laporan presentasi kelompok 14
Post on 25-Jul-2015
261 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Penelitian
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, Kecamatan
Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Secara geografis letak Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta berada pada titik koordinat X =
0434941 dan Y = 9141913.
Berdasarkan kenampakan di lapangan dan peta topografi, maka pembagian
satuan geomorfik menurut klasifikasi Van Zuidam (1983) dengan modifikasi
penulis, daerah penelitian dibagi atas dua satuan bentuk asal yaitu bentuk asal
Struktural dengan bentuk lahan Pegunungan Homoklin dan bentuk asal alluvial
yang terdiri dari dataran alluvial dan tubuh sungai. Jenis pola aliran yang
berkembang pada daerah penelitian, setelah disesuaikan dengan klasifikasi oleh
A.D Howard (1967) termasuk dalam pola aliran dendritik. Stratigrafi daerah
penelitian dimulai dari tua ke muda tersusun atas satuan batupasir Tufan Semilir,
satuan Fluvio Merapi Muda dan alluvial. Berdasarkan pengamatan lapangan,
daerah telitian memiliki jenis akuifer bebas. Kondisi geologi demikian, ditinjau
dari faktor litologi, geomorfologi dan struktur geologi yang terdapat pada daerah
penelitian, maka wilayah dataran fluvial yang banyak dijumpai sumur gali,
termasuk dalam kawasan dischar ge area dengan recharge area berasal dari
gunung berapi yang berada di utara daerah telitian dan memiliki akuifer yang baik
sebagai penyimpanan airtanah
Geolistrik merupakan salah satu metode yang terdapat dalam Teknik
Geofisika yang bertujuan untuk mengetahui sifat kelistrikan batuan. Dari sifat
kelistrikan tersebut maka dapat kita ketahui hal-hal yang terdapat dibawah
permukaan bumi.
I.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian dengan metode Geolistrik Konfigurasi Dipole-
Dipole ini adalah untuk Mendapatkan informasi litologi di bawah permukaan
dengan mengetahui perbedaan resistivitas batuan.
1
Tujuan dari perolehan informasi tersebut adalah untuk mendapat data
resistivitas di bawah permukaan di daerah kampus UPN V Yogyakarta.
I.3 Batasan Masalah
Batasan permasalahan dari penelitian ini adalah penentuan litologi penyusun
lokasi penelitian. Penentuan persebaran dari litologi penyusun lokasi penelitian
dan mengetahui kondisi bawah permukaan lokasi penelitian. Untuk mendapatkan
data – data tersebut, kami menggunakan metode geolistrik konfigurasi dipole –
dipole. Setelah di dapatkan data resitivitas beserta pemodelannya, dilakukan
pencocokan dengan tabel nilai resistivitas batuan yang ada. Sehingga dapat di
interpretasikan keadaan bawah permukaan daerah telitian.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II . 1 . Geologi Regional Daerah Yogyakarta
Fisiografi
Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan
Pegunungan Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses
tektonisme diyakini sebagai batas umur Kwarter di wilayah. Setelah pengangkatan
Pegunungan Selatan, terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan
hingga Gantiwarno dan Baturetno. Hal ini berkaitan dengan tertutupnya aliran air
permukaan di sepanjang kaki pegunungan sehingga terkumpul dalam cekungan
yang lebih rendah. Gunung Api Merapi muncul pada 42.000 tahun yang lalu,
namun data umur K/Ar lava andesit di Gunung Bibi, Berthomier (1990)
menentukan aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung sejak 0,67 juta tahun lalu.
Hipotesisnya adalah tinggian di sebelah selatan, barat daya, barat dan utara
Yogyakarta, telah membentuk genangan sepanjang kaki gunung api yang
berbatasan dengan Pegunungan Selatan Kulon Progo. Pengangkatan Pegunungan
Selatan pada Kala Plistosen Awal, telah membentuk Cekungan Yogyakarta.
Gambar 1. Peta Geologi Regional DIY
Di dalam cekungan tersebut selanjutnya berkembang aktivitas gunung api
(Gunung) Merapi. Didasarkan pada data umur penarikan 14C pada endapan sinder
3
yang tersingkap di Cepogo, aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung sejak
±42.000 tahun yang lalu; sedangkan data penarikhan K/Ar pada lava di Gunung
Bibi, aktivitas gunung api tersebut telah berlangsung sejak 0,67 jtl. Tinggian di
sebelah selatan dan kemunculan kubah Gunung Merapi di sebelah utara, telah
membentuk sebuah lembah datar. Bagian selatan lembah tersebut berbatasan
dengan Pegunungan Selatan, dan bagian baratnya berbatasan dengan Pegunungan
Kulon Progo. Kini, di lokasi-lokasi yang diduga pernah terbentuk lembah datar
tersebut, tersingkap endapan lempung hitam. Lempung hitam tersebut adalah
batas kontak antara batuan dasar dan endapan gunung api Gunung Merapi.
Didasarkan atas data penarikhan 14C pada endapan lempung hitam di Sungai
Progo (Kasihan), umur lembah adalah ±16.590 hingga 470 tahun, dan di Sungai
Opak (Watuadeg) berumur 6.210 tahun. Endapan lempung hitam di Sungai Opak
berselingan dengan endapan Gunung Merapi. Jadi data tersebut dapat juga
diinterpretasikan sebagai awal pengaruh pengendapan material Gunung Merapi
terhadap wilayah ini. Di Sungai Winongo (Kalibayem) tersingkap juga endapan
lempung hitam yang berselingan dengan lahar berumur 310 tahun. Jadi, aktivitas
Gunung Merapi telah mempengaruhi kondisi geologi daerah ini pada ±6210
hingga ±310 tl.
1. Fisiografi Pulau Jawa
Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian selatan-timur yang meliputi
kawasan Gunungapi Merapi, Yogyakarta, Surakarta dan Pegunungan Selatan
dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu Zona Solo dan Zona Pegunungan Selatan
(Bemmelen, 1949) (lihat Gambar 2.1). Zona Solo merupakan bagian dari Zona
Depresi Tengah (Central Depression Zone) Pulau Jawa. Zona ini ditempati oleh
kerucut G. Merapi (± 2.968 m). Kaki selatan-timur gunungapi tersebut merupakan
dataran Yogyakarta-Surakarta ( ± 100 m sampai 150 m) yang tersusun oleh
endapan aluvium asal G. Merapi. Di sebelah barat Zona Pegunungan Selatan,
dataran Yogyakarta menerus hingga pantai selatan Pulau Jawa, yang melebar dari
P. Parangtritis hingga K. Progo. Aliran sungai utama di bagian barat adalah K.
Progo dan K. Opak, sedangkan di sebelah timur ialah K. Dengkeng yang
merupakan anak sungai Bengawan Solo (Bronto dan Hartono, 2001).
4
Satuan perbukitan terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo.
Perbukitan ini mempunyai kelerengan antara 40 – 150 dan beda tinggi 125 – 264
m. Beberapa puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo adalah G. Jabalkat (± 264 m) di
Perbukitan Jiwo bagian barat dan G. Konang (lk. 257 m) di Perbukitan Jiwo
bagian timur. Kedua perbukitan tersebut dipisahkan oleh aliran K. Dengkeng.
Perbukitan Jiwo tersusun oleh batuan Pra-Tersier hingga Tersier (Surono dkk,
1992).
Gambar 2 Sketsa peta fisiografi sebagian Pulau Jawa dan Madura (modifikasi
dari van Bemmelen, 1949).
Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-Surakarta di
sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur,
Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara
Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak,
sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan
ini hampir membujur barat-timur sepanjang lk. 50 km dan ke arah utara-selatan
mempunyai lebar lk. 40 km (Bronto dan Hartono, 2001).
Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu
Subzona Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu
(Harsolumekso dkk., 1997 dalam Bronto dan Hartono, 2001). Subzona
Baturagung terutama terletak di bagian utara, namun membentang dari barat
(tinggian G. Sudimoro, ± 507 m, antara Imogiri-Patuk), utara (G. Baturagung, ±
828 m), hingga ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, ± 737 m). Di bagian timur
5
ini, Subzona Baturagung membentuk tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung (±
706 m) dan G. Gajahmungkur (± 737 m). Subzona Baturagung ini membentuk
relief paling kasar dengan sudut lereng antara 100 – 300 dan beda tinggi 200-700
meter serta hampir seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunungapi.
Subzona Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di
bagian tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan
sekitarnya. Dataran ini dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan
utara, sedangkan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung
Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini adalah K. Oyo yang mengalir ke barat
dan menyatu dengan K. Opak (lihat Gambar 2.2). Sebagai endapan permukaan di
daerah ini adalah lempung hitam dan endapan danau purba, sedangkan batuan
dasarnya adalah batugamping.
Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts,
yaitu bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut
dengan ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai
telaga, luweng (sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping
serta aliran sungai bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai
Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di sebelah timur.
Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok
yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment
yang cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah
selatan Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara
Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan
Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939).
Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping
(limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-
basa antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).
6
II.2.Stratigrafi
Penamaan satuan litostratigrafi Pegunungan Selatan telah banyak
dikemukakan oleh beberapa peneliti yang membedakan stratigrafi wilayah bagian
barat (Parangtritis – Wonosari) dan wilayah bagian timur (Wonosari – Pacitan).
Urutan stratigrafi Pegunungan Selatan bagian barat telah diteliti antara lain oleh
Bothe (1929), van Bemmelen (1949), Sumarso dan Ismoyowati (1975), Sartono
(1964), Nahrowi, dkk (1978) dan Suyoto (1992) serta Wartono dan Surono
dengan perubahan (1994)
Keterangan Gambar Formasi batuan pada Pegunungan Selatan Bagian Barat:
1. Formasi Wungkal-Gamping
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Wungkal dan G. Gamping, keduanya
di Perbukitan Jiwo. Satuan batuan Tersier tertua di daerah Pegunungan Selatan ini
di bagian bawah terdiri dari perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa
batugamping. Pada bagian atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa
batugamping. Formasi ini tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal,
Desa Sekarbolo, Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter (Bronto dan
Hartono, 2001).
Di bagian bawah, Formasi Wungkal-Gamping mengandung fosil
foraminifera besar, yaitu Assilina sp., Nummulites javanus VERBEEK,
Nummulites bagelensisVERBEEK dan Discocyclina javana VERBEEK.
Kelompok fosil tersebut menunjukkan umur Eosen Tengah bagian bawah sampai
tengah. Sementara itu bagian atas formasi ini mengandung asosiasi fosil
foraminifera kecil yang menunjukkan umur Eosen Akhir. Jadi umur Formasi
Wungkal-Gamping ini adalah Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir
(Sumarso dan Ismoyowati, 1975).
Sebagian dari satuan batuan ini semula merupakan endapan laut dangkal
yang kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat di lereng bawah laut, formasi
ini kemudian meluncur ke bawah dan diendapkan kembali di laut dalam sehingga
merupakanexotic faunal assemblage (Rahardjo, 1980). Formasi ini tersebar luas di
Perbukitan Jiwo dan K. Oyo di utara G. Gede, menindih secara tidak selaras
batuan metamorf serta diterobos oleh Diorit Pendul dan di atasnya, secara tidak
selaras, ditutupi oleh batuan sedimen klastika gunungapi (volcaniclastic
7
sediments) yang dikelompokkan ke dalam Formasi Kebo-Butak, Formasi Semilir,
Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu.
2. Formasi Kebo-Butak
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Kebo dan G. Butak yang terletak di
lereng dan kaki utara gawir Baturagung. Litologi penyusun formasi ini di bagian
bawah berupa batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan
aglomerat. Bagian atasnya berupa perselingan batupasir dan batulempung dengan
sisipan tipis tuf asam. Setempat di bagian tengahnya dijumpai retas lempeng
andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai breksi andesit.
Pada formasi kebo-butak, sumarso dan ismoyowati (1975) menemukan
fosilgloborotalia opima bolli, globorotalia angulisuturalis bolli, globorotalia
kuqleri bolli, globorotalia siakensis leroy, globigerina binaiensis koch,
globigerinoides primordius blow dan banner, globigerinoides
trilobus reuss. Kumpulan fosil tersebut menunjukkan umur oligosen akhir –
miosen awal. Lingkungan pengendapannya adalah laut terbuka yang dipengaruhi
oleh arus turbid. Formasi ini tersebar di kaki utara pegunungan baturagung,
sebelah selatan klaten dan diduga menindih secara tidak selaras formasi wungkal-
gamping serta tertindih selaras oleh formasi semilir. Ketebalan dari formasi ini
lebih dari 650 meter.
3. Formasi Semilir
Formasi ini berlokasi tipe di G. Semilir, sebelah selatan Klaten. Litologi
penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung dan
serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit hingga dasit.
Di bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di K. Opak, Dusun Watuadeg, Desa
Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran lava
bantal (Bronto dan Hartono, 2001). Penyebaran lateral Formasi Semilir ini
memanjang dari ujung barat Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Pleret-Imogiri,
di sebelah barat G. Sudimoro, Piyungan-Prambanan, di bagian tengah pada G.
Baturagung dan sekitarnya, hingga ujung timur pada tinggian G. Gajahmungkur,
Wonogiri. Ketebalan formasi ini diperkirakan lebih dari 460 meter.
8
Pada umumnya, formasi ini miskin akan fosil. Namun, Sumarso dan
Ismoyowati (1975) menemukan fosil Globigerina tripartita KOCH pada bagian
bawah formasi danOrbulina pada bagian atasnya.
Sedangkan pada bagian tengah formasi ditemukan Globigerinoides
primordius BLOW dan BANNER, Globoquadrina altispira CUSHMAN
dan JARVIS, Globigerina praebulloides BLOW dan Globorotalia siakensis LE
ROY.Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa umur formasi ini
adalah Miosen Awal-Miosen Tengah bagian bawah.
Formasi Semilir ini menindih secara selaras Formasi Kebo-Butak, namun
secara setempat tidak selaras (van Bemmelen, 1949). Formasi ini menjemari
dengan Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu, namun tertindih secara tidak
selaras oleh Formasi Oyo (Surono, dkk., 1992). Dengan melimpahnya tuf dan
batuapung dalam volume yang sangat besar, maka secara vulkanologi Formasi
Semilir ini dihasilkan oleh letusan gunungapi yang sangat besar dan merusak,
biasanya berasosiasi dengan pembentukan kaldera letusan (Bronto dan hartono,
2001).
4. Formasi Nglanggran
Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah selatan Desa
Semilir. Batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat, tuf dan
aliran lava andesit-basal dan lava andesit. Breksi gunungapi dan aglomerat yang
mendominasi formasi ini umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari
andesit dan sedikit basal, berukuran 2 – 50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu
pada breksi gunungapi, ditemukan batugamping terumbu yang membentuk lensa
atau berupa kepingan. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh batupasir
gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis baik.
Pada umumnya Formasi Nglanggran ini juga miskin akan fosil. Sudarminto
(1982, dalam Bronto dan Hartono (2001)) menemukan fosil foraminifera
Globigerina praebulloides BLOW, Globigerinoides primordius BLOW dan
BANNER, Globigerinoides sacculifer BRADY, Globoquadrina dehiscens
CHAPMANN, PARR dan COLLINS pada sisipan batulempung yang
menunjukkan umur Miosen Awal. Sedangkan Saleh (1977, dalam Bronto dan
9
Hartono (2001)) menemukan fosil foraminifera Globorotalia praemenardiii
CUSHMAN dan ELLISOR, Globorotalia archeomenardii BOLLI, Orbulina
suturalis BRONNIMANN, Orbulina universa D’ORBIGNY dan Globigerinoides
trilobus REUSS pada sisipan batupasir yang menunjukkan umur Miosen Tengah
bagian bawah. Sehingga disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Miosen
Awal-Miosen Tengah bagian bawah.
Formasi ini juga tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di sebelah
barat hingga tinggian G. Panggung di sebelah timur. Ketebalan formasi ini di
dekat Nglipar sekitar 530 meter. Formasi ini menjemari dengan Formasi Semilir
dan Formasi Sambipitu dan secara tidak selaras ditindih oleh Formasi Oyo dan
Formasi Wonosari. Dengan banyaknya fragmen andesit dan batuan beku luar
berlubang serta mengalami oksidasi kuat berwarna merah bata maka diperkirakan
lingkungan asal batuan gunungapi ini adalah darat hingga laut dangkal. Sementara
itu, dengan ditemukannya fragmen batugamping terumbu, maka lingkungan
pengendapan Formasi Nglanggran ini diperkirakan di dalam laut.
5. Formasi Sambipitu
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya
Yogyakarta-Patuk-Wonosari kilometer 27,8. Secara lateral, penyebaran formasi
ini sejajar di sebelah selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan Subzona
Baturagung, namun menyempit dan kemudian menghilang di sebelah timur.
Ketebalan Formasi Sambipitu ini mencapai 230 meter.
Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar,
kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-seling dengan
serpih, batulanau dan batulempung. Pada bagian bawah kelompok batuan ini tidak
mengandung bahan karbonat. Namun di bagian atasnya, terutama batupasir,
mengandung bahan karbonat. Formasi Sambipitu mempunyai kedudukan
menjemari dan selaras di atas Formasi Nglanggran.
Fosil yang ditemukan pada formasi ini diantaranya Lepidocyclina verbeeki
NEWTON dan HOLLAND, Lepidocyclina ferreroi PROVALE, Lepidocyclina
sumatrensis BRADY, Cycloclypeus comunis MARTIN, Miogypsina polymorpha
RUTTEN dan Miogypsina thecideaeformis RUTTEN yang menunjukkan umur
10
Miosen Tengah (Bothe, 1929). Namun Suyoto dan Santoso (1986, dalam Bronto
dan Hartono, 2001) menentukan umur formasi ini mulai akhir Miosen Bawah
sampai awal Miosen Tengah. Kandungan fosil bentoniknya menunjukkan adanya
percampuran antara endapan lingkungan laut dangkal dan laut dalam. Dengan
hanya tersusun oleh batupasir tuf serta meningkatnya kandungan karbonat di
dalam Formasi Sambipitu ini diperkirakan sebagai fase penurunan dari kegiatan
gunungapi di Pegunungan Selatan pada waktu itu (Bronto dan Hartono, 2001).
6. Formasi Oyo
Lokasi tipe formasi ini berada di K. Oyo. Batuan penyusunnya pada bagian
bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas secara berangsur
dikuasai oleh batugamping berlapis dengan sisipan batulempung karbonatan.
Batugamping berlapis tersebut umumnya kalkarenit, namun kadang-kadang
dijumpai kalsirudit yang mengandung fragmen andesit membulat. Formasi Oyo
tersebar luas di sepanjang K. Oyo. Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter dan
kedudukannya menindih secara tidak selaras di atas Formasi Semilir, Formasi
Nglanggran dan Formasi Sambipitu serta menjemari dengan Formasi Oyo.
Formasi Oyo umumnya berlapis baik. Sedangkan fosil yang dijumpai
antara lainCycloclypeus annulatus MARTIN, Lepidocyclina rutten VLERK,
Lepidocyclina ferreroi PROVALE, Miogypsina polymorpha RUTTEN
danMiogypsina thecideaeformis RUTTEN yang menunjukkan umur Miosen
Tengah hingga Miosen Akhir (Bothe, 1929). Lingkungan pengendapannya pada
laut dangkal (zona neritik) yang dipengaruhi kegiatan gunungapi.
7. Formasi Wonosari
Formasi ini oleh Surono dkk., (1992) dijadikan satu dengan Formasi
Punung yang terletak di Pegunungan Selatan bagian timur karena di lapangan
keduanya sulit untuk dipisahkan, sehingga namanya Formasi Wonosari-Punung.
Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk
bentang alam Subzona Wonosari dan topografi karts Subzona Gunung Sewu.
Ketebalan formasi ini diduga lebih dari 800 meter. Kedudukan stratigrafinya di
bagian bawah menjemari dengan Formasi Oyo, sedangkan di bagian atas
11
menjemari dengan Formasi Kepek. Formasi ini didominasi oleh batuan karbonat
yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Sedangkan
sebagai sisipan adalah napal. Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.
Berdasarkan kandungan fosil foraminifera besar dan kecil yang melimpah,
diantaranya Lepidocyclina sp. dan Miogypsina sp., ditentukan umur formasi ini
adalah Miosen Tengah hingga Pliosen. Lingkungan pengendapannya adalah laut
dangkal (zona neritik) yang mendangkal ke arah selatan (Surono dkk, 1992).
8. Formasi Kepek
Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, sekitar 11 kilometer di
sebelah barat Wonosari. Formasi Kepek tersebar di hulu K. Rambatan sebelah
barat Wonosari yang membentuk sinklin. Batuan penyusunnya adalah napal dan
batugamping berlapis. Tebal satuan ini lebih kurang 200 meter.
Formasi Kepek umumnya berlapis baik dengan kemiringan kurang dari
10o dan kaya akan fosil foraminifera kecil. Fosil yang terkandung di
antaranya Globorotalia plesiotumida BLOW dan BANNER, Globorotalia
merotumida, Globoquadrina dehiscens CHAPMAN, PARR dan COLLINS,
Amphistegina sp., Textularia sp., Cibicides sp., Cassidulina sp. danVirgulina
sp.Berdasarkan kandungan fosil tersebut, maka umur Formasi Kepek adalah
Miosen Akhir hingga Pliosen. Formasi Kepek menjemari dengan bagian atas dari
Formasi Wonosari-Punung. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal
(zona neritik) (Samodra, 1984, dalam Bronto dan Hartono, 2001).
9. Endapan Permukaan
Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang lebih tua
yang terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa kini. Terdiri dari bahan lepas
sampai padu lemah, berbutir lempung hingga kerakal. Surono dkk. (1992)
membagi endapan ini menjadi Formasi Baturetno (Qb), Aluvium Tua (Qt) dan
Aluvium (Qa). Sumber bahan rombakan berasal dari batuan Pra-Tersier
Perbukitan Jiwo, batuan Tersier Pegunungan Selatan dan batuan G. Merapi.
Endapan aluvium ini membentuk Dataran Yogyakarta-Surakarta dan dataran di
sekeliling Bayat. Satuan Lempung Hitam, secara tidak selaras menutupi satuan di
12
bawahnya. Tersusun oleh litologi lempung hitam, konglomerat, dan pasir, dengan
ketebalan satuan ± 10 m. Penyebarannya dari Ngawen, Semin, sampai Selatan
Wonogiri. Di Baturetno, satuan ini menunjukan ciri endapan danau, pada Kala
Pleistosen. Ciri lain yaitu: terdapat secara setempat laterit (warna merah
kecoklatan) merupakan endapan terarosa, yang umumnya menempati uvala pada
morfologi karst.
II.3 Geologi Lokal
DIY terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa, secara geografis terletak
pada 7o3’-8o12’ Lintang Selatan dan 110o00’-110o50’ Bujur Timur. Berdasarkan
bentang alam, wilayah DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan
fisiografi, yaitu satuan fisiografi Gunungapi Merapi, satuan fisiografi Pegunungan
Selatan atau Pegunungan Seribu, satuan fisiografi Pegunungan Kulon Progo, dan
satuan fisiografi Dataran Rendah.Pantai. Kondisi fisiografi tersebut membawa
pengaruh terhadap persebaran penduduk, ketersediaan prasarana dan sarana
wilayah, dan kegiatan sosial ekonomi penduduk, serta kemajuan pembangunan
antar wilayah yang timpang. Daerah-daerah yang relatif datar, seperti wilayah
dataran fluvial yang meliputi Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan
Kabupaten Bantul (khususnya di wilayah Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta)
adalah wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan memiliki kegiatan sosial
ekonomi berintensitas tinggi, sehingga merupakan wilayah yang lebih maju dan
berkembang.
13
BAB III
DASAR TEORI
Metode geolistrik adalah salah satu metoda geofisika untuk menyelidiki
kondisi bawah permukaan, yaitu dengan mempelajari sifat aliran listrik pada
batuan di bawah permukaan bumi. Penyelidikan ini meliputi pendeteksian
besarnya medan potensial, medan elektromagnetik dan arus listrik yang mengalir
di dalam bumi baik secara alamiah (metoda pasif) maupun akibat injeksi arus ke
dalam bumi (metoda aktif) dari permukaan. Dengan metoda elektrik (salah
satunya tahanan jenis) mempunyai prinsip dasar mengirimkan arus ke bawah
permukaan, dan mengukur kembali potensial yang diterima di permukaan. Hanya
saja perlu diingat bahwa untuk daerah dengan formasi yang bersifat isolator
metoda elektrik ini tidak efektif.
Metoda resisitivity menggunakan medan potensial listrik bawah
permukaan sebagai objek pengamatan utamanya. Kontras resistivity yang ada
pada batuan akan mengubah potensial listrik bawah permukaan tersebut sehingga
bisa kita dapatkan suatu bentuk anomali dari daerah yang kita amati.
III.1 Pembagian Metode Geolistrik
Metode geolistrik dibagi menjadi 2 yaitu metode aktif dan metode pasif.
Metode aktif adalah metode yang menggunakan penginjeksian arus listrik
kedalam bumi, metode ini terdiri dari :
Metode Resistivity
Metode Induksi Polarisasi
Metode Mise-Ala-Mase
Sedangkan metode pasif adalah metode tanpa menggunakan penginjeksian
arus listrik terlebih dahulu, metode ini memanfaatkan arus listrik yang telah ada
didalam bumi (khususnya pada batuan). Metode ini terdiri atas :
Metode Self Potensial
Metode resistivitas merupakan salah satu metode yang relatif sering
digunakan dalam eksplorasi geolistrik. Metode resistivitas mengukur harga
resistivitas didalam medium karena pengaruh aliran arus listrik yang melaluinya.
Dengan harga resistivitas dapat digunakan untuk mengetahui daerah penyebaran
14
yang resistif di bawah permukaan secara tidak langsung dari harga resistivitas
yang dapat diasumsikan dengan zona mineralisasi, intrusi, atau struktur geologi
suatu batuan.
III.2 Konfigurasi Elektroda
Berdasarkan cara pengukurannya di lapangan konfigurasi elektroda dibagi
menurut susunan elektroda arus dan potensial berdasarkan target dari
pengukurannya, :
Konfigurasi Schlumberger
Konfigurasi Dipole-dipole
Konfigurasi Wenner
Konfigurasi Pole-pole
Konfigurasi Pole-dipole
Pembagian konfigurasi elekroda adalah berdasarkan dari target
pengukuran, dimana dibagi menjadi dua bagian yaitu mapping dan sounding,:
Mapping adalah pengukuran variasi resistivitas bawah permukaan secara
lateral dan vertikal.
Sounding adalah pengukuran variasi resistivitas batuan secara vertical
Metode resistivity menggunakan pengukuran konfigurasi dipole-dipole
dilakukan dengan metode mapping yaitu pengukuran dengan spasi elektroda yang
konstan dengan menggunakan konfigurasi dipole-dipole,dimana elektroda arus
dan potensial bergerak bersama-sama sehingga diperoleh harga tahanan jenis
secara lateral (horizontal) spasi elektroda yang digunakan akan menentukan
kedalaman target yang akan dicapai. Konfigurasi elektoda dipole-dipole memiliki
nilai faktor geometri:
K = π(1 + n)(2+n)n.r
Data-data resistensitas yang terukur diplot pada titik-titik yang sesuai
dengan harga n = 1,2,3,4……n dengan kedalaman semu sehingga dapat dibuat
kontur pseododepth section variasi resistivitas ke arah lateral dan vertikal.
Konfigurasi dipole-dipole telah banyak diterapkan dalam eksplorai
mineral-mineral sulfida dan bahan tambang dengan kedalaman yang relatif
dangkal. Dimana hasil akhir yang berupa profil secara vertical dan horizontal.
15
Tabel 1.Harga resistivitas batuan (Telford)
Rock type Resistivity range (Ωm)
Diorite 104-105
Dacite 2 x 104 Andesite 1.7 x 102 – 4.5 x 104
Diabase porphyry 103– 1.7 x 105
Gabbro 103-106
Basalt 10 -1.3 x 107
III.3 Konfigurasi Dipole-Dipole
Konfigurasi dipole-dipole dilakukan untuk mengetahui kecenderungan
harga resistivitas di suatu areal tertentu. Dengan tujuan untuk mengetahui
penyebaran batuan yang resistive di bawah permukaan secara lateral dari harga
resistivitas yang dapat di asosiasikan dengan adanya zona mineralisasi, intrusi,
dan struktur geologi lainnya.
Metode dipole-dipole banyak diaplikasikan dalam eksplorasi mineral-
mineral sulfida dan bahan-bahan tambang dengan kedalaman yang dangkal. Hasil
akhir dipole-dipole berupa profil baik secara horizontal maupun secara vertikal.
Konfigurasi dipole-dipole adalah metode resistitvity aktif yang
mengguankan 4 elektrode, yaitu dua elektrode arus injeksi dan dua elektrode
potensial. Pemasangan elektorda sebagai berikut :
C2 C1 P1 P2
r1
r2
r3
r4
Gambar 3 . Rangakaian elektroda konfigurasi dipole-dipole.16
I
Δ V
Keterangan :
r1= C1 sampai P2
r2= C2 sampai P1
r3= C2 sampai P1
r4= C1 sampai P1
ΔV = ( ) – ( )
Ρ = π ( 2 + n ) ( 1 + n ) n.r
K = π ( 2 + n ) (1 + n ) n.r
Dimana :
I = arus listrik (mA) pada transmitter
ΔV = beda potensial (mV) pada receiver
Ρ = resistivity semu
k = faktor geometris
r = jarak elektroda
n =bilangan pengali
Pada metode dipole-dipole konsep penjalaran arus berbeda dengan
konfigurasi lainya.berikut adalah konsep penjalaran arus pada konfigurasi dipole-
dipole.
17
Gambar 4 . Konsep penjalaran arus konfigurasi dipole-dipole
III.4. Resistivitas Batuan
Resisitivitas adalah kemampuan suatu bahan dalam menghambat arus
listrik yang melaluinya yang terpengaruh terhadap parameter atau geometri bahan.
Resistivitas memiliki keterbalikan terhadap konduktivitas .dimana
Kererangan . ϼ = Resisitivitas ( Ohm.m ) Ϭ = konduktivitas
Resisitivitas pada setiap bahan memiliki nilai yang berbeda-beda sesuai
dengan kandungna dari bahan itu sendiri yang menyebabkanya mempunyai nilai
rsistivitas tinggi ataukah rendah. Banyak ahli yang telah merumuskan tentang
harga resistivitas pada lhitologi batuan bawah permukaan yang bertujuan untuk
memudahkan interprerasi data.berikut adalah tabel resisitivitas batuan menurut
telford (1987 ).
18
ϼ = 1 / Ϭ
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
IV.1 Peralatan Dan Perlengkapan
Dalam peneltian menggunakan konfigurasi Dipole-dipole ini, alat-alat
yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Resistivitymeter ( syscal )
2. Sumber Arus ( Accu 12 Volt)
3. 2 buah elektroda arus
4. 2 buah elektroda potensial
5. 2 gulung kabel arus
6. 2 gulung kabel potensial
7. 1 gulung meteran
8. 3 buah Palu
9. GPS
10. Lembar pengambilan data
IV.2 Lokasi Penelitian
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, Kecamatan
Depok, Sleman.
Secara geografis letak Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta berada pada titik koordinat X = 0434941 dan Y = 9141913
Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian
19
IV.3 Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini terletak di Kampus UPN V Yogyakarta, Kecamatan
Depok, Sleman. Pengambilan data dilakukan pada hari Sabtu, 2 Juni 2012,
dimulai dari pukul 12.30 WIB sampai pukul 14.30 WIB.
IV.4 Diagram Pengolahan Penelitian
Gambar 6. Diagram pengolahan penelitian
20
Pengambilan data lapangan V,I
Manual
Kesimpulan
Orientasi Lapangan
Mulai
Pengolahan Data
Mempersiapkan Alat
Res2DinV Google earth
Pembahasan
Tabel data Peta lintasan
Selesai
Penampang Resistivitas 2D
Interpretasi
Informasi Geologi Studi Literatur
Dari diagram alir tersebut dapat dijelaskan suatu proses dari penelitian
kemenerusan Kampus UPN V Yogyakarta. Sebelum melakukan penelitian
terlebih dahulu perlu mencari informasi umum geologi daerah penelitian sebagai
gambaran bentuk dan material-material penyusun daerah tersebut. Setelah itu
memulai penelitian dan pengambilan data yang diawali dengan mempersiapkan
alat dan bahan yang diperlukan. Kemudian menyusun peralatan tersebut sesuai
konfigurasi yang digunakan untuk mengambil data yang diperlukan. kemudian
melakukan pengukuran dan mengambil data yang diperlukan yang diteruskan
dengan mengolah data tersebut menggunakan Ms.Excel dan Surfer 10 kemudian
RES2DINV untuk memperoleh penampang resistivity yang dapat digunakan
untuk menginterpretasi kondisi bawah permukaan dari daerah penelitian yang
ditunjukkan oleh adanya anomali. Sehingga akhirnya dapat ditarik kesimpulan
dari anomali tersebut yang menunjukkan pola kemenerusan dari parit yang
diteliti.
IV.5 Pengambilan Data Lapangan
Pengambilan data di lapangan dilakukan pada hari Jumat sampai dengan
Sabtu dengan jumlah lintasan 1. Yang pertama dilakukan adalah mempersiapkan
dan mengecek kesiapan alat. Lalu membuat lintasan sepanjang 50 meter. Dan
memberi pita dengan label C dan P pada setiap interval (5m) di lintasan sepanjang
50 meter tersebut. Setelah lintasan siap kemudian alat dirangkai dengan cara
menghubungkan elektroda C1 dan C2 serta P1 dan P2 pada resistivity meter serta
menghubungkan resistivity meter ke sumber arus (accu 12 Volt).
Setelah alat siap digunakan untuk pengambilan data, kemudian dapat
dimulai menghidupkan alat dan menyetting alat, pengukuran dimulai dari C1 pada
titik 5m dan C2 pada titik 0 m serta P1 pada titik 10m dan P2 pada 15m. Pada
resistivitymeter mengubah autorange menjadi 0,00 dengan memutar tombol
coarse. Atau dapat juga mengatur dengan tombol fine jika penurunan ke angka
0,00 telah mendekati. Kemudian menekan tombol start lalu menekan tombol hold
jika data yang ditampilkan telah stabil. Mencatat data yang ditampilkan pada
21
resistivitymeter. Melakukan langkah yang sama dengan mengubah letak elektroda
C dan P sesuai dengan table pengambilan data hingga titik 50 m.
Gambar 7. Design Survey
IV.6 Pengolahan Data Lapangan
Data lapangan yang didapatkan dari pengambilan data berupa data
koordinat, V, I dan dilakukan perhitungan untuk nilai R dan rho. Setelah itu,
memasukkan data tersebut kedalam Microsoft excel, Untuk data koordinat
lintasan kemudian di copy dan dibuat peta lintasan dengan software Surfer 10.
Untuk data lapangan memasukan data kedalam surfer dengan menyusun
berdasarkan “n” nya.
Data yang di copy ke dalam worksheet surfer disimpan dalam format *dat
kemudian dilakukan inversi dengan software Res2Dinv untuk mendapatkan
penampang resistivity 2D. Setelah didapatkan penampang 2D hasil inversi
Res2Dinv, maka dari kesembilan lintasan dari semua kelompok untuk didapatkan
penampang 3D dari kemenerusan parit.
22
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
V.1 Hasil
Penampang Resistivity 2D lintasan 1
Gambar 8
Penampang Resistivity 2D lintasan 2
Gambar 9
Penampang Resistivity 2D lintasan 5
Gambar 10
23
Penampang Resistivity 2D lintasan 6
Gambar 11
Penampang Resistivity 2D lintasan 9
Gambar 12
Penampang Resistivity 2D lintasan 10
Gambar 13
24
Penampang Resistivity 2D lintasan 13
Gambar 14
Penampang Resistivity 2D lintasan 14
Gambar 15
V. 2 Pembahasan
Konfigurasi dipole-dipole dilakukan untuk mengetahui kecenderungan
harga resistivitas di suatu areal tertentu. Dengan tujuan untuk mengetahui
penyebaran batuan yang resistive di bawah permukaan secara lateral dari harga
resistivitas.
Berdasarkan pengolahan data dengan cara inversi menggunakan program
res2dinv, didapatkan penampang resistivitas (true resistivity) yang menunjukkan
nilai resistivitas dengan skala warna. Untuk dapat memperoleh hasil lapisan
tersebut, maka dengan memasukkan nilai resistivitas dari masing – masing
lapisan.
25
V.2.1 Lintasan 1
Setelah dilakukan Iteration sebanyak enam kali dengan RMS error sebesar
31.9% didapatkan penampang resistivity 2D yang dapat diinterpretasi sebagai
berikut. Nilai Resistivitas dari data tersebut mulai dari 199 ohm.m sampai 12430
ohm.m.
Menunjukkan warna biru - biru muda pada kedalaman antara 0.854 m –
4.36 m dengan jarak antara 7 m – 14 m, dan kedalaman 2.56 m- 3.46 m
dengan jarak antara 22 m – 25 m serta pada kedalaman antara 3.46 m –
6.33 m dengan jarak antara 26 m – 42.5 m memiliki nilai resistivitas antara
199 ohm.m – 1170 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod
(1990) sebagai sandstone.
Menunjukkan warna hijau pada kedalaman antara 0.854 m – 4.36 m
dengan jarak antara 8 m – 15 m, dan kedalaman 0.854 m- 6.33m dengan
jarak antara 21 m – 42.5 m memiliki nilai resistivitas > 1170 ohm.m –
2112 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai
sandstone.
26
Menunjukkan warna kuning - coklat pada kedalaman antara 0.854 m –
4.36 m dengan jarak antara 10 m – 17 m, dan kedalaman 0.854 m- 6.33m
dengan jarak antara 20 m – 24 m serta kedalaman antara 0.854 m – 2.56 m
dengan jarak antara 36 m – 45 m, memiliki nilai resistivitas >2112 ohm.m
– 6885 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai
kerikil kering.
Menunjukkan warna merah pada kedalaman antara 0.854 m – 6.33 m
dengan jarak antara 12 m – 21 m, memiliki nilai resistivitas >6885ohm.m
– 12430 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai
granit.
Menunjukkan warna ungu pada kedalaman antara 0.854 m – 6.33 m
dengan jarak antara 17.5 m – 23 m, memiliki nilai resistivitas >12430
ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai
andesite.
V.2.1 Lintasan 2
Setelah dilakukan Iteration sebanyak lima kali dengan RMS error sebesar
49.1 % didapatkan penampang resistivity 2D yang dapat diinterpretasi sebagai
berikut.Nilai Resistivitas dari data tersebut mulai dari 108 ohm.m sampai 8559
ohm.m.
Menunjukkan warna biru - biru muda pada kedalaman antara 1.707 m –
6.33 m dengan jarak antara 11 m – 26 m, dan pada kedalaman 2.56 m –
6.33 m dengan jarak 36 m – 42.5 m memiliki nilai resistivitas antara 108
ohm.m – 703 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990)
sebagai sandstone
Menunjukkan warna hijau pada kedalaman antara 1.707m – 6.33m dengan
jarak antara 9 m – 30 m, dan kedalaman 0.854 m- 6.33 m dengan jarak
antara 34m – 42.5m, memiliki nilai resistivitas >703 ohm.m – 1313
ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai
sandstone.
Menunjukkan warna kuning - coklat pada kedalaman antara 0.854 m –
6.33 m dengan jarak antara 8m – 30m, dan pada kedalaman 0.854 m-
6.33m dengan jarak antara 33m – 42.5m, memiliki nilai resistivitas >1313
27
ohm.m – 4581 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990)
sebagai kerikil kering.
Menunjukkan warna merah pada kedalaman antara 0.854m – 2.56m
dengan jarak antara 21 m – 26 m, dan pada kedalaman 0.854 m- 2.56 m
dengan jarak antara 27 m – 34 m memiliki nilai resistivitas >4581 ohm.m
– 8559 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai
granite.
Menunjukkan warna ungu pada kedalaman antara 2.56 m dengan jarak
antara 22 m – 24 m, dan pada kedalaman 2.56m – 6.33m dengan jarak
antara 29 m – 34 m, memiliki nilai resistivitas >8559 ohm.m. Berdasarkan
Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai andesite.
V.2.1 Lintasan 5
Setelah dilakukan Iteration sebanyak lima kali dengan RMS error sebesar
43.1% didapatkan penampang resistivity 2D yang dapat diinterpretasi sebagai
berikut.Nilai Resistivitas dari data tersebut mulai dari 445 ohm.m sampai 12647
ohm.m.
Menunjukkan warna biru - biru muda pada kedalaman antara 0.854 m –
2.56 m dengan jarak antara 8 m – 13 m, dan kedalaman 0.854 m- 6.33m
dengan jarak antara 26 m – 42.5 m memiliki nilai resistivitas antara 445
ohm.m – 1868 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990)
sebagai sandstone
Menunjukkan warna hijau pada kedalaman antara 0.854 m – 3.46 m
dengan jarak antara 8 m – 14 m, dan kedalaman 0.854 m- 6.33 m dengan
jarak antara 22.5 – 38 m ,memiliki nilai resistivitas > 1868 ohm.m – 3013
ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai
sandstone.
28
Menunjukkan warna kuning - coklat pada kedalaman antara 0.854 m –
6.33 m dengan jarak antara 8 m – 28 m, dan kedalaman 1.707 m- 3.46 m
dengan jarak antara 29 m – 35 m serta kedalaman antara 0.854 m – 4.36 m
dengan jarak antara 39 m – 42.5 m, memiliki nilai resistivitas >
3013ohm.m – 7840 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod
(1990) sebagai kerikil kering.
Menunjukkan warna merah pada kedalaman antara 0.854 m – 6.33 m
dengan jarak antara 14 m – 25 m, memiliki nilai resistivitas >7840 ohm.m
– 12647 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai
granite.
Menunjukkan warna ungu pada kedalaman antara 4.36 m – 6.33 m dengan
jarak antara 16 m – 20 m, memiliki nilai resistivitas >12647 ohm.m.
Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai andesite.
V.2.3 Lintasan 6
Setelah dilakukan Iteration sebanyak lima kali dengan RMS error sebesar
62.5% didapatkan penampang resistivity 2D yang dapat diinterpretasi sebagai
berikut.Nilai Resistivitas dari data tersebut mulai dari 124 ohm.m sampai
11593ohm.m.
Menunjukkan warna biru - biru muda pada kedalaman antara 2.56 m –
3.46 m dengan jarak antara 7 m – 9 m, dan kedalaman 0.854 m- 4.36 m
dengan jarak antara 16 m – 34 m memiliki nilai resistivitas antara
124ohm.m – 868 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod
(1990) sebagai sandstone
Menunjukkan warna hijau pada kedalaman antara 1.707 m – 3.46 m
dengan jarak antara 7 m – 11 m, dan kedalaman 0.854 m- 4.36 m dengan
jarak antara 13 m – 37 m ,memiliki nilai resistivitas >868ohm.m – 1660
ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai
sandstone
29
Menunjukkan warna kuning - coklat pada kedalaman antara 0.854 m –
5.345m dengan jarak antara 9 m – 42.5 m, memiliki nilai resistivitas
>1660ohm.m – 6065 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod
(1990) sebagai kerikil kering.
Menunjukkan warna merah pada kedalaman antara 0.854 m – 6.33 m
dengan jarak antara 7 m – 42.5 m, memiliki nilai resistivitas >6065 ohm.m
– 11593 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai
granite.
Menunjukkan warna ungu pada kedalaman antara 2.56 m – 6.33 m dengan
jarak antara 11 m – 42.5 m, memiliki nilai resistivitas >11593 ohm.m.
Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai andesite.
V.2.4 Lintasan 9
Setelah dilakukan Iteration sebanyak sepuluh kali dengan RMS error sebesar
23.4 % didapatkan penampang resistivity 2D yang dapat diinterpretasi sebagai
berikut.Nilai Resistivitas dari data tersebut mulai dari 35.2 ohm.m sampai
2020ohm.m.
Menunjukkan warna biru - biru muda pada kedalaman antara 2.56 m –
6.33 m dengan jarak antara 19 m – 40 m, memiliki nilai resistivitas antara
35.2 ohm.m – 200 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod
(1990) sebagai sandstone.
Menunjukkan warna hijau pada kedalaman antara 0.854 m – 2.56 m
dengan jarak antara 8 m – 11 m, dan kedalaman 0.854 m- 6.33 m dengan
jarak antara 18 m – 42.5 m ,memiliki nilai resistivitas >200 ohm.m –
356ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai
sandstone.
Menunjukkan warna kuning - coklat pada kedalaman antara 0.854 m –
6.33 m dengan jarak antara 7.5 m – 42.5 m, memiliki nilai resistivitas
30
>356 ohm.m – 1113 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod
(1990) sebagai kerikil kering.
Menunjukkan warna merah pada kedalaman antara 1.707 m – 4.36 m
dengan jarak antara 16 m – 18 m, dan kedalaman 0.854 m- 2.56 m dengan
jarak antara 26 m – 42.5 m memiliki nilai resistivitas >1113 ohm.m – 2020
ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai granite.
Menunjukkan warna ungu pada kedalaman antara 0.854 m – 2.56 m
dengan jarak antara 26 m – 30 m, memiliki nilai resistivitas >2020 ohm.m.
Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai andesite.
V.2.5 Lintasan 10
Setelah dilakukan Iteration sebanyak lima kali dengan RMS error sebesar
49.1 % didapatkan penampang resistivity 2D yang dapat diinterpretasi sebagai
berikut.Nilai Resistivitas dari data tersebut mulai dari 108 ohm.m sampai 8559
ohm.m.
Menunjukkan warna biru - biru muda pada kedalaman antara 1.707 m –
6.33 m dengan jarak antara 11 m – 26 m, dan pada kedalaman 2.56 m –
6.33 m dengan jarak 36 m – 42.5 m memiliki nilai resistivitas antara 108
ohm.m – 703 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990)
sebagai sandstone
Menunjukkan warna hijau pada kedalaman antara 1.707m – 6.33m dengan
jarak antara 9 m – 30 m, dan kedalaman 0.854 m- 6.33 m dengan jarak
antara 34m – 42.5m, memiliki nilai resistivitas >703 ohm.m – 1313
ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai
sandstone.
Menunjukkan warna kuning - coklat pada kedalaman antara 0.854 m –
6.33 m dengan jarak antara 8m – 30m, dan pada kedalaman 0.854 m-
6.33m dengan jarak antara 33m – 42.5m, memiliki nilai resistivitas >1313
ohm.m – 4581 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990)
sebagai kerikil kering.
Menunjukkan warna merah pada kedalaman antara 0.854m – 2.56m
dengan jarak antara 21 m – 26 m, dan pada kedalaman 0.854 m- 2.56 m
dengan jarak antara 27 m – 34 m memiliki nilai resistivitas >4581 ohm.m
31
– 8559 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai
granite.
Menunjukkan warna ungu pada kedalaman antara 2.56 m dengan jarak
antara 22 m – 24 m, dan pada kedalaman 2.56m – 6.33m dengan jarak
antara 29 m – 34 m, memiliki nilai resistivitas >8559 ohm.m. Berdasarkan
Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai andesite.
V.2.6 Lintasan 13
Setelah dilakukan Iteration sebanyak lima kali dengan RMS error sebesar
41.4% didapatkan penampang resistivity 2D yang dapat diinterpretasi sebagai
berikut.Nilai Resistivitas dari data tersebut mulai dari 109 ohm.m sampai 4289
ohm.m.
Menunjukkan warna biru - biru muda pada kedalaman antara 1.707 m –
6.33 m dengan jarak antara 9 m – 42.5m, memiliki nilai resistivitas antara
109 ohm.m – 525 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod
(1990) sebagai sandstone.
Menunjukkan warna hijau pada kedalaman antara 1.42m – 6.33 m dengan
jarak 7.5m – 42.5 m, memiliki nilai resistivitas >525 ohm.m –888 ohm.m.
Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai sandstone.
Menunjukkan warna kuning - coklat pada kedalaman antara 0.854 m –
4.36m dengan jarak antara 7.5m – 42.5 m, dan pada kedalaman 4.36 m-
6.33m dengan jarak antara 14 m – 20 m, memiliki nilai resistivitas >888
ohm.m – 3537 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990)
sebagai kerikil kering.
Menunjukkan warna merah pada kedalaman antara 0.854m – 4.36m
dengan jarak antara 7.5m – 42.5m, dan pada kedalaman 5.345 m- 6.33m
dengan jarak antara 15m – 20m memiliki nilai resistivitas >3537 ohm.m –
4289 ohm.m. Berdasarkan Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai
granite.
Menunjukkan warna ungu pada kedalaman antara 0.854 m – 2.56m dengan
jarak antara 22 m – 27 m, dan pada kedalaman 0.854 m – 4.36m dengan jarak
32
antara 32 m – 37 m, memiliki nilai resistivitas >4289 ohm.m. Berdasarkan
Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) sebagai andesite.
33
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan
- Batuan yang mempunyai resistivitas tinggi, maka konduktivitasnya akan
semakin kecil sedangkan resistivitas rendah , maka konduktivitasnya akan
semakin besar ( Resistivity berbanding terbalik dengan Konduktivitas ) .
Konfigurasi dipole-dipole baik secara vertikal dan horisontal (lateral) bias
digunakan untuk target berupa intrusi, urat (vein) kuarsa.
- Berdasarkan hasil dari pengolahan data dengan menggunakan software
melalui Ms.Excel, Surfer, Res2dinv didapatkan nilai resistivity setiap
lintasan sebagai berikut :
a ) Penampang 2D Lintasan 1 memiliki nilai resistivitas mulai dari 199
ohm.m sampai 12430 ohm.m.
b ) Penampang 2D Lintasan 5 memiliki nilai resistivitas mulai dari 445
ohm.m sampai 12647 ohm.m.
c ) Penampang 2D Lintasan 6 memiliki nilai resistivitas mulai dari 124
ohm.m sampai 11593 ohm.m.
d ) Penampang 2D Lintasan 9 memiliki nilai resistivitas mulai dari 35.2
ohm.m sampai 2020 ohm.m.
e ) Penampang 2D Lintasan 10 memiliki nilai resistivitas mulai dari 108
ohm.m sampai 8559 ohm.m.
f ) Penampang 2D Lintasan 13 memiliki nilai resistivitas mulai dari 109
ohm.m sampai 4289 ohm.m.
g ) Penampang 2D Lintasan 14 memiliki nilai resistivitas mulai dari 109
ohm.m sampai 4289 ohm.m.
34
- Dari hasil penampang 2D semua lintasan yang telah di olah berdasarkan
Tabel Tahanan Jenis, Telfrod (1990) telah di dapatkan nama batuan
sebagai berikut :
a ) Sandstone
b ) Dry Gravel ( kerikil kering )
c ) Granit, Andesit.
- Dari hasil penampang masing masing di dapatkan bahwa bagian bawah
permukaan berasal dari fluvio vulkanik dan tanah uruk ( bahwa tanah yang
berasal dari yang dahulu berasal dari bangunan bangunan rumah )
VI.2 Saran
Untuk memperlancar acara praktikum kedepannya, perlu diperhatikan
saran-saran berikut:
Penambahan pengayaan materi agar praktikan lebih
Pembahasan dan evaluasi tiap metode agar lebih diperdalam lagi.
Pengenalan lapangan beserta metode yang digunakan diperbanyak.
Pengenalan peralatan sebaiknya lebih awal agar lebih efektif saat
melakukan pengambilan data.
35
top related