laporan isu strategis energi akhirperpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/105497... ·...
Post on 02-Mar-2019
231 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ISU STRATEGIS
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi
Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan
Jaminan Pasokan
LAPORAN AKHIR
Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
2005
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
2
DAFTAR ISI
DAFTAR IS ................................................................................................. I Bab I ....................................................................................................... 2 Pendahuluan.............................................................................................. 4 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 4 1.2. Tujuan Penelitian/Kajian ................................................................... 5 1.3. Sasaran ........................................................................................... 5 1.4. Ruang Lingkup ................................................................................. 6 1.5. Output Yang Diharapkan................................................................... 6 1.6. Metodologi....................................................................................... 7 1.7. Pelaksana Kajian .............................................................................. 8
BAB 2 ....................................................................................................... 9 PERMASALAHAN PEMBANGUNAN ENERGI INDONESIA .................................. 9
BAB 3 ......................................................................................................14 KAJIAN MODEL ENERGI.............................................................................14 3.1. Kajian Model Energi Dunia..................................................................15 3.2 Kajian Model Energi Indonesia ............................................................24
Bab 4 ......................................................................................................30 PEMODELAN PERENCANAAN ENERGI INDONESIA......................................30 4.1 Reference Energy System ………………………………………………………………..31 4.2. Pemodelan Permintaan Energi ............................................................33 4.3. Modul Penyediaan Energi ....................................................................34 4.4. Modul lingkungan ..............................................................................42
BAB 5 ......................................................................................................44 ANALISA INFRASTRUKTUR ENERGI ............................................................44 5.1. Infrastruktur Minyak Bumi ...............................................................45 5.1.1. Kilang Minyak ................................................................................46 5.1.2 Sarana Distribusi BBM ....................................................................53 5.2. Infrastruktur Gas ......................................................................... …57 5.2.1. Kilang Gas......................................................................................58 5.2.2. Sarana Distribusi BBG......................................................................61 5.3 Infrastruktur Batubara .....................................................................65 5.4. Infrastruktur Listrik..........................................................................73 5.5 Infrastruktur Energi Regional.............................................................86
BAB 6 ......................................................................................................91 REKOMENDASI KEBIJAKAN ENERGI MIX DAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR ENERGI ..........................................................................91 6.1 Identifikasi Permasalahan Energi Sektoral..............................................91
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
3
6.2 Rekomendasi Kebijakan Penyediaan Dan Pemanfaatan
Energi Secara Terintegrasi (Energy Mix)…………………………………………… 95
LAMPIRAN:.............................................................................................110 SIMULASI LEAP.......................................................................................110
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
4
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Perencanaan Infrastruktur Energi saat ini masih belum optimal dan
cenderung masih berupa rencana perusahaan Perencanaan Pembangungan
Infrastruktur Energi di Indonesia perlu diperjelas strateginya. Pada dasarnya
ada 3 hal yang menjadi faktor penentu strategi. Pertama, potensi energi;
kedua, jenis permintaan energi; ketiga, faktor external seperti tax, technology,
investasi dsb. Pembangunan Infrastruktur Energi ditujukan untuk menjamin
adanya energy security di Indonesia. Bappenas sebagai perencana
pembangunan akan mengetahui secara pasti infrastruktur energi yang harus
dibangun. Dengan demikian krisis energi di Indonesia dapat dihindari.
Beberapa persyaratan yang harus dikaji lebih mendalam pembangunan
infrastruktur energi di Indonesia, yaitu (a) Infrastrukur energi existing,
(b)potensi sumber energi primer; (c) permintaan jenis energi primer dari
sektor rumah tangga, komersial dan industri; (d) Harga setiap jenis energi
primer; (e) Faktor lainnya seperti geografi, lingkungan, teknologi,
social/culture dan demografi.
Berdasarkan beberapa studi terdahulu, potensi sumber energi di Indonesia
mempunyai karakteristik sebagai berikut:
Cadangan energi primer yang besar dan sangat beragam ;
Ekspor sumber daya energi sangat vital terhadap ekonomi nasional;
Ekonomi domestik sangat sensitif terhadap fluktuasi harga energi di
pasar dunia;
Demand terhadap energi final di dalam negeri terus tumbuh dengan
pesat.
Selain itu, perencanaan pembangunan infrastruktur energi saat ini ditujukan
untuk :
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
5
Mengamankan pasokan energi untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri.
Menjamin ketersediaan sumber energi untuk ekspor
Memprioritaskan konservasi energi
Menjamin terlaksananya diversifikasi energi
Pencarian sumber-sumber energi dan pengembangannya tetap
dilanjutkan
Pemanfaatan sumber energi harus melindungi lingkungan
Ekspor minyak bumi harus terus dilanjutkan sebagai prioritas yang
penting dengan memperhatikan langkah-langkah untuk memperpanjang
waktu ekspor.
1.2. Tujuan Penelitian/Kajian
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Membuat perencanaan pembanguanan infrastruktur energi yang dibuat
berdasarkan suatu model dinamik proyeksi energi untuk energi primer
dan energi final. Model energi tersebut harus mempunyai input
parameter ekonomi (GDP), inflasi, jumlah penduduk, pertumbuhan
industri, rumah tangga, komersial.
2. Pembangunan infrastruktur energi yang dibangun harus diambil
berdasarkan proyeksi energi tersebut untuk seluruh Indonesia dan 5
buah pulau (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya).
3. Infrastruktur energi yang harus dikembangkan dalam rangka
memanfaatkan energi tersebut dari sumber energi ke konsumen.
1.3. Sasaran
Sasaran akhir yang hendak dicapai melalui studi ini yaitu:
1. Bappenas (Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika) sebagai
badan perencana nasional mempunyai grandstrategy pembangunan
infrastruktur energi dalam jangka menengah
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
6
2. Berdasarkan hasil Studi energy mix yang dilakukan pada tahun 2003 di
Bappenas dapat dipakai sebagai starting point dan dasar acuan
pengembangan infrastruktur energi.
3. Berdasarkan kajian ini, direktorat Energi, Telekomunikasi dan
Informatika akan mampu dengan kemampuan sendiri untuk
menganalisa perencanaan pembangunan infrastruktur energi pada
jangka menengah, mengingat telah tersedianya sebuah model dinamik
untuk kebutuhan energi dengan parameter/ input yang dapat diubah
dan disesuaikan dengan keadaan ekonomi Indonesia.
4. Kajiaan ini diharapkan menjadi acuan untuk melakukan kajian
kebutuhan infrastruktur energi yang lebih detil untuk sektor
transportasi, rumah tangga, industri dan komersial untuk setiap
wilayah/daerah/propinsi.
1.4. Ruang Lingkup
1. Mengumpulkan kajian mengenai pembangunan infrastruktur energi dari
berbagai sumber.
2. Melakukan kajian pemanfaatan energi yang disesuaikan dengan
keadaan demografi, teknologi, lingkungan, geografi.
3. Membuat neraca energi (demand-supply) untuk jangka menengah –
dengan membuat model LEAP untuk energi listrik sebagai contoh kasus.
4. Membuat mapping infrastruktur energi yang telah ada
5. Melakukan kajian pengembangan infrastruktur untuk memanfaatkan
energi dari sumber energi ke konsumen.
1.5. Output Yang Diharapkan
1. Mapping perencanaan infrastruktur energi jangka menengah di
Indonesia yang terdiri dari listrik, minyak, gas dan batubara.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
7
2. Laporan komprehensif yang berisi perencanaan pembangunan
infrastruktur energi untuk jangka menengah yang berdasarkan proyeksi
kebutuhan energi jangka menengah.
3. Satu buah laporan komprehensif mengenai evaluasi dan rekomendasi,
serta analisa perencanaan pembangunan infrastruktur energi untuk
jangka menengah.
1.6. Metodologi
Kajian/studi ini akan dilakukan dengan melakukan pengumpulan data
sekunder, data inventarisasi studi-studi yang telah ada dan masukan dari
para narasumber. Hasil dari data primer dan sekunder tersebut selanjutnya
akan digunakan sebagai data dasar evaluasi dan perencanaan pembangunan
infrastruktur energi untuk jangka menengah.
Sebagai studi kasus akan dibuat khusus untuk energi listrik yang akan
dibuat model dan programnya. Untuk membantu kegiatan tersebut, maka
diperlukan bantuan pihak ketiga yang memiliki kemampuan permodelan dan
pemrograman komputer.
Perencanaan pembangunan infrastruktur energi akan dikembangkan
berdasarkan hasil kajian energi dan model yang telah ada. Infrastruktur
Energi yang dikembangkan harus dalam rangka pemanfaatan energi yang
efisien dan dalam rangka mendukung sektor yang lainnya seperti transportasi
dan industri.
Kajian-kajian Energi yang telah ada
Model yang telah ada
Kajian Bappenas
Kebijakan perencanaan infrastruktur Energi
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
8
1.7. Pelaksana Kajian
Kajian akan dilaksanakan secara swakelola dengan TPRK, FGD, dan Nara
Sumber, serta dibantu oleh pihak ketiga
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
9
BAB 2
PERMASALAHAN PEMBANGUNAN ENERGI INDONESIA
Pembangunan energi di Indonesia dihadapkan pada masalah pokok berupa
kesenjangan antara potensi sumber energi (energi primer) dan konsumsi
berbagai jenis energi. Sebagai contoh, rasio antara tingkat produksi dan
potensi cadangan minyak bumi sangat besar, sedangkan rasio energi panas
bumi pemanfaatannya lebih lama karena sifatnya sebagai energi terbarukan.
Tingginya pemanfaatan energi final perjenis energi masih belum proporsional.
Permasalahan lain yang dihadapi adalah sistem penetapan harga energi
yang belum mencerminkan nilai ekonominya sehingga tidak mendorong
penggunaan energi secara maksimal dan tidak mengembangkan prakarsa
masyarakat untuk melakukan penghematan energi. Sebagai contoh,
transportasi merupakan sektor yang boros dalam mengkomsumsi BBM.
Masih rendahnya tingkat diversifikasi energi juga merupakan salah satu
permasalahan. Hal ini ditunjukkan dengan ketergantungan terhadap BBM
masih tinggi. Pembangunan dan pangsa penggunaan energi selama ini masih
bertumpu kepada pengguna energi tidak terbarukan seperti minyak bumi,
padahal cadangan minyak bumi semakin menipis.
Masalah lainnya adalah belum efisiennya pemanfaatan energi oleh
konsumen rumah tangga, industri dan transportasi. Hal ini tercermin dari
perilaku pemilihan jenis energi untuk berbagai sektor yang belum efektif dan
konsumsi energi yang lebih konsumtif serta rendahnya tingkat efisiensi
peralatan.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
10
Beberapa permasalahan lain di luar permasalahan utama di atas antara
lain meliputi: struktur harga, pajak dan subsidi untuk minyak yang telah
memperlambat kebijakan diversifikasi energi, sikap menunggu pelaku bisnis
tentang kebijakan pemerintah yang lebih kondusif untuk manajemen bisnis
di sisi hilir; ketidakpastian regulasi antara pemerintah pusat dan daerah,
kondisi keamanan dan politik yang tidak stabil; dan keterbatasan kemampuan
infrastruktur energi seperti kilang minyak dalam negeri.
Memperhatikan permasalahan klasik penyediaan energi nasional, potensi
sumber-sumber energi yang ada serta kecenderungan penggunaan energi
internasional dan regional termasuk memperhatikan perubahan berbagai
regulasi terkait, beberapa permasalahan pembangunan energi untuk lima
tahun mendatang dapat dirangkum sebagai berikut.
Terbatasnya I nfrastruktur Energi. Kapasitas infrastruktur terbangun
belum cukup untuk memenuhi kebutuhan energi final. Infrastruktur yang ada
pada umumnya sudah tua, terbatas, dan memiliki efisiensi yang rendah.
Infrastruktur tersebar tidak merata, dan sebagian besar belum terinterkoneksi.
Sebagian besar infrastruktur berorientasi pada BBM. Infrastruktur jenis energi
Gambar. Distribusi Konsumsi Energi
Final 2000-2003 (Juta SBM)
0 100 200 300 400
1994
1995
2000
2001
2002
2003
BBM Gas Batubara Listrik LPG
Sumber: Deartemen ESDM, 2004.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
11
lainnya seperti gas, panas bumi, batubara dan energi lainnya masih sangat
kurang. Kapasitas kilang (1 juta bph) yang sudah menua tak seimbang lagi
dengan peningkatan konsumsi BBM yang tinggi (kini 1,3 – 1,4 juta bph). Ini
mengakibatkan impor minyak mentah dan BBM menjadi tinggi. Transmisi dan
distribusi BBM tidak efisien dan tidak mampu memenuhi perkembangan
permintaan dan dominasi moda angkutan darat dalam transportasi BBM masih
sangat besar. Untuk infrastruktur gas, ruas transmisi dan distribusi terbangun
masih sangat kecil dibandingkan potensi permintaan gas di dalam negeri
(listrik, industri, rumah tangga, transportasi). Infrastruktur pemrosesan gas
domestik masih terbatas dalam fase gas, belum dalam fase cair. Substitusi gas
bumi untuk terhadap BBM masih terlalu lamban. Sedangkan infrastruktur batu
bara, terutama untuk angkutan batubara dari lokasi penambangan ke pusat
konsumsi, khususnya di Jawa, masih sangat kurang.
Belum Terencananya Prospek Bisnis Energi. Bisnis energi masih
terlalu berorientasi untuk mendapatkan revenues secara cepat dan sangat
tergantung pada komoditi minyak bumi, khususnya minyak mentah. Disamping
itu juga kurang mempertimbangkan efisiensi dan nilai tambah dari proses
pengolahan di dalam negeri (sebagai bahan baku petrokimia) dan kurang
menyadari bahwa prospek era minyak bumi telah menyusut. Walaupun
pertumbuhan bisnis energi sangat tinggi, namun Indonesia belum secara baik
mengembangkan perencanaan jangka panjang dalam eksploitasi sumberdaya
energi, yang seharusnya ditunjukkan dalam bentuk rencana induk bauran
energi (energy mixed master plan).
Belum Efektifnya Manajemen Resiko. Prediksi terhadap resiko proyek
pembangunan energi sangat tinggi, khususnya karena minim dan kurang
akuratnya data/ informasi yang tersedia sebagai acuan perhitungan. Beban
investasi dan harga energi ditanggung pada fase awal pembangunan, yang
membuat harga energi menjadi sangat mahal. Contoh: proyek pembangunan
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
12
PLT Panas Bumi (geothermal). Market risk masih tinggi, khususnya karena
harga diatur pemerintah dan perubahannya tidak mudah diterima oleh
masyarakat. Persepsi terhadap country risk masih tinggi sehingga
membutuhkan government guarantee.
Belum Tuntasnya Regulasi. UU Minyak & Gas Bumi 22/2001 telah
diminta untuk direvisi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2004
terutama pasal-pasal yang berkaitan dengan kesejahteraan umum
sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Namun demikian, UU Migas juga
masih mempunyai masalah seperti: terlambatnya penyiapan PP Hilir, belum
berfungsi efektifnya Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas (BPH MIGAS), dan
belum diterbitkannya Master plan transmisi dan distribusi gas nasional.
Sementara itu UU Ketenagalistrikan No 20/2002 telah dibatalkan oleh MK.
Kurang Menariknya I klim I nvestasi. Karakteristik dari proyek
pembangunan infrastruktur energi yang membutuhkan biaya besar, teknologi
tinggi, waktu yang lama sebelum beroperasi; terlalu beratnya beban fiskal
dalam tahap eksplorasi dan di sisi hulu; kendala prosedur, regulasi, waktu dan
biaya yang menurunkan minat investasi; terbatasnya equity yang menurunkan
kemampuan memperoleh pinjaman; minat perbankan domestik yang masih
rendah untuk menanamkan modalnya dalam pembangunan proyek
infrastruktur energi
Besarnya Ketergantungan Kepada Pemerintah. Dominasi sektor
energi oleh BUMN yang masih sangat tergantung kepada pemerintah, pola
monopoli/duopoli yang berjalan menghambat tumbuhnya pola kompetisi,
beban asset dan kinerja operasi korporat belum menunjukkan efisiensi yang
layak, pemisahan secara akuntansi antara misi sosial dan komersial belum
jelas, dan investasi pengembangan masih memerlukan fasilitas pemerintah,
menyebabkan sebagian beban masih ditanggung oleh pemerintah.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
13
Belum Efektifnya Kelembagaan. Belum sinkronnya pelaksanaan
pembagian wewenang dari pusat ke daerah, pemerintah dan swasta, serta
sektor dan regional. Badan Pengatur/Pengawas yang dibentuk belum berfungsi
efektif, sedangkan sebagian lainnya belum terbentuk, serta overlapping dan
kurang jelasnya tugas pokok dan fungsi dari lembaga-lembaga yang terlibat
dalam penanganan sektor energi, belum mencerminkan efektifitas dan efisiensi
restrukturisasi sektor.
Belum Tersusunnya Perumusan Konsep Keamanan Pasokan Energi
(Security Of Energy Supply) . Hal ini mengakibatkan tidak jelasnya arah
pengembangan potensi sumberdaya energi untuk pemenuhan kebutuhan
jangka panjang, harga energi (BBM dan listrik) masih diregulasi oleh
pemerintah dengan pola seragam, fixed, dan tidak tanggap terhadap
penyesuaian, dan restrukturisasi sektor energi belum dipertajam, baik yang
berkenaan dengan struktur final yang ingin dicapai, maupun pola migrasinya.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
14
BAB 3
KAJIAN MODEL ENERGI
Pemodelan telah menjadi bagian yang sangat penting dalam perencanaan
energi nasional di beberapa negara sejak beberapa dekade yang lalu. Pada
awal pengembangan model energi telah disadari bahwa kompleksitas masalah
energi membutuhkan pendekatan yang menyeluruh, sehingga pilihan
kebijakan yang hendak diterapkan memiliki dasar yang baik. Perkembangan
dalam bidang komputasi yang ditandai dengan meningkatnya kecepatan dan
kemampuan kapasitas komputer turut membantu perkembangan dalam
bidang pemodelan energi.
Dalam catatan perkembangan pemodelan energi didunia, tampak bahwa
pada awalnya di era akhir tahun 70-an, usaha pemodelan energi yang
dilakukan di Amerika Serikat utamanya digunakan untuk pengkajian dampak
“impact assessments” dibandingkan sebagai alat untuk merancang kebijakan
energi nasional. Pada masa itu data dan asumsi pemodelan seringkali
diarahkan sedemikian sehingga sejalan dengan keinginan otoritas dalam
bentuk pengendalian regulasi (Munasinghe, 1993).
Di negara sedang berkembang, evolusi kegiatan pemodelan dapat dibagi
menjadi 3 tahapan. Tahap pertama ditandai oleh ketergantungan yang sangat
besar terhadap konsultan asing dalam memberikan dukungan analitis. Tahap
ini ditandai oleh adaptasi model “mainframe ” yang dikembangkan di Amerika
Serikat dan Eropa.
Tahap kedua ditandai dengan didirikannya institusi perencanaan energi,
dimana kegiatan pemodelan mulai dilakukan di dalam negeri masing-masing
negara oleh ahli lokal yang telah dilatih. Tahapan ini ditandai dengan mulai
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
15
munculnya komputer mikro dan munculnya apresiasi terhadap kondisi lokal
yang bersifat unik. Tahapan ketiga merupakan tahapan saat ini, dimana para
ahli lokal mulai dapat mengembangkan model energi ekonomi yang lebih
sesuai dengan kondisi di masing-masing negara sedang berkembang. Kegiatan
pemodelan energi saat ini, mampu dilakukan dalam platform komputer
personal dengan kemampuan komputasi yang memadai.
3.1. Kajian Model Energi Dunia
Secara garis besar perspektif model ekonomi energi yang ada di dunia
dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok dasar yaitu model rekayasa dan
model ekonomi.
Model rekayasa melihat bahwa sistem energi merupakan kumpulan
dari berbagai jenis teknologi energi seperti batubara, minyak, gas bumi dan
energi terbarukan yang berkompetisi satu sama lainnya. Sepanjang waktu,
teknologi akan mengalami perubahan kinerja (efisiensi, biaya, kebutuhan
bahan bakar). Perubahan ini akan mempengaruhi pola penggunaan energi,
harga bahan bakar dan teknologi, dan harga energi. Model rekayasa yang
murni biasanya sangat sederhana dimana tidak ada umpan balik dari sektor
ekonomi (contoh harga energi tinggi akan menyebabkan rendahnya
permintaan energi). Sedangkan untuk model jenis ini yang baru beberapa
telah mempertimbangkan aspek ekonomi makro.
Model ekonomis menggambarkan bahwa sistem energi merupakan
bagian kecil dari aktivitas ekonomi makro. Asumsi-asumsi tentang perubahan
PDB, penggunaan kapital dan efisiensi diterjemahkan dalam pola perubahan
permintaan energi diantara beberapa sektor ekonomi lainnya. Pada waktu
yang sama ketersediaan berbagai teknologi energi akan menyesuaikan
neraca penyediaan dan permintaan.
Untuk melihat lebih jauh tentang klasifikasi model-model yang ada
dapat dilihat dari aspek-aspek berikut: perspektif yaitu pandangan model
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
16
terhadap sistem energi; cakupan geografi yaitu global, regional, nasional
atau lokal; jangka waktu yaitu pendek, menengah atau panjang yang
mencerminkan bagaimana model mempertimbangkan evolusi teknologi
energi ke depan; otonomi adalah tingkat dimana suatu model
menghubungkan antara informasi endogen yang ditimbulkan oleh model
terhadap masukan eksogen yang diberikan; proyeksi teknologi sangat
tergantung pada model sendiri dibanding dengan pengguna atau skenario;
dan disagregasi adalah tingkat kemampuan model untuk membagi sektor
energi atau aktivitas menjadi bagian yang lebih detail.
Keterkaitan antara aktifitas ekonomi dan energi secara keseluruhan
sangatlah kompleks. Pengaruh ekonomi makro pada sektor energi dapat
diilustrasikan bahwa pertumbuhan PDB akan mempengaruhi permintaan
energi, yang selanjutnya akan berpengaruh pada penyediaan energi,
investasi, harga energi, impor energi, investasi dan hutang luar negeri, dan
neraca pembayaran. Keterkaitan ini disebut keterkaitan top-down.
Tabel Klasifikasi model-model ekonomi energi.
Model Dibuat
oleh
Lingkup
geografik
Kurun
waktu
Tingkat
otonomi
Tingkat dis
agregasi
Perspektif Ekonomi
CRTM Global (5 wilayah) Panjang
(s/d 2100) Menengah Rendah
E3ME EC EU (14 wilayah) Menengah
(s/d 2100) Tinggi Menengah
EPPA MIT Global ( 12
wilayah)
Panjang
(s/d 2100) Menengah Rendah
ERM ORNL Global ( 9 wilayah) Panjang
(s/d 2100) Menengah Rendah
G-Cubed Brookings Global ( 12
wilayah)
Panjang
(s/d 2100) Menengah Rendah
GEM-E3 EC Global ( 11 Menengah Tinggi Rendah
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
17
wilayah) (10 years)
Global 2100 EPRI Global ( 5 wilayah) Panjang
(s/d 2100) Menengah Rendah
GREEN OECD Global ( 12
wilayah)
Panjang
(s/d 2100) Menengah Rendah
WW Global ( 6 wilayah) Panjang
(s/d 2100) Menengah Rendah
POLES 2.2 EC Global ( 26
wilayah)
Menengah
(s/d 2020) Menengah Menengah
Perspektif Rekayasa
CO2DB IIASA Tak Berlaku Saat ini
saja
Tak
Berlaku Tinggi
DECADES IAEA Generik (1 wilayah) Menengah
(s/d 2020) Rendah Menengah
Energy 2020 Systematic
Solutions Generik (1 wilayah)
Menengah
(20 yrs) Tinggi Menengah
IKARUS KFA J lich Germany (2
wilayah)
Menengah
(s/d 2020) Tinggi Tinggi
LEAP SEI Generik (1 wilayah) Menengah
(Unspec) Rendah Menengah
MARKAL IEA-ETSAP Generik (1 wilayah) Menengah
(s/d 45 yrs) Rendah Tinggi
NE21 Yokohama
National U. Global (10 wilayah)
Panjang
(s/d 2100) Menengah Tinggi
NEMS EIA USA (1 wilayah) Menengah
(s/d 2015) Tinggi Tinggi
PRIMES EC EU (12 wilayah) Menengah
(s/d 2030) Menengah Tinggi
An Apraisal of
UK Energy ETSU UK (1 wilayah)
Menengah
(40 yrs) Rendah Tinggi
European
Energy to
2020
EC Global (15 wilayah) Menengah
(s/d 2020) Menengah Menengah
Global Energy
Perspectives IIASA Global (1 wilayah)
Panjang
(s/d 2050) Menengah Menengah
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
18
SYRENE NOVEM
Netherland (1
wilayah)
Menengah
(s/d 2030) Menengah Tinggi
Model top-down ini lebih berfokus pada model ekonomi dan tidak
mementingkan potensi perbaikan efisiensi teknologi energi secara rinci, dan
hanya berdasarkan pada efisiensi masa lalu, sehingga lebih bersifat policy-
oriented tools. Parameter utama dalam model top-down adalah elastisitas
permintaan energi dalam menjawab perubahan PDB, elastisitas harga energi,
dan intensitas energi. Struktur model menggunakan fungsi produksi untuk
menentukan perubahan PDB sebagai fungsi dari modal, tenaga kerja dan
input energi.
Hubungan top-down
Hubungan bottom-up
Gambar Keterkaitan energi-ekonomi
Sebaliknya adalah pengaruh sektor energi pada sektor ekonomi
nasional, yang disebut dengan keterkaitan bottom-up. Misalnya pertanyaan
tentang bagaimana pengaruh inflasi dari kenaikan 2 kali harga energi yang
Penyediaan Energi
Penyediaan Energi
Investasi
Harga Energi
Neraca Pembayaran
Impor Energi
Foreign investment
debt service
Ekonomi makro
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
19
disebabkan oleh sistem energi, atau seberapa jauh pengaruhnya pada
pengurangan investasi sektor energi dari total investasi dalam sektor
ekonomi. Model bottom-up lebih fokus pada sektor energi dengan data
teknologi energi serta biaya produksi energi yang rinci. Permintaan energi
adalah variabel eksogen dalam ekonomi secara keseluruhan, dan model ini
sangat potensial dalam kebijakan meningkatkan efisiensi penggunaan energi
dengan biaya energi yang minimal atau mereduksi emisi polutan.
Tabel Sifat-sifat model Top-Down dan Bottom–Up
Criteria Top-Down Bottom-Up
Tingkatan disagregasi
Rendah : 1-10 sektor atau
aktifitas
Tinggi: merepresentasikan
berbagai jenis energi dan
penggunaan
Representasi perilaku
Menyeluruh tetapi kurang
rincian teknologi
Rinci pada tingkat aplikasi
tetapi tidak komprehensif
Berdasarkan input-output
makro/analisis ekonometrik
Berdasarkan data rekayasa
dan biaya
Representasi teknologi
Fungsi produksi
menentukan kemungkinan
substitusi
Gambaran aliran material
dan energi
Efek harga dan pendapatan
Asumsi pangsa pasar atau
optimisasi
Perubahan teknologi
Kemajuan teknologi
eksogen
Proyeksi efisiensi teknologi
Kurva pembelajaran
(learning curves)
Ekonometrik atau kalibrasi
pada suatu tahun saja
Analisis spread-sheet untuk
keperluan deskripsi Pendekatan metodologi
Pertumbuhan ekonomi
diestimasi atau eksogen
Model simulasi dan
optimisasi
Kesenjangan efisiensi
Tak ada kesenjangan
efisiensi kecuali pada subsidi
energi
Pasar energi tidak efisien
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
20
Criteria Top-Down Bottom-Up
Seluruh segmen pasar
berkompetisi penuh
Potensi penghematan
energi yang cost-effective
Penggunaan teknologi baru
dibatasi kondisi pasar
Asumsi mengenai
halangan pemasaran dan
biaya tersembunyi untuk
teknologi baru
Biaya menggunakan
teknologi baru terlihat pada
kelakuan pasar
Biaya tersembunyi
cenderung rendah
Biaya untuk mengurangi
halangan pemasaran
Tinggi
Rendah
Dari 2 kategori model tesebut memperlihatkan kelebihan dan
kekurangan berbagai struktur model ekonomi energi, sehingga kita dapat
memilih struktur mana yang terbaik untuk kebijakan energy mix di Indonesia
dan dapat dihindarkan resiko kesalahan dalam implementasi kebijakan energi
nantinya.
Tabel Karakteristik model-model energi-ekonomi
No
Model Fitur dan Asumsi
Utama Kelebihan Kekurangan
1. Pendekatan Ad-
hoc
Tujuan utama
untuk meng-
identifikasi
teknologi yang
cost-efficient dan
mengurangi emisi
CO2
Membandingkan
Kriteria cost-
effectiveness
untuk pering-kat
berbagai pilihan
Menentukan
prioritas pilihan
reduksi CO2
Struktur dan
Sudut pandang
energi dan
ekonomi tidak
konsisten
Tidak melihat
timing dan
interaksi antar
berbagai pilihan
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
21
No
Model
Fitur dan Asumsi
Utama Kelebihan Kekurangan
pilihan reduksi
emisi CO2 (misal
kebija-kan
substitusi bahan
bakar
Mengevaluasi data
teknologi secara
spesifik untuk
evaluasi pilihan
mitigasi CO2
asumsi masukan
lebih transparan
reduksi CO2
Mengabaikan
biaya transaksi
ekonomi yang
mungkin tinggi
2 Model optimisasi
sektor energi:
MARKAL,
MESSEGE
Fokus pada sektor
energi; pendekatan
bottom-up
Kompetisi penuh
antara berbagai
bahan bakar dan
teknologi
Data energi dan
teknologi yang
ekstensif
Pilihan energy mix
yang paling efisien
untuk memenuhi
kebutuhan
Memberikan
deskripsi energi
sistem yang
koheren dan
kompre-hensif
(energi primer,
ener-gi final, tek-
nologi energi)
Sesuai untuk
menilai dan
identifikasi
potensi efisiensi
Dapat menilai
kebijakan supply-
demand untuk
mengurangi emisi
GHG
Mengabaikan
efek umpan
balik kebijakan
reduksi GHG
pada sektor
perekonomian
lainnya
Tidak melihat
interaksi
kebutuhan-
harga
Kurang
menghargai
biaya kebijakan
mitigasi
Mengasumsikan
reaksi ideal
pasar terhadap
harga energi
3 Model optimisasi
sektor energi +
sektor ekonomi
lainnya:
Optimisasi sektor
energi
dihubungkan
dengan model
Mampu meng-
akomodasi efek
umpan balik
ekonomi
Representasi
sektor eko-
nomi non-
energi belum
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
22
No
Model
Fitur dan Asumsi
Utama Kelebihan Kekurangan
MARKAL-
MACRO, ETA-
MACRO
agregat ekonomi
Fungsi produksi
untuk ekonomi
nasional
Memanfaatkan
efek umpan balik
ekonomi
Memberi
perhatian pada
interaksi
pertumbuhan
ekonomi dan
kebutuhan energi
Mulai melihat efek
harga pada
konser-vasi dan
substitusi energi
Mengembangkan
model interaksi
dalam energi
sistem
memadai
Belum melihat
dampak
kebijakan
energi pada
berbagai sektor
4 Pendekatan
ekonomi makro:
HERMES, MIDAS
Deskripsi
hubungan sektoral
dalam suatu
ekonomi
Fokus pada
dampak jangka
pendek dari
kebijakan emisi
Bertumpu pada
hub. ekonometri
yang
merepresentasikan
perilaku
pengambilan
keputusan ekonomi
Memberiklan
analisis dampak
ekonomi akibat
umpan balik
kebijakan yang
rinci pada
tingkatan sektoral
Menghitung biaya
penyesuaian
karena kebijakan
pengurangan CO2.
Keabsahan
terbatas pada
batas lingkup
perkembangan
yang teramati
Mengamati
hanya
instrumen
kebijakan fiskal
Tidak sesuai
untuk
menangani isu
jangka panjang
(teknologi,
perubahan
perilaku.
5 Model
Jorgenson-
Wilcoxen
Menganalisis
alokasi sumber
daya jangka
Memberikan
dampak biaya
akibat kebijakan
Tidak
menggambarka
n penggunaan
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
23
No
Model
Fitur dan Asumsi
Utama Kelebihan Kekurangan
panjang
Pasar dan ekonomi
mencapai
kesetimbangan
melalui
penyesuaian harga
Pasar bekerja
efisien (tidak ada
halangan pasar,
biaya tersembunyi,
atau halangan
informasi
mitigasi termasuk
dampak
perdagangan
Memperkirakan
efek jangka
panjang mitigasi
CO2 pada
perubahan
struktural yang
koheren secara
makro
Menggambarkan
interaksi antar
sektor ekonomi
secara rinci
energi final dan
teknologi
Mengasumsikan
pasar selalu
berlaku efisien
Belum
merefleksikan
biaya
penyesuaian
jangka pendek
Model
dikalibrasi
dengan data
satu tahun saja
6 Pendekatan
Hibrid: HERMES-
MIDAS
Berusaha
mengkombinasi-
kan kelebihan
model bottom-up
dan top-down
Transfer informasi
antar model bisa
dengan hubungan
tetap maupun
berdasarkan pilihan
dan pertimbangan
pengguna
Kebijakan mitigasi
CO2 dipandang
dari sudut
ekonomi dan
teknologi
Kaya akan
deskripsi teknologi
dan efek umpan
balik pada
ekonomi
Alat untuk
perbandingan
kedua perspektif
Keterkaitan
formal
mensyaratkan
salah satu
model menjadi
model utama
Membutuhkan
waktu yang
lama dan
kompleks
Model informasi
memberikan
hasil yang tidak
unik
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
24
3.2 Kajian Model Energi Indonesia
Perencana energi di Indonesia melalui DESDM, BPPT, BATAN dan PLN
telah mengembangkan model energi dan/atau ekonomi bekerjasama dengan
institusi luar negeri untuk tujuan yang spesifik. Umumnya model yang
dikembangkan untuk sisi permintaan dan atau penyediaan energi, namun ada
pula model yang dikhususkan pada sisi kebutuhan energi saja.
Berbagai jenis model energi yang telah dipergunakan oleh berbagai
institusi di Indonesia antara lain:
MAED (Model For Assessment of Energy Demand)
Model ini dipergunakan untuk memprediksikan kebutuhan energi dan
listrik sektoral berdasarkan skenario sosio-ekonomi, perkembangan teknologi
dan demografi untuk jangka menengah dan jangka panjang. Pendekatan
yang dipergunakan adalah pendekatan bottom-up. Tingkat konsumsi energi
untuk setiap aktivitas dalam sektor masing-masing diakumulasikan untuk
mengetahui total kebutuhan masa depan dari listrik, bahan bakar fosil dsb. Di
Indonesia model MAED dipergunakan oleh Badan Tenaga Atom Nasional
(BATAN).
RESGEN (Reference Energy System Generator)
Seperti halnya dengan model MAED, model ini mempergunakan data
histories untuk memprediksikan kebutuhan energi sektoral masa datang, yang
ditampilkan dalam bentuk aliran energi dari sumber energi primer sampai
dengan sektor-sektor pengguna energi. Aliran energinya meliputi aktivitas
penambangan, pengilangan, konversi dan transportasi.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
25
WASP (Wien Automatic System Planning Package)
Model ini banyak dipergunakan oleh negara yang sedang berkembang
untuk perencanaan system ketenagalistrikannya. Model WASP dapat
membantu perencanaan jangka panjang peningkatan (expansion) system
pembangkit daya, dimana batasannya ditentukan oleh pengguna. Batasan
yang dimaksudkan antara lain meliputi keterbatasan bahan bakar yang
tersedia, Pembatasan emisi, kehandalan system dsb. Ekspansi yang optimal
ditentukan dengan meminimisasikan total biaya. Model ini dipergunakan di
Indonesia oleh PLN.
ENPEP (Energy and Power Evaluation Programme)
Model ENPEP terdiri dari beberapa modul analisis yang dapat
diintegrasikan untuk melakukan analisis energi sampai dengan lingkungan.
Sebagai contoh Model ENPEP dapat mengintegrasikan modul MAED (untuk
memprediksikan kebutuhan energi dan listrik sektoral) dan modul WASP
(untuk perencanaan system ketenagalistrikan). Di Indonesia model ENPEP
dipergunakan oleh BATAN.
MARKAL (Market Allocation)
Model MARKAL merupakan model bottom-up yang berorientasi pada
teknologi energi. Diaplikasikan di Indonesia oleh BPPT bersama KFA dan GTZ
German. Model ini biasa digunakan untuk optimisasi strategi penyediaan
energi nasional. Model MARKAL adalah model optimisasi sektor energi suplai
untuk mendapatkan biaya energi mix minimum dengan pendekatan
pemrograman linier dinamik. Input, permintaan energi sebagai (variabel
eksogen), data teknik dan data biaya energi dan pilihan teknologi energi yang
relevan depan dan program instalasi teknologi untuk seluruh perekonomian
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
26
energi Indonesia. Keseluruhan negara dibagi kedalam empat daerah: Jawa,
Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya.
Model MARKAL didukung juga oleh beberapa sub-model ekonomi seperti
MACRO. MACRO merupakan model top-down makroekonomi berdasarkan
model pertumbuhan jangka panjang neoclassical, yang berisikan tabel input-
output. Berdasarkan table input-output, proyeksi GDP, perkembangan sektor
industri dan parameter makroekonomi lainnya diproyeksi sampai tahun
tertentu. Sementara itu, Sub Model Demografi, DEMO, memprediksi
perkembangan populasi berdasarkan wilayah baik perkotaan dan pedesaan.
Berdasarkan hasil MACRO dan DEMO, permintaan energi dapat dihitung
dengan menggunakan sub model DEMI (Demand Energy Model for Indonesia)
dalam konteks penggunaan energi dan energi akhir.
Model Zooplan
Zooplan adalah model optimasi pembangkit tenaga listrik sebagai salah
satu model yang dikembangkan dalam studi EPPS (Energy Pricing Policy
Study). Model ini menggunakan optimasi pemrograman linier dalam pencarian
onkos pembangkit yang termurah dalam memenuhi kebutuhan tenaga listrik.
Kebutuhan tenaga listrik biasanya dinyatakan dalam dua besaran, yaitu
kebutuhan akan daya (dalam satuan Mega Watt) dan kebutuhan akan energi
(dalam satuan Giga Watt-hour). Kebutuhan daya ditentukan oleh besarnya
beban puncak (Peak Load), sementara kebutuhan energi ditentukan oleh
besarnya waktu pemakaian tenaga listrik
Berdasarkan dari asumsi kebutuhan listrik masa depan, sistem kelistrikan
dihadapkan pada berbagai pilihan jenis pembangkit tenaga listrik yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Masing-masing jenis
pembangkit memiliki struktur ongkos investasi dan ongkos operasi serta
karakteristik operasional tersendiri. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)
misakny dikenal sebagai pembangkit tenaga listrik yang memiliki ongkos
investasi yang tinggi, namun rendah ongkos operasinya. Sebaliknya
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
27
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) memiliki ongkos investasi yang
rendah, akan tetapi onkos operasinya tinggi. Kenyataan ini memungkinkan kita
untuk memiliki pembangkit tertentu yang diprioritaskan sebagai penyedia
energi beban dasar (Base Load) yang dihidupkan selama mungkin. Sementara
pembangkit yang lain sebagai pemasok energi beban puncak. Model kelistrikan
Zooplan dimaksudkan untuk mencari komposisi dan pola penggunaan
pembangkit yang mengjasilkan total ongkos termurah, baik ongkos investasi
maupun ongkos operasi yang harus dikeluarkan. Keluaran Zooplan adalah
Total Kapasitas Terpasang (Total Costructed Power Capacity) dalam MW dan
Total Produksi Energi Listrik (Total Energy Generated).
LEAP (Long-Range Energy Alternatives Planning)
Model LEAP digunakan oleh Pusat Informasi Energi di Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral. Pada tahun 2005 Bappenas dengan bantuan
hibah dari ADB juga mempergunakan model ini. Model ini memberikan
pendekatan perencanaan energi yang terintegrasi, terpercaya, dan terbaru.
Model ini sesuai untuk membuat evaluasi, atau estimasi energi pada negara-
negara berkembang atau industrialis, region dengan beberapa negara, atau
untuk kebutuhan lokal.
Model ini menyediakan bank data, instrumen untuk konfigurasi proyeksi
jangka panjang dari suplai dan permintaan, dan instrumen untuk
mengidentifikasi dan mengevaluasi pilihan kebijakan dan teknologi.
Model ini dapat diaplikasikan untuk waktu jangka panjang, maupun
periode tahunan. Obyektif dari model ini adalah melakukan analisa kebijakan
energi, analisa kebijakan lingkungan, penggunaan biomassa, analisa sebelum
melakukan investasi, dan perencanaan energi terpadu.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
28
INDOCEEM (INDORANI Comprehensive energy Economy Model)
Model ekonomi untuk Indonesia pernah dilakukan oleh Monash University
berkerja sama dengan Pusat Informasi Energi DESDM. Model INDOCEEM
merupakan model kuantitatif ekonomi yang menggunakan model
keseimbangan umum terapan CGE (Computable General Equilibrium), dengan
persamaan identiik dengan model ORAINIG01. Sumber data INDOCEEM
adalah tabel input-output Indonesia tahun 2000 yang dibangun dari hasil
survey yang dilakukan oleh BPS, yang terdiri dari 97 industri dan 103 komoditi.
Model ini dibangun dengan menggunakan keterkaitan (linkages) antara
pelaku ekonomi seperti produsen, investor, rumah tangga, eksportir/ importir,
pemerintah dan tenaga kerja. Keterkaitan tersebut dapat melalui input,
konsumsi maupun pekerjaan. Perilaku masing-masing pelaku ekonomi
diterjemahkan ke dalam persamaan matematis yang diturunkan secara
konsisten dengan kaidah-kaidah teori ekonomi mikro.
Indonesia Energy Outlook by System Dynamic (INOSYD)
Model Indonesia Energy Outlook by System Dynamic (INOSYD) pada
mulanya dikembangkan oleh Pengkajian Energi Universitas Indonesia (PEUI)
sejak tahun 1997, model ini merupakan salah satu model energi yang
dikembangkan sendiri oleh PEUI. Pada model ini sistem energi nasional yang
digunakan dimodelkan dengan pendekatan sistem dinamik. Pada awalnya
model ini bisa dikategorikan sebagai model bottom-up, interaksi adalah satu
arah proyeksi parameter ekonomi makro akan berpengaruh pada sistem energi
dan lingkungan, tidak ada interaksi balik dari sisi sistem energi dan lingkungan
ke ekonomi makro.
Model sistem energi terdiri dari penyediaan energi dan permintaan energi
yang masing-masing bagiannya misalnya modul minyak bumi, gas bumi dan
batubara dimodelkan secara dinamik kecuali energi terbarukan menggunakan
pendekatan ekonometrik, sedangkan sisi permintaan energi dibagi menjadi
bererapa sektor yaitu industri, komersial, rumah tangga, dan transportasi serta
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
29
sektor listrik, kesemuanya dimodelkan secara dinamik. Sisi permintaan dan
penyediaan energi dihubungkan dengan modul neraca energi (reference
energy system/RES) yang mempertimbangkan aspek kinerja teknologi energi.
Modul Ekonomi Makro berisikan proyeksi PDB, populasi, harga energi
merupakan variabel eksogen, dan devisa sedangkan modul Lingkungan
mempertimbangkan interaksi sistem energi dan emisi polutan yang dihasilkan
oleh produksi energi dan penggunaan energi.
INOSYD adalah suatu program dari model sistem dinamis energi nasional
yang ditulis dengan piranti lunak Powersim Contructor. Powersim Constructor
adalah suatu pirantilunak untuk simulasi yang menggunakan metodologi
sistem dinamis. Program ini membuat "Small World " energi Nasional dimana
interaksi antar variabel dan perilaku variabel-variabel pendukung dapat
terlihat.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
30
Bab 4
PEMODELAN PERENCANAAN ENERGI INDONESIA
Fokus utama yang dikembangkan dalam kajian ini adalah menyusun suatu
model dinamik energi nasional yang dapat memproyeksikan kebutuhan energi
primer dan energi final. Sebagai dasar dari pengembangan model energi mix
ini adalah model dengan LEAP
DemographicsMacro-
Economics
DemandAnalysis
TransformationAnalysis
StatisticalDifferences
StockChanges
ResourceAnalysis
Integrated Cost-B
enefit Analysis
Env
ironm
enta
l Loa
ding
s
(Pol
luta
nt E
mis
sion
s)
Non-Energy SectorEmissions Analysis
EnvironmentalExternalities
LEAP Calculation Flows
Gambar di atas memperlihatkan komponen penyusun model yang terdiri dari:
Permintaan Energi
Penyediaan Energi, dengan penyempurnaan Reference Energy System
pada sisi infrastruktur energi
Ekonomi Makro
Modul Lingkungan
Dengan demikian dilakukan pengkajian ketersediaan dan pengembangan
infrastruktur energi (konversi energi dan transmisi serta distribusi energi) yang
harus dilakukan dalam rangka memanfaatkan energi tersebut dari sumber
energi ke konsumen. Dalam model energi mix yang dikembangkan,
ditetapkan fungsi objektif optimisasi yaitu meminimisasi biaya energi mix
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
31
(minimum cost of energy supply) dari sistem energi nasional secara
keseluruhan dengan mempertimbangkan kendala (constrains) dari aspek
ketersediaan energi primer, jenis teknologi konversi dan utilisasi energi, aspek
ekonomi dan aspek lingkungan.
Dalam pemanfaatan energi, suatu sumber energi primer mengalami
berbagai tahapan proses sebelum dapat dipakai langsung oleh konsumen.
Proses tersebut dapat berupa pengkonversian suatu jenis energi ke bentuk
energi lainnya, pengilangan sumber energi menjadi berbagai jenis fraksi bahan
bakar, atau pentransmisian dan pendistribusian bahan bakar tersebut. Pada
setiap tahapan proses tersebut, penggunaan berbagai jenis teknologi, sarana
dan prasarana menimbulkan kehilangan energi, sehingga total energi terpakai
yang diberikan lebih kecil dibanding dengan energy resource.
Untuk menjelaskan hubungan dan jejaring antara kebutuhan energi per
sektor, infrastruktur transmisi dan distribusi energi, infrastruktur konversi
energi dan penyediaan energi primer maka pada bagian berikut diberikan
ilustrasi RES (Reference Energy System) untuk Indonesia, termasuk istilah
yang dipergunakan, paramater efisiensi dan fraksi yang terkait.
4.1 Reference Energy System
Hubungan antar energi dan proses yang terjadi di dalamnya dapat
digambarkan dalam suatu diagram jaringan system energi Reference Energy
System (RES) merupakan salah satu cara yang umum digunakan untuk
merepresentasikan aktivitas dan hubungan dari sebuah sistem energi. RES
bukan hanya sarana untuk menunjukkan energy balance, namun juga
berfungsi sebagai kerangka kerja analitis untuk memperkirakan besarnya
permintaan energi.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
32
Primary Energy
SupplyConversionTechnology
End-UseTechnology
Demand forEnergy Service
Renewable, eg.- Biomass- Hydro
Mining, eg.- Crude Oil- Natural Gas- Coal
Import, eg.- Oil Products- Crude Oil
ssExport
Fuel ProcessingPlant, eg.- Oil Refineries- Gas Refineries
Power Plant, eg.- Gas- Coal- Renewable
Industry, eg.- Steam Boiler- Machinery
Commercial, eg.- Air Conditioner- Light Bulbs
Households, eg.- Refrigerator- Air Conditioning- Cooking
Transport, eg.- Gasoline Car- Diesel Car
Industry
Commercial
Household
Transport
Gambar Jaringan Sistem Energi
Berikut ini adalah berbagai istilah yang umum dipergunakan dalam
menggambarkan suatu sistem energi:
Energi Primer adalah Sumber energi yang terdapat secara alamiah di
alam (minyak mentah, batubara, gas bumi) tanpa pemrosesan lebih
lanjut.
Energi sekunder, yaitu Energi yang diturunkan dari pemrosesan sumber
energi primer melalui pengilangan, contoh: Produk Kilang Gas dan
Minyak
Energi Final, yaitu Energi Primer dan sekunder yang langsung
ditransmisikan untuk dimanfaatkan oleh final user(Rumah Tangga,
Komersial, Industri, Transportasi), sebagai contoh yaitu Listrik,
kerosene,dll.
Useful Energy adalah Energi Aktual yang dibutuhkan untuk melakukan
tugas dasar (Heating, Coocking, Lighting).
Relative Useful Energy adalah energi minimum yang dibutuhkan untuk
melaksanakan tugas tertentu dengan bantuan teknologi terkini.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
33
Energi listrik transmisi dihasilkan oleh berbagai pusat-pusat pembangkit
tenaga (Power Generator) listrik PLN, karena akan memperkirakan demand
minyak yang dikonsumsi, maka yang akan dihitung hanyalah listrik dari
Pembangkit listrik berbahan bakar BBM yaitu Oil steam Turbine (MFO), Oil
Combine Cycle (MFO), Diesel Turbine (ADO), dan Diesel Engine (ADO). Fraksi
energi listrik (f) merupakan perbandingan antara energi listrik yang dihasilkan
oleh suatu Power Generator terhadap seluruh energi listrik yang dihasilkan
PLN.
4.2. Pemodelan Permintaan Energi
Permintaan energi dapat digolongkan menjadi permintaan energi listrik
dan non-listrik dari ke-empat sektor permintaan energi yaitu: industri, rumah
tangga, komersial dan transportasi. Untuk menggambarkan pemodelan
permintaan energi pada bagian berikut diuraikan pemodelan yang dilakukan
untuk sektor ketenagalistrikkan.
Peramalan kebutuhan energi listrik bukanlah suatu aktivitas yang
terisolasi. Peramalan kebutuhan energi listrik harus menggambarkan peran
dari tenaga listrik dalam kehidupan masyarakat. Kebijaksanaan pemerintah
serta keputusan strategis dari penyedia energi listrik adalah faktor penting
dalam menentukan permintaan energi pada masa yang akan datang.
Peramalan jangka panjang harus memperhatikan perubahan-perubahan
yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Demikian juga, banyak
ketidakpastian yang timbul akibat dari perubahan persepsi masyarakat, sudut
pandang dan kebijaksanaan. Indonesia dalam waktu dekat ini akan memasuki
era pasar bebas (globalisasi), tentu saja hal ini merupakan salah satu faktor
yang akan akan mempengaruhi kebutuhan energi listrik Indonesia.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
34
Sesungguhnya satu-satunya hal yang pasti dalam peramalan kebutuhan
energi listrik adalah ketidakpastiannya. Demand Side Manajemen dan
kebijaksanaan konservasi adalah kebutuhan tambahan dalam peramalan
beban, yang membuat peramalan kebutuhan listrik menjadi lebih rumit.
Peramalan yang tepat sangatlah sulit dilakukan. Namun melalui
pemodelan diharapkan diperoleh peramalan yang paling mendekati kejadian
yang aktual serta yang dapat mengadaptasi perubahan-perubahan yang
terjadi. Peramalan yang terlalu tinggi mengakibatkan pengeluaran modal yang
tidak perlu. Peramalan yang terlalu rendah akan mengakibatkan pertumbuhan
ekonomi terhambat. Semua ini pada akhirnya akan membebani konsumen.
4.3. Modul Penyediaan Energi
Secara garis besar modul penyediaan energi dalam model INOSYD
terdiri dari modul energi primer yang tersedia di Indonesia berupa minyak,
gas, batubara, energi terbarukan.
Sebagai contoh, alur pikir yang digunakan dalam penyusunan modul
penyediaan minyak bumi, dijelaskan pada bagian berikut ini.
Minyak Bumi dan Gas Bumi
A. Parameter Model
Struktur model minyak dan gas bumi dengan kegiatan eksplorasi dan
produksi dibangun berdasarkan gejala-gejala yang timbul di lapangan.
Parameter-parameter yang merupakan dasar pemodelan sistim dinamis
minyak dan gas bumi meliputi:
1. Cadangan minyak bumi dan gas bumi
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
35
Berdasarkan data geologi, Indonesia mempunyai 60 cekungan yang
potensial mengandung hidrokarbon. Dari 38 cekungan yang telah dieksplorasi,
14 cekungan menghasilkan minyak dan gas bumi.
2. Penemuan minyak bumi dan gas bumi
Penemuan cadangan minyak dan gas bumi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu besarnya investasi yang ditanamkan pada bidang eksplorasi,
biaya yang diperlukan untuk menemukan cadangan tiap unit hidrokarbon dan
besarnya penemuan minyak dan gas bumi.
Kegiatan eksplorasi memerlukan waktu tiga sampai lima tahun. Ini berarti
investasi akan efektif setelah jangka waktu tiga sampai lima tahun. Bila total
investasi dan penemuan cadangan minyak dan gas bumi diplot maka
persamaan pola antara besarnya investasi dan cadangan yang ditemukan
dalam interval waktu yang berbeda dapat diperoleh (sekitar 4 tahun).
Dalam sistim dinamis tertundanya penemuan cadangan baru selama
empat tahun diformulasikan dalam bentuk delay material orde tiga. Dan
sebagai nilai awal delay digunakan rata-rata investasi eksplorasi selama empat
tahun terakhir.
Faktor penemuan gas bumi lebih kecil dibandingkan dengan faktor
penemuan minyak bumi. Hal ini disebabkan adanya kendala dalam
pengembangan lapangan gas, pemasaran, sistem transmisi dan sarana
distribusi serta resiko pengembangan gas bumi yang tidak hanya terbatas
pada investasi dan harga tetapi juga pada perkembangan kebutuhan dan
ikatan kontrak jangka panjang. Pada model ini digunakan faktor penemuan
minyak bumi sebesar 0,5 dan faktor penemuan gas bumi sebesar 0,1.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
36
3. Biaya minyak bumi dan gas bumi
Biaya minyak dan gas bumi per barel ditentukan oleh biaya penemuan
dan biaya pengangkatan sampai permukaan. Biaya penemuan akan bertambah
dengan semakin berkurangnya cadangan potensial hidrokarbon yang belum
ditemukan yang disebabkan oleh menurunnya tingkat keberhasilan penemuan.
Pada awalnya eksplorasi hidrokarbon dilakukan di daerah-daerah yang mudah
terliputi, kemudian pencarian diteruskan ke daerah-daerah yang cukup sulit,
seperti lepas pantai bahkan laut dalam sehingga diperlukan pengeboran yang
lebih dalam dan biaya yang lebih besar.
Biaya total produksi per unit minyak atau gas bumi biasanya diperkirakan
dengan cara mengalikan biaya eksplorasi per barel minyak atau gas bumi
dengan sebuah konstanta. Untuk kasus di Indonesia harga faktor pengali
tersebut adalah 3 untuk minyak bumi dan 4 untuk gas bumi.
4. Inventasi di bidang eksplorasi
Bila keuntungan yang diperoleh meningkat maka modal yang
diinventasikan kembali di bidang eksplorasi semakin besar. Return on
Investment (ROI) merupakan indikator yang digunakan untuk menilai
keuntungan sebuah perusahaan. ROI didefinisikan sebagai perbandingan
antara keuntungan bersih kontraktor (setelah bagi hasil dan pajak) terhadap
biaya total tahunan. Sebagai catatan, investasi tidak mungkin bernilai negatif.
Oleh karena itu, bila keuntungan perusahaan bernilai negatif dalam arti
perusahaan mengalami kerugian, maka investasi perusahaan tersebut akan
nol.
5. Tingkat produksi minyak bumi dan gas bumi
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
37
Ada tiga faktor yang mengontrol laju produksi minyak maupun gas bumi,
yaitu besarnya permintaan, adanya kendala fisik formasi dan adanya campur
tangan kebijakan pemerintah. Pada model ini yang akan digunakan sebagai
pengontrol besarnya produksi adalah kendala fisik karena pengurasan
cadangan yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan formasi.
Karena adanya kendala fisik, maka pada saat besarnya permintaan
melampaui tingkat produksi maksimum, produksi minyak maupun gas bumi
sama dengan tingkat produksi maksimum.
Rata-rata perbandingan cadangan terbukti terhadap produksi 10 tahun
akan digunakan dalam membatasi besarnya produksi minyak bumi dan 5
tahun untuk gas bumi dengan asumsi rekoveri gas dapat mencapai 20% dari
cadangan terbukti.
6. Bagi hasil minyak bumi dan gas bumi
Kebijakan bagi hasil yang sepenuhnya dibawah kontrol pemerintah
merupakan alat yang mengatur investasi eksplorasi. Ada beberapa macam
kontrak bagi hasil yang umumnya merupakan modifikasi dari kontrak bagi hasil
standar.
Pada kontrak bagi hasil standar pembagian bersih produksi antara
kontraktor dengan pemerintah adalah 85/15 pada lapangan minyak bumi dan
30/70 pada lapangan gas bumi. Khusus untuk lapangan minyak bumi ada
kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), yaitu kewajiban kontraktor
untuk menjual 25% dari bagiannya ke pasar domestik dengan harga 15% dari
harga ekspor, dan diberlakukan setelah masa kontrak 5 tahun. Selain itu
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
38
kepada kontraktor dikenakan pajak pendapatan sebesar 48%. Pengembangan
selanjutnya akan disesuaikan dengan kebijakan baru yang berlaku.
7. Permintaan minyak bumi dan gas bumi
Permintaan minyak dan gas bumi terdiri dari permintaan domestik dan
permintaan ekspor. Sampai saat ini peran minyak bumi sebagai pemasok
kebutuhan energi domestik, khususnya sebagai penyedia bahan bakar untuk
transportasi yang laju pertumbuhannya sangat cepat, belum dapat digantikan
oleh energi lain.
Meskipun Indonesia termasuk negara penghasil dan pengekspor minyak
bumi, dalam memenuhi kewajibannya sebagai pemasok energi dalam negeri
berupa bahan bakar minyak, Indonesia tetap melakukan kegiatan impor. Hal
ini disebabkan karena belum mencukupinya kapasitas kilang dalam negeri
sehingga sebagian minyak mentah harus diolah di Singapura dan akan diimpor
kembali dalam bentuk produk kilang. Berdasarkan data, ekspor minyak
Indonesia cenderung mengalami penurunan, sedangkan impor minyak
cenderung meningkat. Sedangkan permintaan domestik terus mengalami
kenaikan.
Sedangkan konsumsi gas dalam negeri cenderung berfluktuasi. Pada
tahun 1985 sampai 1988 pemakaian gas dalam negeri mengalami penurunan.
Pada tahun 1989 pemakaian gas naik sebesar 18% dan turun kembali 4%
pada tahun 1990, dan tahun 1991 sampai 2000 mengalami kenaikan cukup
besar yaitu 31%.
8. Harga minyak bumi dan gas bumi
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
39
Harga minyak bumi menjadi faktor yang sangat penting dalam industri
minyak dan gas bumi. Seluruh kegiatan industri minyak bumi dan gas bumi
sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia. Pada model ini harga minyak
merupakan variabel eksogen yang berada diluar kontrol kebijakan pemerintah.
B. Struktur dan Algoritma
Minyak bumi dan gas bumi dapat digambarkan sebagai suatu aliran
material yang mengalir dari sumber aliran ke tempat penampungan. Untuk
mengalirkannya dari sumber diperlukan pengontrolan agar laju alirnya dapat
disesuaikan dengan tempat penampungan. Dalam proses industri minyak bumi
dan gas bumi, pengontrolan terhadap kebutuhan akan minyak bumi dan gas
bumi dilakukan dengan mengontrol laju penemuan (kegiatan eksplorasi) dan
laju produksi (kegiatan produksi).
Kegiatan eksplorasi dan produksi minyak bumi dan gas bumi merupakan
struktur umpan balik yang bersifat negatif (opposite) di dalam pemodelan. Hal
ini disebabkan minyak bumi dan gas bumi adalah sumber daya yang terbatas
dan tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources). Kegiatan eksplorasi
dan produksi tersebut mengakibatkan cadangan minyak bumi dan gas bumi
akan mengalami penurunan. Penurunan tersebut bersifat asimptotik karena
kecepatan penurunannya mengalami penyusutan dengan menurunnya jumlah
cadangan.
Cadangan potensial minyak bumi dan gas bumi akan berkurang dengan
adanya penemuan. Biaya penemuan mempunyai korelasi yang erat dengan
sisa cadangan potensial yang belum ditemukan, dimana biaya penemuan
minyak bumi dan gas bumi akan bertambah dengan berkurangnya cadangan
potensial. Pada tahap awal, eksplorasi dilakukan di daerah yang sangat
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
40
mudah sehingga proses eksplorasi sendiri tidak mengalami proses pengeboran
dalam dan cadangan minyak bumi dan gas bumi dalam jumlah besar sering
ditemukan. Pada tahun-tahun berikutnya eksplorasi diteruskan ke daerah
frontier yang lebih sukar seperti lepas pantai atau bahkan laut dalam sehingga
diperlukan proses pengeboran dalam. Faktor tersebut menyebabkan biaya
penemuan menjadi lebih besar. Biaya penemuan tersebut sebanding dengan
biaya produksi (meningkatnya biaya penemuan akan meningkatkan pula biaya
total produksi). Sedangkan biaya total produksi mempunyai hubungan yang
berbanding terbalik dengan Return on Investment (ROI tahunan kontraktor),
karena ROI merupakan perbandingan antara keuntungan yang didapat dengan
biaya total tahunan.
Besarnya ROI sebanding dengan besarnya investasi pada eksplorasi
minyak bumi dan gas bumi. Semakin besar nilai ROI akan menyebabkan
semakin besar nilai investasi eksplorasi (karena nilai ROI akan mempengaruhi
besarnya bagian dari keuntungan yang akan diinvestasikan). Keputusan
investasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan dalam memperoleh
keuntungan yang diindikasikan oleh nilai ROI tahunan. Maksudnya, bila nilai
ROI tahunan besar, maka modal yang diinvestasikan dalam aktivitas
eksplorasi, diharapkan akan lebih banyak cadangan yang akan ditemukan.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
41
Gambar Lingkar Umpan Balik Modul Migas
Cadangan terbukti terakumulasi dengan adanya penemuan minyak bumi
dan gas bumi. Sedangkan laju penemuan dikendalikan oleh besarnya investasi
di bidang eksplorasi yang berubah sebanding dengan perubahan nilai ROI
(sebagaimana disebutkan di atas). Nilai ROI akan bertambah dengan adanya
penambahan keuntungan. Sedangkan nilai pendapatan akan sebanding
besarnya bagian minyak bumi dan gas bumi yang diperoleh kontraktor.
Sedangkan besarnya minyak bumi dan gas bumi yang diperoleh tergantung
pada produksi minyak bumi dan gas bumi. Semakin besar jumlah produksi
maka akan membesar pula jumlah minyak bumi dan gas bumi yang didapat
kontraktor. Produksi yang lebih besar dimungkinkan dengan adanya cadangan
terbukti yang juga lebih besar.
Sektor pendapatan pemerintah dipengaruhi oleh besarnya minyak bumi
dan gas bumi yang diproduksi untuk kebutuhan dalam negeri dengan
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
42
mengurangi besarnya minyak bumi dan gas bumi yang diperoleh kontraktor
dengan kebijakan bagi hasil.
Sektor permintaan minyak bumi dan gas bumi dipengaruhi oleh besarnya
laju permintaan domestik dan laju permintaan ekspor.
Gangguan faktor eksogen terhadap pendapatan berasal dari harga
minyak, sedangkan faktor permintaan domestik dan ekspor sampai tingkat
tertentu akan berpengaruh terhadap tingkat produksi. Tingkat permintaan
domestik dan ekspor dibatasi oleh faktor pembanding antara jumlah produksi
terhadap cadangan terbukti. Faktor-faktor eksogen akan mempengaruhi
keseluruhan perilaku sistem.
Agar model dapat disimulasikan dengan menggunakan program aplikasi
simulasi komputer, maka model yang masih dalam bentuk struktur umpan
balik ini harus ditransformasikan ke dalam bentuk simbol-simbol yang dapat
dimengerti oleh bahasa pemrograman komputer (Powersim).
Untuk jenis energi yang lain seperti batubara indentik dengan minyak
dan gas, sedangkan untuk energi terbaruka menggunakan pendekatan yang
lebih sederhana karena keberadaanya sustain.
4.4. Modul lingkungan
Seperti halnya RES yang memiliki koefisien teknologi, maka untuk modul
lingkungan tiap–tiap jenis energi mulai dari eksplorasi energi primer, konversi,
pengilangan, transportasi dan end-use memiliki koefisien emisi masing-masing
baik untuk polutan CO2 maupun SOx dan NOx, sehingga apabila laju energi
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
43
yang diperlukan diketahui maka jumlah emisi yang dihasilkan oleh tiap-tiap
teknologi tersebut dapat dihitung sehingga keseluruhan emisi yang dihasilkan
untuk sistem seluruh Indonesia dapat dihitung.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
44
BAB 5
ANALISA INFRASTRUKTUR ENERGI
Berkaitan dengan infrastruktur energi di Indonesia, secara garis besar
infrastruktur tersebut dapat dikatagorikan menjadi dua bagian besar, yaitu
infrastruktur yang sudah tersedia (existing) dan infrastruktur yang harus
dibangun pada masa yang akan datang. Dalam studi ini, secara khusus dikaji
ketersediaan dan pengembangan infrastruktur energi yang harus dilakukan
dalam rangka memanfaatkan energi tersebut dari sumber energi ke
konsumen.
Kebutuhan pengembangan infrastruktur energi di masa yang akan
datang dapat diproyeksikan menggunakan INOSYD, namun demikian model ini
belum secara otomatis dapat memproyeksikan kebutuhan infrastruktur
berdasarkan geografis. Disamping itu untuk sarana transportasi seperti
jaringan pipa dan listrik diestimasi dari perencanaan yang ada karena tidak
bisa dihitung secara langsung berdasarkan selisih antara permintaan dan
kapasitas yang tersedia. Dengan demikian, walaupun dapat diproyeksikan
besarnya kebutuhan pengembangan infrastruktur energi, masih tetap
dibutuhkan pertimbangan pakar (expert judgement) untuk menentukan lokasi
pembangunan infrastruktur tersebut.
Dilihat dari sisi penyediaan energi, yang dimaksudkan dengan infrastruktur energi, meliputi:
I nfrastruktur Konversi energi berupa Pembangkit Listrik, Kilang
Minyak dan Gas
I nfrastruktur Transmisi dan distribusi berupa pipa minyak dan
gas, jaringan listrik, dermaga dan depo penyimpanan BBM.
Berdasarkan permintaan energi baik energi listrik dan non-listrik yang
diproyeksikan maka besarnya infrastruktur yang akan dibangun merupakan
selisih antara permintaan energi dengan kapasitas infrastruktur yang tersedia.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
45
Untuk kilang dan pembangkit listrik secara otomatis dapat ditentukan namun
lokasinya Pembangkit Listrik dan Kilang tersebut seharusnya diskenariokan
dengan pertimbangan lokasi sumber energi, lokasi konsumen dll, demikian
pula untuk transportasi energi, perlu diskenariokan jalur-jalur transmisi dan
distribuasi mana yang perlu dibangun dengan mempertimbangkan lokasi
sumber energi dan konsumen.
Dengan mempergunakan contoh optimisasi fraksi minyak bumi sebagai energi
primer dalam pemenuhan BBM, maka dapat diproyeksikan kebutuhan infrastruktur
energi untuk minyak bumi. Dalam hal ini Infrastruktur Konversi Energi Primer minyak
bumi yang dimaksudkan adalah kilang minyak, dimana BBM diproduksi melalui proses
distilasi dan konversi di dalam kilang dari minyak mentah. Selisih antara permintaan
BBM dan kapasitas kilang yang ada serta dengan memperhatikan faktor kapasitas
maka dapat ditentukan berapa besar penambahan kapasitas kilang yang diperlukan.
Besarnya investasi kilang didapat dengan mengalikan kapasitas yang diperlukan
dengan nilai investasi tiap unit kapasitas.
Pada kenyataannya biaya investasi, koefisien teknologi serta koefsien emisi
energi tidaklah konstan sesuai dengan perkembangan yang ada. Oleh sebab itu, pada
model energi mix besarnya investasi disimulasikan mengikuti perkembangan teknologi
tersebut atau dikenal sebagai Learning Curve teknologi terutama untuk pembangkit
listrik dan energi terbarukan atau teknologi baru.
Setelah produk kilang berupa BBM diproduksi maka BBM perlu
didistribusikan ke konsumen pengguna menggunakan infrastruktur transmisi
dan distribusi yang berupa pipa BBM, dan tangki timbun / Depo BBM.
Untuk menggambarkan ketersediaan dan kebutuhan pengembangan
infrastruktur energi yang berupa konversi energi dan transmisi dan distribusi, pada
bagian berikut diuraikan ketersediaan dan kebutuhan pengembangan infrastruktur
energi untuk masing-masing jenis energi.
5.1. Infrastruktur Minyak Bumi
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
46
5.1.1. Kilang Minyak
Sesuai Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi,
diatur bahwa kegiatan usaha bidang hilir minyak dan gas bumi meliputi usaha
pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga terbuka untuk semua pelaku
ekonomi/bisnis, sehingga tidak ada lagi monopoli. Setiap badan Usaha dapat
melakukan kegiatan usaha bidang hilir migas setelah memperoleh I jin Usaha dari
Pemerintah yang penyelenggaraannya dilakukan melalui mekanisme persaingan
usaha yang wajar, sehat dan transparan. Dengan demikian diwaktu mendatang akan
ada banyak pemain-pemain baru bidang hilir migas, sehingga diperlukan pengaturan
kembali kegiatan usaha bidang pengolahan minyak dan gas bumi yang kondusif
dengan harapan dapat mengundang investasi dalam pembangunan kilang minyak dan
gas bumi dan infrastruktur pendukung lainnya seperti pipa transmisi dan depot.
Penambahan Kapasitas
Pemakaian BBM sebagai energi final sebesar 298,5 juta SBM, sedangkan BBM
untuk pembangkit Listrik sebesar 29,5 Juta SBM. Dari total permintaan BBM sebesar
dari total permintaan BBM sebesar 328 Juta SBM, pada tahun 2001 kilang dalam
negeri hanya mampu memasok BBM sebanyak 274 Juta SBM (83,5%), sehingga
setiap tahunnya harus mengimpor 54 Juta SBM. Kekurangan pasokan BBM dari kilang
minyak domestik merupakan akibat dari terhambatnya pembangunan beberapa kilang
minyak yang tertunda akibat krisis ekonomi.
Saat ini unit pengilangan minyak yang yang beroperasi mempunyai total
kapasitas 1,057 juta BPD atau setara dengan 348 juta SBM/tahun, sedangkan
kebutuhan dalam negeri 1,3 juta BPD (429 Juta SBM/tahun).
Tabel Kilang Minyak Yang Ada
No. Lokasi Realisasi (Mbpd)
1.
2.
Pangkalan Brandan
Dumai
5.0
120.0
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
47
No. Lokasi Realisasi (Mbpd)
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Sungai Pakning
Musi
Cilacap
Balikpapan
Cepu
Balongan
Kasim
50.0
135.2
348.0
260.0
3.8
125.0
10.0
Total Kapasitas 1.057,0
Sumber : Ditjen Migas - DMOM
Dimasa mendatang pada tahun 2020 diperkirakan Indonesia membutuhkan
suplai BBM sebesar 629 Juta SBM/tahun, dimana setara dengan kapasitas kilang
minyak sebesar 785,81 Juta SBM/tahun (kasus dasar). Sehingga diharapkan
tambahan kapasitas kilang sebesar 400 Juta SBM/tahun (1.212 MBSD), yang
diharapkan akan dipenuhi dengan membangun 8 unit kilang dengan kapasitas per
kilang 150 MBSD. Gambar berikut memperlihatkan hasil simulasi kebutuhan kapasitas
kilang minyak sampai tahun 2020.
Gambar Proyeksi Kapasitas Kilang Minyak
Dengan dibukanya peluang pembangunan kilang minyak oleh pihak swasta
sesuai dengan Keppres No. 31 tahun 1997 dan rangkaian restrukturisasi bidang
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
48
energi, dalam UU No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi mengatur bahwa
bisnis pengolahan minyak terbuka bagi investor-investor internasional, Hal ini
memungkinkan berkembangnya bisnis energi di Indonesia, sehingga selain keamanan
pasokan BBM dalam negeri terjamin, kelebihan produksi kilang-kilang tersebut dapat
diekspor dengan nilai tambah yang lebih tinggi dari pada mengekspor minyak
mentah. Walalupun demikian sampai saat ini belum ada realisasi pembangunan kilang
minyak oleh pihak swasta dikarenakan harga BBM dalam negeri yang masih
rendah selain belum adanya kepastian pengusahaan kilang minyak.
Lokasi Kilang
Dengan kapasitas terpasang kilang di Indonesia sebesar 1,057 juta
BPD, dimana minyak yang akan diolah disuplai dari titik-titik suplai dari dalam
negeri dan impor. Titik suplai tersebut merupakan stasiun-stasiun pengumpul
dari sumur-sumur minyak yang tersebar di sekitarnya. Kilang Minyak
Pangkalan Brandan mengolah minyak dari lapangan sekitar yaitu lapangan
Rantau, Pangkalan Susu dan Pangkalan Brandan. Kilang Minyak Dumai
memperoleh suplai minyak bumi dari lapangan minyak Duri, Lirik, Ketapa
Expan, SLC dan Selat Panjang. Minyak bumi yang diolah di Kilang Minyak Musi
disuplai dengan jalur pipa dari lapangan minyak sekitar Pendopo dan lewat
tanker. Kilang minyak Cilacap mengolah minyak bumi yang berasal dari impor
sebesar 35 %, sedangkan sisanya disuplai dari lapangan minyak Arjuna,
Attaka, Belida, Ido, SLC, Light Sweet dan Mid East Crude, banyaknya minyak
impor yang diolah karena karakteristik dari unit pengolahan Cilacap diharapkan
banyak menghasilkan base oil sebagai bahan baku minyak lumas. Kilang
Minyak Balikpapan banyak mengolah minyak bumi Indonesia yang berasal dari
lokasi suplai lapangan minyak Arbei, Arimbi sampai dengan Light Sweet. Kilang
Minyak Cepu mengolah minyak yang disuplai dari lapangan minyak sekitar
Cepu. Kilang Minyak Balongan mengolah minyak dari lokasi suplai lapangan
Duri dan SLC. Kilang Minyak Kasim mengolah minyak dari lokasi suplai
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
49
lapangan minyak di sekitarnya yaitu Walio. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada peta berikut.
P. Brandan
Dumai
Musi
Natuna
Balikpapan
EXOR -1
Cilacap ICilacap II
Kasim
Titik Supply Kilang
Minyak Mentah yang disuplai
Gambar Peta Pasokan Minyak Bumi Dalam Negeri
Apabila dilihat dari lokasi konsumen terdapat data suplai BBM ke
beberapa lokasi yang dilakukan oleh Pertamina dan dengan melakukan
pembagian wilayah suplai BBM saat ini menjadi 4 (empat) bagian yaitu:
Sumatera, Jawa-Bali-NTB-NTT, Kalimantan, Sulawesi-Papua dll, dapat
digambarkan suplai BBM ke lokasi konsumen seperti pada Tabel berikut ini
Tabel Daerah Suplai BBM
Daerah (Pulau) Jumlah Suplai BBM (kL) % Suplai
Sumatera 11.281.737 21.81
Jawa, Madura, Bali 32.330.830 61.96
Kalimantan 4.567.113 8.75
Sulawesi, Maluku, Papua 3.899.179 7.47
Total 52.178.859 100.00
Sumber : Buku Memori Pertamina (Realisasi Penjualan BBM Per Pulau 1999/2000)
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
50
Dari Tabel diatas memperlihatkan bahwa sebagian besar BBM (62%)
disalurkan ke pulau Jawa dan sekitarnya, selanjutnya Sumatra 22 %, Kalimantan 8,7%, dan Sulawesi dan sekitarnya 7,5%.
Apabila share distribusi diatas digunakan sebagai patokan penentuan
lokasi pembangunan kilang baru dengan melihat permintaan BBM dan kilang
minyak yang telah tersedia pada setiap daerah (Gambar 6.84) maka dimasa
mendatang dapat ditentukan prioritas lokasi pembangunan kilang BBM ke
depan, dengan rincian jumlah lokasi kilang BBM sebagai berikut: Sumatera 3
(tiga) kilang, Jawa-Bali-NTB-NTT 3 (tiga) kilang, Kalimantan 1 (satu) kilang,
Sulawesi-Papua dll 2 (Dua).
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
51
Kapasitas Kilang
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
2000 2005 2010 2015 2020 2025
Tahun
Juta
SB
M
Demand MinyakNasional
Kap Kil Nas
Demand MinyakSumatera
Kap Kil Sumatera
Demand Minyak Jawa
Kap Kil Jawa
Demand MinyakKalimantan
Kap Kil Kalimantan
Demand Minyak Sul-Papua
Kap Kil Papua
Gambar Selisih antara kapasitas kilang yang tersedia vs permintaan BBM regional
Tabel Rencana Pembangunan Kilang Minyak
No.
Lokasi Kapasitas Ribu Bpd Tahun Operasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Sumbawa
Sabang
Tuban
Situbondo
Bontang
Selayar
Lampung
Bitung
150
150
150
150
150
150
150
150
2005
2005
2010
2010
2015
2015
2020
2020
Total Kapasitas 1200 ribu BPD
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
52
Gambar 6.85 Lokasi Kilang Minyak Yang Ada Dan Rencana
Biaya Investasi
Biaya investasi kilang minyak diestimasi dengan menggunakan Tabel berikut:
Tabel Komponen Biaya Pengilangan Minyak
Komponen Biaya
Investment Cost
O & M Cost
14.712 US $/BBL Cap./Day
0,38 US $/SBM
Sumber : Strategi Penyediaan Energi, 1999
Komponen biaya pada Tabel tersebut di atas sudah termasuk fasilitas
penyimpanan minyak mentah yang mampu menampung selama 7 (tujuh) hari
dan untuk produk 2 (dua) hari.
EXISTING
RENCANA
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
53
Berdasarkan estimasi biaya investasi tersebut maka pada tahun 2020
diperlukan investasi sebesar 17,3 milyar USD untuk biaya pembangunan kilang
minyak dan tangki timbun sedang pembangunan kilang minyak sendiri sebesar
17 miyar USD seperti dapat dilihat pada Gambar berikut ini.
Gambar Biaya Investasi Infrastruktur Minyak Bumi
5.1.2 Sarana Distribusi BBM
Depot BBM
Depot BBM berfungsi menerima dan menampung BBM didistribusikan
ke depot lainnya atau ke konsumen. Jumlah depot seluruh Indonesia sebanyak
175 terdiri dari 96 buah seafed depot, 25 inland depot dan 54 DPPU serta 12
terminal/ instalasi. Jumlah tangki timbun yang ada sebanyak 1,250 buah
dengan total kapasitas 3,6 juta kL.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
54
Tabel :Komponen Biaya Depot BBM
Komponen Biaya
Investment Cost
O & M Cost
12,982 US $/BBL Cap.
0,70 US $/SBM
Sumber : Buku Memori Pertamina
Kebutuhan tambahan tangki timbun untuk masing-masing regional dapat diestimasi seperti terlihat pada Gambar berikut ini.
Demand Tangki Timbun
0.000
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
2000 2005 2010 2015 2020 2025
Tahun
Juta
SB
M
Demand T TimbunNasional
Demand T TimbunSumatera
Demand T TimbunJawa
Demand T TimbunKalimantan
Demand T TimbunSul-Papua
Gambar Kebutuhan Penambahan Tangki Timbun Regional Indonesia
Hasil simulasi pada tahun 2020 diperlukan tambahan kapasitas tambahan
tangki timbun sebesar 27,5 juta BBL (4,65 juta kL) seperti terlihat pada Gambar
berikut, dengan biaya investasi sebesar 355 juta USD.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
55
Gambar Penambahan Kapasitas Tangki Timbun hingga 2020
Pipa Penyaluran BBM
Untuk keperluan distribusi BBM diperlukan suatu jaringan pipa untuk
mengalirkan dari kilang ke depot, dari depot satu ke depot lainnya. Panjang jaringan
pipa BBM dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
Tabel Jaringan Pipa BBM Yang Ada
Lokasi Jarak (Km) Dia Pipa
Balongan – Jakarta
Cilacap – Tasikmalaya
Tasikmalaya – Padalarang
Tasikmalaya – Ujung Berung
Cilacap – Maos
Maos – Rewulu
210
127
131
91
20
161
16” & 16” & 16”
10” & 16”
10” & 16”
10” & 10”
10” & 12”
8” & 12”
Sumber : Pertamina
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
56
Tabel . Komponen Biaya Pipa BBM
Komponen Biaya
Investment Cost
O & M Cost
20 USD/inch dia/meter, 0,2427 USD/SBM
0,70 USD/SBM
Sumber : Pertamina, Rule-of-Thumb Average Cost Figure.
Diharapkan dimasa mendatang pengembangan kilang BBM (seperti Tabel 6-9) di
Pulau Jawa akan dibangun jaringan pipa BBM sepanjang Pulau Jawa, sehingga akan
mengurangi lalu-lintas angkutan BBM. Adapun rencana pembangunan jaringan pipa
BBM adalah sebagai berikut.
Tabel : Rencana Pembangunan Jaringan Pipa BBM
Lokasi Jarak (Km) Dia Pipa Tahun Operasi
Tuban – Semarang
Tuban – Surabaya
Surabaya – Situbondo
Situbondo – Banyuwangi
Situbondo – Jember
Surabaya – Malang
Malang – Lumajang
Mojokerto – Surabaya
Madiun – Mojokerto
Trenggalek – Rewulu
Trenggalek – Madiun
200
100
180
80
80
80
60
45
70
110
50
16” &16” & 16”
16” &16” & 16”
16” &16” & 16”
16” &16” & 16”
16” &16” & 16”
12” &12” & 12”
12” &12” & 12”
16” &12” & 12”
12” &12” & 12”
12” &12” & 12”
12” &12” & 12”
2005
2005
2005
2005
2010
2010
2010
2015
2015
2020
2020
Biaya yang diperlukan seluruh rencana diatas sekitar 916,8 juta USD
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
57
5.2. Infrastruktur Gas
Gas Bumi memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional
yaitu sebagai sumber energi dan bahan baku dalam negeri dan sebagai
sumber penerimaan negara dan devisa. Peran Gas Bumi ini akan semakin
meningkat dimasa yang akan datang sejalan dengan meningkatnya kebutuhan
Gas Bumi didalam negeri dan menurunnya peran minyak bumi (yang
cadangannya terbatas) sebagai penghasil devisa bagi pembangunan nasional.
Cadangan Gas Bumi Indonesia diperhitungkan sebesar 179,961 TSCF (status 1
Januari 2005), terdiri dari cadangan terbukti (proven) P1 sebesar 97,256 TSCF,
cadangan mungkin (probable) P2 sebesar 44,816 TSCF dan cadangan
harapan (possible) P3 sebesar 37,888 TSCF (belum termasuk Blok Cepu P1 +
P2 sebesar 5,8 TSCF). Dengan asumsi produksi (produksi tahun 2004 sebesar
2.808 BSCF/tahun) dan cadangan tetap, maka cadangan Gas Bumi ini
diperkirakan dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu kurang lebih 35 tahun
(perhitungan berdasarkan P1). Secara keseluruhan, cadangan Gas Bumi
Indonesia melebihi dari kebutuhan dalam negeri.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
58
3.47
1.26
3.59
15.51
5.623.96
51.25
34.70
18.58
ACEH (NAD)
SUMATERACENTRAL
SOUTHSOUTH
KALIMANTAN
IRIAN JAYA (PAPUA)
GAS RESERVES (TSCF)
NATUNA
EAST JAVA
SUMATERA SULAWESI
INDONESIAN GAS RESERVESINDONESIAN GAS RESERVES
EASTNorthSUMATERA
WEST JAVA
PROVEN = 97.26 TSCF
POTENTIAL = 44.82 TSCF
POSSIBLE = 37.89 TSCF
TOTAL = 179.96 TSCF
0.43
3.69
Dec. 9, 2005
Gambar Cadangan Gas Indonesia 2005 (Sumber : Ditjen Migas, 2005)
5.2.1. Kilang Gas
Perdagangan LNG Indonesia dimulai sejak akhir dekade 1970-an
sebagai sumber energi baru berupa gas alam cair yang biasa disebut sebagai
LNG. Kilang LNG pertama di Indonesia terletak di Kalimantan Timur yaitu LNG
Badak di Bontang yang mulai beroperasi pada tahun 1977, yang kemudian
disusul dengan beroperasinya LNG kedua di Aceh, yaitu LNG Arun di
Lhokseumawe pada tahun 1978. Beroperasinya kedua kilang tersebut
menjadikan Indonesia sebagai pengekspor LNG terbesar di dunia sampai saat
ini. Pasokan ini merupakan sekitar 42 % pasokan LNG di kawasan Asia Pasifik
atau sekitar 30 % pasokan LNG dunia. Kilang LNG Arun yang beroperasi
dengan 6 Train dan Kilang LNG Badak dengan 8 Train. Masing-masing
dioperasikan oleh PT Arun NGL Co dan PT Badak NGL.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
59
Untuk perkembangan LPG, LPG yang berasal dari kilang minyak cenderung
meningkat sejalan dengan kenaikan volume pengolahan minyak bumi oleh
kilang minyak domestik. Sebaliknya LPG dari kilang LNG cenderung menurun
akibat turunnya produksi LNG. LPG dapat dihasilkan dari kilang-kilang pada
lokasi seperti terlampir pada Tabel berikut ini :
Tabel Kilang Gas
No.
Lokasi Produksi (Ton/Tahun)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Kilang LNG Arun
Kilang LNG Bontang
Kilang LPG Arun
Kilang LPG Bontang
Kilang LPG P. Brandan
Kilang LPG Dumai
Kilang LPG Plaju
Kilang LPG Cilacap
Kilang LPG Balikpapan
Kilang LPG Balongan
Kilang LPG Mundu
Kilang LPG Arjuna
Kilang LPG Santan
Kilang LPG Arar
Kilang LPG Sumbagut
Kilang LPG Jabung
2,942,466
21,397,162
-
1,154,114
52,800
74,250
99,000
132,000
107,250
396,000
9,900
165,000
175,000
36,000
50,000
70,000
Total 26,860,942
Sumber : Pertamina, 2001
Tabel Kapasitas Design dan Produksi Kilang LNG Indonesia
(Juta Ton/Tahun) Kilang Lng Arun Kilang Lng Badak
Train Kapasitas Design
Kapasitas Produksi
Train Kapasitas Design
Kapasitas Produksi
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
60
Kilang Lng Arun Kilang Lng Badak
Train Kapasitas Design
Kapasitas Produksi
Train Kapasitas Design
Kapasitas Produksi
1
2
3
4
5
6
1.552
1.552
1.552
1.552
1.552
1.552
2.142
2.142
2.142
2.142
2.142
2.142
A
B
C
D
E
F
G
H
1.842
1.842
1.842
1.842
1.842
1.842
1.842
1.842
2.622
2.622
2.622
2.622
2.731
2.731
2.742
2.950
TOTAL 9.312 12.852 TOTAL 18.088 21.642
Total Kapasitas Design
Total Kapasitas Produksi
27.400
34.294
Sumber : Ditjen Migas, 2003
Produksi LNG Arun terlihat menurun dari tahun ke tahun, dikarenakan adanya
penurunan cadangan gas, walaupun demikian pasokan gas untuk LNG Arun cukup
untuk memenuhi kontrak penjualan sampai dengan tahun 2006. Sebagai langkah
kedepan untuk pengembangan LNG akan dibangun Kilang LNG Tangguh (2007) dan
Kilang LNG Matindok (2010). Sampai saat ini produk LNG semuanya di ekspor, belum
ada yang dimanfaatkan di dalam negeri. Namun kemungkinan di masa mendatang
apabila pasokan gas di pulau Jawa menurun atau kekurangan, maka akan dibangun
LNG Receiving Terminal untuk di salurkan ke Industri yang membutuhkan dan
kemungkinan dipasok dari LNG Tangguh yang saat ini sedang dalam masa konstruksi
dengan kapasitas direncanakan sebesar 277.000 MMSCF/Tahun atau setara dengan
49.749.200 SBM/Tahun.
Tabel Komponen Biaya Pengilangan LNG
Komponen Biaya
Investment Cost
O & M Cost
350 US $/Ton Cap/year
0,75 US $/MMBTU, 4,41 US $/SBM
Sumber : www.gidb.org
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
61
Dari hasil simulasi dalam penentuan biaya investasi, maka diperoleh
pada tahun 2020 diharapkan investasi kilang LNG dengan kapasitas 17,74 juta
ton/tahun sebesar 6,2 milyar USD, berlokasi di Papua dan Matindok.
Gambar Kapasitas Kilang Gas
5.2.2. Sarana Distribusi BBG
LNG Receiving Terminal
Sistem transportasi gas bumi dalam bentuk LNG membutuhkan kapal tanker
pengangkut LNG dan LNG Receiving Terminal. Terminal ini akan berfungsi sebagai
tempat penerimaan LNG dari kapal tanker, sebagai tempat penyimpanan (storage)
dan sebagai tempat terjadinya proses regasifikasi LNG dan pengiriman ke jaringan
pipa transmisi. Penyimpanan di terminal tersebut berupa penyimpanan LNG cair pada
suhu kriogenik didalam tangki timbun LNG. Pulau Jawa merupakan wilayah di
Indonesia dengan tingkat konsumsi energi paling besar dibanding wilayah lainnya,
Berdasarkan “Study for Development of Gas Infrastructure in Java” oleh Pendawa
Konsultama Sejati pada tahun 2000, diperkirakan kebutuhan gas bumi di Pulau Jawa
pada tahun 2015 akan mencapai 4.516 MMSCFD (high case) dan 2.876 MMSCFD (low
case). Sementara itu perkiraan potensi sumber gas bumi yang ada di pulau Jawa
pada tahun 2015 tinggal 283 MMSCFD, sehingga untuk memenuhi gas demand Pulau
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
62
Jawa harus mengambil sumber-sumber gas bumi yang ada di luar Pulau Jawa yang
akan dijadikan andalan adalah cadangan gas bumi Tangguh (Papua Barat).
Mengingat jarak yang relatif jauh dari Pulau Jawa dan kondisi medan yang didominasi
oleh lautan, maka penyaluran gas bumi dalam bentuk LNG lebih prospektif daripada
melalui jaringan pipa transmisi.
LNG Receiving Terminal dengan tangki timbun adalah model penyimpanan
yang paling umum digunakan di dunia. Pada saat ini ada 40 LNG Receiving Terminal
yang beroperasi di seluruh dunia dengan jumlah terbanyak di Jepang (24), diikuti
Eropa (9), Amerika Serikat (3), Korea (2), Poerto Rico (1), Taiwan (1). Secara umum
terdapat empat bagian utama dari LNG Receiving Terminal jenis ini, yaitu Unit
Unloading, Unit Penyimpanan, Unit Regasifikasi dan Unit Distribusi.
Tangki LNG tersedia dalam kapasitas 2.000 sampai 200.000 m3 LNG dengan
diameter mencapai 84 m dan tinggi mencapai 50 m. Untuk kebutuhan kapasitas yang
lebih besar dari 200.000 m3 (89.600 ton LNG), dapat digunakan beberapa tangki
secara bersama, dengan demikian mampu menangani kapasitas penyimpanan yang
diinginkan yaitu 6,4 milyar kaki kubik gas bumi atau setara dengan hampir 300.000
m3 gas bumi cair dan dapat mengalirkan tidak kurang dari 1,3 milyar kaki kubik gas
bumi per hari atau sekitar 60.000 m3 gas bumi cair. Kapasitas penyimpanan tersebut
dapat dicapai dengan menggunakan tiga buah tangki timbun dengan kapasitas
masing-masing 100.000 m3. Secara teknis, terminal LNG jenis ini dapat dibangun di
pulau Jawa. Terminal LNG ini dapat juga dengan mudah diintegrasi dengan system
lainnya untuk efisiensi energi, sebagai contoh dengan sistem refrigerasi yang
memanfaatkan suhu dingin LNG. Keuntungan lainnya adalah terminal LNG ini memiliki
umur fasilitas yang relatif panjang serta pengoperasian dan pemeliharaan yang relatif
mudah. Untuk fasilitas penyimpanan tangki timbun, terminal jenis ini tidak
menggunakan fasilitas yang sudah tersedia seperti halnya depleted oil/gas reservoir,
sehingga untuk itu diperlukan investasi untuk pembangunan tangki timbun. Biaya
investasi yang diperlukan untuk konstruksi terminal LNG relatif cukup besar dan
bergantung pada kapasitas keluaran gas yang diperlukan. LNG receiving terminal
yang direncanakan di pulau Jawa sebesar 400 MMSCFD sampai tahun 2010 dengan
estimasi biaya investasi 400 juta USD.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
63
Tabel Komponen Biaya LNG Receiving Terminal
Komponen Biaya
Investment Cost
O & M Cost
0,074 US $/Mcf, 0,4124 US $/SBM
0,22 US $/Mcf, 1,2249 US $/SBM
Sumber : Studi Kelayakan LNG Receiving Terminal – PGN, 2002
Pipa penyaluran BBG
Untuk keperluan distribusi gas bumi diperlukan suatu jaringan pipa untuk
mengalirkan gas dari lapangan gas ke pengguna. Saat ini di pulau Jawa terdapat
jaringan pipa gas yaitu Cirebon – Merak dan Pagerungan – Gresik, sedang di pulau
Sumatera terdapat jaringan pipa gas Grisik – Duri. Diharapkan dimasa mendatang
terkait dengan pengembangan/rencana pembangunan industri-industri yang yang
membutuhkan gas bumi baik sebagai energi maupun bahan baku kilang.
Direncanakan akan dibangun jaringan pipa gas baik secara nasional maupun regional
sebagaimana dalam Tabel 6-13 berikut maupun Gambar berikut ini.
Corridor-Singapore
Planned Pipeline
Duri-Grissik
West Natuna- Singapore
Block B-Duyong
So. Palembang Block
Mundu
Jawa Timur
Bunyu
Existing
Planned LNG Shipping
Tangguh
Medan Block
Bontang
55
1515
44
38
66
1111
1717
Existing LNG Refinery (Bilion Ton/Year)
Arun Block
Reserves NG (TCF)
LNG 18.50LPG 1.10
LNG 12.50LPG 1.60
3,300 km
1,700 km
28”, 1066 km
28”, 740 km
32”, 370 km
Existing LPG Refinery
Planned LNG Refinery
42”, 676 km
42”, 620 km
16”, 74 km
28”, 256 km
42”, 1350 km
42”, 600 km
32”, 620 km32”, 400 km
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
64
Tabel . Rencana Pembangunan Jaringan Pipa Gas
Lokasi Jarak (Km) Dia Pipa Cost (Juta US$)/Schedule
West Java Distribution 174 8 - 16 120/Studi 1999-2002
Pagar Dewa –Cilegon 370 36 460/Studi 1999-2002
Pagar Dewa-Grissik 180 28 180/Studi 1999 – 2002
Jambi – Lampung 222 4 – 8 50/Design 1999- 2002
East Kalimantan – Java 1100 32 1100/2002-2005
Samarinda – Balikpapan 100 4 – 6 35/2003-3005
Gresik – Semarang 390 28 210/2004-2007
Sengkang – Ujung Pandang 200 16 80/Studi 2004-2007
East and Central Java
Distribution
300 4 – 16 105/Studi 2004-2007
Kondur - Minas 80 28 80/MOU Signed
Tabel Komponen Biaya Pipa Transmisi Gas
Komponen Biaya
Investment Cost
O & M Cost
20 US $/inch dia/meter, 0,2427 US $/SBM
0,7007 US $/SBM
Sumber : Pertamina, Rule-of-Thumb Average Cost Figure.
Biaya investasi jaringan transmisi 65 % komponennya berasal dari biaya pipa. Total
biaya investasi pipa transmisi sekitar 2,5 milyar USD, yang dapat digambarkan pada
Gambar berikut ini :
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
65
Gambar Kebutuhan Biaya investasi penambahan pipa gas
Berdasarkan data di atas, dapat di perkirakan biaya infrastruktur gas
total sebesar 9.6 milyar USD.
Gambar Biaya infrastruktur gas total
5.3 Infrastruktur Batubara
Transportasi merupakan komponen terpenting dalam rantai penyediaan
batubara. Sistem infrastruktur transportasi batubara di Indonesia, antara lain terdiri
dari jalan raya (truk pengangkut), conveyor, jalur rel (kereta api angkut batubara), air
(tongkang s.d kapal angkut batubara).
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
66
Hingga saat ini perhatian terbesar dalam pengembangan infrastruktur
batubara adalah pengembangan pelabuhan batubara. Transportasi batubara
menggunakan jalur perairan dilakukan menggunakan tongkang (barge) berukuran
3000-10000 DWT hingga kapal angkut batubara berukuran besar 180000 DWT
(capsize bulk carriers).
Transportasi batubara menggunakan jalur perairan dilakukan menggunakan
tongkang (barge) berukuran 3000-10000 DWT hingga kapal angkut batubara
berukuran besar 180000 DWT (capsize bulk carriers).
Secara garis besar system transportasi batubara di Indonesia dapat diuraikan
seperti pada Gambar berikut ini:
Gambar Gambaran Umum System Infrastruktur Transportasi Batubara di Indonesia
Pada bagian ini dilakukan pengkajian terhadap ketersediaan dan kebutuhan Infrastruktur batubara yang meliputi Pelabuhan dan Jalur Rel Api.
A. Pelabuhan Batubara
Gambar berikut ini memperlihatkan sebaran lokasi penambangan batubara
dan ketersediaan infrastruktur dan rencana pengembangannya hingga 2020. Realisasi
Tambang Batubara Transportasi
Port Stockpile
Ship loading/ unloading
Stockpile
Coal Bunker
Power-plant
Power-plant
Truk
Kereta Api
Tongkang
Kapal Angkut Batubara
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
67
proyeksi pertumbuhan produksi batubara pada tahun 2020 hingga mencapai 2 kali
lipat tingkat produksi tahun 2000, sangatlah dipengaruhi oleh ketersediaan
infrastruktur seperti jaringan rel kereta api dan pelabuhan laut di Sumatera Selatan
dan Lampung, dan pengembangan sistem jaringan rel kereta api di Pulau Kalimantan
serta pelabuhan batubara di Kalimantan Timur dan Selatan. Kapasitas dan lokasi
pelabuhan sangat menentukan jumlah maksimum produksi batubara dari pulau
Kalimantan.
Gambar Infrastruktur Batubara dan Distribusi Batubara Dalam Negeri Untuk Pembangkit Listrik.
Tabel Pelabuhan Utama Batubara di Indonesia (Existing)
Terminal Operator Lokasi Maximum
Vessel (DWT)
Kapasitas handling
(Juta Ton/Thn)
Kertapati PTBA SumSel 7.000 1.5
Tarahan PTBA SumSel 60.000 8
Teluk Bayur PTBA Sumbar 40.000 2
Pulau Baai Government Bengkulu 35.000 2
Tanjung Bara Kaltim Prima Kaltim 200.000 16
Tanah merah Kideco Kaltim 20.000 12
North Pulau Laut Arutmin Kalsel 150.000 10
Balikpapan PT DPP Kaltim 60.000 3
Indonesia Bulk Terminal IBT Kalsel 70.000 15
1,7
4,2
18,8
2,6 5,3
3,6
0,0260,09
0,004
Total : 36,3 Bilion Ton
Existing Coal Terminal
Coal Power Generator
Reserves Coal (Bilion Ton)
1
2
New Coal Terminal
3
4
6
75
8
121314
15
16
17
1,7
4,2
18,8
2,6 5,3
3,6
0,0260,09
0,004
Total : 36,3 Bilion Ton
Existing Coal TerminalExisting Coal Terminal
Coal Power Generator
Reserves Coal (Bilion Ton)
11
22
New Coal TerminalNew Coal Terminal
3
4
6
75
8
121314
15
16
17
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
68
Terminal Operator Lokasi
Maximum Vessel (DWT)
Kapasitas handling
(Juta Ton/Thn)
Tanjung Redep* Berau Kaltim 5.000 2
Beloro* Multi Harapan Kaltim 8.000 3
Loa Tebu* Tanito Harum Kaltim 8.000 2
Sebilang* Arutmin Kalsel 7.500 4
Air Tawar* Arutmin Kalsel 7.500 4
Satui* Arutmin Kalsel 5.000 2
Banjarmasin* Various Kalsel 6.000 3
Kelanis* Adaro Kalteng 12.000 15
Total Handling Capacity
104.5
Tabel diatas memperlihatkan ketersediaan pelabuhan Batubara dan kapasitas
handling yang mencapai kapasitas existing sebesar 104.5 juta ton per tahun. Untuk
mendukung pertumbuhan kebutuhan dan penyediaan batubara untuk kepentingan
dalam negeri maupun ekspor maka perlu dilakukan penambahan kapasitas pelabuhan
batubara yang telah ada maupun pembangunan pelabuhan batubara yang baru.
Komponen biaya untuk pembangunan pelabuhan batubara diberikan pada Tabel 6.15.
Adapun skenario penambahan kapasitas maupun pembangunan pelabuhan baru
diperlihatkan pada Tabel berikut ini. Proyeksi kebutuhan investasi bagi penyediaan
infrastruktur pelabuhan sampai dengan tahun 2020, adalah US$ 61.6 Juta.
Tabel Komponen Biaya Pembangunan Pelabuhan Batubara
Komponen Biaya (US$/DWT)
Investment cost 6.0
Sumber : Coal port report, 1980.
Tabel Skenario Pembangunan Pelabuhan Batubara di Indonesia hingga 2020
Terminal Operator Lokasi Maximum
Vessel (DWT)
Tambahan kapasitas handling
(Juta Ton/Thn)
Tahun Operasi
Kertapati PTBA SumSel 7.000 0.5 2005 Tarahan PTBA SumSbel 60.000 6 2010 Teluk Bayur PTBA Sumbar 40.000 2 2008 Pulau Baai Government Bengkulu 35.000 1 2005 Tanjung Api-api PTBA SumSel 40.000 20 2020 Tanjung Bara Kaltim Prima Kaltim 200.000 4 2008 Tanah merah Kideco Kaltim 20.000 3 2007
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
69
Terminal Operator Lokasi
Maximum Vessel (DWT)
Tambahan kapasitas handling
(Juta Ton/Thn)
Tahun Operasi
North Pulau Laut Arutmin Kalsel 150.000 5 2005 Balikpapan PT DPP Kaltim 60.000 2 2008 Indonesia Bulk Term. IBT Kalsel 70.000 5 2010 Tanjung Redep* Berau Kaltim 5.000 2 2008 Banjarmasin* Various Kalsel 6.000 5 2011 Kelanis* Adaro Kalteng 12.000 10 2015
Additional Total Handling
Capacity
65.5
Gambar Kebutuhan investasi infrastruktur pelabuhan batubara.
B. Jalur Rel Kereta Api
Pasokan batubara bagi PLTU di Jawa berasal dari tambang batubara
Bukit Asam dan Kalimantan. Pasukan dari Bukit Asam diangkut dengan kereta
api dari Tanjung Enim ke Tarahan, kemudian diteruskan dengan kapal laut ke
PLTU Suralaya. Sedangkan dari tambang di Kalimantan, diangkut dengan kapal
laut ke PLTU Suralaya maupun PLTU Paiton. Jalur kereta api saat ini yang
tersedia di lintas Tanjung Enim-Tarahan kebanyakan masih berupa jalur rel
tunggal hingga memiliki keterbatasan kapasitas hingga sekitar 6 juta ton per
tahun. Untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan permintaan dan
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
70
penyediaan batubara untuk domestik maupun ekspor, maka diperlukan
penambahan kapasitas angkut batubara melalui pembangunan rel ganda
maupun penambahan jalur baru untuk memperluas daerah cakupan
penambangan batubara. Skenario penambahan dan pembangunan jalur rel
ganda di Sumatera diperlihatkan pada Gambar dan Tabel berikut ini.
Gambar Pembangunan jalur rel ganda di Sumatra
Tabel Skenario penambahan dan pembangunan jalur rel ganda di Sumatera.
No Jalur Kereta Jarak (km) Tahun Operasi
1 Tanjung Enim-Muara Enim 40 2007
2 Tanjung Enim-Baturaja 80 2008
3 Muara Enim-Prabumulih 100 2010
4 Baturaja-Tarahan 300 2015
5 Prabumulih-Baturaja 100 2014
6 Prabumulih-Kertapati 100 2012
7 Prabumulih-Tanjung Api-api 80 2020
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
71
8 Muara Enim-Lahat 60 2016
9 Lubuk Linggau-Lahat 80 2018
Tabel Komponen biaya pembangunan jalur rel kereta
di Kalimantan dan Sumatra Lokasi Biaya (US$/km)
Pembangunan jalur rel baru di Kalimantan*) 800.000
Pembangunan jalur rel ganda kerata baru di Sumatra **) 480.000
*) Mimuroto, 2002 (dirata-rata), **) Diasumsikan sebesar 60% dari biaya per km di Kalimantan.
Gambar Kebutuhan investasi pembangunan jalur rel ganda di Sumatra dan pembangunan jalur baru di Kalimantan
Berdasarkan skenario dan komponen biaya seperti tampak pada tabel diatas,
maka dapat diproyeksi kebutuhan investasi bagi pembangunan jalur rel ganda di
Sumatra sebesar US$ 412 juta .
Transportasi batubara dari lokasi penambangan di Pulau Kalimantan
hingga saat ini banyak menggunakan jalur darat dan sungai menggunakan
sistem truk dan tongkang (barge) dan offshore transhipment. Untuk
memenuhi pertumbuhan kebutuhan dan penyediaan batubara Kalimantan
maka perlu dibangun jalur rel kereta api di Kalimantan bagian timur-selatan.
Hasil studi kelayakan sistem transportasi batubara menggunakan kereta api
(Mimuroto, 2002), memperlihatkan bahwa pembangunan jalur rel kereta api
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
72
dapat memenuhi kebutuhan infrastruktur batubara. Pengembangan sistem
jaringan rel kereta api batubara di Kalimantan bagian timur-selatan sekaligus
akan membuka akses yang lebih besar bagi pemanfaatan sumber batubara
yang berada di pedalaman dan memberikan pengaruh yang baik bagi
ketersediaan infrastruktur kereta api yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan
ekonomi masyarakat secara luas.
Skenario penambahan dan pembangunan jalur rel kereta api baru di
Kalilmantan diperlihatkan pada Tabel dan Gambar berikut ini.
Tabel Skenario pembangunan jalur rel kereta api di Kalimantan No Jalur Kereta Jarak (km) Tahun Operasi
1 Mangkapdie Line 285 2008
2 Senggata Line 120 2010
3 Mahakam Line 365 2014
4 South Balikpapan Line 145 2016
5 Selatan Line 170 2018
6 Batu Line 155 2020
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
73
Gambar Pembangunan Jalur Rel Kereta Api Di Kalimantan
Berdasarkan skenario dan komponen biaya seperti tampak pada tabel
diatas, maka dapat diproyeksi kebutuhan investasi bagi pembangunan jalur rel
kereta api di Kalimantan sekitar US$ 868 juta
Proyeksi total kebutuhan investasi untuk pembangunan infrastruktur
batubara berupa pelabuhan dan jalur rel baru maupun ganda di Sumatra dan
Kalimantan hingga tahun 2020 adalah sebesar US$ 1342 Juta.
5.4. Infrastruktur Listrik
Pembangkit Listrik
Penyediaan tenaga listrik di Indonesia saat ini sebagian besar di kelola
oleh perusahaan milik pemerintah, yaitu PLN (persero) sedangkan perusahaan
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
74
pembangkitan swasta dan koperasi keterlibatannya masih sangat terbatas.
Berikut ini tabel kapasitas terpasang pembangkit listrik termasuk cative power
di Indonesia.
Tabel Kapasitas Terpasang Pembangkit Listrik di Indonesia (MW)
PLN Tahun
PLTA PLTU PLTG PLTGU PLTP PLTD Jumlah Pertumb.
1990 2.095,13 3.940,60 1.230,09 - 140,00 1.869,60 9.275,42
1991 2.115,19 3.940,60 1.213,86 - 140,00 1.945,96 9.355,61 0,86%
1992 2.168,32 3.940,60 1.222,76 1.312,05 140,00 2.059,56 10.843,29 15,90%
1993 2.178,26 4.690,60 974,61 3.411,31 195,00 2.118,74 13.568,52 25,13%
1994 2.178,26 4.755,60 1.168,51 3.942,11 305,00 2.164,12 14.513,60 6,97%
1995 2.180,00 4.821,00 1.020,00 4.413,00 308,00 2.228,00 14.970,00 3,14%
1996 2.184,03 5.020,60 1.093,31 5.053,31 308,75 2.448,84 16.108,84 7,61%
1997 2.436,34 6.770,00 1.371,12 5.588,89 362,50 2.416,39 18.945,24 17,61%
1998 3.006,76 6.770,60 1.347,41 6.560,97 360,00 2.535,02 20.580,76 8,63%
1999 3.013,99 6.770,00 1.516,11 6.281,70 360,00 2.649,94 20.591,74 0,05%
2000 3.015,24 6.770,00 1.203,37 6.863,22 360,00 2.549,85 20.761,68 0,83%
Captive Power dan Listrik Swasta
1990 833,52 574,23 1.499,30 - - 4.171,66 7.078,71
1991 976,35 760,70 1.559,48 - - 4.807,29 8.103,82 14,48%
1992 1.121,66 775,51 2.063,14 - - 5.294,25 9.254,56 14,20%
1993 1.177,12 1.107,19 1.806,29 - - 5.422,58 9.513,18 2,79%
1994 1.178,16 1.747,43 1.522,28 - - 6.630,11 11.077,98 16,45%
1995 1.183,99 2.206,19 2.030,23 - - 7.413,51 12.833,92 15,85%
1996 1.181,98 2.006,43 2.209,81 - - 7.738,84 13.137,06 2,36%
1997 1.184,04 2.605,94 2.267,81 - 165,00 8.086,71 14.309,50 8,92%
1998 1.183,88 3.019,07 2.341,81 - 165,00 8.138,77 14.848,53 3,77%
1999 1.182,14 3.071,15 2150,90 280,00 165,00 8.672,47 15.521,66 4,53%
2000 1.184,04 4.204,98 2.601,43 - 165,00 8.673,48 16.828,93 8,42%
Sumber : Statistik PLN dan Statistik Ketenagalistrikan DJLPE Statistik Ekonomi Energi Indonesia 2002
Tabel Lokasi Pembangkit Penting PLN
Lokasi Nama Pembangkit Jenis Kapasitas (MW) Paya Pasir PLTG 90,5 Belawan PLTGU 825,8
Sumatera Utara
Belawan PLTU 260 Maninjau PLTA 68 Singkarak PLTA 175 Pauh Limo PLTG 63,5
Sumatera Barat
Ombilin PLTU 200 Kota Panjang PLTA 114 Riau
Teluk Lembu PLTG 40,2
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
75
Lokasi Nama Pembangkit Jenis Kapasitas (MW)
Jambi Batanghari PLTG 2 x 34 Tes PLTA 19,2 Kramasan PLTG 50,3 Bukit Asam PLTU 260
Sumatera Selatan
Kramasan PLTU 25 Pangeran Noor/ Riam Kanan PLTA 30 Kalimantan Selatan
Trisakti PLTG 21 + 54,3 Kalimantan Timur Tanjung Batu PLTGU 60
Bakaru PLTA 126 Tello PLTG 122,8
Sulawesi Selatan
Tello PLTU 25 Pesanggaran PLTD 75,8 Pesanggaran PLTG 125,4
Bali
Gilimanuk PLTG 145 Gresik PLTG 101,8 Grati PLTGU 824,2 Gresik PLTGU 1.579 Gresik PLTU 600 Paiton PLTU 800
Jawa Timur
Perak PLTU 150 Panglima Sudirman/Mrica PLTA 180,9 Tambak Lorok PLTGU 1.058
Jawa Tengah
Tambak Lorok PLTU 300 Cirata PLTA 1.008 Saguling PLTA 700,7 Muara Tawar PLTG 294 Sunyaragi PLTG 80,4 Muara Tawar PLTGU 701 Gunung Salak PLTP 165 Kemojang PLTP 140
Jawa Barat
Suralaya PLTU 3.400 Priok PLTG 268 Muarakarang PLTGU 508 Priok PLTGU 1.180 Muarakarang PLTU 700
Jakarta
Priok PLTU 100 Sumber : Laporan Tahunan 1999 PLN
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
76
Gambar Lokasi Pembangkit Penting PLN
Pada tahun 2000, untuk memenuhi kebutuhan listrik sebesar 79 TWh
dipasok dengan pembangkit listrik denagn daya 22 GW dengan rata-rata faktor
kapasitas sebesar 52 %. Jika ditinjau dari rendahnya faktor kapasitas seolah-
olah telah terjadi kelebihan kapasitas pembangkit. Namun kenyataannnya
tidak demikian karena beberapa ruas sistem kelistrikan yang tidak terintegrasi.
Saat ini beberapa sistem kelistrikan telah mengalami kelangkaan pasokan.
Pada akhir tahun 2001, PLN mengumumkan bahwa terdapat 28 sistem
kelistrikan di sembilan wilayah PLN luar Jawa. Empat lokasi di wilayah I
(Nangroe Aceh Darussalam), dua lokasi di sistem Sumatera bagian selatan dan
wilayah VI (kalimantan Tengah dan selatan) sudah mengalami giliran
pemadaman pada saat beban puncak. Secara umum, neraca daya
pembangkit listrik dari setiap wilayah PLN hanya mengindikasikan dua wilayah
kritis, yaitu wilayah 2 dan wilayah 8.
Tabel Neraca Daya Pembangkit Listrik PLN Tahun 2000
Daya Terpasang
(MW) Daya Mampu
(MW) Marjin Cadangan
(%) Wilayah I 67,3 41,6 62% Wilayah II 0,4 0,7 -43% Wilayah III 210,8 136,2 55%
Lokasi Pembangkit
Wil I
Wil II
Wil III
Wil IV
Wil V Wil VI
Wil VII
Wil VIII Wil IX
Wil X
Wil XI Distr. Jateng
Distr. Jatim
Distr. Jabar
Distr. JKT Tangerang
Wil Khusus Batam
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
77
Daya Terpasang
(MW)
Daya Mampu
(MW)
Marjin Cadangan
(%)
Wilayah IV 179,9 89,1 102% Wilayah V 226,9 146,0 55% Wilayah VI 564,7 392,9 44% Wilayah VII 274,0 192,8 42% Wilayah VIII 470,7 410,5 15% Wilayah IX 108,2 54,1 100% Wilayah X 116,7 64,6 81% Wilayah XI 233,5 159,2 47% Batam 96,7 72,5 33% Sistem Sumbagut 1.509,1 951,1 59% Sistem Sumbagsel
1.210,9 809,0 50% Sumber: PLN Prakiraan Energi Indonesia 2010
Tabel Neraca Daya Pembangkit Listrik PLN dan Swasta Tahun 2000
PLN (MW) Wilayah
Terpasang
Mampu
Liswas (MW)
Total (MW)
Beban Puncak (%)
Marjin Cadangan
Wilayah I 128,1 97,5 - 128,1 155,0 -17% Wilayah II 1.246,5 964,4 - 1246,5 862,0 45% Wilayah III 959,5 734,4 0,8 960,4 545,0 76% Wilayah IV 823,3 692,7 6,2 829,4 695,0 19% Wilayah V 226,9 162,2 - 226,9 161,0 41% Wilayah VI 564,7 392,9 7,4 572,1 432,0 32% Wilayah VII 274,0 210,0 - 274,0 207,0 32% Wilayah VIII 470,7 376,4 220,0 690,7 407,0 70% Wilayah IX 108,2 72,9 0,3 108,5 40,0 171% Wilayah X 116,7 81,8 120,2 236,9 69,0 243% Wilayah XI 233,5 166,0 3,0 236,5 144,0 64% Sumber : PLN Prakiraan Energi Indonesia 2010
Jika ditinjau dari neraca gabungan antara PLN dan Listrik swasta, marjin
cadangan kapasitas yang kritis adalah di wilayah 1 dan 4. Marjin cadangan
dihitung dari perbandingan total daya mampu dari masing-masing wilayah
pembangkitan luar jawa terhadap beban puncaknya.
Dalam Draft RUKN tahun 2003 disajikan angka-angka pertumbuhan
pembangkitan, transmisi, switcyard dan distribusi antara 2003-2010. Menurut
angka sementara RUKN 2003 menunjukkan bahwa antara tahun 2003-2010
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
78
kapasitas pembangkit di Indonesia meningkat sebesar 22.261 MW dan
panjang transmisi meningkat sepanjang 17.070 km seperti terlihat pada tabel
berikut ini.
Tabel Construction Planning for Power Generating Plants and Transmission
2003-2010
JAMALI
Outside JAMALI
Total Indonesia
1
Power Generation
a. PLTA 1.000 1.701 2.701
b. PLTU 5.260 2.580 7.840
c. PLTG 645 2.945 3.590
d. PLTGU 5.370 871 6.241
e. PLTP 1.090 340 1.430
f. PLTD 0 405 405
g. PLTM 0 54 54
Sub Total 13.365 8.896 22.261
2
Transmission Lines (Km)
a. 500 kV 1.805 0 1.805
b. 150 kV 3.570 8477 12.047
c. 70 kV 118 0 118
d. 275 kV 0 3100 3.100
Sub Total 5.493 11.577 17.070 3
Swicthyard (MVA)
a. 500/10 kV 21.999 0 21.999
b. 275/150 kV 0 3.000 3.000
c. 150/20 kV 17.260 7.870 25.130
d. 70/20 kV 120 0 120
Sub Total 39.379 10.870 50.249 4
Distribution Lines
a. 20 kV 38.130,0
63325,0 101.455,0
b. Low Voltage (km) 39.638,0
42866,0 82.504,0
c. Transformer Dist (MVA) 7.049,0 4325,0 11.374,0
c. Costumer (millions) 11,3 11,3 22,6 5
Rural Electricity 472 8.375 8.847 Sumber: DGEEU (2003) Draft RUKN
Dalam pengembangan infrastruktur konversi energi seperti Pembangkit
listrik, maka aspek teknologi memegang peran yang sangat penting. Teknologi
pembangkitan listrik dapat digolongkan menurut jenis sumber energinya
(bahan bakarnya). Untuk satu jenis bahan bakar saja, misalnya batubara,
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
79
teknologi pembangkitan listrik telah berkembang sangat pesat dalam beberapa
decade terakhir. Sebagai contoh: ketersediaan teknologi pembangkit listrik
berbahan bakar batubara seperti FBC (Fluidised bed combustion), CFBC
(Circulating FBC), PFBC (Presurised FBC) dan IGCC (Integrated Gasification
Combined Cycle) akan memungkinkan pemakaian bahan bakar batubara
secara lebih efisien dan bersih.
Dengan demikian ketersediaan informasi masing-masing jenis teknologi
(Learning Curve), akan memberikan nilai investasi yang semakin lama makin
rendah dibanding tahun sebelumnya. Pada Gambar 6.101 diberikan gambaran
dari learning curve untuk berbagai jenis teknologi pembangkit listrik yang
berbahan bakar fosil maupun yang memanfaatkan energi terbarukan.
Gambar Learning Curve untuk teknologi pembangkit listrik
2000 2005 2010 2015 20200.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
1.8 Fuel cell Combined cycle IGCC Micro hidro Wind Nuclear Geothermal
Koe
fisie
n le
arni
ng
Tahun
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
80
Informasi yang penting bagi pemilihan jenis teknologi pembangkitan
listrik antara lain meliputi parameter berikut ini: biaya investasi, biaya operasi
dan pemeliharaan tetap dan variabel, efisiensi, faktor kapasitas, umur, tahun
ketersediaan teknologi, kontribusi beban puncak
Tabel menampilkan data mengenai parameter tersebut di atas untuk
berbagai jenis teknologi pembangkitan tenaga listrik.
Berdasarkan optimasi dan simulasi INOSYD dengan mempertimbangkan
pertumbuhan kebutuhan listrik, maka diperoleh proyeksi penambahan
penyediaan pembangkit listrik seperti ditampilkan pada Gambar di bawah ini.
Gambar Penambahan Kapasitas Pembangkit
Dari gambar diatas dapat diestimasi bahwa penambahan kapasitas
kilang sampai tahun 2020 sekitar 120.000 MW.
Untuk regional dapat diestimasi berdasarkan fraksi setiap regional
terhadap skala nasional seperti gambar berikut.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
81
Gambar Penyediaan listrik regional dan nasional hingga tahun 2020
2000 2005 2010 2015 20200
20000
40000
60000
80000
100000
120000 Jawa Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi, Papua dan lainnya Indonesia
Kap
asita
s P
erm
bang
kit L
istr
ik (
MW
)
Tahun
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
82
Tabel Data Teknik dan Ekonomi untuk Teknologi Pembangkit Listrik
Biaya Investasi Biaya O&M
Fuel Cost Effi Capacity
Life
Peak Start End
Biaya Produksi
Jenis (Cent /Kwh)
(Cent/ Kwh)
(Cent/ Kwh)
% Factor Contri.
Year Year
(Cent / Kwh) Learning Curve(*)
Gas PLTGU (combine cycle) 0.17 0.17 2.39 0.55 0.8 25 1 2000
1.25
PLTG (Gas Turbine) 0.29 0.27 2.06 0.33 0.9 25 1 2000
1.47
PLTU (Steam Turbine) 0.29 0.13 2.06
2010
1.32
Fuel Cell 0.47 5.40 2.06 0.45
(electric)
0.75 25 1 2015
7.86 y =1.4302 X^(-
0.5014)
0.8 (total)
Oil PLTD (Diesel Oil) 1.23 0.26 2.90 0.38 0.68 15 0.9
3.07
PLTGU (Combine cycle) 0.78 0.30 2.78 0.47 0.75 25 1
2.66 y = 0.9995 X^(-
0.0883)
PLTG (Oil Turbine) 2.14 0.46 2.78 0.45 0.75 30 1
2005
4.45
PLTU (Steam Turbine) 1.00 0.21 2.72 0.45 0.75 30 1
2010
3.06
Coal Pulverized 1.28 0.26 1.49
1.86
IGCC 1.40 0.79 1.49 0.45 0.48 30 1 2015
2.48 y = 0.9995 X^(-
0.0383)
FBC 1.19 0.79 1.49 0.37 0.8 30 1 2010
2.29 CC gas Ren Large Hydro 2.08 0.79 1.49
0.5 50 0.9
3.94
Geothermal 0.80 0.17 3.34
0.7 30 0.9
4.31 CC gas
Bio 2.20 0.11 1.49
2010
3.80
Microhydro 1.30 2.10
0.466 40 0.3 2010
2.66 y = 0.9995 X^(-
0.0883)
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
83
Tabel Data Teknik dan Ekonomi untuk Teknologi Pembangkit Listrik
Biaya Investasi Biaya O&M
Fuel Cost Effi Capacity
Life
Peak Start End
Biaya Produksi
Solar Cell PV off grid
6.67 0.23
0.2 25 0.075 2010
6.66 y = 1.149 X^(-
0.5858)
Wind 3.19 0.13 3.35
0.24-0.375 25 0.1-0.25
2010
6.66 y = 1.0481 X^(-
0.5592)
Nuklir 5.00 0.46
0.85 40 1 2015
6.00 y = 1.0134 X^(-
0.0481)
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
Sejalan dengan pembangunan pembangkit, maka perlu dilakukan
pembangunan jaringan transmisi.
Tabel Skenario pertumbuhan jaringan transmisi listrik hingga 2020
Panjang Transmisi (km) Tahun 500 kV 150 kV 70 kV 275 kV
Total
2000 264 2,883 1,542 71 4,760 2001 305 3,331 1,782 82 5,498 2002 333 3,638 1,946 89 6,007 2003 349 3,820 2,043 94 6,306 2004 365 3,993 2,136 98 6,592 2005 380 4,157 2,224 102 6,863 2006 406 4,435 2,372 109 7,321 2007 432 4,718 2,524 116 7,789 2008 517 5,648 3,021 139 9,324 2009 555 6,071 3,247 149 10,023 2010 592 6,475 3,463 159 10,689 2011 594 6,489 3,471 159 10,713 2012 626 6,841 3,659 168 11,293 2013 657 7,178 3,839 176 11,850 2014 686 7,495 4,009 184 12,374 2015 725 7,931 4,242 195 13,093 2016 754 8,246 4,411 202 13,614 2017 782 8,551 4,574 210 14,116 2018 822 8,986 4,807 221 14,836 2019 862 9,422 5,040 231 15,556 2020 902 9,856 5,272 242 16,271
Secara umum dapat dipergunakan rule of thumb untuk perhitungan
biaya pembangunan transmisi listrik di Indonesia adalah investasi transmisi
sekitar 20,2% distribusi sekitar 4,5% dari biaya investasi pembangkit.
Biaya transmisi per km dapat diestimasi menggunakan data berikut:
Tabel Biaya investasi transmisi listrik
Jenis transmisi USD/km
500 kV 320,000
275kV 225,000
150 kV 175,000
70 kV 100,000
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
Pemodelan pembangkit listrik dalam model INOSYD sudah memasukkan
skenario teknologi sehinggga di dalam perhitungan kebutuhan investasi
digunakan data teknis dan ekonomi seperti dalam tabel sebelumnya. Dari hasil
simulasi diperoleh kebutuhan investasi pembangkit listrik dan transmisi sebagai
berikut.
Gambar Kebutuhan investasi pembang litrik dan transmisi listrik hingga 2020
Dari grafik diatas dapat diestimasi bahwa sampai tahun 2020 diperlukan
investasi pembangkit sekitar 50 miyar USD dan transmisi sekitar 12 milyar
USD.
Secara total investasi infrastruktur energi yang diperlukan sampai tahun
2020 untuk seluruh jenis energi dapat dirangkum pada tabel berikut.
Tabel Biaya investasi infrastruktur energi total nasional (juta USD) Jenis Enegi Jenis Infrastruktur Investasi yang
diperlukan sampai 2020 (milyar USD)
Minyak Bumi Kilang minyak, tangki timbun
17,3
Gas Bumi Kilang LNG, jaringan pipa transmisi, LN receiving terminal
9,6
Batubara Pelabuhan batubara, rel 1,34
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
Jenis Enegi Jenis Infrastruktur Investasi yang diperlukan sampai 2020
(milyar USD) kereta api batubara
Listrik Pembangkit, jaringan transmisi
62
Total 90,24
5.5 Infrastruktur Energi Regional
Untuk memperlihatkan aspek regional, maka dilakukan pengelompokan
ke dalam region / pulau besar yaitu : Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi
dan Papua serta lainnya. Berdasarkan kedua gambar ini tampak bahwa
pertumbuhan populasi dan PDB hingga tahun 2020 di Jawa dan Bali masih
mendominasi terhadap region yang lain. Dengan asumsi pertumbuhan seperti
ini, maka secara regional dibutuhkan penambahan kapasitas dan biaya
investasi seperti tampak pada berikut ini. Tabel ini merupakan rangkuman dari
pembahasan hasil optimasi infrastruktur energi per jenis seperti yang telah
dilakukan pada bagian sebelumnya. Dari kedua Tabel ini tampaknya
penambahan kapasitas dan investasi infrastruktur yang hanya dipengaruhi
oleh kebutuhan masih akan tetap berpusat di Pulau Jawa dan Bali.
Gambar Proyeksi Populasi Regional
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas
Gambar Proyeksi PDB Regional harga tetap 1993
Tabel Skenario Penambahan Kapasitas Infrastruktur Energi Regional
Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan Sulawesi, Papua dan
lainnya Infrastruktur Energi 2003-10 2010-20 2003-10 2010-20 2003-10 2010-20 2003-10 2010-20
Minyak
Kilang minyak (MBSD)
Depot minyak (MMB)
Pipa minyak (km)
150
2
-
150
6.6
-
450
5.9
2340
-
18.7
825
-
0.8
-
150
2.6
-
-
2
-
300
4.9
-
Gas
Kilang LNG (Jt Ton/Thn)
Pipa Gas (km)
LNG Rcving Term. (BCF)
-
852
-
-
-
-
-
-
270
864
12,5
200
5
Batubara
Pelabuhan BB: (juta ton / thn)
Rel Kereta (km) :
9.5
220
20
720
21
405
15
835 Listrik
Pembangkit Total (MW):
Pembangkit Listrik Panas Bumi (MW) :
5200
20
4100
270
35600
785
28600
1615
1100
-
900
-
1900
70
1600
150
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 89
Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan
Sulawesi, Papua dan lainnya Infrastruktur Energi
2003-10 2010-20 2003-10 2010-20 2003-10 2010-20 2003-10 2010-20
Transmisi listrik
(km) :
3834 2803 26502 19381 795 582 1447 1058
Tabel Skenario Biaya Investasi Penambahan Infrastruktur Energi Regional (juta USD)
Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan Sulawesi, Papua dan
lainnya Infrastruktur Energi 2003-10 2010-20 2003-10 2010-20 2003-10 2010-20 2003-10 2010-20
Minyak
Kilang minyak
Depot minyak
Pipa minyak
2200
40
-
4400
127
-
6600
114
715
4400
362
202
-
16
-
2200
51
-
-
39
-
6600
95
-
Gas
Kilang LNG
Pipa Gas
LNG Receiving Terminal
-
770
400
-
-
-
-
1535
-
-
-
-
-
1135
-
-
-
-
2600
80
-
2600
-
-
Batubara
Pelabuhan BB:
Rel Kereta :
8
105.6
14
345.6
-
-
-
-
36
324
26
668
-
-
-
- Listrik
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 90
Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan
Sulawesi, Papua dan lainnya Infrastruktur Energi
2003-10 2010-20 2003-10 2010-20 2003-10 2010-20 2003-10 2010-20
Pembangkit Total :
Pembangkit Listrik Panas Bumi :
Transmisi listrik :
3572
50
714
2612
515.7
522
24695
1500
4939
18060
3085
3612
741
-
148
542
-
107
1348
130
270
986
265
197
BAB 6
REKOMENDASI KEBIJAKAN ENERGI MIX DAN PENGEMBANGAN
INFRASTRUKTUR ENERGI
Keberhasilan pembangunan berkelanjutan di Indonesia sangat ditentukan oleh
adanya jaminan ketersediaan energi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi domestik
yang signifikan dan terdistribusi baik, memenuhi aspek pelestarian lingkungan dan
kesejahteraan sosial. Pemodelan dinamis untuk memproyeksikan kebutuhan dan
pemenuhan energi di Indonesia seperti dibahas pada bagian sebelumnya,
memperlihatkan pentingnya dilakukan optimisasi energy mix untuk memenuhi
kebutuhan energi nasional berupa listrik maupun non-listrik.
6.1 Identifikasi Permasalahan Energi Sektoral
Untuk dapat memberikan rekomendasi kebijakan energi mix, maka perlu juga
dilakukan identifikasi permasalahan masing-masing sektor energi penyusun energi mix,
yaitu sektor: migas, batubara, baru terbarukan dan nuklir, ketenagalistrikan.
A. Sektor Migas
Situasi energi nasional terutama sektor migas menghadapi beberapa kendala
terutama setelah terbitnya UU Migas No 22 tahun 2001 dan adanya otonomi daerah.
UU No 22 tahun 2001 bertujuan menghindari terjadinya monopoli di sektor migas
menuju industri migas yang kompetitif baik di sektor hulu maupun sektor hilir dan
pemisahan peran beberapa badan terkait terutama peran regulator dan pelaku bisnis
migas agar tidak tumpang tindih perannya. Beberapa permasalahan yang muncul baik
dari aspek yang terkait keekonomian, sosial, lingkungan maupun masalah di sisi energi
adalah sebagai berikut:
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 92
Penggunaan energi yang belum optimum ditunjukkan oleh elastisitas
penggunaan energi yang masih tinggi
Harga energi yang rendah, sebagian masih subsidi, sehingga kurang mendukung
investasi di bidang migas dan penghematan pemakaian energi.
Adanya hambatan investasi baru di sektor hulu migas yang disebabkan misalnya
belum jelasnya peraturan perundangan, persepsi resiko politik, belum adanya
kepastian hukum (menghormati kontrak, menghormati penyelesaian
perselisihan), belum adanya transparansi dalam pelaksanaan tender, dan
keterbatasan akses informasi energi yang dapat dipercaya.
Belum sinkronnya peraturan/kebijakan sektor migas dengan sektor lain dan
antara pusat dan daerah misalnya tentang perpajakan/fiskal migas.
Pengembangan lapangan marginal migas dan lapangan tua masih kurang
menarik yang disebabkan perlakuan yang sama dengan lapangan migas
ekonomis atau belum ada perlakuan khusus.
Terbatasnya sosialisasi penghematan pemakaian energi, harga keekonomian
energi serta keunggulan pemakaian gas bumi dan energi terbarukan.
Masih adanya perselisihan antara industri migas dengan masyarakat sekitar.
Potensi polutan yang besar yang disebabkan flare gas, oil spills, sludge, polusi di
daerah perkotaan dikarenakan kendaraan bermotor, dan belum terjamin mutu
produk BBM yang laik lingkungan terutama kandungan Pb dan sulfur.
Cadangan minyak dan gas terbatas sedangkan konsumsinya terus meningkat
dan dapat membuat Indonesia menjadi pengimpor energi fosil.
Terbatasnya infrastruktur kilang minyak, transmisi dan distribusi migas dan tangki
timbun BBM dikarenakan karena hambatan investasi dan kebijakan monopoli. Dari
hasil simulasi, sampai tahun 2020 diperlukan penambahan kapasitas: kilang sebesar
1,2 juta BPD (sekitar 8 kilang ukuran nominal), tangki timbun BBM sebesar kilang
LNG 15 juta ton/tahun, danpanjang pipa transmisi gas 3116 km.
Masih tingginya persentase penggunaan minyak bumi yang mencapai sekitar 38 %
dari permintaan total energi primer nasional sehingga perlu didorong adanya
peningkatan penggunaan energi gas , batubara dan energi terbarukan untuk dapat
mensubstitusi minyak tersebut
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 93
Belum terintegrasikan kebijakan migas dengan kebijakan sektor lain dalam hal
perpajakan/ fiskal dan kewenangan antara pusat dan daerah
Belum terintegrasi kebijakan gas bumi antara kepentingan ekspor dan pemakaian
dalam negeri sehingga menyebabkan supply shortage terutam gas bumi
Belum adanya kepastian kebijakan yang disebabkan belum adanya perangkat
perundangan yang implementatif (PP) sebagai penjabaran UU Migas no. 22 tahun
2001. Masih terdapat perda-perda yang distortif terhadap upaya peningkatan
investasi dalam bidang migas
Belum adanya transparansi dalam proses tender, adanya ketidak jelasan merupakan
penghambat investasi.
B. Sektor Batubara
Dalam pemanfaatan batubara sebagai sumber energi nasional maupun sumber
devisa dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut:
Belum ada sinkronisasi kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemda
Otonom dalam pengelolaan sumber daya energi batubara. Pemerintah Pusat
berpendapat bahwa batubara adalah komoditi untuk energi nasional sedangkan
Pemerintah Daerah berpendapat bahwa batubara adalah komoditi sebagai
sumber pendapatan asli daerah.
Perubahan lingkungan strategis (perdagangan bebas, globalisasi, demokrasi,
reformasi, lingkungan, hak atas tanah tumpang tindih lahan, berbagai konflik di
daerah dan sebagainya) dapat mempengaruhi perkembangan batubara.
Tidak adanya kegiatan eksplorasi dan investasi baru pada 3-4 tahun terakhir ini
akan berdampak pada penyediaan batubara masa depan.
Pemanfaatan batubara domestik cenderung meningkat, sehingga dapat terjadi
tarik menarik antara kebutuhan dalam negeri dan kebutuhan ekspor, ditandai
dengan semakin mendekatinya kedua nilai
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 94
Selama ini pemanfaatan batubara untuk keperluan domestik atau ekspor hanya
mengandalkan batubara berkualitas baik. Tanpa pemanfaatan lignit, tarik
menarik antara kebutuhan dalam negeri dan kebutuhan ekspor akan terjadi pada
waktu yang lebih awal, yaitu sekitar tahun 2012
Kegiatan litbang yang terbatas dan penguasaan teknologi (eksplorasi sampai
pemanfaatan) yang belum memadai berpengaruh terhadap perkembangan
batubara.
Masalah lingkungan yang makin ketat terhadap berbagai kegiatan batubara mulai
dari eksplorasi tambang dan pemanfaatan (Kyoto Protocol, carbon tax dan
sebagainya) dapat mempengaruhi perkembangan batubara.
Perencanaan produksi batubara tidak terpolakan dengan baik sehingga terjadi
ketidakseimbangan supply dan demand yang berakibat harga batubara
berfluktuasi.
C. Sektor Energi Terbarukan
Potensi energi terbarukan sangat besar seperti, biomassa, panas bumi, energi
surya, energi air, energi angin, dan energi samudera. Namun, sampai saat ini
pemanfaatannya masih sangat kecil.
Harga energi terbarukan belum kompetitif dibandingkan dengan harga energi
fosil sebagai akibat penerapan kebijaksanaan harga energi tersebut selama ini.
Sebelum adanya kebijakan energi terbarukan sebagai acuan pengembangan
energi terbarukan di Indonesia untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan.
D. Sektor Kelistrikan
Kebutuhan tenaga listrik yang tidak dapat dipenuhi oleh PLN karena
keterbatasan dana untuk menambah kapasitas pembangkit tenaga listrik
didaerah sehingga banyak daerah di luar Jawa Bali mengalami pemadaman
bergilir
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 95
Belum terlistrikinya daerah terpencil. Pada akhir tahun 2002 rasio elektrifikasi
Indonesia masih rendah yaitu sekitar 60%.
Tarif dasar Listrik (TDL) yang sebagian masih subsidi, sehingga masih di bawah
nilai ekonomisnya.
Kurangnya infrastruktur transmisi dan distribusi ketenagalistrikan dan
terbatasnya kapasitas pembangkit listrik dikarenakan tidak ada investasi baru.
Pada tahun 2020 diperlukan penambahan kapasitas pembangkit sekitar
180.000 MW.
Mayoritas jenis pembangkit di daerah masih menggunakan PLTD dengan
bahan bakar HSD (solar) atau MFO/HFO sehingga biaya bahan bakar sangat
tinggi dan tidak ekonomis.
6.2 Rekomendasi Kebijakan Penyediaan Dan Pemanfaatan Energi Secara
Terintegrasi (Energy Mix)
Indonesia memiliki sumberdaya energi yang cukup beragam mulai dari energi fosil
batubara, migas, dan energi terbarukan dimana sebagian besar cadangan tersebut
berada di luar Jawa sedangkan konsentrasi konsumen berada di pulau Jawa.
Permasalahan lain adalah belum terintegrasinya kebijakan energi dalam pengembangan
energi nasional. Hal ini tercermin dari belum adanya kebijakan energi nasional yang
dapat mengintegrasikan semua sektor energi yang ada seperti minyak bumi, gas bumi,
batubara, dan energi terbarukan.
Dengan demikian Kebijakan Energi Mix perlu dikembangkan dengan tujuan sebagai
berikut :
- Menjamin ketersediaan dan berkelanjutan suplai energi nasional
- Menciptakan sinkronisasi kebijakan antara berbagai jenis energi
- Mengopimalkan nilai tambah energi
- Menurunkan ketergantungan pada energi fosil terutama minyak dan
meningkatkan penggunaan energi terbarukan.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 96
Salah satu alat untuk mengoptimalkan penyediaan energi adalah dengan teknik
optimisasi untuk meminimisasi biaya penyediaan energi ditinjau dari aspek
keekonomian. Berdasarkan hasil simulasi model energy mix yang berisikan gambaran
dinamis prospek pengembangan energi yang memenuhi kriteria pemanfaatan energi
yang effisien dan ramah lingkungan, maka dapat disusun rekomendasi kebijakan energy
mix dan pengembangan infrastruktur energi yang memperhatikan aspek sumber energi,
lokasi pusat konsumen energi dan aspek geografi, misalnya:
- memperhatikan fungsi produksi dari penggunaan energi (misal PDB) yang
optimal dari sehingga nilai tambah energi maksimal
- menjaga ketersediaan energi fosil dengan memanfaatkan energi alternatif yang
ketersediaannya cukup besar. Hal ini bisa dilakukan dengan mengatur Rasio
Cadangan/Produksi energi fosil pada tingkat tertentu sehingga keberadaannya
untuk generasi mendatang masih dipertimbangkan
- membuat kebijakan zona penggunaan energi yang mempertimbangkan aspek
lokasi keberadaan sumberdaya energi dan konsumen karena akan sangat terkait
dengan masalah infrastruktur transportasinya
Dengan mempergunakan piranti lunak simulasi dinamik yang telah dibuat kebijakan
sektor energi dapat mensimulasikan perilaku variabel-variabel di dalam model energy
mix dan skenario kebijakan di sepanjang waktu yang diamati. Berdasarkan hasil
optimasi dan simulasi dengan mempergunakan piranti lunak LEAP, maka dapat disusun
sebuah rekomendasi kebijakan energi mix sebagai berikut:
A. Rekomendasi Kebijakan Umum Energi
1. Menjamin ketersediaan energi domestik dalam jumlah dan mutu yang memenuhi
persyaratan penggunaannya sejalan dengan meningkatnya laju pembangunan
dan populasi.
2. Menciptakan energy mix yang optimal dan memenuhi aspek keekonomian dan
lingkungan, melalui peningkatan pangsa penggunaan gas dan batubara yang
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 97
cadangannya relatif banyak serta peningkatan pangsa energi terbarukan dengan
potensi yang melimpah dan ramah lingkungan.
3. Mempertahankan keragaman sumberdaya energi dengan mengendalikan rasio
cadangan terhadap produksi energi fosil
4. Melakukan optimasi, efisiensi dan efektivitas kegiatan eksploitasi sumber daya
energi khususnya sumber yang tak terbarukan di hulu dan melaksanakan
peningkatan efisiensi pemanfaatan dan penerapan manajemen energi serta audit
energi di hilir
5. Memujudkan kegiatan pengelolaan energi yang jelas, efektif, etis, transparan,
dan akuntabel serta memenuhi aspek pembangunan berkelanjutan.
6. Meningkatkan kesetaraan akses energi antar golongan pendapatan dan antar
daerah melalui pembentukan social safety net
7. Meningkatkan iklim investasi dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi energi,
pembangunan infrastruktur energi serta pemanfaatannya.
B. Rekomendasi Kebijakan Energi Sektoral
1. Rekomendasi Kebijakan Energi Sektor Minyak Bumi
Hulu
Meningkatkan investasi di sektor hulu minyak bumi melalui mekanisme
pemberian paket insentif untuk daerah frontier
Mengembangkan lapangan marjinal minyak bumi yang potensinya cukup besar
dengan pemberian insentif seperti perubahan pola bagi hasil atau menggunakan
pendekatan baru yang membedakan lapangan marginal dengan lapangan
ekonomis
Meningkatkan akses informasi potensi investasi industri hulu migas melalui
peningkatan kemampuan pusat informasi yang ada sehingga dapat menarik
investor
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 98
Meningkatkan cadangan minyak melalui peningkatan kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi minyak bumi yang intensif seperti kegiatan survey, dan pengenderaan
jarak jauh
Meningkatkan usaha penambahan perolehan minyak bumi, melalui penggunaan
teknologi maju untuk sumber minyak bumi non-konvensional (marginal dan
deepwater) dan pengembangan sumur tua dengan Enhanced Oil Recovery
(EOR) yang potensi cadangannya sangat besar
Mempertahankan penerapan DMO bagi badan usaha minyak untuk menjamin
keamanan pasokan minyak dalam negeri
Hilir
Menerapkan harga BBM sesuai dengan keekonomian yang mencerminkan biaya
transportasi untuk daerah yang berbeda dan ukuran pasar BBM dan
penghapusan subsidi BBM secara bertahap
Pemerintah menjamin terciptanya iklim persaingan usaha migas yang sehat dan
wajar serta tidak merugikan pengusaha kecil (ritel) .
Mengembangkan infrastruktur kilang minyak dan penyimpanan BBM yang
memadai
Menghapuskan produksi bensin bertimbal dan meningkatkan produksi BBM
kualitas tinggi (sulfur rendah dan oktan tinggi) untuk menunjang regulasi
lingkungan hidup. Untuk meningkatkan kualitas BBM premium dari leaded
menjadi unleaded dibutuhkan biaya sekitar 1-2 cents/liter
Melakukan pengelolaan lingkungan hidup dan pengolahan limbah kegiatan migas
mulai dari kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan sampai niaga
seoptimal mungkin sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Mengembangkan dan meningkatkan penggunaan teknologi hemat energi dan
teknologi bersih dan memberikan “reward” kepada pengguna energi yang dapat
membuktikan penurunan pemakaian energi yang signifikan.
Meningkatkan kelembagaan Badan Pengatur Hulu Migas (BPH) dan perangkat
peraturan Migas Hilir sebagai penunjang pelaksanaan UU Migas No 22, tahun
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 99
2001, sebagai antisifasi pengalihan kewenangan dari Pertamina ke BPH dalam
penyedian dan distribusi BBM nasional mulai November 2005.
Meningkatkan peran pusat informasi energi terutama untuk koleksi, pengolahan
dan publik data, dan pengembangan perangkat analisis dan model energi yang
dapat merepleksikan perubahan yang terjadi pada industri gas dan pasar
2. Rekomendasi Kebijakan Energi Sektor Gas Bumi
Hulu
Stimulasi investasi di sektor hulu gas bumi melalui mekanisme pemberian paket
insentif untuk pengembagan daerah non-konvensional
Mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri
sehingga multiplier effect ada di dalam negeri
Comunity development melalui UKM, Pendidikan, Kesehatan, Keagamaan
Mereduksi flare gas melalui peningkatan pemanfaatan gas disekitar lokasi flare
seperti untuk industri kecil dan rumah tangga
Meningkatkan dan mengembangkan teknologi upgrading gas yang mengandung
inpurities tinggi seperti air, nitrogen, CO2, sulfur terutama untuk sumur-sumur
gas yang mengandung inpurities tinggi
Mendorong pemanfaatan lapangan gas yang lebih variatif selain LNG seperti Gas
to liquid dan CNG, produk petrokimia dan Gas by Wire
Menerapkan domestic market obligation untuk menjamin ketersediaan pasokan
gas dalam negeri, apabila ada kendala dalam penyaluran gas, sebaiknya gas
tersebut dialihkan untuk peningkatan infrastruktur gas bumi
Hilir
Penerapan harga gas bumi disesuaikan dengan harga keekonomiannya
Melakukan restrukturisasi tata niaga BBG dan LPG sehingga mampu
meningkatkan pemakaian gas dalam negeri
Menciptakan kondisi minimun terciptanya bisnis BBG dan LPG yang lebih
kompetitif yaitu
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 100
- beberapa pelaku harus ready to operate tergantung dari ukuran pasar
- hubungan dengan perusahaan swasta harus ditangani secara serius oleh
pemerintah dimana kualitas pelaku diukur dengan kapasitas finansial dan
teknisnya
Meningkatkan pemanfaatan BBG sebagai bahan bakar bersih sektor transportasi,
industri, listrik dan rumah tangga
Mengembangkan pemanfaatan gas flare melalui teknologi utilisasi gas bumi
Mengembangkan teknologi penyimpanan dan pengisian BBM, sel bahan bakar
dan mobil hibrid
Meningkatkan fungsi kelembagaan BPH sebagai badan regulator yang
independen dan transparan dan bersifat non diskriminasi serta dapat menjamin
level playing field dari badan usaha gas bumi
3. Rekomendasi Kebijakan Energi Sektor Batubara
Sektor Hulu
Pemerintah Pusat dan Daerah menyediakan fasilitas pendukung seperti
peraturan, perizinan dan sebagainya, untuk menjamin tersedianya batubara
domestik dalam jumlah dan mutu yang memenuhi persyaratan industri.
Pemerintah Pusat dan Daerah membantu menjamin ketersediaan batubara untuk
ekspor setelah kebutuhan untuk domestik terjamin.
Meningkatkan eksplorasi dan evaluasi cadangan batubara untuk mengembangkan
status potensi sumberdaya menjadi cadangan terbukti sehingga nilai
keekonomian batubara secara nasional dapat diketahui baik untuk tambang
dalam maupun tambang terbuka
Meningkatkan produksi batubara nasional secara terencana sesuai program
pemerintah, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor berdasarkan
kaidah penambangan berwawasan lingkungan dan konservasi
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 101
Sektor Hilir
Memanfaatkan batubara untuk berbagai penggunaan baik sebagai bahan bakar
maupun bahan baku industri disesuaikan dengan kualitas batubara dan keperluan
nasional
Penetapan harga dasar batubara yang menunjang pengembangan industri
berbasis batubara yang efisien dan kompetitif
Pengukuran dan pengendalian emisi udara yang dihasilkan oleh industri hilir
berbasis batubara
Aplikasi teknologi coal Up-grading untuk mendorong pemanfaatan batubara
muda dalam sektor ketenaga listrikkan
4. Rekomendasi Kebijakan Energi Sektor Energi Baru dan Terbarukan
Meningkatkan pemanfaatan panas bumi dan tenaga air untuk pembangkitan
tenaga listrik skala besar
Meningkatkan pemanfaatan energi surya, angin dan biomassa untuk
pemanfaatan langsung sebagai pembangkit listrik rumah tangga, pemanas dan
pengering industri kecil.
Menyusun kebijakan insentif berupa insentif pajak untuk meningkatan
pemanfaatan dan fabrikasi domestik peralatan energi terbarukan
Menetapkan harga energi fosil sesuai dengan keekonomiannya, sehingga harga
energi terbarukan dapat lebih kompetitif
5. Rekomendasi Kebijakan Ketenagalistrikan
Penanggulangan krisis penyediaan tenaga listrik di berbagai daerah
Pemberian daya tarik untuk berinvestasi melalui kebijakan tarif dan insentifnya.
Rasionalisasi tarif dasar listrik (TDL) sampai mencapai nilai keekonomiaannya.
Rasionalisasi harga jual listrik swasta kepada PLN
Pemberian insentif untuk perusahaan tenaga listrik yang menggunakan teknologi
bersih dan ramah lingkungan
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 102
Peningkatan standar lingkungan untuk pembangkit listrik
Meningkatkan penggunaan sumber energi terbarukan
Memanfaatkan sumber energi setempat untuk daerah perdesaan dan terpencil
C. Rekomendasi Kebijakan Pengembangan Infrastruktur Energi Nasional
Isu penting disini adalah bagaimana bisa mengembangkan infrastruktur energi
yang handal sehingga akses masyarakat untuk menggunakan energi mudah dengan
harga yang terjangkau. Infrastruktur energi dimaksud meliputi unit konversi energi
seperti pembangkit listrik, kilang minyak dan gas, sarana tranportasi minyak mentah,
BBM, gas, LNG, LPG, batubara, dan listrik serta sarana penyimpanan BBM, gas dan
batubara. Ketersediaan infrastruktur merupakan kunci penting bagi pertumbuhan
ekonomi nasional seperti yang diperlihatkan pada gambar berikut.
Gambar Pertumbuhan, infrastruktur dan investasi (BAPPENAS)
Faktor infrastruktur fisik, yaitu berbagai instalasi dan kemudahan dasar (terutama
sistem transportasi, komunikasi dan listrik) yang sangat diperlukan oleh masyarakat
dalam melakukan aktivitas perdagangan dan kelancaran pergerakan orang, barang dan
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 103
jasa dari suatu daerah ke daerah atau negara lain dalam proses kegiatan usaha,
merupakan syarat penting bagi hadirnya investasi. Dalam hal ini infrastruktur dapat
dilihat dari dua hal, yaitu tingkat ketersediaannya dan tingkat kualitasnya.
Secara umum, 5 tahun terakhir, tingkat ketersediaan infrastruktur di berbagai
daerah di Indonesia tidak bertambah. Bahkan, infrastruktur yang ada, kualitasnya
berkurang atau bahkan telah hilang. Hal ini mengurangi tingkat akses masyarakat dan
dunia usaha, dan tentu saja sangat besar pengaruhnya terhadap masuknya investasi.
Gambaran umum keadaan infrastruktur di Indonesia secara umum belum
memadahi untuk mendukung pertumbuhan perekonomian nasional, begitu pula halnya
dengan sistem infrastruktur energi di Indonesia sebagai berikut:
Kapasitas kilang minyak masih belum bisa mencukupi permintaan BBM dalam
negeri disamping itu terjasi kedala dalam kapasitas stok penyimpanan BBM,
seperti tangki timbun dan besarnya impor BBM
Kapasitas pembangkit listrik belum memadahi demikian juga jaringan transmisi
dan distribusi terutama di luar Jawa sehingga masih sering terjadi pemadaman
listrik
Keterbatasan atau belum adanya infrakstruktur gas bumi terutama jaringan
transmisi dan distribusi dan LNG regasifikasi sehingga masih terjadi supply
shortage bagi konsumen dalam negeri seperti industri pupuk dan listrik
Keterbatasan kapasitas angkut batubara lewat rel seperti kasus di Sumatera dan
sungai di Kalimantan
Rekomendasi Kebijakan Infrastruktur Energi
Berdasarkan hasil optimasi dan simulasi dengan mempergunakan LEAP, maka
dapat disusun sebuah rekomendasi kebijakan bagi pengembangan infrastruktur untuk
pemanfaatan energi yang efisien dan dalam rangka mendukung sektor yang lainnya
seperti transportasi dan industri.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 104
Membuat kebijakan infrastruktur energi nasional yang terintegrasi
Membuat rencana induk pengembangan jaringan pipa gas nasional yang bersifat
open access dan mengembangkan jaringan pipa gas ASEAN bersama dengan
negara-negara terkait.
Mengembangkan terminal regasifikasi LNG dan pengangkutan dengan sistem
CNG
Membuka peluang investasi pembangunan kilang baru, dan penyimpanan BBM
melalui skema insentif baru berupa keringanan pajak/ fiskal dan serta kebijakan
harga energi yang mencerminkan nilai keekonomiannya
Pembuatan peraturan yang lebih teknis untuk mengatur investasi di sektor
infrastruktur energi
Meningkatkan sistem jaringan transportasi kereta api batubara di Sumatera
menjadi jalur rel ganda dan membangun sistem jaringan rel kereta api baru di
Kalimantan bagian Timur dan Selatan untuk mendukung peningkatan produksi
batubara.
Meningkatkan kapasitas dan membangun pelabuhan batubara baru di Sumatera
dan Kalimantan untuk mendukung peningkatan produksi batubara.
Meningkatkan pembangkitan tenaga listrik yang menggunakan gas bumi baik
yang disalurkan melalui jaringan pipa gas bumi maupun terminal regasifikasi
LNG.
Meningkatkan pembangkitan tenaga listrik yang memanfaatkan potensi energi
lokal, seperti batubara rangking rendah dengan PLTU mulut tambang,
pemanfaatan mini dan mikrohidro, pembangkit listrik tenaga surya dan angin,
khususnya untuk daerah yang belum terjangkau jaringan listrik.
Pemberian prioritas kepada investasi pembangkit yang ramah lingkungan dan
memberikan konstribusi maksimal kepada kepentingan negara.
Meningkatkan pemanfaatan teknologi Co-genenerasi, Combined-cycle, Integrated
Gasification Combined-cycle dan Fuel Cell.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 105
C. Rekomendasi Kebijakan Pengembangan Infrastruktur Energi Regional
Untuk memperlihatkan aspek regional, maka dilakukan pengelompokan ke dalam
region / pulau besar yaitu : Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua serta
lainnya. Perilaku pertumbuhan populasi dan PDB regional untuk kasus dasar.
Berdasarkan kedua gambar ini tampak bahwa pertumbuhan populasi dan PDB hingga
tahun 2020 di Jawa dan Bali masih mendominasi terhadap region yang lain.
Berdasarkan semangat percepatan pembangunan di luar Jawa atau Kawasan
Timur Indonesia, maka perlu kebijakan pengembangan infrastruktur energi yang tidak
hanya semata-mata didorong oleh kebutuhan energi regional. Kebijakan energi yang
dibutuhkan adalah kebijakan pengembangan dan penambahan infrastruktur energi yang
menciptakan aktivitas (bukan kebijakan yang (Business as Usual). Seperti pengalaman
pertumbuhan kawasan baru di perkotaan, penciptaan sentra-sentra pertumbuhan
ekonomi akan menggerakkan perpindahan populasi yang pada akhirnya mendorong
pertumbuhan PDB. Dengan demikian maka tersedia infrastruktur energi merupakan
prasyarat bagi tumbuhnya ekonomi regional yang akan mendorong pertumbuhan
sektor-sektor kemasyarakatan lainnya. Penyediaan infrastruktur energi juga perlu
diarahkan untuk sebesar-besarnya memanfaatkan ketersediaan sumberdaya energi di
regional masing-masing. Kebijakan pembangunan jaringan rel kereta batubara di
Kalimantan, misalnya, selain akan mendorong pertumbuhan produksi batubara, juga
akan membuka akses yang lebih besar bagi pertumbuhan sektor perekonomian lainnya.
Pendekatan secara teknis biasanya dengan menggunakan pendekatan skenario bahwa
pertumbuhan PDB daerah luar Jawa harus lebih tinggi dibanding pulau Jawa sehingga
share penggunaan energi regioanal akan bergeser Jawa mengalami penurunan dan luar
Jawa akan mengalami peningkaan sehingga pertumbuhan infrastruktur di luar Jawa
juga akan meningkat.
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 106
Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan
Sulawesi, Papua dan
lainnya Infrastruktur Energi
2003-10 2010-20 2003-10 2010-20 2003-10 2010-20 2003-10 2010-20
Minyak
Kilang minyak (MBSD)
Depot minyak (MMB)
Pipa minyak (km)
150
3.1
-
300
9.8
-
450
8.8
2340
300
27.9
825
-
1.2
-
150
3.9
-
-
3.0
-
450
7.3
-
Gas
Kilang LNG (Jt
Ton/Thn)
Pipa Gas (km)
LNG Rcving Term.
(BCF)
-
852
270
-
-
-
-
-
864
864
7.5
200
7.5
Batubara
Pelabuhan BB: 9.5 20 21 15
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 107
Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan
Sulawesi, Papua dan
lainnya Infrastruktur Energi
2003-10 2010-20 2003-10 2010-20 2003-10 2010-20 2003-10 2010-20
(juta ton / thn)
Rel Kereta (km) : 220 720 405 835
Listrik
Pembangkit Total
(MW):
Pembangkit Listrik
Panas Bumi (MW) :
Transmisi listrik (km) :
5200
20
3834
4100
270
2803
35600
785
26502
28600
1615
19381
1100
-
795
900
-
582
1900
70
1447
1600
150
1058
Tabe Skenario Biaya Investasi Penambahan Infrastruktur Energi Regional (juta USD)
Infrastruktur Energi Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan Sulawesi, Papua dan
lainnya
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 108
2003-
10 2010-20 2003-10 2010-20 2003-10 2010-20 2003-10 2010-20
Minyak
Kilang minyak
Depot minyak
Pipa minyak
2200
40
-
4400
127
-
6600
114
715
4400
362
202
-
16
-
2200
51
-
-
39
-
6600
95
-
Gas
Kilang LNG
Pipa Gas
LNG Receiving Terminal
-
770
400
-
-
-
-
1535
-
-
-
-
-
1135
-
-
-
-
2600
80
-
2600
-
-
Batubara
Pelabuhan BB: 8 14 - - 36 26 - -
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 109
Rel Kereta : 105.6 345.6 - - 324 668 - -
Ik
Pembangkit Total :
Pembangkit Listrik
Panas Bumi :
Transmisi listrik :
3572
50
714
2612
515.7
522
24695
1500
4939
18060
3085
3612
741
-
148
542
-
107
1348
130
270
986
265
197
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 110
LAMPIRAN:
SIMULASI LEAP
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 111
Gambar 1
1
Simulasi dengan LEAP
Direktorat Energi, Telekomunikasidan Informatika
Bappenas
Leap lisensi untuk Bappenas (National Development Planning Agency )
Gambar 2
2
Asumsi
• Pertumbuhan ekonomi 6,6 %• Elastisitas 1,2
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 112
Gambar 3
3
Gambar 4
4
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 113
Gambar 5
5
Gambar 6
6
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 114
Gambar 7
7
Gambar 8
8
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 115
Gambar 9
9
Gambar 10
10
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 116
Gambar 11
11
Gambar 12
12
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 117
Gambar 13
13
Gambar 14
14
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 118
Gambar 15
15
Gambar 16
16
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 119
Gambar 17
17
Gambar 18
18
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 120
Gambar 19
19
Gambar 20
20
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 121
Gambar 21
21
Gambar 22
22
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 122
Gambar 23
23
Gambar 24
24
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 123
Gambar 25
25
Gambar 26
26
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 124
Gambar 27
27
Gambar 28
28
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 125
Gambar 29
29
Gambar 30
30
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 126
Gambar 31
31
Gambar 32
32
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 127
Gambar 33
33
Gambar 34
34
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 128
Gambar 35
35
Gambar 36
36
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 129
Gambar 37
37
Gambar 38
38
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 130
Gambar 39
39
Gambar 40
40
Evaluasi Perencanaan Infrastruktur Energi Untuk Menunjang Peningkatan Efisiensi dan Jaminan Pasokan Laporan Akhir
Direktorat Energi Telekomunikasi dan Informatika Bappenas 131
Gambar 41
41
This document was created with Win2PDF available at http://www.win2pdf.com.The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.This page will not be added after purchasing Win2PDF.
top related