lapsus luka bakar
Post on 28-Oct-2015
115 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Suatu penyakit yang disebabkan oleh panas, arus listrik atau bahan kimia yang
mengenai kulit, mukosa dan jaringan lebih dalam.
1.2 Epidemiologi
Terdapat sekitar 1,2 juta orang menderita luka bakar setiap tahun di Amerika
Serikat, sekitar 6000 orang dirawat di rumah sakit dan 5000 orang meninggal. Angka
mortalitas akibat luka bakar menurun sejak tahun 1971 hingga 40%.1 Hal ini terjadi
karena kemajuan pengetahuan tentang resusitasi, perawatan luka, pengendalian
infeksi, dan penatalaksanaan cedera inhalasi.2
1.3 Etiologi
Berdasarkan penyebab luka bakar, luka bakar dibedakan atas beberapa jenis
penyebab, antara lain :
1. Luka bakar karena api
2. Luka bakar karena air panas
3. Luka bakar karena bahan kimia
4. Luka bakar karena listrik, petir dan radiasi
5. Luka bakar karena sengatan sinar matahari.
6. Luka bakar karena tungku panas/udara panas
7. Luka bakar karena ledakan bom.
1.4 Patofisiologi
Pada luka bakar terjadi perubahan lokal berupa nekrosis koagulatif pada
epidermis, dermis dan jaringan di bawahnya, dengan kedalaman tergantung pada
temperatur bahan dan durasi pajanan.2
Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan bahan penyebab dan kedalaman luka.
Bahan yang dapat menyebabkan luka bakar adalah api, sclad (cairan panas), kontak
dengan bahan padat yang panas, bahan kimia, dan listrik. Sedangkan kedalaman luka
dapat dibagi menjadi :
1
- Derajat 1 : luka terbatas pada epidermis (eritema)
- Derajat 2 superfisial : luka pada epidermis hingga dermis superfisial
atau papila dermis (bullae).
- Derajat 2 dalam : luka pada epidermis hingga dermis dalam
atau reticular dermis (bullae).
- Derajat 3 : luka mencapai seluruh dermis dan jaringan
subkutan di bawahnya. (warna kulit putih
hingga coklat kehitaman, tanpa bullae).
Tabel 1. Penilaian derajat luka bakar4
Gambar 1. Penampang kedalaman luka bakar4
Pada luka yang melibatkan sebagian tebal lapisan kulit (derajat 1 dan 2)
bisertai rasa nyeri, sedangkan derajat 3 biasanya rasa nyeri minimal atau tidak ada.1
Berdasarkan gambaran histologis, pada luka bakar terdapat tiga zona yaitu zona
koagulasi, zona stasis, dan zona hiperemia. Pada zona koagulasi terjadi nekrosis
jaringan dan kerusakan yang ireversibel. Zona stasis berada di sekitar zona koagulasi,
dimana terjadi penurunan perfusi jaringan dengan kerusakan dan kebocoran vaskuler.
2
Pada zona hiperemia terjadi vasodilatasi karena inflamasi, jaringannya masih viable
dan proses penyembuhan berawal dari zona ini.1,2,5
Gambar 2. Zona luka bakar Jackson dan efeknya terhadap resusitasi adekuat
dan inadekuat5
Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan epitel akibat
cedera termis yang melepaskan mediator-mediator proinflamasi dan berkembang
menjadi Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), kondisi ini hampir selalu
berlanjut dengan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). MODS terjadi
karena gangguan perfusi jaringan yang berkepanjangan akibat gangguan sirkulasi
mikro. Berdasarkan konsep SIRS, paradigma penatalaksanaan luka bakar fase akut
berubah, semula berorientasi pada gangguan sirkulasi makro menjadi berubah
orientasi pada proses perbaikan perfusi (srkulasi mikro) sebagai end-point dari
prosedur resusitasi.6
Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya di tempat terjadinya luka
bakar memiliki efek sistemik jika luka bakar mencapai 30% luas permukaan tubuh.
Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai efek sistemik tersebut anatara lain berupa:5
- Gangguan Kardiovaskular, berupa peningkatan permeabilitas vaskular yang
menyebabkan keluarnya protein dan cairan dari intravaskular ke interstitial.
Terjadi vasokonstriksi di pembuluh darah sphlancnic dan perifer.
Kontraktilitas miokardium menurun, kemungkinan disebabkan adanya TNF.
Perubahan ini disertai dengan kehilangan cairan dari luka bakar menyebabkan
hipotensi sistemik dan hipoperfusi organ
3
- Gangguan sistem respirasi, mediator inflamasi menyebabkan
bronkokonstriksi, dan pada luka bakar yang berat dapat timbul respiratory
distress syndrome
- Gangguan metabolik, terjadi peningkatan basal metabolic rate hingga 3 kali
lipat. Hal ini, disertai dengan adanya hipoperfusi sphlancnic menyebabkan
dibutuhkannya pemberian makanan enteral secara agresif untuk menurunkan
katabolisme dan mempertahankan integritas saluran pencernaan.
- Gangguan imunologis, terdapat penuruanan sistem imun yang mempengaruhi
sistem imun humoral dan seluler.
Masalah pada luka bakar berdasarkan kronologi dibagi menjadi:6
1. Fase akut : deteriorasi airway, breathing, circulation;
berlangsung selama 0-48 jam (72 jam)
2. Fase subakut : SIRS dan MODS, berlangsung sampai 21 hari.
3. Fase lanjut : jaringan parut (hipertrofik, keloid, kontraktur),
berlangsung sampai 8-12 bulan.
Masalah yang timbul pada luka bakar fase akut terutama berkaitan dengan
gangguan jalan napas (cedera inhalasi), gengguan mekanisme bernapas dan gangguan
sirkulasi. Ketiga hal tersebut menyebabkan gangguan perfusi jaringan yang dapat
menyebabkan kematian.6
Cedera inhalasi merupakan gangguan mukosa saluran napas akibat kontak
dengan sumber termis, toxic fumes, dan zat toksik lainnya. Dugaan kuat mengenai
adanya cedera inhalasi bila dijumpai riwayat luka bakar yang disebabkan api,
terperangkap di ruang tertutup, luka bakar pada wajah dan leher, bulu hidung
terbakar, sputum dan air liur mengandung karbon.2 Kerusakan mukosa dapat pula
disebabkan oleh minyak panas, air panas, bahan kimia yang mengenai muka, leher,
dada bagian atas. Pada cedera inhalasi terjadi edema mukosa dari orofaring dan laring
hingga membran alveoli. Hal ini dapat menyebabkan obstruksi yang ditandai dengan
stridor, suara serak, sulit bernapas, gelisah. Bronkospasme dapat terjadi bila reaksi
inflamasi melibatkan otot polos bronkus.6
4
Tabel 2. Tanda dan Gejala cedera inhalasi7
Gangguan mekanisme bernapas pada luka bakar dapat terjadi pada pasien
dengan eskar melingkar di dada yang menyebabkan gangguan proses ekspansi rongga
toraks sehingga compliance paru berkurang.2,6
Gangguan sirkulasi pada luka bakar terjadi melalui mekanisme perubahan
integritas membran mikrovaskuler, perubahan hukum Starling, gangguan perfusi
(syok seluler), dan evaporative heat loss. Setelah cedera termis, terjadi pelepasan
histamin diikuti pelepasan histmain dan aktivasi komplemen yang menyebabkan
perlekatan leukosit PMN dengan endotel. Endotel inflamatif akan melepaskan radikal
bebas yang diikuti oleh peroksidasi lipid yang mengaktivasi asam arakidonat. Hal ini
menyebabkan aktivasi kaskade koagulasi dan pelepasan sitokin (IL1, IL6, TNFa).
Proses inflamasi mengakibatkan perubahan morfologi endotel dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas kapiler ini mengakibatkan
perpindahan cairan dari intravaskuler ke ruang interstisium.6
Gangguan perfusi merupakan penyebab hipoksemia. Kerusakan organ yang
terjadi sangat tergantung pada waktu karena tiap organ memiliki batas toleransi
tertentu untuk kondisi hipoksia. Sel-sel glia memiliki waktu 4 menit, sel-sel tubulus
ginjal memiliki waktu iskemik 8 jam, sel otot polos 4 jam, otot lurik 8-10 jam.6
1.5 Sistem skoring
Perhitungan luas luka bakar diperlukan untuk petunjuk pemberian volume
cairan resusitasi. Untuk dewasa, metode Wallace ‘rule of nines’ merupakan metode
yang sederhana dan akurat untuk menentukan luas luka bakar. Pada anak-anak, Lund
and Browder chart lebih akurat karena metode ini menghitung proporsi tubuh yang
berbeda pada bayi dan anak.1,2
5
Rule of nine Lund and Browder
Gambar 3. Kriteria rule of nine dan Lund and Browder1,2
6
1.6 Tatalaksana
1.6.1 Prehospital
Hal pertama yang harus dilakukan jika menemuikan pasien luka bakar di
tempat kejadian adalah menghentikan proses kebakaran. Maksudnya adalah
membebaskan pasien dari pajanan atau sumber dengan memperhatikan keselamatan
diri sendiri. Kemudian lepaskan semua bahan yang dapat menahan panas (pakaian,
perhiasan, logam), hal ini untuk mencegah luka yang semakin dalam karena tubuh
masih terpajan dengan sumber. Bahan yang meleleh dan menempel pada kulit tidak
boleh dilepaskan.2,8
Air suhu kamar dapat disiramkan ke atas luka dalam waktu 15 menit sejak
kejadian, namun air dingin tidak boleh diberikan untuk mencegah terjadinya
hipotermia dan vasokonstriksi.2,9
1.6.2 Resusitasi jalan napas
Resusitasi jalan napas bertujuan untuk mengupayakan suplai oksigen yang
adekuat. Pada luka bakar dengan kecurigaan cedera inhalasi, tindakan intubasi
dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi.3,9 Sebelum
dilakukan intubasi, oksigen 100% diberikan menggunakan face mask.2 Intubasi
bertujuan untuk mempertahankan patensi jalan napas, fasilitas pemeliharaan jalan
napas (penghisapan sekret) dan bronchoalveolar lavage. Krikotiroidotomi masih
menjadi diperdebatkan karena dianggap terlalu agresif dan morbiditasnya lebih besar
dibandingkan intubasi. Krikotiroidotomi dilakukan pada kasus yang diperkirakan
akan lama menggunakan endotracheal tube (ETT) yaitu lebih dari 2 minggu pada
luka bakar luas yang disertai cedera inhalasi.6 Kemudian dilakukan pemberian
oksigen 2-4 L/menit melalui pipa endotrakeal. Terapi inhalasi mengupayakan suasana
udara yang lebih baik di saluran napas dengan cara uap air menurunkan suhu yang
menigkat pada proses inflamasi dan mencairkan sekret yang kental sehingga lebih
mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi dengan Ringer Laktat hasilnya lebih baik
dibandingkan NaCl 0,9%.6 Dapat juga diberikan bronkodilator bila terjadi
bronkokonstriksi seperti pada cedera inhalasi yang disebabkan oleh bahan kimiawi
dan listrik.10
Pada cedera inhalasi perlu dilakukan pemantauan gejala dan tanda distres
pernapasan. Gejala dan tanda berupa sesak, gelisah, takipnea, pernapasan dangkal,
7
bekerjanya otot-otot bantu pernapasan, dan stridor. Pemeriksaan penunjang yang
perlu dilakukan adalah analisa gas darah serial dan foto toraks.10
1.6.3 Resusitasi cairan
Syok pada luka bakar umum terjadi dan merupakan faktor utama
berkembangnya SIRS dan MODS.6 Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar
adalah:
Preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh vaskuler
regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan
Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak diperlukan
Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk menjamin
survival seluruh sel
Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan
stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.6
1.6.3.1 Jenis cairan
Terdapat tiga jenis cairan secara umum yaitu kristaloid (isotonik), cairan
hipertonik dan koloid.
Larutan kristaloid
Larutan kristaloid terdiri dari cairan dan elektrolit. Contoh larutan kristaloid
adalah Ringer laktat dan NaCl 0,9%. Komposisi elektrolit mendekati kadarnya dalam
plasma atau memiliki osmolalitas hampir sama dengan plasma. Pada keadaan normal,
cairan ini tidak banya dipertahankan di ruang intravaskuler karena cairan ini banyak
keluar ke ruang interstisial. Pemberian 1L Ringer laktat akan meingkatkan volume
intravaskuler 300 ml.3
Larutan hipertonik
Larutan hipertonik dapat meningkatkan volume intravaskuler 2,5 kali dan
penggunaannya dapat mengurangi kebutuhan cairan kristaloid.Larutan garam
hipertonik tersedia dalam beberapa konsentrasi yaitu NaCl 1,8%, 3%, 5%, 7,5% dan
10%. Osmolalitas cairan ini melebihi cairan intraseluler sehingga akan cairan akan
berpindah dari intraseluler ke ekstravaskuler. Larutan garam hipertonik meningkatkan
volume intravaskuler melalui mekanisme penarikan cairan dari intraseluler.6
Larutan koloid
8
Contoh larutan koloid adalah Hydroxy-ethyl starch (HES, Hetastarch, Hespan,
Hemacell) dan Dextran. Molekul koloid cukup besar sehingga tidak dapat melintasi
membran kapiler, oleh karena itu sebagian besar akan tetap dipertahankan di ruang
intravaskuler. Pada luka bakar dan sepsis, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler
sehingga molekul akan berpindah ke ruang interstisium. Hal ini akan memperburuk
edema interstisium yang ada.
HES merupakan suatu bentuk hydroxy-substituted amilopectin sintetik, HES
berbentuk larutan 6% dan 10% dalam larutan fisiologik. T1/2 dalam plasma selama 5
hari, tidak bersifat toksik, memiliki efek samping koagulopati namun umumnya tidak
menyebabkan masalah klinis.6 HES dapat memperbaiki permeabilitas kapiler dengan
cara menutup celah interseluler pada lapisan endotel sehingga menghentikan
kebocoran cairan, elektrolit dan protein. Penelitian terakhir mengemukakan bahwa
HES memiliki efek antiinflamasi dengan menurunkan lipid protein complex yang
dihasilkan oleh endotel, hal ini diikuti oleh perbaikan permeabilitas kapiler. Efek
antiinflamasi ini diharapkan dapat mencegah terjadiinya SIRS.6
1.6.3.2 Dasar pemilihan cairan
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan cairan adalah efek
hemodinamik, distribusi cairan dihubungkan dengan permeabilitas kapiler, oxygen
carrier, pH buffering, efek hemostasis, modulasi respon inflamasi, faktor keamanan,
eliminasi, praktis dan efisiensi.6,8 Jenis cairan terbaik untuk resusitasi dalam berbagai
kondisi klinis masih menjadi perdebatan terus diteliti. Sebagian orang berpendapat
kristaloid adalah cairan yang paling aman digunakan untuk tujuan resusitasi awal
pada kondisi klinis tertentu. Sebagian berpendapat koloid bermanfaat untuk entitas
klinik lain. Hal ini dihubungkan dengan karakteristik masing-masing cairan yang
memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga sulit untuk mengambil keputusan untuk
diterapkan secara umum sebagai protokol.6
Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan cairan di kompartemen interstisial
secara masif dan bermakna sehingga dalam 24 jam pertama resusitasi dilakukan
dengan pemberian cairan kristaloid.6
1.6.3.3 Penentuan jumlah cairan
9
Untuk melakukan resusitasi dengan cairan kristaloid dibutuhkan tiga sampai
empat kali jumlah defisit intravaskuler. 1L cairan kristaloid akan meningkatkan
volume intravaskuler 300ml. Kristaloid hanya sedikit meningkatkan cardiac outout
dan memperbaiki transpor oksigen.6
Penatalaksanaan dalam 24 jam pertama
Resusitasi syok menggunakan Ringer laktat atau Ringer asetat, menggunakan
beberapa jalur intravena. Pemberian cairan pada syok atau kasus luka bakar >25-30%
atau dijumpai keterlambatan >2jam. Dalam <4 jam pertama diberikan cairan
kristaloid sebanyak 3[25%(70%x BBkg)] ml. 70% adalah volume total cairan tubuh,
sedangkan 25% dari jumlah minimal kehilangan cairan tubuh yang dapat
menimbulkan gejala klinik sindrom syok.3
Pada resusitasi cairan tanpa adanya syok atau kasus luka bakar luas <25-30%,
tanpa atau dijumpai keterlambatan <2jam. Kebutuhan dihitung berdasarkan rumus
Baxter: 3-4 ml/kgBB/ % luas LB.3
Metode Parkland merupakan metode resusitasi yang paling umum digunakan
pada kasus luka bakar, menggunakan cairan kristaloid. Metode ini mengacu pada
waktu iskemik sel tubulus ginjal < 8 jam sehingga lebih tepat diterapkan pada kasus
luka bakar yang tidak terlalu luas dan tanpa keterlambatan.2,3,4
Pemberian cairan menurut formula Parkland adalah sebagai berikut:
Pada 24 jam pertama : separuh jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama,
sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada bayi, anak, dan orang tua,
kebutuhan cairan adalah 4 ml. Bila dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan
cairan 4ml ditambah 1% dari kebutuhan. Bila dijumpai hipertermia, kebutuhan
cairan ditambah 1% dari kebutuhan.
Penggunaan zat vasoaktif (Dopamin atau Dobutamin) dengan dosis 3
mg/kgBB dengan titrasi atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa 5%, jumlah
teteasan dibagi rata dalam 24 jam.
Pemantauan untuk menilai sirkulasi sentral melalui tekanan vena sentral
(minimal 6-12cmH2O) dan sirkulasi perifer (sirkulasi renal). Jumlah produksi
urin melalui kateter, saat resusitasi (0,5-1ml/kgBB/jam) dan hari1-2 (1-2
ml/kgBB/jam). Jika produksi urin <0,5ml/kgBB/jam maka jumlah cairan
ditingkatkan 50% dari jam sebelumnya. Jika produksi urin >1ml/kgBB/jam
maka jumlah cairan dikurangi 25% dari jam sebelumnya.
10
Pemeriksaan fungsi renal (ureum, kreatinin) dan urinalisis (berat jenis dan
sedimen)
Pemantauan sirkulasi splangnikus dengan menilai kualitas dan kuantitas cairan
lembung melalui pipa nasogastrik. Jika <200ml tidak ada gangguan pasase
lambung, 200-400ml ada gangguan ringan, >400ml gangguan berat.10
Penatalaksanaan 24 jam kedua
Pemberian cairan yang mengandung glukosa dan dibagi rata dalam 24 jam.
Jenis cairan yang dapat diberikan adalah Glukosa 5% atau 10% 1500-2000ml.
Batasi Ringer laktat karena dapat memperberat edema interstisial.
Pemantauan sirkulasi dengan menilai tekanan vena pusat dan jumlah produksi
urin (1-2ml.kgBB/jam). Jika jumlah cairan sudah mencukupi namun produksi
urin
<1-2ml/kgBB/jam, berikan vasoaktif sampai 5mg/kgBB.
Pemantauan analisa gas darah, elektrolit.10
Penatalaksanaan setelah 48 jam
Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintenance
Pemantauan sirkulasi dengan menilai produksi urin (3-4ml/kgBB/jam),
hemoglobin dan hematokrit.10
1.6.4 Perawatan luka
Perawatan luka dilakukan setelah tindakan resusitasi jalan napas, mekanisme
bernapas dan resusitasi cairan dilakuakan. Tindakan meliputi debridement, nekrotomi
dan pencucian luka. Tujuan perawatan luka adalah mencegah degradasi luka dan
mengupayakan proses epitelisasi.10 Untuk bullae ukuran kecil tindakannya
konservatif sedangkan untuk ukuran besar (>5cm) dipecahkan tanpa membuang lapis
epidermis di atasnya. Untuk eskar yang melingkar dan mengganggu aliran atau
perfusi dilakukan eskarotomi. Pencucian luka dilakukan dengan memandikan pasien
dengan air hangat mengalir dan sabun mandi bayi. Lalu luka dibalut dengan kasa
lembab steril dengan atau tanpa krim pelembab. Perawatan luka tertutup dengan
oclusive dressing untuk mencegah penguapan berlebihan. Penggunaan tulle berfungsi
sebagai penutup luka yang memfasilitasi drainage dan epitelisasi. Sedangkan krim
antibiotik diperlukan untuk mengatasi infeksi pada luka.10
2.4.5 Penggunaan antibiotik
11
Pemberian antibiotik pada kasus luka bakar bertujuan sebagai profilaksis
infeksi dan mengatasi infeksi yang sudah terjadi. Penggunaan antibiotik sebagai
profilaksis masih merupakan suatu kontroversi.4 Dalam 3-5 hari pertama populasi
kuman yang sering dijumpai adalah bakteri Gram positif non-patogen. Sedangkan hari
5-10 adalah bakteri Gram negatif patogen. Dalam 1-3 hari pertama pasca cedera, luka
masih dalam keadaan steril sehingga tidak diperlukan antibiotik. Beberapa antibiotik
topikal yang dapat digunakan adalah silver sulfadiazin, povidone-iodine 10%,
gentamicin sulfate, mupirocin, dan bacitracin/polymixin.2,10
Tabel 3. Agen penybab infeksi pada luka bakar.7
2.4.6 Tatalaksana nutrisi
Pemberian nutrisi enteral dini melalui pipa nasogastrik dalam 24 jam pertama
pascacedera bertujuan untuk mencegah terjadinya atrofi mukos usus. Pemberian
nutrisi enteral dilakukan dengan aman bila Gastric residual volume (GRV)
<150ml/jam, yang menandakan pasase saluran cerna baik.6
Penentuan kebutuhan energi basal (Harris-Benedict):
Laki-laki : 66,5 + 13,7 BB + 5TB – 6,8 U
Perempuan : 65,5 + 9,6 BB + 1,8 TB – 4,7 U
Kebutuhan energi total = KEB x AF x FS
Keterangan:
AF: aktivitas fisik (peningkatan persentase terhadap keluaran
energi, tirah baring/duduk 20%, aktivitas ringan 30%, sedang
40-50%, berat 75%)
12
FS: faktor stress besarnya sesuai dengan luas luka bakar
Penentuan kebutuhan nutrien:
Protein : 1,5-2,15 g/kgBB/hari
Lemak : 6-8 g/kgBB/hari
Karbohidrat: 7-8 g/kgBB/hari.10
Tabel 4. Penghitungan kalori dengan rumus Harris Benedict10
Namun ada metode penghitungan kebutuhan kalori yang lebih mudah dengan
menggunakan quick methode yaitu 25-30 kkal / kgBB/ hari. Metode ini lebih mudah
dan praktis serta menghindari jumlah kalori yang berlebihan jika menggunakan rumus
Harris -Benedict.
Metode lainnya dalah modifikasi rumus Harris-Benedict yang dilakukan oleh
Long:a
Men
BMR = (66.47 ± 13.75 weight ± 5.0 height = 6.76 age) x (activity factor) x
(injury factor)
Women
BMR = (655.10 ± 9.56 weight + 1.85 height = 4.68 age) x (activity factor) x
(injury factor)
Activity factor
Confined to bed: 1.2
Out of bed: 1.3
Injury factor
Minor operation: 1.20
Skeletal trauma: 1.35
Major sepsis: 1.60
Severe thermal burn: 1.5
Tabel 5. Modifikasi Long terhadap Harris-Benedict3
1.6.7 Eksisi dan grafting
13
Luka bakar derajat dua dalam dan tiga tidak dapat mengalami penyembuhan
spontan tanpa autografting. Jika dibiarkan, jaringan yang sudah mati ini akan menjadi
fokus inflamasi dan infeksi. Eksisi dini dan grafting saat ini dilakukan oleh sebagian
besar ahli bedah karena memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan debridement
serial.2 Setelah dilakukan eksisi, luka harus ditutup, idealnya luka ditutup dengan kulit
pasien sendiri. Pada luka bakar seluas 20-30%, biasanya dapat dilakukan dalam satu
kali operasi dengan penutupan oleh autograft split-thickness yang diambil dari bagian
tubuh pasien. Sebagian besar ahili bedah melakukan eksisi pada minggu pertama,
biasanya dalam satu kali operasi dapat dilakukan eksisi seluas 20%. Eksisi tidak boleh
melebihi kemampuan untuk menutup luka baik dengan autograft, biologic dressing
atau allograft.2
1.6.8 Komplikasi
Komplikasi pada luka bakar dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi saat
perawatan kritis atau akut dan komplikasi yang berhubungan dengan eksisi dan
grafting.1 Komplikasi yang dapat terjadi pada masa akut adalah SIRS, sepsis dan
MODS. Selain itu komplikasi pada gastrointestinal juga dapat terjadi, yaitu atrofi
mukosa, ulserasi dan perdarahan mukosa , motilitas usus menurun dan ileus. Pada
ginjal dapat terjadi acute tubular necrosis karena perfusi ke renal yang menurun. Skin
graft loss merupakan komplikasi yang sering terjadi, hal ini disebabkan oleh
hematoma, infeksi dan robeknya graft. Pada fase lanjut suatu luka bakar, dapat terjadi
jaringan parut berupa jaringan parut hipertrofik, keloid dan kontraktur.1,2
14
BAB 2
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : Tn. MA
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 41 tahun
Alamat : Banyubiru
Agama : Islam
Pekerjaan : swasta
Tanggal masuk RS : 2 Juli 2013
No. Rekam Medis : 038923-2013
B. Anamnesis
Keluhan Utama :
Luka bakar pada wajah, leher kiri, tungkai atas kiri dan tungkai bawah kanan dan
kiri sejak 3 jam SMRS.
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien terkena rebusan yang berisi air dan minyak yang mengenai muka dan kaki
tangannya 3 jam SMRS. Pasien mengeluh kesakitan dan dibawa ke RSUD
Ambarawa.
Riwayat penyakit dahulu:
Penyakit jantung, paru, diabetes mellitus, asma, dan alergi disangkal.
Riwayat penyakit keluarga:
Penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi, asma, dan alergi disangkal.
Riwayat pemberian obat:
Belum diobati luka bakarnya
Riwayat pekerjaan, sosial, ekonomi, dan kejiwaan, gaya hidup
15
Bekerja swasta
C. Pemeriksaan Fisik
Primary survey
Airway : bebas
Breathing : spontan, 19x/ menit
Circulation : tekanan darah 140/100 mmHg, N = 88x/menit, teratur,
kedalaman cukup, akral hangat
Secondary survey
Kepala : bentuk normocephal
Wajah : luka bakar di wajah dan leher bagian kiri
Rambut : warna hitam dan sudah ada uban, distribusi merata dan tidak
mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), dan pupil isokor
4mm/4mm
THT : kelainan (-), edema (-)
Paru : simetris, fremitus ka=ki, vesikuler +/+, rhonki (-/-), wheezing
(- /-)
Jantung : BJ I-II murni, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, lemas, NT (-), BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, edema (-)
Status Lokalis
Kepala : 0 %
Muka : 0 %
Leher : 4,5 % grade II superfisial
Trunkus anterior : 0 %
Trunkus posterior : 0 %
Ekstremitas atas dextra : 4,5 % grade II superfisial
Ekstremitas bawah dextra : 4,5 % grade II dalam
Ekstremitas bawah sinistra : 4,5 % grade II dalam
Bokong : 2% grade II superfisial
16
D. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin dan kimia klinik
E. Diagnosis
Combustio grade II-III dengan luas 24,5%
F. Terapi
- IVFD RL 2450 ml dalam 8 jam pertama dengan jumlah tetesan 75 tetes permenit
dilanjutkan dengan 38 tetes permenit untuk 16 jam berikutnya
- Ceftriaxon 2 x 1 gr
- Ketorolac 3 x 30 mg
- Ranitidin 2 x 1 gr
- Konsul ke bagian gizi
17
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki berusia 41 tahun dengan combustio derajat dua-tiga dengan
luas 24,5%. Penentuan derajat luka bakar pada pasien ini didasarkan berdasarkan
kedalaman luka bakar dan luas luka bakar. Kedalaman luka bakar pada pasien
diperkirakan berada pada derajat 2 superfisial, berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan bahwa luka
bakar tersebut bewarna kemerahan dengan dasar dermis, serta nyeri. Hal ini sesuai
dengan kedalaman luka bakar derajat 2A, di mana luka bakar hanya meliputi
epidermis dan sebagian dermis. Sehingga pembuluh darah dan serabut saraf yang
berada di dalam lapisan dermis yang lebih dalam dapat terselamatkan. Pembuluh
darah ini akan memberikan warna kemerahan pada kulit (luka), kontras halnya dengan
derajat 2B atau 3 yang umumnya lebih pucat. Sensasi nyeri pada pasien juga
mengindikasikan bahwa kedalaman luka bakar ini belum mencapai lapisan dermis
bagian dalam.
Penentuan luas luka bakar pada pasien didasarkan pada kriteria Lund dan
Browder sehingga diperoleh luas luka bakar 24,5%. Pasien memiliki indikasi rawat
seperti luka bakar di daerah tangan dan kaki, dan luka bakar sirkumferensial di
ekstrimitas.
Penyulit lain pada fase akut pasien juga telah diidentifikasi dan disingkirkan.
Salah satunya adalah tidak adanya trauma inhalasi pada pasien meskipun terdapat
luka bakar pada daerah wajah pasien. hal ini diketahui dari klinis pasien di mana tidak
terdapat sesak napas, suara serak, dan jelaga pada lubang hidung. Riwayat terbakar
pada ruang tertutup pun disangkal oleh pasien.
Selama perawatan, dilakukan monitoring keadaan umum pasien. hal ini
dikarenakan banyaknya penyulit yang seringkali timbul pada kasus luka bakar.
Komplikasi yang sering terjadi antara lain adalah gangguan compliance dinding dada
akibat adanya esker (pada pasien tidak ditemukan adanya luka bakar sirkumferensial
di daerah dada), sepsis, gangguan sirkulasi yang berdampak pada ARF dan
hipoperfusi splanknik, dan gangguan nutrisi, stress ulcer dan lainnya.
Monitoring sirkulasi diberikan pada pasien ini dengan IVFD RL 20 tetes per
menit dan kebutuhan cairan 2450 ml/ 8 jam pertama. Jumlah ini sudah sesuai dengan
rumus Parkland /Baxter. Rumus ini menggunakan prinsip pemberian cairan 4
18
mL/kgBB/ persen luas luka bakar. Untuk memastikan bahwa sirkulasi secara umum
adalah cukup perlu dilakukan pemeriksaan klinis dan laboratorium seperti fungsi
ginjal mengingat ginjal merupakan organ yang sangat sensitif terhadap deplesi
volume akibat syok.
Selama perawatan, pasien diberikan antibiotik profilaksis terhadap sepsis
berupa ceftriaxon 2 x 1 gr. Hal ini sendiri merupakan suatu perdebatan, di mana
banyak sumber masih mempertanyakan apakah pemberian antibiotik memiliki suatu
tempat dalam penatalaksanaan luka bakar awal. Namun mengingat sepsis merupakan
salah satu penyebab kematian terbesar selain trauma inhalasi pada pasien luka bakar,
maka pemberian antibiotic ini diberikan pada pasien.
Selain monitoring sirkulasi dan sepsis, pasien juga dipantau terus mengenai
fungsi organ secara umum lainnya. seperti ginjal (ARF), lambung (stress ulcer) dan
sistem GI (hipoperfusi splanknik). Selama fase akut dan subakut ini juga dilakukan
perawatan luka dengan membersihkan luka secara steril dan dilanjutkan dengan
pemberian salep silver sulfadiazine yang juga berfungsi sebagai antiseptic dan
antibiotic topikal guna mencegah infeksi. Perawatan luka juga mencakup eksisi kulit
yang sudah mati untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
Setelah luka mulai mengalami epitelisasi, maka pasien telah masuk ke dalam
fase kronik yang tidak kalah pentingnya. Fungsi pasien dalam kehidupan sehari-hari
erat kaitannya dengan fase ini, mengingat tingginya angka kontraktur dan parut
hipertrofis pasca penyembuhan luka bakar. Sehingga direncanakan pada pasien
dilakukan fisioterapi untuk mencegah hal tersebut dan mengurangi morbiditas pasien.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Burns J, Phillips L. Burns. In: McCarthy J, Galiano R, Boutros S,editors.
Current Therapy in Plastic Surgery. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2006. p.
71-6.
2. Wolf S, Herndon D. Burns. In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM,
Mattox KL,editors. Sabiston Textbook of Surgery. Philadelphia: Saunders;
2004. p. 569-92.
3. Heimbach DM. Burns. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TL, Dunn DL,
Hunter JG, Pollock RE. Schwartz’s principles of surgery, 8th ed. McGraw-Hill;
2007.
4. Hettiaratchy S, Papini R. ABC of burns; initial management of major burn: II-
assesment and resuscitation. BMJ 2004;329:101-3.
5. Hettiaratchy S, Dziewulski P. Pathophysiology and types of burns. BMJ
2004;328:1427–9.
6. Moenadjat Y. Resusitasi: dasar-dasar manajemen luka bakar fase akut.
Jakarta: Komite medik asosiasi luka bakar Indonesia; 2005. hal.5-20, 54-60.
7. Ansermino M, Hemsley C. ABC of burns; intensive care management and
control of infection. BMJ 2004;329:220–3.
8. Managing the ABC’s in the burn patient. Diunduh dari www.burnsurgery.org
diakses pada tanggal 17 Mei 2010.
9. Hettiaratchy S, Papini R. ABC of burns; initial management of major burn: I-
overview. BMJ 2004;328:1555–7.
10. Moenadjat Y. Petunjuk praktis penatalaksanaan luka bakar. Jakarta: Komite
medik asosiasi luka bakar Indonesia; 2005. hal.4-20; 30-41.
11. Barret JP. ABC of burns; burns reconstruction. BMJ 2004;329:274–6.
12. Reksoprodjo S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. 1995. Jakarta: Binarupa
Aksara.
13. Moenadjat Y. Luka Bakar Pengetahuan Klinis Praktis. 2003. edisi ke-2
(dengan perbaikan). Jakarta: Balai Penerbit FKUI
14. Peacock E E, Cohen I K.Plastic Surgery Vol I. USA: WB Saunders Company.
15. Chin GA, Mast BA. Hypertrophic Scars and Keloids. In: McCarthy JG,
Galiano RD, Boutros SG. Current Therapy in Plastic Surgery. 2006. 1st
edition. USA: WB Saunders.
20
16. Spector JA, Levine JP. Cutaneous Defects: Flaps, Grafts, and Expension. In:
McCarthy JG, Galiano RD, Boutros SG. Current Therapy in Plastic Surgery.
2006. 1st edition. USA: WB Saunders.
17. Fraiberg A, Khan B, Tse R, McKay D. Plastic surgery. MCCQE 2000 review
notes and lecture series.
18. Minas T Chrysopoulo. 2008. Flaps, Classification. In URL:
http://emedicine.medscape.com/article/1284474-overview
21
top related