak stabil
Waktu pengisian kapiler Takipnea Takikardia
Diaporesis Oliguria Hipotensi
Vena kolaps Hipotensi ortostatik Perubahan kesadaran
Cemas
Tabel 5. Derajat Syok Hipovolemik setelah Perdarahan
Class I Class II Class III Class IV
Blood loss (mL) >750 750-1500 1500-2000 >2000
Blood loss (%) >15% 15-30% 30-40% >40%
Heart rate/min <100 >100 >120 >140
Systolic Blood Nomal Normal Decreased Decreased
Pressure
Pulse Pressure Normal Decreased Decreased Decreased
Respiratory rate 14-20 20-30 30-40 <35
Capilarry refill Delayed Delayed Delayed Delayed
Urine ouput
(mL/hr)
>30 20-30 5-15 Minimal
Mental status Slightly anxious Anxious Confused Confused and
lethargic
Sumber: Parillo JE, Dellnger RP. Critical Care Medicine: Principle and Management in the Adult. 3rd
Edition.p.499.Copyright Elsevier; 2008
PENATALAKSANAAN
Splenorafi
Splenorafi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan limpa yang fungsional
dengan teknik bedah. Tindakan ini dilakukan dengan membuang jaringan non-vital, mengikat
pembuluh darah yang terbuka, dan menjahit kapsul limpa yang terluka. Jika penjahitan
laserasi saja kurang memadai, dapat ditambahkan dengan pemasangan kantong khusus
dengan atau tanpa penjahitan omentum. 10
Splenektomi
Mengingat fungsi filtrasi limpa, indikasi splenektomi harus dipertimbangkan benar.
Ekposisi limpa sering tidak mudah karena splenomegali biasanya disertai dengan perlekatan
pada diafragma. Pengikatan a.lienalis sebagai tindakan pertama sewaktu operasi sangat
berguna. Pembuluh ini ditemukan dengan menelusuri bursa omentalis pada pinggir cranial
pancreas. Bila limpa besar, sering dianjurkan pendekatan laparo-torakotomi yang sekaligus
menyayat diafragma sehingga daerah eksposisi menjadi luas.
Splenektomi dilakukan jika terdapat kerusakan limpa yang tidak dapat diatasi dengan
splenorafi, splenektomi parsial, atau pembungkusan. Splenektomi parsial yang bisa terdiri
artas eksisi satu segmen dilakukan jika rupture limpa tidak mengenai hilus dan bagian yang
tidak cedera masih vital.
Splenektomi total juga dilakukan secara efektif pada penyakit yang menuntut
pengangkatan limpa, misalnya pada hipersplenisme atau kelainan hematologic tertentu.
Splenektomi total harus diikuti dengan reimplantasi limpa yang merupakan suatu
autotransplantasi. Caranya ialah dengan membungkus pecahan parenkim limpa dengan
omentum dan meletakannya di bekas tempat limpa atau menanamnya di pinggang di
belakang peritoneum dengan harapan limpa dapat tumbuh dan berfungsi kembali.
Splenosis, yaitu implantasi pecahan limpa kecil pada peritoneum, kadang ditemukan
setelah rupture limpa. 10
Tipe Ruptur Limpa dan Penatalaksanaannya
Tipe Penanganan
Observasi Jahitan dan atau
pembungkusan
Splenektomi
sebagian
Splenektomi +
transplantasi
1. Cedera kapsul
2. Cedera
parenkim
a. Sederhana
b. Fragmentasi
c. Kutub
3. Cedera hilus
4. Avulsi
5. Hematom
subkaps
+
+
-
-
-
-
+
?
?
+
+
-
-
?
-
-
?
+
+
-
-
-
-
?
-
?
+
-
- = sedapat mungkin
+ = perlu dilakukan
? = belum atau tidak jelas apakah perlu dilakukan atau tidak
1. Jika ada perdarahan yang tidak berhenti harus dibuat jahitan (hemostasis) dengan atau tanpa
pembungkusan.
2. Pengelolaan bergantng pada luasnya penghancuran parekim
2a. Jahitan (hemostasis) dan pembuangan jika perlu
2b. Pengeluaran pecahan dan jaringan yang tidak vital; hemostasis; kantong pembungkus;
jika tidak berhasi, splenektomi
2c. Pengeluaran kutub (bagian) yang tidak vital; hemostasis; kantong pembungkus
3. Splenektomi parsial (bagian yang non-vital dibuang), hemostasis (dengan pembungkusan);
jika tidak berhasil, splenektomi
4. Splenektomi
5. Jika ada perdarahan, tindakan seperti pada cedera kapsul (1)
Tabel 5. Penatalaksanaan ruptur limpa
KOMPLIKASI
Komplikasi trauma limpa meliputi hematoma limpa, perdarahan massif, dan gagal ginjal, dan
kematian. Komplikasi setelah splenektomi meliputi: atelektasis, pneumoni dan efusi pleura
kiri, abses subphrenikus terjadi 3-13% bila disertai trauma usus dan pemasangan drain.
Perdarahan. Akibat kesalahan teknis dalam mengikat a. gastrica brevis atau pembuluh darah
pada hilus. Perdarahan lambat dapat terjadi hingga 45 hari setelah operasi. Diatasi dengan
transfusi, operasi ulang maupun keduanya. Pankreatitis dapat terjadi karena trauma operasi
maupun trauma awal. Trombositosis biasanya terjadi pada hari ke 2-10 dan menjadi normal
kembali pada minggu ke 2 – 12. Dapat meningkatkan resiko trombosis vena dalam dan
emboli paru. Infeksi serius pasca operasi limpa berkisar 8%. Usia pasien, semakin parahnya
trauma penyerta, adanya cedera pankreas, kolon, SSP dan tulang meningkatkan komplikasi
ini. Kista postraumatik (pseudokista), kista yang kecil-asimptomatik (< 5cm) akan hilang
sendiri namun yang besar (>5cm) berpotensi ruptur. 4
PROGNOSIS
Hasil dari pentalaksanaan baik operatif atau pun non-operatif dari ruptur lien
penyembuhannya 90% lebih baik pada pasien yang ditatalaksana secara non-operatif. Angka
kematian yang berhubungan dengan trauma lien berkisar antara 10-25% dan biasanya akibat
trauma pada organ dan kehilangan darah yang banyak. Oleh karena itu penanganan
kegawatdaruratan pada saat pasien pertama kali datang ikut berperan dalam prognosis pasien
yang mengalami ruptur limpa. 10
PENUTUP
Dari hasil belajar mandiri, saya menyimpulkan bahwa laki-laki, 45tahun, yang datang dengan
kehilangan kesadaran pasca kecelakaan lalu lintas mengalami rupture lien akibat trauma
tumpul abdomen. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan allo-anamnesis terdapat riwayat
kekerasan pada pinggang kiri dan sebelumnya pasien mengeluh kesakitan pada dinding
abdomen bagian kiri atas. Pada pemeriksaan fisik uga didapatkan adanya bintik-bintik
hematoma, dan pada saat dibawa ke RS, pasien sudah dalam keadaan syok hipovolemik
akibat perdarahan intra-abdominalnya. Kompensasi tubuh yang menandakan adanya syok
hipovolemik adalah penurunan tekanan darah dan peningkatan denyut nadi. Penatalaksanaan
resusitasi cairan atau darah untuk mengembalikan fungsi hemodinamik harus segera
dilakukan, dan kemudian langkah selanjutnya dapat dilakukan operasi lien sesuai dengan
derajat keparahan dari rupture lien tersebut. 10
DAFTAR PUSTAKA
1. Ruptur Lien. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/61137232/Referat-irma-ruptur-
lien . 15 November 2011.
2. Putri PU. Basic Life Support and Advance Life Support. 2009. Diunduh dari
www.scribe.com. 16 November 2011.
3. Andrianto P, Timan IS, Oswari J, editor. Buku Ajar Bedah Sabiston. Jakarta: EGC,
1992.h.238-45.
4. Wijaya IP. Syok Hipovolemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus
SK, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing, 2009.h.242-4.
5. Wolak E, Grant EJ, Hardin SR. Shock. In: Kaplow R, Hardi SR, editors. Critical care
nursing: synergy for optimal outcome. London: Jones and Bartlett Publisher;
2007.p.243-55.
6. Eliastam M, Sternbach GL, Bresler MJ. Buku Saku Penuntun Kedaruratan Medis. Edisi
5. Jakarta: EGC; 2008.h.2-7.
7. Welsby PD. Pemeriksaan Fisik dan Anamnesis Klinis. Jakarta: EGC, 2009. h.77-88.
8. Marcellus SK. Pemeriksaan Abdomen, Urogenital dan Anorekal. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid 1. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing, 2009.h.69-73.
9. Trauma Tumpul Abdomen. Dalam: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan
W, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Jakarta: media Aesculapius fakultas
Kedokteran UI, 2002. h.302-3.
10. Sjamsuhidajat R, Jong WD, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC,
2004.h.608-12.
11. Schwartz SI. Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2001.h.82-3, 93-4.
12. Andrianto P, Timan IS, Oswari J, editor. Buku Ajar Bedah Sabiston. Jakarta: EGC,
1992.h.238-45.
13. Lin G. Trauma Tumpul Abdomen. Dalam: Astikawati R. Teks Atlas Kedokteran
Kedaruratan Greenberg. Jilid 2. Jakarta: Erlangga, 2007. 648-9.
14. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison:
prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Volume 1. Edisi 13. Jakarta: EGC; 1999.h.218-23,
259-262.
top related