ketika pai di-usbn-kan -...

Post on 30-Apr-2019

228 Views

Category:

Documents

0 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

36 MPA 307 / April 2012

Waktu saya mengumumkan ke-putusan pemerintah tentang pelaksa-naan Ujian Sekolah Berstandar Na-sional (USBN) Pendidikan AgamaIslam (PAI), murid-murid saya meres-ponnya dengan nada kecemasan.Meskipun reaksi itu sudah saya tebaksebelumnya, saya tetap bertanya-ta-nya mengapa murid-murid saya me-nanggapinya dengan cemas dan cen-derung panik. Padahal kepala sekolahdan guru-guru yang lain, sejak awalterus memotivasi dan membangkit-kan kepercayaan diri mereka dalammenghadapi Ujian Nasional (UN).Suntikan motivasi itu sesolah-olah ti-dak membekas pada waktu pengumu-man USBN PAI disampaikan.

Hal ini menunjukkan betapa su-litnya mengubah paradigm UN. Mes-kipun jajaran kementerian pendidikanterus mengampanyekan UN yanghumanis dan tidak menyeramkan, na-mun di lapangan UN tetap dipahamisebagai beban. Usaha-usaha Kemen-terian Pendidikan Nasional, sepertimenjadikan nilai raport sebagai faktorpenentu kelulusan, penekanan padaaspek kejujuran, dan lain-lain, belummampu menurunkan tingkat kece-masan terhadap UN. UN tetap men-jadi momok yang menakutkan, tidakhanya bagi siswa, melainkan juga bagipara guru, kepala sekolah, maupunkepala dinas pendidikan di daerah-daerah.

Tahun ini, kecemasan itu ditam-bah dengan kehadiran USBN PAI.Wacana USBN sebenarnya sudahberlangsung sekitar dua sampai tigatahun ini, namun keputusan untuk di-USBN-kan baru disosialisasikan kesekolah-sekolah pada awal tahun ini.Sejak awal diwacanakan, USBN PAIsudah menjadi perdebatan secara lu-as. Perdebatan itu tidak semata-mata

membahas paradigma yang masihmelekat dalam masyarakat tentangUN sebagai. Akan tetapi perdebatanjuga mengarah kepada persoalanyang lebih substantif, yakni apakahagama dapat distandarkan secara na-sional?

Sebagaimana diketahui, Islam diIndonesia sangat beragam. Perbeda-an aliran tidak semata-mata terjadi an-tara NU dan Muhammadiyah yang se-ring tampak berseberangan di banyakkesempatan. Perbedaan pemahamandan praktik agama Islam di Indone-sia jauh lebih kompleks. Di Indone-sia keberadaan aliran keagamaan bisamencapai ratusan, yang kesemuanyamemiliki pemahaman yang berbeda-beda. Bisa dibayangkan jikalau mene-tapkan awal puasa dan hari raya sajasudah sedemikian melelahkan, makabagaimana jika dihadapkan padastandarisasi jawaban PAI. Siapa yangpaling berhak menetapkan pilihan ja-waban benar atau salah.

Asy’ariyah - Syafi’iyah - Gha-zaliyah

Kalau berbicara tentang mayori-tas pemahaman keislaman di Indone-sia, tentu akan merujuk pada aqidahasy’ariyah, fikih syafi’iyah, dan ta-sawuf ghazaliyah. Tiga paham inilahyang menjadi mainstream pemikiranIslam di Indonesia. Akan tetapi perludiingat bahwa Islam di Indonesia ti-dak semata-mata bersumber dari tigaserangkai pemikiran Islam itu. Menja-dikan ketiganya sebagai barometerstandardisasi USBN PAI, akan cukupmembingungkan praktik pembelajar-an di sekolah. Guru “dipaksa” meng-arahkan jawaban searah dengan tigaparadigma pemikiran Islam ini. se-mentara tidak semua guru dan muridmenjadikan ketiganya sebagai sum-

ber dan dasar keislaman mereka.Belum lagi kalau kita berbicara

tentang realitas keberagaman IslamIndonesia yang tidak hanya beraliranSunni. Kita tidak bisa menutup matabahwa Syiah juga berkembang di In-donesia. Beberapa waktu lalu bahkanterjadi gesekan Sunni – Syiah di Ma-dura. Pemberlakuan standarisasi PAItentu menjadi masalah yang lebihrumit lagi. Apakah murid-murid yangberasal dari kelompok Syiah diwajib-kan belajar sejarah yang bertentang-an dengan keyakinan dan kepercaya-an mereka. Ini tentunya sebuah ben-tuk pelanggaran terhadap kebebasanberagama dan berkeyakinan. ApalagiMUI jelas-jelas menyampaikan bah-wa Syiah bukan aliran sesat.

Dengan demikian keputusanmemberlakukan USBN pada mata pe-lajaran PAI dapat menjadi pertaruhanbesar bagi ketenteraman hidup ber-agama khususnya Islam. Semua mu-rid muslim dikondisikan belajar aga-ma Islam dalam keyakinan tertentu.Mereka harus mempelajari dan meng-erjakan soal-soal yang diberikan se-suai dengan pemahaman keagamaandari penyusun kurikulum PAI. Kon-sekuensinya guru juga harus meng-ajarkan materi-materi yang berpotensiberbeda antara yang diajarkan danyang diyakini.

Mungkin USBN PAI memangbisa menjadi solusi teknis atas ber-bagai persoalan pembelajaran PAIselama ini. Seperti tingkat gengsi pe-lajaran yang rendah dibandingkanmata pelajaran yang di-UN-kan, se-mentara secara ideologis PAI diang-gap lebih sakral. USBN PAI juga bisasaja menjadi solusi jangka pendek ke-lebihan guru PAI yang menjadi ma-salah besar setelah adanya tuntutankewajiban mengajar 24 jam pelajaran.

Ketika PAI di-USBN-kanOleh Bagus Mustakim*

37MPA 307 / April 2012

Melalui diunaskannya PAI akan adatuntutan untuk menambah jam pela-jaran sehingga dapat menyelamatkanguru PAI yang kekurangan jampelajaran.

Pembaruan Paradigma PAIApa hendak dikata, palu sudah

diketok, persiapan USBN PAI punsudah berjalan. Berharap agar kepu-tusan ini ditarik pun sepertinya tidakmungkin. Meskipun demikian, Ke-menterian Agama, yang berada digarda depan pelaksanaan USBN PAI,juga harus melihat dampak jangkapanjangnya. Baik dampak terhadappelaksanaan USBN PAI terhadappembelajaran PAI di kelas maupundampaknya pada keberagamaan ma-syarakat Islam di Indonesia.

Dalam kondisi seperti ini, palingtidak ada tiga pilihan yang dapat dila-kukan oleh pemerintah;

Pertama, pengetatan ruang indi-kator yang akan diuji di USBN PAI.Jangan sampai indikator yang disu-sun berada pada wilayah khilafiyahatau perbedaan pendapat. Perumussoal USBN PAI harus menyediakansoal-soal yang tidak mengandungpolemik pemikiran maupun perbedaanpraktik keagamaan umat. Ini sangatsulit dilakukan karena hampir tidakada ruang kesamaan dalam keislaman

umat Islam Indonesia. Hampir semuakeberagamaan umat Islam diwarnaidengan perbedaan. Apalagi ditambahdengan sifat dasar agama yang cen-derung sektarian dan primordial, pe-kerjaan ini seolah-olah menjadi mis-sion imposible.

Kedua, perlu ada perubahan pa-radigma pembelajaran PAI. Pembe-lajaran PAI memungkinkan untuk di-standarisasi jika orientasi pembela-jaran PAI difokuskan pada praktik ke-agamaan Islam dalam konteks kein-donesiaan. Selama ini PAI berperansebagai institusi yang melestarikantradisi keagamaan Islam yang ber-sumber dari peradaban agama. Se-dangkan peradaban agama berkaitanerat dengan konflik keagamaan. Kon-flik itu melahirkan Islam yang bera-gam. Ketika didakwahkan di Indone-sia, keragaman ini semakin berkem-bang setelah Islam bersentuhan de-ngan tradisi-tradisi lokal.

Di tengah keragaman itu ada ke-samaan konteks keindonesiaan yangdapat dijadikan standar pembelajaranPAI. Misalnya implementasi bebera-pa ajaran agama Islam dalam konteksperundang-undangan, seperti UU za-kat, wakaf, maupun penyelenggaraan

ibadah haji. Sejarah perkembanganIslam di Indonesia juga bisa dijadikanmateri yang relatif lebih netral diban-dingkan sejarah Islam klasik. Kom-petensi-kompetensi semacam ini da-pat dibuat standar penilaian karenatidak berada pada wilayah khilafiyah.Persoalannya maukah kalangan aga-mawan melepaskan materi-materi ke-agamaan yang bersifat idiologis-in-doktrinatif dari sekolah dan meng-gantikannya dengan materi-materiyang lebih bersifat lokal keindone-siaan sebagai peneguhan wawasankeislaman dan keindonesiaan?

Ketiga, membiarkan standari-sasi agama lewat USBN PAI ini agarberjalan apa adanya dengan menyim-pan potensi ketidakpuasan bagi seba-gian umat Islam yang tidak memilikipemahaman agama yang sama de-ngan yang dikembangkan pemerin-tah. Jika pilihan ketiga yang diambiloleh pemerintah, maka sama saja pe-merintah menyimpan bom waktuyang dapat meledak kapan saja. Perludiingat bahwa ledakan sosial yangmemuat sensitivitas agama begitusulit dinetralkan.

*Bagus Mustakim, sekretarisDPD Asosiasi Guru PAI IndonesiaKabupaten Ngawi, mengajar PAI diSMK Negeri 1 Ngawi

top related