laporan proyek fishe pengaruh hormon progesteron terhadap siklus estrus tikus ok
Post on 02-Jan-2016
332 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGARUH HORMON PROGESTERON TERHADAP SIKLUS ESTRUS
TIKUS (Rattus norvegicus)
Laporan Penelitian
Diajukan Guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Fisiologi Hewan
Disusun Oleh:
Ana Nur Farihah 4401411070
Fadilah Nur Sugiyanto 4401411081
Umi Hanum 4401411082
Susanti Dwi Wardani 4401411104
Rombel 4
Pendidikan Biologi
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
A. Judul
PENGARUH HORMON PROGESTERON TERHADAP SIKLUS
ESTRUS TIKUS (Rattus norvegicus)
B. Latar Belakang
Rattus norvegicus merupakan tikus albino dengan mata berwarna merah
dan rambut berwarna putih yang menutupi seluruh tubuhnya. Masa hidup
tikus adalah 2-3 tahun, dan masa produktif untuk berkembangbiak sampai 1
tahun. Tikus mencapai dewasa saat berusia 2 bulan, berat badan tikus betina
dewasa berkisar antara 150-300 gram. Sedangkan tikus jantan dewasa antara
120-400 gram. Tikus tersebut dihasilkan dari perkawinan sedarah brown rat
(Sophia, 2003).
Tikus merupakan salah satu hewan yang sering mengtganggu pertanian .
Semakin banyak tikus yang berkembangbiak tidak di imbangi dengan
pengendalian tikus ini sehingga populasi tikus semakin meledak mengalami
pembengkakan. Faktor penyebab kurang berhasilnya pengendalian
perkembangan tikus belum diketahui secara pasti, namun kemungkinan besar
disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan atau kurang informasi tentang pola
biologi reproduksi tikus ini.
Pengetahuan tentang siklus estrus pada tikus betina terutama lama
periode estrus dan waktu ovulasi merupakan informasi yang sangat penting
dalam menentukan tingkat keberhasilan perkawinan. Pada hewan betina,
penentuan siklus estrus dapat dilakukan melalui pengamatan tingkah laku,
namun tidak cukup dapat dipercaya dalam penentuan status reproduksi.
Adanya perbedaan kemunculan perubahan perilaku seksual pada stiap spesies
yang berbeda mengakibatkan pengamatan perubahan perilaku seksual saja
tidak cukup untuk menentukan waktu yang tepat untuk kawin. Metode lain
dalam pengamatan biologi reproduksi diantaranya dengan mempelajari
gambaran perubahan sel epitel atau sitologi vagina (Wiliams, et al., 1992;
Mohle, et al., 2002)
Pengaturan estrus dipengaruhi oleh hormon gonadotropin yang kemudian
mempengaruhi produksi hormon esterogen dan progesteron berdasarkan
aktivirtas ovarium. Estradiol yang diproduksi dari aktivitas gelombang
volikel ovarium selama fase luteal siklus estrus. Efek esterogen pada poros
hipotalamus-hipofisa dalam ketidakhadiran progesteron meningkatkan sekresi
LH kedalam peredaran darah meyebabkan ovulasi (Gordon, 1994). Hormon
progesteron mulai meningkat setelah ovulasi dengan terbentuknya korpus
luteum dimana hal tersebut menandakan bahwa hewan berada dalam fase
luteal.
Fluktuasi hormon akan berpengaruh terhadap gambaran sel epitel vagina
pada fase luteal (pengaruh hormon progesteron), hewan yang tidak
mengalami masa estrus terdapat sel parabasal sedangkan hewan yang
memasuki fase estrus (pengaruh hormon esterogen) sel epitel berubah
menjadi sel superfisial dan kornifikasi yang menandakan hewan dalam
keadaan puncak estrus (Boume, 1990). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh hormon progesteron terhadap siklus estrus tikus dan
lama periode estrus tikus melalui pengamatan sitologi sel-sel epitel vagina.
Reproduksi pada hewan merupakan suatu kemampuan fungsi tubuh yang
harus dimiliki oleh setiap individu. Reproduksi ini sangat penting untuk
kelanjutan suatu jenis atau bangsa hewan, karena jika reproduksi tidak terjadi
maka hewan atau jenis hewan tersebut akan mengalami kepunahan.
Kemampuan ini hanya dimiliki oleh hewan-hewan yang telah mencapai
pubertas dan secara reproduktif bersifat fertil. Namun, pada tikus, tingkat
reproduksinya sangat mudah sehingga menyebabkan popuasi tikus sangat
banyak dan sulit untuk dikendalikan.
Proses dalam reproduksi melibatkan hormon-hormon reproduksi antara
lain progesteron. Progesteron berfungsi dalam persiapan endometrium untuk
implantasi dan untuk mempertahankan kebuntingan. Aktivitas progesteron
berkesinambungan dengan esterogen untuk merangsang siklus birahi (Hafez,
1993).
Tikus sangat dihindari oleh para petani dan manusia, karena tikus bersifat
sangat merugikan. Jika populasi tikus yang sangat cepat tidak di imbangi
dengan pengendalian, maka dikhawatirkan populasi tikus akan meningkat.
Agar proses estrus tikus berjalan dengan semestinya maka kita harus
mengetahui beberapa faktor penyebab proses estrus tikus, salah satunya
adalah hormon progesteron. Hormon progesteron merupakan hormon yang
dapat mempengaruhi proses estrus tikus, yaitu dapat memperlama proses
estrusnya.
Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis merumuskan masalah yang
menarik untuk dikaji, dengan melakukan penelitian yang berjudul
PENGARUH HORMON PROGESTERON TERHADAP SIKLUS ESTRUS
TIKUS (Rattus norvegicus).
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas dapat dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut :
1. Apakah hormon progesteron berpengaruh terhadap siklus estrus tikus?
2. Bagaimana pengaruh hormon progesteron terhadap siklus estrus tikus?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh hormon progesteron terhadap siklus estrus
tikus.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh hormon progesteron terhadap
siklus estrus tikus
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan referensi dan
masukan terhadap disiplin ilmu dibidang Biologi khususnya Fisiologi
Hewan. Selain itu juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi
peneliti lain yang akan meneliti dengan tema yang sama.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran detail tahap siklus
estrus yang terjadi pada tikus sehingga dapat memberikan informasi kapan
sebaiknya tikus dikembangbiakkan sebagai hewan percobaan dan juga
menunjang penelitian-penelitian lanjutan yang berhubungan dengan siklus
estrus tikus.
F. Landasan Teori
1. Mamalia
Mamalia adalah kelompok hewan yang menduduki tempat tertinggi
didalam sejarah perkembangan hewan serta merupakan vertebrata yang
benar-benar paling sesuai dengan kehidupan darat. Semua mamalia berambut
meskipun pada kelompok kelompok tertentu rambut-rambut itu hanya
tumbuh di bagian tubuh tertentu. Mamalia dapat mempertahankan suhu
tubuhnya relatif tetap sehingga disebut homoioterm.
Mamalia mempunyai kelenjar susu atau mamae yang menghasilkan
cairan sebagai bahan makan bagi anak-anaknya. Beraneka ragam mamalia
menempati habitat yang berbeda-beda mulai dari daerah kutub sampai ke
khatulistiwa, mulai dari laut sampai ke hutan-hutan dan padang pasir. Banyak
diantaranya yang aktif di waktu malam (nocturnal) sehingga hampir tidak
pernah terlihat dalam kehidupan sehari-hari.
Jenis-jenis tertentu dijadikan hewan buruan untuk diambil dagingnya
atau kulitnya yang berambut halus seperti beludru. Beberap anggota rodentia
atau karnivora dapat menimbulkan kerugian bagi manusia karena dapat
merusak tanaman atau memangsa ternak.
Karakteristik yang dimiliki mamalia yaitu mempunyai kelenjar susu,
memiliki rambut, hewan homoioterm, jantungnya memiliki 4 ruang, rongga
dada sudah terspesialisasi, eritrosit tanpa inti dan bikonkaf, mempunyai 3
tulang pendengaran, otak relatif besar, mempunyai tonjolan ganda dibelakang
tengkorak, hidung dengan lubang tunggal di tengkorak, dan berjalan tegak
(erectus).
2. Ordo Rodentia
Salah satu hewan yang termasuk mamalia adalah Rodentia. Klasifikasi
tikus putih (R. norvegicus) menurut Myres & Armittage (2004) adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Rodentia termasuk ke dalam kelas mamalia yang mempunyai ciri umum
antara lain :
a) Tubuh kecil
b) Tungkai-tungkai berji-jari 5 masing-masing bercakar
c) Gigi seri pada rahang atas hanya sepasang berbentuk seperti pahat
d) Tetstis abdominal
e) Plasenta discoidal
3. Morfologi Rattus norvegicus
Tikus putih (R. norvegicus) yang memiliki nama lain Norway Rat,
termasuk ke dalam hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri-ciri
galur ini yaitu bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit. Telinga tikus
ini tebal dan pendek dengan rambut halus. Mata tikus putih berwarna
merah. Ciri yang paling terlihat adalah ekornya yang panjang. Bobot
badan tikus jantan pada umur dua belas minggu mencapai 240 gram
sedangkan betinanya mencapai 200 gram. Tikus memiliki lama hidup
berkisar antara 4-5 tahun dengan berat badan umum tikus jantan berkisar
antara 267-500 gram dan betina 225-325 gram (Sirois, 2005).
Tikus dapat mendengar hingga suara ultrasonik dengan rentang
pendengaran 70 dB yaitu 250 Hz-70 kHz dan rentang yang paling sensitif
berkisar antara 8-32 kHz. Suara ultrasonik sangat penting sebagai alat
berkomunikasi antara induk dengan anaknya. Galur ini memiliki
pertumbuhan yang cepat, tempramen yang baik dan kemampuan laktasi
yang tinggi (Robinson, 1979). Tikus putih (R. norvegicus) tersebar luas di
beberapa tipe habitat, namun tikus putih lebih sering terlihat pada
beberapa tempat yang merupakan habitat alami dari tikus putih, yaitu area
pertanian, hutan alami maupun buatan, pesisir pantai dan tempat-tempat
yang lembab (Pagad, 2011).
4. Siklus Estrus pada Tikus
Siklus reproduksi merupakan proses berulang yang terjadi pada
sistem reproduksi hewan betina dewasa yang memperlihatkan perubahan
organ-organ reproduksi tertentu. Organ-organ tersebut adalah organ-organ
reproduksi seperti ovarium, oviduk, uterus dan vagina. Siklus reproduksi
pada mamalia (primata) disebut dengan siklus menstruasi, sedangkan
siklus reproduksi pada non-primata (tikus) disebut siklus estus (Champbell
et al, 2004).
Siklus estrus adalah proses berulang yang menggambarkan
perubahan kadar hormon reproduksi yang disebabkan oleh aktivitas
ovarium di bawah pengaruh hormon pituitari. Perubahan kadar hormon
reproduksi selanjutnya menyebabkan perubahan struktur pada jaringan
penyusun saluran reproduksi. Siklus estrus ditandai dengan adanya birahi
pada hewan betina, sehingga akan bersifat reseptif terhadap hewan jantan
pada saat estrus. Hal tersebut dikarenakan, di dalam ovarium terjadi
pematangan sel telur dan uterus berada pada fase yang tepat untuk
implantasi. Panjang siklus estrus pada tikus adalah 4-5 hari (Marcondes et
al, 2002).
1. Fase proestrus
Proestrus merupakan periode persiapan yang ditandai dengan
pemacuan pertumbuhan folikel oleh FSH sehingga folikel tumbuh
dengan cepat. Proestrus berlangsung selama 12 jam. Pada fase
kandungan air pada uterus meningkat dan mengandung banyak
pembuluh darah dan kelenjar-kelenjar endometrial mengalami
hipertrofi. Fase proestrus adalah tingkat perkembangan folikel sampai
pertumbuhan maksimal yang dipengaruhi oleh hormon FSH dan
esterogen (Binkley, 1995). Pada fase ini kadar FSH dan esterogen
mulai meningkat, dan saluran mukosa vagina mulai mendapatkan
peningkatan aliran darah (vaskularisasi) yang lebih intensif, sehingga
sel-sel epitel saluran reproduksi mulai berproliferasi (Toelihere, 1981).
2. Fase estrus
Estrus adalah masa keinginan kawin yang ditandai dengan
keadaaan tikus tidak tenang, keluar lendir dari dalam vulva, pada fase
ini pertumbuhan folikel meningkat dengan cepat, uterus mengalami
vaskularisasi dengan maksimal, ovulasi terjadi dengan cepat, dan sel-
sel epitelnya mengalami akhir perkembangan/terjadi dengan cepat.
Berlangsung selama 12 jam. Fase estrus merupakan saat terjadinya
pematangan folikel (folikel de graff) hingga menunggu ovulasi. Pada
fase ini hewan betina siap menerima hewan jantan untuk melakukan
perkawinan. Menjelang fase estrus kadar esterogen sangat tinggi,
sehingga terjadi penghambatan terhadap sekresi FSH dan merangsang
sekresi LH (Hafez, 2000). Dibawah pengaruh esterogen, FSH dan LH
folikel de Graaf mengalami ovulasi (Baker et al, 1980). Pada fase
estrus kadar esterogen tinggi dan suplai darah ke vagina bertambah,
sehingga epitel vagina mengalami kornifikasi dengan cepat dan lendir
disekresikan (Toelihere 1981).
3. Fase metestrus
Metaestrus ditandai dengan terhentinya birahi, ovulasi terjadi
dengan pecahnya folikel, rongga folikel secara berangsur-ansur
mengecil dan pengeluaran lendir terhenti. Selain itu terjadi
penurunan pada ukuran dan vaskularitas. Berlangsung selama 6
jam. Fase metestrus, ditandai dengan terbentuknya korpus luteum
yaitu badan kuning yang terdiri atas sel-sel teka dan sel-sel
granulosa yang mengalami proliferasi, hipertrofi, dan diferensiasi,
karena adanya pengaruh LH. Korpus luteum berfungsi
menghasilkan hormon progesteron, yang dibutuhkan untuk
memelihara kebuntingan apabila terjadi fertilisasi (Partodihardjo,
1982). Menurut Baker et al. (1980). Pada fase metestrus, kadar
esterogen menurun dan vaskularisasi berkurang, sehingga terjadi
pelepasan sel-sel epitel vagina dan infiltrasi leukosit.
4. Fase diestrus
Selanjutnya apabila tidak terjadi fertilisasi dan kebuntingan,
maka tingkatan seksual disebut fase diestrus (fase istirahat). Pada fase
ini kadar esterogen pada level rendah, mukosa vagina tipis dan
leukosit bertambah jumlahnya.
Diestrus adalah periode terakhir dari estrus, pada fase ini
corpus luteum berkembang dengan sempurna dan efek yang
dihasilkan dari progesteron (hormon yang dihasilkan dari corpus
luteum) tampak dengan jelas pada dinding uterus serta folikel-folikel
kecil dengan korpora lutea pada vagina lebih besar dari ovulasi
sebelumnya. Berlangsung selama 2-2.5 hari.
Siklus estrus dibedakan dalam 2 fase, yaitu fase folikular dan
fase luteal. Fase folikular adalah pembentukan folikel sampai masak,
sedangkan fase luteal adalah fase setelah ovulasi, kemudian
terbentuknya korpus luteum dan sampai mulainya siklus. Siklus estrus
terdiri dari 4 fase, yaitu prosestrus, estrus, metestrus, dan diestrus.
Setiap fase dalam siklus ditentukan berdasarkan bentuk sel epitel pada
pengamatan sitologi vagina. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1
(Spornitz et al, 1999).
No. Fase Sel epitel Bentuk sel Leukosit
1. Pro estrus Sel
intermediet
Bulat,
terdapat inti
dan berbentuk
oval dan
berada di
tengah sel.
Ada
2. Estrus Sel supefisial Poligonal,
pipih,
sitoplasma
luas, tidak
berinti,
pinggiran sel
melipat.
Tidak ada
3. Metestrus Sel parabasal Bulat, inti
relatif besar
dibandingkan
sitoplasma
Ada
4. Diestrus Sel parabasal Ada
(Bowen 1998; Nadjamudin et al, 2010; Nalley et al, 2011)
5. Hormon Progesteron
Progesteron adalah hormon steroid yang memiliki 21 atom C
dengan struktur dasar inti pregnan (Turner dan Bagnara, 1976). Menurut
Guyton (1994) progesteron merupakan steroid hormon yang memiliki
struktur kimia yang mirip dengan kolesterol. Struktur progesteron dapat
dilihat pada Gambar 1.
Progesteron merupakan progesteron alamiah terpenting yang
disekresikan oleh sel-sel lutein korpus luteum. Sejumlah besar
progesteron telah disintesis seperti 17-α-19-nortestosteron, 17-αethynil-
19-nontestosteron, 17-α-OH-progesteron caproat dan 6-α-methyl-17α-
acetoxyprogesteron (Toelihere, 1981).
Gambar 1. Struktur Progesteron (Guyton, 1994)
Progesteron dihasilkan oleh korpus luteum dan plasenta. Kadar
progesteron meningkat selama kebuntingan (McDonald, 1980; Coutinho
dan Fuchs, 1974). Progesteron terdapat didalam ovarium, testis, korteks
adrenal, dan plasenta. Progesteron juga berperan sebagai zat antara dalam
biosintesis hormon-hormon steriod lain (Turner dan Bagnara, 1976).
Sekresi progesteron terutama distimulasi oleh LH (Hafez, 1993). Semakin
banyak korpus luteum yang terbentuk, maka sekresi progesteron akan
semakin meningkat.
Sebagaimana steriod-steroid lainnya, progesteron tidak disimpan
didalam tubuh. Progesteron dipakai secara cepat atau diekskrasikan,
sehingga didalam jaringan tubuh hanya terdapat dalam kadar yang rendah.
Biosintesis progesteron dimulai dengan asetat atau kholesterol dan
berakhir dengan pregnadiol glukoronida yang inaktif. Pregnadiol
glukoronida merupakan hasil degradasi progesteron yang akan
disekresikan melalui urin. Hal ini terjadi di dalam hati (Turner dan
Bagnara, 1976).
Progesteron berfungsi untuk mempersiapkan endometrium pada
proses implantasi dan menjaga kebuntingan (Hafez, 1993;
Hardjopranjoto, 1995). Dalam hal tertentu aktivitas progesteron
berkesinambungan dengan esterogen yaitu untuk merangsang siklus
birahi, tapi kadar progesteron yang tinggi akan menghambat birahi.
Menurut (Hardjopranjoto, 1995) berkesinambungan tersebut artinya
progesteron akan melanjutkan proliferasi dari tenunan yang semula telah
mengalami perubahan-perubahan oleh estrogen.
Seperti halnya estradiol sekresi progesteron juga dibawah pengaruh
hormon gonadotropin. Progesteron mempunyai mekanisme umpan balik
negatif pada hipofisa. Kadar progesteron rendah akan merangsang
pelepasan LH dan LTH untuk kemudian membentuk korpus luteum
sehingga kadar progesteron meningkat. Apabila progesteron tinggi maka
akan bekerja balik terhadap hipofisa yaitu menghambat pelepasan LH dan
LTH sehingga terjadi penurunan progesteron.
Gambar 2. Diagram skematik peranan hormon-hormon reproduksi primer
pada hewan betina. Garis putus-putus menunjukkan “mekanisme umpan
balik negatif” (Toelihere, 1981).
G. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah eksperimen kualitatif.
b. Desain Penelitian
Desain pada penelitian ini adalah penelitian korelasi sebab-akibat untuk
mengetahui pengaruh keadaan pertama terhadap keadaan kedua. Pada
penelitian ini desain penelitian korelasi sebab-akibat untuk mengetahui
pengaruh hormon progesteronn terhadap siklus estrus Rattus
norvegicus.
2. Variabel Penelitian
Variabel adalah gejala yang bervariasi. Gejala adalah objek
penelitian, sehingga variabel adalah objek penelitian yang bervariasi
(Sutrisno Hadi dalam Arikunto, 2006).
Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah :
a. Variabel bebas
Hormon Progesteron
b. Variabel terikat
Gambaran sitologi apusan vagina pada tikus putih (Rattus norvegicus).
Dalam penelitian ini juga diadakan kelompok kontrol yaitu Rattus
norvegicus yang tidak diberi hormon progesteron dan kelompok
eksperimen yaitu Rattus norvegicus yang diberi hormon progesteron.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam melakukan sebuah penelitian sangat memerlukan adanya data
untuk memperkuat hasil penelitian tersebut. Metode pengumpulan data
yang akan dilakukan oleh peneliti adalah dengan melakukan eksperimen,
yaitu memberikan perlakuan yang bervariasi terhadap objek penelitian.
4. Metode Pelaksanaan
Alat :
a. Sonde
b. Mikroskop
c. Cotton buds
d. Gelas object
e. Gelas penutup
f. Pipet
g. Kamera digital
Bahan :
a. 6 ekor tikus putih (Rattus norvegicus)
b. Hormon progesteron berupa kemasan tablet pil KB Andalan dengan
kandungan Ethinylestradiol 0.03 mg dan levonogestrel 0,15 mg pada
setiap tablet warna kuning.
c. Alkohol 70%
d. NaCl Fisiologis
e. Zat warna eosin
Cara Kerja :
a. Menyiapkan tikus putih betina dewasa yang memenuhi kriteria
sebanyak 6 ekor.
b. Mengelompokkan tikus (kelompok kontrol dan kelompok perlakuan,
membuat larutan hormon progesteron dari pil KB, dimana dosis yang
digunakan adalah P1 dosis utama dan P2 2 x dosis utama).
Perhitungan Dosis:
Berat 1 tablet obat adalah 0,08 gram. Faktor konversi manusia (dengan berat badan ± 70 kg) ke tikus (dengan berat badan ±200 gr) adalah 0,018 sehingga dosis yang diberikan pada tiap tikus adalah 80 mg x 0,018 = 1,44 mg/tikus/hari. Dosis untuk tikus per hari adalah 2 ml per oral, sehingga 1,44 mg dilarutkan dalam 2 ml aquadest.
c. Memberikan perlakuan dengan cara memberikan larutan hormon
progesteron pada masing-masing kelompok perlakuan secara berulang
dengan dosis yang telah ditentukkan.
d. Mengambil sampel sitologi setiap hari sesuai dengan masa estrusnya
selama 7 hari. Sampel diperoleh dengan mengambil jaringan epitel
vagina tikus menggunakan apusan vagina.
e. Cara pengambilan sitologi yang pertama adalah hewan dipegang
dengan tangan kiri dengan posisi telentang, cotton bud di basahi
dengan NaCl fisiologis kemudian dimasukkan ke dalam vagina
sedalam 0,5 cm kemudian dikorek perlahan dengan hati-hati,
kemudian ditutup dengan kaca penutup, setelah itu amati di bawah
mikroskop dan mendeskripsikan sel-sel yang terdapat dalam apusan,
menentukan fase siklus estrus.
5. Alur Penelitian
6. Metode Analisis Data
Pengolahan data penelitian yang sudah diperoleh dimaksudkan suatu
cara mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga dapat dibaca
(readable) dan dapat ditafsirkan (interpretable), (Azwar, 2001).
Kelompok kontrolKe
Kelompokkontrol
Kelompok 1(2 ekor)Larutan Hormon
progesterondosis utama
Kelompok 2(2 ekor)Larutan Hormon
Progesteron2 x dosis utama
Pemeriksaan apus vagina
Pemberian treatmen secara rutin setiap hari selama 7
hari
Kegiatan berulang, dilakukan selama 7 hari
Kelompokkontrol
6 ekor tikus putih
2 ekor tikus putih 4 ekor tikus putih
Pemeriksaan apus vaginaSebelum diberikan
treatmen
Tidak diberikan treatment
Dalam penelitian ini data yang diperoleh peneliti akan diolah secara
deskriptif melalui hasil apusan vagina karena yang diperoleh adalah data
tentang pengaruh hormon progesteron terhadap siklus estrus tikus betina
dengan metode apus vagina.
7. Jadwal Penelitian
N
OKegiatan
Waktu (Hari ke-)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
0
1
1
1
2
1
3
1
4
1
5
1
6
1
7
1
8
1
9
2
0
2
1
1 Penyusunan Proposal
2 Konsultasi penyusunan proposal
3 Revisi Proposal penelitian
4 Pelaksanaan penelitian
5 Pengumpulan dan pengolahan
data
6 Penyusunan laporan hasil
penelitian
7 Presentasi hasil penelitian
H. DATA HASIL PENGAMATAN
Terlampir (Lampiran 1)
I. ANALISA DATA
Pada kandang 1 yaitu dengan kadar hormon progesteron 0 atau
kandang yang digunakan sebagai kontrol, tikus yang ditandai kepalanya
mengalami masa estrus 72,5 jam, setelah itu siklus balik ke ke proestrus 22
jam, kemudian metestrus selama 25 jam, kemudian berlanjut ke fase
diestrus selama 24,5 jam. Sedangkan untuk tikus polos mengalami fase
estrus pada awal pemeriksaan selama 60,5 jam, fase metestrus selama 22
jam, kemudian siklus ke diestrus selama 49,5 jam, kemudian fase
proestrus 12,5 jam. Seharusnya tikus kontrol mengalami siklus estrus yang
normal, yaitu proestrus selama 12 jam, estrus 12 jam, metestrus 6 jam, dan
diestrus 60 jam.
Pada kandang 2, yaitu perlakuan P1 dengan kadar hormon
progesteron 1,44mg/2ml, tikus yang ditandai ekornya pada awal
pemeriksaan mengalami masa proestrus 12 jam, estrus yang lebih lama
yaitu selama 94,5 jam, masa metestrus 19 jam, dan diestrus pada hari ke 7
selama 18,5 jam. Sedangkan pada tikus yang polos mengalami masa
estrusnya 42,5 jam, karena awalnya tikus sudah dalam keadaan estrus,
masa metestrusnya 44,5 jam, dan diestrusnya 37 jam, dan fase proestrus 20
jam.
Pada kandang 3, yaitu perlakuan P2 dengan kadar hormon Progesteron
2,88/2ml, tikus yang ditandai kaki depannya awalnya tikus sudah dalam
keadaan estrus selama 96,5 jam, fase metestrus berlangsung selama 47,5
jam, pada tikus ini tidak terlihat oleh pengamatan yaitu fase diestrus dan
proestrusnya. Sedangkan pada tikus yang ekor, awalnya juga didapatkan
fase estrus selama 15 jam, kemudian fase metestrusnya berlangsung
selama 25 jam, setelah itu siklus diestrus selama 92 jam dan proestrus 12
jam.
J. PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini kami melakukan percobaan selama 7 hari,
dengan tujuan mengetahui 1 siklus yang terjadi pada tikus. Berdasarkan
data hasil pengamatan, dapat diketahui bahwa panjang fase siklus estrus
bervariasi sesuai dengan kadar hormon progesteron yang diberikan. Pada
kadar hormon progesteron sebanyak 2,44 mg/2ml. Hal ini terlihat jelas
karena fase estrus tikus mengalami pemanjangan waktu yang signifikan
yaitu 96,5 jam.
Hal ini terjadi karena progesteron menghambat siklus estrus tikus,
karena pada fase proestrus, estrus, dan metestrus mengalami perpanjangan
waktu, sedangkan diestrus mengalami pemendekan waktu. Hormon
esterogen dan progesteron yang di tambahkan melalui perlakuan yang di
berikan kepada tikus menyebabkan kadar hormon progesteron dan
esterogen di dalam tubuh tikus meningkat, sehingga memberikan umpan
balik negatif terhadap hipotalamus untuk tidak mengeluarkan hormon ini
lagi, sehingga siklus tdak akan berjalan/lambat berjalan karena tubuh tikus
telah mengira bahwa hormon tersebut telah dikeluarkan.
Grafik Siklus Estrus Tikus
Dari hasil analisis grafik diatas tampaknya pemanjangan yang
terjadi pada fase siklus ini cenderung dipertahankan bahkan terjadi
peningkatan untuk fase yang berbeda. Kecenderungan pemanjangan ini
terjadi pada ketika siklus estrus yaitu fase proestrus, estrus, dan metestus,
serta terjadinya pengurangan pada lama fase siklus diestrus.
Pertambahan lama fase siklus estrus ini disebabkan oleh masuknya
komponen ethinylestradiol 0,03 mg dan levonorgestrel 0,15 mg yang
terkandung pada pil KB yang digunakan sebagai perlakuan. Komponen ini
bersifat esterogenik terhadap reseptor epitel vagina dapat dilihat dari
aktivitas mitogenik yang berupa proliferasi maupun diferensiasi sel epitel
vagina. Sifat esterogenik steroid ini menyebabkan kadar esterogen dalam
darah menjadi meningkat. Tingginya kadar esterogen dalam darah dapat
menghambat hipofisis dalam mensekresi hormon gonadotropin (FSH)
melalui umpan balik negatif. Menurunnya kadar FSH, mengakibatkan
terhambatnya perkembangan folikel. Dalam hal ini tampaknya pengaruh
pemberian progesteron terhadap siklus estrus tikus berlangsung melalui
pros hipotalamus-hipofisis-ovarium yang mengakibatkan gangguan pada
mekanisme pengendalian poros tersebut. Mekanisme ini ditandai dengan
penyimpangan lama siklus estrus berupa pertambahan panjang fase
folikuler (proestrus dan estrus) akibat hambatan terhadap sekresi FSH,
tetapi justru pemendekan lama fase luteal (diestrus) kelompok tikus
perlakuan sebagai akibat rendahnya sekresi LH. Aktivitas ini
menyebabkan lama siklus estrus tikus perlakuan menjadi lebih panjang
dibandingkan dengan tikus kontrol. Namun tikus kontrol pada saat
penelitian tidak menunjukkan hasil siklus estrus yang normal, hal ini
mungkin disebabkan karena tikus tersebut mengalami stress, yang bisa
diakibatkan oleh situasi kandang yang kurang nyaman bagi tikus.
Seharusnya, siklus estrus normalnya selama 3-5 hari,yaitu fase proestrus
12 jam, estrus 12 jam, metestrus 6 jam, dan diestrus 2-2,5 hari (Delman
dan Brown, 1976).
Nalbandov (1990), menyatakan bahwa panjang pendek satu siklus
estrus dikendalikan oleh sistem hormonal reproduksi melalui poros
hipotalamus-hipofisis-ovarium. Jika terjadi penyimpangan pada lama
siklus estrus, hal itu menunjukan telah terjadi gangguan pada mekanisme
pengendalian tersebut. Hal yang sama dikemukakan oleh Ganong (2003)
bahwa penyimpangan lama siklus estrus disebabkan karena penyimpangan
pada mekanisme pengendalian poros hipotalamus-hipofisis-organ target
repoduksi melalui feed back (umpan balik) negatif.
Pada penelitian ini pemberian progesteron secara oral selama 7 hari
telah merubah lama fase siklus estrus tikus. Pemanjangan siklus ini
kemungkinan disebabkan terjadinya hambatan proses perkembangan sel
folikel dalam ovarium. Folikel telur dalam ovarium nasibnya tergantung
pada hormon gonadotropin (FSH dan LH). LH mendorong perkembangan
akhir masaknya sel folikel dan mendorong perkembangan korpus luteum
yang mensekresikan progesteron. Perubahan sekresi gonadotropin yang
membawa dampak pada siklus ovarium diperlihatkan dengan terjadinya
pemanjangan setiap fase estrus (proestrus, estrus, metestrus dan diestrus)
tikus perlakuan. Pemanjangan lama siklus etrus ini disebabkan karena
mekanisme kerja steroid yang terkandung dalam pil KB yakni
ethinylestradiol 0,03 mg dan levonorgestrel 0,15 mg yang menyebabkan
terhambatnya fase folikuler. Terhambatnya fase folikuler ini ditandai
dengan memenjangnya fase proestrus dan estrus. Selain itu juga
menghambat fase luteal ovarium sehingga mengacaukan luteolisis
ovarium yang ditandai dengan memendeknya fase diestrus. Hal ini berarti
siklus yang satu menjadi indikasi siklus yang lain, sehingga jika terjadi
perubahan pada satu siklus (yakni siklus ovarium), maka akan tergambar
pada siklus yang lain (siklus vagina).
Tabel 2. Ciri Histologis Apusan Vagina, Tampakan Uterus dan
Vagina dan Rentang Waktu untuk Setiap Tahap Utama Siklus Estrus Tikus
Tahap
Siklus
Ciri
Apusan
Vagina
Gambaran
Ovarium dan
Oviduktus
Uterus Vagina Lama
Tahap
Siklus
Proestrus Epitel
berinti,
epitel
menanduk,
leukosit
Folikel besar
(380µm)
dengan cairan
folikel,
mitosis mulai
aktif
Aliran
darah
meningkat,
(hipermia)
dan
hidrasi,
mitosis,
sedikit
leukosit,
kelenjar
mulai
tampak
Proliferasi/mitosis,
leukosit jarang,
vulva terbuka,
berat vagina
maksimal
12
jam
Estrus Epitel
menanduk
lebih
banyak
dari epitel
berinti
Ukuran
folikel
maksimal
(550µm),
ovulasi,
oviduktus
membengkak,
epitel
germinal dan
sel folikel
bermitosis,
Tidak ada
leukosit,
mitosis
dan hidrasi
maksimal,
kelenjar
mulai aktif
Lapisan epitel
berinti bagian luar
digantikan oleh
epitel menanduk,
vulva terbuka
12
jam
progesteron
maksimal
Metesrus Epitel
berinti dan
menanduk,
leukosit
mulai
tampak
Korpus
luteum
terbentuk,
ovum berada
di oviduktus,
dan
mendekati
uterus,
beberapa
folikel
mengalami
atresia
Hidrasi
dan
distensi
menurun,
leukosit
aktif,
mitosis
jarang,
degenerasi
epitel, dan
dinding
uterus,
kelenjar
kurang
aktif
Leukosit dan
lapisan epitel
berinti mulai
tampak
6 jam
Diestrus Epitel
menanduk
dan berinti
serta
mukus
Folikel mulai
tumbuh cepat
untuk ovulasi
berikutnya
Sekresi
mukus,
kelenjar
dan
dinding
uterus
kolaps,
leukosit
banyak,
regenerasi
Leukosit dan sel
epitel, proliferasi
aktif, berat vagina
minimal
2-2,5
hari
Pil KB oral kombinasi memiliki beberapa aksi, tetapi pengaruh yang
paling penting adalah untuk mencegah ovulasi dengan menekan
hypothalamic gonadotropin-releasing factors. Hal ini mencegah sekresi
pituitari dari follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone
(LH). Progestin mencegah ovulasi dengan menekan LH dan juga membuat
lendir cervix menebal, sehingga memperlambat perjalanan sperma. Selain
itu, obat ini juga membuat endometrium kurang baik untuk implantasi.
Estrogen mencegah ovulasi dengan menekan pelepasan FSH. Hal ini juga
menstabilkan endometrium, yang mencegah pendarahan intermenstrual-
juga dikenal sebagai pendarahan terobosan (breakthrough/flek).
Efeknya sangat efektif menekan ovulasi, inhibisi migrasi sperma
melalui lendir serviks, dan menciptakan endometrium yang kurang baik
untuk implantasi. Dengan demikian, obat ini hampir mutlak memberikan
perlindungan terhadap konsepsi.
Pil KB kombinasi (Combined Oral Contraceptives = COC)
Mengandung 2 jenis hormon wanita yaitu estrogen dan progesteron.
Mekanisme kerjanya untuk mencegah kehamilan adalah sebagai berikut:
1. Mencegah pematangan dan pelepasan sel telur
2. Mengentalkan lendir leher rahim, sehingga menghalangi penetrasi
sperma
3. Membuat dinding rongga rahim tidak siap untuk menerima dan
menghidupi hasil pembuahan
Pil KB progesteron (Mini pill = Progesterone Only Pill = POP) hanya
berisi progesteron, bekerja dengan mengentalkan cairan leher rahim dan
membuat kondisi rahim tidak menguntungkan bagi hasil pembuahan.
Cara pil kontrasepsi bekerja merupakan ide ilmiah yang cemerlang.
Hormon membuat tubuh “menyangka” bahwa telah terjadi kehamilan, jadi
pembuahan tidak terjadi.
Pil kontrasepsi bekerja di dua tempat, di otak dan sekeliling rahim,
tuba falopi dan uterus. Kontrasepsi hormon menghambat dua hormon
kunci penyebab terjadinya pembuahan.
Pil kontrasepsi akan mencegah lepasnya Follicle Stimulating Hormone
(FSH). Hormon ini berperan dalam pematangan sel telur. Ditambah lagi,
pil mencegah lepasnya Luteinizing Hormone (LH), zat yang normalnya
menyebabkan pembuahan di tengah masa siklus.
Produksi natural dari kedua hormon tersebut dimulai ketika tingkat
progesteron dan estrogen sedang rendah. Tetapi berhubung kedua zat
tersebut ada dalam pil kontrasepsi, siklus produksi FSH/LH tidak dapat
dimulai. Progestin menghambat matangnya telur dalam rahim, jadi
pembuahan tidak akan terjadi. Disamping itu, lendir di leher uterus
(cervix) menjadi tebal, sehingga sperma tidak bisa menembusnya.
K. KESIMPULAN
Dari tinjauan teoritis dan uraian pembahasan dapat diambil kesimpulan
bahwa pemberian hormon progesteron berpengaruh signifikan dalam
memperpanjang lama siklus estrus tikus, selain itu juga berpengaruh
signifikan terhadap rataan ketiga fasenya yaitu fase proestrus, estrus,
metestrus bertambah panjang, namun memperpendek fase diestrusnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abiodun, A.A, dkk.2012.”Changes in oestrous cycle of adult female wistar rats treated with artemether”. Journal of Neuroscience and Behavioural Health. 4(3), 15-19
Andria, Yulianti.2012.Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Pegagan (Centella asiatica) (L) Urban) Terhadap Kadar Hormon Estradiol dan Kadar Hormon Progesteron Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina.Tesis pada Program Studi ilmu Biomedik
Fitrianti, Fitra.2001.Hubungan Kadar Estradiol dan Progesteron dengan Panjang Siklus Estrus Tikus Putih (Rattus sp) yang Disupervulasi.Skripsi Sarjana Kedokteran pada FKH IPB.Bogor
Hernawati.2001.Pengaruh Superovulasi pada Laju Ovulasi, Sekresi Estradiol dan Preogesteron, serta Pertumbuhan dan Perkembangan Uterus dan Kelenjar Susu Tikus Putih (Rattus sp) Selama Siklus Estrus. Tesis Magister Sains pada Program Pascasarjana IPB. Bogor
Mustapha, A.R.2011.”Effects of ethanolic of Rhynchosia sublobata (Schumach) Meikle on estrous cycle in Wistar rats”.Int Journal Medical.Arom.Plants.1, 2 : 122-127
Musahlah, Tasyrifah. 2010. Efek Pemberian Ekstrak Daun Maja (Aegle marmelos Corr.) terhadap Fertilitas Tikus Betina. Tesis Magister Sains pada Program Studi Biologi IPB Bogor.
Najamudin, dkk.2010. Penentuan Siklus Estrus pada Kancil (Tragulus javanicus) Berdasarkan Perubahan Sitologi Vagina.Jurnal Veteriner. 11, 2 : 81-86
Prayoga, Putri KG.2012.Profil Hormon Ovari Sepanjang Siklus Estrus Tikus (Rattus norvegicus) Betina Menggunakan Fourrier Transform Infrared (FTIR). Skrispsi Sarjana Sains pada FMIPA UI.Depok: Departemen Biologi
Sjahfirdi, dkk. 2011.”Estrus Period Determination of Female Rats (Rattus norvegicus) by Fourier Transform Infrared (FTIR) through Identification of Reproductive Hormones Metabolites in Urine Samples”.International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS.11, 03
Suswanto. 2001. Pengaruh Superovulasi pada Bobot Uterus dan Hubungannya dengan Kadar Progesteron dan Estradiol Selama Siklus Estrus pada Tikus Putih (Rattus sp).Skripsi Sarjana Kedokteran pada FKH IPB.Bogor
Zulfiati, Eva. 2003. Gambaran Sitologi Ulas Vagina Mencit (Mus musculus albinus) Selama Siklus Estrus dengan Tinjauan Khusus pada Distribusi Leukosit. Skripsi Sarjana Kedokteran Hewan pada FKH IPB Bogor.
top related