konsep teori pengertian cidera kepala merupakan...
Post on 01-Feb-2018
246 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
BAB II
KONSEP TEORI
A. Pengertian
Cidera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung
atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan kepala atau
otak (Borley & Grace, 2006).
Cidera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat
adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun
efek sekunder dari trauma yang terjadi (pierce, 1995).
Cidera kepala merupakan trauma yang terjadi pada otak yang
disebabkan kekuatan atau tenaga dari luar yang menimbulkan berkurang
atau berubahnya kesedaran, kemampuan kognitf, kemampuan fisik,
perilaku, ataupun kemampuan emosi (Ignatavicius, 2009).
Jadi kesimpulannya cidera kepala adalah trauma yang mengenai
otak yang terjadi secara langsung atau tidak langsung atau efek sekunder
yang menyebabkan atau berpengaruh berubahnya fungsi neurologis,
kesadaran, kognitif, perilaku, dan emosi.
Menurut mansjoer (2000) cidera kepala tersebut dibedakan menjadi
ringan, sedang, berat. Adapun kriteria dari masing-masing tersebut adalah
1. Cidera kepala ringan (CKR)
Tanda-tandanya adalah: a). Skor glasgow coma scale 15 (sadar
penuh, atentif, dan orientatif); b). Tidak ada kehilangan kesadaran
7
(misalnya konkusi); c). Tidak adanya intoksikasi alkohol atau obat
terlarang; d). Pasien dapat mengeluh sakit dan pusing; e). Pasien dapat
menderita laserasi, abrasi, atau hematoma kulit kepala.
2. Cidera kepala sedang (CKS)
Tanda-tandanya adalah a). Skor glasgow coma scale 9-14
(konfusi, letargi, atau stupor); b). Konkusi; c). Amnesia pasca trauma;
d). Muntah; e). Kejang
3. Cidera kepala berat (CKB)
Tanda-tandanya adalah a). Skor glasgow coma scale 3-8 (koma);
b). Penurunan derajat kesadaran secara progresif; c). Tanda neurologis
fokal; d). Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.
B. Anatomi Fisiologi
Otak merupakan salah satu organ yang teksturnya lembut dan
berada dalam kepala. Otak dilindungi oleh rambut, kulit, dan tulang.
Adapun pelindung otak yang lain adalah lapisan meningen, lapisan ini
yang membungkus semua bagian otak. , Lapisan ini terdiri dari duramater,
araknoid, piamater.
8
Gambar 1. Tengkorak (Sumber: Lutjen drecoll, 2001).
1. Tengkorak
Tengkorak merupakan kerangka kepala yang disusun menjadi
dua bagian kranium yang terdiri dari tulang oksipital, parietal, frontal,
temporal, etmoid dan kerangka wajah terdiri dari tulang hidung,
palatum, lakrimal, zigotikum, vomer, turbinatum, maksila, mandibula.
Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang dikenal
sebagai kubah tengkorak, yang licin pada permukaan luar dan pada
permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat
sesuai dengan otak dan pembuluh darah.
Permukaan bawah rongga dikenal dengan dasar tengkorak
permukaan ini dilalui banyak lubang supaya dapat dilalui serabut saraf
dan pembuluh darah (Pearce, 2009).
Tl. frontal
Tl. Maksila
Tl. Mandibula
Tl. zygomatikum
Tl. Palatum
Tl. Etmoidal
Tl. parietal
Tl. Oksipital Tl. Lakrimal
Tl. Nasal
9
1. Meningen
Gambar 2. Lapisan otak (Sumber: Lutjen drecoll, 2001).
Pelindung lain yang melapisi otak adalah meningen, ada tiga
lapisan meningen yaitu duramater, araknoid, dan piamater,
masing-masing memiliki struktur dan fungsi yang berbeda
a) Duramater
Duramater adalah membran luar yang liat semi elastis.
Duramater melekat erat dengan pemukaan dalam tengkorak.
Duramater memiliki suplai darah yang kaya. Bagian tengah dan
posterior disuplai oleh arteria meningea media yang bercabang
dari arteria karotis dan menyuplai fosa anterior. Duramater
berfungsi untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena dan
membentuk poriosteum tabula interna.
10
Diantara duramater dan araknoid terdapat ruang yang
disebut subdural yang merupakan ruang potensial terjadi
perdarahan, pada perdarahan diruang subdural dapat menyebar
bebas , dan hanya terbatas oleh sawar falks serebri dan tentorium.
Vena yang melewati otak yang melewati ruang ini hanya
mempunyai sedikit jaringan penyokong oleh karena mudah terjadi
cidera dan robek yang menendakan adanya trauma kepala.
b) Araknoid
Araknoid terletak tepat dibawah duramater, lapisan ini
merupakan lapisan avaskuler, mendapat nutrisi dari cairan
cerbrospinal, diantara araknoid dan piamater terdapat ruang
subaraknoid. Ruangan ini melebar dan mendalam pada tempat
tertentu, dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal.
Araknoid membentuk tonjolan vilus.
c) Piamater
Piamater adalah suatu membran halus yang sangat kaya
akan pembuluh darah halus, piamater merupakan satu-satunya
lapisan meningen yang masuk ke dalam suklus dan membungkus
semua girus(kedua lapisan yang hanya menjembatani suklus).
Pada beberapa fisura dan suklus di sisi hemisfer, piamater
membentuk sawar antara ventrikel dan suklus atau fisura. Sawar
ini merupakan struktur penyokong dari pleksus koroideus pada
setiap ventrikel (price, 1995).
11
2. Otak
Menurut Pearce (2009) Otak merupakan organ tubuh yang
paling penting karena merupakan pusat dari semua organ tubuh,
otak terletak didalam rongga tengkorak (kranium) dan dibungkus
oleh selaput otak (meningen) yang kuat.
Gambar 3. Otak (Sumber: Lutjen drecoll, 2001).
a) Cerebrum
Cerebrum atau otak besar merupakan bagian yang terluas dan
terbesar dari otak, berbentuk telur terbagi menjadi dua
hemisperium yaitu kanan dan kiri dan tiap hemisperium dibagi
menajdi empat lobus yaitu lobus frontalis, parietalis,
temporalis dan oksipitalis. Dan bagian tersebut mengisi penuh
bagian depan atas rongga tengkorak.
cerebellum
Lobus perietalis
Lobus frontalis
Lobus temporalis
Lobus oksipitalis
Batang otak
12
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada bagian korteks cerebri dari bagian
depan suklus sentralis dan di dasar suklus lateralis. Pada
bagian ini memiliki area motorik dan pramotorik. Lobus
frontalis bertanggung jawab untuk perilaku bertujuan,
penentuan keputusan moral, dan pemikiran yang kompleks.
Lobus frontalis memodifikasi dorongan emosional yang
dihasilkan oleh sistem limbik dan reflek vegetatif dari
batang otak.
2) Lobus parietalis
Lobus Parietalis adalah bagian korteks yang gterletak di
belakang suklus sentralis, diatas fisura lateralis dan meluas
belakang ke fisura parieto-oksipitalis. Lobus ini merupakan
area sensorik primer otak untuk sensasi raba dan
pendengaran.
3) Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis teletak disebelah posterior dari lobus
parietalis dan diatas fisura parieto-oksipitalis, yang
memisahkan dari serebelum. Lobus ini merupakan pusat
asosiasi visual utama yang diterima dari retina mata
4) Lobus Temporalis
13
Lobus Temporalis mencakup bagian korteks serebrum.
Lobus temporalis merupakan asosiasi primer untuk
audiotorik dan bau.
b) Cerebelum
Cerebelum atau otak kecil merupakan bagian terbesar dari
otak belakang. Cerebelum menempati fosa kranialis posterior
dan diatapi tentorium cerebri yang merupakan lipatan
duramater yang memisahkan dari lobus oksipitalis serebri.
Bentuknya oval, bagian yang mengecil pada sentral disebut
vermis dan bagian yang melebar pada bagian lateral disebut
hemisfer. Cerebelum berhubungan dengan batang otak melalui
pedunkulus cerebri inferior (corpus retiform). Permukaan luar
cerebelum berlipat-lipat seperti cerebrum tetapi lebih lipatanya
lebih kecil dan lebih teratur. Permukaan cerebelum ini
mengandung zat kelabu.
Korteks cerebelum dibentuk oleh substansia grisea, terdiri dari
tiga lapisan yaitu granular luar, lapisan purkinye, lapisan
granular dalam. Serabut saraf yang masuk dan yang keluar dari
cerbrum harus melewati cerebelum.
c) Batang otak
Batang otak terdiri dari otak tengah (diensfalon)pons varoli
dan medula oblongata. Otak tengah merupakan merupakan
bagian atas batang otak akuaduktus cerebriyang
14
menghubungkan ventrikel ketiga dan keempat melintasi
melalui otak tengah ini.
Otak tengah mengandung pusat-pusat yang mengendalikan
keseimbangan dan gerakan-gerakan bola mata.
3. Saraf kranial
Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan pada saraf kranial jika
mengenai batang otak karena edema otak atau perdarahan pada
otak. Macam saraf kranial antara lain
a) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Berfunsi sebagai saraf pembau yang keluar dari otak dibawa
oleh dahi, membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari
rongga hidung ke otak;
b) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke
otak;
c) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola
mata) menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk
melayani otot siliaris dan otot iris;
d) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf ini berfunsi
sebagai pemutar mata yang pusatnya terletak dibelakang pusat
saraf penggerak mata;
15
e) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga
buah cabang. Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini
merupakan saraf otak besar, sarafnya yaitu
1) Nervus oftalmikus sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala
bagian depan kelopak mata atas, selaput lendir kelopak
mata dan bola mata;
2) Nervus maksilaris sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas,
bibir atas, palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus
maksilaris;
3) Nervus mandibula sifatnya majemuk (sensori dan motoris)
mensarafi otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya
mensarafi gigi bawah, kulit daerah temporal dan dagu.
f) Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai
saraf penggoyang sisi mata;
g) Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut
motorisnya mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga
mulut. Di dalam saraf ini terdapat serabut-serabut saraf otonom
(parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala fungsinya sebagai
mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap;
16
h) Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa
rangsangan dari pendengaran dan dari telinga ke otak.
Fungsinya sebagai saraf pendengar;
i) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil
dan lidah, saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke
otak.
j) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-
saraf motorik, sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-
paru, esofagus, gaster intestinum minor, kelenjar-kelenjar
pencernaan dalam abdomen. Fungsinya sebagai saraf perasa;
k) Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI),
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus
trapezium, fungsinya sebagai saraf tambahan;
l) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah.
Saraf ini terdapat di dalam sumsum penyambung (Smeltzer,
2001).
17
C. Etiologi
Menurut Borley & Grace (2006) cidera kepala dapat disebabkan
karena beberapa hal diantaranya adalah
1. Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup
injury) atau pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak
bergerak dalam tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan
(contrecoup injury) (hudak & gallo, 1996);
2. Rotasi / deselerasi
Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak
yang menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada
sayap dari tulang sfenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan
trauma robekan di dalam substansi putih otak dan batang otak,
menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan
intraserebral;
3. Tabrakan
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat
(terutama pada anak-anak yang elastis);
4. Peluru
Cenderung menimbulkan hilangnya jaringan seiring dengan
trauma. Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi.
Terngkorak yang secara otomatis akan menekan otak;
18
5. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak
misalnya kecelakaan, dipukul dan terjatuh;
6. Trauma saat lahir misalnya sewaktu lahir dibantu dengan forcep
atau vacum;
7. Efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak;
8. Efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.
D. Patofisiologi
Cidera kepala terjadi karena trauma tajam atau tumpul seperti
terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang dapat mengenai
kepala dan otak sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan pada funsi
otak dan seluruh sistem dalam tubuh. Bila trauma mengenai ekstra kranial
akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala dan pembuluh
darah sehingga terjadi perdarahan. Apabila perdarahan yang terjadi terus–
menerus dapat menyebabkan terganggunya aliran darah sehingga terjadi
hipoksia. Akibat hipoksia ini otak mengalami edema serebri dan
peningkatan volume darah di otak sehingga tekanan intra kranial akan
meningkat. Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan
menyebabkan fraktur yang dapat menyebabkan desakan pada otak dan
perdarahan pada otak, kondisi ini dapat menyebabkan cidera intra kranial
sehingga dapat meningkatkan tekanan intra kranial, dampak peningkatan
tekanan intra kranial antaralain terjadi kerusakan jaringan otak bahkan
bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang
19
mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Borley & Grace,
2006)
E. Manifestasi Klinik
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak.
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap
setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah
tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu
atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan
kebinggungan atau hahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan
pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo
dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan
sesudah terjadinya penurunan kesehatan.
20
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.
F. Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer (2001) penatalaksanaan pada klien dengan cidera kepala
antara lain.
a. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
c. Pemberian analgetik.
d. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol
20%, glukosa 40% atau gliserol.
e. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole.
f. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18
jam pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian
diberikan makanan lunak.
g. Pembedahan.
21
G. Komplikasi
Cidera kepala yang tidak teratasi dengan segera atau tidak optimal dalam
terapi maka dapat menyebabkan beberapa komplikasi yaitu
1. Edema paru
Edema paru terjadi akibat refleks chusing yang disebabkan
peningaktan tekanan intra kranial yang berakibat terjadinya
peningkatan respon simpatis. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara
umum akan lebih banyak darah yang dialirkan ke paru. Perubahan
permeabilitas pembuluh darah paru berperan dalam berpindahnya
cairan ke aleolus. Kerusakan difusi oksigen dan karbondioksida dari
darah akan menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial lebih
lanjut;
2. Kebocoran cairan serebrospinal
Hal ini dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen yang terjadi
pada 2-6% pasien dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini
berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari. Drainase
lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien memiliki
resiko meningitis yang meningkat (biasanya pneumokok). Otorea atau
rinorea cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis yang
berulang merupakan indikasi operasi reparatif (Rosjidi & Nurhidayat,
2007).
22
3. Fistel karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala yaitu eksolftamos, kemosis, dan bruit orbita,
dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cidera.
4. Diabetes insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,
menyebabkan penghentian sekresi hormon anti diuretik. Pasien
mensekresikan sejumlah volume urine yang encer, menimbulkan
hipernatremia dan depresi volume (Mansjoer, 2000).
5. Perdarahan intra kranial
a. Hematoma epidural
Hemtoma epidural merupakan suatu akibat serius dari cedera
kepala. Hematoma epidural paling sering terjadi pada daerah
peritotemporal akibat robekan arterio meningea media. Pengobatan
secara dini dapat mengurangi defisit neurologik.
b. Hematoma subdural
Hematoma epidural pada umumnya berasal dari arteria, hematoma
subdural berasal dari vena yang ruptur yang terjadi di ruang
subdural. Hematoma subduraldibedakan menjadi akut dan kronik
1) Subduralis haematoma akut
Kejadian akut hematoma di antara durameter dan korteks,
dimana pembuluh darah kecil sinus vena pecah atau terjadi
perdarahan atau jembatan vena bagian atas pada interval yang
akibat tekanan lalu terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan
23
cepat, karena tekanan jaringan otak sehingga darah cepat
tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan
korteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda
meningginya tekanan dalam jaringan otak). Pada kejadian akut
hematoma, lucidum intervalum akan terasa setelah beberapa jam
sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda neurologis-klinis di sini
jarang memberi gejala epileptiform pada perdarahan dasar
duramater. Akut hematoma subduralis pada trauma kapitis dapat
juga terjadi tanpa Fraktur kranii, namun pembuluh darah arteri
dan vena di korteks terluka. Pasien segera pingsan/ koma. Jadi,
di sini tidak ada "free interval time". Kadang-kadang pembuluh
darah besar seperti arteri dan sinus dapat juga terluka. Dalam
kasus ini sering dijumpai kombinasi dengan intracerebral
haematoma sehingga mortalitas subdural haematoma akut
sangat tinggi
2) Hematoma subdural kronik
Hematoma subdural kronik seringkali disebut “peniru” karena
tanda dan gejalanya tidak spesifik, tidak terokalisasi, dan dapat
disebabkan oleh penyakit lain. Beberapa penderita mengeluh
sakit kepala. Tanda dan gejala yang lain khas adalah perubahan
progresif dalam tingkat kesadarantermasuk apati, letargi, dan
berkurangnya perhatian, menurunnya kemampuan untuk
menggunakan kecakapan kognitif lebih tinggi.
24
c. Subrachnoidalis Hematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak,
yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling
sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada
permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna Ini
sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Gambaran klinik
tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit tetapi terjadi gangguan
ingatan karena timbulnya gangguan meningeal. Akut Intracerebralis
Hematoma terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan
subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri
pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput
otak menjadi pecah pula karena tekanan pada durameter bagian bawah
melebar sehingga terjadilah "subduralis haematoma", disertai gejala
kliniknya (Borley & Grace, 2006)
6. Gangguan Intestinal
Pada cedera kepala berat, akan terjadi erosi, pembentukan ulkus
dan perdarahan saluran cerna. Penderita cedera kepala akan
mengalami peningkatan rangsang simpatik yang mengakibatkan
gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi
pada lambung. (Iskandar, 2004).
25
H. Pengkajian Dan Pemeriksaan Penunjang
1. Pengakajian
a. Dasar data pengkajian pasien
Pengkajian data dasar meliputi tipe, lokasi, keparahan cedera dan
mungkin dipersulit oleh cedera tambahan pada organ vital
b. Aktivitas / istirahat
Gejala: merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan
Tanda: perubahan kesadaran, letargi, hemiparesis, ataksia cara
berjalan tak tegap, masalah dalam kesimbangan, cedera (trauma)
ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik
c. Sirkulasi
Gejala: perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi).
Perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi
bradikardi, disritmia)
d. Integritas Ego
Gejala: perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau
dramatis)
Tanda: cemas, mudah tersinggung, derilium, agitasi, bingung,
depresi, impulsif
e. Eliminasi
Gejala: inkontinensia kandung kemih/ usus atau mengalami
gangguan fungsi makanan/ cairan
26
f. Nutrisi
Gejala: mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
Tanda: muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air
liur keluar, disfagia)
g. Neurosensori
Gejala: kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitius, kehilangan pendengaran, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, Fotopobia.
Tanda: perubahan kesadaran dari biasa sampai koma, perubahan
status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku, memori).
Perubahan pupil(respon terhadap cahaya, simetri). Deviasi pada
mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan
seperti penciuman, pengcapan dan pendengaran, wajah tidak
simetris, genggaman lemah, apraksia, sangat sensitif terhadap
sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian anggota tubuh,
kesulitan dalam menentukan posisi
h. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala: sakit kepala dengan intensitas, lokasi yang berbeda,
biasanya lama
Tanda: wajah menyeringai, respon menarik pada rangsang nyeri
yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih
27
i. Pernapasan
Gejala: perubahan pola napas(apnea yang diselingi hiperventilasi),
napas berbunyi, stridor, tersedak, ronchi, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi)
j. Keamanan
Gejala: trauma baru/ trauma karena kecelakaan.
Tanda: fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, kulit laserasi,
perubahan warna seperti racoon eye, tanda bale disekitar telinga,
demam , gangguan regulasi suhu tubuh.
k. Interaksi sosial
Tanda: afasia motorik/sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang.
(Doengoes, 1999).
2. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan untuk cidera kepala menurut Rosjidi & Nurhidayat
(2007) yaitu
1. MRI dan CT Scan untuk mengidentifikasi adanya hematoma
epidural, menentukan ukuran intra ventrikuler, kontusio
danperdarahan jaringan otak, edema serebri, pergeseran jaringan
otak, fraktur cranium;
2. Angiografi serebral untuk menunjukkan kelainan sirkulasi serebral
sepertipergesran jaringanotak, perdarahan;
28
3. EEG untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis;
4. Sinar x untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
(fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah, adnya fragmen
tulang;
5. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) untuk menentukan fungsi
korteks dan batang otak;
6. PET ( Positron Emision Tomography) menunjukkan perubahan
aktivitas metabolisme pada otak;
7. Pungsi Lumbal, Cairan Serebrospinal dapat menduga kemungkinan
adanya perdarahan subaraknoid;
8. GDA (Gas Darah Arteri ) mengetahui adanya masalah ventilasi
atau oksigenasi yang akan menigkatnya tekanan intrakranial;
9. Kimia / elektrolit darah untuk mengetahui ketidakseimbangan yang
berperan yang berperan dalam peningkatan tekanan intrakranial;
10. Pemeriksaan toksikologi untuk mendeteksi obat yang mungkin
bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran;
11. Kadar antikonvulsan darah untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup untuk mengatasi;
30
I. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pola nafas b/d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler,
kerusakan medula oblongata (Doenges, 1999).
2. Gangguan perfusi jaringan cerebral b/d edema cerebri, meningkatnya
aliran darah ke otak (Doenges, 1999).
3. Nyeri kepala b/d cedera fisik, peningkatan tekanan intrakranial, dan
alat traksi (Doenges, 1999).
4. Perubahan persepsi sensori b/d penurunan kesadaran, peningkatan
tekanan intra kranial (Doenges, 1999).
5. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf
motorik (Doenges, 1999).
6. Resiko infeksi b/d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala
(Carpenito, 2006).
7. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d haluaran urine dan
elektrolit meningkat (Carpenito, 2006).
8. Gangguan kebutuhan nutrisi b/d kelemahan otot untuk menguyah dan
menelan (Carpenito, 2006)
31
J. Intervensi Dan Rasional
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional Gangguan perfusi jaringan cerebral b/d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak.
Gangguan perfusi jaringan dapat diatasi dengan Kriteria hasil : - Mampu mempertahankan
tingkat kesadaran. - Fungsi sensori dan motorik
membaik.
1. Pantau status neurologis secara teratur.
Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan tekanan intra kranial dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan sistem saraf pusat.
2. Evaluasi kemampuan membuka mata (spontan, rangsang nyeri).
Menentukan tingkat kesadaran.
3. Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana. (meremas dan melepas tangan pemeriksa).
Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan kemampuan untuk berespon pada rangsangan eksternal.
4. Pantau TTV dan catat hasilnya.
Untuk mengetahui status tekanan darah dan adanya disritmia.
5. Anjurkan orang terdekat untuk berbicara dengan klien.
Ungkapan keluarga yang menyenangkan klien tampak efek relaksasi pada beberapa klien koma yang menurunkan tekanan intra kranial.
6. Kolaborasi pemberian cairan sesuai indikasi melalui IV dengan alat kontrol.
Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan oedema cerebral: meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler, tekanan darah dan tekanan intra kranial.
Nyeri kepala b/d peningkatan tekanan intrakranial.
Rasa nyeri berkurang dengan Kriteria hasil : 1. pasien mengatakan nyeri
berkurang. 2. Pasien menunjukan
1. Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya, lokasinya dan lamanya.
Mengidentifikasi karakteristik nyeri merupakan faktor yang penting untuk menentukan terapi yang cocok serta mengevaluasi keefektifan dari terapi.
32
penurunan skala nyeri. 3. Ekspresi wajah klien rileks.
2. Catat kemungkinan patofisiologi yang khas, misalnya adanya infeksi, trauma servikal.
Pemahaman terhadap penyakit yang mendasarinya membantu dalam memilih intervensi yang sesuai.
3. Berikan kompres dingin / hangat pada kepala.
Meningkatkan rasa nyaman dengan menurunkan vasodilatasi.
4. Kolaborasi dalam pemberian analgetika. Analgetika dapat mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien.
Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial.
Fungsi persepsi sensori kembali normal dengan Kriteria hasil :
1. mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.
2. Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya.
1. Evaluasi secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan, sensori dan proses pikir.
Fungsi cerebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dahulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi. Perubahan persepsi sensori motorik dan kognitif mungkin akan berkembang dan menetap dengan perbaikan respon secara bertahap.
2. Kaji kesadaran sensori dengan sentuhan, panas/ dingin, benda tajam/ tumpul dan kesadaran terhadap gerakan.
Semua sistem sensori dapat terpengaruh dengan adanya perubahan yang melibatkan peningkatan atau penurunan sensitivitas atau kehilangan sensasi untuk menerima dan berespon sesuai dengan stimuli.
3. Bicara dengan suara yang lembut dan pelan. Gunakan kalimat pendek dan sederhana. Pertahankan kontak mata.
Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian atau pemahaman selama fase akut dan penyembuhan. Dengan tindakan ini akan membantu pasien untuk memunculkan komunikasi.
33
4. Gunakan penerangan siang atau malam.
Mengurangi kelelahan, kejenuhan dan memberikan kesempatan untuk tidur REM (ketidakadaan tidur REM ini dapat meningkatkan gangguan persepsi sensori).
5. Kolaborasi pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara dan terapi kognitif.
Pendekatan antar disiplin ilmu dapat menciptakan rencana panatalaksanaan terintegrasi yang berfokus pada masalah klien
Gangguan mobilitas fisik b/d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik.
Pasien dapat melakukan mobilitas fisik dengan kriteria hasil :
1. tidak adanya kontraktur, footdrop.
2. Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
3. Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan dilakukannya
1. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi
Mengidentifikasi kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
2. Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional, seperti bokong, kaki, tangan. Pantau selama penempatan alat atau tanda penekanan dari alat tersebut.
Penggunaan sepatu tenis hak tinggi dapat membantu mencegah footdrop, penggunaan bantal, gulungan alas tidur dan bantal pasir dapat membantu mencegah terjadinya abnormal pada bokong.
3. Berikan/ bantu untuk latihan rentang gerak
Mempertahankan mobilitas dan fungsi sendi/ posisi normal ekstrimitas dan menurunkan terjadinya vena statis.
4. Bantu pasien dalam program latihan dan penggunaan alat mobilisasi. Tingkatkan
Proses penyembuhan yang lambat seringakli menyertai trauma kepala dan pemulihan fisik
34
aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai kemampuan.
merupakan bagian yang sangat penting. Keterlibatan pasien dalam program latihan sangat penting untuk meningkatkan kerja sama atau keberhasilan program.
Resiko infeksi b/d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan infeksi tidak terjadi. Kriteria Hasil : 1. Tidak ada tanda-tanda
infeksi (rubor, kalor, dolor, tumor dan fungsio laesa)
2. Tanda-tanda vital normal terutama suhu (36-370C)
1. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang baik
Cara pertama untuk menghindari nosokomial infeksi.
2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik drainase dan adanya inflamasi.
Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
3. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung yang mengalami infeksi saluran nafas atas.
Menurunkan pemajanan terhadap pembawa kuman infeksi.
4. Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai indikasi.
Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran LCS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.
35
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d haluaran urine dan elektrolit meningkat.
Ganguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat teratasi dengan kriteria hasil : 1. Menunjukan membran
mukosa lembab, tanda vital normal haluaran urine adekuat dan bebas oedema.
1. Kaji tanda klinis dehidrasi atau kelebihan cairan
Deteksi dini dan intervensi dapat mencegah kekurangan / kelebihan fluktuasi keseimbangan cairan.
2. Catat masukan dan haluaran, hitung keseimbangan cairan, ukur berat jenis urine.
Kehilangan urinarius dapat menunjukan terjadinya dehidrasi dan berat jenis urine adalah indikator hidrasi dan fungsi renal
3. Kolaborasi pemeriksaan lab. kalium/fosfor serum, Ht dan albumin serum.
Hipokalimia/ fofatemia dapat terjadi karena perpindahan intraselluler selama pemberian makan awal dan menurunkan fungsi jantung bila tidak diatasi.
Gangguan kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan
Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi dengan kriteria hasil:
1. Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. Dalam rentang normal.
2. Peningkatan berat badan sesuai tujuan.
1. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah dan menelan, batuk dan mengatasi sekresi.
Faktor ini menentukan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus terlindung dari aspirasi.
2. Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/ hilangnya atau suara hiperaktif.
Fungsi bising usus pada umumnya tetap baik pada kasus cidera kepala. Jadi bising usus membantu dalam menentukan respon untuk makan atau berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus.
3. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien, seperti meninggikan kepala selama makan atatu selama pemberian makan lewat NGT.
Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan
36
4. Kaji feses, cairan lambung, muntah darah.
Perdarahan subakut/ akut dapat terjadi dan perlu intervensi dan metode alternatif pemberian makan.
5. Kolaborasi dengan ahli gizi.
Metode yang efektif untuk memberikan kebutuhan kalori.
Gangguan pola nafas b/d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata.
Tidak terjadi gangguan pola nafas dengan kriteria hasil : Memperlihatkan pola nafas normal/ efektif, bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien.
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan pernafasan.
Perubahan dapat menunjukan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/ luasnya keterlibatan otak. Pernafasan lambat, periode apneu dapat menendakan perlunya ventilasi mekanis.
2. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan posisi miring sesuai indikasi.
Untuk memudahkan ekspansi paru dan menjegah lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas.
3. Anjurkan pasien untuk latihan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar
Mencegah/ menurunkan atelektasis.
4. Auskultasi suara nafas. Perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara- suara tambahan yang tidak normal. (cracklels, ronchi dan wheezing).
Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti atau obstruksi jalan nafas yang membahayakan oksigenasi serebral atau menandakan adanya infeksi paru (umumnya merupakan komplikasi pada cidera kepala).
5. Kolaborasi untuk pemeriksaan AGD, tekanan oksimetri.
Menentukan kecukupan oksigen, keseimbangan asam-basa dan kebutuhan akan terapi.
6. Berikan oksigen sesuai indikasi.
Mencegah hipoksia, jika pusat pernafasan tertekan. Biasanya dengan menggunakan ventilator mekanis jika ada gangguan pada medula oblongata.
top related