komunikasi antarbudaya dalam proses akulturasi budaya...
Post on 21-Oct-2020
60 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES
AKULTURASI BUDAYA (STUDI KASUS PADA MAHASISWA
AFRIKA (GAMBIA) DI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
(S.Sos)
Disusun oleh:
Vicky Dianiya
NIM: 1113051000038
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017
-
fEI{CESAHAN PAr\{ITt{ tEL4Il
Skripsi berjudul Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi
Bud*v* {Studi Kasus }Iahasiswa Afrika (Gambia) tli tlniversitas l;l:innItegeri Syarif ttidr-r*frllak Jnk*rt*! telah ttiujika* dalam sidar:g mu*aqasyah
Fakultas Dakr.vah dan llnru Komunikasi UIN Syarif Flidai,atullah Jaharta pa
-
i
ABSTRAK
Vicky Dianiya Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Budaya (Studi Kasus pada Mahasiswa Afrika (Gambia) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Akulturasi pada dasarnya mengacu proses di mana kultur seorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain. Melihat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki mahasiswa yang berasal dari berbagai macam budaya dan berbagai macam Negara sehingga proses akulturasi ini bisa saja terjadi pada mahasiswa asing salah satunya pada mahasiswa Gambia. Namun, disisi lain dengan adanya mahasiswa-mahasiswa dari budaya yang berlainan, ketika mereka melakukan komunikasi bisa saja menimbulkan berbagai macam kesulitan.
Berdasarkan konteks di atas, maka tujuan tulisan ini adalah untuk menjawab pertanyaan mayor dan minor. Adapun mayornya adalah bagaimana komunikasi antarbudaya dalam proses akulturasi budaya (Studi Kasus pada Mahasiswa Afrika (Gambia) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)? Kemudian minornya adalah apa bentuk akulturasi dalam komunikasi intrapersonal yang terjadi pada Mahasiswa Gambia? Sejauh mana akulturasi dalam komunikasi sosial yang terjadi pada Mahasiswa Gambia? Seperti apa akulturasi dalam komunikasi lingkungan (environmental) yang terjadi pada Mahasiswa Gambia?
Dari hasil pengamatan peneliti di lapangan dan wawancara dengan beberapa mahasiswa Gambia dan mahasiswa Indonesia, peneliti dapat menemukan bahwa adanya proses komunikasi antarbudaya dalam proses akulturasi yang terjadi pada mahasiswa Gambia di UIN Jakarta yaitu adalah komunikasi intrapersona, komunikasi sosial, dan lingkungan komunikasi dengan memasukkan nilai-nilai Islam di dalamnya.
Teori yang digunakan adalah Akulturasi. Proses akulturasi akan terjadi ketika seseorang yang bersosialisasi dengan budaya baru dan asing. Pendatang mulai secara perlahan mendeteksi adanya kesamaan dan perbedaan di lingkungan pribumi. Sehingga mereka mulai berkenalan sekaligus mengadopsi beberapa norma atau nilai dari lingkungan pribumi atau si tuan rumah (William B. Gudykunst dan Young Yun Kim, 2003: 359).
Komunikasi intrapersonal yang terjadi pada mahasiswa Gambia yaitu ketika para mahasiswa Gambia mulai menyukai makanan-makanan Indonesia. Komunikasi antarpersona yang terjadi antara mahasiswa Gambia dengan mahasiswa Indonesia sulit untuk dilepaskan karena semua mahasiswa diharuskan untuk bersosialisasi dengan mahasiswa lainnya, meskipun ada banyak kendala salah satunya mengenai bahasa. Selanjutnya, komunikasi lingkungan terjadi saat mahasiswa Gambia mencoba berbaur dengan lingkungan baru seperti lebih sering berkumpul bersama mahasiswa Indonesia.
Maka dapat disimpulkan bahwa semua proses akulturasi khususnya dalam komunikasi intrapersonal, sosial dan environmental terjadi pada mahasiswa. Oleh karena itu, mahasiswa Gambia diharapkan dapat mengatasi berbagai hambatan dalam berkomunikasi dengan mahasiswa Indonesia yang terjadi selama mereka berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kata kunci : Akulturasi, Gambia, Indonesia, komunikasi, mahasiswa.
-
ii
KATA PENGANTAR
Bismillairahmanirrahim
Alhamdulillahirabil’alamin, penulis panjatkan puji serta syukur yang tak
terhenti kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat iman,
sehingga memberikan kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi tantangan dan
hambatan dalam penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam semoga Allah
limpahkan kepada nabi Muhammad SAW. Skripsi yang berjudul: “Komunikasi
Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Budaya (Studi Kasus pada Mahasiswa
Afrika (Gambia) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)” ini
disusun guna memenuhi sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana di
jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan segala usaha dan doa, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan sebaik-baiknya. Dalam menyusun skripsi ini, penulis menyadari bahwa
tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat menyelesaikan karya ini
dengan baik. Ini semua berkat arahan, bantuan, petunjuk serta motivasi yang
mereka berikan kepada penulis. Tanpa mereka, dengan keterbatasan yang penulis
miliki, maka sulit hidayah Allah SWT ini dapat terwujud. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Arief Subhan, M.Ag, Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Wakil Dekan 1 Suparto, M. Ed. Ph. D, Wakil Dekan II Dr.
Roudhonah, M.Ag, Wadek III Dr. Suhaimi, M. Si.
-
iii
2. Drs. Masran, M. Ag dan Fita Fathurokhmah, M. Si selaku Ketua dan
Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
3. Ade Rina Farida, M. Si sebagai dosen Penasehat Akademik KPI A
angkatan 2013, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan
proposal skripsi.
4. Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, Ph. D, MA, Pembimbing skripsi yang telah
membimbing, memotivasi, mengingatkan, memberikan inspirasi serta doa,
dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan penuh
kesabaran memberikan arahan serta membaca skripsi ini sangat teliti dari
segi sistematika penulisan sampai isi pembahasan.
5. Seluruh dosen jurusan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat disebutkan satu per satu tanpa
mengurangi rasa hormat atas ilmu dan pelajaran dalam perkuliahan atau di
luar perkuliahan.
6. Pimpinan beserta staf perpustakaan utama dan perpusatakaan Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang selalu ramah melayani kebutuhan literatur.
7. Pimpinan beserta staf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama seluruh
staf tata usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang banyak memberikan bantuan kepada penulis
selama menjadi mahasiswa.
8. Bapak Rachmat Baihaky, MA selaku pimpinan Pusat Layanan Kerjasama
Internasional (PLKI) dan seluruh stafnya yang telah membantu penulis
dalam mengerjakan skripsi.
-
iv
9. Para Mahasiswa Gambia dan Mahasiswa Indonesia yang telah menjadi
narasumber dalam skripsi ini sehingga dapat membantu penulis dalam
menyelasaikan skripsi.
10. Kedua orang tua tercinta, ayah Surya dan ibu Utari Meidyasana. yang
selalu mencurahkan cinta, kasih sayangnya serta beribu tenaga hingga
penulis mampu berkuliah dan menjadi sarjana seperti saat ini.
11. Aringga Al-Pasya Darwis dan Aringgi Al-Pasya Darwis, adik-adik
terngeselin tapi juga tersayang yang telah memberikan hiburan dan
semangat dalam menempuh perjalanan kuliah ini.
12. Rezasa Akbar Alkhafi yang telah mendukung, membantu, menghibur dan
memberi ruang kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi dan penulis
menunggu segera skripsinya.
13. Sahabat seperjuangan skripsi, Ayu Utami Saraswati, Delsha Amanda
Pohan, Desty Aryani, Intan Afrida Rafni, dan Rizki Yanuarti yang selalu
ada di saat susah dan senang, dalam sedih dan bahagia yang terjadi selama
hampir 4 tahun belakangan ini.
14. Sahabat terhebat, Annisa, Bila, Dewi, Mia, Syifa, Nabila, Adam dan
Wicak yang selalu mau mendengarkan segala keluh kesah penulis, berbagi
cerita mengenai pembuatan skripsi serta membantu penulis.
15. Dede-dede emesh KPI, yaitu Salfania selaku sepupu penulis dan kedua
temannya Widya dan Ina yang membantu penulis dan memberikan
motivasi agar cepat lulus.
16. Teman yang menemani saat jam kosong perkuliahan, Teb Fams, baq, gie,
jay, zhiy, dar, ga, lang, sa, bib, con, fiq, qih, ziz, je, penk, ki, yu, del, des,
-
v
ki, mut, terimakasih atas keseruan dan kebersamaan selama di dalam
kampus maupun di luar kampus. Kalian luar biasa.
17. Seluruh temen satu angkatan terutama teman sekelas KPI A 2013,
Komunitas AIR Film, Himpunan Mahasiswa Jurusan KPI, Dewan
Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang
telah memberikan banyak pengalaman berharga dan ilmu yang tak ternilai
selama penulis berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Akhir kata, hanya bisa berdoa agar Allah SWT dapat membalas segala
kebaikan dari seluruh pihak yang telah membantu penulis. Penulis juga berharap
semoga sripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis sendiri pada
umumnya meskipun tentu banyak sekali kekurangan dalam penelitian ini, yang
Insha Allah kekurangan tersebut dapat peneliti perbaiki di kemudian hari dan
kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Jakarta, 16 Juni 2017
Vicky Dianiya
-
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL .................................................................... ix
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Permasalahan................................................................................................ 7
1. Identifikasi Masalah ................................................................................. 7
2. Batasan Masalah ....................................................................................... 8
3. Rumusan Masalah .................................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 8
D. Signifikasi Penelitian ................................................................................... 9
1. Manfaat Teoritis ....................................................................................... 9
2. Manfaat Praktis ......................................................................................... 9
E. Metodologi Penelitian ................................................................................ 10
1. Paradigma Penelitian .............................................................................. 10
2. Pendekatan Penelitian ............................................................................. 10
3. Bingkai Teori .......................................................................................... 11
4. Subjek dan Objek Penelitian .................................................................. 14
5. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 14
6. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 14
F. Tinjauan Pustaka dan Peneliti Terdahulu ................................................... 17
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 19
-
vii
BAB II
LANDASAN TEORI ........................................................................................... 21
A. Komunikasi ................................................................................................ 21
1. Pengertian Komunikasi .......................................................................... 21
2. Unsur – Unsur Komunikasi .................................................................... 24
B. Komunikasi Antar Budaya ......................................................................... 27
1. Pengertian Budaya .................................................................................. 27
2. Komunikasi Antarbudaya ....................................................................... 29
C. Akulturasi dalam Komunikasi ................................................................... 31
1. Komunikasi Intrapersonal ...................................................................... 33
2. Komunikasi Sosial .................................................................................. 35
3. Lingkungan Komunikasi ........................................................................ 37
D. Nilai-Nilai Keislaman ................................................................................ 38
1. Akidah .................................................................................................... 38
2. Syariah .................................................................................................... 40
3. Akhlak .................................................................................................... 41
BAB III
GAMBARAN UMUM ........................................................................................ 48
A. Pusat Layanan Kerjasama Internasional .................................................... 48
B. Visi dan Misi PLKI .................................................................................... 51
C. Tujuan dan Fungsi PLKI ............................................................................ 52
D. Struktur Organisasi .................................................................................... 53
E. Tugas Pokok dan Fungsi Jabatan ............................................................... 55
F. Mahasiswa Internasional ............................................................................ 57
G. Daftar Mahasiswa Gambia ......................................................................... 59
-
viii
BAB IV
PROSES AKULTURASI BUDAYA MAHASISWA AFRIKA (GAMBIA) DI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ................................................. 62
A. Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Mahasiswa Gambia
UIN Jakarta ........................................................................................................ 63
1. Komunikasi Intrapersonal ...................................................................... 63
2. Komunikasi Sosial .................................................................................. 80
3. Lingkungan Komunikasi ........................................................................ 88
B. Nilai-Nilai Keislaman ................................................................................ 91
1. Akidah .................................................................................................... 91
2. Syariah .................................................................................................... 93
3. Akhlak .................................................................................................... 94
BAB V
PENUTUP ............................................................................................................ 98
A. Kesimpulan ................................................................................................ 98
B. Saran ......................................................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 101
LAMPIRAN
-
ix
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Gambar 1.1
Bingkai Teoritis ..................................................................................................... 13
Gambar 2.1
Unsur-Unsur Komunikasi ..................................................................................... 25
Gambar 3.1
Struktur Organisasi Pusat Layanan Kerjasama Internasional (PLKI).................. 54
Tabel 3.1
Data Mahasiswa Aktif Gambia Strata 1 di Universitas Islam Negeri Jakarta ...... 59
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan sehari-hari manusia sejatinya tidak akan bisa lepas dari kegiatan
bersosialisasi atau berkomunikasi dengan orang lain. Dengan bersosialisasi inilah
manusia dapat menjalani kodratnya, yaitu sebagai makhluk sosial. Selain itu,
kehidupan manusia ditandai oleh dinamika komunikasi. Seluruh umat manusia di
dunia benar-benar menyadari bahwa semua kebutuhan hidupnya hanya dapat
dipenuhi jika dia berhasil berkomuniasi secara efektif maka seluruh kebutuhannya
dapat dia capai.1
Dalam berkomunikasi ternyata bukan hanya sekedar percakapan ringan atau
sebatas bertukar informasi saja antar komunikator dan komunikan, tetapi juga
mempunyai berbagai macam langkah dan proses yang rumit. Menurut Saundra
Hybels dan Richard L. Weaver II, bahwa komunikasi merupakan setiap proses
pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan. Proses itu meliputi informasi yang
disampaikan tidak hanya secara lisan dan tulisan, tetapi juga dengan bahasa tubuh,
gaya maupun penampilan diri, atau menggunakan alat bantu di sekeliling kita untuk
memperkaya sebuah pesan.2 Adanya rangkaian proses komunikasi inilah yang
nantinya akan membawa para pelaku komunikasi dalam menerjemahkan sekaligus
merespons sebuah pesan dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
1Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: LKiS, 2007),
hal. 2-3. 2Saundra Hybels dan Richard L. Weaver II, Communicating Effectively, (New York:
McGraw Hill, 2007), hal. 8.
-
2
Dengan belajar memahami komunikasi antarbudaya berarti kita juga belajar
memahami realitas budaya yang berpengaruh dan berperan dalam komunikasi. Kita
dapat melihat bahwa proses perhatian komunikasi dan kebudayaan, terletak pada
variasi langkah dan cara berkomunikasi yang melintasi komunitas atau kelompok
manusia. Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi bagaimana
menjajaki makna, pola-pola tindakan, juga tentang bagaimana makna dan pola-pola
itu diartikulasikan ke dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok
politik, proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan interaksi
antarmanusia.3
Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi
komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi,
antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang
kebudayaan yang memengaruhi perilaku komunikasi para peserta.4 Selain itu, Bakti
menjelaskan ada tujuh aktor komunikasi antarbudaya, yaitu Muslim dan non-
Muslim, pusat dan daerah, aparat negara dan penduduk sipil, penduduk asing dan
penduduk pribumi, golongan sekuler dan golongan religius, kelompok modern dan
kelompok tradisional, terakhir pria dan wanita.5
Semua aktor komunikasi antarbudaya tersebut haruslah memiliki rasa saling
pengertian antarbudaya karena hal ini merupakan yang penting untuk melakukan
hubungan antarbudaya tersebut agar tidak ada rasa saling mengunggulkan salah satu
3Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007),
hal. 10. 4Charley H. Dood, Dynamics of Intercultural Communication, (Dubuque: Wm. C.Brown
Publishers, 1991), hal. 5. Lihat juga Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal 11.
5Andi Faisal Bakti, ‘Major Conflict in Indonesia, How can Communication Contribute to a Solution?’ Review of Human Factor, vol. 6, no. 2, (Canada: Desember 2000), hal. 33.
-
3
budaya dari diri masing-masing etnis. Kita perlu membangun sebuah hubungan
antarbudaya yang berlandaskan persaudaraan, karena kita semua sebagai manusia
tidak dapat berdiri sendiri.
Dalam komunikasi antarbudaya pun ada proses akulturasi, yaitu proses sosial
yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian
rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing ini lambat laun diterima dan diolah ke
dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu
sendiri.6 Hal ini dapat dilihat adanya tradisi pembagian uang ketika perayaan Idul
Fitri, yang sebenarnya terjadi karena adanya proses akulturasi budaya Tionghoa dan
Eropa dengan Islam.
Salah satu fenomena yang terjadi yaitu seorang Australia dan seorang
Indonesia bertengkar. Mereka berteman, namun kini mereka sangat marah. Orang
Australia berteriak-teriak, cemberut dan mengacungkan lengannya di udara. Orang
Indonesia tersenyum dan berbicara lembut, namun semakin tersenyum orang
Indonesia, orang Australia semakin marah dan ribut, orang Indonesia semakin diam.7
Dari contoh di atas, yaitu menggambarkan resep-resep akulturasi dalam
mengatasi masalah dari orang-orang yang berbeda budaya.8 Maka dari itu, ketika kita
berinteraksi dan dilanjutkan dengan pertemanan dengan meluangkan waktu kita
untuk bersama orang dari budaya yang berlainan, kita akan menyadari ada beberapa
6Koentjaningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hal. 202. 7Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 185.
8Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, hal. 185.
-
4
perbedaan sehingga bisa saja kita berasumsi negatif bila kita tidak memahami
perbedaan tersebut. Sehingga tidak dapat dipungkiri, adanya mahasiswa-mahasiswa
dari budaya yang berlainan yang pada saat melakukan komunikasi dapat
mengakibatkan berbagai macam hambatan komunikasi.9 Meskipun demikian, hal
tersebut dapat dikatakan hal yang lazim ditemui dalam komunikasi antarbudaya.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki mahasiswa
yang berasal dari berbagai macam budaya sekaligus mahasiswa dari berbagai macam
negara. Tidak hanya yang berkebangsaan Indonesia saja yang berkuliah di UIN,
melainkan juga ada mahasiswa asing yang berasal dari berbagai negara. Menurut
data Pusat Layanan Kerja Internasional/PLKI, terdapat 43 orang mahasiswa asing
yang mendaftar sebagai mahasiswa aktif pada tahun akademik 2015-2016 di UIN
Jakarta, yang berasal dari beberapa negara, yaitu Gambia, Afghanistan, Kanada,
Maroko, Yaman, Brasil, Turki, Thailand, dan Malaysia.10 Banyaknya mahasiswa
asing yang berkuliah di UIN Jakarta sehingga terlihat perbedaan mereka terutama
dalam hal kebudayaan yang dapat membuat suatu kelompok-kelompok kecil
berdasarkan budaya dari asal mereka tinggal. Salah satunya para mahasiswa Gambia
di UIN Jakarta. Gambia termasuk dalam benua Afrika di mana warga Afrika
sebenaranya beragam dan biasanya merujuk kepada mereka yang berkulit hitam,
namun tetap dengan kepercayaan, nilai dan norma bermacam-macam.11
9Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia; Kuliah Dasar Edisi Kelima. Terj. Agus
Mulyana, (Pamulang: Karisma Publishing Group, 2011), hal. 545-549. 10Database Mahasiswa Asing Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun Akademik 2016-2017. 11Deddy Mulyana, Komunikasi Lintas Budaya ‘Pemikiran, Perjalanan dan Khayalan’,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 168.
-
5
Konsep diri merupakan inti dari pandangan hidup orang Afrika. Konsep diri
adalah pandangan mereka tentang diri sendiri yang memandu cara mereka
berkomunikasi dengan orang-orang di luar budaya mereka.12 Kendati Gambia adalah
negara terkecil di daratan Afrika dengan luas wilayah 10.689 km2 dan jumlah
penduduk sebanyak 1.882.45 jiwa (sensus pada tahun 2013),13 sehingga budaya
Gambia merupakan produk dari pengaruh yang beragam. Dari segi makanan, biasa
berisi kacang tanah, beras, ikan, daging, bawang, tomat, singkong, cabai dan tiram
dari Sungai Gambia yang dipanen oleh kaum wanita.14
Salah satu aspek terpenting pandangan dunia pada suku-suku Afrika termasuk
Gambia adalah kepercayaan agama. Meski sebagian besar warga Afrika masih
menganut kepercayaan nenek moyang mereka, sebagian telah beralih agama menjadi
Muslim dan Kristen. Namun tidak jarang mereka masih dipengaruhi oleh tradisi lama
mereka, sehingga agama baru itu terkadang dipraktikkan secara kreatif.15 Di Gambia
sendiri agama yang tercatat saat ini yaitu 90% Islam, 8% Kristen, dan hanya 2%
kepercayaan adat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Gambia juga merupakan
negara mayoritas Muslim seperti halnya Indonesia.16
Dengan masuknya budaya mahasiswa Gambia ke UIN Jakarta, proses
akulturasi mulai berlangsung. Proses akulturasi akan terus berlangsung selama
imigran mengadakan kontak langsung dengan sistem sosio-budaya pribumi.17 Seperti
12Deddy Mulyana, Komunikasi Lintas Budaya ‘Pemikiran, Perjalanan dan Khayalan’, hal.
169. 13https://id.wikipedia.org/wiki/Gambia diakses 5 Juni pada pukul 14.30. 14https://id.wikipedia.org/wiki/Gambia diakses 28 Juni pada pukul 13.10. 15Deddy Mulyana, Komunikasi Lintas Budaya ‘Pemikiran, Perjalanan dan Khayalan’, hal.
169. 16https://id.wikipedia.org/wiki/Gambia diakses 5 Juni pada pukul 14.50. 17Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, hal. 146.
-
6
halnya, para mahasiswa Gambia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial agar dapat diterima dan supaya dapat berinteraksi. Dalam upaya
menyesuaikan diri, mahasiswa imigran bukan hanya dalam bentuk mempertahankan
hidup di lingkungan kampus saja melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan yang bersangkutan dalam studi.
Dengan adanya fenomena global saat ini, kita dituntut untuk memperhatikan
setiap budaya baru yang berlangsung di sekitar lingkungan kita. Pengajaran terhadap
komunikasi antarbudaya menjadi penting adanya karena dalam kehidupan sehari-
hari, pertemuan dengan orang-orang yang berbeda budaya sulit untuk dihindari.
Sehingga, melalui pembelajaran dan pemahaman atas komunikasi antarbudaya
diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan kesulitan-kesulitan yang dialami
dalam berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya.18 Perlunya pengajaran
dengan baik sangatlah penting yaitu agar tidak terjadi kesalahpahaman antara kedua
budaya dan tidak menimbulkan kekacauan termasuk komunikasi antara setiap
mahasiswa juga tidak dapat disepelekan karena bisa saja menimbulkan konflik dan
terjadinya akulturasi yang negatif. Karena meskipun kedua budaya berinteraksi
bahkan dengan bahasa yang sama sekalipun (contoh: Bahasa Jawa dengan Bahasa
Sunda yang sama-sama berasal dari budaya Indonesia), pengertian di antara mereka
tidak dapat berlangsung secara otomatis.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik ingin memahami apa saja
yang terjadi, akibat dari apa yang terjadi, dan apa saja yang dapat memengaruhi
segala kejadian yang terjadi antar mahasiswa di Universitas Islam Negeri Syarif
18Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, hal. 20.
-
7
Hidayatullah Jakarta terkait proses akulturasi. Selain itu, melihat background
universitas yang sangat lekat dengan Islam, penulis juga tertarik untuk meneliti lebih
dalam mengenai nilai-nilai Islam yang terjadi di dalam proses akulturasi tersebut.
Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian mendalam
terhadap mahasiswa di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
khususnya pada pola komunikasi antarbudaya yang dilakukan antar mahasiswa
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan demikian, peneliti
bermaksud untuk melakukan penelitian ilmiah yang akan ditulis dalam skripsi yang
berjudul: “Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Budaya (Studi Kasus
pada Mahasiswa Afrika (Gambia) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta)”
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, banyaknya benturan yang besar dalam
berkomunikasi antara mahasiswa imigran dengan mahasiswa lokal, seperti:
Benua Afrika dihuni oleh bangsa yang beragam serta penuh dengan
konflik.
Kesulitan dalam berbahasa Indonesia.
Faktor warna kulit yang bisa menimbulkan rasisme.
Penyajian makanan Indonesia dan Afrika yang berbeda terutama
untuk makanan utama.
Budaya Gambia yang berbeda seperti bahasa, tradisi dan lingkungan.
Persepsi mengenai terhadap sesuatu dapat beragam.
Benturan-benturan di atas bisa saja terjadi sehingga menyebabkan
terjadi ketidakefektifan dalam berkomunikasi.
-
8
2. Batasan Masalah
Agar penelitian proposal skripsi ini lebih terfokus, maka penulis
memfokuskan hanya pada komunikasi antarbudaya pada proses akulturasi nilai-
nilai Islam pada mahasiswa Gambia Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2016.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka dirumuskan
pertanyaan mayor sebagai berikut:
Bagaimana komunikasi antarbudaya dalam proses akulturasi budaya
(Studi Kasus pada Mahasiswa Afrika (Gambia) di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta)?
Dari pertanyaan mayor ini lalu muncul pertanyaan minor atau turunan
dari mayor, yaitu sebagai berikut:
1. Apa bentuk akulturasi dalam komunikasi intrapersonal yang terjadi pada
Mahasiswa Gambia di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta?
2. Sejauh mana akulturasi dalam komunikasi sosial yang terjadi pada
Mahasiswa Gambia di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta?
3. Seperti apa akulturasi dalam komunikasi lingkungan (environmental)
yang terjadi pada Mahasiswa Gambia di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini secara umum
bertujuan untuk mengetahui akulturasi nilai-nilai Islam pada mahasiswa Gambia di
-
9
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya dalam komunikasi
intrapersonal, sosial dan environmental yang terjadi pada mereka.
D. Signifikasi Penelitian
Adapun manfaat yang dihasilkan dengan adanya penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a) Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu komunikasi
antarbudaya, khususnya mengenai proses akulturasi budaya sekaligus
nilai-nilai Islam di dalamnya pada mahasiswa Gambia di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
b) Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada semua kalangan dan
menambah wawasan serta berkontribusi mengenai komunikasi
antarbudaya di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi tentang
komunikasi antarbudaya yang tepat bagi mahasiswa terutama pada mahasiswa
Gambia di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dalam proses
akulturasi yang terjadi dan dilihat dari aspek nilai-nilai Islam, sehingga dapat
terjadinya komunikasi yang baik antarmahasiswa dapat terjadi.
-
10
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah konstruktivis
yang memandang realitas sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi realitas
sosial yang terbentuk dari hasil konstruksi.19 Sehingga paradigma konstruktivis
ini berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil
pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi pemikiran
subjek yang diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada
subjek dan bukan pada objek, hal ini berarti bahwa ilmu pengetahuan bukan
hasil pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh
pemikiran.20
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif. Teknik analisis data yang peneliti gunakan adalah analisis deskriptif
kualitatif. Analisis data ini merupakan upaya yang dilakukan untuk
mengumpulkan data, mengorganisasikan data, kemudian memilah-milahnya
menjadi satuan yang dapat dikelola. Selain itu, peneliti juga coba
menyintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang
penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan
kepada orang lain.21 Dalam pendekatan ini, penulis bertujuan untuk memahami
komunikasi lintas budaya dalam proses akulturasi antara mahasiswa Afrika,
19Eriyanto, Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 43.
20Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru, (Bandung: Rosdakarya, 2012), hal. 140.
21Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 248.
-
11
khususnya Gambia, dengan mahasiswa lokal dalam lingkungan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan dapat menggambarkan secara
luas tentang jawaban penelitian ini.
3. Bingkai Teori
Bagi peneliti menentukan teori melalui sebuah bingkai penelian
menjadi hal yang penting. Peneliti akan menjadikan rumusan yang ada dalam
kerangka teori ini sebagai pijakan dalam menentukan teori yang digunakan
dalam skripsi ini. Teori yang akan digunakan dalam skripsi ini yaitu teori
Akulturasi Komunikasi menurut Ruben.22 Teori tersebut peneliti ambil untuk
mengklasifikasikan bentuk komunikasi antarbudaya pada Mahasiswa Afrika
(Gambia) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Berikut
komunikasi antarbudaya dalam komunikasi akulturasi secara singkat:
a) Komunikasi Intrapersonal
Komunikasi intrapersonal mengacu kepada proses-proses mental
yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan
lingkungan sosio-budayanya, mengembangan cara-cara melihat,
mendengar, memahami, dan merespons lingkungan. Salah satu variabel
komunikasi intrapersonal terpenting dalam akulturasi ialah kompleksitas
sruktur kognitif imigran dalam memersepsi lingkungan pribumi.23
22 B. D. Ruben, “Intrapersonal, Interpersonal, and Mass Communication Process in
Individual and Multi-Person Systems” dalam B. D. Ruben dan Y. Y. Kim, General System Theory and Human Communication, (Rochelle Park: Hayden, 1975). Lihat juga Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 140-.
23 B. D. Ruben, “Intrapersonal, Interpersonal, and Mass Communication Process in Individual and Multi-Person Systems” dalam B. D. Ruben dan Y. Y. Kim, General System Theory and
-
12
b) Komunikasi Sosial
Komunikasi sosial di sini juga biasa disebut dengan komunikasi
antarpersonal atau komunikasi massa. Komunikasi antarpersonal
(interpersonal communication) adalah komunikasi antara anda dan orang-
orang lainya secara tatap-muka dan memungkinkan setiap peserta
komunikasi menangkap reaksi atau memberikan timbal balik dari orang
lain secara langsung, baik secara verbal maupun non-verbal.24 Sedangkan
komunikasi massa adalah suatu proses komunikasi sosial yang lebih
umum, yang dilakukan individu-individu untuk berinteraksi dengan
lingkungan sosio-budayanya, tanpa terlihat dalam hubungan-hubungan
antarpersonal dengan individu lainnya.25
c) Komunikasi Lingkungan
Suatu kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh pada
komunikasi dan akulturasi pendatang adalah adanya komunitas etniknya
di daerah setempat. Seperti yang dikutip dari Taylor bahwa derajat
pengaruh komunitas etnik atas prilaku imigran sangat bergantung pada
derajat “kelengkapan kelembagaan” komunitas tersebut dan kekuatannya
untuk memelihara budayanya yang khas bagi anggota-anggotanya.26
Human Communication, hal. 168-169. Lihat juga Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 141.
24Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, hal. 81. 25Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, hal. 142. 26B. K. Taylor, “Culture: Whence, Whither and Why?” dalam A. E Alcock, B. K. Taylor dan
J. M. Welton, The Future of Cultural Minorities, (New York: St. Martins’s, 1979). Lihat juga Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 144.
-
13
Dari teori tersebut, peneliti juga menambahkan unsur nilai-nilai Islam
yang ada pada mahasiswa Afrika yang tentunya tidak terlepas dari konsep
komunikasi akulturasi yaitu akidah, syariah dan akhlak. Adapun gambaran
teori tersebut sebagai berikut:
Gambar 1.1
Bingkai Teoritis
Kom
unik
asi A
ntar
buda
ya d
an A
gam
a
Mahasiswa Afrika UIN Jakarta Gambia
Akulturasi (Ruben)
Komunikasi Intrapersona
Komunikasi Antarpersona
Lingkungan Komunikasi
Nilai-Nilai Islam
Akidah
Syariah
Akhlak
Mahasiswa Lokal UIN Jakarta Indonesia
-
14
4. Subjek dan Objek Penelitian
Adapun subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Gambia yang
belajar mulai tahun 2016 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Sedangkan objek dalam penelitian ini adalah proses akulturasi nilai-
nilai Islam dalam komunikasi antarbudaya yang dilakukan antar mahasiswa di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Tempat dan Waktu Penelitian
Data penelitian ini di ambil khususnya di International Office
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, tempat
penelitian adalah di kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dan sekitarnya. Penelitian ini akan dilakukan dari Februari 2017
sampai Juni 2017.
6. Teknik Pengumpulan Data
Untuk meperoleh data yang diinginkan, maka peneliti menggunakan
teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Observasi/Pengamatan
Observasi adalah untuk mendeskripsikan lingkungan sekitar dan
mengamati aktivitas-aktivitas yang berlangsung terkait individu yang
terlibat dalam lingkungan tersebut berdasarkan perspektif individu
yang terlibat.27 Maka dari itu, peneliti secara langsung ikut terlibat
dalam objek penelitian. Peneliti bukan hanya mengamati dari jauh
tentang pola komunikasi lintas budaya mahasiswa asing dengan
27Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), hal. 132.
-
15
mahasiswa lokal, tetapi peneliti secara langsung ikut terlibat dalam
proses pengumpulan data yang mencakup interaksi, perilaku,
pendekatan atau pergaulan dan percakapan secara langsung yang
terjadi di antara subjek yang diteliti ketika melakukan pertemuan dari
saat pengenalan hingga melakukan wawancara.
b. FGD (Focus Group Discussion)
James Watt dan Van den Berg mengemukakan bahwa metode Focus
Group Discussion atau biasanya disebut focus group interview pada
dasarnya merupakan metode ilmiah kualitatif yang bersifat seperti
suatu kelas dengan kehadiran seorang moderator yang memfasilitasi
jalannya diskusi atau interview.28
Dalam menggunakan metode FGD ini, peneliti akan mendapatkan
keberagaman pemaknaan dari dalam kelompok pada suatu bahasan.
Sebelum melaksanakan FGD, peneliti mengumpulkan para informan
dalam suatu grup diskusi di jejaring sosial seperti Whatsapp atau Line.
Kemudian baru peneliti mengajak untuk mengadakan pertemuan di
suatu tempat dan melaksanakan inti dari metode FGD tersebut. Dalam
metode ini peneliti melaksanakan dua kali FGD yaitu yang pertama
dengan tiga narasumber dan yang kedua dengan dua narasumber. Hal
ini sangat di luar prediksi peneliti karena saat di lapangan peneliti
kesulitan untuk mempertemukan mereka pada saat yang bersamaan.
28James H. Watt, Van den Berg, dan Sjef, Research Methods for Mass Communication
Science, (Boston: Allyn and Bacon, 1995), hal. 360-362.
-
16
c. Wawancara
Denzin & Lincoln mengemukakan:
“The interview is a conversation, the art of asking questions and listening. It is not neutral tool, for the interviewer creates the reality of the interview situation. In this situation answers are given. This interview produces situated understandings grounded in specific interactional episodes. This method is influenced by the personal charateristies of the interviewer, including race, class, ethnicity, and gender.”29
Wawancara merupakan suatu kegiatan tanya jawab dengan tatap muka
(face-to-face) antara pewawancara (interviewer) dan yang
diwawancarai (interviewee) tentang masalah yang diteliti.
Pewawancara bermaksud memperoleh persepsi, sikap, dan pola pikir
dari yang diwawancarai yang relevan dengan masalah yang diteliti.
Karena wawancara itu dirancang oleh pewawancara, maka hasilnya
pun dipengaruhi oleh karakteristik pribadi pewawancara.30 Dengan
melakukan wawancara mendalam, peneliti dapat mengarahkan tanya
jawab pada pokok atau inti persoalan yang ingin diteliti yaitu terkait
proses akulturasi pada mahasiswa Afrika dalam berkomunikasi,
sehingga informasi yang dikumpulkan bukan hanya sekedar menerka-
nerka, melainkan sebuah fakta.
d. Dokumentasi
Dokumen merupakan sumber data yang digunakan untuk melengkapi
penelitian, berupa sumber data yang digunakan untuk melengkapi
29N. K. Denzin dan Y. S. Lincoln, The Sage Handbook of Qualitative Research ‘5th Editions’,
(London: Sage Publications, 2017), hal. 151. 30Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif ‘Teori dan Praktik’, (Jakarta: Bumi Aksara,
2013), hal. 162.
-
17
penelitian, baik berupa sumber tertulis, film, gambar (foto), maupun
karya-karya monumental, yang semuanya itu memberikan informasi
bagi proses penelitian.31 Selain itu, dokumentasi juga dapat menjadi
bukti-bukti wawancara kepada narasumber.
F. Tinjauan Pustaka dan Peneliti Terdahulu
Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti menggunakan beberapa buku primer,
antara lain yaitu: Hafied Cangara (Pengantar Ilmu Komunikasi), Andi Faisal Bakti
(Communication and Family Planning in Islam Indonesia: South Sulawesi Muslim
Perceptions of a Global Development Program), Deddy Mulyana dan Jalaluddin
Rakhmat (Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang
Berbeda Budaya’), Koentjaningrat (Pengantar Ilmu Antropologi), dan Lexy J.
Moleong (Metode Penelitian Kualitatif).
Selanjutnya peneliti melakukan penelusuran koleksi skripsi pada
Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta guna memastikan apakah ada judul atau tema yang
sama dengan penelitian ini. Penelitian tentang komunikasi antarbudaya yang
memiliki persamaan subjek dan objek dengan peneliti tidak ditemukan. Hanya saja
ada beberapa skripsi yang hampir serupa, di antaranya seperti:
1. “Komunikasi Antarbudaya pada Proses Enkulturasi Mahasiswa Turki di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta” oleh Dewi
Mufarrikhah, tahun 2016.32 Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Fokus
31Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif ‘Teori dan Praktik’, hal. 178. 32Dewi Mufarrikhah, “Komunikasi AntarBudaya pada Proses Enkulturasi Mahasiswa Turki
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri, 2016).
-
18
skripsi Dewi ini yaitu dengan subjeknya hanya pada mahasiswa Turki saja
dan objeknya yang juga berbeda dengan skripsi ini yaitu pada proses
enkulturasi. Proses enkulturasi itu sendiri adalah mengacu pada proses
dengan mana kultur ditransmisikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.33
2. “Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa (Studi Komunikasi
Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya
Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan)” oleh Ali Abdul
Rodzik, tahun 2008.34 Jurusan Komunikasi dan Penyiran Islam. Skripsi ini
memiliki persamaan dengan peneliti ini yaitu, membahas komunikasi antar
budaya dalam proses akulturasi. Namun, perbedaan dari penelitian ini yaitu
dalam hal subjek yang diteliti, yaitu Ali pada Kesenian Gambang Kromong
sedangkan penelitian ini pada mahasiswa asing dan mahasiswa lokal.
Meskipun dalam penelitian ini peneliti merujuk pada skripsi di atas, tetapi
penelitian yang dilakukan peneliti berbeda. Dari penelitian terdahulu belum ada yang
mengupas tentang komunikasi lintas budaya dalam proses akulturasi antara
mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Oleh karena itu, penelitian ini fokus menganalisis komunikasi
lintas budaya yang terjadi antara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan juga fokus bagaimana
33Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia; Kuliah Dasar Edisi Kelima. Terj. Agus
Mulyana, hal. 534. 34Ali Abdul Rodzik, “Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa (Studi Komunikasi
AntarBudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan),” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri, 2008).
-
19
proses akulturasi tersebut terjadi antara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penjelasan dan mensistematiskan penulisan
skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini dalam lima bab, dan
pada masing-masing bab telah dibagi kembali menjadi su-bab yang mendukung isi
dari setiap bab yang saling terhubung. Sistematika pada skripsi ini adalah sebagai
berikut:
Pendahuluan, penulis letakkan pada bab satu, yang meliputi latar belakang
masalah mengenai komunikasi antarbudaya pada proses akulturasi pada mahasiswa
Afrika (Gambia)d di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemudian pada bab ini juga
mencakup permasalah, tujuan penelitian, signifikasi penelitian, metodologi
penelitian, tinjauan pustaka, penelitian terdahulu, dan sistematika penulisan.
Pada bab dua, penulis meletakkan landasan teori, di mana di bab ini penulis
membahas teori-teori yang penulis gunakan dalam skripsi ini. Dimulai dari teori
komunikasi, teori komunikasi antarbudaya, teori komunikasi akulturasi dalam
komunikasi, dan teori mengenai nilai-nilai Islam. Dari semua teori, penulis akan
terfokus pada teori komunikasi dalam akulturasi menurut Ruben yang akan
digunakan dalam penelitian di bab empat.
Selanjutnya yaitu gambaran umum yang penulis letakkan pada bab tiga. Pada
bab tiga ini, penulis menjelaskan gambaran umum mengenai Pusat Layanan
Kerjasama Internasional dimana PLKI merupakan lembaga UIN Syarif Hidayatullah
-
20
Jakarta yang menangani masuknya mahasiswa-mahasiswa asing yang ingin berkuliah
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Inti dari skripsi, yaitu temuan analisis di bab empat, di mana penulis
menjelaskan bagaimana komunikasi antarbudaya dalam proses akulturasi yang
terjadi pada mahasiswa Afrika (Gambia) selama mereka berkuliah di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penulis menjelaskan komunikasi dalam akulturasi secara
kerangka konseptual yaitu komunikasi intrapersonal, komunikasi sosial dan
lingkungan komunikasi.
Akhirnya pada bab lima yang merupakan penutup dari skripsi ini. Bab ini
terdiri atas kesimpulan dan saran penelitian yang penulis sampaikan yang berisi inti
dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan dan memberikan saran-saran kepada
UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Pusat Layanan Kerjasama Internasional.
-
21
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Komunikasi
1. Pengertian Komunikasi
Secara bahasa, komunikasi berasal dari bahasa latin yaitu communico
yang berarti membagi. Membagi dalam hal ini adalah membagi gagasan dan ide
atau pikiran antara satu orang dengan orang lain. Selain communico, komunikasi
juga berasal dari akar kata communis dalam bahasa latin juga yang berarti
menyamakan, menjadikan sama, antara satu orang dengan orang yang lain.1
Adapun beberapa pengertian atau definisi tentang komunikasi yang
dicetuskan oleh pakar-pakar komunikasi, yaitu sebagai berikut:
Menurut Everet M. Rogers bersama D. Lawrence Kincaid, “komunikasi
adalah proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan
pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba
pada saling pengertian yang mendalam.”2 Dapat dikatakan bahwa komunikasi
memerlukan adanya saling pengertian dalam pertukaran informasi tersebut agar
tidak timbulnya kesalahan makna.
Wilbur Schramm mendefinisikan bahwa communication as an act of
establishing contact between a sender and receiver, with the help of message;
the sender and receiver some common experience which meaning to the
1Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2009), hal. 2. 2Everett M Rogers dan D. Lawrence Kincaid, Communication Network: Towards a New
Paradigm for Research, (New York: Free Press, 1981). Lihat juga Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 20.
-
22
message incode and sent by the sander; and receiver and decoded by the
receiver.3 Dalam hal ini berarti dengan adanya komunikasi yang dilakukan
antara pengirim dan penerima yang berbeda pengalaman dapat saling bertukar
pikiran karena memiliki penafsiran yang berbeda-beda.
Ada empat teori komunikasi menurut Andi Faisal Bakti, salah satu teori
komunikasi tersebut yaitu teori S-M-C-R-E. Teori ini merupakan teori kritik atas
teori yang menjelaskan tentang S-M-C-R. Teori ini menjelaskan bahwa dalam
komunikasi tentu ada sender, message, channel, receiver dan effect dengan
strategi one-way (satu arah). Dengan demikian, faktor yang menjadi utama
dalam teori ini adalah sumber karena memiliki kekuatan secara penuh terhadap
pesan yang disampaikan dan juga menekankan pada efek dari pesan yang telah
disampaikan oleh source.4
Selain itu, Andi Faisal Bakti juga menggagaskan teori resepsi aktif
(Active-Reception Theory) yaitu teori yang menganggap bahwa manusia sebagai
makhluk yang aktif dalam menginterpretasikan pesan atau informasi yang
didapatnya. Dalam teori resepsi aktif, keefektifan komunikasi dan diterimanya
pesan atau informasi berasal dari proses penerimaan pesan dari komunikan itu
sendiri, bukan berasal dari komunikator atau media yang digunakan tetapi pada
komunikan. Teori ini berkaitan dengan interpersonal communication, dengan
3Wilbur Schramm, The Process and Effects of Mass Communication, (University Of Illinois
Press Urbana, 1955). Lihat juga Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 2.
4Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, (Leiden: INIS, 2004), hal. 37-40.
-
23
sosial kontrol yang diberikan kepada penerima pesan dengan adanya pendekatan
interpersonal. 5
Alo Liliweri menyimpulkan bahwa di dalam proses komunikasi terdapat
beberapa pengertian yang sama. Pertama, dapat saling memberi dan
mengalihkan informasi sebagai berita atau gagasan ketika baik antara penerima
atau pemberi. Kedua, komunikasi merupakan kegiatan untuk menyebarkan
informasi. Ketiga, komunikasi dapat mengatur kebersamaan. Keempat, dengan
berkomunikasi membuat orang-orang terhubung. Kelima, Dapat mengambil
bagian dalam kebersamaan.6
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi
berarti proses interaksi antara pengirim (komunikator) dan penerima
(komunikan) dalam menyampaikan pesan atau informasi antara dua orang atau
lebih dengan tujuan pesan atau informasi yang dimaksud dapat dipahami. Tapi,
Bakti menambahkan bahwa komunikasi itu kuncinya adalah pemaknaan pada
negosiasi karena dengan adanya pemaknaan dan negosiasi ini dapat menyatukan
ratusan ratusan kelompok etnis, bahasa, dan budaya, serta belasan bekas
kerajaan yang dipisahkan dengan laut besar atau pegunungan sehingga dapat
berada pada satu bendera dan satu Negara.7
5Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, hal. 108. 6Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara, 2007), hal. 5. 7Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, hal. 118.
-
24
2. Unsur – Unsur Komunikasi
Dari berbagai pengertian di atas, sangat jelas bahwa komunikasi pada
hakikatnya hanya bisa terjadi jika ada yang menyampaikan pesan kepada orang
lain dengan adanya tujuan. Dengan begitu, terjadilah proses penyampaian pesan
atau informasi tersebut. Dalam prosesnya terdapat unsur-unsur komunikasi yang
bisa juga disebut komponen atau elemen komunikasi.8
Terdapat beberapa macam pandangan terkait unsur yang mendukung
komunikasi. Ada yang beranggapan bahwa komunikasi cukup didukung oleh
tiga unsur saja yang fundamental, yaitu:
a. Komunikator, orang yang berbicara.
b. Pesan, materi pembicaraan.
c. Komunikan, orang yang menerima atau mendengarkan.9
Hafied Cangara beranggapan bahwa tidak hanya ada tiga unsur dalam
komunikasi. Menyimpulkan pandangan dari David K. Berlo, Charles Osgood,
Gerald Miller, Melvin L. De leur, Joseph A. Devito, K. Sereno dan Erika Vora,
menilai ada banyak unsur komunikasi yang juga tidak kalah pentingnya. Unsur-
unsur komunikasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
8Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),
hal. 21. 9Roudhonah, Ilmu Komunikasi, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2007), hal. 45.
-
25
Sumber Pesan Media Penerima Efek
Lingkungan Umpan Balik
Gambar 2.1
Unsur-Unsur Komunikasi
Sumber: Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi.10
Bagan 2.1 dapat dijelaskan bahwa alur komunikasi sangatlah bergantung
antara satu sama lain. Sumber, yaitu pihak yang menyampaikan pesan. Hal ini
bisa berupa individu, seseorang yang berbicara, menulis, menggambar,
memberikan isyarat-isyarat. Tidak hanya individu, komunikator juga bisa
berupa organisasi komunikasi tertentu, seperti sebuah penerbit, stasiun tivi, atau
yang lainnya.11
Sumber adalah pihak yang berinisiatif atau yang mempunyai kebutuhan
untuk komunikasi yang bisa jadi seseorang individu, kelompok, organisasi,
perusahaan bahkan suatu Negara dengan melibatkan ide atau informasi yang
ingin disampaikan.12 Pesan atau informasi merupakan suatu gagasan, ide atau
simbol yang berupa komponen yang menjadi isi komunikasi yang bisa
berbentuk verbal atau non-verbal.13
10Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, hal. 23-24. 11Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, hal. 4.
12Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hal. 69.
13Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 6.
-
26
Media adalah alat yang digunakan dalam proses komunikasi dalam
memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Dalam komunikasi
antarpribadi, pancaindra dianggap sebagai media komunikasi, sedangkan dalam
komunikasi massa dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu media cetak dan
media elektronik.14 Penerima adalah orang yang menjadi sasaran dalam
menerima pesan yang dikirimkan oleh sumber. Penerima juga dapat terdiri dari
satu orang, banyak orang (kelompok kecil, kelompok besar, termasuk dalam
wujud organisasi), dan massa. Penerima di sini biasa juga disebut dengan
komunikan.15 Kemudian efek adalah sesuatu yang terjadi pada penerima pesan
setelah ia menerima pesan yang disampaikan tersebut, misalnya adanya
penambahan pengetahuan (dari tidak tahu menjadi tahu), menjadi terhibur,
perubahan pada sikap (dari tidak setuju menjadi setuju), perubahan
keyakinannya, perubahan perilaku (seperti tidak bersedia membeli sesuatu
menjadi bersedia membelinya), dan sebagainya.16
Umpan balik atau feedback, merupakan respons atau tanggapan
seseorang komunikan setelah mendapatkan terpaan pesan. Dapat pula
dikatakan sebagai reaksi yang timbul.17 Dengan adanya umpan balik ini,
komunikasi dinyatakan dapat diterima dan berjalan. Namun, Bakti
berpandangan, bahwa hal lain yang dapat terjadi adalah penerima aktif (active
reception) yang meyakini bahwa seseorang dapat memaknai tanpa sender.18
14Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, hal. 25. 15Nurani Soyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hal.
60. 16Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, hal. 71. 17Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya, hal. 7. 18Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, hal. 39.
-
27
Terakhir, lingkungan yang dimaksud di sini adalah faktor-faktor tertentu yang
dapat mempengaruhi jalannya komunikasi yang dapat berupa lingkungan fisik,
lingkungan sosial budaya, lingkungan psikologis, dan dimensi waktu.19
B. Komunikasi Antar Budaya
1. Pengertian Budaya
Membahas mengenai komunikasi antarbudaya, tentunya tidak dapat
dipisahkan dari pengertian kebudayaan. Kebudayaan berasal dari kata Sansekerta
yaitu buddhayah sebagai bentuk dari kata buddhi, yang berarti budi atau akal.
Sehingga dapat diartikan bahwa budaya yaitu hal-hal yang bersangkutan dengan
akal. Selain itu, dalam bahasa Inggris, budaya disebut dengan culture dan dalam
bahasa Latin disebut colere, yang berarti mengolah, mengerjakan atau dapat
diartikan sebagai segala daya dan usaha manusia untuk mengubah alam.20
Namun, Bakti berpandangan, bahwa dalam beberapa teori tentang
budaya menyebutkan bahwa:
“Culture is related to ideas like submission, idol worshipping, adoration of classical and religious scriptures, holy war, nationalism/tribalism, fundamentalism, cult of the dead, sectarian communitarianism, being thought by one's culture, cultural/languages/competence, inheritance, gemeinschaft, dependency, immobility, vernacular language, remembering the past, fundamentalism, etc.”21
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya
menurut Andi Faisal Bakti adalah terjadinya komunikasi antara seorang individu
19Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, hal. 25 20Koentjaroningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2015), hal. 146. 21Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, hal. 125.
-
28
atau kelompok yang berkaitan dengan hasil kreativitas manusia yang sudah jadi
maupun yang disuguhkan dan diwariskan kepada orang lain.22
Menurut seorang ahli antropologi yaitu Edward Burnett Tylor
kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan kemampuan dan kebiasaan
lainnya yang diakuisisi oleh manusia sebagai anggota masyarakat.23 Selain itu,
Koentjoroningrat mendefinisikan kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.24
Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai
kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah
dan pendukungnya, walaupun secara teoritis, kebudayaan dan masyarakat dapat
dibedakan dan dipelajari secara terpisah.25
Namun, Bakti berpandangan bahwa budaya komunikasi berhadap-
hadapan dengan komunikasi modern, dimana komunikasi budaya jauh lebih
banyak hadir dalam masyarakat dalam komunikasi modern sehingga menjadi
budaya komunikasi modern.26
22Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, hal. 125-128. 23Edward B. Tylor, Primitive Culture Vol. 1, (New York: Dover Publications, 2016), hal. 1. 24Koentjaroningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hal. 144. 25Fredian Tonny Nasdian, Sosiologi Umum, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2015), hal 65. 26Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, hal. 161.
-
29
2. Komunikasi Antarbudaya
Agar pemahaman mengenai komunikasi antarbudaya lebih jelas, peneliti
akan memberikan beberapa pengertian atau definisi komunikasi antarbudya dari
berbagai sudut pandang menurut para tokoh, yaitu:
a. Secara singkat komunikasi antarbudaya menurut William B.
Gudykunst dan Young Yun Kim merupakan komunikasi antara
orang-orang yang berasal dari budaya berlainan, atau komunikasi
dengan orang asing (stranger). Meskipun disebut komunikasi
antarbudaya, model komunikasi ini dapat juga merepresentasikan
komunikasi pada umumnya, karena pada dasarnya tidak ada dua
orang yang dapat memiliki latar budaya yang sama persis. 27
b. Menurut Charley H. Dood, komunikasi antarbudaya meliputi
komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili
pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan
latar belakang kebudayaan yang memengaruhi perilaku komunikasi
para peserta.28
c. Richard E. Porter, Larry A. Samovar dan Edwin R. McDaniel
mengatakan komunikasi antarbudaya merupakan interaksi yang
melibatkan orang-orang yang berbeda budaya. Menurut mereka
27William B. Gudykunst dan Young Yun Kim, Communicating with Strangers: An Approach
to Intercultural Communication, (New York: Ballantine, 1973). Lihat juga Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi ‘Suatu Pengantar’, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012) hal. 168-169.
28Charley H. Dood, Dynamics of Intercultural Communication, (Dubuque: Wm. C.Brown Publishers, 1991), hal. 5. Lihat juga Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal 11.
-
30
dengan memahami komunikasi antarbudaya, kita dapat mengamati
berbagai prinsip yang ada di lingkungan antarbudaya.29
d. Alo Liliweri mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah
komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang
memiliki latar kebudayaan yang berbeda. Sehingga ketika
komunikasi membutuhkan tingkat keamanan, sopan santun,
peramalan dan penafsiran lebih terhadap aspek-aspek tertentu pada
lawan bicara.30 Alo Liliweri juga mengatakan dari pengertian
komunikasi antarbudaya tersebut dapat membenarkan suatu hipotesis
bahwa semakin jauh perbedaan budaya yang terjadi maka semakin
besar pula peluang tingkat kesulitan yang didapat oleh penerima
pesan dalam manafsirkan pesan yang diterimanya.31
e. Joseph A. Devito mengartikan komunikasi antarbudaya adalah
bentuk komunikasi antara orang-orang yang berbeda kultur seperti
perbedaan kepercayaan, nilai, dan cara berprilaku. Dimana hal
tersebut dapat memengaruhi aspek dan pengalaman kita dalam
berkomunikasi.32
Dari beberapa pengertian dari tokoh-tokoh di atas, dapat dilihat bahwa
komunikasi antarbudaya lebih menekankan aspek utama yakni komunikasi yang
terjadi antara komunikator dan komunikan yang berbebeda budaya baik ras, etnik
ataupun perbedaan sosio ekonomi. Sehingga dapat peneliti simpulkan bahwa
29Richard E. Porter, Larry A. Samovar dan Edwin R. McDaniel, Communication between Cultures. Terj. Indri Margaretha S, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hal. 13-16.
30Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi AntarBudaya, hal. 13-14. 31Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi AntarBudaya, hal. 14. 32Joseph A Devito, Komunikasi Antarmanusia; Kuliah Dasar Edisi Kelima. Terj. Agus
Mulyana, (Pamulang: Karisma Publishing Group, 2011), hal.535.
-
31
komunikasi antarbudaya adalah suatu proses penyampaian pesan yang dilakukan
oleh individu atau suatu kelompok budaya kepada individu atau kelompok
budaya lainnya yang dapat menimbulkan pemahaman dan negosiasi baru
dikarenakan adanya nilai-nilai kebudayaan yang berbeda-beda. Atau, dalam
pemahaman Bakti, komunikasi antarbudaya adalah kemampuan seseorang
memaknai dan menganalisasikan sesuatu yang ada di sekitarnya.33
C. Akulturasi dalam Komunikasi
Akulturasi atau acculturation atau culture contact diartikan oleh para sarjana
antropolog mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan
suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing
sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima
dan diolah ke dalam budaya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu sendiri.34
Pengertian akulturasi menurut Joseph A. Devito yaitu mengacu pada proses
di mana kultur seorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung
dengan kultur lain. Sebagai contoh, sekelompok imigran yang tinggal di Amerika
Serikat (kultur tuan rumah), kultur mereka akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah.
Secara berangsur, nilai-nilai, cara berprilaku, serta kepercayaan dari kultur tuan
rumah tersebut menjadi bagian dari kultur kelompok imigran tersebut. Pada waktu
yang sama, kultur tuan rumah pun juga akan ikut berubah.35
33Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South
Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, hal. 161-162. 34Koentjaningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hal. 202. 35Joseph A Devito, Komunikasi Antarmanusia; Kuliah Dasar Edisi Kelima. Terj. Agus
Mulyana, hal.534-535.
-
32
Selain itu, Gudykunst dan Kim juga menjelaskan bahwa proses akulturasi
akan terjadi ketika seseorang yang bersosialisasi dengan budaya baru dan asing.
Pendatang mulai secara perlahan mendeteksi adanya kesamaan dan perbedaan di
lingkungan pribumi. Sehingga mereka mulai berkenalan sekaligus mengadopsi
beberapa norma atau nilai dari lingkungan pribumi atau si tuan rumah.36
Terjadinya akulturasi pada setiap individu sangatlah beragam, tergantung
pada potensi akulturasi yang dimiliki oleh masing-masing individu. Potensi
akulturasi tersebut ditentukan oleh faktor-faktor yang sangat penting, yaitu:
“1) Kemiripan antara budaya asli (imigran) dan budaya pribumi. 2) Usia pada saat bermigrasi. 3) Latar belakang pendidikan. 4) Karakteristik kepribadian seperti suka berteman, toleransi, mengambil
resiko, keluwesan kognitif, keterbukaan dan sebagainya. 5) Pengetahuan imigran tentang budaya pribumi yang datang sebelum
bermigrasi.”37
Selain itu, Ruben juga memaparkan kerangka konseptual yang paling
komprehensif dan bermanfaat dalam menganalisis akulturasi seorang imigran. Dari
perspektif komunikasi ini terdapat pada perspektif sistem yang dielaborasi. Sebagai
suatu sistem komunikasi terbuka, seseorang berinteraksi dengan lingkungan melalui
dua proses yaitu yang saling berhubungan – komunikasi intrapersona, komunikasi
sosial, dan lingkungan komunikasi.38
36William B. Gudykunst dan Young Yun Kim, Communication with Strangers, (New York:
McGraw-Hill Companies, 2003), hal. 359. 37Young Y. Kim, Communication Patterns of Foreign Immigrants in the Korean Population
in Chicago, (Disertasi Ph.D. Northwestern University, 1976). Lihat juga Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya ‘Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 144-145.
38B. D. Ruben, “Intrapersonal, Interpersonal, and Mass Communication Process in Individual and Multi-Person Systems” dalam B. D. Ruben dan Y. Y. Kim, General System Theory and Human Communication, (Rochelle Park: Hayden, 1975). Lihat juga Deddy Mulyana dan Jalaluddin
-
33
1. Komunikasi Intrapersonal
Komunikasi intrapersonal mengacu kepada proses-proses mental yang
dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan lingkungan sosio-
budayanya, mengembangan cara-cara melihat, mendengar, memahami, dan
merespons lingkungan. Seperti yang dikatakan Ruben, “komunikasi
intrapersonal dapat dianggap sebagai merasakan, memahami, dan berprilaku
terhadap objek-objek dan orang-orang dalam suatu lingkungan. Ia adalah proses
yang dilakukan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.”39 Hal ini
berarti dalam konteks akulturasi, komunikasi intrapersonal sebagai cara untuk
memudahkan seorang imigran untuk merespons dan mengidentifikasi secara
konsisten budaya pribumi yang secara potensial memudahkan aspek-aspek
akulturasi lainnya.
Makna lain dari komunikasi intrapersonal yaitu komunikasi dalam diri
manusia berupa pertanyaan-pertanyaan dalam diri yang tidak bisa dilepaskan
dari posisinya sebagai bagian dari materi (tubuh) sekaligus bagian dari materi
alam pula yang mengalami kontradiksi diri seperi lapar, haus, ingin melakukan
sesuatu, atau apa pun yang lahir dari kebutuhan diri kita sebagai bagian dari
Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 141 – 144.
39B. D. Ruben, “Intrapersonal, Interpersonal, and Mass Communication Process in Individual and Multi-Person Systems” dalam B. D. Ruben dan Y. Y. Kim, General System Theory and Human Communication, hal. 168-169. Lihat juga Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 141.
-
34
kehidupan.40 Ada tiga variabel komunikasi intrapersona dalam akulturasi,
yaitu:41
a) Kompleksitas Struktur Kognitif Imigran
Komplesitas struktur kognitif seorang imigran merupakan hal yang
paling terpenting dari akulturasi. Faktor ini merupakan pengetahuan imigran
yang kompleks tentang pola-pola dan aturan-aturan sistem komunikasi
pribumi yang didatangi agar dapat mengetahui budaya pribumi lebih jauh.
Proses awal akulturasi seorang imigran biasanya mempersepsikan
lingkungan pribumi secara sederhana serta lingkungan yang asing dapat
menimbulkan berbagai stereotip kasar yang dikarenakan seorang imigran
belum dapat beradaptasi secara langsung. Namun, proses selanjutnya ketika
seorang imigran telah mengenal secara jauh lingkungan pribumi
memungkinan imigran tersebut mengubah persepsinya menjadi lebih halus,
kompleks dan bervariasi. Maka dari itu, seorang imigran sangat penting
untuk mengetahui tentang sistem komunikasi pribumi yang didatangi karena
berfungsi untuk dalam meningkatkan partisipasi seorang imigran dalam
jaringan-jaringan komunikasi antarpesona dan komunikasi massa yang
terdapat pada masyarakat pribumi.
b) Citra Diri
Citra diri (self image) imigran yaitu hal-hal yang berkaitan dengan
citra-citra imigran tentang lingkungannya yaitu lingkungan masyarakat
40Nurani Soyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi, hal. 103. 41Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 141-142.
-
35
pribumi dan budaya aslinya. Misalnya, memberi informasi berharga tentang
realitas akultarasinya yang subjektif. Perasaan seorang imigran ternyata
sangat berkaitan dengan jarak antara dirinya dan anggota-anggota
masyarakat pribumi yang dapat menimbulkan masalah-masalah psikologis
yang dialami oleh seorang imigran seperti merasa terasingkan, rendah diri,
malu dan sebagainya.
c) Motivasi akulturasi
Motivasi akulturasi seorang imigran berfungsi dalam mempermudah
proses akulturasi. Hal ini dapat dilihat dari kemauan seorang imigran untuk
belajar, mau ikut berpartisipasi dan mau untuk diarahkan menuju sistem
sosio-budaya pribumi. Seorang imigran dapat meningkatkan partisipasinya
dalam berkomunikasi dengan masyarakat pribumi apabila adanya orientasi
positif dari diri seorang imigran terhadap lingkungan barunya.
2. Komunikasi Sosial
Komunikasi antarpersona berkaitan dengan komunikasi sosial ketika dua
atau lebih individu berinteraksi, sengaja atau tidak sengaja. Seperti yang
dikatakan Ruben, “Komunikasi adalah suatu proses yang mendasari
intersubjektivisasi, suatu fenomena yang terjadi sebagai akibat simbolisasi
publik dan penggunaan serta penyebaran simbol.”42
Komunikasi sosial di sini juga biasa disebut dengan komunikasi
antarpersonal atau komunikasi massa. Komunikasi antarpersonal (interpersonal
42B. D. Ruben, “Intrapersonal, Interpersonal, and Mass Communication Process in Individual and Multi-Person Systems” dalam B. D. Ruben dan Y. Y. Kim, General System Theory and Human Communication, hal. 171. Lihat juga Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, hal. 142.
-
36
communication) adalah komunikasi antara anda dan orang-orang lainya secara
tatap-muka dan memungkinkan setiap peserta komunikasi menangkap reaksi
atau memberikan timbal balik dari orang lain secara langsung, baik secara verbal
maupun non-verbal.43 Komunikasi massa adalah suatu proses komunikasi sosial
yang lebih umum, yang dilakukan individu-individu untuk berinteraksi dengan
lingkungan sosio-budayanya, tanpa terlihat dalam hubungan-hubungan
antarpersonal dengan individu lainnya.44 Selain itu, komunikasi massa (mass
communication) adalah komunikasi yang menggunakan media massa, seperti
media cetak (surat kabar, majalah) atau media elektronik (televisi, radio),
berbiaya relative mahal, media yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang
yang dilembagakan, yang bertujuan kepada sejumlah orang yang sangat banyak
dan tersebar di berbagai tempat, anonim, dan heterogen.45
Menurut Kim, fungsi akulturasi komunikasi massa bersifat terbatas
dalam hubungannya dengan fungsi akulturasi komunikasi antarpersona.46 Fungsi
akulturasi komunikasi massa akan sangat penting pada fase awal proses
akulturasi seorang imigran. Dalam fase awal ini, pendatang belum dapat
mengembangkan kecakapannya untuk memulai hubungan baru yang
43Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, hal. 81. 44Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, hal. 142. 45Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, hal. 83. 46Young Y. Kim, Mass Media and Acculturation: Development of an Interactive Theory,
(Makalah yang disajikan dalam konferensi tahunan the Eastern Communication Association, Philadelphia, Pennsylvania, Mei 1979). Lihat juga Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 142.
-
37
memuaskan, sehingga membutuhkan komunikasi massa agar dapat mengetahui
lebih jauh lagi tentang berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya pribumi.47
3. Lingkungan Komunikasi
Komunikasi persona dan komunikasi sosial seorang imigran dan fungsi
komunikasi-komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa
dihubungkan dengan lingkungan komunikasi masyarakat pribumi. Apakah
imigran tinggal di desa atau di kota metropolitan, tinggal di daerah miskin atau
kaya, bekerja sebagai buruh pabrik atau eksekutif. Semua itu merupakan kondisi
lingkungan yang mungkin secara signifikan mempengaruhi perkembangan
sosio-budaya yang akan dicapai imigran.48
Suatu kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh pada komunikasi dan
akulturasi pendatang adalah adanya komunitas etniknya di daerah setempat.
Seperti yang dikutip dari Taylor bahwa derajat pengaruh komunitas etnik atas
prilaku imigran sangat bergantung pada derajat “kelengkapan kelembagaan”
komunitas tersebut dan kekuatannya untuk memelihara budayanya yang khas
bagi anggota-anggotanya.49 Karena itu, diperlukannya lembaga-lembaga yang
berasal dari imigran agar dapat memudahkannya akuturasi dan membantu dalam
mengatasi tekanan-tekanan dalam komunikasi antarbudaya. Namun, hal ini akan
berbeda jika seseorang imigran kurang terlibat dalam lembaga atau komunitas
47Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, hal. 143-144. 48Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, hal. 144. 49B. K. Taylor, “Culture: Whence, Whither and Why?” dalam A. E Alcock, B. K. Taylor dan
J. M. Welton, The Future of Cultural Minorities, (New York: St. Martins’s, 1979). Lihat juga Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hal. 144.
-
38
etniknya dan tanpa melakukan komunikasi yang memadai dengan anggota
masyarakat pribumi. Baik demikian adanya, hal tersebut justru akan
memperlambat kecepatan akulturasi imigran.
Meskipun demikian, apabila diperhatikan sejauh ini, masyarakat
pribumilah yang tidak mengharuskan imigran untuk mengikuti dalam pola-pola
budaya masyarakat pribumi. Bahkan, yang bisa dibilang pribumilah yang lebih
dominan dalam memberikan kebebasan kepada imigran untuk terus
mengembangkan lembaga atau komunitas etniknya.50
D. Nilai-Nilai Keislaman
Islam pada hakikatnya adalah aturan sistem atau undang-undang Allah SWT
yang terdapat dalam Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya yang meliputi perintah-
perintah dan larangan-larangan, serta petunjuk-petunjuk untuk menjadi pedoman
hidup dan kehidupan umat manusia guna kebahagiannya di dunia dan akhirat.51 Ada
tiga hal pokok dalam mempelajari keislaman, yaitu:
1. Akidah
Menurut bahasa, akidah berasal dari kata al-‘aqdu yang artinya ikatan
terhadap sesuatu. Maksud dari arti tersebut yaitu aku telah mengikatkan hatiku
terhadap sesuatu tersebut (Islam).52 Seorang manusia disebut muslim jika
dengan penuh kesadaran dan ketulusan bersedia terikat dengan sistem
50Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya ‘Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya’, hal. 144. 51Srijanti, Purwanto S.K. dan Wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat Islam
Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hal. 7. 52Darwis Abu Ubaidah, Panduan Akidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2008), hal. 9.
-
39
kepercayaan Islam. Karena itu, akidah merupakan ikatan dan simpul dasar Islam
yang pertama dan utama.53
Sedangkan menurut syara’, akidah adalah keimanan (kepercayaan).54
Keimanan yang biasanya disebut dengan Rukun Iman ini meliputi keimanan
kepada Allah SWT, Malaikat, Kitab-Kitab, Rasul-Rasul, dan Hari Akhir. Allah
SWT berfirman:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” [Q.S: An Nisa", 136].
Berdasarkan fondasi iman tersebut, maka adanya keterikatan setiap
muslim kepada Islam yaitu dengan meyakini bahwa Islam adalah agama yang
universal serta mampu menjawab segala persoalan yang muncul dalam segala
lapisan masyarakat dan sesuai dengan tuntutan budaya setiap manusia sepanjang
zaman.55
53Srijanti, Purwanto S.K. dan Wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat Islam
Modern, hal. 7. 54Darwis Abu Ubaidah, Panduan Akidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah, hal. 9. 55Srijanti, Purwanto S.K. dan Wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat Islam
Modern, hal. 8.
-
40
2. Syariah
Konsep terpenting dan paling komprehensif untuk menggambarkan Islam
sebagai suatu fungsi adalah konsep syariah atau “syar” yang berarti jalur atau
jalan menuju sumber air. Maksudnya yaitu jalan menuju sumber kehidupan itu
sendiri. Dalam agama sejak awal sekali, syariah berarti jalan utama untuk
kehidupan yang baik, yaitu nilai-nilai agama, yang dinyatakan secara fungsional
dan konkret, untuk memandu kehidupan manusia.56
Selain itu, syariah yang berarti isi yang mengatur aktivitas yang
seharusnya dikerjakan manusia. Syariat merupakan inti dari nilai pengajaran
Islam yang ditetapkan oleh Allah SWT. Allah SWT dalam hal ini disebut
Syaari’ atau pencipta hukum. 57 Allah SWT berfirman:
Artinya: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak
ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentul
top related