majalah jejak islam
Post on 07-Jul-2018
334 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
1/47
Kiprah Muslimahdi Panggung
Sejarah
unuk Bangsa
Menelusuri Torehan Sejarah Islam di Indonesia NO. 2 - DESEMBER 2015
Mukaddimah Syajarah Rekam KisahKarini dan Pinu Masuk
Feinise di IndonesiaPejalanan Panjang
Jilbab di Indonesia
Tenang Peepuan:
Rahah El- YunusiyahCina Paje dan Maje
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
2/47
Dari
Ke Hati
Hati
Sumber foto: Carey, Peter (2008) The Power of Prohecy. Prince Dipanegara and The End of an Old Order in Java 1785-1855, Leiden: KITLV Press
“Selalu ada wanita hebat di balik pria hebat,” begitulah
kata pepatah kuno. Sejarah selalu mengajarkan bahwa
“There always the tough woman behind a great man.”
Sejarah telah mencatatnya. Tak cukup waktu jika kita
urai satu per satu di sini, namun mungkin pepatah ituhadir di tengah-tengah kita, bahkan kita r asakan sendiri.
Pembaca, jika para Bapak-bapak Bangsa (The Founding
Fathers) menghiasi sampul muka edisi perdana Majalah
Jejak Islam ‘Di Balik Layar Kemerdekaan’, kini giliran
kami tampilkan ‘Ibu-ibu hebat’ di balik ‘bapak-bapak
bangsa’, dan tentunya di balik berdirinya bangsa ini. Para
perempuan di balik lelaki hebat. Para muslimah yang
berkiprah di panggung sejarah negeri ini. “The Founding
Mothers”.
Bertepatan dengan momen Hari Ibu, kami berusaha
tampilkan kembali sosok-sosok Ibu Bangsa (The Founding
Mothers). Kedengaran aneh mungkin, tapi tak berlebihan
memang, jika kita sematkan istilahThe Founding Mothers
kepada mereka. Silakan nikmati lembar demi lembar
untuk mengetahui kiprah mereka.
Siapa tak mengenal Haji Agus Salim? Semua orang
mengakui Agus Salim sebagai salah satu The Founding
Father bangsa ini. Namun, mungkin kita tak akan
menyangka bahwa di balik nama besar Haji Agus Salim,
muncul sosok Zainatun Nahar, istrinya yang selalu setiamendukung setiap keputusan dan menemani Agus Salim
ke mana pun ia pergi.
Dari mulai tinggal di sudut gang becek, bilik mungil,
rumah reyot, mengontrak dari satu gang ke gang lain,
dari satu kota ke kota lain, dari London hingga Boston,
dari Cornell hingga Buckingham, sang istri dengan setia
mendampingi suami kebanggaanya. Silakan nikmati
lembar demi lembar dalam tulisan Paatje dan Maatje
dalam rubrik ‘Kisah’, sajian redaksi ciri khas tulisan Rizki
Lesus dengan gaya penulisan sejarah sastrawinya.
Pembaca pun sudah tak asing dengan nama besar Buya
Hamka. Namun, siapakah wanita hebat di baliknya?
Simak tulisan Sarah Mantovani dalam Siti Raham, Antara
THEFOUNDING
MothersPeran Politik dan Penjaga Kehormatan Buya Hamka .
Jika G. S. Wood dalam The Public Intellectual bilang the
founding fathers adalah “men of ideas and thought &
leading intellectual”, maka mungkin kita dapat sematkan
istilah the founding mothers pada dua tokoh muslimahintelek yang bergerak di dunia pendidikan: Nyai Khoiriyah
dan Rahmah El Yunusiyah.
Simak tulisan Beggy Rizkiansyah dalam Nyai Khoiriyah,
Ulama yang Terlupakan, tentang puteri ulama besar
Nusantara ini KH Hasyim Asyari. yang mendirikan sekolah
perempuan pertama di Tanah Suci. Adapaun Rahmah
El Yunisiyah ialah muslimah pertama yang mendirikan
sekolah perempuan pertama di Tanah Air, tentunya selain
membidani laskar muslimah juga aktif berpolitik di Partai
Masyumi.
Selain dua tokoh intelektual tersebut, tak ketinggalan
kiprah seorang jurnalis muslimah pertama di Negeri
ini yang membidani surat kabar Soenting Melajoe
(Perempuan Melayu) yang berjuang lewat dunia pers.
Simak tulisan Tristia Riskawati dalam Jalan Jihad Uni
Roehana.
Simak pula tulisan Andi Ryansyah tentang perjuangan
panjang jilbab di negeri ini hingga perjuangan muslimat
NU mempertahankan negeri ini dari penjajah dan
komunisme.
Pembaca, jika sebelum Islam datang peradaban dunia
memandang sebelah mata makhluk wanita, maka Islam
justru sebaliknya. Wanita dalam pandangan Islam adalah
makhluk nan mulia. Darinya lahir generasi pelanjut cita-
cita. Dari rahimnya, para founding father itu melanjutkan
perjuangan. Karenanyalah, sejarah mencatat kiprah
mereka.
Terakhir, syukur Alhamdulillah, di penghujung 2015, edisi
ke-2 ini dapat kami rampungkan. Atas segala kekurangan,
kami mohon kritik, saran, dan juga dukungan selalu agar
kami dapat menghadirkan kembali torehan jejak Islam
untuk bangsa ini dengan data dan fakta yang kokoh.
Selamat menikmati.
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
3/47
R E D A K S I
PENERBIT
Jejak Islam untuk Bangsa
Jl. Taman Malaka E No.13
Jakarta Timur
E jejakislambangsa@gmail.com
www.jejakislam.net
D A F T A R 0 6 M uk ad di a h Kartini & Pintu Masuk Feminisme di IndonesiaTiar Anwar Bachtiar
4 8 B u k u Kedudukan Perempuan dalam Islam
Buya Hamka
6 9 K i s a h Siti Raham, Antara Peran Politik& Penjaga Kehormatan Buya Hamka
KH Hasyim Asy’ari
7 8 S ya ja a h Jalan Jihad Uni Roehana
Tristia Riskawati
1 4 S yaj a ah Nyai Khoiriyah: Ulama Perempuan yang terlupakan
Beggy Rizkiyansyah
2 0 S ya ja ah Hari Ibu: Menolak Feminisme Sejak Dahulu
Sarah Mantovani
6 2 S ya ja a h Muslimat NU: Dedikasi untuk Negeri
Andi Ryansyah
7 2 R e k a Tentang Perempuan:
Jejak Rahmah
El-Yunisiyah
dalam Gambar
7 8 C a a anP u n g g u n g
Cut Nyak Dien dan
Gambar
3 6 S y a j a a h Rahmah El-Yunusyah: Pejuang Perempuan,Perempuan Pejuang
Susiyanto
24Syajaah
Perjalanan Panjang Jilbab di Indonesia
Andi Ryansyah
isi
PEMIMPIN REDAKSI
TIM REDAKSI
ARTISTIK
LUSTRASI SAMPUL
REDAKTUR AHLI
KONTRIBUTOR
Beggy Rizkiyansyah
No. 2 Desember 2015/
Rabiul Awwal 1437 H
M. Rizki Utama
NZI
TBS
Qbenk
Septian Anto W.Andi Ryansyah
Tiar Anwar Bachtiar
Susiyanto
Alwi Alatas
Sarah Mantovani
Tristia Riskawati
REDAKTUR Rizki Lesus
1 0 Syaj aah Kartini Menurut M. Natsir
Sarah Mantovani
7 5 DaiPebendahaaanlaa
Menjaga Martabat Islam
50K i s a h
Cinta Patje dan Matje
Rizki Lesus
JIB Jejak Islam
Untuk Bangsa
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
4/47
6 Mukaddimah Mukaddimah
Gerlombang liberalisme di Indonesia masuk lewat
berbagai pintu. Salah satu pintu yang boleh dikatakan
sukses adalah pintu isu kesetaraan gender. Isu ini
bahkan telah berhasil menembus kebijakan negara.
Alhasil, gender mainstreaming menjadi salah satu
program penting dalam semua lini program yang
dicanangkan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga
meratikasi MDGs (Milenium Development Goals) yang
salah satu indikatornya adalah pengarus-utamaan
gender. Targetnya sangat telanjang: menyamakan
peran laki-laki dan perempuan. Artikel ini tidak akanmembicangkan masalah ini. Yang akan menjadi fokus
adalah asal-muasal dari mana gerakan ini muncul di
negeri ini? Apakah tepat konteks sosial Indonesia?
Gerakan perempuan di Indonesia mulai menyeruak
ke permukaan setelah terbit buku kompilasi surat-
menyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya (Ny.
Abendanon, Stella, Ny. Ovink-Soer, dll) bertajuk Door
Duisternis Tot Licht (1911). Buku ini menjadi populer
ketika Armin Pane, pujangga angkatan Balai Pustaka,
menerjemahkannya dan memberinya judul Habis Gelap
Terbitlah Terang. Buku ini dianggap memberi inspirasi
Oleh : Tia Anwa Bachta
Doko Sejaah Univesias Indonesia
Berkah Kemerdekaan Bagi Dakwah Islam di Indonesia Tiar Anwar Bachtiar
Kartini PINTU MASUK
FEMINISME DI INDONESIA&
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
5/47
8 Mukaddimah MukaddimahKartini & Pintu Masuk Feminisme di Indonesia Tiar Anwar Bachtiar
bagi kaum wanita di Indonesia untuk memperjuangkan
harkat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki.
Alhasil kata “emansipasi wanita” menjadi kata-kata yang
sangat familiar di negeri ini; dan Kartini pun didaulat
sebagai salah seorang pahlawan wanita kebangga
bangsa ini.
Dalam surat-suratnya, Kartini bercerita tentang kegetiran
dan nestapa yang dialaminya sebagai anak-wanita
seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia selalu ditempatkan
sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya.
Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya
sangat tidak senang, sekalipun akhirnya ia harus
menerima kenyataan menjadi istri keempat Bupati
Rembang.
Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai
pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus
bergerak dan bangkit melawan penindasan ini.
Untuk bangkit itu, “Kartini bercita-cita memberi bekal
pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama
budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi
luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah
sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak
mau.” (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini , Djambatan,
1985: xvii).
Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis
Kartini terlihat terang-benderang, walaupun akhirnya ia
memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya
ini. Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa
apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya anak,
dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang
ia angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami
yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya
sangat “diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani.
Keputusannya ini sangat disayangkan oleh teman-
teman Balandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas
perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai seorang
penganut feminisme yang sudah mendarah-daging,
Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan
Kartini.
Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa
tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan
beberapa saat setelah pernikahannya Kartini
menulis surat kepada J.H. Abendanon dan istrinya
yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun
pernikahan keempat bagi suaminya, sama sekali baik-
baik saja.
“Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-
betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya
yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah,
di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan
menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena
yang lain bahagia…” (Surat-Surat Kartini , hal. 348).
***
Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti i tu, patut
dipertanyakan dari mana Kartini punya pikiran feminis
pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini
adalah wanita Jawa yang ternyata lebih menghayati
kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir dalam
harmoni mengikuti ritme budaya tempat sekian lama ia
hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Ia tidak
pernah senang menjadi wanita pemberontak seperti
yang diajarkan para feminis.
Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab kalau kita
tidak mencermati di mana Kartini bersekolah dan
dengan siapa ia berkirim surat. Kartini bersekolah di
sekolah Belanda karena ia seorang anak bupati yang
bisa menikmati sekolah bersama dengan anak-anak
Belanda. Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah
adalah saat ide-ide politik etis yang dipengaruhi
kelompok liberal di Belanda tengah menjadi arus
wacana utama di Hindia Belanda (baca: Indonesia).
Selain karena arus wacana politik etis, karena
bersekolah di sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan
menyerap berbagai paham yang tengah berkembang
di Barat. Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah
liberalisme. Pandangannya tentang kedudukan laki-laki
dan perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak
terpengaruh pandangan-pandangan liberal yang
diajarkan guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah
Belanda ini pula Kartini bertemu dengan buku-buku dan
surat kabar yang berhaluan liberal.
Pengaruh feminis yang paling meyakinkan dalam
surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya
sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang
paling feminis dibanding teman-temannya yang lain.
Usianya lebih tua 5 tahun dari Kartini, anak dari orang
tua Yahudi-Belanda. Ia penganut sosialis yang sangat
kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai
bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan dengan Stella
pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile,
majalah wanita yang saat itu sangat populer. Teman-
temannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal
seperti pada umumnya orang-orang yangd atang dari
Belanda pada abad ke-19 dan 20.
Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini
hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di
atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya.
Beruntung bahwa Kartini sesungguhnya tidak benar-
benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki.
Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang
bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan
itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah
berniat sama sekali mempublikasikan pikiran-pikirannya
itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam
usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak
pertamanya.
Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran
feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon, Menteri
Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda.
Ia mengumpulkan semua surat-surat Kartini,
menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun
setelah Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis,
adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda.
Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide
liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini.
Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan
feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun
meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri,
Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-
liberal ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya
tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan laki-
laki perempuan sejak Islam datang ke negeri ini. Wallâhu
A’lam.
di rumah itu dalam segala hal keadaan
saya baik dan menyenangkan; di situ
yang seorang dengan dan karena yang
lain bahagia…
lhamdulillah,
Kartini bersama Raden Adipati
Djojoadiningrat.
Sumber foto: KITLV DIgital Media Library
http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/
detail/form/advanced/start/10?q_
searcheld=kartini)
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
6/47
10 Syajarah SyajarahKartini Menurt Natsir Sarah Mantovani
KARTININATSIRmenurut
“Vote for Women!”, begitu isi seruan dari kelompok Suffragettes yang tertulis di gedung-gedung pemerintahan Inggris.
Mereka tidak hanya puas dengan menulis seruan tersebut, namun juga berdemonstrasi ke jalan untuk menarik opini
publik, bahkan sampai melempari rumah Menteri Dalam Negeri dengan batu sehingga banyak kaca yang pecah.Cara ini dilakukan agar pihak pemerintah saat itu takut kepada mereka sehingga mereka akan diberikan kiesrecht
(hak memilih dan dipilih), karena tuntutan inilah maka mereka dinamakan kelompok Suffragettes atau kelompok
feminis yang menuntut hak pilih untuk perempuan.
Kelompok Suffragettes merupakan kelompok feminis beraliran Marxis yang dipimpin oleh feminis bernama Sylvia
Pankhurst. [1] Oleh salah satu pengurus Istri Sedar, S. Pringgodigdo dalam koran Sedar edisi Juni-Juli 1931, Sylvia
Pankhurst dinilai sebagai perempuan yang sangat dicintai oleh ratusan ribu perempuan dan dibenci oleh pihak kuno.2] Gerakan yang telah berlangsung sejak akhir abad ke-19 tersebut pada akhirnya menjalar ke negara-negara lain,
kemudian masuk hingga mempengaruhi pemikiran maupun sikap perempuan Indonesia pada tahun 1930-an.
Mohammad Natsir, salah satu tokoh yang juga vokal terhadap bahaya komunisme di Indonesia, menceritakan
hasil pengamatannya terkait feminisme yang telah mempengaruhi pemikiran dan sikap perempuan Indonesia.
Salah seorang debater dari kalangan kaum i stri yang terkemuka di Semarang saat Kongres Jong Islamieten Bond
(JIB), mengungkapkan pemikirannya tentang mahar dalam Islam yang disebutnya bukan memuliakan perempuan,
melainkan salah satu penghinaan karena dengan mahar tersebut, perempuan telah dibeli laki-laki. Tokoh JIB saat itu
Mohammad Natsir menulis:“Diwaktu penulis beberapa tahun jang silam mengemukakan sedikit perbandingan antara hak-hak perempuan
menurut Qur’an dan menurut undang-undang Burgerlijk Wetboek jang berlaku dalam masjarakat bangsa Eropah
dalam salah satu Kongres “Jong Islamieten Bond” dikota Semarang, salah seorang debater dari kalangan kaum isteri
jang terkemuka dikota itu, melahirkan perasaannja bahwa “mahr” itu bukanlah suatu kemuliaan bagi perempuan,
melainkan salah satu penghinaan, sebab dengan itu kaum perempuan itu dibeli oleh laki-laki……..!”.[3]
Tidak hanya menceritakan hasil pengamatannya, mantan Presiden Liga Muslim se-dunia ini juga memberikan
pandangannya terkait emansipasi yang pernah digaungkan Kartini di awal kehidupannya dalam surat-suratnya untuk
teman-teman Belandanya. Emansipasi yang digaungkan Kartini disebabkan kerasnya adat Jawa saat itu yang tidak
mengizinkan perempuan untuk menempuh pendidikan.’
“Diwaktu R.A Kartini memulai perdjuangannja memperbaiki nasib kaum perempuan pada permulaan abad ini, dia
Oleh : Saah Manovani
Aluni Pascasajana Univesias Muhamadiyah Suakara
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
7/47
12 Syajarah SyajarahKartini Menurut Natsir Sarah Mantovani
berhadapan dengan tradisi-Djawa jang amat keras
mengukung langkah-langkah kaum perempuan. Mereka
terpaksa tinggal dalam dunia jang sempit, tinggal bodoh
dan sontok pemandangan, tidak diberi kesempatan
untuk menuntut ilmu-pengetahuan walaupun sekedar
jang tak dapat tidak harus ada, untuk pentjukupkan peri
kemanusiaan mereka”.
Natsir menilai, perjuangan yang dilakukan Kartini
terhadap kaum perempuan tidak lain agar mereka
menjadi perempuan yang terdidik, karena jika kaum
perempuan terdidik, maka mereka bisa melakukan
kewajibannya sebagai istri dan ibu.
“Supaja mendjadi perempuan jang terdidik untuk
melakukan kewadjiban mereka sebagai isteri dan ibu
dalam arti jang “sepenuh-penuhnja”, inilah tudjuan
hidup jang dibajangkan srikandi ini untuk bangsanja
kaum perempuan”.
Cita-cita emansipasi, papar alumni Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs (MULO) ini, yang disebut Kartini dalam
bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang merupakan
cita-cita yang sesuai dengan trah dan watak kaum
perempuan.
“Para pembatja jang memperhatikan surat-suratnja
jang terkumpul dalam buku “Habis Gelap Terbitlah
Terang” tidak dapat tidak akan merasa sendiri bahwa
tjita-tjita emansipasi jang dikemukakannja itu, tidak lain
dari pada satu tjita-tjita jang schot (tepat sasaran) dan
berdasar kepada ftrah dan watak kaum perempuan
semata-mata”.[4]
Tentu, hal ini diperkuat dengan suratnya yang tidak
diterbitkan pada bulan Januari 1903, cita-cita yang ia
perjuangkan agar perempuan mendapatkan pendidikan
semata-mata bukan karena keseteraan gender,
melainkan karena agar perempuan dapat menjadi ibu
dan ibu merupakan pendidik per tama umat manusia.
“Sebagai ibu, dialah pendidik pertama umat manusia.
Di pangkuannya anak pertama-tama belajar merasa,
berpikir, berbicara. Dan dalam kebanyakan hal
pendidikan yang pertama-tama ini bukan tanpa arti
untuk seluruh hidupnya. Tangan ibu lah yang pertama-
tama meletakkan benih kebaikan dan kejahatan dalam
hati manusia, yang tidak jarang dibawa sepanjang
hidupnya. Tidak tanpa alasan orang mengatakan, bahwa
kebaikan dan kejatan diminum bersama air susu ibu dan
bagaimana sekarang ibu-ibu Jawa dapat mendidik anak-
anaknya, kalau mereka sendiri tidak dididik? Peradaban
dan kecerdasan bangsa Jawa dalam hal itu terbelakang,
tidak mempunyai tugas”.[5]
Setelah semangat politik etis berhasil dipertahankan
oleh Belanda, antara lain oleh Van Deventer,
mendapatkan kemenangan, maka pengajaran dan
pendidikan Barat yang diberikan pada penduduk
Indonesia, semakin bertambah banyak. Hal ini
mengakibatkan kaum perempuan saat itu mengubah
keadaan dirinya dari yang awalnya dianggap tidak
mempunyai hak dan kekuasaan hingga menjadi
seseorang yang oleh Natsir disebut orang yang
mempunyai “kemerdekaan atas diri dan mata
penghidupannya”, dalam waktu yang singkat.
Mereka, lanjut Natsir, tidak hanya merasa “merdeka
dari perlindungan laki-laki” dan perlindungan tersebut
dianggap merendahkan derajat perempuan, namun
juga sampai pada kesimpulan bahwa dalam hal
apapun, perempuan itu sebenarnya sama dengan
laki-laki. Perasaan seperti ini diperkuat juga dengan
berbagai pengajar dari pergerakan feminisme Barat
yang menyampaikan cita-cita emansipasi, agar kaum
perempuan bisa berjuang pada ranah laki-laki.
“Perasaan jang sematjam ini diperkuat oleh berbagai
lektur dari pergerakan feministen Barat jang djuga
sampai ke negeri kita ini. Jakni pergerakan feministen
jang mengemukakan tjita-tjita emansipasi, supaja kaum
perempuan bisa berdjuang di medan pekerdjaan laki-
laki, bukan dalam dunia keperempuanannja sendiri di
samping laki-laki itu”.[ 6]
Kemudian Natsir menceritakan kembali pengamatannya
bahwa ia pernah menemukan tulisan seorang
perempuan dalam Fikiran Rakyat yang memaparkan
satu teori tentang keharusan perempuan untuk
menuntut persamaan hak dan kesempatan yang sama di
antara laki-laki dan perempuan.
“Salah seorang dari penulis perempuan dalam madjalah
Fikiran Rakjat, pernah membentangkan satu teori jang
menerangkan, apakah sebabnja maka kaum p erempuan
sekarang tampaknja kurang dari laki-laki, baik tentang
kemadjuan djasmani maupun ruhani. “tubuh perempuan lebih lemah dari laki-laki, katanja, hanja lantaran
perempuan tidak mempunjai kesempatan untuk sport seperti laki-laki. Dalam ilmu pengetahuan perempuan
tidak banjak jang sepandai kaum laki-laki, katanja, lantaran kaum perempuan selama ini tidak dapat kesempatan
untuk menuntut ilmu seperti laki-laki. Sekarang perempuan harus bergerak menuntut hak dan kesempatan jang
sama dengan hak-hak jang ada pada laki-laki. Nanti kaum perempuan akan membuktikan bahwa dalam semua
hal perempuan sama dengan laki-laki………”. Demikianlah kesimpulan dan keputusan jang diambil oleh penulis
tersebut”.
Teori yang dipaparkan merupakan salah satu hasil dari berbagai pengajaran feminisme di Barat yang diterima dan
dicontoh oleh kaum perempuan Indonesia tanpa lter sedikit pun.
“Walhasil teori jang sematjam itu ialah salah satu dari hasilnja pelbagai lektur feminisme di Barat jang sampai
kenegeri kita ini, dan – sebagaimana djuga dengan hal jang lain – diterima dan ditjontoh dengan tidak memakai
saringan sedikit djuga. Tumbuhnja pun amat subur, apalagi sebagai reaksi terhadap “minderwaardigheldcomplex”
(rasa rendah diri), perasaan kurang-harga, jang telah dialami oleh kaum perempuan selama ini”. [7]
[1] Anonim, Women’s Liberation Movement, https://marxist.org/glossary/events/w/o.htm. Diakses pada
03 Maret 2015.
[2] S. Pringgodigdo. Kewadjiban dan Pekerdjaan Kaoem Istri Menoeroet Kemaoean Zaman. Sedar Juni-Juli 1931.
[3] Mohammad Natsir, Capita Selecta Jilid I, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1973), hlm. 51.
[4] Ibid, hlm. 53.
[5] J.H Abendanon, Surat-Surat Kartini: Renungan
Tentang dan Untuk Bangsanya (terj: Sulastin Sutrisno), (Bandung: Penerbit Djambatan, 1981), hlm. 368.
[6] Mohammad Natsir, Capita…, hlm. 53-54.
[7] Ibid, hlm. 54 dan 56.
Tumbuhnja pun amat subur, apalagi sebagai reaksi
terhadap “minderwaardigheldcomplex” (rasa
rendah diri), perasaan kurang-harga, jang telah
dialami oleh kaum perempuan selama ini”
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
8/47
14 Syajarah SyajarahBeggy Rizkiyansyah
YAIHOIRIYAHULAMA PEREMPUAN
YANG TERLUPAKAN
Penulisan sejarah perempuan di Indonesia, khususnya
muslimah semakin marak. Berbagai tokoh, diulas
dalam berbagai bentuk tulisan. Namun sayangnya,
penulisan sejarah muslimah di Indonesia seringkali
disajikan dalam bingkai feminsme.[1] Persoalan ini jelas
meninggalkan masalah, karena seakan, perjuangan
muslimah di masa lampau dinaungi oleh semangat
feminisme. Pembahasan feminisme yang satu tarikan
nafas dengan kesetaraan gender memang mengundang
kontroversi dan penolakan, termasuk dari kalangan umat
Islam itu sendiri.[2]
Titik tolak yang bermasalah inilah yang seringkali
menimbulkan kesimpulan yang bermasalah pula.
Perjuangan muslimah di masa lampu hendaknya
tidak perlu kita kenakan kepada bingkai feminisme.
Peninjauan yang adil, akan melihat bahwa perjuangan
muslimah di Indonesia pada masa lampau tidak
berlandaskan pada semangat dan tujuan yang sama
dengan gerakan atau pemikiran feminism.
Pendidikan untuk perempuan (muslimah) di Indonesia
sendiri tak bias dibatasi oleh pendidikan formal belaka.
Islam mengajarkan bahwa baik laki-laki dan perempuan
diwajibkan menuntut ilmu. Ada pun cara menuntut ilmu
pada masa lampau bagi muslimah di nusantara, tak
harus di bawah naungan institusi pendidikan. Pendidikan
bagi muslimah di masa lalu, seringkali dianggap tidak
ada karena dibatasi hanya pada pendidikan di institusi
pendidikan belaka. Kita dapat menilai bahwa para
pendidikan bagi muslimah sejatinya dimulai dari lingkup
keluarga, dan diberikan oleh orang tua atau kerabat
keluarga mereka.
Contoh ini dapat terlihat misalnya seorang muslimah
pada abad ke 18-19, yaitu Raden Ayu Danukusuma.
Putri dari Sultan Hemengkubwana I ini disebut memiliki
kitab terjemahan berbahasa jawa al Tuhfa al-mursala ila
ruh al-nabi karya Muhammad Fadlallah al-Burhanpuri.[3] Meski kala itu belum dikenal pesantren khusus
perempuan, tetapi sosok Raden Ayu Danukusuma telah
membaca sebuah kitab tasawuf yang cukup berbobot
tersebut. Kitab yang sempat menimbulkan polemik di
nusantara ini bukan bacaan satu-satunya milik Raden
Ayu Danukusuma.[4] Ia pun dicatat memiliki kitab Bustan
us-Salatin. Raden Ayu Danukusuma yang hidup di
kalangan bangsawan sekaligus dekat dengan kalangan
Oleh : Beggy Rizkiyansyah
Penggia Jejak Isla unuk Bangsa
Nyai Khoiriyah, Ulama Perempuan yang Terlupakan
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
9/47
16 Syajarah SyajarahBeggy Rizkiyansyah
santri membuatnya lebih mudah untuk menimba ilmu
tentang Islam. Kenyataan bahwa perempuan di masa
tutelah dapat mengakses kitab-kitab yang beragam,
membuktikan bahwa pendidikan telah di tuai oleh
muslimah sejak masa lampau.
Contoh lain adalah hadirnya kitab qih yang dikarang
oleh seorang ulama perempuan di dunia melayu pada
abad ke 19(?). Kitab itu ditulis oleh Fatimah, cucu dari
ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad
Al Banjary. Fatimah yang lahir dari putri Syekh Arsyad
Al Banjary, yaitu Syarifah, yang menikah dengan
ulama bernama Abdul Wahab Bugis. Kitab yang ditulis
Fatimah adalah Perukunan Jamaluddin. Kitab ini berisi
tentang persoalan qih seperti Sholat, puasa dan
penyelenggaraan jenazah.[5]
Kisah perjumpaan Kartini dengan Kiyai Shaleh Darat,
uga dapat memberikan petunjuk pada kita bahwa
kehidupan Kartini, sebelum berjumpa dengan Kiyai
Shaleh Darat, awalnya adalah kehidupan yang justru
terhalang dari cahaya Islam.[6] Kehidupan perempuan
bangsawan Jawa yang terkurung oleh beragam aturan
dan pemahaman, seperti ‘sowarga nunut, neraka
katut’ (ke surga ikut, ke neraka terbawa) yang justru
menghalanginya dari menerima cahaya Islam sejati.
7] Kiyai Saleh Darat membukakan mata hati dan
pikiran Kartini akan kebenaran agama Islam yang
tidak menghalangi perempuan untuk memperoleh
pendidikan. Maka ketika memasuki abad ke 20, gerakan
slam di tanah air memperoleh momentumnya dengan
membentuk perkumpulan-perkumpulan, termasuk
perkumpulan bagi muslimah pertama yaitu Aisyiyah dari
Muhammadiyah.
Ketika arus utama penulisan sejarah gerakan
perempuan (muslimah) di Indonesia selalu diteropong
dari kacamata feminisme, maka kita akan menemukan
kontradiksi-kontradiksi. Kontradiksi tersebut disebabkan
lahirnya gerakan muslimah di Indonesia, bukan berdiri
diatas tujuan-tujuan ala feminisme semisal kesetaraan
gender. Tetapi gerakan muslimah tersebut lahir untuk
memajukan perempuan dari keterbelakangan yang
diakibatkan rintangan adat, kolonialisme ataupun
kesalahpahaman terhadap ajaran Islam. Malah gerakan-
gerakan muslimah tersebut tetap setia membela ajaran
Islam yang kerap dipandang secara timpang oleh
feminis, yaitu poligami.[8] Contoh pembelaan kepada
poligami oleh gerakan muslimah, semisal Aisyiyah
adalah sebuah contoh betapa gerakan muslimah
tidak berpijak kepada ide-ide feminisme, melainkan
berpegang teguh kepada Islam. Pada 1920-an ketika
poligami dicemooh oleh kalangan nasionalis sekuler,
maka Aisyiyah melakukan pembelaan. Mereka
tidak menganjurkan poligami, tetapi juga menolak
penghapusan pembolehan soal poligami dalam Islam.[9]
Gerakan muslimah di Indonesia sejatinya tetap jalan
dalam koridor agama Islam. Mereka bertujuan untuk
membentuk perempuan sebagai ibu yang siap mendidik
generasi penerus. Menjadikan ibu sebagai posisi yang
mulia. Bukan hendak menjungkirbalikkan institusi
rumah tangga dengan jargon kesetaraan gender
dan sebagainya. Jargon-jargon ini justru ditolak oleh
organisasi perempuan semacam Aisyiyah dan JIBDA
dalam koran Isteri di tahun 1929.[10]
Pendidikan Islam maupun umum, ketrampilan,
berwirausaha menjadi nafas gerakan perempuan yang
senantiasa mengiringi langkah gerakan muslimah
pada saat itu. Maka selain Aisyiyah, kita juga mengenal
Perempuan Sarekat Islam, Rahmah el-Yunisyiah dengan
Madrasah Diniyah Puteri pada tahun 1923, Rohana
Koeddoes dengan Sekolah Kerajinan Amal Setia dan
surat kabar Soenting Melajoe pada 1912.
Dunia pesantren sesungguhnya bukan dunia yang
timpang kepada perempuan. Pendidikan kepada
perempuan, bukan berarti tak hadir ketika pesantren
khusus perempuan belum ada hingga akhir abad ke 19.
Pendidikan kepada perempuan tetap diberikan oleh para
Kiyai-kiyai kepada keluarga mereka. Ketika pendidikan
bersifat massal kepada perempuan muncul dalam
lingkungan pesantren pun, hal itu lahir juga dari tangan
para Kiyai. Bukan karena campur tangan dari luar. Selain
lahirnya pendidikan pesantren khusus perempuan, kita
pun akan melihat lahirnya sosok ulama perempuan
di dunia pesantren di Jawa. Ia adalah Nyai Khoiriyah
Hasyim.
Lahir tahun 1906, sebagai putri kedua dari ulama besar,
Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, Khoiriyah Hasyim
hidup dalam naungan tuntunan Islam. Ia didik langsung
oleh KH Hasyim Asy’ari tanpa membaur dengan santri-
santri KH Hasyim Asy’ari. Terkadang dari balik tabir Nyai
Khoiriyah mendengar penjelasan dari KH Hasyim Asy’ari
mengenai agama Islam.[11]
Pada usia 13 tahun ia menikah dengan santri KH
Hasyim Asy’ari, yaitu Maksum Ali dari keluarga pesantren
Maskunambang, Gresik. Tahun 1921, Seperti lazimnya
dalam dunia pesantren, maka KH Maksum Ali kemudian
membuka Pesantren Seblak, sekitar 200 m dari
Tebuireng, di atas tanah yang pernah dibeli oleh KH
Haysim Asy’ari. KH Maksum Ali kemudian memimpin
sendiri pesantren tersebut.[12]
Ketika tahun 1933, KH Maksum Ali wafat. Maka
diusia yang masih muda, 27 tahun, Nyai Khoiriyah
Hasyim mengambil alih kepemimpinan pesantren
tersebut. Selama lima tahun ia memimpin Pesantren
Seblak (1933-1938). Di tahun 1938, ia menikahdengan Kiyai Muhaimin. Mengikuti sang suami, ia pun
pindah ke Mekkah. Selain untuk menunaikan ibadah
haji, kepergian sang suami ke Mekkah adalah untuk
menuntut ilmu dari para ulama di Tanah Suci.[13]
Di Tanah Suci, Nyai Khoiriyah tak bisa lepas dari dunia
pendidikan. Saat sang suami menjadi kepala Madrasah
Darul Ulum di Mekkah, menggantikan ulama besar
nusantara, Syekh Yasin Al-Fadany, tercetuslah ide untuk
membentuk madrasah putri pertama di Tanah Suci.
Pada tahun 1942 rencana tersebut akhirnya terwujud.
Sebuah madrasah khusus perempuan pertama di Tanah
Masjid Tebu Ireng tahun 1950-an
Sumber foto: AM Yasin &
Fathurrahman Karyadi, Profl
Pesantren Tebu Ireng, Pustaka Tebu
Ireng:2011
Nyai Khoiriyah, Ulama Perempuan yang Terlupakan
Di Tanah Suci, Nyai Khoiriyah tak bisa
lepas dari dunia pendidikan. Saat sang
suami menjadi kepala Madrasah Darul
Ulum di Mekkah, menggantikan ulama
besar nusantara, Syekh Yasin Al-Fadany,
tercetuslah ide untuk membentuk madrasah
putri pertama di Tanah Suci.
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
10/47
18 Syajarah SyajarahBeggy Rizkiyansyah
Suci akhirnya dibuka. Madrasah tersebut bernama
Madrasah Banat, yang menjadi bagian dari Madrasah
Darul Ulum. Hal ini tentu menjadi prestasi tersendiri
bagi umat Islam asal Indonesia yang mampu membuka
madrasah perempuan pertama di Mekkah. [14]
Kiprah Nyai Khoiriyah tak selamanya di Mekkah.
Tahun 1956, suaminya, Kiyai Muhamin wafat. Ia pun
akhirnya kembali ke tanah air setelah hampir 20 tahun
di Mekkah. Kepulangannya ke Indonesia juga untuk
memenuhi ajakan Presiden Soekarno saat itu, untuk
mengembangkan pesantren di Indonesia. Ia memang
bukan perempuan biasa. Kedalaman ilmunya diakui
banyak pihak. Mantan pemimpin Pesantren Tebuireng,
KH Yusuf Hasyim, menyebutnya Kiyai Putri. Dan karena
keluasan dan kedalaman ilmu beliau pula, Nyai Khoiriyahmenjadi satu-satunya perempuan yang mampu duduk di
ajaran Bahtsul Masail Nadhlatul Ulama. Bersama-sama
dengan kiyai sepuh lain di NU, Bashul Mashail menjadi
otoritas di NU yang bertugas membahas masalah-
masalah maudlu’iyah (tematik) dan waqi’iyah (aktual)
yang akan menjadi Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama.[15] Di katakan oleh KH. Yusuf Hasyim, Nyai
Khoiriyah mampu untuk berargumen dengan kiyai-kiyai
ain di Bahtsul Masail NU.[16]
Kapasitas ilmunya memang tak diragukan lagi. Di
Pesantren Salayah Seblak, Nyai Khoiriyah-lah yang
menguji kemampuan para calon Imam sholat Jumat
di sana. Ia menguji bacaan surat Al-Fatihah para calon
imam tersebut. Dan tidak semuanya bisa lolos dari
ujian tersebut. Ia pun aktif menulis mengenai Islam ke
media massa. Salah satunya adalah tulisannya yang
berjudul “Pokok Tjeramah dan Pengertian Antar Mazahib
dan Toleransinya” yang dimuat di majalah Gema Islam
tahun 1962. Dari tahun 1957 hingga tahun 1968,
gurnya tak bisa dilepaskan dari dunia pesantren. Di
pesantren Seblak sendiri berdiri Pesantren khusus
putri. Lahirnya Pesantren Seblak khusus putri ini tak
lepas dari dukungan KH Haysim Asy’ari. Adalah putri
Nyai Khoiriyah Hasyim, Nyai Abidah dan suaminya Kiyai
Machfudz Anwar, yang memelopori berdirinya pesantren
putri tersebut, saat Nyai Khoiriyah berada di Mekkah.
Tak heran jika jiwa pendidik menurun kepada putrinya,Nyai Abidah. Dengan tangan dingin Nyai Khoiriyah, Nyai
Abidah digembleng dengan pendidikan agama.[17]
Kiprahnya di Nadhlatul Ulama pun amat berpengaruh,
terutama di Muslimat NU. Muslimat NU didirikan
bertujuan untuk melaksanakan tujuan NU dikalangan
wanita, untuk melaksanakan syariat Islam menurut
haluan Ahlussunnah wal Jamaah. Di Nadhlatul Ulama
ia menjadi salah satu anggota Badan Syuriah PBNU.
Sebuah posisi yang hanya diiisi oleh kiyai-kiyai senior.[18]
Hingga akhir hayatnya, hidupnya selalu dipenuhi
panggilan berdakwah. Ia mengisi berbagai majelis taklim. Di pesantren, ia menekankan pada santriwati untuk
menuntut aurat. Ia sendiri yang menjadi contoh para santriwati dalam menutup aurat, dengan mengenalkan
Kerudung Rubu.’ Sebuah model kerudung yang menutup aurat, dan menyerupai jilbab. Namun sayang, Kiprah dan
perjuangan Nyai Khoiriyah sebagai ulama perempuan kini seperti terlupakan.
Kiprahnya sebagai ulama perempuan membuktikan bahwa kehadiran perempuan tetap bermakna besar bagi
pesantren dan pendidikan di Indonesia. Benih ilmu yang ditaburnya merentang dari Jombang hingga Mekkah. Nyai
Khoiriyah hanyalah salah satu dari banyak muslimah pembawa perubahan di Indonesia. Berbagai partisipasi dan
prestasi muslimah di Indonesia bertitik tolak bukan dari argumen kesetaraan gender yang berhawa feminisme.
Kiprah mereka, justru bertolak dari kecintaan pada Islam dan tetap berjalan di jalan Islam.
[1] Lihat misalnya Muttaqien, Farid. 2015. Early Feminist Consciousness and Idea Among Muslim Women in 1920s
Indonesia. Jurnal Ilmiah Peuradeun Vol. 3 No. 1.dan Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan
Kontekstual., Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: INIS
[2] Ayub. 2015. Misrepresentasi Muslimah dalam Wacana Feminisme. HYPERLINK “http://thisisgender.com/
misrepresentasi-muslimah-dalam-wacana-feminis-1/” http://thisisgender.com/misrepresentasi-muslimah-
dalam-wacana-feminis-1/ diunduh pada 24 April 2015.
[3] Carey, Peter. 1975. A Further Note on Professor Johns Gift Addressed to The Spirit of The Prophet. Leiden:
Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 131 No: 2/3
[4] Fathurrahman, Oman.Sejarah Pengkafran dan Marjinalisasi Paham Keagamaan di Melayu dan Jawa. Analisis,
Vol. 11, No. 2, Desember 2011
[5] Van Bruissen, Martin. Kitab Kuning dan Perempuan, Perempuan dan Kitab Kuning (Makalah Pembanding
dalam Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual., Kumpulan Makalah Seminar . Jakarta:
INIS
[6] Umam, Saiful. 2013. God’s Mercy is Not Limited To Arabic Speakers: Reading Intellectual Biography of
Muhammad Saleh Darat and His Pegon Islamic Texts. Studia Islamika Vol. 20 No. 2
[7] Kuntowijoyo. Arah Pengembangan Organisasi Wanita Islam Indonesia: Kemungkinan-kemungkinannya
(makalah utama) dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual., Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: INIS
[8] Ro’fah. 2000. A Study of ‘Aisyiyah: An Indonesian Women Organization (1917-1998). Canada: Insititute of
Islamic Studies, McGill University. Tesis tidak diterbitkan.
[9] Ibid.
[10] Mantovani , Sarah. Hari Ibu: Menolak Feminisme Sejak Dahulu. Jejak Islam untuk Bangsa. HYPERLINK “http://
jejakislam.net/?p=544” http://jejakislam.net/?p=544 diunduh pada 24 April 2015.
[11] Srimulyani, Eka. 2012. Women from Islamic Education Institutions in Indonesia: Negotiating Public Spaces.
Amsterdam: Amsterdam University Press.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,14-t,lembaga-.phpx
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Baidlowi, Asiyah Hamid. Profl Organisasi Wanita Islam: Studi Kasus Muslimat NU (Makalah Utama) dalam
Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual., Kumpulan Makalah Seminar . Jakarta: INIS
Pondok Salayah Syaiiyah Seblak,
Jombang di masa kini.
Sumber foto : www.seblak.net
Nyai Khoiriyah, Ulama Perempuan yang Terlupakan
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
11/47
20 Syajarah SyajarahSarah Mantovani
Adanya Hari Ibu, fungsi dan peran perempuan, oleh
organisasi-organisai perempuan Indonesia, dikembalikan
pada tempatnya semula karena pada tahun-tahun
tersebut telah lahir gerakan-gerakan feminisme yang
menuntut persamaan hak antara laki-laki dengan
perempuan, seperti Poetri Merdika[2] yang didirikan pada
tahun 1912 di Jakarta dengan bantuan Budi Utomo dan
mempropagandakan gagasan-gagasannya mengenai
emansipasi melalui koran mereka Poetri Merdika,
kemudian Istri Sedar , didirikan di Bandung pada tahun
1930, yang akhirnya berganti nama menjadi Gerakan
Wanita Indonesia (Gerwani) setelah sembilan tahun
Indonesia merdeka.[3]
Corak feminis yang melekat pada Istri Sedar terlihat
dari berbagai tulisan para anggotanya yang dimuat
dalam koran mereka bernama Sedar, salah satunya
dalam tulisan berjudul “Persamaan Hak dan Persamaan
Kewadjiban”, bulan September-Oktober 1931, “Apakah
kewadjiban dari perempoean Indonesia sekarang?
Ialah bekerdja soepaja sebagai manoesia sepenoeh-
penoehnja sebagai manoesia, jaitu soepaya diakui
bahwa haknja haroes sama dengan lelaki” .
Kemudian seiring dengan pergantian rezim dan semakin
berkembangnya pergerakan perempuan Indonesia
yang ditandai dengan munculnya organisasi, lembaga-
lembaga maupun pusat studi wanita yang beraliran
feminisme, Hari Ibu seakan-akan telah tergantikan
dengan Hari Perempuan Sedunia yang diperingati
setiap tanggal 08 Maret. Hari perempuan lebih patut
diperingati daripada Hari Ibu, karena kata “ibu” sendiri
mencerminkan penindasan bagi perempuan dan
dianggap mempersempit ruang gerak perempuan.
Penolakan feminis terhadap domestikasi perempuan
atau peran perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga
menuai dukungan dari seorang feminis Indonesia
dengan melahirkan istilah “Ibuisme negara”. Istilah ini
juga disebut-sebut sebagai respon atasPancadharma
yang dibuat pada era pemerintahan Soeharto.
Pemerintahaan pada era Soeharto saat itu,
sebagaimana yang ditulis Dewi Candraningrum, dalam
makalahnya Negara, Seksualitas dan Pembajakan
HARI IBUMENOLAK FEMINISME
SEJAK DAHULUNarasi Ibu, merumuskan peran kaum wanita ke dalam
lima kewajiban (Pancadharma, pen), yaitu: Pertama,
wanita sebagai istri pendamping suami. Kedua, wanita
sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda.
Ketiga, wanita sebagai pengatur ekonomi rumah tangga.
Keempat, wanita sebagai pencari nafkah tambahan.
Kelima, wanita sebagai anggota masyarakat, terutama
organisasi wanita, badan-badan sosial, dan sebagainya
yang menyumbangkan tenaga kepada masyarakat.[4]
Ibuisme negara dalam perspektif feminis merupakan
Weltanschauung (pandangan dunia, pen) yang
memangkas identitas eksistensial perempuan sebagai
manusia seutuhnya. Darinya perempuan dibonsai,
dipangkas, dikerdilkan, direduksi, pada arena domestik
– sebagai istri, sebagai ibu, sebagai pendidik dan
penanggung jawab terhadap anak, dan penyokong
negara. Memenjara Ibu hanya pada fungsi-fungsi di
atas juga dianggap feminis bersifat sangat Freudian,
ekslusif, tidak egaliter, subordinatif dan represif terhadap
perempuan. [5]
76 tahun yang lalu atau pada tahun 1938,
organisasi-organisasi perempuan Indonesia
mengadakan Kongres Perempuan di Bandung.
Kongres tersebut memutuskan agar setiap tanggal
22 Desember dijadikan sebagai Hari Ibu dengan
semboyan “ Merdeka Melaksanakan Dharma”.
Maka, tulis Sujatin Kartowijono dalam bukunya
Perkembangan Pergerakan Wanita Indonesia,
kaum wanita mulai menghayati cita-cita Ibu
Keluarga, Ibu Masyarakat, dan Ibu Bangsa.[1]
Oleh : Saah Manovani
Aluni Pascasajana Univesias Muhamadiyah Suakara
enolakan feminis
terhadap domestikasi
perempuan atau peran
perempuan sebagai Ibu
Rumah Tangga menuai
dukungan dari seorang
feminis Indonesia
dengan melahirkan
istilah “Ibuisme negara”
P
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
12/47
22 Syajarah SyajarahSarah Mantovani
badannja, lemboet pikirannja, lemah perasaannja,
tidak sama dengan laki-laki, adalah kasar, koewat,
keras, teristimewa perempoean itoe mengoeroes
kewadjibannja sendiri seperti: mengandoeng anak,
melahirkan, memberi air soesoe anak, mengasoeh,
mendidik, dsb, maka tentoelah tidak dapat sempoerna
akan mendjalankannja kewadjibannja sendiri. apakah
baik kesehatan iboe jang sedang sedang dirinja
mengandoeng anak, dengan beres bolehnja bekerdja di
goedang-goedang? Apa kiranja bisa menggali goenoeng
dengan berhenti melahirkan anak?? Apakah dapat
berbaris dengan memberi air soesoe anaknja??? Apakah
sempoerna bolehnja mengasoeh anaknja djika ia
mendjadi poelitie (Polisi, red) atau resisir???. Soedahlah
soedah!! Soenggoeh moestahil sekali dan tidak dapat,
karena bertentangan dengan natuur.”
Selain itu, Pengurus Ibu Sibolga, Medan, melalui
korannya Soeara Iboe edisi Juni 1932 juga menekankan
agar pergerakan perempuan Indonesia jangan sampai
seperti perempuan Barat.“Djadi semestinja bagi kita
kaoem perempoean tentangan jang hendak madjoe
dalam pergerakan itoe, hendaklah djangan sampai
sebagai mereka (perempoean Barat)”.
Lalu salah satu Panitia Peringatan Hari Lahir R.A
Kartini, Soekarsih, menuturkan dalam artikelnya di
koran Merdeka edisi 20 April 1946, bahwa perempuan
Indonesia tidak perlu mengejar emansipasi. “Kini
kita tidak begitoe perloe mengedjar “emansipasi”
Padahal, faktanya, gerakan-gerakan perempuan
Indonesia dulu menolak persamaan hak berbungkus
emansipasi, di sisi lain mereka tidak merasa
disubordinasi, di eksklusifkan, diperlakukan represif,
direndahkan maupun ditindas karena peran mereka
sebagai Ibu Rumah Tangga maupun sebagai Ibu
Pendidik.
Penolakan ini tercermin dalam koran-koran yang mereka
tulis, seperti Soenting Melajoe pada edisi 31 Desember
1914, koran yang didirikan oleh Ruhana Kudus – Jurnalis
Muslimah pertama di Indonesia asal Sumatra Barat.
Intinya tertulis bahwa memuliakan perempuan tidak
boleh melebihi martabat laki-laki,
“Maka dari sebab itoe haroeslah pada pikiran saja
yang hina lagi bodoh ini soepaja kita bersama-sama
memoeliakan perempoean kita itoe (tetapi) tidak b oleh
melebihi martabat laki-laki, soepaja perboeatan maasiat
itoe tiada dilakoekan dengan begitoe gampang sekali
dan dengan demikian ini terselamat bangsa kita dari
pada kehinaan doenia dan nista bangsa-bangsa lain
serta terpelihara mereka itoe daripada hoekoeman
achirat jang siksa dan sengsara itoe” .
Kemudian koran Isteri edisi Desember 1929 milik
Perikatan Perempuan Indonesia (PPI), dimana Jong
Islamieten Bond Dames Afdeeling (JIB perempuan) dan
Aisiyah tergabung di dalamnya, ikut menolak feminisme,
“Dari sebab orang perempoean itoe di titahkan halus
atau “persamaan hak” karena sebagian besar dari
masjarakat kita telah menghargai kedoedoekan wanita”.
Penolakan-penolakan tersebut memperlihatkan bahwa
organisasi-organisasi perempuan Indonesia yang
pada tahun 1938 mengadakan kongres di Bandung
membawa semangat anti-feminisme, selain menyerukan
semangat anti imperalisme dan kolonialisme. Kalaulah
para organisasi perempuan saat itu tidak membawa
semangat anti-feminisme, pastilah mereka tidak
menamakan hari perempuan dengan hari ibu.
Sumber Pustaka:
[1] Sujatin Kartowijono, Perkembangan Pergerakan
Wanita Indonesia, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1977),
hlm. 7.
[2] Mr. A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat
Indonesia, (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1960), hlm.
34. Lihat juga Sartono Kartodirdjo, et. al., Sejarah
Nasional Indonesia, (Solo: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1975), hlm. 248.
[3] Ibid., hlm. 184. Lihat juga Sartono Kartodirdjo, et. al.,
Sejarah…, hlm. 250.
[4] Dewi Candraningrum. Negara, Seksualitas dan
Pembajakan Narasi Ibu, hlm. 9. Makalah
disampaikan dalam seminar Great Thinkers:
Mengkaji Kembali Gagasan Julia Suryakusuma: State
Ibuism di Era Pasca Orde Baru, Ruang Seminar lantai
lima, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Rabu 24 April 2013.
[5] Ibid, hlm. 4.
Hari Ibu: Menolak Feminisme Sejak Dahulu
“DJADI SEMESTINJA BAGI KITA KAOEM PEREMPOEAN
TENTANGAN JANG HENDAK MADJOE DALAM PERGERAKAN
ITOE, HENDAKLAH DJANGAN SAMPAI SEBAGAI MEREKA
(PEREMPOEAN BARAT)”
1932
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
13/47
24 Syajarah Syajarah
PERJALANAN PANJANG
DI INDONESIA
JILBAB
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
14/47
26 Syajarah SyajarahAndi RyansyahPerjalanan Panjang Jilbab di Indonesia
Berbicara mengenai jilbab di Indonesia, terutamamengenai sejarahnya bukan perkara mudah. Tak banyak
tulisan yang memuat khusus mengenai itu. Sumber-
sumber sejarah yang menyingkap perjalanan jilbab di
tanah air pun tidak melimpah, setidaknya jika berkaitan
dengan sumber sejarah sebelum abad ke 20. Namun
mengingat pentingnya jilbab sebagai bagian dari syariat
Islam dalam kehidupan umat Islam saat ini, tulisan ini
akan menelusuri perjalanan jilbab di tanah air.
Kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita muslim
amat mungkin sudah diketahui sejak lama. Sebab
telah banyak ulama-ulama Nusantara yang menuntut
ilmu di Tanah Suci. Ilmu yang ditimba di tanah suci,
disebarkan kembali ke tanah air oleh para ulama
tersebut. Kesadaran untuk menutup aurat sendiri,
pastinya dilakukan setidaknya ketika perempuan sedang
sholat . G.F Pijper mencatat, istilah ‘Mukena’, setidaknya
telah dikenal sejak tahun 1870-an di masyarakat sunda.
Meskipun begitu, pemakaian jilbab dalam kehidupan
sehari-hari tidak serta merta terjadi di masyarakat. [1]
Satu hal yang pasti, sejak abad ke 19, pemakaian
jilbab telah diperjuangkan di masyarakat. Hal itu terlihat
dari sejarah gerakan Paderi di Minangkabau. Gerakan
revolusioner ini, turut memperjuangkan pemakaian jilbab
di masyarakat.[2]
Kala itu, mayoritas masyarakat Minangkabau tidak
begitu menghiraukan syariat Islam, sehingga banyak
sekali terjadi kemaksiatan. Menyaksikan itu, para ulama
paderi tidak tinggal diam. Mereka memutuskan untuk
menerapkan syariat Islam di Minangkabau, termasuk
aturan pemakaian jilbab. Bukan hanya jilbab, aturan ini
bahkan mewajibkan wanita untuk memakai cadar. [3]
Akibat dakwah Islam yang begitu intens di Minangkabau,
Islamisasi di Minangkabau telah meresap sehingga
syariat Islam meresap ke dalam tradisi dan adat
masyarakat Minang. Hal ini dapat kita lihat dari bentuk
pakaian adat Minangkabau yang cenderung tertutup.
Di Aceh, seperti juga di Minangkabau, di mana dakwah
Islam begitu kuat, pengaruh Islam juga meresap
hingga ke aturan berpakaian dalam adat masyarakat
Aceh. Adat Aceh menetapkan, “orang harus berpakaian
sedemikian rupa sehingga seluruh badan sampa kaki
harus ditutupi. Dari itu, sekurang-kurangnja mereka
telah berbadju, bercelana, dan berkain sarung.
Ketjantikan dan masuk angin sudah terdjaga dengan
sendirinya. Kepalanja harus ditutup dengan selendang
atau dengan kain tersendiri.” [4]
Di Sulawesi Selatan, Arung Matoa (penguasa) Wajo, yangdi panggil La Memmang To Appamadeng, yang berkuasa
dari 1821-1825 memberlakukan syariat Islam. Selain
pemberlakuan hukum pidana Islam, ia juga mewajibkan
kerudung bagi masyarakat Wajo.[5]
Menjelang abad ke 20, teknologi cetak yang telah lazim
di tanah air turut membantu penyadaran kewajiban
perempuan untuk berjilbab di masyarakat. Sayyid
Uthman, seorang ulama dari Batavia menulis persoalan
jilbab ini dalam bukunya Lima Su’al Didalam Perihal
Memakai Kerudung yang terbit pada Oktober 1899. [6]
Tidak hanya perkembangan teknologi cetak, gerakan
reformasi Islam dari timur tengah, khususnya dari
Mesir turut mempengaruhi dakwah di Indonesia. Salah
satunya yang terdapat di Sumatera Barat.
Gerakan yang dipelopori oleh ‘Kaoem Moeda’ ini
menggemakan kembali kewajiban jilbab di masyarakat
Minangkabau. Syaikh Abdul Karim Amrullah yang
biasa dikenal dengan nama Haji Rasul ini, amat vokal
menyuarakan kewajiban wanita muslim menutup aurat.
Menurutnya, aurat wanita itu seluruh tubuh.[7] Ayah
Buya Hamka ini mengkritik keras kebaya pendek khas
Minangkabau. Kritik beliau dapat kita lihat dalam
bukunya,Cermin Terus. Kritik keras terhadap pakaian
wanita ini kemudian menjadi polemik di masyarakat. [8]
Diceritakan oleh Buya Hamka dalam bukunya yang
berjudul Ayahku; Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim
Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera
bahwa ayahnya menentang kebaya pendek itu karenatidak sesuai dengan hadits Nabi dan pendapat ulama-
ulama. Memang, lanjut Buya, ada kebaya pendek yang
sengaja digunting untuk menunjukkan (maaf ) pangkal
salah satu bagian tubuh wanita. [9]
Di pulau Jawa, banyaknya wanita muslim yang tidak
menutupi kepala, mendorong gerakan reformis muslim
menyiarkan kewajiban jilbab. Pendiri Muhammadiyah
KH. Ahmad Dahlan aktif menyiarkan dan menyatakan
bahwa jilbab adalah kewajiban bagi wanita Muslim
sejak 1910-an. Ia melakukan dakwah jilbab ini secara
bertahap.
Oleh : Andi Ryansyah
Penggia Jejak Isla unuk Bangsa
“Orang harus berpakaian sedemikian rupa sehingga seluruh badan
sampa kaki harus ditutupi. Dari itu, sekurang-kurangnja mereka
telah berbadju, bercelana, dan berkain sarung. Ketjantikan dan
masuk angin sudah terdjaga dengan sendirinya. Kepalanja harus
ditutup dengan selendang atau dengan kain tersendiri.”
Ilustrasi perempuan pada masa Paderi
Sumber foto: Dobbin, Christiine.
1983. Islamic Revivalism in Changing
Peasant Economy; Central Sumatera
1784-1847. Curzon Press: London and
Malmo
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
15/47
28 Syajarah Syajarah
Awalnya ia meminta untuk memakai kerudung meskipun
rambut terlihat sebagian. Kemudian ia menyarankan
mereka untuk memakai Kudung Sarung dari Bombay.
Pemakaian kudung ini dicemooh oleh sebagian orang.
Mereka mencemoohnya dengan mengatakan,“Lunga
nang lor plengkung [10] , bisa jadi kaji” (pergi ke utara
plengkung, kamu akan jadi haji). Namun KH. Ahmad
Dahlan tak bergeming. Ia berpesan kepada murid-
muridnya,“Demit ora dulit, setan ora Doyan, sing
ora betah bosok ilate,” (Hantu tidak menjilat, setan
tidak suka yang tidak tahan busuk lidahnya). Upaya
menggemakan kewajiban jilbab ini terus berjalan.
Tak hanya itu, ia mendorong wanita untuk belajar dan
bekerja sesuai potensinya, semisal menjadi dokter, ia
tetap menekankan wanita untuk menutup aurat dan
melakukan pemisahan antara laki-laki dan perempuan.
11] Organisasi Muhammadiyah sendiri pernah
mengungkapkan aurat wanita adalah seluruh badan,
kecuali muka dan ujung tangan sampai pergelangan
tangan.[12]
Organisasi Al Irsyad juga turut menyuarakan kewajiban
ilbab bagi para wanita. Di Pekalongan, Jawa Tengah,
kongres Al Irsyad telah membahas isu-isu wanita yang
berjudul Wanita dalam Islam Menurut Pandangan
Golongan al-Irsyad. Salah satu hasil kongresnya
menyarankan anggota wanitanya untuk menutupi kepala
dan tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangan. [13]
Selain Muhammadiyah dan Al Irsyad, Persis menjadi
organisasi yang amat gigih dan aktif menyuarakan
kewajiban jilbab bagi wanita. Melalui majalah Al-
Lisaan tahun 1935, Persis secara tegas menyatakan
tubuh wanita yang boleh kelihatan hanya muka dan
pergelangan tangan. Itu artinya rambut dan kepala
wanita harus ditutup. [14]Tokoh Persis, Ahmad Hassan
menulis syiar pertamanya tentang kewajiban jilbab
bagi wanita Muslim pada tahun 1932. Anggota wanita
dari Persis pun mengenakan gaya jilbab yang berbeda.
Mereka benar-benar menutupi kepala mereka dan
hanya menunjukkan wajah. Rambut, leher, telinga dan
bagian dada tertutup oleh jilbab. Mereka memakainya
tidak hanya ketika melakukan perayaan atau kegiatan
keagamaan, tapi juga sebagai pakaian sehari-hari. Ini
sebuah kebiasaan baru dan disertai keyakinan bahwa
bila wanita yang tidak menutupi kepalanya, maka akan
masuk neraka. Hal ini mengundang reaksi sebagian
masyarakat. Bahkan akibat memakai jilbab sesuai
arahan Persis ini, di Pamengpeuk, seorang muslimah
dilempari batu.[15]
Kegigihan memperjuangkan jilbab, tak hanya dilakukan
oleh organisasi muslim reformis. Nahdlatul Ulama
(NU) menyuarakan hal yang sama. Saat Kongres
Nahdlatoel Oelama ke-XIII yang digelar pada Juni tahun
1938, di Banten, NU Cabang Surabaya mengusulkan
agar kaum ibu dan murid-mur id Madrasah Banaat
NO memakai kudung model Rangkajo Rasuna Said.
Alasannya agar kaum ibu menutup auratnya sesuai
syariat Islam.”Berhubung dengan jang dibilang aurat
dari perempoean itu adalah seloeroeh badannja,
teroetama ramboet, tangan, dsb. Itoe telah diketahoei
oleh oemoem, maka itoelah sebabnja, Soerabaja tetap
mempertahankan pendiriannja, karena jang dimaksoed
oleh oesoel itu, hanjalah penoetoepan rambut sadja
(dan dengan sendirinja leher tertoetoep djoega oleh
keadaan jang sangat memaksanja). Soerabaja tak akan
merobah pendiriannja itoe.”[16]
Lebih dari itu, KH. Tohir Bakri mengungkapkan alasan
cabang tersebut karena sesuai dengan hukum-hukum
Islam dan terdorong untuk mencegah timbulnya korban
dari kaum ibu pada zaman modern. Mendengar hal ini,
HBNO (PBNU) mendukung usul itu, sebab kaum ibu
akan menjadi contoh bagi orang awam, kemudian turut
menjaganya dari kemaksiatan, dan menghargai kaum
ibu di tengah kemaksiatan yang merajalela.[17]
Akhirnya, Voorzitter memutuskan ustadzah-ustadzah
dan murid-murid Madrasah Banaat NO memakai
kudung model Rangkajo Rasuna Said. Keputusan
ini diambil berdasarkan pertimbangan keadaan dan
kebiasaan suatu tempat yang berbeda-beda serta belum
ada organisasi khusus bagi kaum ibu NU. [18] Dalam
keputusan Muktamar NU ke-8 di Jakarta, tanggal 2
Muharram 1352 H/ 7 Mei 1933, diungkap bahwa
menurut pendapat yang paling shahih dan terpilih,
seluruh anggota badan wanita merdeka itu aurat kecuali
wajahnya dan kedua telapak tangannya, baik bagian
dalam ataupun luarnya.[19]
Tahun 1940 di Solo, dua orang tokoh keturunan
Bani Alawi, Idrus Al-Mansyhur dan Ali Bin yahya mulai
menggerakkan dakwah pemakaian ‘berguk’ bagi wanita.
‘Berguk’ berasal dari kata Burqa. Di sebuah pertemuan
yang dihadiri 60 orang, terdapat keprihatinan di
kalangan mereka akan degradasi moral kaum wanita.
Ketika itu dibicarakan, sudah banyak wanita yang keluar
tanpa kerudung. Sebagai keturunan Rasulullah SAW,
mereka merasa telah mengkhianati beliau. Ahmad bin
Abdullah Assegaf, Segaf Al Habsyi dan Abdul Kadir Al
Jufri sependapat untuk mewajibkan Berguk kepada
wanita dikalangan Alawiyyin. Dakwah ini tidak hanya
di Solo, namun mulai merebak ke Surabaya dan
menimbulkan pertentangan. Namun akhirnya kampanye
pemakaian‘Berguk’ surut dengan sendirinya.
Upaya memperjuangkan jilbab tak sedikit mendapat
pertentangan. Perang kata-kata melalui media massa
mewarnai era 1930-40an. Majalah Aliran Baroe yang
beraliasi dengan Partai Arab Indonesia (PAI), tidak
mendukung kewajiban jilbab. Majalah ini berseteru
dengan beberapa pihak. Sikap PAI yang tidak mengurusi
soal jilbab ini mendapat kritikan dari Siti Zoebaidah
melalui majalah Al Fatch. Lewat majalah milik Aisyiyah
–organisasi perempuan yang menginduk pada
Muhammadiyah- ini[20], Siti Zoebaidah menegaskan
bahwa wajib bagi kaum muslimat memakai jilbab.[21] Kaum Aisyiyah memang dikenal selalu memakai
jilbab. Hal ini diungkap dalam Majalah Berita Tahunan
Muhammadiyah Hindia Timur 1927 bahwa, “Rambut
kaum Aisyiyah selalu ditutup dan tidak akan ditunjukkan,
sebab termasuk aurat.”[22]
Perjuangan Berat di Masa Orde Baru
Jika pada masa sebelum kemerdekaan perjuangan jilbab
diwarnai polemik di media massa, namun di orde baru
perjuangan jilbab semakin berat. Perjuangan umat Islam
khususnya muslimah mendapat tentangan keras dari
pemerintah, khususnya pejabat dinas pendidikan dan
pihak militer.
Militer, dalam hal ini Angkatan Darat, muncul sebagai
kekuatan yang sangat dominan dalam panggung politik
Andi RyansyahPerjalanan Panjang Jilbab di Indonesia
ATAS : Rasuna Said
TENGAH : Salah satu iklan kerudung di Majalah Mingguan Muhammadiyah, Adil.
BAWAH: Ilustrasi ‘Berguk’ (burqa) di Majalah Aliran Baroe, “Mana Dia?
Bergoeknya Toean Bin Yahya Masyhoer,” No. 21 (1940), p. 19
ATAS: Sumber Foto: Majalah Pedoman Masjarakat 1 September 1937/
Dokumentasi Sarah Mantovani
TENGAH: Sumber Foto: Tantowi, Ali , The Quest of Indonesian Muslim Identity
Debates on Veiling from the 1920s to 1940s, Journal of Indonesian
Islam, The Circle of Islamic and Cultural Studies: Jakarta, Volume 04,
Number 01, June 2010
BAWAH: Sumber: Tantowi, Ali , The Quest of Indonesian Muslim Identity Debates
on Veiling from the 1920s to 1940s, Journal of Indonesian Islam, The
Circle of Islamic and Cultural Studies: Jakarta, Volume 04, Number 01,
June 2010
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
16/47
30 Syajarah Syajarah
orde baru. Militer Indonesia mendominasi posisi-posisi
strategis baik eksekutif, legislatif, maupun birokrasi.
Pada tahun 1972, 22 dari 26 gubernur adalah bekas
perwira militer, demikian juga 67 % dari bupati dan
camat serta 40% dari kepala desa.[23]
Selama dua dekade pemerintahan orde baru, terhitung
71,4 % posisi-posisi strategis dalam birokrasi pusat
yang tertinggi diduduki militer. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan sendiri untuk tahun 1982 terdiri dari
44 % militer. Sejarawan Alwi Alatas menilai salah satu
tujan utama dominasi militer ini adalah untuk mengawal
tercapainya tujuan orde baru. Pemerintah orde baru
mencita-citakan suksesnya program pembangunan yang
mereka canangkan dan untuk itu dibutuhkan kestabilan
politik dan ekonomi yang ditopang kuat oleh kestabilan
pertahanan dan keamanan.[24]
Hal senada juga diungkapkan oleh sejarawan Tiar Anwar
Bachtiar. Menurutnya, dalam membangun stabilitas
politik dan keamanan serta pemulihan ekonomi
negara, Soeharto dikelilingi tentara dan teknokrat.
Tentara digunakan sebagai kekuatan untuk pemulihan
keamanan nasional, sedangkan teknokrat dimanfaatkan
untuk mewujudkan target ekonomi pemerintah orde
baru. [25]
Dominasi militer ini sangat dirasakan oleh para ulama.
Ruang gerak mereka untuk menyiarkan nilai-nilai agama
sering kali harus berbenturan dengan pihak militer yang
kerap dirasakan sebagai anti Islam. Sifat birokrasi militer
yang kaku telah membuat kalangan Islam menemui
kesulitan untuk memperjuangkan aspirasinya agar
diterima oleh pemerintah, termasuk dalam masalah
jilbab di kalangan pelajar putri.
Salah satu hal yang menggelitik untuk dikaji lebih jauh
adalah masuknya watak militerisme dalam kebijakan-
kebijakan Depdikbud. Kebijakan wajibnya seragam
sekolah dalam SK Dirjen Dikdasmen No.052 tahun 1982
tampaknya mengindikasikan hal itu.
Di dalam SK itu, sebenarnya tidak dilarang penggunaan
jilbab oleh pelajar-pelajar muslimah di SMA-SMA Negeri,
hanya saja, bila mereka ingin memakai jilbab di sekolah,
maka harus secara keseluruhan pelajar puteri di
sekolah memakai jilbab.
Dengan kata lain hanya ada satu paket seragam saja
di sekolah. Dan pilihan untuk pelajar-pelajar muslimah:
pakai jilbab seluruhnya atau tidak sama sekali? Tentu
tidak aneh bila hal ini menimbulkan tanda tanya,
terutama di kalangan yang mendukung jilbab. Apakah
ini sebuah bentuk penerapan budaya militer di sekolah-
sekolah menengah negeri atau hanya sekadar keinginan
mengenakan jilbab menjadi mustahil bagi kebanyakan
pelajar muslimah? [26]
Upaya yang dilakukan pemerintah lewat pihak sekolah
dalam menyelesaikan masalah larangan jilbab juga
memperlihatkan pendekatan militer di dalamnya.
Contohnya, ketika Ratu, salah seorang pelajar putri
yang berusaha memakai jilbab maka hal ini menjadi
bermasalah dengan pihak sekolah. Muttaqien, salah
seorang anggota keluarga Ratu menganggap bahwa
pemerintah pada saat itu menghadapi munculnya
jilbab di SMA-SMA Negeri dengan security approach
(pendekatan keamanan). Ketika datang ke SMAN 68
untuk membicarakan masalah adiknya, ia menemui
Kepala Sekolah, Subandio. Namun pada saat itu
Subandio didampingi oleh seorang Kolonel Ass. Intel
Kodam Jaya. Ketika itu ia diancam akan ditangkap kalau
“macam-macam.” SMAN 68 sendiri pada saat ia datang,
dijaga oleh mobil militer. Tetapi Muttaqien mengakui juga
bahwa keadaan itu terjadi karena anak buahnya di PII-di
luar pengetahuannya- telah menteror Subandio, bahkan
dengan ancaman “Bapak besok akan mati!”
Selain itu, rumah para siswi berjilbab, atau orang-orang
yang dianggap memengaruhi siswi-siswi berjilbab,
didatangi oleh intelijen. Ketua RT mereka ditanyai dan
diberi peringatan untuk berhati-hati terhadap mereka.
Pihak keluarga didatangi dan diberi ancaman.[27]
Terlihat juga ketidakpahaman guru maupun pejabat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud/
P dan K) terhadap masalah hukum Islam dalam hal
pakaian muslimah. Sebagai contoh, tidak lama setelah
kemunculanSK 052, terjadi kasus pelarangan jilbab
di SMAN 3 Bandung pada tahun 1982. Wargono, guru
olah raga di sekolah itu mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan
menyatakan masalah pakaian dikembalikan kepada ciri-
ciri (tradisi setiap bangsa). Menurutnya, penutup aurat
yang dituntut oleh ayat-ayat tersebut perlu disesuaikan
dengan kebiasaan masyarakat Indonesia dan bukan
menurut kebiasaan di tempat Islam berasal. Guru olah
raga ini mewajibkan murid-muridnya mengenakan hot
pants (celana pendek diatas lutut) pada saat pelajaran
olah raga. Siswi-siswi berjilbab yang bertahan ingin
mengenakan training pack diancam mendapat nilai 2 di
rapor untuk mata pelajaran olah raga.[28]
Awal tahun 1980-an memang merupakan periode
konik antara Islam dan Pemerintah. Kedua pihak saling
berlawanan atau konik antara Islam dan pemerintah.
Kedua pihak kerap bersitegang. Politik Pemerintah
Orde Baru yang represif terhadap umat Islam turut
memperkeruh persoalan ini. [29]
Pada kasus jilbab ini, Depdikbud rupaya tidak bisa
menutupi sikap curiganya terhadap siswi berjilbab.
Sebagaimana pada kasus Tri Wulandari di Jember. Pihak
Kodim 0824 Jember sempat memanggilnya karena
dicurigai sebagai anggota ‘Jamaah Imron’. Jilbab pada
saat itu dianggap sebagai perwujudan gerakan politik
yang mengancam pihak pemerintah.
Maret 1984, pihak Depdikbud mengeluarkan penjelasan
tentang pakaian seragam sekolah (bagi keperluan
intern jajaran Depdikbud). Di dalamnya secara jelas
menguraikan sudut pandang Depdikbud terhadap
bermunculannya jilbab di sekolah-sekolah negeri serta
protes-protes sekelompok masyarakat terhadap SK 052.
Sikap sekelompok masyarakat tersebut dimanfaatkan
Andi RyansyahPerjalanan Panjang Jilbab di Indonesia
Guru olah raga ini mewajibkan murid-muridnya
mengenakan hot pants (celana pendek diatas lutut)
pada saat pelajaran olah raga. Siswi-siswi berjilbab
yang bertahan ingin mengenakan training pack diancam
mendapat nilai 2 di rapor untuk mata pelajaran olah raga.
Ilustrasi perempuan di Majalah Aliran
Baroe
Sumber Foto: Tantowi, Ali , The Quest
of Indonesian Muslim Identity
Debates on Veiling from the 1920s to
1940s, Journal of Indonesian Islam,
The Circle of Islamic and Cultural
Studies: Jakarta, Volume 04,
Number 01, June 2010
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
17/47
32 Syajarah Syajarah
oleh golongan tertentu untuk menentang pemerintah,
antara lain memperalat siswi di beberapa sekolah
pada beberapa kota besar untuk mengenakan sejenis
pakaian yang menyimpang/tidak sesuai dengan
ketentuan pakaian seragam sekolah. Terutama sekali
perlu ditegaskan, bahwa pakaian seragam sekolah tidak
menentang ajaran Islam. Dan sebaliknya bahwa “aksi
ilbab” yang dilancarkan oknum-oknum tertentu, bukan
suatu gerakan agama, melainkan merupakan gerakan
politik.
Cara pandang seperti ini tampaknya menurun pada
sebagian guru, sehingga sikap mereka tidak ramah atau
bahkan membenci siswi-siswi yang memakai jilbab.
Seorang guru SMAN 31 Jakarta pernah menuding siswi
berjilbab di sekolah itu bahwa cara berpakaian mereka
“ mewakili gerakan tertentu.” Namun ketika ditanya
gerakan apa yang dimaksud, sang guru diam, tidak bisa
menjawab.
Salah satu siswi berjilbab di SMAN 68 Jakarta, di dalam
catatan hariannya, menuliskan perkataan salah seorang
guru agamanya, “Kalau kalian berjilbab karena Allah,
maka Bapak tidak dapat melarang kalian, tapi kalau
kalian berjilbab karena ada unsur-unsur politik dan
sebagainya, maka hal ini kami serahkan pada pihak
sekolah.”
Berangkat dari kenyataan-kenyataan di atas, maka tidak
mengherankan bila SK ini segera memakan korban.
Pelajar-pelajar berjilbab sampai ada yang dikeluarkan
dan dipindahkan dari sekolah, diskors, dicap seperti
gerakan laten PKI, diinterogasi di ruang BP, dikejar-kejar
kepala “robot” sekolah yang selalu berlindung di balik
kalimat, “Saya hanya melaksanakan perintah atasan”,
kemudian dimaki-maki oleh orang tua sendiri, dan lain
sebagainya.
Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi, bila pihak
Depdikbud konsisten dengan apa yang dinyatakannya.
Di dalam SK 052, tertulis adanya masa peralihan dua
tahun untuk menerapkan aturan seragam sekolah
nasional secara penuh. Jadi baru pada tahun ajaran
1984/1985 pakaian seragam ini baru digunakan secara
penuh. Sementara dalam Wartasiswa yang dikeluarkan
Depdikbud sendiri, dengan jelas menyatakan,
Keputusan yang mengatur ketentuan Pakaan seragam
sekolah secara nasional ini adalah suatu “Pedoman”,
bukan instruksi atau surat perintah, sehingga tidak
memuat sanksi atau bersifat paksaan. Jadi sanksi
hukum tidak ada, namun besar kemungkinan yang akan
terjadi adalah sanksi sosial yang datang dari sekolah
lain yang telah menerapkan atau dari tim penilai sekolah
teladan yang memasukkan kategori yang belum dapat
memenuhi kriteria.
Pada kenyataannya, bukan seperti itu yang terjadi.
Sanksi umumnya datang dari pihak Kepala sekolah dan
guru-guru dalam bentuk sindiran-sindiran, tekanan,
larangan belajar, hingga pengembalian pada orang
tua. Walaupun tidak ada pernyataan yang jelas-jelas
melarang jilbab atau jilbab, SK 052 segera menjadi
landasan bagi pihak sekolah untuk mengharamkan
pemakaian jilbab oleh siswi-siswi di sekolah tersebut.[30]
Tanggapan beberapa ormas Islam serta masyarakat
mulai bermunculan. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
(DDII) mengirimkan suratnya pada pengurus MUI pada
tanggal 8 Desember1982. Dalam surat setebal empat
halaman itu, DDII mengungkapkan keprihatinannya
atas masalah-masalah jilbab yang sedang terjadi. DDII
juga mengusulkan diadakannya “Musyawarah Ukhuwah
Islamiyah” yang melibatkan pemimpin ormas-ormas di
bidang pendidikan Islam untuk membicarakan masalah
tersebut. DDII terus berkorespondensi dengan MUI.
Pada akhir Desember mereka mengirimkan informasi
tambahan pada MUI tentang masalah yang sama, dan
sebulan berikutnya kembali mengirimkan informasi
tambahan yang mereka kumpulkan.
Pengurus PII Wilayah Jakarta mengirimkan surat
pernyataan, (pada tanggal 8 Januari 1983) kepada
semua pihak yang berwenang dan terlibat, antara lain
ditujukan kepada Ketua MPR-DPR, Menteri-menteri,
dan MUI, untuk ikut menuntaskan masalah jilbab.
Pada tanggal 17 Januari 1983, Pimpinan Pusat Badan
Pembela Masjidil Aqsho (BPMA) menyampaikan,
“Teriakan hati kepada semua pihak yang menangani
pendidikan.” Mereka menyatakan bahwa memakai
jilbab merupakan kewajiban bagi kaum mukminah,
pemakainya dijamin oleh konstitusi, dan pelarangannya
akan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Pengurus Pusat Wanita Muslim juga memberi perhatian
terhadap masalah ini dengan mengirim surat pada
tanggal 21 Januari 1983 yang ditujukankepada
Menteri P dan K. Dalam surat ini, Mendikbud diminta
untuk “mengambil kebijaksanaan dengan memberi
kelonggaran kepada mereka yang ingin berbusana
sesuai dengan keyakinan ajaran agamanya dan untuk
tetap dapat mengikuti pelajaran.”
Media massa Serial Media Dakwah dan Harian Pelita
turut membantu perjuangan jilbab. Mereka banyak
meliput pihak yang merasa dirugikan oleh permasalahan
jilbab ini. Pemberitaan Tempo pada tanggal 11
Desember 1982, yang berjudul “Larangan Buat Si
Kudung” walaupun hanya sekali memberi dukungan
tersendiri bagi pelajar-pelajar berjilbab.
Pada tanggal 15 Januari 1983, siswi-siswi yang berjilbab
dari SMA, SMEA, dan SGA Tangerang, Bekasi, dan
Jakarta juga mengajukan protes ke DPRD DKI Jakarta
menuntut agar dibolehkan mengikuti pelajaran dengan
tetap mengenakan pakaian muslimah.[31]
Pada masa-masa berikutnya, terjadi komunikasi yang
semakin intensif antara umat Islam yang diwakili MUI
dengan pemerintah (Depdikbud). Meskipun dialog tak
kunjung hasil dan pelarangan jilbab terus terjadi, tapi
tidak membuat MUI menyerah memperjuangkan jilbab.
Tekanan dari masyarakat, media massa, dan MUI justru
semakin kuat. Depdikbud dibawah menteri dan Dirjen
Dikdasmennya, Fuad Hasan dan Hasan Walinono, mau
tidak mau mempertimbangkan kembali peraturan
seragam yang ada.
Sementara di tingkat nasional, berdirinya ICMI, telah
merubah haluan Pemerintah menjadi l ebih akomodatif
terhadap Islam. Fuad Hasan, pada awalnya terlihat
enggan untuk mengubah peraturan seragam, boleh jadi
karena sikap pemerintah Orde Baru yang selama ini
cenderung anti Islam. Namun, bandul telah bergeser,
dan Depdikbud pun mau tidak mau harus mengikuti
bandul itu.
Akhir 1989 atau awal 1990, MUI mengadakan Munas
Andi RyansyahPerjalanan Panjang Jilbab di Indonesia
Sekolah Guru Putri. Foto diperkirakan dari tahun 1950-an.
Muh. Natsir dan Nasroen A.S, Hidup Bahagia. Penerbitan Vorkink-Van Hoeve: Bandung
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
18/47
34 Syajarah Syajarah
dan menghasilkan keputusan perlunya meninjau kembali peraturan tentang seragam sekolah. Menindaklanjuti hasil
Munas tersebut, MUI beberapa kali menemui Depdikbud, terutama dengan Hasan Walinono, Dirjen Dikdasmen.
Pada pertemuan di sebuah restoran di kawasan Monas, bulan Desember 1990, kedua belah pihak sepakat
untuk menyempurnakan peraturan seragam sekolah. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu itu tiba. Pada tanggal
16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru resmi ditandatangani, setelah melalui proses konsultasi dengan
banyak pihak, termasuk Kejaksaan Agung, MENPAN, Pimpinan Komisi XI, DPR RI, dan BAKIN.
Dalam SK yang baru itu, SK No. 100/C/Kep/D/1991, tidak disebutkan kata jilbab, tetapi yang digunakan adalah
stilah “seragam khas.” Dalam peraturan tersebut, dinyatakan ”Siswi (SMP dan SMA) yang karena keyakinan
pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas dapat mengenakan pakaian seragam
khas yang warna dan rancangan sesuai lampiran III dan IV.” Pada lampirannya bisa dilihat bentuk seragam khas
yang dimaksud, yang tidak lain adalah busana muslimah dengan jilbab atau jilbabnya. [32]
Perjuangan pemakaian jilbab selama bertahun-tahun, yang diwarnai sikap represif aparat, pendidik dan pejabat
akhirnya membuahkan hasil. Keringat, derita, stigma dan air mata demi menjaga kemuliaan wanita itu mampu
mejadi pembuka jalan bagi diterimanya jilbab di Indonesia.
Perjuangan syariat jilbab memang bukan perkara mudah. Semenjak masuknya Islam ke nusantara, terjadi proses
bertahap dalam menjadikan jilbab sebagai bagian dari masyarakat di nusantara. Proses ber tahap ini berbeda-beda
di setiap wilayahnya. Di daerah dikenal Islam berpengaruh amat kuat seperti Aceh dan Minangkabau, Islam telah
meresap jauh ke adat masyarakat hingga ke soal berpakaian sehingga membuat masyarakatnya lebih mudah untuk
berpakaian lebih tertutup.
Kebijakan-kebijakan kolonial yang kerap mencoba memisahkan Islam dari masyarakat memperberat perjuangan
ni. Jilbab dalam kehidupan sehari-hari pun sempat menjadi sesuatu yang asing dari hati umat Islam. Namun Jilbab
tak pernah benar-benar lepas dari hati wanita di nusantara. Ibadah sholat lima waktu yang mewajibkan menutup
aurat wanita, membuat jilbab tetap hadir meski tidak setiap saat. Terus ber tambahnya arus umat dan ulama yang
pergi ke tanah suci, menggelorakan dakwah di tanah air. Perjuangan ulama yang memanfaatkan media massa turut
menghidupkan dakwah jilbab di Indonesia. Peran-peran ormas Islam semacam NU, Muhammadiyah, Al irsyad, dan
Persis yang dengan gigih menanamkan kesadaran berjilbab di masyarakat, perlahan tapi pasti, mampu mengubah
rupa wanita Indonesia dalam teduhnya kemuliaan jilbab. Tekad baja para muslimah muda dalam memperjuangkan
ilbab di masa orde baru akhirnya mendobrak halangan berjilbab.
Bagaimana pun, bagi muslimah, pemakaian jilbab adalah proses yang melibatkan dua aspek yang saling bertalian,
yaitu kesadaran pribadi sekaligus contoh di masyarakat. Semakin banyak yang berjilbab, bagaimanapun akan
semakin mudah bagi muslimah lain untuk ikut memakainya. Maka para muslimah pelopor Jilbab di masyarakat di
masa lalu adalah para pelopor yang akhirnya menyemarakkan pemakaian Jilbab di masyarakat kita saat ini.
Melihat situasi saat ini - saat tulisan ini dibuat -, perjuangan jilbab di beberapa lingkungan termasuk Tentara
Nasional Indonesia (TNI) membutuhkan perhatian dan dukungan kita. Pemakaian Jilbab bagi muslimah dalam
TNI sepatutnya tidak perlu menjadi kekhawatiran pihak mana pun. Terlebih, Kepolisian Republik Indonesia telah
memulainya.
Tentu kita tidak bisa hanya menunggu. Perjuangan kita untuk merebut kemerdekaan berjilbab di negeri mayoritas
muslim ini masih panjang. Dibutuhkan pengorbanan dan perjuangan dari TNI dan dukungan besar ormas-ormas
slam, MUI, dan media massa, dan segenap umat Islam demi terwujudnya kemerdekaan itu.
[1] Ali Tantowi, The Quest of Indonesian Muslim Identity Debates on Veiling from the 1920s to 1940s, Journal of
Indonesian Islam, The Circle of Islamic and Cultural Studies: Jakarta, Volume 04, Number 01, June 2010,
hlm.69
[2] Ali Tantowi, Ibid, hlm. 63
[3] Muhamad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838), Balai Pustaka:Jakarta, 1964, hlm.23
[4] Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Atjeh:Aceh,
1970, hlm 152-153
[5] Pelras, Christian. Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi, Archipel, Volume 29,
1985, hlm107-135.
[6] Ali Tantowi, Ibid, hlm.71
[7] Hamka. Muhammadiyah di Minangkabau, Nurul Islam: Jakarta, 1974, hlm. 49
[8] Ali Tantowi, Ibid,
[9] Hamka. Ayahku Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera,
Umminda:Jakarta, 1982, hlm. 192
[10] Lokasi rumah KH. Ahmad Dahlan berada di selatan dari perempatan Jalan Kauman. Di setiap sudut jalan
terdapat gerbang yang dihiasi plengkung.
[11] Ali Tantowi, Ibid, hlm. 71
[12] PP Muhammadijah Madjlis ‘aisjijah, Tuntunan Mencapai Isteri Islam Jang Berarti Hasil dari Putusan Kongres
Muhammadijah Bahagian ‘Aisjijah ke-26 di Jogjakarta
[13] Majalah Aliran Baroe No.36 Tahun Juli 1491 hlm.10
[14] Majalah Al-Lisaan No.2 Madjallah Boelanan Orgaan Persatoean Islam, Toedoeng Kepala, 1935, hlm. 11-16
[15] Ali Tantowi, Ibid, hlm.74
[16] Verslag-Congres Nahdlatoel Oelama ke-X III 11/12 t/m 16/17 Juni tahun 1938 di Banten, hlm. 55-56
[17] Verslag-Congres Nahdlatoel Oelama ke-XIII, Ibid, hlm. 45-46
[18] Verslag-Congres Nahdlatoel Oelama ke-XIII , Ibid, hlm. 56
[19] Pengantar Dr. KH. MA Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar , Munas,
Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M, Khalista:Surabaya, 2011, hlm.131
[20] Ali Tantowi, Ibid, hlm. 79
[21] Majalah Aliran Baroe No. 17 Desember 1939 hlm.11 dan 15
[22] Majalah Berita Tahunan Muhammadiyah Hindia Timur 1927 diterbitkan Pengurus Besar Muhammadiyah.
Nafakah dari Hoofd Comite Congres Mohammadijah Djokjakarta, hlm. 13-14
[23] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti,Revolusi Jilbab Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri se-Jabodetabek ,
1982-1991, Al-I’TISHOM:Jakarta, 2001, hlm. 17
[24] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.18
[25] Tiar Anwar Bachtiar, Lajur-lajur Pemikiran Islam Kilasan Pergulatan Intelektual Islam Indonesia, Komunitas
NuuN:Depok, 2011, hlm. 54
[26] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.18-19
[27] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti,Ibid, hlm. 18-20
[28] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.15
[29] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm. 31
[30] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.31-32
[31] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.34-36
[32] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.73-75
Andi RyansyahPerjalanan Panjang Jilbab di Indonesia
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
19/47
36 Syajarah Syajarah
Situasi sosial Sumatra Barat sedang berubah di awal abad XX. Penduduk Minangkabau berkembang menjadimasyarakat yang secara intensif mengalami proses modernisasi. Dalam kerangka pembaharuan Islam masyarakat
Minang tidak saja menyaksikan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan modern menggantikan lembaga pendidikan
tradisional sistem surau, namun juga tampilnya sejumlah ulama yang mengetengahkan pemikiran baru yang
disemangati oleh perubahan dan modernisasi.1
Arus pembaharuan ini selain dimotori oleh Sekolah Adabiyah di Padang pada tahun 1909 dan Sumatra Thawalib
di Padang Panjang – dan selanjutnya di beberapa kota lain di Sumatra Barat, juga diperkuat dengan kedatangan
sejumlah ulama dari Timur Tengah. Penyebaran ide pembaharuan ini secara massif juga disuarakan melalui jurnal
al-Munir (terbit tahun 1911-1916), menggantikan al-Imam yang sebelumnya terbit di Singapura.2
Rahmah adalah seorang berjiwa pejuang yang memiliki idealisme kokoh, cita-cita tinggi, dan pandangannya
yang jauh ke depan. Ia berharap kedudukan kaum wanita dalam masyarakat tidak hanya sebagai istri yang akan
melahirkan anak-anak dan keturunan semata, akan tetapi lebih dari itu dia menginginkan terangkatnya derajat kaum
wanita ke tempat yang lebih wajar dan pantas. Wanita juga mampu memberikan peran dan kontribusi terhadap
peradaban. Kaumnya harus mengerti hak dan kewajibannya sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu dan sebagai
anggota masyarakat. Kaum wanita harus dapat menjalankan peranannya sebagaimana yang telah digariskan oleh
agama Islam.
Semua yang harus diketahui oleh kaum wanita itu tidak bisa terjadi secara serta-merta. Semuanya harus melalui
pendidikan dan pengajaran, Wanita harus dituntut untuk terus belajar dan berupaya untuk memahami persoalan
yang ada di sekitar mereka. Selama mereka masih berada dalam kebodohan, maka nasib kaum wanita itu tidak
akan berubah. Oleh karena itu Rahmah berpendapat bahwa wanita itu harus mendapatkan akses pendidikan,
sebagaimana kaum pria mendapatkan kesempatan yang sama. Hak untuk mempunyai ilmu pengetahuan dan
pendidikan antara pria dan wanita adalah sama.
KIPRAHNYA UNTUK PENDIDIKAN, TERUTAMA BAGI KAUM
PEREMPUAN BEGITU LUAR BIASA. DAN TAK HANYA PENDIDIKAN.
IA TURUT MEMPERJUANGKAN KEMERDEKAAN INDONESIA.
AGAMA TETAP ERAT DIGENGGAMNYA.
NAMUN NAMANYA TAK BANYAK DIKENAL. KALAH POPULER
DIBANDINGKAN KARTINI.
RAHMAH EL YUNUSIYAH
Susiyanto
PEREMPUANPEJUANG,
PEJUANGPEREMPUAN
Oleh : Susiyano, M.Ag
Dosen IAIN Seaang
-
8/18/2019 Majalah Jejak Islam
20/47
38 Syajarah Syajarah
Sistem pendidikan yang sebelumnya bercorak tradisional
kurang memberikan akses bagi perempuan. Selain
itu kurang penekanannya terhadap akses untuk
masuk dunia kerja dan kesempatan lain. Dalam
situasi masyarakat yang sedang bertumbuh inilah
Rahmah El-Yunusiah tergugah untuk berkiprah. Ia
menaruh perhatian khusus terhadap pendidikan kaum
perempuan. Ia menyadari bahwa pendidikan menjadi
sarana utama bagi peningkatan posisi kaumnya.
Tidak diragukan lagi, Rahmah El-Yunusiah merupakan
salah satu tokoh yang menggagas pendidikan
untuk kaum perempuan. Ia sendiri berjuang untuk
mewujudkan gagasan tersebut melalui berbagai upaya
yang ditempuh. Makalah ini disajikan untuk menjawab
pertanyaan: Bagaim
top related