konsep pendidikan hadhari inovasi pendidikan...
Post on 12-Feb-2021
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
KONSEP PENDIDIKAN HADHARI
INOVASI PENDIDIKAN ISLAM ERA MODERN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
UMI LAILATUL CHOFIFAH
NIM: 23010160070
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2020
-
KONSEP PENDIDIKAN HADHARI
INOVASI PENDIDIKAN ISLAM ERA MODERN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
UMI LAILATUL CHOFIFAH
NIM: 23010160070
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2020
-
iv
-
v
-
vi
-
vii
MOTTO
َ رَ يَ رَ مَ أ ََيَ رلَ س َ ي َوَ َيَ رَ دَ صَ َيَ ل ََحَ رَ اشَ َب
“Ya Rabb-ku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah urusanku”
َالَتقلَقدَذهبتَأيامي
كلَمنَسارَعلىَالدربَوصل
“Jangan pernah mengatakan hari-hariku telah
berlalu. Setiap yang berjalan di jalur yang benar pasti sampai.”
“Jangan tuntut Tuhanmu karena tertundanya
keinginanmu, tapi tuntut dirimu karena
menunda adabmu kepada Allah”.
~Ibnu Atha’illah As-sakandari~
-
viii
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas limpahan rahmat serta karunia-
Nya, skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Ayahanda Mashuri dan Ibunda Sumiyatun tercinta yang tidak henti-hentinya
mendoakan, membimbing, memberikan nasihat, kasih sayang, dan
memberikan motivasi dalam kehidupanku.
2. Kakak kandungku Achmad Latifudin, yang tak hentinya memberikan
bimbingan, doa dan dukungan dari kecil hingga sekarang.
3. Saudara kandungku adik Ahmad Nur Fajar Sanjaya yang selalu memberikan
doa dan dukungan.
4. Keluarga besar Bani H. Sokarno & Hj. Suparmi, Bani Rakiman (Alm.) & Siti
Sholekhah serta anggota keluarga besar lainnya yang tidak bisa disebutkan
satu persatu, yang selalu memberikan doa dan restu untuk keberhasilan dan
kesuksesan penulis.
5. Bapak K.H Mahyan Ahmad, Ibu Ny. Hj. Marfuah Khasanah, Bapak Ustadz
Shodiqin Al-Hafidz dan Ibu Ustadzah Khaliyatul Bahiroh Al-Hafidzoh yang
memberikan doa restu dan tentunya memberikan dukungan dan doa.
6. Bapak Drs. K.H Nasafi M. Pd. I dan Ibu Ny. Hj. Asfiyah atas barokah ilmu
dan doanya. Serta keluarga dalem, neng Rina, Gus Rifki, Gus Azmi, Gus
Edo, Gus Rijal, dan neng Niswa.
7. Keluarga besar Pondok Pesantren Al-Mansur dan Pondok Nurul Asna yang
selalu memberikan dukungan.
8. Teman dekatku Ely Nur Jannah, Umi Sa’adatul Maulidiyah, Rif’ah dan
munawaroh yang selalu memberikan motivasi dan dukungannya selama ini.
9. Seluruh teman-temanku santriwan-santriwati Nurul Asna Salatiga, khususnya
kamar 10 (Rina Zuhriyah, Fajriyatul Muflikhah dan Ulin Nihayati), Thoifatun
Najjariyah yang selalu ada dan memberikan motivasi dalam suka dan dukaku
selama ini serta santriwan-santriwati angkatan 2016 yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu, yang selalu memberikan semangat, motivasi, doa dan
dukungan.
-
ix
10. Teman-teman seperjuanganku angkatan 2016 khususnya jurusan PAI.
11. Teman-teman PPL MAN Salatiga
12. Keluarga Mbah Darmi Dondong Magelang dan juga teman-teman KKN
posko 47.
13. Orang-orang yang saya sayangi dan cintai.
-
x
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرمحن الرحمي
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu
memberikan nikmat, karunia, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga skripsi dengan
judul Konsep Pendidikan Hadhari (Inovasi Pendidikan Islam Era Modern) dapat
terselesaikan. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita
baginda Nabi Muhammad SAW, yang menjadikannya suritauladan yang mana
beliaulah satu-satunya umat manusia yang dapat mereformasi umat manusia dari
zaman kegelapan menuju zaman terang benerang yakni dengan ajaran agama
Islam dan yang kita tunggu-tunggu syafa’atnya di yaumul kiamah.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa motivasi, dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak terkait, sehingga kebahagiaan yang tiada tara penulis
rasakan setelah skripsi ini selesai. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak
terimakasih setulusnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M. Ag selaku rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Prof. Dr. Mansur, M. Ag Selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan IAIN Salatiga.
3. Ibu Dra. Siti Asdiqoh, M. Si selaku ketua jurusan PAI IAIN Salatiga.
4. Bapak Heru Saputra, S. Pd.I., M.A selaku dosen pembimbing akademik.
5. Bapak Dr. Imam Sutomo, M. Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang
selalu sabar dan ikhlas dalam membimbing dan memberikan motivasi serta
arahan dalam proses penyusunan dan penulisan sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik.
6. Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah membantu selama
perkuliahan dan penelitian berlangsung.
7. Bapak Drs. K.H Nasafi, M. Pd. dan Ibu Ny. Hj. Asfiyah atas barokah ilmu
dan do’anya, beserta keluarga dalem.
8. Ayahanda Mashuri dan Ibunda Sumiyatun yang tidak henti-hentinya
mendoa’akan, membimbing, menasehati, dan memberikan motivasi kepada
penulis.
-
xi
-
xii
ABSTRAK
Chofifah, Umi Lailatul. Konsep Pendidikan Hadhari (Inovasi Pendidikan Islam
Era Modern). Skripsi. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Pembimbing: Dr. Imam Sutomo, M. Ag.
Kata Kunci: Konsep Pendidikan Hadhari, Inovasi Pendidikan Islam, Modern.
Penelitian ini membahas tentang Konsep Pendidikan Hadhari (Inovasi
Pendidikan Islam Era Modern). Tujuan yang hendak dicapai penulis dalam
penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mengkaji Konsep Pendidikan Hadhari
(Inovasi Pendidikan Islam Era Modern). Pertanyaan yang ingin dijawab melalui
penelitian ini adalah: (1) Bagaimana konsep pendidikan hadhari? (2) Bagaimana
aktualisasi pendidikan hadhari era modern? (3) Bagaimana inovasi pendidikan
Islam era modern dengan menggunakan konsep pendidikan hadhari?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka peneliti menggunakan jenis
penelitian pustaka yang dilakukan dengan menghimpun dan menganalisis data
yang bersumber dari perpustakaan, dengan metode library research dan literatur
yang dilakukan dengan mengumpulkan sumber data primer berupa buku
pendidikan hadhari sedangkan data sekunder dari internet, jurnal dan artikel.
Pendekatan yang peneliti gunakan adalah menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif analisis kritis, karena pengumpulan data dalam skripsi ini bersifat
kualitatif dan tidak bermaksud untuk menguji hipotesis, dalam arti hanya
menggambarkan dan menganalisis secara kritis terhadap suatu permasalahan yang
dikaji oleh peneliti yaitu mengenai inovasi pendidikan Islam era modern.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep pendidikan hadhari adalah
konsep pendidikan Islam yang memuat nilai-nilai peradaban yang tinggi dan luhur
atau berkemajuan. Konsep pendidikan hadhari secara komprehensif
mendeskripsikan tiga wilayah keilmuan Islam yang terbagi dalam tiga entitas
peradaban atau hadharah, yakni peradaban teks (hadharah al-nash), peradaban
ilmu (hadharah ‘ilm), dan peradaban falsafah (hadharah al-falsafah). Dalam
konteks modern konsep ini digunakan sebagai salah satu rujukan atau pedoman
dalam melakukan inovasi pendidikan guna menjawab berbagi tantangan
pendidikan islam masa kini dan untuk memperbarui kembali pendidikan Islam
yang maju serta mampu menjawab isu kontemporer. Teraktualisasi yang
dinyatakan melaui realisasi tiga dimensi pendidikan Islam era modern sebagai
wujud pembaharuan yakni inovasi pendidikan Islam pada pengembangan
manajemen mutu pendidikan, pendidikan damai dan pemberdayaan Sumber Daya
Manusia (SDM) Melalui Budaya Meneliti (Research-Based Knowledge).
-
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
LEMBAR LOGO IAIN ii
HALAMAN JUDUL iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING iv
PENGESAHAN KELULUSAN v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN vi
MOTTO vii
PERSEMBAHAN viii
KATA PENGANTAR x
ABSTRAK xii
DAFTAR ISI xiii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 5
D. Kegunaan Penelitian 6
E. Definisi Operasional 6
F. Kajian Pustaka 8
-
xiv
G. Metodologi Penelitian 11
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian 11
2. Jenis Data 12
3. Sumber Data 12
4. Teknik Pengumpulan Data 13
5. Teknik Analisis Data 14
6. Sistematika Penulisan Skripsi 16
BAB II PENDIDIKAN HADHARI 18
A. Pengertian Pendidikan Hadhari 18
B. Pilar-pilar Pendidikan Hadhari 23
C. Bilik Hadharah Pendidikan Hadhari 34
BAB III DINAMIKAN PENDIDIKAN ISLAM ERA MODERN 44
A. Hakikat Pendidikan Islam 44
B. Dasar-dasar Pendidikan Islam 46
C. Tujuan Pendidikan Islam 57
D. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam 62
E. Tantangan Pendidikan Islam 65
F. Hakikat Inovasi Pendidikan Islam 68
BAB IV ANALISIS 74
A. Pendidikan Hadhari Term Baru 74
B. Respon Aktual Pendidikan Hadhari 77
-
xv
C. Urgenisitas Pendidikan Hadhari Sebagai Inovasi Pendidikan Isalam Era
Modern 81
1. Pengembangan Manajemen Mutu Pendidikan 85
2. Pendidikan Damai (Peace Education) 90
3. Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) Melalui Meneliti
(Research-Based Knowledge) 95
BAB V PENUTUP 99
A. Kesimpulan 99
B. Saran 100
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era modern berbagai problem kehidupan menjadi sorotan
polemik lapisan masyarakat. Terutama yang berkaitan dengan persoalan
kebudayaan, intelektualitas rendah dan berbagai fenomena politik di belahan
dunia Islam. Pendidikan merupakan tema urgen yang tidak bisa dipisahkan
dalam kehidupan manusia, karena pada prinsipnya seluruh proses kehidupan
adalah pendidikan.
Pendidikan tidak lain merupakan pusat laboratorium pencerdasan
masyarakat atau pabrik manusia bermutu dan pedoman kemajuan suatu
bangsa. Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan
fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama
manusia (Hasbullah, 2015: 2). Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana yang dilakukan dalam rangka
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara (Sahlan, 2010: 2). Dari pengertian tersebut jelas bahwa pendidikan
semestinya memiliki peranan penting dalam proses pengembangan mutu
sumber daya manusia di Indonesia, terutama pendidikan Islam.
-
2
Pendidikan Islam dalam teoretik dan praktik selalu mengalami
perkembangan, hal ini disebabkan karena pendidikan Islam secara teoretik
memiliki dasar dan sumber rujukan yang tidak hanya berasal dari nalar,
melainkan juga wahyu. Kombinasi nalar dengan wahyu ini ideal, karena
memadukan antara potensi akal manusia dan tuntunan firman Allah Swt.
terkait dengan masalah pendidikan (Assegaf, 2017: 2). Dalam rangka
pengembangan dan pembaruan pendidikan Islam tidaklah harus berangkat
dari nol, tetapi bisa menerima hasil-hasil penelitian dan pengembangan
pendidikan secara umum lalu melakukan dialog keilmuan, sintesis, adaptasi,
ilmuisasi, ataupun Islamisasi nilai-nilai pendidikan dalam konteks Islam.
Mengacu pada hal itu, pendidikan Islam menempati posisi yang
dilematis. Seiring kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi arus
modernisasi, pendidikan Islam dihadapkan pada tantangan globalisasi yang
cukup kompleks. Persoalan-persoalan mulai dari masih banyaknya umat
Muslim yang anti dengan penemuan-penemuan barat sehingga menimbulkan
pola pikir fiqih oriented, hanya mengedepankan implementasi hubungan
vertikal dan terjebak dalam arus ritualisasi.
Pola keberagaman seperti ini dikhawatirkan akan menciptakan
masyarakat yang selalu dihiasi budaya ritualistik, kaya akan unsur kultur
Islami tapi miskin nilai spiritual yang berdimensi kemanusiaan.
Ketidakseimbangan antara konsep hablum minallah dan hablum minannas
telah mengakibatkan diabaikannya rumusan khalifatullah dalam pendidikan
(Mas’ud, 2012: 15).
-
3
Masalah dikotomi keilmuan pun menjadi persoalan yang tidak pernah
habisnya diperdebatkan dalam Pendidikan Islam. Dalam bahasan dikotomi
ini, Ahmad Barizi (2011: 21) menyatakan, ”Dikotomi keilmuan terdapat
asumsi pemetaan lebih jauh antara apa yang disebut dengan revealed
knowledge (pengetahuan yang bersumber dari wahyu Tuhan) dan scientific
knowledge (pengetahuan yang bersumber dan berasal dari analisis pikir
manusia)”. Islam sendiri tidak mengenal adanya dikotomi karena Islam
memiliki kaitan yang sangat erat dengan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an
sebagai kitab suci Islam mengandung banyak keterangan-keterangan tentang
ciptaan-ciptaan Allah. Islam sangat menganjurkan umatnya menyelidiki
rahasia alam tersebut melalui kegiatan ilmiah. Dalam konteks ilmu dan
peradaban, Islam bukan sekadar agama yang hanya mengatur aspek spiritual.
Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Menurut Ahmad Barizi (2011: 32) bahwa orientasi sains dan teknologi
sesungguhnya merupakan instruksi utama Al-Qur’an bagi terbentuknya ulu
al-bab. Tidak terlepas dari itu, maka manusia berperan penting dalam
mengembangkan peradaban melalui proses pendidikan yang seutuhnya.
Penghargaan atas kebebasan untuk berkembang dan berpikir maju tentu saja
sangat besar, mengingat manusia merupakan makhluk yang berpikir dan
memiliki kesadaran.
Namun, pada kenyataan yang sesungguhnya masih terjadi kesenjangan
dalam pendidikan Islam. Masih banyak persoalan-persoalan yang dihadapi
pendidikan Islam seperti persoalan demokrasi, pemerataan pendidikan,
-
4
multikulturalisme, pluralisme, globalisasi pendidikan dan lain sebagainya.
Melihat banyaknya persoalan tersebut, maka diperlukannya pembaharuan
progresif dalam inovasi pendidikan Islam di era modern ini.
Islam is progress menjadi kata kunci modernisasi dan visi pendidikan
Islam yang berorientasi pada pendidikan berkemajuan dan berperadaban
pada era modern yang dilandasi oleh nilai-nilai keislaman (Kurniawan,
2009:183). Dengan semakin cepat dan beragamnya menu informasi yang
menerpa masyarakat modern maka semakin beragam pula tanggapan,
respons, maupun referensi dari masyarakat. Selain itu mobilitas sosial yang
semakin meningkat dan tidak mengenal batas geografis telah menyebabkan
tidak satu pun kelompok masyarakat yang dapat mempertahankan
homogenitas kulturnya. Kemajemukan kultural menjadi konsekuensi logis
dari proses modernisasi yang harus selalu menjadi bahan pertimbangan bagi
dunia pendidikan.
Pengembangan inovasi pendidikan Islam di era modern bukanlah
pekerjaan sederhana. Semua action memerlukan adanya perencanaan secara
terpadu dan menyeluruh yang menjanjikan masa depan sebagai jawaban atas
tantangan pendidikan Islam di era modern agar tetap eksis keberadaannya.
Supriyanto dkk (2004: 4) menyatakan, “Sebagai suatu instrumen, inovasi
akan bekerja dengan baik apabila dilaksanakan dengan mengikuti pola
tertentu yang dibenarkan secara teoretik maupun diperkaya dengan
pengalaman empirik.”
-
5
Sebab pada hakikatnya inovasi pendidikan adalah suatu perubahan
yang baru dan bersifat kualitatif, berbeda dari hal sebelumnya serta sengaja
diusahakan untuk meningkatkan kemampuan dalam rangka pencapaian tujuan
tertentu dalam pendidikan. Dan untuk menghindari dikotomi ilmu, maka
perlu adanya pendekatan integratif-interkonektif yang lebih menghargai
keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan telah memiliki basis
epistemologi, ontologi, dan aksiologi sambil mencari letak persamaan baik
metode pendekatan dan metode berpikiran antara keilmuan serta
memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya.
Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik mengangkat
judul “Konsep Pendidikan Hadhari (Inovasi Pendidikan Islam Era
Modern)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis dapat
merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pendidikan hadhari?
2. Bagaimana aktualisasi pendidikan hadhari era modern?
3. Bagaimana inovasi pendidikan Islam era modern dengan menggunakan
konsep pendidikan hadhari?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memperoleh jawaban dari
permasalahan di atas. Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah:
-
6
1. Untuk mengetahui konsep pendidikan hadhari.
2. Untuk mengetahui aktualisasi pendidikan hadhari era modern.
3. Untuk mengetahui inovasi pendidikan Islam era modern dengan
menggunakan konsep pendidikan hadhari.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah:
1. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dan wawasan pengetahuan
sebagai khazanah keilmuan dan intelektual dalam ranah pendidikan Islam.
2. Bagai para pembaca yang mempunyai respons terhadap masalah
pendidikan Islam, maka penelitian ini sangat berguna sebagai penambah
wawasan keilmuan tentang pendidikan Islam.
3. Bagi pihak penulis secara pribadi sangat berguna, karena merupakan yang
pertama kali dalam penyusunan skripsi yang merupakan salah satu syarat
dalam penyelesaian studi di Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama
Islam.
E. Definisi Operasional
Menurut Sumadi Suryabrata dalam Kuntjojo (2009: 24) definisi
operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal terdefinisikan
yang dapat diamati. Hal yang diamati dalam konsep ini membuka
kemungkinan bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama atau serupa
sehingga hal yang dilakukan oeh penulis terbuka untuk diuji kembali oleh
orang lain.
-
7
Supaya penelitian pustaka ini tidak terjadi kerancuan makna atau salah
persepsi, maka penulis mencantumkan definisi dari permasalahan yang
diangkat di antaranya:
1. Konsep adalah rancangan atau dapat diartikan ide atau pengertian yang
abstrak dari suatu penelitian. Secara sederhana konsep ada dua macam,
yaitu; konkret (konsep-konsep yang memiliki hubungan yang jelas dengan
objek, yang pada umumnya terdiri atas kata benda konkret) dan abstrak
(konsep-konsep yang tidak memiliki hubungan yang jelas dengan objek,
yang pada umumnya terdiri atas kata benda abstrak dan kata sifat (Ratna,
2016: 189).
2. Pendidikan hadhari adalah pendidikan Islam yang memuat nilai-nilai
peradaban yang tinggi dan luhur atau berkemajuan. Pendidikan hadhari
diharapkan mampu mengembangkan konsep pendidikan yang mengikuti
zaman, tntunan masa kini dan tantangan masa depan.
3. Pendidikan Islam adalah rangkaian proses yang tersusun secara sistematis,
terencana dan komprehensi dalam upaya mentransfer nilai-nilai kepada
peserta didik, mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga
mampu melaksanakan tugasnya di muka bumi dengan sebaik-sebaiknya
sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah yang didasarkan pada ajaran agama (Al-
Qur’an dan Hadits) pada semua dimensi kehidupannya.
4. Inovasi pendidikan adalah penemuan yang dimanfaatkan dalam
pendidikan Islam untuk memecahkan atau membuat sesuatu lebih efisien
-
8
dan efektif dalam pencapaian tujuan pendidikan. inovasi selalu terjadi dan
sengaja dibuat untuk melancarkan operasional pendidikan.
5. Era modern adalah zaman mutakhir/terbaru, dengan ditandai adanya
perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi).
Dari uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa penulis merasa penting
tentang bagaimana penerapan inovasi pendidikan Islam dengan menggunakan
konsep pendidikan hadhari di era yang semua aspek kehidupan semakin maju
dari segi ilmu pengetahuan maupun ilmu teknologi. Hal ini dilakukan sebagai
tanggapan mengenai tantangan pendidikan Islam untuk mewujudkan
pendidikan yang bermutu dan berdaya saing. Maka dari itu, penulis ingin
melakukan penelitian yang berjudul: Konsep Pendidikan Hadhari (Inovasi
Pendidikan Islam era Modern).
F. Kajian Pustaka
Pendidikan Hadhari dapat dipahami sebagai pendidikan berkemajuan
dan berperadaban yang dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islaman. Hadhari
semakna dengan madani yang berarti urbanized, citived, dan civilized, atau
dengan kata lain pendidikan berperadaban dan berkemajuan. Konsep
pendidikan hadhari ini dipakai penulis sebagai dasar pengembangan inovasi
pendidikan Islam di era modern. Dalam penyusunan penelitian ini, maka
harus diketahui apakah ada penelitian terdahulu yang telah membahas hal
yang serupa dengan penelitian yang sekarang. Maka dari itu diperlukan
adanya pengkajian penelitian terdahulu, berikut akan dipaparkan tiga kajian
penelitian terdahulu terkait dengan permasalahan yang diangkat oleh peneliti.
-
9
1. Arbain Nurdin, mahasiswa prodi pendidikan agama Islam IAI Jember
tahun 2016 dengan judul penelitian“Inovasi Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam di Era Information and Communication Technology”
dalam penelitian ini membahas inovasi Pendidikan Islam yang berbasis
ICT (Information and Communication Technology) dapat menjadi solusi
bagi guru PAI yang selama ini mengalami kesulitan dan stagnasi dalam
proses pembelajaran terutama aspek metode pembelajaran.
2. Abdul Khobir, dosen Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam
(STAIN) Pekalongan tahun 2009 dengan jurnal penelitian yang berjudul
“Pendidikan Agama Islam di Era Globalisasi”. Penelitian ini
mengungkapkan bahwa pendidikan agama Islam merupakan komponen
penting dalam menghadapi era globalisasi. Untuk menghadapi tantangan
globalisasi tersebut diperlukan pembinaan moral dan kemanusiaan
bangsa yang didasarkan kepada ajaran agama. Jika moralitas dan
kemanusiaan dalam kehidupan bangsa merupakan komitmen bersama,
maka rekonstruksi dan reformasi pendidikan agama menjadi kemestian
dan keharusan bagi segenap kalangan agamawan, tokoh intelektual, dan
kaum pendidik.
3. Achmas Masrur, mahasiswa program magister pendidikan agama Islam
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang tahun 2014 dengan Tesis yang
berjudul “Modernisasi Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran Azyumardi
Azra Tentang Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia)”. Penelitian
ini menjelaskan tentang menjawab tantangan pendidikan Islam di era
-
10
modern yang masih tertinggal dan kalah bersaing dalam banyak segi
dengan subsistem pendidikan lain dan sering dipandang lebih rendah
dibandingkan dengan sistem pendidikan lainnya.
Tujuan modernisasi pendidikan Islam yang ditawarkan
Azyumardi Azra adalah mencciptakan out-put lembaga pendidikan Islam
yang mampu menjadi agen of change di tengah masyarakat global dalam
lima peran, yaitu (1) perubahan sistem nilai, (2) output politik, (3) output
ekonomi, (4) output social, (5) output cultural. Sehingga di sini annti
membuat peserta didik memiliki dasar competitive advantage dalam
lapangan dunia kerja, seperti dituntut di alam globalisasi saat ini.
Dari uraian di atas, bahwa penelitian yang penulis angkat
mempunyai persamaan dan perbedaan dengan beberapa penelitian yang
sudah ada, yakni sama-sama meneliti inovasi pendidikan Islam di era
modern. Sedangkan perbedaannya terletak pada fokus kajian yang akan
diteliti. Pada penelitian pertama mengungkap secara umum tentang
inovasi pendidikan Islam yang berbasis ICT (Information and
Communication Technology) dengan menggunakan metode penelitian
kepustakaan, kemudian pada penelitian kedua lebih memfokuskan pada
kajian tentang pendidikan agama Islam di era globalisasi melaui metode
library research, pada penelitian ketiga lebih fokus kepada pemikiran
Azyumardi Azra tentang modernisasi pendidikan Islam di Indonesia
dengan menggunakan metode penelitian library research . Perbedaan
penelitian ini dengan sebelumnya adalah, dalam penelitian ini penulis
-
11
lebih menitikberatkan penelitian tentang gagasan konsep Pendidikan
Hadhari sebagai konsep inovasi pendidikan Islam era modern.
G. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif deskriptif analisis kritis. Bogdan dan Taylor, sebagaimana
dikutip oleh Moleong, mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati
(Moleong, 2017: 4). Penelitian deskripstif tidak dimaksudkan untuk
menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya
tentang sesuatu variabel gejala atau kejadian (Arikunto, 2016: 234).
Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian kepustakaan
(library research), menurut Arikunto (2016: 244) penelitian kepustakaan
biasa dilakukan dengan jalur metode dokumentasi di mana dalam
penelitian mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-
macam materi yang terdapat dalam kepustakaan (buku) dan berbagai
dokumentasi, baik manuskrip, memorandum/notulen rapat dan lain
sebagainya. Penelitian ini merupakan jenis penelitian literal non empirik,
karena data ini menggunakan berbagai literatur kepustakaan atau artikel
yang secara relevan membicarakan tentang konsep pendidikan hadhari:
inovasi pendidikan Islam era modern.
-
12
Pendekatan ini digunakan oleh peneliti karena pengumpulan data
dalam skripsi ini bersifat kualitatif dan tidak bermaksud untuk menguji
hipotesis, dalam arti hanya menggambarkan dan menganalisis secara kritis
terhadap suatu permasalahan yang dikaji oleh peneliti.
2. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data
berupa dokumen tertulis, baik yang bersifat umum atau pribadi (Ulfatin,
2013: 176-177). Skripsi ini dalam bentuk kata verbal, bukan dalam bentuk
angka. Data dalam bentuk kata verbal sering muncul dalam kalimat
panjang lebar, yang lain singkat melainkan perlu dilacak kembali
maksudnya, dan banyak lagi ragamnya.
3. Sumber Data
Maksud sumber data dalam sebuah penelitian adalah subjek yang
menjadi tempat atau juga bisa dikatakan subjek dari mana data dapat
diperoleh. Menurut Sugiyono (2016: 225), sumber data dibagi menjadi
dua, yaitu pertama data primer, yaitu data yang langsung memberikan
data kepada pengumpul data; dan data kedua data sekunder, yaitu sumber
data yang tidak secara langsung memberikan data kepada peneliti.
Data primer diperoleh dari keterangan-keteranggan yang untuk
pertama kali dicatat langsung oleh penulis di berbagai buku atau pustaka
yang membahas tentang konsep pendidikan hadhari dan inovasi
pendidikan Islam era modern. Sedangkan sumber data sekunder diperoleh
-
13
dari keterangan-keterangan di berbagai media, seperti di surat kabar
majalah, jurnal dan internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
maka teknik pengumpulan data yang tepat dalam penelitian library
research adalah dengan mengumpulkan buku-buku, makalah, artikel,
majalah, jurnal dan lain sebagainya. Langkah ini biasa dikenal dengan
metode dokumentasi.
Suharsimi Arikunto (2013: 201) berpendapat bahwa metode
dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, buku-buku, majalah, dokumen, notulen rapat dan
sebagainya. Adapun secara kronologis, jalannya pengumpulan data
melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Tahap Orientasi
Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan dan membaca data
secara umum tentang konsep pendidikan hadhari dan inovasi
penddidikan Islam era modern untuk mencari hal-hal yang perlu
diteliti. Dari sisi ini, kemudian peneiti menemukan fokus studi atau
tema pokok bahasan.
b. Tahap Eksplorasi
Pada tahap ini, peneliti mulai mengumpulkan data secara
terarah dan terfokus untuk mencapai pemikiran yang matang tentang
tema pokok bahasan. Peneliti juga perlu mengetahui para penulis
-
14
konsep pendidikan hadhari dan juga memahami pengaruhnya dalam
pengadaan inovasi pendidikan Islam era modern. Selanjutnya, unsur
relevan yang terkumpul akan dianalisis untuk dibandingkan dengan
peneliti lainnya, sehingga peneliti mampu melihat secara obyektif.
c. Tahap Studi Terfokus
Pada tahap ini, penulis mulai melakukan studi secara mendalam
yang terfokus pada keberhasilan, keunikan, dan konsep pendidikan
hadhari dan pengaruh berpengaruh pada masyarakat khususnya dalam
pengadaan inovasi pendidikan Islam di era modern. Dalam hal ini,
peneliti minimal dapat mengetahui pengetahuan cukup banyak tentang
konsep pendidikan hadhari sehingga dapat mengetahui apa yang
masih belum diketahui (Furchan dan Maimun, 2005: 47-49).
5. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis isi (content analysis) yang
bersumber dari hasil eksplorasi data kepustakaan. Berdasarkan Ricard
Budd dalam bukunya, Content Analysis in Communicaton Research yang
dikutip oleh Imam Suprayogo dan Tobroni (2003: 154) mengemukakan
anlisis isi adalah teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan
mengolah pesan, atau alat untuk mengobservasi dan menganalisis
perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang dipilih.
Penelitian dengan analisis isi digunakan untuk memperoleh
keterangan dari isi komunikasi yang disampaikan dalam bentuk lambang
-
15
yang terdokumentasi, seperti surat kabar, buku, puisi, peraturan
perundangan-undangan dan kitab suci.
Menurut Krippendorff (2004: 27) analisis isi adalah teknik analisis
untuk membuat kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditiru dengan
melibatkan kebenaran datanya. Tahapan analisis isi, yaitu: unitizing,
sampling, recording, recording, reducing, abductively inferring, dan
naratting.
a. Unitizing yaitu mengambil data berupa karya-karya yang memuat
tentang pendidikan hadhari dan inovasi pendidikan Islam di era
modern yang tepat untuk kepentingan penelitian ini serta dapat diukur
dengan jelas.
b. Sampling yaitu penyederhanaan penelitian dengan membatasi analisis
data sehingga terkumpul data-data yang memiliki tema yang sama
yaitu pendidikan Islam.
c. Recording berarti pencataan semua data yang ditemukan dan
dibutuhkan di dalam penelitian ini yaitu yang berkenaan dengan
gagasan pendidikan hadhari dan inovasi pendidikan Islam era
modern.
d. Reducing adalah penyederhanaan data sehingga dapat memberikan
kejelasan dan keefisienan data yang diperoleh.
e. Abductively infering merupakan penganalisisan data lebih dalam utuk
mencari makna data yang dapat menghubungkan antara makna teks
dengan kesimpulan penelitian.
-
16
f. Narrating ialah penarasian data penelitian untuk menjawab rumusan
penelitian yang telah dibuat.
6. Sistematika Penulisan Skripsi
Sistematika penulisan berfungsi untuk menyatakan garis-garis
besar dari masing-masing bab, sehingga memudahkan dalam memahami
tata urutan pembahasan dan kerangka berpikir. Pembahasan dalam skripsi
ini akan penulis sajikan dalam bentuk bab-bab yang terdiri dari lima bab,
yang masing-masing diperinci dalam sub-sub bab secara sistematis dan
saling berkaitan. Adapun perinciannya sebagai berikut.
Bab I: Pendahuluan. Bab ini merupakan pendahuluan dari
serangkaian pembahasan berikutnya. Dalam bab ini, menguraikan latar
belakang masalah penelitian, rumusan pokok masalah dan unsur dasar
penelitian
Bab II: Pendidikan Hadhari. Bab ini merupakan kerangka teori
yang diperoleh dari hasil telaah berbagai literatur yang berhubungan
dengan konsep pendidikan hadhari.
Bab III: Dinamika Pendidikan Islam Era Modern. Bab ini
menguraikan teori yang berhubungan dengan pendidikan Islam dan
tantangannya pada era modern serta hakikat inovasi pendidikan Islam
dalam menanggapi tuntutan karakter zaman teknologi saat ini.
Bab IV: Analisis Pendidikan Hadhari (Inovasi Pendidikan
Islam Era Modern). Dalam bab ini menguraikan tentang analisis penulis
tentang pendidikan hadhari (inovasi pendidikan Islam era modern).
-
17
Bab V: Penutup. Bab ini merupakan rangkaian terakhir
pembahasan dalam skripsi ini yang berisi kesimpulan umum dan khusus,
dan saran.
-
18
BAB II
PENDIDIKAN HADHARI
A. Pengertian Pendidikan Hadhari
Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha
manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam
masyarakat dan kebudayaan (Hasbullah, 2015: 1). Pendidikan akan selalu
berkembang sejalan dengan zaman, sehingga pemikiran yang berusaha
membawa perubahan lebih baik bagi pendidikan Islam akan selalu muncul.
Salah satu pemikiran pendidikan Islam yang merupakan hasil riset adalah
pendidikan hadhari yang digagas oleh Abd Rachman Assegaf.
Penamaan konsep pendidikan hadhari memiliki kemiripan nama
dengan konsep Islam hadhari di Malaysia yang diperkenalkan oleh Tun
Abdullah Ahmad Badawi. Pengenalan konsep Islam hadhari yang dibawa
Tun Abdullah Ahmad Badawi merupakan dasar yang komprehensif mengenai
pembangunan Malaysia dan penjelasan serta panduan mengenai hubungan
dan ikatan antara Islam dan agenda pembangunan negara menuju sebuah
negara yang maju dan modern dengan acuan agama (Ubaidah, 2011: 26).
Islam hadhari berasal dari bahasa Arab yang artinya Islam
bertamaddun (Civilization Islam). Makna ini bermaksud bahwa ajaran Islam
membawa fokus kehidupan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat
dan negara bertamaddun dan mempunyai peradaban yang unggul untuk
menghadapi tantangan abad baru seperti mudahnya akses internet, kejahatan
-
19
dunia maya (cyber crime), ekonomi global, budaya materialisme, krisis
moral, penjajahan pikiran dan gaya hidup.
Jadi hakikat istilah Islam hadhari adalah agama Islam yang
menjunjung tinggi peradaban Islam. Karena sesungguhnya Islam merupakan
agama yang bertamaddun, di mana pemeluknya melaksanakan ajaran Islam
mencakup segala aspek kehidupan; ibadah aqidah, muamalat, undang-
undang, moral dan etika kehidupan dengan berlandaskan Al-Qur’an dan
Sunnah.
Secara istilah penamaan hadhari memang sama tapi dengan
pembawaan konsep yang berbeda. Pendidikan hadhari merupakan pendidikan
yang menimbulkan peradaban dan kemajuan yang dilandasi oleh nilai-nilai
keislaman (Assegaf, 2017: 24). Pendidikan hadhari adalah pendidikan Islam
yang memuat nilai-nilai peradaban yang tinggi dan luhur atau berkemajuan.
Pendidikan hadhari diharapkan mampu mengembangkan konsep pendidikan
yang mengikuti zaman, tuntunan masa kini dan tantangan masa depan.
Perbedaan konsep ini yaitu terletak pada arah pembangunannya, Islam
hadhari mengarah kepada pembangunan negara atau pemerintah yang
memiliki prinsip; keimanan dan ketakwaan kepada Allah, kerajaan yang adil
dan beramanah, rakyat yang berjiwa merdeka, penguasaan ilmu pengetahuan,
pembangunan ekonomi yang seimbang dan komprehensif, kehidupan yang
berkualitas, pembekalan hak kelompok minoritas dan wanita, keutuhan
budaya dan moral, pemeliharaan lingkungan dan kekuatan pemerintahan
(Ubaidah, 2011: 33-42). Sedangkan pendidikan hadhari diarahkan pada
-
20
pembangungan pendidikan kemajuan yang berusha membangun kembali
peradaban Islam agar tidak ketinggalam zaman, hal ini menanggapi tantangan
perubahan sosial kontemporer atau modern.
Pendidikan hadhari meliputi tiga entitas, yaitu hadharah nash yakni
kemajuan peradaban yang bersumber dari nash (agama), hadharah falsafah
yakni kemajuan peradaban bersumber dari etika dan falsafah, serta hadharah
al-ilm (keilmuan) yakni peradaban yang bebasis pada seluruh cabang dan
struktur keilmuan yang berkembang saat ini, mulai dari social sciences,
natural sciences sampai ke humaniora, atau kalau dalam skema keilmuan
Islam meliputi ilmu-ilmu yang diwahyukan (revealed knowledge) yakni ilmu-
ilmu agama, dan ilmu-ilmu yang dipelajari secara rasional (rational
knowledge) (Assegaf, 2017: 28-29). Konsep pendidikan hadhari memandang
perlu menempatkan etik Islam yang bersumber dari nilai-nilai Al-Qur’an dan
Hadits untuk menjiwai seluruh pembidangan ilm alam, sosial dan humaniora.
Pendidikan hadhari berkarakteristik universal dan berbasis integratif-
interkonektif serta tidak dikotomis. Secara epistemologis, pendidikan hadhari
ilmu yang berasal dari nilai-nilai dan etika Islam yang bersifat objektif.
Dengan kata lain, terjadi proses objektivikasi dari etika Islam menjadi ilmu
keislaman yang dapat bermanfaat bagi seluruh manusia (rahmatan lil
alamin), tanpa membedakan golongan, ras, suku bangsa maupun agama
sesuai dengan semboyan yang dijunjung tinggi NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia) yaitu Bhineka Tunggal Ika.
-
21
Pendidikan hadhari diharapkan dapat memberikan perubahan ke arah
yang lebih baik. Konsep perubahan ini sesuai dengan yang terkandung dalam
firman Allah QS. Ar-Ra’d ayat 11:
Artinya: “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu
menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaanya atas
perintah Allah. Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengubah keadaan suatu
kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka
selain Dia (Allah)” (Ar-Ra’d: 11).
Dalam firman Allah QS. Al-Ra’d ayat 11 ditekankan bahwa suatu
perubahan itu diupayakan oleh kaum yang mau berubah ke arah yang lebih
maju dan memiliki peradaban yang postif. Sehingga dalam menjalankan
setiap aspek kehidupannya mampu tertata atau terstruktur dengan baik. Hal
ini memiliki arah yang sama dengan konsep pendidikan hadhari.
Berdasarkan tiga entitas yang telah disebutkan di atas, penulis akan
menuangkan peta konsep pendidikan hadhari dalam bagan sebagai berikut:
-
22
Bagan 1
Peta Konsep Pendidikan Hadhari
PROBLEMA: Lack of Vision, Kesalehan Individual, dikotomi ilmu, dan pola pikir normatif-
deduktif.
Renaissance
Umat
Reintegrasi Ilmu
Islamisasi Ilmu
Hadharah al-Islam
PENDIDIKAN HADHARI
-Nilai-nilai Wahyu
-Tradisi Kenabian
-Spirit Masa
-Isu Keemasan
IsKontemporer
Hadharah
al-‘Ilm
Hadharah
al-Falsafah Hadharah
al-Nash
Visi, Tujuan dan
Orientasi Konsep
Belajar, Sistem
Pendidikan, Metode
Pembelajaran
Falsafah
Manusia,
Falsafah
Pendidikan,
Falsafah Etika
Tradisi Keilmuan,
Integrasi Ilmu,
Research-Based
Knowledge, Isu
Kontemporer
Pendidikan yang
Visioner
Pendidikan Integratif-
Interkonektif
Keilmuan non-
Dikotomis dan aktual
-
23
Pendidikan hadhari erat kaitannya dengan pendekataan integratif-
interkonektif sebagai tanggapan atas adanya dikotomi ilmu. Dikatakan
integratif di sini bukan berarti antara berbagai ilmu tersebut dilebur menjadi
satu bentuk ilmu yang identik, melainkan karakter, corak dan hakikat antara
ilmu tersebut terpadu dalam kesatuan dimensi material-spiritual, akal-wahyu,
ilmu umum-ilmu agama, jasmanai-rohani, dan dunia-akhirat. Sedangkan
interkoneksitas adalah keterkaitan satu pengetahuan yang lain akibat adanya
hubungan yang saling mempengaruhi (Muliawan, 2005: 12).
Pendidikan Islam integratif dan interkonektif berupaya memadukan
dua hal yang sampai saat ini masih diperlakukan secara dikotomik, yakni
mengharmonisasikan kembali relasi-relasi antara Tuhan-alam dan akal-
wahyu, di mana perlakuan secara dikotomik terhadap keduanya telah
mengakibatkan keterpisahan pengetahun agama dengan pengetahuan umum.
Tiga entitas pendidikan hadhari yang telah disebutkan di atas harus
dilaksanakan secara terpadu dan terkait. Hal ini dilakukan supaya pendidikan
Islam mengalami kemajuan, khususnya dimulai dari lembaga pendidikan
Islam seperti madarasah, pesantren, sekolah dan lain-lain.
B. Pilar-pilar Pendidikan Hadhari
Layaknya sebuah rumah, bila dibangun tanpa tiang penyangga, tak
akan tegak berdiri. Demikian pula halnya dengan pendidikan Islam, haruslah
memiliki pilar-pilar yang mampu menopang struktur keilmuannya sekaligus
menjadi ciri khas dan identitasnya. Pilar utama bagi pendidikan Islam
-
24
dimaksud adalah berpusat kepada tauhid, berbasis akhlak, menganut teori
fitrah dan memperdayakan fungsi masjid (Assegaf, 2017: 35).
1. Pilar Tauhid
Dalam bahasa Arab, tauhid berarti beriman pada ke-Esaan Allah
SWT, al-iman bi wahdaniyatillah atau monotheism. Iman berarti
pengetahuan (knowledge), percaya (belief, faith), dan yakin tanpa
bayangan keraguan (to be convinced the least shadow of doubt) (Assegaf,
2011: 38). Jadi, iman adalah kepercayaan yang muncul akibat
pengetahuan dan keyakinan. Proses terbentuknya iman itu berawal dari
pengetahuan (knowledge) tentang sang pencipta, Allah SWT. dari sini
didapatkan bahwa iman diperoleh dari berpikir dan perenungan
mendalam, dan bisa dikatakan berfilsafat terhadap alam semesta. Dan
iman itu tidak tumbuh dengan sendirinya, tapi diasah dan dipertebal
secara terus menerus menggali rahasia kekuasaan Allah SWT yang ada di
alam semesta ini melalui proses belajar dan taat kepada-Nya.
Di dalam proses tauhid, Allah adalah sumber pencipta kebenaran
(Al Haqq) yang tidak bisa digugat. Tauhid merupakan fondasi seluruh
bangunan ajaran Islam. Pandangan hidup tauhid bukan saja hanya
sekadar mengesakan Allah, seperti yang diyakini kaum monoteis,
melainkan juga meyakini: kesatuan penciptaan (unity of creation),
kesatuan kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity
of guidance), dan kesatuan tujuan dari kesatuan ketuhanan (unity of
Godhead) (Tasmara, 2000: 228).
-
25
Faktor pendidikan bagi terbentuknya tauhid dan iman kepada Allah
SWT ini merupakan inti dari pendidikan Islam (Assegaf, 2011: 39),
sedemikian pentingnya sehingga Nabi Muhammad SAW menyatakan:
ل َ ل ًماَو ع د دَ َاز ن ادًَعَ َُ َاَلَا ََللا ََنَ مَ َدَ د َزَ ي ََمَ اَل َدًَوَ ه ََدَ د َزَ ي ََمَ م
“Barangsiapa tambah ilmunya tapi tidak tambah petunjuknya
(imannya), maka bagi Allah orang tersebut tidak tambah apapun kecuali
semakin jauh (dari petunjuk dan iman) kepada-Nya (HR. Ad-Dailami di
dalam Musnadnya).
Setiap manusia terlahir dalam keadaan fitrah, suci dan membawa
potensi beragama dan bertauhid kepada Allah SWT. Dan tugas orang
yang ada di sekelilingnya untuk mengembangkan fitrah tersebut ke arah
posisitf ataupun negatif. Agar potensi setiap individu mengarah kepada
hal yang positif, maka diperlukan sebuah pendidikan.
Pilar pendidikan berintikan tauhid dan keimanan ini menjadikan
manusia mampu memadukan antara fungsi akalnya dengan wahyu.
Ketika seseorang berhasil menemukan sebuah fakta/rahasia tentang alam
semesta ini, berhasil pula ia menambah iman kepada Allah SWT. Iman
itu menuntut ilmu agar tidak digunakan secara pribadi ataupun merusak.
Apabila tauhid sudah tertanam pada diri seorang muslim maka
jiwanya akan terlepas dari ketergantungan pada selain Allah. Oleh karena
itu, setiap individu dari kita harus selalu berusaha lebih memantapkan
aqidah kepercayaannya/ketauhidannya. Hakikat iman perlu ditanamkan
sejak dini baik melalui pendidikan formal, informal maupun nonformal,
-
26
karena ibarat kertas putih, apa yang pertama kali ditorehkan, itu yang
akan membentuk karakter seseorang.
Dengan peran iman dan taqwa diri seseorang akan terlindungi,
seperti sebuah perisai yang melindungi tubuh dari serangan musuh, atau
layaknya program anti-virus, iman dan takwa akan memelihara
kehidupan seseorang menjadi tetap dalam kebaikan, perdamaian dan
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
2. Pilar Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaaq, berakar dari kata
khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata khaliq (Pencipta),
makhluq (yang diciptakan), dan khaliq (penciptaan). Dari persamaan kata
di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlak tercakup pengertian
terciptanya keterpaduan antara kehendak khaliq (Pencipta) dengan
perilaku makhluq (manusia). Atau dengan kata lain, tata perilaku
seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai
akhlak yang hakiki jika tindakan dan perilaku tersebut didasarkan kepada
kehendak Khaliq (Tuhan), sehingga akhlak tidak saja merupakan norma
yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT, namun
juga dengan alam semesta sekalipun (Assegaf, 2017: 42).
Ibnu Miskawaih (w.421 H/1030 M) dalam Aminuddin (2006: 94)
mengatakan bahwa, “Akhlak ialah kondisi jiwa yang senantiasa
mempengaruhi untuk bertingkah laku tanpa pemikiran dan
pertimbangan.”
-
27
Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa pendidikan akhlak didasarkan
pada doktrin jalan tengah. Menurutnya, jalan tengah diartikan dengan
keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia atau posisi tengah antara
dua ekstrem baik dan buruk yang ada dalam jiwa manusia. Posisi tengah
jiwa bathiniyah adalah iffah, yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan
maksiat. Selanjutnya posisi tengah jiwa al-ghadabiyah adalah al-
syaja’ah, yaitu keberanian yang dipertimbangkan untung dan ruginya.
Sementara posisi tengah jiwa nathiqah adalah al-hikmah, yaitu
kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut
keadilan atau keseimbangan. Keempat keutamaan (al-fadhilah akhlak al-
iffah, al-saja’ah, al-hikmah, dan al-‘adalah) adalah pokok atau induk
akhlak yang mulia (Gunawan, 2014: 310-311).
Sedangkan menurut pendapat Imam al-Ghazali yang dikutip oleh
Yunahar Ilyas (2006: 2):
Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Jika sifat itu melahirkan
perbuatan yang baik menurut akal dan syariat, maka disebut akhlak
yang baik, dan bila lahir darinya perbuatan yang buruk, maka
disebut akhlak yang buruk.
Dari pengertian di atas dapat dimengerti bahwa akhlak adalah
tabiat atau sifat seseorang, yakni keadaan yang terlatih, sehingga dalam
jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan
perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan
diangan-angankan terlebih dahulu. Akhlak itu harus tertanam kuat/tetap
-
28
dalam jiwa dan melahirkan perbuatan selain benar secara akal, juga harus
benar secara syariat Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Akhlak ini terjadi melalui satu konsep atau seperangkat pengertian
tentang apa dan bagaimana sebaiknya akhlak itu harus terwujud. Konsep
atau seperangkat pengertian tentang apa dan bagaimana sebaiknya akhlak
itu, disusun oleh manusia di dalam sistem idenya.
Akhlak atau sistem perilaku dapat dididikkan atau diteruskan
melalui sekurang-kurangnya dua pendekatan, seperti yang dijelaskan
Abu Ahmadi dan Moor Salimi yaitu:
a. Rangsangan-jawaban (stimulus-respons) atau yang yang disebut
proses mengkondisi sehingga terjadi automatisasi yang dapat
dilakukan dengan tiga cara melalui latihan, tanya jawab, dan
mencontoh.
b. Kognitif yaitu penyampaian informasi secra teoretis yang dapat
dilakukan melalui dakwah, ceramah, diskusi dan lain-lain (Abu
Ahmadi dan Noor Salimi, 1991: 199).
Akhlak bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan tidak
memerlukan pikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar. Akhlak
juga dapat dianggap sebagai pembungkus bagi seluruh cabang keimanan
dan menjadi pegangan bagi seseorang yang hendak menjadi seorang
muslim yang sejati. Bisa juga dikatakan bahwa akhlak itu bersumber dari
dalam diri seseorang dan dapat berasal dari lingkungan. Maka, secara
umum akhlak bersumber dari dua hal yaitu dapat berbentuk akhlak baik
-
29
dan akhlak buruk. Dengan demikian akhlak dapat dilatih maupun
dididikkan. Pendekatan yang dilakukan dalam hal mendidikkan akhlak
dapat berupa latihan, tanya jawab serta mencontoh dan bisa juga
dilakukan melalui pengetahuan seperti jalan dakwah, ceramah dan
diskusi.
Kedudukan akhlak dalam pendidikan Islam amat penting,
sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah Saw.:
قَ َل َاال خ م ك ار َم م ت م َأل ث ت اَُ ع َا نَم
“Sesungguhnya Aku diutus hanya untuk menyempurnakan
keutamaan akhlak” (HR Al-Baihaqi). Bahkan, dikatakan bahwa definisi
agama adalah berakhlak mulia.
3. Teori Fitrah
Kata “fitrah” berasal dari kata kerja (fi’il) fathara yang berarti
“menjadikan”. Secara etimologis fitrah berarti: kejadian, sifat semula
jadi, potensi dasar, kesucian (Mualimin, 2017: 257). Jadi berkaitan
dengan fitrah ini maka yang dimaksud adalah ciptaan Allah yang berupa
agama, agama yang lurus, yang tidak lain adalah agama Islam.
Sedangkan maksud daripada fitrah manusia adalah kesediaan secara aktif
dari jiwa manusia untuk menerima fitrah Allah (Thoha, 1996: 184).
Abdul Mujib mengutip dari Imam al-Qurtubi mengartikan fitrah
jika dikorelasikan dengan kalimat lain, mempunyai banyak makna; (1)
fitrah dapat berarti suci (ath-thuhr), (2) fitrah berarti potensi ber-Islam
(al-din Al-Islamiy), (3) fitrah mengakui keesaan Allah (Tahwid Allah),
-
30
(4) fitrah berarti kondisi selamat (al-salamah), dan kontinuitas
(istiqomah), (5) fitrah berarti perasaan yang tulus (al-Ikhlas), manusia
dilahirkan membawa potensi baik, (6) fitrah berarti kesanggupan
menerima kebenaran, (7) fitrah berarti potensi dasar manusia atau
perasaan untuk beribadah (Mualimin, 2017: 257).
Jika pengertian ini dikaitkan dengan manusia, fitrah merupakan
bentuk penciptaan sesuatu untuk pertama kali. Struktur atau ciri ilmiah
yang melekat dalam setiap manusia yang lahir dari rahim ibunya adalah
dia selalu memiliki fitrah (Muhammad, 1997: 19). Karena fitrah
merupakan suatu yang selalu diletakkan kepada manusia dalam
penciptaannya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa fitrah adalah
wujud suatu sistem (psiko-fisik) yang terdapat pada manusia dan
memiliki citra unik yang telah ada sejak penciptaannya manusia. Artinya
dalam diri manusia secara alami memiliki tabiat dan watak yang
berpotensi untuk mengarah dan menuju kepada penciptaannya, sehingga
akualisasi dari fitrah tercermin dalam tingkah laku yang sesuai dengan
kehendak sang pencipta.
Dalam pertumbuhannya, manusia itu sendirilah yang harus
berupaya mengarahkan fitrah tersebut pada iman atau tauhid melalui
faktor pendidikan, pergaulan dan lingkungan yang kondusif. Bila
beberapa faktor tadi gagal dalam menumbuhkembangkan fitrah manusia,
maka dikatakan bahwa fitrah tersebut dikatakan dalam keadaan tertutup.
-
31
Sebagai bentuk potensi, fitrah dengan sendirinya memerlukan
aktualisasi atau pengembangan lebih lanjut. Tanpa aktualisasi, fitrah
dapat tertutupi oleh polusi yang dapat membuat manusia berpaling dari
kebenaran. Meskipun setiap orang memiliki kecenderungan ini tidak bisa
serta merta secara aktual berwujud dalam kenyataan. Karena itu, fitrah
bisa yazid wa yanqush atau bisa tambah juga bisa kurang. Tambah,
karena faktor pembinaan dan pendidikan yang kondusif, dan kurang,
karena faktor negatif yang mempengaruhinya (Assegaf, 2017: 46-47).
Pilar fitrah ini hendaknya menjadi penyangga pendidikan Islam,
agar praktik yang dilaksanakan selalu mengarah pada kesucian, Islam,
iman, dan tauhid, back to fitrah. Allah Swt. menegaskan perintah untuk
mengikuti agama tauhid dan berpegang teguh pada syariah dan fitrah
yang sehat itu adalah agama yang lurus; tidak ada kebengkokan dan
penyimpangan di dalamnya.
4. Masjid Sebagai Pusat Peradaban
Dalam pendidikan Islam disyaratkan adanya suatu lingkungan
pendidikan agar tercapainya tujuan pendidikan. Terdapat tiga lingkungan
pendidikan utama, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan
Islam yang ada di lingkungan masyarakat umumnya bersifat nonformal.
Hasan Langgulung mengemukakan bahwa sarana pendidikan Islam dari
kaum muslim yang telah melembaga pada masa permulaan Islam adalah
kuttab (surau), madrasah (sekolah), dan masjid (Abdullah, 2001: 77-78).
-
32
Secara bahasa, masjid berarti tempat sujud. Maka bisa dipahami
bahwa kata “sujud” adalah dalam arti luas. Sujud adalah aktivitas untuk
mengakui keagungan Tuhan, menghormati-Nya, pengakuan atas
kesalahan diri sendiri dan kebenaran-Nya, dan sujud juga berarti
pernyataan ketundukan terhadap semua aturan-aturan Allah SWT
(Darodjat dan Wahyudiana, 2014 : 6).
Pada masa awal sejarah Islam, masjid menjadi lembaga
pendidikan utama. Pada saat itu masjid, dengan segala perlengkapan
yang ada dipergunakan sebagai sarana mendidik umat Islam. Inilah yang
dilakukan Rasulullah SAW di masjid Nabawi. Rasulullah di masjid
tersebut mendidik umat Islam dari segala umur dan jenis kelamin;
dewasa, remaja, anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Bagi
orang dewasa, mereka memanfaatkan masjid untuk tempat belajar Al-
Qur’an, hadits, fikih, dasar-dasar agama, bahasa dan sastra Arab.
Sementara bagi wanita, mereka mempelajari Al-Qur’an, hadits, dasar-
dasar Islam dan keterampilan menenun atau memintal, sementara anak-
anak belajar di serambi masjid dengan materi Al-Qur’an, agama, bahasa
Arab, berhitung, keterampilan berkuda, memanah dan berenang.
Bila diilustrasikan antara pusat pendidikan di keluarga,
masyarakat dan masjid tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
-
33
Bagan 2
Catur Pusat Pendidikan
Fungsi utama masjid adalah tempat untuk beribadah, selain itu
masjid juga difungsikan untuk tempat pendidikan bagi semua usia
(Daulay, 2009: 20-21). Abd Al-Rahman Al-Nahlawi juga menyatakan
bahwa masjid merupakan pusat pendidikan. Dengan demikian masjid
difungsikan tidak hanya sebagai tempat ibadah mahdhah semata,
melainkan juga tempat ibadah sosial (ibadah ijtima’iyyah) salah satunya
melalui pendidikan sebagai persemaian pengembangan sumber daya
manusia (human resourcces development) di kalangan umat Islam
(Qomar, 2015: 61).
Dengan melihat peran masjid yang sangat besar, maka dapat
dikatakan bahwa masjid sebagai pusat peradaban, sebab masjid berkaitan
erat dengan kegiatan sehari-hari umat Islam, bukan hanya sebagai simbol
namun juga untuk mewujudkan kemajuan peradaban, masyarakat dan
keruhanian umat. Prinsip pendidikan hadhari adalah memberdayakan
seoptimal mungkin fungsi masjid bagi pemberdayaan umat dan
Keluarga
Masjid
Masyarakat
Sekolah
-
34
pendidikan Islam. Berawal dari masjidlah banyak lembaga pendidikan
didirikan di masa keemasan umat Islam.
C. Bilik Hadharah Pendidikan Hadhari
Pendidikan hadhari menurut Abd. Rachman Assegaf adalah
pendidikan berkemajuan yang berusaha membangun kembali peradaban
Islam agar tidak ketinggalan dengan kemajuan zaman dengan mensinergikan
ketiga entitas atau bilik hadharah yaitu hadharah al-nash, hadharah al-
falsafah, dan hadharah al’ilm.
1. Bilik Hadharah Al-Nash
Hadharah al-nash menjelaskan bagaimana semestinya pendidikan
Islam dilaksanakan secara visioner (berwawasan ke depan). Visi berarti
kemampuan melihat pada inti persoalan dengan penuh wawasan dan
pandangan yang luas. Pendidikan memerlukan visi yang jelas yaitu
keinginan atau cita-cita yang hendak dicapai selama dan setelah proses
pendidikan berlangsung. Untuk menjadikan cita-cita tersebut benar-benar
terjadi, maka visi pendidikan dinyatakan dalam uraian tujuan yang
operasional.
Menurut umar Muhammad al-Toumi al-Syaibani (1979: 422-424),
tujuan khas pendidikan Islam itu meliputi:
a. Memperkenalkan kepada generasi muda akan aqidah-aqidah, dasar-
dasarnya, asal-usul ibadah, dan cara-cara melaksanakannya dengan
betul dengan membiasakan mereka berhati-hati mematuhi akidah-
akidah agama dan menjalankan serta menghormati syi’ar-syi’ar agama.
-
35
b. Menumbuhkan kesadaran yang betul pada diri pelajar terhadap agama,
termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar akhlak yang mulia.
c. Menanamkan keimanan kepada Allah SWT pencipta alam, dan kepada
malaikat, Rasul-rasul, kitab-kitab, dan hari akhirat berdasarkan paham
kesadaran dan keharusan perasaan.
d. Menumbuhkan minat generasi muda untuk menambah pengetahuan
dalam adab dan pengetahuan keagamaan, dan untuk mengikuti hukum-
hukum agama dengan kecintaan dan kerelaan.
e. Mendidik naluri, motivasi, keinginan generasi muda, membentengi
dengan akidah dan nilai-nilai, membiasakan mereka menahan motivasi-
motivasinya, mengatur emosi dan membimbingnya dengan baik. Begitu
juga mengajar mereka berpegang pada adab kesopanan dalam hubungan
dan pergaulan mereka, baik di rumah, di sekolah, di jalananan atau di
lain bidang dan lingkungan.
Hasil kongres pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islam abad
merumuskan bahwa tujuan pendidikan Islam itu harus diarahkan pada
pertumbuhan yang berkeseimbangan dari kepribadian manusia yang
menyeluruh melalui latihan spiritual, kecerdasan dan rasio, perasaan dan
panca indra (Arifin, 1987: 308).
Oleh karena itu, maka pendidikan harus memberikan pelayanan
kepada pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, yaitu aspek
spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, linguistik; baik secara
individual maupun kolektif, serta mendorong semua aspek itu ke arah
-
36
kebaikan dan pencapaian kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan terletak
pada sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT pada tingkat
individual, masyarakat dan pada tingkat kemanusiaan pada umumnya.
Al-Qur’an sendiri, baik secara langsung atau jelas maupun secara
tak langsung atau samar, mensinyalisasi beberapa tujuan yang harus
dicapai oleh manusia di muka bumi ini, atau beberapa tujuan Allah SWT
menciptakan manusia. Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah
di bumi ini (QS. Al-Baqarah ayat 30 dan QS. Al-Faathir ayat 39),
misalnya mengindikasikan perlunya pendidikan itu diarahkan untuk
membentuk manusia Muslim sebagai khalifah fi al-ardhi. Seruan agar
manusia betakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa (QS. Ali
Imran ayat 102) mengindikasikan bahwa pendidikan Islam itu perlu
diarahkan kepada pembentukan sikap takwa. Diutusnya para Nabi dan
Rasul, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar
manusia mau beriman kepada-Nya (QS. Al-Fath ayat 89 dan QS. Al-
Hadid ayat 8), mengindikasikan bahwa pendidikan Islam itu perlu
diarahkan kepada pembentukan kesadaran iman kepada Allah SWT.
2. Bilik Hadharah Al-Falsafah
Hadharah al-falsafah menjelaskan peradaban diharapkan mampu
memberikan pencerahan bagi manusia akan eksistensi sebenarnya hidup
di muka bumi. Falsafah dalam pendidikan hadhari terbagi menjadi lima
macam di antaranya yaitu, falsafah insaniyah, tarbawiyah,
eksistensialisme, al-hadhariyah dan al-akhlaqiyah. Namun pada
-
37
penelitian ini, penulis membatasi kajian teori yang digunakan sebagai
rujukan dalam penelitian, yaitu falsafah insaniyah dan falsafah
tarbawiyah.
a. Falsafah Insaniyah
Pemikiran tentang hakikat manusia dibahas dalam falsafah
manusia (falsafah insaniyah). Filsafah manusia dalam hubungannya
dengan pendidikan sebagai berikut. Pertama, bahwa pembahasan
tentang manusia sangat erat kaitannya dengan pendidikan, pendidikan
dilakukan oleh manusia dan untuk manusia, yakni yang
menyelenggarakan pendidikan (dalam hal ini pendidik atau guru),
yang mengelola administrasi pendidikan dan yang menjadi subjek dan
objek pendidikan (dalam hal ini peserta didik) adalah manusia. Kedua,
bahwa dalam merumuskan berbagai komponen pendidikan, mulai dari
visi, misi, tujuan, pengelolaan kurikulum, kompetensi guru, keadaan
siswa, proses belajar mengajar bertitik tolak pada pada pemahaman
tentang konsep manusia. Ketiga, bahwa manusia masalah manusia
adalah masalah yang selalu dibicarakan oleh manusia sendiri dan tak
habis-habisnya dalam keadaan yang penuh dengan tanda tanya atau
misterius.
Zaini dan Seta dalam tulisan M. Syaiful Rahman mengatakan
bahwa, di dalam Islam banyak digambarkan tentang manusia dan
makna filosofis dari penciptaannya, tidak ada makhluk lain selain
manusia yang paling sempurna, manusia mempunyai sifat-sifat
-
38
ketuhanan seperti sifat-sifat yang dipunyai oleh Tuhan. Seperti
berkuasa, berkehendak, berilmu, penyayang, pengasih, melihat,
mendengar, berkata-kata dan sebagainya. Tetapi sifat-sifat ini tidaklah
sama. Tuhan adalah pencipta, sedangkan manusia adalah ciptaan-Nya.
Pencipta dengan ciptaan-Nya tidak sama. Karena itu sifat-sifat Tuhan
yang ada pada manusia tentulah sesuai dengan kemanusiaannya
(Rahman, tt: 239).
Hakikat manusia hidup di muka bumi adalah sebagai makhluk
liberal, makhluk rasional, makhluk sosial, makhluk progresif aktif,
dan etico-religius (Assegaf, 2017: 148-150). Walaupun manusia itu
merupakan makhluk yang mulia terlahir ke dunia dalam keadaan
fitrah, dan memiliki tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi,
bukanlah berarti manusia tak berpotensi untuk berbuat kerusakan.
Agar manusia dapat menjalankan kekhalifahannya dengan
baik, Allah SWT telah mengajarkan kepada manusia kebenaran dalam
segala ciptaan-Nya dan melalui pemahaman terhadap hukum-hukum
yang terkandung dalam ciptaan-Nya, manusia dapat menyusun
konsep-konsep serta melakukan rekayasa membentuk terwujud baru
dalam alam kebudayaan.
Pendidikan Islam jika semata-mata menekankan pembentukan
pribadi muslim yang sanggup mengabdi, beribadah, dan akhlak al-
karimah saja, akibatnya pribadi yang terbentuk adalah kesalehan
individual, maka tidak bisa tidak umat Islam pasti akan tertinggal jauh
-
39
dalam kemajuan ilmu dan teknologi di dunia ini, sementara kemajuan
tersebut akan diambil alih oleh umat yang lain.
Begitu pula halnya, apabila pendidikan Islam hanya
memfokuskan perannya sebagai pembentuk khalifah di muka bumi
yang sanggup menguasai ilmu dan teknologi dan menguak rahasia
alam untuk dikelola demi kemakmuran hidup di dunia tanpa memberi
keseimbangan terhadap fungsinya sebagai hamba Allah SWT dan
fitrahnya, maka manusia sebagai makhluk, pendidik dan si terdidik.
Sebagai hamba Allah, khalifah fi al-ardi dan fitrah harus dioptimalkan
melalui proses pendidikan Islam.
b. Falsafah Tarbawiyah
Pemikiran edukatif berbeda dengan pemikiran filosofis.
Pemikiran filosofis dijadikan sebagai dasar dan sumber bagi
pemikiran edukatif. Esensialiasme, perenialisme, progresivisme,
rekonstruktivisme dan eksistensialisme merupakan refleksi dari
pemikiran edukatif yang masing-masing mendasar pada pemikiran
filosofis, idealisme, realisme, neo-thoimisme, eksperimentalisme atau
pragmatisme dan eksistensialisme (Assegaf, 2017: 176). Pemikiran
edukatif yang dikaitkan atau tidak memisahkan diri dari landasan
pemikiran filosofis akan membentuk falsafah pendidikan.
-
40
Bagan 3: Arus Hubungan Antra Aliran Filsafat dengan
Perkembangan Teori-teori Pendidikan
Bagan di atas menjelaskan bagaimana terbentuknya teori-teori
pendidikan bersumber dari aliran filsafat. Filsafat pendidikan Islam
merupakan kajian filosofis mengenai berbagai persoalan terkait
dengan pendidikan yang bermuara pada ajaran agama Islam. Dengan
landasan norma Islam itu pula, kajian filosofis yang digunakan dalam
falsafah tarbawiyah mengandung arti bahwa filsafat tarbawiyah itu
merupakan pemikiran secara mendalam, sistematik, radikal dan
universal dalam rangka mencari kebenaran hakikat pendidikan Islam.
Secara struktural, suatu kajian teoretis (ilmu) dan kajian
teknologis suatu bidang ilmu bersumber dari gagasan pada ranah
Falsafah Teori Pendidikan
idealisme
realisme
positivisme
neo-skolastik
pragmatisme
eksistensialisme
esensialisme
behaviorisme
perenialisme
rekonstruktivisme futrisme
progresivisme
humanisme deschooling
-
41
kefilsafatan. Meskipun pada saat ini telah tumbuh berbagai spesifikasi
ilmu yang berkembang mandiri, bahkan saling tidak terkait anatara
satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lainnya, pada dasarnya satu
bidang ilmu itu bersumber dari satu cara pandang pada tingkat
kefilsafatan. Oleh karena itu, jelas bahwa praktik tarbawiyah
(pendidikan Islam) berhubungan secara historis dan struktural dengan
ilmu pada tataran teknologi tarbawiyah. Teknologi tarbawiyah
bersumber dari ilmu tarbawiyah pada tataran teoretis, kemudian ilmu
tarbawiyah bersumber dari filsafat tarbawiyah, dan filsafat tarbawiyah
semestinya disusun dari filsafat yang berkembang dalam sejarah
pemikiran Islam (Mubarok, 2016: 10).
3. Bilik Hadharah Al-‘Ilm
Ilmu (pengetahuan) merupakan “a high level of knowledge”.
Manusia tidak pernah puas dengan begitu saja mengenai apa yang
diketahuinya dalam kehidupan sehari-hari. Ia selalu ingin tahu lebih jelas
dan mendalam, untuk mana manusia mengggunakan suatu sistem dan
metode tertentu. Sasaran yang ingin diketahuinya yaitu hal-hal mengenai
dirinya sendiri, sesamanya, lingkungannya baik bersifat materiil serta
yang non materiil, maupun masalah-masalah transenden itulah yang
kemudian mengejawantah sebagai ilmu (pengetahuan) dengan berbagai
cabang dan rantingnya seperti ilmu manusia, ilmu masyarakat, ilmu
lingkungan, ilmu alam, ilmu agama dan masih sekian banyak lagi cabang
ilmu (Thoha dkk, 1996: 7-8).
-
42
Menurut al-Ghazali, hakikat ilmu adalah terhasilkannya salinan
objek pada mental subjek sebagaimana realitas objek sendiri, yang dalam
bahasa dinyatakan dalam bentuk proposisi-proposisi yang pasti dan sesuai
dengan realitas objek berdasarkan metode ilmiah tertentu, untuk kemajuan
dan kebahagiaan manusia secara abadi (Anwar, 2001: 286).
Dalam pemikiran Islam, ada dua sumber ilmu, yaitu wahyu dan
akal. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Manusia diberi kebebasan
dalam mengembangkan akalnya dengan catatan tetap mengikuti tuntunan
wahyu dan tidak bertentangan dengan syariat. Atas dasar itu, ilmu terbagi
dalam dua bagian, yaitu ilmu yang bersifat abadi di mana tingkat
kebenarannya bersifat mutlak, karena bersumber dari wahyu Allah SWT,
dan ilmu bersifat perolehan, di mana tingkat kebenarannya bersifat nisbi
karena bersumber dari akal pikiran manusia.
Hadharah al-‘ilm memberikan pencerahan pada umat Muslim agar
unggul dan terkemuka di bidang ilmu pengetahuan. Klasifikasi ilmu yang
dikembangkan di Barat sampai saat ini membagi ilmu dalam bidang
sosial, alam dan humaniora. Ilmu-ilmu yang terkait dengan pendidikan
masuk dalam kategori ilmu sosial, sedang agama dalam humaniora. Posisi
agama dalam humaniora tersebut jelas mereduksi peran wahyu dalam
bidang keilmuan.
Hadharah al-‘ilmu menekankan bahwa dalam peradaban Islam,
ketiga klasifikasi ilmu di atas yakni sosial, alam dan humaniora,
dikelompokkan dalam ilmu-ilmu rasional (al-ulum al-aqliyah, rational
-
43
knowledge) karena bersumber dari daya nalar manusia. Sedangkan agama
ternasuk dalam bidang tersendiri, al-ulum al-naqliyah (al-diniyah) atau
revealed knowledge. Kemajuan ilmu rasional dan wahyu ini harus dicapai
secara seimbang sehingga membentuk peradaban ilmu atau hadharah al-
‘ilm (Assegaf, 2017: 257).
Dari penjelasan tentang tiga entitas hadharah di atas menggambarkan
bahwa setiap rumusan ilmu sadar akan kelemahan masing-masing. Oleh
karena itu perlu saling berdialog dan bekerja sama dan memanfaatkan metode
dan pendekatan disiplin ilmu lain dan saling melengkapi kekurangan dan
kelebihan yang melekat pada tiap disiplin ilmu.
-
44
BAB III
DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM ERA MODERN
A. Hakikat Pendidikan Islam
Muhammad S.A. Ibrahimy, sebagaimana yang dikutip oleh Syaiful
(1999: 10) dalam laporan penelitiannya, memberikan definisi bahwa
pendidikan Islam adalah:
Islamic education in the true sense of learn, is a system of education
wich enables a man to lead his life according of the islamic ideology,
so that be may easily mould his life accordance with tenets of Islam.
Pendidikan Islam dalam arti sebenarnya belajar, adalah suatu sistem
pendidikan yang memungkinkan manusia untuk menjalani hidupnya sesuai
dengan ideologi Islam, sehingga dapat dengan mudah membentuk
kehidupannya sesuai dengan ajaran Islam.
Sedangkan Yusuf Qardhawi dalam Umiarso dan Haris Fathoni
Makmur (2010: 39), mengatakan pendidikan Islam adalah pendidikan
manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan
keterampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup,
baik dalam keadaan aman maupun perang, dan menyiapkan untuk
menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan
pahitnya.
Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan
Islam adalah rangkaian proses yang tersusun secara sistemais, terencana dan
komprehensif dalam upaya mentransfer nilai-nilai kepada peserta didik,
mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sehingga mampu
-
45
melaksanakan tugasnya di muka bumi dengan sebaik-sebaiknya sesuai
dengan nilai-nilai Ilahiyah yang di dasarkan pada ajaran agama (Al-Qur’an
dan Hadits) pada semua dimensi kehidupannya.
Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah yang menyatakan manusia
sebagai khalifatullah dimuka bumi, yaitu pada QS. Al-Baqarah ayat 30:
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata,
“Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan
menumpahkan darah di sana, sedangkan kami vertasbih memuji-Mu dan
menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui” (QS. Al-Baqarah: 30).
Dalam penciptaannya manusia diciptakan oleh Allah dengan dua
fungsi yaitu sebagai khalifah di muka bumi dan sebagai makhluk Allah
yang memiliki kewajiban untuk menyembah Allah SWT. berdasarkan
firman Allah dijelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk
membentuk manusia sebagi khalifah fi al-ardhi, hamba Allah yang taat
beribadah, pembentukan insan kamil dan tujuan pembentukan manusia
yang bertakwa, beriman dan berakhlak mulia.
Ketika manusia telah menyadari akan posisinya di muka bumi
sebagai khalifah yang senantiasa melakukan perbaikan atas dirinya dan
kehidupannya melalui pendidikan, diharapkan mampu terciptanya
-
46
peradaban yang berorientasi pada kemajuan. Sehingga semua dimensi
kehidupannya dapat berimplikasi terhadap pendidikan itu sendiri.
Implikasi dimensi itu sendiri, antara lain:
1. Pendidikan dilakukan oleh pendidik yang benar-benar kompeten
dbidangnya., tanpa terkelupasnya nilai agama pada dirinya.
2. Pendidikan dilakukan dengan berdasarkan normatif Ilahiyah.
3. Pendidikan dilakukan sesuai dengan potensi peserta didik.
4. Pendidikan tidak hanya sekadar berorientasi pada kehidupan duniawi,
akan tetapi juga berorientasi pada kehidupan ukhrawi.
5. Pendidikan harus bertanggung jawab penuh pada perkembangan peserta
didik, baik kepada masyarakat maupun kepada Allah.
6. Pendidik harus merencanakan dan melaksanakan kegiatan pendidikan
sesuai dengan sunatullah.
7. Proses pendidikan harus melihat semua saluran, baik saluran formal,
informal, maupun nonformal, dalam upaya mengembangkan pribadi
peserta didik sehingga mampu menangkal nilai-nilai amoral (Umiarso
dan Makmur, 2010: 44-45).
B. Dasar-Dasar Pendidikan Islam
Pendidikan Islam bersumber pada enam hal, yaitu Al-Qur’an (yang
merupakan sumber utama dalam ajaran Islam), Sunnah (perkataan, perbuatan
dan persetujuan Nabi atas perkataan dan perbuatan para sahabatnya),
kesepakatan para ulama (ijma’), kemaslahatan umat (mashalah al-mursalah),
-
47
tradisi atau kebiasaan masyarakat (‘urf) dan ijtihad (hasil para ahli dalam
Islam) (Sudarto, 2018: 68).
Keenam sumber tersebut disusun dan digunakan secara hierarkis,
artinya rujukan pendidikan Islam berurutan diawali dari sumber utama yakni
Al-Qur’an dan dilanjutkan hingga sumber-sumber yang lain dengan tidak
menyalahi aau bertentangan dengan sumber utama.
Sebagaimana yang disebutkan secara eksplisit dalam firman Allah QS.
An-Nisa’ ayat 59:
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu benar-benar berman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya” (QS. An-Nisa’; 59).
Secara eksplisit, keenam sumber dasar tersebut dapat dideskripsikan
sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan-Nya melalui
perantara malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin
Abdullah dengan lafal berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar,
sebagai hujjah atas kerasulannya, menjadi undang-undang bagi manusia
-
48
yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi sarana pendekatan diri dan
bernilai ibadah dengan membacanya (Khalaf, 2014: 23).
Al-Qur’an memiliki perbendaharaan luas dan besar bagi
pengembangan kebudayaan umat manusia. Al-Qur’an merupakan sumber
pendidikan terlengkap baik itu pendidikan kemasyarakatan (sosial), moral
(akhlak), maupun spiritual (kerohanian), serta material (kejasmanian) dan
alam semesta. Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolut dan utuh.
Eksistensinya tidak akan pernah mengalami perubahan, ia merupakan
pedoman normatif-teoritis bagi pelaksanaan pendidikan Islam yang
memerlukan penafsiran lanjut bagi operasional pendidikan Islam.
Apabila melihat begitu luas dan persuasifnya Al-Qur’an dalam
menuntun manusia, yang kesemuanya merupakan proses pendidikan
kepada manusia menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab dasar utama bagi
pengembangan ilmu pengetahuan (Umiarso dan Makmur, 2010: 51).
Pelaksanaan pendidikan Islam harus senantiasa mengacu pada Al-Qur’an
sebagai sumber rujukan atau pedoman, sehingga pendidikan Islam mampu
mengarahkan dan mengantarkan manusia bersifat dinamis, kreatif, serta
mampu mencapai nilai-nilai ubudiyah pada khaliknya.
Semua proses pendidikan Islam merupakan proses konservasi dan
transformasi serta internalisasi niali-nilai dalam kehidupan manusia
sebagaimana yang diinginkan oleh ajaran Islam. Dengan upaya
penanaman nilai-nilai Islam diharapkan peserta didik mampu hidup secara
-
49
serasi dan seimbang, baik dalam kehidupan dunia maupun kehidupan
akhirat.
Allah berfirman dalam QS. Al-Alaq ayat 1-5:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan mu yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah , dan
Tuhan mu lah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya”. (QS. Al-Alaq: 1-5).
Ayat di atas merupakan perkenalan dan petunjuk dari Allah.
Mengenalkan kepada manusia bahwa segala sesuatu itu adalah ciptaan
Allah sendiri tanpa bantu siapapun. Al-Qur’an juga merupakan petunjuk,
bahwa manusia harus dapat membaca dalam konteks yang sesungguhnya
maupun dalam arti majazi (kiasan). Makna sesungguhnya adalah membaca
apa yang yang ditulis berupa huruf. Makna majazi adalah membaca sendiri
dan alam sekitarnya serta latar belakang keduanya itu.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW (Duryat, 2016: 68), adapun
dasar atau landasan pendidikan Islam itu yang pertama adalah Al-Qur’an,
kemudian al-Hadits:
َت ََنَ ل ََنَ يَ رَ مَ أ ََمَ كَ يَ ف ََتَ كَ رَ ت َ هَ ي َب َنَ َة َنََسَ ,َوَ للا ََابَ ت َاَ:َكَ مَ هَ َُ َمَ ت َكَ سََمَ ات َاَمَ وَ ل َض
“Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak
akan tersesat sama sekali, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu
Kitabullah dan Sunnah-Ku”. (HR. Al-Hakim dan Ibnu Abdil Bar, dari
Abdullah bin Umar bin ‘Auf, dari ayahnya, dari kakeknya).
-
50
2. Sunnah
Sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an yaitu sunnah.
Sunnah merupakan jalan atau cara yang pernah dicontohkan Nabi dalam
perjalanan kehidupannya melaksanakan dakwah. Contoh yang diberikan
beliau dibagi menjadi tiga bagian yaitu: Hadits qauliyah, fi’liyah dan
takririyah. Ini merupakan sumber dan acuan yang dapat diguanakan umat
Islam dalam seluruh aktivitas kehidupannya. Hal ini disebabkan, meskipun
secara umum bagian terbesar dari syariat Islam telah terkandung dalam Al-
Qur’an namun muatan hukum tersebut belum mengatur berbagai dimensi
aktivitas kehidupan umat secara terperinci dan analis.
Sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an, Sunnah
memiliki fungsi penting dalam hukum Islam. Secara umum, fungsi Sunnah
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi bayan (penjelas apa yang
terdapat di dalam Al-Qur’an) dan fungsi insya’ atau tasryi’ (menetapkan
hukum sendiri dalam kasus di mana Al-Qur’an belum menyebutkannya
sama sekali (Suwarjin, 2012: 67-68).
Dari sinilah dapat dilihat bagaimana posisi Sunnah atau Hadits
Nabi sebagai sumber atau dasar pendidikan Islam yang utama setelah Al-
Qur’an. Eksistensinya merupakan sumber inspirasi ilmu pengetahuan yang
berisikan keputusan dan penjelasan Nabi dari pesan-pesan Ilahiyah yang
tidak terdapat dalam Al-Qur’an, maupun yang terdapat dalam Al-Qur’an
tetapi masih memerlukan penjelasan lebih lanjut secara terperinci.
-
51
Kedudukan Sunnah sebagai sumber atau dasar pendidikan dan ilmu
pengetahuan, dapat dilihat dari firman Allah SWT QS. An-Nisa’ ayat 80
yang berbunyi:
Artinya: “Barang siapa yang taat kepada Rasul sesungguhnya
iapun taat kepada Allah. (QS. An-Nisa’: 80)”
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa kedudukan Sunnah atau
Hadits Nabi merupakan dasar utama yang dapat dipergunakan sebagai
acuan bagi pelaksanaan pendidikan Islam yang dapat ditiru dan dijadikan
referensi teoritis maupun praktis.
Dalam pendidikan Islam acuan tersebut dapat dilihat dari dua
bentuk, yaitu: pertama, sebagai acuan syar’iyah, yang meliputi muatan-
muatan pokok ajaran Islam secara tertulis. Kedua, acuan operasional
apikatif yang meliputi cara Nabi memainkan peranannya sebagai pendidik
dan sekaligus sebagai evaluator yang profesional, adil dan tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam (Umiarso dan Makmur, 2010:
54). Proses pendidikan Islam yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW
merupakan bentuk pelaksanaan pendidikan yang bersifat fleksibel (dapat
menyesuaikan) dan universal sesuai dengan potensi yang dimiliki peserta
didik, kebiasaan (adat istiadat) masyarakat, serta kondisi alam dimana
-
52
proses pendidikan tersebut berlangsung dengan dibalut oleh pilar-pilar
akidah Islamiyah.
3. Ijma’
Secara etimologi, ijma’; mempunyai dua pengertian, yaitu
kesepakatan aau konsensus dan ketetapan hati untuk melakukan sesuatu
(Suwarjin, 2012: 69). Secara terminologis Abdul Wahab Khallaf (2014:
66)mendefinisikan ijma’ dengan; kesepakatan seluruh mujtahid dari
kalangan umat Islm pada suatu masa setelah wafatnya Rasul atas hukum
syara’ suatu peristiwa.
Dalam definisi tersebut hanya disebutkan sesudah Rasulullah SAW
wafat, karena pada waktu Rasulullah masih hidup, beliaulah yang menjadi
rujukan satu-satunya pembentukan hukum Islam, sehingga tidak
dimungkinkan adanya perbedaan dan kesepakatan terhadap hukum syar’i.
Hal tersebut dikarenakan suatu ijma’ hanya akan terwujud dari beberapa
orang.
Pendidikan yang berlangsung pada dini hari dan yang akan datang
akan selalu mengalami lonjakan atau tantangan. Khususnya pada
pendidikan Islam seringnya berhadapan dengan masalah-masalah
kontemporer yang hukum syar’inya tidak terdapat atau tidak tertera pada
nash Al-Qur’an dan As-sunnah, sehingga dalam pemecahan masalah
memerlukan ijma’ sebagai pedoman dalam mengambil keputusan.
-
53
4. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah merupakan kata-kata yang diperkenalkan dari
bahasa Arab dalam bentuk sifat-mausuf, terdiri dari dua kata, yaitu
maslahah dan mursalah. Jika kedua kata tersebut disandingkan dalam
bentuk maslahah mursalah atau al-maslahah al-mursalah, dalam bentuk
atau sebagai sifat-mausuf, maksudnya adalah terlepas atau bebas dari
keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan
(Syarifuddin, 1999: 332). Sebelum diuraikan pengertian maslahah
mursalah secara khusus, terlebih dahulu dilihat maslahah secara umum.
Secara etimologis, maslahah berasal dari kata salaha yang berarti
baik. Kata itu ditujukan untuk menunjukkan jika sesuatu atau seseorang
menjadi baik, tidak korupsi, benar, adil, saleh dan jujur. Atau secara
alternatif untuk menunjukkan keadaan yang mengandung kebajikan-
kebajikan tersebut (Rusfi, 2014: 64). Sedangkan secara terminologi,
maslahah mursalah ialah kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’
dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang meyuruh mengambil atau
menolaknya (Suwarjin, 2012: 138).
Penempatan kemaslahatan ini sebagai sumber hukum sekunder,
menjadikan hukum Islam luwes dan fleksibel, sehingga dapat
diimplementasikan dalam setiap kurun waktu, di setiap lingkungan sosial
komunitasnya. Namun perlu dicatat bahwa ruang lingkup penerapan
hukum maslahah ini terbatas pada bidang muamalah, sepanjang masalah
itu reasonable maka penelusuran terhadap masalah-masalah muamalah
-
54
menjadi urgen. Maslahah mursalah tidak
top related