laporan tutorial blok metabolisme, skenario 2
Post on 19-Dec-2015
73 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada skenario ini terdapat seorang wanita berusia 35 tahun yang
datang ke puskesmas dengan keluhan muntah-muntah, keringat dingin,
kulit kemerahan dan gatal-gatal. Dua hari sebelumnya pasien tersebut
melakukan cabut gigi dan oleh dokter gigi diberi obat analgesik dan
antibiotika. Obat diminum sebelum makan. Pasien juga masih menyusui
dan anak yang disusuinya juga mengalami hal yang sama, yaitu muntah-
muntah dan kulitnya kemerahan. Pemeriksaan klinis pada pasien
didapatkan: tensi 120/80 mmHg, nyeri epigastrium (nyeri pada daerah
sekitar ulu hati) (+), hiperperistaltik (gerakan peristaltik berlebih pada
saluran pencernaan), skin rash seluruh tubuh morbili form (kemerah-
kerahan seperti campak). Pemeriksaan penunjangn : SGOT (serum
glutamik oksaloasetik transaminase) 100 UI (Normal 40 UI), SGPT (serum
glutamik piruvik transaminase) 200 UI (Normal 40 UI). Suami pasien
minum obat yang sama tapi tidak ada keluhan berarti.
Dari skenario tersebut, diduga gejala-gejala yang terjadi
disebabakan oleh efek samping dari obat yang diberikan oleh dokter,
dan hubungan antara sang anak yang disusui dan gejala yang diderita
oleh anak tersebut adalah efek dari ASI sang ibu yang terkontaminasi
oleh obat yang yang diekskresikan lewat ASI. Sedangkan untuk sang
suami yang tidak mengelami gejala serupa saat mengkonsumsi obat yang
sama akan di jelaskan melalui proses farmakogenetik.
1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa pasien tersebut setelah diberi obat mengalami
gejala-gejala tersebut?
2. Apa hubungan nyeri episgatrium, hiperperistaltik, skin rash
terhadap penyakit tersebut?
3. Gejala yang muncul karena obat atau kelainan pada organ?
4. Mengapa sang anak mengalami gejala yang sama dengan
ibunya?
5. Mengapa suami pasien tidak terkena penyakit ini?
6. Prinsip kerja SGPT dan SGOT terhadap kasus?
C. TUJUAN
Penulis dapat menjelaskan konsep dari farmakodinamik yang
mencakup interaksi obat, hubungan antara dosis dan respon, dan reaksi
obat yang tidak diinginkan, selain itu juga dapat menjelaskan
farmakokinetik yang merukapan proses jalannya obat dalam tubuh, yang
mencakup absopsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dan juga dapat
menjelaskan konsep farmakogenetik dan farmakogenomik.
D. MANFAAT
Anggota kelompok tutorial dapat menjelaskan kaitan aspek
farmakologi dengan efek samping yang diderita pasien dalam skenario
ini sebagai jembatan untuk dapat mengerti mengenai konsep-konsep
dalam farmakologi seperti farmakokinetik, farmakodinamik dan
farmakogenetik.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Farmakologi ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup,
lewat proses kimia khususnya reseptor.
Farmakokinetik apa yang dialami obat yang diberikan pada suatu
makhluk, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme /
biotransformasi, dan ekskresi.
Farmakodinamik pengaruh obat terhadap sel hidup, organ, mahkluk
secara keseluruhan berhubungan dengan fisiologi,
biokimia, dan patologi.
Obat analgesik merupakan obat yang digunakan untuk meredakan rasa nyeri.
Obat antibiotik merupakan obat untuk membunuh bakteri dan agen patologis
lainnya dengan cara merusak sistem sel nya.
A. FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik adalah fase dimana obat telah berinteraksi dengan sisi reseptor
tujuan dan siap memberikan efek.
Terdapat empat mekanisme kerja obat :
1. Interaksi obat – reseptor adrenergik, kolinergik
2. Substrat enzim allopurinol, aspirin, captopril
3. Membuka menutup ion channel antagonis kalsium
4. Merusak sistem sel sitotoksik : antibiotik, antikanker
3
B. FARMAKOKINETIK
Farmakokinetik terbagi menjadi empat :
1. ABSORPSI
proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah
Cara pemberiannya :
Per oral lewat mulut (paling mudah, murah, aman, tidak
menggunakan alat namun tidak bisa untuk pasien dalam kondisi
pingsan dan pasien pelupa)
Injeksi / Suntikan
Intra Vena (paling cepat, namun cepat toksik)
infus
Intra Muskular (paling banyak, kecepatan
dipengaruhi kelarutan
obat dalam air) imunisasi TT,
vitamin C
Intra Tekal (obat yang berefek pada cairan
serebrospinal)
anestesi spinal
Sub Kutan (bawah kulit, absorpsi lambat
konstan) KB susuk,
vaksin, insulin
Sublingualis di bawah lidah obat larut lemak
(nitrogliserin) langsung
ke vena cava superior
Inhalasi melalui paru – paru (anestesi, asma)
Topikal permukaan kulit (salep, tetes)
Rektal melalui anus pada pasien tidak sadar atau
muntah
4
Absorpsi Obat dipengaruhi oleh :
1. Fisik dan Kimia Bahan Obat
2. Bentuk Sediaan Obat (BSO)
3. Formulasi Obat
4. Cara Pemberian Obat
5. Luas Permukaan Kontak Obat
2. DISTRIBUSI
Pengikatan obat oleh protein plasma dengan berbagai ikatan lemah
Protein plasma :
1. Albumin mengikat obat asam dan obat netral
(sterois, bilirubin,
asam – asam lemak)
2. α-glikoprotein mengikat obat basa
3. CBG mengikat kortikosteroid
4. SSBG mengikat hormon kelamin
Terbagi atas dua :
1. Distribusi Fase I
Terjadi setelah penyerapan organ dengan perfusi baik (ginjal,
jantung, hati, otak)
2. Distribusi Fase II organ dengan perfusi kurang baik
(kulit, otot, viscera)
Dipengaruhi oleh :
1. Aliran Darah
2. Afinitas
3. Efek Pengikatan terhadap Protein
5
3. METABOLISME
Bertujuan untuk mengubah senyawa obat yang non polar (larut
lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal
atau empedu
Terbagi atas dua fase :
1. Fase I oksidasi, reduksi, dan hidrolisis membuat obat
menjadi inaktif,
lebih akif, kurang aktif, atau lebih toksik.
2. Fase II konjugasi dengan substrat endogen agar obat
menjadi inaktif.
Metabolisme obat dapat terganggu pada pasien dengan penyakit hati,
gagal jantung, dan syok.
4. EKSKRESI
Ekskresi dapat melalui berbagai media seperti ginjal, keringat, saliva, ASI,
rambut, dan paru.
Ekskresi pada ginjal :
1. Filtrasi Glomerolus
Filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerolus ke
dalam kapsula bowman.
2. Reabsorbsi Tubulus
Perpindahan selektif zat – zat yang difiltrasi dari lumen tubulus ke
kapiler peritubulus. Sekitar 99% plasma yang disaring kembali ke
darah. Filtrat 1%.
3. Sekresi Tubulus
Perpindahan selektif zat – zat yang tidak difiltrasi dari kapiler
peritubulus ke lumen tubulus.
6
7
AbsorpsiProses penyerapan obat di tempat pemberian obat hingga akhirnya masuk ke dalam pembuluh darah.Faktor2: Fisik dan kimia bahan obatBSOFormulasi obatcara pemberianluas permukaan kontak
DistribusiDarah→obat +protein plasma→seluruh tubuhfase 1: terjadi setelah penyerapan yakni pada organ dgn perfusi yang sangat baik (cont : jantung, otak ) fase 2 : cakupannya lebih luas (otot, kulit, viscera, dan jaringan perifer).
Metabolismebertujuan mengubah obat dari non polar →polar agar bisa menyatu dengan air dan dapat diekskresi.TempatIntrahepatik → hepatosit → RE & SitosolEkstrahepatik
EkskresiFiltrasi Glomerulus → menyerap zat seperti Ca2+, as. amino, H2O, glukosa, Na+
Reabsorpsi TubulusSekresi Tubulus
Setelah proses ini, yang kadarnya berlebih akan dibuang melalui urin, saliiva, keringat, dan ASI.
DASAR TEORI
Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia
dalam jaringan biologi yang dikatalis oleh enzim menjadi metabolitnya. Jumlah
obat dalam tubuh dapat berkurang karena proses metabolisme dan ekskresi.
Hati merupakan organ utama tempat metabolisme obat. Ginjal tidak akan efektif
mengeksresi obat yang bersifat lipofil karena mereka akan mengalami reabsorpsi
di tubulus setelah melalui filtrasi glomelurus. Oleh karena itu, obat yang lipofil
harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi senyawa yang lebih polar supaya
reabsorpsinya berkurang sehingga mudah diekskresi.
Proses metabolisme terbagi menjadi beberapa fase, fase I merubah
senyawa lipofil menjadi senyawa yang mempunyai gugus fungsional seperti OH,
NH2, dan COOH. Ini bertujuan agar senyawa lebih mudah mengalami proses
perubahan selanjutnya. Hasil metabolisme fase I mungkin mempengaruhi efek
farmakologinya.Metabolisme fase I kebanyakan menggunakan enzim sitokrom
P450 yang banyak terdapat di sel hepar dan GI.Enzim ini juga berperan penting
dalam memetabolisme zat endogen seperti steroid, lemak dan detoksifikasi zat
eksogen.Namun demikian, ada juga metabolisme fase I yang tidak menggunakan
enzim sitokrom P450, seperti pada oksidasi katekolamin, histamine dan etanol.
Reaksi fase II atau reaksi konjugasi terjadi jika zat belumcukup polar
setelah mengalami metabolisme fase I, ini terutama terjadi pada zat yang sangat
lipofil.Konjugasi ialah reaksi penggabungan antara obat dengan zat endogen
seperti asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat dan asam amino.Hasil reaksi
konjugasi berupa zat yang sangat polar dan tidak aktif secara
farmakologi.Glukoronidasi adalah reaksi konjugasi yang paling umum dan paling
penting dalam ekskresi dan inaktifasi obat.
Untuk obat yang sudah mempunyai gugus seperti OH, NH2, SH dan COOH
mungkin tidak perlu mengalami reaksi fase I untuk dimetabolisme fase II.Dengan
demikian tidak semua zat mengalami reaksi fase I terlebih dahulu sebelum reaksi
8
fase II.Bahkan zat dapat mengalami metabolisme fase II terlebih dahulu sebelum
mengalami metabolisme fase I.
(Mycek,2001)
Metabolisme obat terutama terjadi di hati,yakni di membran
endoplasmic reticulum(mikrosom)dan di cytosol.Tempat metabolisme yang lain
(ekstra hepatik) adalah:dinding usus,Ginjal,Paru,Darah,Otak dan Kulit,juga di
lumen kolon(oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang non polar (larut lemak)
menjadi polar (larut air)agar dapat diekskresikan melalui ginjal atau
empedu.dengan perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif.Tapi
sebagian berubah menjadi lebih aktif(jika asalnya prodrug),kurang aktif,atau
menjadi toksik.
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim
cytocrome P450 (cyp)yang disebut juga enzim monooksigenase atau MFO (Mixed
Fungtion Oxidase) dalam endoplasmic reticulum (mikrosom)hati.Interaksi dalam
metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi enzim metabolisme,terutama
enzim cyp.
Induksi berarti peningkatan sistem enzim metabolisme pada tingkat
transkripsi sehingga terjadi peningkatan kecepatan metabolisme obat yang
menjadi substrat enzim yang bersangkutan.
Inhibisi enzim metabolisme berarti hambatan yang terjadi secara langsung
dengan akibat peningkatan kadar substrat dari enzim yang dihambat juga terjadi
secara langsung. (Mardjono,2007,hal 8)
Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktivitas biologis,masa
kerja,dan toksisitas obat.Oleh karena itu pengetahuan tentang metabolisme obat
penting dalam studi.suatu obat dapat menimbulkan suatu respon biologis
dengan melalui dua jalur,yaitu:
9
a. Obat aktif setelah masuk melalui peredaran darah,langsuns berinteraksi
dengan reseptor dan menimbulkan respon biologis.
b. Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah mengalami proses
metabolisme menjadi obat aktif,berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan
respon biologis(bioaktivasi)
Secara umum tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat menjadi
metabolit tidak aktif dan tidak toksik(bioinaktivasi atau detoksifikasi),mudah
larut dalam air dan kemudian diekskresikan dari tubuh.Hasil metabolit obat
bersifat lebih toksik dibanding dengan senyawa induk(biootoksifikasi)dan ada
pula hasilmetabolit obat yang mempunyai efek farmakologis berbeda dengan
senyawa induk.contoh:Iproniazid,suatu obat perangsang system syaraf
pusat,dalam tubuh di metabolis menjadi isoniazid yang berkhasiat sebagai
antituberkolosis.
Faktor-faktor yang mempengarui metabolisme obat
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan
enzimatik sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit.Jumlah metabolit
ditentukan oleh kadar dan aktivitas enzim yang berperan dalam proses
metabolisme.Kecepatan metabolisme dapat menentukan intensitas dan masa
kerja obat.Kecepatan metabolisme ini kemungkinan berbeda-beda pada masing-
masing individu.Penurunan kecepatan metabolisme akan meningkatkan
intensitas dan memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan meningkatkan
toksisitas obat.Kenaikan kecepatan metabolisme akan menurunkan intensitas
dan memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak efektif pada
dosis normal.
10
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain:
1. Faktor Genetik atau keturunan
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang
terjadi dalam system kehidupan.Hal ini menunjukkan bahwa factor genetic atau
keturunan ikut berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme
obat.
2. Perbedaan spesies dan galur
Pada proses metabolisme obat,perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan
galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda,tetapi kadang-kadang ada
perbedan uang cukup besar pada reaksi metabolismenya.
3. Perbedaan jenis kelamin
Pada spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap
kecepatan metabolisme obat
4. Perbedaan umur
Bayi dalam kandungan atau bayi yang baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom
hati yang diperlukan untuk memetabolisme obat relatif masih sedikit sehingga
sangat peka terhadap obat.
5. Penghambatan enzim metabolisme
Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu
senyawa yang menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat
meningkatkan intensitas efek obat,memperpanjang masa kerja obat dan
kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan toksisitas.
6. Induksi enzim metabolisme
Pemberian bersama-sama suatu senyawa dapat meningkatkan kecepatan
metabolisme obat dan memperpendek masa kerja obat.Hal ini disebabkan
senyawa tersebut dapat meningkatkan jumlah atau aktivitas enzim metabolisme
dan bukan Karena permeablelitas mikrosom atau adanya reaksi
penghambatan.Peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentuatau
proses induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar
11
obat bebas dalam plasma sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa
kerjanya menjadi lebih singkat.
Induksi enzim juga mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat
meningkatkan metabolisme dan metabolit reaktif.
Tempat metabolisme obat
Perubahan kimia obat dalam tubuh terutama terjadi pada jaringan-jaringan dan
organ-organ seperti hati,ginjal,paru dan saluran cerna.Hati merupakan organ
tubuh tempat utama metabolisme obat oleh karena mengandung enzim-enzim
metabolisme dibanding organ lain.Metabolisme obat di hati terjadi pada
membrane reticulum endoplasma sel.Retikulum endoplasma terdiri dari dua tipe
yang berbeda,baik bentuk maupun fungsinya.Tipe 1 mempunyai permukaan
membran yang kasar,terdiri dari ribosom-ribosom yang tersusun secara khas dan
berfungsi mengatur susunan genetik asam aminoyang diperlukan untuk sintesis
protein.Tipe 2 mempunyai permukaan membran yang halus tidak mengandung
ribosom.Kedua tipe ini merupakan tempat enzim-enzim yang diperlukan untuk
metabolisme obat. Jalur umum metabolisme obat dan senyawa organik asing
Reaksi metabolisme obat dan dan senyawa organic asing ada dua tahap yaitu:
1. Reaksi fase I atau reaksi fungsionalisasi
2. Reaksi fase II atau reaksi konjugasi.
Yang termasuk reaksi fase I adalah reaksi-reaksi oksidasi,reduksi,dan hi
drolisis.tujuan reaksi ini adalah memasukkan gugus fungsional tertentu yang
besifat polar.
Yang termasuk reaksi fase II adalah reaksi konjugasi,metilasi dan asetilasi.Tujuan
reaksi ini adalah mengikat gugus fungsional hasil metabolit reaksi fase I dengan
senyawa endogen yamg mudah terionisasi dan bersifat polar,seperti asam
glukoronat,sulfat,glisin dan glutamine,menghasilkan konjugat yang mudah larut
dalam air.Hasil konjugasi yang terbentuk (konjugat) kehilangan aktivias dan
toksisitasnya,dan kemudian di ekskresikan melalui urin.
12
Pada metabolisme obat,gambaran secara tepat system enzin yang
bertanggungjawab terhadap proses oksidasi,reduksi,masih belum diketahui
secara jelas.Secara umum diketahui bahwa sebagian besar reaksi metabolik akan
melibatkan prpses oksidasi.Proses ini memerlukan enzim sebagai kofaktor,yaitu
bentuk tereduksi dari nikotinamid-adenin-dinukleotida fosfat (NADPH) dan
nikotinamid-adenin-dinukleotida
(Siswandono,1995;hal 57-66)
SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic
Pyruvic Transaminase) adalah enzim intrasel yang terutama berada di jantung,
hati, dan jaringan skeleton. (Dorland, 2002).
C. FARMAKOTERAPI
1. Isoniazid (INH)
INH menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting
dinding sel mikobakterium. Di hati, INH terutama mengalami asetilasi, dan pada
manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik. INH dapat
menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis
multilobular. Penderita yang mendapat INH hendaknya selalu diamati dan dinilai
kemungkinan adanya gejala hepatitis, kalau perlu dilakukan pemeriksaan SGOT.
Efek nonterapi INH dapat dicegah dengan pemberian piridoksin dan pengawasan
yang cermat. Untuk tujuan terapi, INH harus diberikan dengan obat lain. Untuk
pencegahan, dapat diberikan tunggal.
13
2. Rifampicin
Rifampicin aktif terhadap sel yang bertumbuh. Kerjanya menghambat DNA-
dependent RNA polymerase dari mikobakteria dan mikroorganisme lain.
Rifampicin jarang menimbulkan efek nonterapi, namun pada penderita penyakit
hati kronik, alkoholisme, dan usia lanjut insidensi ikterus bertambah. Rifampicin
tampaknya meningkatkan hepatotoksisitas INH terutama pada asetilator lambat.
(Ganiswara, et.al, 2001).
Efek sampingnya yang terpenting tetapi tidak sering terjadi adalah penyakit
kuning (icterus), terutama bila dikombinasikan dengan INH yang juga agak toksis
bagi hati. Pada penggunaan lama, dianjurkan untuk memantau fungsi hati secara
periodik. Obat ini agak sering juga menyebabkan gangguan saluran cerna seperti
mual, muntah, sakit ulu hati, kejang perut dan diare, begitu pula gejala gangguan
SSP dan reaksi hipersensitasi (Tjay, 2003)
3. Etambutol
Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Jika ada efek nonterapi, biasanya
berupa gangguan penglihatan, dan peningkatan kadar asam urat darah. Efek
nonterapi ini mungkin diperkuat oleh INH dan piridoksin.
4. Pirazinamid
Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainan hati. Gejala pertama
adalah peningkatan SGOT dan SGPT. Jika jelas timbul kerusakan hati, terapi
dengan pirazinamid harus dihentikan. (Ganiswara et.al., 2001).
14
Efek samping antibiotik :
1. Menyebabkan reaksi alergi seperti gatal
2. Peradangan atau ruam serta adanya pembengkakan
3. Gangguan pencernaan seperti diare muntah dan sakit perut
4. Gangguan organ hati dan ginjal
5. Berbahaya pada pasien yang menderita pielonefritis dan
glomerulonefritis, hepatitis
Golongan obat
- Golongan obat yang berefek samping untuk ginjal :
1. Aminoglocoside
2. Ciproploksasin (air kencing gelap dan batu ginjal)
3. mecropeneng
- Golongan obat yang berefek samping untuk hati :
1. gol eritromicin
2. flucloxacilin
3. nitrofurantoin
4. trimetropin
5. sultonamid
15
Perjalanan Obat
Disebutkan pada scenario, anak yang meminum ASI ibu yang
mengalami gejala-gejala seperti di atas juga ikut terkena gejala yang
sama. Hal ini dikarenakan terjadinya kontaminasi darah antara ibu
dan anak. ASI yang diminum oleh anak merupakan bentukan dari
darah ibu, sedangkan setelah obat diabsorpsi di usus obat akan
masuk kedarah sehingga pada saat sang anak mendapatkan ASI anak
akan mendapat racun yang sama pada ibu, sehingga anak akan
tertular atau terkontaminasi dan menderita gejala yang sama pada
ibu.
Nyeri Epigastriumdisebabkan karena ulcus gaster, karena adanya
gerakan hiperperistaltik pada ulcusgaster
Morbiliform dan Skin Rash morbiliform terjadi karena respon
imunitas terhadap obat, disfungsi hati menyebabkan metabolisme
obat tidak terjadi dan kemudian muncul skinrash.
Manifestasi klinis obat
a. Hipersensitifitas terjadi cepat, menyebabkan kontraksi otot polos,
meningkatnya permebialitas kapiler, dan hipersekresi kelenjar
muscus.
b. Terjadi karena terbentuknya IgM / IgG, ini menyebabkan kelainan
darah seperti anemia hemolitik, eusinophilia dan
granulositophenia.
Eusinophili (alergi meningkat) -> histamin -> skinrash
c. Tipe 3
d. Tipe 4
16
BAB III
PEMBAHASAN
A. SGOT DAN SGPT
SGOT-SGPT merupakan dua enzim transaminase yang dihasilkan terutama
oleh sel-sel hati. Bila sel-sel liver rusak, misalnya pada kasus hepatitis atau sirosis,
biasanya kadar kedua enzim ini meningkat. Makanya, lewat hasil tes
laboratorium, keduanya dianggap memberi gambaran adanya gangguan pada
hati.
Gangguan hati sendiri bentuknya berjenis-jenis, dengan jumlah penderita tak
sedikit. Jumlah pengidap hepatitis C saja sekitar 3% dari populasi. Belum lagi
hepatitis A dan B yang jumlahnya jauh lebih banyak. Apalagi jika ditambah
dengan perlemakan hati, sirosis, intoksikasi obat, fibrosis hati, dan penyakit lain
yang nama-nya jarang kita dengar.
Penyakit-penyakit tadi umumnya ditandai dengan peningkatan angka
SGOT-SGPT. Namun, kedua enzim itu tidak 100% dihasilkan oleh liver. Sebagian
kecil juga diproduksi oleh sel otot, jantung, pankreas, dan ginjal. Itu sebabnya,
jika sel-sel otot mengalami kerusakan, kadar kedua enzim ini pun meningkat.
Rusaknya sel-sel otot bisa disebabkan oleh banyak hal, misalnya aktivitas
fisik yang berat, luka, trauma, atau bahkan kerokan. Ketika kita mendapat injeksi
intra muskular (suntik lewat jaringan otot), sel-sel otot pun bisa mengalami
sedikit kerusakan dan meningkatkan kadar enzim transaminase ini. Pendek kata,
ada banyak faktor yang bisa menyebabkan kenaikan SGOT-SGPT.
Dibandingkan dengan SGOT, SGPT lebih spesifik menunjukkan
ketidakberesan sel hati, karena SGPT hanya sedikit saja diproduksi oleh sel
nonliver. Biasanya, faktor nonliver tidak menaikkan SGOT-SGPT secara drastis.
Umumnya, tidak sampai 100% di atas BAN. Misalnya, jika BAN kadar SGPT adalah
65 unit/liter (u/l), kenaikan akibat bermain sepakbola lazimnya tak sampai dua
kali lipat.
17
Jika kadarnya melampaui dua kali lipat, ini pertanda mulai menyalanya
lampu merah yang harus diwaspadai. Jangan “sakit hati” jika dokter curiga kita
mengidap sakit hati. BAN sendiri bisa berbeda antarlaboratorium. Jika pernah tes
darah di dua laboratorium yang berbeda, dan mendapatkan BAN yang berbeda,
Anda tak perlu heran. “Batas atas normal tergantung pada reagen dan alat yang
digunakan,” jelas Rino. Di rumah sakit tertentu, BAN kadar SGPT bisa 40 u/l, tapi
di klinik lain bisa 65 u/l. Ini hanya masalah teknis pemeriksaan. itu sebabnya, kita
tak bisa menyatakan tinggi rendahnya SGOT-SGPT dari angka absolut, tetapi dari
nilai relatif (dibandingkan dengan BAN).
SGPT
SGPT atau juga dinamakan ALT (alanin aminotransferase) merupakan
enzim yang banyak ditemukan pada sel hati serta efektif untuk mendiagnosis
destruksi hepatoseluler. Enzim ini dalam jumlah yang kecil dijumpai pada otot
jantung, ginjal dan otot rangka. Pada umumnya nilai tes SGPT/ALT lebih tinggi
daripada SGOT/AST pada kerusakan parenkim hati akut, sedangkan pada proses
kronis didapat sebaliknya.
SGPT/ALT serum umumnya diperiksa secara fotometri atau
spektrofotometri, secara semi otomatis atau otomatis. Nilai rujukan untuk
SGPT/ALT adalah :
Laki-laki : 0 - 50 U/L
Perempuan : 0 - 35 U/L
18
Masalah Klinis
Kondisi yang meningkatkan kadar SGPT/ALT adalah :
Peningkatan SGOT/SGPT > 20 kali normal : hepatitis viral akut, nekrosis
hati (toksisitas obat atau kimia)
Peningkatan 3-10 kali normal : infeksi mononuklear, hepatitis kronis aktif,
sumbatan empedu ekstra hepatik, sindrom Reye, dan infark miokard
(SGOT>SGPT)
Peningkatan 1-3 kali normal : pankreatitis, perlemakan hati, sirosis
Laennec, sirosis biliaris.
Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
Pengambilan darah pada area yang terpasang jalur intra-vena dapat
menurunkan kadar
Trauma pada proses pengambilan sampel akibat tidak sekali tusuk kena
dapat meningkatkan kadar
Hemolisis sampel
Obat-obatan dapat meningkatkan kadar : antibiotik (klindamisin,
karbenisilin, eritromisin, gentamisin, linkomisin, mitramisin,
spektinomisin, tetrasiklin), narkotika (meperidin/demerol, morfin,
kodein), antihipertensi (metildopa, guanetidin), preparat digitalis,
indometasin (Indosin), salisilat, rifampin, flurazepam (Dalmane),
propanolol (Inderal), kontrasepsi oral (progestin-estrogen), lead, heparin.
Aspirin dapat meningkatkan atau menurunkan kadar.
SGOT
SGOT atau juga dinamakan AST (Aspartat aminotransferase) merupakan
enzim yang dijumpai dalam otot jantung dan hati, sementara dalam konsentrasi
sedang dijumpai pada otot rangka, ginjal dan pankreas. Konsentrasi rendah
19
dijumpai dalam darah, kecuali jika terjadi cedera seluler, kemudian dalam jumlah
banyak dilepaskan ke dalam sirkulasi. Pada infark jantung, SGOT/AST akan
meningkat setelah 10 jam dan mencapai puncaknya 24-48 jam setelah terjadinya
infark. SGOT/AST akan normal kembali setelah 4-6 hari jika tidak terjadi infark
tambahan. Kadar SGOT/AST biasanya dibandingkan dengan kadar enzim jantung
lainnya, seperti CK (creatin kinase), LDH (lactat dehydrogenase). Pada penyakit
hati, kadarnya akan meningkat 10 kali lebih dan akan tetap demikian dalam
waktu yang lama.
SGOT/AST serum umumnya diperiksa secara fotometri atau
spektrofotometri, semi otomatis menggunakan fotometer atau
spektrofotometer, atau secara otomatis menggunakan chemistry analyzer. Nilai
rujukan untuk SGOT/AST adalah :
Laki-laki : 0 - 50 U/L
Perempuan : 0 - 35 U/L
Masalah Klinis
Kondisi yang meningkatkan kadar SGOT/AST :
Peningkatan tinggi ( > 5 kali nilai normal) : kerusakan hepatoseluler akut,
infark miokard, kolaps sirkulasi, pankreatitis akut, mononukleosis
infeksiosa
Peningkatan sedang ( 3-5 kali nilai normal ) : obstruksi saluran empedu,
aritmia jantung, gagal jantung kongestif, tumor hati (metastasis atau
primer), distrophia muscularis
Peningkatan ringan ( sampai 3 kali normal ) : perikarditis, sirosis, infark
paru, delirium tremeus, cerebrovascular accident (CVA)
20
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
Injeksi per intra-muscular (IM) dapat meningkatkan kadar SGOT/AST
Pengambilan darah pada area yang terpasang jalur intra-vena dapat
menurunkan kadar SGOT/AST
Hemolisis sampel darah
Obat-obatan dapat meningkatkan kadar : antibiotik (ampisilin,
karbenisilin, klindamisin, kloksasilin, eritromisin, gentamisin, linkomisin,
nafsilin, oksasilin, polisilin, tetrasiklin), vitamin (asam folat, piridoksin,
vitamin A), narkotika (kodein, morfin, meperidin), antihipertensi
(metildopa/aldomet, guanetidin), metramisin, preparat digitalis, kortison,
flurazepam (Dalmane), indometasin (Indosin), isoniazid (INH), rifampin,
kontrasepsi oral, teofilin. Salisilat dapat menyebabkan kadar serum positif
atau negatif yang keliru.
B. PEMERIKSAAN SGOT DAN SGPT :
Prinsip kerja SGOT dan SGPT
- SGOT dan SGPT digunakan sebagai acuan dalam menentukan kerusakan hati atau kerusakan jantung
- Dalam uji SGOT dan SGPT, hati dapat dikatakan rusak bila jumlah enzim tersebutdalam plasma lebih besar dari kadar normalnya. Kondisi yang meningkatkan kadar SGPT/ALT adalah :
o Peningkatan SGOT/SGPT > 20 kali normal : hepatitis viral akut, nekrosis hati (toksisitasobat atau kimia)
o Peningkatan 3-10 kali normal : infeksi mononuklear, hepatitis kronis aktif, sumbatanempedu ekstra hepatik, sindrom Reye, dan infark miokard (SGOT>SGPT)
o Peningkatan 1-3 kali normal : pankreatitis, perlemakan hati, sirosis Laennec, sirosisbiliaris
21
Cara kerja
1. Ambil darah 3 ml (hindari hemolisis) → masukkan ke dalam tabung
vacutest → sentrifugasi untuk mendapatkan plasma.
2. Hangatkan reagen dan cuvet pada temperature yang diinginkan dan
temperature haruskonstan (±0,5ÛC)
3. Sampel 200µL + reagen 1 1000µL → inkubasi pada temperature 25/30ÛC
Sampel 100µL + reagen 1 1000µL → inkubasi pada temperature 37ÛC
4. + reagen 2 masing-masing sebanyak 250
5. Campur reagen + sampel , baca absorbansi pada panjang gelombang
365nm,setelah 1 menit dan pada saat yang sama, hitung waktu dengan
stopwatch
6. Baca lagi absorbansi dengan pasti setelah 1 menit, 2 menit dan 3 menitFaktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
Pengambilan darah pada area yang terpasang jalur intra-vena dapat
menurunkan kadar
Trauma pada proses pengambilan sampel akibat tidak sekali tusuk kena
dapatmeningkatkan kadar
Hemolisis sampel
Obat-obatan dapat meningkatkan kadar : antibiotik (klindamisin,
karbenisilin,eritromisin, gentamisin, linkomisin, mitramisin, spektinomisin,
tetrasiklin), narkotika(meperidin/demerol, morfin, kodein), antihipertensi
(metildopa, guanetidin), preparatdigitalis, indometasin (Indosin), salisilat,
rifampin, flurazepam (Dalmane), propanolol(Inderal), kontrasepsi oral
(progestin-estrogen), lead, heparin.
22
C. AMINOGLIKOSIDA
Merupakan salah satu jenis antibiotikyang dapat menghambat
pembentukan protein bakteri. Karena keefektifan antibiotik ini dalam
menghambat produksi protein bakteri, aminoglikosida diberikan antara
lain untuk mengobati tifus dan pneumonia. Meskipun efektif dalam
mengobati bakteri penyebab infeksi, terdapat risiko bakteri semakin
tahan terhadap antibiotik ini. Aminoglikosida juga diberikan dalam
kombinasi dengan penisilin atau sefalosporin. Aminoglikosida efektif
mengendalikan dan mengobati infeksi bakteri, namun berpotensi
melemahkan ginjal dan fungsi hati.
D. CARA PEMBERIAN OBAT :
1. Peroral - Tempat absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki permukaan
absorpsi yang sangat luas yaitu 200 m2.
- Keuntungan: paling mudah, paling murah, relatif lebih aman, tidak menggunakan alat, tidak aseptik
- Kerugian: tidak bisa dipakai untuk pelupa, tidak bisa dipakai untuk emergency, tergantung kondisi perut
2. Sublingual - Pemberian obat di bawah lidah. Hanya untuk obat yang sangat larut
dalam lemak, karena luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi dengan sangat cepat, misalnya: nitrogliserin.
- Obat tidak mengalami metabolisme lintas pertama hati karena darah dari mulut langsung ke vena cava superior dan tidak melalui vena porta.
3. Injeksi a. Intra vena
Paling bagus, injeksi melalui pembuluh darah, bisa untuk obat yang dapat menyebabkan iritasi, tidak melalui absorpsi, sudut penyuntikan 15-30o, pemberian sebaiknya pelan-pelan. Kerugiannya yaitu cepat bereaksi toksik. Contoh: pemberian infus.
23
b. Intramuskular Obat langsung masuk interstisium jaringan otot atau kulit → pembuluh darah kapiler → darah sistemik. Absorpsinya tidak secepat intravena, kecepatannya dipengaruhi oleh kelarutan obat dalam air, sudut penyuntikan 90o, paling aman dan paling mudah. Contoh: imunisasi TT, vitamin C.
c. SubkutanMelalui bawah kulit, hanya obat yang yang tidak menyebabkan iritasi jaringan, absorpsinya lambat dan konstan, efeknya lama. Contoh: KB susuk, vaksin, insulin.
d. IntratekalDigunakan khusus untuk bahan obat yang akan berefek pada cairan serebrospinal. Digunakan untuk infeksi ssp seperti meningitis, juga untuk anastesi spinal. Intratekal umumnya diinjeksikan secara langsung pada lumbar spinal atau ventrikel sehingga sediaan obat berpenetrasi masuk ke dalam daerah yang berkenaan langsung pada SSP.
4. Paru-paru (inhalasi)- Keuntungan : cepat bereaksi- Kerugian : perlu metode khusus, sukar mengatur dosisnya
5. Topikal - Pemberian secara dioles ke kulit- Keuntungan : efek lokal, lebih praktis- Kerugian : permukaan nya luas sehingga cenderung sulit
Faktor absorpsi obat :
1. fisik & kimia bahan obat
2. bentuk sediaan obat
3. formulasi obat
4. cara pemberian obat
5. luas konta permukaan obat
6. pH organ, makanan, curah jantung, dinding kapiler.
Faktor distribusi : aliran darah, efek pengikatan terhadap protein, afinitas
24
E. VARIASI GENETIK GEN YANG MENDEGRADASI OBAT- Polimorfisme genetik ditemukan pada : enzim CYP2D6, CYP2C9, & NAT2.
Populasi terbagi dalam 2 atau lebih subpopulasi dengan aktivitas enzim yang berbeda. Dalam hal enzim CYP, genotip populasi terbagi menjadi extensive metabolizers (EM) dan poor metabolizers (PM), sedangkan NAT 2, rapid acetylators (RA) dan slow acetylator (SA). Frekuensi PM pada keturunan asia tenggara untuk enzim CYP2D6 hanya sekitar 1-2%, untuk enzim CYP2C19 sekitar 15-25%, sedangkan untuk enzim NAT2 antara 5-10%. Frekuensi PM pada populasi dunia untuk enzim CYP2C9 antara 2-10%. Bagi mereka dibutuhkan dosis yang jauh lebih rendah untuk obat-obat yang merupakan substrat dari enzim yang bersangkutan. Penghambat enzim yang poten dapat mengubah seseorang dengan genotip EM menjadi PM.
- Enzim katalase jika terkena hidrogen peroksida akan hemolisis.
25
BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
Dari hasil diskusi yang kami lakukan didapatkan bahwa pasien alergi
terhadap obat analgesik dan antibiotik. Alergi tersebut dapat terjadi karena
ketidakmampuan si ibu memetabolisme obat dengan baik di dalam tubuhnya.
Selanjutnya obat mengkontaminasi darah pada ibu, sehingga saat anak
mengkonsumsi ASI yang terbentuk dari darah ibu, anak kemudian mendapat
gejala yang sama karena ibu, karena anak meminum ASI, dimana obat juga bisa
diekskresikan melalui ASI. Efek obat dapat berbeda antara makhluk hidup yang
satu dengan yang lainnya. Karena di dalam tubuh makhluk hidup terdapat variasi
genetic. Efek obat di dalam tubuh juga dipengaruhi oleh pola hidup, makanan,
dan juga lingkungan.
Pemberian obat harus mempertimbangkan banyak hal, selain adanya
hipersensitivitas pada pasien tertentu, keadaan pasien juga harus menjadi
pertimbangan penting. Bagi ibu hamil dan menyusui, pemilihan dan pemakaian
obat harus sangat hati-hati karena farmakokinetika obat, terutama pada proses
ekskresi, dapat mempengaruhi bahkan membahayakan anak dari ibu tersebut
B. SARAN
1. Saat terjadi gejala-gejala yang abnormal segera hentikan
pengkonsumsian obat agar gejala yang timbul tidak semakin parah.
2. Saat muncul gejala yang tidak wajar, hentiikan pemberian ASI kepada
bayi, karena efek obat tersebut juga diekskresikan melalui ASI
3. Hubungi segera dokter yang memberi obat sebelumnya agar bia
menangani lebih lanjut.
26
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Hfiz, Al, Effy Huriyati (2008). Diagnosis dan penatalaksanaan rinitis alergi yang
disertai asma bronkial. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
http://repository.unand.ac.id/17670/1/Case%203%20-%20Rhinitis
%20Alergi%20dengan%20Asma.pdf
Diakses : November 2012
Mahar, Mardjono (1995). Farmakologi dan terapi. Edisi ke 4. Jakarta : EGC. pp:1-23
Mardjono, Mahar (2007), Farmakologi dan terapi. Jakarta; Universitas Indonesia
Press.
Mycek, Mary J (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. Jakarta :
WidyaMedika
Rifa’i Muhaimin (2011). Alergi dan hipersensitif. Kementrian Pendidikan Nasional
Universitas Brawijaya.
http://muhaiminrifai.lecture.ub.ac.id/files/2011/01/Alergi-hipersensitif-
diktat1.pdf
Diakses : November 2012
Siswandono, Soekardjo (1995). Kimia medisinal. Surabaya : Airlangga University
Press.
27
Mardjono, Mahar, 2007, Farmakologi dan Terapi, Jakarta; Universitas Indonesia
Press.
Mycek, Mary J, 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2, Widya Medika,
Jakarta.
Siswandono, Soekardjo, 1995, Kimia Medisinal, Surabaya; Airlangga
University Press
28
top related