klasifikasi hasil belajar merupakan saat terselesaikannya...
Post on 09-May-2019
226 Views
Preview:
TRANSCRIPT
11
Klasifikasi hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan
pelajaran. Klasifikasi hasil belajar menurut Agus Suprijono (2009) secara
garis besar membagi menjadi 3 ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif,
ranak psikomotorik :
1. Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intektual.
2. Ranah efektif, berkenaan dengan sikap.
3. Ranah psikomotorik, berkenaan dengan hasil belajar
keterampilan dan kemampuan bertindak.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil akhir dari proses
kegiatan belajar peserta didik setelah mengikuti pembelajaran di kelas,
yaitu menerima suatu pelajaran untuk mencapai kompetensi yang akan
dicapai dengan menggunakan alat penilaian yang disusun oleh guru
berupa tes yang hasilnya berupa nilai kemampuan peserta didik setelah
tes diberikan sebagai perwujudan dari upaya yang telah dilakukan selama
proses belajar mengajar. Hasil belajar peserta didik dihitung berdasarkan
evaluasi, pengukuran dan asesmen. Untuk mengukur hasil belajar
peserta didik dalam sebuah pembelajaran agar dapat mengetahui apakah
materi yang disampaikan sudah mencapai tujuan pembelajaran, bisa
dilakukan dengan menggunakan dua teknik yaitu, tes dan non tes.
B). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Hasil belajar sebagai salah satu indikator pencapaian tujuan
pembelajaran di kelas tidak terlepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil belajar itu sendiri. Sugihartono, dkk. (2007: 76-77),
12
menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar, sebagai
berikut:
a. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang
sedang belajar. Faktor internal meliputi: faktor jasmaniah dan faktor
psikologis.
b. Faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu. Faktor
eksternal meliputi: faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor
masyarakat.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan belajaran
diatas dapat dikaji bahwa belajar itu merupakan proses yang cukup
kompleks. Aktivitas belajar individu memang tidak selamanya
menguntukan. Kadang-kadang juga lancar. Kadang-kadang mudah
menangkap apa yang dipelajari, kadang sulit mencerna mata pelajaran.
Dalam keadaan dimana anak/peserta didik dapat belajar sebagaimana
mestinya, itulah yang disebut belajar.
2. Pembelajaran IPA
A) IPA Secara Umun
1. Pengertian IPA
Ilmu pengetahuan alam merupakan terjemahan kata-kata Inggris
yaitu natural science, artinya ilmu pengetahuan alam (IPA).
Berhubungan dengan alam atau bersangkutan dengan alam, sedangkan
science artinya ilmu pengetahuan. Jadi ilmu pengetahuan alam (IPA)
13
science dapat disebut sebagai ilmu tentang alam. Ilmu yang mempelajari
peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam.
IPA merupakan ilmu yang mempelajari tentang alam semesta
beserta isi dan kejadian-kejadian yang dapat diperoleh dan
dikembangkan baik secara induktif atau deduktif. Ada dua hal yang
berkaitan dengan IPA yaitu IPA sebagai produk dan IPA sebagai proses.
IPA sebagai produk yaitu pengetahuan IPA yang berupa pengetahuan
faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. IPA sebagai proses
yaitu kerja ilmiah. Baik produk atau proses IPA merupakan subjek kajian
IPA. Dengan belajar IPA, belajar produk dan bagaimana proses IPA
dapat kita peroleh. Dalam kehidupan kita sehari-hari banyak pengetahuan
yang kita dapat. Pengetahuan tentang agama, pendidikan, kesehatan,
ekonomi, politik, sosial, dan alam sekitar adalah contoh pengetahuan
yang dimiliki oleh tiap manusia. Pada pengertian IPA yang kedua dapat
kita ketahui bahwa IPA merupakan pengetahuan yang ilmiah, yaitu
pengetahuan yang diperoleh secara ilmiah. Hal ini menunjukkan bahwa
ilmu mempunyai dua sifat utama. Sifat utama tersebut antara lain adalah
rasional dan objektif. Rasional berarti masuk akal, logis, atau diterima
akal sehat sedangkan objektif mempunyai arti sesuai dengan objeknya,
kenyataan, atau pengamatan. Pengetahuan Alam dipandang sebagai cara
berfikir dalam pencarian tentang rahasia alam sebagai cara penyelidikan
terhadap gejala alam dan sebagai batang tubuh pengetahuan yang
dihasilkan dari inquiry. Selain dapat belajar tentang proses dan produk
14
IPA, dengan belajar IPA kita juga dapat ketahui tentang cara berfikir
yang baik. Ilmu Pengetahuan Alam mempunyai objek dan permasalahan
jelas yaitu berobjek benda-benda alam dan mengungkapan misteri
(gejala-gejala) alam yang disusun secara sistematis yang didasarkan pada
hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia. Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Powler (Usman Samatowa, 2006: 2), IPA
merupakan ilmu yang berhubungan dengan gejala-gejala alam dan
kebendaan yang sistematis yang disusun secara teratur, berlaku umum
yang berupa kumpulan dari hasil observasi dan eksprimen.
Menurut Patta Bundu (2006: 11) sains secara garis besar atau pada
hakikatnya IPA memiliki tiga komponen, yaitu proses ilmiah, produk
ilmiah, dan sikap ilmiah. Proses ilmiah adalah suatu kegiatan ilmiah yang
dilaksanakan dalam rangka menemukan produk ilmiah. Proses ilmiah
meliputi mengamati, mengklasifikasi, memprediksi, merancang, dan
melaksanakan eksperimen. Produk ilmiah meliputi prinsip, konsep,
hukum, dan teori. Produk ilmiah berupa pengetahuan-pengetahuan alam
yang telah ditemukan dan diuji secara ilmiah.Sikap ilmiah merupakan
keyakinan akan nilai yang harus dipertahankan ketika mencari atau
mengembangkan pengetahuan baru. Sikap ilmiah meliputi ingin tahu,
hati-hati, obyektif, dan jujur.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa IPA menurut
hakikatnya adalah suatu cara untuk memperoleh pengetahuan baru yang
berupa produk ilmiah dan sikap ilmiah melalui suatu kegiatan yang
15
disebut proses ilmiah. Siapapun yang akan mempelajari IPA haruslah
melakukan suatu kegiatan yang disebut sebagai proses ilmiah. Seseorang
dapat menemukan pengetahuan baru dan menanamkan sikap yang ada
dalam dirinya melalui proses ilmiah tersebut.
B) Pembelajaran IPA SD
1. Pengetian IPA SD
Pembelajaran IPA yang dilaksanakan bagi peserta didik SD harus
memenuhi hakikat IPA. Hakikat IPA memiliki tiga komponen, yaitu sains
sebagai produk, sains sebagai proses, dan sains sebagai sikap ilmiah (Patta
Bundu, 2006: 11). Jadi, pembelajaran IPA harus melingkupi hakikat IPA
yang memiliki tiga komponen tersebut.Selain itu, pelajaran IPA dalam
pengembangannya untuk anak usia SD harus disesuaikan dengan
karakteristik dan perkembangan kognitifnya.
Pembelajaran IPA harus menerapkan proses ilmiah. Pembelajaran
harus berlangsung menggunakan proses-proses yang telah digunakan oleh
para ilmuwan IPA. Proses-proses tersebut dinamakan keterampilan proses.
Untuk peserta didik SD, keterampilan proses dapat dikembangkan dengan
mengembangkan keterampilan mengamati, mengelompokkan, mengukur,
mengkomunikasikan, meramalkan, dan menyimpulkan.
Selama peserta didik melakukan kegiatan ilmiah, dalam
pembelajaran IPA diharapkan dapat menemukan suatu pengetahuan baru
yang disebut dengan produk ilmiah. Melalui proses ilmiah, peserta didik
diharapkan dapat mempelajari pengetahuan-pengetahuan tentang IPA.
16
Produk ilmiah yang berupa konsep, hukum, dan teori untuk anak usia SD
sudah disusun dalam kurikulum. Di dalam kurikulum sudah dijelaskan
mengenai Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator yang
harus dicapai oleh peserta didik. Pembelajaran yang menerapkan proses
ilmiah akan membentuk suatu sikap yang disebut sikap ilmiah. Agar
pengetahuan IPA yang didapat adalah pengetahuan yang benar, maka
peserta didik harus menerapkan sikap ilmiah. Sikap ilmiah tersebut
meliputi ingin tahu, hati-hati, obyektif, dan jujur.
2. Prinsip-prinsip pembelajaran IPA di SD
Pembelajaran IPA di SD akan efektif bila peserta didik aktif
berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu guru SD perlu
menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran di SD.
Prinsip-prinsip pembelajaran di SD menurut Depdiknas (dalam
Maslichah, 2006:44) adalah “ Prinsip motivasi, prinsip latar, prinsip
menemukan, prinsip belajar melakukan (learning to doing), prinsip belajar
sambil bermain, prinsip hubungan sosial”. Prinsip pembelajaran di atas
dapat di uraikan sebagai berikut :
1. Prinsip motivasi, merupakan daya dorong seseorang untuk melakukan
sesuatu. Jadi motivasi peserta didik perlu di tumbuhkan, guru harus
berperan sebagai motivator sehingga muncul rasa ingin tahu peserta
didik terhadap pembelajaran.
2. Prinsip latar, pada hakikatnya peserta didik telah memiliki pengetahuan
awal. Oleh karena itu dalam pembelajaran sebaiknya guru perlu
17
menggali pengetahuan, keterampilan, pengalaman apa yang telah di
miliki peserta didik sehingga kegiatan pembelajaran tidak berawal dari
kekosongan terhadap materi.
3. Prinsip menemukan, pada dasarnya peserta didik sudah memiliki rasa
ingin tahu yang besar sehingga berpotensi untuk mencari tahu guna
menemukan sesuatu.
4. Prinsip belajar sambil melakukan, pengalaman yang di peroleh melalui
bekerja merupakan hasil belajar yang tidak mudah di lupakan. Oleh
karena itu dalam proses pembelajaran hendaknya peserta didik di
arahkan untuk berkegiatan.
5. Prinsip belajar sambil bermain, bermain merupakan kegiatan yang di
sukai pada usia SD, dengan bermaian akan menciptakan suasana yang
menyenangkan sehingga akan mendorong peserta didik untuk
melibatkan diri dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu dalam
setiap pembelajaran perludiciptakan suasana yang menyenangkan
melalui kegiatan bermain sehingga memunculkan kekreatifan peserta
didik.
6. Prinsip hubungan sosial, dalam beberapa hal kegiatan belajar akan lebih
berhasil jika di kerjakan secara berkelompok. Dengan kegiatan
berkelompok peserta didik tahu kelebihan dan kekurangannya sehingga
tumbuh kesadaran perlunya interaksi dan kerjasama dengan orang lain
18
3. Tujuan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SD
Tujuan pembelajaran IPA (sains) di sekolah dasar (SD) dan madrasah
ibtidaiyah (MI) adalah agar peserta didik:
a. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
b. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,
teknologi dan masyarakat.
c. Mengembangkan keteranpilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat keputusan
d. Berperan serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan
lingkungan alam.
e. Menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan
Tuhan.
f. Memiliki pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai
dasaruntuk melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama
(SMP) atau madrasah tsanawiyah (MTs).
4. Ruang Lingkup IPA SD
Adapun ruang lingkup bahan kajian IPA di SD menurut BSNP
(2006:485) meliputi aspek-aspek :
a. Mahkluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan
dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan,
b. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi : cair, padat dan gas,
19
c. Energi dan perubahannya meliputi : gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,
cahaya dan pesawat sederhana,
d. Bumi dan alam semesta meliputi : tata surya, dan benda-benda langit
lainnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa ruang
lingkup IPA di SD adalah mahkluk hidup dan proses kehidupan,
benda/materi, energi dan perubahannya, serta bumi dan alam semesta.
Maka standar kompetensi yang dilaksanakan yaitu memahami
perubahan yang terjadi di alam dan hubungannya dengan penggunaan
sumber daya alam, kompetensi dasar yang digunakan yaitu
mengidentifikasi peristiwa alam yang terjadi di Indonesia dan dampaknya
bagi makhluk hidup dan lingkungannya. Untuk indikator yang
dikembangkan ada 4, yaitu
1. Membuat suatu laporan berdasarkan hasil pengamatan atau
pengalaman pribadi atau laporan surat kabar/media lainnya tentang
peristiwa alam misalnya tanah longsor.
2. Menjelaskan dampak dari peristiwa alam terhadap kehidupan
manusia, hewan dan lingkungan.
3. Pendekatan CTL (Contextual Teaching And Learning)
1. Pendekatan CTL (Contextual Teaching And Learning)
Kata kontekstual (contextual) berasal dari kata context yang berarti
“hubungan, konteks, suasana dan keadaan (konteks)” Adapun pengertian
CTL menurut Tim Penulis Depdiknas (2003: 5) adalah sebagai berikut:
20
Pembelajaran Konstektual adalah konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata
peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama
pembelajaran efektif, yakni: kontruktivisme (contructivism), bertanya
(questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning
community), pemodelan (modeling), refleksi dan penelitian sebenarnya
(authentic assessment). Sedangkan menurut Jhonson (2006: 67) yang
mendefinisikan pembelajaran kontekstual (CTL) sebagai berikut: Sistem
CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para
peserta didik melihat makna di dalam materi akademik yang mereka
pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan
konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks
pribadi, sosial dan budaya mereka.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kontekstual merupakan sebuah strategi pembelajaran yang dianggap tepat
untuk saat ini karena materi yang diajarkan oleh guru selalu dikaitkan
dengan kehidupan sehari-hari peserta didik. Dengan menggunakan
pembelajaran kontekstual, materi yang disajikan guru akan lebih
bermakna. Peserta didik akan menjadi peserta aktif dan membentuk
hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan mereka.
21
2. Prinsip-prinsip dalam Pembelajaran Kontekstual
Model pembelajaran kontekstual mengacu pada sejumlah prinsip
dasar pembelajaran. Menurut Ditjen Dikdasmen Depdiknas 2002, dalam
Gafur (2003: 2) menyebutkan bahwa kurikulum dan pembelajaran
kontekstual perlu didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Keterkaitan, relevansi (relation). Proses belajar hendaknya ada
keterkaitan dengan bekal pengetahuan (prerequisite knowledge) yang
telah ada pada diri peserta didik.
b) Pengalaman langsung (experiencing). Pengalaman langsung dapat
diperoleh melalui kegiatan eksplorasi, penemuan (discovery),
inventory, investigasi, penelitian dan sebagainya. Experiencing
dipandang sebagai jantung pembelajaran kontekstual. Proses
pembelajaran akan berlangsung cepat jika peserta didik diberi
kesempatan untuk memanipulasi peralatan, memanfaatkan sumber
belajar, dan melakukan bentuk-bentuk kegiatan penelitian yang lain
secara aktif.
c) Aplikasi (applying). Menerapkan fakta, konsep, prinsip dan prosedur
yang dipelajari dalam dengan guru, antara peserta didik dengan
narasumber, memecahkan masalah dan mengerjakan tugas bersama
merupakan strategi pembelajaran pokok dalam pembelajaran
kontekstual.
d) Alih pengetahuan (transferring). Pembelajaran kontekstual
menekankan pada kemampuan peserta didik untuk mentransfer situasi
22
dan konteks yang lain merupakan pembelajaran tingkat tinggi, lebih
dari pada sekedar hafal.
e) Kerja sama (cooperating). Kerjasama dalam konteks saling tukar
pikiran, mengajukan dan menjawab pertanyaan, komunikasi interaktif
antar sesama peserta didik, antara peserta didik.
f) Pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang telah dimiliki pada
situasi lain.
Berdasarkan uraian diatas, prinsip-prinsip tersebut merupakan
bahan acuan untuk menerapkan metode kontekstual dalam pembelajaran.
Implementasi metode kontekstual lebih mengutamakan strategi
pembelajaran dari pada hasil belajar, yakni proses pembelajaran
berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan peserta didik bekerja
dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke peserta didik.
3. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Menurut Johnson dalam Nurhadi (2003 : 13), ada 8 komponen
yang menjadi karakteristik dalam pembelajaran kontekstual, yaitu
sebagai berikut :
a) Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningfull
connection). Peserta didik dapat mengatur diri sendiri sebagai orang
yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara
individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam
kelompok, dan orang yang dapatbelajar sambil berbuat (learning by
doing).
23
b) Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant
work). Peserta didik membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan
berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku
bisnis dan sebagai anggota masayarakat.
c) Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning). Peserta didik
melakukan kegiatan yang signifikan : ada tujuannya, ada urusannya
dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan
ada produknya atau hasilnya yang sifatnya nyata.
d) Bekerja sama (collaborating). Peserta didik dapat bekerja sama. Guru
dan peserta didik bekerja secara efektif dalam kelompok, guru
membantu peserta didik memahami bagaimana mereka saling
mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
e) Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Peserta
didik dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara
kritis dan kreatif : dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan
masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti-
bukti.
f) Mengasuh atau memelihara pribadi peserta didik (nurturing the
individual). Peserta didik memelihara pribadinya : mengetahui,
memberi perhatian, memberi harapan-harapan yang tinggi,
memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Peserta didik tidak dapat
berhasil tanpa dukungan orang dewasa.
24
g) Mencapai standar yang tinggi (reaching high standard). Peserta didik
mengenal dan mencapai standar yang tinggi : mengidentifikasi tujuan
dan memotivasi peserta didik untuk mencapainya. Guru
memperlihatkan kepada peserta didik cara mencapai apa yang disebut
“excellence”.
h) Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment).
Peserta didik menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks
dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, peserta
didik boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka
pelajari untuk dipublikasikan dalam kehidupan nyata.
4. Komponen-Komponen Pembelajaran Kontekstual
a) Kontruktivisme (contructivism)
Kontruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi)
pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh
manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks
yang terbatas (sempit) dan tidak seakan-akan. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap diambil dan
diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi
makna melalui pengalaman nyata, karena pengetahuan tumbuh dan
berkembang melalui pengalaman nyata. Menurut Zahorik (1995: 14-22),
mengemukakan bahwa terdapat lima elemen yang harus diperhatikan
dalam praktek pembelajaran kontekstual, antara lain sebagai berikut:
1) Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activing knowledge).
25
2) Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara
mempelajari secara keseluruhan terlebih dahulu,
kemudianmemperhatikan detailnya.
3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan
cara menyusun konsep sementara (hipotesis, melakukan sharing
kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar
tanggapan itu, konsep tersebut direvisi dan dikembangkan.
4) Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut
(applyingknowledge).
5) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap straregi
pengembangan pengetahuan tersebut.
b) Menemukan (inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan berbasis CTL.
Carin dan Sund (1975) dalam Mulyasa (2005: 108) mengemukakan
bahwa inqury adalah the pricess of investigating a problem. Sedangkan
Piaget mengemukakan bahwa: Metode inquiry merupakan metode yang
mempersiapkan peserta didik pada situasi untuk melakukan eksperimen
sendiri secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan
sesuatu, mengajukan pertanyaan, dan mencari jawabannya sendiri, serta
menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan yang lain,
membandingkan apa yang ditemukannya dengan yang ditemukan peserta
didik lain.
26
c) Bertanya (questioning)
Bertanya merupakan strategi penting dalam pembelajaran yang
berbasis CTL, karena pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu
bermula dari proses bertanya. Bertanya dalam pembelajaran dipandang
sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai
kemampuan berpikir peserta didik. Sedangkan bagi peserta didik
bertanya menunjukan ada perhatian terhadap materi yang dipelajari dan
kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan
pembelajaran yang berbasis inquiry, yaitu menggali informasi,
mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan
perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
d) Masyarakat Belajar (learning community)
Konsep masyarakat belajar (learning community) ialah hasil
pembelajaran yang diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Guru
dalam pembelajaran kontekstual (CTL) selalu melaksanakan
pembelajaran dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen.
Peserta didik yang pandai mengajari yang lemah, yang sudah tahu
memberi tahu yang belum tahu, dan seterusnya. Sehingga kelompok
peserta didik bisa sangat bervariasi bentuknya, keanggotaannya, jumlah
bahkan bisa melibatkan peserta didik di kelas atasnya, atau guru
melakukan kolaborasi dengan mendatangkan ahli ke kelas.
Pengembangan masyarakat belajar (learning community), akan
senantiasa mendorong terjadinya proses komunikasi multi arah. Masing-
27
masing pihak yang melakukan kegiatan belajar dapat menjadi sumber
belajar. Depdiknas, (2003: 16) Metode pembelajaran dengan tekhnik
“learning community” sangat membantu proses pembelajaran di kelas.
Prakteknya dalam pembelajaran terwujud dalam:
(1) Pembentukan kelompok kecil.
(2) Pembentukan kelompok besar.
(3) Mendatangkan ahli ke kelas.
(4) Bekerja dengan kelas sederajat.
(5) Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya.
(6) Bekerja dengan masyarakat.
e) Pemodelan (modeling)
Komponen CTL yang lain adalah pemodelan. Proses pembelajaran
keterampilan atau pengetahuan tertentu, perlu ada model yang bisa ditiru.
Tugas guru memberi model tentang bagaimana cara bekerja. Guru bukan
satu-satunya model dalam pembelajaran CTL. Pemodelan disini adalah
bahwa dalam sebuah pembelajaran selalu ada model yang bisa ditiru oleh
para peserta didik. Guru memberi model tentang bagaimana cara belajar,
namun pada metode kontekstual guru bukanlah satu-satunya model,
karena model dapat juga didatangkan dari luar untuk kemudian
dihadirkan di kelas.
f) Refleksi (reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berpikir ke belakang tentang apa yang sudah kita lakukan dimasa yang
28
lalu. Peserta didik mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai
struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi
dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap
kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Refleksi
dilakukan ketika pelajaran berakhir, peserta didik merenung tentang
kesalahannya dalam belajar, yang baru dia ketahui setelah mendapatkan
pengetahuan baru tentang hal itu, dan kemudian ia memperbaiki
kesalahannya itu.
g) Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang dapat
memberikan perkembangan belajar peserta didik. Gambaran
perkembangan belajar perlu diketahui oleh guru agar bisa mengetahui
bahwa peserta didik mengalami proses pembelajaran dengan benar.
Gambaran proses dan kemajuan belajar peserta didik perlu diketahui
sepanjang proses pembelajaran. Karena itu penilaian tidak hanya
dilakukan pada akhir periode sekolah, tetapi dilakukan bersama secara
terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran. Menurut
Jhonson (2006: 288), penilaian autentik berfokus pada tujuan, melibatkan
pembelajaran secara langsung, mengharuskan membangun keterkaitan
dan kerjasama, menanamkan tingkat berpikir yang lebih tinggi.
5. Keuntungan Pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL)
Adapun keuntungan dari pendekatan CTL adalah:
29
a) Pembelajaran menjadi lebih bermakana dan riil, artinya peserta
didik dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara
pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini
sangat penting, sebab materi yang dipelajari peserta didik akan
tertanam erat dalam memori peserta didik, sehingga tidak akan
mudah dilupakan.
b) Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan
konsep kepada seorang peserta didik, karena metode pembalajaran
CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang peserta
didik dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui
landasan filosofis konstruktivisme peserta didik diharapkan belajar
melalui “ mengalami” bukan “menghapal”.
6. Kelebihan dan kelemahan dalam pembelajaran CTL (Contextual
Teaching and Learning) ;
a. Kelebihan dalam pembelajaran CTL (Contextual Teaching and
Learning).
Ada beberapa kelebihan dalam pembelajaran CTL (Contextual
Teaching and Learning) menurut Anisa (2009) yaitu :
1. Pembelajaran lebih bermakna, artinya peserta didik melakukan
sendiri kegiatan yang berhubung dengan materi yang ada sehingga
peserta didik dapat memahaminya sendiri.
30
2. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan
penguatan konsep kepada peserta didik karena pembelajaran CTL
menuntut peserta didik menemukan sendiri bukan menghafalkan.
3. Menumbuhkan keberanian peserta didik untuk mengemukakan
pendapat tentang materi yang dipelajari.
4. Menumbuhkan rasa ingin tahu tentang materi yang dipelajari
dengan bertanya kepada guru.
5. Menumbuhkan kemampuan dalam bekerjasama dengan teman
yang lain untuk memecahkan masalah yang ada.
6. Peserta didik dapat membuat kesimpulan sendiri dari kegiatan
pembelajaran.
b. Kelemahan dalam pembelajaran CTL (Contextual Teaching and
Learning).
Adapun kelebihan dalam pembelajaran CTL (Contextual Teaching
and Learning) menurut Dzaki (2009) yaitu :
1. Bagi peserta didik yang tidak dapat mengikuti pembelajaran, tidak
mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang sama dengan
teman lainnya Karena peserta didik tidak mengalami sendiri.
2. Perasaan khawatir pada anggota kelompok akan hilangnya
karakteristik peserta didik karena harus menyesuaikan dengan
kelompoknya.
3. Banyak peserta didik yang tidak senang apabila disuruh
bekerjasama dengan yang lainnya, karena peserta didik yang tekun
31
merasa harus bekerja melebihkan peserta didik yang tekun merasa
harus bekerja melebihan peserta didik yang lain dalam
kelompoknya.
Dari penjelasan di atas maka seorang guru dalam
menerapkan model pembelajaran CTL harus dapat memperhatikan
keadaan peserta didik dalam kelas. Selain itu, seorang guru juga
harus mampu membagi kelompok secara heterogen, agar peserta
didik yang pandai dapat membantu peserta didik yang kurang
pandai.
7. Langkah-langkah pembelajaran CTL (Contextual Teaching and
Learning).
Berikut Langkah-langkah Model Pembelajaran CTL (Contextual
Teaching and Learning), (Aliz Bomz, 2013) :
1. Kegiatan Awal
Guru menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk
mengikuti proses pembelajaran,
Apersepsi, sebagai penggalian pengetahuan awal peserta didik
terhadap materi yang akan diajarkan.
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan pokok-pokok materi
yang akan dipelajari
Penjelasan tentang pembagian kelompok dan cara belajar.
32
2. Kegiatan Inti
Peserta didik bekerja dalam kelompok menyelesaikan
permasalahan yang diajukan guru. Guru berkeliling untuk
mengawasi peserta didik.
Peserta didik wakil kelompok mempresentasikan hasil penyelesaian
dan alasan atas jawaban permasalahan yang diajukan guru.
Peserta didik dalam kelompok menyelesaikan lembar kerja (LKS:
soal cerita perkalian terlampir) yang diajukan guru. Guru
berkeliling untuk mengamati, memotivasi, dan memfasilitasi kerja
sama,
Peserta didik wakil kelompok mempresentasikan hasil kerja
kelompok dan kelompok yang lain menanggapi hasil kerja
kelompok yang mendapat tugas,
Dengan mengacu pada jawaban peserta didik, melalui tanya jawab,
guru dan peserta didik membahas cara penyelesaian masalah yang
tepat,
Guru mengadakan refleksi dengan menanyakan kepada peserta
didik tentang hal-hal yang dirasakan peserta didik, materi yang
belum dipahami dengan baik, kesan dan pesan selama mengikuti
pembelajaran.
3. Kegiatan Akhir
Guru dan peserta didik membuat kesimpulan cara menyelesaikan
soal cerita perkalian bilangan,
33
Peserta didik mengerjakan lembar tugas (LTS: soal cerita perkalian
terlampir),
Peserta didik menukarkan lembar tugas satu dengan yang lain,
kemudian, guru bersama peserta didik membahas penyelesaian
lembar tugas dan sekaligus dapat memberi nilai pada lembar tugas
sesuai kesepakatan yang telah diambil (ini dapat dilakukan apabila
waktu masih tersedia.
8. Penerapan Pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL)
dalam Pembelajaran IPA.
Penerapan CTL dalam pembelajaran IPA secara garis besarnya, ada 7
langkah, yaitu (Enjah Takari.R : 2009) :
a. Arahkan dan kembangkan pemikiran bahwa peserta didik akan
belajar lebih mudah dan bermakna dengan cara bekerja sendiri ,
menemukan sendiri, dan “mengontruksi sendiri” pengetahuan dan
keterampilan baru yang diperolehnya.
b. Lakukan sebanyak mungkin kegiatan “inquiri” untuk semua SK,
KD, atau topik pembelajaran.
c. Bangkitkan dan kembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan
“bertanya”.
d. Bentuk dan ciptakan “masyarakat belajar” melalui kelompok-
kelompok dikelas.
e. Hadirkan “model” sebagai contoh pembelajaran.
f. Lakukan “refleksi” di akhir pertemuan.
34
g. Lakukan “penilaian yang sebenarnya” dengan berbagai cara.
4. Metode Simulasi Dalam Pembelajaran Contextual Teaching And
Learning ( CTL).
1. Pengertian Metode Simulasi
Simulasi berasal dari kata simulation yang artinya berpura-pura
atau berbuat seakan-akan. Sebagai metode mengajar, simulasi dapat
diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan
situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip, atau
keterampilan tertentu. Simulasi dapat digunakan sebagai metode
mengajar dengan asumsi tidak semua proses pembelajaran dapat
dilakukan secara langsung pada objek yang sebenarnya. Gladi resik
merupakan salah satu contoh simulasi, yakni memperagakan proses
terjadinya suatu upacara tertentu sebagai latihan untuk upacara
sebenarnya supaya tidak gagal dalam waktunya nanti. Demikian juga
untuk mengembangkan pemahaman dan penghayatan terhadap suatu
peristiwa, penggunaan simulasi akan sangat bermanfaat.
Udin Syaefudin Sa’ud ( 2005 : 129 ) simulasi adalah sebuah
replikasi atau visualisasi dari perilaku sebuah sistem, misalnya sebuah
perencanaan pendidikan, yang berjalan pada kurun waktu yang tertentu.
Jadi dapat dikatakan bahwa simulasi itu adalah sebuah model yang
berisi seperangkat variabel yang menampilkan ciri utama dari sistem
kehidupan yang sebenarnya. Simulasi memungkinkan keputusan-
35
keputusan yang menentukan bagaimana ciri-ciri utama itu bisa
dimodifikasi secara nyata.
Metode simulasi merupakan salah satu metode pembelajaran yang
dapat digunakan dalam pembelajaran kelompok. Proses pembelajaran
yang menggunakan metode simulasi cenderung objeknya bukan benda
atau kegiatan yang sebenarnya, melainkan kegiatan mengajar yang
bersifat pura-pura. Kegiatan simulasi dapat dilakukan oleh peserta didik
pada kelas tinggi di sekolah dasar (SD).
Dalam pembelajaran yang menggunakan metode simulasi, peserta
didik dibina kemampuannya berkaitan dengan keterampilan berinteraksi
dan berkomunikasi dalam kelompok. Di samping itu, dalam metode
simulasi peserta didik diajak untuk dapat bermain peran beberapa
perilaku yang dianggap sesuai dengan tujuan pembelajaran.
2. Tujuan Metode Simulasi
Metode simulasi memiliki beberapa tujuan diantaranya: (a) melatih
keterampilan tertentu baik bersifat profesional maupun bagi kehidupan
sehari-hari, (b) memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau
prinsip, (c) melatih memecahkan masalah, (d) meningkatkan keaktifan
belajar, (e) memberikan motivasi belajar kepada peserta didik, (f)
melatih peserta didik untuk mengadakan kerjasama dalam situasi
kelompok, (g) menumbuhkan daya kreatif peserta didik, dan (h) melatih
peserta didik untuk mengembangkan sikap toleransi.
3. Prosedur Penggunaan Metode Simulasi
36
Sri Anitah, W. DKK (2007: 5. 23) prosedur yang harus ditempuh
dalam penggunaan metode simulasi adalah :
a. Menetapkan topik simulasi yang diarahkan oleh guru,
b. Menetapkan kelompok dan topik-topik yang akan dibahas,
c. Simulasi diawali dengan petunjuk dari guru tentang prosedur,
teknik, dan peran yang dimainkan,
d. Proses pengamatan pelaksanaan simulasi dapat dilakukan dengan
diskusi,
e. Mengadakan kesimpulan dan saran dari hasil kegiatan simulasi.
Menurut Suwarna, langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam
melaksanakan simulasi adalah:
a. Menentukan topik serta tujuan yang ingin dicapai.
b. Memberikan gambaran tentang situasi yang akan disimulasikan.
c. Membentuk kelompok dan menentukan peran masing-masing.
d. Menetapkan lokasi dan waktu pelaksanaan simulasi.
e. Melaksanakan simulasi.
f. Melakukan penilaian.
a. Jenis-Jenis Metode Simulasi
Simulasi terdiri dari beberapa jenis, di antaranya:
a. Sosiodrama.
Sosiodrama adalah metode pembelajaran bermain peran untuk
memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan fenomena
sosial, permasalahan yang menyangkut hubungan antara manusia
37
seperti masalah kenakalan remaja, narkoba, gambaran keluarga yang
otoriter, dan lain sebagainya. Sosiodrama digunakan untuk
memberikan pemahaman dan penghayatan akan masalah-masalah
sosial serta mengembangkan kemampuan siswa untuk
memecahkannya.
b. Psikodrama
Psikodrama adalah metode pembelajaran dengan bermain peran
yang bertitik tolak dari permasalahan-permasalahan psikologis.
Psikodrama biasanya digunakan untuk terapi, yaitu agar peserta didik
memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang dirinya, menemukan
konsep diri, menyatakan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang
dialaminya.
5. Role Playing.
Role playing atau bermain peran adalah metode pembelajaran
sebagai bagian dari simulasi yang diarahkan untuk mengkreasi
peristiwa sejarah, mengkreasi peristiwa-peristiwa aktual, atau
kejadian-kejadian yang mungkin muncul pada masa mendatang. Topik
yang dapat diangkat untuk role playing misalnya memainkan peran
sebagai juru kampanye suatu partai atau gambaran keadaan yang
mungkin muncul pada abad teknologi informasi.
6. Peer Teaching.
Peer teaching merupakan latihan mengajar yang dilakukan oleh
peserta didik kepada teman-teman calon guru. Selain itu peer teaching
38
merupakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan seorang peserta
didik kepada peserta didik lainnya dan salah satu peserta didik itu
lebih memahami materi pembelajaran.
7. Simulasi Game.
Simulasi game merupakan bermain peranan, para peserta didik
berkompetisi untuk mencapai tujuan tertentu melalui permainan
dengan mematuhi peraturan yang ditentukan.
4. Keunggulan dan Kelemahan Metode Simulasi
Sri Anitah, W. DKK (2007: 5. 24) Terdapat beberapa kelebihan
dengan menggunakan simulasi sebagai metode mengajar, di
antaranya adalah:
a. Simulasi dapat dijadikan sebagai bekal bagi peserta didik dalam
menghadapi situasi yang sebenarnya kelak, baik dalam
kehidupan keluarga, masyarakat, maupun menghadapi dunia
kerja.
b. Simulasi dapat mengembangkan kreativitas peserta didik, karena
melalui simulasi peserta didik diberi kesempatan untuk
memainkan peranan sesuai dengan topik yang disimulasikan.
c. Simulasi dapat memupuk keberanian dan percaya diri peserta
didik.
d. Memperkaya pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang
diperlukan dalam menghadapi berbagai situasi sosial yang
problematis.
39
e. Simulasi dapat meningkatkan gairah peserta didik dalam proses
pembelajaran.
Di samping memiliki kelebihan, simulasi juga mempunyai
kelemahan, diantaranya:
a. Pengalaman yang diperoleh melalui simulasi tidak selalu tepat
dan sesuai dengan kenyataan di lapangan.
b. Pengelolaan yang kurang baik, sering simulasi dijadikan sebagai
sistem hiburan, sehingga tujuan pembelajaran menjadi
terabaikan.
c. Faktor psikologis seperti rasa malu dan takut sering
memengaruhi peserta didik dalam melakukan simulasi.
8. Langkah-langkah Simulasi
a) Persiapan Simulasi
Menetapkan topik atau masalah serta tujuan yang hendak dicapai
oleh simulasi.
Guru memberikan gambaran masalah dalam situasi yang akan
disimulasikan.
Guru menetapkan pemain yang akan terlibat dalam simulasi,
peranan yang harus dimainkan oleh para pemeran, serta waktu
yang disediakan.
Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
bertanya khususnya pada peserta didik yang terlibat dalam
pemeranan simulasi.
40
b) Pelaksanaan Simulasi
Simulasi mulai dimainkan oleh kelompok pemeran.
Para peserta didik lainnya mengikuti dengan penuh perhatian.
Guru hendaknya memberikan bantuan kepada pemeran yang
mendapat kesulitan.
Simulasi hendaknya dihentikan pada saat puncak. Hal ini
dimaksudkan untuk mendorong siswa berpikir dalam
menyelesaikan masalah yang sedang disimulasikan.
c) Penutup
Melakukan diskusi baik tentang jalannya simulasi maupun materi
cerita yang disimulasikan. Guru harus mendorong agar peserta
didik dapat memberikan kritik dan tanggapan terhadap proses
pelaksanaan simulasi.
Merumuskan kesimpulan
B. Penelitian Yang Relevan
Berdasarkan kajian teori yang dilakukan, berikut ini dikemukakan
beberapa penelitian terdahulu yang relevan diantaranya sebagai berikut:
1. Natalia (2012),“Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik Dengan
Menggunakan Pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL) Pada
Mata Pelajaran IPA Kelas IV Di Sekolah Dasar Negeri Sraten 01 Salatiga
Semester II Tahun Ajaran 2011/2012.” Dari hasil penelitiannya,
pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL) dalam pembelajaran
41
IPA ini nilai rata-rata peserta didik menjadi 74%. Maka dapat dikatakan
pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL) digunakan dalam
pembelajaran IPA meningkat.
2. Pusnawati, Yeni. 2010. Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL) untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV
SDN Plandirejo 02 Kecamatan Bakung Kabupaten Blitar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penerapan pendekatan CTL pada mata pelajaran IPA
di kelas IV SDN Plandirejo 02 kecamatan Bakung kabupaten Blitar dapat
meningkatkan hasil belajar IPA peserta didik. Nilai rata-rata peserta didik
pada pratindakan adalah 51,2 pada siklus I adalah 70,6 dan pada siklus II
adalah 88,04. Ketuntasan belajar klasikal pada pratindakan adalah 20%,
pada siklus I adalah 53,33% dan pada siklus II adalah 86,66%. Maka dapat
dikatakan pendekatan Contextual Teaching And Learning (CTL)
digunakan dalam pembelajaran IPA berhasil.
3. Fatori, (2013) Meningkatkan Hasil Belajar Peserta didik Dengan
Menggunakan Model Contextual Teaching And Learning (CTL) Pada
Konsep Energi Di Kelas IV SDN 3 Cisampang Kecamatan Gunung
Kencana Kabupaten Lebak. Dari hasil penelitian, perolehan persentase
pada siklus I yaitu 56%, siklus II yaitu 68%, pada siklus III yaitu 84%.
Sedangkan hasil belajar peserta didik pada konsep energi, dari siklus ke
siklus mengalami peningkatan. Hal ini ditandai dengan perolehan nilai
pada saat pra siklus dengan nilai 47,6, siklus I dengan nilai 55, siklus II
dengan nilai 66, dan siklus III dengan nilai 78. Dari hasil penelitian
42
tindakan kelas yang diperoleh di atas, maka peneliti merekomendasikan
kepada guru SD agar menggunakan pendekatan CTL khususnya dalam
pembelajaran IPA ataudan umumnya pelajaran lain untuk meningkatkan
aktifitas peserta didik hasil belajar hasil belajar.
C. Kerangka Berpikir
Pembelajaran akan berhasil apabila proses dari pembelajaran
berjalan dengan lancar. Salah satu komponen yang menentukan
keberhasilan dalam proses pembelajaran untuk menuju hasil yang optimal
dengan pemilihan teknik atau metode yang tepat serta bagaimana
melaksanakan teknik tersebut dalam proses pembelajaran.
Model CTL ( Contextual Teaching Learning ) adalah konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya
dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan
tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: kontruktivisme
(contructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat
belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi dan
penelitian sebenarnya (authentic assessment). Dengan demikian
pembelajaran CTL akan meningkatkan hasil belajar tercapai dengan
optimal. Dapat digambarkan dengan kerangka berpikir pada gambar 1
berikut ini :
43
Gambar 1 : Kerangka Berpikir
C. Hipotesis Tindakan
Menurut Cik Hasan Bisri (2001) hipotesis merupakan jawaban
bersifat sementara atas pertanyaan penelitian yang diajukan terhadap
masalah yang telah dirumuskan, sampai terbukti melalui data yang
terkumpul.
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkapkan
sebelumnya, maka diajukan hipotesis tindakan sebagai berikut :
a. Proses pembelajaran IPA tentang tanah longsor dan pencegahannya
dengan menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL) di kelas V SDS Muhammadiyah Selat Kuala Kapuas
mengalami peningkatan.
b. Ada peningkatan hasil belajar IPA peserta didik kelas V SDS
Muhammadiyah Selat Kuala Kapuas dengan menggunakan
pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan metode
Simulasi.
Permasalahan pembelajaran IPA pada kelas V SDS Muhammadiyah
Selat Kuala
Menggunakan pendekatan
pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL)
Terjadi peningkatan pada hasil
belajar
Tentang tanah longsor dan
pencegahannya
top related