ki - pengaturan pembajakan udara menurut hukum positif indonesia - mei 2007
Post on 17-Feb-2015
188 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KARYA ILMIAH
PENGATURAN PEMBAJAKAN UDARA(HIJACKING) MENURUT HUKUM POSITIF
INDONESIA
OLEH :
Drs. JOKE PUNUHSINGON, SH
YAYASAN GMIM Ds. A.Z.R. WENASUNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON
FAKULTAS HUKUMTOMOHON
2007
i
PENGESAHAN
Panitia Penilai Karya Ilmiah Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen
Indonesia Tomohon, telah memeriksa dan menilai karya ilmiah dari :
Nama : Drs. JOKE PUNUHSINGON, SH
NIDN : 0930086204
Jabatan : Asisten Ahli
Judul Karya Ilmiah : PENGATURAN PEMBAJAKAN UDARA
(HIJACKING) MENURUT HUKUM POSITIF
INDONESIA.
Dengan Hasil : Memenuhi Syarat
Tomohon, Mei 2007
Dekan / Ketua Tim Penilai
JULIUS KINDANGEN, SH
ii
KATA PENGANTAR
Dipanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kekuatan dan
hikmat kebijaksanaan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan karya
ilmiah ini.
Penulisan karya ilmiah yang berjudul "Pengaturan Pembajakan Udara
(Hijacking) Menurut Hukum Positif Indonesia” ini dimaksudkan untuk
mengadakan pengkajian terhadap motif pembajakan udara serta perangkat aturan
yang mengatur masalah pembajakan udara sebagai suatu kejahatan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
para pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan karya ilmiah ini,
khususnya kepada Panitia Penilai Karya Tulis Ilmiah Fakultas Hukum UKIT,
lebih khusus lagi kepada Bapak JULIUS KINDANGEN, SH selaku Dekan/Ketua
Tim Penilai Karya Tulis Ilmiah yang telah memberikan koreksi dan masukan-
masukan terhadap karya ilmiah ini.
Sebagai manusia biasa tentu saja dalam usaha penulisan karya ilmiah ini
terdapat kekurangan dan kelemahan, baik itu materi maupun teknik penulisannya,
untuk itu maka segala kritik dan saran yang sifatnya konstruktif amat penulis
harapkan demi kesempurnaan penulisan ini.
Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Esa, selalu menyertai segala usaha
dan tugas kita.
Tomohon, Mei 2007
Penulis,
Drs. JOKE PUNUHSINGON,
SH
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ........................................................................................................... i
PENGESAHAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iv
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah.......... ................................................... 1
B. Perumusan Masalah ..................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................ 2
D. Manfaat Penulisan ..................................................................... 2
E. Metode Penelitian ..................................................................... 2
BAB II : PEMBAJAKAN PADA UMUMNYA ....................................... 4
A. Pengertian dan Motif-Motif Pembajakan ................................. 3
B. Pembajakan Di Laut .................................................................. 6
C. Pembajakan Di Udara ............................................................... 9
BAB III : PENGATURAN PEMBAJAKAN UDARA (HIJACKING)
MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA .............................. 13
A. Pengaturannya Dalam Hukum Positif ....................................... 13
B. Tinjauan Kasus Woyla ............................................................... 14
BAB IV : PENUTUP ................................................................................. 17
A. Kesimpulan ................................................................................. 17
B. Saran .......................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 19
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sebenarnya masalah pembajakan khususnya pembajakan di udara dapat
dilihat dari berbagai segi misalnya : dari segi Hukum Internasional dan dari segi
Hukum Pidana. Dalam makalah ini ditinjau mengenai pembajakan udara akan
ditinjau dari segi Hukum Internasional (International Law Approach) walaupun
tidak dilepaskan dari tinjauan dari segi Hukum Pidana. Akan tetapi titik fokusnya
adalah tinjauan dari segi Hukum Internasional.
Kita semua telah mengetahui bahwa masalah pembajakan pesawat udara
sudah merupakan masalah internasional dan telah melanda dunia sehingga perlu
ditanggulangi secara sungguh-sungguh oleh bangsa-bangsa di dunia ini. Di
Indonesia sendiri telah tiga kali mengalami pembajakan pesawat udara di mana
yang terakhir adalah kasus pembajakan pesawat udara milik perusahaan
penerbangan Garuda : "Woyla" yang pada waktu itu berhasil diselesaikan dengan
gemilang.
B. PERUMUSAN MASALAH
Karena pembahasan mengenai pembajakan udara dalam makalah ini
tercakup permasalahan yang bergitu luas, maka hal tersebut dibatasi pada hal-hal
sebagai berikut : pertama-tama tentang pengertian pembajakan serta apakah motif-
motifnya, macam-macam pembajakan yaitu pembajakan di laut dan pembajakan
di udara serta mengenai pembajakan pesawat udara ditinjau dari pengaturan-
pengaturan menurut Hukum Internasional dan sedikit mengenai pengaturan
dalam hukum positif Indonesia.
1
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan diadakannya penulisan ini adalah :
a. Mencari pemecahan masalah pembajakan dalam pesawat udara yang
dewasa ini banyak dilakukan, terutama untuk kepentingan politik.
b. Mengkaji perangkat-perangkat aturan Hukum Internasional maupun
hukum positif Indonesia dalam mengatasi dan mengantisipasi kejahatan
pembajakan pesawat udara.
D. MANFAAT PENULISAN
Sedangkan kegunaan dari penulisan ini adalah :
a. Menambah perbendaharaan dalam kepustakaan Hukum
Internasional khususnya tentang Hukum Udara.
b. Menjadi suatu bahan pemikiran ilmiah dalam mengembangkan
Hukum Internasional tentang Hukum Udara dan Pengangkutan Udara yang
merupakan cabang ilmu hukum yang relatif masih muda sekaligus
mendorong dilakukannya penelitian-penelitian lebih lanjut.
E. METODE PENELITIAN
Karya Ilmiah ini menggunakan pendekatan secara komparatif-yuridis
dalam kajian tentang pembajakan udara. Juga digunakan metode kepustakaan
(library research) yang bagi penulis sangat efisien dan efektif mengingat
banyaknya literatur mengenai Hukum Udara yang terdapat di perpustakaan.
Dalam teknik pengolahan data penulis menggunakan teknik sebagai
berikut :
a. Deduksi : Dari data yang umum diambil kesimpulan yang khusus.
b. Induksi : Dari data yang khusus diambil kesimpulan yang umum.
2
c. Komparatif (metode perbandingan) : Membandingkan literatur yang satu
dengan literatur yang lain; membandingkan pendapat atau teori satu sama
lain yang kemudian diambil kesimpulan.
3
BAB II
PEMBAJAKAN PADA UMUMNYA
A. PENGERTIAN DAN MOTIF – MOTIF PEMBAJAKAN
Sebelum menguraikan tentang pokok masalah yaitu pembajakan udara,
maka ada baiknya diuraikan terlebih dahulu tentang pengertian "pembajakan"
tersebut.
Di dalam bahasa Indonesia, pembajakan berasal dari kata dasar "bajak"
yang mempunyai pengertian rangkap sebagai "perkakas pertanian untuk
menggemburkan dan membalikan tanah; luku, juga sebagai perampok, penyamun
di laut".1 Sayang dalam kasus ini tidak dibicarakan penjelasan tentang
'pembajakan udara'.
Pembajakan itu biasa dilakukan di laut dan bisa juga terjadi di udara.
Pembajakan atas sebuah pesawat udara dikenal dengan beberapa istilah seperti :
- Hijacking
- Sky-Jacking
- Air Piracy.
Istilah-istilah ini menunjukkan bahwa dikalangan para ahli Hukum
Internasional pun belum terdapat kesatuan pendapat mengenai istilah yang paling
tepat.
Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, SH, misalnya lebih condong untuk
menggunakan istilah 'Sky-Jacking' sebagaimana yang dikatakannya sebagai
berikut : "Lebih tepat kiranya untuk menggunakan istilah 'Sky-Jacking', istilah
masa kini sudah merupakan istilah yang dianggap meliputi segala kejahatan yang
terjadi di ruang udara dan sarana penerbangan".2 Walaupun menurut Prof. Dr.
1 W.J.S. Poerwdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 77.
2 Priyatna Abdurrasyid, Pedoman Perkuliahan Hukum Angkasa (Course Materrial), FH UNPAD, Bandung, 1974, hal. 8.
4
Priyatna Abdurrasyid, SH, istilah 'sky-jacking' yang paling tepat namun kenyataan
dalam masyarakat orang lebih umum mempergunakan istilah 'hijacking' dari pada
'sky-jacking' atas 'air piracy'.
Di dalam perundang-undangan pidana kita sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang perubahan dan penambahan
beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan
perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana, kejahatan
penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan, juga tidak
dijelaskan atau dicantumkan istilah 'pembajakan udara'. Dalam undang-undang
tersebut hanya dirumuskan hanya dirumuskan perbuatan yang dikenal dengan
'pembajakan udara' itu istilah 'pengusaan pesawat udara secara melawan hukum'.
Juga diketemukan istilah 'merampas, menguasai pengendalian pesawat udara
dalam penerbangan'. Namun istilah 'pembajakan' sendiri tidak diketemukan.
Lain halnya dengan pembajakan di udara, maka dalam pembajakan di laut
kiranya sudah mempunyai istilah yang mantap, yaitu apa yang dalam bahasa
Inggris dikenal dengan istilah 'piracy', yaitu : "an act of vilonce commited at the
sea by persons or armed vesseis not acting under the authority of a state or
organized community".3 Kalau ini diterjemahkan secara bebas berarti suatu
tindakan dengan kekerasan di laut oleh orang-orang atau kapal-kapal yang tidak
dibawah kekuasaan sesuatu negara atau masyarakat yang terorganisir.
Sekarang akan dibahas tentang motif-motif pembajakan baik pembajakan
udara maupun pembajakan di laut. K. Martono, SH menyebutkan bahwa motif-
motif yang melatarbelakangi timbulnya aksi pembajakan udara adalah :
a. Pribadi (personel).
b. Tekanan politik.
c. Tekanan sosial. 4
Motif pribadi misalnya pembajakan udara yang dilakukan karena ingin
melarikan diri dari ancaman hukuman yang akan dijatuhkan atas dilakukannya
3 Smith and Zurcher, Dictionary of American Politics, Barnes and Nobles Inc., NY, p. 289.
4 Priyatna Abdurrasyid, Op – Cit, hal. 9.
5
suatu perbuatan pidana. Seorang yang melakukan suatu perbuatan pidana yang
diancam dengan pidana mati misalnya karena sudah ketahuan, lalu melarikan diri
ke luar negeri dengan melakukan pembajakan pesawat udara. 5
Motif politik misalnya terlihat dimana orang-orang atau golongan-
golongan yang melarikan diri dari sistem politik tertentu, misalnya beberapa orang
Polandia dan Jerman Timur yang melarikan diri ke negara bebas.
Menurut data yang ada pada INTERPOL, maka 65 % dari jumlah
pembajakan udara bermotif politik dan sisanya berbagai macam motif. 6
Di samping motif-motif yang disebutkan tadi, ada juga pembajakan udara
yang dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai uang. Pembajakan jenis yang
oleh Prof. Mr. G.M.A. Inkiriwang disebut "Travel Hijacking".
Ada juga pembajakan udara yang bermotifkan lebih dari satu misalnya
disamping motif politik juga motif kriminal biasa, seperti dalam kasus
pembajakan pesawat udara Woyla, dimana nampak motif politik (tuntutan-
tuntutan politik) juga motif rampok (tuntutan 1,5 juta US Dollar).
Sama halnya dalam pembajakan pesawat udara, di dalam pembajakan
kapal laut (piracy) motifnya ada juga yang politik, tetapi dalam pembajakan kapal
laut motif tersebut adalah merampok untuk mencari keuntungan sebesar-
besarnya.
B. PEMBAJAKAN DI LAUT
Pembajakan di laut terhadap kapal-kapal yang lalu lalang di suatu perairan
dilakukan oleh bajak laut atau perompak.
Menurut Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, SH, "dalam hukum kebiasaan
internasional 'piracy' merupakan kejahatan internasional dan berunsur perampok,
5 Smith and Zurcher, Op – Cit, hal. 289.
6 Hukum Pembajakan Udara dan Riwayat Kejahatan Itu Sepanjang Sejarah, Sinar Harapan tanggal 29 April 1981, hal. VI.
6
perampasan dengan kekerasan di lautan dan harus mempunyai unsur perbuatan
penyerangan dari satu kapal ke kapal lain". 7
Dalam Convention On The Highs Seas (Geneva, Februari 24 to April
1958) dalam Artikel 5 ayat (1) mengenai piracy dikatakan sebagai berikut :
(1) a. Any illegal acts of violence, detention of any act of deperdtion, commited for private ands by the crew or the passengers of a private ship or a private aircraft, or against person or proverty an board such ship or aircraft.
b. Against a ship, person or proverty in a place outside the jurisdiction of any state.8
Pengertian pembajakan yang lebih luas dapat dilihat dalam Laporan I.L.C
1956 antara lain sebagai berikut :
Pembajakan meliputi semua kekejaman dan penahanan yang ilegal, atau
setiap tindakan perampokan yang dilakukan untuk tujuan-tujuan sendiri dari
orang-orang yang berada di atas kapal bajak laut atau pesawat terbang dan
dilakukan di laut lepas terhadap sebuah kapal atau orang-orang atau barang-
barang yang berada di atas kapal itu.9
Selanjutnya, L. Oppenheim and Lauterpacht mengatakan bahwa ''piracy'
dapat didefinisikan sebagai "every unauthorsea act of violence against person or
goods commited on the open sea either by a private against versel or by the
mutionous crew or passenger against their own vessel".10
Jadi pembajakan di laut adalah setiap tindakan dengan kekerasan yang
tidak sah melawan orang-orang atau barang yang dilakukan di laut lepas baik
yang dilakukan oleh kapal-kapal privat melawan kapal yang lain maupun oleh
anak buah dan penumpang kapal terhadap kapal mereka sendiri.
7 Priyatna Abdurrasyid, Op – Cit, hal. 123.
8 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, BPHN Binacipta, Bandung, 1978, hal. 224.
9
? J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional (Saduran F. Isjwara), Alumni, Bandung, 1972, hal. 145.
10 L. Oppenheim-Lauterpacht, International Law - A Treaties, Longmans Green and Co, London, 1966, hal. 608.
7
Bahkan menurut Oppenheim-Lauterpacht, jauh sebelum perkembangan
Hukum Internasional modern sekarang ini pembajak sudah dinyatakan "an
outlaw" (pelanggar hukum) yaitu sebagai "hostishumani generis (musuh umat
manusia). 11
Menurut Hukum Internasional tindakan daripada pembajak mengakibatkan
ia kehilangan perlindungan dalam negaranya sendiri. Pembajakan juga sering
disebut sebagai 'international crime'; pembajakan adalah merupakan musuh
negara dan dapat dibawah ke depan pengadilan di mana saja.
Pembajakan sebagai'kejahatan internasional' hanya dapat dilakukan di laut
lepas. Pembajakan yang dilakukan di wilayah perairan suatu negara biasanya tidak
menjadi objek Hukum Internasional dan sebagaimana halnya dengan jenis
perampokan yang lain, termasuk wewenang negara pemilik laut yang
bersangkutan. 12
Pembajakan adalah suatu kejahatan terhadap keamanan di laut lepas dan
oleh sebab itu sangat berbahaya bagi keamanan dan keselamatan di laut lepas.
Lain halnya dengan pengaturan mengenai pembajakan di udara yang baru
mendapat pengaturannya sejak tahun 1976 yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 4
Tahun 1976, maka mengenai pembajakan di laut sudah diatur didalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana kita yaitu dalam pasal-pasal 438 sampai dengan
pasal 447 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 13
Bahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita memperluas pengertian
pembajakan tidak saja di laut lepas, akan tetapi juga yang dilakukan di laut
teritorial Indonesia di pantai, di pesisir dan di sungai. Jadi pengertian pembajakan
di laut menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lebih luas daripada
pengertian pembajakan menurut Hukum Internasional sebagaimana yang
disebutkan di muka.
11 Ibid, hal. 609.
12 Mochtar Kusumaatmadja, Op – Cit, hal. 224.
13 Priyatna Abdurrasyid, Op – Cit, hal. 245.
8
C. PEMBAJAKAN DI UDARA
Bagian ini adalah merupakan inti pembicaraan di makalah ini.
Sebagaimana halnya dengan pembajakan di laut, maka demikian juga
pembajakan di udara merupakan 'international crime' dan merupakan musuh umat
manusia.
Pembajakan pesawat udara adalah merupakan suatu jenis kejahatan yang
relatif baru bilamana dibandingkan dengan jenis kejahatan yang lain. Dunia
mencatat bahwa pembajakan pesawat udara yang pertama terjadi tahun 1930
yaitu ketika seorang Peru membajak sebuah pesawat udara Peru kemudian
melarikan diri.
Gelombang pembajakan pesawat udara kemudian timbul lagi sekitar
tahun 1950 yang melanda negara-negara komunis di mana banyak mereka
melarikan diri ke negara bebas. Kita ingat misalnya pembajakan yang dilakukan
oleh orang-orang Kuba terhadap pesawat udara Amerika Serikat untuk melarikan
diri kembali ke Kuba.
Mengenai perilaku pembajakan pesawat udara ada yang dilakukan oleh
perorangan maupun kelompok-kelompok ataupun organisasi-organisasi bahkan
oleh awak kapal itu sendiri.
Indonesia sendiri tidak luput dari masalah pembajakan pesawat udara.
Sampai sekarang tercatat telah tiga kali terjadi pembajakan pesawat udara di
Indonesia. Pembajakan pesawat udara yang pertama terjadi pada tanggal 4 April
1972 terhadap sebuah pesawat milik perusahaan penerbangan Merati dari jenis
Viscount yang sedang terbang jurusan Surabaya -Jakarta. Motif pembajakan
adalah semata-mata uang. 14
Pembajakan pesawat udara yang kedua terjadi tanggal 5 September 1977
terhdap sebuah pesawat udara milik perusahaan penerbangan nasional Garuda DC
9 yang sedang menerbangi jurusan Jakarta – Surabaya. Motifnya adalah motif
politik di mana ia menyandera seorang pramugari dengan sebilah pisau.
Pembajaknya bernama Triyudo, yang secara emosional ingin menegakkan
14 Priyatna Abdurrasyid, Op – Cit, hal. 246.
9
keadilan dan kebenaran di muka bumi dengan caranya sendiri tadi, kemudian
dihukum penjara satu tahun 6 bulan. 15
Memang dalam banyak hal pembajakan pesawat udara dilakukan untuk
memaksakan kehendak orang-orang atau organisasi-organisasi tertentu dengan
jalan kekerasan, atau cara yang bertentang dengan Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa.
Menurut Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, berdasarkan Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa maka ancaman atau penggunaan kekerasan bukan saja harus
ditiadakan (juga ancaman yang ditujukan kepada kejujuran dan kebasan politik
sesuatu negara) akan tetapi penggunaan cara lain yang tidak sesuai dengan Piagam
PBB harus dicegah. 16
Suatu pertanyaaan yang timbul adalah apakah sebabnya pembajakan lebih
cenderung untuk memilih pesawat udara untuk dibajak daripada kendaraan-
kendaraan lain seperti kereta api, bis, kapal laut dan sebagainya ? Biasanya
seorang pembajak yang membajak sebuah pesawat udara memang ia sudah
mempertaruhkan nyawanya. Ia demikian nekad kalau perlu bersedia mati
bersama-sama para penumpang dan awak pesawat dengan jalan meledakan
pesawatnya yang sedang mengudara. Juga setiap kekerasan pada pesawat akan
menimbulkan resiko yang tidak kecil. Dan kalau sebuah pesawat jatuh,
kemungkinan untuk hidup bagi penumpang dan awaknya sangatlah kecil.
Keadaan ini diketahui oleh pembajak dan ia memanfaatkan keadaan ini.
Sebab secara psikologis mereka tahu bahwa menyelamatkan saudara lebih penting
daripada kemanusiaan. Oleh sebab itu tuntutan para pembajak biasanya
dikabulkan. Namun ada juga negara (termasuk Indonesia) yang tidak mau
mengalah begitu saja terhadap tuntutan para pembajak sebagaimana ternyata
dalam ketiga pembajakan yang terjadi di Indonesia.
15 Priyatna Abdurrasyid, Op – Cit, hal. 245.
16 Priyatna Abdurrasyid, Op – Cit, hal. 245.
10
Masalah pembajakan pesawat udara ini sudah sangat disadari oleh bangsa-
bangsa di dunia, sehinga ICAO (International Civil Aviation Organization) telah
mengesahkan tiga Konvensi Internasional yaitu :
1. Tokyo Convention 1963 tentang pelanggaran-pelanggaran dan tindakan-
tindakan tertentu lainnya yang dilakukan di dalam pesawat udara (Offences
and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft).
2. Konvensi Den Haag 1970 tentang pemberantasan penguasaan pesawat udara
secara melawan hukum (The Suppresion of the Unlawful Seizure of the
Aircraft).
3. Konvensi Montreal 1976 tentang pemberantasan tindakan-tindakan melawan
hukum yang mengancam keamanan penerbangan sipil (The Suppresion of the
Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation).
Menurut Konvensi Tokyo 1963, yurisdiksi terhadap pembajak yang
melakukan pembajakan pesawat udara berada pada negara di mana pesawat udara
didaftarkan (pasal 3 dan 4). Jadi kalau kita ambli contoh kasus Woyla, maka
menurut ketentuan pasal 3 dan 4 Konvensi Tokyo yang berhak melakukan
yurisdiksi terhadap pembajak adalah bukan pemerintah Thailand (tempat terakhir
pesawat udara itu mendarat), tetapi Indonesia (tempat di mana pesawat udara
didaftarkan).
Walaupun demikian, sesuai dengan Konvensi ini, Pemerintah Thailand
harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar supaya pelaksanaan
yurisdiksi dapat berlangsung dengan baik. Bilamana pesawat mendarat maka
negara dimana tempat pendaratan harus mengijinkan penumpang/awak kapal
meneruskan perjalanan mereka dan mengambil barang-barang kepada mereka
yang berhak.
Hanya saja salah satu kelemahan dalam Konvensi Tokyo ini adalah
ketentuan bahwa negara anggota tidak wajib melakukan ekstradisi pembajak
kepada negara di mana pesawat udara itu didaftarkan. Jadi misalnya dalam kasus
pesawat Garuda, sesuai dengan Konvensi Tokyo, maka pemerintah Thailand
tidak wajib mengekstradisikan pembajak itu kepada pemerintah Indonesia.
11
Kecuali apabila antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Thailand ada
perjanjian ekstradisi.
Bahwa dalam kasus pembajakan pesawat garuda Woyla itu
penanganannya dilakukan bersama antara pemerintah Indonesia dan pemerintah
Thailand, maka hemat penulis, hal ini disebabkan karena adanya semangat
ASEAN dalam membentuk kerjasama termasuk kerjasama dalam penanggulangan
kejahatan. Baik Indonesia dan Thailand sama-sama peserta Konvensi Tokyo.
Bilamana kejahatan pembajakan menurut sifatnya adalah merupakan
'international crime', maka dalam hubungan-hubungan internasional dalam
masyarakat internasional, seharusnya dapat bekerjasama dalam menanggulangi
bentuk kejahatan ini. Hanya saja, penanggulangannya dari negara-negara. 17
Seorang pelarian Kuba dari Amerika Serikat yang membajak sebuah
pesawat TWA misalnya,begitu sampai di Kuba akan dianggap sebagai 'pahlawan'.
Sebaliknya di Amerika Serikat ia dicap sebagai penjahat besar yang harus
dihukum.
Oleh sebab itu benarlah apa yang dikatakan oleh Prof. Mr. G.M.A.
Inkiriwang yang mengatakan bahwa, "selama ada contraversi politik antara
negara-negara atau dalam suatu negara, kemungkinan terjadi pembajakan tetap
ada. 18
Demikianlah uraian-uraian mengenai pembajakan pesawat udara dilihat
dari segi Hukum Internasional.
BAB III
PENGATURAN PEMBAJAKAN UDARA 17 J. Frankel, Hubungan Internasional, (Alih Bahasa Laila H. Hasyim), ANS Sungguh
Bersaudara, Jakarta, 1980, hal. 154.
18 G.M.A. Inkiriwang, Hukum Udara dan Pembajakan Udara (Pidana Dies Natalis FH Unsrat Manado tanggal 1 Agustus 1979.
12
( HIJACKING)
A. PENGATURANNYA DALAM HUKUM POSITIF
Ketika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dibuat tahun 1914, masalah
pembajakan pesawat udara tidak mendapat pengaturan. Hal ini disebabkan karena
pada waktu bentuk kejahatan pembajakan pesawat udara belum dikenal.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata bahwa
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita sudah ketinggalan jaman. Hal ini
disadari oleh pemerintah dan pada tahun 1976 dikeluarkanlah UU No. 4 Tahun
1976 tentang perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan
perundang-undangan pidana kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap
sarana/prasarana penerbangan.
Khusus mengenai pembajakan pesawat udara ditambahkan dua pasal yaitu
pasal 479 i dan 479 j yang selengkapnya sebagai berikut :
Pasal 479 i : Barang siapa dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan
hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat
udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua
belas tahun.
Pasal 479 j : Barang siapa dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan
perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Walaupun dalam pasal ini tidak disebutkan bahwa perbuatan inilah yang
disebut 'pembajakan ', namun melihat sifat perbuatannya, maka perbuatan ini
memenuhi unsur untuk dapat disebut pembajakan pesawat udara. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh R. Soesilo bahwa "ketentuan pasal ini mengatur
13
tindak pidana kejahatan penerbangan yang lazim dikenal dengan nama
pembajakan pesawat udara". 19
Selanjutnya pasal 479 k mengatur mengenai pembajakan pesawat udara
yang dilakukan oleh lebih dari satu orang (deelneming), maupun pembajakan
yang dilakukan dengan berencana, mengakibatkan luka berat, mengakibatkan
kerusakan pada pesawat udara dan dilakukan dengan maksud untuk merampas
kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang.
Pembahasan dalam makalah ini tidak akan dilanjutkan uraian-uraian
mengenai unsur-unsur pasal 479 i, j dan k Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
sebab hal ini adalah bidang Hukum Pidana.
Yang jelas bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita sudah
mengalami kemajuan dengan ditetapkannya kejahatan pembajakan sebagai
perbuatan pidana dan dimasukkan dalam KUHP.
Di samping itu juga Indonesia telah menanda-tangani Konvensi-Konvensi
Internasional mengenai pembajakan pesawat udara. Oleh karena itu kalau dahulu
(sebelum tahun 1976) pembajakan pesawat udara hanya dikenakan dengan pidana
atas dasar ancaman penggunaan senjata api secara tidak sah, maka dengan adanya
UU No. 4 Tahunn 1976, maka pengaturan tentang pembajakan pesawat udara
makin mantap demi kepentingan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.
B. TINJAUAN KASUS WOYLA
Kita yang menaruh perhatian terhadap perkembangan hukum di Indonesia
tentu saja menaruh perhatian terhadap pelanggaran hukum yang 'spektakuler'
seperti dalam kasus pembajakan udara milik perusahaan penerbangan Garuda
"Woyla" pada tanggal 28 Maret 1981 yang lalu.
Peristiwanya sendiri telah banyak ditulis oleh media massa seperti surat
kabar dan media elektronik lainnya, bahkan untuk itu telah terbit beberapa buku
19 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1976, hal. 269.
14
seperti yang ditulis oleh R. Wiwoho (Operasi Woyla) dan Rinaldi dkk (Tragedi-
1981-Garuda DC 9-206 dibajak).
Secara singkat peristiwanya adalah sebagai berikut : sebuah pesawat
terbang DC 9 pada tanggal 28 Maret 1981, dibajak di atas Pekanbaru oleh lima
orang yang kemudian dikenal dengan dipimpin oleh Mahrizal. Pesawat domestik
ini kemudian dipakai untuk terbang ke Bangkok dan mendarat di lapangan
terbang Muang di Thailand.
Dari kontak-kontak yang dilakukan dengan pembajak, ternyata bahwa
motif pembajakan di samping motif politik (mereka minta membebaskan kawan-
kawannya yang ditahan karena melakakukan kejahatan), juga bermotifkan
'rampok' sebagaimana ternyata dari tindakan mereka mengumpulkan semua uang
dan perhiasan milik penumpang.
Di samping itu mereka meminta uang tebusan 1,5 juta US Dollar dan
menerbangkan mereka ke tempat yang nanti akan ditentukan.
Pada waktu itu, Pemerintah Indonesia telah mengambil keputusan untuk
tidak memenuhi tuntutan pembajak dan berunding dengan pemerintah Thailand
untuk melancarkan operasi militer untuk membebaskan para penumpang dan
awak kapal.
Kisah penyelamatannya sudah banyak ditulis, hasilnya adalah sebagai berikut :
1. Satu orang anggota Kopashanda yaitu Peltu Achmad Kirang tertembak dan
meninggal dunia.
2. Kapten Pilot Herman Rante tertembak dan meninggal dunia.
3. Semua sandera dan awak kapal lainnya selamat dan pesawat dalam keadaan
yang relatif utuh (masih dapat diterbangkan).
Beberapa catatan yang dapat diberikan mengenai kasus pembajakan
pesawat Garuda Woyla ini adalah :
1. Motifnya disamping Motif politik, juga motifnya adalah rampok.
2. Kita sadari bahwa di tengah kita masih ada "musuh dalam selimut". Peristiwa
tadi hendaknya menyadarkan kita semua bahwa di tengah-tengah kita terdapat
golongan ekstrim yang tidak segan-segan melancarkan tindakan yang tidak
berperikemanusiaan.
15
3. Pemerintah sama sekali tidak mentolerir tindak kekerasan seperti pembajakan
dan jenis ancaman lainnya.
4. Penjagaan di pelabuhan-pelabuhan udara di Indonesia perlu ditingkatkan guna
mencegah lolosnya para pembajak.
5. Semangat ASEAN yang konkrit dan tindakan pemerintah Thailand yang
sangat bersahabat.
6. Adanya pasukan teroris yang patut dibanggakan. Waktu itu Indonesia adalah
negara nomor 3 di dunia yang berhasil menaklukan pembajak. Yang pertama
adalah Israel dengan penyerangan di Entebbe, dan Jerman dengan peristiwa
Mogadishu.
Demikianlah tanggapan penulis mengenai kasus pembajakan pesawat
Garuda Woyla.
16
BAB IV
P E N U T U P
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Masalah pembajakan khususnya pembajakan di udara dapat dilihat dari segi
Hukum Internasional dan dari segi Hukum Pidana.
2. Masalah pembajakan pesawat udara sudah merupakan masalah internasional
dan telah melanda dunia sehingga perlu ditanggulangi secara sungguh-
sungguh oleh bangsa-bangsa di dunia ini. Di Indonesia sendiri telah tiga kali
mengalami pembajakan pesawat udara di mana yang terakhir adalah kasus
pembajakan pesawat udara milik perusahaan penerbangan Garuda : "Woyla"
yang pada waktu itu berhasil diselesaikan dengan gemilang.
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang perubahan dan penambahan
beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan
perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana, kejahatan
penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.
4. Menurut Konvensi Tokyo 1963, yurisdiksi terhadap pembajak yang
melakukan pembajakan pesawat udara berada pada negara di mana pesawat
udara didaftarkan.
5. Hanya saja salah satu kelemahan dalam Konvensi Tokyo ini adalah ketentuan
bahwa negara anggota tidak wajib melakukan ekstradisi pembajak kepada
negara di mana pesawat udara itu didaftarkan.
6. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata bahwa Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana kita sudah ketinggalan jaman. Hal ini disadari
oleh pemerintah dan pada tahun 1976 dikeluarkanlah UU No. 4 Tahun 1976
tentang perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan
17
perundang-undangan pidana kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap
sarana/prasarana penerbangan.
Dengan demikian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita sudah
mengalami kemajuan dengan ditetapkannya kejahatan pembajakan sebagai
perbuatan pidana dan dimasukkan dalam KUHP.
7. Indonesia telah menanda-tangani Konvensi-Konvensi Internasional mengenai
pembajakan pesawat udara.
B. S A R A N
1. Sebagai cara penangulangan pembajakan pesawat udara di Indonesia adalah
dengan peningkatan kewaspadaan nasional, untuk itu kita tidak boleh lengah
sedikitpun juga sebab musuh-musuh kita selalu berusaha memanfaatkan
kelengahan kita.
2. Berdasarkan pengalaman peristiwa Woyla, maka seseorang atau orang-orang
yang bercita-cita membajak pesawat udara harus berpikir seribu kali untuk
melaksanakan niatnya, untuk itu kesigapan dari aparat keamanan perlu
ditingkatkan untuk menjaga reputasi Indonesia sebagai salah satu negara yang
berhasil menanggulangi upaya mengatasi upaya pembajakan.
18
DAFTAR PUSTAKA
- Abdurrasyid P., Pedoman Perkuliahan Hukum Angkasa (Course Materrial), FH UNPAD, Bandung, 1974.
- Frankel J, Hubungan Internasional, (Alih Bahasa Laila H. Hasyim), ANS Sungguh Bersaudara, Jakarta, 1980.
- Inkiriwang G.M.A., Hukum Udara dan Pembajakan Udara (Pidana Dies Natalis FH Unsrat Manado tanggal 1 Agustus 1979.
- Kusumaatmadja M., Hukum Laut Internasional, BPHN Binacipta, Bandung, 1978.
- Oppenheim-Lauterpacht, International Law - A Treaties, Longmans Green and Co, London, 1966.
- Poerwadarminta W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976.
- Smith and Zurcher, Dictionary of American Politics, Barnes and Nobles Inc., NY. 1966.
- Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1976.
- Starke J.G, Pengantar Hukum Internasional (Saduran F. Isjwara), Alumni, Bandung, 1972.
- Wiwoho R, Kisah Nyata Operasi Woyla, PT. Monara Garuda Nusantara, Jakarta, 1981.
19
top related