konflik tanah di daerah perbatasan (studi · pdf filedapat dibuktikan dari cerita rakyat yang...
Post on 04-Feb-2018
220 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KONFLIK TANAH DI DAERAH PERBATASAN (STUDI KASUS TIGA KELOMPOK ETNIK DI PASAMAN, SUMATERA BARAT, 1930-1960) 1
OLEHUNDRI.SS,M.Si 2
Pendahuluan
Tanggal 18 September 1953, sebuah surat kabar lokal di Padang menulis berita
tentang sekitar heboh bermigrasinya penduduk dari Tapanuli Selatan ke daerah Rao,
Pasaman (Haluan,18 September 1953). Heboh, dikarenakan mereka datang dengan
menyeludup dan mengambil tanah penduduk setempat dengan sewenang-wenangnya.
Tanah yang mereka ambil bukan saja tanah untuk pemukiman, namun juga lahan
pertanian. Fenomena seperti ini membuat mereka golongan yang “lapar tanah” (land
hunter). Mengutip pendapat Langenberg dalam memahami tipelogi orang Mandailing
dalam penguasaan tanah (Langenberg, 1977 ; 100 dalam Pelly, 1984 ; 16).
Migrasi orang Tapanuli Selatan tahun 1953 tersebut bukan yang pertama kali,
namun telah dilakukan oleh “nenek moyang” mereka sebelumnya, saat meletusnya
gerakan Paderi di Sumatera Barat. Kemudian dilanjutkan tahun 1930-an. Tahun 1930,
tercatat dari 37.612 orang yang bermigrasi keseluruh Indonesia sebanyak 25.945 orang
(68.9%) bermigrasi ke Sumatera Barat khususnya ke Pasaman. Kampung halaman
orang Mandailing bersebelahan disebelah utara Pasaman, telah memungkinkan
mereka untuk bermigrasi ke daerah tetangganya tersebut (Pelly, 1984 : 11 ;
Koentjaraningrat,1984: 285). Bermigrasinya orang dari Tapanuli Selatan, telah
memunculkan konflik. Konflik dalam bentuk perebutan penguasaan tanah, baik untuk
pemukiman maupun lahan pertanian. Dalam perebutan tanah tersebut konflik yang
mengarah ke bentuk kekerasan tidak dapat dihindarkan.
Konflik diperparah, ketika tahun 1950-an pemerintah pusat mendatangkan orang
Jawa lewat kebijakan transmigrasi. Mereka umumnya berasal dari Pulau Jawa dan
1 Makalah yang dipresentasikan pada Konferensi Nasional Sejarah VIII, Jakarta 14-17 November 2006. Penelitian tentang tema ini terlaksana berkat bantuan dana dari Nederlands Instituut voor Oorlogdocumentatie (NIOD) bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam program “Indonesia across orders : Reorganization of Indonesian Society 1930-1960”. dibawah advisory board Prof. Dr. Taufik Abdullah, MA2 Penulis adalah peserta penelitian sejarah kerjasama Nederlands Instituut voor Oorlogdocumentatie (NIOD) Belanda dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta. Untuk korespondensi dapat dialamatkan ke : undri_siun@yahoo.com.
1
Suriname. Awalnya daerah yang menjadi tempat para transmigran adalah Rao Mapat
Tunggul. Keberadaan orang Jawa di daerah tersebut ditentang oleh masyarakat dan
tokoh masyarakat. Karena mayoritas transmigran adalah orang Jawa, logis jika
“Jawanisasi” menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kebijakan transmigrasi dan
dengan dasar inilah mendapat tantangan (Riwanto Tirtosudarmo dalam Anwar, 2005 ;
69). Karena mendapat tantangan akhirnya mereka dipindahkan kebagian barat Rao
Mapat Tunggul yakni Pasaman Barat. Daerah ini telah ditempati oleh etnik
Minangkabau dan Mandailing sebelumnya. Kehadiran mereka sering terjadi konflik
dengan penduduk “setempat” menyangkut hak milik atas tanah. Sebab penduduk
setempat masih merasa tanah yang ditempati transmigran milik mereka. Walaupun oleh
ninik mamak setempat telah menyerahkan tanah kepada para transmigran.
Dalam penyelesaian konflik memperlihatkan kearah adanya penguatan peradilan
adat Minangkabau. Dimana prinsip-prinsip utama pengambilan keputusan dibuat
melalui proses musyawarah menuju mufakat. Keputusan yang benar hanya terjadi
apabila sakato atau mufakat telah dicapai oleh semua yang terlibat dalam persoalan-
persoalan yang harus diselesaikan.
Makalah ini membahas tentang bagaimana tiga kelompok etnik, Minangkabau,
Mandailing dan Jawa berebut tanah di daerah Pasaman sehinga terjadinya konflik. Di
daerah rantau Minangkabau tersebut, etnik Minangkabau sebagai penduduk asli
menganggap etnik Mandailing dan Jawa sebagai penduduk pendatang telah merebut
hak milik mereka atas tanah yang ada di daerahnya. Sebelumnya, penduduk asli telah
menyerahkan tanahnya kepada penduduk pendatang dengan membuat perjanjian.
Namun perjanjian yang dibuat tidak “diindahkan” oleh penduduk pendatang. Bagaimana
mereka saling menguasai tanah, baik untuk pemukiman maupun lahan pertanian
sehingga terjadi konflik ?, bagaimana bentuk konflik ?, bagaimana pengaruh konflik
terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat?, dan bagaimana bentuk penyelesaian
konflik itu sendiri ?.
2
Migrasi Tiga Etnik ke Pasaman
Pasaman terletak di daerah perbatasan (border line) antara Sumatera Barat dan
Sumatera Utara. Sebuah daerah yang dikelilingi oleh perbukitan yakni Bukit Barisan
serta gunung-gunung kecil yakni Gunung Pasaman, Talamau, dan Merapi. Daerah ini
boleh dikatakan merupakan “mini Indonesia”. Sebab heterogenitas penduduk yang
tinggi menempati daerah tersebut, yakni etnik Minangkabau, Mandailing, dan Jawa
(Asnan, 2003 ; 223). Dari ketiga etnik tersebut, orang yang beretnik Minangkabau dari
Pagaruyung dan Agam merupakan orang pertama yang mendiami daerah Pasaman. Ini
dapat dibuktikan dari cerita rakyat yang berkembang ditengah masyarakat, antara lain
yakni cerita rajo Sontang.3 Karena dia bersifat cerita rakyat, penelusuran terhadap
siapa dan sejak kapan mereka datang ke Pasaman agaknya sulit, sebab data untuk
menerangkan hal tersebut kurang memadai.
Setelah etnik Minangkabau menempati daerah ini, datanglah orang dari Tapanuli
Selatan beretnik Mandailing,4 Awal kedatangan mereka tidak terlepas dari munculnya
gerakan Paderi,5 memasuki abad ke 19 di Minangkabau (Aboe Nain, 1988 ; 53 ;
Undri,2005 ;106). Sebuah gerakan yang menyerukan “kembali ke syariat Islam” yang
berdasarkan Al-Quran dan Hadis nabi Muhammad SAW. Dalam rangka
mendakwahkan ajaran tersebut, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Bagindo Usman
melakukan penyebaran ajaran tersebut ke daerah Tapanuli Selatan.6 Diikuti pula
dengan proses pengislaman serta menguasai daerah tersebut. Bagi penduduk yang
dapat di Islamkan kemudian dibawa ke daerah Rao dan diserahkan tanah ( Dobbin,
3 Tentang isi dari cerita Rajo Sontang ini lebih lanjut lihat dalam Tim Peneliti Cerira Rakyat Daerah Sumatera Barat, Cerita rakyat (mite dan legenda) daerah Sumatera Barat dalam bahasa daerah Minangkabau. Jakarta : Proyek inventarisasi dan dokumentasi kebudayaan daerah pusat penelitian sejarah dan budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979/1980.4 Ada rasa tidak “nyaman” bagi orang Mandailing disebut Batak Mandailing. Dilapangan penulis temui mereka lebih suka menyebut etniknya Mandailing dari pada Batak Mandailing. Bila disebut mereka Batak Mandailing, raut wajah mereka akan terlihat “marah”, keadaan ini sering penulis dapati ketika melakukan wawancara dilapangan. Bagi mereka kata-kata Batak berkonotasi masyarakat yang memeluk agama Kristen, namun orang Mandailing pada umumnya beragama Islam. Kalau kita telesuri lebih lanjut bahwa didalam kebudayaan Batak dikenal beberapa suku bangsa pertama Karo yang mendiami daratan tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu. Kedua Simalunggun yang mendiami daerah induk Simalunggun. Ketiga Pakpak, yang mendiami daerah Pakpak. Keempat, Angkola, yang mendiami daerah Angkola. Kelima Mandailing, suku bangsa Mandailing ini mendiami daerah induk Mandailing, Ulu, Pakatan dan bagian selatan dari Padang Lawas, lihat Bangun dalam Koentjaraningrat, 1987 : 94-115 Gerakan paderi merupakan sebuah gerakan yang hendak memurnikan ajaran Islam di Minangkaau. Aliran Pidari (bahasa lain untuk menyebut Paderi) ini dikembangkan oleh orang-orang penuh cita-cita, bersedia berkorban, penuh dinamisme, kemudian sering dipaksakan secara berlebihan, terlalu picik dan kolot. Sehingga sering mendapat tantangan dari kaum adat dan juga bangsa Belanda sendiri. Cerita mengenai gerakan Paderi ini secara gamblang dapat dilihat Amran, 1985 : 385.6 Mengenai tokoh ini dalam menyebarkan ajaran Islam ke daerah Tapanuli Selatan lebih lanjut lihat karya Parlindungan, 1964 : 188 ; Hamka, 1974; Amran, 1985 : 570-571
3
1992 ; Aboe Nain, 1988 : 53 ; Hutahuruk, 1987 : 10 ; Lubis, 1989 : 20). Ini merupakan
periode pertama, kedatangan mereka ke daerah Pasaman. Periode kedua, tahun 1930-
an ketika pemerintah kolonial Belanda membangun sektor perkebunan karet di
Pasaman. Seiring dengan pembangunan sektor perkebunan tersebut, maka orang dari
Tapanuli Selatan datang ke Pasaman.7
Periode ketiga, tahun 1950-an. Berawal dari permintaan Busyarah Lubis
sebagai Bupati Meliter Pasaman meminta kepada Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan
untuk mengirimkan orang Tapanuli ke Pasaman. Basyarah Lubis yang memimpin
Kabupaten Pasaman periode Oktober 1947 sampai Desember 1949 adalah orang
yang berasal dari keturunan Mandailing itu sendiri. Sehingga tidaklah heran bila dia
menginginkan adanya “keturunan” dia untuk mendiami daerah Pasaman. Bagi pihak
pemerintah Kabupaten Pasaman, kepindahan mereka pada awalnya dianggap bersifat
legal –dianjurkan ke daerah Rao. Kedatangan mereka ke Rao sama dengan “menemui
sanak saudara” mereka yang sebelumnya telah datang ke Rao.
Berbeda dengan migrasi orang Minangkabau dan Mandailing, migrasi orang
Jawa ke Pasaman, tidak terlepas dari kedatangan pemilik modal ke daerah Pasaman
awal tahun 1900-an. Walaupun sebelumnya, keberadaan orang Jawa di Sumatera
Barat telah ada, yakni di bawa oleh Belanda sebagai kuli kontrak dan kuli paksa untuk
bekerja di tambang (de Graff dan Stibbe dalam Kahin, 2005 ; 40). Bagi pemerintah
kolonial Belanda mendatangkan pemilik modal ke daerah ini tidak terlepas dari daerah
ini mempunyai daerah yang cukup luas dan subur untuk lahan perkebunan. Di samping
itu adanya pelabuhan-pelabuhan kecil sebagai sarana penunjang untuk proses
distribusi hasil. Pelabuhan tersebut adalah pelabuhan Sasak dan Air Bangis. (Kato
dalam Nagazumi (Penyunting), 1986 : 77-115). Kedatangan pemilik modal di Pasaman
ditandai dengan munculnya perusahaan perkebunan N.V.Syndicaat Ophir tahun 1911,
N.V.Syndicaat Ophir, N.V. Sumatera Thee Mij, N.V.Tapanoeli, N.V.Talamaoe dan satu
7 Pada waktu kedatangan mereka terjadi konflik dengan masyarakat Pasaman karena mereka mengambil tanah masyarakat setempat terutama hutan guna dijadikan lahan perkebunan karet. Untuk lebih jelasnya lihat lebih lanjut lihat karya Undri, 2004 ; Undri, 2005
4
perusahaan belum punya nama yang dipimpin oleh C.Knegtmans. Untuk tenaga kerja
di perkebunan terdiri dari buruh bebas Jawa (vrije Java) dan buruh lepas (losse
Arbeiders) yang umumnya adalah suku Melayu. Menurut laporan kamar dagang
Belanda di Padang, pada akhir tahun 1935 buruh Jawa yang bekerja di perusahaan
N.V.Cultuur Maatschappij Ophir sebanyak 1.710 orang, buruh lepas sebanyak 142
orang. Awal tahun 1936 buruh yang bekerja 1.852 orang. Buruh inilah yang
dimanfaatkan oleh perusahaan Belanda untuk mengerjakan pembangunan kelapa sawit
Ophir (Asfahrizal, 1996 :36 dan 342).
Mereka bermigrasi ke Pasaman berlanjut sampai tahun 1960-an lewat program
transmigrasi. Tercatat jumlah mereka dari tahun 1953 sampai 1968 berjumlah 2.068
kepala keluarga atau 8.725 jiwa. Mereka berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa
Barat dan Suriname.8 Mereka tersebar disembilan lokasi yakni Sie Beremas, Desa
Baru, Koto Rajo, Pasaman, Koto Baru, Tongar, Padang Lawas, Kinali, Lepau
Tempurung (Jawatan Transmigrasi Kab. Pasaman ; Martodirjo, 1975 : 3).
Konflik Tiga Etnik di Pasaman1. Konflik Antara Orang Minangkabau dengan Mandailing
Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Bagindo Usman dan tokoh Padri lainnya awal
abad ke 19 telah melakukan serangkaian penyebaran ajaran Wahabi ke daerah
Tapanuli Selatan. Disamping menyebarkan ajaran, gerakan Paderi juga menguasai
daerah tersebut. Menguasai daerah diperlukan untuk melangengkan tersebarnya ajaran
kemudian mereka mengislamkan penduduk. Setelah di Islamkan mereka dibawa ke
Pasaman. Di daerah ini diserahkan tanah untuk digarap. Disamping digunakan sebagai
pasukan untuk melakukan perang melawan Belanda bersama kaum Paderi. Mereka
dating pada waktu itu belum memperlihatkan konflik dengan orang Minangkabau yang
telah dahulu menempati daerah tersebut (Parlindungan, 1964 ; 188).
Minimnya data yang tersedia, sehingga tidak memungkinkan menceritakan
panjang lebar mengenai keberadaan mereka disaat itu. Barulah pada tahun 1930-an,
8 Mengenai kisah para transmigran dari Suriname ini lebih lengkap lihat karya Hardjo, SM, 1989 ; Lihat juga Koriun dan Idrus F. Sahab dalam Majalah Tiras, nomor 32, 5 September 1996 : F-G.
5
ketika dunia dilanda depresi ekonomi. Depresi (krisis) ekonomi tersebut yang melanda
dunia terasa juga pengaruhnya di Minangkabau. Kemiskinan semakin meresap dalam
kehidupan masyarakat di Minangkabau. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
masyarakat terpaksa mengadaikan harta benda mereka kerumah gadai (Mansoer,dkk,
1970 :189). Di Pasaman, pengaruh depresi ekonomi dirasakan oleh masyarakat.
Apalagi terjadi kegagalan panen tanaman kebutuhan pokok sehingga hidup masyarakat
semakin susah dan terjadi kelaparan. Seperti dikutip dalam surat khabar di bawah ini :
Bahaja kelaparan mengantjam di Minangkabau, Menoeroet Persamaan di daerah Loeboek Sikaping [Pasaman] padi tidak mendjadi. Sawah habis roesak oleh tikoes. Djangankan bisa disimpan oentoek benihpoen tidak ada. Ra’jat kekurangan makan. Wang oentoek pembeli beras keloear Minangkabau mereka tidak poenja, Memang ra’jat oemoemnja miskin….(Soeara Minangkabau tahun 1 nomor 1, Agustus 1939).
Terjadinya depresi tersebut, tidak memudarkan keinginan pemerintah kolonial
Belanda membangun sektor perkebunan terutama keret. Pembangunan sektor
perkebunan ibarat” gula” yang menarik “semut” yakni orang Tapanuli Selatan untuk
datang ke Pasaman. Mereka datang dengan menyeludup (sembunyi-sembunyi)
Kedatangan mereka sebagai penduduk pendatang (urang datang),9 membuat kuatir
orang Pasaman sebagai penduduk asli (urang asa). Sebab mereka takut lahan hutan
yang ada dikuasai oleh penduduk pendatang. Serta semakin mengecilnya kesempatan
bagi penduduk asli untuk memiliki tanah yang seharusnya dipunyai oleh setiap anggota
keluarga dalam suatu keluarga. Dengan semakin mengecilnya tanah yang dimiliki oleh
para anggota keluarga akibat pembukaan hutan yang dilakukan oleh penduduk
pendatang baik untuk lahan perkebunan maupun pemukiman membuat kemampuan
ekonomi keluarga luas penduduk asli dalam menyantuni anggota keluarganya juga
semakin berkurang. Berdasarkan data tahun 1930 jumlah hutan yang ada adalah
seluas 5.010 bau kemudian setelah penduduk pendatang datang ke daerah tersebut
9 Konsepsi sosial Minangkabau membedakan penduduk atas dua kriteria yaitu penduduk asli (urang asa) dan penduduk pendatang (urang datang). Penduduk asli (urang asa) adalah orang yang lebih dahulu mendiami suatu daerah, biasanya mereka dianggap golongan bangsawan. Mereka adalah orang yang merintis suatu daerah, mulai dari taratak kemudian berubah menjadi dusun, dari dusun menjadi koto dan akhirnya terbentuknya nagari. Proses semacam ini diistilahkan Kato dengan metamorfosa pemukiman. Berbeda dengan penduduk asli (urang asa), penduduk pendatang (urang datang) merupakan mereka yang datang lebih kemudian dan statusnya dianggap lebih rendah dari penduduk asli (urang asa). Mereka sebenarnya dapat dibagi atas dua golongan, yang mempunyai ikatan keluarga dengan penduduk asli (urang asa) dan tidak mempunyai ikatan apa-apa dengan penduduk asli (urang asa), golongan ini dianggap berada pada posisi lebih rendah dalam strata sosial Minangkabau. Mengenai atribut yang dipakai kedua penduduk ini lihat lebih lanjut Kato, 1982 : 87 dan Amir, 2001 : 35.
6
dengan aktifitas perambahan hutan maka luas hutan semakin berkurang yakni menjadi
3.280 bau (Tani nomor 3 tahoen 1930, Tani nomor 6 tahoen 1932).
Kedatangan mereka dengan menyeludup merupakan hal yang sangat
bertentangan dengan adat yang berlaku. Di daerah Pasaman, masyarakatnya memiliki
aturan-aturan atau adat yang mengatur masyarakatnya terutama masalah pemilikan
serta penguasaan tanah. Ketentuan tersebut telah dibuat secara adat dan berlaku bagi
setiap masyarakatnya baik bagi penduduk asli (urang asa) maupun bagi penduduk
pendatang (urang datang). Bagi penduduk pendatang untuk mendapatkan tanah harus
melewati beberapa tahap yakni Pertama, mencari ninik mamak dalam nagari dengan
memenuhi syarat-syaratnya menjadi kemenakan dari satu kaum. Kedua, setelah di
dapatkan mamak,10 yang akan ditempati serta telah memenuhi syarat-syarat adat,
maka selanjutnya dihadapkan kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN), bahwa si
pendatang telah menjadi kemenakan dari salah seorang datuk. Ketiga, kemudian
membuat perjanjian, bersedia mematuhi semua peraturan adat dan nagari yang
berlaku. Apabila semua terpenuhi penduduk pendatang bisa menjadi penduduk nagari.
Kalau syarat-syarat diatas telah terpenuhi, maka sesuai dengan kewajiban
terhadap kemenakan, si mamak akan memberikan tanah ulayat untuk digarap termasuk
hutan dengan status hak pakai. Tanah tersebut tidak boleh diperjual belikan, bila
penduduk pendatang pindah dari nagari tersebut, tanah kembali menjadi hak nagari
dan semua tanaman yang ada diatas tanah itu akan diganti oleh nagari. Bagi yang
menggaku mamak kepada seseorang, maka yang digarapnya adalah tanah seseorang,
dan bagi yang datang bergerombongan, setelah memenuhi syarat-syarat melalui adat
nagari, maka KAN menentukan tanah yang digarap penduduk pendatang.
Pada masa pendudukan tentara Jepang karena pengerahan tenaga kerja untuk
romusha telah mempersempit ruang gerak untuk bermigrasi dan konflik diantara
mereka. Masyarakat terutama laki-laki dikerahkan untuk kerja paksa. Tujuannya, dapat
menopang usaha kemenangan tentara Jepang. Hal ini berlaku pula dibidang ekonomi
10 Mamak adalah saudara laki-laki ibu yang dituakan didalam rumah gadang atau famili yang diangkat dari garis keturunan ibu.
7
pada umumnya dan bidang perkebunan khususnya. Tidak mengherankan apabila
perkebunan banyak terlantar sehingga produksinya juga merosot secara menyolok.
Adapula yang dihentikan usahanya (Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991 : 162).
Kehebohan terjadi lagi di tahun 1950-an, orang Mandailing datang ke Pasaman
dengan sembunyi-sembunyi. Mereka mengambil tanah penduduk asli dengan
sewenang-wenangnya. Mereka telah lapar tanah (land hunter) mengutip pendapat
Langenberg dalam memahami masyarakat Batak dalam bermigrasi (Langenberg, 1977
: 100 dalam Pelly : 16). Walaupun sebelumnya rencana untuk memindahkan orang dari
Tapanuli Selatan ke daerah Pasaman sudah ada. Waktu itu Kabupaten Pasaman
dipimpin oleh Busyarah Lubis.11 Rencana untuk memindahkan orang dari Tapanuli
Selatan telah dibicarakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Pasaman dengan tokoh
masyarakat di Rao Mapat Tunggul. Untuk itulah maka tanggal 17 Maret 1953, dilakukan
penanda tanganan surat perjanjian antara pemerintah daerah Kabupaten Pasaman
dengan tokoh masyarakat. Wakil dari pemerintah daerah adalah Bupati dan wakil dari
masyarakat yakni ninik mamak Basa nan XV.12 Tanggal 17 Maret 1953, ninik mamak
Basa nan XV menyerahkan tanah kosong kepada pemerintah Kabupaten Pasaman
dengan beberapa perjanjian, yakni (1) Dalam pembagian tanah itu hendaklah lebih
didahulukan rakyat yang berasal dari wilayah Rao Mapat Tunggul. (2) Orang yang
diberi tanah hendaklah disaring benar-benar oleh pemerintah daerah Kabupaten
Pasaman, serta negeri dimana mereka berdiam dinegeri itulah mereka menurut adat
istiadat. (3) Untuk menentukan tanah-tanah kosong dan membagikan tanah itu
mestinya pemerintah daerah Kabupaten Pasaman bekerja sama dengan komisi yang
ditunjuk oleh kerapatan wilayah Rao Mapat Tunggul.(4) Mana kala untuk pembangunan
11 Basyrah Lubis merupakan bupati meliter yang menjabat Darwis Taram Dt. Tamanggung menjabat dari September 1945-September 1947, Basrah Lubis menjabat dari Oktober 1947- Desember 1949, St. Bahrumsyah, menjabat dari Januari 1950-Desember 1950, A.M.Jalaluddin, menjabat dari Januari 1951-Desember 1952, Syahbudin Januari, menjabat dari 1953- Maret 1955, menjabat dari A.Muis Dt. Rangkayo Marajo, menjabat dari April 1955-Oktober 1955, Marah Amir, menjabat dari November 1955-Mei 1958 Mayor Johan Riva, menjabat dari Juni 1958- Oktober 1965. Lihat lebih lanjut Djaswir Zein dkk, 1977 : 51-52.12 Basa nan XV adalah ninik mamak yang ada di daerah Rao Mapat Tunggul, mereka terdiri dari 15 orang ninik mamak dan berkuasa atas daerah dan kemenakan yang ada di daerah Rao Mapat Tunggul. Adapun nama-nama Basa nan XV adalah Datuak Nan Kodo Rajo (Koto Rajo), Datuak Rajo Bingkaro (Languang), Datuak Pandinding Alam (Padang Mantinggi), Datuak Rangkayo Bosar (Tarung-Tarung), Datuak Rajo Malintang (Lubuk Layang), Datuak Bandaro (Langsat Kadap), Rajo Nan Bumi (Tanjung Betung), Datuak Besar ( Tombol Padang Gelugur), Rajo Lelo (Keduduk), Tuan Marajo (Padang Gelugur), Datuak Malin Murak (Katimahar), Datuak Rajo Kuamang (Kuamang), Sutam Kumalo ( Padang Riang), Maharajo Datuak ( Tambangan), dan Bandaro Bosar (Lombak).
8
nantinya, merusakkan hak milik rakyat hendaklah pemerintah mengadakan ganti-rugi
(ANRI, Inventaris Kabinet Presiden RI: 1950-1959 nomor 204).
Namun dalam kenyataannya apa yang telah diikrarkan dalam perjanjian tersebut
menurut masyarakat Rao Mapat Tunggul tidak satupun yang ditepati oleh penduduk
pendatang. Masyarakat setempat berkali-kali menyampaikan hal tersebut kepada
pemerintah Kabupaten Pasaman mengenai keberadaan orang Tapanuli Selatan ini,
oleh pihak pemerintah daerah tidak digubris.
Masuknya penduduk pendatang ke daerah Rao Mapat Tunggul dengan
menyeludup (sembunyi-sembunyi) tanpa mematuhi perjanjian yang telah diikrarkan
merupakan suatu bentuk tindakan yang sangat bertentangan dengan isi perjanjian
tersebut. Tokoh masyarakat merasa terhina. Sebab penduduk pendatang datang yang
datang tidak ada yang bermusyawarah dengan tokoh masyarakat setempat, seolah-
olah mereka tidak mendapat penghargaan. Pada hal tanah yang ditempati oleh
penduduk pendatang adalah tanah ulayat mereka. Persoalan ini pernah di sampaikan
ke residen Sumatera Barat :
…….Sangat menjedihkan sekali, setiap persoalan tanah jang kami sampaikan kepada pemerintah, selali persoalannja merugikan kami, terutama semasa sdr. Ass. Wedana jang pindah, setiap penduduk jang menjeludup, setiap menguntungannja, karena selalu berhubungan langsung dengan ketua rombongan dari kampong jang akan ditempatinja, kemudian dengan djalan merampok dan merampas tanah persawahan kami jang telah kami sediakan untuk penduduk asli habis mereka serobot, dan disaat disampaikan kepada saudara Ass. Wedana, setiap putusannja selalu merugikan kami……( ANRI, inventaris kabinet presiden RI : 1950-1959 nomor 202).
Kemudian dalam persoalan agama yang dianut oleh penduduk pendatang.
Penduduk asli merasa terkecoh, karena 46 orang diantara penduduk tersebut
menganut agama Kristen yang sangat bertentangan sekali dengan agama mereka.
Dengan kekecewaan yang dirasakan oleh penduduk asli, maka pada tanggal 20 Juli
1956 diadakan rapat bertempat di rumah Jang Dipertuan Padang Nunang mulai pukul
22. 30 sampai 4.00 Waktu Indonesia bagian Barat. Rapat tersebut dihadiri oleh Basa
nan XV, ninik mamak, alim ulama, imam katib, cerdik pandai, dan lapisan rakyat se
wilayah Rao Mapat Tunggul . Adapun agenda rapat tersebut adalah : (1) Mengenai
status tanah dan hutan diwilayah Rao Mapat Tunggul. (2) Status penduduk baru yang
9
datang dari lain daerah. (3) Pemeliharaan tata tertib diantara penduduk. Dari acara-
acara ini kerapatan telah mengambil putusan, putusan yang diambil dengan suara bulat
sebagai berikut : Pertama, membatalkan penyerahan oleh sebahagian ninik mamak
diwilayah Rao Mapat Tunggul tanah-tanah kosong hutan-hutan pada pemerintah
Daerah Kabupaten Pasaman, serta menempatkan kembali tanah-tanah kosong dan
hutan itu dalam statusnya menurut adat yang diadakan di wilayah Rao Mapat Tunggul
pada khususnya dan Minangkabau pada umumnya. Kedua, Penduduk baru yang
berasal dari sesuatu daerah Sumatera Barat maupun yang datang dari propinsi lain
yang adat tradisinya berlainan dengan adat yang diadatkan diwilayah Rao Mapat
Tunggul, pada khususnya dan Minangkabau pada umumnya ditentukan menurut adat
kedaerahahnnya. Tegasnya sebagai yang diadatkan, dimana air disauk disana ranting
dipatah, dimana negeri dihuni disana adat dituruti. Adapun dalam pemeliharaan tata
tertib yakni (1) lebih dahulu mendudukkan penduduk baru menurut ketentuan pada
pasal diatas. (2) Tanah-tanah yang diperoleh mereka dengan jalan yang sah
(berketerangan hitam diatas putih) diperkuat oleh rapat untuk mensyahkan hal tersebut.
(3) Tanah-tanah yang dikerjakan dengan tidak sesuatu keterangan yang sah, maka
tanah itu dikembalikan pada kampung/nagari yang mempunyainya menurut adat.
Kemudian haruslah dicari penyelesaiannya (perdamaian diantara kampung) nageri
dengan orang orang yang pernah mengerjakan tanah itu. Bila kata sepakat tidak
diperoleh, sibersalah dikemukakan pada undang-undang negara (hakim) tegasnya
sibersalah dituntut menurut hukum pidana. (4) Mengingat agama yang dianut oleh
rakyat asli keseluruhannya diwilayah Rao Mapat Tunggul, hanya sejenis yaitu Islam,
maka penduduk baru yang dapat diterima hanya memeluk Islam. (5) Tanah yang
statusnya bukan hak milik perseorangan hanya boleh diperjual belikan kalau sepakat
diperoleh kedua kaum (ANRI, inventaris kabinet presiden RI : 1950-1959 nomor 204).
Setelah membahas isi dan syarat penyerahan tanah kosong dan hutan seperti
tercantum dalam surat penyerahan yang bertanggal 17 Maret 1953, maka rapat
10
berpendapat dan menetapkan bawa pemerintah daerah Kabupaten Pasaman telah
melakukan dua kesalahan yaitu pertama, melanggar/memperkosa adat yang diadatkan
diwilayah Rao Mapat Tunggul yaitu dengan perbuatannya tidak sedikitpun
mengacuhkan hak Basa nan XV. Terutama dalam usahanya untuk memperoleh
kekuasaan pada tanah-tanah kosong dan hutan-hutan yang ada dalam lingkungan hak
dari Basa nan XV. Perbuatannya yang memperoleh tanda tangan dari pucuk bulek
beberapa kampung, pucuk bulek tersebut adalah sebahagian anggota dari Basa nan
XV, adalah satu perbuatan adu domba devide at empera. Basa nan XV menyesali
perbuatan pemerintah daerah Kabupaten Pasaman. Kedua, pemerintah daerah
Pasaman selain telah melangar adat yang daiadatkan diwilayah Rao Mapat Tunggul.
Serta perjanjian tertulis dalam surat penyerahan tanah itu pula satupun yang dipenuhi.
Hal ini dapat dibuktikan, beberapa ribu hektar, tanah kosong yang telah dibuka menjadi
sawah oleh penduduk baru yang datang dari lain propinsi ke wilayah Rao Mapat
Tunggul. Terbukti tidak sejengkal tanah pun yang telah ditunjukkan oleh pemerintah
daerah Kabupaten Pasaman untuk bagian penduduk yang berasal dari daerah wilayah
Rao Mapat Tunggul. Kedua, kalaupun pemerintah Kabupaten Pasaman ada memenuhi
janjinya, sebagai tertulis dalam surat perjanjian yaitu akan menjaring benar-benar orang
yang akan mendapat bagian tanah, maka sangatlah disangsikan kalau sampai dibawa
orang yang beragama non Islam.
2. Konflik Antara Orang Minangkabau dengan Jawa
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa kedatangan orang Jawa ke Pasaman
awalnya tidak terlepas dari pembukaan usaha perkebunan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Tecatat pada akhir tahun 1935 buruh Jawa yang bekerja di perusahaan
N.V.Cultuur Maatschappij Ophir sebanyak 1.710 orang, sedangkan buruh lepas
sebanyak 142 orang. Kedatangan orang Jawa sebagai buruh ini pun mendapat sorotan
tajam dari anggota Minangkabau Raad. Sebuah lembaga tempat menyampaikan
aspirasinya bumi putera yang beranggotakan dari berbagai unsur masyarakat di
11
Minangkabau. Permasalahan tersebut dibawa kedalam sidang. Dalam sidang
Minangkabau Raad tersebut dibicarakan, apakah betul pemerintah sudah bersedia
memberikan tanah dalam bahagian Ophir kepada orang Jawa. Apakah pemerintah
sudah memikirkan dan mempertimbangkan bahwa nanti Minangkabau sendiri akan
kekurangan tanah karena penduduknya semakin hari semakin bertambah banyak
(Soeara Minangkabau tahun 1 nomor 1 Agustus 1938 ; Oetoesan Alam Minangkabau
tahun 1 nomor 5 Maret, 1939).
Keprihatinan anggota Minangkabau Raad ini baru terbukti ketika tahun 1949
menjelang penyerahan kedaulatan, timbul perselisihan pendapat antara penduduk asli
dengan sebagian eks buruh perkebunan Ophir yang berasal dari Jawa, tentang tanah
perkebunan. Situasi di Ophir pada waktu itu sangat labil. Semula penduduk setempat
tidak mempermasalahkan tentang lahan perkebunan Ophir tersebut, namun makin
leluasanya dan luasnya bekas perkebunan Ophir dikerjakan oleh para eks buruh
Belanda tersebut, menyebabkan penduduk setempat tidak merasa senang. Sebab
penduduk setempat juga merasa memiliki lahan perkebunan ini.
Untuk menyelesaikan masalah ini, maka Gubernur Sumatera Tengah
menugaskan Bupati Meliter Pasaman menertibkan situasi di onderneming Ophir. Dalam
penyelesaiannya, Bupati Meliter Pasaman yang waktu itu dijabat oleh Basyrah Lubis,
memberi izin kepada eks buruh onderneming Ophir untuk tetap mengerjakan sebagian
tanah tersebut. Buruh-buruh tersebut dianjurkan oleh Basrah Lubis menanam tanaman
pangan dan palawija. Kemudian penduduk setempat diberi pengertian oleh bupati
Pasaman sehingga situasi yang memburuk menjelang pengakuan kedaulatan tersebut
dapat diatasi (Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau , 1992 : 425-429)
Tahun 1960, agar tidak terjadi lagi kekacauan sebagaimana yang terjadi pada
tahun 1949, maka tanah perkebunan Ophir diambil oleh ABRI, yang pengelolaannya
diserahkan kepada Kodam III/17 Agustus. Dibawah komando Kodam III/ 17 Agustus
areal perkebunan Ophir sebagian dijadikan sebagai tempat pemukiman Purnawirawan
12
ABRI. Purnawirawan ABRI yang dikirim ke Ophir menjadikan tempat ini sebagai lahan
pertanian (sawah) dan kebun-kebun yang ditanami dengan tanaman palawija. Seperti
jagung, ubi kayu, talas, pepaya, sayur mayur dan lain-lain (Asfahrizal, 1996 ; 46).
Di areal perkebunan ini juga buruh-buruh eks perkebunan Belanda membuat
perkampungan-perkampungan, yang merupakan aplikasi dari pendudukan mereka
terhadap perkebunan itu sejak masa pendudukan Jepang. Pada bulan Desember 1949,
tercapai persetujuan diareal perkebunan ini terbentuklah 3 buah desa yang mayoritas
penduduknya adalah suku bangsa Jawa, yakni desa Bandaredjo, desa Pujorahayu dan
desa Sidomulyo (Asfahrizal, 1996 : 46). Tahun 1979 Kodam III/17 Agustus melepaskan
haknya atas tanah perkebunan itu dan menyerahkannya kepada pemerintah dengan
syarat paling tidak 25 % dari seluruh pesertanya berupa veteran dan purnawirawan
ABRI (Reksodihardjo, 1996 : 17).
Seperti halnya orang asing (yang bukan anggota masyarakat hukum adat) yang
akan membuka hutan maka pemerintah yang dalam rangka penyiapan tanah untuk
membuka hutan (land clearing) harus mendapat izin terlebih dahulu dari penguasa adat
setempat. Izin dari penguasa adat dalam rangka pelaksanaan penyiapan tanah
transmigrasi ini dituangkan dalam “surat penyerahan tanah” dari seluruh masyarakat
hukum adat yang diserahkan kepada pemerintah daerah setempat. Dalam surat berisi
persyaratan yang dapat disamakan dengan pengisi adat yang wajib diberikan oleh
seseorang dalam membuka tanah disuatu masyarakat hukum adat tertentu.
Kedatangan mereka ke Pasaman memiliki syarat-syarat yang diberikan kepada
mereka oleh masyarakat setempat. Salah satu syaratnya adalah bahwa orang yang
dikirim tersebut haruslah beragama Islam. Namun dalam kenyataannya, orang yang
dikirim ke Pasaman ada yang beragama non Islam yakni Kristen. Para repartian
Suriname misalnya sebanyak 129 orang atau 12,5 % transmigran beragama Kristen.
Besarnya jumlah transmigran yang beragama Kristen ini karena salah seorang kepala
yayasan yang mengurus program ini beragama Kristen juga. Pentransmigrasian
13
ternyata mengundang berbagai macam reaksi serta kritikan baik dari para pemimpin
adat maupun politisi kepada pemerintah pusat. Begitu juga transmigran yang berasal
dari Jawa Tengah yang berjumlah 300 kepala keluarga, menurut pemerintah daerah
para transmigran tersebut beragama Islam, namun kenyataannya yang dikirim
beragama Kristen. Suatu bentok “kecolongan” yang dialami oleh masyarakat setempat.
Ketidakpuasan terhadap kebijaksanaan ini ditunjukkan oleh artikel yang ditulis
oleh Hamka dalam Haluan, sebuah harian terbitan Padang pada tangal 11 Nopember
1954. Dalam artikel tersebut, ia mengupas syarat-syarat yang diminta warga
masyarakat Minang sehubungan dengan tanah untuk keperluan transmigrasi. Salah
satu syarat antara lain semua transmigran haruslah taat menganut adat dan agama
masyarakat penampung, dan pemerintah pun harus menyeleksi transmigran sesuai
dengan adat dan agama dari kelompok dimana mereka akan ditempatkan :
“Semuanya ini telah direncanakan sebelumnya. Pemimpin kelompok transmigran yang mengadakan perjalanan itu sendiri adalah orang Kristen. Bagaimana mungkin ia mengetahui agama yang dianut orang-orang dalam kelompoknya?. Direktur Jawatan Transmigrasi diibukota pun seharusnya mengetahui bahwa ia tidak mengatakan hal yang sebenarnya ketika mengadakan perjanjian dihadapan gubernur dan bupati” (Haluan, 11 Nopember 1954 ; Yamin, 1957. [25] ).
Tahun 1950-an, pemerintah pusat sangat gencar-gencarnya untuk
memindahkan orang Jawa keluar pulau Jawa. Dengan dalih pemerataan penduduk
lewat proyek transmigrasi, orang Jawa pun dikirim ke Pasaman sebagai transmigran.
Sebelum mereka dikirim ke Pasaman, pihak tokoh masyarakat dan pemerintah
Pasaman dan Sumatera Barat menginginkan agar pemerintah pusat mengirimkan para
transmigran ke Pasaman haruslah orang yang beragama Islam. Kenyataannya di
lapangan bahwa sekitar tahun 1954, dikirimlah transmigran dari Jawa Tengah, yang
menurut masyarakat dan pihak pemerintah daerah para transmigran tersebut beragama
Islam namun ke 300 kepala keluarga yang dikirim tersebut beragama Kristen. Suatu
bentuk “kecolongan” yang dialami oleh masyarakat.
Bagi orang Minangkabau sendiri soal agama adalah soal hidup mati yang telah
berjalan berkelindan dengan tata kehidupan, dengan adat dan norma-norma kehidupan
14
lainnya.13 Agama bukan hanya soal pribadi orang-orang, tapi juga soal masyarakat
keseluruhannya. Seluruh masyarakat akan goncang jika terdapat salah seorang dari
anggotanya yang bertukar agama. Oleh karena itu mereka melihat adanya kegiatan
missi Katolik dihadapan mata mereka sendiri sebagai hal yang tidak bisa ditolerir, yang
langsung membahayakan segi-segi kehidupan mereka sendiri. Mereka menganggap
bahwa kehadiran missi Katolik dengan segala macam kegiatannya di perkampungan-
perkampungan transmigran telah memperluas jurang antara mereka dan orang-orang
Jawa yang secara adat telah mereka terima sebagai anak kemenakan dan anggota
suku mereka sendiri. Sesuai dengan tata kehidupan Minangkabau sebagai yang
diungkapkan diatas, jika anak kemenakan yang telah diterima itu sampai berpindah
agama. Sekaligus berarti mereka bukanlah anak-kemenakan lagi, karenanya harus
meninggalkan tanah pusaka (tanah ulayat) yang telah diserahkan kepada mereka. Adat
Minangkabau sendiri tidak memberi tempat kepada anak-kemenakan yang telah
melepaskan agama Islam (Naim, 1977 : 8-10).
3. Konflik Antara Orang Mandailing dengan Jawa
Sebagai penduduk “nomor dua” etnik Mandailing memandang etnik Jawa yang
datang ke Pasaman sebagai penduduk pendatang. Walaupun secara hakekatnya orang
Mandailing juga sebagai penduduk pendatang di Pasaman. Sebab penduduk asli
Pasaman beretnik Minangkabau. Karena mengaggap etnik Jawa sebagai penduduk
pendatang, maka sering terjadi konflik terutama masalah tanah yang sebelumnya
ditempati oleh etnik Mandailing. Konflik yang terjadi awal kedatangan penduduk etnik
Jawa ke Pasaman sewaktu menjadi buruh di perkebunan tidak begitu nampak. Hal ini
disebabkan, karena adanya proteksi pemerintah kolonial Belanda bersama para
investor perkebunan dalam persoalan tanah. Bagi etnik Jawa yang dipekerjakan
diperkebunan diberikan tanah perumahan sebagai tempat tinggal dan ini telah
13Wawancara dengan Masri Sutan Bagindo (70 tahun) tanggal 14 April 2005 di Simpang Empat, Sjahrul Datuak Paduko Indo (65 tahun) tanggal 15 April 2005 di Pasaman.
15
ditentukan oleh para investor perkebunan. Aktifitas bekerja diperkebunan tiap hari telah
memungkin mereka jarang berinteraksi dengan sesama etnik lain.
Pada zaman pendudukan Jepang, dimana keberadaan pendudukan tentara
Jepang selain menduduki daerah tersebut juga melakukan eksploitasi ekonomi dan
tenaga rakyat dalam menghadapi Perang Dunia ke II. Tidak jarang, banyak tanah-tanah
yang dimiliki oleh pemerintah kolonial Belanda sebelumnya diambil alih oleh
pendudukan tentara Jepang untuk biaya perang (Undri (2005) ; Zed, dkk (2001). Selain
itu, untuk menghadapi Perang Dunia ke II, mereka juga membuat jalan-jalan jalur
perdagangan dan membuat jalan-jalan jalur perdagangan dan jalan kereta api dari
pedalaman menuju pantai. Untuk tenaga kerja yang cukup besar didapat secara paksa
sebagai tenaga suka rela. Dikenal dengan tenaga kerja romusha. (Syofiarni, 1997 : 42).
Di samping itu mereka dipaksa untuk membuat pertahanan-pertahanan meliter,
lapangan-lapangan udara dan sebagainya. Kisah tragis, pembuatan jalan “keretapi
maut” dari Muara ke Logas melalui rawa penuh dengan penyakit malaria. Bahkan ada
yang dikirim ke Malaya untuk membuat dan membangun kereta api Malaya- Birma.14
Mereka hidup dalam penyiksaan tanpa diberi makanan, penginapan dan pengobatan.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah giat-giatnya mengalakkan berbagai
macam program pembangunan. Salah satu program pembangunan pemerintah saat itu
dalah program transmigrasi. Salah satunya kedaerah Pasaman. Tahun 1950-an
dikirimlah orang dari Pulau Jawa dan Suriname yang beretnik Jawa ke Pasaman.
Sebagai penduduk pendatang, kedatangan etnik Jawa lewat program transmigrasi telah
menyebabkan adanya penyerahan atas tanah kepada para transmigran tersebut.
Konflik antara orang Mandailing dan Jawa disebabkan oleh adanya penyerahan atas
tanah kepada para transmigran tersebut. Tanah yang diserahkan kepada orang Jawa.
Tanah yang diserahkan tersebut tidak sepenuhnya merupakan tanah hutan belantara,
namun ada beberapa tanah yang telah dibuka oleh etnik Mandailing. Awalnya karena
14 Penulis sendiri pernah mendapatkan informasi mengenai cerita tentang kesengsaraan yang dialami oleh para romusha untuk membuat jalan kereta api maut Muara –Logas dari kakek penulis sendiri. Dia sendiri harus melarikan diri karena tidak sanggup menghadapi kekejaman tentara Jepang tersebut
16
adanya tekanan dari pemerintah untuk menyerahkan tanah tersebut kepada orang
Jawa maka orang Mandailingpun tidak berbuat apa-apa. Namun lama kelamaan rasa
tidak puas mereka perlihatkan dengan mengambil tanah yang telah diserahkan kepada
pihak pemerintah kepada orang Jawa. Seperti yang terjadi di Desa Baru, Ophir.
4. Konflik Antara Orang Minangkabau, Mandailing dan Jawa Konflik ketiga etnik ini terlihat pada Desa Jambak. Daerah tersebut termasuk
kedalam lingkungan hukum adat Minangkabau yang dahulunya merupakan bahagian
dari pemerintahan Yang Dipertuan Parit Batu yang menguasai daerah Pasaman Barat.
Yang Dipertuan Parit Batu merupakan pucuk pimpinan dari beberapa nagari secara
hukum adat Minangkabau, begitu juga dengan daerah Jambak. Awalnya daerah ini
didatangi oleh orang-orang yang berasal dari Labuh Barus dan Parit Batu, sekitar 10
kilometer dari daerah Jambak. Orang-orang itu adalah cucu kemenakan dari Tuangku
Jambak yang mempunyai suku Jambak. Dengan tinggalnya warga yang mempunyai
suku Jambak disini maka daerah ini dinamakan dengan kampong Jambak.
Sebagai komunitas yang penduduknya majemuk daerah Jambak tidak terlepas
dari konflik. Sebagai masyarakat yang heterogen konflik tidak saja terjadi berdasarkan
perasaan etnik bias saja terjadi berdasarkan perselisihaan ideologi, ekonomi, politik dan
sebagainya tetapi bisa mengakibatkan sentiment etnik karena dominasi kelompok
tertentu. Dalam persoalan konflik tanah di daerah Jambak, konflik yang pernah terjadi
antara lain masalah tanah perbatasan.
Di daerah Pasaman sendiri, persoalan batas tanah secara adat telah ditentukan
oleh masyarakat setempat. Batas tanah tersebut tidak secara jelas ditentukan.
Sehingga membuat batas tanah kadang kala menjadi kabur. Hal ini sangat dipengaruhi
oleh adat Minangkabau itu sendiri. Dalam adat Minangkabau disebutkan batas-batas
tanah untuk daerah Pasaman, sebagai daerah rantau nya Minangkabau adalah
Dari riak nan badabua (Tiku, Air Bangis)Sampai durian ditakuak rajo (Jambi) (Naim, 1968 : 61-66).
17
Begitu “abstrak”nya batas tanah masyarakat Minangkabau, sehinga sering
terjadi perselisihan mengenai batas tanah terutama antar nagari. Perang antar
kampung atau lebih dikenal dengan bacakak kampuang merupakan salah satu bentuk
yang timbul akibat perselisihan batas tanah tersebut. (Wildawati, 2002 : 10). Bacakak
kampuang (perang antar kampung) atau antar nagari selain akibat terjadi perselisihan
mengenai tanah juga terjadi sebagai akibat kesalah pahaman antar anak nagari.
Sebelum gerakan Paderi pemicu utama perkelahihan ini adalah adu ayam, minum tuak
dan menghisap candu. Dalam perkembangan selanjutnya perkelahian juga disebabkan
oleh perselisihan akibat kesalah pahaman yang sangat kecil seperti main layang-layang
atau main bola (Asnan, 2003 : 245 ; lihat juga Harun, 2002 : 20). Kasus tanah
perbatasan yang terjadi antara penduduk juga terjadi karena kurangnya koordinasi
pembagian tanah oleh pihak pemerintah. Kasus menyangkut pengambilan tanah
pekarangan tetangga sebahagian oleh tetangga disebalahnya misalnya.
Pak Tono adalah seorang pensiunan yang berasal dari Jawa. Setelah tugasnya berakhir sebagai ABRI maka dia memilih tinggal di Jambak. Waktu kedatangan Pak Tono penduduk yang ada belum banyak dan belum ada perkebunan kelapa sawit, yang ada hanya hutan belantara. Pak Tono membuka lahan dengan menanam padi, plawija dan tanaman tua lainnya. Tanah yang dipergunakan tidak ada ketentuan batasnya tetapi selagi kuat boleh menanam yang luas. Setelah terbukanya perkebunan kelapa sawit dan datangnya penduduk lainnya. Kedatangan mereka tidak mengembirakan Pak Tono karena harus menyerahkan tanah yang sudah ia olah, sedangkan Pak Tono hanya punya tanah ½ hektar. Tanaman dipunyai Pak Tono harus dimusnahkan dan diiming-iming ganti rugi, tapi ganti rugi tersebut tidak kunjung datang. Sebagai penyaluran sakit hatinya tanah tetangga yang berbatasan dengan dia, dia klaim sebagai tanahnya (Uripsyah, 1990 : 84).
Akibat hal tersebut maka timbul perpecahan, akhirnya Pak Tono disisihkan dari
masyarakat. Pak Tono yang bersuku Jawa dan teman-temannya yang beretnik Jawa
mendapatkan streotype yang negatif. Banyak penduduk lain (Minangkabau dan Batak
Mandailing) menganggap orang Jawa “gila harta”. Kecemburuan sosial juga merupakan
sarana untuk timbulnya konflik. Hal ini dialami penduduk di daerah Jambak yang
berasal dari Jawa menyangkut sumber mata pencaharian. Disatu pihak mereka punya
penghasilan lumayan dari perkebunan kelapa sawit sedangkan etnik lain Minangkabau
dan Mandailing tidak mendapat lahan perkebunan pada hal mereka sebagai penduduk
yang awal menempati daerah tersebut. Rasa iri akan sumber mata pencaharian itu
merupakan konflik yang tersembunyi yang tidak merupakan pertentangan yang nyata.
18
Pengaruh Konflik Terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat
Rengangnya sistem kekerabatan, timbulnya kebencian, pengelompokan
pemukiman berdasarkan etnik sampai kepada usaha dibidang ekonomi yang tidak
berjalan merupakan akibat yang ditimbulkan oleh adanya konflik tanah di Pasaman.
Sebagai sebuah proses, konflik tersebut bukan semata-mata dalam kerangka konflik
tanah saja namun telah menjalar ke persoalan lainnya bahkan sebagai pemicu untuk
munculnya kearah bentuk kekerasan.
Di beberapa daerah di Pasaman seperti di Ophir, terjadinya konflik telah
membuat kehidupan masyarakat tidak menentu. Rasa was-was muncul. Terlihat ketika
tahun 1949, menjelang penyerahan kedaulatan RI di Ophir terjadi perselisihan
pendapat antara penduduk asli dengan sebagian eks buruh perkebunan yang berasal
dari Jawa, tentang tanah perkebunan. Situasi di Ophir sangat itu sangat labil. Semula
penduduk setempat tidak mempermasalahkan tentang lahan perkebunan Ophir, karena
makin leluasanya dan luasnya tanah bekas perkebunan Ophir dikerjakan oleh para eks
buruh Belanda, menyebabkan penduduk setempat tidak merasa senang. Disebabkan
penduduk setempat juga merasa memiliki lahan perkebunan ini (Asfahrizal, 1996 : 44).
Bahkan itu saja, rasa bencipun muncul. Kebencian terhadap orang Jawa
memuncak ketika meletusnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
di Sumatera Barat tanggal 15 Februari 1958. Sebuah bentuk perlawanan daerah
terhadap pemerintah pusat. Secara hakekatnya, bagi anggota PRRI, aksi yang mereka
lakukan tidak lebih dari sebuah kebencian terhadap pemerintah pusat, yang notabene
orang Jawa. Kebencian mereka kemudian menjalar kepada orang-orang Jawa yang
telah lama tinggal di Sumatera Barat. Mereka pada umumnya tinggal di daerah
perkebunan-perkebunan seperti perkebunan Ophir dan teh Halaban. Mereka seringkali
mendapat teror dari anggota PRRI. mereka menjadi “tumbalnya” atas kebencian
anggota PRRI terhadap pemerintah pusat. Di perkebunan kelapa sawit Ophir, buruh-
buruh perkebunan yang berasal dari Jawa pada masa ini merasa terancam. Tiap hari
19
mereka mendapatkan teror dari anggota PRRI, seakan-akan makanan rutin bagi
mereka (Undri, 2005 : 13-15). Keadaan yang demikian membuat usaha perkebunan
tidak berjalan dengan baik, mereka diantui rasa ketakutan setiap hari karena perlakuan
anggota PRRI terhadap orang Jawa, yang mayoritas hidup sebagai buruh
diperkebunan.15 Bahkan tempat perkebunan, oleh masyarakat Jawa dijadikan sebagai
tempat persembunyian dan pengungsian untuk menghindari teror dari anggota PRRI.
Konflik yang terjadi telah memunculkan pengelompokkan pemukiman penduduk
berdasarkan etnik tertentu. Bahkan dibeberapa tempat pemukiman penamaan atas
pemukiman sering kali mayoritas berdasarkan etnik yang menempatinya. Misalnya Rao
Mapat Tunggul, Sasak, Talu, Kinali, Air Bangis dan lain-lain mayoritas ditempati oleh
etnik Minangkabau. Sontang, Koto Nopan, Cubadak, Simpang Tonang, Rabi Jongor
dan lainnya mayoritas ditempati oleh orang Mandailing. Dan etnik Jawa mayoritas
menempati daerah Simpang Tiga, Kinali, Tongar dan sebagainya. Namun ada
beberapa daerah yang mayoritas ditempati oleh dua etnik atau lebih, misalnya daerah
Parit ditempati oleh orang Mandailing dan Minangkabau, daerah Desa Baru ditempati
oleh etnik Minangkabau, Jawa dan Mandailing.
Nama nagari dan etnik yang menempati
No Nama nagari Etnik Adat Pertamakali menghuni Suku asli1 Cubadak Mandailing Minangkabau + 200 tahun yang lalu Lubis
Nasution2 Simpang
TonangMandailing Minangkabau Zaman Belanda Lubis
Nasution3 Rabi Jangor Mandailing Mandailing + 200 tahun yang lalu Lubis
Nasution4 Parit Mandailing
+MinangkabauMandailing +Minangkabau
Periode Belanda Lubis
5 Sasak Minangkabau Minangkabau Periode Belanda Jambak6 Talu Minangkabau Minangkabau Periode Belanda Jambak7 Air Bangis Minangkabau Minangkabau Periode Belanda Melayu8 Kinali Minangkabau Minangkabau Periode Belanda Jambak9 Simpang Tiga Jawa Jawa 1953 -10 Desa Baru Jawa +Minangkabau
+MandailingJawa +Minangkabau+Mandailing
1963 -
11 Rao Mapat Tunggul
Minangkabau Minangkabau Tidak ada data Melayu
12 Sontang Mandailing Mandailing Tidak ada data LubisNasution
13 Koto Nopan Mandailing Mandailing Tidak ada data LubisNasution
Sumber : William, 1983 : 15
15 Wawancara dengan Najimudin, tanggal 1 Mei 2005 di Pasar Halaban Payakumbuh.
20
Resolusi Konflik
Pengadilan negeri merupakan “dunia baru” bagi masyarakat yang hidup di
rantau Pasaman. Ini terbukti konflik tanah antar etnik yang terjadi dalam kurun waktu
1930 sampai 1960-an, belum pernah sampai diajukan ke pengadilan negeri. Walaupun
jauh-jauh sebelumnya yakni tahun 1825 pemerintah kolonial Belanda telah mendirikan
pengadilan negeri untuk pertama kalinya di Fort van der Capellen (Batu Sangkar).
Mereka engan untuk menempuh jalur tersebut baik alasan prosedur maupun masalah
biayanya serta mereka tidak akrab dengan hal tersebut.
Merangkai konflik untuk memecahkannya dengan cara musyawarah menuju
mufakat dengan mengunakan lembaga adat adalah merupakan hal yang selalu melekat
dalam diri masyakat Minangkabau. Dalam masyarakat Minangkabau, konflik dipandang
sebagai suatu yang penting untuk mencapai persatuan dalam masyarakat (Abdullah,
1979 : 6). Oleh sebab itu suatu konflik yang terjadi ada aturan dan siste, sosial yang
mengaturnya.Lembaga adat tersebut adalah KAN. Tiap nagari di perintah oleh KAN
masing-masing (Graves, 1984 : 10-12). Posisi lembaga adat dalam menyelesaikan
konflikpun mendapat pengakuan dari pemerintah kolonial Belanda disaat itu. Bahkan
ada semacam legitimasi secara formal oleh pemerintah untuk mengakui keberadaan
hukum adat setempat dalam menyelesaikan masalah konflik, misalnya tanah. Semua
persoalan diantara nagari pada pokoknya diputuskan oleh pemerintah nagari lewat
lembaga adat (Westenenk, 1918b:686). Tahun 1930 pemerintah kolonial Belanda
membiarkan dan menghargai yurisdiksi sesuai adat. Bahkan pengadilan-pengadilan
adat membiarkan keadaan ini. Dalam hal inilah peran KAN sangat penting sekali. Guyt
seorang Hakim landraad menyatakan bahwa pengadilan pemerintah sangat
menghargai keputusan-keputusan para penghulu dalam KAN tersebut (Beckmann,
2000 : 133). Bahkan tahun 1930-an keadaan ini menjadi praktek umum pengadilan
bahwa perselisihan-perselisihan kaum, tidak diterima oleh pengadilan kecuali oleh
pihak-pihak yang berperkara telah memperoleh keputusan dari KAN sebelumnya
21
(H.Guyt,[1931]:127-135). Kemudian tahun 1935 sejenis “peradilan kampung” secara
resmi diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sebuah ordonansi yang
mengamandemen Rechtsreglement voor de Buitengewesten, R.B.G., disahkan dan
dinyatakan bahwa :
“Tindakan-tindakan hukum, dimana para hakim dari komunitas-komunitas yang lebih kecil harus membuat pertimbangan menurut hukum adat, tunduk kepada pertimbangan tersebut”.
Lembaga-lembaga adat baru mendapatkan pengakuan dan statusnya sebagai
hakim perdamaian. Pribumi tidak dihalangi untuk menyampaikan perkara mereka ke
pengadilan-pengadilan Belanda. Namun, distriksgerechten harus menerangkan kepada
mereka apakah “peradilan kampung” telah memberikan keputusan dalam kasus
tersebut, dan jika demikian mereka wajib mempertimbangkan keputusan tersebut.
Suatu perkara bisa diteruskan kepengadilan
Sumber : Guyt, 1934 : 134 dalam Beckmann 2000 : 150.
Beckmann (2000) menulis bahwa sejak kemerdekaan Hindia Belanda tahun
1945 situasi majemuk itu pada dasarnya tidak berubah. Peraturan-peraturan yang
terkandung di dalam pasal 163 dan 131. I.S,16 umumnya tetap berlaku dan tetap
diterapkan di pengadilan negeri di Minangkabau masa kini. Beberapa undang-undang
dibuat oleh badan legislatif Indonesia yang mengandung konsekuensi-konsekuensi
penting terhadap bidang-bidang properti seperti UUPA 1960.
16 Pasal 163 I.S (Indische Staatregeling) menetapkan siapa yang tergolong kedalam kelompok penduduk yang mana, dan pasal 131 mengatur undang-undang mana yang harus diterapkan untuk kelompok-kelompok penduduk tertentu. Menurut pasal 131 (6) I.S, semua hukum perdata yang telah diberlakukan untuk penduduk pribumi pada 1-1-1920 terus berlaku. Penarapan hukum adat dibatasi dengan aturan bahwa ia tidak diterapkan jika melangar prinsip-prinsip barat tentang persamaan dan keadilan. Sebelum tahun 1920, hanya sedikit sekali hukum Belanda yang diberlakukan untuk penduduk pribumi. Orang-orang yang tergolong penduduk pribumi juga punya kesempatan untuk menundukkan diri pada hukum Eropa, tetapi hal ini jarang sekali dimanfaatkan orang Indonesia, hal 152.
22
PERKARA
MEMPEROLEH IZIN DARI KAN UNTUK DITERUSKAN KE PENGADILAN
PENGADILAN
TIDAK MEMPEROLEH IZIN DARI KAN UNTUK DITERUSKAN KE PENGADILAN
KERAPATAN ADAT NAGARI
Itu pula sebabnya ketika terjadi konflik tahun 1930-an. Penduduk asli tidak
senang atas kehadiran penduduk pendatang ini. Ketidaksenangan penduduk asli
terhadap penduduk pendatang terlihat adanya pengusiran terhadap mereka. Upaya
tersebut dilakukan oleh penduduk asli setelah diketahui kegiatan dari penduduk
pendatang membuka lahan hutan untuk dijadikan areal kebun karet. Upaya dari tokoh
masyarakat dari penduduk pendatang tersebut membuat tetua adat yang berasal dari
penduduk pendatang merasa terganggu, apalagi terjadi pemukulan terhadap
sebahagian penduduk pendatang oleh penduduk asli ketika penduduk pendatang ingin
membuka lahan hutan tersebut.
Melihat keadaan yang demikian atas inisiatif dari Sukiman sebagai tetua adat
dari orang Mandailing ingin menyelesaikan permasalahan tersebut. Langkah yang
diambilnya adalah melaporkan kepada Datuak Gompo Alam.17 tentang kejadian atas
perlakuan penduduk asli tersebut. Sesungguhnya bagi Datuak Gompo Alam serba
salah, karena disatu sisi dia harus memihak pada rakyatnya disatu sisi lagi dia harus
mempertimbangkan pada persoalan Sukiman tersebut, karena hubungan perkawanan
Sukiman dengan Datuak Gompo Alam yang dipegang oleh Jaurin. Maka dengan
keadaan tersebut Jaurin sebagai pemegang gelar Suku Datuak Gompo Alam
memanggil tetua adat penduduk pendatang untuk menyelesaikan hal tersebut.
Berdasarkan informasi dari beberapa informan diperoleh informasi bahwa tokoh-
tokoh adat atau kepala suku yang ikut berunding untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut adalah Jaurin Datuak Gompo Alam, Datuak Majo Lelo, Datuak Mangku Rajo,
dan Sukiman. Perundingan tersebut dilakukan di dalam mesjid setelah orang
menunaikan sholat Isya. Di daerah tersebut merupakan suatu kebiasaan yang ada
dalam masyarakat untuk mengadakan musyawarah disamping rumah gadang.
Perundingan tersebut, Datuak Gompo Alam bertindak sebagai pemimpin perundingan,
17Pada waktu ini yang memegang Datuak Gompo Alam adalah Nurman, wawancara dengan Nurman tanggal 2 Maret 2004 di Rao.
23
karena dia merupakan seorang yang berkuasa atas segala sesuatu yang terjadi atas
masyarakat yang ada di Mapat Tunggul.
Proses penyelesaian konflik tersebut yang dilakukan pertama kali adalah kedua
belah pihak yang bertikai mencoba mendengar berbagai keluhan –keluhan. Dari pihak
orang Mandailing pada saat tersebut mengatakan bahwa dia tidak mau pergi dari
daerah tersebut karena kaumnya sudah bersusah payah membuka hutan guna untuk
dijadikan areal kebun karet dan areal hutan yang mereka rambah sudah menjadi hak
mereka dengan alasan areal hutan yang mereka rambah sudah jauh dari pemukiman
penduduk asli yakni kurang 10 (sepuluh) kilometer. Namun menurut penduduk asli,
areal hutan yang dirambah oleh orang Mandailing tersebut masih merupakan hak
ulayat suku mereka secara sah oleh adat setempat.
Dalam hasil perundingan tersebut dihasilkan yakni penduduk pendatang harus
terlebih dahulu memenuhi syarat untuk menjadi bagian dari penduduk asli yakni dengan
mencari ninik mamak untuk dijadikan sebagai kemenakannya, kemudian dilakukan
pengesahannya oleh Kerapatan Adat Nagari serta membuat perjanjian untuk mematuhi
semua peraturan di nagari. Disamping itu sebelum dilakukan keemua itu haruslah
melakukan kenduri (perhelatan). Bagi penduduk pendatang acara kenduri atau
perhelatan inilah yang menjadi kendala, karena memerlukan biaya untuk itu.
Karena terkendala dengan kenduri atau perhelatan inilah maka hasil
perundingan pada tingkat kepala suku tersebut dilanjutkan pada tingkat ninik mamak.
Proses penyelesaian konflik pada tingkat ninik mamak ini, pada dasarnya merupakan
proses penyelesaian konflik di Rao-Mapat Tunggul tersebut dengan mengikutsertakan
ninik mamak yang ada di daerah tersebut. Berlain dengan penyelesaian konflik pada
tingkat kepaa suku, dimana pada tingkat ninik mamak ini mengikutsertakan tokoh adat
yang ada disamping kepala suku itu sendiri. Penyelesaian konflik tingkat ninik mamak
juga mengikutsertakan pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut adalah terdiri dari ninik
24
mamak yang berasal dari daerah yang ada di Kenagarian tersebut yakni daerah Koto
Nopan yang berbatasan dengan daerah Rao- Mapat Tunggul.
Dengan tidak dapat diselesaikan konflik tersebut pada kedua tingkat tersebut
kemudian permasalahan tersebut dilanjutkan pada tingkat KAN. Dalam rapat tersebut
dibicarakan soal kehadiran masyarakat pendatang ke wilayah Rao-Mapat Tunggul.
Pada rapat tersebut kemudian diputuskan bahwa penerimaan penduduk pendatang
baru diterima setelah melaksanakan alur tata cara adat yang berlaku di daerah
tersebut. Walaupun pada permulaannya, orang Mandailing yang datang ke daerah Rao
Mapat Tunggul menimbulkan konflik, tapi kemudian karena mereka mau menuruti adat
istiadat yang berlaku di daerah Rao (Minangkabau), oleh Basa nan XV diizinkan
menempati daerah Rao yang merasa mungkin untuk bisa membuka lahan pertanian.
Maka saai itu dibuat suatu kesepakatan antar orang Mandailing dengan orang
Rao Mapat Tunggul yang dilukiskan sebagai berikut :
Sasangkak balam jo kititiran (Sesangkar balam dengan ketitiran)Bacampua Melayu jo Mandailing (Bercampur Melayu dengan Mandailing)Angguak di balam danguik di puyuah (Angguk di balam dengut dipuyuh)Balam maangguak didahan kayu (Balam mengangguk didahan kayu)Puyuah mandanguik di alang laweh (Puyuh mendengut di padang luas)Samo mangaluah di atah bumi (Sama mengeluh diatas bumi)Sando manyando kaduonyo (Sandar menyandar keduanya)Bak aua jo tabiang (Seperti aur dengan tebing)
Ini merupakan kesepakatan antara orang Mandailing dengan Minangkabau.
Ternyata kesepakatan tersebut masih berlaku di Pasaman Timur. Adapun angguak di
balam, danguik dipuyuh adalah bagaimana pun tingginya adat Mandailing yang ada di
daerah Minangkabau ini, harus tunduk pada panji-panji adat alam Minangkabau.
Sedangkan sasangkak balom jo kititiran maksudnya orang Mandailing dan orang
Minangkabau boleh tinggal di daerah yang sama, dengan adat istiadat yang berbeda.
Walaupun demikian halnya, dalam penyelesaian konflik yang terjadi disamping
mengikutsertakan lembaga adat tapi juga pihak pemerintah. Ini dapat kita buktikan
ketika terjadinya konflik antara orang Minangkabau dengan orang Jawa. Pada tahun
1949 orang Minagkabau merasa kuatir atas keberadaan orang Jawa menjelang
penyerahan kedaulatan Republik Indonesia dari tangan Belanda ke Indonesia. Timbul 25
perselisihan pendapat antara penduduk asli dengan sebahagian eks buruh perkebunan
Ophir yang berasal dari Jawa tentang tanah perkebunan. Situasi di Ophir sangat tidak
stabil. Semula penduduk setempat tidak mempermasalahkan tentang lahan
perkebunan Ophir tersebut. Namun karena makin leluasanya dan luasnya tanah bekas
perkebunan Ophir dikerjakan oleh eks buruh perkebunan Belanda tersebut
menyebabkan penduduk setempat tidak merasa senang. Hal ini disebabkan karena
penduduk setempat juga merasa memiliki lahan perkebunan ini (Asfahrizal, 1996 : 44).
Untuk menyelesaikan masalah ini, Gubernur Sumatera Tengah menugaskan
Bupati Meliter Pasaman Busyarah Lubis menerbitkan situasi di onderdeneming Ophir.
Dalam penyelesaiannya, Bupati memberikan izin kepada eks buruh onderdeneming
Ophir untuk tetap mengerjakan sebahagian tanah tersebut. Buruh-buruh tersebut
dianjurkan oleh bupati menanam tanaman pangan dan plawija. Kemudian penduduk
setempat diberi pengertian oleh bupati sehingga situasi yang memburuk dapat diatasi
(Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau, 1992 : 425 dan 428)
Berbagai persoalan yang muncul didalam nagari seperti persoalan batas tanah,
bacakak antar kampuang secara tidak langsung telah memungkinkan memperbesar
eksistensi pemimpin tradisional di daerah tersebut. Baik sebagai pendorong ke arah
tersebut maupun sebagai seorang yang akan mendamaikan. Sebagai daerah rantau,
lembaga Pemerintahan tradisional yang lebih menonjol peranannya adalah pertuanan
dan kerajaan. Sistem pemerintahan tradisional Minangkabau memang menegaskan
bahwa suveranitet pemerintahan dan kekuasaan tertinggi di daerah rantau memang
berada di tangan raja. Yang dipertuan agung atau raja merupakan kepala pemerintahan
dan pemimpin masyarakat (inlandsche bestuurshoofden) yang diakui oleh tradisi politik
tradisional Minangkabau untuk daerah rantau (Yandri (ed), 2003 : 36).
26
Penutup
Perbenturan yang terjadi karena persoalan ekonomi dalam hal ini tanah memang
merupakan suatu gejala yang bukan saja sekarang ini terjadi namun sudah lama
merasuki kehidupan masyarakat kita. Gejala tersebut muncul tidak terlepas dari fungsi
tanah itu sendiri. Bagi masyarakat Minangkabau misalnya, tanah bukan saja berfungsi
ekonomi tapi juga sosial. Tanah bukan saja berfungsi sebagai tempat tinggal, sumber
produksi atau pendapatan, tetapi juga mempunyai fungsi sosial dimana dengan tanah
tersebut dapat mencerminkan kedudukan sosial dan status seseorang ditengah
masyarakat atau dengan kata lain tanah sebagai dasar dari perbedaan sosial di dalam
masyarakat (Sjahmunir, 2000 : 8). Begitu pentingnya tanah ini dalam kehidupan
masyarakat Minangkabau, sehingga tidaklah mengherankan seringnya muncul
permasalahan seperti dalam hal kepemilikan tanah itu sendiri. Oleh karena itulah
didaerah rantau Minangkabau - Pasaman, etnik Minangkabau sebagai penduduk asli
menganggap dua etnik yakni Mandailing dan Jawa telah merebut hak milik mereka atas
tanah yang ada di daerahnya. Dalam perebutan tanah tersebut konflik yang mengarah
kebentuk kekerasan tidak dapat dihindarkan.
Sebagai sebuah konflik di satu sisi telah merusak tatanan kehidupan diantara
etnik, namun disisi lain telah mengokohkan keberadaan lembaga adat di daerah
tersebut, yakni perannya dalam menyelesaikan konflik tersebut. Lembaga adapt ini
“terpakai” disamping ada legitimasi oleh pemerintah kolonial Belanda dalam
mengunakan jalur adat dalam menyelesaikan konflik juga keenganan masyarakat untuk
menempuh jalur pengadilan negeri baik alasan prosedurnya maupun masalah biayanya
serta mereka tidak akrab dengan hal tersebut, mereka menganggap hal tersebut
sebagai “dunia baru” dalam proses penyelesaian suatu masalah. Nampaknya, apa
yang dikatakan oleh Benda-Beckhmann “runtuhnya tangga menuju mufakat” untuk
periode, tempat dan kasus tersebut tidak terjadi, bahkan “tangga menuju mufakat”
27
tersebut telah menegakkan mereka kearah kebaikan. Namun, di masa orde baru
“tangga menuju mufakat” itu mulai runtuh bahkan “ambruk” kalau boleh kita ungkapkan.
Semenjak orde baru sampai saat sekarang ini, konflik yang terjadi bukan lagi
antar sesama etnik yang menonjol dalam menguasai akses tanah namun konflik antara
pihak pengusaha perkebunan dengan masyarakat setempat. Masyarakat merasa
“kehilangan” akses terhadap tanah yang mereka miliki turun temurun. Ketimpangan
terjadi, perkebunan berdiri ibarat mercusuar yang tinggi dengan keuntungan yang
banyak, masyarakat malahan sebaliknya.
28
Daftar Pustaka
A. Arsip-Arsip dan ManuskripKoleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Jakarta.1. Inventaris Arsip Binnensland Bestuur (BB) nomor 5, nomor 1212, nomor.1218.
nomor.1523, nomor.5266.2. Inventaris Arsip Kabinet Presiden Republik Indonesia : 1950-1959 nomor 2023. Inventaris Arsip Kabinet Presiden Republik Indonesia : 1950-1959 nomor 204
B. Koran dan MajalahDunia Seminggoe Soematra Tengah nomor 85 tanggal 15 September 1952 tahun ke III.Haluan, 18 September 1953Haluan, 27 Juli 1957.Haluan, 11 Nopember 1954.Oetoesan Alam Minangkabau: Sasaran Penghoeloe Medan Ra’jat. Nomor 1 tahun ke- 5 tanggal 27 Maret 1939.Soeara Minangkabaoe Tahoen 1 Nomor 1 Augustus 1938.Soeara Minangkabaoe Tahoen 1 Nomor 1 November 1938.Soeara Minangkabau tahun 1 nomor 1, Agustus 1939.Tani, nomor 3 tahun ke 10 tahun 1930Tani, nomor 6 tahun ke 6 tahun 1932Tani, nomor 10 tahun ke 10 tahun 1934Tiras nomor 32 tanggal 5 September 1996Warta Caltex nomor 34 tahun 1993.C. Buku dan ArtikelAbdullah, Taufik, “Adat and Islam : An examination of conflict in Minangkabau”,
Indonesia 2 (Oktober 1966).Aboe Nain, Sjafnir, Tuanku Imam Bonjol : Sejarah intelektual Islam di Minangkabau
1784-1832. Padang : Esa, 1988.Amran, Rusli, Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta : Sinar Harapan, 1985.Asfahrizal, Sejarah perkebunan kelapa sawit Ophir dari onderneming hingga
perkebunan inti rakyat di Pasaman Sumatera Barat. Skripsi . Padang : Fakultas Sastra Universitas Andalas, 1996.
Asnan, Gusti, Kamus sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM), 2003.
Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau (BPSIM),Sejarah perjuangan kemerdekaan di Minangkabau/Riau :1945-1950. Jilid II. Jakarta : New Aqua Press,1992.
Ballot, A, Betreffende een dienstreis den Asistent-Resident-Resident van Loeboeq Sikaping. A.Ballot, Vergezeld van den chef van den staf van Sumatra’s Westkust, naar de landschappen, Moeara Soengai Lolo VI Kota Kampar en Mapat Toenggoel (Silayang en Loeboek Gedang en Moera Tais), 1905.
Batuah, Ahmad Dt dan A.Dt Majo Indo, Tambo Minangkabau. Jakarta : Balai Pustaka, 1956.
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, Identitas etnik masyarakat perbatasan (Kasus di Kecamatan Rao Mapat Tunggul Kabupaten Pasaman). Padang : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, 2003.
Beckmann , Keebet von Benda, Goyahnya tangga menuju mufakat ; Peradilan Nagari dan Pengadilan Negeri di Minangkabau. Jakarta : Grasindo, 2000.
29
Beckman, Franz Von Benda, Properti dan kesinambungan sosial : Kesinambungan dan Perubahan dalam Pemeliharaan Hubungan-Hubungan Properti Sepanjang Masa di Minangkabau. Jakarta : Grasindo, 2000
------------------Property in social continuity : Continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau.Docdrecht Holland/Cinnaminson USA, 1979.
Binnenlandsch Bestuur, Particuliere landbouwnijverheid : Lijst van Ondernemingen Batavia : Landrukkerij, 1918.
Breman, Jan, Penguasaan tanah dan tenaga kerja : Jawa di masa kolonial. Jakarta : LP3ES, 1986.
Buussy, J.H.De, Hand boek voor cultuur en handles ondernemingen in nederlandsch indie. Amsterdam : Drukkerij Uitgevery, 1936.
Central Kantoor Statistiek, De Landbouw ekportgewessen 1938-1940. Weltevreden : Landskrukkij, 1940.
Datuak Rajo Panghulu, R.M, Minangkabau, sedjarah ringkas dan adatnja. Padang : Sri Dharma, 1971.
Djurip, dkk, Budaya masyarakat suku bangsa Minangkabau di Kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera Barat. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, 1986.
Dobbin, Christine, Islamic revivalism in a changing peasant economy : Central Sumatra, 1784-1847 (Monograph Series, Scandinavian Institue of Asian Studies, no 47), 1992.
Elfianis, Hukum Belanda versus hukum adat Minangkabau : Tinjuan tentang penguasaan tanah di Minangkabau 1875-1914. Skripsi. Padang : Fakultas Sastra Universitas Andalas, 1994.
Fortuna Anwar, Dewi. dkk (ed), Konflik kekerasan internal : Tinjauan sejarah, ekonomi –politik, dan kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, LIPI, LASEMA-CNRS, KITLV –Jakarta, 2005.
Graves, Elizabeth, E, The Minangkabau response to Dutch Colonial rule in the nineteenth century (Monograph Series) Ithaca, NY : Cornell University, 1981.
Guyt, H, “Kerapatan-adat”, Indisch Tijdschrift voor Het Recht 140, 1934.Hakimy Datuak Rajo Penghulu, Idrus, Pokok-pokok pengetahuan adat alam
Minangkabau. Bandung : Rosda, 1978.Harun, Zulkarnain, “ Perubahan sistem penguasaan tanah dan konflik tanah serta
proses penyelesaiannya : Studi kasus di Nagari Simawang Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat” dalam Jurnal Antropologi. Tahun IV Nomor 6, Juli –Desember 2002.
Haar, Tear, Azaz-azaz dan susunan hukum adat. Terjemahan oleh K.Ng Subakti Poesponto. Jakarta : Pradiya Paramita, 1985.
Hamka, Adat Minangkabau dan harta pusakanya. Padang : Seminar Hukum Adat Minangkabau, 1968.
------------------Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Djakarta : Panji Masyarakat. [1974].
Hardjono, Joan (Penyunting), Transmigrasi : Dari kolonisasi sampai swakarsa. Jakarta : Gramedia, 1981.
Hermayulis, Status tanah ulayat menurut hukum adat dan hukum tanah nasional. Makalah disampaikan pada workshop tanah ulayat yang diadakan oleh kantor wilayah badan pertanahan nasional-pemerintah daerah Sumatera Barat pada tanggal 23-24 Oktober 2000. Padang : Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, 2000.
Hutauruk, M, Sejarah ringkas Tapanuli. suku Batak. Jakarta : Erlangga, 1987.Kahin, Audrey, Perjungan kemerdekaan Sumatera Barat dalam revolusi nasional
Indonesia. 1945-1950. Jakarta : Agsana Mamamnda, 1979.
30
------------------Dari pemberontakan ke integrasi : Sumatera Barat dan politik Indonesia : 1926-1928. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Kato, Tsuyohi, Nasab ibu dan merantau : Pola tradisional Minangkabau yang berterusan. Terjemahan oleh Azizah Kasim. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, 1989.
------------------“Opportunities missed : A social history of a Minangkabau village in Kuantan Riau” dalam Abdul Aziz Saleh & Flud van Giffen (eds), Socio-cultural impatc of development : Voices from the field. Padang : Andalas University Research Center, 1990.
Kantor Jawatan Transmigrasi Kabupaten Pasaman tahun 1952, 1953, 1954, 1955, 1960, 1962, 1963,1964,1965, 1968
Koenjaraningrat, Masalah-masalah pembangunan : Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta : LP3ES, 1984.
-------------------Manusia dan kebudayaan Indonesia. Jakarta : Djambatan, 1992.Lindblad, J.Thomas.(ed), Sejarah ekonomi modern Indonesia : Berbagai tantangan
baru Jakarta : LP3ES, 2000.------------------Fondasi historis ekonomi Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.Lubis, Maya Suri Rachmanti, Pengakuan orang Ulu dari Kecamatan Muara Sipongi
Kabupaten Tapanuli Selatan di perantauan sebagai orang Mandailing (Studi kasus tentang strategi adaptasi sosial masyarakat Ulu yang merantau ke Jakarta dan Bandung). Skripsi S1. Bandung : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran, 1989.
Mansoer, M.D. (dkk), Sedjarah Minangkabau. Djakarta : Bhratara, 1970.Martodirjo, Haryo S, “Pola transmigrasi dan rencana pembangunan daerah di
Pasaman Barat”. Sumatera Barat : Kertas Kerja dalam Seminar LTA-16, 1 Februari 1975 di Bukit Tinggi, 1975.
M.S, Amir, Adat Minangkabau : Pola dan tujuan hidup orang Minang. Jakarta : PT.Mutiara Sumber Widya, 2003.
Nasroen, Mhd, Dasar falsafah adat Minangkabau. Jakarta : Bulan Bintang, 1957.Nagazumi, Akira (Penyunting), Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang : Perubahan
Sosial-Ekonomi Abad XIX dan XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1986.
Naim, Muchtar (ed), Menggali hukum tanah dan hukum waris Minangkabau. Padang : Center For Minangkabau Studies, 1968.
------------------Kedudukan tanah adat dewasa ini. Kertas kerja yang disampaikan pada symposium “Undang-undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah Adat Dewasa ini”. Diselengarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional,Departemen Kehakiman bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan dan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat tanggal 6 sampai dengan 8 Oktober 1977 di Banjarmasin, 1977.
Navis,A.A ,Alam takambang jadi guru : Adat dan kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Pustaka Grafitis, 1984.
Neeumann. J.B, Sejarah Mapat Tunggul dan Muara Sungai Lolo VI Koto Nota (Uraian Tertulis) : Daerah Bebas Mapat Tunggul dan Muara Sungai Lolo VI Koto, 1883. (Terjemahan oleh M.Yusuf).
Niel, Robert van , Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta : LP3ES, 2003.Oki, Akira, Social change in the West Sumatran Village. 1908-1945. Thesis Doctor.
Canberra : The Australian University, 1977.Parlindungan, Mangaradja Onggang, Pongkinangolangolan Sinambela gelar Tuanku
Rao : Teror agama Islam mazhab hambali di Tanah Batak 1816-183 Djakarta : Tandjung Pengharapan, 1964.
Pelzer, Karl.J, Toean keboen dan petani : Politik kolonial dan perjuangan agraria di Sumatera Timur 1863-1947. Jakarta : Sinar Harapan, 1985.
31
Pelly, Usman, Urbanisasi dan adaptasi : Peranan misi budaya Minangkabau dan Mandailing . Jakarta : LP3ES, 1984.
Saptomo, Ade, Berjenjang naik bertangga turun : Proses penyelesaian sengketa tanah di Minangkabau. Thesis S2. Jakarta : Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002.
Sangguno Dirajo, Datuk, Serial sastra budaya Minangkabau : Curahan adat alam Minangkabau: Bukit Tinggi : CV. Pustaka Indonesia, 1987.
Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, Sejarah perkebunan di Indonesia : Kajian sosial-ekonomi. Yogyakarta : Aditya Media, 1991.
Sjahmunir, Status wanita dalam Kepemilikan Tanah Ulayat di Minangkabau. Makalah yang dipresentasikan pada seminar Minangkabau women in modren society. Padang, 2001.
Sub Direktorat Kesejahteraan Rakjat, Pemerintahan Daerah Kabupaten Pasaman. Kabupaten Pasaman, 1974.
Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan hukum kewarisan Islam dalam lingkungan adat Minangkabau. Jakarta : Gunung Agung, 1984.
Syofiarni, “Perkebunan karet orang Pandai Sikek di Lubuk Minturun (1915-1942)” Skripsi S1. Padang : Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, 1997.
Tanner, Nancy, “Disputing and dispute settlement in Minangkabau” in Indonesia 8.Tjondronegoro, Sedjiono.M.P dan Ginawan Wiradi (penyunting), Dua abad penguasaan
tanah. : Pola pengusaan tanah pertanian di Jawa dari masa ke masa. Jakarta : Gramedia, 1984.
Tim Peneliti Cerita Rakyat Daerah Sumatera Barat, Cerita rakyat (mite dan legende) daerah Sumatera Barat dalam bahasa daerah Minangkabau. Jakarta : Proyek inventarisasi dan dokumentasi kebudayaan daerah pusat penelitian sejarah dan budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979/1980.
Tim Lapera, Prinsip-prinsip reforma agraria. jalan penghidupan dan kemakmuran rakyat. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama, 2001.
Utomo, Kampto, ”Masyarakat transmigrasi spontan di daerah Wai Sekampung (Lampung)”, Disertasi. Bogor : IPB, 1957.
Undri, Diambil sebelum di nasionalisasi : Pengalaman Sumatera Barat dalam proses nasionalisasi perkebunan. Makalah yang dipresentasikan pada seminar internasional Dekolonisasi di Pulau Sumatera, 1-2 Agustus di Padang, 2005.
------------------“Heboh di Daerah Perbatasan 1930-1960 : Studi kasus konflik lahan perkebunan karet rakyat di Kecamatan Rao Mapat Tunggul Kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera Barat”. Laporan Penelitian. Padang, Sumatera Barat, 2004.
------------------Halului Anak Halului Tano. Menelusuri Konflik Pengusahan Lahan Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera Barat. Makalah yang disampaikan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jakarta, 10 Januari 2005.
------------------Konflik Tanah di Daerah Perbatasan, 1930-1960 : Konflik Tiga Kelompok Etnik di Pasaman, Sumatera Barat. Laporan Penelitian Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bekerjasama dengan Nederlands Instituut Voor Oorlogdocumentatie Belanda, 2006.
Uripsyah, Yadri, Integrasi dan Konflik di Pemukiman Baru : Studi Kasus Desa Jambak Kabupaten Pasaman.Skripsi S1. Padang : Fakultas Sastra Universitas Andalas, 1990.
Usman, Fajri, Dialek geografis bahasa Minangkabau di daerah perbatasan Pasaman Timur dengan Tapanuli Selatan. Skripsi S1. Padang : Fakultas Sastra Universitas Andalas, 1991.
32
Westenenck, L.C, Nagari Minangkabau.Terjemahan oleh Mahyuddin Saleh. Padang : Bursa Fakultas Hukum Universitas Andalas, 1912.
Wildawati, “Bacakak kampuang” : Studi konflik sosial di Padang Sibusuk Kecamatan Kupitan Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung (1987-1989). Skripsi S1. Padang : Fakultas sastra Universitas Andalas, 2002.
Wilhelm, Donal, Indonesia bangkit. Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1981.Yamin,Muhammad, Soematera bergolak, Jawatan Penerangan Propins Sumatera
Tengah, 1957.Yandri, Efi (ed), Nagari : Dalam perspektif sejarah. Tanpa tempat penerbit : Lantera 21,
2003.Zed, Mestika, Melayu kopi daun : Eksploitasi kolonial dalam Sistem Tanaman Paksa
Kopi di Minangkabau Sumatera Barat (1847-1908)”. Thesis. Jakarta : Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Sejarah Indonesia Pengkhususan Sejarah Indonesia Universitas Indonesia, 1993.
------------------90 Tahun Semen Padang (1910-2000) : Perjalanan Sejarah Pabrik Semen Tertua di Indonesia..2001. tanpa penerbit dan tahun terbit, 2003.
Zein, Djaswir, dkk, Monografi Kabupaten Pasaman. Propinsi Sumatera Barat Padang: Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang, 1993.
D. Wawancara
Wawancara dengan Masri Sutan Bagindo (70 tahun) tanggal 14 April 2005 di Simpang Empat, Wawancara dengan Godik (59) tanggal 7 Maret 2004 di RaoWawancara dengan Siri Busu (65) tanggal 4 Maret 2004 di RaoWawancara dengan Kairul (64) tanggal 4 Maret 2004 di Rao.Wawancara dengan Najimudin, tanggal 1 Mei 2005 di Pasar Halaban Payakumbuh.Wawancara dengan Nurman tanggal 2 Maret 2004 di Rao.Wawancara dengan Sjahrul datuak paduko indo (65) tanggal 15 Juli 2005 di Pasaman.
33
top related