konflik dalam diri istri sebagai perempuan modern …
Post on 04-Nov-2021
11 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
KONFLIK DALAM DIRI ISTRI SEBAGAI PEREMPUAN MODERN YANG TEREPRESENTASI DALAM SEJUMLAH CERPEN
RATNA INDRASWARI IBRAHIM
Erlita Nur Rahman, Ibnu Wahyudi
Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: erlitanur@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini membahas konflik dalam diri istri sebagai perempuan modern yang terepresentasi dalam sejumlah cerpen Ratna Indraswari Ibrahim. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan temuan mengenai konflik dalam diri istri dalam sejumlah cerpen Ratna, pemikiran dan tindakan tokoh-tokoh perempuan dalam sejumlah cerpen Ratna ketika menghadapi persoalan rumah tangga, serta realitas sosial dalam sejumlah cerpen Ratna yang tercermin di masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Dari penelitian ini terlihat bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam cerpen Ratna dapat digolongkan menjadi dua, yaitu tokoh perempuan yang berani untuk berontak dan tokoh perempuan pasrah. Selain itu, terlihat pula bahwa tindakan yang dilakukan tokoh perempuan dalam masing-masing cerpen tidak seluruhnya membawa mereka pada kesuksesan, tetapi terdapat pula yang mengalami kegagalan. Kata Kunci : Ratna, konflik, istri, perempuan modern, suami, rumah tangga, cerpen The Conflict of Wives as Modern Women Represented in a Number of Short Stories of
Ratna Indraswari Ibrahim
Abstract This research discusses the conflict of wives as modern women represented in a number of short stories of Ratna Indraswari Ibrahim. This research aims at describing the findings on wife conflicts in some of Ratna’s short stories, thoughts and actions of the women figures when facing household problems, as well as social realities in her stories reflected in society. The method used in this research is descriptive analysis. From this research, it is seen that woman characters in Ratna’s short story can be classified into two, as a female characters who dares to rebel and submissive female characters. Moreover, it is seen that actions taken by the women characters in each short story do not entirely taken them to triumph, but also to defeat. Keywords : Ratna, conflict, wife, modern women, husband, household, short story
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
2
Pendahuluan
Damono (2010:1) menyatakan bahwa karya sastra tidak jatuh dari langit, melainkan
diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Sastrawan atau pengarang itu sendiri adalah seorang warga masyarakat yang
tentunya mempunyai pendapat tentang masalah-masalah politik dan sosial yang penting, serta
mengikuti isu-isu zamannya (Wellek dan Warren, 2014:102). Tidak sedikit proses penciptaan
karya sasta dan isi karya sastra itu sendiri merupakan bentuk curahan dan cerminan dari
kehidupan pengarang itu sendiri. Pengarang tidak bisa tidak mengekspresikan pengalaman
dan pandangannya tentang hidup (Wellek dan Warren, 2014:99). Akan tetapi, bukan berarti
pengarang mengekspresikan kehidupannya secara menyeluruh atau kehidupan zaman tertentu
secara konkret. Damono (2010:19) juga menyebutkan hal yang serupa bahwa pengarang besar
tentu saja tidak sekadar menggambarkan dunia sosial secara mentah.
Cerita pendek atau cerpen tergolong sebagai prosa modern. Menurut Siswanto
(2008:141—142), cerpen merupakan bentuk prosa rekaan yang pendek, tetapi masih
mempersyaratkan adanya keutuhan cerita, bukan asal sedikit halaman. Bahasa dalam cerpen
juga cenderung menggunakan bahasa yang sederhana karena biasanya permasalahan yang
digarap tidak begitu kompleks dan menceritakan peristiwa atau kejadian sesaat.
Salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup produktif menulis cerpen adalah Ratna
Indraswari Ibrahim, yang dalam penulisan selanjutnya disebut Ratna. Cerpen pertama Ratna
berjudul “Jam” yang dimuat dalam sebuah majalah remaja MIDI pada tahun 1975.1 Untuk
jumlah pasti judul cerpen yang telah ditulisnya, Ratna mengaku sulit mengetahuinya (Hurek,
2010). Hal itu disebabkan karena cerpen-cerpen di masa anak-anak dan remajanya belum
terdokumentasi dengan baik. Akan tetapi, Ratna memperkirakan bahwa cerpen sastra yang
telah ditulisnya sejumlah 400-an judul. Sekitar 200 sampai 300 judul cerpennya sudah
dipublikasikan di media massa. Media massa tersebut antara lain Horison, Kompas, Zaman,
Sinar Harapan, Mutiara, Femina, Kartini, Sarinah, Pertiwi, Dewi, Famili, Nova, Pikiran
Rakyat, Masakini, Surabaya Post, Surya, Bali Post, dan Suara Indonesia.
Selain dimuat di berbagai media massa, cerpen-cerpen Ratna juga dibukukan ke dalam
beberapa kumpulan cerpen. Kumpulan cerpen pertamanya berjudul Menjelang Pagi yang
diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1994. Berselang enam tahun, pada tahun 2000 judul
kumpulan cerpen kedua berjudul Namanya, Massa yang diterbitkan oleh LKiS, Yogyakarta.
Kumpulan cerpen ketiga diterbitkan oleh Jendela pada tahun 2002 dengan judul Lakon di
1 Subiyantoro, op.cit., hlm. 5.
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
3
Kota Kecil. Di tahun yang sama, terbit kumpulan cerpen keempat berjudul Aminah di Suatu
Hari yang diterbitkan oleh Penerbit Galang, Yogyakarta. Kemudian, selang setahun,
Gramedia menerbitkan kumpulan cerpen kelima Ratna dengan judul Sumi dan Gambarnya.
Masih di tahun yang sama, terbit pula kumpulan cerpen Noda Pipi Seorang Perempuan oleh
Penerbit Tiga Serangkai, Solo. Satu tahun kemudian yakni pada 2004, Sava Media
menerbitkan 17 cerpen Ratna ke dalam suatu antologi cerpen yang diberi judul Bajunya Sini.
Kemudian, pada tahun 2004 kembali terbit antologi cerpen Ratna dengan judul Perasaan
Perempuanku oleh Penerbit Matahari. Pada tahun 2007, Penerbit Bentang meluncurkan
kumpulan cerpen Ratna yang diberi judul Lipstik dalam Tas Doni.
Ratna adalah seorang cerpenis yang sering menjadikan tema aspirasi perempuan
modern ke dalam cerpennya. Istilah “perempuan modern” bagi sebagian banyak karya Ratna
dinyatakan oleh Budi Darma dalam blurb kumpulan cerpen Lipstik dalam Tas Doni yang
terbit pada 2007.
“Ratna Indraswari Ibrahim mempunyai keistimewaan, yaitu sanggup menulis berbagai cerpen dengan berbagai tema. Dunia pewayangan, psikologi, wanita, dapat digarapnya dengan mudah. Namun, apa pun yang terjadi, dia tidak lepas dari aspirasi perempuan modern, yaitu dilema antara perempuan yang harus mandiri dan perempuan yang harus tunduk pada tradisi.” (Darma, 2007)
Istilah “perempuan modern” yang disebutkan Budi Darma tersebut pada akhirnya juga
digunakan penulis dalam penyusunan naskah ringkas ini. Tidak sedikit dari cerpen-cerpen
Ratna yang menggambarkan konflik dalam diri perempuan yang dihadapkan pada pilihan
untuk mandiri atau tunduk pada tradisi. Permasalahan perempuan yang cukup banyak dibahas
Ratna dalam cerpen-cerpennya itulah yang membuat penulis tertarik untuk menelaah lebih
mendalam.
Penelitian ini berfokus pada tiga permasalahan, yaitu bagaimana konflik dalam diri
istri sebagai perempuan modern dalam sejumlah cerpen Ratna yang digambarkan melalui
unsur intrinsik, khususnya tokoh, penokohan, alur, dan latar?; bagaimana pemikiran dan
tindakan yang dilakukan tokoh-tokoh perempuan dalam sejumlah cerpen Ratna ketika
menghadapi persoalan hidupnya?; dan bagaimana realitas sosial dalam sejumlah cerpen Ratna
dan cerminannya di masyarakat?
Merujuk pada permasalahan-permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan konflik dalam diri istri sebagai perempuan modern dalam sejumlah
cerpen Ratna melalui unsur intrinsik, khususnya tokoh, penokohan, alur, dan latar;
memaparkan pemikiran dan tindakan yang dilakukan tokoh-tokoh perempuan dalam sejumlah
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
4
cerpen Ratna ketika menghadapi persoalan hidupnya; dan memaparkan realitas sosial dalam
sejumlah cerpen Ratna dan cerminannya di masyarakat.
Ruang Lingkup dan Metode Penelitian
Dalam naskah ringkas ini penulis memilih enam cerpen untuk ditelaah lebih
mendalam, yaitu “Rambutnya Juminten”, “Perempuan Itu Cantik”, “Jaring Laba-Laba”,
“Nyai Roro Kidul”, “Kegagalan”, dan “Kupu-Kupu”. Enam cerpen tersebut dipilih karena
memiliki kemiripan tema serta masing-masing cerita menampilkan konflik dalam diri istri
sebagai perempuan modern sehingga memenuhi karakteristik untuk menjawab pertanyaan
pada bagian rumusan masalah. Selain itu, keenam cerpen yang dipilih menjadi objek
penelitian diambil dari tiga dekade yang berbeda, yakni 1980-an, 1990-an, dan 2000-an.
Alasan dipilihnya enam judul cerpen dari tiga dekade berbeda agar pemilihan cerpen tidak
hanya terbatas pada kurun waktu saja.
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan naskah ringkas ini adalah
deskriptif analisis. Ratna (2012:53) menjelaskan bahwa metode deskriptif analitik diawali
dengan mendeskripsikan fakta-fakta kemudian disusul analisis yang tidak hanya sebatas
menguraikan, tetapi juga memberikan pemahaman dan penjelasan. Penulisan naskah ringkas
ini akan diawali dengan memaparkan unsur intrinsik cerpen-cerpen Ratna yang dikhususkan
pada tokoh, penokohan, alur, dan latar. Setelah pemaparan unsur intrinsik akan ditemukan
konflik dalam diri tokoh-tokoh perempuan dengan cara mendeskripsikan kehidupan dan
peristiwa yang dialami oleh mereka. Selanjutnya, akan diketahui seperti apa pemikiran dan
tindakan dari tokoh-tokoh perempuan dalam menghadapi persoalan atau permasalahan
hidupnya. Setelah itu, penulis akan memaparkan realitas sosial yang terdapat di cerpen-cerpen
Ratna yang juga tercermin dalam kehidupan masyarakat.
Landasan Teori
Dalam penyusunan naskah ringkas ini penulis akan menggunakan teori intrinsik karya
sastra sebagai analisis struktural serta pendekatan sosiologi sastra sebagai analisis ekstrinsik.
Selain itu, sebagai pendukung penulis untuk menjawab permasalahan juga akan digunakan
pembahasan mengenai konsep gender, perempuan modern, dan perempuan pekerja.
Baldic (1991:33) juga memberi pengertian bahwa “character is a personage in a
narrative or dramatic work” yang artinya tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam
cerita fiksi atau drama. Selain itu, Baldic (1991:34) juga mendefinisikan “characterization is
the representation of persons in narrative and dramatic works. This may include direct
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
5
methods or indirect methods inviting readers to infer qualities from character actions and
speech” yang berarti penokohan adalah penghadiran tokoh dalam cerita fiksi atau drama
dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan
kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya. Nurgiyantoro (2013:258—260) membagi tokoh
dari segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh
tambahan. Selain itu, dilihat dari fungsi penampilan tokoh, Nurgiyantoro (2013:260—264)
membedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
Plot atau alur didefinisikan oleh Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2013:167) sebagai
cerita yang berisi urutan kejadian, tetapi setiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-
akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
Kaitan sebab akibat di dalam alur juga disebutkan oleh Forster (1954:86), “a plot is also a
narrative of events, the emphasis falling on causality.” Sudjiman (1991:30) juga menafsirkan
teori Forster tersebut ke dalam bukunya bahwa pengaluran adalah pengaturan urutan
penampilan peristiwa untuk memenuhi beberapa tuntutan dengan memperhatikan hubungan
kausalnya (sebab akibat). Pembedaan plot berdasarkan urutan penceritaan peristiwa-peristiwa
yang ditampilkan atau urutan waktu kejadian dibedakan menjadi plot lurus atau maju, plot
sorot balik atau flashback, dan plot campuran (Nurgiyantoro, 2013:213—215).
Latar atau setting menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2013:302) menunjuk pada
tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2013:302) mengelompokkan latar bersama
dengan tokoh dan plot ke dalam fakta (cerita) karena ketiga hal tersebut yang akan dihadapi
dan diimajinasikan pembaca secara faktual jika membaca sebuah cerita fiksi. Ketiga hal itulah
yang secara konkret dan langsung membentuk sebuah cerita yang meliputi pelaku dan
penderita kejadian-kejadian yang bersebab akibat, di mana, kapan, dan bagaimana kondisi
sosial-budaya. Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan
sosial-budaya (Nurgiyantoro, 2013:314).
Wellek dan Warren memandang bahwa hubungan yang bersifat kritik sosiologis
(deskriptif) diklasifikasikan menjadi tiga hal berikut. Pertama adalah sosiologi pengarang,
profesi pengarang, dan institusi sastra. Adapun yang mempunyai kaitannya dengan aspek ini
ialah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi
pengarang. Yang kedua adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam
karya sastra yang berkaitan dengan masalah sosial. Yang terakhir adalah permasalahan
pembaca dan dampak sosial karya sastra terhadap masyarakat (Wellek dan Warren,
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
6
2014:100). Jadi, secara garis besar ketiga unsur yang diuraikan oleh Wellek dan Warren
tersebut meliputi sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca.
Isu mengenai gender belakangan ini telah banyak diikutsertakan dalam sejumlah
analisis, bahasan, dan pembicaraan di tengah masyarakat. Namun, sayangnya tidak sedikit
masyarakat yang masih keliru mempersepsikan gender sebagai jenis kelamin. Padahal, gender
dan jenis kelamin merupakan dua konsep yang berbeda. Pada intinya, jenis kelamin adalah
sesuatu yang kodrati yang dibawa sejak lahir dan akan menempel selamanya dalam diri
manusia, sedangkan konsep gender yang merupakan konstruksi sosial-budaya memungkinkan
adanya ketidakabadian atau dapat dipertukarkan. Artinya, dapat saja seorang laki-laki
memiliki sifat lemah lembut dan keibuan serta mungkin saja perempuan bersifat rasional dan
juga kuat.
Berbicara mengenai konsep gender tidak terlepas dengan permasalahan yang
menyertainya yakni adanya ketidakadilan gender atau bias gender. Fakih (2012:12) menyebut
ketidakadilan gender sebagai suatu sistem dan struktur yang membuat kaum laki-laki maupun
perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender kemudian
termanifestasi dalam berbagai bentuk, antara lain marginalisasi, stereotip, subordinasi, beban
ganda, dan kekerasan.
Perkembangan zaman yang begitu pesat sekarang ini mendorong terjadinya
modernisasi di segala bidang, tidak terkecuali pemikiran manusia. Geliat kemajuan
pembangunan dan pendidikan sedikit banyak memengaruhi pola pikir seseorang, baik laki-
laki ataupun perempuan. Para perempuan yang telah berpikiran dan bertindak lebih maju atau
di luar kebiasaan perempuan pada umumnya kerap disebut sebagai perempuan modern.2
Perempuan modern adalah mereka yang telah mempunyai pola pemikiran yang telah
jauh berkembang dan menjangkau jauh ke depan, disebabkan pendidikan, pergaulan, atau
kehidupan baru yang lebih luas nuansa jangkauannya. Pola pikir perempuan modern yang
berkembang luas dan menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kemajuan zaman
menyebabkan berkembang pula kebutuhan hidup yang baru serta bervariasi. Guna mencukupi
kebutuhan baru tersebut, maka perempuan terdorong untuk hidup di luar rumah demi
menambah penghasilan utama suami agar dapat memenuhi kebutuhan baru tadi. Akan tetapi,
dorongan untuk hidup di luar rumah yang dialami perempuan kadang kala mengundang
permasalahan baru yang dapat menggoncang taraf ketentraman kehidupan keluarga.
2 Uraian mengenai perempuan modern dan perempuan tradisional berasal dari tulisan Hasan Basri yang berjudul “Apresiasi Wanita Modern dalam Cinta dan Keluarga” dalam Bainar (ed.). 1998. Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan. Jakarta : Pustaka Cidesindo. hlm. 178—181.
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
7
Hal-hal yang dialami dan dihadapi oleh perempuan modern jelas sangat jauh berbeda
dengan perempuan tradisional. Perempuan tradisional adalah mereka yang menerima tanpa
keluhan dan penolakan terhadap status dan fungsi mereka yang sangat sederhana sesuai
dengan kodrat kewanitaannya dari zaman ke zaman. Selain itu, perempuan tradisional
cenderung menerima dengan sabar dan bahagia kedudukannya sebagai ibu rumah tangga yang
berfungsi mendampingi suami dengan setia dan mengurus keperluan rumah tangga.
Karier merupakan salah satu hal yang dikejar oleh manusia dalam hidupnya, baik laki-
laki ataupun perempuan. Karier adalah serangkaian perilaku terarah yang menuju pada
pekerjaan dan posisi dalam pekerjaan yang dilakukan individu sepanjang hidupnya serta
dipengaruhi oleh beberapa faktor dan terus berkembang melalui tahap-tahap tertentu.3 Para
perempuan memasuki dunia kerja dengan berbagai alasan. Beberapa di antaranya untuk
mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan diri dan keluarga atau mencapai aktualisasi diri.
Namun, dalam dunia kerja, lagi-lagi kaum perempuan kembali dihadapkan pada bentuk
ketidakadilan gender yakni adanya pembagian kerja menurut jenis kelamin.
Dalam meniti karier, seorang perempuan terlebih lagi yang telah menikah dituntut
tidak boleh meninggalkan tugas keluarga, merawat, dan mendidik anak-anak. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa segala sesuatu tentang rumah tangga dan anak-anak hanya menjadi
tanggung jawab seorang istri atau ibu. Pandangan tradisional tersebut pada akhirnya akan
berdampak kepada perempuan karena cita-cita mereka yang terhambat.
Analisis Struktural Sejumlah Cerpen Ratna Indraswari Ibrahim
Cerpen “Rambutnya Juminten” mengisahkan kehidupan dan permasalahan yang
dihadapi oleh seorang perempuan bernama Juminten. Permasalahan yang dihadapi Juminten
adalah keinginannya untuk memotong pendek rambutnya ditentang oleh sang suami,
Panuwun, yang malah menyuruhnya untuk memanjangkan rambut. Permintaan Panuwun
itulah yang menimbulkan konflik dalam diri Juminten yang dihadapkan pada pilihan untuk
patuh menuruti perkataan suami atau mengikuti apa yang menjadi niat awalnya.
Juminten dalam cerpen ini bertindak sebagai tokoh utama karena perannya yang
tergolong penting serta kemunculannya secara terus-menerus sehingga mendominasi cerita.
Sementara itu, tokoh tambahan yang muncul antara lain Panuwun, Marni, dan Nardi. Alur
yang digunakan dalam cerpen “Rambutnya Juminten” adalah alur maju. Untuk penggambaran
3 Weny Savitry S. Pandia. “Perempuan dan Kariernya: Nafkah versus Aktualisasi Diri” dalam Nani Nurrachman dan Imelda Bachtiar (ed.). 2011. Psikologi Perempuan: Pendekatan Kontekstual Indonesia. Jakarta: Universitas Atma Jaya. hlm. 159.
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
8
latar tempat yang ditampilkan ialah suasana sebuah perdesaan, sedangkan penyebutan latar
waktu tidak merujuk pada waktu yang spesifik, melainkan hanya sebatas penyebutan Senin
Legi, sore ini, dan malam itu. Sementara itu, latar sosial-budaya yang tergambar ialah
masyarakat kelas menengah ke bawah yang antara lain dibuktikan oleh profesi Panuwun
sebagai buruh pabrik dan Juminten yang seorang anak buruh tani.
Cerpen “Perempuan Itu Cantik” bertokoh utama seorang perempuan berusia 27 tahun
yang bernama Nikita. Nikita yang berbakat, bahkan sempat menjadi pemain film, harus
meninggalkan kariernya itu ketika menikah dalam usia muda. Kecantikan Nikita yang selalu
dipuji orang lain tidak pernah dilihat sama oleh keluarga mertua, bahkan sang suami. Sebagai
seorang istri, Nikita dituntut untuk patuh dan menuruti perintah suami. Hal inilah yang kelak
memunculkan konflik dalam diri Nikita.
Cerpen “Perempuan Itu Cantik” menggunakan alur sorot balik (flashback). Cerita
bermula ketika Nikita berada di kereta api. Teknik pembalikan cerita dilakukan melalui tokoh
Nikita yang mengingat kembali ketika ia masih menjadi pemain film layar lebar. Gerbong
kereta api yang ditumpangi Nikita tersebut menjadi salah satu latar tempat cerpen ini. Selain
itu, digambarkan pula latar tempat di sebuah rumah yang berada di perkotaan. Sementara itu,
latar waktu cerpen ini juga tidak merujuk pada tahun atau bulan yang pasti.
Cerpen “Jaring Laba-Laba” mengisahkan tokoh utama seorang perempuan yang selalu
dihantui oleh laba-laba beserta jaring laba-laba yang menjeratnya. Laba-laba dan jaring laba-
laba itu merupakan khayalan akan figur suami dan anaknya yang menurutnya telah membatasi
ruang gerak Dina. Semenjak menikah, Dina selalu merasa kalau dirinya terkurung di dalam
rumah dan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga. Dina mengumpamakan dirinya
sebagai nyamuk yang kapan saja siap dilahap oleh laba-laba yang tidak lain adalah suami dan
anaknya. Hal itulah yang menjadi konflik dalam diri Dina setelah kebebasannya dalam
berkarier harus tergantikan oleh kesibukkan rumah tangga.
Hampir sama dengan tiga cerpen sebelumnya, cerpen “Nyai Roro Kidul” juga
menjadikan seorang perempuan sekaligus seorang istri bernama Murni sebagai tokoh utama
cerita. Permasalahan yang dihadapi Murni adalah dimintanya untuk menggugurkan
kandungan oleh sang suami karena alasan sepihak suami. Hal itulah yang menimbulkan
penyesalan dalam diri Murni. Tidak hanya menyesal karena gagal mempertahankan calon
buah hatinya, Murni juga menyayangkan telah berdampingan dengan laki-laki yang
membatasi aktivitas dan pilihannya. Hal itulah yang menjadi penyebab terjadinya konflik
dalam diri Murni. Cerpen “Nyai Roro Kidul” menggunakan alur sorot balik (flashback). Latar
tempat yang tergambar dalam cerpen “Nyai Roro Kidul” antara lain terdapat di pantai selatan
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
9
dan sebuah rumah di perkotaan, sedangkan latar waktu yang disebutkan dengan jelas ialah
keterangan pukul 19.00 WIB. Sementara itu, latar sosial-budaya yang ditampilkan cerpen ini
ialah kehidupan masyarakat kelas menengah.
Cerpen “Kegagalan” mengisahkan pemikiran dan persepsi antara seorang ibu dan
seorang anak yang saling bertolak belakang. Sang anak (Maimunah) yang telah berpikiran
modern mencoba untuk merdeka dan lepas dari kekangan peraturan sang ayah. Menimbang
alasan yang diutarakan Maimunah, Ibu (Hayati) pun tergerak untuk ikut serta memerdekakan
diri dari “jajahan” suami. Akan tetapi, kemauan Hayati untuk sukses di luar rumah belumlah
sekuat dan seteguh semangat sang anak. Itulah yang menunjukkan konflik dalam diri Hayati
bahwa dirinya yang sebenarnya ingin menemukan kebebasan, tetapi masih sangat tergantung
dengan suami.
Cerpen “Kupu-Kupu” mengisahkan seorang perempuan (Dia) yang bekerja sebagai
buruh cuci pakaian atas gagasan sang suami. Setiap kali sedang mencuci, Dia selalu dihampiri
seekor kupu-kupu yang seolah berbicara kepadanya dan tidak lain suara yang dikeluarkan
kupu-kupu tersebut adalah perlambang isi hati nurani tokoh Dia sendiri. Tokoh Dia dianggap
suami dan ibunya sebagai perempuan sempurna yang tidak pernah mengeluh dan selalu
mengiyakan perintah. Konflik dalam diri tokoh Dia adalah ketidakmampuan dirinya untuk
membela dan menuntut haknya karena rasa hormat yang teramat sangat terhadap suami.
Pemikiran dan Tindakan Tokoh Perempuan dalam Menghadapi Persoalan Rumah
Tangga
Keenam cerpen yang digunakan bahan kajian dalam penulisan naskah ringkas ini
seluruhnya menjadikan perempuan—sekaligus seorang istri—sebagai tokoh utama dengan
masing-masing permasalahan yang dihadapinya dalam kehidupan, khususnya rumah tangga.
Masing-masing tokoh perempuan dalam enam judul cerpen memiliki pandangan dan tindakan
yang berbeda dalam menghadapi persoalan rumah tangga mereka. Pada bagian ini penulis
akan memaparkan pemikiran dan tindakan yang diambil oleh tokoh-tokoh perempuan di
dalam cerpen Ratna saat menghadapi dan menyelesaikan persoalan yang ditemuinya.
Sifat dari Juminten yang penurut, bahkan terkesan penakut terhadap suami
membuatnya hanya mengikuti segala sesuatu yang menjadi kehendak Panuwun. Terlebih lagi,
Juminten juga tidak berusaha untuk membela diri atau mempertahankan apa yang menjadi
niat awalnya. Tindakan yang dilakukan Juminten itu dapat mengindikasikan masih
terbawanya arus pikiran tradisional masyarakat Indonesia. Hal itu terlihat dari kepatuhan dan
kesetiannya kepada suami sampai mengorbankan kegiatan di luar rumah dengan para
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
10
tetangga. Pada awalnya, tokoh Juminten dapat digolongkan sebagai perempuan modern
karena pola pikirnya yang mulai berkembang dan mengikuti perubahan zaman yang terbukti
dari keinginannya untuk mengubah gaya rambut pendek seperti tren di lingkungan tempat
tinggalnya.
Selain Juminten, tokoh Nikita juga merupakan perempuan sekaligus seorang istri yang
patuh dan menuruti anjuran suami. Pada awalnya, Nikita juga mengalami kegagalan untuk
memperjuangkan apa yang menjadi kehendak hatinya. Nikita mengorbankan kariernya setelah
menikah dan sibuk mengelola depot makanan sesuai suruhan suami. Bahkan, Nikita yang
telah banyak menuruti keinginan suami malah terabaikan dan disepelekan oleh suaminya
sendiri. Pada akhirnya, Nikita yang dapat digolongkan sebagai perempuan modern karena
pengalaman dan pemikirannya yang telah berkembang jauh ke depan, tersadari bahwa dirinya
berhak untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginannya. Nikita akhirnya mendapat
pengakuan akan kecantikan dirinya walaupun bukan dari sang suami, melainkan dari para
pemuda yang kerap mengintipnya dari jendela kamar.
Tokoh Dina dalam cerpen “Jaring Laba-Laba” menggambarkan seorang perempuan
modern yang terlihat dari tingkat pendidikan yang tinggi yakni lulusan S-2 di luar negeri serta
memutuskan untuk tetap bekerja walaupun telah berkeluarga. Namun, tingkat pendidikannya
yang mumpuni itu tidak membuatnya dapat berkarier dengan lancar dan langgeng karena sang
suami menyuruhnya untuk berhenti kerja dan fokus mengurus keluarga. Keputusan yang
diambilnya untuk meninggalkan karier sayangnya tidak membuat Dina bahagia. Dina yang
memendam kekecewaan sendiri justru membuatnya menjadi depresi dan membayangkan
dirinya sebagai nyamuk yang terjerat dalam jaring laba-laba buatan suami dan anaknya. Hal
tersebut memperlihatkan tokoh Dina yang gagal untuk mempertahankan hal yang
membuatnya nyaman yakni berkarier hanya karena perintah suami.
Permasalahan yang dihadapi oleh tokoh Murni dalam cerpen “Nyai Roro Kidul” tidak
jauh berbeda dengan persoalan tokoh-tokoh perempuan sebelumnya, yaitu dominasi suami
terhadap istri. Tindakan yang diambil Murni adalah mengikuti apa yang menjadi keinginan
suami yakni menggugurkan kandungannya. Tidak hanya itu, keinginan Murni untuk kembali
bekerja juga sangat ditentang oleh sang suami karena ia beralasan tidak bercita-cita memiliki
seorang istri yang berkarier. Murni merupakan perempuan dengan pendidikan yang baik,
tetapi masih terjerat dalam pola pikir perempuan tradisional, seperti yang diungkapkan oleh
Hasan Basri (dalam Bainar, 1998:178—181). Perintah dan keinginan suami menjadi satu-
satunya yang harus diikuti oleh istri. Inilah yang menjadi alasan kepasrahan Murni ketika
pendapatnya tidak pernah diperhitungkan.
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
11
Tokoh Nikita dalam cerpen “Perempuan Itu Cantik” dan tokoh Hayati dalam cerpen
“Kegagalan” merupakan sosok istri yang juga sama-sama menjadi objek dominasi suami.
Keduanya juga sama-sama melakukan pemberontakan atau perlawanan untuk mendapatkan
apa yang selama ini tidak diperoleh dari suami mereka. Sayangnya, tokoh Hayati tidak dapat
mempertahankan kesuksesan untuk lepas dari suami dengan langgeng, melainkan pada
akhirnya ia membiarkan dirinya kembali dalam naungan sang suami. Tindakan yang akhirnya
dipilih Hayati itu sangat berbeda dengan yang diambil oleh sang puteri, Maimunah.
Maimunah sebagai perempuan muda yang berpola pikir jauh lebih modern yang sesuai
dengan pernyataan Hasan Basri (dalam Bainar, 1998:178—181), teguh pada keinginannya
untuk merdeka dan bebas dari aturan yang dibuat oleh sang ayah. Dalam cerpen ini tokoh
Maimunahlah yang digambarkan sebagai tokoh perempuan yang memperoleh kesuksesan
sampai akhir cerita.
Persoalan yang dialami oleh tokoh Dia dalam cerpen “Kupu-Kupu” tidak jauh berbeda
dengan tokoh-tokoh perempuan sebelumnya. Tokoh Dia menjadi buruh cuci pakaian orang
lain atas dasar anjuran suami. Tokoh Dia hanya mengikuti suruhan itu saja karena didasari
rasa hormat dan patuhnya terhadap suami yang begitu besar. Seekor kupu-kupu yang kerap
berbicara kepadanya merupakan perlambang kata hatinya yang selama ini dipendam.
Sayangnya, tokoh Dia bertindak untuk tetap mengalah dan mengorbankan haknya. Latar
belakang pendidikan tokoh Dia yang tidak lulus SMTA menjadi salah satu alasan sifat tidak
percaya diri yang dimilikinya. Indikator itu juga yang membuat tokoh Dia begitu
menghormati sang suami karena dirasa berstatus sosial lebih tinggi dibanding dirinya. Alasan
itulah yang membuat Dia mengikuti segala keinginan suami dan tidak mengindahkan keluh
kesah hatinya.
Tabel 1. Latar Penyebab Sikap Tokoh Perempuan dan Tingkat Pencapaiannya
Nama Tokoh Latar Penyebab Tingkat Pencapaian
Toko
h Pe
rem
puan
B
eron
tak
Nikita Nikita yang sempat menjadi pemain film saat sebelum menikah terlihat mempunyai pemikiran yang luas. Akan tetapi, pengalamannya itu tidak serta-merta membuatnya dapat lepas dari dominasi suami. Pada akhirnya, Nikita berhasil memperoleh pengakuan kecantikan dirinya walaupun dari orang lain dan tanpa perlu meninggalkan suami.
Perempuan yang berhasil memperoleh kesuksesan.
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
12
Hayati Pemberontakan yang dilakukan Hayati terinspirasi oleh keberanian sang anak, Maimunah. Pada awalnya, Hayati mendapatkan kesuksesannya dan dapat hidup mandiri tanpa harus bergantung lagi kepada suami. Akan tetapi, akhirnya kebebasan Hayati kembali terbatasi karena ia memasrahkan diri untuk kembali didominasi oleh suami.
Perempuan yang memperoleh kesuksesan semu.
Maimunah Tergolong sebagai perempuan muda modern yang telah berpikiran terbuka sehingga memilih untuk menjadi orang yang merdeka dan tidak diatur oleh sang ayah.
Perempuan yang memperoleh kesuksesan.
Toko
h Pe
rem
puan
Pas
rah
Juminten Juminten yang merupakan perempuan desa dan tampaknya berpendidikan rendah membuatnya kurang bisa mempertahankan pendapat, membela diri, serta membebaskan diri dari dominasi suami.
Perempuan yang memperoleh kegagalan.
Dina Lulusan S-2 menyebabkan Dina ingin menjadi perempuan karier dan tidak cukup jika hanya menjadi ibu rumah tangga. Akan tetapi, tingkat pendidikan yang tinggi itu akhirnya tidak bisa membuat Dina membela dirinya dan mendapatkan kesembuhan dari depresi yang diidapnya.
Perempuan yang memperoleh kegagalan.
Murni Murni yang seorang sarjana sayangnya tidak memiliki kemampuan untuk membela diri dan mempertahankan pendapat. Selain itu, tingkat pendidikan yang baik juga tidak membuat Murni bebas untuk berkarier di luar rumah. Pada akhirnya, Murni hanya dapat menyesali ketidakberdayaannya untuk mempertahankan kandungannya serta hilangnya kesempatan untuk berkarier.
Perempuan yang memperoleh kegagalan.
Dia Latar belakang pendidikan yang tidak lulus SMTA membuat tokoh Dia tidak percaya diri. Suaminya yang seorang pekerja kantoran dirasa berstatus social lebih tinggi dibandingkan dirinya. Hal itu membuat Dia harus menghormati dan menuruti perintah suami. Bahkan, rasa sungkan yang begitu besar terhadap suami membuat tokoh Dia menghiraukan segala sesuatu yang menjadi haknya.
Perempuan yang memperoleh kegagalan.
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
13
Tabel di atas berisi penjelasan ringkas mengenai latar penyebab yang menjadi alasan
tokoh-tokoh perempuan di dalam masing-masing cerpen dalam bersikap atau mengambil
tindakan ketika menghadapi persoalan rumah tangga. Dalam tabel tersebut, tokoh-tokoh
perempuan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tokoh perempuan yang memberontak dan
tokoh perempuan pasrah. Selain itu, tabel di atas juga dilengkapi kolom tingkat pencapaian
yang didapatkan oleh masing-masing tokoh perempuan. Pada kelompok tokoh perempuan
memberontak, menghasilkan dua macam pencapaian yakni kesuksesan dan kesuksesan semu.
Adapun yang dimaksud dengan kesuksesan semu ialah kesuksesan yang hanya diperoleh
sementara waktu saja, seperti yang dialami oleh tokoh Hayati. Sementara itu, tokoh-tokoh
yang dikelompokkan ke dalam tokoh perempuan pasrah hanya memperoleh kegagalan karena
ketidakmampuan mereka untuk membela diri serta melepaskan diri dari dominasi suami.
Realitas Sosial dalam Sejumlah Cerpen Ratna Indraswari Ibrahim dan Cerminannya di
Masyarakat
Wellek dan Warren (2014:110) menyebut bahwa pendekatan yang umum dilakukan
terhadap hubungan antara sastra dan masyarakat adalah mempelajari sastra itu sebagai
dokumen sosial dan sebagai potret kenyataan sosial. Hal tersebut disebabkan karena suatu
karya sastra dapat saja merupakan bentuk cerminan dari yang ada dan terjadi di masyarakat.
Suatu karya sastra dapat dinilai kekuatan hubungannya dengan masyarakat salah satunya
dengan melihat realitas-realitas sosial yang terkandung di dalamnya. Dengan melihat
kenyataan-kenyataan sosial yang dimasukkan pengarang ke dalam karya-karyanya, dapat
dinilai pula seberapa kuat dan besar hubungan karya sastra itu dengan masyarakat.
Realitas sosial yang terkandung dalam cerpen “Rambutnya Juminten” adalah
mengenai tren rambut pendek yang sedang mewabah di lingkungan tempat tinggal Juminten.
Hal tersebut juga sering ditemui di kehidupan bermasyarakat pada kenyataannya. Sebuah tren
yang muncul akan menjamur dan menggoda masyarakat untuk menirunya sehingga dengan
cepat tren tersebut akan semakin meluas. Selain itu, realitas lainnya yang terdapat dalam
cerpen “Rambutnya Juminten” yakni hiburan layar tancap. Apabila menyesuaikan dengan
tahun dibuatnya cerpen ini yakni pada tahun 1993, tampaknya layar tancap masih banyak
ditemui, khususnya di desa, dan merupakan salah satu hiburan bagi masyarakat pada masa itu.
Realitas sosial yang ditemukan dalam cerpen “Perempuan Itu Cantik” salah satunya
yakni figur bintang film adalah perempuan yang berparas cantik. Hal tersebut jelas banyak
terjadi juga di dunia hiburan sesungguhnya. Dunia hiburan, perfilman, dan pertelevisian
banyak menuntut figur-figur yang berpenampilan menarik atau dikenal dengan istilah camera
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
14
face. Selain itu, realitas lain yang ditemukan adalah kawasan dekat kampus dan kos-kosan
akan cenderung dimanfaatkan warga sekitar untuk membuka usaha, seperti rumah makan. Hal
tersebut juga menjadi ide suami Nikita untuk menyuruh istrinya mendirikan depot makanan.
Dalam cerpen “Jaring Laba-Laba”, Ratna juga memasukkan hal yang sedang diminati
di masyarakat yakni penyebutan istilah Spiderman. Proses penciptaan cerpen yang ditulis
pada tahun 2002 ini dapat dikatakan terinspirasi oleh tokoh atau film Spiderman yang terkenal
di kurun waktu yang sama. Selain penyebutan tokoh atau film Spiderman yang terkenal di
masyarakat, cerpen ini juga memasukkan kebiasaan lain masyarakat dalam hal berkomunikasi
atau saling bercerita lewat surat elektronik (email).
Sesuai dengan judul cerpennya yakni “Nyai Roro Kidul”, cerpen ini memasukkan
kepercayaan dan mitos di tengah masyarakat mengenai keberadaan Nyai Roro Kidul dan laut
selatan sebagai tempat persemayamannya. Kepercayaan mengenai adanya Nyai Roro Kidul
dan tempat tinggal di laut selatan sama-sama menjadi realitas sosial, baik di dalam cerpen dan
juga di kenyataan bermasyarakat. Hal-hal lain yang juga disebutkan dalam cerpen ini juga
merupakan kepercayaan yang berlaku di masyarakat pada kenyataannya, antara lain mengenai
riwayat Nyai Roro Kidul yang dikucilkan oleh keluarganya dan kemudian menjadi peguasa
laut selatan, mitos bahwa orang-orang yang terseret ombak dan hilang di pantai selatan
disebabkan kemarahan Nyai Roro Kidul, dan anggapan bahwa raja-raja Jawa adalah suami
Nyai Roro Kidul.
Realitas sosial yang terdapat dalam cerpen “Kegagalan” adalah anggapan bahwa
seorang anak perempuan begitu berharga dan sangat dijaga, seperti yang dialami oleh tokoh
Maimunah yang begitu dikhawatirkan ketika pulang terlambat dan terlebih lagi datang
bersama laki-laki yang tidak dikenal oleh orang tuanya. Hal tersebut masih sangat banyak
terbukti di kenyataan bermasyarakat, khususnya pada masyarakat Jawa. Orang tua bersuku
Jawa memang akan cenderung lebih posesif dengan anak-anaknya, seperti yang ditemukan
dalam cerpen “Kegagalan”.
Realitas sosial yang ditemukan dalam cerpen “Kupu-Kupu” adalah masih adanya
perempuan dengan tingkat pendidikan rendah, seperti tokoh Dia yang tidak menamatkan
pendidikan SMTA. Apabila disesuaikan dengan kenyataan pada rentang tahun cerpen ini
ditulis yakni tahun 1988, memang masih banyak perempuan yang tidak menyelesaikan
sekolah tingkat atasnya. Hal itu disebabkan pemikiran tradisional masyarakat pada waktu itu
bahwa perempuan tidak perlu sekolah sampai tinggi karena pada akhirnya perempuan hanya
mengurus rumah atau menjadi ibu rumah tangga. Hal lain yang ditemukan dalam cerpen ini
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
15
yang juga mewakilkan kurun waktu 1980-an adalah masih adanya tape recorder yang pada
waktu itu merupakan barang elektronik yang cukup mewah.
Kesimpulan
Dalam kesusastraan modern Indonesia, Ratna Indraswari Ibrahim ialah pengarang
yang produktif menghasilkan karya sastra, khususnya cerita pendek. Tidak sedikit dari cerpen
yang dihasilkan telah dimuat di berbagai media massa nasional. Cerpen-cerpen Ratna tidak
hanya karya sastra yang nikmat dibaca, melainkan juga bermakna dan mengandung pesan.
Cukup banyak cerpen Ratna yang tampaknya berangkat dari fenomena sehari-hari, seperti
penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Dalam sejumlah cerpennya, Ratna
terlihat berpihak kepada kaum perempuan dengan dikisahkannya berbagai permasalahan yang
kaum perempuan alami. Lewat cerpennya juga Ratna seolah ingin mengatakan bahwa
kedudukan antara laki-laki dan perempuan ialah setara.
Dalam naskah ringkas ini dipergunakan enam cerpen karya Ratna yang memiliki
keterkaitan dengan rumusan masalah yang diangkat oleh penulis. Keenam cerpen tersebut
berjudul “Rambutnya Juminten”, “Perempuan Itu Cantik”, “Jaring Laba-Laba”, “Nyai Roro
Kidul”, “Kegagalan”, dan “Kupu-Kupu”. Terdapat tiga permasalahan yang telah dijawab
dalam naskah ringkas ini. Permasalahan pertama dijawab dengan pendeskripsian unsur
intrinsik enam cerpen Ratna dan sekaligus memaparkan konflik dalam diri istri sebagai
perempuan modern. Permasalahan kedua ialah pemikiran dan tindakan yang dilakukan tokoh
perempuan dalam masing-masing cerpen untuk menghadapi dan menyelesaikan persoalan.
Permasalahan ketiga yakni mengenai realitas sosial yang terdapat dalam cerpen sebagai
cerminan dari realitas di masyarakat.
Dari segi unsur intrinsik, seluruh tokoh utama dari enam cerpen adalah tokoh
perempuan yang semuanya dikisahkan sebagai seorang istri. Selain sebagai tokoh utama,
enam tokoh perempuan itu juga diceritakan sebagai tokoh protagonis. Sementara itu, alur
cerita dalam enam cerpen tersebut antara lain ada yang beralur maju dan ada pula yang
menggunakan alur sorot balik. Dari segi latar tempat, penggambaran dalam cerpen-cerpen
tersebut tidak dirinci dengan pasti atau merujuk pada lokasi yang benar-benar ada, kecuali
penyebutan lokasi Pantai Selatan dalam cerpen “Nyai Roro Kidul”. Perincian terhadap latar
waktu juga tidak jelas penyebutannya, baik jam, hari, maupun tahun, kecuali dalam cerpen
“Nyai Roro Kidul” yang tercantum keterangan waktu yakni pukul 19.00 WIB. Latar sosial-
budaya yang ditampilkan dalam enam cerpen antara lain mencakup masyarakat kelas atas,
menengah, dan bawah.
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
16
Permasalahan kedua yang dijawab dalam naskah ringkas ini ialah mengenai pemikiran
dan tindakan tokoh perempuan dalam masing-masing cerpen ketika menghadapi konflik
dalam diri ataupun persoalan dalam rumah tangga. Pada dasarnya, tokoh-tokoh perempuan
dalam cerpen dapat digolongkan menjadi dua, yaitu tokoh perempuan yang berani untuk
berontak dan tokoh perempuan pasrah. Penggolongan tersebut didasari oleh pemikiran dan
tindakan yang dialami tokoh-tokoh perempuan tersebut dalam jalan hidupnya.
Tokoh perempuan yang berani memberontak ialah Nikita dalam cerpen “Perempuan
Itu Cantik” serta Hayati dan Maimunah dalam cerpen “Kegagalan”. Walaupun Nikita, Hayati,
dan Maimunah telah mengukuhkan diri untuk bebas dari dilema yang membelenggu, tidak
ketiganya mendapatkan kesuksesan yang hakiki. Tokoh yang benar-benar memperoleh
kesuksesan dan kepuasan dalam diri sampai akhir cerita hanya terjadi pada Nikita dan
Maimunah, sedangkan Hayati hanya mendapatkan kesuksesan semu. Hal itu terjadi karena
Hayati tidak sepenuhnya yakin untuk bebas dari dominasi suami.
Di pihak lain, tokoh perempuan yang pasrah termasuk di dalamnya Juminten, Dina,
Murni, dan Dia. Pada dasarnya, keempat tokoh perempuan tersebut menyadari bahwa mereka
terlalu didominasi oleh suami dan memiliki hak untuk mengikuti naluri hati. Akan tetapi,
mereka tidak memiliki keyakinan dan keberanian untuk melawan atau mendebat suami
mereka. Kebanyakan ketidakyakinan mereka lebih disebabkan oleh rasa hormat dan sungkan
yang besar terhadap suami. Selain itu, pola pikir tradisional yang juga masih dipercayai oleh
perempuan-perempuan itu.
Hal-hal yang melatarbelakangi tokoh-tokoh perempuan itu untuk memberontak atau
pasrah antara lain dapat dilihat dari tingkat pendidikan, pengalaman, serta pengaruh dari
tokoh lain. Tingkat pendidikan yang dengan pasti disebutkan dalam cerpen ialah pendidikan
dari tokoh Dina, Murni, dan Dia, sedangkan tokoh perempuan lainnya tidak dirincikan tingkat
pendidikannya. Walaupun pendidikan tokoh Dina yang lulusan S-2 dan Murni yang seorang
sarjana, tidak membawa mereka untuk memperoleh kesuksesan dan kebebasan untuk
bersuara. Pengalaman dan ilmu dimiliki justru tidak membuat mereka kuat untuk mendebat
suami ataupun mempertahankan hak-haknya. Mereka justru membiarkan diri terbelenggu oleh
kehendak suami.
Permasalahan ketiga yang dijawab dalam naskah ringkas ini ialah mengenai realitas
sosial yang terdapat dalam masing-masing cerpen yang merupakan cerminan dari apa yang
ada dan terjadi di masyarakat. Realitas-realitas sosial yang ditemukan di dalam cerpen dan
cerminannya di masyarakat membuktikan bahwa cerpen-cerpen yang dikarang Ratna
merupakan hasil penglihatan dan pengalamannya di kehidupan bermasyarakat. Dengan
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
17
ditemukannya beberapa realitas sosial itu, terlihat pula bahwa karya sastra Ratna sangat dekat
hubungannya dengan masyarakat.
Hal lain yang dapat disimpulkan setelah menganalisis keenam cerpen Ratna ialah
adanya kekontrasan akan penggambaran latar belakang pendidikan antara tokoh perempuan
dan tokoh laki-laki. Penggambaran latar pendidikan tokoh perempuan dilakukan Ratna
dengan cukup baik walaupun tidak secara jelas dan rinci, namun hal tersebut tidak sama
dengan tokoh laki-laki, kecuali pada suami Dina, yaitu Bram, yang sama-sama disebutkan
sebagai lulusan S-2. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Ratna fokus dan menaruh perhatian
lebih terhadap tokoh perempuan dengan segala hal yang berkaitan dengan mereka dalam
setiap cerpennya.
Saran
Penelitian yang menjadikan Ratna Indraswari Ibrahim beserta karya-karyanya sebagai
bahan kajian belum banyak dilakukan di kalangan civitas akademika, khususnya di
lingkungan Universitas Indonesia. Masih banyak karya-karya Ratna yang menarik untuk
diteliti dan dibahas dari berbagai perpektif. Tulisan-tulisan Ratna memang cukup kuat unsur
gendernya, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dikaji melalui pendekatan lain di luar
bidang gender. Semoga ke depannya semakin banyak orang yang mengenal Ratna serta karya-
karyanya serta tertarik untuk menjadikan sebagai bahan penelitian.
Daftar Referensi
Bainar (ed.). 1998. Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan. Jakarta: Pustaka Cidesindo.
Baldic, Chris. 1991. The Consise Oxford Dictionary of Literary Terms. Oxford: Oxford
University Press. Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum. Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Forster, E.M. 1954. Aspects of The Novel. New York: Harcourt, Brace & World, Inc. Hurek, Lambertus. 2010. “Ratna Indraswari Ibrahim” diakses dari laman
http://hurek.blogspot.com/2010/03/RII-indraswari-ibrahim.html pada hari Senin, 9 Maret 2015 pukul 07:37.
Ibrahim, Ratna Indraswari. 1983. Dewi Setyawati. Malang: Stensilan Pertama.
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
18
_____________________. 1988. “Kupu-Kupu,” Pertiwi, 25 Juli—7 Agustus. _____________________. 1991. “Perempuan Itu Cantik,” Kompas, 5 Mei. _____________________. 1993. “Rambutnya Juminten,” Kompas, 18 Juli. _____________________. 1994. Menjelang Pagi. Jakarta: Balai Pustaka. _____________________. 1996. “Nyai Roro Kidul,” Kompas, 26 Mei. _____________________. 2001. Namanya, Massa (ed. Retno Suffatni). Yogyakarta: LkiS. _____________________. 2003. “Jaring Laba-Laba,” Kompas, 19 Januari. Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. Nurrachman, Nani dan Imelda Bachtiar (ed.). 2011. Psikologi Perempuan: Pendekatan
Kontekstual Indonesia. Jakarta: Universitas Atma Jaya. Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. Subiyantoro, Eko Bambang. 2002. “(Almh.) RII Indraswari Ibrahim: Menulis Cerpen,
Mengabarkan Kenyataan” dalam Mereka yang di Atas Persoalan. Jakarta: Jurnal Perempuan.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan (terj. Melani Budianta). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Konflik dalam..., Erlita Nur Rahman, FIB UI, 2015
top related